55
110 4 JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA Ecosystem Service and Social Culture Issues Handian Purwawangsa Jurusan Manajamen Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) - Indonesia Adi Hadianto Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) - Indonesia I. LATAR BELAKANG Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa memiliki 3 (tiga) kubah gambut di atas permukaan tanah mineral yang diapit oleh 4 (empat) buah sungai, yaitu Krueng Tripa, Krueng Saumayam, Krueng Batee, dan Krueng Seuneuam serta berbatasan langsung dengan perairan pantai Samudera Indonesia (Tim Peneliti Unsyiah, 2013). Hasil Tim Monitoring YLI-AFEP (2008) menemukan bahwa di areal Hutan Rawa Gambut Tripa dijumpai lebih dari 300 jenis tumbuhan sebagai makanan satwa dan bernilai ekonomis tinggi. Diantaranya adalah tumbuhan khas yang tumbuh di areal Hutan Rawa Gambut Tripa, seperti Cemenggang (Nessia sp) dan Malaka (Tetrameristra glabra) yang merupakan makanan utama Orangutan, Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea sp), Pulai (Alstonia sp) dan berbagai jenis tumbuhan bernilai ekonomis tinggi lainnya. Selain itu, Rawa Tripa juga merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka, diantaranya orang utan (Pongo abelii), Mentok Rimba (Cairina scutulata), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Beruang Madu (Helarctos mala-yanus), Burung Rangkong (Buceros sp) dan berbagai jenis satwa lainnya. Hasil penelitian Prof. Carel van Schaik pada tahun 1996 dalam Tim Monitoring YLI-AFEP (2008) menemukan bahwa jumlah populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam areal Hutan Rawa Gambut Tripa, Kluet dan Singkil, yaitu sebesar 7.6 individu/kilometer persegi. Pemberian izin perkebunan kelapa sawit kepada beberapa perusahaan seperti PT. Kalista Alam, PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Patriot Guna Sakti Abadi, PT. Cemerlang Abadi dan PT. Agra Para Citra yang diambil alih oleh PT. Astra Agro Lestari telah menyebabkan konversi areal Hutan Rawa Gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit. Konversi lahan tersebut telah menyebabkan berbagai perubahan lingkungan, yang utamanya disebabkan oleh proses land clearing dan pengeringan rawa untuk kepentingan budidaya kelapa sawit. H

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

  • Upload
    vudan

  • View
    260

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

110

4 JASA EKOSISTEM DAN ISU

SOSIAL BUDAYA

Ecosystem Service and Social Culture Issues

Handian Purwawangsa Jurusan Manajamen Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) - Indonesia

Adi Hadianto Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) - Indonesia

I. LATAR BELAKANG

Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa memiliki 3 (tiga) kubah gambut di atas permukaan tanah mineral yang diapit oleh 4 (empat) buah sungai, yaitu Krueng

Tripa, Krueng Saumayam, Krueng Batee, dan Krueng Seuneuam serta berbatasan langsung dengan perairan pantai Samudera Indonesia (Tim Peneliti Unsyiah, 2013).

Hasil Tim Monitoring YLI-AFEP (2008) menemukan bahwa di areal Hutan Rawa Gambut Tripa dijumpai lebih dari 300 jenis tumbuhan sebagai makanan satwa dan bernilai ekonomis tinggi. Diantaranya adalah tumbuhan khas yang tumbuh di areal Hutan Rawa Gambut Tripa, seperti Cemenggang (Nessia sp) dan Malaka (Tetrameristra glabra) yang merupakan makanan utama Orangutan, Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea sp), Pulai (Alstonia sp) dan berbagai jenis tumbuhan bernilai ekonomis tinggi lainnya. Selain itu, Rawa Tripa juga merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka, diantaranya orang utan (Pongo abelii), Mentok Rimba (Cairina scutulata), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Beruang Madu (Helarctos mala-yanus), Burung Rangkong (Buceros sp) dan berbagai jenis satwa lainnya. Hasil penelitian Prof. Carel van Schaik pada tahun 1996 dalam Tim Monitoring YLI-AFEP (2008) menemukan bahwa jumlah populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam areal Hutan Rawa Gambut Tripa, Kluet dan Singkil, yaitu sebesar 7.6 individu/kilometer persegi.

Pemberian izin perkebunan kelapa sawit kepada beberapa perusahaan seperti PT. Kalista Alam, PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Patriot Guna Sakti Abadi, PT. Cemerlang Abadi dan PT. Agra Para Citra yang diambil alih oleh PT. Astra Agro Lestari telah menyebabkan konversi areal Hutan Rawa Gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit. Konversi lahan tersebut telah menyebabkan berbagai perubahan lingkungan, yang utamanya disebabkan oleh proses land clearing dan pengeringan rawa untuk kepentingan budidaya kelapa sawit.

H

Page 2: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

111 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Dampak lingkungan yang terjadi akibat konversi lahan tersebut diantaranya adalah penurunan muka air tanah sebesar 5-10 cm per tahun, terganggunya fungsi penyimpanan karbon, rusaknya habibat flora dan fauna, intrusi air laut dan terganggunya fungsi tata air yaitu meningkatnya potensi banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau (Abidin 2012). Dampak negatif lain adalah terjadi kebakaran lahan, akibat maraknya praktek land clearing dengan menggunakan metode pembakaran. Selain dampak negatif dibidang lingkungan, konversi areal Hutan Rawa Gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit juga memberikan manfaat sosial ekonomi bagi pembangunan daerah secara umum dan bagi masyarakat di sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa. Manfaat sosial ekonomi paling besar adalah kesempatan kerja, berkembangnya budidaya sawit oleh masyarakat dan sumbangan pajak atau retribusi kepada pemerintah daerah.

Dengan demikian di areal Hutan Rawa Gambut Tripa sedang terjadi paradok dan pertarungan antara kepentingan pelestarian lingkungan dan kepentingan ekonomi. Secara ideal, antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan, sehingga terjadi proses pemanfaatan areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang berkelanjutan. Langkah awal dalam mewujudkan pemanfaatan areal Hutan Rawa Gambut Tripa secara berkelanjutan adalah dengan mengetahui nilai ekonomi total dari areal Hutan Rawa Gambut Tripa. Dengan pendekatan ekonomi total, kebijakan yang hanya mementingkan manfaat langsung ekonomi bisa dihindarkan, karena manfaat ekonomi jasa lingkungan juga akan turut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

II. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP STUDI

Kajian jasa ekosistem dan isu sosial budaya bertujuan untuk :

(1) Mengidentifikasi nilai penting, manfaat dan permasalahan yang timbul pada areal Hutan Rawa Gambut Tripa

(2) Memandu arah kebijakan dan akuntabilitas pemanfaatan berkelanjutan areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

(3) Menyusun indikator pemanfaatan berkelanjutan areal Hutan Rawa Gambut Tripa. Pengetahuan mengenai nilai ekonomi, fungsi, manfaat dan intensitas dampak areal Hutan Rawa Gambut Tripa

(4) Memperbaiki standar untuk mengukur pemanfaatan berkelanjutan areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

Ruang lingkup dari kajian jasa lingkungan dan isu-isu sosial budaya di areal Hutan Rawa Gambut Tripa diantaranya adalah :

(1) Latar belakang terjadinya konversi dari rawa menjadi perkebunan kelapa sawit (2) Melakukan identifikasi hot spot (titik api) (3) Evaluasi terhadap manajemen kebakaran hutan berbasis komunitas dan

relevansinya dengan Posko Pengendalian Kebakaran Hutan (Posko Dalkarhut) (4) Mengkaji dampak konversi areal Hutan Rawa Gambut Tripa terhadap fungsi

lingkungan khususnya banjir, kekeringan, kebakaran, lain-lain. (5) Valuasi jasa lingkungan, baik nilai ekonomi maupun nilai lingkungan

Output kajian ini adalah dokumen rekomendasi kebijakan dan rencana aksi pengelolaan areal Hutan Rawa Gambut Tripa secara lestari berdasarkan pendekatan nilai ekonomi total dan isu-isu sosial budaya.

Page 3: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 112

LAPORAN UTAMA

III. METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu Kajian

Studi dilaksanakan pada 13 (tiga belas) Desa dari 3(tiga) Kecamatan yang dipilih sebagai sampel yaitu dua kecamatan yang ada di Kabupaten Nagan Raya yaitu Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tripa Timur, serta satu kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat Daya yaitu Kecamatan Babah Rot. Ke tiga kecamatan tersebut dipilih karena berdekatan areal studi Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF). Kegiatan studi dilaksanakan pada tanggal 15-25 Juli 2013. Data selengkapnya tentang lokasi pengambilan data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Lokasi Pengambilan Data Kajian

No Nama Desa Kecamatan Kabupaten PT. Sekitar

1 Alue Kuyun Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. ASTRA 2. PT. Gelora Sawita

Makmur (GSM) 2 Kuala Semanyam Darul Makmur Nagan Raya 1. PT.Kallista Alam 3 Ladang Baro Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. Kallista Alam 4 Blang Luah Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. Kallista Alam

2. PT. Fajar Baizury 5 Ujung Tanjung Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. ASTRA

2. PT. Socfindo 6 Alue Bateung Brok Darul Makmur Nagan Raya 1. Kallista Alam 7 Pulo Kruet Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. ASTRA

2. PT. GSM 8 Sumber Makmur Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. Agro Maju Raya

2. CV. Delima 9 Mekarti Jaya Darul Makmur Nagan Raya 1. PT. ASTRA 10 Pante Cermin Babah Rot ABDIYA 1. PT. GSM 11 Cot Simantok Babah Rot ABDIYA 1. PT. GSM

2. PT. Cemerlang Abadi 12 Kuala Tripa Tripa Makmur Nagan Raya 1. PT. Fajar Baizury 13 Babah Lueng Tripa Makmur Nagan Raya 1. PT. GSM

2. PT. Fajar Baizury 3. PT. ASTRA

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah kuisioner dan alat yang digunakan adalah kamera dan GPS.

C. Pendekatan Kajian

Kajian jasa ekosistem dan isu sosial budaya dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:

Ruang Lingkup Pendekatan Metode Analisis

Latar belakang terjadinya konversi dari rawa menjadi perkebunan kelapa sawit

Sejarah dan kejadian penting

Analalisis data primer dan sekunder

Melakukan identifikasi hot spot (titik api) Interpretasi Citra dan sebaran hotspot

Analisis data sekunder

Page 4: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

113 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Evaluasi terhadap manajemen kebakaran hutan berbasis komunitas dan relevansinya dengan Poskolakdalkarhutla

Organisasi dan kelembagaan

Analaisis data primer dan sekunder

Mengkaji dampak konversi rawa tripa terhadap fungsi lingkungan khususnya banjir, kekeringan, kebakaran, dll

Checlist Analaisis data primer dan sekunder

Valuasi jasa lingkungan, baik nilai ekonomi maupun nilai lingkungan

Nilai ekonomi total Analisis manfaat langsung dan tidak langsung

D. Tinjauan Teoritis

Analisis Dampak

Impact atau dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan pembangunan proyek dengan lingkungannya. Pengertian mengenai istilah lingkungan tidak terbatas pada lingkungan alam, tetapi lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup yang diperjelas bedasarkan obyek seperti lingkungan hidup manusia, lingkungan hidup gajah, ataupun lingkungan masyarakat desa sekitar hutan. Dalam bentuk skema pengertian dampak seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Terjemahan dari Istilah Dampak

Pendugaan dampak digunakan sebagai terjemahan dari assessment. Beberapa ahli dari Indonesia menggunakan terjemahan perkiraan atau peramalan. Pendugaan dampak dapat diartikan sebagai aktivitas untuk menduga dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat dari suatu aktivitas manusia (proyek). Dampak yang diduga tersebut merupakan perbedaan tata nilai lingkungan atau nilai suatu sumberdaya di masa yang akan datang antara lingkungan tanpa proyek dan lingkungan dengan proyek.

Analisis dampak perlu dilakukan karena dua hal, yaitu :

(1) Analisis dampak harus dilakukan untuk proyek yang akan dibangun karena undang – undang dan peraturan pemerintah menghendaki demikian. Apabila pemilik atau pemrakarsa proyek tidak melakukannya, maka akan melanggar undang – undang dan besar kemungkinan perizinan untuk membangun proyek tersebut tidak akan didapat, atau akan menghadapi pengadilan yang dapat memberikan sangsi – sangsi yang tidak ringan.

(2) Analisis dampak harus dilakukan agar kualitas lingkungan tidak rusak karena adanya proyek.

Dengan dasar filosofi bahwa penyebab timbulnya pencemar yang harus membayar maka pemrakarsa proyek haruslah membiayai atau menyelenggarakan analisis dampak, begitu pula dengan pengendalian dampak negatif harus sampai batas – batas tertentu yang

PROYEK LINGKUNGAN

DAMPAK

Page 5: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 114

LAPORAN UTAMA

ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk Baku Mutu, dan merupakan tanggung jawab yang harus dibiayai oleh pemrakarsa proyek, karena dirasakan kurang adil jika masyarakat di sekitar proyek yang harus membayar akibat adanya dampak negatif proyek tersebut. Dengan adanya proyek pada dasarnya masyarakat juga mendapat berbagai dampak positif, seperti sumber pekerjaan baru, fasilitas – fasilitas baru dan sebagainya yang dapat ikut diminati, sehingga masyarakat pun harus ikut mengelola lingkungannya. Tetapi dampak positif yang di dapat sering jauh lebih kecil daripada dampak negatifnya. Apabila proyek tersebut kurang mampu atau terbatas kemampuannya maka pemerintah pusat atau pemerintah daerah harus ikut campur secara aktif untuk mengurangi dampak negatif tersebut.

Analisis dampak bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari proses analisis dampak yang lebih besar dan lebih penting sehingga analisis dampak dikatakan merupakan bagian dari : (1) pengelolaan lingkungan, (2) pemantauan lingkungan, (3) pengelolaan proyek, (4) pengambilan keputusan, (5) dokumen yang penting, dan (6) lainnya.

Salah satu peraturan perundangan yang mengatur tentang analisis dampak adalah Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal I undang-undang tersebut menjelaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan yang sangat besar, karena berdasarkan pasal 63 ada 26 kewenangan pemerintah, mulai dari menetapkan kebijakan nasional, menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, menerbitkan izin sampai kepada menetapkan wilayah ekoregion dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. Peraturan lainya yang mengatur tentang analisis dampak adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2012 Izin Lingkungan.

Menurut Warner dan Bromley (1947) dalam buku Analisis Dampak Lingkungan karya F. Gunarwan Suratmo klasifikasi metode analisis dampak bedasarkan caranya dampak ditetapkan terbagi menjadi lima yaitu : adhoc, overlays, checklist, matrices, dan networks.

Metode Ad Hoc adalah metode yang sangat sedikit memberikan pedoman – pedoman cara melakukan pendugaan bagi anggota timnya. Tiap sub – tim atau tiap anggota tim dapat lebih bebas menggunakan keahliannya dalam melakukan pendugaan. Komponen lingkungan yang digunakan biasanya bukan komponen yang detail, misalnya seperti leopold, tetapi lebih merupakan bidang yang luas. Misalnya dampak pada danau, dampak pada hutan. Menurut sejarah perkembangan analisis dampak, metode ini dipakai pada permulaan orang menggunakan analisis dampak. Metode ini relatif mudah, singkat, tetapi kurang keterpaduan dari disiplin – disiplin ilmu yang terlibat.

Metode overlays atau metode penampalan adalah proyek yang menggunakan sejumlah peta di tempat proyek yang akan dibangun dan daerah sekitarnya yang setiap peta menggambarkan komponen – komponen lingkungan yang lengkap, yang meliputi aspek fisik – kimia, biologi, sosial – ekonomi, dan sosial – budaya. Penggabungan dalam bentuk penampalan akan menunjukan kumpulan atau susunan dari keadaan lingkungan daerah tersebut. Dampak pada tiap komponen lingkungan dari suatu peta pun akan terlihat sebagai dampak lingkungan secara keseluruhannya, tetapi kelemahannya adalah apabila

Page 6: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

115 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

komponen yang diteliti lebih banyak, maka penampalan peta plastik sudah tidak dapat dipakai dan dibutuhkan bantuan komputer. Metode penampalan ini pada mulanya dikembangkan untuk perencanaan dan arsitek pemandangan (landscape).

Metode Checklist merupakan metode dasar yang banyak digunakan untuk mengembangkan metode – metode lain. Pada prinsipnya metode ini sangat sederhana dan berbentuk sebagai daftar komponen lingkungan yang kemudian digunakan menentukan komponen mana yang terkena dampak. Pada awal dari perkembangan metode ini tidak diperlukan aktivitas – aktivitas proyek yang menyebabkan dampak; juga tidak harus ditentukan bagaimana cara mengukur dan menginterpretasi komponen tersebut. Pada awal perkembangan metode checklist ini memang sangat sederhana, tetapi kemudian dikembangkan terus sehingga dapat memecahkan atau mencarikan pemecahan masalah dari metode lain.

Metode matrices atau metode matriks sebenarnya hanyalah merupakan bentuk checklist dua dimensi yang menggunakan satu jalur untuk daftar komponen lingkungan sedangkan lajurnya untuk daftar aktivitas dari proyek atau dapat juga dibalik isi dari jalur dan lajur. Dengan bentuk matriks tersebut maka dapat ditetapkan interaksi antara aktivitas proyek dengan lingkungannya atau dapat diketahui sebab – sebab yang terjadi dalam dampak. Kelemahan yang dimiliki metode ini adalah tidak dapat menunjukan aliran dampak atau hubungan antara komponen lingkungan atau dengan kata lain dampak tidak langsung tidak digambarkan.

Metode network dapat juga disebut sebagai metode aliran atau aliran dampak (impact flow) atau jaringan kerja adalah metode yang disusun berdasarkan suatu daftar aktivitas proyek yang saling berhubungan dan komponen – komponen lingkungan yang terkena dampak. Dari kedua daftar tersebut disusun lagi hingga dapat dapat menunjukan aliran dampak yang dimulai dari suatu aktivitas proyek.

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sementara kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Definisi lain menyebutkan kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis, pengembangan ilmu pengetahuan dan atau nilai lingkungan hidup. Kebakaran lahan adalah suatu keadaan dimana lahan dilanda api sehingga menimbulkan kerusakan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis,pengembangan ilmu pengetahuan dan atau ekologis/lingkungan hidup. Sedangkan pembakaran adalah suatu proses kebakaran yang penjalaran apinya tidak bebas dan berada dibawah kendali (Saharjo, 2012).

Perilaku api dipengaruhi oleh unsur-unsur dalam segitiga lingkungan api, yaitu bahan bakar, cuaca, dan topografi. Karena itu, perilaku api selalu berubah menurut waktu, ruang, atau keduanya yang berhubungan dengan perubahan unsur-unsur lingkungan tersebut (Pyne et al. 1996 dalam Saharjo, 2012). Tipe bahan bakar hutan adalah : 1) bahan bakar bawah (ground fuels) seperti akar pohon, kayu yang membusuk dan gambut 2) Bahan bakar permukaan (surface fuels) seperti serasah, kulit pohon, cangkang biji, rumput-rumputan, semak belukar, anakah pohon, log-log sisa tebangan dan tunggak pohon 3) Bahan bakar atas (crown fuels/aerial fuels) seperti cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak serta pohon mati yang masih tetap berdiri. Tahapan proses pembakaran adalah pra penyalaan, penyalaan, pembaraan, pemijaran dan tanpa nyala.

Page 7: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 116

LAPORAN UTAMA

Kebakaran di hutan rawa gambut pada umumnya diawali kebakaran permukaan kemudian diikuti kebakaran bawah dan tajuk. Kebakaran di bawah permukaan ini sulit untuk diamati sehingga tanpa diduga dapat menyebar membakar areal yang luas dan kebakaran bisa terjadi dalam waktu yang lama (Rachmawati,2008). Terkait dengan isu perubahan iklim, cadangan karbon yang tersimpan di dalam gambut di Indonesia adalah sekitar 132 (seratus tiga puluh dua) gigaton karbondioksida equivalen (CO2e) di bawah permukaan serta 4,2 (empat koma dua) gigaton karbon di atas permukaan. Namun apabila gambut terbakar dan drainase, maka karbon yang tersimpan kemudian akan terlepas ke atmosfir dan menjadi gas rumah kaca yang dapat mengganggu kestabilan iklim. Suatu studi menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut tidak saja melepaskan karbon ke atmosfir, tetapi juga merupakan sumber utama pencemaran asap, sehingga menyebabkan kerugian regional lebih dari US $ 9 (sembilan) miliar dan telah menimbulkan kerugian bagi setidaknya 75 (tujuh puluh lima) juta orang. Tentu saja jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari penghematan finansial kegiatan pembukaan lahan dengan menggunakan pola pembakaran (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Gambut).

Konsep Penggunaan Valuasi Ekonomi

Eksternalitas merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Keberadaannya menyita perhatian karena lingkungan sering menjadi korban dari adanya eksternalitas negatif. Untuk menyelesaikan kasus eksternalitas, para ekonom menawarkan tiga alternatif pendekatan (Fauzi, 2004). Ketiga alternatif tersebut adalah (1) proses internalisasi, (2) pembebanan pajak, dan (3) pemberian hak kepemilikan (property right).

Internalisasi merupakan upaya memasukan biaya eksternal yang diakibatkan oleh suatu kegiatan produksi maupun konsumsi. Dengan kata lain penghasil eksternalitas negatif memperhitungkan biaya sosial (social cost) dalam struktur biaya produksinya. Sementara pembebanan pajak/retribusi ditarik oleh pemerintah terhadap penghasil eksternalitas negatif. Sedangkan pemberian hak kepemilikan diberikan kepada pihak yang dirugikan. Jika pihak yang dirugikan diberikan hak kepemilikan, misalnya hak untuk mendapatkan udara bersih, dimana hak tersebut dapat diklaim maka ia dapat menjual hak tersebut kepada penghasil eksternalitas negatif.

Ketiga pendekatan ini pada akhirnya bermuara pada satu persoalan, yaitu berapa nilai eksternalitas. Internalisasi biaya eksternalitas membutuhkan pengetahuan berapa biaya eksternal yang harus diperhitungkan. Begitupun dalam penetapan besaran pajak/retribusi pemerintah harus memiliki dasar, berapa nilai yang pantas yang harus dibebankan kepada penghasil eksternalitas negatif. Demikian juga dalam penjualan hak atas lingkungan bersih kepada pihak penghasil eksternalitas negatif diperlukan nilai/harga klaim yang pantas. Disinilah letak pentingnya valuasi ekonomi lingkungan sebagai alat untuk dapat memberikan nilai atau jasa-jasa lingkungan yang selama ini tidak mendapatkan penilaian yang semestinya.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan meliputi data primer dan sekunder. Kedua jenis data bersumber dari perusahaan, institusi pemerintahan, institusi formal non pemerintahan, institusi non formal dan masyarakat. Data yang dikumpulkan diikuti dengan proses verifikasi lapangan.

Page 8: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

117 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder berasal dari berbagai sumber data series tahunan yang relevan, bila tidak tersedia, maka digunakan data yang paling mutakhir. Bentuk data dan informasi serta sumber data yang relevan tersebut berupa Statistik Kabupaten Nagan Raya, Statistik Kabupaten Aceh Barat Data, Statistik Kecamatan Darul Makmur, Tripa Timur dan Babah Rot serta dokumen lainnya yang relevan.

Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi, FGD dan wawancara, berdasarkan keterwakilan aspek sosial ekonomi, wilayah kerja, maupun pola hubungan interaksi dengan lokasi kegiatan perusahaan.

(1) Observasi Lapang

Observasi lapang dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dapat mewakili realitas di lapangan; dan

(2) Menggali informasi lebih dalam melalui pengamatan langsung di lapangan tentang berbagai hal yang menyangkut kondisi sosial ekonomi di dalam dan di sekitar Rawa Tripa

(3) Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk menggali informasi, permasalahan, keinginan, dan harapan masyarakat terkait Rawa Tripa. FGD dan wawancara dilakukan terhadap masyarakat di 12 desa

Wawancara dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu wawancara terstruktur dan semi terstruktur.

(1) Wawancara terstruktur

Wawancara terstruktur dilakukan menggunakan kuesioner sebagai bahan panduan wawancara. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan contoh disengaja (purposive sampling), dengan pembatasan kuota (quota control) yang mempertimbangkan keragaman karakteristik populasi di setiap desa,yaitu meliputi matapencaharian utama, status kependudukan (asli atau pendatang), dan lain-lain.

(2) Wawancara semi terstruktur

Wawancara semi terstruktur dilakukan terhadap responden kunci (key persons), menggunakan panduan wawancara (interview guidance). Tujuannya untuk mengetahui suatu permasalahan secara lebih mendalam sesuai bidang keahlian atau kewenangan dari responden yang dijadikan sebagai responden kunci. Dengan demikian pemilihan responden untuk wawancara dengan responden kunci (key persons) dilakukan dengan pengambilan contoh disengaja (purpossive sampling) bukan pengambilan contoh acak (random sampling).

F. Analisis Data

Data sekunder maupun data primer yang dikumpulkan dianalisis dengan perpaduan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan melalui pembacaan terhadap tabel frekuensi. Kelemahan metode kuantitatif hanya membaca data dan cenderung lemah dalam intepretasi dan perlu dilengkapi dengan analisis kualitatif. Analisis kualitatif yang memberikan penekanan pada pendeskripsian atau

Page 9: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 118

LAPORAN UTAMA

penggambaran berbagai fakta dan hubungan antar variabel yang ditemukan di lapangan akan memberikan berbagai penjelasaan yang muncul dari fakta-fakta kuantitatif.

F. Teknik Valuasi Ekonomi

Pendekatan Nilai Ekonomi Total

Penilaian atau valuasi terhadap keberadaan suatu sumber daya alam di area Rawa Tripa dilakukan dengan menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV). Objek sumber daya alam yang divaluasi dengan pendekatan TEV.

Perhitungan TEV dalam valuasi sumber daya alam didasarkan pada pendapat Pearce and Kerry (1990) dengan menggunakan penyesuain terhadap komponen di dalamnya dimana TEV terdiri dari nilai penggunaan atau Use Value (UV) dan nilai non penggunaan atau Non Use Value (NUV). Nilai penggunaan dapat dibagi menjadi nilai penggunaan langsung atau Direct Use Value (DUV) dan nilai penggunaan tidak langsung atau Indirect Use Value (IUV). Sedangkan nilai non penggunaan atau Non Use Value (NUV) didekati dengan nilai keberadaan atau Existence Value (EV), Option Value (OP) dan Bequest Value (BV) sehingga TEV dapat dituliskan sebagai berikut :

TEV = UV + NUV

TEV = DUV + IUV + EV + OP + BV

di mana : TEV = Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) UV = Nilai Penggunaan (Use Value) NUV = Nilai non penggunaan (Non Use value) DUV = Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value) IUV = Nilai Penggunaan tak langsung (Indirect Use Value) EV = Nilai keberadaan (Existence Value) OP = Nilai Pilihan (Option Value) BV = Nilai Warisan (Bequest Value)

Identifikasi Kawasan dan Manfaat Kawasan

Sebelum melakukan pemilihan teknik valuasi mana yang digunakan, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi jenis kawasan sumber daya alam dan identifikasi manfaat dari masing-masing kawasan sumber daya alam tersebut. Adapun teknik valuasi dalam pekerjaan ini disesuaikan dengan keberadaan kawasan sumber daya alam yang ada di lokasi studi seperti Kawasan Hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Berdasarkan identifikasi jenis kawasan, langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi manfaat dari masing-masing kawasan sumber daya alam tersebut. Berikut identifikasi manfaat kawasan disajikan pada Tabel 2.

Page 10: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

119 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 2. Identifikasi Manfaat Kawasan

No Areal Value Manfaat

1. Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

Nilai Guna Langsung (direct use value)

tegakan pohon, kayu bakar, rotan, perkebunan, sawah dan ladang

Nilai Guna Tidak Langsung (indirect use value)

penyerapan air, oksigen, carbon offset

Nilai Pilihan (option value) sumber daya genetik, wisata alam

Nilai Keberadaan (existence value)

keanekaragaman hayati

Nilai Warisan (bequest value)

habitat spesies, tradisi budaya

2. DAS Tripa, Seumayam, Batee dan Seunaam

Nilai Guna Langsung (direct use value)

Ikan, Pasir, Kerang, Air Kebutuhan rumahtangga

Nilai Guna Tidak Langsung (indirect use value)

Penahan banjir dan erosi

Nilai Pilihan (option value) spesies, keanekaragaman hayati Nilai Keberadaan

(existence value) Simbol budaya/wilayah

Nilai Warisan (bequest value)

habitat spesies

(a) Penilaian Ekonomi Kawasan

Setelah dilakukan identifikasi kawasan dan manfaat yang dihasilkan oleh masing-masing kawasan, selanjutnya adalah menghitung nilai Ekonomi Kawasan yang digunakan untuk melakukan kuantifikasi setiap manfaat tersebut dengan pendekatan pasar dan non-pasar antara lain :

Pendekatan Market Value

Pendekatan market value merupakan valuasi ekonomi yang menggunakan pendekatan harga pasar dalam output penggunaan sumber daya. Pada metode ini nilai suatu barang atau jasa yang dihasilkan suatu sumberdaya alam dihitung berdasarkan current price. Pendekatan ini mencerminkan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Pada pekerjaan ini, pendekatan Market Value digunakan untuk menghitung Direct Use Value (DUV) dan Indirect Use Value (IUV) pada beberapa jenis sumberdaya di antaranya ;

(1) Menghitung nilai ekonomi tegakan pohon, nilai oksigen dan carbon offset yang dihasilkan oleh sumberdaya hutan

(2) Menghitung harga pasaran air baku mutu, hasil-hasil budidaya, hasil penangkapan ikan, dan pemanfaatan lainnya dari kawasan hutan dan sungai di rawa tripa

(3) Menghitung nilai ekonomi barang atau jasa lainnya yang dihasilkan suatu kawasan

Secara matematik perhitungannya adalah sebagai berikut :

N = ii

PX *

di mana :

N = nilai ekonomi barang/jasa yang dihasilkan sumberdaya alam (Rp) X = barang/jasa yang dihasilkan sumberdaya alam (unit)

Page 11: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 120

LAPORAN UTAMA

P = harga pasar dari barang/jasa (Rp/unit) i = barang/jasa i yang dihasilkan sumberdaya alam

Contingent Valuation Method (CVM)

Metode CVM digunakan untuk menghitung nilai dari suatu barang atau jasa yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan jika pasarnya betul-betul tersedia atau jika ada cara-cara pembayaran lain seperti pajak diterapkan. Dengan demikian CVM menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness To Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan atau berapa besarnya minimum Willingness To Accept (WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan.

Pada penelitian ini, CVM akan digunakan untuk menghitung besarnya nilai manfaat dari suatu sumberdaya alam yang ada di lokasi studi (hutan dan sungai) dengan cara menghitung besarnya nilai WTP masyarakat yang menggunakan barang dan jasa sumber daya tersebut seperti menduga nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan.

Menurut Hanley dan Spash (1993), beberapa tahap dalam penerapan analisis CVM, yaitu:

1) Membuat Pasar Hipotetik (Setting Up the Hypothetical Market)

Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik dan pertanyaan mengenai nilai barang/jasa lingkungan. Pasar hipotetik tersebut membangun suatu alasan mengapa masyarakat seharusnya membayar terhadap suatu barang/jasa lingkungan dimana tidak terdapat nilai dalam mata uang berapa harga barang/jasa lingkungan tersebut. Dalam pasar hipotetik harus menggambarkan bagaimana mekanisme pembayaran yang dilakukan. Skenario kegiatan harus diuraikan secara jelas dalam kuisioner sehingga responden dapat memahami barang lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan masyarakat dalam rencana kegiatan. Selain itu, di dalam kuisioner juga perlu dijelaskan perubahan yang akan terjadi jika terdapat keinginan masyarakat membayar.

2) Mendapatkan Nilai Lelang atau Penawaran (Obtaining Bids)

Setelah kuisioner selesai dibuat, maka dilakukan kegiatan pengambilan sampel untuk mendapatkan nilai lelang atau penawaran. Besarnya penawaran terhadap manfaat sumber daya alam diperoleh dari kesediaan masyarakat membayar atas manfaat yang diberikan oleh sumber daya alam (WTP). Pada pekerjaan ini dilakukan melalui wawancara dengan tatap muka. Wawancara dilakukan secara detail untuk mengurangi kemungkinan bias yang terjadi.

3) Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP (Calculating Avarage WTP)

Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah memperoleh nilai tengah (median) dan nilai rata-rata (mean) dari WTP tersebut. Nilai tengah digunakan apabila terjadi rentang nilai penawaran yang terlalu jauh. Namun pada pekerjaan ini, digunakan nilai rata-rata karena selang nilai WTP tidak terlalu jauh.

4) Memperkirakan Kurva WTP (Estimating Bid Curve)

Sebuah kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut sebagai variabel independen. Kurva WTP ini dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan nilai WTP

Page 12: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

121 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

karena perubahan sejumlah variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Variabel bebas yang mempengaruhi nilai WTP contohnya antara lain tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan beberapa variabel yang mengukur kualitas lingkungan. Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dapat berkorelasi linier dengan bentuk persamaan umum sebagai berikut :

44332211

XXXXWTPij

dimana :

WTPij = WTP individu i terhadap sumber daya alam j α = konstanta X1 = pendapatan selama sebulan dalam satuan Rp/bulan (INCOME) X2 = tingkat pendidikan dalam satuan tahun (PEND) X3 = usia dalam satuan tahun (UMUR) X4 = jenis kelamin, 1=untuk laki-laki, 0=untuk perempuan (JK) Ε = error term β1, β2, β3, dan β4 = koefisien regresi kesediaan membayar (WTP) terhadap keberadaan sumber daya alam yang ada di lokasi studi.

5) Menjumlahkan Data (Aggregating Data)

Penjumlahan data merupakan proses dimana rata-rata penawaran dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Bentuk ini sebaiknya termasuk seluruh komponen dari nilai relevan yang ditemukan seperti nilai keberadaan dan nilai penggunaan.

6) Mengevaluasi Penggunaan CVM (Evaluating the CVM)

Tahap ini mengevaluasi sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil dilakukan. Penilaian dilakukan dengan memberikan pertanyaan seberapa jauh responden mengerti atau memahami tentang berbagai hal yang berkaitan dengan barang atau jasa lingkungan suatu sumber daya alam. Evaluasi CVM secara tidak langsung juga dapat dilakukan dengan melihat hasil uji statistik melalui parameter dan koefisien determinasi (R2) hasil regresi.

(b) Replacement Cost Method (RCM)

Penggunaan teknik valuasi ini dimungkinkan dengan terlebih dahulu

Biaya pengerukan lumpur akibat sedimentasi sungai sebagai proksi dari fungsi ekologis DAS sebagai penahan banjir dan erosi lahan mengetahui fungsi-fungsi (biologis ekosistem dan non-biologis ekosistem) yang dijalankan oleh suatu sumberdaya untuk kemudian diperhitungkan besarnya biaya pengganti yang diperlukan untuk mengganti fungsi-fungsi tersebut. Dalam penelitian ini, pendekatan terhadap fungsi-fungsi biologis ekosistem dan non ekosistem yang digunakan antara lain ;

Biaya pemurnian air yang sudah keruh

Adapun model perhitungan replacement cost dari fungsi keberadaan suatu sumberdaya alam didasarkan pada biaya pengganti terhadap fungsi yang dihasilkan yang dapat ditulis sebagai berikut ;

Page 13: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 122

LAPORAN UTAMA

)(investmentproxRC

di mana :

RC = Replacement cost (Rp) Prox = proksi dari fungsi keberadaan kawasan sumber daya alam yang dihitung berdasarkan biaya investasi atau biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh fungsi tersebut.

(c) Effect on Production Approach: EoP

Konsep dasar pendekatan produktivitas memandang sumberdaya sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat luas. Banyak teknik valuasi EoP yang dapat digunakan, diantaranya adalah Analisis Ekologi-Ekonomi, dengan persamaan sebagai berikut :

1,13

2

2,1,10 )ln()ln( tttitti CEMEMC

di mana :

Cit = nilai estimasi hasil produksi kawasan Ct = hasil produksi Mt = luas kawasan yang dinilai Et = upaya atau biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk

xPCEoPV it

di mana :

EoPV = nilai ekologi-ekonomi kawasan Pt = harga satuan komoditas produk

Langkah-langkah penilaian dalam EoP dengan Analisis Ekologi Ekonomi:

Identifikasi kawasan dan hitung luas kawasan;

Identifikasi hasil produksi kawasan, misalnya jumlah produksi udang di suatu wilayah mangrove atau wetland;

Identifikasi dan hitung upaya/biaya yang dikeluarkan untuk mengasilkan produk

Hitung nilai ekologi-ekonomi kawasan.

Analisis Regresi

Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap suatu variabel misalnya besarnya WTP pada penelitian ini digunakan pendekatan ekonometrika. Pendekatan ekonometrika merupakan suatu pendekatan yang mencoba mencari hubungan struktural antara masing-masing variabel penjelas (explanatory variables) terhadap peubah endogen (dependent variable). Dalam membangun model ekonometrik, teori ekonomi akan menjadi panduan atau landasan utama karena tanda dan besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter harus sesuai dengan teori tersebut.

Page 14: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

123 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa kriteria suatu model yang terandalkan harus memenuhi tiga tolok ukur, yaitu (1) memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful) dan (2) secara statistik dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria statistik yang sering digunakan adalah derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik (statistically significant). Kemudian kriteria (3) adalah kriteria ekonometrika yang menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, dan efficiency.

Model ekonometrika yang digunakan adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara peubah tidak bebas dengan peubah bebasnya. Dalam memudahkan analisis, setiap persamaan dinyatakan dalam bentuk linier yang secara umum dituliskan sebagai berikut :

Y = o + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 X4 +…+ n Xn +

dimana :

Y = Variabel tak bebas (dependent variable) X = Variabel bebas n = jumlah variabel bebas hingga ke-n

= error term

Evaluasi Model

Evalusi model dari setiap metode estimasi dilakukan melalui pengujian berdasarkan kriteria ekonomi, pengujian secara statistik dan kriteria ekonometrika. Evaluasi model berdasarkan kriteria ekonomi dapat dilakukan dengan melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas. Dengan demikian sebelum dilakukan estimasi model, perlu disusun hipotesis agar dapat dibandingkan dengan hasil estimasi, sehingga dapat diketahui apakah hasil estimasi tersebut telah sesuai secara ekonomi. Untuk evaluasi model berdasarkan kriteria statistika dapat dilakukan dengan cara uji normalitas data, uji koefisien regresi (uji t), dan uji statistik R2. Sementara Kriteria ekonometrika yaitu dengan melakukan uji pelanggaran asumsi OLS (ordinary least square) untuk menghasilkan model yang BLUE (Best Linier Unbias Estimator), yaitu dengan cara uji Multicolliniearity Test, Serial Correlation dan Heteroscedasticity Test.

1) Uji Normalitas Data

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah error term terdistribusi normal atau tidak. Biasanya jika data > 30 observasi maka error term terdistribusi normal (rule of thumbs). Namun secara teoritis, sebelum melakukan regresi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Uji ini disebut Jarque – Bera Test. Jika Jarque-Bera < χ2 df=2 atau probability (P-Value) > α, maka error term terdistribusi normal.

2) Uji F

Uji F ditujukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya atau tidak. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam Uji F adalah sebagai berikut :

Perumusan Hipotesis

H0 : β1 = β2 = …. = βk = 0

H1 : minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol

Page 15: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 124

LAPORAN UTAMA

Perhitungan nilai F-statistik. F-statistik ini dapat diperoleh dari perhitungan komputer atau dengan manual dengan menggunakan formulasi berikut.

Bandingkan F-statistic dengan F-Tabel pada α atau bandingkan probabilitas F-statistic (prob(F-statistic)) dengan α (taraf nyata 5 %).

Jika F-statistic > F-tabel pada α atau prob (F-statistic) < α (0.05), maka terima H1. Artinya, variabel-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya.

3) Uji t

Uji t dalam beberapa buku disebut sebagai uji statistik parsial. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing parameter bebas yang dipakai berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas. Langkah-langkah analisisnya antara lain (Koutsoyiannis,1977).

Perumusan hipotesis

H0 : β = β0 atau variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Yi)

H1 : β ≠ β0 atau variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Yi)

Perhitungan nilai t-statistik. T-statistik ini dapat diperoleh dari perhitungan komputer atau dengan menggunakan cara manual dengan menggunakan formula sebagai berikut:

dengan derajat bebas n – k

di mana :

= koefisien yang diestimasi

= standar error untuk n = jumlah pengamatan k = jumlah variabel bebas dalam model

Bandingkan dengan t-tabel yaitu nilai t pada df n – k dan taraf nyata α untuk one-tailed test dan α/2 untuk two-tailed test.

uji t-statistik juga dapat dilakukan dengan pendekatan p-value, p-value adalah peluang nilai t lebih besar dari tc .

Tolak hipotesis nol jika Artinya variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai variabel tidak bebas.

Tolak H0 atau dapat disimpulkan bahwa koefisien adalah signifikan jika p-value lebih kecil dari taraf nyata α (one tailed t-test) atau α/2 (two tailed t-test). Taraf nyata yang digunakan pada penelitian ini adalah sepuluh persen (10%).

Page 16: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

125 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

4) Uji Statistik R2 (Koefisien Determinasi)

Nilai R2 menunjukkan persentase variabel tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik model karena semakin besar keragaman peubah dependen yang dapat dijelaskan oleh peubah independen. Perhitungan R2 dapat dilakukan dengan mengikuti rumus berikut (Koutsoyiannis, 1977) :

0 ≤ R2 ≤ 1

di mana :

ESS = Error Sum Square atau Jumlah Kuadrat Galat RSS = Regression Sum Square atau Jumlah Kuadrat Regresi TSS = Total Sum Square atau Jumlah Kuadrat Total

= Variabel pengganggu (error term) dari model yang diestimasi Yt = Variabel dependen = Variabel dependen rata-rata

5) Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linier yang kuat antara variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Gejala multikolinearitas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 1999). Uji formal untuk menentukan ada atau tidaknya multikolinearitas dilakukan jika terdapat suatu keraguan apakah nilai koefisien determinasi termasuk tinggi atau tidak. Akan tetapi jika suatu model sudah dapat ditetapkan memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi, uji formal untuk menentukan multikolinearitas dapat dideteksi dari dampak yang ditimbulkan akibat adanya multikolinearitas. Untuk melihat adanya multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix antar variabel dalam model persamaan regresi. Multikolinearitas dalam pooled data dapat diatasi dengan memberikan pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan (Gujarati, 1999).

6) Uji Heteroskedastisitas

Dalam menurunkan suatu model OLS, diasumsikan bahwa residual ut terdistribusi secara identik dengan mean = 0 dan seluruhnya memiliki varian residual yang konstan, yaitu σ2

sebesar untuk setiap t. Asumsi varian residual ini disebut homoskedastisitas, yang berarti varian residual tersebar secara merata atau semua pengamatan memiliki penyebaran yang sama. Dalam kenyataannya, asumsi ini tidak selalu terpenuhi. Situasi tersebut dinamakan heteroskedastisitas. Hal tersebut akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.

Heteroskedastisitas dapat juga dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dibandingkan dengan sum square residual unweighted statistics maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. Masalah heteroskedastisitas tersebut dapat diatasi dengan metode white Heteroskedasticity yang diestimasi dengan GLS yang diperoleh dari program Eviews.

Page 17: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 126

LAPORAN UTAMA

Skenario Konservasi dan Analisis Biaya Manfaat

Pada penelitian ini, akan dihitung manfaat dan biaya ekonomi yang dihasilkan Hutan Rawa Tripa jika dilakukan skenario konservasi dengan luasan tertentu seperti yang tercantum pada Tabel 7. Perkiraan manfaat dan biaya tersebut dilakukan dengan pendekatan Analisis Biaya Manfaat yang dapat dituliskan sebagai berikut :

ECEBRatio /

EB = Total Manfaat Ekonomi EC = Total Biaya Ekonomi

Perkiraan manfaat keberadaan hutan rawa tripa dihitung dengan pendekatan Total Economic Value (TEV) berdasarkan hasil kajian Beukering, et al (2002) yang melakukan penilaian manfaat ekonomi ekosistem Leuser yang dilakukan konservasi. Sementara perkiraan biaya ekonomi dihitung berdasarkan besarnya biaya rehabilitasi yang diperlukan untuk kegiatan konservasi dan biaya peluang (opportunity cost) yang diperoleh dari nilai pemanfaatan langsung Hutan Tripa yang hilang karena areal lahan untuk kegiatan ekonomi dikonservasi menjadi hutan. Besarnya biaya rehabilitasi hutan per hektar menggunakan standar biaya pembangunan Hutan Tanaman Industri berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Nilai B/C > 1, menunjukkan kegiatan konservasi Hutan Rawa Tripa memiliki manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan tidak dilakukannya konservasi (existing condition) dan sebaliknya.

Tabel 3. Skenario Konservasi Hutan Rawa Tripa

No Skenario Luasan (Ha)

Skenario I (existing condition) 1. Hutan 12.455,45 2. Areal Konservasi 0 3. Kebun Sawit* 32.484,96 4. Kebun Masyarakat Selain Sawit 10.842,71 5. Pertanian 3.881,80 Skenario II (conservation) 1. Hutan 20.455,45 2. Areal Konservasi 5.000 3. Kebun Sawit 20.477,32 4. Kebun Masyarakat Selain Sawit 10.842,71 5. Pertanian 3.881,80

Sumber : Hasil Interpretasi Data Citra Satelit 2013 * areal yang dikonversi menjadi hutan dan areal konservasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Areal Hutan Rawa Gambut Tripa

Areal Hutan Rawa Gambut Tripa terdiri dari tiga kubah gambut yang berada di atas lapisan tanah liat. Kubah gambut yang dipisahkan dua sungai (Krueng Seuneuam dan Krueng Seamanyam) memotong area dari arah Timur Laut hingga ke Barat Daya. Seperti lahan gambut lainnya, kedalamannya sangat bervariasi dan tidak tersebar secara merata

Page 18: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

127 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

di tiap-tiap kubah. Asesmen lahan gambut bersama yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah-Bogor, ICRAF – World Agroforestry Centre, PanEco, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di Aceh menunjukkan kedalaman lahan gambut bervariasi mulai dari 1 meter hingga 5,05 meter.

Iklim di Aceh merupakan iklim tropis dengan tingkat kelembaban tinggi (80-90%) dengan suhu rata-rata 25°-27° C sepanjang tahun. Sejajar dengan permukaan laut, temperatur tahunan di Tripa sekitar 26° C dan tingkat kelembabannya lebih tinggi hingga lebih dari 90%. Kecepatan angin pada umumnya rendah, berkisar antara 1.5. – 2.5 m/detik, namun di daerah pesisir kecepatan angin tercatat lebih tinggi. Berdasarkan jangka waktu musim kemarau dan musim penghujan, Aceh terbagi menjadi 11 jenis curah hujan. Areal Hutan Rawa Gambut Tripa berada pada kelas A dengan curah hujan di atas 200 mm setidaknya selama 9 bulan berturut-turut. Bulan Agustus biasanya merupakan satu-satunya bulan yang paling kering. Kelas A mewakili kondisi paling basah di Aceh yang disebabkan hembusan angin dari Samudera Indonesia/Samudera Hindia dan cuaca mikro yang dihasilkan oleh lahan gambut itu sendiri. Curah hujan rata-rata per tahun di bagian pesisir barat di mana Areal Hutan Rawa Gambut Tripa berada berjumlah antara 3.000 mm sampai 5.000 mm (Binnie & Partners, 1986).

B. Profil Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Sekitar Areal Hutan Rawa Gambut Tripa

Berdasarkan data Badan Promosi dan Investasi Aceh Tahun 2013, di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa terdapat sekurang-kurangnya 6 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas izin konsesi bervariasi. Profil singkat perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Rawa Tripa disajikan pada Tabel 4.

C. Perkembangan Kebakaran Hutan di Provinsi Aceh

Berdasarkan data Statistik Kehutanan Tahun 2006, jumlah hotspot atau titik api di provinsi NAD antara periode 2003-2006 cenderung meningkat, dari 209 titik api pada tahun 2009 menjadi sekitar 1.667 titik api pada Tahun 2006. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa jumlah lahan yang terbakar di Provinsi NAD dalam kurun waktu tersebut cenderung meningkat.

Berdasarkan data Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2012, jumlah hotspot yang ditemukan dalam periode 2007-2011 relatif berfluktuatif dengan kecenderungan meningkat, namun jika dibandingkan dengan jumlah hotspot pada Tahun 2006 cenderung menurun. Mulai Tahun 2007, Departemen Kehutanan mengklasifikasikan jumlah hotspot berdasarkan dua lokasi, yaitu di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Berdasarkan klasifikasi tersebut (Tabel 5) jelas terlihat bahwa hotspot yang ditemukan di dalam kawasan hutan jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah hotspot yang ditemukan di luar kawasan hutan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan besar kebakaran yang terjadi di lahan milik perusahaan atau masyarakat lebih besar jika dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan hutan.

Data selengkapnya tentang jumlah titik api yang terdeteksi oleh satelit NOAA pada periode 2003-2006 disajikan pada Tabel 5.

Page 19: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 128

LAPORAN UTAMA

Tabel 4. Profil Perusahaan Perkebunan Sawit di Sekitar Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

No Nama Perusahaan Lokasi Luas Areal Kapasitas Produksi

1 PT. Fazar Baizury & Brothers

Melaboh Nagan Raya

5.380 ha 30 ton/jam

2 PT. Kalista Alam Kebun Suak Bahung, Kecamatan Darul Makmur, Kab. Nagan Raya, Desa Alue Batteung Brook

6.587 ha 30 ton/jam

3 PT.Gelora Sawit Makmur

Kab. Aceh Barat 10 ha Minyak sawit: 64.000 Ton Inti sawit: 16.000 Ton

4 PT. Cemerlang Abadi Kab. Aceh Barat Daya

1.485 ha Kelapa sawit 1.485 ton/tahun

5 PT.Patriot Guna Sakti Abadi

Kab. Aceh Barat Daya

8.645 ha -

6 PT.Astra Agro Lestasri Kab. Aceh Barat Daya

- -

Sumber : Badan Promosi dan Investasi Aceh, 2012

Tabel 5 Jumlah dan Sebaran Hotspot di Provinsi Aceh Periode 2003-2011

Tahun Jumlah Hotspot

Di Luar Kawasan Hutan

Di Dalam Kawasan Hutan Total

2003 - 209 2004 493 2005 560 2006 1667 2007 164 97 261 2008 742 182 924 2009 571 84 655 2010 234 51 285 2011 502 90 592

Sumber : Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2006 dan 2012

D. Sejarah Konversi Lahan di Sekitar Areal Hutan Rawa Gambut Tripa

Berdasarkan tulisan Darmansyah (2012), penemuan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa bersamaan dengan dibukanya lahan perkebunan kelapa sawit milik NV. Socfin (saat ini sudah berubah menjadi PT. Socfindo) pada sekitar awal tahun 1920 di daerah Seumayam dan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya yang pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Pilihan kebun di lokasi tersebut dimungkinkan karena keamanan yang sudah terjamin untuk investasi dan kondisi lahan yang berbentuk dataran dan hutan tegakan di lahan kering yang memungkinkan pertumbuhan produksi

Page 20: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

129 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

sawit bisa maksimal. Pasca kemerdekaan, ketika semua perusahaan perkebunan Belanda mengalami nasionalisasi menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP), NV Socfin luput dari nasionalisasi karena merupakan perusahaan milik partikulir murni dan tidak memiliki keterkaitan saham dengan perusahaan Belanda manapun.

Kebun Seumayam dan Kebun Seunagan saat ini berada persis di ruas Jalan Meulaboh-Tapaktuan, mulai dibangun pada pertengahan tahun 1920 usai penaklukan Aceh oleh Belanda. Bersamaan dengan dirintisnya kedua kebun tersebut, Belanda juga memulai penataan kehidupan sipil dengan menyerahkan kembali eksistensi pemerintahan gampong ke tangan uleebalang, serta mengangkat residen maupun controllier di Meulaboh sebagai pengawas sekaligus menyiapkan sistem zelfbesturrecht sebagai perangkat aturan untuk memisahkan status tanah ulayat dengan tanah eigendom atau erfacht.

Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa ditemukan secara tidak sengaja ketika dilakukan survei lahan dan struktur tanah, dengan mendatangkan ahli botani dari Calcutta, India. Tim survey secara kebetulan menemukan bentangan hutan rawa gambut yang sangat luas di sepanjang aliran Krueng Tripa. Hutan rawa gambut tersebut ditumbuhi oleh pohon dengan tegakan rapat yang terhampar hingga ke tepi laut dan menyimpan kekayaan flora dan fauna sangat kaya. Tim survey memberikan rekomendasi final untuk memilih lokasi kebun agak ke atas, menjauhi rawa gambut untuk menghindari keasaman dan kelembaban tanah yang sangat menggangu pertumbuhan kelapa sawit. Selain itu, pembukaan kebun di areal rawa gambut juga akan menelan biaya yang sangat mahal.

Berdasarkan catatan tim survey juga diketahui bahwa pada saat itu di sekitar Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa tidak terdapat pemukiman penduduk karena penduduk meyakini secara turun temurun bahwa kawasan tersebut sebagai tempat hunian hantu dan jin.

Sampai dengan tahun 1990-an Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa masih tetap utuh, Pembangunan ruas jalan Meulaboh-Tapaktuan sepanjang 225 km yang dibangun tahun pertengahan tahun 1980 tidak membuka Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, karena sepanjang 45 km di geser lebih ke atas untuk mengindari Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa. Ketika itu, pohon-pohon masih tumbuh dengan lebat dan berbagai satwa seperti harimau dan orangutan dapat ditemukan dengan mudah.

Konversi Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa dimulai pertengahan tahun 1980-an ketika sebuah perusahaan yaitu PT. Cemerlang Abadi yang semula bergerak di sektor percetakan mencari lahan di seputar Kuala Batee yang saat ini masuk ke dalam Kabupaten Aceh Barat Daya. Perusahaan tersebut kemudian memperoleh Hak Guna Usaha di bidang perkebunan di Alue Ie Mirah, persis berbatasan dengan dengan Kebun PT. Socfindo di Seumayam atau di sayap paling Selatan Rawa Tripa berbatasan dengan Aceh Selatan. Karena kesulitan pendanaan, maka areal konsesi tersebut ditelantarkan selama hampir dua dekade.

Memasuki tahun 1990-an, bersamaan dengan kebijakan penyaluran kredit investasi sektor perkebunan berbunga rendah bantuan bank dunia, Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa yang masih seluas 60.000 ha, menjadi incaran para agen lahan untuk mengurus alih fungsi lahan menjadi areal penggunaan lain, agar dapat dikonversi menjadi perkebunan. Hingga awal tahun 1990, terdapat lima perusahaan yang telah mengantongi konsesi hak guna usaha perkebunan dengan luas bervariasi antara 5.000 s.d 14.000 ha. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Gelora Sawita Makmur, PT Kalista Alam, PT Patriot Guna Sakti Abadi, PT Cemerlang Abadi dan PT Agra Para Citra.

Page 21: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 130

LAPORAN UTAMA

Perusahaan terakhir yaitu PT Agra Para Citra pada tahun 2007 telah menjual arealnya kepada PT Astra Argo Lestari.

Setelah pemberian konsesi tersebut, konversi secara besar-besaran terhadap Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa dimulai. Menurut Tim Peneliti Unsyiah (2013), Antara tahun 1994-1999, sekitar 40% dari total luas Hutan Gambut Rawa Tripa telah dibuka dan dikeringkan untuk perkebunan sawit, namun hanya sebagian yang telah ditanami sawit. Setelah tahun 1999, kegiatan pengrusakan hutan rawa gambut Tripa sempat terhenti (karena semakin memanasnya suasana konflik di Aceh) dan usaha perkebunan sawit juga ditinggalkan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya regenerasi vegetasi alami pada area yang ditinggalkan tersebut. Namun Pasca tsunami Aceh dan pasca perdamaian dengan pihak GAM, kegiatan pembukaan hutan rawa gambut primer di Tripa dimulai kembali, yaitu oleh PT. Astra Agro Lestari and PT. Kalista Alam.

Hasil kajian pada tahun 2007 memperlihatkan hanya 31.410 ha atau sekitar 51% dari Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa yang tersisa. Sekitar 17.820 ha berada dalam wilayah konsesi perkebunan yang telah ditanami sawit dan sisanya 12.573 ha dimanfaatkan untuk penggunaan lain oleh masyarakat. Selanjutnya, antara pertengahan 2007 dan akhir 2009 sekitar 8.000 ha telah dibuka kembali (Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa, Maret 2012). Pada tahun 2008 (Tim Monitoring YLI-AFEP) hutan gambut yang masih tersisa yaitu sekitar 15.595 hektar (24%) dan relatif bagus (undisturbed). Ironisnya hutan gambut yang masih tersisa tersebut sebagian besar berada dalam areal HGU perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian dalam bulan Maret 2012, sekitar 1.000 ha Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa kembali dibuka untuk perkebunan sawit melalui pembakaran.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat desa yang ada di sekitar Rawa Tripa diketahui bahwa konversi Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa menjadi areal penggunaan lain seperti lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit juga dilakukan oleh masyarakat. Proses konversi pada umumnya terjadi setelah tahun 1980 dan mulai marak setelah tahun 1990. Konversi atau pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di lakukan di dalam dan di areal yang telah menjadi konsesi/HGU perusahaan. Hal ini sangat dimungkinkan, karena hampir semua perusahaan yang memperoleh HGU menunda proses penanaman kelapa sawit karena berbagai hal utamanya adalah keterbatasan modal dan gangguan keamanan.

Konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat pada tahun 1980an utamanya dipergunakan untuk membuka lahan pertanian (sawah dan non sawah), setelah tahun 2000, banyak masyarakat yang ikut membuka lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit milik swadaya. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.

E. Organisasi dan Kelembagaan Pencegahan Kebakaran Hutan Berbasis Partisipasi Masyarakat di Sekitar Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya serta masyarakat yang ada di sekitar Rawa Tripa, tidak ditemukan organisasi dan kelembagaan untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan berbasis partisipasi masyarakat. Ditingkat pemerintah kabupaten, kebakaran hutan dan lahan dikoordinasikan oleh Dinas Pemadam Kebakaran, sehingga tidak ada unit khusus di Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang menangani kebakaran hutan dan lahan.

Page 22: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

131 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 6 Konversi Lahan di Sekitar Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

No Desa Kecamatan Mulai konversi Para Pihak Penggunaan

Lahan

1 Blang Tuah Darul Makmur 1990-1994 Masyarakat Lahan pertanian dan kebun sawit

2 Ujung Tanjung

Darul Makmur 1994-2004 Masyarakat Lahan pertanian dan kebun sawit

3 Ladang Baro Darul Makmur 1990-1995 Masyarakat dan Perusahaan

Lahan pertanian dan kebun sawit

4 Pante Cermin

Babah Rot 1990 Masyarakat dan Perusahaan

Lahan pertanian dan kebun sawit

5 Babah Leung Tripa Timur 1986-1987 Masyarakat Lahan pertanian 6 Cot

Simantok Babah Rot 1980-an Masyarakat Lahan pertanian

7 Pulo Kruet Darul Makmur 1980-1996 Masyarakat dan perusahaan

Lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit

8 Alue Bateung Brook

Darul Makmur 1998 Masyarakat dan perusahaan

Lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit

9 Kuala Tripa Darul Makmur 2006-2006 Masyarakat dan perusahaan

Lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit

10 Kuala Semayam

Darul Makmur 2000 Masyarakat dan perusahaan

Lahan pertanian dan kelapa sawit

11 Mekarti Jaya Darul Makmur 1993-1996 Masyarakat dan perusahaan

Lahan pertanian dan kelapa sawit

12 Sumber Makmur

Darul Makmur 1992 Masyarakat dan perusahaan

Lahan pertanian dan kelapa sawit

Sumber : Data Primer, diolah Tahun 2013

Ditingkat desa juga tidak ditemukan organisasi atau lembaga khusus yang menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat akan bergerak spontan untuk memadamkan api, jika terjadi kebakaran di sekitar kebun atau lahan milik masyarakat atau dekat dengan pemukiman masyarakat. Organisasi dan kelembagaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan hanya dimiliki oleh perusahaan, baik yang dibentuk secara khusus atau menyatu dengan unit keamanan. Pada umumnya perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki centeng api, menara pemantau kebakaran dan peralatan pemadam api seperti pompa air, selang dan tabung pemadam api.

F. Potensi Jasa Lingkungan dari Areal Rawa Tripa

Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berupa manfaat langsung (tangible) dan/atau manfaat tidak langsung (intangible) antara lain: jasa wisata alam/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, penyerapan dan penyimpanan karbon (carbon offset). Manfaat dan fungsi lingkungan dari suatu sumber daya alam merupakan komponen penyusun utama nilai sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai-nilai sumberdaya alam dan lingkungan harus merupakan akumulasi dari nilai-nilai yang berasal dari fungsi dan manfaatnya. Bila kita cermati manfaat sumberdaya alam dan

Page 23: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 132

LAPORAN UTAMA

lingkungan dapat berupa manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Kayu, rotan, pemandangan alam dan rasa sejuk merupakan manfaat langsung yang didapat dari sumberdaya hutan yang ada di areal tersebut. Sedangkan manfaat tidak langsungnya seperti pencegah banjir, pengatur iklim dan sebagainya. Selain itu ada juga orang/masyarakat yang kehidupannya tidak jauh dari Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa tersebut, bukan hanya karena ketergantungan mata pencahariannya pada sumberdaya tersebut, tapi ada hal lain yang sulit didefinisikan namun mereka sangat merasakannya.

Apabila dilihat dari manfaat, fungsi baik langsung maupun tidak langsung atau yang sama sekali belum bisa didefinisikan, maka para ekonom sumberdaya alam dan lingkungan seperti Barton (1994), Pearce dan Warford (1993) atau Pearce and Turner (1990) merumuskan pendekatan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value, TEV) untuk menilai sumberdaya alam dan lingkungan. Mereka membagi nilai tersebut menjadi nilai guna (Use Value, UV) dan bukan nilai bukan guna (Non Use Value, NUV). Nilai guna dibagi menjadi nilai guna langsung (Direct Use Value, DUV), nilai guna tidak langsung (Indirect Use Value, IUV) dan nilai pilihan (Option Value, OV). Sedangkan bukan guna terdiri atas nilai pewarisan (Bequest Value, BV) dan nilai keberadaan (Existence Value, EV). Penjumlahan dari nilai-nilai tersebut merupakan nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan.

Nilai guna langsung (direct use value) merupakan nilai ekonomi yang berasal dari pemanfaatan langsung suatu kawasan sumber daya alam. Sebagai contoh, nilai guna langsung dari sumber daya hutan antara lain nilai tegakan kayu, satwa liar, getah, wisata alam, tambang, dan sebagainya. Untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) nilai guna langsung antara lain ikan, irigasi pertanian, air untuk keperluan rumahtangga, dan sebagainya. Untuk ekosistem hutan mangrove, nilai guna langsung yang bisa diperoleh antara lain perikanan tangkap, bahan obat-obatan, wisata alam, bahan konstruksi, kapur, dan sebagainya. Sementara itu untuk kawasan waduk, nilai guna langsung yang didapat antara lain nilai wisata alam, energi listrik, irigasi pertanian, ikan, dan sebagainya.

Nilai guna tidak langsung (indirect use value) merupakan nilai ekonomi yang berasal dari pemanfaatan tidak langsung suatu kawasan sumber daya alam. Dengan kata lain, nilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem kawasan sumber daya alam tersebut. Sebagai contoh, fungsi ekosistem hutan antara lain penyerap karbon, penghasil oksigen, penyerap air, pengendalian banjir dan sebagainya. Fungsi ekosistem DAS antara lain penahan banjir, erosi dan sebagainya. Fungsi ekosistem hutan mangrove antara lain penyedia pakan bagi perikanan lepas pantai, perlindungan lahan pesisir dari abrasi air laut, keperluan navigasi dan sebagainya. Sedangkan fungsi ekosistem waduk antara lain penyedia air baku.

Nilai pilihan (option value) merupakan nilai ekonomi yang diperoleh dari nilai guna langsung maupun nilai guna tidak langsung dari suatu kawasan sumber daya alam yang pemanfaatannya untuk waktu yang akan datang (Barton, 1994). Menurut Fachrudin (1996) nilai pilihan menunjukkan keinginan individu untuk membayar (Willingness To Pay) bagi konservasi sumber daya alam guna pemakaian masa mendatang. Sementara itu menurut Fauzi (2004) nilai pilihan adalah nilai yang diberikan oleh individu (Willingness To Pay) atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai contoh nilai pilihan dari sumber daya hutan antara lain manfaat adanya sumber daya genetik, spesies baru, pemanfaatan hutan untuk wisata di masa mendatang, dan sebagainya. Untuk ekosistem

Page 24: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

133 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

hutan mangrove dan kawasan waduk nilai pilihan antara lain manfaat spesies, keanekaragaman hayati dan sebagainya. Sementara itu untuk DAS, manfaat pilihan selain manfaat spesies, keanekaragaman hayati, manfaat DAS dapat dijadikan sebagai sarana transportasi sungai di masa mendatang.

Nilai keberadaan (existence value) merupakan nilai ekonomi yang diperoleh dari suatu persepsi bahwa keberadaan suatu ekosistem/sumber daya alam memiliki nilai terlepas apakah ekosistem/sumber daya alam tersebut dimanfaatkan atau tidak (Fauzi, 2004). Menurut Fachrudin (1996) nilai keberadaan menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar konservasi sumber daya alam itu sendiri (Willingness To Pay) agar lestari tanpa mempedulikan nilai pakainya. Sebagai contoh nilai keberadaan dari sumber daya hutan, hutan mangrove, DAS adalah nilai keberadaan biodiversity, keberadaan spesies langka, dan sebagainya. Sementara itu nilai keberadaan waduk dapat dilihat dari nilai konstruksinya, dimana manfaat keberadaan konstruksi waduk bermanfaat sebagai penahan sedimentasi untuk mencegah banjir di daerah aliran sungai. Nilai warisan (bequest value) merupakan nilai ekonomi yang berasal dari pelestarian ekosistem/sumber daya alam untuk kepentingan generasi mendatang (Barton, 1994). Nilai warisan dapat diartikan juga sebagai keinginan masyarakat untuk membayar (Willingness To Pay) terhadap konservasi ekosistem/sumber daya alam tersebut agar dapat dinikmati untuk generasi mendatang. Sebagai contoh nilai warisan dari sumber daya hutan, hutan mangrove, DAS adalah habitat, spesies, tradisi budaya, dan sebagainya.

Terkait dengan kajian mengenai nilai jasa lingkungan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa, hasil survey lapangan diperoleh informasi bahwa potensi jasa lingkungan yang ada di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa adalah potensi jasa lingkungan dari areal Sumberdaya Alam Hutan dan Sungai. Luas Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa hasil interpretasi peta citra satelit 2013 adalah seluas 60.657,29 Ha dan yang masih berhutan sekitar 11.809,54 Ha. Sementara itu sungai yang ada di Area Rawa Tripa sendiri terdiri dari Sungai Tripa (1.085,62 km), Sungai Seumayam (496,62 km), Sungai Batee (1.354,37 km) dan Sungai Seunaam (29,54 km). Potensi jasa lingkungan pada areal hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa adalah (1) manfaat langsung (tangible) dan (2) manfaat tidak langsung (intangible) seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Potensi Jasa Lingkungan Areal Hutan dan DAS di Rawa Tripa

No Kawasan Nilai Jasa Lingkungan Potensi Jasa Lingkungan

1. Hutan Nilai Guna Langsung (direct use value)

tegakan pohon, kayu bakar, rotan, perkebunan, sawah dan ladang

Nilai Guna Tidak Langsung (indirect use value)

penyerapan air, oksigen, carbon offset

Nilai Pilihan (option value) sumber daya genetik, wisata alam

Nilai Keberadaan (existence value) keanekaragaman hayati

Nilai Warisan (bequest value) habitat spesies, tradisi budaya

2. DAS Tripa, Seumayam, Batee dan Seunaam

Nilai Guna Langsung (direct use value)

Ikan, Pasir, Kerang, Air Kebutuhan rumahtangga

Nilai Guna Tidak Langsung (indirect use value)

Penahan banjir dan erosi

Nilai Pilihan (option value) spesies, keanekaragaman hayati Nilai Keberadaan (existence value) Simbol budaya/wilayah Nilai Warisan (bequest value) habitat spesies

Sumber : Survey Valuasi Ekonomi Kawasan Rawa Tripa, 2013

Page 25: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 134

LAPORAN UTAMA

G. Trend Kebakaran dan Penentuan Hotspot di Areal Rawa Tripa

Berdasarkan data jumlah hotspot yang ada di sekitar Ekosistem Htan Rawa Gambut Tripa, ditemukan perbedaan kecenderungan atau trend jumlah hotspot di areal perusahaan dan di luar areal yang berbatasan dengan areal perusahaan. Jumlah hotspot dalam periode 2008-2009 yang ditemukan di areal perusahaan-perusahaan mengalami kecenderungan menurun (Tabel dan Gambar 2 dan 3). Secara umum jumlah hotspot paling banyak yang ditemukan di areal perusahaan terjadi pada tahun 2009 yaitu mencapai total 209. Berdasarkan data tersebut, besar kemungkinan, kejadian kebakaran hutan di areal perusahaan paling banyak terjadi pada tahun 2009 dan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Kecenderungan berbeda terjadi di areal-areal diluar HGU perusahaan, selama periode 2008-2012, jumlah hotspot yang ditemukan cenderung bertambah dan mencapai jumlah terbesar pada tahun 2012, peningkatan jumlah hotspot Hal tersebut dapat dijadikan indikasi bahwa kebakaran di luar areal perusahaan cenderung meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2012. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang tinggal di sekitar Rawa Tripa peningkatan jumlah hotspot tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kebiasaan sebagian masyarakat yang membuka lahan dengan cara pembakaran dan belum adanya organisasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran di tingkat masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi agar jumlah hotspot tidak terus meningkat.

Tabel 8. Perkembangan Jumlah Hotspot di Sekitar Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

Lokasi Hotspot 2008 2009 2010 2011 2012

Ex PT.Patriot Guna Sakti Abadi 9 66 5 16 2

PT. Gelora Sawita Makmur 10 6 0 4 2

PT.Cemerlang Abadi 11 39 1 6 11

PT.Kallista Alam 21 94 13 13 3

PT.Surya Panen Subur 2 4 4 1 4 4

Total di area perusahaan 55 209 20 43 22 Diluar areal yang berbatsan dengan perusahaan 7 26 4 26 69

Total diseluruh area 62 235 24 69 91

Sumber : NASA-FIRMS 2012 (modis dataset, confidence di atas 50)

Gambar 2 Trend jumlah Hotspot di Sekitar Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

Page 26: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

135 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 3. Distribusi Sebaran Hotspot di sekitar Rawa Tripa

H. Dampak Konversi Rawa Tripa terhadap Masyarakat Sekitar Rawa Tripa

1. Dampak Sosial Terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Babah Rot dan Kecamatan Tripa Makmur

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di tiga desa yaitu Desa Pante Cermin dan Desa Cot Simantok di Kecamatan Babah Rot serta Desa Kuala Tripa dan Desa Babah Lueng di Kecamatan Tripa Makmur konversi Rawa Tripa menjadi lahan pertanian dan perkebunan milik swasta atau milik masyarakat tidak menyebabkan relokasi penduduk, hal ini disebabkan karena di lokasi rawa yang dibuka tidak terdapat pemukiman. Dari segi jumlah penduduk, konversi menyebabkan pertambahan jumlah penduduk, kecuali di Desa Kuala Tripa, hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat yang membuka lahan berasal dari luar desa. Selain itu, penambahan jumlah penduduk juga disebabkan oleh kedatangan karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bermukim di desa-desa sekitar perusahaan.

Dari sisi heterogenitas, hanya di Desa Pante Cermin terjadi perubahan keragaman suku bangsa, sedangkan di desa-desa yang lain, pertambahan jumlah penduduk masih berasal dari Suku Aceh. Konversi Rawa Tripa juga tidak menimbulkan konflik horisontal dan kecemburuan sosial antar masyarakat, yang justru terjadi adalah konflik vertikal antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Konflik yang paling utama adalah konflik lahan, dimana perusahaan menganggap masyarakat merambah lahan yang telah menjadi konsesinya, di sisi lain, masyarakat menganggap perusahaan merebut lahan yang telah di garap oleh masyarakat. Contoh konflik lahan yang terjadi adalah antara sebagian masyarakat di Desa Kuala Tripa PT. Fazar Baijuri dan masyarakat di Desa Pante Cermin dan Cot Simantok dengan PT. Cemerlang Abadi.

Hampir semua responden yang diwawancarai berpendapat bahwa adanya konversi Rawa Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta tidak memberikan dampak terhadap perbaikan fasilitas sosial, karena menurut masyarakat

Page 27: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 136

LAPORAN UTAMA

fasilitas sosial yang ada dibangun oleh pemerintah, bukan oleh perusahaan. Hal tersebut menunjukan bahwa kontribusi perusahaan terhadap pembangunan lokal belum optimal. Data selengkapnya tentang dampak sosial adanya konversi Rawa Tripa disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Dampak Sosial Konversi Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa terhadap Desa-Desa di Kecamatan Babah Rot dan Tripa Timur

Aspek Sosial Desa

Pante Cermin Cot Simantok Kuala Tripa Babah Lueng Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

Relokasi penduduk √ √ √ √

Penambahan penduduk √ √ √ √

Peningkatan heterogenitas penduduk

√ √ √ √

Kecemburuan sosial √ √ √ √

Konflik horisontal √ √ √ √

Tata Nilai Sosial √ √ √ √

Peningkatan Fasilitas sosial √ √ √ √

2. Dampak Sosial Konversi Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Darul Makmur

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di desa-desa yang ada di Kecamatan Darul Makmur, diketahui bahwa konversi areal rawa Tripa baik oleh masyarakat maupun oleh perusahaan telah menimbulkan berbagai dampak sosial. Dampak yang terjadi di masing-masing desa, berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Secara umum konversi Rawa Tripa tidak menyebabkan relokasi, sehingga tidak terjadi perpindahan pemukiman. Penambahan jumlah penduduk terjadi di semua desa karena kedatangan penduduk dari luar desa yang bekerja di perusahaan atau membuka dan membeli lahan sendiri. Meskipun demikian, berdasarkan hasil wawancara, heterogenitas penduduk hanya terjadi di Desa Pante Cermin, hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas penduduk yang datang masih berasal dari Suku Aceh.

Konversi Rawa Tripa menjadi Kebun dan Lahan pertanian, tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan konflik antar masyarakat (horisontal), akan tetapi ditemukan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, terutama dalam hal sengketa lahan. Karena hampir semua perusahaan perkebunan kelapa sawit menunda untuk menggarap lahan yang dikuasainya, terutama ketika keamanan belum kondusif, banyak masyarakat yang menggarap lahan tersebut dan menanaminya dengan tanaman sawit atau non sawit. Akibatnya, ketika perusahaan akan menggarap lahannya, terjadi sengketa dengan masyarakat.

Secara umum, terjadi perubahan tata nilai dan budaya, terutama di desa yang mengalami peningkatan heterogenitas suku bangsa, seperti di Desa Pante Cermin. Perubahan tata nilai dan budaya terjadi akibat pencampuran budaya antar suku. Meskipun demikian perubahan tata nilai dan budaya tidak sepenuhnya disebabkan oleh

Page 28: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

137 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

kedatangan perusahaan kelapa sawit, namun dipengaruhi juga oleh perubahan sosial secara umum. Konversi lahan belum berpengaruh besar terhadap perubahan fasilitas sosial, karena berdasarkan hasil wawancara, peningkatan fasilitas sosial seperti pembangunan jalan, jembatan, fasilitas pendididikan, dan lain-lain lebih banyak berasal dari pemerintah. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 10.

3. Dampak Ekonomi Konversi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Babah Rot dan Tripa Makmur

Secara umum konversi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa memberikan dampak ekonomi yang cukup besar, terhadap masyarakat yang tinggal disekitarnya. Dampak ekonomi yang pertama adalah terjadi perubahan matapencaharian. Sebelum konversi rawa secara besar-besaran oleh perusahaan, pada umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dengan komoditi utama padi dan tanaman palawija. Setelah terjadi konversi sebagian besar masyarakat beralih profesi sebagai karyawan perusahaan atau membuka kebun sawit. Petani sawah masih banyak ditemukan di Desa Pante Cermin dan Cot Simantok, hal tersebut disebabkan karena sumber pengairan berasal dari pegunungan, sehingga konversi Rawa tidak terlalu berpengaruh. Di Desa Kuala Tripa dan Babah Lueng, banyak petani sawah yang berpindah menjadi petani sawit, karena akibat pengeringan rawa oleh perusahaan, berpengaruh terhadap lahan sawah yang dimilikinya, yaitu pengairan sawah terganggu dan kadar keasaman air berubah.

Perubahan matapencaharian juga berpengaruh kepada perubahan pendapatan. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa pendapatan rata-rata dari bertani sawah dan palawija relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pendatan dari kelapa sawit. Hal tersebut utamanya disebabkan karena budidaya kelapa sawit hanya membutuhkan satu kali investasi sedangkan untuk budidaya padi dan palawija membutuhkan investasi setiap musim. Dengan demikian secara umum, konversi rawa menyebabkan peningkatan pendapatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa konversi Rawa Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit, utamanya yang dilakukan oleh perusahaan, secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan perubahan bentuk dan nilai aset. Perubahan yang paling besar adalah berubahnya aset masyarakat yang berupa sawah dan kebun/ladang masyarakat menjadi kebun kelapa sawit, akibat dari perubahan matapencaharian masyarakat. Perubahan lain yang terjadi adalah berubahnya aset dalam bentuk lahan milik masyarakat menjadi bentuk non lahan seperti rumah dan kendaraan bermotor akibat proses jual beli. Meningkatnya minat penduduk dari luar desa untuk ditanami kelapa sawit dengan sendirinya menyebabkan peningkatan nilai aset, terutama peningatan nilai jual lahan. Data selengkapnya tentang dampak ekonomi konversi Rawa Tripa terhadap desa-desa di Kecamatan Babah Rot dan Tripa Timur disajikan pada Tabel 10.

Page 29: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 138

LAPORAN UTAMA

Tabel 10. Dampak Sosial Konversi Rawa Tripa terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Tripa Makmur

Aspek Sosial

Desa

Mekarti Jaya

Kuala Seumayam

Alue Kuyun Sumber Makmur

Ladang Baro Pulo Kruet Alue Bateng

Brook Ujung

Tanjung Blang Luah

Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

Relokasi penduduk

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Penambahan penduduk

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Peningkatan heterogenitas penduduk

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Kecemburuan sosial

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Konflik horisontal

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Tata Nilai Sosial √ √ √ √ √ √ √ √

Peningkatan Fasilitas sosial

√ √ √ √ √ √ √ √

Page 30: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

139 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 11. Dampak Ekonomi Konversi Rawa Tripa terhadap desa-desa di Kecamatan Babah Rot dan Tripa Makmur

Aspek Ekonomi

Desa

Pante Cermin

Cot Simantok

Kuala Tripa Babah Lueng

Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

Kepemilikan Lahan √ √ √ √

Perubahan Matapencaharian

√ √ √ √

Perubahan pendapatan √ √ √ √

Perubahan nilai dan jenis aset

√ √ √ √

Peluang kerja dan usaha √ √ √ √ Kemajuan daerah √ √ √ √

4. Dampak Ekonomi Konversi Rawa Tripa terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Darul Makmur

Berdasarkan hasil wawancara di desa-desa yang terletak di Kecamatan Darul Makmur, diketahui bahwa konversi Rawa Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit maupun penggunaan lain telah memberikan dampak ekonomi yang cukup besar terutama dalam hal perubahan matapencaharian, perubahan pendapatan, perubahan nilai jenis aset, peluang kerja dan usaha serta kemajuan daerah. Dampak-dampak tersebut terjadi hampir disemua desa.

Dari segi pemilikan lahan terdapat perubahan, yaitu lahan garapan masyarakat yang berada di areal HGU perusahaan yang kemudian diganti rugi oleh perusahaan atau lahan garapan milik masyarakat yang dipindahtangankan di antara masyarakat. Lahan-lahan garapan milik masyarakat di Kecamatan Darul Makmur banyak yang sudah dijual kepada masyarakat dari luar seperti Banda Aceh dan sekitarnya.

Perubahan matapencaharian terjadi karena lahan pertanian masyarakat dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit baik oleh masyarakat sendiri atau oleh perusahaan. Sebagian besar masyarakat yang pada mulanya bekerja sebagai petani sawah atau palawija, mencari ikan, mencari madu dan rotan berubah pekerjaan menjadi petani sawit, bekerja diperusahaan kelapa sawit, menjadi buruh bongkar muat kelapa sawit, sopir pengangkut buah, serta menjadi pedagang/tauke kelapa sawit.

Perubahan matapencaharian tersebut secara umum juga merubah pendapatan masyarakat baik dari segi jumlah maupun pola. Pola pendapatan masyarakat sebagai petani sawah dan palawija yang pada awalnya bersifat musiman, berubah menjadi pendapatan dua mingguan atau bulanan setelah masyarakat membudidayakan kelapa sawit. Untuk masyarakat yang berubah mata pencaharian sebagai buruh angkut, bongkar muat dan sopir bahkan memperoleh pendapatan harian.

Berdasarkan hasil wawancara, jika dibandingkan pendapatan dari padi dan palawija, pendapatan masyarakat dari berkebun kelapa sawit lebih besar. Hal ini disebabkan karena untuk membudidayakan kelapa sawit hanya diperlukan satu kali investasi besar dan seterusnya hanya diperlukan pemupukan dan pemeliharaan. Meskipun demikian, terdapat pula masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan, yaitu masyarakat

Page 31: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 140

LAPORAN UTAMA

yang bekerja sebagai pencari ikan dan hasil hutan, akibat terjadinya perubahan biofisik dari rawa menjadi perkebunan kelapa sawit.

Konversi rawa menjadi perkebunan kelapa sawit juga berdampak pada peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Lapangan kerja yang paling besar berasal dari perusahaan kelapa sawit yang ada, sedangkan kesempatan usaha utama timbul dari penyediaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan kebun sawit milik masyarakat, perkebunan sawit milik perusahaan dan karyawan yang bekerja di perusahaan.

Berkembangnya perkebunan kelapa sawit juga berpengaruh positif terhadap kemajuan daerah. Konversi Rawa Tripa yang diikuti dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit telah membuka akses akibat pembangunan jalan dan jembatan baru. Selain itu, kedatangan para pekerja perusahaan juga merangsang perkembangan berbagai usaha dibidang jasa dan perdagangan, sehingga perekonomian wilayah berkembang dengan baik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 12.

5. Dampak Lingkungan Konversi Rawa Tripa terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Babah Rot dan Tripa Makmur

Dampak lingkungan terhadap masyarakat di sekitar desa Kecamatan Babah Rot dan Tripa Makmur akibat konversi Hutan Rawa Tripa dilihat berdasarkan 7 (tujuh) kriteria yaitu (1) kualitas dan kuantitas air, (2) kualitas udara, (3) suhu udara, (4) tingkat kebisingan, (5) kualitas tanah, (6) ancaman banjir dan erosi, dan (7) ketersediaan sumberdaya hutan. Hasil wawancara terhadap masyarakat diperoleh bahwa ketersediaan sumberdaya hutan, kualitas dan kuantitas tanah, suhu udara, ancaman banjir dan erosi adalah dampak lingkungan yang paling dirasakan oleh masyarakat pada desa-desa di Kecamatan Babah Rot dan Tripa Makmur. Desa yang paling merasakan dampak lingkungan tersebut akibat konversi hutan Rawa Tripa adalah Desa Babah Lueng, Cot Simantok dan Kuala Tripa. Sementara dampak terhadap kualitas tanah dan tingkat kebisingan sebagian besar masyarakat di empat lokasi desa menganggap sampai saat ini tidak ada masalah.

6. Dampak Lingkungan terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Darul Makmur

Sama halnya dengan masyarakat di desa-desa sekitar Kecamatan Babah Rot dan Tripa Makmur, dampak lingkungan terhadap masyarakat di desa Kecamatan Darul Makmur juga sebagian besar merasakan dampak lingkungan akibat konversi Hutan Rawa Tripa. Hasil wawancara diperoleh bahwa ketersediaan sumberdaya hutan, kualitas dan kuantitas tanah, suhu udara, ancaman banjir dan erosi adalah dampak lingkungan yang paling dirasakan oleh masyarakat pada desa-desa di Kecamatan Darul Makmur. Desa yang paling merasakan dampak lingkungan tersebut akibat konversi hutan Rawa Tripa adalah Desa Mekarti Jaya, Kuala Semayam, Alue Kuyun, Sumber Makmur dan Blang Luah.

Sementara dampak terhadap kualitas tanah adalah dampak yang hanya dirasakan sebagian desa-desa di Kecamatan Darul Makmur yang ada di sekitar Rawa Tripa. Sedangkan tingkat kebisingan hampir seluruh masyarakat di Sembilan lokasi desa menganggap sampai saat ini tidak ada masalah. Hasil selengkapnya mengenai dampak lingkungan terhadap masyarakat di desa-desa yang ada di Kecamatan Darul Makmur disajikan pada Tabel 14.

Page 32: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

141 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

7. Nilai Ekonomi Total Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (Kondisi Saat Ini)

Penentuan tipologi nilai ekonomi areal Hutan Rawa Gambut Tripa dilakukan berdasarkan penilaian hasil survey lapangan. Selanjutnya dilakukan analisis potensi atau dengan kata lain melakukan identifikasi kawasan-kawasan apa saja yang patut untuk dinilai. Setelah dilakukan identifikasi jenis kawasan yang akan dievaluasi, tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi manfaat kawasan. Manfaat kawasan yang dimaksud adalah manfaat yang dihasilkan suatu kawasan baik langsung maupun tidak langsung yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat atau potensi yang bisa dimanfaatkan di masa mendatang.

Manfaat yang didapat dari suatu kawasan sangat beragam, bergantung pada jenis kawasan dan seberapa besar pemanfaatannya oleh masyarakat. Setiap manfaat yang dihasilkan memiliki nilai tersendiri. Sebagai contoh, untuk kawasan sumberdaya alam memiliki nilai potensi seperti nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), nilai pilihan (option value), nilai keberadaan (existence value) dan nilai pewarisan (bequest value). Untuk kawasan non sumberdaya alam, tipologi nilai berbeda dengan nilai yang dihasilkan dari kawasan sumberdaya alam. Namun demikian tipologi nilai suatu kawasan, baik kawasan sumberdaya alam maupun non-sumberdaya alam, bergantung pada seberapa besar manfaat yang dihasilkan.

Berdasarkan interpretasi citra satelit, luas areal yang masih berhutan di areal Hutan Rawa Gambut Tripa adalah 12.455,45 Ha. Keberadaan areal berhutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan areal hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia kebutuhan langung bagi manusia ─ bahan makanan, obat-obatan dan kayu, penyedia jasa wisata ─ maupun sebagai penjaga keseimbangan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, dan mengatur iklim global.

Berbagai manfaat yang dihasilkan areal berhutan bagi kehidupan manusia mengisyaratkan bahwa pemanfaatan hutan tidak hanya dilakukan untuk kepentingan jangka pendek yang hanya dinikmati sesaat tanpa mempertimbangkan kelestariannya yang akan memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Untuk memberikan pemahaman tentang besarnya manfaat hutan dilihat dari sisi lingkungan yang selama ini masih jarang dilakukan terutama di Indonesia, perlu dilakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya areal hutan. Valuasi ekonomi sumberdaya areal hutan akan memberikan gambaran tentang besarnya manfaat (benefit) ekonomi-ekologi dilihat dari nilai ekonomi total yang dihasilkannya.

Page 33: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 142

LAPORAN UTAMA

Tabel 12. Dampak Ekonomi Konversi Rawa Tripa terhadap Masyarakat pada Desa-Desa di Kecamatan Tripa Makmur

Aspek Ekonomi

Perubahan

Mekarti Jaya

Kuala Semayam

Alue Kuyun

Sumber Makmur

Ladang Baro

Pulo Kruet

Alue Bateng Brook

Ujung Tanjung

Blang Luah

Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

Perubahan

matapencaharian √ √ √ √ √

Perubahan

pendapatan √ √ √ √ √

Perubahan nilai

dan jenis asset/

sumberdaya

(tanah, rumah, dll)

√ √ √ √ √

Peluang kerja dan

berusaha √ √ √ √ √

Kemajuan wilayah

(desa/kecamatan) √ √ √ √ √

Kepemilikan lahan √ √ √ √ √ √ √ √ √

Page 34: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

143 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 13. Dampak Lingkungan Konversi Rawa Tripa terhadap Masyarakat di Kecamatan Darul Makmur

Aspek Lingkungan

Perubahan

Mekarti Jaya

Kuala Semayam

Alue Kuyun Sumber Makmur

Ladang Baro

Pulo Kruet Alue Bateng

Brook Ujung

Tanjung Blang Luah

Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

Kualitas dan kuantitas air √ √ √ √ √ √ √ √

Kualitas udara √ √ √ √ √ √ √ √ √

Suhu udara √ √ √ √ √ √ √ √ √

Tingkat kebisingan

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Kualitas tanah √ √ √ √ √ √ √ √ √

Ancaman banjir/erosi

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Kesediaan sumberdaya hutan (kayu dan non kayu)

√ √ √ √ √ √ √ √ √

Page 35: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 144

LAPORAN UTAMA

a) Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)

Hasil survey lapangan diperoleh informasi bahwa pemanfaatan langsung dari areal Hutan Rawa Gambut Tripa oleh masyarakat di Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot disajikan pada Tabel 14

Tabel 14. Nilai Guna Langsung Areal Hutan Rawa Gambut Tripa

No Pendekatan Valuasi

1 Pemanfaatan Kayu Bakar Market Value

2 Pemanfaatan Rotan Market Value

3 Pemanfaatan Areal Persawahan Market Value

4 Pemanfaatan Kebun Campuran dan Pertanian Tanah Kering (Karet, Kakao, Kelapa Dalam, Kopi, Cengkeh, Pala, Pinang, Sagu, Nilam)

Market Value

Pemanfaatan Kayu Bakar

Nilai guna langsung dari keberadaan areal Hutan Rawa Gambut Tripa didapat dari nilai kayu bakar yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar areal tersebut. Pengumpulan data lapangan diperoleh informasi bahwa harga kayu bakar per ikat sekitar Rp 20.000 dan jumlah kepala keluarga yang memanfaatkan kayu bakar untuk keperluan rumahtangga sekitar 90 persen dari total Kepala Keluarga (KK) sekitar areal hutan. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya (2012), jumlah KK di tiga kecamatan sekitar 7.188 KK. Dengan demikian ada sekitar 6.469 KK (90 persen) yang memanfaatkan kayu bakar untuk keperluan rumahtangga. Pemanfaatan rata-rata kayu bakar per KK sekitar satu ikat untuk tiga hari atau sekitar 10 ikat/bln/KK atau sekitar 120 ikat/KK/thn. Dengan demikian, nilai guna langsung dari kayu bakar adalah sebagai berikut :

Nilai Kayu Bakar = Volume kayu bakar yg dimanfaatkan (ikat/KK/tahun)* JmlKK pemanfaat * Harga satuan kayu bakar (Rp/ikat) = 120 ikat/KK/thn * 6.469 KK * Rp. 20.000/ikat = Rp15.526.080.000/tahun = Rp 15,5 milyar/tahun

Pemanfaatan Rotan

Nilai guna langsung dari keberadaan areal Hutan Rawa Gambut Tripa juga diperoleh dari nilai pemanfaatan rotan hutan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk keperluan rumahtangga. Pengumpulan data lapangan diperoleh informasi bahwa harga rotan di lokasi per ikat sekitar Rp 130.000 dan jumlah kepala keluarga yang mengumpulkan rotan untuk dijual atau untuk kebutuhan rumah tanggal sekitar separuh atau 50 persen dari total KK sekitar areal tersebut, yaitu sekitar 3.594 KK atau 50 persen dari total KK. Pemanfaatan rata-rata rotan hutan per KK sekitar 1 ikat/bln/KK atau sekitar 12 ikat/KK/thn. Dengan demikian, nilai guna langsung dari rotan hutan adalah sebagai berikut :

Nilai Rotan Hutan = Volume rotan yg dimanfaatkan (ikat/KK/tahun)* JmlKK pemanfaat *Harga satuan rotan (Rp/ikat) = 12 ikat/KK/thn * 3.594 KK * Rp. 130.000/ikat

Page 36: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

145 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

= Rp5.606.640.000/tahun = Rp5,6 milyar/tahun

Pemanfaatan untuk Areal Persawahan

Areal Rawa Gambut Tripa juga dimanfaatkan untuk areal persawahan masyarakat. Total luas areal sawah sekitar 13.023 Ha. Hasil survey lapangan diperoleh bahwa produktivitas padi rata-rata yang dihasilkan sekitar 2 ton/ha per panen atau 2.000 Kg/Ha per panen dengan jumlah panen sebanyak 2 kali panen. Jika harga padi di lokasi sekitar Rp 3.500 /Kg maka nilai guna langsung dari pemanfaatan areal persawahan adalah sebagai berikut :

Pemanfaatan Persawahan = = Luas areal sawah (Ha/tahun)* Produktivitas padi (ton/ha/panen) * Jumlah musim panen (kali/thn) * Harga padi (Rp/Kg) = 13.023 Ha * 2.000 Kg/Ha/musim * 2 (musim/thn) * Rp. 3.500/Kg = Rp. 182.322.000.000/tahun = Rp. 182,3 milyar/tahun.

Pemanfaatan untuk Kebun Campuran dan Pertanian Tanah Kering

Areal rawa gambut Tripa juga dimanfaatkan untuk kebun campuran dan pertanian tanah kering milik masyarakat seperti karet, kakao, kelapa dalam, kopi, cengkeh, pala, pinang, sagu, dan nilam. Nilai guna langsung dari pemanfaatan areal ladang tersebut disajikan pada Tabel 16.

Tabel 15. Nilai Guna Langsung dari Pemanfaatan Kebun Campuran dan Pertanian Tanah Kering

No Jenis Ladang Luas (Ha) Produktivitas

(Kg/ha)* Harga

(Rp/Kg)

Nilai Ekonomi Langsung

(Rp) 1 Karet 1.175,20 470 22.000 12.151.568.000 2 Kakao 2.688 700 33.000 24.461.710.000 3 Kelapa Dalam 280 600 1.500 252.000.000 4 Kopi 26 800 22.000 457.600.000 5 Pala 36 600 25.000 540.000.000

6 Pinang 68 700 4.000 190.400.000

7 Sagu 5 900 15.000 67.500.000

8 Nilam 5 170 300.000 255.000.000

Total Nilai Guna Langsung 38.357.778.000

Sumber : * Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Barat Daya, 2012 Badan Pusat Statistik Kab. Aceh Barat Daya dan Nagan Raya Survey Lapangan 2013

Hasil perhitungan secara keseluruhan diperoleh bahwa Nilai Guna Langsung dari areal Hutan Rawa Gambut Tripa, yaitu sebesar Rp 241.830.498.000/thn.

b) Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Perhitungan indirect use value areal Hutan Rawa Gambut Tripa didekati berdasarkan pendekatan market value sebagai proxy terhadap jasa lingkungan yang dihasilkannya.

Page 37: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 146

LAPORAN UTAMA

Jasa lingkungan merupakan fungsi jasa ekosistem, baik yang masih bersifat alami maupun buatan, yang memberikan manfaat langsung dan tidak langsung dalam peningkatan kualitas lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Nilai jasa lingkungan yang terdapat di kawasan hutan antara lain sebagai penghasil gas oksigen, penyerap gas karbon (carbon sink) dan nilai penyerapan air. Nilai oksigen yang dihasilkan ekosistem Hutan Tripa dilakukan dengan pendekatan market value. Areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang dinilai adalah hutan konservasi yang tidak dimanfaatkan untuk produksi yaitu sekitar 12.455,45 ha. Dengan asumsi jarak tanam 3x3 m, maka jumlah pohon yang ada sekitar 13.839.389 pohon. Sebatang pohon menghasilkan oksigen sejumlah 1,2 kilogram per hari (Palang Merah Indonesia, 2013). Untuk mengkonversikan ke dalam satuan liter, harus mengetahui dahulu massa jenis oksigen. Massa jenis oksigen adalah 0 °C; 101,325 kPa; 1,429 g/L (Mahesi, 2008) dan harga pasaran oksigen pada tahun 2013 adalah Rp.25.000/liter sehingga potensi dalam menyerap oksigen yang sudah langsung divaluasi ke dalam satuan moneter sebagai berikut :

Nilai Oksigen = oksigen/hari/pohon * harga pasar oksigen * Jml Pohon = 1,2 kg/pohon/hari * Rp.25.000/liter * 13.839.389 pohon

= 1200 g/pohon/hari*360* *Rp25.000/liter * 13.839.389 pohon

= Rp 106.047.101.702.822 /thn

Perdagangan karbon merupakan jasa lingkungan yang memberikan kontribusi dalam upaya mencegah dampak negatif perubahan iklim, di mana pemanfaatan jasa lingkungan ini nantinya diatur melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) di bawah Protocol Kyoto yang selanjutnya diamandemen dalam pertemuan Doha. Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat bersaing dalam pasar dunia untuk pengurangan karbon. Total luas hutan Indonesia yang kini diperkirakan tinggal 120 juta hektar, sekitar 80 juta ha masih dalam kondisi relatif bagus atau lebat (bervegetasi) dan sangat berpotensi "dijual" melalui mekanisme perdagangan karbon. Semakin lebat tutupan kawasan hutan, daya serap karbon akan semakin tinggi.

Dalam penelitian ini, untuk menghitung kemampuan hutan dalam menyerap karbon, digunakan persamaan Nilai Pelepasan Karbon (NPK). Perhitungan manfaat sumberdaya sebagai penyerap karbon dihitung dengan menggunakan pendekatan transfer benefit pelepasan karbon selama kebakaran hutan sejak tahun 1997 di Indonesia yang dilakukan oleh EEPSEA dan WWF (1998). Jumlah karbon yang dilepaskan dari kebakaran hutan sebesar 27,21 ton/ha. Dengan areal Hutan Rawa Gambut Tripa seluas 12.455,45 ha dikonservasi dan nilai penyerapan karbon per ton sebesar 8US$/ton atau Rp 80.000/ton (ECOFYS, 2013), maka nilai hutan tripa dalam menyerap karbon dapat dihitung sebagai berikut :

Nilai Penyerapan Karbon = Jml pelepasan karbon/ha*luas hutan*harga karbon = 27,21 ton/ha * 12.455,45 ha * Rp80.000 /ton/tahun = Rp27.113.023.560/tahun

Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) selain berfungsi menghasilkan oksigen dan menyerap gas karbon (carbon sink), juga berfungsi sebagai penyerap air yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Nilai penyerapan air didekati dengan menggunakan pendekatan transfer benefit terhadap nilai air yang diserap. Proxy terhadap nilai air yang diserap dihitung dengan market value dengan cara menghitung

Page 38: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

147 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

rata-rata penggunaan air tanah oleh setiap kepala keluarga (KK) yang ada di sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan air bersih oleh rumahtangga di sekitar kawasan hutan tripa sekitar 0,3 M3/hari. Apabila jumlah KK di sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa (3 kecamatan lokasi) pada tahun 2012 sejumlah 17.334 KK (BPS Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Data, 2012), maka nilai penyerapan air dapat dihitung dengan cara mengalikan harga air baku (pendekatan harga air PDAM di lokasi sekitar Rp1.500/m3) dengan jumlah rata-rata penggunaan air tiap KK selama setahun. Perhitungan dapat dituliskan sebagai berikut :

Nilai Penyerapan Air = Harga air* pemakaian air/KK/hari*365* ΣKK = Rp1.500/M3 *0,3 M3/hari/KK * 365 hari/thn * 17.334 KK = Rp2.847.109.500/thn

c) Nilai Pilihan (Option Value)

Seperti yang telah dijelaskan bahwa nilai pilihan pada intinya merupakan nilai yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya alam (dalam hal ini hutan) baik DUV maupun IUV di waktu mendatang. Hasil identifikasi lapangan diperoleh informasi bahwa nilai pilihan areal Hutan Rawa Gambut Tripa antara lain sumber daya genetik dan spesies unik/khas.

Manfaat hutan tersebut di masa mendatang dapat dirasakan apabila areal hutan tersebut masih tetap ada. Oleh karena itu, nilai pilihan tersebut dapat didekati dengan cara menghitung seberapa besar willingness to pay (WTP) untuk mempertahankan hutan masih tetap ada agar manfaat pilihan dari hutan dapat dirasakan. Untuk menghitung WTP digunakan teknik Contingent Valuation Method (CVM) dengan lima tahapan yaitu membuat pasar hipotetik, mendapatkan nilai lelang atau penawaran, memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP, memperkirakan Kurva WTP, agregasi data dan evaluasi penggunaan CVM.

Sementara itu, untuk menilai besarnya WTP masyarakat sekitar kawasan Hutan Tripa dilakukan dengan cara mengalikan nilai rata-rata WTP masyarakat dengan jumlah penduduk di sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

Nilai Pilihan Kawasan hutan = sumberdaya genetic, spesies, dll

= WTP masyarakat terhadap nilai pilihan = rata-rata WTP (Rp/orang) * jml penduduk (orang) = Rp 107.235/orang * 27.882 orang = Rp 2.989.934.471/thn

Hasil evaluasi menunjukan bahwa masyarakat/responden mengerti atau memahami tentang berbagai hal yang berkaitan dengan barang atau jasa yang dihasilkan sumberdaya hutan. Evaluasi CVM secara tidak langsung juga dapat dilakukan melalui hasil regresi yang menghasilkan model kurva WTP dengan validasi model berdasarkan uji ekonomi, statistik dan ekonometrika. Uji ekonomi dapat dilihat dari kesesuaian tanda parameter, uji statistik melalui uji normalitas, signifikansi nilai parameter dan koefisien determinasi (R2) dan uji ekonometrika dengan melakukan analisis multikolinieritas dan heteroskedastisitas. Secara keseluruhan hasil validasi model menunjukkan hasil yang cukup baik terhadap uji statistik, ekonometrika, dan uji ekonomi. Validasi ini secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1, sementara hasil regresi terhadap nilai WTP masyarakat terhadap nilai pilihan disajikan pada Tabel 16.

Page 39: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 148

LAPORAN UTAMA

Pada Tabel 16 terlihat bahwa kurva WTP menyatakan bahwa pendapatan, pendidikan, dan umur berpengaruh nyata terhadap WTP pada taraf α=5%.

Tabel 16. WTP Masyarakat terhadap Nilai Pilihan kawasan Hutan Tripa dan factor yang mempengaruhinya

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta C 8.773545 0.372795 23.53449 0.0000 Pendidikan EDU 0.094653 0.026902 3.518459 0.0007* Pendapatan INC 2.56E-08 6.84E-09 3.742740 0.0003* Lama Tinggal LIVE 0.008826 0.005331 1.655533 0.1018 Umur AGE 0.019011 0.006690 2.841491 0.0057* Jenis Kelamin SEX 0.316459 0.231820 1.365108 0.1761

R-squared = 0.445138, F-statistic = 12.67553, Prob(F-statistic) = 0.000000 Adjusted R-squared = 0.410020, * nyata pada α=5%

Sumber : Hasil Analisis data

d) Nilai Pewarisan (Bequest Value)

Sama halnya dengan perhitungan nilai pilihan, nilai warisan dilakukan dengan pendekatan CVM dengan tahapan yang dilakukan sama. Nilai Pewarisan (bequest value) dimaksudkan agar manfaat dapat dinikmati untuk kepentingan generasi mendatang. Untuk menilai besarnya WTP masyarakat sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa terhadap nilai pewarisan, dilakukan dengan dengan cara mengalikan nilai rata-rata WTP nilai pewarisan dengan jumlah penduduk di sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

Nilai Pewarisan Hutan Rawa Tripa = Pewarisan untuk generasi mendatang

= WTP masyarakat terhadap nilai pewarisan = rata-rata WTP (Rp/orang) * jml penduduk (orang) = Rp108.235/orang * 27.882 orang = Rp3.017.816.471/thn

Adapun estimasi terhadap kurva WTP pewarisan disajikan pada Tabel 17. Secara keseluruhan hasil validasi model menunjukkan hasil yang cukup baik terhadap uji statistik, ekonometrika, dan uji ekonomi. Validasi ini secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1. Hasil estimasi menunjukan bahwa faktor pendapatan, pendidikan dan umur berpengaruh nyata terhadap WTP pada taraf α=5%.

Tabel 17. WTP terhadap nilai warisan kawasan hutan Rawa Tripa dan factor yang mempengaruhinya

Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta C 8.625773 0.339258 25.42539 0.0000 Pendidikan EDU 0.097137 0.024482 3.967717 0.0002 Pendapatan INC 2.30E-08 6.22E-09 3.694507 0.0004 Lama Tinggal LIVE 0.007960 0.004851 1.640691 0.1048 Umur AGE 0.024083 0.006089 3.955456 0.0002 Jenis Kelamin SEX 0.359383 0.210965 1.703517 0.0924

R-squared = 0.503707, F-statistic = 16.03601, Prob(F-statistic) = 0.000000 Adjusted R-squared = 0.472296, * nyata pada α=5%

Sumber : Hasil Analisis Data

Page 40: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

149 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

e) Nilai Keberadaan (Existence Value)

Sama halnya dengan perhitungan nilai pilihan dan nilai pewarisan, nilai keberadaan dilakukan dengan pendekatan CVM dengan tahapan yang dilakukan sama. Untuk menilai besarnya WTP terhadap nilai keberadaan, dilakukan dengan cara mengalikan nilai rata-rata WTP nilai keberadaan dengan jumlah penduduk di sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

Nilai Keberadaan Hutan Rawa Tripa = WTP masyarakat terhadap nilai keberadaan = rata-rata WTP (Rp/orang) * jml penduduk (orang) = Rp101.059/orang * 27.882 orang = Rp26.851.228.353/thn

Adapun estimasi terhadap kurva WTP keberadaan disajikan pada Tabel 18. Secara keseluruhan hasil validasi model menunjukkan hasil yang cukup baik terhadap uji statistik, ekonometrika, dan uji ekonomi. Validasi ini secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1. Hasil estimasi menunjukan bahwa faktor pendapatan, pendidikan dan umur berpengaruh nyata terhadap WTP pada taraf α=5%.

Tabel 18. WTP Terhadap Nilai Keberadaan Hutan Rawa Tripa dan Faktor Yang Mempengaruhinya

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta C 8.474533 0.347275 24.40291 0.0000 Pendidikan EDU 0.098235 0.025060 3.919935 0.0002 Pendapatan INC 2.61E-08 6.37E-09 4.103190 0.0001 Lama Tinggal LIVE 0.011954 0.004966 2.407106 0.0184 Umur AGE 0.021165 0.006232 3.395921 0.0011 Jenis Kelamin SEX 0.365390 0.215951 1.692005 0.0946

R-squared = 0.525300, F-statistic = 17.48415, Prob(F-statistic) = 0.000000 Adjusted R-squared = 0.495255, * nyata pada α=5%

Sumber : Hasil Analisis Data

Berdasarkan perhitungan Nilai Guna Langsung, Nilai Guna Tidak Langsung, Nilai Pilihan, Nilai Pewarisan dan Nilai Keberadaaan maka diperoleh Total Nilai Ekonomi Hutan Rawa Tripa sebesar Rp 106,1 trilyun/thn atau Rp 8,5 milyar/ha/thn. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Nilai Ekonomi Total Kawasan Rawa Tripa Tahun 2013

No Jenis Manfaat Nilai (Rp/Thn)

1 Nilai Guna Langsung 241.830.498.000 2 Nilai Guna Tidak Langsung 106.077.061.835.882 3 Nilai Pilihan 2.989.934.471 4 Nilai Keberadaan 26.851.228.353 5 Nilai Pewarisan 3.017.816.471

Total Economic Value 106.131.053.535.177

Total Economic Value (Rp/ha/thn) 8.520.852.601

Sumber : Hasil Analisis

Page 41: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 150

LAPORAN UTAMA

I. Nilai Pemanfaatan Kebun Kelapa Sawit

Pemanfaatan areal Hutan Rawa Gambut Tripa untuk perkebunan kelapa sawit adalah yang paling besar. Hasil interpretasi data peta citra tahun 2013 luas areal perkebunan sawit di areal Hutan Rawa Gambut Tripa seluas 32.484,96 Ha. Untuk perkebunan sawit perusahaan yang masih beroperasi di areal Hutan Rawa Gambut Tripa antara lain : PT. Kalista Alam, PT. Cemerlang Abadi, PT. Surya Panen Subur dan PT. Gelora Sawita Makmur. Total luas areal perkebunan sawit dari perusahaan tersebut sejumlah 25.874,96 Ha. Menurut Departemen Pertanian (2013), produktivitas rata-rata minyak sawit atau CPO yang dihasilkan perkebunan sawit perusahaan nasional sekitar 3,6 ton/ha/thn. Kadin (2013) menyebutkan bahwa harga CPO di pasaran internasional tahun 2013 sekitar 700US$/ton atau sekitar Rp 7 juta/ton (asumsi 1US = Rp10.000). Dengan demikian, nilai guna langsung dari pemanfaatan areal kebun kelapa sawit adalah sebagai berikut :

Pemanfaatan Kebun Sawit Perusahaan : = Luas areal kebun sawit perusahaan (Ha/tahun)* Produktivitas CPO (ton/ha/thn) *Harga CPO (Rp/ton) = 25.874,96 Ha * 3,6 ton/Ha/thn * Rp7 juta/ton CPO = Rp 652.048.992.000/tahun = Rp 652,0 milyar/tahun

Areal Hutan Rawa Gambut Tripa juga dimanfaatkan untuk areal perkebunan kelapa sawit masyarakat, termasuk diantaranya adalah kebun plasma milik masyarakat. Total luas areal perkebunan sawit masyarakat sejumlah 6.610 Ha. Hasil survey lapangan diperoleh bahwa produktivitas rata-rata minyak sawit atau CPO yang dihasilkan perkebunan sawit rakyat di sekitar Rawa Tripa sekitar 1 ton/ha/thn. Jika harga CPO di pasaran internasional tahun 2013 sekitar 700US$/ton atau sekitar Rp7 juta/ton, maka nilai guna langsung dari pemanfaatan areal kebun kelapa sawit rakyat adalah sebagai berikut :

Pemanfaatan Kebun Sawit Rakyat : = Luas areal kebun sawit perusahaan (Ha/tahun)* Produktivitas CPO (ton/ha/thn) *Harga CPO (Rp/ton) = 6.610 Ha * 1 ton/Ha/thn * Rp7 juta/ton CPO = Rp46.270.000.000/tahun = Rp46,3 milyar/tahun

J. Nilai Ekonomi Total Sempadan Sungai (Catchment Area)

Sempadan sungai adalah areal sepanjang kiri-kanan sungai termasuk sungai buatan, kanal, saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk melestarikan fungsi sungai. (Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir). Sempadan sungai dapat menjadi daerah tangkapan air yang mempunyai manfaat ekologis baik secara langsung yaitu sebagai penyedia dan pengatur air dan manfaat tidak langsung pencegah bajir, erosi dan tanah longsor.

Sungai yang ada di areal Hutan Rawa Gambut Tripa melintasi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot, yang terdiri dari Sungai Kuala Seumayam, Sungai Tripa, Sungai Batee dan Sungai Seuneuam. Sungai-sungai tersebut memiliki banyak manfaat bagi masyarakat khususnya yang bermukim sekitar areal Hutan Rawa Gambut Tripa. Sebagai sebuah areal sumberdaya alam, berbagai manfaat

Page 42: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

151 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

sungai tersebut akan diidentifikasi ke dalam nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai keberadaan, nilai pilihan dan nilai warisan.

a) Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)

Berdasarkan hasil observasi lapangan, keberadaan sungai yang melintasi tiga kecamatan lokasi studi telah secara langsung banyak dimanfaatkan masyarakat untuk penangkapan ikan sungai, penambangan pasir sungai, penangkapan kerang sungai dan pemenuhan air kebutuhan rumahtangga seperti mandi, mencuci, air minum dan sebagainya. Dengan demikian, nilai guna langsung dari ke-empat sungai tersebut diperoleh dari nilai pemanfaatannya secara langsung.

Hasil pengumpulan data lapangan diperoleh informasi bahwa sebagian rumahtangga yang berada di sekitar sungai memanfaatkan air sungai untuk keperluan rumahtangga khususnya untuk kebutuhan MCK. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya (2013) merilis bahwa jumlah KK yang ada di tiga kecamatan yang dilintasi Sungai Kuala Semayam, Tripa, Batee dan Seunaam sejumlah 7.188 KK, maka jika sebagian dari rumahtangga tersebut memanfaatkan langsung air sungai, maka ada sekitar 3.594 KK yang masih sangat tergantung dari keberadaan sungai untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan rumahtangga. Harga air baku PDAM di Banda Aceh yaitu sekitar Rp1.500/m3 , dan hasil survey diperoleh rata-rata penggunaan air per KK adalah sebesar 0,3 m3/KK/hari, maka nilai guna langsung pemanfaatan sungai untuk keperluan rumahtangga adalah sebagai berikut :

Nilai Pemanfaatan Air Sungai untuk Keperluan Rumahtangga : = rata-rata penggunaan air (m3/KK/hari)* 365 hari/thn* Jml KK pemanfaat *Harga air baku (Rp/m3) = 0,3 m3/KK/hari * 365 hari/thn * 3.594 KK * 1.500 Rp/m3 = Rp590.314.500/tahun = Rp0,59 milyar/tahun

Manfaat langsung lainnya dari keberadaan sungai di Kuala Tripa adalah sebagai sumber pengambilan ikan bagi sebagian masyarakat di sekitar Sungai. Hasil wawancara lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata ada sekitar 10 persen masyarakat yang memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk menangkap ikan, khususnya ikan lele atau sejenisnya dengan rata-rata hasil tangkapan sekitar 1 Kg/hari/KK. Jika harga ikan lele di lokasi Rp30.000/Kg, maka nilai guna langsung sungai dari pemanfaatan ikan adalah sebagai berikut :

Nilai Pemanfaatan Ikan Sungai: = rata-rata penangkapan ikan (Kg/hari/KK)* 365 hari/thn* Jml KK pemanfaat *Harga ikan sungai (Rp/Kg) = 1 Kg/hari/KK * 365 hari/thn * 700 KK * 30.000 Rp/Kg = Rp 7.665.000.000/tahun = Rp 7,6 milyar/tahun

Manfaat langsung lainnya dari keberadaan sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa adalah sebagai sumber pengambilan kerang sungai bagi masyarakat, terutama di masyarakat sekitar Sungai Kuala Suemayam. Hasil wawancara lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata ada sekitar 10 persen masyarakat di sekitar Sungai Kuala Semayam (sekitar 5 KK) yang memanfaatkan kerang sungai dengan rata-rata hasil tangkapan sekitar 3 karung per hari atau setara 300 Kg/hari/KK. Harga kerang sungai di

Page 43: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 152

LAPORAN UTAMA

lokasi Rp100.000/Kg, maka nilai guna langsung sungai dari hasil penangkapan kerang adalah sebagai berikut :

Nilai Pemanfaatan Kerang Sungai : = rata-rata penangkapan kerang (Kg/hari/KK)* 365 hari/thn* Jml KK pemanfaat *Harga kerang di lokasi (Rp/Kg) = 300 Kg/hari/KK * 365 hari/thn * 5 KK * 100.000 Rp/Kg = Rp 150.000.000/tahun = Rp 0,15 milyar/tahun

Aliran sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa juga dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penambangan pasir sungai. Hasil wawancara lapangan diperoleh informasi bahwa sebagian masyarakat di sekitar sungai (sekitar 3.594 KK) memanfaatkan langsung pasir sungai untuk keperluan pembangunan rumah/tempat tempat tinggal. Rata-rata hasil penambangan pasir sungai per KK hari sekitar 2 m3. Harga pasir sungai di lokasi Rp 200.000/m3, maka nilai guna langsung sungai dari hasil penambangan pasir sungai adalah sebagai berikut :

Nilai Pemanfaatan Pasir Sungai : = rata-rata pemanfaatan pasir (m3/KK/hari)* 365 hari/thn* Jml KK pemanfaat *Harga pasir di lokasi (Rp/m3) = 2 M3/KK/hari * 365 hari/thn * 3.594 KK * 200.000 Rp/Kg = Rp524.724.000.000/tahun = Rp. 524,7 milyar/tahun

b) Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Nilai guna tidak langsung dari keberadaan sungai yang melintasi areal Hutan Rawa Gambut Tripa diperoleh dari fungsi ekosistem yang dihasilkan sempadan sungai itu sendiri. Hasil identifikasi lapangan diidentifikasi bahwa fungsi sempadan sungai sebagai penahan banjir dan erosi. Sebagai sebuah ekosistem, keberadaan sempadan sungai berperan sebagai penampung air disaat terjadinya hujan dan run-off dari wilayah hulu untuk mencegah terjadinya banjir dan erosi. Oleh karena itu, fungsi sempadan sungai sebagai penahan banjir dan erosi merupakan nilai guna tidak langsung.

Nilai ekologis dari suatu sempadan sungai akan diperoleh jika sungai tersebut masih berfungsi artinya tidak terjadi sedimentasi agar mampu menahan banjir dan erosi. Oleh karena itu, nilai ekologis sempadan sungai areal Hutan Rawa Gambut Tripa didekati dengan pendekatan biaya pengganti yaitu dengan menghitung besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengerukan lumpur akibat sedimentasi sungai sebagai proxy dari nilai ekologis sungai atau nilai guna tidak langsung. Biaya pengerukan lumpur di lokasi sekitar Rp27.000/m3. Panjang sungai yang melintasi Rawa Tripa sekitar 2.966.150 m, lebar 10 m dan kedalaman sekitar 2 m, atau mampu menampung volume air sekitar 59.323.000 m3. Dengan demikian maka nilai guna tidak langsung dari sempadan sungai areal Hutan Rawa Gambut Tripa adalah sebagai berikut :

Nilai Guna Tidak Langsung = Nilai Ekologis Sungai = Penahan Banjir dan Erosi

= biaya pengerukan x volume air yang ditampung = Rp 27.000/m3 x 59.323.000 m3 = Rp 1.601.721.000.000

Page 44: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

153 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

c) Nilai Guna Pilihan (Option Value)

Nilai guna pilihan dapat diperoleh dari nilai guna langsung maupun nilai guna tidak langsung dari sempadan sungai areal Hutan Rawa Gambut Tripa atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa yang dihasilkan. Hasil observasi lapangan diidentifikasi adanya berbagai spesies yang terdapat di sempadan sungai yang bisa dinikmati. Selain itu, keberadaan sempadan areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang telah lama ada telah menjadi habitat dari berbagai spesies yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, nilai pilihan dari sempadan sungai di Rawa Tripa antara lain adalah spesies dan habitat.

Nilai pilihan dari sempadan sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa pada kajian ini didekati dengan cara menghitung seberapa besar willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap manfaat pilihan tersebut. Untuk menghitung WTP digunakan teknik Contingent Valuation Method (CVM) dengan lima tahapan yaitu membuat pasar hipotetik, mendapatkan nilai lelang atau penawaran, memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP, memperkirakan Kurva WTP, agregasi data dan evaluasi penggunaan CVM. Sementara itu, untuk menilai besarnya WTP masyarakat dilakukan dengan cara mengalikan nilai rata-rata WTP masyarakat dengan jumlah penduduk di sekitar DAS.

Nilai Pilihan Kawasan hutan = spesies, habitat, dll = WTP masyarakat terhadap nilai pilihan = rata-rata WTP (Rp/orang) * jml penduduk (orang) = Rp 80.574/orang * 27.882 orang = Rp 2.246.557.869/thn

Hasil evaluasi menunjukan bahwa masyarakat yang menjadi responden mengerti atau memahami tentang berbagai hal yang berkaitan dengan barang atau jasa yang dihasilkan Sempadan sungai. Evaluasi CVM secara tidak langsung juga dapat dilakukan melalui hasil regresi yang menghasilkan model kurva WTP dengan validasi model berdasarkan uji ekonomi, statistik dan ekonometrika. Secara keseluruhan hasil validasi model menunjukkan hasil yang cukup baik terhadap uji statistik, ekonometrika, dan uji ekonomi. Validasi ini secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1. Sementara hasil regresi terhadap nilai WTP masyarakat terhadap nilai pilihan disajikan pada Tabel 20.

Hasil estimasi menunjukan bahwa pendapatan, pendidikan, lama tinggal dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap WTP pada taraf α=5%.

Tabel 20. WTP Masyarakat terhadap Nilai Pilihan DAS di Rawa Tripa dan faktor yang mempengaruhinya

Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta C 9.907684 0.330531 29.97510 0.0000 Pendidikan EDU 0.049216 0.022330 2.204060 0.0317* Pendapatan INC 1.15E-08 5.79E-09 1.980264 0.0527* Lama Tinggal LIVE 0.015792 0.004648 3.397769 0.0013* Umur AGE -0.002088 0.006163 -0.338854 0.7360 Jenis Kelamin SEX 0.379785 0.168891 2.248703 0.0286*

R-squared = 0.500053, F-statistic = 11.00235, Prob(F-statistic) = 0.000000 Adjusted R-squared =,0.454604 * nyata pada α=5%

Sumber : Hasil Analisis

d) Nilai Keberadaan (Existence Value)

Page 45: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 154

LAPORAN UTAMA

Nilai keberadaan dari sempadan sungai yang berada di areal Hutan Rawa Gambut Tripa merupakan nilai ekonomi yang diperoleh dari suatu persepsi bahwa keberadaan ekosistem. Sempadan sungai memiliki nilai terlepas apakah ekosistem tersebut dimanfaatkan atau tidak. Adanya biodiversity dalam sebuah areal sempadan sungai merupakan nilai keberadaan sempadan itu sendiri. Biodiversity tersebut merupakan sebuah aset yang memiliki nilai ekonomi terlepas apakah dimanfaatkan atau tidak.

Nilai keberadaan dari sempadan sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa didekati dengan willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap keberadaan sempadan sungai tersebut. Dengan menggunakan teknik Contingent Valuation Method (CVM), maka besarnya WTP masyarakat terhadap nilai keberadaan sempadan sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa sebagai berikut:

Nilai Keberadaan Kawasan hutan = biodiversitas, dll = WTP masyarakat terhadap nilai keberadaan = rata-rata WTP (Rp/orang) * jml penduduk (orang) = Rp82.623* 27.882 orang = Rp2.303.693.115/thn

Model kurva WTP nilai keberadaan dengan validasi model berdasarkan hasil regresi disajikan pada Tabel 21. Validasi ini secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1. Hasil estimasi menunjukan bahwa pendapatan dan lama tinggal berpengaruh nyata terhadap nilai WTP pada taraf α=5%.

Tabel 21. WTP masyarakat terhadap nilai keberadaan Sempadan di Rawa Tripa dan faktor yang mempengaruhinya

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta C 9.973186 0.407298 24.48619 0.0000 Pendidikan EDU 0.013603 0.027516 0.494369 0.6230 Pendapatan INC 1.64E-08 7.13E-09 2.295038 0.0256* Lama Tinggal LIVE 0.026360 0.005727 4.602429 0.0000* Umur AGE -0.005189 0.007594 -0.683291 0.4973 Jenis Kelamin SEX 0.305181 0.208116 1.466394 0.1482 R-squared = 0.505789, F-statistic =11.25769 , Prob(F-statistic) = 0.000000 Adjusted R-squared =0.460860, * nyata pada α=5%

Sumber : Hasil Analisis

e) Nilai Warisan (Bequest Value)

Nilai warisan dari sempadan sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa merupakan nilai ekonomi yang berasal dari pelestarian ekosistem di sempadan sungai untuk kepentingan generasi mendatang. Berbagai manfaat bukan penggunaan (non-use) yang ada di sempadan sungai yang dapat dinikmati antara lain spesies, habitat flora fauna, dan sebagainya. Manfaat tersebut akan dapat dinikamti dan dapat diwarisi kepada generasi mendatang apabila masyarakat turut serta melestarikan ekosistem DAS di areal Hutan Rawa Gambut Tripa tersebut agar tetap terjaga.

Nilai pewarisan dari sempadan sungai di Rawa Tripa didekati dengan willingness to pay (WTP) dengan menggunakan teknik Contingent Valuation Method (CVM), maka besarnya WTP masyarakat terhadap nilai warisan sempadan sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa sebagai berikut :

Nilai Pewarisan sempadan = Pewarisan keberadaan sempadan, dll = WTP masyarakat terhadap nilai pewarisan

Page 46: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

155 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

= rata-rata WTP (Rp/orang) * jml penduduk (orang) = Rp 84.426 * 27.882 orang = Rp 2.353.972.131 /thn

Sama halnya dengan WTP keberadaan dan pilihan, model kurva WTP divalidasi berdasarkan hasil regresi yang disajikan pada Tabel 22. Validasi ini secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 1. Hasil estimasi menunjukan bahwa pendapatan dan lama tinggal berpengaruh nyata terhadap WTP pada taraf α=5%.

Tabel 22. WTP Masyarakat terhadap Nilai Pewarisan DAS di Rawa Tripa dan faktor yang mempengaruhinya

Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Konstanta C 10.12523 0.379539 26.67770 0.0000 Pendidikan EDU 0.013589 0.025641 0.529972 0.5983 Pendapatan INC 1.43E-08 6.65E-09 2.145794 0.0363* Lama Tinggal LIVE 0.027557 0.005337 5.163378 0.0000* Umur AGE -0.006945 0.007076 -0.981457 0.3307 Jenis Kelamin SEX 0.269621 0.193932 1.390285 0.1700 R-squared = 0.536113, F-statistic = 12.71267, Prob(F-statistic) = 0.000000 Adjusted R-squared = 0.493941, * nyata pada α=5%

Sumber : Hasil Analisis

Berdasarkan perhitungan Nilai Guna Langsung, Nilai Guna Tidak Langsung, Nilai Pilihan, Nilai Pewarisan dan Nilai Keberadaaan maka diperoleh Total Nilai Ekonomi Sempadan Sungai di areal Hutan Rawa Gambut Tripa sebesar Rp 2,14 trilyun/thn Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Nilai Ekonomi Total Sempadan Sungai di Rawa Tripa

No Jenis Manfaat Nilai (Rp/Thn)

1 Nilai Guna Langsung 533.129.314.500 2 Nilai Guna Tidak Langsung 1.601.721.000.000 3 Nilai Pilihan 2.246.557.869 4 Nilai Keberadaan 2.303.693.115 5 Nilai Pewarisan 2.353.972.131

Total Economic Value 2.141.754.537.615

K. Manfaat dan Biaya Ekonomi Konservasi Areal Hutan Rawa Gabut Tripa

Skenario Konservasi

Areal Hutan Rawa Gambut Tripa memiliki luas areal sekitar 60.657,28 ha dengan luas lahan berhutan saat ini sekitar 12.455,45 ha, sisanya sebagian besar (53,5%) telah menjadi areal perkebunan kelapa sawit sekitar 32.484,96 ha yang terdiri dari Perkebunan Besar Swasta (PBS) sekitar 25 ribu ha dan Perkebunan Rakyat sekitar 6,6 ribu ha termasuk kebun plasma. Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sangat penting keberadaannya karena memiliki fungsi ekologi untuk daya dukung lingkungan terhadap kawasan disamping sebagai sumber kegiatan ekonomi masyarakat dan wilayah.

Areal Hutan Rawa Gambut Tripa berperan sebagai pelindung alami ketika terjadi bencana tsunami 2004 dan menyelamatkan sebagian besar masyarakat yang ada di belakangnya. Areal Hutan Rawa Gambut Tripa juga berperan penting sebagai pengatur sistem tata air, sehingga masyarakat terhindar dari bencana banjir (Yayasan Ekosistem Leuser, 2008). Dengan demikian, nilai lingkungan dari keberadaan Areal Hutan Rawa

Page 47: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 156

LAPORAN UTAMA

Gambut Tripa ini perlu dijaga. Dalam jangka panjang, pengelolaan kawasan Areal Hutan Rawa Gambut Tripa harus dikelola secara berkelanjutan agar memberikan manfaat ekonomi, jasa lingkungan dan manfaat lainnya untuk masyarakat sekitar kawasan.

Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sendiri merupakan areal rawa gambut yang sebagian besar merupakan gambut dalam dengan ketebalan 3 meter atau lebih (Gambar 4). Sesuai peraturan mengenai pemanfaatan lahan gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih pada Keppres 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dinyatakan bahwa lahan gambut tersebut difungsikan untuk kawasan lindung. Kondisi eksisting di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang terjadi adalah sebagian areal gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih telah dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit Hal ini akan berdampak negatif terhadap fungsi ekologis lahan gambut sendiri dalam menjaga kestabilan lingkungan terutama sebagai penyimpang karbon.

Gambar 4. Peta Ketebalan Gambut Rawa Tripa

Selain gambut, di areal Hutan Rawa Gambut Tripa sendiri terdapat Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdiri dari DAS Kuala Seumayam, DAS Tripa, DAS Batee dan DAS Seuneuam. DAS tersebut melintasi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Darul Makmur, Tripa Makmur dan Babah Rot. DAS merupakan kawasan sumber daya alam yang memiliki manfaat ekologis baik secara langsung yaitu sebagai penyedia dan pengatur air dan manfaat tidak langsung pencegah bajir, erosi dan tanah longsor. Oleh karena itu, konservasi terhadap DAS menjadi sangat penting.

Hasil observasi lapangan diketahui bahwa area sempadan sungai yang ada di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang seharusnya untuk konservasi sebagian mengalami kerusakan akibat aktivitas ekonomi masyarakat sekitar areal tersebut. Untuk itu perlu dilakukan konservasi di areal sempadan sungai untuk menjaga fungsi ekologis DAS sebagai stabilitas ekosistem dan lingkungan.

Page 48: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

157 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tindakan untuk memulihkan fungsi ekologis Areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang telah rusak karena alih fungsi perlu dilakukan salah satunya melalui kegiatan rehabilitasi lahan. Tujuan rehabilitasi sendiri, pada saat yang bersamaan juga dapat memberikan manfaat sosial-ekonomi kepada masyarakat setempat. Dengan kata lain, kegiatan konservasi yang dilakukan perlu mempertimbangkan manfaat dan biaya dari kegiatan tersebut. Harapannya, manfaat yang dihasilkan lebih besar daripda besarnya biaya akibat konservasi tersebut.

Pada kajian ini, dilakukan skenario konservasi ekosistem Areal Hutan Rawa Gambut Tripa yang terbagi dalam setiap zonasi antara lain Zona Hutan, Zona Daerah Konservasi, Zona Perkebunan Sawit, Zona Kebun Campuran dan Zona Pertanian. Skenario konservasi disajikan pada Tabel 24. Pada skenario zonasi tersebut, luas areal yang direhabilitasi seluas 13.000 ha. Dari sejumlah tersebut, penambahan untuk luas areal berhutan sejumlah 8.450,24 ha, di mana 8.000 ha untuk hutan dan 450,24 ha areal berhutan tersebut untuk daerah konservasi.

Daerah konservasi sendiri seluas 5.000 ha, masing-masing seluas 4.549,76 ha untuk rehabilitasi daerah sempadan sungai dan sisanya 450,24 ha untuk rehabilitasi hutan. Sementara luas areal yang berkurang untuk dikonservasi adalah areal perkebunan sawit seluas 12.007,64 ha dan hutan semak belukar seluas 992,36 ha. Dengan demikian total luas areal yang diusulkan untuk dikonservasi adalah seluas 13.000 ha.

Tabel 24. Skenario Zonasi Ekosistem Rawa Tripa

Kondisi Eksisting Luas (Ha) Usulan Zonasi Luas (Ha)

1 Hutan 12.455,45 1 Hutan/Lab Alam 20.455,45

2 Hutan Semak/Sekunder 992,36 2 Daerah Konservasi 5.000,00

- Daerah semp sungai 4.549,76

- Hutan 450,24

3 Kebun Sawit 32.484,96 3 Kebun Sawit 20.477,32

4 Kebun Campuran 10.842,71 4 Kebun Campuran 10.842,71

5 Pertanian Tanah Kering 1.614,68 5 Pertanian 3.881,80

6 Lahan Terbuka 2.267,12

Total 60.657,28 Total 60.657,28

Manfaat dan Biaya Ekonomi Konservasi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa

Dalam rangka menghitung keseluruhan biaya-biaya ekonomi dan manfaat dari kegiatan rehabilitasi lahan di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa, terlebih dahulu dilakukan penentuan komponen manfaat dan biaya yang akan dihitung. Hasil perhitungan manfaat dan biaya tersebut merefleksikan hasil perbandingan nilai suatu areal jika tanpa dikonservasi dan jika dilakukan konservasi. Maturana (2005) menyatakan penggunaan analisis manfaat biaya pada suatu projek investasi sumberdaya alam dimaksudkan untuk memperoleh perkiraan dampak positif atau manfaat sosial dan dampak negatif atau disebut biaya-biaya sosial.

Manfaat Ekonomi

Komponen manfaat yang dihitung adalah keseluruhan manfaat areal yang akan dikonservasi dalam hal ini penambahan areal berhutan seluas 8.450,24 ha dan daerah konservasi sempadan sungai dan pantai seluas 4.549,76 ha. Pada kajian ini, perhitungan

Page 49: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 158

LAPORAN UTAMA

manfaat dari masing-masing areal yang dikonservasi menggunakan pendekatan ekonomi total atau Total Economic Value (TEV) dan pendekatan manfaat langsung atau Direct Use Value (DUV).

Pendekatan TEV dimaksudkan untuk memperoleh nilai keseluruhan dari areal yang diusulkan untuk dikonservasi, baik manfaat langsung (Direct Use Value=DUV), manfaat ekologis atau manfaat tidak langsung (Indirect Use Value=IUV), manfaat keberadaan (Existence Value=EV), manfaat pilihan (Option Value=OV) dan manfaat pewarisan (Bequest Value). Sementara itu, pendekatan DUV dimaksudkan hanya untuk memperoleh besarnya manfaat langsung yang selama ini dirasakan masyarakat sekitar kawasan. Pertimbangannya adalah ketika usulan rehabilitas terealisasi, maka manfaat langsung yang selama ini dirasakan masyarakat menjadi pertimbangan kuat. Pendekatan DUV tidak memperhitungkan manfaat ekologis dan manfaat-manfaat lainnya yang sifatnya hanya berupa nilai potensial.

Hasil valuasi terhadap Areal Hutan Rawa Gambut Tripa pada sub Kajian 2 di atas, diperoleh nilai ekonomi total atau TEV sebesar Rp 106.131.053.535.177/thn atau sekitar Rp 8.520.852.601/ha/thn. Sementara nilai pemanfaatan langsungnya atau DUVnya sebesar Rp 241.830.498.000/thn atau sekitar Rp 19.415.637/ha/thn. Nilai DUV ini terdiri dari pemanfaatan kayu bakar, rotan, sawah dan kebun campuran. Dalam skenario kajian, manfaat yang dihitung hanya pemanfataan kayu bakar dan rotan karena areal yang akan dikonservasi akan dijadikan hutan saja. Dengan demikian, nilai pemanfaatan langsung atau DUV HRT sebesar Rp 21.132.720.000/thn atau sekitar Rp 1.696.665/ha/thn.

Dalam skenario usulan konservasi, luas areal lahan yang akan dijadikan hutan seluas 8.450,24 ha, dengan demikian perhitungannya adalah sebagai berikut :

Manfaat Total areal = penambahan luas HRT x TEV HRT per unit = 8.450,24 ha x Rp 8.520.852.601/ha/thn

= Rp 72.003.249.487.180/thn

Manfaat Langsung areal = penambahan luas HRT x DUV HRT per unit = 8.450,24 ha x Rp 1.696.665/ha/thn = Rp 14,337,222,329 /thn

Daerah sempadan sungai merupakan satu kesatuan ekosistem DAS, sehingga valuasi terhadap daerah sempadan sungai merupakan valuasi DAS itu sendiri. Nilai ekonomi total atau TEV DAS di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sebesar Rp 2.141.754.537.615/thn. Sementara nilai pemanfaatan langsung atau DUV DAS Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sebesar Rp 533.129.314.500/thn.

Panjang sungai yang melintasi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sekitar 2.966,15 km atau 2.966.150 m. Daerah sempadan sungai adalah 14 m dimana sepadan kiri dan kanan masing-masing 7 meter dan lebar sungai sekitar 10 meter atau total lebar DAS 24 meter. Dengan demikian, luas DAS adalah 7.119 ha (24 m x 2.966.150 m). Nilai TEV DAS per hektar per tahun sebesar Rp 300.860.619 dan nilai pemanfaatan langsungnya atau DUVnya DAS Areal Hutan Rawa Gambut Tripa per hektar per tahun adalah sebesar Rp 74.890.755.

Page 50: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

159 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Biaya Ekonomi

Komponen biaya ekonomi dihitung berdasarkan besarnya biaya rehabilitasi yang diperlukan untuk kegiatan konservasi dan biaya peluang (opportunity cost) yang diperoleh dari nilai pemanfaatan langsung yang hilang karena areal lahan untuk kegiatan ekonomi direhabilitasi menjadi hutan dan daerah konservasi. Adapun komponen biaya ekonomi yang diperhitungkan adalah sebagai berikut :

1) Biaya Rehabilitasi Lahan

Pada kajian ini, perhitungan standar biaya rehabilitasi didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri yang besarannya maksimum sekitar Rp 16.662.034/ha. Dalam skenario usulan konservasi, luas areal lahan yang diusulkan direhabilitasi seluas 13.000 ha yang diperoleh dari areal perkebunan sawit seluas 12.007,64 ha dan hutan semak belukar seluas 992,36 ha. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

Biaya Rehabilitasi Lahan = luas areal direhabilitasi x biaya per unit = 13.000 ha/thn x Rp 16.662.034/ha = Rp 216.606.442.000 /thn

2) Biaya Peluang

Biaya peluang adalah manfaat yang hilang dari suatu aktivitas karena memilih atau digantikan oleh aktivitas lain. Pada kajian ini, manfaat yang hilang adalah manfaat langsung dari luasan perkebunan sawit yang dikonversi menjadi hutan. Luas areal kebun sawit yang berkurang dalam skenario kajian ini adalah luas areal kebun sawit milik swasta. Pada pembahasan di atas, diperoleh hasil perhitungan manfaat langsung perkebunan sawit milik swasta di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sebesar Rp 25.200.000/ha/thn. Pada kajian ini, skenario konversi kebun sawit menjadi hutan diasumsikan akan dilakukan setelah HGU sawit habis. Dengan demikian, biaya penebangan sawit, biaya kompensasi sosial, biaya yg hilang dari nilai manfaat lingkungan sawit dan biaya lainnya terkait biaya konversi tidak diperhitungkan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka perhitungan biaya peluang adalah sebagai berikut :

Biaya Peluang = manfaat langsung kebun sawit = luas areal kebun yang direhabilitasi x manfaat per unit

= 12.007,64 ha x Rp 25.200.000/ha/thn = Rp 302.592.528.000 /thn

Perbandingan Manfaat dan Biaya

Hasil perhitungan manfaat dan biaya dari usulan kegiatan konservasi lahan di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa dapat diperoleh perbandingan seberapa besar manfaat yang akan diperoleh dibandingkan dengan besarnya total biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan konservasi tersebut. Jika nilai perbandingan manfaat dan biaya lebih besar dari satu (B/C > 1) menggambarkan bahwa jika kegiatan rehabilitasi lahan dilakukan memiliki manfaat sosial ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan tidak dilakukannya rehabilitasi, dan sebaliknya. Hasil selengkapnya mengenai perbandingan manfaat dan biaya kegiatan rehabilitasi disajikan pada Tabel 25.

Page 51: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 160

LAPORAN UTAMA

Tabel 25. Nilai Manfaat dan Biaya Konservasi Rawa Tripa

No Manfaat dan Biaya Manfaat atau Biaya

(Rp/ha)

Luas direhabilitasi/

hilang (ha) Nilai (Rp/thn)

1 Manfaat (B)

a DUV Hutan Tripa 1.696.665 8.450,24 14.337.222.329

b DUV DAS Tripa 74.890.755 4.549,76 340.734.963.665

c TEV Hutan Tripa 8.520.852.601 8.450,24 72.003.249.487.180

d TEV DAS Tripa 300.860.619 4.549,76 1.368.843.608.305

2 Biaya (C)

a Rehabilitasi Lahan 16.662.034 13.000,00 216,606,442,000

b

Manfaat Langsung Kebun Sawit yang Hilang

25.200.000 12.007,64 302,592,528,000

3 Rasio Manfaat - Biaya (B/C)

A Pendekatan TEV 141,3

B Pendekatan DUV 0,7

Sumber : Hasil Analisis

Pada Tabel 26 diperoleh rasio manfaat – biaya (B/C) untuk pendekatan TEV lebih besar dari satu (B/C > 1), namun untuk pendekatan DUV rasio manfaat – biaya kurang dari satu (B/C < 1). Hal ini dapat disimpulkan bahwa jika memperhitungkan manfaat langsung (manfaat riil), manfaat lingkungan (manfaat potensial) dan manfaat lainnya, maka usulan untuk melakukan konservasi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa melalui kegiatan rehabilitasi lahan akan memberikan manfaat yang lebih besar dibanding besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, jika kegiatan rehabilitasi lahan hanya manfaat langsung yang menjadi pertimbangan kuat dan tidak memperhitungkan manfaat ekologis dan manfaat-manfaat lainnya yang sifatnya hanya berupa nilai potensial, maka usulan untuk melakukan konservasi HRT melalui kegiatan rehabilitasi lahan akan memberikan manfaat yang lebih kecil dibanding besarnya biaya yang harus dikeluarkan.

Nilai Ekonomi Total Rawa Tripa Dengan dan Tanpa Skenario Rehabilitasi

Tabel 26 menunjukkan nilai perbandingan nilai TEV Rawa Tripa dengan adanya skenario rehabilitasi lahan dan tanpa adanya skenario rehabilitasi lahan (kondisi eksisting). Nilai TEV Areal Hutan Rawa Gambut Tripa dengan rehabilitasi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa adanya rehabilitasi. Jika dilihat dari Nilai Guna Langsung, adanya rehabilitasi lahan menyebabkan penurunan manfaat langsung akibat berkurangnya manfaat yang dihasilkan dari perkebunan sawit. Namun demikian, penurunan manfaat kebun sawit tersebut terkompensasi oleh peningkatan nilai manfaat ekologis atau lingkungan (Nilai Guna Tidak Langsung).

Tabel 26. Nilai Ekonomi Total Rawa Tripa Dengan atau Tanpa Rehabilitasi

No Manfaat TEV tanpa Skenario

Rehabilitasi (Rp/thn) TEV dengan Skenario Rehabilitasi (Rp/thn)

1 Nilai Guna Langsung 1.473.278.804.500 1.192.742.915.161

A Hutan 241.830.498.000 256.167.720.329

B Kebun Sawit Perusahaan 652.048.992.000 349.456.464.000

C Kebun Sawit Rakyat 46.270.000.000 46.270.000.000

D DAS 533.129.314.500 540.848.730.832

Page 52: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

161 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

2 Nilai Guna Tidak Langsung 107.678.782.835.882 218.420.502.997.121

A Oksigen 106.047.101.702.822 216.760.523.464.061

B Karbon 27.113.023.560 55.411.423.560

C Penyerapan Air 2.847.109.500 2.847.109.500

D Nilai Ekologis DAS Penahan

Banjir dan Erosi 1.601.721.000.000

1.601.721.000.000

3 Nilai Pilihan 5.236.492.340 5.236.492.340

a Hutan 2.989.934.471 2.989.934.471

b DAS 2.246.557.869 2.246.557.869

4 Nilai Keberadaan 29.154.921.468 29.154.921.468

a Hutan 26.851.228.353 26.851.228.353

b DAS 2.303.693.115 2.303.693.115

5 Nilai Warisan 5.371.788.602 5.371.788.602

a Hutan 3.017.816.471 3.017.816.471

b DAS 2.353.972.131 2.353.972.131

Total Economic Value (TEV) 109.191.824.842.792 219.653.009.114.692

Sumber : Hasil Analisis

Sementara itu, nilai manfaat pilihan, manfaat keberadaan dan manfaat pewarisan tidak mengalami perubahan karena pendekatan Willingness To Pay untuk menilai kemauan/willingness masyarakat (responden) terhadap manfaat-manfaat tersebut diasumsikan sama dengan adanya skenario rehabilitasi lahan maupun tanpa adanya skenario rehabilitasi lahan (kondisi eksisting).

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Zonasi rehabilitasi dapat dilaksanakan pada Areal Hutan Rawa Gambut Tripa dengan penambahan luasan hutan dari 12.455,45 ha menjadi 20.455,45 ha dan terjadi pengurangan luasan perkebunan kelapa sawit dari 32.484,96 menjadi 20.477,32 ha.

2. Implementasi zonasi tersebut tentu saja akan berdampak pada manfaat lingkungan, ekonomi dan sosial di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa. Hasil perhitungan biaya dan manfaat dengan menggunakan pendekatan manfaat langsung atau DUV diperoleh nilai B/C lebih kecil dari 1 yaitu sebesar 0,7 sedangkan jika menggunakan pendekatan ekonomi total atau TEV diperoleh nilai B/C lebih dari 1 yaitu sebesar 141,3

3. Nilai B/C yang kurang dari satu dengan pendekantan DUV, menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsung yang akan diperoleh. Hal tersebut merupakan sebuah kewajaran karena tujuan utama dari kegiatan rehabilitasi adalah untuk melakukan konservasi atau untuk mendapatkan manfaat lingkungan. Manfaat lingkungan yang diperoleh dari rehabilitasi yang akan dilakukan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

B. Rekomendasi

1. Rehabilitasi lahan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan lokasi-lokasi perusahaan yang tidak berisi sawit, masuk kedalam areal konservasi perusahaan, di

Page 53: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 162

LAPORAN UTAMA

lokasi-lokasi gambut dalam atau lokasi yang terlarang oleh peraturan yang berlaku untuk ditanami kelapa sawit. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuntutan hukum maupun kompensasi dari pihak perusahaan sawit

2. Meskipun berdasarkan analisis biaya manfaat (B/C) dengan pendekatan manfaat langsung (DUV) lebih kecil dari satu, kegiatan rehabilitasi tetap diperlukan dengan pertimbangan bahwa tujuan rehabilitasi adalah meningkatkan daya dukung lingkungan yang dalam jangka panjang akan berdampak terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat.

3. Dalam rangka meningkatkan nilai manfaat langsung dari Areal Hutan Rawa Gambut Tripa sistem penanaman yang digunakan bisa menggunakan tumpang sari antara pohon kehutanan dengan jenis-jenis tanaman yang dapat menghasilkan seperti kopi, tanaman buah-buahan, tanaman rempah serta tanaman obat. Jenis produk yang dipilih dapat disesuaikan dengan kesesuaian biofisik, sosial ekonomi dan peluang pasar. Sistem ini dipakai terutama untuk lokasi-lokasi yang memiliki kerawanan sosial tinggi, atau areal yang sudah dikuasai oleh masyarakat.

4. Jenis-jenis pohon yang direhabilitasi bisa dicampur dengan jenis pohon kehidupan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, seperti karet dengan perbandingan 80:20, sehingga dalam jangka panjang (setelah 5-6) tahun areal yang direhabilitasi dapat menghasilkan pendapatan langsung.

5. Mengembangkan potensi wisata yang ada baik dari segi organisasi dan kelembagaan serta sarana dan prasarana agar manfaat langsung dari kawasan Areal Hutan Rawa Gambut Tripa bisa meningkat.

6. Mengembangkan areal konservasi menjadi pusat penangkaran flora dan fauna yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Barat Daya. 2013. Kecamatan Babah Rot Dalam Angka 2012.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya. 2013. Kecamatan Darul Makmur Dalam Angka 2012.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Nagan Raya. 2013. Kecamatan Tripa Makmur Dalam Angka 2012.

Binnie & Partners. 1986. Inventory of Water Resources Schemes – Volume 2 – Existing Situation. Aceh Design Unit, Provincial Water Resources Development Plant Binnie and Partners Ltd. With Hunting Technical Survey Ltd. And Hunting Surveys Ltd. Ministry of Public World. General Directorate of Water Resources Development. Directorate of Planning and Programming. Jakarta.

Darmansyah. 2012. Rawa Tripa Riwayatmu Doeloe. http://www.nuga.co/nugatama/ rawa-tripaii-riwayatmu doeloe.html#.Ue_mG-Sw-J8

Departemen Pertanian. 2013. Pemerintah Fokus Peningkatan Produktivitas Sawit. http://www.investor.co.id / agribusiness / pemerintah-fokus-peningkatan-produk-tivitas-sawit /30498.

EEPSEA and WWF. 1998. Interim results of Study on the Economic Value of Haze Damage in Southest Asia. Jakarta.

Page 54: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

163 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

ECOFYS, 2013. Mapping Carbon Pricing Initiatives : Development and Prospect. May 2013, Washington DC.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gujarati, D. N. 1999. D.N., 1995, Basic Econometrics, Third Edition, Mc. Graw-Hill, International Edition

Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental. Edward Elgar Publishing England.

Kamar Dagang dan Industri. 2013. Draft Modul : Inovasi Pembiayaan Usaha Agribisnis, Jakarta.

Kementerian Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Jakarta.

____________________. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2012. Jakarta.

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Expotition of Econometrics Methods. Second Edition. Harper and Row Publishers Inc. New York.

Mahesi, Vidya. 2008. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Kebun Raya Cibodas. Skirpsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Petanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Palang Merah Indonesia. 2013. Pohon Penyumbang Oksigen untuk Kehidupan di Bumi. http:// pmiaceh.or.id / artikel / 74-artikelnote / 141-pohon-penyumbang-oksigen-untuk-kehidupan-di-bumi. Diakses tanggal 1 Oktober 2013.

Pearce, DW and Kerry, T. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. The Johns Hopkins University Press, Baltimore.

Peraturan Menteri Kehutanan, Nomor : P.26/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri

_________________________, Nomor : P.3/Menhut-II/2009 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kehutanan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor 27 tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.

Rachmawati, N. 2008. Karakteristik Bahan Bakar dan perilaku Api Pada Kebakaran Hutan dan Lahan Rawa Gambut. Jurnal Hutan Tropis Borneo.

Saharjo, B.H., Syaufina, L., Putra, E.I., Nurhayati, A.D. 2012. Kebakaran Hutan dan Lahan. Modul Kuliah Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Suratmo, G. 2009. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Syahputra, D. 2012. Rawa Tripa dan Pemahaman Keliru. http://goo.gl/HvMxJ6

Page 55: JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA - Jurusan …cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/04-Ecosystem-Service-and-Social... · Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ... terganggunya

JASA EKOSISTEM DAN ISU SOSIAL BUDAYA | 164

LAPORAN UTAMA

Tim Peneliti Unsyiah. 2013. Studi Ilmiah untuk Rehabilitasi dan Pengelolaan Hutan Gambut Rawa Tripa. Makalah disampaikan pada Lokakarya Para Pemangku Kepentingan dan Pemerhati Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut di Kawasan Rawa Tripa. Kerjasama BAPPEDA Aceh, UKP-4/Satgas REDD+, TKPRT dan Unsyiah. Hotel Kuala Radja, Banda Aceh 20 Februari 2013.

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan dan Lingkungan Hidup.

YEL & Pan Eco. 2008. Bagaimana Perkebunan Kelapa Sawit di Tripa Beresiko Mendatangkan Bencana, Berkontribusi Terhadap Pemanasan Global dan Membuat Populasi Unik Orangutan Sumatera Menjadi Punah. Laporan Kegiatan. http://goo.gl/tDi2of.