Upload
vubao
View
279
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Fisik Tanah
Pada penelitian ini, bahan utama yang digunakan dalam pembuatan model
tanggul adalah tanah jenis Gleisol yang berasal dari Kebon Duren, Depok, Jawa
Barat. Tanah yang digunakan untuk model tanggul tersebut yaitu tanah pada
kedalaman 20-40 cm dan ukuran partikel tanah yang digunakan adalah tanah yang
lolos saringan 4760 µm. Hasil penelitian sifat fisik tanah Gleisol tersebut seperti
tertera pada Tabel 6, sedangkan hasil perhitungan sifat fisik tanah Gleisol ini
selengkapnya tertera pada Lampiran 3.
Tabel 6. Sifat-sifat fisik tanah Gleisol
Karakteristik Satuan Nilai
Berat isi kering g/cm3 1.18
Fraksi
Liat % 45.00
Debu % 30.83
Pasir % 24.17
Berat jenis tanah 2.69
Permeabilitas cm/jam 1.94
Porositas (n) (%) 62.44
Angka pori (e) 1.66
Potensial air tanah (pF) 2.59
Berdasarkan Tabel 6, tanah Gleisol tersebut dapat diklasifikasikan menurut
klasifikasi segitiga tekstur sistem USDA. Klasifikasi menurut segitiga tekstur
sistem USDA didasarkan pada fraksi liat, debu dan pasir. Hasil penelitian
menunjukkan tanah Gleisol tergolong dalam kelas liat seperti terlihat pada
Gambar 16. Hal ini disebabkan karena tanah Gleisol tersebut komposisi liatnya
lebih besar dibandingkan dengan debu dan pasir .
35
Gambar 16. Klasifikasi tanah Gleisol berdasarkan sistem USDA
Sifat-sifat fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi pola penyebaran aliran
dan besarnya air yang mengalir dalam tanah. Besarnya nilai koefisien
permeabilitas sangat dipengaruhi oleh angka pori (e) dan porositas (n) (Pratita,
2007). Semakin besar angka pori dan porositas suatu tanah maka tanah tersebut
semakin mudah untuk meloloskan air. Nilai-nilai sifat fisik tanah Gleisol ini bila
dibandingkan dengan tanah Latosol hasil penelitian Herlina (2003) seperti tertera
pada Tabel 7, secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama satu dengan
yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tanah Gleisol dan Latosol berada pada
satu golongan kelas yang sama.
Tabel 7. Sifat fisik tanah Latosol
Karakteristik Satuan Nilai
Berat isi kering g/cm3 1.30
Fraksi
Liat % 62.13
Debu % 12.94
Pasir % 24.93
Berat jenis tanah 2.64
Permeabilitas cm/jam 0.015
Porositas (n) (%) 61.00
Angka pori (e) 1.55
Sumber : Herlina (2003)
Contoh tanah
36
B. Sifat Mekanik Tanah
a. Hasil Uji Konsistensi Tanah
Uji konsistensi tanah Gleisol menggunakan ukuran partikel tanah yang lolos
saringan 4760 µm. Uji konsistensi tanah ini dinyatakan dengan batas cair dan
plastis (batas Atterberg). Hasil uji konsistensi tanah Gleisol tertera pada Tabel 8,
sedangkan hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.e.
Tabel 8. Hasil uji konsistensi tanah Gleisol
Konsistensi tanah Nilai
Batas cair (%) 74.44
Batas plastis (%) 42.66
Indeks plastisitas (%) 31.78
Berdasarkan Tabel 8, tanah Gleisol tersebut dapat diklasifikasikan menurut
sistem klasifikasi Unified. Sistem klasifikasi Unified didasarkan dari hasil analisis
konsistensi tanah yaitu menggunakan batas cair dan batas plastis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tanah Gleisol tersebut memiliki nilai batas cair (LL) adalah
sebesar 74.44 % dan batas plastis (PL) sebesar 42.66 %. Sedangkan nilai indeks
plastisitas (PI) yang merupakan selisih dari batas cair dan batas plastis adalah
sebesar 31.78 %. Nilai-nilai batas cair dan indeks plastisitas tersebut diplotkan ke
dalam grafik klasifikasi tanah pada Gambar 17. Hasil dari plot tersebut didapatkan
bahwa tanah Gleisol berada pada daerah MH yaitu lanau anorganik plastisitas
tinggi (Craig, 1987).
Pada penelitian sebelumnya untuk jenis tanah Latosol (Herlina, 2003)
diperoleh batas cair sebesar 61.42%, batas plastis sebesar 41.36%, dan indeks
plastisitas sebesar 20.06%. Hal ini dapat terlihat bahwa tanah Gleisol mempunyai
karakteristik yang hampir sama dengan tanah Latosol, dimana berdasarkan
klasifikasi tanah berdasarkan Sistem klasifikasi Unified, baik tanah Gleisol
maupun tanah Latosol termasuk ke dalam golongan kelas liat.
37
Gambar 17. Klasifikasi tanah Gleisol berdasarkan sistem Unified
b. Hasil Uji Pemadatan
Uji pemadatan tanah dilakukan dengan uji pemadatan standar (uji proctor).
Dari hasil uji pemadatan tersebut diperoleh kadar air optimum, berat isi kering,
berat isi basah dan berat isi jenuh. Pada penelitian ini uji pemadatan dilakukan dua
kali ulangan dan hasil pengujian tertera pada Tabel 9 dan 10.
Tabel 9. Hasil uji pemadatan standar tanah Gleisol (ulangan 1)
Kadar air
(w, %)
Berat isi basah
( t,g/cm3)
Berat isi kering
( d,g/cm3)
Berat isi jenuh
( dsat,g/cm3)
21.85 1.35 1.11 1.69
24.16 1.38 1.11 1.63
27.48 1.40 1.10 1.55
31.50 1.46 1.11 1.46
*35.98 1.63 1.20 1.37
40.05 1.62 1.16 1.29
42.03 1.61 1.13 1.26
44.34 1.65 1.14 1.23
46.33 1.57 1.07 1.20
48.55 1.58 1.06 1.17
51.43 1.57 1.04 1.13
Keterangan : * = kadar air optimum
Contoh tanah
38
Tabel 10. Hasil uji pemadatan standar tanah Gleisol (ulangan 2)
Kadar air
(w, %)
Berat isi basah
( t,g/cm3)
Berat isi kering
( d,g/cm3)
Berat isi jenuh
( dsat,g/cm3)
15.16 1.24 1.07 1.91
18.47 1.27 1.07 1.80
22.20 1.33 1.09 1.68
25.45 1.38 1.10 1.59
27.48 1.41 1.11 1.55
28.93 1.47 1.14 1.51
31.15 1.51 1.15 1.46
31.76 1.55 1.18 1.45
*35.87 1.64 1.21 1.37
37.70 1.64 1.19 1.34
39.59 1.65 1.18 1.30
42.37 1.65 1.16 1.26 Keterangan : * = kadar air optimum
Dari Tabel 9 dan 10, didapatkan rata-rata kadar air optimum adalah sebesar
35.92 % dan rata-rata berat isi kering maksimum ( dmax) sebesar 1.20 g/cm3. nilai
kadar air optimum dan berat isi kering maksimum tersebut merupakan nilai uji
pemadatan standar sebagai acuan untuk melakukan pemadatan, baik uji
pemadatan di laboratorium maupun pemadatan di lapangan. Pada penelitian
sebelumnya Herlina (2003) untuk jenis tanah latosol diperoleh kadar air optimum
sebesar 33.50 %, berat isi kering sebesar 1.30 g/cm3, berat isi basah sebesar 1.74
g/cm3, dan berat isi jenuh sebesar 1.40 %, sedangkan dari penelitian Pratita (2007)
diperoleh kadar air optimum sebesar 33.02 %, berat isi kering sebesar 1.26 g/cm3,
berat isi basah sebesar 1.68 g/cm3, dan berat isi jenuh sebesar 1.41 %. Hal ini
dapat terjadi karena disebabkan oleh jenis tanah yang digunakan berbeda dan juga
dapat diakibatkan pada proses pemadatan yang tidak konsisten sehingga energi
pemadatan yang diberikan dapat berkurang atau berlebih.
Wesley (1973) menyatakan bahwa tanah yang dipakai untuk pembuatan
tanggul, bendungan tanah, atau dasar jalan harus dipadatkan untuk menaikkan
kekuatannya, memperkecil kompresibilitas, dan daya rembes air serta
memperkecil pengaruh air terhadap tanah tersebut. Tujuan pemadatan tanah di
lapangan yaitu memadatkan tanah pada keadaan kadar air optimumnya, sehingga
tercapai keadaan yang paling padat. Dengan demikian tanah tersebut akan
mempunyai kekuatan yang relatif besar, kompresibilitas kecil, dan memperkecil
pengaruh air terhadap tanah.
39
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Ber
at
isi
(g/c
m3)
Kadar air (%)
Berat isi kering 2
Berat isi jenuh 2
Berat isi kering 1
Berat isi jenuh 1
Menurut Pratita (2007), tanah jika memiliki kadar air rendah maka tanah
tersebut akan mengeras atau kaku dan sukar dipadatkan. Jika kadar air
ditambahkan, maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas sehingga tanah tersebut
akan mudah dipadatkan dan ruang kosong antara butir menjadi lebih kecil. Pada
kadar air yang lebih tinggi lagi, tingkat kepadatan tanah akan turun lagi (seperti
terlihat pada Gambar 18) karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi air yang
tidak dapat dikeluarkan dengan cara pemadatan. Hasil perhitungan uji pemadatan
standar selengkapnya pada Lampiran 4.
Gambar 18. Kurva hasil uji pemadatan standar tanah Gleisol
c. Hasil Uji Tumbuk Manual
Dari hasil uji pemadatan standar diperoleh kadar air optimum. Nilai tersebut
digunakan sebagai acuan untuk melakukan uji pemadatan pada kotak (uji tumbuk
manual) yang selanjutnya menjadi nilai perbandingan untuk melakukan
pemadatan tanah pada model tanggul. Pemadatan dilakukan pada sebuah kotak
berukuran (40 x 30 x 10) cm, dengan jumlah lapisan sebanyak 3 lapisan.
Uji tumbuk manual dilakukan untuk menentukan berat isi kering.
Selanjutnya dari berat isi kering tersebut didapatkan nilai kepadatan relatif
(relative compaction ”RC”) berdasarkan persamaan 18. Menurut Bowles (1989)
40
nilai RC biasanya berkisar antar 90% - 105%. Hasil uji tumbuk manual tertera
pada Tabel 11 dan hasil perhitungan selengkapnya pada Lampiran 5.
Tabel 11. Hasil uji tumbuk manual
Pada penelitian ini, RC yang digunakan adalah sebesar 90.60% dengan
jumlah tumbukan per lapisan sebanyak 160 tumbukan dan tinggi jatuhan sebesar
30 cm, tidak menggunakan RC 90.11% atau 90.97%. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan pada saat melakukan pemadatan pada model tanggul dengan jumlah
tumbukan yang terlalu besar dapat mengakibatkan kotak model tanggul
mengalami kebocoran, rusak atau jebol.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis tanah
Latosol, diperoleh hasil uji tumbuk manual yang berbeda. Dari penelitian Sari
(2005) diperoleh RC sebesar 91. 44% dengan jumlah tumbukan sebanyak 75
tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm, sedangkan dari Setyowati (2006) diperoleh
RC sebesar 95. 38% dengan jumlah tumbukan sebanyak 100 tumbukan dan tinggi
jatuhan 20 cm, dan dari Pratita (2007) diperoleh RC sebesar 84. 13% dengan
jumlah tumbukan sebanyak 150 tumbukan dan tinggi jatuhan 20 cm. Hal ini dapat
disebabkan adanya perbedaan kadar air optimum karena adanya perbedaan jenis
tanah yang digunakan. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh energi yang
diberikan pada saat penumbukan tidak konsisten sehingga energi banyak yang
terbuang. Jumlah energi pemadatan pada uji tumbuk manual dihitung dengan
menggunakan persamaan 19 dan diperoleh CE (energi pemadatan) adalah sebesar
241 326 kJ/m3.
Jumlah
tumbukan/lapisan
Tinggi
jatuhan
(cm)
t
(g/cm3)
d
(g/cm3)
RC
(%)
60 20 1.27 0.93 76.97
80 20 1.30 0.95 79.12
120 20 1.32 0.97 80.51
220 20 1.41 1.03 85.58
250 20 1.47 1.08 89.47
300 20 1.48 1.09 90.11
350 20 1.50 1.10 90.97
160 30 1.48 1.09 90.60
41
Hasil yang didapatkan dari uji tumbuk manual ini selanjutnya dijadikan
acuan perbandingan untuk melakukan pemadatan tanah pada model tanggul.
Model tanggul yang dibuat terdiri dari 8 lapisan dengan masing-masing lapisan
mempunyai ketinggian 2.5 cm dan dilakukan pemadatan dengan jumlah tertentu
sesuai besarnya luasan tiap lapisan sesuai dengan persamaan 20. Semakin luas
lapisan maka jumlah tumbukannya semakin banyak pula, seperti tertera pada
Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah tumbukan pada tiap lapisan pada model tanggul
Lapisan Panjang (cm) Lebar
(cm)
Luas
permukaan
(cm2)
Jumlah
tumbukan
1 140 50 7000 933
2 119 50 5950 793
3 110 50 5500 733
4 93 50 4650 620
5 76 50 3800 507
6 63 50 3150 420
7 50 50 2500 333
8 33 50 1650 220
C. Hasil Uji Permeabilitas Tanggul
Berdasarkan klasifikasi permeabilitas menurut Sitorus (1980) dalam
Sumarno (2003), tanah Gleisol yang digunakan untuk pembuatan tanggul
termasuk ke dalam kelas permeabilitas rendah yaitu antara 0.125 – 0.5 cm/jam.
Nilai permeabilitas suatu tanah yang mengandung tekstur lempung lebih rendah
daripada tanah yang memiliki tekstur kasar. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah
persentasi dari pori-pori tanah, serta keseragaman penyebaran di dalam
penampang tanah. Nilai permeabilitas akan semakin besar jika jumlah persentase
pori-pori tanah dan kemampuan untuk meloloskan air semakin banyak serta
kemampuan tanah untuk menyimpan air semakin kecil. Dalam keadaan jenuh,
nilai permeabilitas tanah maksimum karena seluruh pori dalam tanah telah terisi
oleh air.
Pada penelitian ini didapatkan rata-rata nilai permeabilitas lapangan adalah
sebesar 1.94 cm/jam, sedangkan hasil uji permeabilitas pada tanggul setelah
42
18.44
3.8
84
5e
-00
9
Jarak (m)
-0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5Ke
da
lam
an
(m
) (x
0.0
01
)
-50
0
50
100
150
200
dijenuhkan seperti tertera pada Tabel 13. Untuk hasil uji permeabilitas
selengkapnya pada Lampiran 3.b & 6.
Nilai permeabilitas pada tanggul dalam penelitian ini berbeda dibandingkan
penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis tanah Latosol. Dari penelitian
Sari (2005) diperoleh rata-rata permeabilitas sebesar 0.009 cm/jam, sedangkan
dari Setyowati (2006) diperoleh rata-rata permeabilitas sebesar 0.008 cm/jam, dan
dari Pratita (2007) diperoleh rata-rata permeabilitas sebesar 1.040 cm/jam. Hal ini
dapat disebabkan karena perbedaan energi tumbukan yang diberikan pada saat
pembuatan tanggul sehingga pemadatan tanah tidak seragam, selain itu dapat juga
disebabkan karena perbedaan jenis tanah yang digunakan.
Tabel 13. Hasil uji permeabilitas pada tanggul
Ulangan Nilai permeabilitas
(cm/jam)
1 0.190
2 0.100
3 0.101
Rata-rata 0.130
D. Garis Freatik (Phreatic Line) pada Tubuh Model Tanggul
Garis freatik merupakan batas paling atas dari daerah di mana rembesan
mengalir. Rembesan air berjalan sejajar dengan garis ini sehingga garis rembesan
merupakan garis aliran (Wesley, 1973). Berdasarkan hasil analisis program
Seep/w maupun pengambilan foto secara langsung dapat diketahui garis freatik
pada tubuh model tanggul seperti terlihat pada Gambar 19 dan 20.
Flux section (debit rembesan)
Phreatic line (garis freatik)
1 (1.2250, 0.0625)
2 (1.4000, 0.0000)
43
Gambar 19. Garis freatik pada model tanggul berdasarkan program Seep/w
Gambar 20. Garis freatik pada model tanggul melalui pengamatan langsung
Dari gambar analisis program Seep/w dan pengamatan langsung pada model
tanggul melalui pengambilan foto aliran, bentuk garis rembesan/garis freatik
model tanggul dari hulu ke hilir tanggul akan semakin menurun. Garis freatik
terbentuk karena adanya pergerakkan air di sebelah hulu menuju bagian hilir
tanggul. Dengan adanya tekanan air di sebelah hulu maka akan ada
kecenderungan terjadinya aliran air melewati pori-pori di dalam tubuh tanggul.
Apabila gaya yang menahan lebih besar dari gaya yang mengalirkan maka aliran
air tidak akan memotong tubuh tanggul, sebaliknya jika gaya yang menahan lebih
kecil daripada gaya yang mengalirkan maka aliran air akan cepat sampai ke
bagian hilir tanggul. Peristiwa ini dapat dicirikan dengan adanya lereng basah
pada bagian hilir tanggul atau dikenal dengan panjang zona basah.
Pada pengamatan langsung, rata-rata panjang zona basah aktual pada model
tanggul adalah sebesar 22.11 cm. Pada penelitian Sari (2005) diperoleh panjang
zona basah sebesar 16 cm dan dari Pratita (2007) sebesar 19.9 cm. Pada penelitian
ini nilai panjang zona basah lebih besar, karena adanya perbedaan penggunan
jenis tanah maupun ukuran partikel tanah yang digunakan. Hal ini dapat juga
44
diakibatkan karena pemadatan pada model tanggul tidak sama sehingga terjadi
penyebaran air pada tubuh tanggul yang lebih besar dan mengakibatkan zona
basah yang terbentuk menjadi lebih panjang.
Menurut Pratita (2007), zona basah yang memotong tubuh tanggul akan
menyebabkan terjadinya gejala piping. Jika hal ini dibiarkan terjadi maka debit
rembesan melalui piping akan merusak tanggul. Salah satu upaya agar tanggul
tetap stabil maka harus dibuat saluran drainase dan penggunaan filter pada tubuh
tanggul tersebut.
Rembesan air pada tubuh tanggul mengalir dari batas muka air ke dasar
bagian tubuh tanggul. Rembesan air dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan
kapilaritas. Meskipun pola aliran pada tanggul selalu bergerak menuju ke bagian
dasar tanggul tetapi pengaruh dari kapilaritas tanah dapat terjadi seperti terlihat
pada Gambar 21.
Gambar 21. Pengaruh kapilaritas pada tubuh model tanggul
E. Debit Rembesan pada Tubuh Model Tanggul
Dalam pembuatan bendungan atau tanggul perlu diperhatikan stabilitasnya
terhadap bahaya longsor, erosi dan kehilangan air akibat rembesan melalui tubuh
tanggul. Debit rembesan merupakan kapasitas rembesan air yang mengalir ke hilir
tanggul (qout). Debit rembesan yang terjadi pada sebuah tanggul diusahakan agar
Rembesan air (tubuh
tanggul bagian atas
terlihat basah)
45
tidak melebihi debit kritis (qc), karena jika hal tersebut dibiarkan maka akan
timbul erosi bawah tanah (piping). Besarnya qc adalah sekitar 5% dari debit rata-
rata yang masuk ke dalam tanggul (qin). Untuk mengetahui besarnya debit
rembesan (qout) pada tanggul dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
1. Berdasarkan Pengukuran Langsung pada Model Tanggul
Pengukuran debit rembesan secara langsung pada model tanggul dilakukan
dengan mengukur besarnya debit outlet setiap 5 menit hingga didapatkan debit
outlet yang konstan. Hasil pengukuran debit outlet seperti tertera pada Tabel 14,
sedangkan hasil pengukuran selengkapnya pada Lampiran 7.
Tabel 14. Hasil pengukuran debit rembesan (qout) secara langsung
Ulangan qin
(ml/jam)
qc
(ml/jam)
qout
(ml/jam)
Zona
basah
(a, cm)
1 329760 16488 2020 21.00
2 325080 16272 1115 23.19
3 290160 14508 1815 22.13
Rata-rata 315000 15756 1650 22.11
Dari Tabel 14 terlihat bahwa qout < qc, sehingga dapat dikatakan model
tanggul tersebut masih aman dan tingkat kestabilan tanggul masih baik.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, debit rembesan pada penelitian ini
memiliki perbedaan walaupun tidak terlalu jauh. Dari penelitian Sari (2005)
diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 2794 ml/jam, dari Setyowati (2006)
diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 5652 ml/jam, dan dari Pratita (2007)
diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 18144 ml/jam. Hal ini disebabkan
karena perbedaan jenis tanah yang digunakan. Selain itu juga dapat disebabkan
karena faktor ketelitian dalam pengukuran, faktor pemadatan tanah yang diberikan
pada tiap lapisan tanah dan jumlah energi yang diberikan pada tiap lapisan tidak
sama sehingga nilai RC yang diperoleh berbeda.
2. Berdasarkan Program Seep/w
46
Data-data yang diperlukan untuk menganalisis besarnya debit rembesan dan
panjang zona basah yaitu jenis bahan, tekanan, konduktivitas hidrolika
(permeabilitas), tinggi tekan (pressure head) dan unit flux. Nilai permeabilitas
diperoleh dari pengambilan contoh tanah pada tubuh tanggul (di bagian hilir
tanggul) setelah dilakukan pengaliran. Hal ini dilakukan karena tanah di bagian
hilir tanggul lebih jenuh karena adanya rembesan air yang mengalir ke bagian hilir
tanggul. Nilai tekanan dan permeabilitas untuk setiap ulangan pada model tanggul
selanjutnya menjadi data masukkan untuk analisis debit rembesan tersebut.
Besarnya debit rembesan tertera pada Tabel 15, sedangkan langkah-langkah
penggambaran pada program Seep/w selengkapnya pada Lampiran 10.
Tabel 15. Hasil analisis debit rembesan dengan program Seep/w
Ulangan Permeabilitas (cm/jam) Debit rembesan (ml/jam)
1 0.190 26.388
2 0.100 13.824
3 0.101 13.968
Rata-rata 0.130 18.060
Pada Tabel 15, terlihat bahwa rata-rata debit rembesan yang diperoleh
adalah sebesar 18.060 ml/jam. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, nilai
debit rembesan tersebut sedikit berbeda. Dari penelitian Sari (2005) diperoleh
rata-rata debit rembesan sebesar 1396.800 ml/jam, dari Setyowati (2006)
diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 0.767 ml/jam, dan dari Pratita (2007)
diperoleh rata-rata debit rembesan sebesar 144.360 ml/jam. Perbedaan debit
rembesan ini disebabkan karena adanya perbedaan nilai permeabilitas dengan
penelitian sebelumnya yang diakibatkan oleh penggunaan jenis tanah yang
berbeda, faktor pemadatan dan jumlah energi yang diberikan pada model tanggul
yang dibuat.
3. Berdasarkan Rumus Empiris
Berdasarkan metode Casagrande debit rembesan yang diperoleh adalah
sebesar 0.157 ml/jam, sedangkan dengan metode Grafik (Taylor, 1948) diperoleh
47
sebesar 0.161 ml/jam, dan dengan metode Bowles sebesar 0.167 ml/jam. Debit
rembesan yang diperoleh tertera pada Tabel 16, sedangkan perhitungan
selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.
Tabel 16. Hasil perhitungan debit rembesan berdasarkan rumus empiris
Metode Permeabilitas
(cm/jam)
Zona
basahhitung(cm)
qhitung
(ml/jam)
Casagrande 0.130 12.07 0.157
Grafik 0.130 12.36 0.161
Bowles 0.130 12.22 0.167
Dibandingkan dengan metode pengukuran langsung dan program Seep/w,
debit rembesan berdasarkan rumus empiris menghasilkan debit yang jauh lebih
kecil seperti tertera pada Tabel 17. Hal ini disebabkan karena pada metode empiris
selain faktor permeabilitas dan dimensi tanggul, panjang zona basah juga
mempengaruhi perhitungan. Sebaliknya, pada pengukuran secara langsung dan
metode analisis dengan program Seep/w, debit rembesan hanya dipengaruhi oleh
nilai permeabilitas, tinggi muka air dan dimensi tanggul, sedangkan panjang zona
basah tidak berpengaruh.
Tabel 17. Nilai debit rembesan dengan 3 metode
Metode Debit rembesan (ml/jam)
Pengamatan langsung 1650
Analisis Seep/w 18.060
Analisis rumus empiris
Casagrande 0.157
Grafik 0.161
Bowles 0.167