46

Jangan sedih.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jangan sedih.docx
Page 2: Jangan sedih.docx

"Jangan sedih, tetaplah bersamaku, Trid. Bukan bersama dia atau pada siapapun. Hanya pada pelukku. Tak bisakah kamu membutuhkanku saja? Mungkin di dunia ini tak ada kehidupan selamanya, tapi aku mau bersamamu lebih lama", ujar Dilan, mendekap

tubuhku seperti sebuah isyarat cinta. Begitu mesra.

Tentu saja aku kaget Dilan berkata seperti itu, membisikannya kepadaku dengan memelukku tiba-tiba. Dan entah kenapa aku justeru bahagia. Jika bahagia semudah ini,

kenapa mempersulit? Cukup berani jujur. Saat jujur menjauhkan jarak. Aku yakin, tangan Tuhan selalu bisa mendekatkan.

-Ilham Gunawan-

Page 3: Jangan sedih.docx

Astrid1

Namaku Astrid, anak perempuan satu-satunya Mamaku yang dilahirkan dengan selamat dibantu Ibu Dokter di atas pulau kapuk. Dari lahir aku benar seorang perempuan, dan sampe saat ini belum kepikiran untuk pindah jenis kelamin. Aku tinggal di bumi sekarang, sama seperti kalian. Aku imigran dari surga yang diselundupkan Papaku ke rahim Mama dengan sembunyi-sembunyi. Aku tahu, itu misi rahasia mereka berdua. Tapi stop!!! Jangan beranggapan bahwa aku adalah bidadari. Aku adalah manusia biasa yang ditakdirkan kebetulan jadi seorang guru di bumi ini. Sekarang, duduk manislah sambil tersenyum dan dengarkan aku bicara. Aku mau bercerita banyak tentang diriku. Tentang hidupku, tentang sedikit kisahku dan segala keresahannya. Dan inilah ceritaku:

Udara dingin masih sibuk menyergap seluruh tulang. Meremas tubuh dengan hawanya yang enggan untuk menghilang. Terik mentari mendadak lenyap, disekap paksa oleh rimbun kepulan pekat awan hitam yang beterbangan. Burung-burung merajuk awan putih lewat kicaunya, berharap birunya langit mau segera hadir untuk mendekap sekujur tubuh-tubuh kedinginan yang hampir membeku karena dijatuhi ribuan peluru air langit. Tetesan air yang bergerombolan jatuh masih enggan pergi. Kota Indramayu, kota kecil dari pinggiran pantai utara, Jawa Barat masih dibungkus hujan. Semoga saja lekas berhenti. Entah sampai kapan, semoga saja cepat habis dan selesai, agar banjir tak sampai mampir di kota ini.

Suasana ruang guru terasa sunyi, beberapa guru sudah pulang. Tinggalah aku dan beberapa guru yang sudah bersiap-siap juga untuk pulang. Aku yang dari tadi masih duduk manis di kursiku bertopang dagu menikmati sisa hujan yang namaknya mulai reda, memandang kosong layar laptop. Suasana hatiku buncah. Kacau. Moodku buruk. Mau pulang saja rasanya malas, seperti diperintah untuk kerja rodi 'ngaspal' jalanan. Mengingat wajah suami jadi-jadianku membuat suasana hatiku memburuk. Bukan karena suami jadi-jadianku yang bernama Dilan itu jelek, bau ketek atau jerawatan. Dilan tampan, mapan. Tapi maaf, bukan dia yang aku suka diam-diam.

Kubenamkan wajah di atas meja, menyesal kenapa mau saja dinikahkan dengannya, sedangkan aku saja masih muda belum jadi perawan tua. Jadi tidak ada alasan untukku takut tidak laku, tidak ada yang mau menikahiku. Dan sekarang aku menyesal. Bingung. Sebenarnya apa yang ada dibenakku Saat itu mengiyakan saja semuanya.

"Hei, pengantin baru udah lesu aja."

Aku tak mengangkat kepala, hanya menoleh ke arah Sofie yang sudah duduk di depanku.

"Aku baru tahu ada pengantin baru langsung masuk kerja, nggak ada bulan madu nih?"

"Bisa diem nggak, ngeledek aja terus", sungutku makin bete.

Sofie adalah teman dekatku dari sejak kuliah yang juga seorang guru di sini, dia tertawa menertawakan nasibku dan mungkin ketololanku.

Page 4: Jangan sedih.docx

"Jadi gimana malam pertamanya?", bisik Sofie meledekku.

"Sofie, kamu bikin makin bete tahu nggak."

"Habis aku suka lihat wajah betemu, masa bu guru idola manyun gitu habis nikah."

Aku gemes dibuatnya, kupukul saja dia dengan buku setebal novel.

"Kamu ini bukannya menghiburku malah gitu."

"Ya gimana dong, nikmati aja sih," ucap Sofie. Mengusap-usap lengannya yang bekas kupukul.

"Tapi aku nggak pernah cinta", ucapku lesu dan berdecak sebal.

"Nggak cinta tapi mau dinikahin."

"Terpaksa!", jawabku sewot.

"Apanya yang terpaksa? Kamu itu punya waktu sebulan buat mikir kemarin. Tapi apa? Nggak ada tindakan tuh buat nolak."

"Tahu ah! Yang aku suka itu Adi bukan Dilan. Jangan bahas Dilan lagi ah."

Aku kembali membenamkan wajah lesu. Sofie benar, tapi aku tak mau membenarkan. Itu sama saja aku membenarkan kebodohanku yang mau saja menikah dengan suamiku.

"Kalau kamu suka Adi, harusnya bilang dong bukannya ngeiyain nikah sama suami kamu."

"Aku kan udah bilang dari kemarin-kemarin Sofie. Ngerti nggak sih? Adi itu kan udah mau nikah sama pacarnya. Aku bisa apa?".

Sofie menggeleng-geleng pelan menanggapi ucapanku, dia sudah terbiasa dengan semua sifat dan sikapku. Aku mungkin terlihat dewasa di depan muridku, tapi tidak bisa saat di depan Sofie. Dia teman yang paling mengerti aku saat ini. Bahkan sejak dulu.

"Kalau cinta ya diperjuangin, kalau udah nyerah dulu ya udah, lupain. Simpel kan. Galau kok telat, inget kamu itu udah jadi istri orang. Istri itu harus berbakti sama suami. Nanti nggak dapat surga lho."

"Kamu itu guru bahasa apa guru agama sih? Udah kayak ustadzah aja tahu. Tapi ngomong itu gampang, rasainlah jadi aku."

"Aku mah mau banget kali jadi istrinya Dilan, bilang dong dari kemarin kalau minta tukaran."

Kukerutkan alisku dan mencibir malas.

"Ogah juga kali tukeran, masa aku suruh sama pacarmu yang romantisnya lebay."

"Tapi kan romantis."

Page 5: Jangan sedih.docx

"Tapi lebay!".

"Yang penting bukan alay", balas Sofie tidak terima.

"Memang apa bedanya lebay sama alay?", tanyaku heran.

"Beda dong! Lebay itu sesekali, kalau alay itu tiap hari."

"Nah kan pacarmu tiap hari tuh, berarti alay dong", cibirku lagi dan merasa konyol dengan jawaban Sofie.

"Ih Astrid, malah ngata-ngatain pacarku sih. Udah ah aku mau pulang. Selamat menikmati menjadi nyonya Dilan Rahardian."

Sofie langsung ngacir setelah mengatakan itu, membuatku kepengen nglempar dia pakai kursi. Ngeselin!

Kulirik arlojiku, sudah pukul 04.30. Kutarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Tanganku meraih barang-barang tanpa semangat memasukkan ke dalam tas. Setelah ini aku harus pulang ke rumah Dilan, bukan rumah yang biasanya aku tinggali. Sebenarnya nama Dilan adalah hal terakhir yang ingin kuingat, tapi otak seakan tak mau bekerjasama denganku saat ini.

Asal kalian tahu, aku baru bertemu Dilan setelah perjodohan itu, hanya bertemu beberapa kali dan kami langsung menikah. Entah apa yang terjadi hingga sebulan itu aku jadi penurut seperti dihipnotis.

Ponselku berdering, tanpa melihat siapa yang menelpon. Kuangkat dan menempelkan ponselku di antara telinga dan bahu, sedangkan tanganku sibuk mematikan laptop.

"Masih belum mau pulang? Aku udah nunggu satu jam lebih di depan."

Aku langsung menjauhkan ponselku sendiri. Melihat nama yang ada di layarnya. Dilan. Reflek aku mendengus sebal dan mematikkan ponselnya begitu saja, kemudian meraih tas dan siap pulang ke rumah masa depan yang tak menyenangkan.

"Kenapa lama?", tanyanya setelah aku masuk ke dalam mobilnya.

"Aku mana tahu kamu nunggu lama."

"Biasanya kan pulang setengah empat."

"Aku nggak minta kamu buat jemput", jawabku sambil memasang sabuk pengaman.

"Aku nggak mau dipenggal kakakmu hidup-hidup", balas Dilan cepat.

"Ya bilang aja udah jemput", ucapku dengan nada sedikit naik.

"Aku nggak pernah bohong."

"Pernah!", balasku langsung tapi aku malas membahasnya. Lagian itu nggak penting lagi.

"Kapan?".

Page 6: Jangan sedih.docx

"Kalau lupa ya udah anggap aja belum", jawabku, kubuat santai walaupun dalam hati rasanya ingin sekali memukulkan kepalanya ke setir.

Kami kembali diam, sedihnya baru terasa. Sebenarnya bukan karena siapa yang aku suka, tapi lebih ke siapa yang menyayangiku setulus hati.

Memang tak ada masa depan untuk perasaanku terhadap orang yang aku suka, tapi sebenarnya aku masih punya mimpi. Mimpi akan bersama orang yang menyayangiku sepanjang hidup. Bukan bersama orang yang terpaksa menikahiku seperti ini, bahkan untuk menjemputku saja terpaksa, bagaimana mau mencintaiku dengan tulus?

"Mau makan malam apa?", tanyanya memecah keheningan sejak tadi.

"Kalau aku masak keberatan nggak?", tanyaku balik menawarkan baik-baik.

"Yakin enak?", tanya Dilan meremehkan.

"Kalau nggak yakin, silahkan aja beli makan di luar", jawabku jutek.

"Ok lah, aku coba masakanmu."

"Aku nggak maksa", ucapku tanpa melihatnya lagi.

"Aku nggak ngerasa dipaksa", balasnya.

"Katanya nggak yakin."

**

Dilan1

Kenalkan, aku Dilan. Suami jadi-jadiannya istriku, Astrid. Seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan di kota Indramayu. Aku seorang penikmat musik dan pengagum martabak. Pokoknya aku suka sekali sama kue, apalagi kalo gratis. Sekarang aku lagi makan jeruk, kamu jangan minta ya, soalnya nanti takut cepat habis.

Semasa sekolahku dulu gak pernah alay kayak kamu sekarang. Dan yang pasti, aku lelaki tulen. Aku juga udah disunat. Tak ada salahnya berkenalan kan? dan bisa tahu sedikit tentang diriku. Semoga saja kamu tidak rugi. Mari dengarkan juga kisahku:

Satu jam lebih aku menungunya, tapi yang aku dapat adalah wajah masamnya saat masuk ke dalam mobilku. Aku merasa dia berubah sejak sehari sebelum pernikahan kami. Pernikahan karena ayah menjodohkanku dengan Astrid. Karena aku tak kunjung melamar Gita. Gadis pilihanku. Ayah orang yang tak banyak bicara. Tapi aku percaya, sekalinya beliau bicara, aku langsung tahu Ayah sangatlah benar dengan kata-katanya. Sebenarnya bukan aku tak mau melamar teman dekat sekaligus pujaan hatiku itu. Hanya saja kami bukanlah pasangan kekasih, kami hanya teman dan aku takut Gita akan menjauhiku karena kenekatanku melamarnya. Aku belum sanggup untuk dijauhinya. Jadilah aku menyetujui pernikahan ini. Apalagi Bunda sudah cerewet memintaku supaya segera memberinya cucu. Setelah perdebatanku dengan Astrid di dalam mobil, dan telah membuat kepalaku pening bukan main, akhirnya aku bisa bernapas lega sampai di rumah. Aku bisa menghirup udara lebih banyak lagi di banding

Page 7: Jangan sedih.docx

di dalam mobil yang sempit. Tak bisakah pernikahanku indah seperti pernikahan saudaraku, yang selalu manis. Kenapa aku harus susah di awal pernikahanku? Apa karena aku tak melalui tahap berpacaran? Tapi akupun melalui tahap menjadi teman yang mencintai temannya bertahun-tahun tanpa respon berarti.

Kuhirup aroma masakan yang membuat perut kosongku berbunyi nyaring. Aku tak menyangka rumah impianku ini akhirnya beraroma masakan, meski bukan Gita yang membuat aroma ini ada. Kulangkahkan kakiku menuju dapur, terlihat Astrid yang sedang sibuk menata piring di atas meja pantry.

"Mau aku bantu?", tawarku padanya. Dia hanya mengangguk lalu berbalik melepas celemek yang dia pakai dan menggantungnya.

Kami makan bersama dalam diam, dia masih mendiamkanku. Entah apa salahku, dia tak lagi mau menegurku seperti awal bertemu. Walaupun aku tak mencintainya, setidaknya aku masih mau berbasa-basi dengannya. Tak mungkin jika selama hidupku, harus selamanya saling membisu seperti ini. Tapi responnya selalu saja membuatku semakin kesal, karena dia hanya memakai bahasa tubuhnya. Sekalinya bicara membuat telingaku panas seperti kata-katanya saat di dalam mobil tadi.

"Biar aku yang cuci", tawarku setelah kami selesai makan dan lagi-lagi dia hanya mengangguk lalu meninggalkanku sendiri dengan setumpuk piring kotor sisa makan malam kami.

Menyesal sudah aku menawarinya kalau begini, tak bisakah aku dapat kata terimakasih atau sekedar senyumnya saja? Seolah aku menikah dengan sebuah robot. Harusnya dia lebih cocok dengan Delon saja, saudara kembarku yang sama-sama dingin seperti dia. Jadi mereka bisa hidup dengan kode-kode di hidup mereka berdua. Untung saja aku tak memuji masakannya, meski sebenarnya masakannya benar enak. Jadi aku tak perlu membuatnya senang sudah kupuji karena dia saja tak bisa membuatku senang. Andai Gita yang menjadi istriku, pastilah kehidupanku cerah ceria.

"Udah sana, istirahat saja, biar aku yang mencucinya."

"Astaghfirullah, kamu bisa bikin aku kena serangan jantung di usia dini", ucapku, mengusap-usap dadaku kaget mendadak Astrid berada di sampingku.

Astrid mengambil alih piring yang baru saja akan kucuci, aku hanya menatapnya dalam diam saat dia dengan cekatan mencuci semua piring dan gelas kotor.

"Minggir-minggir, kamu nggak capek apa berdiri di situ? Aku aja capek lihatnya, aku jadi susah mau naruh gelasnya."

Apa katanya tadi? Capek ngelihat aku? Yang benar saja. Aku berdecak sebal, kutinggalkan saja dia daripada kepalaku pecah karena ulahnya. Andai menyesal itu ada di depan bak pendaftaran, sudah aku coret namanya dari daftar kartu nikahku sebelum kutandatangani.

"Aku mau keluar, jangan nunggu."

"Aku juga nggak mau nunggu", jawabnya lalu melewatiku begitu saja.

Ini lebih kejam dari sikap saudara kembarku, ini jelas penganiayaan secara psikis. Aku butuh Delon, tapi aku bisa diceramahinya, Adi sedang sibuk dengan pernikahannya yang sebentar lagi, Ferdi tidak ada bedanya dengan Delon. Sepertinya aku hanya butuh Gita, aku butuh tawanya agar aku bisa ikut pula tertawa.

Page 8: Jangan sedih.docx

**

Jangan berpikir aku sekarang duduk di cafe seperti biasanya bersama Gita sekarang. Aku duduk sendiri melihat cangkir kopiku yang sudah tandas. Aku sudah mulai mirip Ferdi yang galau karena cinta.

"Hei, sejak kapan kamu di sini pengantin baru?", tanya Adi yang sudah duduk di hadapanku. Setelah tadi kutelpon dia basa-basi untuk menemaniku di cafe.

"Menurutmu?".

"Dua cangkir kopi, wow!", ucapnya manggut-manggut tanda mengerti tanpa aku jawab.

Aku melihat jam di tangan kiriku menunjukkan pukul 11 malam, heran juga melihat Adi bersedia keluar jam segini. Sejak bertemu mantan pacarnya, dia sudah jarang keluar malam. Aku curiga dia juga sedang galau, melihatnya kini diam menatap kaca dengan pandangan kosong. Biasanya tak pernah mau datang saat kusuruh.

"Kenapa?" tanyaku.

"Nothing."

"Ternyata menikah tak seindah bayanganku," gumamku pelan.

"Aku belum menikah, tapi kurasa pernikahanku nanti indah. Walau sekarang belum", ucap Adi menatap mejanya sambil mengangguk-angguk.

"Yah, kamu menikah dengan wanita yang kamu cinta, nanti punya anak lucu. Kamu pasti bahagia."

"Kamu juga akan bahagia."

"Kalau aku menikahi Gita aku akan bahagia."

Adi langsung meninju lenganku tepat saat aku menyelesaikan ucapan. Tak setuju dengan apa yang aku katakan barusan, padahal itulah yang sebenarnya.

"Kalau kamu udah jadi suami jangan pernah pikirkan wanita lain. Kamu gila!".

"Aku memang gila!", seruku membenarkan.

"Ckck, kalau kamu belum yakin kenapa menikah, huh?".

"Entahlah, kupikir menikah dengan Astrid nggak ada salahnya. Aku nggak mengecewakan ayah dan masih bisa dekat dengan Gita."

"Astaga Dilan, nggak bisa ya, Gita itu pergi dari otakmu? Kamu bisa menyakiti Astrid, kamu sadar nggak sih, jagoan?".

"Kamu salah. Aku yang sudah disakitinya dari awal."

Page 9: Jangan sedih.docx

Dengan sikap jutek dan menyebalkannya itu, Astrid sudah menyakitiku dari awal kami menikah. Membahas Astrid hanya akan membuat emosiku naik turun. Aku tak menyangka dia semenyebalkan itu sikap aslinya.

"Sudahlah aku mau pulang."

"Sana pulang, Astrid pasti nunggu kamu," ucap Adi sok tahu. Aku tertawa sumbang padanya.

"Itu hanya mitos. Aku pulang. Calonmu yang kamu bilang katty manis itu pasti bakal jadi singa setelah menikah nanti."

"Sialan! Sana pulang!", serunya mengusirku. Aku kemudian pergi. Meninggalkan dia di sana.

Perjalanan kembali ke rumah terasa lama dan berat. Dulu tak seperti ini, pulang rasanya adalah hal paling dinanti setelah lelah di kantor. Mungkin hanya aku pria yang baru menikah Sabtu kemarin, di hari Senin ini sudah nongol di kantor. Teman-teman karyawanku saja memandang aneh diriku saat masuk kantor tadi pagi. Belum lagi alis mereka yang naik-turun saat melihatku sudah duduk manis di singgasana kerjaku.

"Kamu belum tidur?", tanyaku kaget saat masuk rumah dan melihat Astrid sedang di depan lemari es.

"Sudah, aku hanya haus", jawabnya singkat lalu kembali ke kamarnya.

Helaan napas lolos begitu saja dari bibirku, tak ada sambutan manis, tak ada sambutan basa-basi melihatku pulang. Buruk sekali nasibku jadi seorang suami.

Hendak melangkah ke dalam kamar sendiri saja rasanya begitu berat, berasa seperti ada batu besar yang menahan kaki. Kami memang sekamar, enak saja dia mau tidur di kamar yang berbeda. Tidak ada di kamusku tidur pisah ranjang dengan istri sendiri. Lelaki sepertiku pantang melanggar ucapannya sendiri. Kami kan sudah sah di mata hukum dan agama. Bisa saja aku apa-apakan dia di kamar. Tapi tidak ada sama sekali niat untuk itu, tertarik saja tidak dengan badan kecilnya. Karena intinya, kami sama-sama tak tertarik satu sama lain dan entah sampai kapan akan menjalani pernikahan seperti ini.

**

Astrid2

Kamar ini terlalu lebar untukku, tapi tak ada kamar lain. Aku tidak mengerti dengan rumah ini. Besar tetapi hanya ada satu kamar yang bisa dipakai. Entah ini modus Dilan atau apa, aku juga tak berani jika harus tidur sendiri. Bukan niat hati juga aku menunggunya pulang sampai tengah malam begini, tapi aku memang tak bisa tidur karena terlalu sepi. Intinya sih takut.

Saat mendengar langkah kakinya mendekat dan masuk kamar mandi, rasanya sedikit tenang. Aku menaikkan selimut sampai dagu dan mencoba memejamkan mata karena besok sudah harus bangun pagi lagi dan mengajar murid-muridku.

Page 10: Jangan sedih.docx

"Arghh....", kusibakkan selimutku asal, aku masih saja tak bisa tidur. Kuacak-acak rambutku frustasi, kalau begini terus kantong mataku bisa menyaingi mata pandanya Vampir. Cantikku nanti bisa hilang sudah.

"Kenapa?".

"Hah?", jawabku reflek. Mataku seketika melebar melihat Dilan hanya memakai celana piyama dan tak memakai atasannya. Ya Tuhan, ini siapa. Model susu pria atau trainer gym. Gila badannya ngeri, kayaknya keras semua karena otot. Aku sampai menelan ludah. Menyeringai.

"Sorry, ya, sebenarnya aku biasa tidur nggak pakai baju, cuma pakai celana. Kamu nggak keberatan kan?".

"Terserah", jawabku langsung tidur lagi dan menarik selimutku sampai menutupi kepala.

Dadaku jadi berdebar tak keruan, berasa aneh. Mataku malah jadi terbuka tidak ada ngantuk-ngantuknya sama sekali. Sial! Apa karena telah melihat pria separuh telanjang secara langsung, efeknya jadi gini? Pengap juga lama-lama seperti ini. Kuintip Dilan yang ternyata sudah terlelap, tinggalah aku yang tak bisa tidur. Haruskah aku capek baru bisa tidur pulas seperti malam-malam kemarin. Melihatnya tidur pulas, rasanya gondok sendiri, sedangkan aku masih terjaga.

Kucolek-colek saja lengannya yang keras. Pokoknya dia tidak boleh tidur sebelum aku tidur. Bisa-bisa sampai subuh aku masih tetap tidak bisa tidur juga.

"Hei, bangun sih!!!"

"Hei, Dilan.", lanjutku lagi.

Dia hanya menggumam tak jelas dan merubah posisi tidurnya. Aku juga tetap tidak akan menyerah begitu saja untuk membangunkannya.

"Hei, bangun!!!".

Aku tak lagi mencoleknya, tapi kali ini menggoyang-goyangkan lengannya dengan kakiku, lalu kutendang dia sekuat tenaga dan akhirnya berhasil. Niatnya sih mau sekalian aku cekik lehernya, cuma tidak jadi. Aku tak sejahat pemain antagonis dalam sebuah sinetron. Sejurus kemudian, dia lalu menyipitkan mata melihat ke arahku. Dia sudah terjaga.

"Ada apa?", tanya dia, yang bangun dari posisinya.

"Aku nggak bisa tidur. Aku takut".

"Terus?", tanyanya tidak peka, seolah ucapanku itu hal teraneh di dunia ini.

"Ya, kamu jangan tidur dulu."

"Terus mau ngapain kalau nggak tidur?", lanjut dia dengan wajah ngantuknya.

"Udah, sih, tidur apa susahnya? Apa minta dikelonin?".

Page 11: Jangan sedih.docx

Aku langsung berdecak sebal. Masa iya aku minta dikelonin. Dia pikir aku anak kecil yang masih doyan makan permen. Besok aku akan beli obat tidur saja, supaya tidak lagi insomnia seperti ini.

"Ya udah cepet tidur sini!", ucapnya kembali dengan posisi tidur, lalu menarikku kedalam pelukannya.

Aku membeku seketika, ini wajahku lebih tepatnya hidungku menempel di badan polosnya. Pernah ngerasain seperti kesetrum saat siku kita kebentur sesuatu? Nah itu rasanya, merinding semua. Sampai aku sempat menahan napas karenanya. Tapi usapan lembut tangannya di punggungku membuat mataku menjadi spontan terasa berat. Mataku jadi sulit kubuka dan jadi benar-benar tak bisa kubuka. Mungkin karena rasa nyaman yang tiba-tiba kurasakan. Seolah tidak ada lagi rasa takut dan gelisah seperti sebelum ini terjadi.

**

"Heh!!! Sudah pagi, mau tidur sampai kapan?".

Lamat-lamat aku mendengar seseorang bicara, tapi mataku masih saja terasa berat untuk dibuka.

"Kamu nggak ngajar hari ini?".

Siapa lagi sih yang bicara, mengganggu kenikmatanku tidur saja. Sekarang aku merasakan ada yang sedang mengusap-usap poniku.

"Pules tidurnya?".

Aku cuma bisa membuka satu mata lebih lebar. Saat kubuka, yang aku lihat wajah Dilan yang teramat dekat. Aku langsung menarik tanganku dan bangun seketika dari posisiku yang tidur memeluknya. Astagfirullah, jadi semalaman aku tidur memeluk dia seperti itu. Mau aku taruh di mana mukaku ini. Kubenarkan rambutku asal, menghilangkan rasa malu dan grogiku. Muka bantalku dia lihat dari dekat, pasti jelek banget. Anehnya, ketika dia bangun tidur, malah justru makin macho. Rambutnya acak-acakan dan suaranya jadi serak-serak basah kuyup gitu. Tetapi aku sendiri? bangun tidur pasti kayak singa cacingan dengan rambut berantakan.

"Aku baru tahu, kalau tidur kamu ngeces", ujar Dilan.

"Nggak mungkin!", elakku. Mengusap bibirku, membela diri. Dia malah tertawa sampai memegang perutnya yang atletis itu.

"Eh beneran aku ngeces?", tanyaku ragu-ragu. Jika sampai beneran ngeces, makin busuklah aku jadi wanita di matanya. Cekek aku saja kalau gitu!

Dia berhenti tertawa dan mengetuk ngetuk bibirku dengan kedua jarinya.

"Aku bercanda, kamu cantik kok tidurnya", jawabnya, tersenyum kecil.

Aku menelan ludah sebentar. Berusaha mencerna ucapannya tadi. Dia bilang aku tidurnya cantik? mana ada orang tidur cantik. Membual pagi-pagi.

Page 12: Jangan sedih.docx

"Sudah bangun, jangan malah ngeliatin aku terus. Aku telat ke kantor nggak masalah, tapi kamu udah ditunggu murid-muridmu."

Aku langsung melirik jam wekerku dan seketika bangkit ke kamar mandi. Ini sudah jam setengah enam dan aku baru bangun, belum masak buat sarapan juga. Pagi ini bisa telat masuk sekolah jika aku tidak bergegas. Setelah mandi dan melakukan kebodohan dengan mandi tanpa membawa baju ganti, mempermalukan diri di depan Dilan dengan memintanya tolong untuk mengambilkan pakaianku. Kini aku sudah siap di dapur membuat roti panggang dan susu rendah lemak untuknya. Bukan aku tidak mahir memasak. Tapi sudah tak ada waktu lagi untuk memasak. Jadi sarapan roti adalah pilihan paling tepat.

"Aku berangkat dulu, sarapannya di meja", seruku lalu meraih tasku.

"Aku antar."

"Nggak usah, kamu sarapan aja."

Kupakai sepatuku buru-buru, mempercepat tindakanku, karena ini sudah jam enam lewat lima belas menit dan jalanan akan macet saat jam aktif seperti ini.

"Sarapannya bisa di mobil, ayuk!", ujar Dilan. Mengangkat roti panggangnya lalu menarik tanganku tanpa aku komandoi.

"Bentar", ucapku lalu balik ke meja makan mengambil susunya. Sayang kalau tidak diminum.

"Ngapain?". "Udah cepet minum keburu aku telat, sayang kalau dibuang."

Dilan nurut meminum susunya sampai tandas. Rasanya lucu melihatnya minum susu begini. Seperti anak kecil yang nurut dengan omongan Mamanya.

"Kenapa senyum-senyum?".

"Siapa yang senyum? Sini gelasnya!", jawabku langsung meraih gelas yang dia pegang. Untung Dilan mengantarkanku ke sekolah, jadi aku tak perlu susah-susah berebut taksi.

Ini nih susahnya jadi guru, tidak boleh bangun telat atau jadi tidak bisa melakukan kegiatan pagi dengan santai.

"Buka mulutnya", ucapku seraya menyodorkan roti panggang isi coklat.

**

Dilan 2

Pagi tadi rasanya berbeda. Aku terbangun dengan posisi masih memeluk istriku, Astrid. Dia tidur sangat pulas, kuusap-usap pipinya saja dia tak bergeming. Aku, sih, mau saja seharian dalam posisi seperti itu, tapi aku masih waras kalau Astrid itu seorang guru yang tak boleh datang terlambat.

Page 13: Jangan sedih.docx

Dia sedikit melunak pagi tadi, tak sedingin biasanya. Aku rasa hariku akan menyenangkan ke depannya nanti. Saat aku melihat dia menggerutu saat kuledek, aku yakin dia sudah mulai membuka tamengnya dan mau menerimaku sebagai nama terakhir di hidupnya. Meski perlahan.

Kliiing!!!.

Sebuah pesan dari Gita tiba-tiba masuk, menanyakan soal waktuku ada atau tidak untuknya. Tentu saja aku selalu memiliki waktu untuknya.

"Halo", sapaku saat sambungan telponku diterima.

"Hei, ada waktu kah?".

"Selalu ada, gimana?".

"Lagi suntuk di butik, ketemuan di cafe biasa yuk."

"Kapan?", tanyaku langsung semangat.

"Sesempet kamu aja."

"Ok. Kelar meeting jam tigaan gimana?", tawarku. Meilirik jam di tangan.

"Ok. See you."

Segera saja kuketikkan pesan singkat pada Astrid, jika aku tak bisa menjemputnya sore nanti. Syukurlah dia bilang nanti ada janji dengan Sofie, sahabatnya. Jadilah aku tak perlu menjemputnya dulu hari ini. Bagaimanapun aku tak tega melihatnya berdesakan di angkutan umum atau menaiki taksi. Dengan wanita lain saja aku tak tega apalagi dengan istriku sendiri.

Setelah hampir seminggu lebih tak pernah bertemu dengan Gita, akhirnya kini aku bisa melihatnya lagi. Dia tak datang ke pernikahanku kemarin, karena dia harus ke Paris. Berbenturan dengan masalah bisnis fashionnya.

"Hai, udah lama?", tanyaku melihatnya sudah duduk di meja favorit kami. Selalu cantik dengan rambut dicepol dan dress simpel berwarna hijau tosca.

"Baru datang, ini baru mau pesan. Kamu mau apa?".

"Biasanya aja." "Ok, Hazelnut Caramel satu, Tiramitsu Latte satu dan Potato Chips satu", ucap Gita pada salah satu waiters berbaju hitam di sebelah kami.

"Jadi ada apa?", tanyaku.

"Hei, belum juga minumanku datang udah main nanya aja. By the way, selamat ya atas pernikahanmu."

"Makasih", balasku mengangguk sekenanya. Saat kulihat, dia terlihat santai mengucapkan selamat padaku dan jujur, itu menyakiti hatiku. Saat mendapati ucapan selamat dari orang yang bertahun-tahun dicinta itu rasanya begitu membelit hati, bukannya bahagia.

"Jadi gimana harimu?", tanya dia lagi. Tak adakah pertanyaan yang tidak menyangkut soal pernikahanku.

Page 14: Jangan sedih.docx

"Well, baik. Gimana perjalanan bisnismu? Ketemu jodoh di sana?".

Gita mengerucutkan bibir dan memukul punggung tanganku.

"Terus saja meledekku. Jodohku semakin jauh asal kamu tahu saja", ucapnya dengan tawa renyah di belakang.

"Ucapan adalah doa, dasar kamu ini", balasku, menepuk keningnya. Mesra.

Pesanan kami datang. Segera saja kuminum Tiramisu Latteku, lumayan untuk melegakan tenggorokan yang terasa kering sejak tadi. Entahlah, pertemuan kami setelah statusku yang berbeda semua terasa berbeda. Begitu canggung. Tak sama lagi. Dia seperti menjaga jarak, dia semakin jauh.

"Sebenarnya aku bertemu teman lama saat di Paris", ucapnya sebelum menghela napas panjang.

"So, kenapa kelihatan nggak seneng gitu?", tanyaku.

"Dia mantan pacarku", jawabnya lirih. Aku hanya mengangguk tak mengerti apa yang membuatnya malah terlihat murung saat menceritakan mantan pacarnya. Harusnya akulah yang bersedih di sini.

Gita bercerita tentang pertemuannya dengan mantan pacarnya itu, dan kedekatan mereka yang kini kembali membaik. Berita yang justru buruk untukku, tapi aku bisa apa. Hanya menjadi pendengar setianya dan sesekali ikut tertawa berat ala kadarnya, saat dia tertawa karena ceritanya sendiri. Tapi anehnya aku tetap menangkap kesedihan di sana, di matanya. Aku juga tidak cukup mengerti.

**

Astrid 3

Tahukah kamu? Sore itu saat aku pergi dengan Shofie, aku tak sengaja melihat Dilan di sebuah cafe. Tak kusangka alasan Dilan tak bisa menjemputku sore itu adalah untuk bertemu dengan perempuan bernama, Gita. Perempuan yang selama ini menjadi teman dekatnya. Perempuan yang dianggap spesial di hatinya. Saat itu, aku tak tahu harus bagaimana dan apa yang harus aku lakukan. Cemburu? Oh maaf saja, itu bukan gayaku. Tapi, apa semuanya memang salahku? karena sudah mengiyakan perjodohan ini? Aku berada di antara orang yang saling mencintai? Menjadi penghalang mereka. Andai aku tahu ini dari awal mungkin aku akan menolak. Tapi di sisi lain, Haruskah aku mengecewakan keputusan orang tuaku dan orang tua Dilan? mana sanggup aku melakukannya. Aku yakin, jika kau jadi akupun, kau akan merasa bingung. Serba salah. Sama sepertiku. Aku seorang perempuan biasa. Bukan Nabi. Kuharap kau bisa mengerti dengan keputusan yang aku pilih. Terbayangkah bagimu bagamana perasaanku saat itu? Sudahlah lupakan. Aku juga tidak pernah mencintai Dilan. Tidak akan.

Sesampainya di rumah, aku langsung beres-beres, seluruh isi rumah. Termasuk piring kotor sisa sarapan tadi pagi. Untung saja tiap dua hari sekali ada orang yang membersihkan rumah ini. Aku mana sanggup membereskan rumah sebesar ini sendirian, kecuali pekerjaanku hanya ibu rumah tangga. Aku akan membicarakan ini pada Dilan. Bukan karena aku pemalas, tapi jika hanya dibersihkan dua hari sekali saja

Page 15: Jangan sedih.docx

rasanya kurang. Belum lagi taman depan dan belakang yang ukuran lebarnya bisa untuk bermain bola.

Kubereskan baju-baju kotor dan mulai kumasuk-masukkan ke dalam mesin cuci, lebih baik aku menyibukkan diri daripada terbayang wajah bahagia Dilan tadi bersama teman dekatnya itu.

Malam ini kupastikan aku akan tidur lelap, karena aku sudah membeli obat tidur agar besok pagi bisa bangun pagi. Jadi, aku tak perlu lagi buru-buru untuk pergi mengajar.

Setelah meminum obat tidur, aku mulai mencoba memejamkan mataku, tapi sial, mataku tak mau kunjung mengantuk. Sudah berpindah-pindah posisi masih juga tidak bisa tidur. Kucuri pandang ke arah jam dinding, sudah pukul tujuh lebih, tapi Dilan belum juga pulang. Kuminum kembali obat tidurnya sebutir lagi, masa bodoh dengan efek sampingnya. Aku lelah ingin tidur dan bangun pagi dengan pikiran fresh.

**

Dilan 3

Dua jam lebih kami berbincang di cafe itu, lalu pindah untuk makan malam, sekitar pukul setengah delapan aku baru tiba di rumah. Rumah terlihat sepi, aku tak melihat Astrid di ruang keluarga atau di dapur. Di mana dia? mungkinkah di kamar? Sepertinya tak ada sambutan manis lagi hari ini, nasib.

Menghela napas adalah cara paling ampuh melegakan dada akhir-akhir ini. Aku tak berniat memanggil Astrid, biar sajalah. Kasihan dia. Mungkin kecapean. Aku heran saat sampai di kamar. Kamar begitu gelap, hanya cahaya dari luar yang menyinari ruangan. Saat kucoba nyalakan lampu, ternyata Astrid sudah tidur terlelap. Kutengok jam di tanganku belum menunjukkan angka delapan, tapi Astrid sudah lelap. Kupikir malam ini akan menyenangkan setelah pagi tadi kami berdua sudah mulai membaik.

Kusibakkan rambutnya yang berantakan menutupi wajahnya. Aku baru sadar, bulu mata istriku begitu lentik, hidungnya kecil tapi mancung dan bibirnya begitu tipis, setipis buku kamus. Sorry, yang ini bohong. Ada dorongan hasrat kuingin mengecupnya. Kuperiksa apakah dia benar tertidur, dengan mengusap kelopak matanya. Setelah benar kutahu dia benar tertidur, kucoba kecup saja keningnya singkat sebelum aku beranjak mandi. Aku tidak paham, kenapa aku ingin melakukannya.

**

Astrid 4

Kurasakan badanku sulit bergerak, sepertinya aku berada di antara alam sadar dan tak sadar, serasa seperti ditindih kulkas 2 pintu. Untuk buka mata saja rasanya berat. Efek obat tidur semalam begitu dahsyat. Kubuka mata perlahan bergantian, yang terlihat pertama adalah dada telanjang. Sontak mataku melebar dan dadaku langsung berdebar cepat, jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. Ini bukan karena aku jatuh cinta atau apapun sebutannya, tapi karena kaget. Ternyata aku tak bisa bergerak karena dipeluk Dilan, bukan karena ditindih kulkas 2 pintu.

Page 16: Jangan sedih.docx

Kucoba mengenyahkan tangan Dilan perlahan, tapi susah, butuh usaha besar, sampai akhirnya aku bisa lolos darinya. Bayangkan saja kakinya membelit kakiku seperti ular. Aku harus cepat berbenah lalu ke sekolah sendiri, lebih baik aku menjaga jarak dengan pria yang tadi malam membelitku. Demi kebaikan bersama.

**

Dilan 4

Saat kuterbangun, sudah tak mendapati Astrid lagi di sampingku. Padahal semalam aku tidur memeluknya bak bantal guling. Entahlah, semalam aku ingin memeluknya, hujan yang deras semalaman membuatku ingin memeluknya agar merasa hangat.

"Sarapannya sudah di meja makan, aku berangkat dulu," seru Astrid di ambang pintu.

"Hah?".

Reflek aku bangun dan mengejarnya yang keluar kamar. Begitu gesit. Tak terasa, keningku menabrak pintu, sebab pandanganku yang masih belum fokus.

"Pintu kok ditabrak."

Astagfirullah, bukannya peduli dengan keadaanku, dia malah bicara seperti itu. Kucium juga bibirnya biar bicaranya tak pedas lagi. Tidak mengertikah kepalaku ini nyut-nyutan.

"Kamu udah mau berangkat?", tanyaku masih mengusap kepala, saat dia jongkok di depanku.

"Mana yang sakit?".

"Ini nih nyut-nyutan", tunjukku.

"Udah tahu pintu itu keras main tabrak aja. Mau dibilang sakti apa gimana? Mau dikompres?".

"Nggak usah. Kamu udah mau berangkat? Ini jam berapa?".

"Setengah enam."

"Setengah enam udah mau berangkat?", tanyaku kaget sekaligus heran.

"Iya, kenapa? Semua udah beres kok, sarapan juga udah di meja."

"Nggak ada berangkat sekarang, tunggu aku sepuluh menit. Kamu biar aku yang antar", ucapku langsung ngacir ke kamar mandi.

Aku ingin membangun hubungan baik dengannya, bagaimanapun kami harus sering bersama. Demi kelangsungan pernikahan yang selamanya. Walaupun cintaku mentok dan istriku sedingin balok es. Tapi aku tetap akan menjaga istriku dengan baik.

Page 17: Jangan sedih.docx

Aku mandi secepat kilat, menuntaskan kewajiban dua raka'at lalu bergegas memakai pakaian kerjaku sambil jalan, aku tidak mau Astrid yang keras kepala itu memilih tetap pergi sendirian.

"Ya ampun, pakai dulu bajunya yang bener."

"Aku nggak mau kamu tinggal."

"Ckck, kayak anak kecil aja, sih. Siapa juga yang mau ninggalin? Sini aku benerin bajunya!", gerutunya, mengancingkan kemejaku yang ternyata berantakkan karena kukancingkan sendiri.

Aku sempat menahan napas sebentar, saat tangannya tepat menyentuh kancing kemeja bagian dadaku. Sebelumnya hanya Bunda yang melakukan ini untukku.

"Makasih."

"Sarapan dulu, dasinya mana? Jam tangan juga mana?". Kutepuk jidatku,

"oh iya kelupaan."

"Ya udah sarapan dulu, biar aku ambilin."

Aku manggut-manggut mengiyakan, aku lebih tertarik dengan nasi goreng keju di depanku daripada dasi dan jam tangan.

"Kamu udah makan?", tanyaku saat dia kembali dan memasangkan dasiku.

"Udah, ini jamnya", jawabnya datar.

"Kamu bangun jam berapa?".

"Jam setengah lima."

"Ada jadwal pagi?", tanyaku lagi.

Dia hanya mengangguk dan sibuk dengan ponselnya. Memang kalau cuma mengangguk, aku bisa tau dia jawab apa. Untung aku sedang melihatnya, jika tidak, mana aku tahu dia sudah jawab. Kali ini tak kutanya lagi. Aku merasa menjadi Natasha yang sedang bicara dengan Delon. Percakapan yang hanya dari satu sumber tanpa ada timbal balik. Sedingin-dinginnya Delon pada Natasha, Delon begitu mencintai istrinya. Astrid? sepertinya tidaklah mungkin. Sampai menara Eiffel pindah ke Indonesia saja itu tidak akan mungkin, karena yang aku tahu, Istriku tak pernah mencintaiku. Jangan tanya bagaimana aku tahu, aku bisa tahu hanya dengan melihat wajah seseorang. Itu keahlianku yang tak begitu aku syukuri, karena aku sendiri tidak bisa menerapkan padaku sendiri. Aku tak bisa membaca ekspresi Gita padaku. Dan sekarang, yang aku lihat dari ekspresi Astrid padaku adalah ekspresi kosong dan masa bodo. Seolah dia tak sedang berbagi oksigen denganku di sini. Aku hanya kasat mata. Transparan di matanya. Nasibku selalu begini setiap dekat dengan wanita. Padahal rupaku sama persis dengan Delon, tapi takdirku begitu berbeda. Kapan tali takdirku bisa menjadi satu simpul dengan tali jodohku? Aku menantikannya. Menantikan hal itu terjadi. Entah kapan bisa terwujud.

**

Page 18: Jangan sedih.docx

Astrid 5

Terdengar suara benturan terjadi. Aku menoleh ke belakang. Rasanya ingin tertawa puas. Ngakak sampe terpingkal-pingkal. Tapi juga kasihan, bisa-bisanya pintu Dilan tabrak.

"Ya ampun, pakai dulu bajunya yang bener", seruku melihat Dilan yang mendekat. Membantu mengancingkan kemejanya. Dia ini kenapa, sih, pagi ini ngelawak mulu bawaannya. Ngancingin kemeja juga nggak sejajar gitu, apa jangan-jangan dia belum pulih dari tidurnya.

"Aku nggak mau kamu tinggal."

Sumpah ya, dia buat aku tambah pengen ngakak. Tapi aku harus tetap elegant di matanya, perutku rasanya sakit. Menahan ketawa. Dilan ternyata seperti anak kecil. Ekspresinya tadi saat bilang tidak mau ditinggal persis anak kecil yang tidak mau ditinggal Mamanya ke pasar.

Jika saja aku tidak pernah tahu dia mencintai sahabatnya sendiri, mungkin aku akan terkesan dengan ucapannya tadi, saat bicara tidak mau ditinggal. Mengingat hal itu aku jadi ingat, aku harus tetap bersikap dingin kepadanya. Tidak boleh sampai terhanyut suasana. Aku hanya menjawab sekenanya dari pertanyaan yang dia lontarkan, hingga dia lebih memilih diam sampai dia mengantarkanku ke sekolah. Baguslah, dengan begitu aku tak perlu lagi berinteraksi lebih lanjut.

"Makasih", ucapku setelah sampai di sekolah.

Dilan mengangguk dan mengatakan ingin makan malam di rumah nanti malam. Aku mengiyakan saja agar dia cepet pergi, tetapi dia masih belum pergi juga.

"Perlu belanja nggak?",

"Nanti aku belanja", jawabku sekenanya.

"Perlu aku temenin?".

"Nggak usah. Oh ya nggak usah jemput."

"Kenapa?".

"Aku pulang cepet."

"Jam berapa?".

Kuambil napas panjang. Iya ampun ini ribet bener sih. Nanya mulu nggak pergi-pergi dari tadi.

"Pokoknya nggak usah jemput, aku pulang bareng Sofie."

"Bareng Sofie lagi?".

"Iya. Udah sana pergi!", ujarku, ketus.

"Iya, udah."

Page 19: Jangan sedih.docx

"Apa lagi? Kok masih diem aja di situ? Minta dikasih uang jajan?".

"Iya, iya. Ini udah mau pergi. Bawel".

Pagi-pagi sudah buat kepala pening, memangnya kenapa jika aku pulang sendiri atau bersama Sofie. Toh, dia juga sibuk dengan urusannya sendiri. Terserah. Aku tidak peduli. Heran sendiri sama orang itu.

**

Seminggu sudah aku manjadi seorang isteri, weekend kembali datang. Rasanya aku lebih suka hari biasa daripada hari libur seperti ini. Mau apa coba seharian sama Dilan. Kalau dulu aku selalu menunggu-nunggu weekend, sekarang? aku menunggu Senin kapan datang.

Dilan masih tidur di kamar, aku tidak tahu dia pulang jam berapa semalam. Dia sempat meminta maaf karena tidak bisa makan malam di rumah. Selalu saja seperti itu. Di mana-mana lelaki memang sama, selalu dengan gampangnya membatalkan janji. Setiap malam sekarang aku rajin minum obat tidur. Entah ketergantungan atau apa, aku tidak peduli. Yang sekarang aku pedulikan adalah aku harus tidur cukup, dan bisa bangun pagi. Jadi setiap jam delapan malam, aku rutinkan agar sudah bisa sampai langit ke tujuh.

**

Astrid 6

Akhirnya keluarga kecil ini memiliki orang yang bisa membatuku di rumah. Dilan tidak tanggung-tanggung memperkerjakan Empat orang sekaligus. Aku sampai geleng kepala sendiri saat mereka datang. Hendak menolak sebagian dari mereka juga aku merasa iba, tetapi jika semuanya aku pekerjakan di rumah ini juga terlihat berlebihan. Akhirnya aku putuskan untuk mempekerjakan setengahnya di tempat lain. Di tempat temanku yang juga kebetulan sedang membutuhkan asisten rumah tangga.

"Non, den Dilan nggak dibangunin? Nanti, non, sakit lho kalau sarapannya nunggu den Dilan bangun. Ini udah jam 10 lho, Non."

"Iya Bi, nanti aja saya juga masih baca-baca kok. Bi Siti makan dulu aja, jangan nungguin saya. Bibik sakit, nanti saya siapa yang bantuin."

"Kalo gitu, saya pamit permisi, Non."

"Iya, Bi. Mang Acas juga sekalian ajakin makan ya."

"Baik, Non".

Dipikir-pikir ini sudah jam 10 lebih, jika Dilan tidak dibangunkan, kasihan juga dia. Kelewatan makan pagi nanti. Akhirnya terpaksa kubangunkan. Lagian aneh juga jam segini dia belum bangun. Karena biasanya dia selalu bangun pagi.

"Hei, bangun, udah siang", seruku padanya yang membelakangiku yang duduk di tepi ranjang. Kugoyangkan badannya yang tertutup selimut, tapi tidak ada reaksi apa-

Page 20: Jangan sedih.docx

apa. Kusentuh lengannya yang keras terasa hangat. kupindahkan tanganku ke punggung dan dahinya. Ternyata justru lebih dari sekedar hangat. Jangan bilang bayi tua ini sakit. Apa mungkin dia demam?

"Dilan, bangun", ucapku, mengusap keringatnya di dahi, keringat dingin karena badannya hangat. Dia malah membalikkan badan menghadapku dan memeluk perutku dengan spontan.

"Dilan, bangun. Makan dulu badanmu panas."

Beri hambamu kesabaran Tuhan, bukannya bangun, ini malah makin kenceng meluknya.

"Bunda", rintihan kecil dari mulut Dilan.

What? Segede gini sakit manggilnya Bunda. Serius? Apa dia lagi melawak?. Tapi lebih baik menyebut nama Bundanya, daripada memanggil-manggil nama wanita perempuan yang tak ingin aku sebutkan namanya. Kalau sampai panggil nama itu, siap-siaplah aku tinggal jalan-jalan dengan keadaan dia demam seperti ini. Biar saja aku disebut kejam! Siapa sih yang punya jiwa sebesar itu tetap rela merawat suaminya walau suaminya memanggil nama wanita lain di hadapan istrinya sendiri. Aku akan berguru kepadanya. Olala.. aku sudah menyebut Dilan suami? ya memang, sih, dia suamiku, meski dia tidak pernah mencintaiku. Kesannya miris sekali.

"Astrid."

"Hah? Eh, ya", jawabku kaget tiba-tiba dipanggil olehnya.

"Kecilin ACnya, aku kedinginan. Apa kamu mau biarin aku membeku di sini?".

"Heh, iya, iya."

"Eh, lepasin dulu akunya, mau ambil remot ACnya susah tahu."

Bagaimana mau mengecilkan AC, sedangkan dia saja tidak mau melepaskan pelukannya. Apa dia pikir, aku Reed Richards (Mr. Fantastic Four) yang memiliki badan super elastis, bisa memanjang seenak jidatnya.

"Hei, bayi tua. Lepasin dulu!!!".

"Nggak mau, aku dingin."

Kuambil nafas panjang sebentar. Menyeringai. Lama-lama pengen kutendang juga dia. Manja bukan main.

Kuraih bedcover dan kutarik sampai menutupi badan Dilan.

"Makan dulu, kalau sakit terus, nanti nyusahin", ucapku mencoba ketus agar dia bangun, meski sebenarnya aku juga tidak tega.

Dia langsung bangun. Aku tahu dia itu gampang terpancing. Tapi dia malah merubah posisi tidurnya memunggungiku. Maunya apa, sih, dia ini.

"Hei pria manja, malah cuma balik badan doang. Badan aja Security, kelakuan kayak Hellokitty. Tunggu sebentar, aku ambilin makan dulu ya."

Page 21: Jangan sedih.docx

"Nggak usah, kalau aku cuma nyusahin!", ucapnya lirih, namun tegas.

Ada yang ngambek sepertinya, tapi biarlah, nanti tinggal kubaik-baikin lalu kupaksa makan dia, biar cepet sembuh dan tidak menyusahkan lagi. Jadi aku tak perlu menunggunya seharian. Tak bisa kubayangkan kalau aku harus seharian dengannya. Bisa mati bosan!

**

"Non, ada tamu."

"Siapa, Bi?", tanyaku sambil menuang bubur yang aku buat dan baru saja matang.

"Katanya temen den Dilan, mbak Gita namanya."

Jangan lihat ekspresiku saat ini, pasti seperti gembala sapi yang kehilangan sapinya 20 ekor dalam sekejap mata. Tak percaya wanita itu berani datang ke rumah.

"Sudah Bibik persilahkan masuk non di ruang tamu."

"Oh iya, makasih, Bik. Tolong ini diberesin, saya nemuin tamunya dulu ya."

Ini bukan perasaan cemburu, dan jangan pernah kamu anggap aku cemburu sebab kedatangan perempuan itu. Ingat, aku tak pernah cemburu. Hanya saja harga diriku seolah runtuh dengan keberaniannya datang ke rumah. Memang bukan salahnya, bukan salah siapa-siapa saat orang jatuh cinta. Tapi hal itu jadi salah saat cintanya tak tepat waktu. Seberapapun cintamu pada seseorang tapi orang itu sudah menjadi milik orang lain, maka menyingkirlah. Catat itu. Ada saatnya jodoh datang tanpa kita harus menyakiti hati seseorang dulu.

"Hai", sapaku setelah menelan salivaku.

Tenggorokan rasanya kering dan sulit untuk mengeluarkan suara.

"Hai, kamu pasti istrinya Dilan kan? Cantik! Selamat ya, maaf kemarin aku nggak bisa datang di pesta kalian."

Aku hanya manggut-manggut saat dia menyapaku, memberi selamat dan memelukku erat.

"Oh ya aku Gita, teman suami kamu."

"Oh ya ya, ada perlu dengan Dilan?".

Dia mengangguk, lalu menyodorkan sesuatu di plastik. Terlihat seperti makanan.

"Buat Dilan, gara-gara aku semalam dia jadi sakit", ucapnya seraya menyodorkan bungkusan itu ke arahku, yang ternyata adalah bubur.

"Semalam ban mobilku kempes di jalan, dan aku panik, nggak tahu harus minta tolong ke siapa. Nggak tahu juga hujan bakal datang tiba-tiba gitu, aku telpon Dilan buat bantuin dongkrak mobilku", ucapnya lagi, menunduk seolah merasa sangat bersalah.

Page 22: Jangan sedih.docx

Aku masih mencoba mencerna ucapannya, jadi Dilan sakit karena menolong perempuan ini ganti ban dan kehujanan. So sweet sekali, rasanya kepalaku mulai berasap. Sekali lagi aku ingatkan, bukannya aku cemburu lho ya. Tapi lebih ke gondok aja. Giliran seneng-seneng sama dia, pas sakit sama aku gitu. Dan perampuan ini tahu Dilan sakit, berarti Dilan mengadu padanya. Baiklah kalau seperti itu.

"Ayo masuk aja, Dilan di kamarnya."

"Eh nggak usah aku cuma mau kasih ini, kok."

"Nggak apa-apa, masuk aja. Aku juga mau pergi, jadi kamu bisa gantian jagain dia", ucapku sok manis padanya, padahal dalam hati pengen kumakan Dilan hidup-hidup. Aku tidaklah marah dengan perempuan ini, hanya saja Dilan membuatku kesal saat ini!

"Tapi...."

"Udah ayo masuk aja", potongku. Kutarik tangannya menuju kamar Dilan, ralat kamar kami maksudnya.

Dilan masih tidur tengkurap menghadap jendela. Kulirik perempuan itu yang nampak ragu untuk masuk, sesekali melihatku. Aku hanya memberinya senyum kecut. Memang mau beri apa lagi. Ah, indahnya ya cinta yang saling berbalas seperti ini. Kuatkan hati sekali lagi. Aku pasti bisa!

Kutinggal mereka berdua di kamar. Aku tidak peduli dengan mereka berdua. Lebih baik aku pergi daripada harus melihat keakraban mereka, buat keram hati saja. Sepetinya pergi berkeliling komplek sampai depan bukan ide buruk, makan es krim di kedai Artemy, di depan komplek. Ide yang sangat bagus di hawa panas seperti ini. Ini karena mataharinya yang terik, jadi hawanya panas, bukan hawa panas yang lain lho. Awas! Harus diluruskan.

**

Dilan 5

Kepalaku rasanya berat dan hendak mau pecah. Badan sudah seperti membeku saja. Begitu dingin. Ini pasti efek hujan-hujanan semalam, saat menolong Gita mengganti ban mobilnya. Untungnya begitu selesai, aku lebih memilih untuk langsung bergegas pulang. Kutolak tawaran Gita untuk mampir dulu ke rumahnya, sekedar untuk mengganti baju. Aku baru ingat, aku ada janji dengan Astrid untuk makan malam di rumah. Dan janji itu akhirnya aku ingkari. Sebuah kesalahan besar. Dalam hal lain aku juga kasihan, Astrid sendirian di rumah, apalagi hujan deras sekali tadi malam. Cuma ada Bi Siti dan mang Acas.

Tumben, tak ada satu pun stok baju di mobil tadi malam. Alhasil, aku pulang dengan keadaan basah kuyup. Aku sadar saat Astrid membangunkanku berkali-kali dan mengusap keringatku di dahi, tapi aku malas untuk beranjak bangun dan bodohnya aku malah memanggil-manggil nama Bunda, bukannya nama dia. Runtuhlah sudah pamor dan wibawaku di depan Astrid. Sudahlah masa bodo akan hal itu. Aku tidak peduli.

Aku tak tahan lagi menahan dingin di sekujur badan. Seperti sedang menyayat-nyayat tanpa ampun. Kupeluk saja Astrid. Mencoba sedikit berlindung dari jahatnya suhu

Page 23: Jangan sedih.docx

dingin yang membungkusku. Sebagai gantinya Bunda. Terserah nanti anggapan dia apa tentangku, aku hanya mencoba menyelamatkan diri dari kebekuan.

Baru saja merasakan nyaman, dalam hitungan detik, istriku memporak-porandakan moodku. Hancur berantakan. Tak tersisa. Mulut istriku memang pedasnya luar biasa. Lebih pedas dari sambal rujak milik Mbok Warni di pengkolan dekat kantorku. Dia bilang jika aku hanya menyusahkannya, menyusahkan hidupnya. Keterlaluan. Kalau begini adanya, aku benar membutuhkan dekapan Bunda.

"Hei, malah cuma balik badan. Aku ambilin makan dulu."

"Nggak usah kalau aku cuma nyusahin!", ujarku dongkol.

Badan meriang begini, masih saja ditindas dengan sikapnya. Andai saja aku punya tenaga lebih, aku lebih memilih untuk pulang ke rumah Bunda agar bisa mendapat perhatiannya.

Astrid masih juga belum balik, katanya mengambil makanan, tapi lama seperti keong. Tega sekali dia padaku. Apa dia memang bermaksud sengaja membiarkanku menjadi mayat di sini. Aku lemas terkulai tak berdaya, ditambah lagi dengan pusing yang menggelayuti isi kepala.

Kudenger suara langkah kaki yang mendekat, itu pasti si mulut pedas. Aku pura-pura pinsan, ingin tahu apa reaksinya setelah melihatku seperti ini.

"Hei, aku dateng bawa bubur nih."

Apa ini halusinasiku saja atau apa ya, kenapa yang aku denger di kamar ini justru suara Gita, bukan Astrid. Apa aku sudah mulai gila karena Gita? Sampai-sampai suara orang lain pun kudengar seperti suaranya.

"Dilan."

Reflek aku membalikkan badan, bangun setelah mendapat sentuhan di lenganku, dan suara Gita yang makin kentara. Mataku terbelalak melebar, mendapati Gita tepat di depanku. Aku tidak salah lihat kan? Perempuan di hadapanku benar Gita.

"Hei manja, aku bawain bubur nih. Sorry ya."

Dia memang Gita, Astrid tidak mungkin memiliki senyum ceria seperti ini. Begitu hangat, seperti mentari di pagi hari. Spontan aku langsung menarik selimut untuk menutupi badanku. Jujur aku malu jika sampai ada yang melihatku telanjang dada seperti ini, bukan karena badanku kerempeng. Jelas badanku terbentuk sempurna, karena aku suka olah raga. Tapi tetap saja rasanya risih serasa ditelanjangi bulat-bulat dihadapan orang banyak, apalagi ini di kamar, hanya berdua saja. Hanya istriku yang bermulut pedas itu saja yang boleh melihatku begini, karena kami sudah sah suami-isteri. Sebenarnya bukan cuma itu saja, aku hanya takut.

Gila!!! kami hanya berdua dan aku telanjang dada. Lagi pula kenapa coba Gita bisa ada di dalam kamarku. Berteman dengannya bertahun-tahun, ini kali pertama kami berdua di dalam kamar dengannya. Kutengok pintu kamar yang terbuka lebar.

"Kenapa?".

"Eh nggak apa-apa, Astrid mana?".

Page 24: Jangan sedih.docx

"Oh, dia bilang mau keluar sebentar, jadi dia memintaku untuk menemani kamu. Kamu sudah minum obat?".

Seketika peningku hilang berganti marah. Astrid itu perempuan berhati apa sih, bisa-bisanya menyuruh perempuan lain masuk kamar, sedangkan dia malah pergi entah kemana.

"Kamu nggak suka, ya, aku datang?".

"Eh, bukan gitu. Kamu tunggu di luar dulu ya aku pakai baju dulu sebentar", ucapku belibet, gayaku sudah seperti anak perawan yang kepergok telanjang. Malah panik tidak jelas.

"Ok, aku bawa buburnya ke luar ya, kita makan di meja makan aja."

Aku hanya mengangguk kaku, untung Gita bukan tipe wanita penggoda. Rasanya aku pengen bejek-bejek Astrid saat ini juga. Biar jadi tahu gejrot. Jadi perempuan kelewatan batas cueknya.

Kuraih gagang telpon kamar dan mendial nomornya, tapi tidak juga diangkatnya, Emosiku makin memuncak, naik ke ubun-ubun dan hampir meletus. Ponselku entah lenyap dimana.

"Halo", sahutku padanya melalui telpon gagang.

"Kamu di mana sih? Cepet ke kamar!", seruku dengan nada sedikit tinggi. Aku kesal bukan main.

"Aku lagi di luar."

Ternyata dia benar kurang waras, malah pergi di saat aku sakit dan tak berdaya seperti ini. Kamprettt.

"Cepet pulang, aku nggak mau tahu!".

"Bukannya udah ada Gita di sana, dia bawain makanan tuh."

"Pulang sekarang!", seruku. Emosiku sudah mulai mendidih tingkat kecamatan. Dasar perempuan tidak peka.

"Iya, iya sabar. Aku jalan kaki jadi sabar, sakit kok masih sempet-sempetnya bisa galak gitu, sih."

Langsung kututup sambungan, dan beranjak bangkit menjemput Gita di luar kamar. Rasanya makin lemas tubuhku, mulut pun sudah terasa begitu pahit. Tenagaku langsung habis terkuras karena emosi.

"Dilan."

"Eh, Gita. Sorry, kayaknya aku butuh tidur. Kalau aku udah mendingan, besok aku ke butikmu deh", ucapku masih dengan posisi sedikit sempoyongan. Tidak ada daya untuk berjalan tegap. Aku mau mengumpulkan kembali tenagaku untuk mencekik Astrid.

"Nggak apa-apa, aku pulang aja ya. Sorry udah buat kamu sakit begini."

Page 25: Jangan sedih.docx

"Nggak masalah, yang penting kamu baik-baik saja, sorry ya nggak bisa nemenin."

"Ok aku pulang, get well soon ya."

"Sorry aku nggak bisa antar sampai ke depan."

Selepas Gita keluar dan menutup pintu, aku kembali menenggelamkan diri dalam selimut sampai menutupi kepalaku. Rasanya mau kubalikkan kasur yang aku naiki ini, tapi apa daya tenagaku tidak ada. Astrid belum juga kembali. Sialan!!!

"Arghhh...." Kulempar bantal asal, kuusap wajahku kasar, tapi tak juga mengurangi emosiku.

**

Astrid 7

Menikmati es krim di siang bolong seperti ini dengan dipayungi terik yang menjilat-jilat, rasanya begitu pas dan sempurna. Baru berapa suap saja menikmati momen ini, aku sudah mendapati telepon dari Dilan, dan menyuruhku untuk bergegas pulang. Sudah ada perempuan itu, kenapa juga masih menyuruhku pulang, biar aku bisa menyaksikan secara dekat gitu betapa mesranya mereka? Buat mual saja. Dengan sangat terpaksa, akhirnya aku bergegas untuk pulang.

Ketika aku hendak menjemput masuk pagar rumah, aku melihat Gita masuk mobilnya dengan mata yang basah. Gita nangis? Kenapa? Jadi mereka baru bertengkar, terus Dilan menyuruh aku pulang gitu? Ternyata orang yang saling cinta bisa bertengkar juga, aku baru tahu. Rasanya lucu!

**

Dilan 6

"Hei, jagoan manja".

Akhirnya si mulut pedas pulang juga, kutatap dia tajam, tapi dia malah memasang wajah kebingungan. Dia pasti syok melihat kamar yang berantakan, ini semua juga gara-gara ulahnya.

"Kamu habis berantem dengan Gita?", tanya Astrid dengan mata menyapu kamar yang seperti kapal pecah.

"Kamu dari mana? Hah?", tanyaku balik.

"Dari kedai es krim depan", jawabnya tanpa rasa bersalah memunguti bantal-bantal yang aku lempar.

Page 26: Jangan sedih.docx

Beri aku kesabaran lebih Tuhan! Kalau begini aku bisa cepat tua dan mati muda. Bisa-bisanya dia pergi untuk makan es krim sementara aku sakit.

"Kamu punya hati nggak, sih, sebenernya?", tanyaku, menariknya untuk mendekat.

"Maksudnya?".

Harus aku apakan perempuan di depanku ini? Terlalu acuh atau memang dia itu manusia yang terbuat dari adukan semen.

"Kamu tahu kan aku sakit?".

Dia mengangguk.

"Terus kenapa malah pergi?".

"Iya kan, udah ada perempuan itu, dia bawain bubur juga. Ya udah kan?".

"Istriku itu kamu apa dia, sih?", tanyaku lagi mencoba lebih sabar. Kalau begini terus, aku lebih memilih untuk tidur saja sampai besok.

"Kamu habis berantem ya sama dia, makanya jadi marah-marah terus gini? Kalau kesal jangan aku dong yang jadi sasaran."

Dia ngomong apa barusan? Benar-benar manusia robot, tidak punya rasa peka sedikitpun. Sudahlah, jika kuladeni yang ada aku makin sakit, bahkan bisa jadi gila.

"Hei, malah tutupan selimut. Maunya apa sih?", ujar Astrid yang kemudian berlalu meninggalkanku.

**

Astrid 8

Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat. Kamar seperti kapal pecah. Parahnya justru aku yang kena imbas dari Dilan. Enak saja dia main marah-marah padaku seenak jidatnya. Ngomel mulu dan jadi ngambekan. Dasar anak Bunda! Kutinggal saja dia, males meladeni orang sedang emosi.

"Non, den Dilan belum makan loh", ujar Bibik mengagetkanku yang baru keluar dari kamar.

"Loh, bukannya udah makan bubur dibawain sama temennya tadi, Bi?".

"Belum non, itu buburnya masih utuh di meja."

"Oh ya udah biar sini saya bawain buburnya, Bi, Sekalian bubur yang aku buat tadi ya tolong ambilin, Bi."

Page 27: Jangan sedih.docx

Ternyata orang marahan bisa bikin mogok makan juga, dasar ngambekan. Aku sengaja membawakan bubur buatanku sendiri dan bubur dari Gita untuk Dilan agar dimakan semuanya. Sengaja, biar tahu rasa dia. Setelah kusodorkan bubur untuknya, ternyata Dilan tak mau memakan dua porsi sekaligus. Tadinya mau aku paksa, tapi tiba-tiba Dilan justru menanyakan mana bubur hasil buatanku, anehnya dia tidak mau memakan bubur yang Gita bawa. Sebenarnya ada rasa senang juga, sih, dia lebih memilih buburku. Tidak sia-sia aku sudah cape-cape memasak untuknya. Tapi aku masih saja tetap penasaran, kenapa Gita sampai menangis tadi saat hendak pulang. Kalau dengan menangis masalah bisa selesai, aku juga mau menangis seperti dia sekarang juga. Lelah!

Si bayi tua ini baru mau makan setelah aku suapi. Baru saja tiga suap, Dilan sudah mulai bertingkah, dia lebih memilih untuk makan sendiri karena katanya, aku tidak ikhlas menyuapinnya. Kurang ikhlas apa coba aku, sudah dimarahi olehnya masih sabar meladeni dia yang ngambekan. Tahu begini, sekalian saja harusnya aku suapi dia pake sekop pasir, bila perlu pake mobil beko sekalian. Biar tahu rasa. Kusodorkan saja mangkoknya biar dia makan sendiri. Benar-benar tidak menghargai sama sekali atas usahaku.

Lagi-lagi dia marah, malah menutup kepalanya dengan selimut. Maunya apa coba. Disuapin ngomel mulu, disuruh makan sendiri malah ngambek lagi, bilangnya malas pula.

"Kamu ini kayak anak kecil tahu nggak, sih. Ngambekan!", seruku kesal.

Disuruh makan malah ngambek, tidak menyangka pria seperti dia bisa begini. Salahku apa coba?

"Kamu sadar nggak kamu itu nggak berhati, perempuan tapi nggak punya jiwa lembut."

Dia bilang aku tidak berhati? Tidak punya jiwa lembut? Apa dia pikir dia sendiri berhati gitu? Marah-marah tidak jelas. Dia pikir aku tidak sakit hati dengan sikapnya yang seenaknya sendiri, sudah punya istri masih saja jalan dengan perempuan lain. Di mana letak dewasanya coba?

Kutatap balik saja matanya, aku tidak takut dan tidak akan pasang muka memelas ataupun menangis di depannya. Wanita lain silahkan saja punya perasaan sensitif yang dengan mudahnya layu atau gampang terharu, mungkin itu hal lumrah, tapi tidak buatku. Air mataku terlalu mahal aku jatuhkan untuk orang seperti dia. Aku tidak akan memperlihatkan sisi lemahku begitu saja. Semua perempuan itu sebenarnya kuat. Tapi perlu diingat, kalau ada perempuan hanya mengandalkan perasaan saja tanpa berpikir logis, itu namanya kanak-kanak. Dan maaf, itu bukan gayaku. Aku sudah besar, bukan lagi anak SMP.

Sabar, tidak boleh emosi, nanti dia malah jadi besar kepala. Biar saja dia menyama-nyamakanku dengan Gita. Pasang muka datar saja biar lawan makin keki.

"Asal kamu tahu saja, aku bukan Gita, jadi jangan berharap lebih."

Aku tahu dan yakin dia pasti sedang menyamakan aku dengan perempuan yang dia cinta. Kelihatan sekali dari wajahnya yang membelalakkan matanya.

"Maksudmu apa?".

"Udahlah, terserah kamu. Itu obatnya. Lain kali kalau ada masalah dengannya, jangan libatkan aku bahkan jadi pelampiasan marahmu. Bukan aku nggak berhati, tapi

Page 28: Jangan sedih.docx

aku nggak akan pernah nangis buat seseorang yang tidak penting bagiku. Aku bisa saja nangis kayak dia tadi karena sikap kamu, tapi buat apa nangis untuk sesuatu yang nggak penting? Huh!", ucapku lagi, lalu bergegas meninggalkannya.

Terserah dia mau apa, meladeninya hanya membuat otak kram dan hati serasa diremas. Dia bilang aku tidak berhati, harusnya dia bercermin. Dia itu yang tidak berhati. Mencintai orang lain tapi bersedia menikahiku, seolah hatinya memang kosong sebelumnya. Tapi nyatanya, hatinya sudah terisi oleh seseorang. Aku bisa apa saat mendengar pembicaraannya dengan Adi sebelum pernikahan kami tentang Gita dan perasaannya. Marah hanya akan menyakiti banyak perasaan. Mau menangis rasanya konyol. Jadi siapa yang tidak berhati sebenarnya di sini. Bahkan mereka masih sering bertemu sampai sekarang. Bukan aku cemburu, tapi rasanya seperti dihianati. Tarik nafas panjang, ikhlaskan.

"Pikirkanlah saja orang yang menyayangimu, jangan yang menyakitimu, Astrid", ucapku menyemangati diri sendiri.

Aku nggak boleh nangis, pantang! Menangisi pria bodoh adalah kebodohan terbesar seperti hewan keledai. Biar saja dia mau melakukan apa, aku tidak akan peduli. Aku harus menguatkan sikap ketidakpedulianku terhadapnya, apapun yang berhubungan dengannya. Titik. Rasanya lelah, tapi aku tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Dadaku rasanya sesak, ingin teriak kencang, tapi aku harus bisa mengontrol emosiku. Meluapkan emosiku begitu saja dengan marah-marah, ingat! aku bukanlah dia.

"Non, ada tamu."

"Lagi?", tanyaku lesu dan capek, kenapa harus ada tamu lagi, sih."

"Iya non, sepertinya sodaranya den Dilan, habis mirip banget. Bibik sampai kaget tadi pas bukain pintu."

Sontak aku langsung bangkit dari posisi dudukku di sofa dan menghampiri kak Delon, yang ternyata datang sendirian. Aku sudah merasa was-was kalau kak Delon datang dengan Ayah dan Bunda.

"Kak Delon kok sendiri?", tanyaku basa-basi, sebenernya aku malah bersyukur dia datang sendiri, berhubung Dilan sedang ngambek, jadi akan jadi masalah kalau Bunda ataupun Ayah tahu.

"Iya, tadi baru selesai nganter Istri kakak nyalon. Terus sekalian pengen mampir ke sini. Dilan ada?".

"Ada di kamarnya, masuk aja, kak. Dilannya lagi demam."

"Dilan sakit?".

Aku hanya mengangguk dan mengantarkannya ke kamar.

"Hei manja, bangun!", seru kak Delon, menarik selimut yang menutupi kepala Dilan. Melihatnya aku jadi ingin tertawa, setelah dipanggil manja oleh kakaknya sendiri. Berarti memang Dilan itu manja.

"Kak, ngapain ke sini?", tanya si manja Dilan.

"Perasaanku nggak enak, ternyata kamu sakit. Udah ke dokter?".

Page 29: Jangan sedih.docx

"Boro-boro ke dokter, disuruh makan aja malah ngambek", ucapku menimpali.

"Ngadepin anak Bunda memang harus ekstra sabar, Trid", balas kak Delon, menepuk-nepuk pipi Dilan.

"Panggilin Bunda, kak", seru Dilan.

"Bunda pergi sama Ayah, ngapain juga panggil Bunda?".

"Ya nggak apa-apa, biar bisa diperhatiin."

Sial, Dilan ngomong seolah-olah aku sama sekali tidak perhatian. Ngeselin! Kucuekin beneran baru tahu rasa. Tuh kan kak Delon jadi melihat ke arahku.

"Sabar ya ngadepin dia", ucap kak Delon, menepuk lengan Dilan.

Aku mengangguk senang, sedangkan Dilan makin ditekuk mukanya. Jadi kasihan, mau mengadu malah disebut manja oleh kakaknya sendiri. Memang dasar anak manja! Di mana-mana pria dewasa itu nyarinya perempuan, bukan Bundanya gitu. Nggak laki banget sih jadi pria. Fuuh....

"Aku ambilin makan dulu ya, siapa tahu disuapin kak Delon jadi mau makan."

"Nggak ada acara suap-suapan sama kak Delon, kamu yang suapin!", seru Dilan padaku.

"Iya, iya. Aku ambilin dulu yang masih anget", jawabku daripada ada yang ngambek lagi, nggak enak sama kak Delon.

"Kak Delon mau makan siang sekalian?", tawarku.

"Nggak usah, nanti aku jemput Istri jam satuan, sekalian mau makan bareng dia." "Aku kira kalian kalau ngobrol bakal pakai kode, kalian kan satu species."

Aku mengerutkan kening saat mengangkut mangkok bubur tadi pagi, kulihat Dilan dijitak kak Delon. Kode apa, memang aku anak sistem informatika yang main koding, kode-kodean gitu. Hari ini super menyebalkan, kuaduk bubur yang aku panaskan kembali dengan ganas. Membayangkan bubur itu Dilan yang seharian ini rewel dan aneh. Kalo saja dia bukan suamiku, sudah kuracun bubur ini tanpa ampun.

**

Aku butuh jalan-jalan setelah ini, tapi Dilan sakit. Aku tak mungkin meninggalkannya. Ah, bukannya aku harusnya tega untuk tidak peduli padanya? Tapi jika aku tinggal jalan nanti, yang ada dia akan menelponku kembali dan memaksaku untuk pulang. Ini sama sekali tidak adil!

"Non, buburnya bisa gosong lho." "Ah iya, Bi."

Aku terkesiap karena ucapan Bibik tadi, segera kupindah buburnya ke mangkok. Tiap hendak masuk ke kamar, berasa seperti masuk penjara. Begitu terasa amat berat.

Page 30: Jangan sedih.docx

"Ini kak", ujarku seraya menyerahkan nampan ke kak Delon. Aku langsung mendapat tatapan mengerikan dari Dilan. Sabar, sabar disayang suami. Entah suaminya siapa.

Kuambil lagi nampan di tangan kak Delon, bisa-bisa aku kena semprot lagi jika tidak aku suapi si bayi tua.

"Biar aku aja, kak yang nyuapin anak manjanya Bunda", ucapku cuek, yang justru mendapat tanggapan tawa kecil dari kak Delon dan mata yang hendak keluar dari suami jadi-jadianku.

Tadi bilangnya males makan, tapi bubur habis semangkok. Masa iya, tiap makan harus ditemenani kembarannya. Semoga saja selepas makan dan minum obat panas Dilan cepat reda, jadi besok aku bisa keluar jalan dengan Sofie. Bukan terus-terusan meladeni baby gajah seharian. Capek hati, capek tenaga.

"Ngapain senyum-senyum?", tanya Dilan. Menaikkan kedua alisnya, KEPO banget dia jadi orang.

"Nih lagi kode-koden sama kak Delon", jawabku, cuek melirik kak Delon yang tersenyum tipis.

Coba Dilan bisa semanis kak Delon saat tersenyum kepada istrinya. Aku membayangkan, mungkin Dilan juga semanis itu, tapi bukan denganku, melainkan dengan Gita. Yah, sahabat yang ternyata dan dicinta. Aku bisa apa. Rasanya jadi ingin kupatahkan lengannya orang ini.

Tidak lama kemudian, kak Delon pulang. Di sini tinggalah aku berdua dengan si bayi tua di kamar. Suasana mendadak berubah, sunyi dan membosankan. Aku semakin ingin pergi, tapi nanti takut ada yang menangis di sini. Siapa lagi kalo bukan si bayi tua.

"Lihat ponselku nggak?", tanyanya padaku.

"Hem? Nggak tahu, tadi ditaruh di mana emang?".

"Aku lupa semalem taruh dimana, tolong carikan."

Jadi dia kehilangan ponsel sejak semalam. Dia juga tidak pernah menghubungi perempuan itu berarti. Tapi kenapa Gita bisa tahu Dilan sakit, apa iya mereka berdua punya kontak batin seperti Dilan dan kak Delon. Mendadak rasanya kok aku kesal ya, setelah membayangkan jika mereka sampai memiliki kontak batin seperti itu. Aaah... Tapi bisa saja kan Gita menduga-duga karena semalam Dilan baru kehujaan gara-gara dia. Pastilah mengarah ke situ.

"Hei, aku minta tolong cariin ponsel tapi kenapa kamu malah menggerutu?",

"Hah? Aku nggak menggerutu kok, cuma lagi mikir. Bentar aku bantu cariin, sabar."

"Mikir apa?".

Mikir cara bikin kamu diem, batinku dalam hati. Sakit, tapi bawelnya mengalahkan emak-emak komplek.

Seharian ini kenapa rasanya ilfil terus ya. Ponselnya ternyata ada di kamar mandi, kurasa dia lupa menaruh saat mengganti bajunya.

Page 31: Jangan sedih.docx

"Temenin tidur."

"Dari tadi juga udah aku temenin."

"Jangan jauh-jauh."

Banyak maunya sekali, sih, ini lelaki. Aku pun langsung mendekat, duduk di tepi ranjang. Di sampingnya.

"Nah, sini aja jangan kemana-mana, jangan jauh-jauh", ucapnya, menarik tanganku dan menautkan jemari kami berdua.

Aku jadi ikut panas dingin jika sudah seperti ini. Dia langsung merem. Sama sekali tidak pengertian dengan posisiku yang seharian pegal dibuatnya. Kupandangi wajahnya yang tertidur. Kalau saja menyukai orang yang sudah menautkan hatinya pada orang lain itu membahagiakan, aku tak akan segan-segan menyukai Dilan saat ini.

Sekali lagi aku harus menyadari bahwa aku harus menguatkan hati. Hati Dilan itu ibarat mobil sport dua pintu, hanya berisi dua kursi, cuma bisa terisi mereka, tidak bisa aku ikut serta masuk di dalamnya. Hei.. Hei.. Hei.. Apaan, sih, ini. Mikir apa aku ini. Apa untungnya coba membayangkan hal seperti itu. Sebal aku mengingat ulahnya. Kuremas saja selimut yang membungkus badannya. Kutendang-tendang saja badannya. Dia tak membalas, ternyata Dilan sudah terlelap. Mataku tiba-tiba berat. Tak mampu lagi untuk terbelalak lebar. Badanku sudah terlalu cape. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai ke langit tujuh. Kami berdua tertidur. Terpagut dalam kehangatan. Tak terasa pula tanganku melingkar di badannya. Ini jadi malam pertama kalinya aku memeluknya. Ditemani langit yang penuh dirayapi bintang. Selamat malam harapan indah, semoga semesta memberikan sebutir keajaiban kepada kami berdua esok hari.

**

Dilan 7

Kamar terasa sepi saat aku bangun setelah tidur karena minum obat yang diberikan Astrid tadi malam. Entah obat yang diberikan padaku, sampai membuatku begitu susah sekali membuka mata, antara tidur segan bangun tak mampu.

Delon sudah pulang setelah puas menginterogasiku soal Astrid, untung saja Astrid segera datang membawakanku bubur. Aku mana bisa bohong dengan Delon, kami berdua ibarat bisa membaca pikiran masing-masing. Dia mengatakan sekaligus mengingatkanku jika aku suami Astrid berkali-kali. Padahal tanpa dia bilang pun, aku juga tahu. Aku ini suami si mulut pedas. Di lain hal, aku memikiran lagi ucapan Astrid soal Gita yang menangis tanpa sepengetahuanku. Pesanku tadi siang tidak dia dibalas, aku cek lagi ponselku masih nihil tidak ada pesan ataupun telpon darinya. Kira-kira kenapa dia bisa menangis? Atau jangan-jangan Astrid bicara macam-macam padanya.

Astrid tidak ada di kamar, di luar kulihat dari jendela kamar hujan nampak kembali menyapu bumi. Kemana lagi dia, awas saja jika dia sampai pergi lagi. Aku bangun sedikit sempoyongan, nyawaku serasa belum terkumpul semua, meski peningku sudah mulai menghilang. Kucari di ruang keluarga Astrid tidak ada, dapur juga kosong, ingin teriak memanggilnya nanti malah berasa seperti sedang di hutan.

"Ada yang bisa Bibik bantu, Den?".

Page 32: Jangan sedih.docx

"Astrid di mana ya, Bi?".

"Oh, Non Astrid di belakang, Den."

"Di belakang? taman belakang maksudnya, Bi?".

"Iya, Den. bilangnya, sih, tadi non Astrid lagi kepengen santai minta jangan diganggu. Gitu, Den."

"Oh, iya udah, Bi. Makasih ya."

"Iya, den".

Keterlaluan dia, aku sakit dia malah nyantai, di belakang bukannya menemani aku tidur. Harusnya dia itu tidur juga di sampingku, seperti bunda saat ayah sedang sakit.

Hari sudah mulai kembali larut. Langit sudah didekap malam. Rintik hujan hampir tak tersisa. Sepertinya hujan malam ini tak berlangsung lama. Aku bergegas menjemput Astrid, dia ternyata tidur di ayunan rotan dengan telinga disumpal headset. Bisa-bisanya dia tidur di sini, anginnya kencang pula.

"Hei bangun", seruku entah sudah yang ke berapa kali.

Ok, fix. Aku tidak mau dibilang jadi suami kejam, berkali-kali aku bangunkan dia, tetapi nihil. Bergerak saja tidak. Kaku. Dia tidur seperti mayat yang sulit dikebumikan. Jadi terpaksa aku menggendongnya, kupindahkan saja dia ke kamar daripada dia ikut sakit sepertiku, aku nanti yang lebih repot.

Strip obat jatuh dari saku celananya, aku tidak terlalu paham obat apa itu, karena aku terburu masuk kamar, daripada Astrid jatuh dari gendonganku. Kembali kupungut obat yang jatuh tadi di depan pintu, ternyata isinya obat penenang. Jadi Astrid gemar mengkonsumsi obat tidur. Bukannya dia hobi tidur, baru jam delapan saja pasti sudah tidur lelap. Kutepuk jidatku. Jangan-jangan karena obat ini Astrid selalu tidur lebih cepat, tapi untuk apa minum obat seperti ini jika cuma mau tidur. Tidur ya tidur aja, apa susahnya.

Jangan-jangan dia baru saja meminum obat ini, pantas saja aku bangunkan susah. Kembali kurebahkan badanku di samping Astrid. Kuamati wajahnya yang terlelap, telunjukku menelusuri wajahnya dari dahi ke hidungnya yang kecil, namun mancung. Cantik! Andai saja dia selalu berwajah tenang seperti ini dan diam tak mengeluarkan mulut pedasnya padaku.

Ada gejolak perasaan untuk memeluknya. Kurasakan nafas teraturnya di dadaku. Aroma rambutnya selalu sama, begitu khas, begitu kukenal, rasa sirsak. Macam jus buah saja. Tadinya kupikir dia pake shampo bayi. Aku bingung, beli di mana shampo seperti itu. Besok aku juga mau pesan ke dia untuk membelikanku yang rasa rambutan.

Kutatap lagi wajahnya. Matanya tiba-tiba membuka, menatapku setelah mengerjap-ngerjap. Cukup lama, sampai akhirnya dia benar tersadar penuh, spontan terpingkal menjauhkan badannya dariku. Reaksinya begitu menggelikan.

"Kok aku di sini lagi?".

"Lah, emang mau di mana?", tanyaku balik menahan senyum, melihat ekspresi bangun tidur Astrid yang penuh bingung.

Page 33: Jangan sedih.docx

"Ini jam berapa?", Astrid kembali bertanya, kali ini seraya dia bangkit dari posisinya. Linglung sendiri melihat jam dinding. Matanya tertuju ke arah jendela, melihat langit sudah pekat menggelap karena mendung dan hujan.

"Kamu mau kemana?", tanyaku.

"Mandi".

"Sini dulu", ucapku, menepuk kasur di sampingku.

"Apa?".

"Sini dulu, penting", ucapku. Kali ini dengan menarik pergelangan tangannya agar dia mendekat. "Kamu minum ini?", tanyaku langsung menunjukkan strip obat tidurnya.

"Kok sama kamu?", tanyanya balik, mencoba merebut kembali obatnya dari tanganku. Sayangnya, aku lebih cekatan darinya. Jangan harap bisa mengambilnya sebelum menjelaskan semuanya padaku.

"Ya sudah, buatmu saja", ucapnya berlalu masuk ke kamar mandi.

Dia itu manusia yang terbuat dari apa sebenarnya, aku masih belum mengerti, dari batu kali kah? Keras kepala dan dingin seperti balok es.

"Hei, tunggu, buat apa kamu minum ini, hah?", seruku dengan menggedor pintu kamar mandi. Sepertinya sia-sia saja, tidak ada tanda-tanda Astrid berniat membukanya. Ingin kudobrak rasanya pintu ini. Dia harus jelaskan apa alasan dia mengkonsumsi obat penenang seperti ini. Jangan-jangan dia punya gangguan kejiwaan, melihat sikapnya yang kaku dan berhati baja.

"Kamu ngapain di depan pintu?".

"Kamu belum jawab, kenapa kamu minum ini?".

"Karena pengen tidur, ada yang salah kah?".

"Yakin?".

Dia hanya menghendikkan bahu melewatiku. Aku harus bagaimana menghadapinya, kutarik saja tangannya hingga dia menubrukku.

"Aku menghawatirkanmu, mengerti?".

"Makasih, tapi aku baik-baik saja. Lepasin, badanmu lengket."

Jangan salahkan aku saat ini, jika aku menciumnya. Aku tidak berdosa kan mencium istriku sendiri. Aku sudah terlalu bosan mendengar ucapan ketusnya. Jadi kucium saja bibir pedasnya. Dia tak berontak, hanya diam tanpa perlawanan. Bahkan pandangannya terlihat kaku dengan mata yang membulat lebar.

Kulepaskan ciumanku di bibirnya. Menatapnya dalam penuh perasaan aneh. Entah apa itu.

Page 34: Jangan sedih.docx

"Berucap manislah denganku, bibir manismu tidaklah cocok dengan ucapanmu", bisikku di telinganya setelah kulepas ciumanku. Ciuman yang menurutku bukan hanya sekedar ciuman biasa.

"Kenapa diam?", Astrid hanya terpaku menatapku membisu, dengan nafas terengah. Bola matanya bergerak ke sana kemari, selangkah mundur dan melepas pelukanku dengan paksa.

Setelah kucium dia, sepertinya dia jadi linglung. Dia tidak marah, dia juga tidak menangis, tapi wajahnya terlihat seperti orang sedang kebingungan.

"Kenapa?", tanyaku mulai khawatir. Apa aku sudah keterlaluan terhadapnya? Tapi dia sudah membuatku emosi seharian ini.

"Stop di situ, jangan mendekat lagi! Jauh-jauh dariku", ucapnya lagi, memegang dadanya.

Sepertinya aku sudah keterlauan, sungguh bukan niatku membuatnya seperti ini. Aku hanya ingin memberinya pelajaran agar dia tidak bicara seenaknya saja. Dia mengambil tasnya dan keluar kamar. Meninggalkanku sendirian. Tentu saja aku mengejarnya. Dia justru meneriakiku agar tak berani mendekat. Dia bergegas keluar, menuju bagasi, memakai mobilnya lalu pergi. Ini sesuatu yang tak biasa. Dia sama sekali tak suka mengendarai mobil sendirian, ini yang aku tahu dari kakaknya. Jangan berpikir aku diam saja tanpa melakukan tindakan apapun. Aku masih waras. Langsung kuputuskan bergegas mengikutinya. Tanpa pikir panjang, kusambar kunci mobilku dan mengikuti mobil yang dia naiki. Aku sungguh khawatir dengannya yang tiba- tiba saja jadi seperti itu. Mau kemana dia sebenarnya. Sepanjang jalan mengikutinya aku hanya merutuki kebodohanku yang telah berani menciumnya. Harusnya ini tidak terjadi, harusnya dia marah saja, tak perlu bersikap dingin seperti tadi setelah kucium. Menamparku mungkin atau bisa saja memakiku dengan bibirnya yang selalu berucap pedas itu seperti biasanya. Salahkah jika hal ini terjadi di antara kami? Mungkinkah aku mulai menyukainya?

**

Mobilnya melejit begitu cepat. Dia menerobos sela-sela pengendara yang lain dengan mahirnya, seolah-olah jalan raya miliknya sendiri. Aku baru tahu, ternyata dia lebih pandai dariku dalam mengendarai mobil. Seperti mobil formula one yang merangkak di atas sircuit saja, begitu lihai, dan gesit. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Jujur aku khawatir atas keadaannya, takut-takut dia oleng dan bisa saja jatuh. Bagaimana nanti kalo tiba-tiba ada pengendara yang lain menerobos masuk jalurnya tanpa permisi. Tidak, tidak. Kekesalahnku terhadapnya menghapus semua kekhawatiranku sejenak. Aku khilaf ya Tuhan, tolong maafkan, karena sudah mengkhawatirkannya. Biarin aja dia jatuh, lagian cuma ke bawah ini, bukan ke atas. Tapi aku pikir-pikir kembali, aku tak sampai hati melihatnya jatuh. Biar aku saja yang jatuh, jangan dia. Semoga dia mau. Insya Allah, doain.

Iya ampun!!! Aku lupa. Aku lupa mengemudi tanpa memakai celana. Kemana celanaku? Jangan-jangan pasti di curi si mulut pedas itu. Pasti!!! Tapi tidak mungkin, mana sudi dia sempat-sempatnya mencuri celanaku. Mengendusnya saja dia sudah alergi. Palingan aku saja yang terlalu terburu-buru, sampai lupa untuk pake celana. Ini gawat, aku cuma memakai kolor. Dan warnanya cukup membuatku begitu frustasi. Hijau!!! Tidak mungkin, bagaimana jika aku dipukuli massa, mengira bahwa aku si kolor hijau. Lupakan!!! Kucoba mencari sesuatu untuk sekedar menutupi tubuh bagian bawahku. Kutengok kursi di belakang, ada sebuntel koran bekas kemarin pagi. Tidak, tidak, ini bukan jaman purba lagi, pakaian seperti itu sudah tidak relevan lagi di era sekarang.

Page 35: Jangan sedih.docx

Aku tidak mungkin memakainya. Kucoba mencari solusi lain, aku baru ingat bahwa di mobil biasanya ada sarung. Iya, sarung. Itu pilihan yang jauh lebih baik daripada menggunakan koran.

Mataku kembali tertuju pada mobil Astrid, dia masih saja ngebut penuh bertenaga. Jalanan kota Indramayu memang menjadi lebih padat pada tahun terakhir ini, khususnya daerah Haurgeulis. Dulu kota ini masih padat dengan pohon mangganya, sekarang sudah banyak ditimbun beton dan aspal. Apalagi voleme kendaraannya sudah jauh lebih tinggi. Asap knalpot sudah mulai merampas udara sejuk khas kota ini. Macet pun, sudah acap jadi sarapan pagi tiap hari. Sekitar 76% kemacetan meningkat tiap tahunnya, didominasi para pengendara si kuda besi. Aku yakin ini pasti bukan jalan raya. Ini pasti dealer kendaraan tanpa atap. Semoga saja tidak semakin parah. Bagaimana jika 50 tahun ke depan? Bisa-bisa bangun tidur, mobil tetangga sudah ada di samping ranjang tidurku, bahkan 100 tahun lagi, saat bangun tidur tiba-tiba motor tetangga sudah memeluk dan menindih tubuhku. Ini jangan sampai dibiarkan. Mulai besok, mari kita budayakan hidup sehat dengan jalan kaki!!! Jalan kaki dari kamar sampai bagasi, lalu dilanjut naik mobil.

Mobilnya tiba-tiba meliuk tajam, membeloki sebuah jalan yang jarang aku jamah. Ini seperti Jl. Ahmad Yani di Haurgeulis. Dan ternyata benar. Astrid memasuki sebuah komplek perumahan, aku masih setia mengejarnya. Membuntutinya dengan gagah dan berani, tapi gagahnya cuma sedikit.

Mobilnya berhenti pada salah satu rumah. Aku tidak tahu persis, itu rumah siapa. Halamannya cukup luas, ada banyak bunga di depannya. Aku lihat ada kolam ikan berukuran 2x2,5 juga. Aku coba tengok dengan teliti, kira-kira ada jenis ikan apa saja di dalamnya, barangkali besok-besok aku bisa numpang mancing di situ. Stop!!! Lupakan soal memancing, ini bukan saatnya. Sekarang waktunya fokus pada Astrid.

Si mulut pedas mulai keluar dari mobilnya, seperti penuh dengan beban yang menghujam. Aku mencoba bersembunyi, bermaksud ingin tahu ke rumah siapa dia datang. Enak saja, setelah kucium langsung pergi tanpa permisi. Aku coba pinggirkan mobilku di tepi jalan. Jauh dari pandangannya, 15 meter dari jarak radius pengelihatannya. Ini aman, apalagi mobilku tertutup gerobak abang tukang batagor dengan posisi melintang. Semoga saja dia tidak melihat mobilku. Aku bayar abang tukang batagor itu agar gerobaknya penuh menutupi mobilku, biar sempurna tidak kelihatan olehnya. Lumayan, rezeki buat abang-abangnya.

Tidak aku duga-duga sebelumnya, seorang pria keluar dari balik bibir pintu. Aku tidak cukup jelas melihat wajahnya. Mereka saling berpelukan, lalu masuk ke dalam. Apa seperti ini kebiasaan Astrid saat tidak di rumah? Hatiku lebur sejenak, darahku menjadi naik dengan cepat. Naik pitam. Gerobak abang tukang batagor sudah siap-siap kugotong, tapi sayang, matanya sudah melotot duluan kepadaku.

Bisa-bisanya Astrid melakukan itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung menjemputnya untuk masuk ke dalam.

**

Astrid 9

"Eh, sudah datang rupanya", ujar Sandy kepadaku. Aku tidak menjawab apa-apa. Dia memberikan senyumannya. Kemudian aku menyelesaikan tangis bercampur emosiku, kupeluk saja Sandy. Dia langsung membalasnya reflek.

Page 36: Jangan sedih.docx

"Ayo, masuk", lanjut Sandy.

Kesal sekali aku hari ini. Entah jengkel atau senang, aku tidak tahu harus melakukan hal yang mana. Dua-duanya membingungkan. Aku juga tidak tahu, kenapa justeru aku ingin meluapkan semuanya pada Sandy. Pria yang sekarang ada di hadapanku. Dia baik, ramah dan yang jelas bukan tukang ngambek seperti si bayi tua. Aku sempat bingung, sebenarnya apa yang diinginkan si bayi tua itu. Sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar seperti seekor singa yang tidak makan selama beberapa lebaran. Aku bingung dengan tingkah laku dia, apa maunya dan apa yang sedang dia inginkan. Egois, kaku dan yang jelas jauh berbeda dengan Sandy.

"Mau minum apa?", Tanyanya kepadaku.

"Apa saja", jawabku sekenanya, karena memang aku tidak terlalu peduli dengan apa yang hendak disuguhkan. Karena pada intinya, aku butuh tempat bersandar saat ini.

"Bener nih, apa saja?".

"Iya ih, bawel", ujarku mulai sebal padanya.

"Berhubung di sini air zam-zam nggak ada, gimana kalo air wudlu aja?".

Tawarnya dengan nada menggoda, seperti meledekku.

"Iih... Apaan sih, sandy. Nggak lucu ah".

Dia hanya membalas dengan cekikikan kecil, sambil kemudian berlalu.

"Sebentar ya, aku ambilin dulu."

"Iya."

Di mataku, Sandy adalah pria terbaik setelah Ayahku dan kakak laki-laki yang aku kenal. Meskipun aku menyukai amat terhadap Adi, namun Sandy sosoknya jauh lebih menjadi keteduhan tersendiri di saat aku sedang merasakan terik yang amat menjilat di dalam hati.

Sandy akhirnya datang, membawa dua minuman jus orange. Sebenarnya aku kurang suka, tapi ya sudahlah, tidak baik menolak kebaikan orang lain. Tiba-tiba belum lama aku mengobrol dengan Sandi, dari balik pintu terdengar suara sapa seorang lelaki, sambil mengetukkan pintu. Suara yang kurasa tak asing lagi di telingaku.

**

Dilan 8

Aku yang dari tadi mendapati Astrid menemui seorang lelaki, perasaanku seperti menolak. Suami siapa coba yang tidak marah jika isterinya menemui pria lain tanpa seijin sang suami. Langsung saja kudekati rumah terkutuk ini. Tanpa rasa ragu, kucoba menggedor pintunya, namun tetap sopan mengucapkan sebuah salam.

Tok..Tok..Tok!!!

Page 37: Jangan sedih.docx

Tidak lama, sang tuan rumah membukakan pintunya. Bukan main mataku dibuat terbelalak, Astrid benar bersamanya. Berduaan dalam satu rumah tanpa siapapun kecuali ditemani lukisan aneh yang aku sendiri tidak tahu gambar apa itu. Lebih mirip seperti seorang perempuan yang menyusui bayi berbentuk seperti nanas. Aneh.

Astrid begitu semringah. Kaget, bercampur heran, melihatku datang menyusulnya. Aku menelan ludah, membiarkan keringat mengalir di pelipisku. Tanpa kupertimbangkan lagi, aku langsung mendekati tempat Astrid duduk. Menjemputnya. Meraih tangannya dengan sedikit paksa.

"Lepasin, kamu apaan, sih?", ujar Astrid, protes. Aku tidak mempedulikannya, yang sekarang aku pedulikan adalah menghapal wajah pria yang bersama istriku ini. Wajah yang asing buatku. Tadinya mau langsung aku tinju biar tahu rasa, biar kayak di film-film action. Cuma dari kecil aku tidak gemar berkelahi. Satu-satunya perkelahian yang pernah aku lakukan hanya dengan seekor nyamuk, itupun aku baru sanggup menggunakan obat nyamuk oles.

"Jangan berani ganggu dia", paparku, tegas.

"Apaan sih kamu, Dilan. Lepasin tangan aku!", pintanya.

Pria itu sama sekali tidak menjawab. Dia hanya tersenyum getir. Aku tidak tahu kenapa dia justeru tersenyum.

"Jangan ganggu gadisku!!!", Kataku memperingati pria itu kembali.

"Siapa yang gadismu? Aku tidak pernah merasa jadi gadismu."

Dua planet Mars seperti datang menghantamku secara bertubi, menghujamku tanpa ampun, tepat di ulu hati. Meremukannya tanpa tersisa, setelah mendengar pengakuan Astrid yang seperti itu. Ini adalah kata terpedas yang pertama kali aku dengar dari perkataan-perkataanya yang pernah dia ucapkan. Apa perempuan di depanku sekarang benar Astrid? Perempuan yang sudah mau perhatian denganku selama ini, meski terlihat terpaksa. Perempuan yang belum lama aku nikahi dan beberapa saat sempat aku kecup bibirnya? Benar, aku tidak mengenalnya lagi.

Aku hanya terdiam, tanpa melontarkan sepatah katapun dari mulutku. Terpaku dengan kejadian yang baru saja aku alami. Kejadian yang tidak biasa. Terdengar lebih seram dari cerita hantu yang pernah aku dengarkan dari bunda waktu kecil setiap mendongengiku sebelum aku tidur. Kulepaskan tanganku yang mencengkram tangannya. Melepaskan dengan berat, penuh heran. Kupaksakan bibir ini untuk sedikit bergerak. Mencoba merubahnya menjadi sedikit senyuman. Meskipun kurasa tidak mudah.

"Maaf", jawabku singkat, sambil mencoba tersenyum pada Astrid.

Beberapa detik kemudian, aku memutuskan untuk pergi. Pergi dari hadapannya, lebih tepatnya dari hadapan mereka. Melangkahkan kaki, menggerakkan otot kakiku yang terasa ngilu. Entah apakah perasaan ini. Marah? Aku tidaklah berhak atas itu. Cemburu? Itu konyol. Cinta? Itu hal bodoh. Sudahlah, aku memang terlalu ikut campur urusan mereka. Aku lupa bahwa pernikahan ini memang terlihat tidak nyata, palsu dalam hati kami berdua. Palsu karena tanpa cinta di antara keduanya.

**

Page 38: Jangan sedih.docx

Astrid 10

Entah kalimat itu bergulir begitu saja. Aku tidak begitu mengerti. Kenapa sampai bisa terucap? Kulihat bola mata Dilan bergetar, seperti ada hal yang mengganggunya. Apa aku sudah keterlaluan? Kurasa tidak. Biarlah, biar dia tahu apa yang kemarin aku rasakan. Biar dia mengerti bahwa tidak enak dibegitukan. Jahat? Biar saja. Biar dia bisa sedikit berubah, setidaknya tidak ngambekan lagi. Dasar bayi tua, merepotkan saja. Apa coba maksudnya menciumku? Hah? Jelasin! Jangan maunya enak sendiri, dipikir aku ini siapa? ini bukan sedang cemburu, tapi balas dendam, biar dia kapok.

Kemudian aku kembali duduk di sofa, Sandy tidak bergeming. Dia hanya menyuruhku untuk pulang. Sepertinya dia merasa bersalah pada Dilan. Sebenarnya rasa penyesalan juga mulai mengigitku, harusnya tadi aku tak sekasar itu. Dia hanya takut aku kenapa-kenapa mungkin. Hah? Apa? Khawatir? Omong kosong! Apa bisa hati seseorang bisa tumbuh pada hati yang sudah memilih namanya masing-masing? Mungkin ciumanku dengannya hanya iklan saja. Sebentar lagi juga dia lupa, iya kan.

Tidak lama setalah itu, semuanya kembali seperti semula. Seperti saat di mana Dilan belum datang di tengah-tengah kami. Aku dan Sandy kembali duduk di sofa. Masing-masing dari kami duduk di posisi yang berbeda, Sandy duduk di sofa pendek, sedangkan aku di sofa yang panjang di bawah sebuah lukisan. Untuk beberapa saat kami berdua terdiam membisu. Pikiranku masih diselimuti kejadian tadi. Sandy juga terdiam mematung. Sepertinya dia belum berani bicara sepatah kata pun padaku, mungkin karena melihat kondisiku yang masih belum tenang. Kusangga wajahku dengan telapak tangan kananku dengan sempurna menutupi wajah muram ini. Tak terasa pipiku basah di sapu air mata. Tidak butuh waktu lama Sandy memberiku sebuah tissue dari atas meja. Sebuah meja yang terhias oleh dua gelas wine berisi jus dan beberapa makanan ringan yang dia sediakan saat aku datang tadi. Aku spontan menerima tissue yang Sandy sodorkan padaku. Tanpa kuminta kembali, dia tiba-tiba saja duduk berada tepat di sampingku.

Tadinya kupikir Sandy akan memelukku, ternyata aku salah, dia hanya memegang pundakku dan mengelusnya. Ketika aku sadar dia melakukan posisi itu, suasana menjadi pecah. Aku menangis sejadinya. Meluapkannya dengan isak tangis yang panjang. Kubenamkan kepalaku di atas pundak Sandy. Pundak yang seharusnya adalah orang yang aku cinta. Entah siapa orangnya, aku tidak tahu. Aku terlalu bingung untuk mengucapkan siapa nama yang mengisi posisi itu sekarang. Hatiku terasa padam saat ini, yang aku tahu kini, hanyalah ingin menangis. Iya. Menangis. Itu saja cukup bagiku. Seperti kebanyakan wanita lain. Untuk sekedar menumpahkan kesedihan yang sedang membungkusku. Kuharap kamu juga ikut merasakan apa yang sedang aku rasakan sekarang. Biar kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku. Biar kamu mengerti. Biar kamu bisa maklum.

**