Upload
vutu
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISSN 2339-0638
Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia:
Sebuah Analisis Situasi Cepat
Jonatan A. Lassa
(Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia; Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia)
Maddi Djara (Penerjemah ke Bahasa Indonesia)
June 2017
Kutipan:
Lassa, JA. 2017. Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah
Analisis Situasi Cepat, Kertas Kerja #17, Institute of Resource Governance and Social
Change (IRGSC)
Kertas Kerja IRGSC No. 17 www.irgsc.org/publication[ISSN 2339-0638]
Tulisan ini disajikan di sini untuk meminta pendapat untuk perbaikan. Pandangan yang diutarakan
dalam Kertas Kerja IRGSC adalah pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan
Institute of Resource Governance and Social Change. Kertas Kerja ini belum melewati tinjauan dan
persetujuan akademis formal. Tulisan-tulisan ditampilkan dalam rangkaian ini untuk mendapatkan
umpan balik serta mendorong perdebatan tentang tantangan kebijakan public tentang pembangunan
dan sumber daya yang berisiko. Hak cipta dipegang oleh (para) penulis. Tulisan hanya dapat diunduh
untuk kepentingan pembelajaran dan penelitian.
2
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia: A Rapid
Situational Analysis
Jonatan A. Lassa1,2
1Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia
2 Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia
Maddi Djara3
3Penerjemah ke Bahasa Indonesia
Abstrak. Wabah hama belalang dahsyat yang menyerang Pulau Sumba, Indonesia pada tahun 1997-
2003 kembali terjadi. Pada tanggal 10 Juni 2017, berbagai media berita lokal, nasional serta media
sosial menyorot serangan hama belalang pada sebuah bandara setempat di mana jutaan belalang
mengganggu penerbangan akibat rendahnya jarak pandangan di dan sekitar bandara tersebut. Tulisan
ini memberikan penjelasan cepat tentang apa yang terjadi, besaran skala kejadian, titik masalah serta
tindakan kedaruratan yang telah diambil pemerintah serta apa yang perlu dilakukan dalam jangka
pendek dan jangka yang lebih panjang. Secara ringkas penulis menyoroti lima puluh tahun sejarah
wabah hama di Pulau Sumba Sumba. Lebih lanjut tulisan ini menyoroti pembelajaran dari kejadian-
kejadian tersebut serta menyajikan hikmah tentang hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi
intensitas wabah tersebut saat ini dan di masa depan. Penulis mengusulkan penggunaan teknologi yang
relatif murah seperti sistem pemantauan udara tanpa awak untuk memantau hama sehingga dapat
memantau dan mengendalikan wabah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melakukan
transformasi terhadap sistem tata kelola agar lebih adaptif dan responsif, tidak hanya menghadapi
perubahan dinamis keadaan lingkungan termasuk iklim, tetapi juga dalam hal pemanfaatan teknologi
baru untuk pemantauan yang efisien dan intervensi yang efektif.
Kata Kunci Wabah hama belalang, guncangan iklim, El-Nino, risiko bencana, pengelolaan risiko,
pencegahan wabah
Pengantar: Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba
Serangan wabah hama belalang kembara yang terjadi di Sumba Timur, Indonesia baru-baru ini
telah mengakibatkan krisis lokal di mana tanpa ada peringatan dini, hama tersebut menyerang dan
mengganggu pelayanan Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu, Sumba Timur pada tanggal
10 Juni 2017. Kejadian itu langsung menjadi pemberitaan media nasional karena penyebaran
gambar kejadian di media maupun media sosial. Lebih dari seratus posting dan pemutakhiran
status Facebook dalam waktu 10-14 Juni 2017 menerangkan tentang serangan belalang kembara
di beberapa tempat dan rumah di Kota Waingapu (mis. Killa 2017, Pada 2017; Maubokul 2017).
Sebuah foto melaporkan bahwa hanya “dalam sehari, belalang menghabiskan semua daun pohon
bambu” di sebuah lingkungan (Lodji 2017).
Wabah tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2016 ketika belalang ‘menguasai’ kebun,
semak dan pohon. Menurut pejabat daerah, pusat sebaran hama belalang saat ini “hanya di
enam” (dari 22) kecamatan di Sumba Timur, yaitu Pahunga Lodu, Rindi, Umalulu, Kambata
Mapambuhang, Pandawai dan Kambera. Pejabat daerah juga mengeluarkan pernyataan senada
3
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
tentang titik masalah yang sama pada bulan Juni 2016 (VOA Indonesia 2016). Sebulan setelah
wabah pertama, bupati Sumba Timur mengumumkan keadaan darurat pada tanggal 13 July 2016
(Dengi 2016). Karena penurunan intensitas serangan pada bulan Agustus 2016 dan bulan-bulan
berikutnya, pemerintah daerah menurunkan tingkat kewaspadaannya (Lintas NTT 2016b). Karena
itu, skala serangan belalang pada tahun berikutnya bisa menyerang wilayah yang lebih luas dari
pada yang wilayah diklaim pemerintah daerah sebagai titik masalah.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah keenam kecamatan tersebut mencakup 27 persen
wilayah Kabupaten Sumba Timur (7000 km2) sedangkan di Dinas Pertanian Kabupaten Sumba
Timur hanya terdapat sepuluh petugas yang bertanggung jawab atas serangga, yang bekerja
“siang dan malam” untuk mengurangi intensitas wabah tersebut (Yiwa 2017). Hal ini diperparah
dengan kurangnya teknologi untuk memantau hama. Pendekatan utama yang diambil oleh
pemerintah daerah untuk mengendalikan wabah yang terjadi adalah penyemprotan pestisida di
wilayah yang mengalami wabah. Pendekatan serupa telah digunakan sejak tahun lalu. Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) misalnya, dilibatkan dalam upaya mengurangi intensitas
wabah hama belalang dengan menyemprot semak-semak terdekat (Lintas NTT 2016a).
Dampak yang termati dapat dilihat langsung dari kerusakan dan gagal panen di kecamatan-
kecamatan yang disebut di atas. Baik tanaman padi maupun jagung terkena dampak dari hama ini.
Namun demikian, terdapat laporan yang saling bertentangan dari pihak pemerintah daerah. Salah
satu versi berita baiknya menyatakan bahwa serangan ini terjadi setelah panen terakhir sehingga
tampaknya berita tentang kerusakan tertunda sampai ada pemberitahuan lebih lanjut (Aziz 2017).
Berita baik lainnya adalah bahwa tidak seperti wabah tahun 1998-2003 (Lihat Gambar 2A dan
2B), sebagian besar padi yang berada dalam masa pertumbuhan masih belum diserang. Karena
itu, perhitungan rinci masih perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana dan siapa yang
akan melaksanakannya?
Sejumlah langkah yang telah diambil pemerintah daerah adalah: Pertama, pemerintah cepat
mengadakan koordinasi antar lembaga dan memberi tanggapan. Dinas Pertanian, Dinas Sosial,
dan Badan Penanggulangan Bencana serta lembaga pemerintah lain telah turun ke lapangan
memantau dan mengambil tindakan (Yiwa 2017). Kedua, pemerintah daerah telah membagikan
pestisida kepada masyarakat untuk memberantas larva belalang. Dengan bantuan TNI, tenaga
entomologi telah menyemprot wilayah yang dicurigai sebagai tempat perkembangbiakan belalang
serta wilayah yang terserang belalang. Pada tingkatan tertentu, pendekatan ini dapat mengurangi
wabah, terutama di wilayah-wilayah terisolir tempat konsentrasi populasi belalang yang masih
berada pada tahap paling awal siklus hidupnya sehingga dapat dikendalikan. Strategi ketiga yang
diumumkan pemerintah daerah memanfaatkan 100 ton persediaan beras. Strategi ini merupakan
standar operasional yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan, di mana masing-masing
kabupaten menyimpan 100 ton beras untuk cadangan kedaruratan (Bere 2017). Keempat,
diadakan koordinasi vertikal dengan pemerintah provinsi dan pusat untuk memobilisir lebih
banyak dukungan guna mengantisipasi adanya peningkatan serangan.
Tindakan pada tingkat masyarakat antara lain termasuk intervensi berikut: Pertama, setiap
petani mengusir belalang dari sisa tanaman di kebun masing-masing menggunakan tongkat atau
4
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
D
sejenisnya (MaxFM 2017). Kedua, selain intervensi per rumah tangga, sejumlah masyarakat dan
relawan menggunakan pestisida yang dibagikan untuk menyemprot kumpulan nimfa dan kawanan
belalang dewasa. Dinas Pertanian Kabupaten bekerja sama dengan sejumlah masyarakat untuk
menyemprot belalang kembara (MaxFM 2017).
Pemerintah daerah menggabungkan berbagai upaya ini dan menggunakannya sebagai strategi
utama komunikasi krisis guna menenangkan masyarakat. Namun demikian, jejaring sosial dan
media yang peduli prihatin dengan pemanfaatan pestisida. Keprihatinan tersebut memiliki dasar
tersendiri karena sebagian masyarakat lokal yang terlibat dalam upaya menangani wabah ini
melakukan penyemprotan tanpa pengaman (mis. menggunakan kaki kosong dan tanpa
menggunakan masker ketika menyemprot kawanan belalang). Namun demikian, pemerintah
daerah juga memiliki keprihatinan untuk mencegah agar krisis ini tidak berubah menjadi bencana.
Strategi serupa telah disusun pada tahun sebelumnya.
Pola Wabah Belalang: Apa yang Kita Ketahui Sejauh ini?
Pemahaman awal tentang wabah belalang bergantung pada tiga tahap, yaitu CMG. C merujuk
kepada konsentrasi belalang, M adalah penggandaan dan G adalah gregarisasi (titik di mana
serangga atau hama tunggal beralih menjadi kawanan (gregaria) akibat pertumbuhan populasi
yang mendadak). Peralihan dari konsentrasi menuju penggandaan sampai ke gregarisasi
bergantung pada konteks ekologi setempat. Dampak kekeringan akibat El-Nino kuat sering kali
mengakibatkan musim kering yang panjang dengan besaran dan skala yang tidak dapat ditolerir
sehingga sejumlah sumber daya biologis (seperti pemangsa alami seperti burung dan lalat
parasitoid) menghilang dan belalang dapat menggandakan diri tanpa kendali (Roffey dan Popov
1968) khususnya ketika musim hujan tiba (Magor et. al. 2008).
Gambar 1. Pola Wabah Hama Belalang [Sumber: Disadur dari Lecoq dan Sukirno 1999:159] [Catatan dari Lecoq dan Sukirno 1999:159] B adalah peluang peningkatan populasi melalui perkembangbiakan; C, peluang peningkatan kepadatan dengan pembatasan wilayah yang ditempati; G, ambang gregarisasi (2000 belalang dewasa/ha); L, populasi belalang kembara; ne. populasi kompleks musuh alami; R, musim hujan; 1-5. Generasi berurutan dari belalang kembara (3 di musim hujan, 2 di musim kering). D ditambahkan penulis untuk mengindikasikan bahwa semakin besar selisih antara ne dan L dapat mengakibatkan wabah yang lebih besar.
5
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Sejumlah pakar menyatakan bahwa “periode kering pasti sangat penting bagi kondisi lingkungan
yang sangat lembab ini, karena tingkat curah hujan lebih cocok dengan kebutuhan ekologis normal
serangga ini. Selain itu, kekeringan pasti mengakibatkan penurunan populasi musuh alami yang
tajam, yang berfungsi sebagai pengendali populasi normal belalang” (Lecoq dan Sukirno
1999:155). Berdasarkan fenomena yang terjadi tahun 1997/1998 di Sumatera bagian selatan, Lecoq
dan Sukirno (1999:159) (Gambar 1) mengemukakan hipotesis tentang dinamika populasi belalang
kembara oriental dan dampak musuh alami pada pengendalian populasi belalang (B) (Lihat Gambar
1), peluang peningkatan populasi melalui perkembangbiakan (C) yang berpotensi menunu peluang
konsentrasi populasi padat dengan membatasi wilayah yang ditempati; G adalah ambang gregarisasi
yaitu 2000 belalang per ha. Yang perlu ditakuti adalah membesarnya selisih antara musuh alami dan
populasi belalang di mana semakin besar selisih (D), semakin besar pula kerusakan yang terjadi
akibat wabah.
Cisse, S. et. al. 2015 mengungkap sebuah penelitian empiris di mana ambang gregarisasi bisa jadi
lebih kompleks/rumit dibanding ambang yang dispekulasi/dihipotesiskan Lecoq dan Sukirno 1999).
Yang lebih menarik adalah fakta bahwa gregarisasi bergantung pada beberapa faktor termasuk
konteks ekologi dan perubahan kondisi lingkungan. Cease et. al. (2012) menyatakan bahwa
“penggembalaan ternak yang berat mendorong wabah belalang melalui mekanisme peralihan
kandungan hara tumbuhan menuju kondisi lebih rendah nitrogen yang cocok untuk belalang jenis
Oedaleus asiaticus.” Perlu dilakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan apakah mekanisme
ini yang terjadi di Sumba sehingga bisa didapatkan kesimpulan yang lebih kuat tentang ambang
tersebut.
Beberapa model pencegahan wabah telah diidentifikasi pada abad ke-20. Salah satu model yang
paling tua adalah pendekatan “in situ” di mana dibentuk tim-tim daerah untuk memantau dan
mengendalikan wilayah serangan. Model ini telah digunakan oleh pemerintah daerah pada tahun
2016 dan 2017. Pendekatan ini memiliki keunggulan kalau wilayah yang diserang kecil sehingga
sampai tingkatan tertentu dapat dikendalikan. Namun demikian, pendekatan ini lebih bersifat
reaktif dan kurang efektif untuk wilayah serangan yang lebih luas (Magor et. al. 2008).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi yang lebih awal dapat mencegah sejumlah
wabah (Magor et. al. 2008). Intervensi dimaksud dapat dilakukan sebelum dimulainya hujan pasca
musim kemarau atau kekeringan. Hal ini membutuhkan insentif dari pemerintah pusat dan daerah
untuk menciptakan kondisi agar sebelum musim hujan tiba, dapat dilakukan tindakan kontrol
dengan meningkatkan peluang mortalitas/kematian kumpulan nimfa dan kawanan belalang.
Inovasi teknologi untuk memantau hama bukanlah sesuatu yang baru. Teknologi pengindraan jauh
sudah lazim digunakan di banyak negara. Walaupun teknologi pengindraan jauh dapat membantu
menyediakan informasi bagi petani dan pemerintah daerah tentang potensi wabah (Mahlein, AK.
2016), teknologi tersebut bisa jadi mahal dan asing bagi pejabat pemerintahan di Sumba. Dalam
konteks kegiatan belalang juta (desert-locust), gagasan penggunaan teknologi pengindraan jauh
sudah ada sejak 30-40 tahun lalu (lihat Tucker et. al. 2005; Despland et. al. 2004. Bryceson 1989;
Tappan et. al. 1991).
6
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Sejarah Singkat Wabah Belalang di Sumba Timur
Serangan hama belalang dan tikus menjadi bagian dari kepercayaan tradisional di Sumba. Sebagai
contoh, Kapita (1976:362) menggarisbawahi fakta bahwa penduduk setempat berdoa meminta
Tuhan mengirimkan burung hantu untuk mencegah bencana dari hama seperti tikus, belalang dan
wereng. Pengamatan empiris juga menunjukkan bahwa pembakaran terkendali telah digunakan
sebagai strategi penghidupan utama untuk mengendalikan belalang (Russell-Smith, J. et. al. 2007).
Namun demikian, masih perlu ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana pembakaran terkendali
selalu dapat dilakukan petani dan bagaimana strategi tersebut dapat memecahkan masalah belalang
dalam jangka panjang. Sayangnya, sebagian besar penelitian ilmu sosial di Sumba sama sekali tidak
membahas masalah wabah hama belalang.
Beberapa pustaka telah mencatat pengalaman terbaru tentang hama belalang kembara khususnya
dalam 60 tahun terakhir. Lecoq dan Sukirno (1999) mencatat bahwa wabah hama belalang terjadi
pada tahun 1973/1976. Sejarah lisan dari desa-desa seperti Napu, Haharu, Sumba Timur,
mengindikasikan bahwa pada tahun 1957 terjadi ledakan hama besar-besaran sehingga
mengakibatkan kelaparan (Tabel 1). NOAA mencatat tahun 1957/1958 sebagai tahun El-Nino kuat.
Teka-teki cerita-cerita masyarakat (dan/atau sejarah lisan) ini sejalan dengan dokumen yang tak
diterbitkan seperti proses partisipatif yang dilaksanakan PMPB Kupang tahun 2003 dan 2007 yang
menunjukkan bahwa sebagian besar wabah belalang di Sumba dalam 60 tahun terakhir terjadi pada
saat kejadian El-Nino kuat (Tabel 1). Hal ini bisa berarti bahwa kekeringan yang parah dan sangat
parah mengakibatkan hilangnya sejumlah pemangsa alami saat daerah tersebut memasuki musim
hujan, dan hama tidak terawasi sehingga berkembang tanpa kendali.
Tabel 1 Sejarah Wabah Belalang di Sumba 1950an-2017
Tahun El-Nino [berdasarkan
catatan NOAA]
Tahun Wabah Hama Belalang
Kejadian bencana (masa sulit/paceklik)
Intervensi yang dilakukan
1957-1958 [El-Nino kuat]
1957 Serangan hama (terutama ledakan Populasi Wereng)
Pangan masa paceklik dari hutan setempat
1963/1964 [El-Nino sedang]
1965/1966 [El-Nino kuat]
1965
El-Nino kuat – Kekeringan
Menjual ternak dan pangan masa paceklik dari hutam setempat
1972/1973 [El-Nino kuat]
1974 – 1975 Serangan belalang Ubi liar dari hutan setempat (iwi)
1997/1998 [El-Nino sangat kuat]
1997/1998
Kekeringan akibat El-Nino Pangan masa paceklik dari hutan setempat
dan mandara
2002/2003 [El- Nino sedang]
1998-2003
Serangan belalang Eskalasi wabah hama belalang dimulai Pangan masa paceklik dari hutan setempat dan mandara
7
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
2015/2016 [El-Nino sangat kuat]
2016-2017
El-Nino – Kekeringan – mengakibatkan wabah hama belalang
Eskalasi wabah hama belalang tahun 2016 dan 2017.
Sumber: Lassa 2011; PMPB Kupang, Laporan PRA di Sumba Timur 2003; dan berbagai sumber termasuk klasifikasi tahun El-Nino dan La-Nina dari NOAA.
Ke-empat kabupaten di Sumba termasuk kabupaten termiskin di Indonesia. Salah satu alasannya
adalah warisan bahaya dan risiko alamiah termasuk kerentanan terhadap wabah hama belalang
sekurang-kurangnya dalam 70 tahun terakhir (Lassa 2011). Sejumlah praktik dan gagasan lokal
untuk menangani risiko wabah hama belalang telah diidentifikasi oleh LSM dan masyarakat lokal
(PMPB Kupang 2003):
Pada bulan November, saat musim tanam hampir dimulai dan nyali (ulat panjang) muncul, petani
memutuskan untuk tidak menanami lahan karena lebih berpeluang gagal.
Jika terdapat ombak besar pada bulan September dan Oktober serta masyarakat menanam
jagung pada bulan November karena dipandang sebagai tanda musim normal, maka panen akan
baik. Namun jika ombak muncul di akhir Oktober dan November, tanaman lebih berpeluang
gagal.
Yayasan Tananua di Waingapu mengadakan penilaian risiko di desa-desa atau masyarakat
tempat kerjanya, dari berbagai sudut. Mereka mengatakan bahwa gagasan yang tepat tentang
adaptasi iklim adalah penganekaragaman pilihan penghidupan termasuk di dalamnya
penganekaragaman pangan. Ini merupakan cara paling kreatif menghadapi risiko terkait iklim
(Randandma 2011). Sebagai contoh, di desa Meurumba, Sumba Timur, Tananua mendapati
bahwa masyarakat setempat mengidentifikasi opsi-opsi penghidupan mereka untuk mengatasi
ketidakpastian iklim. Pertama, mereka menanam tanaman seperti, jagung, umbi-umbian dan
kacang-kacangan. Kedua, mereka menanam komoditi hutan non kayu (dikenal sebagai tanaman
umur panjang) seperti pohon kemiri, pinang, kopi, mahoni, jati putih dan sirih. Ketiga,
mengakses layanan simpan pinjam. Keempat menanam dan menjual sayur dan akhirnya
melibatkan diri dalam kegiatan mandara (barter).
Selain itu, penduduk desa Meurumba juga memandang beras murah sebagai tanaman pilihan.
Hutan masyarakat dan rumah tangga adalah pilihan berikutnya. Opsi terakhir merupakan
bagian dari upaya untuk meningkatkan jumlah ternak kecil.
Patut dicatat bahwa ketika masyarakat setempat diminta menyebutkan opsi-opsi untuk adaptasi
dan penurunan risiko dalam konteks kelaparan dan kekeringan, jawaban yang diberikan kurang
lebih sama dengan yang diperoleh dari proses PMPB tahun 2003 di desa Napu.
Dampak Wabah Hama Belalang di Sumba Timur Sejak 1990
Jejak wabah hama belalang di Sumba sejak tahun 1990 dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
Catatan resmi dari Statistik Pertanian menunjukkan bahwa semua panen tanaman pangan
termasuk jagung, padi, kedelai, kacang hijau dan kacang tanah mencapai nol (Gambar 2a).
Kacang-kacangan merupakan kelompok tanaman yang paling rentan seperti terlihat dari fakta
8
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
bahwa masyarakat setempat tidak bisa mendapatkan hasil panen sama sekali pada tahun 1998,
2001 dan 2003. Pada periode 1998-2003, kedelai dapat dipanen pada tahun 1999.
Produksi padi dan jagung pada tahun 1998, 2001 dan 2002 gagal total. Masyarakat setempat hidup
dari penghidupan alternatif serta bantuan pangan dan subsidi. Gambar 2b menunjukkan bahwa
kesenjangan semakin meningkat antara karbohidrat yang diproduksi (gabungan padi dan jagung)
dengan kebutuhan total (diukur dengan setara beras 400 gram per hari) . Dampak wabah hama
belalang di Sumba secara umum dan di Sumba Timur khususnya, sangat merusak.
Menurut klasifikasi terbaru daerah tertinggal (daerah miskin) di Indonesia, versi bulan Juni 2017,
semua kabupaten di Sumba dimasukkan sebagai daerah prioritas oleh presiden untuk tahun
anggaran 2017 dan 2018 (Pemerintah Indonesia 2017). Hal ini memperkuat pola yang sudah ada
selama 20 tahun di mana semua kabupaten di Sumba termasuk dalam kabupaten ‘termiskin’ di
NTT.
Sumba Timur sering kali masuk urutan pertama kerusakan dan kerugian panen. Sebagai contoh,
dalam jangka waktu tanpa wabah hama belalang, Sumba Timur mengalami kerugian sebesar 29.4%
dalam bentuk gagal panen di tahun 2009 (WFP 2011). Gambar 3 menyajikan Atlas Kerentanan dan
Ketahanan Pangan /Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2010 yang disusun World Food
Program (WFP) dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT. Ukuran FSVA ketahanan pangan
antara lain adalah akses pangan. Konsentrasi kemiskinan yang tinggi juga terjadi di Sumba Timur.
Survey Ekonomi Nasional terakhir pada tahun 2013 menunjukkan bahwa di Sumba Timur masih
terdapat 260.000 orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (sekitar 28 persen dari total
penduduk).
Gambar 2a Kecenderungan Panen Tanaman Pangan 1990-2015. Sumber: Penulis, berdasarkan Statistik Pertanian 2016
9
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Gambar 2b. Kecenderungan Produksi jagung dan padi 1990-2015 Sumber: Penulis, berdasarkan Statistik Pertanian 2016
Gambar 3. Atlas Kerentanan Pangan, NTT
Sumber: World Food Program 2011
Memahami Kerentanan Ganda Sumba terhadap Guncangan Iklim
Iklim yang tak menentu di Sumba berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dan angka
panen. Sumba Timur sering kali dikelompokkan ke dalam tipe iklim dengan musim hujan yang
lebih pendek, yaitu hanya 0-2 bulan basah. Sering kali jumlah hari hujan yang lebih pendek, serta
hari tanpa hujan yang panjang. Lebih dari separuh lahan di Sumba adalah sabana, yang cocok untuk
pertanian lahan kering serta pengembangan peternakan. Selain dari beberapa tempat di Sumba Barat
dan Tengah, pulau ini memiliki intensitas curah hujan yang rendah. Secara umum, iklim di Sumba
tidak menentu (Lihat Lassa et. al. 2013).
Salah satu pertanyaan yang patut diajukan adalah: apa saja implikasi jangka panjang wabah hama
10
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
belalang bagi ‘coping mechanism’/mekanisme pemecahan masalah masyarakat? Kegagalan total
tanaman pertanian yang terjadi dalam 20 tahun terakhir mendorong masyarakat setempat untuk
melakukan penyesuaian sementara dari ‘pola penghidupan yang berbasis tanaman pangan’ menuju
‘pola penghidupan yang berbasis padang rumput’ melalui promosi bersama agro-forestry (yang
mendukung tanaman perdagangan melalui Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) serta pertanian dan
hortikultura (untuk mendukung penganekaragaman tanaman pangan). Penulis berpendapat bahwa
HHNK perlu menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian iklim dalam di daerah pedesaan.
HHNK mempunyai kontribusi besar terhadap pendapatan dan penghidupan masyarakat.
Secara tradisional masyarakat Sumba dikenal memiliki tiga tingkatan sosial: kaum bangsawan
(maramba), kaum menengah (kabihu) dan kaum hamba (ata). Kekuasaan tradisional para
marambas disimbolkan dengan kendali atas kaum ata atas serta aset penghidupan lain seperti lahan
dan ternak (kuda, kerbau dan sapi) (Twikromo 2008). Walaupun saat ini Sumba muncul sebagai
masyarakat tanpa kelas (PMPB 2003), sistem kelas telah memberi dampak positif sekaligus negatif.
Dampak positifnya adalah terdapat pengaturan ‘berbagi risiko informal’ di mana kelas yang
berkedudukan tinggi dapat mentransfer sumber daya kepada kaum ata saat terjadi kedaruratan.
Sementara itu, kaum ata mendapatkan kewenangan sendiri dalam produksi pangan, khususnya
tenaga kerja peternakan dan pertanian.
Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan hutan di seluruh Sumba mengalami
penurunan dari sekitar 50% pada tahun 1927 menjadi 10% pada tahun 1997,dan baru-baru ini
mencapai 8%. Kenyataannya, tutupan hutan bersih mungkin kurang dari 6,5% (Burung Indonesia
2009). Degradasi hutan dan vegetasi banyak dikaitkan dengan pemanfaatan hasil hutan yang tidak
berkelanjutan serta pengelolaan pemanfaatan lahan yang tak berkelanjutan (dalam bentuk
pembakaran padang rumput tak terkendali).
Sebuah studi yang dilakukan PMPB Kupang tentang Napu secara singkat menghubungkan
penghidupan, pangan, dan risiko. Napu terletak di ketinggian sekitar 150 meter di atas muka air
laut rata-rata (MSL). Desa ini memiliki bentangan alam yang khas Sumba yang didominasi bukit
padang rumput dengan ketinggian 150 – 400 MSL. Desa ini mempunya dua dusun. Dusun pertama
adalah Napu dengan lahan yang sangat kering dan dusun kedua adalah Prailangina dengan kondisi
yang lebih subur. Secara keseluruhan terdapat 180 rumah tangga (806 jiwa) pada tahun 2003.
Penghidupan utama di Napu adalah:
Tanaman pangan sebagai ‘pilihan terbaik pertama’. Tanaman pangan termasuk jagung, padi
lahan kering, ubi-ubian (termasuk ubi kayu, ubi jalar/ubi manis serta varietas ubi jalar lokal
lainnya) serta berbagai jenis kacang-kacangan.
Ternak besar termasuk sapi, kuda, dan kerbau.
Ternak kecil yang terdiri dari babi, ayam, dan kambing.
Nelayan subsisten sering kali memanen hasil dari laut menggunakan peralatan tradisional.
Input non pertanian lain seperti kerajinan dan tenun.
11
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Tabel 2 Kalendar musiman untuk semua kegiatan penghidupan di Napu, Sumba Timur No
Kegiatan
Bulan dalam setahun Keterangan
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
1 Musim hujan – status quo XX X XX XX Keragaman iklim
2 Jagung - status quo X X X X X X Kegiatan biasa
3 Padi lahan kering X X X X Kegiatan biasa
4 Ubi kayu X X X X X X X Kurang informasi
5 Kacang tanah X X X X X Kegiatan biasa
6 Kacang hitam Kegiatan biasa
7 Panen kemiri X X X X X HHNK
8 Panen asan X X X X HHNK
9 Panen kutu lak X X X X HHNK
10 Masa paceklik/krisis pangan X X X X X Kegiatan biasa
11 Tahun ajaran baru mulai X X X X Kegiatan biasa
12 Menjual ternak besar X X X X X Kegiatan biasa
13 Menjual ternak kecil X X X X Kegiatan biasa
14 Mandara (barter) X X Kegiatan biasa
15 Menjual tenaga X X X X X X X X X X Kegiatan biasa
16 Membakar padang oleh ata X X X X X Kegiatan biasa
17 Ubi manis/jalar Kegiatan biasa
18 Tanam ubi-ubian domestikasi
X X X Antisipasi kekeringan
19 Panen ubi-ubian liar X X X Antisipasi kekeringan
Sumber: Lassa et. al. 2011, disadur dari PMPB Kupang dan Sandelwood 2003
Barter, yang disebut mandara, sering kali menjadi sarana pertukaran, terutama pada bulan Juli-Agustus setelah akhir
kegiatan tanaman pangan di desa Napu. Mandara sering kali dilakukan di Lewa, yang merupakan lahan pertanian.
Informasi anekdotal menunjukkan bahwa makanan yang diperoleh dari Mandara sering kali disimpan dan dimakan
12
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
selama masa paceklik, khususnya bulan Desember-Februari ketika persediaan makanan sudah menipis (PMPB Kupang
2003). Perlu dicatat bahwa berdasarkan pengamatan mendalam (Killa 2011 dalam Lassa 2011), Mandara sering kali
diaktifkan dan dipraktikkan oleh mereka yang memiliki kedekatan jejaring sosial (jarang sekali dilakukan dengan orang
asing). Karena itu, ciri utama transaksi dan transfer sumber daya mandara adalah hubungan kekerabatan dan
kepercayaan sosial.
Berdasarkan berbagai survei dasar yang dilakukan World Vision dan Pemerintah Daerah Sumba Timur (dengan 2.134
responden), ditemukan bahwa masyarakat pedesaan memiliki lima opsi untuk mengakses pangan: (1)
Tanaman pangan79,7%
Membeli dari pasar setempat 88%
Mendapatkan dari hutan 14%
Mandara 13%
Lain-lain 2%
Dari survei yang sama ditemukan bahwa di 65% rumah tangga tanaman pangannya hanya dapat
memenuhi kebutuhan rumah tangga selama 3 bulan, dan di 22% rumah tangga tanaman
pangannya dapat memenuhi kebutuhan selama 6 bulan. Para responden juga mencatat bahwa
penghalang utama akses pangan adalah kegagalan produksi (48%) dan ketiadaan akses lahan
(41%).1
Ata (kaum hamba) sering kali 'menjual' tenaga mereka sebagai penjaga ternak (Table 2, #16).
Pendapatan yang diperoleh sering kali dalam bentuk ‘bagi hasil’ dengan rasio 1:5. Dalam
praktiknya, untuk setiap 5 ternak, kaum ata mendapatkan 1 ternak. Terdapat mekanisme lain
seperti intensif bagi mereka yang berhasil meningkatkan bobot ternak (khususnya sapi). Praktik ini
sering kali mengakibatkan proses pembakaran padang rumput, karena dengan membakar padang
rumput, kaum ata akan mendapatkan keuntungan berupa rumput yang cepat tumbuh kembali,
sehingga menjadi sumber pakan ternak.
Studi yang dilakukan Tacconi dan Ruchiat (2006:72) di Sumba Timur (Desa Lukuwingir-Kiritana)
menunjukkan bahwa struktur khas pendapatan rumah tangga di Sumba Timur adalah sebagai
berikut:
Tanaman pangan 36%
Pohon-pohonan 4.2%
Ternak 23.8%,
Hasil Hutan Non Kayu 30.7%
Padang rumput 5.3%
Tabel 3 Hasil Hutan Non Kayu: produksi lak 2010-2014
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014
Kutu lak (ton)
20 80 117 96 360
1 Survei dasar bersama yang dilakukan World Vision Waingapu dan Pemerintah Daerah Sumba Timur 2007 [Tidak terbit]
13
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Sumber: Dinas Kehutanan Sumba 2011, Sumba Timur Dalam Angka 2016 dan Lassa 2011.
Pemerintah Daerah di Sumba mengakui tiga sumber utama HHNK yaitu asam, kemiri dan
lak/seedlac (dari kutu lak atau laccifer lacca)2. Sumba Timur menghasilkan 791 ton dan 899 ton
kemiri berturut-turut pada tahun 2007 dan 2014. Kabupaten ini juga menghasilkan 592 ton kutu lak
pada tahun 2007. Pada tahun 2011, setiap kg kutu lak dihargai Rp 12.000 (A$1.2) (Lassa 2011).
Walaupun terjadi sedikit penurunan produksi (Tabel 3), Kutu Lak konsisten memberikan sumbangan
terhadap ekonomi daerah bersama dengan hasil HNK lainnya.
Catatan Akhir
Pemantauan dan pengendalian hama memerlukan teknologi dan inovasi. Sebagai tindak lanjut, hal
yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah penggunaan drone untuk pemantauan hama
(Tammen 2015). Hal ini dapat dilakukan karena harga drone semakin murah dan generasi baru
drone bisa cocok untuk melaksanakan tugas pemantauan dan pengendalian wabah hama.
Masalahnya bukan apakah pemerintah daerah dapat mengakses dan menggunakan teknologi
tersebut, tetapi bagaimana pemerintah daerah menggunakannya untuk memberikan informasi
sebagai dasar bagi peringatan dini untuk tindakan dan tanggap awal.
Yang menjadikan wilayah terpencil seperti Sumba Timur dan wilayah lain rentan terhadap risiko
iklim adalah kinerja lembaga formal yang rendah. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman pribadi
penulis, data iklim tidak dikumpulkan secara konsisten dalam 20 tahun terakhir. Mutu
pengumpulan data iklim terlalu rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar tindakan awal.
Selain itu, terdapat kesalahan sistemik dalam pemasukan data iklim di tingkat kabupaten (Lassa
2011). Selalu ada data yang kurang dari separuh stasiun pengukur curah hujan dan hal ini dikaitkan
dengan angka perpindahan staf yang tinggi, kinerja SDM yang di bawah standar, serta
ketidaktahuan mengenai pentingnya data iklim untuk penyusunan kebijakan pertanian di Sumba
Timur.
Dalam pencegahan dan tanggap cepat terhadap wabah hama belalang, perlu ada upaya peningkatan
kemampuan yang berarti bagi tenaga pemerintah yang sudah ada. Pencegahan dan tanggap cepat
membutuhkan respon krisis strategis yang beroperasi secara terus menerus. Pertanyaannya adalah
bagaimana caranya agar dinas pertanian bekerja secara lebih strategis dan responsif terhadap risiko
bencana. Bagaimana mengelola desentralisasi agar memberi dampak positif bagi orang miskin dan
kelompok yang paling rentan? Bagaimana memberi pemahaman kepada para pejabat pemerintah
yang baru terpilih tentang kerumitan masalah lokal serta tantangan pembangunan di desa? Tentang
bagaimana koordinasi antar lembaga serta tanggap bersama dapat berkontribusi terhadap
terkendalinya situasi krisis, penulis menyarankan perlunya studi sistimatis terhadap situasi saat ini
Selain itu, pencegahan wabah hama belalang harus dijadikan sarana peningkatan mutu layanan
2 Kutu lak atau seedlac merupakan sekresi dari serangga bernama Laccifer yang digunakan sebagai bahan mentah
kosmetika, cat dll.
14
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
ekosistem termasuk perlindungan hutam alami dan hutan masyarakat. Dengan demikian,
pengaturan dan pengelolaan wabah hama belalang secara kewilayahan dan kepemerintahan berada
di luar lingkup teknis tugas para pakar serangga dan pakar pertanian daerah.
Referensi
Aziz, N. 2017. Belalang menyerang Sumba Timur ketika panen hampir usai. BBC Indonesia.
Bere, SM. 2017. Millions of locusts attacked Waingapu Airport in Sumba Timur.
Kompas 12/06/2017.
Bryceson, K.P. 1989. The use of landsat MSS data to determine the distribution of locust eggbeds
in the Riverina region of New South Wales, Australia. International Journal of Remote Sensing
10(11):1749-1762
Burung Indonesia 2009. Forest and birds in Sumba Island.
Cease, A.J. 2012. Heavy livestock grazing promotes locust outbreaks by lowering plant nitrogen
content. Science 335(6067):467-469
Cisse, S. et. al. 2015. Estimation of density threshold of gregarization of desert locust hoppers from
field sampling in Mauritania. Entomologia Experimentalis et Applicata 156: 136–148. DOI:
10.1111/eea.12323
Chapuis, M.-P 2008. Do outbreaks affect genetic population structure? A worldwide survey in
Locusta migratoria, a pest plagued by microsatellite null alleles. Molecular Ecology 17(16):3640-
3653
Dengi, H. 2016. Serangan Belalang Kembara, Bupati Sumba Timur Nyatakan Darurat Bencana.
KBR.id Online 14 July 2016. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40247285 [Last accessed 13
June 2017.
Despland, E., Rosenberg, J., Simpson, S.J. 2004. Landscape structure and locust swarming: A
satellite's eye view. Ecography 27(3): 381-391.
David, C. 2011. Interview with Christ David, Director of Kopesda in Waingapu, on 22 Sept 2011.
Hutabarat, S. 2006. Forestry development through development of non-timber forest products in
East Nusa Tenggara in S. Djoeroemana et. al. Eds. Integrated rural development in East Nusa
Tenggara, Proceedings of a workshop to identify sustainable rural livelihoods, held in Kupang,
Indonesia, 5–7 April 2006.
GoI (2017). Central government included 122 regions are disadvantaged regions 2015-2019.
http://setkab.go.id/122-daerah-ini-ditetapkan-pemerintah-sebagai-daerah-tertinggal-2015-2019/
[Last accessed 14 June 2017]
Michel Lecoq and Sukirno 1999. Drought and an Exceptional Outbreak of the Oriental Migratory
Locust, Locusta migratoria manilensis (Meyen 1835) in Indonesia (Orthoptera: Acrididae). Journal
of Orthoptera Research 8:153-161
Killa, M. 2017. Facebook update, 11 June 2017, viewed 11 June 2017
Lintas NTTa 2016. TNI Bantu Berantas Hama Belalang di Sumba, Lintas NTT 16 July 2017.
http://www.lintasntt.com/tni-bantu-berantas-hama-belalang-di-sumba/ Last accessed 13 June 2017
Lintas NTT 2016b. The locust outbreak have been de-escalated (Serangan Hama Belalang di Sumba
15
IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Mulai Berkurang). Lintas NTT 9 August 2016. www.lintasntt.com/serangan-hama-belalang-di-
sumba-mulai-berkurang/ Last accessed 13 June 2017.
Lodji, RR. 2017. Facebook update with photos from the field, 13 June 2017, viewed 13 June 2017.
Lassa, J. et al. 2011. Final Report Feasibility Study on Nusa Tengara Timur Province: Rural
Livelihoods and Food Security Under Changing Climate and Disaster Risks Context. Circle Report
to Lutheran World Relief to Circle Indonesia October 2011.
16 IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Lassa, J. et. al. 2013. Impact of Climate Change of Agriculture and Food Security: Options for
Local Adaptation in East Nusa Tenggara, Indonesia. Working Paper #8, IRGSC Indonesia
Magor, JI., Lecoq, M. and Hunter, D.M. 2008.Preventive control and Desert Locust plagues. Crop
Protection 27(12):1527-1533.
Mahlein, AK. 2016. Plant Disease Detection by Imaging Sensors – Parallels and Specific
Demands for Precision Agriculture and Plant Phenotyping. Plant Disease, 100(2):241-251.
https://doi.org/10.1094/PDIS-03-15-0340-FE.
MaxFM 2017. Kembara attacks getting crazier in Kambaniru.
maxfmwaingapu.com/2017/06/serangan-kembara-menggila-di-kambaniru/ Last accessed 13
June 2017
Maubokul 2017, Facebook update, 10 June 2017, viewed 13 June 2017
Pada, E. 2017. Facebook update, 11 June, viewed 12 June 2017
PMPB 2003. Food and Livelihoods Monitoring System, PMPB Kupang and Yayasan Sandelwood).
Unpublished draft report 1 April 2003.
Radandima, H. Staff Tananua. Personal interviewed in June 2011 by the author.
Russell-Smith, J. et. al. 2007. Rural Livelihoods and Burning Practices in Savanna Landscapes of
Nusa Tenggara Timur, Eastern Indonesia. Human Ecology, 35(3):345-359.
Roffey, J and Popov, G. 1968. Environmental and Behavioural Processes in a Desert Locust
Outbreak. Nature 219(5153):446-450.
Tammen, G. 2015. Using unmanned aerial systems to detect emerging pest insects, diseases in food
crops. https://phys.org/news/2015-03-unmanned-aerial-emerging-pest-insects.html [Last accessed
June 13 2017]
Tacconi, Luca and Ruchiat, Yayat 2006. Livelihoods, fire and policy in eastern Indonesia.
Singapore Journal of Tropical Geography 27 pp. 67–81.
Tappan, G. Moorej, D.G., and Kanusenberger, W.I. 1991. Monitoring grasshopper and locust
habitats in sahelian africa using gis and remote sensing technology! International Journal of
Geographical Information Systems 5(1):123-135.
Tucker, C.J., Hielkema, J.U., Roffey, J. 1985. The potential of satellite remote sensing of
ecological conditions for survey and forecasting desert-locust activity. International Journal of
Remote Sensing 6(1): 127-138
Twikromo YA. 2008. The local elite and the appropriation of modernity : a case in Sumba
Timur, Indonesia. Ph. D. Radboud Universiteit Nijmegen 2008.
Yiwa, R. 2017. Facebook update on 13 June 2017, followed by personal correspondence on 13 June
2017.
VOA Indonesia 2016. Locust pest attacked hundreds of land in Sumba Timur (Bahasa: Hama
Belalang Serang Ratusan Hektar Lahan di Sumba Timur. VoA Indonesia 11 July 2016. Last
accessed 13 June 2017 www.voaindonesia.com/a/hama-belalang-serang-ratusan-hektar-lahan-
di- sumba-timur/3413083.html
WFP 2010. Nutrition Security and Food Security in Seven Districts in NTT Province, Indonesia:
Status, Causes and Recommendations for Response. UN Joint Food Security Assessment
17 IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
Lampiran 1. Foto belalang kembara yang ‘menguasai’ Sumba Timur
Lampiran 1.1. Landasan Bandara Waingapu ditempati jutaan belalang tanggal 10 Juni 2017 Photo
Credit: Kompas/Zainal Ismail [http://regional.kompas.com/read/2017/06/12/11460031/jutaan.belalang.serang.bandara.waingapu.di.sumba.timur]
Lampiran 1.2. Anggota militer membantu pemerintah daerah memerangi kumpulan nimfa dan
kawann belalang Photo credit: Kompas/Letnan Kolonel Infanteri Elvin T Saragi
http://sains.kompas.com/read/2017/06/14/160500023/dilema.sumba.timur.hadapi.serangan.belalang.
10.tahun.sekali
18 IRGSC Working Paper Series - WP 17 [www.irgsc.org] ISSN 2339-0638
WP No: Working Paper No. 17
Title: The Return of Locust Outbreak in Sumba, Indonesia: A Rapid Situational
Analysis
Keywords
Locust outbreak, climatic shocks, El-Nino, disaster risk, risk management,
outbreak prevention
Author(s): Jonatan A. Lassa
(corresponding author: [email protected])
Date: June 2017
Link: http://www.irgsc.org/pubs/wp.html
Using empirically grounded evidence, IRGSC seeks to contribute to international and national
debates on resource governance, disaster reduction, risk governance, climate adaptation, health
policy, knowledge governance and development studies in general.
IRGSC Working Paper series is published electronically by Institute of Resource Governance and
Social Change.
The views expressed in each working paper are those of the author or authors of the paper.
They do not necessarily represent the views of IRGSC or its editorial committee.
Citation of this electronic publication should be made in the following format: Author, Year.
"Title", IRGSC Working Paper No. Date, http://www.irgsc.org/pubs/wp.html
Editorial committee:
Ermi ML. Ndoen,
PhD Gabriel Faimau ,
PhD Dominggus
Elcid Li, PhD Dr.
Jonatan A. Lassa Dr. Saut S. Sagala
Institute of Resource Governance and
Social Change RW Monginsidi II, No 2B
Kelapa Lima
Kupang, 85227, NTT,
Indonesia www.irgsc.org