Click here to load reader
Upload
andry-scj
View
107
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
AJARAN IUSTIFICATIO:
Zaman Reformasi dan Konsili Trente
Tugas Mid Semester
Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja
Oleh:
Andry Kurniawan, Hubertus
(FT. 3147)
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2012
AJARAN IUSTIFICATIO:
Zaman Reformasi dan Konsili Trente
1. Pengantar
Pokok persoalan yang dihadapi oleh Konsili Trente (1545-1563) adalah soal
iustificatio (Pembenaran), yang dilontarkan oleh Martin Luther. Ajaran tentang
iustificatio ini merupakan hasil kerja Konsili untuk menanggapi soal yang dilontarkan
oleh para refomatores dengan menegaskan kembali tradisi Gereja.
Timbulnya reformasi tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan yang hidup
pada masa itu, yaitu soal rahmat dan kebebasan Tuhan. Mereka yang menganut
pandangan “nominalisme” sangat mementingkan kebebasan Allah dalam memberikan
rahmat-Nya. Tokoh utama dari “nominalisme” adalah Gabriel Biel (1410-1495). Ia
menekankan kebebasan Allah. Allah dapat menyelamatkan orang tanpa syarat, termasuk
orang yang jahat. Akan tetapi, Tuhan mengikat diri dengan memberikan rahmat-Nya
pada manusia yang “berbuat apa yang dapat dibuat”. Tuhan memberikan rahmat-Nya
pada manusia yang berusaha.
Untuk itu, manusia perlu mencintai Tuhan di atas segala-galanya. Manusia perlu
mencintai Tuhan agar selamat. Dengan demikian, ada dialektika antara rasa cinta dan
takut. Manusia mencintai Allah oleh karena ada rasa takut untuk tidak diselamatkan.
Pandangan seperti inilah yang kemudian berpengaruh pada pemikiran Martin Luther.
Dalam hal ini, Luther mau menolak pandangan dari kaum “nominalisme” ini.
2. Definisi “Pembenaran”
Menurut Kamus Teologi, justification adalah anugerah penyelamatan berupa
pembenaran membuat manusia berkenan dan diterima oleh Allah. Pembenaran datang
karena iman akan Yesus Kristus (Rm. 1:17; 9:30-31), bukan dari pekerjaan hukum (Rm.
3:28; Gal. 2:16)1. Sementara dalam Kamus Alkitab, kata kerja ‘membenarkan’ lebih
1 Gerald O’Collins - Edward G.Farrugia, Kamus Teologi, terj. I.Suharyo, Kanisius, Yogyakarta 2006, 237.
1
berkenaan dengan pemulihan hubungan, daripada menjadikan, atau seolah-olah
menjadikan sifat yang baru2.
Istilah “pembenaran” dan kata kerja “membenarkan” mempunyai arti “masuk ke
dalam suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau mungkin juga “dijadikan benar
di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran dilihat sebagai berhubungan dengan
pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang individu supaya
diselamatkan. Pertanyaan ini di sepanjang sejarah gereja masih terus diperdebatkan
bahkan mengalami kekacauan.
Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, tidak
adanya pengumuman resmi dari gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu
tahun. Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan
yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasil
bahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam
peredaran3.
Menurut Thiessen, dari pembawaannya, setiap orang bukan saja merupakan
anak si jahat, tetapi juga seorang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan (Rm. 3:23;
5:6-10; Ef. 2:1-3; Kol. 1:21; Tit. 3:3). Ketika dilahirkan kembali maka seseorang
menerima hidup dan perangai yang baru; ketika mengalami pembenaran, ia menerima
kedudukan yang baru. Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tindakan Allah yang
menyatakan sebagai benar orang yang percaya kepada Kristus4. Menurut Ladd, pokok
gagasan pembenaran ialah penyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang
percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang
sebagai benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki suatu hubungan
yang benar dengan Allah5.
Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah sesuatu yang
dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tentang manusia.
Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar.
Menurut Thiessen, ada beberapa hal yang tecakup dalam pembenaran:
2 W.R.F.Browing, Kamus Alkitab, terj. Lim Khiem Yang - Bambang Subandrijo, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007, 3153 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj.Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002, 115-117.4 Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, Penerbit Gandum Mas, Malang, 2008, 421.5 George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, Wm.B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, 1974, 437.
2
“Pertama, pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes. 53:5-6; 1 Pet. 2:24)6. Kedua, pembenaran adalah pemulihan hubungan baik. Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Taw. 20:7; Yak. 2:23). Ketiga, Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan. Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan kebenaran Kristus”7.
3. Ajaran Reformasi tentang Iustificatio
Pandangan Martin Luther (1483-1546) tentang pembenaran merupakan hasil
bukan hanya dari refleksi teologisnya, melainkan juga dari pengalaman dan pergulatan
imannya sendiri. Pada awal kehidupan Luther sebagai seorang biarawan, ia dikungkungi
oleh perasaan bersalah yang muncul dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya untuk
menemukan perdamaian dengan Allah.
Selama periode kehidupannya ini, ia merasa sangat terganggu dengan persoalan
tentang dirinya sendiri dan tentang arti dari kalimat dalam Surat Paulus, “Orang benar
akan hidup oleh iman” (Rm. 1:17)8. Tidak mengherankan jika Luther menyimpulkan
bagian surat yang di dalamnya ia mencatat pencerahannya yang luar biasa itu dengan
ungkapan:
“Kalau kamu mempunyai iman yang benar bahwa Kristus adalah Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu menggapai Allah yang rahmani karena iman menuntun kamu masuk dan membukakan hati dan kehendak Allah sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni dan kasih yang meluap. Hal ini adalah untuk melihat Allah dalam iman sehingga kamu akan memandang
6 “Doktrin pembenaran berarti bahwa sekarang ini Allah telah menyatakan pembebasan orang beriman dari penghukuman pada akhir zaman, bahkan sebelum penghukuman akhir itu terjadi.“ George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, 437.7 Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, hlm. 422-424.8 Luther menulis kerisauannya sendiri sebagai berikut: Aku sangat rindu untuk memahami Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya kecuali pernyataan tersebut, “kebenaran Allah”, karena aku mengambilnya dengan arti bahwa kebenaran di mana Allah itu benar dan bertindak adil dalam menghukum orang yang tidak benar. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, 155.
3
hati-Nya yang ramah, kebapaan, yang di dalamnya tidak ada kemurkaan maupun ketidakramahan. Ia yang melihat Allah sebagai yang murka tidak melihat Dia secara benar, tetapi melihat hanya melalui tirai, seolah-olah awan gelap telah turun melintasi wajah-Nya”9.
Luhter memahami teks itu secara lain. Luhter mengerti bahwa manusia
dibenarkan bukan karena perbuatannya, tetapi karena imannya kepada Kristus. Pokok
pemikiran Luther mengenai iustificatio dapat dirumuskan secara singkat demikian:
“manusia dibenarkan secara cuma-cuma karena Kristus oleh iman”10. Ajaran ini mau
menegaskan kerahiman Allah yang menyelamatkan. Pembenaran dipahami sebagai
kerahiman Allah yang cuma-cuma, bukan karena usaha dan perbuatan baik manusia.
Oleh karena itu, rahmat Allah dalam Kristus menjadi unsur utama dan mutlak.
Paham ini dilatarbelakangi oleh pemikiran Luther mengenai keadaan manusia.
Luther mempertahankan ajaran mengenai dosa asal. Akan tetapi, ia menyamakan dosa
asal dengan konkupisensi. Menurutnya, dari dirinya sendiri manusia tidak mampu
menyelamatkan diri. Bahkan dalam keadaan dosa, manusia tidak mampu untuk berbuat
baik. Hal ini disebabkan konkupisensinya tidak dapat dikalahkan, sehingga apapun yang
dilakukannya adalah jahat11.
Paham iustification ini dikembangkan dari pemikiran Perjanjian Baru,
khususnya St. Paulus, yaitu: orang berdosa diterima dalam kesatuan dengan Allah,
berdasarkan karya keselamatan dalam Kristus”12. Menurut Luther, dalam pembenanran
itu manusia tidak disucikan, tetapi dinyatakan benar. Dalam hal ini, Luther mengambil
alih gagasan yang dipakai dalam dunia pengadilan. Pembenaran dipahami sebagai
pernyataan hakim bahwa seseorang itu benar. Dengan demikian, pembenaran itu sesuatu
yang terletak di luar diri kita (extra nos) yakni semata-mata dalam kebaikan Tuhan dan
juga bersifat “forensis” (urusan pengadilan) sebab berdasarkan suatu pernyataan dari
Allah sebagai Hakim13.
Tentang pembenaran ini, Luther sampai pada pandangan simul iustus et
peccator, yaitu manusia dibenarkan Allah tetapi ia tetap berdosa14. Kendati manusia
9 Roland Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, Abingdon Press, New York, 1950, 66, sebagaimana dikutip oleh Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, 157.10 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, FTW, Yogyakarta, 2010, 19.11 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 19.12 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 19.13 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 178.14 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 20.
4
dalam keadaan berdosa, ia berpendapat bahwa pembenaran itu mengarah kepada
keselamatan eskatologis. Keselamatan itu belum dicapai sekarang, tetapi masih
diharapkan untuk akhir zaman.
Pembenaran yang merupakan karya Allah merupakan anugerah cuma-cuma dari
Allah, maka dari pihak manusia hanya dituntut “iman kepercayaan”. Manusia menerima
pembenaran ini dengan iman, yaitu penyerahan total, penuh kepercayaan kepada
karahiman Allah (fides fiducialis)15. Manusia hanya bisa menyerahkan diri kepada
kerahiman Allah. Manusia mengakui diri pendosa dan menyerahkan sepenuhnya kepada
Allah yang menjanjikan belas kasihan karena pahala Kristus.
Paham pembenaran menurut Luther menekankan rahmat Allah yang mutlak bagi
manusia. Manusia dari dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Manusia dalam
situasi kedosaan maka perlu rahmat Allah. Dalam hal ini, Luther sangat dipengaruhi
oleh pandangan Agustinus. Kesamaan dari pemikiran Luther dan Agustinus ialah titik
tolak ajaran keselamatan, yakni kedosaan manusia dan kerahiman Allah16. Akan tetapi
juga ada perbedaan Luther dan Agustinus.
Luther mengartikan pembenaran sebagai penerimaan manusia berdosa oleh
Allah sehingga dapat dikatakan simul iustus et peccator. Dalam hal ini, Agustinus
mengatakan bahwa manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh Allah.
Demikian juga pandangan Luther mengenai rahmat berbeda dari Agustinus. Luther
berpendapat bahwa rahmat merupakan sesuatu di luar manusia. Rahmat diletakkan
seluruhnya dalam Allah. Namun bagi Agustinus, rahmat diberikan dalam diri manusia
sebagai reparatio naturae (pembetulan kodrat). Di sini, Agustinus meletakan rahmat
dalam manusia.
Teologi Reformis sering diringkas dengan semboyan sola fide. Ungkapan
“pembenaran oleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran itu
dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah dan diterima
melalui iman. Luther berkata:
“Anugerah Allah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu
15 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 179.16 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 180.
5
yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia”17.
Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia
melalui iman (sola gratia dan sola fide), diungkapkan dengan jelas di dalam penafsiran
dan pengandalan gereja-gereja Lutheran atas Alkitab, dan dalam cara mereka
merayakan Perjamuan Kudus. Di dalam pemberitaan Firman dan pelayanan Perjamuan
Kudus selalu ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan Allah
lewat pengorbanan Kristus18.
4. Ajaran Konsili Trente tentang Iustificatio
Konsili yang berlangsung selama 18 tahun (1545-1563) mempergunakan 7 bulan
untuk berbicara soal iustificatio dan merumuskan Decree on Justification yang disahkan
dan diumumkan pada 13 Januari 154719. Uraian mengenai pembenaran ini dimaksudkan
untuk menolong orang lebih memahami ajaran Kristiani dan khususnya untuk
membantu para pastor dan katekis dalam tugas pelayanan umat20.
Konsili Trente bermaksud menanggapi pandangan reformasi mengenai
pembenaran. Ada beberapa kesulitan dalam merumuskan ajaran tetang pembenaran ini,
yaitu: (1) Konsili tidak menemukan auctoritates dari konsili-konsili sebelumnya; (2)
Luther dan kawan-kawannya menulis dalam bahasa Jerman, sedangkan para Bapa
Konsili tidak mengenal bahasa Jerman; (3) adanya desakan dari kaisar Jerman untuk
tidak membuat keputusan. Dengan demikian muncul soal, apakah konsili mau
menanggapi reformasi atau mau menegaskan ajaran tradisional? Akan tetapi ditegaskan
sekali lagi, maksud utama konsili adalah menjawab reformasi.
Dekrit tentang pembenaran ini terdiri dari 16 bab dan 33 kanon. Pokok-pokok
ajaran mengenai pembenaran adalah sebagai berikut21:
Bab 1-3: menegaskan kembali apa yg dirumsukan mengenai dosa asal. Manusia
dari dirinya sendiri tidak mampu membebaskan diri dari situasi dosa. Manusia
17 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, 129.18 Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995, 44.19 J. Waterworth, The Council of Trent: The Sixth Session, Dolman, London, 1848, diakses dari http://history.hanover.edu/texts/trent/ct06.html (12 April 2012).20 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 181.21 Bdk. M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 21-24.
6
membutuhkan pahala Kristus, agar dapat dibenarkan. Hal ini dengan jelas
dikatakan pada bab 3:
Namun, sungguhpun “Kristus telah mati untuk semua orang” (2 Kor 5,15), tidak semua menerima anugerah dari kematiannya, tetapi hanyalah mereka yang kepadanya dibagikan pahala penderitaan-Nya. Sebab sama seperti orang lahir pendosa karena lahir sebagai keturunan Adam – sebab karena dia mereka mendapat dosa, sejak kandungan ibunya, oleh pembiakan – bagitu juga mereka tak pernah dibenarkan, kalau tidak dilahirkan kembali dalam Kristus, dan dengan kelahiran kembali itu menerima, karena pahala sengsara Kristus, rahmat yang membuat mereka menjadi orang benar. Sang Rasul mengajar kepada kita supaya senantiasa mengucap syukur untuk anugerah ini kepada Bapa, “yang selayaknya kita untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam terang” (Kol 1,12), melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan Anak-Nya yang terkasih; di dalam Dia kita mempunyai penebusan dan pengampunan dosa (lih. Kol 1,13-14) (DS 795/1523 / ND 1927).
Bab 4: pembenaran dipahami sebagai pemindahan dari status manusia yang lahir
sebagai anak Adam yg pertama kepada status rahmat dan status pengangkatan
menjadi anak Allah karena Adam kedua yakni Kristus (lih. DS 796/1524 / ND
1928).
Bab 7: Dengan perubahan status tersebut, manusia tidak hanya diampuni
dosanya, tetapi sungguh dikuduskan. Dalam bab ini, juga ditolak pembenaran
hanyalah penerimaan orang berdosa oleh Allah, yang tidak mengubah realitas
dalam diri manusia (lih. DS 799/1528 / ND 1932).
Bab 5: Perubahan status tidak dapat terjadi tanpa permandian sebagai kelahiran
kembali atau keinginan untuk menerimanya (lih. DS 797/1525 / ND 1929).
Bab 6: Bab ini memuat sikap manusia dalam rangka menanggapi rahmat Allah.
Manusia juga diberi kesempatan untuk menjawab rahmat Allah, manusia tidak
pasif, seperti dalam pandangan Luther (lih. DS 798/1526 / ND 1930).
Bab 8: Iman adalah awal keselamatan manusia, dasar dan akar segala
pembenaran. Trente tetap menekankan perlu iman tetapi tidak perlu digembar-
gemborkan, seolah pasti diselamatkan (lih. DS 801/1532 / ND1935).
Bab 9: Orang tidak mungkin mengetahui secara pasti mengenai pembenaran
dirinya. Melawan kepastian imannya Luther (lih. DS 802/1533-1534 / ND 1936).
7
Bab 10: Setelah dibenarkan, orang masih perlu berkembang dalam kesucian (lih.
DS 803/1535 / ND 1937).
Bab 11: Orang tetap harus berusaha agar tidak kehilangan kebenaran. Karena
itu, orang tidak bisa membanggakan imannya, tetapi harus ikut menderita bersama
Kristus (lih. DS 804/1536-1539 / ND 1938).
Bab 16: Mengenai buah pembenaran, yaitu perbuatan manusia setelah
pembenaran menghasilkan hidup kekal, baik sebagai rahmat maupun sebagai
pahala (lih. DS 809-810/1545-1549 / ND 1946-1949).
5. Penutup
Pandangan Reformasi tentang pembenaran adalah manusia dibenarkan cuma-
cuma oleh karena Kritus oleh iman. Pembenaran dipahami sebagai kerahiman Allah yg
cuma-cuma, bukan karena usaha dan perbuatan baik manusia. Mereka menekankan
rahmat Allah yang mutlak bagi manusia. Manusia dari dirinya sendiri tidak dapat
berbuat apa-apa, maka perlu pertolongan Allah. Simul iustus et peccator: manusia
dibenarkan Allah, tetapi tetap berdosa. Dihadapan Allah manusia sungguh sudah benar,
tetapi dalam dirinya sendiri manusia tetap pendosa.
Trente berbicara mengenai pembenaran. Paham pembenaran tidak dipersempit
pada paham rahmat. Bagi Trente, pembenaran merupakan suatu proses yang mengarah
kepada baptisan yang diartikan sebagai kelahiran kembali berkat pahala Kristus. Trente
menekankan perlunya rahmat bagi pembenaran, tetapi juga tidak menghilangkan
kebebasan manusia. Dengan rahmat Allah, manusia secara bebas dapat menerima atau
menolak pembenaran dari Allah.
Trente menekankan perubahan total dalam diri manusia. Pembenaran bukan
hanya sesuatu yang dari luar, tetapi sungguh mengubah serta menguduskan manusia.
Perbuatan baik manusia bukan hanya gejala pembenaran, tetapi buah dan hasil
pembenaran. Setelah pembenaran, perbuatan baik manusia menghasilkan pahala bagi
dirinya sendiri.
Reformasi dan Trente memiliki hubungan yang saling melengkapi. Sejauh dari
Allah, pembenaran sungguh membenarkan manusia. Akan tetapi dalam diri manusia
8
pembenaran juga dipahami sebagai proses pemenuhan. Manusia masih harus terus
berjuang melawan dosa.
Daftar Pustaka
Aritonang, Jan S.,
9
1995 Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
Bainton, R.,
1950 Here I Stand: A Life of Martin Luther, Abingdon Press, New York.
Browing, W.R.F.,
2007 Kamus Alkitab, terj. Lim Khiem Yang - Bambang Subandrijo, BPK Gunung
Mulia, Jakarta.
Dister, N.S.,
2004 Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta.
Ladd, Eldon G.,
1974 A Theology of the New Testament, Wm.B. Eerdmans Publishing Co., Grand
Rapids.
McGrath, Alister E.,
2002 Sejarah Pemikiran Reformasi, terj.Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
O’Collins, Gerald - Edward G.Farrugia,
2006 Kamus Teologi, terj. I.Suharyo, Kanisius, Yogyakarta.
Purwatma, M.,
2010 Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, FTW, Yogyakarta.
Thiessen, Henry C.,
2008 Teologi Sistematika, Penerbit Gandum Mas, Malang.
Urban, L.,
2003 Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
Waterworth, J.,
1848 The Council of Trent: The Sixth Session, Dolman, London, , diakses dari
http://history.hanover.edu/texts/trent/ct06.html (12 April 2012).
10