Upload
hoangnga
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN)
MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen
menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis karbon, nitrogen, kadar air dan kadar abu molases dan urea Bahan Kadar (%)
C(b/b) N(b/b) Kadar air Kadar abu
Molases 1% 0.54 0.04 99.08 0.08
Urea 0.07 45.11 Tidak diukur Tidak diukur
Keterangan :
C= karbon, N=Nitrogen
b/b = bobot/bobot
Analisis kadar karbon pada molases 1% yang ditunjukan pada Tabel 5, nilainya
lebih besar (0.54%) dari analisis kadar karbon dari molases 1% yang juga dilakukan
oleh Suastuti (1998) yakni sebesar 0.37%. Perbedaan ini disebabkan karena
komposisi molases dipengaruhi oleh varietas dan kematangan tebu, kondisi iklim dan
tanah. Di samping itu kondisi proses pada pabrik gula juga mempengaruhi komposisi
molases.
Kadar nitrogen dari urea yang dianalisis adalah sebesar 45.11% tidak berbeda
dengan kadar nitrogen pupuk urea buatan PT PUSRI Palembang yang umumnya
mengandung minimal 46% nitrogen (Chan dan Sumarna, 1986).
B. POLA PERUBAHAN pH
Nilai pH cairan kultur selama kultivasi P. putida berkisar antara 7.32-9.21. ada
Pada awal kultivasi pH medium mengalami penurunan pada jam ke-6 sampai jam ke-
12 kemudian nilai pH naik kembali dan cenderung stabil hingga akhir kultivasi (jam
ke-48). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 12, 13, 14), formula media kultivasi
20
berbeda nyata pada taraf nyata 5% untuk perubahan pH di tiap-tiap waktu
pengambilan sampel selama kultivasi dan formula media kultivasi memberikan beda
nyata pada taraf nyata 5% untuk penurunan pH antara nilai pH pada awal kultivasi
dengan nilai pH terendah selama kultivasi, jadi minimal ada satu formula yang
memberikan pengaruh berbeda dibanding formula yang lain pada taraf nyata 5%
(Lampiran 15). Pola perubahan pH cairan kultivasi dapat dilihat pada Gambar 6
berikut ini.
Gambar 6. Kurva perubahan pH medium selama kultivasi
Besarnya penurunan pH berbeda, tergantung kepada konsentrasi molases (tetes
tebu) yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi molases, semakin tinggi pula
penurunan pH. Menurut Hilwan et al. (2006), semakin banyak jumlah karbon yang
terdapat dalam media maka pembentukan asam piruvat di dalam cairan kultivasi
akan semakin meningkat. Terjadinya perubahan pH selama kultivasi adalah hal yang
umum terjadi. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Jenkins dalam
Cartledge (1992) dimana pH dari suatu kultur metabolisme tidak tetap sepanjang
waktu. Perubahan pH ini berhubungan dengan (1) degradasi protein dan senyawa
protein lain dengan membentuk ammonia atau produk alkalin lain (2) pengambilan
kation dan anion tertentu (3) metabolisme substrat karbon dengan membentuk asam
organik.
21
Terjadinya penurunan pH ini karena bakteri menggunakan sumber karbon dalam
metabolismenya yang menghasilkan senyawa metabolisme seperti asam asetat, asam
piruvat dan asam karboksilat. Hal ini dinyatakan juga oleh Jenkins dalam Cartledge
(1992) bahwa jika sumber karbon yang paling besar di dalam kultur medium adalah
suatu karbohidrat maka pH akan turun selama pertumbuhan eksponensial pada
kondisi aerob. Pada proses ini, asam organik jika berdisosiasi dalam air akan
menghasilkan H+ yang dapat menurunkan pH cairan kultivasi. Terbentuknya asam-
asam organik tersebut melalui proses katabolisme glukosa dan siklus asam
trikarboksilat (TCA) yang merupakan kelanjutan dari reaksi glikolisis. Asam-asam
ini merupakan substrat untuk anabolisme dalam sintesis asam amino dan
makromolekul lain (Dawes dan Sutherland, 1976).
Manfaat lain adanya asam-asam organik seperti asam oksalat yang dihasilkan P.
putida, juga akan menguntungkan tanaman dalam memperoleh unsur P dalam tanah,
terutama pada tanah masam yang tidak mampu menyediakan fosfat yang cukup bagi
tanaman. Pada tanah yang demikian, efisiensi pemupukan P menjadi sangat rendah
karena sebagian besar P yang diberikan terikat dengan alumunium, besi dan mangan
dengan membentuk senyawa yang sukar larut. Oleh karena itu, dengan adanya asam-
asam organik akan membentuk kompleks dengan Al, Fe, Mn sehingga fosfat tidak
terikat oleh ion-ion tersebut. Unsur P diperlukan oleh tanaman sebagai unsur makro
untuk pertumbuhan.
Peningkatan nilai pH cairan kultivasi disebabkan oleh penggunaan urea sebagai
sumber nitrogen. James (1993) seperti dikutip Wicaksono (2000) menyatakan bahwa
urea jika dilarutkan ke dalam air akan mengalami reaksi kimia dan berubah menjadi
ammonium bikarbonat. Reaksi kimia ini akan menyebabkan peningkatan pH larutan
dan reaksi ini berlangsung hingga jam ke-48 (akhir kultivasi). Kenaikan pH
disebabkan oleh terakumulasinya bahan-bahan alkalin hasil metabolisme urea.
C. POLA PERTUMBUHAN Pseudomonas putida SELAMA KULTIVASI
Pertumbuhan bakteri dapat dilihat dengan peningkatan kekeruhan (optical
density) dan bobot kering biomassa yang dihasilkan selama kultivasi. Pola
pertumbuhan P. putida selama proses kultivasi dapat dilihat pada Gambar 7, 8 dan 9
berikut ini.
22
Gambar 7. Pola pembentukan biomassa oleh Pseudomonas putida selama kultivasi dalam medium A1B (molases 1%, urea 1%)
Gambar 8. Pola pembentukan biomassa oleh Pseudomonas putida selama kultivasi pada medium A2B (molases 1.25%, urea 1%)
23
Gambar 9. Pola pembentukan biomassa oleh Pseudomonas putida selama kultivasi pada medium A3B (molases 1.5%, urea 1%)
Pola pertumbuhan sel pada ketiga perlakuan memiliki pola yang sama yaitu fase
adaptasi (lag), fase logaritmik (eksponensial) dan stasioner. Selain itu juga
menunjukan pola pertumbuhan diauksik yakni pola pertumbuhan yang dicirikan
oleh dua fase eksponensial yang dipisahkan dengan fase lag. Pertumbuhan diauksik
terjadi karena pengunaan dua sumber karbon yakni glukosa dan fruktosa
(monosakarida) dan sukrosa (disakarida). Sumber karbon yang mudah
dimetabolisme seperti monosakarida merupakan molekul gula sederhana akan
digunakan terlebih dahulu. Setelah sumber karbon yang pertama habis, sel akan
memasuki fase stasioner sampai suatu ketika laju pertumbuhannya akan meningkat
lagi. Dalam fase pertumbuhan kedua, P. putida akan menggunakan sumber karbon
yang lebih kompleks seperti sukrosa yang merupakan disakarida.
Pada setiap perlakuan, fase adaptasi pertumbuhan pertama pada konsentrasi
molasses 1% urea 1% (A1B) berlangsung relatif cepat karena sel bakteri dapat
menyesuaikan kondisi pertumbuhanya pada media kultivasi sedangkan pada
konsentrasi molases 1.25% urea 1% (A2B) dan konsentrasi molasses 1.5% urea 1%
(A3B) memiliki fase adaptasi yang berlangsung dari awal kultivasi sampai jam ke-
6, setelah fase adaptasi kemudian dilanjutkan oleh fase eksponensial pertama.
24
Pada konsentrasi molasses 1% urea 1% (A1B) fase eksponensial berlangsung
dari awal kultivasi sampai jam ke-6, sedangkan molases 1.25% urea 1% (A2B)
berlangsung dari jam ke-6 sampai jam ke-18 dan molasses 1.5% urea 1% fase
eksponensial berlangsung dari jam ke-6 sampai jam ke-12, setelah itu dilanjutkan
dengan fase stasioner. Fase stasioner ini sebagai awalan untuk mulai memasuki
fase adaptasi pada fase pertumbuhan kedua yang diikuti fase eksponensial dan fase
stasioner pertumbuhan kedua.
Pada konsentrasi molases 1% urea 1% fase eksponensial kedua dari jam ke-
12 hingga jam ke-18, pada konsentrasi 1.25% urea 1% (A2B) fase eksponensial
kedua terjadi dari jam ke-36 sampai jam ke-42 diikuti dengan fase stationer kedua
hingga akhir kultivasi. Pada konsentrasi 1.5% urea 1% (A3B) fase eksponensial
kedua dari jam ke-30 hingga jam ke-36 setelah itu terjadi fase stationer kedua
hingga jam ke-48. Berikut ini kurva antara ln[biomassa] terhadap lama kultivasi
yang menunjukan pola pertumbuhan sel (Gambar 10).
Gambar 10. Pola pertumbuhan sel Pseudomonas putida pada setiap perlakuan
A1 = molases 1%; A2 = molases 1.25%; A3 = molases 1.5%; B = urea 1%
Perbanyakan sel terjadi setelah fase adaptasi dengan meningkatnya konsentrasi
sel dalam cairan kultivasi. Pada fase ini laju pertumbuhan (dx/dt) meningkat. Saat
laju pertumbuhan mencapai titik maksimal maka pertumbuhan berlangsung secara
25
logaritmik (eksponensial). Semakin tinggi konsentrasi molases, berarti sumber
karbon semakin banyak, dengan demikian bakteri memiliki kebutuhan akan sumber
karbon juga semakin banyak, sehingga dapat memperpanjang fase eksponensial
bakteri, tetapi substrat yang berlebihan juga dapat menjadi penghambat
pertumbuhan bakteri.
Fase stasioner (pertumbuhan tetap) yang mana jumlah sel mati seimbang
dengan jumlah sel baru (tumbuh) dan populasinya stabil (Fardiaz, 1988; Tortora et
al., 1989; Schuler dan Kargi, 1992) Fase stasioner tidak selalu disebabkan oleh
kehabisan nutrisi esensial tetapi dapat disebabkan oleh perubahan pH medium
kultivasi yang dapat menghambat sintesis sel lebih jauh (Pritchard dan Tempest
dalam Mandelstam, 1986).
D. POLA PEMBENTUKAN BOBOT KERING BIOMASSA
Bobot kering biomassa yang dihasilkan tertinggi pada konsentrasi molases 1.5%
urea 1% (A2B) sebesar 3.495 (g/l) pada jam ke-48, konsentrasi molases 1.25%
urea 1% (A3B) sebesar 2.196 (g/l) pada jam ke-42 dan konsentrasi molases 1%
urea 1% (A1B) sebesar 1.951 (g/l) pada jam ke-42. Berdasarkan dengan analisis
ragam, formula media berbeda nyata dengan taraf 5% untuk peningkatan bobot
kering biomassa selama kultivasi (Lampiran 17), untuk jam ke-12 (W12), jam ke-
18 (W18), jam ke-24 (W24) dan jam ke-48 (W48) dapat dilihat pada Lampiran 18,
sehingga hanya pada waktu-waktu itulah formula media berpengaruh untuk bobot
kering biomassa. Pengaruh konsentrasi molases dan urea terhadap pertumbuhan sel
(peningkatan bobot kering biomassa) dapat dilihat pada gambar berikut ini
(Gambar 11).
26
Gambar 11. Pengaruh konsentrasi molases dan urea terhadap peningkatan bobot
kering biomassa Tingginya bobot kering biomassa pada konsentrasi molases 1.5% dan urea 1%
(A3B) menunjukan adanya kandungan kadar karbon lebih banyak yang dapat
termanfaatkan oleh P. putida untuk pertumbuhannya. Dalam hal ini pada setiap
perlakuan media kultivasi yang diujikan terdapat korelasi positif antara peningkatan
kadar karbon pada molases terhadap peningkatan bobot kering biomassa P. putida.
E. PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA KULTIVASI
Selama kultivasi berlangsung, sel bakteri mengkonversi substrat menjadi
biomassa dan produk. Hal ini ditandai dengan berkurangnya konsentrasi sumber
karbon. Tinggi rendahnya total sisa gula dipengaruhi oleh kemampuan sel dalam
mengkonversi gula dari molases sebagai sumber karbon menjadi biomassa.
Efisiensi penggunaan substrat tertinggi adalah media A3B (konsentrasi molases
1.5% dan urea 1%) yakni 0.7210 (72.10%). Berikut ini grafik efisiensi penggunaan
sumber karbon dari setiap perlakuan (Gambar 12).
27
Gambar 12. Efisiensi penggunaan sumber karbon selama kultivasi (A1 = molases
1%; A2 = molases 1.25%; A3 = molases 1.5%; B = urea 1%)
Berdasarkan analisis ragam bahwa formula media berpengaruh nyata pada taraf
5% untuk pengurangan substrat selama kultivasi berlangsung (Lampiran 19), hal ini
terjadi pada jam ke-0 (W0), ke-6 (W6), ke-12 (W12) dan ke-24 (W24), maka pada
waktu-waktu itulah formula media berpengaruh untuk total sisa gula (Lampiran 20)..
Dan formula media berbeda nyata pada taraf 5% untuk nilai efisiensi penggunaan
sumber karbon (Lampiran 21), pada jam ke-6 (W6), ke-12 (W12) dan jam ke-24
(W24) (Lampiran 22) sehingga hanya pada waktu-waktu itulah formula media
berpengaruh untuk efisiensi penggunaan sumber karbon.
Kemampuan sel dalam menggunakan substrat juga dapat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, misalnya suhu dan pH. Sumber karbon pada molases terdapat
dalam bentuk gula-gula sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme.
Molases mengandung sukrosa (30-40%), glukosa ( 4-9%) dan fruktosa (5-12%)
(Paturau, 1982).
28
Gambar 13. Pola penggunaan substrat pada setiap perlakuan (A1 = molases 1%;
A2 = molases 1.25%; A3 = molases 1.5%; B = urea 1%)
. Pada jam ke-48, total sisa gula dari setiap perlakuan belum semuanya habis
termanfaatkan, yakni hanya tersisa 2.704-4.500 (g/l), terjadinya kelebihan substrat
yang masih belum termanfaatkan pada jam ke-48 berhubungan dengan terbatasnya
jumlah bakteri yang masih hidup di dalam bioreaktor akibat dari terakumulasinya
senyawa metabolit sekunder seperti antibiotik, senyawa HCN dsb yang mengganggu
pertumbuhan P. putida sehingga berkurangnya bakteri tersebut dalam mengkonsumsi
substrat yang masih tersisa. Berikut ini, (Gambar 14, 15, 16) pola pengurangan dan
penggunaan substrat terhadap kenaikan bobot kering biomassa.
Gambar 14. Kurva peningkatan biomassa terhadap pengurangan penggunaan
substrat selama kultivasi dalam medium A1B (molases 1%, urea 1%)
29
Gambar 15. Kurva peningkatan biomassa terhadap pengurangan penggunaan
substrat selama kultivasi dalam medium A2B (molases 1.25%, urea 1%)
Gambar 16. Kurva peningkatan biomassa terhadap pengurangan penggunaan
substrat selama kultivasi dalam medium A3B (molases 1.5%, urea 1%
F. KINETIKA KULTIVASI
Parameter kinetika kultivasi dapat digunakan untuk menentukan kecepatan
pertumbuhan dari mikroorganisme, konsumsi substrat dan konversi pembentukan
menjadi biomassa.
30
Tabel 6. Parameter kinetika kultivasi
Parameter Kinetika
Kultivasi
A1B A2B A3B
Xmax (g/l) 1.951 2.196 3.495
µ maks1 (jam-1) 0.060 0.099 0.147
µ maks2 (jam-1) 0.086 0.032 0.089
tdx 1(jam) 11.550 7.000 4.714
tdx 2(jam) 8.058 21.656 7.787
Yx/s 0.193±0.026 0.181±0.033 0.257±0.067
(So-S)/So 0.699 0.711 0.721
Keterangan: A1 = molases 1%; A2 = molases 1.25%; A3 = molases 1.5% B = urea
1%
Tabel 6 menunjukan semakin tinggi konsentrasi molases yang digunakan maka
laju pertumbuhan maksimum (µmaks) semakin tinggi. Nilai tertinggi µmaks
pertumbuhan pertama terjadi pada medium dengan konsentrasi molases 1.5% urea
1% (A1B) yaitu sebesar 0.147/jam. Nilai µmaks digunakan untuk menghitung waktu
yang dibutuhkan oleh sel untuk memperbanyak diri dua kali dari massa sel semula.
Hasil perhitungan yang menunjukan waktu ganda sel tercepat berdasarkan massa sel
sebesar 4.714 jam.
Pada nilai rendemen biomassa terhadap substrat, nilai yang tertinggi terdapat pada
konsentrasi molases 1.5% dan urea 1%, karena pada konsentrasi tersebut kadar
karbon yang digunakan untuk pertumbuhan juga lebih tinggi.
31
Gambar 17. Pengaruh konsentrasi molases dan urea terhadap konversi substrat
menjadi biomassa (Yx/s)
Nilai Yx/s terbesar pada konsentrasi 1.5% dan urea 1% (A3B) sebesar
0.257±0.067 g biomassa/g substrat, sedangkan pada konsentrasi molases 1% dan
urea 1% (A1B) sebesar 0.193±0.026 g biomassa/g substrat, kemudian pada
konsentrasi 1.25% dan urea 1% (A2B) sebesar 0.181±0.033 g biomassa/g substrat.
Efesiensi penggunaan substrat pada konsentrasi molases 1.5% dan urea 1% (A3B)
sebesar 72.10%, konsentrasi molases 1.25% dan urea 1% (A2B) sebesar 71.12%,
sedangkan konsentrasi molases 1% dan urea 1% (A1B) sebesar 69.89%. Nilai
efesiensi penggunaan substrat tertinggi terdapat pada konsentrai molases 1.5% dan
urea 1% (A3B) begitu juga dengan nilai Yx/s tertinggi terjadi pada konsentrasi 1.5%
dan urea 1% (A3B). Berdasarkan analisis ragam, kosentrasi media berpengaruh
nyata terhadap (Yx/s) pada taraf 5% (Lampiran 23).
G. PENGUJIAN TOKSISITAS CAIRAN KULTIVASI TERHADAP NEMATODA
(BIOASSAY)
Bioassay merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan
aktivitas bahan aktif biopestisida dengan menggunakan hewan target. Biopestisida
yang paling efektif adalah biopestisida yang mampu membunuh hewan target paling
32
banyak, yang ditunjukan oleh tingkat mortilitasnya. Dalam penelitian ini hewan
target yang digunakan adalah nematoda Pratylenchus brachyurus.
Pengujian toksisitas dilakukan dengan menggunakan filtrat bakteri P. putida hasil
kultivasi jam ke-48, dengan pengenceran 20% cairan kultivasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi molases 1.5% dan urea 1% (A3B) memiliki tingkat
mortalitas nematoda tertinggi sebesar 90%, konsentrasi molases 1.25% urea 1%
(A2B) sebesar 82% dan terendah pada konsentrasi molases 1% urea 1% (A1B)
sebesar 68%. Tingginya tingkat mortalitas nematoda pada perlakuan molasses 1.5%
dan urea 1% (A3B) berhubungan dengan tingginya bobot kering biomasa yang
dihasilkan yaitu sebesar 3.495 g/l, sedangkan pada perlakuan 1.25% urea 1% (A2B)
dan 1% urea 1% (A1B) sebesar 2.196 g/l dan 1.951 g/l. Berikut ini (Gambar 19)
menunjukan formula media terhadap persentase tingkat mortalitas nematoda.
Gambar 19. Tingkat mortalitas nematoda terhadap berbagai perlakuan media
kultivasi yang diujikan pada pengenceran 20% cairan kultivasi (A1B= molases 1% urea 1%, A2B= molases 1.25% urea 1%, A3B = molases 1.5% urea 1%)
33
Hasil uji toksisitas, menunjukan korelasi positif dengan peningkatan jumlah
sumber karbon (kadar molases), juga dengan peningkatan biomassa. Hal ini
disebabkan, bakteri P. putida memanfaatkan sumber karbon yang ada pada molases
untuk pembentukan biomassa dan produk. Dan secara statistik, pada uji toksisitas
(Lampiran 25) dengan taraf nyata 5% menunjukan formula media kultivasi tidak
berpengaruh nyata pada tingkat toksisitas.