12
[IJDS 2017; Vol. 4 No.1, Month 2017, pp.51-62 ISSN: 2355 – 2158 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62. 51 Received, Feb, 2017 Revised, Aprl, 2017 Accepted, May, 2017 PARTISIPASI POLITIK DIFABEL DI 2 KOTA Rachmad Gustomy Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia Abstrak: Partisipasi politik bukan hanya soal pemilu (turn out voter), namun pengertian lebih luas sebagai keterlibatan dalam perubahan kebijakan. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan peta partisipasi politik kelompok difabel dalam 5 bentuk; pemilu, organisasi, contacting, lobby dan violance. Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan pola partisipasi kelompok difabel agar nantinya dapat digunakan basis penguatan kapasitas untuk pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei di 2 kota di Jawa Timur, yaitu di Kota Malang dan Kota Mojokerto. Survei dilakukan dengan mengambil sampling 56 responden di semua kota. Dari Penelitian ini disimpulkan ada berbedaan antara kesadaran dan tindakan dalam partisipasi politik kelompok difabel. Selain itu partisipasi politik kelompok difabel masih sangat terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi kebijakan publik. Keywords: partisipasi politik, lobi, aksi langsung, aktifitas pemilu, kontak langsung, pembangkangan. 1. Latar Belakang Penelitian ini mendudukkan praktik partisipasi politik kembali pada substansinya, yang tidak hanya menempatkan pemilih (khususnya kelompok marjinal seperti difabel) yang hanya sekedar menjadi pendulang suara (turn out voters). Sehingga pentingnya penelitian ini adalah untuk menjawab bentuk partisipasi politik yang lebih substansial daripada kecenderungan hanya memilih belaka 1 . Selain itu, penelitian ini juga menjawab kecenderungan penelitian yang hanya melihat partisipasi dari kelompok- kelompok marjinal hanya sekedar menjadi obyek perebutan kekuasaan, bukan menjadi subyek dari proses perubahan kebijakan itu sendiri. Di satu sisi yang lain, kelompok difabel adalah sebuah kelompok marjinal yang sangat rentan, dalam bahasa yang sederhana pengabaian terhadap mereka akan membuat mereka mati dengan sendirinya. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kelompok difabel ini juga terasing oleh struktur politik kita, sehingga kemudian melahirkan mentalitas-mentalitas inferior dikalangan 1 Sebagai contoh, lihat penelitian The Asia Foundation, 2013, Survei dasar terhadap pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait dengan aspek pemili di enam target propinsi, Jakarta difabel. Inilah kendala mendasar dari kelompok difabel, dimana mereka sendiri pada konteks politik juga tidak mau memilih pemimpin yang difabel. Pemetaan partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam rangka menyiapkan sebuah basis rujukan dalam pemberdayaan dan penguatan kapasitas kelompok marjinal difabel. Urgensi terpentingnya adalah agar penguatan partisipasi politik tidak lagi terjebak pada hiruk pikuk pencoblosan saja, namun seara substansial juga memberikan dorongan kepada komunitas ini untuk melakukan gerakan perubahan. Kesadaran untuk memasukkan asumsi disabilitas dalam proses kebijakan publik sangat rendah, sehingga kualitas kebijakan masih jauh dari keberpihakan terhadap sebagaian masyarakat yang mengalami disabilitas. Ruang-ruang publik di banyak kota di Indonesia masih banyak tidak ramah terhadap aksesibilitas orang dengan disabilitas. Penyebab dari corak kebijakan yang seperti ini dikarenakan rendahnya sensitifitas pembuat kebijakan terhadap persoalan-persoalan kelompok difabel. Dalam penelitian The Asia Foundation di 6 Propinsi pada pemilu 2014, tingkat partisipasi relatif seimbang antara yang tertarik dan tidak. Kelompok yang tidak tertarik(27%) dan tidak tahu(19%) cukup tinggi, sedangkan yang „tertarik atau tanpa dengan

ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

[IJDS 2017; Vol. 4 No.1, Month 2017, pp.51-62

ISSN: 2355 – 2158 Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017: Vol. 4(1): PP 51-62.

51

Received, Feb, 2017 Revised, Aprl, 2017 Accepted, May, 2017

PARTISIPASI POLITIK DIFABEL DI 2 KOTA

Rachmad Gustomy

Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

Abstrak: Partisipasi politik bukan hanya soal pemilu (turn out voter), namun pengertian lebih luas sebagai

keterlibatan dalam perubahan kebijakan. Penelitian ini ditujukan untuk menemukan peta partisipasi politik

kelompok difabel dalam 5 bentuk; pemilu, organisasi, contacting, lobby dan violance. Tujuan dari penelitian ini

adalah memetakan pola partisipasi kelompok difabel agar nantinya dapat digunakan basis penguatan kapasitas

untuk pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei di 2 kota di

Jawa Timur, yaitu di Kota Malang dan Kota Mojokerto. Survei dilakukan dengan mengambil sampling 56

responden di semua kota. Dari Penelitian ini disimpulkan ada berbedaan antara kesadaran dan tindakan dalam

partisipasi politik kelompok difabel. Selain itu partisipasi politik kelompok difabel masih sangat terbatas

sehingga tidak mampu mempengaruhi kebijakan publik.

Keywords: partisipasi politik, lobi, aksi langsung, aktifitas pemilu, kontak langsung, pembangkangan.

1. Latar Belakang

Penelitian ini mendudukkan praktik

partisipasi politik kembali pada substansinya,

yang tidak hanya menempatkan pemilih

(khususnya kelompok marjinal seperti difabel)

yang hanya sekedar menjadi pendulang suara

(turn out voters). Sehingga pentingnya

penelitian ini adalah untuk menjawab bentuk

partisipasi politik yang lebih substansial

daripada kecenderungan hanya memilih

belaka1

. Selain itu, penelitian ini juga

menjawab kecenderungan penelitian yang

hanya melihat partisipasi dari kelompok-

kelompok marjinal hanya sekedar menjadi

obyek perebutan kekuasaan, bukan menjadi

subyek dari proses perubahan kebijakan itu

sendiri.

Di satu sisi yang lain, kelompok difabel

adalah sebuah kelompok marjinal yang sangat

rentan, dalam bahasa yang sederhana

pengabaian terhadap mereka akan membuat

mereka mati dengan sendirinya. Persoalan

menjadi semakin kompleks ketika kelompok

difabel ini juga terasing oleh struktur politik

kita, sehingga kemudian melahirkan

mentalitas-mentalitas inferior dikalangan

1

Sebagai contoh, lihat penelitian The Asia

Foundation, 2013, Survei dasar terhadap

pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait

dengan aspek pemili di enam target propinsi,

Jakarta

difabel. Inilah kendala mendasar dari

kelompok difabel, dimana mereka sendiri pada

konteks politik juga tidak mau memilih

pemimpin yang difabel.

Pemetaan partisipasi politik ini menjadi

sangat penting dalam rangka menyiapkan

sebuah basis rujukan dalam pemberdayaan dan

penguatan kapasitas kelompok marjinal

difabel. Urgensi terpentingnya adalah agar

penguatan partisipasi politik tidak lagi terjebak

pada hiruk pikuk pencoblosan saja, namun

seara substansial juga memberikan dorongan

kepada komunitas ini untuk melakukan

gerakan perubahan.

Kesadaran untuk memasukkan asumsi

disabilitas dalam proses kebijakan publik

sangat rendah, sehingga kualitas kebijakan

masih jauh dari keberpihakan terhadap

sebagaian masyarakat yang mengalami

disabilitas. Ruang-ruang publik di banyak kota

di Indonesia masih banyak tidak ramah

terhadap aksesibilitas orang dengan disabilitas.

Penyebab dari corak kebijakan yang seperti ini

dikarenakan rendahnya sensitifitas pembuat

kebijakan terhadap persoalan-persoalan

kelompok difabel.

Dalam penelitian The Asia Foundation di

6 Propinsi pada pemilu 2014, tingkat

partisipasi relatif seimbang antara yang tertarik

dan tidak. Kelompok yang „tidak tertarik‟

(27%) dan „tidak tahu‟ (19%) cukup tinggi,

sedangkan yang „tertarik atau tanpa dengan

Page 2: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

52

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

konpensasi‟ (38%). Namun kelompok difabel

yang benar-benar didorong oleh sebuah

kesadaran perlawanan masih relatif rendah,

yaitu hanya 11% (Tertarik jika tanpa

konpensasi, dan tidak tertarik jika ada

konpensasi). Artinya, sebagai voter kelompok

difabel tidak bisa dibedakan dengan

masyarakat umumnya, belum menjadikan

Pemilu sebagai instrumen perubahan.

Masih dalam penelitian yang sama, salah

satu jawaban dari riset The Asia Foundation

adalah gambaran inferioritas penyandang

disabilitas didalam representasi politik. Jika

mereka diminta jawaban tentang „persepsi

mereka terhadap pemimpin difabel, temuan

yang sangat mengejutkan menunjukkan bahwa

42% orang difabel juga tidak mau memilih

pemimpin yang difabel Sisanya 37%

menjawab memilih dan 21% menjawab tidak

tahu. Data ini adalah gambaran bahwa ada

ketidakpercayaan terhadap wakil rakyat

penyandang disabilitas oleh penyandang

disabilitas sendiri. Oleh karena itu, penting

untuk memahami bagaimana persepsi dan

aktifitas penyandang disabilitas dalam

partisipasi politik untuk memperjuangkan

kepentingannya.

2. Tinjauan Konseptual

Meminjam istilah Samuel P Huntington

dan Joan M Nelson, partisipasi politik adalah

kegiatan warga negara, baik sebagai individu

maupun komunitas, yang dimaksudkan untuk

mempengaruhi pembuatan keputusan terkait

kebijakan publik. Aktifitas ini dapat bisa

dengan masuk saluran konvensional seperti

menjadi anggota partai dan NGO, maupun

kegiatan non-konvensional yang sifatnya

spontan, sporadis, ilegal bahkan cara-cara

pemaksaan2.

Melalui pengertian tersebut, maka

partisipasi politik dapat dipahami dalam dua

model gerakan, yaitu: partisipasi yang muncul

dari kesadaran akan pentingnya keterlibatan

dalam kebijakan publik dan partisipasi yang

digerakkan oleh kekuatan dominan untuk

2 Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, 1976,

No Easy Choice, Political Participation in

Developing Countries, Cambridge, Mass, Harvard

University Press

terlibat dalam melegitimasi bentuk kekuasaan

(mobilized political participation) 3 . Bentuk-

bentuk partisipasi sukarela inilah yang lebih

dekat dengan esensi dari partisipasi publik,

yaitu keterlibatan yang „sepenuh hati‟ dalam

mempengaruhi keputusan yang terkait dengan

publik. Sedangkan sosialisasi, atau lebih

tepatnya ajakan, untuk memilih dalam pemilu

legislatif adalah salah satu bentuk mobilized

political participation. Dari kerangka itu,

maka dikembangkan peran-peran partisipasi

politik ini dapat dikategorikan dalam lima

bentuk sebagai berikut4:

1. Electoral Activity adalah kegiatan atau

aktifitas yang berkaitan langsung atau

tidak langsung dengan pemilihan

umum. Dalam identifikasi ini

beberapa aktifitas partisipasi dapat

berupa, mengikuti kampanye,

memberikan sumbangan partai,

menjadi sukarelawan dan tentu saja

ikut serta dalam pemilihan umum.

2. Lobbying adalah kegiatan-kegiatan

baik individu maupun kelompok

dalam mempengaruhi proses

kebijakan publik dengan melakukan

negosiasi dan menghubungi para

pejabat pemerintahan dan politik.

Kegiatan ini dilakukan agar kebijakan

publik yang dibuat dapat berpihak

terhadap kepentingan mereka atau

kelompoknya.

3. Organizational Activity adalah

kertelibatan masyarakat kedalam

asosiasi masyarakat, baik organisasi

sosial maupun organisasi politik.

Kelompok-kelompok asosiasi inilah

yang kemudian melakukan aktifitas-

aktifitas agar kebijakan yang mereka

buat dapat didesakkan dan menjadi

agenda publik.

4. Contacting adalah aktifitas langsung

warganegara dalam menyampaikan

pendapatnya tentang permasalahan

3 Huntington, Ibid

4 Sebagaimana di kutip Afan Gaffar dari Samuel P

Huntington dan Joan M Nelson, Juli 1997,

Menampung Partisipasi Politik Rakyat, JSP Vol.1

Nomor 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM,

Yogyakarta

Page 3: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

53

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

publik. Aktifitas ini dapat dilakukan

dengan mendatangi langsung,

mengirim surat pembaca, menelepon

pejabat, menandatangi petisi dan

semacamnya yang tujuannya

mempengaruhi kebijakan.

5. Violence adalah cara-cara yang

menggunakan tekanan dan pemaksaan

untuk mempengaruhi kebijakan

publik. Cara-cara ini dapat dilihat

dengan vandalisme, demonstrasi dan

atau ancaman-ancaman yang ditujukan

untuk melakukan perubahan secara

langsung.

3. Metode Penelitian

Agar dapat memetakan partisipasi politik

difabel di dua kota yang berbeda, riset ini

menggunakan metode penelitian kuantitatif.

Pencarian data melalui survei yang dilakukan

adalah dengan mengambil sampel kelompok

difabel. Pendekatan ini dipilih untuk bisa

memahami fenomena permukaan secara luas

dari partisipasi politik kelompok difabel

khususnya di 2 kota di Jawa Timur. Proses ini

dilakukan dengan tujuan untuk ditemukan

kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan

hubungan-hubungan antar variabel, sosiologis

maupun psikologis.

Penelitian ini akan dilakukan dengan

melakukan survei di 2 kota, Kota Mojokerto

dan Kota Malang, yang mengambil sampling

kelompok difabel. Pencarian narasumber

dilakukan dengan snowball mengingat karena

jumlah penyandang disabilitas yang tidak jelas

jumlah populasinya karena tidak ada data

resmi. Jumlah responden di Kota malang

sebanyak 34 orang (60%) sedangkan di Kota

Mojokerto jumlah respondennya sebanyak 22

orang (39%). Proses wawancara juga

dilakukan dengan metode Snow Ball, yang

mana responden diketahui dari informasi

responden lain. Kelemahan dan kelebihan

metode pencarian data tersebut yang kemudian

mewarnai proses data diperoleh.

Jika dilihat dari jenis kelamin responden,

sebaran jenis kelamin responden termasuk

merata. Perbedaan jumlah responden laki-laki

dan perempuan tidak jauh berbeda, responden

laki-laki berjumlah 29 orang (52%) dan

responden perempuan 27 orang (48%). Dari

data ini, kita bisa memastikan bahwa

representasi jenis kelamin sudah terwakili dari

pendapat-pendapat yang disampaikan dalam

penelitian ini. Sedangkan persebaran

responden jika dilihat dari jenis disabilitasnya,

maka akan lebih didominasi oleh penyandang

tuna daksa. Responden penyandang tuna daksa

paling mudah di temukan (40 responden), hal

ini karena keterbatasan mobilitas yang menjadi

masalah utama tuna daksa, biasanya dengan

kendaraan roda tiga. Sedangkan responden

tunanetra juga masih relatif mudah ditemui,

karena biasanya mereka berkumpul di panti

pijat, yang dapat diwakili oleh 11 responden.

Persoalan tidak terwakilinya penyandang

disabilitas lain, seperti tuna rungu dan tuna

grahita, lebih disebabkan tidak mudahnya

diidentifikasi oleh peneliti atau memang

disembunyikan keluarganya. Namun

demikian, meskipun memiliki kelemahan ini

pendapat yang diajukan sudah relatif mewakili

kepentingan penyandang disabilitas.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1.Aktivitas dalam Pemilu Aktifitas dalam pemilu dianggap penting,

karena melalui pemilu diharapkan isu

disabilitas dapat teradvokasi secara politik

oleh pemimpin yang telah dipilih. Responden

menyatakan hal yang sama bahwa pemilu itu

penting dengan ditunjukkannya penggunaan

hak suara dalam pemilihan yang tinggi. Dalam

Pemilu 2014, 87% persen difabel menyatakan

menggunakan hak pilihnya, selebihnya 13%

tidak menggunakan hak suaranya (lihat

Gambar 1). Jumlah ini harus menjadi evaluasi

bagi pemerintah untuk memberikan sosialisasi

Pemilu secara masif terhadap masyarakat,

khususnya bagi para penyandang disabilitas.

Mayoritas penyandang disabilitas

menganggap bahwa Pemilu merupakan sarana

penting untuk mewujudkan kepentingan

mereka. Sebagian besar masing menganggap

penting, terlihat dari 37,5% responden

menyatakan Pemilu „penting‟, dan 26,8%

responden yang menyatakan „sangat penting‟.

Sedangkan sebagian kecil mengatakan lain,

10,7% „tidak penting‟ dan 7,1% menyatakan

Page 4: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

54

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

„sangat tidak penting‟ (lihat Gambar 2).

Responden yang masih menyatakan bahwa

Pemilu masih dianggap tidak penting dan

sangat tidak penting, kemungkinan besar salah

satunya karena tidak puas dengan output dari

pemilu.

Gambar 1. Penggunaan Hak Suara Pemilu 2014

Gambar 2. pendapat pentingnya pemilu untuk kepentingan

difabel

Hal ini terlihat dari penilaian mereka

yang buruk terhadap wakil rakyat yang terpilih

dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Sebagian besar menyatakan pesimisme

mereka, yang ditunjukkan dengan 32,1%

responden menyatakan „tidak terwakili‟,

bahkan sebanyak 23,2% merasa „sangat tidak

terwakili‟. Meskipun demikian, beberapa

responden masih merespon positif, yakni

sebanyak 21,4% responden merasa „terwakili‟,

dan 7,1% merasa „sangat terwakili‟

kepentingannya (lihat Gambar 3). Hal ini

diperkuat dengan lemahnya keyakinan

responden kepada wakil rakyat yang

dipilihnya. Hampir separuh responden 44,6%

menyatakan „tidak yakin‟, bahkan 26,8 %

mengatakan „sangat tidak yakin‟. Sedangkan

responden yang masih optimis dengan kinerja

calon legislaif cukup minim, yakni sebanyak

10,7% menyatakan „yakin‟ dan 3,6%

menyatakan „sangat yakin‟ (perhatikan

Gambar 4). Dari data tersebut menunjukkan

bahwa masih sangat minimal sekali dampak

kebijakan publik atau keperpihakan yang

dirasakan bagi para penyandang disabilitas

oleh para pejabat politik. Dimana saja memang

ada persoalan dalam representasi kelompok

kurang beruntung (disanvatage people) dalam

lembaga pemerintahan5.

Gambar 3. pendapat tentang keterwakilan kepentingan difabel

Gambar 4. keyakinan terhadap calon legislatif akan pemenuhan

janjinya

4.2. Aktivitas Organisasi (Organizational

Activity)

Wujud partisipasi politik yang bisa

memastikan manifestasi kepentingan

kelompok penyandang disabilitas dalam

kebijakan pemerintahan adalah dengan

aktivitas organisasi. Setidaknya ada tiga

bentuk organisasi yang biasa diikuti

penyandang disabilitas, yaitu: Organisasi

5 Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck, 2013,People with Disabilities: Sidelined or Mainstreamed?, Cambridge University Press, New York

Page 5: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

55

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

Lingkungan, Organisasi Masyarakat dan

Organisasi Politik. Dalam konteks

berorganisasi, hampir semua setuju pentingnya

ikut organisasi. Sebanyak 60,7% ‘sangat

setuju‟ dan 35,7% ‘setuju‟ terhadap

pentingnya organisasi. Sedangkan sisanya,

masing-masing 1,8%, berpendapat „kurang

setuju‟ dan „tidak setuju‟ (perhatikan Gambar

5). Dari data ini dapat diketahui bahwa

penyandang disabilitas memiliki potensi besar

dalam melakukan partisipasi politik berupa

keikutsertaan dalam organisasi.

Gambar 5. Pendapat kemudahan kepentingan difabel jika ikut

organisasi

Salah satu keaktifan dalam organisasi

yang dapat diikuti adalah organisasi dalam

level lingkungan seperti di RT, Komunitas

Kampung, Pengajian atau komunitas skala

lokal lainnya. Sebagian besar penyandang

disabilitas yang menjadi narasumber

menyebutkan bahwa mereka cukup aktif

dalam organisasi di lingkungannya. Sebanyak

42,9% responden yang mengatakan „aktif‟ dan

10,7% responden yang mengatakan „sangat

aktif‟ dalam organisasi di kampungnya.

Sebagian kecil lainnya, yaitu 35,7% responden

mengatakan bahwa mereka „jarang aktif‟ dan

10,7% responden lainnya mengatakan „tidak

pernah aktif‟ dalam organisasi di

lingkungannya. (lihat Gambar 6).

Namun jika kita perdalam tingkat keterlibatan

dari penyandang disabilitas di dalam

organisasi di lingkungannya, akan terlihat

bahwa mereka lebih banyak pasif menjadi

anggota saja. Dari hasil survei ditunjukkan jika

sebagian besar 66,1% responden menyatakan

hanya „menjadi anggota‟ saja dalam organisasi

di lingkungannya. Sedangkan hanya ada

17,9% responden saja yang menjadi pengurus

di tingkat lingkungan RT/RW, dan 14,3%

responden lainnya mengaku „pernah menjadi

pengurus‟ (lihat Gambar 7). Hal ini

menunjukkan aktifitas mereka dilingkungan

belum maksimal dalam memainkan peran

sebagai motivator di lingkungannya.

Gambar 6: Aktivitas berorganisasi Lingkungan RT/RW

Gambar 7. Keterlibatan jadi pengurus di organisasi tempat

tinggal

Aktifitas kegiatan di organisasi

masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat

(LSM) semakin menurun dibanding aktifitas di

organisasi lingkungan. Dalam keterlibatan

kegiatan dengan LSM, sebanyak 44,6%

responden mengatakan „tidak ikut‟ dan 16,1%

responden menyatakan „pernah ikut‟ kegiatan

Ormas atau LSM. Hanya sekitar 37,5%

responden menyatakan masih „ikut aktif‟

dalam kegiatan Ormas (lihat Gambar 8).

Namun sayangnya, sebagian besar Organisasi

Kemasyarakatan yang mereka ikuti adalah

bergerak di isu disabilitas. Sebanyak 80,4%

responden hanya mengikuti kegiatan

„organisasi difabel‟, sedangkan sisanya 12,5%

responden ikut organisasi keagamaan,

Page 6: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

56

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

selebihnya sebanyak 1,8% menyatakan juga

ikut organisasi lainnya (lihat Gambar 9). Hal

ini menunjukan gambaran ekslusifitas kegiatan

organisasi mereka, yang belum maksimal

membangun jaringan diluar kelompok

penyandang disabilitas.

Gambar 8:. keterlibatan dalam organisasi kemasyarakat

Gambar 9. jenis organisasi kemasyarakat yg rutin diikuti

Namun yang patut disyukuri, aktifitas

kelompok difabel dalam ormas yang

diikutinya cukup tinggi. Hal ini dibuktikan

dengan data survey terhadap responden

penyandang disabilitas yang mengikuti ormas,

yakni 58,9% responden mengatakan „aktif‟,

begitupula 23,2% responden mengatakan

„sangat aktif‟ dalam kegiatan organisasi.

Hanya sisa 10,7% yang mengatakan „tidak

aktif‟, dan 5,4 % lainnya mengatakan „jarang

aktif‟ (lihat Gambar 10). Dari data ini dapat

disimpulkan bahwa kelompok difabel

sebenarnya memiliki semangat dan potensi

gerakan yang luar biasa, namun perlu

penguatan jaringan untuk membuatnya lebih

efektif.

Gambar 10. keaktifan dalam organisasi kemasyarakat yg diikuti

Dalam konteks organisasi politik, para

responden menyadari pentingnya peran partai

politik, meskipun mereka sebagian besar tidak

menjadi anggota partai atau aktif dalam

kegiatan partai politik. Menurut responden,

mayoritas berpendapat bahwa keikutsertaan

dalam partai politik dianggap sangat penting.

Hal ini dibuktikan dengan 53,6% responden

yang mengatakan „perlu‟ dan 21,4%

responden yang mengatakan „sangat perlu‟

untuk ikut partai politik. Sedangkan, hanya

16,1% yang menyatakan „tidak perlu‟ dan

1,8% pendapat yang mengatakan „kurang

perlu‟ (lihat Gambar 11). Namun urgensi

partai ini berbanding terbalik dengan fakta

keikutsertaan mereka dalam partai politik.

Sebanyak 89,3% mengatakan „tidak ikut‟

partai politik, sedangkan yang menyatakan

„ikut‟ dan „pernah ikut‟ masing-masing 5,4%

responden (lihat Gambar 12). Hal senada

dijumpai pada keterlibatan mereka dalam

kegiatan partai politik yang relatif kecil.

Sebagian besar 42,9% responden yang

menayatakan „tidak aktif‟, dan 8,9% yang lain

menyatakan „jarang aktif‟. Sedangkan hanya

16,1% responden yang menyatakan aktif

dalam keterlibatan kegiatan partai (lihat

Gambar 13). Fakta ini disebabkan oleh dua

kemungkinan, partai politik yang tidak

responsif terhadap penyandang disabilitas atau

penyandang disabilitasnya yang tidak agresif

masuk partai6.

6 Lisa Schur, 2017, Toward Inclusion, Political

and Social participation of people with disabilities,

dalam Routledge Handbook of Disability Law and

Human Rights, Peter Blanck, Eilionóir Flynn,

Roudledge

Page 7: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

57

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

Gambar 11. pendapat perlunya ikut partai politik

Gambar 12. keikutsertaan jadi anggota parpol

Gambar 13. keaktifan saat ikut parpol tersebut

4.3. Aktivitas Membangun Komunikasi

(Contacting)

Bentuk partisipasi politik lain yang

diharapkan dari penyandang disabilitas adalah

berkomunikasi atau berkontak langsung

pemerintah. Dengan aktivitas tersebut, maka

diharapkan pemerintah tahu benar apa yang

dibutuhkan oleh penyandang disabilitas

langsung dari penyandang disabilitasnya

sendiri. Ada beragam bentuk bagaimana

menyampaikan aspirasi langsung kepada

pemerintah, baik dalam bentuk langsung

maupun tidak langsung. Bentuk langsung

misalnya adalah menyampaikan secara

langsung kepada pejabat terkait tentang

masalah-masalah penyandang disabilitas.

Sedangkan cara tidak langsung misalnya

adalah dengan instrumen media lain, seperti

surat pembaca, kotak saran dan semacamnya.

Harapannya jika penyandang disabilitas

tergerak untuk menyampaikan pendapat secara

langsung maka pemerintah akan lebih

memahami kepentingan penyandang

disabilitas.

Dari kacamata penyandang disabilitas sendiri,

sebenarnya menyampaikan pendapat secara

langsung dianggap penting. Sebanyak 28,6%

responden yang meyakini bahwa

menyampaikan pendapat secara langsung itu

„sangat efektif‟ dan 42,9% responden yang

menyatakan „efektif‟. Artinya sebagian besar

(71,5%) meyakini efektivitas penyampaian

pendapat secara langsung kepada pemerintah.

Hanya sebagian kecil, 12,5% responden yang

menyatakan „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟

(lihat Gambar 14). Dengan temuan ini, maka

dapat tergambarkan bahwa sebenarnya para

penyandang disabilitas sadar bahwa

menyampaikan pendapat secara langsung itu

sangat penting kepada pemerintah, agar

kebijakan yang dibuat pemerintah lebih

berpihak kepada penyandang disabilitas.

Gambar 14. pendapat tentang keefektifan menyampaikan

pendapat langsung

Namun, sekali lagi kesadaran mereka

berbanding terbalik dengan partisipasi

politiknya. Data dalam penelitian ini justru

menunjukkan bahwa kesadaran akan

pentingnya menyampaikan pendapat secara

langsung kepada pemerintah tidak konsisten

dengan praktiknya. Hanya sebagian dari

penyandang disabilitas yang pernah

menyampaikan pendapatnya secara langsung

kepada pemerintah. Hal ini terlihat bahwa

hanya 41,1% responden yang „pernah‟

menyampaikan pendapat kepada pemerintah.

Sedangkan 30 responden (53,6%) justru

Page 8: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

58

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

mengatakan „tidak pernah‟ menyampaikan

pendapat secara langsung kepada pemerintah

(lihat Gambar 15). Dari sini terlihat selama ini

terdapat persoalan yang menghambat

aktualisasi penyampaian pendapat dari

penyandang disablitas.

Hanya sebagian kecil dari responden

yang berani menyampaikan pendapat secara

langsung, bahkan secara agresif mendatangi

pejabat langsung (26,8% responden). Dari

wawancara biasanya dilakukan dalam bentuk-

bentuk audiensi, khususnya bagi para

penyandang disabilitas yang aktif di dalam

Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD).

Sebagian kecil yang lain berani

menyampaikan usulan-usulan kepada

pemerintah ketika ada acara-acara yang

kebetulan dihadiri pejabat. Sebanyak 12,5%

responden mengaku pernah menyampaikan

usulan kepada pejabat pemerintah yang

kebetulan hadir dalam sebuah acara. Hanya 1

responden yang memiliki pengalaman

menyampaikan saran secara langsung, karena

pernah menjadi tim sukses dari bupati,

sehingga memiliki akses langsung. Sedangkan

sebanyak 8,95% dari responden memanfaatkan

media massa untuk memberikan masukan

kepada pemerintah. Namun sayangnya, 21,4%

responden mengatakan takut atau tidak berani

menyampaikan pendapat kepada pemerintah

dengan beragam alasan (lihat Gambar 16).

Gambar 15. menyampaikan keluhan langsung ke pemerintah

Dari data diatas, dapat ditarik dua

benang merah penting tentang peran

penyampaian pendapat (contacting)

penyandang disabilitas terhadap pemangku

kebijakan. Pertama, meski menyadari

pentingnya contacting dengan pemerintah,

namun ada hambatan terselubung mengapa

mereka tidak melakukannya. Kedua,

Gambar 16. bentuk yang digunakan untuk menyampaikan

keluhan ke pemerintah

hambatan partisipasi contacting, bisa

disebabkan ketidaktahuan, keenganan atau

hambatan psikologis lainnya yang perlu segera

diatasi. Dari data penelitian yang kami

peroleh, belum jelas korelasi antara lemahnya

contacting jika dihubungkan dengan variabel

lain. Soal pendidikan, jenis disabilitas, jenis

kelamin, pendapatan ternyata tidak berkorelasi

dengan aktivitas contacting. Lebih aneh lagi,

pengalaman organisasi, baik ormas difabel,

lingkungan maupun organisasi politik masih

tidak korelatif dengan aktivitas contacting.

Dari sini, tentu ada pertanyaan yang perlu

dijawab dalam penelitian selanjutnya.

4.4. Kegiatan Lobbying

Bentuk partisipasi politik lain yang

diharapkan mampu mengubah kebijakan-

kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi

penyandang disabilitas adalah dengan lobby.

Pengertiannya adalah para penyandang

disabilitas, baik individu maupun kelompok

membangun jaringan untuk mempengaruhi

kebijakan. Hal ini menjadi penting, karena

penyandang disabilitas tidak bisa membangun

organisasi sendiri yang eksklusif, yang justru

akan melemahkan perjuangan penyandang

disabilitas. Semakin luas jaringan, secara

teoritik tentu semakin baik bagi pencapaian

tujuan advokasi kebijakan publik.

Semua penyandang disabilitas mengetahui

benar pentingnya membuat jaringan lobby atau

kerja sama dengan lembaga atau elit yang bisa

mempengaruhi kebijakan. Sebanyak 62,5%

responden menyatakan „sangat perlu‟ dan

33,9% responden lainnya menyatakan „perlu‟

membangun kerja sama (lihat Gambar 17).

Tidak ada responden yang menyatakan tidak

perlu membangun kerja sama. Ini artinya,

sejauh pengalaman para penyandang

Page 9: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

59

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

disabilitas, kerja sama dengan lembaga atau

elit lain dianggap sangat penting.

Gambar 17. pendapat tentang perlunya kerjasama dengan pihak

lain untuk kepentingan difabel

Menurut responden, kerja sama yang

dianggap paling efektif adalah dengan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluar

Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD),

kemudian dengan politisi, pejabat pemerintah

dan terakhir dengan kampus. Sebanyak 32,1%

responden menyatakan bahwa bekerjasama

dengan LSM dianggap paling efektif, karena

secara intensif melakukan advokasi dan

pelatihan, meski tidak pernah memberikan

bantuan langsung. Hal ini mereka rasakan

selama ini menjadi mitra dari beberapa LSM

dalam memperjuangkan kepentingan

penyandang disabilitas. Sedangkan yang

meyakini politisi sebagai mitra kerja sama

yang baik sebanyak 19,6% responden. Dalam

wawancara mereka menyebutkan bahwa lebih

sering politisi memberikan bantuan langsung

baik tunai maupun barang. Serupa dengan

politisi, 17,9% responden mengatakan hal

serupa tentang peran pemerintah, yang

seringnya memberikan bantuan tunai, barang

atau pelatihan (lihat Gambar 18). Sedangkan

kelompok akademisi kampus lebih banyak

hanya memberikan pelatihan-pelatihan saja,

yang bagi sebagian tidak terlalu dibutuhkan

kecuali „uang transport‟-nya.

Dari data diatas dapat disimpulkan

bahwa terkait partisipasi melalui lobby, sudah

menjadi kesadaran bagi para penyandang

disabilitas. Namun yang perlu menjadi catatan,

proses aktivitas kerja sama yang diperlukan itu

yang sifatnya jangka panjang dan intensif agar

membuahkan hasil7. Hal ini yang menjelaskan

pentingnya membangun jaringan dengan LSM

daripada Kampus. LSM, Pemerintah maupun

politisi, −dengan beragam kepentingannya−,

bisa menjadi mitra yang lebih jangka panjang,

yang berbeda dengan Kampus yang hanya

tentatif. Catatan lain dalam wawancara

informal, penyandang disabilitas masih

memaknai membangun kerja sama (lobby)

adalah memberikan bantuan barang atau tunai.

Meski tidak semua, maka pintu masuk yang

paling penting dalam membangun kerja sama

dengan kelompok penyandang disabilitas

adalah membangun kesadarannya terlebih

dahulu. Catatan ini tentu berharga untuk

menjadi pemahaman jika ingin bekerjasama

dengan penyandang disabilitas atau OPD.

Gambar 18. pendapat dengan siapa penggalangan kerjasama

yang baik

4.5. Penggunaan Pemaksaan (Violence)

Salah satu bentuk partisipasi politik yang

paling mungkin mempengaruhi kebijakan

adalah tindakan aktif mempengaruhi

kebijakan, salah satunya dengan pemaksaan

(violance). Pilihan tindakan yang dimaksud

pemaksaan (violence) tidak selalu dimaknai

dengan perusakan, namun tindakan untuk

mendesak pemerintah memenuhi agenda

kebijakannya. Pada konteks ini, para

penyandang disabilitas perlu memahami benar

strategi penggunaan pemaksaan dalam

mengubah kebijakan, seperti boikot,

demonstrasi dan bentuk-bentuk pemaksaan

lainnya.

7 Shaminder K. Dhillon, 2009, Absent Citizens:

Disability Politics and Policy in Canada,

University of Toronto Press

Page 10: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

60

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

Pemaksaan atau tindakan memaksakan agenda

kebijakan justru masih dianggap sebagai hal

yang tidak baik bagi responden, namun

dianggap efektif. Sebagian besar penyandang

disabilitas masih melihat dari kacamata yang

negatif terhadap tindakan pemaksaan dalam

kebijakan. Hal ini terlihat dari 57,1%

responden yang “tidak setuju” dengan aksi

pemaksaan, dan 19,6% responden yang

“kurang setuju” dengan tindakan pemaksaan.

Namun, setidaknya ada 10,7% responden yang

„setuju‟ dan 6,3% responden yang „sangat

setuju‟ dengan penggunaan pemaksaan (lihat

Gambar 19). Namun persepsi ketidaksetujuan

penggunaan pemaksaan sedikit tidak konsisten

jika dibandingkan dengan persepsi tentang

efektivitas demonstrasi dalam mengubah

kebijakan. Sebanyak 37,5% responden

berpendapat bahwa demonstrasi adalah cara

yang „efektif‟, dan 7,1% responden lainnya

mengatakan „sangat efektif‟ mengubah

kebijakan. Sedangkan sebagian yang lain,

yaitu 19,6% responden menilai bahwa

demonstrasi „kurang efektif‟ dan „tidak efektif‟

(lihat Gambar 20). Ketidak setujuan masih

diwarnai dengan pemahaman dalam etika

sosial bahwa mengambil tindakan pemaksaan

adalah hal yang buruk, namun penilaian

efektiftasnya merujuk pada pengalaman

demonstrasi lainnya.

Gambar 19. setuju tidaknya tentang protes kebijakan dengan

cara kekerasan

Namun sekali lagi, persepsi tentang

demonstrasi dengan partisipasi politiknya

tidak konsisten bagi penyandang disabilitas.

Faktanya 60,7% responden mengatakan „tidak

pernah ikut‟ dalam demonstrasi, dan hanya

32,1% yang mengaku „pernah ikut

demosntrasi‟ (lihat Gambar 21). Padahal

mereka mengakui strategisnya aktifitas

demonstrasi dalam merubah kebijakan publik.

Sebanyak 25% responden menganggap

demonstrasi „sangat perlu‟, begitu juga dengan

39,3% responden lain menganggap

demonstrasi „perlu‟. Ini artinya, sebagian besar

dari penyandang disabilitas (64,3%)

menganggap bahwa melakukan demonstrasi

dapat memperjuangkan kepentingan

penyandang disabilitas. Meski demikian,

masih ada sedikit responden 21,4% responden

yang beranggapan bahwa demonstrasi itu

„tidak perlu‟ (lihat Gambar 22).

Gambar 20. pendapat efektifnya demo untuk merubah kebijakan

Gambar 21. keikutsertaan dalam demo

Dari wawancara informal ada beberapa alasan

yang muncul mengapa mereka tidak ikut

dalam demonstrasi. Pertama, karena tidak

mampu atau halangan fisik untuk

melakukannya. Kedua, karena tidak berani dan

menganggap demonstrasi adalah sebuah

aktivitas yang buruk. Ketiga, tidak ada yang

Page 11: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

61

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

mendorong atau mengajak mereka untuk

melakukan demonstrasi. Disatu sisi,

keikutsertaan mereka biasanya didorong oleh

kegiatan dan agenda dalam organisasi

penyandang disabilitas dalam menuntut

sebuah kebijakan.

Gambar 22. pendapat perlunya difabel demo untuk merubah

kepentingan pemerintah

5. Penutup

Berdasarkan pembahasan diatas, maka

berikut lima kesimpulan yang dapat ditarik:

Pertama, Mayoritas responden menggunakan

hak suaranya dalam Pemilu 2014, karena

mengaggap bahwa pemilu merupakan aktivitas

penting yang dapat mengakomodasi

kepentingan difabel. Namun mereka tidak

percaya dengan politisi, karena menganggap

tidak terwakili secara politik dalam

mengakomodir kepentingan difabel. Jadi,

partisipasi politik penyandang disabilitas

cukup aktif dalam pemilu, akan tetapi ada

ketidak percayaan terhadap wakil rakyat dalam

memperjuangkan kepentingan difabel.

Kedua, dalam aktifitas organisasi mayoritas

dari responden sangat setuju bahwa organisasi

dapat memudahkan kepentingan politik

menjadi terwujud. Hal ini kemudian membuat

mereka terlibat aktif mereka dalam kegiatan

lingkungan, meskipun jarang menjadi

pengurus. Namun dalam kegiatan organisasi

kemasyarakatan lainnya, seperti LSM,

mayoritas responden masih banyak belum

terlibat. Kalaupun mereka terlibat mereka

lebih tertarik pada kegiatan Ormas yang fokus

pada isu disabilitas. Sedangkan dalam

organisasi politik, semakin jarang penyandang

disabilitas yang ikut bergabung, meskipun

menganggap penting. Dimungkinkan salah

satu sebabnya adalah kurangnya aksesibilitas

partai politik terhadap penyandang disabilitas.

Ketiga, aktifitas membangun kontak dengan

pemerintah, penyandang disabilitas sadar

bahwa menyampaikan pendapat secara

langsung kepada pemerintah itu penting, agar

kebijakan yang dibuat pemerintah lebih

berpihak kepada penyandang disabilitas. Akan

tetapi permasalahannya adalah mayoritas

responden justru tidak pernah mengatakan

permasalahannya langsung pada pemerintah.

Sehingga penyandang disabilitas masih belum

bisa memanfaatkan ruang-ruang publik yang

ada untuk menyampaikan pendapatnya kepada

pemerintah. Jadi dalam indikator partisipasi

politik ini dapat diketahui bahwa di satu sisi

mereka sadar pentingnya mengutarakan

pendapat, namun hambatan psikologis dan

ketidaktahuan mereka mengenai cara

menyampaikan menjadi kendala.

Keempat, Bentuk partisipasi politik lain yang

diharapkan mampu mengubah kebijakan-

kebijakan publik untuk lebih berpihak bagi

penyandang disabilitas adalah dengan lobby

atau pembangun jaringan untuk

mempengaruhi kebijakan. Dalam

pengetahuannya, mayoritas responden

mengatakan setuju dengan hal tersebut, dan

menganggap bahwa LSM merupakan mitra

jaringan yang baik bagi para penyandang

disabilitas.

Kelima, Salah satu bentuk dari partisipasi

politik adalah pemaksaan, seperti demonstrasi.

Responden menolak penggunaan cara ini

meskipun mereka sepakat dengan

demonstrasi. Akan tetapi, sebagian besar dari

mereka belum pernah melakukan demonstrasi.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa

belum ada dorongan yang kuat dan

terkonsolidasi untuk membuat mereka

melakukan demonstrasi. Daftar pustaka ditulis tanpa nomor bab.

Semua rujukan pustaka yang digunakan ditulis

dalam daftar pustaka. Daftar pustaka

dituliskan berurutan sesuai dengan urutan

abjad nama belakang penulis pertama diikuti

tahun publikasi dalam kurung. Contoh format

penulisan daftar pustaka adalah sebagai

berikut:

Page 12: ISSN: 2355 – 2158 Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik

IJDS 2017; Vol. 4 No. 1, May 2017, pp. 51-62

ISSN: 2355 – 2158

62

Cite this as: Gustomy, Rachmat. Partisipasi Politik Difabel Di 2 Kota. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS). 2017:

Vol. 4(1): PP 51-62.

Daftar Pustaka

Afan Gaffar, Menampung (1997). Partisipasi Politik Rakyat, JSP Vol.1 Nomor 1, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta

Lisa Schur, Douglas Kruse and Peter Blanck. (2013). People with Disabilities: Sidelined or Mainstreamed?, Cambridge University Press, New York

Lisa Schur, Toward Inclusion. (2017). Political and Social participation of people with disabilities, dalam Routledge Handbook of Disability Law and Human Rights, Peter Blanck, Eilionóir Flynn, Roudledge

Riddle, C. A. (2014). Disability & Justice: The Capabilities Approach in Practice. Lanham: Lexington Books/Rowman & Littlefield

Samuel P Huntington dan Joan M Nelson, No Easy Choice. (1976). Political Participation in Developing Countries, Cambridge, Mass, Harvard University Press

Shakespeare, Tom. (2006). Disability Rights and Wrongs. New York: Routledge

Shaminder K. Dhillon. (2009). Absent Citizens: Disability Politics and Policy in Canada, University of Toronto Press

The Asia Foundation. (2013). Survei dasar terhadap pemahaman, persepsi dan praktik pemilih terkait dengan aspek pemili di enam target propinsi, Jakarta