17

Click here to load reader

IUSTIFICATIO

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IUSTIFICATIO

AJARAN IUSTIFICATIO:

Zaman Reformasi dan Konsili Trente

Tugas Mid Semester

Mata Kuliah Sejarah Doktrin Gereja

Oleh:

Andry Kurniawan, Hubertus

(FT. 3147)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2012

Page 2: IUSTIFICATIO

AJARAN IUSTIFICATIO:

Zaman Reformasi dan Konsili Trente

1. Pengantar

Pokok persoalan yang dihadapi oleh Konsili Trente (1545-1563) adalah soal

iustificatio (Pembenaran), yang dilontarkan oleh Martin Luther. Ajaran tentang

iustificatio ini merupakan hasil kerja Konsili untuk menanggapi soal yang dilontarkan

oleh para refomatores dengan menegaskan kembali tradisi Gereja.

Timbulnya reformasi tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan yang hidup

pada masa itu, yaitu soal rahmat dan kebebasan Tuhan. Mereka yang menganut

pandangan “nominalisme” sangat mementingkan kebebasan Allah dalam memberikan

rahmat-Nya. Tokoh utama dari “nominalisme” adalah Gabriel Biel (1410-1495). Ia

menekankan kebebasan Allah. Allah dapat menyelamatkan orang tanpa syarat, termasuk

orang yang jahat. Akan tetapi, Tuhan mengikat diri dengan memberikan rahmat-Nya

pada manusia yang “berbuat apa yang dapat dibuat”. Tuhan memberikan rahmat-Nya

pada manusia yang berusaha.

Untuk itu, manusia perlu mencintai Tuhan di atas segala-galanya. Manusia perlu

mencintai Tuhan agar selamat. Dengan demikian, ada dialektika antara rasa cinta dan

takut. Manusia mencintai Allah oleh karena ada rasa takut untuk tidak diselamatkan.

Pandangan seperti inilah yang kemudian berpengaruh pada pemikiran Martin Luther.

Dalam hal ini, Luther mau menolak pandangan dari kaum “nominalisme” ini.

2. Definisi “Pembenaran”

Menurut Kamus Teologi, justification adalah anugerah penyelamatan berupa

pembenaran membuat manusia berkenan dan diterima oleh Allah. Pembenaran datang

karena iman akan Yesus Kristus (Rm. 1:17; 9:30-31), bukan dari pekerjaan hukum (Rm.

3:28; Gal. 2:16)1. Sementara dalam Kamus Alkitab, kata kerja ‘membenarkan’ lebih

1 Gerald O’Collins - Edward G.Farrugia, Kamus Teologi, terj. I.Suharyo, Kanisius, Yogyakarta 2006, 237.

1

Page 3: IUSTIFICATIO

berkenaan dengan pemulihan hubungan, daripada menjadikan, atau seolah-olah

menjadikan sifat yang baru2.

Istilah “pembenaran” dan kata kerja “membenarkan” mempunyai arti “masuk ke

dalam suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau mungkin juga “dijadikan benar

di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran dilihat sebagai berhubungan dengan

pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang individu supaya

diselamatkan. Pertanyaan ini di sepanjang sejarah gereja masih terus diperdebatkan

bahkan mengalami kekacauan.

Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Pertama, tidak

adanya pengumuman resmi dari gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu

tahun. Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan

yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasil

bahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam

peredaran3.

Menurut Thiessen, dari pembawaannya, setiap orang bukan saja merupakan

anak si jahat, tetapi juga seorang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan (Rm. 3:23;

5:6-10; Ef. 2:1-3; Kol. 1:21; Tit. 3:3). Ketika dilahirkan kembali maka seseorang

menerima hidup dan perangai yang baru; ketika mengalami pembenaran, ia menerima

kedudukan yang baru. Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tindakan Allah yang

menyatakan sebagai benar orang yang percaya kepada Kristus4. Menurut Ladd, pokok

gagasan pembenaran ialah penyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang

percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang

sebagai benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki suatu hubungan

yang benar dengan Allah5.

Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah sesuatu yang

dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tentang manusia.

Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar.

Menurut Thiessen, ada beberapa hal yang tecakup dalam pembenaran:

2 W.R.F.Browing, Kamus Alkitab, terj. Lim Khiem Yang - Bambang Subandrijo, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007, 3153 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj.Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002, 115-117.4 Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, Penerbit Gandum Mas, Malang, 2008, 421.5 George Eldon Ladd, A Theology of  the New Testament, Wm.B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, 1974, 437.

2

Page 4: IUSTIFICATIO

“Pertama, pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes. 53:5-6; 1 Pet. 2:24)6. Kedua, pembenaran adalah pemulihan hubungan baik.  Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Taw. 20:7; Yak. 2:23). Ketiga, Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan. Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan kebenaran Kristus”7.

3. Ajaran Reformasi tentang Iustificatio

Pandangan Martin Luther (1483-1546) tentang pembenaran merupakan hasil

bukan hanya dari refleksi teologisnya, melainkan juga dari pengalaman dan pergulatan

imannya sendiri. Pada awal kehidupan Luther sebagai seorang biarawan, ia dikungkungi

oleh perasaan bersalah yang muncul dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya untuk

menemukan perdamaian dengan Allah.

Selama periode kehidupannya ini, ia merasa sangat terganggu dengan persoalan

tentang  dirinya sendiri dan tentang arti dari kalimat dalam Surat Paulus, “Orang benar

akan hidup oleh iman” (Rm. 1:17)8. Tidak mengherankan jika Luther menyimpulkan

bagian surat yang di dalamnya ia mencatat pencerahannya yang luar biasa itu dengan

ungkapan:

“Kalau kamu mempunyai iman yang benar bahwa Kristus adalah Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu menggapai Allah yang rahmani karena iman menuntun kamu masuk dan membukakan hati dan kehendak Allah sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni dan kasih yang meluap. Hal ini adalah untuk melihat Allah dalam iman sehingga kamu akan memandang

6 “Doktrin pembenaran berarti bahwa sekarang ini Allah telah menyatakan pembebasan orang beriman dari penghukuman pada akhir zaman, bahkan sebelum penghukuman akhir itu terjadi.“ George Eldon Ladd, A Theology of  the New Testament, 437.7 Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, hlm. 422-424.8 Luther menulis kerisauannya sendiri sebagai berikut: Aku sangat rindu untuk memahami Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya kecuali pernyataan tersebut, “kebenaran Allah”, karena aku mengambilnya dengan arti bahwa kebenaran di mana Allah itu benar dan bertindak adil dalam menghukum orang yang tidak benar. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003, 155.

3

Page 5: IUSTIFICATIO

hati-Nya yang ramah, kebapaan, yang di dalamnya tidak ada kemurkaan maupun ketidakramahan. Ia yang melihat Allah sebagai yang murka tidak melihat Dia secara benar, tetapi melihat hanya melalui tirai, seolah-olah awan gelap telah turun melintasi wajah-Nya”9.

Luhter memahami teks itu secara lain. Luhter mengerti bahwa manusia

dibenarkan bukan karena perbuatannya, tetapi karena imannya kepada Kristus. Pokok

pemikiran Luther mengenai iustificatio dapat dirumuskan secara singkat demikian:

“manusia dibenarkan secara cuma-cuma karena Kristus oleh iman”10. Ajaran ini mau

menegaskan kerahiman Allah yang menyelamatkan. Pembenaran dipahami sebagai

kerahiman Allah yang cuma-cuma, bukan karena usaha dan perbuatan baik manusia.

Oleh karena itu, rahmat Allah dalam Kristus menjadi unsur utama dan mutlak.

Paham ini dilatarbelakangi oleh pemikiran Luther mengenai keadaan manusia.

Luther mempertahankan ajaran mengenai dosa asal. Akan tetapi, ia menyamakan dosa

asal dengan konkupisensi. Menurutnya, dari dirinya sendiri manusia tidak mampu

menyelamatkan diri. Bahkan dalam keadaan dosa, manusia tidak mampu untuk berbuat

baik. Hal ini disebabkan konkupisensinya tidak dapat dikalahkan, sehingga apapun yang

dilakukannya adalah jahat11.

Paham iustification ini dikembangkan dari pemikiran Perjanjian Baru,

khususnya St. Paulus, yaitu: orang berdosa diterima dalam kesatuan dengan Allah,

berdasarkan karya keselamatan dalam Kristus”12. Menurut Luther, dalam pembenanran

itu manusia tidak disucikan, tetapi dinyatakan benar. Dalam hal ini, Luther mengambil

alih gagasan yang dipakai dalam dunia pengadilan. Pembenaran dipahami sebagai

pernyataan hakim bahwa seseorang itu benar. Dengan demikian, pembenaran itu sesuatu

yang terletak di luar diri kita (extra nos) yakni semata-mata dalam kebaikan Tuhan dan

juga bersifat “forensis” (urusan pengadilan) sebab berdasarkan suatu pernyataan dari

Allah sebagai Hakim13.

Tentang pembenaran ini, Luther sampai pada pandangan simul iustus et

peccator, yaitu manusia dibenarkan Allah tetapi ia tetap berdosa14. Kendati manusia

9 Roland Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, Abingdon Press, New York, 1950, 66, sebagaimana dikutip oleh Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, 157.10 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, FTW, Yogyakarta, 2010, 19.11 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 19.12 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 19.13 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 178.14 M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 20.

4

Page 6: IUSTIFICATIO

dalam keadaan berdosa, ia berpendapat bahwa pembenaran itu mengarah kepada

keselamatan eskatologis. Keselamatan itu belum dicapai sekarang, tetapi masih

diharapkan untuk akhir zaman.

Pembenaran yang merupakan karya Allah merupakan anugerah cuma-cuma dari

Allah, maka dari pihak manusia hanya dituntut “iman kepercayaan”. Manusia menerima

pembenaran ini dengan iman, yaitu penyerahan total, penuh kepercayaan kepada

karahiman Allah (fides fiducialis)15. Manusia hanya bisa menyerahkan diri kepada

kerahiman Allah. Manusia mengakui diri pendosa dan menyerahkan sepenuhnya kepada

Allah yang menjanjikan belas kasihan karena pahala Kristus.

Paham pembenaran menurut Luther menekankan rahmat Allah yang mutlak bagi

manusia. Manusia dari dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Manusia dalam

situasi kedosaan maka perlu rahmat Allah. Dalam hal ini, Luther sangat dipengaruhi

oleh pandangan Agustinus. Kesamaan dari pemikiran Luther dan Agustinus ialah titik

tolak ajaran keselamatan, yakni kedosaan manusia dan kerahiman Allah16. Akan tetapi

juga ada perbedaan Luther dan Agustinus.

Luther mengartikan pembenaran sebagai penerimaan manusia berdosa oleh

Allah sehingga dapat dikatakan simul iustus et peccator. Dalam hal ini, Agustinus

mengatakan bahwa manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh Allah.

Demikian juga pandangan Luther mengenai rahmat berbeda dari Agustinus. Luther

berpendapat bahwa rahmat merupakan sesuatu di luar manusia. Rahmat diletakkan

seluruhnya dalam Allah. Namun bagi Agustinus, rahmat diberikan dalam diri manusia

sebagai reparatio naturae (pembetulan kodrat). Di sini, Agustinus meletakan rahmat

dalam manusia.

Teologi Reformis sering diringkas dengan semboyan sola fide. Ungkapan

“pembenaran oleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran itu

dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah dan diterima

melalui iman. Luther berkata:

“Anugerah Allah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu

15 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 179.16 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 180.

5

Page 7: IUSTIFICATIO

yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia”17.

Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia

melalui iman (sola gratia dan sola fide), diungkapkan dengan jelas di dalam penafsiran

dan pengandalan gereja-gereja Lutheran atas Alkitab, dan dalam cara mereka

merayakan Perjamuan Kudus. Di dalam pemberitaan Firman dan pelayanan Perjamuan

Kudus selalu ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan Allah

lewat pengorbanan Kristus18.

4. Ajaran Konsili Trente tentang Iustificatio

Konsili yang berlangsung selama 18 tahun (1545-1563) mempergunakan 7 bulan

untuk berbicara soal iustificatio dan merumuskan Decree on Justification yang disahkan

dan diumumkan pada 13 Januari 154719. Uraian mengenai pembenaran ini dimaksudkan

untuk menolong orang lebih memahami ajaran Kristiani dan khususnya untuk

membantu para pastor dan katekis dalam tugas pelayanan umat20.

Konsili Trente bermaksud menanggapi pandangan reformasi mengenai

pembenaran. Ada beberapa kesulitan dalam merumuskan ajaran tetang pembenaran ini,

yaitu: (1) Konsili tidak menemukan auctoritates dari konsili-konsili sebelumnya; (2)

Luther dan kawan-kawannya menulis dalam bahasa Jerman, sedangkan para Bapa

Konsili tidak mengenal bahasa Jerman; (3) adanya desakan dari kaisar Jerman untuk

tidak membuat keputusan. Dengan demikian muncul soal, apakah konsili mau

menanggapi reformasi atau mau menegaskan ajaran tradisional? Akan tetapi ditegaskan

sekali lagi, maksud utama konsili adalah menjawab reformasi.

Dekrit tentang pembenaran ini terdiri dari 16 bab dan 33 kanon. Pokok-pokok

ajaran mengenai pembenaran adalah sebagai berikut21:

Bab 1-3: menegaskan kembali apa yg dirumsukan mengenai dosa asal. Manusia

dari dirinya sendiri tidak mampu membebaskan diri dari situasi dosa. Manusia

17 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, 129.18 Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia,  Jakarta, 1995, 44.19 J. Waterworth, The Council of Trent: The Sixth Session, Dolman, London, 1848, diakses dari http://history.hanover.edu/texts/trent/ct06.html (12 April 2012).20 Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 181.21 Bdk. M. Purwatma, Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 21-24.

6

Page 8: IUSTIFICATIO

membutuhkan pahala Kristus, agar dapat dibenarkan. Hal ini dengan jelas

dikatakan pada bab 3:

Namun, sungguhpun “Kristus telah mati untuk semua orang” (2 Kor 5,15), tidak semua menerima anugerah dari kematiannya, tetapi hanyalah mereka yang kepadanya dibagikan pahala penderitaan-Nya. Sebab sama seperti orang lahir pendosa karena lahir sebagai keturunan Adam – sebab karena dia mereka mendapat dosa, sejak kandungan ibunya, oleh pembiakan – bagitu juga mereka tak pernah dibenarkan, kalau tidak dilahirkan kembali dalam Kristus, dan dengan kelahiran kembali itu menerima, karena pahala sengsara Kristus, rahmat yang membuat mereka menjadi orang benar. Sang Rasul mengajar kepada kita supaya senantiasa mengucap syukur untuk anugerah ini kepada Bapa, “yang selayaknya kita untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam terang” (Kol 1,12), melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan Anak-Nya yang terkasih; di dalam Dia kita mempunyai penebusan dan pengampunan dosa (lih. Kol 1,13-14) (DS 795/1523 / ND 1927).

Bab 4: pembenaran dipahami sebagai pemindahan dari status manusia yang lahir

sebagai anak Adam yg pertama kepada status rahmat dan status pengangkatan

menjadi anak Allah karena Adam kedua yakni Kristus (lih. DS 796/1524 / ND

1928).

Bab 7: Dengan perubahan status tersebut, manusia tidak hanya diampuni

dosanya, tetapi sungguh dikuduskan. Dalam bab ini, juga ditolak pembenaran

hanyalah penerimaan orang berdosa oleh Allah, yang tidak mengubah realitas

dalam diri manusia (lih. DS 799/1528 / ND 1932).

Bab 5: Perubahan status tidak dapat terjadi tanpa permandian sebagai kelahiran

kembali atau keinginan untuk menerimanya (lih. DS 797/1525 / ND 1929).

Bab 6: Bab ini memuat sikap manusia dalam rangka menanggapi rahmat Allah.

Manusia juga diberi kesempatan untuk menjawab rahmat Allah, manusia tidak

pasif, seperti dalam pandangan Luther (lih. DS 798/1526 / ND 1930).

Bab 8: Iman adalah awal keselamatan manusia, dasar dan akar segala

pembenaran. Trente tetap menekankan perlu iman tetapi tidak perlu digembar-

gemborkan, seolah pasti diselamatkan (lih. DS 801/1532 / ND1935).

Bab 9: Orang tidak mungkin mengetahui secara pasti mengenai pembenaran

dirinya. Melawan kepastian imannya Luther (lih. DS 802/1533-1534 / ND 1936).

7

Page 9: IUSTIFICATIO

Bab 10: Setelah dibenarkan, orang masih perlu berkembang dalam kesucian (lih.

DS 803/1535 / ND 1937).

Bab 11: Orang tetap harus berusaha agar tidak kehilangan kebenaran. Karena

itu, orang tidak bisa membanggakan imannya, tetapi harus ikut menderita bersama

Kristus (lih. DS 804/1536-1539 / ND 1938).

Bab 16: Mengenai buah pembenaran, yaitu perbuatan manusia setelah

pembenaran menghasilkan hidup kekal, baik sebagai rahmat maupun sebagai

pahala (lih. DS 809-810/1545-1549 / ND 1946-1949).

5. Penutup

Pandangan Reformasi tentang pembenaran adalah manusia dibenarkan cuma-

cuma oleh karena Kritus oleh iman. Pembenaran dipahami sebagai kerahiman Allah yg

cuma-cuma, bukan karena usaha dan perbuatan baik manusia. Mereka menekankan

rahmat Allah yang mutlak bagi manusia. Manusia dari dirinya sendiri tidak dapat

berbuat apa-apa, maka perlu pertolongan Allah. Simul iustus et peccator: manusia

dibenarkan Allah, tetapi tetap berdosa. Dihadapan Allah manusia sungguh sudah benar,

tetapi dalam dirinya sendiri manusia tetap pendosa.

Trente berbicara mengenai pembenaran. Paham pembenaran tidak dipersempit

pada paham rahmat. Bagi Trente, pembenaran merupakan suatu proses yang mengarah

kepada baptisan yang diartikan sebagai kelahiran kembali berkat pahala Kristus. Trente

menekankan perlunya rahmat bagi pembenaran, tetapi juga tidak menghilangkan

kebebasan manusia. Dengan rahmat Allah, manusia secara bebas dapat menerima atau

menolak pembenaran dari Allah.

Trente menekankan perubahan total dalam diri manusia. Pembenaran bukan

hanya sesuatu yang dari luar, tetapi sungguh mengubah serta menguduskan manusia.

Perbuatan baik manusia bukan hanya gejala pembenaran, tetapi buah dan hasil

pembenaran. Setelah pembenaran, perbuatan baik manusia menghasilkan pahala bagi

dirinya sendiri.

Reformasi dan Trente memiliki hubungan yang saling melengkapi. Sejauh dari

Allah, pembenaran sungguh membenarkan manusia. Akan tetapi dalam diri manusia

8

Page 10: IUSTIFICATIO

pembenaran juga dipahami sebagai proses pemenuhan. Manusia masih harus terus

berjuang melawan dosa.

Daftar Pustaka

Aritonang, Jan S.,

9

Page 11: IUSTIFICATIO

1995 Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, 

Jakarta.

Bainton, R.,

1950 Here I Stand: A Life of Martin Luther, Abingdon Press, New York.

Browing, W.R.F.,

2007 Kamus Alkitab, terj. Lim Khiem Yang - Bambang Subandrijo, BPK Gunung

Mulia, Jakarta.

Dister, N.S.,

2004 Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta.

Ladd, Eldon G.,

1974 A Theology of  the New Testament, Wm.B. Eerdmans Publishing Co., Grand

Rapids.

McGrath, Alister E.,

2002 Sejarah Pemikiran Reformasi, terj.Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia,

Jakarta.

O’Collins, Gerald - Edward G.Farrugia,

2006 Kamus Teologi, terj. I.Suharyo, Kanisius, Yogyakarta.

Purwatma, M.,

2010 Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, FTW, Yogyakarta.

Thiessen, Henry C.,

2008 Teologi Sistematika, Penerbit Gandum Mas, Malang.

Urban, L.,

2003 Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie, BPK Gunung Mulia,

Jakarta.

Waterworth, J.,

1848 The Council of Trent: The Sixth Session, Dolman, London, , diakses dari

http://history.hanover.edu/texts/trent/ct06.html (12 April 2012).

10