18
IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM 4.1. Pendahuluan Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu (time series) sangat diperlukan dalam analisis, demikian juga dengan sebarannya secara spasial. Informasi tentang besaran (jeluk) serta pola curah hujan tidak dapat diketahui apabila di lokasi yang bersangkutan tidak tersedia penakar hujan yang merekam kejadian tersebut secara berkesinambungan. Distribusi stasiun penakar hujan di Indonesia belum merata secara spasial, demikian juga dengan kualitas dan kontinyuitas datanya. Pemasangan penakar hujan masih terkait dengan kepentingan instansi yang menggunakan data tersebut baik untuk kepentingan penelitian ataupun keperluan teknis lainnya seperti irigasi dan sebagainya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang cukup rapat sebaran stasiunnya, sebaliknya ada wilayah lain yang sangat jarang sebaran stasiunnya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang ada penakar hujannya sehingga bisa merepresentasikan pola hujan setempat, tetapi sebaliknya untuk wilayah yang tidak ada penakar hujannya maka pola hujan pada umunya direpresentasikan oleh stasiun terdekat apabila keadaan topografinya relatif datar. Hasil penelitian Adiningsih (2000) diacu dalam Boer (2008a) menunjukkan bahwa kerapatan jaringan stasiun di Indonesia masih sangat rendah terutama untuk pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi (Sri Harto 1993). Hingga akhir tahun 1941 terdapat sejumlah 3128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau Jawa dengan kerapatan 15 km 2 pengukur hujan, namun tidak satupun yang mengumpulkan basis data secara lengkap baik dalam waktu panjang (Sandy 1982 diacu dalam Damayanti 2001). Pada Pulau Jawa sendiri kerapatannya sudah cukup tinggi, yaitu 11.6 artinya untuk setiap 100 km 2 wilayah di Pulau Jawa terdapat sekitar 11-12 penakar hujan. Pulau yang paling rendah kerapatan stasiunnya adalah Papua (Irian Jaya), yaitu 0.05 stasiun per 100 km 2 . Jawa Barat (termasuk DKI Jakarta dan Banten) rata-rata kerapatan stasiunnya sebesar 47.12 km 2 tiap stasiun (Damayanti 2000). Menurut Damayanti (2001) jumlah stasiun

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK … · tahun 1941 terdapat sejumlah 3128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau Jawa dengan ... luas dan wilayah mana saja ... dijalankan

Embed Size (px)

Citation preview

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK

PENERAPAN ASURANSI IKLIM

4.1. Pendahuluan

Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu

(time series) sangat diperlukan dalam analisis, demikian juga dengan sebarannya

secara spasial. Informasi tentang besaran (jeluk) serta pola curah hujan tidak dapat

diketahui apabila di lokasi yang bersangkutan tidak tersedia penakar hujan yang

merekam kejadian tersebut secara berkesinambungan.

Distribusi stasiun penakar hujan di Indonesia belum merata secara spasial,

demikian juga dengan kualitas dan kontinyuitas datanya. Pemasangan penakar

hujan masih terkait dengan kepentingan instansi yang menggunakan data tersebut

baik untuk kepentingan penelitian ataupun keperluan teknis lainnya seperti irigasi

dan sebagainya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang cukup rapat sebaran

stasiunnya, sebaliknya ada wilayah lain yang sangat jarang sebaran stasiunnya.

Akibatnya ada wilayah tertentu yang ada penakar hujannya sehingga bisa

merepresentasikan pola hujan setempat, tetapi sebaliknya untuk wilayah yang

tidak ada penakar hujannya maka pola hujan pada umunya direpresentasikan oleh

stasiun terdekat apabila keadaan topografinya relatif datar. Hasil penelitian

Adiningsih (2000) diacu dalam Boer (2008a) menunjukkan bahwa kerapatan

jaringan stasiun di Indonesia masih sangat rendah terutama untuk pulau-pulau di

luar Pulau Jawa. Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan

kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi (Sri Harto 1993). Hingga akhir

tahun 1941 terdapat sejumlah 3128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau

Jawa dengan kerapatan 15 km2 pengukur hujan, namun tidak satupun yang

mengumpulkan basis data secara lengkap baik dalam waktu panjang (Sandy 1982

diacu dalam Damayanti 2001). Pada Pulau Jawa sendiri kerapatannya sudah

cukup tinggi, yaitu 11.6 artinya untuk setiap 100 km2 wilayah di Pulau Jawa

terdapat sekitar 11-12 penakar hujan. Pulau yang paling rendah kerapatan

stasiunnya adalah Papua (Irian Jaya), yaitu 0.05 stasiun per 100 km2. Jawa Barat

(termasuk DKI Jakarta dan Banten) rata-rata kerapatan stasiunnya sebesar 47.12

km2 tiap stasiun (Damayanti 2000). Menurut Damayanti (2001) jumlah stasiun

81

hujan di Jawa Barat yang sudah sesuai dengan ketentuan World Meteorological

Organization (WMO), namun perlu diperhatikan sebaran dan kualitas datanya.

Selain sebaran data secara spasial, masalah lain yang dihadapi adalah

kelengkapan data secara runut waktu. Dalam bidang klimatologi misalnya,

kelengkapan data curah hujan secara runut waktu dalam jangka panjang sangat

diperlukan dalam analisis seperti analisis dampak perubahan iklim dan

sebagainya. Tetapi kebutuhan tersebut tidak selalu tersedia seperti yang

diinginkan. Seringkali data yang tersedia cukup panjang tetapi tidak lengkap

secara runut waktu, atau cukup lengkap tetapi hanya dalam jangka waktu yang

relatif pendek atau tersedia secara runut waktu tetapi tidak lengkap secara spasial.

Kondisi ini akan menghambat dalam analisis data.

Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat besar variasinya baik dari

waktu ke waktu maupun dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu,

tinggi rendahnya curah hujan sangat besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil.

Penggunaan data curah hujan dalam berbagai analisis membutuhkan syarat apakah

data tersebut bisa digunakan baik ditinjau dari aspek spasial maupun temporal.

Untuk kelengkapan data dari aspek temporal, saat ini telah digunakan dan

dikembangkan berbagai metode prediksi data hingga skala waktu yang kecil

seperti data harian. Untuk aspek spasial, metode yang dikembangkan masih

terbatas. Selama ini permasalahan yang sering dijumpai adalah tidak adanya

stasiun hujan yang berada dalam wilayah yang diteliti sehingga harus

menggunakan data dari stasiun pewakil. Solusi yang digunakan pada umumnya

adalah menggunakan data stasiun terdekat. Artinya data curah hujan dari stasiun

yang paling dekat dengan lokasi penelitianlah yang digunakan untuk analisis.

Selain itu metode pengelompokkan (clustering), poligon thiessen juga sering

digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan data curah hujan secara spasial

ini. Penelitian ini menawarkan suatu pendekatan baru yang bisa digunakan untuk

mengatasi keterbatasan stasiun hujan, yaitu dengan Fuzzy Similarity (FS).

Terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim (Climate Index

Insurance), keberadaan stasiun hujan maupun kualitas datanya sangat menentukan

dalam penghitungan indeks iklim. Indeks iklim ini digunakan sebagai dasar untuk

klaim asuransi. Jadi faktor curah hujan sangat besar peranannya.

82

Permasalahannya adalah tidak semua lokasi penelitian memiliki stasiun

hujan, atau seandainya ada stasiun hujan tetapi datanya tidak memenuhi syarat

sehingga harus menggunakan stasiun terdekat sebagai pewakil. Namun seberapa

luas dan wilayah mana saja yang bisa diwakili masih menjadi pertanyaan dan

perlu analisis lebih lanjut. Penentuan stasiun pewakil ini menjadi sangat penting

ketika dihadapkan pada suatu keadaan dimana data curah hujan tersebut menjadi

input yang menentukan dalam suatu pengambilan keputusan seperti dalam

penetapan indeks iklim.

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut di atas, penelitian ini

mencoba untuk menganalisis hubungan antara stasiun hujan yang digunakan

sebagai pewakil (stasiun referensi) dengan stasiun lainnya untuk mengetahui

sebaran dan cakupan wilayah yang bisa diwakilinya menggunakan metode Fuzzy

Similarity (FS). Metode FS merupakan pendekatan baru dalam bidang aplikasi

klimatologi. Terkait dengan periode data yang tidak selalu sama pada setiap

stasiun, metode FS tetap dapat diterapkan meskipun panjang datanya berbeda-

beda pada setiap stasiun. Pendekatan dengan metode FS ini diharapkan juga bisa

memberikan solusi bagi masalah keterbatasan stasiun hujan. Tujuan dari

penelitian ini adalah : 1) menentukan nilai FS sebagai indikator kemiripan antar

stasiun hujan dan 2) menyusun peta cakupan wilayah indeks untuk aplikasi

Asuransi Indeks Iklim.

4.2. Metodologi

4.2.1. Analisis Kemiripan Data dengan Fuzzy Similarity

Penentuan cakupan wilayah indeks pada prinsipnya adalah menentukan

kemiripan data hujan suatu stasiun dengan data hujan stasiun referensi untuk

aplikasi indeks iklim. Stasiun referensi dipilih berdasarkan lokasi survey dan

wawancara dimana indeks iklim dihitung . Dalam penelitian ini, stasiun referensi

yang dipilih adalah : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Data yang

digunakan adalah data curah hujan bulanan dari 41 stasiun hujan di Kabupaten

Indramayu dengan periode 1965-2010.

Dalam konteks asuransi indeks iklim, jangkaun wilayah indeks menjadi

sangat penting. Nilai indeks dari suatu stasiun referensi akan bisa diberlakukan

83

untuk suatu stasiun tertentu apabila stasiun tersebut memiliki kemiripan

(similarity) dengan stasiun referensi yang dimaksud. Fungsi kemiripan (similarity

function) pada prinsipnya adalah membandingkan dua stasiun untuk mengetahui

kemiripan datanya. Untuk kemiripan antara dua stasiun (fitur), jarak antara

keduanya dapat didefinisikan sebagai perbandingan mengukur (match measure).

Pada penelitian ini, metode FS mempelajari pola data berdasarkan sinyal

yang terbentuk. Pada prinsipnya setiap sinyal memiliki energi (EN) dan Entropi

(ET). Sinyal dikatakan sama jika energi dan entropinya sama atau mirip. Setiap

sinyal terdiri dari komponen-komponen sinyal sebanyak k. Untuk melakukan uji

kemiripan data curah hujan diperlukan dua tahapan analisis utama, yaitu :

penentuan nilai threshold kemiripan data curah hujan dan analisis Fuzzy Similarity

(Li and Yao 2005).

Tahapan analisis selengkapnya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data curah hujan dibuat beberapa frame sesuai dengan periode data yang

tersedia.

2. Dilakukan transformasi wavelet sehingga diperoleh koefisien setiap sinyal

yaitu d1, d2, d3, ..., dK. Energi dari d1 dinyatakan dengan K

i

d1

2

1 . Sinyal

dikatakan sama jika memiliki energi atau entropi yang sama atau mirip. Setiap

sinyal merupakan kombinasi dari komponen-komponen sinyal (sebanyak k).

3. Kemudian dihitung entropinya dengan persamaan :

iK

i

jkjk

i

j PPET1

,, ln

dimana jkP , adalah probabilitas density dari koefisien wavelet pada setiap

tingkat resolusi j=1,.....dst.

4. Dilakukan estimasi densitas (density estimation) menurut metode Kernel

(Suryadi 1993), dengan persamaan:

K

h

h

dd

m

km

ehK

d1

2

12

.2

1

.

1

dimana : h = 1,15 x simpangan baku dari data stasiun referensi x 5

1

K

84

5. Setelah diperoleh nilai energi (EN) dan entropi (ET), maka selanjutnya

dilakukan analisis fuzzy. Tujuan utamanya adalah membuat batasan EN dan

ET sebagai patokan dalam menilai kemiripan data.

6. Setelah dilakukan analisis fuzzy akan diperoleh nilai EN dan ET masing-

masing untuk nilai terbesar dan terkecil. Untuk setiap nilai EN akan diperoleh

fuzzy membership yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk sinyal energi :

S1 = Sinyal 1 EN1 dengan fuzzy membership (a, b, c, d, e, f)

S2 = Sinyal 2 EN2 dengan fuzzy membership (g, h, i, j, k, l)

dst

ST = Sinyal ke-T ENT

Untuk sinyal Entropi :

S1 = Sinyal 1 ET1 dengan fuzzy membership (m, n, o, p, q, r)

S2 = Sinyal 2 ET2 dengan fuzzy membership (s, t, u, v, w, x)

dst

ST = Sinyal ke-T ETT

Selanjutnya digunakan persamaan :

N

xx

BAS

N

i

iBiA

1

1

,

dimana N = jumlah energi sinyal atau entropinya. Dalam penelitian ini, N = 2,

yaitu berupa energi (EN) dan Entropi (ET).

7. Berdasarkan persamaan tersebut di atas dilakukan penghitungan untuk setiap

sinyal. Sebagai contoh :

xwvutsrqponmlkjihgfedcbaSSS ,,,,,,,,,,1,,,,,,,,,,1, 21

dst dengan cara yang sama dihitung untuk 31 , SSS , 41, SSS , 51 , SSS , ...,

TSSS ,1 . Jika suatu stasiun yang akan diuji menghasilkan nilai S lebih besar

atau sama dengan nilai threshold, maka stasiun tersebut memiliki kemiripan

data dengan stasiun referensi.

85

8. Cara yang sama seperti tahapan analisis tersebut di atas, diberlakukan untuk

setiap stasiun referensi. Nilai FS yang dihasilkan akan memberi gambaran

stasiun refensi tersebut lebih mirip ke stasiun yang mana. Keseluruhan nilai

FS disajikan dalam tabel antara stasiun yang diuji dengan stasiun referensi,

serta dalam bentuk peta cakupan wilayah indeks. Seluruh program tersebut

dijalankan dengan Program Matlab. Secara garis besar, tahapan analisis

disajikan dalam Gambar 29.

Gambar 29. Diagram alir analisis Fuzzy Similarity untuk penetapan wilayah

cakupan indeks iklim

Stasiun hujan referensi

Energi (feature) entropi

Transformasi diskret wavelet

Ref. 1

Ref. 2

Ref. 3

Ref. 4

Fungsi Keanggotaan Gaussian

(Fuzziness)

Present State

Fuzzy Similarity Index

Deteksi

Perbandingan

Polanya mirip

ya

tidak Tidak bisa

digunakan

Bisa

digunakan

86

4.2.2. Penyusunan Peta Cakupan Wilayah Indeks Iklim

Analisis kemiripan data dengan metode FS menghasilkan nilai mulai dari

0 hingga 1. Penyebaran nilai kemiripan antara seluruh stasiun dengan stasiun

referensi selanjutnya di plot dalam peta. Peta administrasi yang digunakan sebagai

peta dasar bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS 2010).

4.3. Hasil dan Pembahasan

Dalam konteks asuransi indeks iklim, cakupan wilayah pewakil stasiun

hujan diperlukan untuk mengetahui daerah mana saja yang bisa diwakili oleh

suatu stasiun referensi dimana data pada stasiun referensi tersebut digunakan

untuk menghitung indeks curah hujan. Indeks curah hujan ini digunakan sebagai

paramater atau indikator untuk klaim asuransi. Dengan demikian indeks curah

hujan yang dihasilkan dari salah satu stasiun referensi bisa digunakan untuk

wilayah lain sebagai klaim asuransi dengan catatan wilayah tersebut memiliki

kemiripan (similarity) dengan stasiun referensi. Untuk mengetahui tingkat

kemiripan antar stasiun hujan dengan stasiun referensi dalam penelitian digunakan

metode Fuzzy Similarity (FS).

Metode FS pada prinsipnya mempelajari pola (fluktuasi) curah hujan dari

suatu stasiun referensi kemudian membandingkannya dengan stasiun lain yang

diuji. Stasiun referensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Cikedung,

Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Keempat stasiun ini berada pada lokasi survey

dan wawancara. Jumlah seluruh stasiun hujan yang dianalisis datanya adalah 41

stasiun yang mencakup 31 kecamatan di seluruh Kabupaten Indramayu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk stasiun referensi Cikedung,

nilai FS berkisar antara 0.02-0.49 dengan rata-rata 0.21. Wilayah yang bisa

diwakili oleh stasiun Cikedung relatif kecil, hal ini ditunjukkan oleh nilai FS yang

sebagian besar kurang dari 0.5 (Gambar 30). Dari 41 stasiun hujan yang dianalisis,

sekitar 7.7% nya merupakan stasiun yang bisa diwakili oleh Cikedung. Wilayah

yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah stasiun Losarang, Sliyeg dan

Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan 0.45. Untuk

memperoleh gambaran fluktuasi curah hujan maka dilakukan ploting antara curah

stasiun Cikedung sebagai referensi dengan stasiun Losarang (Gambar 31).

87

Wilayah lainnya tidak disarankan menggunakan stasiun referensi Cikedung.

Apabila dilihat dari sebaran wilayahnya (Gambar 32), maka wilayah yang agak

mirip dengan stasiun Cikedung dengan nilai FS sekitar 0.4 sebagian besar berada

di bagian tengah Kabupaten Indramayu.

Gambar 30. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi

stasiun Cikedung

Gambar 31. Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Cikedung dengan

stasiun Losarang

88

Gambar 32. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi

Cikedung

Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara 0.12-0.69 dengan rata-rata

0.35. Sebagian besar nilai FS adalah kurang dari 0.4 (Gambar 33). Sekitar 10.3%

dari seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu yang bisa diwakili oleh stasiun

Lelea. Hal ini ditunjukkan oleh nilai FS yang mendekati dan lebih dari 0.5.

Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea antara lain stasiun Bangodua

(0.69), Gabus Wetan (0.60), Jatibarang (0.47) dan Krangkeng (0.46). Gambar 34

memperlihatkan contoh fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea sebagai

referensi dengan stasiun Bangodua. Berdasarkan peta sebaran kemiripan data

stasiun hujan (Gambar 35), maka wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea

sebagian besar berada di sebelah Barat Laut dan Tenggara dari Lelea.

89

Gambar 33. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi

stasiun Lelea

Gambar 34. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea (Referensi) dengan

stasiun Bangodua

90

Gambar 35. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi

Lelea

Untuk stasiun referensi Terisi nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5

(Gambar 36). Secara keseluruhan nilai FS berkisar mulai dari 0.04 hingga 0.84,

dengan rata-rata 0.49. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi cukup luas.

Sekitar 53.8% dari seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu memiliki kemiripan

pola data dengan stasiun Terisi. Stasiun tersebut antara lain : Bongas (0.62),

Widasari (0.70), Balongan (0.57), Sukra (0.69), Kroya (0.69), Cantigi (0.77),

Arahan (0.70), Gantar (0.70), Sukagumiwang (0.64), Kedokan Bunder (0.74),

Patrol (0.84), Pasekan (0.63), Tukdana (0.82), Bugel (0.68), Cigugur (0.49),

Wanguk (0.72), Leuweungsemut (0.81), Karangasem (0.83), Cipancuh (0.73),

Tamiang (0.54) dan Bantarhuni (0.51). Fluktuasi curah hujan antara stasiun Terisi

sebagai referensi dengan stasiun Patrol disajikan dalam Gambar 37. Berdasarkan

peta sebarannya (Gambar 38), wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi

cukup luas. Sebagian besar berada di sekitar stasiun Terisi mulai dari Haurgeulis,

Gantar, Kroya, Cikedung hingga Jatibarang. Sebagian lagi sepanjang pantai utara

Jawa mulai dari Sukra, Patrol sampai dengan Balongan.

91

Gambar 36. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi

stasiun Terisi

Gambar 37. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea (Referensi) dengan

stasiun Bangodua

92

Gambar 38. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi

Terisi

Untuk stasiun referensi Kandanghaur, analisis FS secara umum

memperlihatkan hasil relatif rendah dibandingkan 3 stasiun referensi lainnya.

Hanya satu stasiun yang memiliki nilai FS agak tinggi walaupun masih kurang

dari 0.5, yaitu stasiun Kertasemaya dengan nilai FS 0.41 (Gambar 39), sedangkan

stasiun lainnya kurang dari 0.35. Secara keseluruhan, nilai FS antara 0.002 hingga

0.41, dengan rata-rata 0.11. Gambar 40 memperlihatkan fluktuasi curah hujan

antara stasiun Kandanghaur sebagai referensi dengan stasiun Kertasemaya. Dari

peta penyebarannya (Gambar 41) juga terlihat bahwa sangat dominan dengan nilai

FS kurang dari 0.4. Keseluruhan hasil analisis dirangkum dalam Tabel 6.

93

Gambar 39. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi

stasiun Kandanghaur

Gambar 40. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Kandanghaur (Referensi)

dengan stasiun Kertasemaya

94

Gambar 41. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi

Kandanghaur

Tabel 6 menyajikan berbagai nilai FS untuk setiap stasiun hujan di

Kabupaten Indramayu pada stasiun referensi Cikedung, Lelea, Terisi dan

Kandanghaur. Untuk stasiun referensi Cikedung nilai FS tertinggi adalah 0.49

yaitu dengan stasiun Losarang. Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS tertinggi

sebesar 0.69 yaitu dengan stasiun Bangodua. Nilai FS sebesar 0.84 merupakan

nilai tertinggi untuk stasiun referensi Terisi terhadap stasiun hujan Patrol. Untuk

stasiun referensi Kandanghaur, nilai FS tertinggi adalah 0.41 untuk stasiun

Kertasemaya.

Jarak maksimum atau radius cakupan wilayah yang dapat diterima antara

stasiun cuaca referensi dengan area yang diasuransikan adalah 20-25 km (IFC

2009, Martirez 2009). Topografi wilayah serta karakteristik dan pola hujan

menjadi faktor yang penting dalam menentukan radius cakupan wilayah indeks

iklim.

Perbandingan antara stasiun hujan dilakukan untuk mengetahui pola

kemiripan data curah hujan dengan stasiun referensi. Keseluruhan hasil nilai FS

yang disajikan dalam Tabel 6 berkisar antara 0.002 hingga 0.838. Berdasarkan

kisaran nilai FS ini selanjutnya dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu : 1) kelompok 1

95

untuk nilai FS 0-0.2, 2) kelompok 2 untuk FS 0.2-0.4, 3) kelompok 3 untuk nilai

FS 0.4-0.6, 4) kelompok 4 untuk nilai FS 0.6-0.8, dan 5) kelompok 5 untuk FS

0.8-1. Perbandingan fluktuasi curah hujan dilakukan dengan mengambil contoh

untuk nilai FS terendah dan tertinggi pada setiap kelompok (Gambar 42).

Tabel 6. Hasil analisis FS untuk seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu

No Stasiun Hujan

REFERENSI

CIKEDUNG LELEA TERISI KD.HAUR

1 Indramayu 0.10 0.12 0.18 0.28

2 Sindang 0.20 0.14 0.05 0.32

3 Loh Bener 0.40 0.40 0.20 0.24

4 Karang Ampel 0.32 0.35 0.24 0.20

5 Krangkeng 0.44 0.46 0.41 0.13

6 Junti Nyuat 0.44 0.30 0.25 0.17

7 Jati Barang 0.45 0.47 0.34 0.15

8 Sliyeg 0.46 0.53 0.42 0.11

9 Kerta Semaya 0.08 0.12 0.04 0.41

10 Bango Dua 0.31 0.69 0.42 0.09

11 Losarang 0.49 0.47 0.39 0.17

12 Cikedung 0.38 0.23 0.20

13 Lelea 0.27 0.33 0.05

14 Kandang Haur 0.02 - -

15 Gabus Wetan 0.34 0.60 0.38 0.06

16 Anjatan 0.35 0.17 0.12 0.35

17 Haur Geulis 0.33 0.40 0.12 0.21

18 Bongas 0.30 0.42 0.62 0.07

19 Widasari 0.24 0.44 0.70 0.09

20 Balongan 0.09 0.30 0.57 0.05

21 Sukra 0.17 0.35 0.69 0.00

22 Kroya 0.07 0.36 0.69 0.05

23 Cantigi 0.09 0.32 0.77 0.05

24 Arahan 0.09 0.33 0.70 0.02

25 Gantar 0.10 0.40 0.70 0.01

26 Terisi 0.09 0.32 0.04

27 Sukagumiwang 0.10 0.27 0.64 -

28 Kedokan Bunder 0.04 0.27 0.74 0.06

29 Patrol 0.15 0.36 0.84 0.12

30 Pasekan 0.09 0.31 0.63 0.04

31 Tukdana 0.15 0.31 0.82 0.12

32 Bugel 0.04 0.29 0.68 0.06

33 Cigugur 0.11 0.30 0.49 0.08

34 Wanguk 0.18 0.26 0.72 0.06

35 Tulangkacang - 0.24 0.33 0.15

36 Lueweungsemut 0.10 0.34 0.81 0.06

37 Karangasem 0.09 0.33 0.83 0.06

38 Cipancuh 0.03 0.32 0.73 0.02

39 Tamiang 0.32 0.33 0.54 0.01

40 Bantarhuni 0.22 0.42 0.51 0.01

41 Bugis 0.18 0.31 0.44 0.08

96

Gambar 42. Perbandingan pola curah hujan antara stasiun referensi dengan stasiun

hujan pewakil pada setiap kelompok.

97

4.4. Simpulan

Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting

sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa

diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry

(FS) menghasilkan sebaran yang beragam.

Pada stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara 0.02-0.49 dengan

rata-rata 0.21. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar

7.7% dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg

dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan 0.45.

Pada stasiun referensi Lelea, nilai FS antara 0.12-0.69 dengan rata-rata

0.35. Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3%, yaitu Bangodua, Gabus Wetan,

Jatibarang dan Krangkeng.

Pada stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5. Nilai

FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata 0.49. Wilayah yang bisa diwakili

oleh stasiun Terisi 53.8%, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya,

Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan,

Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh,

Tamiang dan Bantarhuni.

Pada stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara 0.002 hingga 0.41,

dengan rata-rata 0.11. Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan

stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya.