Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tahun III, Nomor 2, Juli 2016
ISSN: 2087-913X
Hikmatul Faizah Muyassaroh, dkk Proses Berpikir Siswa Tipe Kepribadian Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Muhammad Ikmal, dkk Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA Dwi Susanti, dkk Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat Berdasarkan Aktivitas Problem Solving Tyas Pramukti Kirnasari, dkk Defragmenting Struktur Berpikir untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Memecahkn Masalah Persamaan Kuadrat Pratiwi Dwi Warih Sitaresmi, dkk Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran Learning Cycle 5E Syaiful Hamzah Nasution Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra pada Matakuliah Matematika Dasar II Iva Nurmawanti, dkk Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt Rivatul Ridho Elvierayanti, dkk Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Ahmad Bahrul Samsudin, dkk Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP Tabita Wahyu Triutami, dkk Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP Kategori Prestruktural dalam Menyelesaikan Soal Geometri Melalui Pemberian Scaffolding Iwan Surya Dinata, dkk Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau Dari Tempat Tinggal
JURNAL PEMBELAJARAN
MATEMATIKA Tahun III No.2
Hal. 103-201
Malang,Juli2016
ISSN:
2087-913X
JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
ISSN: 2087-913X
JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Tahun III, Nomor 2, Juli 2016
Terbit dua kali setahun berisi tulisan ilmiah tentang pembelajaran matematika dalam bentuk: • temuan
penelitian • pengalaman praktis pembelajaran matematika • kajian kepustakaan • gagasan konseptual • klinik
matematika atau • rekreasi matematika
Ketua Penyunting
Erry Hidayanto
Wakil Ketua Penyunting
Edy Bambang Irawan
Penyunting Pelaksana
Syaiful Hamzah Nasution
Indriati Nurul Hidayah
Tri Hapsari Utami
Abdul Qohar
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurusan Matematika FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG.
JL. Semarang 5 Malang 65145 Gedung O7(Gedung Matematika). Telepon (0341) 552182 (langsung). Email:
[email protected]. Fax. (0341) 552182. Harga langganan Rp. 25.000,00 per-eksemplar
ditambah ongkos kirim.
JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA diterbitkan oleh Jurusan Matematika Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang di bawah pembinaan Tim Pengembang Jurnal
Universitas Negeri Malang. Dekan: Markus Diantoro. Ketua Jurusan: Sudirman.
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah
diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda sepanjang kurang lebih 20 halaman, dengan format seperti
tercantum pada Petunjuk bagi Penulis di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan
disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.
JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Tahun III, Nomor 2, Juli 2016
Hikmatul Faizah
Muyassaroh, Ipung
Yuwono, Sudirman
Proses Berpikir Siswa Tipe Kepribadian Idealist dalam Menyelesaikan
Masalah Matematika
103 – 109
Muhammad Ikmal,
Gatot Muhsetyo,
Abadyo.
Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika
PISA
110 – 119
Dwi Susanti,
Purwanto,
Erry Hidayanto.
Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah
Pertidaksamaan Kuadrat Berdasarkan Aktivitas Problem Solving
120 – 127
Tyas Pramukti
Kirnasari, Abdur
Rahman Asari, Santi
Irawati.
Defragmenting Struktur Berpikir untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa
dalam Memecahkan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat
128 – 138
Pratiwi Dwi Warih
Sitaresmi, I Nengah
Parta, Swasono
Rahardjo.
Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran
Learning Cycle 5E
139 – 146
Syaiful Hamzah
Nasution
Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra pada Matakuliah
Matematika Dasar II
147 – 153
Iva Nurmawanti, Edy
Bambang Irawan, I
Made Sulandra
Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt 154 – 161
Rivatul Ridho
Elvierayani, Edy
Bambang Irawan,
Sudirman
Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika 162 – 172
Ahmad Bahrul
Samsudin, Gatot
Muhsetyo, Tjang
Daniel Chandra
Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP
173 – 179
Tabita Wahyu
Triutami, Purwanto,
Abadyo
Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP Kategori Prestruktural dalam
Menyelesaikan Soal Geometri Melalui Pemberian Scaffolding
180 – 191
Iwan Surya Dinata,
Toto Nusantara,
Susiswo
Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal 192 – 201
103
PROSES BERPIKIR SISWA TIPE KEPRIBADIAN IDEALIST
DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA
Hikmatul Faizah Muyassaroh, Ipung Yuwono, Sudirman
Universitas Negeri Malang
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstract: In daily life people always face the problem. When solve the problem, everyone often use
different strategies. The process of thinking is required in order to solve problems. One of strategy in
solving the problem is a framework developed by Polya. In this framework there are four phases: (1)
understand the problem, (2) develop a plan of settlement, (3) implement the plan, and (4) to re-examine
the results obtained. The thought process in solving the problem further studied by Piaget's theory of
assimilation and accommodation personality type is one of the things that affects the person's thinking
process. The purpose of this study was to determine the thinking of students who have the personality type
idealist in solving mathematical problems. The results of this study stated that the thinking of students
who have the personality type idealist is: (a) occurs assimilation at the stage of understanding the
problem, namely that students can identify what is known and questioned on the given issue, (b) occurs
assimilation for developing the settlement plan , that students can mention the plan for settlement of the
given problem based on what is known right, (c) occurs assimilation in stages to solve the problem
according to plan, ie the students resolve the issue in accordance with a plan drawn up earlier, and (d)
does not occur assimilation and accommodation on stage to re-examine the results obtained, it happened
because the students do not do a re-examination of the results obtained.
Keywords: process of thinking, personality type, idealist
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses berpikir siswa yang memiliki tipe
kepribadian idealist dalam menyelesaikan masalah matematika. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa proses berpikir siswa yang memiliki tipe kepribadian idealist
adalah: (a) terjadi asimilasi pada tahap memahami masalah, yaitu siswa dapat mengidentifikasi hal yang
diketahui dan ditanya pada masalah yang diberikan, (b) terjadi asimilasi pada tahap menyusun rencana
penyelesaian, yaitu siswa dapat menyebutkan rencana penyelesaian dari masalah yang diberikan
berdasarkan hal yang diketahui dengan benar, (c) terjadi asimilasi pada tahap menyelesaikan masalah
sesuai perencanaan, yaitu siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya,
dan (d) tidak terjadi asimilasi maupun akomodasi pada tahap memeriksa kembali hasil yang diperoleh, hal
itu terjadi karena siswa tidak melakukan pemeriksaan kembali terhadap hasil yang diperoleh.
Kata kunci: proses berpikir, tipe kepribadian, idealist
Mata pelajaran matematika diberikan kepada
siswa mulai dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Salah satu tujuan adanya mata
pelajaran matematika sesuai Permendiknas RI No 22
Tahun 2006 adalah memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan
model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Sedangkan pada kurikulum 2013, menyatakan
bahwa tujuan mata pelajaran matematika antara lain
agar siswa dapat: (1) memiliki kemampuan berpikir
kritis, logis, analitik, dan kreatif, kemampuan
pemecahan masalah, dan kemampuan
mengkomunikasikan gagasan serta budaya
bermatematika, (2) memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan
masalah, (3) menggunakan penalaran pada pola dan
sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,
(4) mengembangkan sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari (dunia
nyata), dan (5) mengembangkan sikap dan perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan
pembelajarannya. Berdasarkan pemaparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah
matematika merupakan salah satu tujuan utama
diberikan mata pelajaran matematika.
104, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Salah satu permasalahan yang ada di bidang
pendidikan matematika adalah rendahnya
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Hal ini ditunjukkan dengan hasil-hasil penelitian
terkait dengan pemecahan masalah matematika oleh
siswa, baik di tingkat sekolah dasar, sekolah
menengah, maupun perguruan tinggi. Padahal
kemampuan pemecahan masalah matematik menjadi
kemampuan yang penting yang harus dimiliki siswa
(Stacey, 2013: 39). Hal itu dikarenakan penyelesaian
masalah dapat mengarahkan pada pengkombinasian
keahlian dan konsep untuk berurusan dengan situasi
matematik khusus yang disebut masalah (Giganti,
2007: 15).
Suatu masalah biasanya memuat situasi yang
mendorong seseorang untuk menyelesaikan, tetapi
tidak mengetahui secara langsung langkah yang
harus dilakukan. Suatu soal matematika dikatakan
sebagai suatu masalah jika soal tersebut menarik
siswa untuk menyelesaikannya dan bersifat tidak
rutin. Soal yang seperti ini biasanya dalam
penyelesaiannya menuntun siswa untuk mengguna-
kan gabungan beberapa konsep matematika yang
telah dipelajari. Untuk dapat menyelesaikan
masalah, siswa harus menguasai hal-hal yang telah
dipelajari sebelumnya, yaitu mengetahui, memahami
secara terampil penggunaan konsep-konsep tertentu.
Tetapi, memiliki kemampuan, pemahaman, dan
keterampilan menggunakan konsep-konsep saja
tidaklah cukup. Siswa juga harus menghubungkan
dan menggunakan informasi yang dimilikinya secara
tepat pada situasi baru yang dihadapinya.
Proses berpikir diperlukan saat menyelesaikan
masalah matematika. Hal itu dikarenakan ketika
seseorang mencari cara untuk menyelesaikan
masalah, pasti terdapat proses berpikir yang
mengikutinya. Proses tersebut dimulai dari
memahami masalah yang sedang dihadapi, meren-
canakan cara yang akan digunakan untuk menyele-
saikan masalah tersebut, dan mencari cara atau jalan
keluar untuk menyelesaikannya.
Menurut Mulyono (2010) proses berpikir
merupakan proses yang dimulai dari penerimaan
informasi, pengolahan, penyimpanan, dan
pemanggilan informasi dari dalam ingatan.
Sependapat dengan Siswono (2002) yang
menyatakan bahwa proses berpikir adalah proses
yang dimulai dengan menerima data, mengolah dan
menyimpan di dalam ingatan serta memanggil
kembali dari ingatan pada saat dibutuhkan untuk
pengolahan selanjutnya. Berdasarkan dua pendapat
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses
berpikir adalah aktivitas mental siswa dalam
menyelesaikan masalah yang diberikan, yang dapat
dilihat ketika siswa memahami masalah,
merencanakan penyelesaian, melakukan rencana
tersebut, dan memeriksa kembali jawaban tersebut
secara tertulis maupun lisan.
Pada saat berpikir, informasi-informasi dan
data yang masuk diolah di dalam otak. Dengan
demikian, perlu dilakukan penyesuaian atau bahkan
perubahan terhadap informasi yang sudah ada
sebelumnya. Proses demikian dinamakan adaptasi.
Terdapat dua cara adaptasi terhadap informasi baru
yang masuk, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Menurut Piaget, asimilasi adalah proses memahami
objek atau peristiwa baru berdasarkan skema yang
telah ada . Sedangkan akomodasi adalah proses
perubahan skema yang telah ada agar sesuai dengan
situasi baru. Asimilasi dan akomodasi terus
berlangsung sampai terjadi keseimbangan.
Kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah matematika sebenarnya dapat dilatih. Ide
mengenai pemecahan masalah salah satunya
dikemukakan oleh Polya (1973). Polya mengem-
bangkan empat langkah pemecahan masalah yaitu
memahami masalah (understanding the problem),
menyusun rencana (make a plan), melaksanakan
rencana yang telah disusun (carry out a plan), dan
memeriksa kembali hasil pemecahan (look back at
the completed solution). Menurut Alacaci dan
Dogruel (2011) langkah pemecahan masalah yang
dikembangkan oleh Polya dapat menumbuhkan
kesadaran bagi siswa tentang cara berpikir dalam
memecahkan masalah. Dengan menggunakan
langkah-langkah pemecahan masalah yang dikem-
bangkan oleh Polya, siswa diharapkan dapat lebih
runtut dan terstruktur dalam memecahkan masalah
matematika.
Apabila dilakukan pengamatan pada proses
pemecahan masalah, akan ditemukan adanya
perbedaan antar individu dalam menyelesaikan
masalah matematika. Ada yang segera mengambil
langkah begitu perintah telah dimengerti dan
mencoba-coba hingga sampai pada cara yang benar.
Namun, ada juga yang tidak mengambil tindakan
tetapi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang
ada berkaitan dengan pemecahan masalahnya
sebelum mengambil tindakan secara konkret.
Salah satu hal yang mempengaruhi proses
berpikir siswa adalah tipe kepribadian yang dimiliki
oleh setiap individu. Sesuai dengan pendapat Okike
(2014) yang menyatakan bahwa perbedaan
kepribadian yang dimiliki masing-masing individu
menyebabkan mereka memecahkan masalah dengan
pendekatan dan pengambilan keputusan yang
berbeda. Pernyataan tersebut juga didukung oleh
Dewiyani (2014: 97) yang menyatakan bahwa setiap
tipe kepribadian memiliki perbedaan proses berpikir
dalam menyelesaikan masalah.
Keirsey merupakan salah satu ahli yang
membagi tipe kepribadian menjadi empat, yaitu:
artisan, guardian, idealist, dan rational. Pada
Muyassaroh, dkk. Proses Berpikir Siswa Tipe Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 105
penelitian ini hanya dibatasi pada siswa yang
memiliki tipe kepribadian idealist. Individu tipe
idealist merupakan individu yang percaya akan
intuisi dan secara alami tertarik untuk bekerja sama
dengan orang lain, baik bekerjasama dalam
pendidikan, konseling, atau pelayanan sosial.
Individu tipe ini percaya bahwa hidup penuh dengan
kemungkinan yang menunggu untuk diwujudkan.
Menurut Dewiyani (2010), siswa dengan tipe
idealist, cenderung dapat melihat suatu masalah
dengan sudut pandang yang luas, dan tidak hanya
terpaku pada masalah yang dihadapi. Lebih lanjut
Dewiyani (2009) mengungkapkan, pengajar dapat
membuat variasi soal yang cukup luas kepada tipe
ini, karena justru banyaknya variasi soal akan
membuat tipe ini lebih tertarik. Tipe idealist tidak
lebih dari 15%-20% dari penduduk di dunia, tapi
kemampuan mereka untuk menginspirasi orang
memberikan pengaruh yang lebih besar dari jumlah
mereka (Keirsey: 1998).
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang
digunakan adalah deskriptif eksploratif. Hal itu
dipilih karena peneliti ingin memperoleh data yang
mendalam dan detail secara alami tentang proses
berpikir siswa yang memiliki tipe kepribadian
idealist dalam menyelesaikan masalah matematika.
Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIIIH
SMP Negeri 20 Malang. Pemberian angket KTS
(Keirsey Temperament Shorter) melibatkan semua
siswa dalam satu kelas. Berdasarkan hasil angket
tersebut, dipilih siswa dengan tipe kepribadian
idealist. Selanjutnya pemberian tes masalah
matematika pada siswa terpilih. Dua siswa yang
menjawab soal dengan lengkap akan
dipertimbangkan sebagai subjek penelitian.
Penentuan subjek tersebut selain berdasar pada hasil
tes masalah matematika, juga berdasar pada
masukan dari guru yang mengajar matematika di
kelas tersebut.
Instrumen utama pada penelitian ini adalah
peneliti sendiri. Instrumen pendukungnya adalah
angket KTS, tes masalah matematika, dan
wawancara berbasis tugas. Pengumpulan data
dilakukan dengan angket, tes, dan wawancara. Data
yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis data kualitatif yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992: 15).
Teknik analisis data yang dimaksud terdiri dari tiga
tahap yang dilakukan secara berurutan, yaitu (1)
mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3)
verifikasi data / kesimpulan.
Untuk menguji kredibilitas data dan diperoleh
temuan data yang absah, maka dilakukan triangulasi.
Menurut Sugiyono (2013: 273) triangulasi dapat
diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai
sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,
triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. Dalam
penelitian ini triangulasi yang digunakan adalah
triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan
data dari satu subjek dengan subjek yang lain. Data
proses berpikir siswa pertama dibandingkan dengan
yang kedua. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat
memperoleh hasil yang benar-benar valid mengenai
proses berpikir siswa yang mempunyai tipe
kepribadian idealist.
Tahap-tahap yang dilaksanakan dalam
penelitian ini adalah: tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap penyelesaian. Tahap
persiapan meliputi: (a) mengaji teori-teori tentang
proses berpikir, masalah matematika, dan tipe
kepribadian, (b) melakukan observasi awal, (c)
menyusun dan merancang penelitian sesuai dengan
fenomena yang sering terjadi dan kajian kepustakaan
yang relevan, (d) menyusun, memvalidasi, dan
merevisi instrumen pendukung penelitian, (e)
melakukan observasi ke sekolah dan melakukan
wawancara dengan guru matematika untuk
menentukan kelas penelitian, dan (f) memberikan
angket kepribadian untuk menentukan siswa terpilih.
Pada tahap pelaksanaan meliputi: (a) memberikan
tes masalah matematika pada siswa terpilih yang
memiliki tipe kepribadian idealist, (b) menganalisis
hasil tes masalah matematika yang telah diselesaikan
siswa, (c) melakukan wawancara dengan 2 subjek
terpilih untuk melihat proses berpikir siswa, dan (d)
menganalisis data hasil tes dan data hasil
wawancara. Sedangkan pada tahap penyelesaian
meliputi: (a) memaparkan hasil penelitian yang
diperoleh, (b) membuat kesimpulan akhir penelitian,
dan (c) menyusun laporan hasil penelitian.
HASIL
Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan
proses berpikir adalah aktivitas mental siswa dalam
menyelesaikan masalah yang diberikan, yang dapat
dilihat ketika siswa memahami masalah,
merencanakan penyelesaian, melakukan rencana
yang telah disusun, dan memeriksa kembali jawaban
yang telah diperoleh secara tertulis maupun lisan
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Polya
(1973). Penelitian ini hanya dibatasi pada proses
berpikir asimilasi dan akomodasi, serta tidak
melakukan pengamatan pada proses berpikir
ekuilibrasi. Hal itu dikarenakan proses berpikir
ekuilibrasi sulit untuk dilakukan pengamatan dalam
penelitian. Asimilasi merupakan proses
pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang
sudah terbentuk. Akomodasi merupakan proses
106, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
pengintegrasian stimulus baru melalui pembentukan
skema baru atau pengubahan skema lain untuk
menyesuaiakan dengan stimulus yang diterima.
Dengan menggunakan kerangka berpikir dari Polya,
siswa diharapkan dapat lebih runtut dan terstruktur
dalam menyelesaikan masalah.
Berikut akan dipaparkan proses berpikir siswa
dengan tipe kepribadian idealist dalam menyelesai-
kan masalah matematika.
Masalah
Warta Kota Malang dan Harian Malang Raya
merupakan dua agen koran di Malang yang mencoba
untuk merekrut penjual. Gambar 1 menunjukkan
sistem pembayaran yang dilakukan agen koran
kepada penjual.
(a) (b)
Gambar 1. Poster sistem pembayaran yang dilakkan agen koran kepada penjual
Fandi berjualan Koran Warta Kota Malang,
sedangkan Candra berjualan Koran Harian Malang
Raya. Jika banyaknya koran yang mereka jual sama,
maka penjualan koran yang ke berapa gaji Fandi dan
Candra sama?
Siswa 1
Dalam menyelesaikan masalah Siswa 1
terlebih dahulu menuliskan hal yang diketahui dan
ditanya dari soal, tetapi informasi yang dituliskan
kurang lengkap. Siswa 1 tidak memberikan
keterangan tentang koran yang dijual oleh Fandi dan
Candra. Tapi saat proses wawancara berlangsung,
Siswa 1 mampu menyebutkan hal-hal yang diketahui
dan ditanya dari masalah yang diberikan dengan
lengkap. Berdasarkan pemaparan tersebut dikatakan
bahwa Siswa 1 mampu mengidentifikasi hal yang
diketahui dan ditanya dari soal. Dengan demikian,
dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat Siswa 1
memahami masalah.
Berdasarkan informasi yang telah diperoleh,
selanjutnya Siswa 1 mulai menyusun rencana yang
akan dilakukan untuk menyelesaikan soal. Siswa 1
menyamakan banyaknya koran yang terjual, yaitu
dengan mengibaratkan keduanya berhasil menjual
250 koran. Selanjutnya masing-masing ditambah Rp
1.000,00 untuk penjualan per Koran Warta Kota
Malang dan ditambah Rp 3.000,00 untuk penjualan
per Koran Harian Malang Raya. Berdasarkan
pemaparan tersebut, dikatakan bahwa Siswa 1 dapat
menyebutkan rencana yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang diberikan. Dengan
demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat
Siswa 1 menyusun rencana penyelesaian.
Berdasarkan rencana yang telah disusun oleh
Siswa 1, penghitungannya terhenti saat Fandi
menjual 253 Koran Warta Kota Malang dan Candra
menjual 301 Koran Harian Malang Raya. Pada
penjualan tersebut keduanya memperoleh gaji yang
sama. Penghitungan Siswa 1 terhenti karena pada
penjualan tersebut gaji yang diperoleh keduanya
sama. Disini dapat terlihat adanya kesalahan
pemahaman yang dilakukan oleh Siswa 1. Siswa 1
hanya mendasarkan penghitungannya pada besarnya
gaji yang mereka peroleh sama. Padahal selain gaji
yang mereka peroleh sama, jumlah koran yang
WARTA KOTA MALANG
PEKERJAAN
Dengan GAJI MENARIK
DALAM WAKTU SINGKAT
Dengan menjual Koran Warta
Kota Malang, Anda akan
mendapatkan Rp525.000,00
dalam satu minggu dan
tambahan Rp1.000,00 per
koran yang Anda jual.
HARIAN MALANG RAYA
BUTUH UANG TAMBAHAN? JADILAH PENJUAL KORAN KAMI
Anda akan memperoleh:
Rp2.500,00 per koran untuk 250
koran pertama yang Anda jual
dalam satu minggu dan tambahan
Rp500,00 untuk setiap koran yang
Anda jual selanjutnya.
Muyassaroh, dkk. Proses Berpikir Siswa Tipe Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 107
mereka jual juga harus sama. Tetapi saat
dikonfirmasi tentang kesesuaian antara hasil yang
diperoleh dengan yang ditanyakan pada soal, Siswa
1 mulai menyadari bahwa hasil yang diperoleh tidak
sesuai dengan yang ditanyakan. Berdasarkan
pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa Siswa 1
dapat menyelesaikan masalah yang diberikan sesuai
dengan rencana yang disusun sebelumnya dengan
lancar. Tetapi skema yang dimiliki Siswa 1 dalam
menyelesaikan masalah kurang tepat. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi asimilasi
subjektif saat Siswa 1 menyelesaikan masalah sesuai
perencanaan
Setelah memperoleh jawaban, Siswa 1 tidak
melakukan pemeriksaan terhadap hasil yang
diperoleh. Sebelum Siswa 1 mengetahui ketidak-
sesuaian antara hasil dan hal yang ditanyakan dari
soal, Siswa 1 meyakini bahwa jawaban yang
diperoleh adalah benar. Tetapi setelah mengetahui
bahwa hasil yang diperoleh tidak sesuai, Siswa 1
tidak yakin dengan jawaban tersebut. Dengan
demikian, dikatakan bahwa tidak terjadi asmilasi
maupun akomodasi saat Siswa 1 memeriksa kembali
hasil yang diperoleh
Siswa 2
Seperti halnya Siswa 1, Siswa 2 dalam
menyelesaikan masalah juga menuliskan hal yang
diketahui dan ditanya dari soal terlebih dahulu.
Informasi yang dituliskan Siswa 2 juga kurang
lengkap karena tidak memberikan keterangan
tentang koran yang dijual oleh Fandi dan Candra.
Tetapi informasi tersebut disampaikan oleh Siswa 2
pada saat wawancara berlangsung. Berdasarkan
pemaparan tersebut dikatakan bahwa Siswa 2
mampu mengidentifikasi hal yang diketahui dan
ditanya dari masalah yang diberikan. Dengan
demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat
Siswa 2 memahami masalah.
Pada tahap menyusun rencana, Siswa 2
menentukan gaji yang diterima oleh Fandi dan
Candra pada penjualan ke 250. Selanjutnya Siswa 2
menghitung selisih dari banyaknya penjualan koran
yang sama. Siswa 2 menyatakan bahwa terdapat
pola saat menghitung selisisih dari gaji penjualan
sejumlah koran tersebut yaitu setiap penambahan
satu koran yang terjual selisihnya berkurang Rp
2.000,00. Siswa 2 beranggapan bahwa pada
penjualan tertentu selisihnya akan nol, yaitu saat gaji
Fandi dan Candra sama. Berdasarkan pemaparan
tersebut dikatakan bahwa Siswa 2 dapat
menyebutkan rencana penyelesaian yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah yang diberikan.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa terjadi
asimilasi saat Siswa 2 menyusun rencana
penyelesaian.
Pada saat menyelesaikan masalah sesuai
perencanaan, Siswa 2 membagi selisih gaji pada
penjualan yang ke-250 dengan Rp 2.000,00 dan
hasilnya ditambah dengan 250. Dari penghitungan
yang dilakukan oleh Siswa 2, diperoleh pada
penjualan koran yang ke-325 gaji Fandi dan Candra
sama. Berdasarkan pemaparan tersebut disimpulkan
bahwa Siswa 2 dapat menyelesaikan masalah sesuai
dengan perencanaan yang telah dibuat serta
algoritma penghitungan yang dilakukan juga benar.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa terjadi
asimilasi saat Siswa 2 menyelesaikan masalah sesuai
perencanaan.
Pada tahap memeriksa kembali jawaban yang
diperoleh, Siswa 2 hanya meyakini jawaban yang
telah diperoleh tanpa melakukan pemeriksaan
kembali terhadap jawaban yang diperoleh. Dengan
demikian, dikatakan bahwa tidak terjadi asimilasi
maupun akomodasi saat Siswa 2 memeriksa kembali
hasil yang diperoleh.
PEMBAHASAN
Berdasarkan paparan data diperoleh hasil
bahwa terjadi asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2
memahami masalah. Siswa 1 dan Siswa 2 dapat
menjelaskan kembali hal yang diketahui dan ditanya
pada masalah berdasarkan informasi yang diberikan.
Hasil tersebut sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Yuwono (2010),
Dewiyani (2015), dan Mufarrihah (2016). Yuwono
(2010) menyatakan bahwa siswa dengan tipe
kepribadian idealist dapat menuliskan hal yang
diketahui dan ditanya dari soal yang diberikan.
Dewiyani (2015) menyatakan bahwa siswa dengan
tipe kepribadian idealist menuliskan kembali
informasi penting untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah tanpa bantuan variabel.
Sedangkan Mufarrihah (2016) menyatakan bahwa
siswa dengan tipe kepribadian idealist mampu
mengetahui hal-hal yang diketahui dan ditanya pada
soal. Dengan demikian, dikatakan bahwa terjadi
asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2 memahami
masalah.
Hasil analisis berikutnya diperoleh bahwa
terjadi asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2 menyusun
rencana penyelesaian. Siswa 1 dan Siswa 2 dapat
menyusun rencana penyelesaian dari masalah yang
diberikan berdasarkan hal yang diketahui dengan
lancar dan benar. Hal itu sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widodo (2012) yang
menyatakan bahwa siswa dengan tipe idealist dapat
merencanakan penyelesaian masalah dan dapat
mengintegrasikan langsung persepsi atau
pengalaman baru dalam skema pikirannya. Dengan
demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat
108, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Siswa 1 dan Siswa 2 menyusun rencana
penyelesaian.
Selanjutnya dari paparan diperoleh bahwa
terjadi asimilasi saat Siswa 1 dan Siswa 2
menyelesaikan masalah. Hal itu dikarenakan baik
Siswa 1 maupun Siswa 2 dapat menyelesaikan
masalah sesuai dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widodo (2012), yang
menyatakan bahwa siswa dengan tipe kepribadian
idealist mampu melaksanakan rencana yang disusun
sebelumnya untuk menyelesaikan masalah. Dengan
demikian, dikatakan bahwa terjadi asimilasi saat
Siswa 1 dan Siswa 2 menyelesaikan masalah sesuai
perencanaan.
Berdasarkan paparan data diperoleh bahwa
tidak terjadi asimilasi maupun akomodasi pada
Siswa 1 dan Siswa 2 saat memeriksa kembali hasil
yang diperoleh. Siswa 1 dan Siswa 2 tidak
melakukan pemeriksaan kembali hasil yang
diperoleh. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Mufarrihah (2016)
yang menyatakan bahwa siswa dengan tipe
kepribadian idealist tidak mampu memeriksa
kembali hasil pekerjaan yang diperoleh. Dengan
demikian, dikatakan bahwa tidak terjadi asimilasi
dan akomodasi saat Siswa 1 dan Siswa 2 memeriksa
kembali hasil yang diperoleh.
Secara keseluruhan proses berpikir yang
dilakukan oleh Siswa 1 dan Siswa 2 sesuai dengan
karakteristik dari individu yang memiliki tipe
kepribadian idealist yang dikemukakan oleh
Keirsey. Menurut Keirsey (1998), individu dengan
tipe kepribadian idealist dapat menjadikan masalah
sebagai kesempatan untuk menghasilkan dan
menerapkan berbagai ide dan solusi kreatif.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari
penelitian, beberapa hal yang dapat disimpulkan
baerkaitan dengan proses berpikir siswa SMP Negeri
20 kelas VIIIH yang memiliki tipe kepribadian
idealist dalam menyelesaikan masalah matematika
adalah sebagai berikut: (a) terjadi asimilasi pada
tahap memahami masalah, yaitu siswa dapat
mengidentifikasi hal yang diketahui dan ditanya
pada masalah yang diberikan, (b) terjadi asimilasi
pada tahap menyusun rencana penyelesaian, yaitu
siswa dapat menyebutkan rencana penyelesaian dari
masalah yang diberikan berdasarkan hal yang
diketahui dengan benar, (c) terjadi asimilasi pada
tahap menyelesaikan masalah sesuai perencanaan,
yaitu siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan
rencana yang disusun sebelumnya, dan (d) tidak
terjadi asimilasi maupun akomodasi pada tahap
memeriksa kembali hasil yang diperoleh, yaitu siswa
tidak melakukan pemeriksaan kembali terhadap hasil
yang diperoleh.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah disusun,
maka beberapa saran yang dapat dikemukakan
antara lain: (1) bagi para pendidik untuk
membiasakan adanya tahap memeriksa kembali hasil
yang diperoleh untuk meminimalisir adanya
kesalahan yang dilakukan oleh siswa, (2) adanya
penelitian lanjutan baik materi maupun subjek yang
berbeda.
DAFTAR RUJUKAN
Alacici, C & Dogruel, M. 2011. Solving A Stability
Problem By Polya’s Four Steps. International
Journal of Electronics, Mechanical and
Mechatronics Engineering, 1(1): 19-28.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Badan
Standar Nasional Pendidikan
Dewiyani, S. 2009. Karakteristik Proses Berpikir
Siswa dalam Mempelajari Matematika
Berbasis Tipe Kepribadian. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan
Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas
Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
Dewiyani, S. 2010. Model Pembelajaran
Matematika Berbasis Pemecahan Masalah
Berdasar Penggolongan Tipe Kepribadian,
(Online),
(http://eprints.uny.ac.id/12295/1/M_Pend_24_
Dwiyani.pdf), diakses 25 September 2015
Dewiyani, S & Sagirani, T. 2014. Inculcation
Method of Character Education Based on
Personality Types Classification in Realizing
Indonesia Golden Generation. International
Journal of Evaluation and Research in
Education (IJERE), 3(2): 91-98.
Dewiyani, S. 2015. Improving Students Soft Skills
using Thinking Process Profile Based on
Personality Types. International Journal of
Evaluation and Research in Education
(IJERE), 4(3): 118-129.
Giganti, P. 2007. Why Teach Problem Solving, Part
I: The World Needs Good Problem Solvers!.
ComMuniCator, 31(4): 15-16
Keirsey, D. 1998. Please Understand Me II
Temperament Character Intelligence. United
States of America: Prometheus Nemesis Book
Company
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.
Materi Pelatihan Guru Implementasi
Kurikulum 2013 SMP/MTs Matematika.
Muyassaroh, dkk. Proses Berpikir Siswa Tipe Idealist dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 109
Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjamin Mutu Pendidikan.
Miles, M & Huberman, M. 1992. Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
Mufarrihah, I. 2015. Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa Kelas IX Sekolah Mengah
Pertama dalam Memecahkan Masalah
Matematika Berdasarkan Tipe Kepribadian
Siswa (Studi Kasus di SMP Negeri 1
Gondangwetan Pasuruan). Tesis tidak
diterbitkan. Surakarta: PPs UNS.
Mulyono. 2010. Proses Berpikir Mahasiswa dalam
Mengonstruksi Konsep Matematika.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi. Fakultas Teknik Universitas
Wahid Hasyim Semarang.
Okike, E.U. & Amoo, O.A. 2014. Problem Solving
and Dicision Making: Consideration of
Individual Differences in Computer
Programming Skills Using Myers Briggs
Type Indicator (MBTI) and Chidamber and
Kemerer Java Metrics (CKJM). Journal of
Applied Information Science and Technology.
7(1): 27-34.
Polya, G. 1973. How to Solve It (A New Aspect of
Mathematical Method). New Jersey: Priceton
University Press.
Siswono, T. Y. E. 2002. Proses Berpikir Siswa
dalam Pengajuan Soal. Jurnal Nasional
“MATEMATIKA”, Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya Tahun VIII. ISSN: 0852-
7792 (44-50).
Stacey, K. 2013. What is Mathematical Thinking
and Why Is It Important?. Australia.
University of Melbourne.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta
Widodo, S. A. 2012. Proses Berpikir Mahasiswa
dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
Berdasarkan Dimensi Healer. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika,
Jurusan Pendidikan Matematika UNY,
Yogyakarta, 10 November 2012
Yuwono, A. 2010. Profil Siswa SMA dalam
Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau
dari Tipe Kepribadian. (Online),
(http://core.ac.uk/download/file/478/1235135
3.pdf), diakses 07 Maret 2016.
110
PROSES BERPIKIR MATEMATIS SISWA DALAM MENYELESAIKAN
SOAL MATEMATIKA PISA
Muhammad Ikmal1, Gatot Muhsetyo2, Abadyo3
Universitas Negeri Malang
Abstract: This study was done for describing students mathematical process in solving PISA
mathematics problems. The study implemented qualitative approach. The subject of this study were two
second semester students of SMP Negeri Malang, and they were decided based on their work in doing
contextual literacy mathematics problems. The level four of PISA algebraic mathematics problems were
used to test the students. The result of the study was description of students’ mathematical thingking
processes in three phases, entry, attack and review. These processes were (a) know, want, and introduce
in entry phase, (b) try, maybe, and why in attack phase, and (3) check, reflect, and extend ib review
phase. In tracking a series of phases, return phase happened from attach phase to entry phase, and from
review phase to attack phase. Aspect check was the only activity of review phase, different with attack
phase and entry phase, all aspects happened in activity.
Keywords: thingking process, mathematical thingking, PISA Mathematics Problems
Abstrak: Penelitian dilakukan untuk mendeskripsikan proses berpikir matematis siswa dalam
menyelesaikan soal matematika PISA. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam
penelitian adalah siswa SMP Negeri 5 Malang kelas IX semester II. Subjek penelitian terdiri dari 2 siswa
yang ditetapkan berdasarkan hasil pengerjaan soal konteks literasi matematika. Soal matematika PISA
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan soal level 4 dengan topik aljabar. Hasil penelitian berupa
deskripsi proses berpikir matematis siswa yang didasarkan pada tiga tiga fase yaitu entry, attack dan
review. Proses berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal matematika PISA dilakukan melalui
rangkain fase dalam berpikir matematis. Fase yang dilalui siswa dalam menyelesaiakn soal matematika
PISA adalah fase entry yang mencakup aspek know, want dan introduce, fase attack yang mencakup
aspek try maybe dan why dan fase terakhir yang dilalui adalah fase review yang mencakup aspek check,
refleck dan extend. Dalam serangkain fase yang dilalui siswa terjadi proses kembali ke fase sebelumnya
yaitu dari fase attack ke fase entry dan fase review ke fase attack. Dalam fase review terjadinya kegiatan
hanya berlangsung dalam aspek check, berbeda dengan fase entry dan fase attack yang setiap aspek
terjadi kegiatan dalam fase tersebut.
Kata kunci: Proses Berpikir, Berpikir Matematis, Soal Matematika PISA
Dalam era globalisasi saat ini matematika
memiliki peranan yang sangat penting. Veloo, dkk
(2015:325) mengemukakan bahwa matematika
merupakan salah satu kunci menuju tujuan
pembangunan masyarakat ilmiah yang berorientasi
pada teknologi. Matematika juga berperan dalam
menghasilkan generasi yang kompeten di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus maju
dalam era globalisasi. Silva (2013) mengemukakan
bahwa perkembangan pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dilandasi oleh
perkembangan matematika di bidang teori bilangan,
aljabar, analisis, teori peluang dan matematika
diskrit.
Dalam pembelajaran dan penerapan
matematika, siswa dapat mengembangkan
kemampuan berhitung, bernalar, keterampilan
berpikir dan keterampilan pemecahan masalah.
Jonassen (2010) mengemukakan bahwa kemampuan
pemecahan masalah sangat dibutuhkan siswa pada
segala usia dalam keterampilan belajar sepanjang
hayat. Metallidou (2009:76) mengartikan
pemecahan masalah sebagai "perilaku yang
diarahkan pada tujuan yang membutuhkan
representasi mental yang sesuai dengan masalah.
Menurut Hayes (1980) masalah merupakan
“adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan
(apa yang seharusnya) dengan kenyataan yang
sekarang dan itu tidak tahu bagaimana menemukan
cara untuk menyelesaikannya." Oleh karena itu
menyelesaikan atau menemukan “cara” merupakan
bagian penting dari pemecahan masalah. Reif (1981)
mengemukakan bahwa suksesnya pemecah masalah
dalam memahami masalah disebabkan dari adanya
deskripsi masalah yang dibangun untuk mencari
solusi yang tepat. Individu memecahkan berbagai
Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 111
jenis masalah dari berbagai kompleksitas sepanjang
siklus dari hidup mereka (Mataka, 2014:164)
Memnun, dkk (2012:172) mengemukakan
bahwa pembelajaran yang memungkinkan siswa
untuk memperoleh dan melatih keterampilan
pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam
mengatasi setiap masalah yang dihadapi selama
menjalankan kehidupan, merupakan salah satu dari
prioritas dan tujuan utama dari pendidikan saat ini.
Pemecahan masalah yang merupakan fokus dalam
pembelajaran matematika hendaknya dimulai
dengan adanya masalah-masalah yang bersifat
kontekstual. Dengan membiasakan pemecahan
masalah kontekstual, siswa secara bertahap dapat
memahami peran matematika yang tidak hanya
digunakan dalam pendidikan formal tetapi juga
digunakan dalam menjalankan kehidupan sehari-
hari. Lange (1987) mengemuakan bahwa
penggunaan masalah berbasis konteks dapat
mengembangkan wawasan siswa tentang kegunaan
matematika untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Graumann, (2011)
menambahkan bahwa tujuan inti dari pendidikan
matematika adalah mengembangkan kemampuan
siswa untuk menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari.
Penggunaan matematika dalam kehidupan
sehari-hari menyiratkan arti dari literasi matematika.
Literasi matematika merupakan kemampuan
individu untuk mengidentifikasi dan memahami
peran matematika dalam kehidupan sehari-hari,
membuat penilaian yang didasarkan pada
pengetahuan matematika sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan hidup individu saat ini dan
dimasa depan sebagai warga negara yang
konstruktif, prihatin dan reflektif (OECD, 2006:12).
Wong (2005:94) mengartikan literasi matematika
sebagai kemampuan individu dalam menerapkan
pengetahuan dan keterampilan matematika di situasi
dan konteks yang berbeda dalam kehidupan sehari-
hari.
Stacey (2010) mengemukakan bahwa literasi
matematika melibatkan komponen dan proses
pemodelan matematika yang berhubungan dengan
merumuskan masalah dunia nyata dalam bentuk
matematika formal yang kemudian diselesaikan
sebagai masalah matematika, dan solusi matematika
yang diperoleh diartikan sebagai jawaban terhadap
masalah dunia nyata. Pada tahap formulasi, pemecah
masalah menghadapi masalah yang terletak dalam
konteks nyata dan kemudian secara bertahap
memilah aspek realitas, mengenali hubungan
matematis yang mendasari, dan menggambarkan
pemecahan masalah matematika. Pada tahap
interpretasi, pemecah masalah memperhitungkan
hasil matematika dan menemukan makna dalam
konteks dunia nyata.
Literasi matematika merupakan salah satu
aspek penilaian dalam studi PISA. PISA merupakan
singkatan dari program penilaian pelajar
internasional yang mengukur pengetahuan dan
keterampilan siswa berusia 15 tahun yang mendekati
akhir wajib belajar (Stacey, 2011:95). PISA menilai
kinerja siswa dan mengumpulkan data tentang siswa,
keluarga dan faktor kelembagaan yang dapat
membantu untuk menjelaskan perbedaan kinerja di
negara-negara di seluruh dunia (OECD, 2007:9).
PISA dalam studinya menguji siswa dengan
menggunakan tes yang diselengarakan secara
internasional. Tes literasi matematika dalam PISA
disusun berdasarkan konten dan proses matematika.
Hayat & Yusuf (2010) mengemukakan bahwa
konten matematika dalam PISA terdiri dari 4 bagian
yaitu: (1) perubahan dan hubungan (change and
relationship) berkaitan dengan pengetahuan dan
pelajaran aljabar termasuk persamaan dan
pertidaksamaan, ekspresi aljabar, representasi yang
digunakan dalam menggambarkan pemodelan dan
menafsirkan fenomena perubahan. (2) Ruang dan
bentuk (space and shape) mencakup pengetahuan
gemometri yang digunakan untuk mengenali bentuk,
mencari persamaan dan perbedaan dalam berbagai
dimensi dan representasi bentuk, serta mengenali
ciri-ciri suatu benda dalam hubungannya dengan
posisi benda tersebut. Konten ruang dan bentuk
berkaitan dengan fenomena yang ditemui dalam
dunia visual: pola, sifat objek, posisi dan orientasi,
representasi dari objek, decoding dan encoding dari
informasi visual, pengaturan, dan interaksi yang
dinamis dengan bentuk nyata serta dengan
representasi. (3) Bilangan (quantity) mencakup
hubungan dari penggunaan bilangan dan pola
bilangan yang berkaitan dengan kemampuan untuk
memahami berbagai representasi dari perhitungan,
dan menilai interpretasi dan argumentasi
berdasarkan kuantitas. Konten bilangan meliputi:
kemampuan bernalar secara kuantitatif,
mempresentasikan sesuatu dalam angka, memahami
langkah-langkah matematika dan melakukan
penafsiran. (4) Probabilitas dan ketidakpastian
(uncertainty): ketidakpastian merupakan fenomena
yang menjadi inti dari analisis matematis pada
berbagai situasi masalah yang melibatkan
penggunaan statistika dan teori probabilitas.
Proses matematika dalam PISA
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (Hayat &
Yusuf, 2010) yaitu: (1) komponen proses reproduksi
(reproduction cluster): siswa diharapkan dapat
mengulang kembali definisi suatu hal dalam
matematika. Dari segi keterampilan, siswa dapat
mengerjakan perhitungan sederhana yang mungkin
membutuhkan penyelesaian tidak terlalu rumit dan
umum dilakukan. (2) komponen proses koneksi
(connection cluster): siswa diminta untuk dapat
112, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
membuat keterkaitan antara beberapa gagasan dalam
matematika, membuat hubungan antara materi ajar
yang dipelajari dengan kehidupan nyata di sekolah
dan masyarakat. Siswa dapat memecahkan soal yang
berkaitan dengan pemecahan masalah dalam
kehidupan tetapi masih sederhana. (3) komponen
proses refleksi: proses matematisasi dalam
komponen refleksi meliputi kompetensi siswa dalam
mengenali dan merumuskan keadaan dalam konsep
matematika, membuat model sendiri tentang
keadaan tersebut, melakukan analisis, berpikir kritis,
dan melakukan refleksi atas model itu, serta
memecahkan masalah dan menghubungkannya
kembali pada situasi semula.
Soal literasi matematika dalam PISA terdiri
atas 6 level, soal yang diujikan merupakan soal
kontekstual yang permasalahannya diambil dari
dunia nyata. Level soal dalam PISA
menggambarkan kecakapan siswa dalam
memecahkan masalah matematika sehari-hari.
Kecakapan yang merupakan literasi matematika
dalam PISA merujuk pada kemampuan siswa
kemampuan siswa dalam merumuskan masalah
secara matematis berdasarkan konsep dan hubungan
yang melekat pada masalah tersebut.
Setiawan dkk, (2014:249) mengemukakan
bahwa dalam PISA soal literasi matematis level 1
dan 2 termasuk kelompok soal dengan skala bawah
yang mengukur kompetensi reproduksi. Soal-soal
disusun berdasarkan konteks yang cukup dikenal
oleh siswa dengan operasi matematika yang
sederhana. Soal literasi matematis level 3 dan 4
termasuk kelompok soal dengan skala menengah
yang mengukur kompetensi koneksi. Soal-soal skala
menengah memerlukan interpretasi siswa karena
situasi yang diberikan tidak dikenal atau bahkan
belum pernah dialami oleh siswa. Sedangkan, soal
literasi matematis level 5 dan 6 termasuk kelompok
soal dengan skala tinggi yang mengukur kompetensi
refleksi. Soal-soal ini menuntut penafsiran tingkat
tinggi dengan konteks yang sama sekali tidak
terduga oleh siswa.
Menurut Lange (1990:76) literasi matematika
melibatkan beberapa kompetensi yaitu: (a)
mathematical argumentation, (b) mathematical
communication, (c) modeling, (d) problem posing
and solving, (e) representation, (f) symbols, (g) tools
and technology, (h) mathematical thinking and
reasoning. Hal ini berarti dalam penyelesaiakan soal
literasi matematika PISA melibatkan proses berpikir
matematis. Berpikir matematis merupakan
serangkaian proses yang meliputi: conjecturing,
penalaran dan pembuktikan, abstraksi, generalisasi
dan spesialisasi (Breen dan O’shea, 2010:39).
Stacey (2014:39) mengartikan berpikir
matematis sebagai kegiatan yang sangat kompleks
yang melibatkan hubungan dari dua pasang proses
yaitu (specialising and Generalising) dan
(Conjecturing and Convincing). Dari dua pasang
proses tersebut dapat di identifikasi empat proses
dasar yakni (a) specializing: mencoba kasus khusus,
melihat contoh-contoh, (b) generalizing: mencari
pola dan hubungan, (c) conjecturing: memprediksi
hubungan dan hasil (d) convincing: menemukan dan
mengkomunikasikan alasan mengapa sesuatu itu
benar. Stacey (2014) menambahkan bahwa
generalizing merupakan proses mencari pola atau
hubungan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dihadapi dan dapat digunakan untuk memeriksa
suatu dugaan. Sedangkan conjecturing adalah proses
memprediksi hubungan dari bagian-bagian yang
telah ditentukan. Dalam proses conjecturing terjadi
proses dugaan, penentuan, menggunakan atau
memanipulasi dugaan terkait hubungan-hubungan
antar bagian dalam permasalahan yang dihadapi dan
menguraikan proses penyelesaiannya.
Mason, dkk (2010: 144) mendefinisikan
berpikir matematika sebagai proses dinamis yang
memungkinkan seseorang untuk memperluas
pemahaman dan meningkatkan kompleksitas ide
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi melalui
serangkaian fase yaitu: entry, attack dan review.
Fase entry terjadi saat seseorang melakukan
pencarian terhadap arti maksud dari masalah yang
dihadapi. Fase attack terjadi saat seseorang berusaha
untuk menemukan penyelesaian masalah melaui
penggunaan cara-cara yang logis dan dapat dipahami
orang lain. Fase review merupakan tahapan
penyelesaian masalah yang melibatkan penggunaan
ide-ide yang diperoleh dari pengalaman.
Berdasarkan uraian di atas peneliti melakukan
penelitian lebih lanjut tentang “proses berpikir
matematis siswa dalam menyelesaikan soal
matematika PISA” yang ditinjau berdasarkan
terjadinya serangkaian fase yaitu: entry, attack dan
review. Penelusuran proses berpikir matematis siswa
dalam menyelesaikan soal matematika PISA
dilakukan dengan dengan mengambarkan peta
kognitif yang memuat rangkaian fase yaitu entry,
attack dan review. Dalam setiap fase terdapat
serangkaian aspek yang mencakup terjadinya
beberapa kegiatan. Aspek dalam fase entry terdiri
dari: know, want dan introduce, aspek dalam fase
attack terdiri dari: try maybe dan why dan pada fase
review mencakup aspek check, reflect dan extend.
METODE
Penelitian yang dilakukan menggunakan
pendekatan kualitatif yang mana peneliti bertindak
sebagai instrumen utama yang berperan sebagai
perancang, pengumpul, penganalisis data dan terlibat
langsung dalam proses penelitian. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian berupa lembar
Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 113
aktivitas dan kata-kata atau kalimat siswa yang
dipaparkan sesuai dengan apa yang terjadi di
lapangan. Dalam penelitian ini terdapat batasan
permasalahan yang ditentukan dalam fokus
penelitian yaitu proses berpikir siswa dalam
menyelesaikan soal matematika PISA.
Subjek yang digunakan dalam penelitian
adalah siswa SMP Negeri 5 Malang kelas IX terdiri
dari 2 siswa yang ditetapkan berdasarkan hasil
pengerjaan soal konteks literasi matematika.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
berupa alat rekam, lembar wawancara dan lembar
tugas yang berisi soal matematika PISA. Alat rekam
yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah: (a) alat rekam gambar (kamera
digital yang mempunyai kemampuan merekam
gambar), (b) alat rekam suara (hp). Alat rekam
gambar digunakan untuk merekam semua ekspresi
siswa ketika menyelesaikan lembar tugas, sedangkan
alat rekam suara digunakan untuk merekam
ungkapan verbal siswa yang diungkapkan dengan
suara. Lembar tugas terdiri dari soal-soal
matematika PISA yang dipilih berdasarkan konten
dan konteks pada PISA. Lembar tugas yang
diberikan kemudian digunakan untuk mengetahui
gambaran proses berpikir matematis siswa saat
menyelesaikan soal matematika PISA. Lembar
wawancara digunakan untuk menggali lebih dalam
tentang proses berpikir siswa ketika menyelesaikan
lembar tugas. Instrument berupa lembar wawancara
dan lembar tugas yang berisi soal-soal matematika
PISA terlebih dahulu divalidasi sebelum digunakan
dilapangan. Validasi instrument dilakukan untuk
memastian bahwa instrumen sudah layak
diujicobakan di lapangan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode Think Out Loud. Dalam
proses penyelesaian masalah, siswa diminta untuk
mengungkapkan secara keras apa yang sedang
dipikirkan. Peneliti merekam ungkapan verbal dari
siswa ketika menyelesaikan masalah. Dua langkah
penting dari metode Think Out Loud adalah sebagai
berikut. (1) siswa menuliskan atau menyatakan
kesadaran berpikirnya ketika menyelesaikan
masalah (lebih dalam dari sekedar menjelaskan
prilaku yang ditampakkan), (2) siswa harus
melaporkan apa yang benar-benar mereka pikirkan
saat ini (bukan sekedar apa yang mereka ingat saat
yang lalu). Untuk memperoleh gambaran proses
berpikir siswa yang representatif, maka dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut: (1) siswa diberi
tugas untuk menyelesaikan masalah berupa soal
matemtika PISA, sekaligus menuliskan dan
mengungkapkan secara verbal apa yang dipikirkan
saat menyelesaikan masalah tersebut, (2) peneliti
merekam ungkapan verbal dan perilaku (ekspresi)
dari siswa, (3) peneliti mengemukakan pertanyaan,
hanya jika diperlukan untuk lebih mendalami apa
yang sedang dipikirkan oleh siswa.
Analisis data dalam penelitian dilakukan
dengan menggunakan metode perbandingan tetap.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
(1) mentranskrip data verbal yang terkumpul, (2)
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai
sumber, yaitu dari hasil think out louds, dan
wawancara (jika ada), (3) mengadakan reduksi data
dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan
usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan
pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga untuk tetap
berada di dalamnya, (4) menyusun dalam satuan-
satuan dengan membuat coding, (5) menggambarkan
struktur berpikir siswa dalam menyelesaikan
masalah realistik, dan (6) penarikan kesimpulan.
PEMBAHASAN
Proses berpikir S1 dalam mengerjakan soal
matematika PISA
Proses berpikir matematis S1 dalam
menyelesaikan soal matematika PISA di paparkan
berdasarkan langkah-langkah penyelesaian yang
dilakukan yang kemudian disajikan dalam bentuk
peta kognitif. Penyelesaian soal matematika PISA
oleh S1 dilakukan dari memahami masalah yang ada
pada soal. Dalam memahami masalah, S1 membaca
soal. S1 memahami masalah dengan
mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dan yang
ditanyakan dalam soal. Setelah mengidentifikasi
permasalahan, langkah selanjutnya yang dilakukan
S1 adalah menyederhanakan permasalahan. Dalam
menyederhanakan permasalahan, S1 mengubah
masalah yang ada pada soal yang merupakan
masalah dunia nyata dalam bentuk masalah
matematika (matematika formal). S1 memisalkan
bangun segienam dengan 𝑠 dan bangun persegi
panjang dengan 𝑝. Selanjutnya S1 membuat
persamaan untuk masing-masing tower dari 3 tower
yang ada dalam soal. Untuk tower 1 yang tersusun
dari 3 bangun segienam dan 3 bangun persegi
panjang dengan tinggi 21 m diubah kedalam bentuk
persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21 . Kemudian untuk tower
2 yang tersusun dari 3 bangun segienam dan 2
bangun persegi panjang dengan tinggi 19 m diubah
kedalam bentuk persamaan 3𝑠 + 2𝑝 = 19 dan
untuk tower 3 yang tersusun dari 2 bangun persegi
panjang dan 1 bangun segienam diubah kedalam
bentuk persamaan 2𝑝 + 𝑠 yang tinggi belum
diketahui. Adapun bukti pekerjaan S1 ditunjukkan
pada Gambar 1.
114, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Gambar 1 Proses penyederhanaan masalah yang dilakukan S1
Gambar 1 menunjukkan proses penyederhana-
an masalah yang dilakukan S1 pada soal matematika
PISA. Setelah menyederhanakan permasalahan,
langkah selanjutnya yang dilakukan S1 adalah
menentukan solusi permasalahan. Dalam menentu-
kan solusi permasalahan, S1 menduga bahwa dengan
melakukan eliminasi pada dua persamaan yang
sebelumnya telah dibuat yakni persamaan untuk
tower 1 dan persamaan untuk tower 2 dapat
diperoleh tinggi dari bangun persegipanjang yang
telah dimisalkan dengan 𝑝. S1 kemudian melakukan
eliminasi pada persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21 dan
persamaan 3𝑠 + 2𝑝 = 19 dan memperoleh nilai
𝑝 = 2. Nilai 𝑝 = 2 yang diperoleh kemudian
disubstitusikan ke salah satu persamaan dan
memperoleh nilai 𝑠 = 5. Selanjutnya S1
mensubstitusikan nilai 𝑝 = 2 dan nilai 𝑠 = 5 ke
persamaan 3 untuk memperoleh tinggi tower 3. S1
memperoleh tinggi tower 3 sama dengan 9 m. S1
kemudian menyimpulkan bahwa tinggi tower 3 yang
tersusun dari 2 bangun persegi panjang dan 1
bangun segienam adalah 9 m. Proses penyelesaian
S1 ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penyelesaian S1 pada soal matematika PISA
Gambar 2 merupakan penyelesaian yang
dilakukan S1 dalam menentukan solusi permasalah-
an. Pada akhir penyelesaian, S1 mengecek kembali
hasil jawaban yang telah diperoleh dengan
mengamati setiap langkah dalam proses
penyelesaian yang dilakukan. Pengecekan kembali
dilakukan S1 untuk memastikan bahwa proses
penyelesaian sudah benar. S1 kemudian menyimpul-
kan bahwa tinggi tower 3 yang tersusun dari 2
bangun persegi panjang dan 1 bangun segienam
adalah 9 m. S1 lalu meyakini bahwa ia telah
menemukan solusi dari permasalahan yang ada
dalam soal.
Adapun peta kognitif S1 dalam mengerjakan
soal matematika PISA berdasarkan paparan langkah-
langkah penyelesaian yang dilakukan disajikan
dalam Gambar 3.
.
Gambar 3. Peta Kognitif S1 dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA 1
Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 115
Tabel 1. Arti Kode Pada Gambar 3. Kode Arti Kode
P1 Membaca soal dengan seksama
P2 Mencoba memahami masalah yang ada pada soal
P3 Ingin menyelesaikan soal
P4 Membuat model matematika untuk menyederhanakan masalah dalam soal dengan memisalkan
bangun segienam dengan s dan bangun persegi panjang dengan p
P5 Mengubah bentuk tower 1 dalam bentuk persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21
P6 Mengubah bentuk tower 2 dalam bentuk persamaan 3𝑠 + 2𝑝 = 19
P7 Mengubah gambar tower 3 menjadi persamaan 2𝑝 + 𝑠 = … ?
P8 Mengajukan konjektur bahwa dengan melakukan eliminasi pada 2 persamaan dapat diperoleh
tinggi bangun persegi panjang yang dimisalkan dengan 𝑝
P9 Menguji konjektur dengan melakukan eliminasi pada dua persamaan yakni tower 1 dan tower
2 dan memperoleh nilai 𝑝 = 2
P10 mensubstitusikan nilai 𝑝 = 2 ke persamaan 3𝑠 + 3𝑝 = 21 dan memperoleh nilai 𝑠 = 5
P11 Menentukan tinggi tower 3 dengan mensubtitusikan nilai 𝑝 = 2 dan nilai 𝑠 = 5 ke
persamaan 2𝑝 + 𝑠 dan memperoleh nilai 9
P12 Menyimpulkan jawaban akhir yang diperoleh yaitu tower 3 yang tersusun dari 2 bangun
persegi panjang dan 1 bangun segienam tingginya adalah 9 m
P13 Mengecek kembali jawaban yang telah diperoleh
P14 Meyakini telah menemukan solusi dari masalah
Berdasarkan gambar 3 dapat dinyatakan
bahwa rangkaian fase yang dilalui oleh S1 dalam
menyelesaikan soal matematika PISA adalah entry –
attack – review – attack. Dari rangkaian fase yang
dilalui tampak bahwa terjadi proses kembali ke fase
sebelumnya yakni dari fase review ke fase attack.
Terjadinya proses kembali ke fase sebelumnya
disebabkan S1 melakukan pengecekan kembali
jawaban yang telah diperoleh untuk memastikan
bahwa jawaban tersebut sudah benar. Karena
jawaban akhir S1 bernilai benar maka rangkaian fase
yang dilalui oleh S1 mengarahkan S1 menemukan
solusi.
Dari pengamatan terhadap fase entry, terdapat
kegiatan untuk masing-masing aspek yakni know,
want dan introduce. Kegiatan panggilan informasi-
informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang
ada dalam soal pada fase entry mendasari dan
mendukung proses selanjutnya pada fase attack.
Tampak bahwa dalam aspek introduce pada fase
entry terjadi beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan
tersebut merupakan proses spesializing dan
generalizing yang dilakukan S1 dalam menentukan
solusi permasalahan. Dalam proses specializing S1
menyederhanakan permasalahan dengan membuat
model matematika. S1 memisalkan bangun persegi
panjang dengan p dan bangun segienam dengan s.
Selanjutnya S1 membuat generalisasi dengan
mengubah bentuk dari masing-masing tower
kedalam bentuk persamaan linear dua variabel.
Dari pengamatan pada fase attack, terdapat
kegiatan untuk semua aspek dalam fase ini. Tampak
bahwa pada aspek try terdapat 3 kegiatan berupa
pengujian konjektur yang dilakukan oleh S1.
Konjektur diuji oleh S1 dengan menerapkan konsep
eliminasi dan substitusi yang kemudian memperoleh
nilai untuk masing-masing variabel. Dalam aspek
maybe terdapat kegiatan berupa pengajuan konjektur
terkait solusi permasalahan. Untuk aspek why,
kegiatan yang terjadi berupa proses menyimpulkan
jawaban akhir yang diperoleh dan proses meyakini
telah memperoleh solusi dari masalah.
Pada fase review hanya terjadi satu kegiatan.
Kegiatan dalam fase review hanya terjadi pada aspek
check. Kegiatan dalam aspek check berupa proses
pengecekan kembali jawaban yang telah diperoleh.
S1 mengecek kembali jawaban yang diperoleh
dengan mengamati setiap langkah dalam proses
penyelesaian yang dilakukan. Pengecekan kembali
dilakukan oleh S1 untuk memastikan bahwa proses
penyelesaian yang dilakukan sudah benar.
Proses berpikir S2 dalam mengerjakan soal
matematika PISA
Proses berpikir matematis S2 dalam
menyelesaikan soal matematika di paparkan
berdasarkan langkah-langkah penyelesaian yang
dilakukan yang kemudian disajikan dalam bentuk
peta kognitif.
Penyelesaian soal matematika PISA oleh S2
diawali dengan membaca soal dan dilanjutkan
dengan memahami masalah yang ada pada soal.
Adapun bukti wawancaranya sebagai berikut:
P : Apa yang pertama kali kamu lakukan ketika
menyelesaikan soal yang pertama ini ?
S1 : Saya baca dulu soalnya. Setelah itu saya
coba pahami masalahnya..
116, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Proses memahami masalah oleh S2 dilakukan
dengan mengamati gambar yang ada pada soal. Dari
mengamati gambar S2 menyimpulkan bahwa dalam
gambar yang diketahui adalah tinggi tower 1 yaitu
21 m dan tersusun dari 3 bangun persegi panjang
dan 3 bangun segienam. Sedangkan tinggi tower 2
yaitu 19 m dan tersusun dari 3 bangun segienam dan
2 bangun persegi panjang. Kemudian yang
ditanyakan adalah tinggi tower 3 yang tersusun dari
2 bangun persegi panjang dan 1 bangun segienam.
Dari memahami masalah, S1 kemudian
membuat konjektur bahwa permasalahan dapat
diselesaikan menggunakan konsep sistem persamaan
linear dua variabel. Dalam menggunakan konsep
sistem persamaan linear dua variabel, S2
memisalkan bangun segienam dengan 𝑥 dan bangun
persegi panjang dengan 𝑦. Selanjutnya S2 mengubah
bentuk dari masing-masing tower ke dalam
persamaan linear dua variabel. S2 mengubah bentuk
tower 1 dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 . Tower 2 diubah dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19 dan tower yang tingginya merupakan
permasalah dalam soal diubah dalam bentuk 2𝑥 + 𝑦. Adapun bukti pekerjaan S1 ditunjukkan pada
Gambar 4.
Gambar 4. Proses penyederhanaan masalah yang dilakukan S2
Gambar 4 menunjukkan proses penyederha-
naan masalah yang dilakukan S2 pada soal
matematika PISA. Dalam gambar 4, tampak
bahwa S2 menyederhanakan permasalahan
dengan mengubah masalah yang ada pada soal
dalam bentuk matematika formal. Setelah
menyederhanakan permasalahan, langkah
selanjutnya yang dilakukan S2 adalah menentukan
solusi permasalahan. Dalam menentukan solusi
permasalahan, S2 menggunakan konsep eliminasi
dan substitusi yang merupakan bagian dari konsep
sistem persamaan linear dua variabel. Adapun
bukti pekerjaan S2 ditunjukkan pada Gambar 5.
.
Gambar 5. Penyelesaian S2 pada soal matematika PISA
Gambar 5 menunjukkan proses penyelesaian
yang dilakukan S2 dalam menentukan solusi
permasalahan dari soal matematika PISA. Dalam
Gambar 5 tampak bahwa S2 terlebih dulu
melakukan eliminasi pada dua persamaan yang
sebelumnya telah dibuat yaitu persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 dan persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19. Dari
melakukan eliminasi pada dua persamaan, S2
memperoleh nilai 𝑦 = 2 yang kemudian
disubstitusikan pada persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21
dan memperoleh nilai 𝑥 = 5. Nilai 𝑦 = 2 dan 𝑥 = 5
yang telah diperoleh S2 kemudian digunakan untuk
menentukan tinggi tower 3. Dalam menentukan
tinggi tower 3, S2 mensubstitusikan nilai 𝑦 = 2 dan
𝑥 = 5 ke dalam persamaan 2𝑥 + 𝑦 dan
memperoleh nilai 9. Setelah memperoleh tinggi
tower 3 yang merupakan solusi permasalahan, S2
kemudian mengecek ketepatan perhitungan pada
setiap langkah penyelesaian yang telah dilakukan.
Pengecakan ketepatan perhitungan dilakukan untuk
menyakini bahwa tidak terjadi kesalahan
perhitungan ketika menentukan solusi permasalahan.
Setelah mengecek kembali ketepatan perhitungan
yang dilakukan S2 kemudian menyimpulkan dan
menyakini bahwa tinggi tower 3 adalah 9 m.
Adapun peta kognitif S1 dalam
menyelesaiakn soal matematika PISA berdasarkan
paparan langkah-langkah penyelesaian yang
dilakukan disajikan dalam Gambar 6.
Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 117
Gambar 6. Peta Kognitif S2 dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA 1
Tabel 1. Arti Kode Pada Gambar 3
Kode Arti Kode
P1 Membaca soal dengan seksama
P2 Mencoba memahami masalah yang ada pada soal
P3 Ingin menyelesaikan soal
P4 Membuat konjektur berupa dugaan bahwa permasalahan dapat diselesaikan menggunakan
konsep sistem persamaan linear dua variabel.
P5 Menguji konjektur dengan terlebih dulu menyederhanakan permasalahan dengan memisalkan
bangun segienam dengan x dan bangun persegi panjang dengan y
P6 Mengubah bentuk tower 1 dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21
P7 Mengubah bentuk tower 2 dalam bentuk persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19
P8 Mengubah bentuk tower 1 dalam bentuk persamaan 2𝑝 + 𝑠 P9 Melakukan eliminasi pada persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 dengan persamaan 3𝑥 + 2𝑦 = 19 dan
memperoleh nilai 𝑦 = 2
P10 Mensubstitusikan nilai 𝑦 = 2 ke persamaan 3𝑥 + 3𝑦 = 21 dan memperoleh nilai 𝑥 = 5
P11 Mensubtitusikan nilai 𝑦 = 2 dan nilai 𝑥 = 5 ke persamaan 2𝑝 + 𝑠 untuk menentukan tinggi
tower 3
P11 Mengecek kembali ketepatan perhitungan pada setiap langkah penyelesaian yang telah
dilakukan.
P12 Menyimpulkan bahwa tinggi tower 3 adalah 9 m
P13 Meyakini telah menemukan solusi dari masalah
Berdasarkan gambar 6 dapat dinyatakan
bahwa rangkaian fase yang dilalui oleh S2 dalam
menyelesaikan soal matematika PISA adalah entry -
attack - entry - attack - review - attack. Dari
rangkaian fase yang dilalui tampak bahwa terjadi
proses kembali ke fase sebelumnya. Proses kembali
ke fase sebelumnya terjadi pada fase attack ke fase
entry dan fase review ke fase attack. Dalam fase
entry terjadi proses generalizing. Terjadinya proses
generalizing dilakukan S1 dalam aspek introduce.
Proses generalizing dilakukan S1 dengan mengubah
masalah yang pada soal dalam bentuk matematika
formal. S1 mengubah bentuk dari masing-masing
tower yang ada pada soal dalam bentuk persamaan
linear dua variabel. Dalam fase entry juga terjadi
serangkaian kegiatan. Kegiatan dalam fase entry
terjadi pada aspek know dan want. Kegiatan dalam
aspek know didasarkan pada proses memahami
masalah yang dilakukan S2 dengan membaca soal.
Pada aspek want, kegiatan yang terjadi didasarkan
pada proses menentukan solusi permasalahan yang
dilakukan S2 setelah memahami masalah. Pada
aspek introduce, kegiatan yang terjadi didasarkan
pada proses penyederhaan malasah yang dilakukan
dengan mengubah masalah yang ada pada soal
dalam bentuk matematika formal (masalah
matematika).
Dari pengamatan pada fase attack, terdapat
serangkaian kegiatan untuk semua aspek dalam fase
ini. Dalam aspek maybe terjadi proses conjecturing.
S2 menduga bahwa solusi permasalahan dapat
ditentukan dengan menggunakan konsep sistem
persamaan linear dua variabel. Dalam aspek try,
kegiatan yang terjadi berupa pengujian konjektur.
Dalam menguji konjektur S2 melakukan proses
specializing dengan memisalkan bangun segienam
dengan 𝑥 dan bangun persegi panjang dengan 𝑦.
Kegiatan yang juga terjadi dalam aspek try berupa
penggunaan konsep eliminasi dan substitusi untuk
menentukan solusi permasalahan.
Pada fase review hanya terjadi satu kegiatan.
Kegiatan dalam fase review hanya terjadi pada aspek
check. Kegiatan dalam aspek check berupa proses
pengecekan kembali jawaban yang telah diperoleh.
S2 mengecek kembali ketepatan perhitungan pada
setiap langkah penyelesaian yang dilakukan.
118, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Pengecakan ketepatan perhitungan dilakukan untuk
menyakini bahwa tidak terjadi kesalahan
perhitungan ketika menentukan solusi permasalahan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang sebelumnya telah diuraikan, dapat disimpulkan
bahwa terjadinya proses berpikir matematis siswa
dilakukan dari serangkaian fase yang dilalui yang
didalamnya terdapat beberapa aspek yang mencakup
serangkaian kegiatan. Fase yang dilalui siswa dalam
berpikir matematis adalah fase entry, attack dan
review. Dalam fase entry terdapat aspek know, want
dan introduce. Untuk fase attack terdapat aspek try
maybe dan why dan dalam fase review terdapat
aspek check, reflect dan extand.
Dari fase yang dilalui dalam berpikir
matematis mencakup terjadinya proses specializing,
generalizing dan conjecturing. Terjadinya proses
specializing dilakukan dengan memisalkan bangun
yang menyusun setiap tower dalam bentuk variabel.
Generalizing dilakukan dengan mengubah bentuk
dari masing-masing tower ke dalam bentuk
persamaan linear dua variabel. Proses conjecturing
terjadi dari adanya dugaan yang dibuat oleh masing-
masing subjek ketika menentukan solusi
permasalahan.
Rangkaian fase dalam berpikir matematis
yang dilalui oleh masing-masing subjek dalam
menyelesaikan soal matematika PISA adalah entry –
attack – review. Dari rangkaian fase yang dilalui
terjadi proses kembali ke fase sebelumnya yakni dari
fase attack ke fase entry dan fase review ke fase
attack. Terjadinya proses kembali ke fase
sebelumnya disebabkan dari adanya pengecekan
kembali jawaban yang telah diperoleh untuk
memastikan bahwa jawaban tersebut sudah benar.
Dalam fase entry, terdapat kegiatan untuk masing-
masing aspek yakni know, want dan introduce.
Kegiatan panggilan informasi-informasi yang
berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam soal
pada fase entry mendasari dan mendukung proses
selanjutnya pada fase attack. Tampak bahwa dalam
aspek introduce, try dan maybe pada fase entry dan
attack terjadi beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan
yang terjadi merupakan proses spesializing dan
generalizing yang dilakukan oleh masing-masing
subjek dalam menentukan solusi permasalahan.
Untuk aspek why, kegiatan yang terjadi berupa
proses menyimpulkan jawaban akhir yang diperoleh
S1 dan kegiatan meyakini bahwa telah memperoleh
solusi dari permasalahan. Pada fase review hanya
terjadi satu kegiatan yaitu pada aspek check.
Kegiatan dalam aspek check berupa proses
pengecekan kembali jawaban yang telah diperoleh
untuk memastikan tidak terjadi kesalahan dalam
setiap langkah penyelesaian yang dilakukan.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti
menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Terjadinya berpikir matematis yang
digambarkan dalam peta kognitif tidak begitu
menampakkan empat proses dasar dalam
berpikir matematis yaitu specializing,
generalizing conjecturing dan convincing oleh
sebab itu disarankan dalam penelitian
selanjutnya yang meneliti tentang proses
berpikir matematis siswa agar menggunakan
motede yang dapat menggambarkan dengan
jelas terjadinya proses specializing,
generalizing conjecturing dan convincing.
2. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tidak
terdapat empat langkah polya dalam
penyelesaian masalah oleh masing-masing
sebjek oleh sebab itu untuk memperoleh
gambaran proses berpikir matematis siswa
dengan jelas disarankan menggunakan dasar
tinjauan empat langkah penyelesaian masalah
menurut Polya.
DAFTAR RUJUKAN
Breen, S. & O’Shea, A. 2010. Mathematical
Thinking and Task Design. Irish Math. Soc.
Bulletin: 39-49.
Graumann, G. 2011. Mathematics for problem in the
everyday world. In J. Maasz & J. O'Donoghue
(Eds.). Real-world problems for secondary
school mathematics students: case studies (pp.
113-122). Rotterdam: Sense Publishers.
Hayat, B. & Yusuf, S. 2010. Benchmark
Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hayes, J. (1980). The Complete Problem Solver.
Philadelphia, The Franklin Institute.
Jonassen, D. H. (2010). Research issues in problem
solving. The 11th International Conference on
Education Research New Educational
Paradigm for Learning and Instruction
Lange, J. D. 1987. Mathematics, insight and
meaning. Utrecht: OW & OC,
Rijksuniversiteit Utrecht.
. 1990. Mathematics for Literacy.
Quantitative Literacy: Why Numeracy Matters
for Schools and Colleges.
Mason, J., Burton, L., & Stacey, K. (1985). Thinking
mathematically. New York: Prentice Hall
Mason, J. dkk. 2010. Thinking Mathematically.
Second Edition. London: Pearson Education
Limited.
Ikmal, dkk. Proses Berpikir Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika PISA, 119
Mataka, L.M. dkk. 2014. The Effect of Using an
Explicit General Problem Solving Teaching
Approach on Elementary Pre-Service
Teachers’ Ability to Solve Heat Transfer
Problems. International Journal of Education
in Mathematics, Science and Technology. Vol.
2(3): 164-174
Memnun, D. S, dkk. 2012. A Research on the
Mathematical Problem Solving Beliefs of
Mathematics, Science and Elementary Pre-
Service Teachers in Turkey in terms of
Different Variables. International Journal of
Humanities and Social Science. Vol. 2: 172-
184
Metallidou, P. (2009). Pre-service and in-service
teachers’ metacognitive knowledge about
problem-solving strategies. Teaching and
Teacher Education, 25, 76-82
OECD. 2006. Assessing Scientific, Reading and
Mathematical Literacy: A Framework for
PISA 2006. Paris: OECD Publishing
. 2007. Executive Summary PISA 2006:
Science Competencies for Tomorrow’s World.
Paris: OECD Publishing.
Schoenfeld, A. H. (1992a). Comments from the
guest editor. The Journal of the Learning
Sciences. Vol 2: 137-139
Setiawan, dkk. (2014). Soal Matematika dalam PISA
Kaitannya dengan Literasi Matematika dan
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi.
Prosiding Seminar Nasional Matematika.
Silva, E.Y. 2013. Pengembangan Soal Matematika
Model PISA pada Konten Uncertainty untuk
Mengukur Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Sekolah Menengah
Pertama.
Stacey, K. 2010. Mathematical and Scientific
Literacy Around The World. Journal of
Science and Mathematics Education in
Southeast Asia. Vol. 33(1): 1-16.
. 2011. The PISA View of Mathematical
Literacy in Indonesia. Journal on
Mathematics Education. Vol. 2(2): 95-126
. 2014. What Is Mathematical Thinking and
Why Is It Important ?. Journal of
Mathematics Behavior. 39-48
Reif, F. (1981). Teaching problem solving: A
scientific approach. The Physics Teacher, 19,
310-316
Veloo, A. dkk. 2015. Types of Student Errors in
Mathematical Symbols, Graphs and Problem-
Solving. Asian social science. Vol. 11(15):
324-334.
Wong, K.M. 2005. Mathematical Literacy of Hong
Kong’s 15-Year-Old Students in PISA.
Educational Journal. Vol. 31(2): 92-120
120
ANALISIS BERPIKIR PSEUDO SISWA DALAM MENYELESAIKAN
MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT BERDASARKAN AKTIVITAS
PROBLEM SOLVING
Dwi Susanti1; Purwanto2; Erry Hidayanto3
Pascasarjana, Universitas Negeri Malang [email protected],[email protected], [email protected]
Abstract: Mistake thinking pseduo can occur due to a mismatch with the thinking process of students
when solving problems. It is highly detrimental to the student when the student is able to fix the answer
after carry out reflection, because teachers only see students' abilities based on the completion of a given
without knowing their incompatibility with the thinking of students. Therefore, this study aimed to
describe the mistakes thinking pseudo students in problem solving quadratic inequalities. Subjects in this
study were high school students who have studied the quadratic inequalities. Data collection was
performed by the method think out-loud. The result showed that the occurrence of mistake thinking
pseudo students in solving quadratic inequalities by problem solving is as follows. 1) students' mistakes in
making assumptions at the time to understand the problem (understanding the problem), 2) the
incompleteness substructure think the students at the time to understand the problem (understanding the
problem). 3) the incompleteness of the substructure think students in the planning process how settlement
(devise a plan).
Keywords: mistake thinking pseduo, quadratic inequalities.
Abstrak: Kesalahan berpikir pseduo dapat terjadi akibat ketidaksesuaian proses berpikir siswa dengan
jawaban yang ditemukan pada saat menyelesaikan masalah. Hal tersebut sangat merugikan siswa apabila
siswa mampu membenahi jawabannya setelah melakukan refleksi, karena guru hanya melihat
kemampuan siswa berdasarkan penyelesaian yang diberikan tanpa mengetahui adanya ketidaksesuaian
dengan proses berpikir siswa. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya
berpikir pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa SMA yang sudah mempelajari materi pertidaksamaan kuadrat. Pengambilan
data dilakukan dengan metode think out-loud. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terjadinya berpikir
pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan soal pertidaksaman kuadrat berdasarkan pemecahan masalah
adalah sebagai berikut. 1) kesalahan siswa dalam membuat asumsi pada saat memahami masalah
(understanding the problem), 2) Ketidaklengkapan substruktur berpikir siswa pada saat memahami
masalah (understanding the problem). 3) ketidaklengkapan substruktur berpikir siswa dalam proses
merencanakan cara penyelesaian (devise a plan).
Kata Kunci: Pseudo-salah, Pertidaksamaan Kuadrat.
Kesalahan dalam menyelesaikan masalah
matematika sering dilakukan siswa ketika
menyelesaikan soal yang bertipe pemecahan
masalah. Pemecahan masalah (problem solving)
menjadi subjek susbtansial yang banyak diteliti
dalam beberapa dekade terakhir (Pape, 2004; Peled
& Hershkovitz, 2004; Wu & Adams, 2006;
Chapman, 2005). Dari penelitian-penelitian tersebut
diperoleh bahwa pemecahan masalah merupakan
bagian yang penting dalam proses pembelajaran
matematika. Hal ini juga ditegaskan dalam NCTM
(2000) bahwa pemecahan masalah harus menjadi
fokus utama di dalam kurikulum matematika.
Pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat
mengubah pandangan siswa tentang matematika dari
semula berupa pelajaran prosedural menjadi
matematika sebagai proses berpikir (Yudariah dan
Tall, 1994). Lebih lanjut, Yudariah dan Tall
mengatakan bahwa tujuan dari pembelajaran
pemecahan masalah adalah menyediakan siswa
pandangan alternatif tentang matematika sebagai
aktivitas kehidupan. Pemecahan masalah sangat
penting sebagai cara melakukan, belajar, dan
mengajar matematika (Chapman ,2005). Pemecahan
masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran
matematika karena skill tersebut bukan hanya untuk
mempelajari subjek tetapi lebih menekankan pada
perkembangan metode kemampuan berpikir (Pimta,
Tayruakham, & Nuangchalerm, 2009). Dari uraian
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan
Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 121
pemecahan masalah merupakan kemampuan yang
sangat penting dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu
proses berpikir siswa akan dikaji berdasarkan
aktivitas problem soving.
Dalam penelitian yang dilakukan Subanji
(2007), menyatakan bahwa terjadinya kesalahan
berpikir yang tak sebenarnya (pseudo) penalaran
kovariasional diawali dari ketidaksempurnaan proses
asimilasi dan akomodasi yang mengakibatkan
ketidaksempurnaan dalam pembentukan struktur
berpikir. Kesalahan berpikir siswa dapat dilihat
berdasarkan kesesuaian proses berpikirnya dengan
jawaban yang dihasilkan. Jawaban benar belum
tentu dihasilkan dari suatu proses berpikir yang
benar, begitu pula sebaliknya jawaban salah juga
belum tentu dihasilkan dari proses berpikir yang
salah. Hal tersebut dapat terjadi apabila siswa tidak
benar-benar menggunakan pikirannya untuk
memecahkan masalah atau siswa tersebut
mengalami pemecahan masalah-pseudo (Vinner,
1997). Selanjutnya, Subanji menyatakan bahwa
apabila jawaban siswa benar, tetapi tidak dapat
memberikan justifikasi terhadap jawabannya, maka
siswa tersebut dikatakan mengalami berpikir
“pseudo” benar. Dengan kata lain pemahaman siswa
tidak sesuai dengan jawaban benar yang diperoleh
siswa. Apabila jawaban siswa salah, tetapi setelah
dilakukan refleksi siswa dapat membenahi
jawabannya sehingga menjadi jawaban yang benar,
maka siswa dikatakan mengalami berpikir “pseudo”
salah. Hal ini menunjukkan bahwa proses berpikir
siswa pada saat menyelesaikan masalah sebelum
refleksi masih belum sesungguhnya (pseudo).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan
peneliti pada siswa MAN 3 Malang yang pernah
mendapatkan materi pertidaksamaan kuadrat. Ketika
siswa dihadapkan pada soal pertidaksamaan kuadrat,
siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan soal
dengan benar terbukti dari jawaban yang dituliskan
dikertas. Peneliti meminta siswa untuk menjelaskan
bagaimana proses memperoleh jawaban tersebut.
Selanjutnya siswa menjelaskan bahwa untuk
menyelesaikan soal pertidaksamaan kuadrat tersebut,
pertama adalah dengan melakukan perhitungan
aljabar. Kemudian siswa menjelaskan langkah
keduanya adalah melakukan pemfaktoran untuk
mencari titik-titik batas dari pertidaksamaan kuadrat.
Untuk langkah yang terakhir siswa menjelaskan cara
untuk menentukan himpunan selesaian dengan
melakukan uji titik. Dari langkah-langkah jawaban
yang dipaparkan siswa, terlihat bahwa ia telah
memahami masalah dengan baik dan merencanakan
penyelesaian dengan benar. Akan tetapi pada saat
melaksanakan rencana penyelesaian siswa tidak
menyadari adanya kesalahan yang dilakukan,
sehingga siswa menghasilkan jawaban yang salah.
Hal ini menunjukkan bahwa jawaban yang telah
dituliskan siswa belum merepresentasikan
pemahamannya. Siswa mengambil keputusan secara
spontan, tanpa melakukan refleksi secara maksimal,
sehingga jawaban yang dihasilkan salah. Menurut
Vinner (1997) siswa tersebut mengalami berpikir
pseudo, suatu keadaan dimana siswa tidak benar-
benar menggunakan pikirannya untuk
menyelesaikan masalah. Keadaan dimana siswa
tidak dapat memberikan jawaban yang benar
mengakibatkan guru menganggap siswa tidak
mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan
tanpa memandang adanya ketidaksesuaian dengan
proses berpikir.
Beberapa tahun terakhir telah banyak peneliti
yang mengkaji tentang pemahaman siswa dalam
menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. Ureyen,
Mahir dan Ceten, (2006) mengungkapkan kesulitan
siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan
kuadrat terletak pada penentuan solusi. Kesulitan
lain yang dialami siswa yaitu kurangnya pemahaman
pada aritmetika sehinggs melakukan kesalahan pada
prosedur aljabar dan disisi lain tidak adanya makna
menjadi dasar dari kegagalan untuk memahami
konsep dan prosedur aljabar (Blanco & Garrote,
2007). Sedangkan Tsamir dan Bazzini (2004)
menemukan bahwa siswa sekolah menengah atas
berpikir bahwa solusi pertidaksamaan hanyalah satu
nilai meskipun mereka menemukan solusi dalam
bentuk himpunan. Pada penelitian tersebut belum
ada yang mengkaji tentang berpikir-pseudo siswa
dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan
kuadrat. Oleh karena itu penelitian ini akan
mengungkapkan terjadinya berpikir pseudo-salah
siswa dalam menyelesaikan soal pertidaksamaan
kuadrat berdasarkan aktivitas problem solving.
METODE
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif
yang bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya
berpikir pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan
masalah pertidaksamaan kuadrat. Instrumen
penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu
dengan instrumen lembar tugas menyelesaikan
masalah pertidaksamaan kuadrat dan instrumen
pedoman wawancara. Penelitian ini dilaksanakan di
kelas X IPA MAN 3 Malang pada semester genap
tahun 2015/2016 kepada siswa yang “sudah”
mempelajari materi pertidaksamaan kuadrat. Siswa
yang menjadi subjek penelitian adalah siswa yang
sudah mendapatkan materi pertidaksamaan kuadrat.
Subjek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan
sampling purpossive, yang diambil dengan
mempertimbangkan kemampuan komunikasinya
agar pengungkapan proses berpikir dapat dilakukan
dengan baik. Peneliti mengambil 3 siswa sebagai
subjek penelitian yang berdasarkan tingkat
122, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
kemampuan siswa (rendah, sedang, dan tinggi).
Penentuan subjek seperti ini diharapkan masing-
masing subjek dapat mewakili dan menggambarkan
kondisi yang sebenarnya di lapangan. Penetapan
kategori kemampuan matematika siswa didasarkan
pada hasil belajar matematika siswa dan berdasarkan
masukan dari guru mata pelajaran matematika.
Pada proses pemilihan subjek, siswa diminta
untuk menyelesaikan soal pertidaksamaan kuadrat
dan mengungkapkan dengan keras apa yang sedang
dipikirkan (think out loud). Selanjutnya dari jawaban
siswa dikelompokkan menjadi jawaban salah dan
jawaban benar. Siswa yang memiliki jawaban salah
akan dipertimbangkan menjadi subjek penelitian,
karena tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan
terjadinya berpikir pseudo-salah. Akhir penetuan
subjek yang dipilih yaitu siswa yang memiliki
jawaban salah, akan tetapi setelah melakukan
refleksi siswa mampu memberikan jawaban yang
benar.
HASIL
Penelitian ini mendeskripsikan terjadi berpikir
pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan masalah
pertidaksamaan kuadrat. Untuk itu dipaparkan 3
subjek penelitian dengan karakteristik yang berbeda,
yaitu subjek 1 (S1) adalah siswa yang
berkemampuan rendah, subjek 2 (S2) siswa yang
berkemampuan sedang, dan subjek 3 (S3) siswa
yang berkemampuan tinggi. Deskripsi struktur
berpikir masing-masing siswa yang dibandingkan
dengan struktur masalah pertidaksamaan kuadrat.
Deskripsi Proses Berpikir Pseudo S1 dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat
Diagram 1. Struktur Masalah dan Struktur Berpikir S1 dalam Menyelesaikan Masalah
Pertidaksamaan Kuadrat
Diagram 1 menunjukkan struktur masalah
pertidaksamaan kuadrat yang dibuat peneliti dan
struktur berpikir yang dibuat oleh S1. Garis putus-
putus menunjukkan terjadinya berpikir pseudo-salah
S1. Garis putus-putus pada gambar 1 juga
menunjukkan konsep-konsep yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah belum terhubung dengan
baik.
Pada saat menyelesaikan masalah
pertidaksamaan kuadrat, S1 telah mengenal dan
memahami masalah. Meskipun S1 tidak menuliskan
yang diketahui dan yang ditanyakan, tetapi
pemahaman masalah yang dilakukan S1 dapat
diketahui dari gambar yang dibuatnya. S1
mengetahui ukuran tinggi kotak sama dengan ukuran
potongan setiap sudut karton. S1 juga mengetahui
panjang dan lebar kotak adalah sama berdasarkan
potongan sudut karton yang sama-sama dipotong 8
cm. Akan tetapi, dalam memahami yang diketahui,
yaitu pernyataan ‘volume minimal kotak’ , S1
menginterpretasikannya ke dalam bentuk persamaan
kuadrat.
Dalam merencanakan cara penyelesaian, S1
mengungkapkan bahwa langkah pertama yang harus
dilakukan adalah mencari volume balok terlebih
dahulu. Selanjutnya S1 memulai dengan
merencanakan mencari model matematika dari
volume minimal dan informasi panjang, lebar serta
tinggi kotak yang telah dipahaminya.
Pada saat melaksanakan rencana
penyelesaian, Pertama melalui asumsi bahwa
volume yang terbentuk berupa persamaan kuadrat,
S1 mensubstitusikan pemisalan p dan tinggi kotak
yang berukuran 4 cm ke persamaan volume sehingga
Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 123
diperoleh 4
5762 p . Selanjutnya, S1 melakukan
perhitungan aljabar berdasarakan langkah-langkah
penyelesaian persamaan kuadrat, dan memperoleh
selesaian p = ± 12 cm. Dalam hal ini S1 memahami
bahwa nilai panjang tidak berlaku negatif, jadi S1
memilih selesaian 12p
. Kemudian S1
menghubungkan selesaian tersebut dengan panjang
karton minimal sebelum dipotong, yaitu dengan
menambahkan potongan setiap dua sudut karton
yang berjumlah 8 cm pada selesaian yang diperoleh,
sehingga mendapatkan panjang kotak minimal
adalah 20 cm. Akan tetapi setelah memperoleh
jawaban 20 cm, S1 menuliskan himpunan selesaian
dengan menghubungkan panjang minimal kotak
yang diperoleh dengan pernyataan ‘volume minimal
kotak’ yang diketahui. Selanjutnya pada akhir
jawaban, S1 menuliskan panjang karton sebelum
dipotong harus lebih dari sama dengan 20 cm.
Kesimpulan yang dituliskan S1 tersebut memiliki
arti bahwa jawaban yang dituliskan lebih dari satu
nilai.
Pada tahap pengecekan kembali (refleksi), S1
melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban
akhir yang ditemukan, tetapi tidak melakukan
refleksi terhadap proses penyelesaian yang
dilakukan dan kesalahan asumsi yang dibuat pada
saat memahami masalah.
Deskripsi Proses Berpikir Pseudo S2 dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat
Diagram 2. Struktur Masalah dan Struktur Berpikir S2 dalam Menyelesaikan Masalah
Pertidaksamaan Kuadrat
Diagram 2 menunjukkan struktur masalah
pertidaksamaan kuadrat yang dibuat peneliti dan
struktur berpikir yang dibuat oleh S2. Garis putus-
putus menunjukkan terjadinya berpikir pseudo-salah
S2. Garis putus-putus pada gambar 2 juga
menunjukkan konsep-konsep yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah belum terhubung dengan
baik.
Pada saat menyelesaikan masalah
pertidaksamaan kuadrat, S2 telah mengenal masalah,
dan mengenal strategi pemecahannya. S2 telah
mengetahui bahwa kotak yang akan terbentuk
berbentuk balok. Selanjutnya S2 juga telah
mengetahui bahwa pemotongan setiap sudut karton
merupakan tinggi kotak yang terbentuk yang
berukuran 4 cm. S2 juga mengetahui hubungan
antara panjang dan lebar kotak yang dibentuk adalah
sama. Hal tersebut terlihat dari variabel x yang
digunakan S2 untuk menyatakan panjang dan lebar
karton.
Pada saat proses merencanakan cara
penyelesaian, S2 tidak menyadari perencanaan yang
dibuat, akan tetapi S2 mampu mengungkapkan
sebagian rencana yang tidak disadari. S2
merencanakan cara penyelesaian dengan
menghubungkan syarat volume minimal dengan
panjang, lebar dan tinggi kotak untuk memperoleh
bentuk pertidaksamaan kuadrat.
Pada saat melaksanakan rencana
penyelesaian, pertama S2 mensubstitusikan variabel
124, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
x yang mewakili panjang dan lebar serta tinggi kotak
yang berukuran 4 cm ke dalam pertidaksamaan
volume kotak, sehingga diperoleh model
5764 xx . Perbedaan mendasar pada proses
pelaksanaan rencana penyelesaian S1 dan S2 yaitu,
S2 telah mampu memahami dan menuliskan makna
‘volume minimal kotak’ sehingga mendapatkan
model pertidaksamaan kuadrat. Kemudian S2
melakukan operasi aljabar sehingga diperoleh
bentuk 05764 2 x . Untuk menyelesaikan
pertidaksamaan kuadrat tersebut, S2 merencanakan
untuk menentukan titik batas dengan cara
melakukan pemfaktoran. Berdasarkan pemfaktoran
yang dilakukan, S2 memperoleh hasil
0)242)(242( xx . Selanjutnya S2 membuat
garis bilangan untuk memperoleh himpunan
selesaian. Akan tetapi S2 tidak menuliskan secara
rinci proses dalam memilih daerah yang diarsir yang
merupakan himpunan selesaian. Meskipun S2 tidak
dapat mengungkapkan secara jelas langkah-langkah
penyelesaian yang dilakukan, Tetapi S2 dapat
menentukan himpunan selesaian dengan benar
Pada tahap pengecekan kembali (atau
refleksi), S2 menyatakan tidak melakukan
pengecekan kembali terhadap jawaban yang
diperoleh.
Deskripsi Proses Berpikir Pseudo S3 dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat
Diagram 3. Struktur Masalah dan Struktur Berpikir S3 dalam Menyelesaikan Masalah
Pertidaksamaan Kuadrat
Diagram 3 menunjukkan struktur masalah
pertidaksamaan kuadrat yang dibuat peneliti dan
struktur berpikir yang dibuat oleh S3. Garis putus-
putus menunjukkan terjadinya berpikir pseudo-salah
S3. Garis putus-putus pada gambar 3 juga
menunjukkan konsep-konsep yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah belum terhubung dengan
baik.
Pada saat menyelesaikan masalah
pertidaksamaan kuadrat, S3 tidak menuliskan hal
yang diketahui dan juga yang ditanyakan, tetapi dari
gambar yang dibuat oleh S3 menunjukkan bahwa
telah terjadi proses pemahaman masalah. S3
menggambar hasil pemotongan karton sebagai
persegi dengan panjang sisi 8x , dengan
mengabaikan seluruh sisi yang merupakan sisa dari
pemotongan setiap sudut karton. S3 menganggap
bangun yang terbetuk berupa kubus dengan panjang
sisinya 8x . Selanjutnya S3 telah mengetahui
bahwa panjang dan lebar kotak yang terbentuk
berukuran sama. Akan tetapi S3 belum
menghubungkan antara pemotongan setiap sudut
karton yang berbentuk persegi yang berukuran 4 cm
dengan tinggi kotak yang akan terbentuk. Sehingga
S3 secara spontan menganggap tinggi kotak sama
dengan panjang dan lebar kotak. Persamaan proses
pemahaman yang dilakukan S3 dan S1 yaitu, S3
juga melakukan kesalahan dengan menginterpretasi-
Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 125
kan ‘volume minimal kotak’ menjadi bentuk
persamaan kuadrat.
Dalam merencanakan cara penyelesaian, S3
tidak menyadari perencanaan yang dibuat akan
tetapi S3 mampu mengungkapkan sebagian rencana
yang tidak disadari. Awalnya S3 secara spontan
merencanakan untuk menetukan luas permuakaan
kubus. Akan tetapi setelah menyadari kesalahan
yang dibuat dengan melakukan refleksi, S3
merencanakan untuk menentukan model dari
informasi volume yang diketahui.
Pada saat melaksanakan rencana
penyelesaian, pertama S3 menganggap bahwa untuk
menentukan model matematika dari permasalahan
tersebut dengan menggunakan luas permukaan
kubus, sehingga diperoleh 2)8(5 xL . Akan
tetapi setelah melakukan perhitungan aljabar, S3
baru menyadari kesalahan yang dilakukan dalam
merencanakan penyelesaian. S3 menyadari bahwa
terdapat informasi yaitu ‘volume minimal kotak’
yang belum digunakan dalam merencanakan cara
penyelesaian. Selanjutnya S3 menggunakan
informasi volume tersebut untuk menentukan model
matematikanya. Ketika menyadari kesalahan yang
dilakukan, S3 melaksanakan rencana penyelesaian
dengan mensubstitusikan variabel panjang, lebar dan
tinggi kotak ke persamaan volume kotak, sehingga
memperoleh 3)8(576 x . Kesalahan yang
dilakukan S3 sama dengan S1 yaitu tidak dapat
merepresentasikan pernyataan ‘volume minimal’
secara tepat, sehingga model yang diperoleh berupa
persamaan kuadrat. S3 juga melakukan kesalahan
perhitungan aljabar tanpa disadarinya. Karena
kesalahan tersebut, mengakibatkan terputusnya
penyelesaian masalah yang dilakukan S3 sebelum
mendapatkan hasil akhir.
Pada tahap pengecekan kembali (atau
refleksi), S3 melakukan pengecekan kembali hanya
ketika menentukan model matematika. Selain itu S3
tidak melakukan refleksi terhadap proses
penyelesaian yang dilakukan dan kesalahan asumsi
yang dibuat.
PEMBAHASAN
Pembahasan tentang proses berpikir siswa
dalam menyelesaikan persamaan kuadrat meng-
gunakan empat langkah pemecahan masalah ber-
dasarkan Polya (2004), yaitu: memahami masalah,
merencanakan cara penyelesaian, melaksanakan
rencana, dan melakukan pengecekan kembali.
S1 merupakan siswa yang berkemampuan
tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, S1 mampu
menceritakan kembali apa yang diketahui dan
ditanyakan. Hanya saja pada bagian yang diketahui,
S1 melakukan kesalahan dalam menginterpretasikan
pernyataan ‘volume minimal kotak’ menjadi sebuah
persamaan kuadrat. Menurut Subanji (2007)
kejadian yang dialami S1 merupakan karakteristik
berpikir pseudo, karena bekerja secara spontan tanpa
melihat kebermaknaan masalah. Dalam tahap ini
Menurut Polya (2004), S1 sedang berada pada tahap
“understanding the problem” atau memahami
masalah. Pada tahap ini, S1 mengawali dengan
kesalahan asumsi yang yang dilakukan. Pada saat
merencanakan cara penyelesaian, S1 tidak
mengungkapkan rencana penyelesaian secara
lengkap. Menurut Polya (2004), S1 melakukan tahap
“devise a plan” atau merencanakan cara
penyelesaian. Pada tahap ini, diawali dengan
ketidaklengkapan rencana yang dibuat oleh S1.
Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, S1
mampu memperoleh model matematika dengan cara
substitusi. Akan tetapi karena diawali kesalahan
asumsi, sehingga S1 memperoleh jawaban yang
salah. Menurut Vinner (1997) S1 sedang mengalami
berpikir pseudo, karena S1 tidak benar-benar
melakukan kontrol terhadap apa yang ia pikirkan
sehingga menemukan hasil yang salah. Dalam hal
ini menurut Polya (2004), S1 telah melakukan tahap
“carry out the plan” atau melaksanakan rencana. S1
melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban
yang diperoleh akan tetapi tidak pada proses yang
dilakukan. S1 mencoba kembali untuk
menghubungkan selesaian yang diperoleh dengan
informasi pada masalah. Hal ini menunjukkan
pemahaman S1 pada masalah sudah mengarah pada
jawaban benar, hanya saja proses penyelesaiannya
salah dan tidak terurut secara lengkap. Dalam tahap
ini menurut Polya (2004), S1 telah melakukan tahap
“look back” atau melakukan refleksi terhadap
jawaban yang diperoleh.
S2 merupakan siswa yang berkemampuan
sedang. Pada saat memahami masalah S2 mampu
menceritakan kembali apa yang diketahui dan
ditanyakan pada masalah. Dalam tahap ini Menurut
Polya (2004), S2 telah melakukan tahap
“understanding the problem” atau memahami
masalah. Pada saat merencanakan cara penyelesaian,
S2 tidak menyadari perencanaan yang dibuat, namun
S2 mampu mengungkapkan rencana yaitu harus
menggunakan bentuk pertidaksamaan kuadrat untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Hanya saja S2
tidak melakukan rencanaan penyelesaian untuk
menghubungkan selesaian dengan hal yang
ditanyakan. Menurut Polya (2004), S2 melakukan
tahap “devise a plan” atau merencanakan cara
penyelesaian. Proses merencanakan cara
penyelesaian yang dilakukan oleh S2 diawali dengan
ketidaklengkapan rencana yang dibuat oleh S2. Pada
saat melaksanakan rencana penyelesaian, S2 mampu
memperoleh model matematika dengan
mensubstitusikan pemisalan panjang, lebar dan
126, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
tinggi kotak ke pertidaksamaan volume kotak.
Proses penyelesaian yang dilakukan S2 telah sesuai
dengan struktur masalah yang dibuat oleh peneliti,
yaitu berdasarkan penyelesaian pertidaksamaan
kuadrat. Namun pada saat menentukan himpunan
selesaian yang memenuhi, S2 langsung mengambil
kesimpulan himpunan selesaian tersebuat sebagai
akhir jawaban. Dalam hal ini, Menurut Subanji
(2007) kejadian yang dialami S2 merupakan
karakteristik berpikir pseudo, karena bekerja secara
spontan tanpa melihat kebermaknaan masalah.
Menurut Polya (2004) S2 telah melakukan tahap
“carry out the plan” atau melaksanakan rencana.
Dalam proses melaksanakan rencana penyelesaian
yang dilakukan oleh S2 diawali dengan kesalahan
asumsi yang dilakukan. S2 menyatakan belum
melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban
yang diperoleh dan hal ini menyebabkan S2 tetap
pada jawaban yang salah. Menurut Vinner (1997)
siswa seperti ini merupakan siswa yang sedang
mengalami berpikir pseudo karena tidak melakukan
refleksi terhadap apa yang dia kerjakan.
S3 merupakan siswa yang berkemampuan
rendah. Dalam proses memahami masalah S3
mampu menceritakan kembali apa yang diketahui
dan ditanyakan. Hanya saja pada bagian yang
diketahui, S3 melakukan kesalahan dalam
menginterpretasikan pernyataan, pertama S3
menganggap bahwa tinggi kotak adalah sama
dengan panjang dan lebar kotak dan kedua S3
menganggap bahwa persamaan kuadrat sebagai
representasi dari pernyataan ‘volume minimal
kotak’. Menurut Subanji (2007) kejadian yang
dialami S3 merupakan karakteristik berpikir pseudo,
karena bekerja secara spontan tanpa melihat
kebermaknaan masalah yang dihadapi. Dalam tahap
ini Menurut Polya (2004), S3 sedang berada pada
tahap “understanding the problem” atau memahami
masalah. Dalam proses memahami masalah yang
dilakukan S3 diawali dengan kesalahan asumsi dan
ketidaklengkapan informasi yang dipahami. Pada
saat merencanakan cara penyelesaian, S3 tidak
menyadari perencanaan yang dibuat. Akan tetapi S3
mampu mengungkapkan sebagian rencana yang
tidak disadari. S3 hanya mengungkapkan langkah
awal yang perlu dilakukan yaitu menentukan
pertidaksamaan dari apa yang diketahui. Menurut
Polya (2004), S3 melakukan tahap “devise a plan”
atau merencanakan cara penyelesaian. Pada proses
merencanakan cara penyelesaian yang dilakukan
oleh S3 diawali dengan ketidaksadaran dan
ketidaklengkapan rencana yang dibuat S3.
Selanjutnya dengan refleksi diri yang dilakukan
melalui peta kognitif, S3 mampu membuat rencana
dengan lengkap. Pada saat melaksanakan rencana
penyelesaian, pelaksanaan yang dilakukan S3 tidak
sesuai dengan apa yang diungkapkan. Awalnya S3
melakukan kesalahan dengan menetukan luas
permukaan kotak, S3 berasumsi bahwa untuk
memperoleh pertidaksamaan dengan menggunakan
luas permukaan kotak. Dalam hal ini S3 melewatkan
informasi mengenai ‘volume minimal’ pada proses
memahami masalah. Setelah melakukan refleksi, S3
menyadari kesalahan yang dilakukan, sehingga S3
menggunakan informasi ‘volume minimal’. Akan
tetapi karena kesalahan asumsi pada saat proses
memahami masalah, sehingga model yang diperoleh
S3 berupa persamaan kuadrat. Menurut Vinner
(1997) S3 sedang mengalami berpikir pseudo,
karena S3 tidak benar-benar melakukan kontrol
terhadap apa yang ia pikirkan sehingga menemukan
hasil yang salah. S3 tampak melakukan pengecekan
kembali terhadap jawaban yang diperoleh. Akan
tetapi S3 hanya melakukan pengecekan pada
sebagian jawaban yang diperolehnya, sehingga S3
menyadari kesalahan asumsi yang dilakukan yaitu
menggunakan luas permukaan untuk menetukan
model matematika. Dalam hal ini menurut Polya
(2004), S3 telah melakukan tahap “look back” atau
melakukan refleksi terhadap jawaban yang
diperoleh.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa terjadinya berpikir
pseudo-salah siswa dalam menyelesaikan masalah
pertidaksamaan kuadrat berdasarkan tahap
pemecahan masalah diawali dengan kesalahan siswa
dalam membuat asumsi pada saat memahami
masalah (understanding the problem). Kesalahan
asumsi yang dibuat terjadi akibat cara berpikir siswa
yang spontan tanpa melihat kebermaknaan masalah
yang dihadapi. Terjadinya berpikir pseudo yang
kedua karena ketidaklengkapan substruktur berpikir
siswa pada saat memahami masalah (understanding
the problem). Ketidaklengkapan substruktur berpikir
siswa terjadi akibat adanya informasi yang
terlewatkan atau tidak digunakan pada saat
memahami masalah. Kesalahan asumsi pada saat
memahami masalah dan ketidaklengakpan
substruktur berpikir pada saat memahami masalah
mengakibatkan siswa memperoleh jawaban salah
pada saat melakukan proses melaksanakan rencana
(carry out the problem). Terjadi berpikir pseudo
yang ketiga karena ketidaklengkapan substruktur
berpikir siswa dalam proses merencanakan cara
penyelesaian (devise a plan). Ketidaklengkapan
substruktur berpikir siswa terjadi akibat kesalahan
dalam memahami masalah.
Saran
Dari hasil penelitian ini, bagi peneliti, guru,
dan pemerhati proses pembelajaran perlu untuk
Susanti, dkk. Analisis Berpikir Pseudo Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan…, 127
memahami proses berpikir siswa dalam
menyelesaikan masalah, sehingga dapat memberikan
perlakuan yang diperlukan siswa untuk
meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan
masalah.
DAFTAR RUJUKAN
Blanco, J. Lorenzo dan Garrote, Manuel. 2007.
Difficulties in Learning Inequalities in
Students of the First Year of Pre-University
Education in Spain. Eurasia Journal of
Mathematics, Science & Technology
Education, 2007, 3(3), 221-229.
Chapman, O. 2005. Constructing Pedagogical
Knowledge of Problem Solving: Preservice
Mathematics Teachers. Proceedings of the
29th Converence of the International Group
for the Psychology of Mathematics education,
2: 225-232. Melbourne: PME.
Subanji. 2007. Proses Berpikir Penalaran
Kovariasional Pseudo dalam
Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian
Dinamik Berkebalikan. Disertasi tidak
diterbitkan. Universitas Negeri Surabaya.
Jupri, A.; Drijvers, P.H.M.; Heuvel-Panhuizen,
M.H.A.M. van den. 2012. Investigating
Indonesian students’ difficulties in initial
algebra . Utrecht University Repository
(Conference lecture).
National Council of Teachers of Mathematics
(2000). Principles and Standards for
Schools Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Pape, S.J. 2004. Middle School children’s Problem
Solving Behaviour: A Cognitive Analysis
from a reading Comprehension Perspective.
Journal for Research in Mathematic
Education, 35(3): 187-219.
Peled, I. & Hershkovitz, S. 2004. Evolving
Research of Mathematics Teacher
Educators: The Case of Non-Standard Issues
in Solving Standard Problems. Journal of
Mathematics Teacher Education, 7: 299-
327.
Pimta, S.,Tayruakham, S., & Nuangchalerm, P.
2009. Factors Influencing Mathematic
Problem-Solving Ability of Sixth Grade
Students. Journal of Social Sciences, 5(4):
381-385.
Tsamir, P., & Bazzini, L. (2004). Consistencies
and inconsistencies in student’s solution to
algebraic ‘singlevalue’ inequalities.
Mathematics Education Science
Technology, 35(6), 793-812.
Ureyen, M., Mahir, N. dan Cetin, N. 2006. The
Mistakes Made by the Students Taking a
Calculus Course in Solving Inequalities.
International Journal for Mathematics
Teaching and Learning ISSN 1473 –
0111(November, 2006).Turkey: Department
of Mathematics, Anadolu University,
Eskisehir.
Vinner,S.1997. The Pseudo-Conceptual And The
Pseudo-Analytical Thought Processes In
Mathematics Learning. Educational Studies
in Mathematics 34, pp. 97-129.
Wu, M. dan Adams, R. 2006. Modelling
Mathematics Problem Solving Item
Responses Using Multidimensional IRT
Model. Mathematics Education Research
Journal, 18 (2): 93 -113.
Yudariah & Tall, D. 1994. Changing Attitudes to
Mathematics through Problem Solving. Proceedings
of the Eighteenth Conference for the Psychology of
Mathematics Education, Lisbon, Portugal, IV, 401–
408.
128
DEFRAGMENTING STRUKTUR BERPIKIR UNTUK MEMPERBAIKI
KESALAHAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH
PERSAMAAN KUADRAT
1Tyas Pramukti Kirnasari, 2A. R. As’ari, 3Santi Irawati
1,2,3Universitas Negeri Malang
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract. Defragmenting of thinking structure is a rearrangement of student’s thinking structure to be a
complete thinking structure. The aim of this research is to describe defragmenting of thinking structure
that can improve student’s mistakes in solving quadratic equation problems. This research is a
descriptive qualitative research which involving three students grade XI at SMAN 6 Malang that having
mistakes in solving quadratic equation problems. The research results show that student’s mistakes which
are analyzed by Polya’s problem solving are: (1) understanding problems, (2) planning strategies of
solution, (30 doing the planning of solution, and (4) rechecking. Student’s mistakes in determining
quadratic equation are caused by numbers in that quadratic equation problem is too large, strategies
those are implemented in determining factors of the quadratic equation is is just trial and error, and
formulas those are used by students are not correct. Defragmenting of thinking structure is implemented
through scaffolding, conflict cognitive and disequlibration.
Keywords: defragmenting, thinking structure, student’s mistake, quadratic equation problems.
Abstrak: Defragmenting struktur berpikir merupakan penataan ulang struktur berpikir siswa menjadi
struktur berpikir yang lengkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan defragmenting
struktur berpikir yang dapat memperbaiki kesalahan siswa dalam memecahkan masalah persamaan
kuadrat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 3 siswa kelas
XI MIPA SMA Negeri 6 Malang yang mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah persamaan
kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesalahan yang dialami siswa berdasarkan langkah
pemecahan masalah polya adalah: (1) memahami masalah, (2) merencanakan strategi penyelesaian, (3)
melaksanakan rencana penyelesaian dan 4) mengecek kembali. Kesalahan siswa dalam menentukan
persamaan kuadrat dikarenakan bilangan yang terdapat pada persamaan kuadrat terlalu besar, cara yang
digunakan dalam menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat adalah cara coba-coba serta rumus yang
digunakan siswa untuk menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat kurang tepat. Defragmenting
struktur berpikir dilakukan dengan scaffolding, conflict cognitive dan disequlibrasi.
Kata kunci: defragmenting, struktur berpikir, kesalahan siswa, masalah persamaan kuadrat.
Pemecahan masalah sangat penting sebagai
cara melakukan, belajar dan mengajar matematika
(Chapman, 2005). Dalam pembelajaran matematika,
pemecahan masalah adalah suatu hasil yang ingin
dicapai dan merupakan kemampuan yang
diharapkan dapat diperoleh oleh siswa. Pemecahan
masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran
matematika karena skill tersebut bukan hanya untuk
mempelajari subjek tetapi lebih menekankan pada
perkembangan metode kemampuan berpikir (Pimta,
dkk, 2009). Pemecahan masalah dapat memberikan
siswa kesempatan untuk mempelajari konsep-konsep
baru dan kesempatan untuk menerapkan
keterampilan yang telah dipelajari (Chapman, 2005).
Dalam memecahkan masalah matematika perlu
adanya strategi penyelesaian masalah. Menurut
Polya (Yuan, 2013) terdapat strategi penyelesaian
masalah yang bersifat umum yang terdiri dari empat
langkah, antara lain: (1) memahami masalah, (2)
merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan
rencana penyelesaian, dan (4) memeriksa kembali
prosedur dan hasil penyelesaian. Dengan menuliskan
strategi penyelesaian masalah siswa mampu
mengorganisasikan pemikiran mereka serta dapat
mengumpulkan, menganalisa dan menginterpretasi
data (Bicer, dkk, 2013). Namun pada kenyataannya,
kemampuan pemecahan masalah siswa di Indonesia
dapat dikategorikan masih rendah bila melihat
peringkat Indonesia pada PISA (Programme for
International Student Assessment). Indonesia pada
PISA 2009 menduduki peringkat 61 dari 65 negara
peserta. Sedangkan pada PISA 2012 berada pada
peringkat dua dari bawah dari 65 negara peserta
(OECD, 2013). Kurangnya kemampuan pemecahan
siswa dapat dilihat dari bagaimana siswa mengalami
kesalahan dalam memilih operasi yang digunakan
dalam menyelesaikan suatu masalah (Cullaste,
2011). Siswa mampu mengerjakan masalah
Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 129
matematika yang berhubungan langsung dengan
konsep matematika tetapi siswa mengalami kesulitan
ketika berhadapan dengan masalah yang ber-
hubungan dengan kehidupan sehari-hari (Yuan,
2013). Menurut Menganti (2015), kesulitan siswa
dalam memecahkan masalah matematika seringkali
tercermin dalam bentuk kesalahan matematika.
Dalam penelitian ini, persamaan kuadrat
dipilih sebagai konsep yang dikaji karena
penerapannya banyak dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari, berkaitan dengan topik matematika dan
ilmu pengetahuan yang lain. Persamaan kuadrat
dalam kurikulum 2013 merupakan salah satu materi
wajib yang dipelajari di SMA/MA untuk kelas X
semester genap. Beberapa kompetensi dasar materi
persamaan kuadrat sangat erat kaitannya dengan
pemecahan masalah, yaitu: (1) memahami persama-
an dan fungsi kuadrat, memilih strategi dan me-
nerapkan untuk menyelesaikan persamaan kuadrat
serta memeriksa kebenaran jawabannya dan (2)
menganalisis persamaan kuadrat dari data terkait
masalah nyata dan menentukan model matematika
berupa persamaan kuadrat dan fungsi kuadrat.
Melalui kompetensi dasar tersebut diharapkan siswa
mampu menggunakan konsep dan prinsip persamaan
kuadrat dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru
matematika di SMAN 6 Malang, diperoleh informasi
bahwa dalam pembelajaran matematika guru sering
memberikan tugas berupa pemecahan masalah,
termasuk dalam materi persamaan kuadrat. Namun
pada kenyataannya siswa masih mengalami
kesalahan dalam memecahkan masalah berkaitan
dengan materi persamaan kuadarat. Untuk
menguatkan pernyataan tersebut peneliti melakukan
uji pendahuluan. Berdasarkan uji pendahuluan di
kelas X MIA yang telah menerima materi persamaan
kuadrat diperoleh hasil bahwa masih terdapat siswa
yang mengalami kesalahan dalam memecahkan
masalah persamaan kuadrat. Dari beberapa hasil
jawaban siswa pada uji pendahuluan diketahui
bahwa siswa masih mengalami kesalahan dalam
memecahkan masalah persamaan kuadrat.
Diantaranya adalah kesalahan dalam membuat
model matematika yang sesuai dengan masalah,
menyelesaikan model matematika yang telah dibuat,
serta tidak mengecek kembali jawaban yang telah
diperolehnya. Selain itu siswa masih belum dapat
mengaitkan dengan baik konsep-konsep yang telah
mereka pelajari untuk memecahkan masalah
persamaan kuadrat. Kesalahan-kesalahan siswa
dalam memecahkan masalah persamaan kuadrat
perlu mendapat perhatian. Karena apabila tidak
segera diatasi kesalahan tersebut akan berdampak
secara beruntun ke masalah matematika berikutnya.
Kesalahan-kesalahan siswa dalam memecah-
kan masalah persamaan kuadrat berhubungan
dengan struktur berpikir siswa dalam memecahkan
masalah. Kesalahan yang dilakukan siswa menun-
jukkan bahwa siswa masih belum mampu
mengaitkan pengetahuan yang mereka miliki untuk
memecahkan masalah perrsamaan kuadrat. Hal
tersebut dikarenakan belum adanya kesesuaian
antara struktur berpikir siswa dengan masalah yang
diberikan. Struktur berpikir merupakan struktur
kognitif yang terbentuk ketika siswa menyelesaikan
suatu permasalahan (Barnard & Tall, 1997). Untuk
memperbaiki kesalahan tersebut perlu dilakukan
defragmenting struktur berpikir siswa dalam
memecahkan masalah persamaan kuadrat.
Defragmenting didefinisikan sebagai restrukturisasi
berpikir pada individu. Restrukturisasi struktur
berpikir merupakan teknik yang sering digunakan
untuk mengubah pola pikir yang kurang adaptif pada
individu (Maag, 2004). Dalam restrukturisasi proses
berpikir individu diajarkan untuk mengubah
kesalahan berpikir sehingga menjadi lebih realistis.
Dengan melakukan defragmenting diharapkan siswa
tidak mengalami kesalahan dalam setiap proses
memecahkan masalah. Restrukturisasi pengetahuan
yang telah terpecah-pecah dapat meningkatkan
kinerja siswa dalam menyerap setiap konsep yang
diberikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Agustinsa (2014), dijelaskan bahwa efektifitas
defragmenting yang dilakukan dapat ditunjukkan
dengan: 1) siswa mampu mengingat, menjelaskan,
dan memahami materi atau konsep yang diperlukan
untuk memecahkan masalah, 2) siswa mampu
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat dan
memberikan jawaban yang benar. Defragmenting
selain dapat memperbaiki kesalahan siswa, juga
dapat merestrukturisasi proses berpikir siswa
menjadi proses berpikir yang benar. Selain itu
menurut Sakif (2014) dalam penelitiannya, struktur
berpikir siswa sebelum dan sesudah proses
defragmenting mengalami perubahan yakni yang
awalnya kurang lengkap dan tidak sesuai dengan
struktur masalah setelah didefrag, struktur
berpikirnya sudah sesuai dengan struktur masalah.
Efektivitas defragmenting yang dilakukan peneliti
terbukti dapat menata dan memperbaiki proses
berpikir siswa yang awalnya salah menjadi proses
berpikir yang benar.
Defragmenting struktur berpikir dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua
langkah yang diungkapkan oleh McKay & Fanning,
(2000), yaitu: 1) identifikasi kesalahan berpikir dan
2) menata ulang pikiran yang salah menjadi benar.
Dalam penelitian ini, langkah identifikasi kesalahan
berpikir dilakukan dengan membandingkan struktur
berpikir subjek penelitian dengan struktur masalah
yang telah dibuat oleh peneliti. Struktur berpikir
siswa dibuat oleh peneliti dengan melihat hasil
130. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
wawancara terhadap subjek penelitian berdasarkan
kesalahan subjek penelitian dalam mengerjakan tes
awal. Sedangkan penataan ulang struktur berpikir
dilakukan dengan pemetaan kognitif. Melalui
pemetaan kognitif, peneliti mengajak subjek
penelitian untuk mengingat materi atau konsep-
konsep yang berkaitan dengan masalah yang
diberikan. Dalam langkah ini dilakukan proses
disequilibrasi, conflict cognitive, serta scaffolding.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, maka peneliti
akan melakukan penelitian dan perencanaan yang
tepat defragmenting struktur berpikir melalui
pemetaan kognitif diharapkan dapat memperbaiki
kesalahan siswa dalam memecahkan masalah
persamaan kuadrat. Penelitian kualitatif ini berjudul
“Defragmenting Struktur Berpikir untuk
Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam Memecahkan
Masalah Persamaan Kuadrat”. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan defragmenting
struktur berpikir yang dapat memperbaiki kesalahan
siswa dalam memecahkan masalah persamaan
kuadrat.
METODE
Penelitian ini berjenis kualitatif deskriptif.
Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana
defragmenting struktur berpikir melalui pemetaan
kognitif untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam
memecahkan masalah persamaan kuadrat. Penelitian
ini dilakukan di SMAN 6 Malang pada semester
genap tahun pelajaran 2015/2016. Subjek penelitian
merupakan siswa yang sudah mempelajari materi
persamaan kuadrat. Pada penelitian ini, subjek
penelitian adalah siswa kelas XI MIA. Subjek
penelitian dipilih dengan mempertimbangkan
kesalahan yang dilakukan siswa ketika memecahkan
masalah persamaan kuadrat. Siswa dikatakan
mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah
persamaan kuadrat apabila siswa tidak dapat
melakukan langkah-langkah pemecahan masalah
dengan benar. Penentuan subjek penelitian juga
mempertimbangkan tingkat kemampuan matematika
siswa serta kemampuan komunikasi siswa dalam
mengemukakan gagasan. Penentuan ini berdasarkan
pada hasil uji pendahuluan yang diberikan serta
masukan dari wali kelas dan guru matematika di
kelas tersebut. Penentuan subjek seperti ini
diharapkan masing-masing subjek dapat menjadi
wakil yang menggambarkan kondisi yang
sebenarnya di lapangan.
Dalam penelitian ini, seluruh siswa diminta
untuk memecahkan masalah persamaan kuadrat
secara individu dengan menuliskan langkah-langkah
kerja dengan jelas. Adapan masalah yang diberikan
sebagai berikut.
1. Pak Aziz melakukan perjalanan dari Malang
menuju Tulungagung dengan mengendarai mobil.
Jarak antara Malang dan Tulungagung adalah
120 km. Pada saat perjalanan pulang
(Tulungagung ke Malang), Pak Aziz mengetahui
bahwa jika dia menambah kecepatan rata-ratanya
dengan 10 km/jam dari kecepatan rata-rata saat
dia berangkat (Malang ke Tulungagung), maka
dia dapat menghemat 10 menit dari total waktu
perjalanannya. Tentukan kecepatan rata-rata Pak
Aziz pada saat berangkat!
2. Selembar karton berbentuk persegi panjang akan
dibuat kotak tanpa tutup dengan cara membuang
persegi seluas 2×2 cm2 di masing-masing
pojoknya. Panjang kotak 4 cm lebihnya dari lebar
kotak dan volume kotak itu adalah 90 cm3.
Tentukan panjang dan lebar dari karton itu!
Setelah siswa tersebut memperoleh
penyelesaian, peneliti memeriksa kebenaran jawaban
siswa. Apabila siswa tersebut memperoleh jawaban
benar dengan langkah-langkah pemecahan masalah
yang benar maka siswa tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai subjek penelitian karena tidak
mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah.
Apabila sebaliknya siswa melakukan kesalahan
dalam langkah-langkah pemecahan masalah, maka
siswa tersebut dapat dijadikan subjek dan prosesnya
dilanjutkan. Subjek penelitian dipilih hingga
memeproleh data jenuh, artinya banyak subjek
tergantung pada kebutuhan pada saat penelitian
dilakukan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini berupa kata-kata, kalimat-kalimat yang
mendeskripsikan kesalahan siswa dalam
menyelesaikan masalah dan proses defragmenting
struktur berpikir siswa serta proses dan hasil belajar
siswa selama pemberian tindakan.
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti adalah
pada saat sebelum diadakan tes, waktu pelaksanaan
tes, saat mengadakan wawancara dengan siswa dan
pada saat pemberian defragmenting. Peneliti
bertindak sebagai perencana, pengumpul data baik
data hasil tes siswa, wawancara, maupun data
temuan lain selama peneliti mengadakan penelitian
di lapangan, penganalisis data dan sebagai pelopor
hasil penelitian. Pada penelitian ini, instrumen utama
dalam pengumpulan data adalah peneliti sendiri.
Sedangkan instrumen pendukung dalam penelitian
ini adalah lembar tugas, pedoman wawancara dan
alat rekam. Alur analisis data yang digunakan adalah
alur dari Miles dan Hubberman (dalam sugiyono
2008), yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan
menarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Struktur Berpikir S1 dalam Memecah-
kan Masalah Persamaan Kuadrat
Tabel 1 menggambarkan perbedaan atau
perubahan struktur berpikir S1 dalam memecahkan
Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 131
masalah 1 sebelum dan setelah proses defrag-
menting.
Sebelum defragmenting struktur berpikir S1
belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah
struktur. Kode e3 (berwarna merah) menunjukkan
bahwa S1 masih mengalami kesalahan dalam
mencari solusi masalah. Kesalahan tersebut
disebabkan karena S1 tidak dapat mengaitkan
informasi-informasi pada masalah untuk
memecahkan masalah. Oleh karena itu, peneliti
mengajak S1 untuk melakukan refleksi atau
mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
telah S1 lakukan dengan membuat peta kognitif.
Peta kognitif S1 disajikan pada Gambar 1 berikut ini
Tabel 1. Struktur Berpikir S1 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 1
Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting
Gambar 1. Peta Kognitif S1 pada masalah 1
Defragmenting awal dilakukan dengan
memunculkan kondisi disequilibrasi yaitu kondisi
dimana terjadi ketidakseimbangan dalam pikiran
siswa sehingga diharapkan siswa mampu melakukan
refleksi dan menciptakan kondisi equilibrium.
Selanjutnya, peneliti memberikan scaffolding kepada
S1 sehingga S1 mampu mengaitkan informasi-
informasi pada masalah untuk memecahkan
masalah. Setelah pemberian scaffolding S1
mengalami kesalahan dikarenakan tidak mengubah
132. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
satuan waktu dari menit ke jam. Oleh karena itu,
peneliti memunculkan disequilibrasi dan conflict
cognitive. Setelah defragmenting S1 mampu
memperoleh persamaan kuadrat dengan tepat.
Namun, karena bilangan pada persamaan kuadrat
terlalu besar S1 tidak dapat menentukan faktor-
faktor dari persamaan kuadrat tersebut. Sehingga
peneliti kembali memunculkan conflict cognitive
sehingga siswa mampu menentukan faktor-faktor
dari persamaan kuadrat dan menentukan solusi dari
masalah. S1 mengecek kembali solusi masalah yang
telah diperolehnya setelah peneliti memberikan
scaffolding.
Tabel 2. Struktur Berpikir S1 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 2
Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting
Sebelum defragmenting struktur berpikir S1
belum lengkap dan tidak sesuai dengan struktur
masalah. Kode berwarna merah menunjukkan bahwa
S1 masih mengalami beberapa kesalahan dalam
mencari solusi masalah. Kesalahan tersebut
disebabkan karena S1 tidak memahami informasi-
informasi pada masalah. Oleh karena itu, peneliti
mengajak S1 untuk melakukan refleksi atau
mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
telah S1 lakukan dengan membuat peta kognitif.
Peta kognitif S1 disajikan pada Gambar 2 berikut
ini.
Gambar 2. Peta Kognitif S1 pada masalah 2
Defragmenting awal dilakukan dengan
memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga
diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan
menciptakan kondisi equilibrium. Selanjutnya,
peneliti memberikan scaffolding kepada S1 sehingga
S1 mampu mencermati informasi-informasi pada
masalah dan kemudian mencari keterkaitan antara
informasi-informasi tersebut. Setelah pemberian
scaffolding S1 mengalami kesalahan dikarenakan
menganggap ukuran kotak dan karton sama. Oleh
karena itu, peneliti memunculkan conflict cognitive.
Setelah itu, S1 membuat persamaan untuk mencari
lebar kotak dari subtitusi pemisalan panjang dan
lebar balok kedalam persamaan volume kotak. Dari
hasil subtitusi S1 memperoleh persamaan kuadrat.
Selanjutnya S1 mencari faktor-faktor dari persamaan
kuadrat sehingga diperoleh panjang dan lebar kotak.
Kemudian S1 dapat menentukan panjang dan lebar
karton. Peneliti melakukan scaffolding karena S1
tidak mampu mengecek kembali solusi yang
diperolehnya.
Deskripsi Struktur Berpikir S2 dalam
Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat
Tabel 3 berikut menggambarkan perbedaan
atau perubahan struktur berpikir S2 dalam
memecahkan masalah 1 sebelum dan setelah proses
defragmenting.
Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 133
Sebelum defragmenting struktur berpikir S2
belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah.
Kode e3 (berwarna merah) menunjukkan bahwa S2
masih mengalami kesalahan dalam mencari solusi
masalah. Kesalahan tersebut disebabkan karena S2
tidak dapat mengaitkan informasi-informasi pada
masalah untuk memecahkan masalah. Oleh karena
itu, peneliti mengajak S2 untuk melakukan refleksi
atau mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang telah S2 lakukan dengan membuat peta
kognitif. Peta kognitif S2 disajikan pada Gambar 3.
Tabel 3. Struktur Berpikir S2 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 1
Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting
Gambar 3. Peta Kognitif S2 pada masalah 1
Defragmenting awal dilakukan dengan
memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga
diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan
menciptakan kondisi equilibrium. Selanjutnya,
peneliti memberikan scaffolding kepada S2 sehingga
S2 mampu mengaitkan informasi-informasi pada
masalah untuk memecahkan masalah. Setelah
pemberian scaffolding S2 mengalami kesalahan
134. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
dikarenakan tidak mengubah satuan waktu dari
menit ke jam. Oleh karena itu, peneliti
memunculkan disequuilibrasi dan conflict cognitive.
Setelah defragmenting S2 mampu memperoleh
persamaan kuadrat dengan tepat. Namun, karena
bilangan pada persamaan kuadrat terlalu besar S2
tidak dapat menentukan faktor-faktor dari persamaan
kuadrat tersebut. Sehingga peneliti kembali
memunculkan conflict cognitive sehingga siswa
mampu menentukan faktor-faktor dari persamaan
kuadrat dan menentukan solusi dari masalah. S2
mengecek kembali solusi masalah yang telah
diperolehnya setelah peneliti memberikan
scaffolding.
Tabel 4. Struktur Berpikir S2 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 2
Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting
Sebelum defragmenting struktur berpikir S2
belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah.
Kode e3 dan e4 (berwarna merah) menunjukkan
bahwa S2 masih mengalami kesalahan dalam
mencari solusi masalah. Kesalahan tersebut
disebabkan karena S2 mengalami kesalahan dalam
memahami apa yang ditanyakan pada masalah. Oleh
karena itu, peneliti mengajak S2 untuk melakukan
refleksi atau mencoba memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang telah S2 lakukan dengan membuat
peta kognitif. Peta kognitif S2 disajikan pada
Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Peta Kognitif S2 pada masalah 2
Defragmenting awal dilakukan dengan
memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga
diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan
menciptakan kondisi equilibrium. Karen kesalahan
yang dilakukan S2 adalah kesalahan dalam
memahami apa yang ditanyakan pada masalah maka
peneliti kembali memunculkan kondisi
disequilibrasi. Setelah itu, S2 membuat persamaan
untuk mencari lebar kotak dari subtitusi pemisalan
panjang dan lebar balok kedalam persamaan volume
Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 135
kotak. Dari hasil subtitusi S1 memperoleh
persamaan kuadrat. Selanjutnya S2 mengalami
kesalahan dalam menenetukan faktor-faktor dari
persamaan kuadrat. Dalam menentukan faktor-faktor
persamaan kuadrat S2 menggunakan cara coba-coba.
Oleh karena itu, peneliti memunculkan conflict
cognitive sehingga S2 dapat memperbaiki
kesalahannya. Setelah memperoleh solusi masalah
S2 melakukan tahap mengecek kembali.
Deskripsi Struktur Berpikir S2 dalam
Memecahkan Masalah Persamaan Kuadrat
Tabel 5 berikut menggambarkan perbedaan atau
perubahan struktur berpikir S2 dalam memecahkan
masalah 1 sebelum dan setelah proses
defragmenting.
Tabel 5. Struktur Berpikir S3 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 1
Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting
Sebelum defragmenting struktur berpikir S3
belum lengkap dan tidak sesuai dengan masalah.
Kode e3 (berwarna merah) menunjukkan bahwa S2
masih mengalami kesalahan dalam mencari solusi
masalah. Kesalahan tersebut disebabkan karena S2
tidak dapat mengaitkan informasi-informasi pada
masalah untuk memecahkan masalah. Oleh karena
itu, peneliti mengajak S2 untuk melakukan refleksi
atau mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang telah S2 lakukan dengan membuat peta
kognitif. Peta kognitif S2 disajikan pada Gambar 5
berikut ini.
Gambar 5. Peta Kognitif S3 pada masalah 1
Defragmenting awal dilakukan dengan
memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga
diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan
menciptakan kondisi equilibrium. Selanjutnya,
peneliti memberikan scaffolding sehingga S3
mampu memperbaiki kesalahannya dalam membuat
136. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
pemisalan dan mampu mengaitkan informasi-
informasi pada masalah untuk memecahkan
masalah. Setelah pemberian scaffolding S3 mampu
memperoleh persamaan kuadrat dengan tepat.
Namun, S3 mengalami kesalahan dalam menentukan
faktor-faktor persamaan kuadrat karena rumus yang
digunakannya kurang tepat. Oleh karena itu, penelitu
memunculkan conflict cognitive sehingga siswa
mampu menentukan faktor-faktor dari persamaan
kuadrat dan menentukan solusi dari masalah. S1
mengecek kembali solusi masalah yang telah
diperolehnya setelah peneliti memberikan
scaffolding.
Tabel 6. Struktur Berpikir S2 Sebelum dan Setelah Defragmenting pada Masalah 2
Sebelum Defragmenting Setelah Defragmenting
Sebelum defragmenting struktur berpikir S3 belum
lengkap dan tidak sesuai dengan masalah. Kode e3
(berwarna merah) menunjukkan bahwa S3 masih
mengalami kesalahan dalam mencari solusi masalah.
Kesalahan tersebut disebabkan karena S3 tidak dapat
mengaitkan informasi-informasi pada masalah untuk
memecahkan masalah. Oleh karena itu, peneliti
mengajak S3 untuk melakukan refleksi atau
mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
telah S3 lakukan dengan membuat peta kognitif.
Peta kognitif S3 disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta Kognitif S3 pada masalah 2
Defragmenting awal dilakukan dengan
memunculkan kondisi disequilibrasi sehingga
diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan
menciptakan kondisi equilibrium. Karen kesalahan
yang dilakukan S3 adalah kesalahan dalam
memahami apa yang ditanyakan pada masalah maka
peneliti kembali memunculkan kondisi
disequilibrasi. Setelah itu, S3 membuat persamaan
untuk mencari lebar kotak dari subtitusi pemisalan
panjang dan lebar balok kedalam persamaan volume
kotak. Dari hasil subtitusi S3 memperoleh
persamaan kuadrat. S3 mampu menentukan faktor-
faktor persamaan kuadrat dan memperoleh solusi
masalah. Setelah memperoleh solusi masalah S2
melakukan tahap mengecek kembali.
Dari uraian di atas, Defragmenting struktur
berpikir melalui pemetaan kognitf dilakukan
berdasarkan kesalahan yang dialami oleh siswa.
Menurut Subanji (2015), pemetaan kognitif
menunjukkan arah berpikir sehingga menjadi
petunjuk arah untuk mengambil langkah berikutnya.
Langkah-langkah yang dituliskan mencerminkan apa
yang sedang dipikirkan dan dapat digunakan untuk
menelusuri kesalahan berpikir. Defragmenting
dilakukan untuk memperbaiki kesalahan siswa
dalam memecahkan masalah persamaan kuadrat.
Sebelum membuat peta kognitif peneliti melakukan
defragmenting awal, peneliti memunculkan kondisi
disequilibrasi yaitu kondisi dimana terjadi
ketidakseimbangan dalam pikiran siswa sehingga
Kirnasari, dkk. Defragmenting Struktur Berpikir Untuk Memperbaiki Kesalahan Siswa…, 137
diharapkan siswa mampu melakukan refleksi dan
menciptakan kondisi equilibrium. Kondisi
equilibrium merupakan kondisi keseimbangan dalam
pikiran yang ditunjukkan oleh benarnya siswa dalam
menjawab permasalahan yang ada. Dengan
tantangan yang menimbulkan rasa penasaran, akan
berlangsung proses berpikir menuju keseimbangan
yang disebut equilibrium (Subanji, 2015).
Selanjutnya defragmenting yang dilakukan
untuk memperbaiki kesalahan ketiga siswa dalam
tahap memahami masalah adalah dengan pemberian
scaffolding. Scaffolding dilakukan dengan mengajak
ketiga siswa mencermati informasi-informasi pada
masalah dan kemudian mencari keterkaitan antara
informasi-informasi tersebut. Menurut Coggins
(2007), scaffolding tipe ini termasuk activing prior
knowledge by first focusing on what students know
and understand (mengaktfikan pengetahuan yang
dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang siswa
ketahui dan pahami).
Setelah defragmenting pada tahap memahami
masalah ketiga siswa mampu mengaitkan informasi-
informasi pada masalah. Selanjutnya karena ketiga
siswa mengalami kesalahan dalam tahap
merencanakan strategi penyelesaian maka peneliti
melakukan disequilibrasi dan conflict cognitive.
Conflict cognitive dilakukan dengan memberikan
pertanyaan atau contoh yang dapat membentuk
konflik sehingga akhirnya ketiga siswa menyadari
kesalahan yang dilakukaknnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Subanji (2015) yang menyatakan
bahwa conflict cognitive dilakukan ketika siswa
mengalami kesalahan yang memerlukan suatu
contoh yang dapat digunakan untuk membentuk
konflik kognitif.
Selanjutnya untuk membantu ketiga siswa
memeperbaiki kesalahan dalam melaksanakan
rencana penyelesaian peneliti melakukan conflict
cognitive. Kesalahan ketiga siswa dalam tahap ini
berkaitan dengan menentukan faktor-faktor
persamaan kuadrat. Oleh karena itu, conflict
cognitive dilakukan dengan cara memberikan contoh
persamaan kuadrat yang bilangannya lebih besar
atau lebih kecil, serta memberikan pertanyaan
tentang berapa banyak faktor-faktor dari persamaan
kuadrat. Untuk memperbaiki kesalahan pada tahap
mengecek kembali peneliti memberikan scaffolding.
Scaffolding dilakukan dengan mengajak ketiga siswa
untuk mengecek kembali solusi masalah yang telah
diperolehnya.
Defragmenting yang dilakukan mampu
membuat ketiga siswa memperbaiki kesalahan-
kesalahannya sehingga memperoleh solusi masalah
yang benar. Menurut Wahono (2009) setelah
dilakukan defragmentasi, semua data yang ter-
defrag akan saling terhubung dan tertata sehingga
memudahkan untuk mengambil dan menjelaskan
setiap data yang akan diambil. Setelah
defragmenting struktur berpikir ketiga siswa dalam
memecahkan masalah sudah saling terkait. Dengan
terkaitnya struktur berpikir ketiga siswa
mengakibatkan siswa belajar secara bermakna.
Subanji (2014) menjelaskan bahwa seseorang
dikatakan belajar secara bermakana apabila siswa
tersebut dapat mengaitkan antara apa yang dipelajari
(pengetahuan baru) dengan apa yang sudah
diketahui (pengetahuan lama). Belajar bermakna
menggambarkan proses seseorang dalam
mengonstruksi pengetahuan. Konstruksi
pengetahuan akan terbentuk secara baik apabila ada
kaitan apa yang sedang dipelajari dengan
pengetahuan yang sudah dimiliki.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang
sudah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa kesalahan yang dilakukan ketiga
siswa dalam memecahkan masalah persamaan
kuadrat diawali dengan kesalahan siswa dalam
memahami masalah. Kesalahan pada tahap
memahami masalah menyebabkan kesalahan pada
tahap-tahap selanjutnya. Ketiga siswa juga
mengalami kesalahan dalam menentukan faktor-
faktor persamaan kuadrat. Kesalahan ketiga siswa
dalam menentukan persamaan kuadrat dikarenakan
bilangan yang terdapat pada persamaan kuadrat
terlalu besar, cara yang digunakan dalam
menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat adalah
cara coba-coba serta rumus yang digunakan siswa
untuk menentukan faktor-faktor persamaan kuadrat
kurang tepat.
Defragmenting awal yang dilakukan untuk
memperbaiki kesalahan ketiga siswa dalam
memecahkan masalah adalah dengan menciptakan
disequlibrasi. Selanjutnya defragmenting yang
dilakukan untuk memperbaiki kesalahan ketiga
siswa dalam tahap memahami masalah dan
mengecek kembali adalah dengan pemberian
scaffolding. Untuk memperbaiki kesalahan ketiga
siswa dalam tahap merencanakan strategi
penyelesaian dan melaksanakan rencana
penyelesaian dilakukan defragmenting dengan cara
menciptakan disequilibrasi dan conflict cognitive.
Sedangkan untuk memperbaiki kesalahan ketiga
siswa dalam menentukan faktor-faktor persamaan
kuadrat dilakukan defragmenting dengan cara
memunculkan conflict cognitive.
Efektivitas defragmenting yang dilakukan oleh
peneliti dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan
struktur berpikir ketiga siswa menjadi struktur
berpikir yang benar. Sebelum defragmenting
struktur berpikir ketiga siswa awalnya kurang
138. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
lengkap dan tidak sesuai dengan struktur masalah.
Namun, setelah defragmenting struktur berpikir
ketiga siswa sudah sesuai dengan struktur masalah.
Saran
Dari hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan
beberapa saran sebagai berikut.
1. Peneliti, guru, dan pemerhati proses
pembelajaran perlu untuk memahami struktur
berpikir siswa dalam memecahkan masalah,
sehingga dapat memberikan perlakuan
(defragmenting melalui pemetaan kognitif) yang
diperlukan siswa untuk meningkatkan
kemampuannya dalam memecahkan masalah.
2. Penelitian selanjutnya juga disarankan untuk
meneliti tentang defragmenting struktur berpikir
untuk memperbaiki kesalahan siswa dalam
memecahkan masalah pada materi matematika
yang lain. Sehingga tidak hanya mengetahui
kesalahan siswa dalam memecahkan masalah
persamaan kuadrat dan bentuk defragmenting
yang dilakukan tetapi dapat diketahui juga
kesalahan siswa dalam memecahkan masalah
matematika yang lain dan karakteristik
defragmenting yang dilakukan.Bagi peneliti lain
yang tertarik dengan penelitian seperti yang
penulis lakukan, penelitian dapat mengambil
subjek berdasarkan gaya kognitif lainnya seperti
gaya kognitif field dependent dan field
independent atau berdasarkan tipe kepribadian
yang berbeda-beda.
DAFTAR RUJUKAN
Agustinsa. 2014. Defragmenting Proses Berpikir
Melalui Pemetaan Kognitif (Cognitive
Mapping) untuk Memperbaiki Kesalahan
Siswa dalam Memecahkan Masalah Proporsi.
Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana
UM.
Barnard, T. & Tall, D. O. (Ed). 1997. Cognitive
Units, Connections, and Mathematical Proof.
In E. Pehkonen. Proceeding of the 21th
Annual Conference for the Psychology of
Mathematics Education. Vol. 2 (pp.41-48).
Bicer, A., Capraro, M. R., & Capraro, M. M. 2013.
Integrating Writing into Mathematics
Classroom to Increase Students’ Mathematical
Difficulties. International Electronic Journal
of Mathematics Education, Vol. 6 (1):40-59.
Chapman, O. 2005. Costructing Pedagogical
Knowledge of Problem Solving: Preservice
Mathematics Teacher. Proceeding of The 29th
Converence of The Internasional Group for
The Psychology of Mathematics Education,
2(2): 225-232.
Coggins, D., Kravin, D., Coates, D., Carol, D.M.
2007. English Language Learners in the
Mathematics Classrooms (Online).
http://www.pgcsn.org/~rosa/esoln/scaffoldingf
eb09.pdf. (diakses tanggal 16 Mei 2016).
Cullaste, I. C. 2011. Cognitive Skill of Mathematical
Problem Solving of Grade 6 Children.
International Journal of Innovative
Interdisciplinary Research Issue 1.
Maag, J. W. 2004. Behavior Management: From
Theoritical Implications to Practical
Applications 2nd. California: Thomson
Warsworth.
McKay, M. & Fanning, P. (2000). Self Esteem: A
Proven Program of Cognitive Techniques for
Assesing Improving & Maintining Your Self-
esteem. Oakland: New Harbinger Publications,
Inc.
Menganti, S. 2015. Defragmenting Struktur Berpikir
Siswa dalam Mmemecahkan Masalag
Persamaan Linier Satu Variabel melalui
Refleksi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS
UM.
OECD. 2013. PISA 2012 Result in Focus What 15-
Year-Olds Know and What They Can Do with
What They Kow.
Pena, S. & Guitierrez. 2007. Cognitive Maps: an
Overview and their Applicaton for Student
Modeling. National Polytechnic Institute,
10(4): 299-327.
Sakif, S. 2014. Defragmenting Proses Berpikir
Siswa Melalui Pemtaan Kognitif untuk
Memperbaiki Kesalahan Siswa dalam
Memecahkan Masalah Aljabar. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM.
Subanji, 2014. Revitalisasi Pembelajaran Bermakna
dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Matematika Sekolah (Online).
http://teqip.com/wp-
content/uploads/2014/03/Kelompok-MAT-
1.pdf. (diakses tanggal 27 Mei 2016).
Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep
dan Pemecahan Masalah Matematika.
Malang: UM Press.
Wahono, R.S. 2009. Defragmentasi Otak, (Online),
(http://romisatriawahono.net/
2009/08/10/defragmentasi-otak/), diakses 11
Agustus 2015.
Yuan, S. 2013. Incorporating Polya’s Problem
Solving Method in Remedial Mathematics.
Journal of Humanistic Mathematics. Vol. 3
No. 1.
139
PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS MELALUI
PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E
Pratiwi Dwi Warih Sitaresmi1, I Nengah Parta2, Swasono Rahardjo2
Prodi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang1, Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang2
Abstract: Objective Research and development is to describe the process and results of development
characterized Learning Cycle 5E to students of class VIII are valid, practical and effective to improve
students' mathematical connection. Expected product specification is characterized by the RPP and LKS
Learning Cycle 5E. This study uses Plomp development model (2007) which consists of three stages:
preliminary research, prototyping phase and assessment phase. Based on the results of trial, showed that
the developed learning tools valid criteria, practical, and effective.
Keywords: Learning Cycle 5E, mathematical connection, Pythagorean Theorem
Abstrak: Tujuan penelitian dan pengembangan ini adalah untuk mendeskripsikan proses dan hasil
pengembangan perangkat bercirikan Learning Cycle 5E untuk siswa kelas VIII yang valid, praktis dan
efektif yang dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa. Spesifikasi produk yang
diharapkan adalah RPP dan LKS bercirikan Learning Cycle 5E. Penelitian ini menggunakaan model
pengembangan Plomp (2007) yang terdiri dari tiga tahap yaitu preliminary research (penelitian awal),
prototyping (tahap perancangan prototipe) dan assessment phase (tahap asesmen). Berdasarkan hasil uji
coba lapangan, menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria
valid, praktis, dan efektif.
Kata kunci: Learning Cycle 5E, koneksi matematis, teorema pythagoras
Pendidikan merupakan salah satu faktor
terpenting dalam perkembangan individu, dan kita
dituntut untuk memperoleh, memilih, dan mengolah
informasi dan pengetahuan. Salah satu mata
pelajaran yang dapat mendukung hal tersebut adalah
matematika. Oleh karena itu, kita dituntut untuk
dapat meningkatkan kualiatas pembelajaran
matematika yang dilakukan sebagai salah satu upaya
untuk membantu proses pembangunan dalam bidang
pendidikan. Salah satu cara untuk dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran matematika
adalah menerapkan strategi pembelajaran yang dapat
mendukung terwujudnya tujuan pembelajaran
matematika yang sesungguhnya. Menurut
Cornellius (dalam Abdurrahman, 2003: 253), tujuan
pembelajaran matematika di sekolah diantaranya
adalah untuk memberikan perangkat dan
keterampilan yang perlu untuk penggunaannya
dalam dunianya, kehidupan sehari-hari, dan dengan
mata pelajaran lain. Pendapat tersebut juga sejalan
dengan Davis, tujuan pembelajaran matematika
salah satunya memberikan sumbangan pada
permasalahan sains, teknik, filsafat, dan bidang-
bidang lainnya. Tujuan pembelajaran matematika
tersebut dapat diwujudkan dengan mengembangkan
salah satu kemampuan matematis, yaitu kemampuan
koneksi matematis. Kemampuan koneksi matematis
merupakan kemampuan yang penting untuk
dikembangkan pada siswa sekolah menengah.
Melalui koneksi saat mempelajari konsep
matematika, siswa dapat menghubungkan konsep-
konsep matematika yang telah dipelajari sebagai
pengetahuan dasar untuk memahami konsep yang
baru, sehingga siswa tidak mengalami kesulitan
dalam mempelajari matematika. Selain itu, dengan
melihat hubungan antara konsep matematika dan
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, siswa akan
mengetahui banyak manfaat dari matematika (The
Ontario Curriculum Grades 1-8: 2005: 16). Hal ini
sesuai dengan standar kurikulum yang dinyatakan
NCTM (2000), terdapat lima standar yang
mendeskripsikan keterkaitan antara pemahaman
matematika dengan kompetensi matematika yaitu
kemampuan pemecahan masalah (problem solving),
kemampuan komunikasi (communication),
kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan
koneksi (connection), dan kemampuan representasi
(representation)”.
Berdasarkan tes awal yang dilakukan pada
materi teorema Pythagoras kelas VIII diperoleh
hasil bahwa kemampuan koneksi matematis siswa
masih rendah. Sebagian besar siswa kesulitan dalam
menghubungkan konsep yang sebelumnya telah
diketahui. Mereka belum mampu mengenali
hubungan antara konsep-konsep matematika yang
harus digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
140. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
yang membutuhkan pengaitan dalam
penyelesaiannya. Siswa juga belum bisa menentukan
langkah-langkah apa yang akan dipakai untuk
menyelesaiakn permasalahan. Untuk mengatasi
rendahnya kemampuan koneksi matematis,
diperlukan perubahan dalam pembelajarannya.
Iskandar (2010: 10) yakin bahwa dalam
pembelajaran bermakna terjadi kaitan-kaitan antara
pengetahuan terdahulu yang merupakan konsep-
konsep umum dengan konsep baru. Pembelajaran
bermakna terjadi bila pengetahuan baru terkait
dengan konsep yang sudah ada atau konsep lama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa siswa, diketahui bahwa pembelajaran
masih menggunakan metode ceramah. Pembelajaran
di kelas hanya berorientasi pada pengerjaan latihan
soal-soal saja. Guru belum mendorong siswa untuk
dapat mengungkapkan pendapat mereka serta
menggunakan pengetahuan awal mereka dalam
memahami situasi baru. Selain itu, Lembar Kegiatan
Siswa (LKS) yang ada hanya berisi ringkasan
materi dan belum memberikan kesempatan siswa
untuk membangun pemahaman mereka sendiri
tentang suatu materi tertentu. Menurut Jacob, salah
satu penyebab rendahnya kemampuan koneksi
matematis siswa terletak pada faktor model
pembelajarannya atau penggunaan strategi-metode-
teknik mengajar. Penggunaan model pembelajaran
konvensional yang selama ini sering digunakan lebih
menitikberatkan keaktifan guru dan siswa kurang
diberikan kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan dan pengetahuan yang didapatnya
hanya terbatas pada apa yang ia pelajari sehingga
kemampuan berpikirnya tidak berkembang secara
optimal, termasuk kemampuan koneksi
matematisnya. Learning Cycle (LC) merupakan
salah satu model pembelajaran yang memperhatikan
kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa (Purniati
dkk, 2009: 3). LC 5E juga memfasilitasi proses
pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar secara bermakna (Lorsbach,
2002). Diharapkan dengan menerapkan
pembelajaran LC 5E dapat memperbaiki
pembelajaran matematika di kelas.
Metode yang telah dipilih dapat digunakan
dalam penyusunan perangkat pembelajaran yang
akan dikembangkan. Dalam penelitian ini perangkat
pembelajaran yang dimaksud adalah RPP dan LKS.
Perangkat pembelajaran perlu disusun dengan baik
agar tujuan pembelajaran tercapai. Menurut Nur
(2002) dan Devi, Sofiraeni, & Khairuddin, (2009: 1)
bahwa perangkat pembelajaran memberikan
kemudahan dan dapat membantu guru dalam
mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar di kelas. Beberapa penelitian yang relevan
yang dilakukan oleh penelitian Kusuma (2011)
menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa setelah
melalui pembelajaran dengan Learning Cycle 5E.
Penelitian Sumarni (2014) mengemukakan bahwa
kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui Learning Cycle
5E lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti
ingin mengembangkan perangkat pembelajaran yang
dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis
siswa. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian
dengan judul “ Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Bercirikan Learning Cycle 5E untuk
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis
Siswa pada Materi Teorema Pythagoras Kelas VIII”.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan
perangkat pembelajaran matematika bercirikan
Learning Cycle 5E yang valid, praktis, dan efektif
untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis
pada materi Teorema Pythagoras.
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan
dikatakan valid apabila telah divalidasi oleh
validator dan memenuhi kriteria kevalidan mencapai
minimal 3 dengan memperhatikan saran dan
komentar dari validator. Perangkat pembelajaran
dikatakan praktis apabila hasil pengamatan
keterlaksanaan pembelajaran yang memenuhi
kategori baik atau sangat baik. Perangkat
pembelajaran dikatakan efektif apabila 1) aktivitas
siswa selama pembelajaran memenuhi kategori
minimal baik, 2) unjuk kerja siswa dalam LKS
memenuhi kriteria baik, dan 3) kemampuan koneksi
matematis siswa mengalami peningkatan minimal 1
dalam rentang skor 0-4. Kemampuan koneksi
matematis siswa dikatakan meningkat secara
klasikal apabila minimal 70% siswa mengalami
peningkatan kemampuan koneksi matematis.
.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
pengembangan. Model penelitian pengembangan
dalam penelitian ini menggunakan model
pengembangan Plomp (2007). Dalam model
pengembangan Plomp (2007) terdapat tiga tahap,
yaitu (1) preliminary research (penelitian awal), (2)
prototyping phase (tahap perancangan prototipe),
dan (3) assessment phase ( tahap asesmen). Uji coba
dilakukan di MTsN Kota Probolinggo. Subjek uji
coba adalah 27 siswa kelas VIII MTsN Kota
Probolinggo.
Pada penelitian awal, kegiatan yang peneliti
lakukan adalah menganalisis kebutuhan dan
konteks. Pada tahap perancangan prototipe, kegiatan
yang dilakukan adalah menyusun RPP, merancang
format dan isi LKS, menyusun instrumen peneltian,
serta memvalidasi produk dan instrumen penilaian.
Sitaresmi, dkk. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran…, 141
Aspek yang akan dinilai dari perangkat
pembelajaran yang dikembangkan adalah kevalidan,
kepraktisan, dan keefektifan. Instrumen penilaian
dalam penelitian ini terdiri dari (1) lembar validasi,
(2) lembar observasi, dan tes kemampuan koneksi
matematis. Lembar validasi ini digunakan untuk
menilai tingkat kevalidan produk dan instrumen
penliaian. Instrumen yang disusun terdiri dari
lembar validasi RPP, lembar validasi LKS, lembar
validasi observasi guru, dan lembar validasi
observasi siswa. Uji kepraktisan diperoleh dari
lembar observasi aktivitas guru. Sedangkan uji
keefektifan dilihat dari aktivitas siswa, unjuk kerja
siswa dalam menyelesaaikan LKS, dan tes
kemampuan koneksi. Perangkat pembelajaran
dikatakan efektif apabila tercapai indikator-
indikator: 1) aktivitas siswa selama pembelajaran
memenuhi kategori minimal baik, 2) unjuk kerja
siswa dalam LKS memenuhi kriteria baik, dan 3)
banyak siswa yang mengalami peningkatan
kemampuan koneksi matematis ≥ 70%.
HASIL
Hasil dan Analisis Data
Berdasarkan penelitian awal, diperoleh
informasi bahwa pembelajaran Matematika di
MTsN Kota Probolinggo, guru masih menggunakan
metode ceramah. Pembelajaran hanya berfokus pada
LKS dan pengerjaan latihan soal yang ada pada
LKS. Latihan soal yang ada pada LKS hanya
mengaplikasikan konsep yang telah dipahami siswa,
kurang menyediakan aktivitas bagi siswa. LKS juga
belum mengakomodasi upaya untuk meningkatkan
kemampuan koneksi matematis siswa.. Pada
kegiatan meninjau literatur, peneliti mengkaji teori
tentang kemampuan koneksi matematis dan teori
tentang Learning Cycle 5E. Berdasarkan hasil
pengkajian teori mengenai kemampuan koneksi
matematis, terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ahli. NCTM (2000: 274)
menguraikan standar koneksi matematis, yaitu (1)
Mengenali dan menggunakan keterhubungan
(koneksi) diantara ide-ide matematika; (2)
Memahami bagaimana ide-ide matematika saling
terkait dan membangun satu sama lain sehingga
menghasilkan suatu keterkaitan secara lengkap; (3)
Mengenali dan menggunakan konsep-konsep
matematika dalam konteks di luar matematika.
Adapun indikator kemampuan koneksi matematis
dalam penelitian ini yaitu siswa mampu: (1)
menerapkan berbagai hubungan diantara konsep atau
prosedur matematika, (2) menerapkan hubungan
antar konsep atau prosedur matematika dengan topik
disiplin ilmu lain (Ilmu Fisika), dan (3) menerapkan
hubungan antar konsep atau prosedur matematika
dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran dilaksanakan sebanyak tiga kali
pertemuan. Pertemuan pertama membahas tentang
indikator (1) menemukan Teorema Pythagoras dan
(2) menentukan panjang sisi segitiga siku-siku jika
dua sisi lain diketahui barisan aritmetika. Pertemuan
kedua tentang indikator (1) menentukan bilangan
tripel Pythagoras dan (2) menentukan jenis-jenis
segitiga berdasarkan hubungan antara kuadrat
panjang sisi terpanjang dengan jumlah kuadrat
panjang sisi yang lain. Pertemuan ketiga membahas
indikator (1) menemukan perbandingan panjang sisi
pada segitiga siku-siku yang memiliki sudut
istimewa dan (2) menentukan panjang diagonal pada
bangun datar menggunakan prinsip Pythagoras.
Pada kegiatan pengembangaan, peneliti
mengembangkan produk yang berupa RPP dan LKS
bercirikan penemuan terbimbing dan instrumen
penelitian. Langkah pembelajaran pada RPP
disesuaikan dengan tahap-tahap Learning Cycle 5E
untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis
siswa. Kegiatan siswa pada LKS disesuaikan dengan
tahap-tahap Learning Cycle 5E, yaitu engagement,
exploration, explanation, elaboration, dan
evaluation
Berdasarkan validasi yang dilakukan oleh tiga
validator, diperoleh hasil validasi (1) RPP dengan
diperoleh rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,38. (2)
LKS dengan rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,18,
(3) lembar observasi aktivitas guru dengan rata-rata
keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,62, (4) lembar observasi
siswa dengan rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,62,
dan (5) tes kemampuan koneksi matematis siswa
dengan rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,27.
Berdasarkan kriteria kevalidan yang telah
ditetapkan, maka perangkat pembelajaran dan
instrumen penilaian telah memenuhi kriteria valid.
Meskipun demikian, peneliti tetap melakukan revisi
berdasarkan saran atau komentar dari validator.
Setelah dilakukan validasi dan revisi,
selanjutnya dilakukan uji coba untuk mengetahui
kepraktisan dan keefektifan perangkat pembelajaran.
Uji coba kecil dilakukan kepada 27 siswa kelas VIII
MTsN Kota Probolinggo. Uji kepraktisan dinilai dari
hasil lembar observasi aktivitas guru. Berdasarkan
hasil analisis data observasi aktivitas guru, diperoleh
rata-rata keseluruhan indikator �̅�𝑡 = 3,28.
Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan,
keterlaksanaan perangkat pembelajaran (aktivitas
guru) masuk dalam kategori baik. Oleh karena itu,
perangkat pembelajaran yang dikembangkan
memenuhi kriteria kepraktisan.
Tingkat keefektifan produk dilihat dari lembar
observasi aktivitas siswa, unjuk kerja siswa dalam
LKS, dan tes kemampuan koneksi matematis siswa.
Berdasarkan Berdasarkan hasil analisis data
observasi aktivitas siswa, diperoleh rata-rata
keseluruhan indikator �̅�𝑡 = 3,19. Berdasarkan
142. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
kriteria yang telah ditentukan, tingkat keaktifan
siswa termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan
hasil analisis, skor unjuk kerja siswa dalam LKS
mencapai rata-rata �̅�𝑡 = 3,58. Berdasarkan kriteria
unjuk kerja siswa dalam LKS ini termasuk dalam
kategori baik. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis
data tes kemampuan koneksi matematis, sebanyak
27 siswa atau 100% siswa mengalami peningkatan
kemampuan koneksi matematis setelah penerapan
perangkat pembelajaran. Sehingga dapat dikatakan
perangkat pembelajaran memenuhi kriteria
keefektifan.
PEMBAHASAN
Peneltian pengembangan ini telah
menghasilkan perangkat pembelajaran berupa
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
Lembar Kegiatan Siswa (LKS) bercirikan Learning
Cycle 5E. Pengembangan perangkat pembelajaran
ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
koneksi matematis siswa. Selain RPP dan LKS,
dikembangkan instrumen yang mendukung penilaian
perangkat pembelajaran, yaitu lembar validasi,
lembar observasi aktivitas guru, lembar observasi
aktivitas siswa, dan tes kemampuan koneksi
matematis.
Perangkat pembelajaran yang berupa RPP dan
LKS bercirikan Learning Cycle 5E dapat melatih
siswa untuk mengerti hubungan atau keterkaitan
suatu materi dalam matematika dengan materi yang
akan dipelajari. Selain itu, dengan pembelajaran
Learning Cycle 5E ini dapat membantu siswa untuk
belajar materi tertentu dengan memberikan
keterkaitan materi yang akan dipelajari dengan dunia
nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarni
(2014), bahwa melalui Learning Cycle 5E yaitu pada
tahap engagement dimana guru membangkitkan
minat siswa untuk belajar materi tertentu dengan
memberikan keterkaitan materi yang akan dipelajari
dengan dunia nyata. Selain itu, pada tahap ini guru
membangkitkan ingatan siswa mengenai materi
prasyarat untuk mempelajari materi yang akan
dipelajari. Oleh karena siswa dirangsang dan dilatih
untuk mengaitkan suatu materi tertentu dengan
materi lain, serta mengaitkan materi yang akan
dipelajari dengan dunia nyata, maka kemampuan
koneksi matematis siswa dapat meningkat. Hal
tersebut sependapat dengan Yuniawati (2011) yang
mengatakan bahwa kemampuan koneksi matematis
dapat membuka nalar siswa untuk memahami kaitan
ide-ide antar matematika, matematika dengan mata
pelajaran yang lain, dan antar kehidupan sehari-hari
sehingga siswa akan memahami setiap materi
matematika dengan lebih baik.
Pada pertemuan pertama, siswa masih
kesulitan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran
yang baru. Siswa cenderung pasif dan enggan dalam
menyampaikan pendapat. Selain itu, siswa juga
merasa kesulitan dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ada pada LKS.
Hal ini dimungkinkan siswa belum terbiasa
menyelesaikan permasalahan yang membutuhkan
keterkaitan antara materi yang lain dengan materi
yang akan dipelajari. Menurut Heruman (2007) dan
Herman (1999) dalam matematika, setiap konsep
berkaitan dengan konsep lain, dan suatu konsep
menjadi prasyarat bagi konsep yang lain. Siswa akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui siswa
tersebut. Karena itu untuk mempelajari suatu materi
matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu
akan mempengaruhi proses belajar.
Pada pertemuan kedua dan ketiga, siswa
mulai bias beradaptasi dengan pembelajaran yang
baru. Namun guru masih harus tetap ekstra
mengelolah kelas pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Siswa mulai termotivasi untuk
mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini
dikarenakan siswa dilibatkan langsung dalam
kegiatan pembelajaran melalui diskusi, mereka tidak
hanya duduk diam, mendengarkan dan mencatat
kembali apa yang dicatat guru di papan tulis.
Ngalimun (2013) berpendapat penerapan
pembelajaran Learning Cycle 5E memberi
keuntungan pada siswa, antara lain: (1)
meningkatkan motivasi belajar karena dilibatkan
secara aktif dalam proses pembelajaran, (2)
pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa
dan guru bersama-sama aktif. Selain itu, kegiatan-
kegiatan pada LKS membantu mengembangkan
kemampuan koneksi matematis siswa karena
permasalahan yang disusun membutuhkan
keterkaitan dengan materi lain dalam
penyelesaiannya, baik materi lain dalam matematika,
disiplin ilmu lain, dan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran dirancang dalam bentuk diskusi.
Siswa mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan yang ada pada LKS, selanjutnya guru
membimbing dan mengarahkan diskusi kelas untuk
mendiskusikan hasil pengerjaan LKS. Diskusi kelas
berlangsung dengan menunjuk salah satu kelompok
untuk menjelaskan hasil diskusi mereka tentang
suatu permasalahan, sedangkan kelompok yang lain
memperhatikan dan memberikan tanggapan atas
jawaban tersebut. Adanya kegiatan diskusi
kelompok dapat memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar secara bermakna yang
selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep matematika. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mediatati (2012) yang menjelaskan
salah satu pembelajaran yang berpeluang besar dapat
meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa
adalah dengan menerapkan pembelajaran dimana
siswa diberikan tugas untuk diselesaikan dalam
Sitaresmi, dkk. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran…, 143
kelompok. Menurutnya, interaksi tatap muka
memudahkan siswa untuk saling bertukar pikiran
dalam memahami pelajaran dan mencari solusi
untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Permasalahan yang dirancang pada LKS
bersifat kontekstual, tidak rutin, dan dalam
penyelesaiannya membutuhkan pengaitan-pengaitan
antar materi matematika, matematika dengan
disiplin ilmu lain, dan matematika dengan kehidupan
sehari-hari. Dengan memberikan tugas atau soal-soal
koneksi matematis dapat melatih siswa untuk
terbiasa mengingat materi-materi yang pernah
dipelajari, sehingga ingatan siswa terhadap materi
yang dipelajari akan bertahan lama. Hal ini
sependapat dengan Heryani (2014) yang mengatakan
bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal-soal koneksi matematis tergolong rendah, hal
tersebut dikarenakan kurangnya kesempatan siswa
untuk berlatih mengerjakan soal-sola koneksi
matematis. Jika siswa jarang berlatih mengerjakan
soal-soal koneksi matematis, maka ingatan siswa
terhadap materi yang dipelajari tidak bertahan lama
sehingga siswa akan kesulitan membangun
pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah
dipelajari sebelumnya.
Penerapan perangkat pembelajaran tersebut
berdampak pada kemampuan koneksi matematis
siswa. Berdasarkan hasil tes koneksi matematis
siswa, tidak ada siswa yang memperoleh skor
dibawah 3 dari rentang skor 0 sampai 4. Sebanyak
27 siswa mengalami peningkatan kemampuan
koneksi matematis. Hal ini dimungkinkan karena
siswa sudah terbiasa dengan soal-soal koneksi.
Mereka dapat menghubungkan antar konsep dalam
matematika, dapat menentukan rumus apa yang akan
dipakai jika dihadapkan pada soal-soal yang
berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari,
serta dapat menyelesaikan soal terkait menuliskan
masalah kehidupan sehari-hari ke dalam model
matematika. Menurut Permana & Sumarmo (2007),
pemahaman siswa tentang koneksi antar konsep atau
ide-ide matematika akan memfasilitasi kemampuan
mereka untuk menyelesaikan masalah lain dalam
matematika atau disiplin ilmu lain.
Selain berdampak pada kemampuan koneksi
matematis siswa, penerapan perangkat pembelajaran
yang dikembangkan dikelas juga memberikan
dampak lain. Perancangan perangkat pembelajaran
bercirikan Learning Cycle 5E meningktakan
keaktifan siswa selama pembelajaran di kelas.
Pembelajaran yang sebelumnya berpusat pada guru
menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal
ini dikarenakan siswa tida hanya duduk diam,
mendengarkan penjelasan dari guru, kemudian
mencatat kembali apa yang dicatat guru di papan
tulis. Siswa belajar secara mandiri, bersama-sama
dengan teman kelompoknya untuk memahami
pelajaran. Menurut Cohen dan Clough (dalam
Fajaroh dan Dasna, 2004), penerapan Learning
Cycle 5E melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran, dan membantu mengembangkan sikap
ilmiah siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Sumarni (2014) berpendapat bahwa
kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran Learning Cycle 5E lebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan hasil analisis data hasil uji coba
kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan yang
dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
perangkat pembelajaran yang dikembangkan
memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan
keefektifan. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah
satu alternatif bahan ajar untuk siswa SMP dalam
pembelajaran materi Teorema Pythagoras.
Perangkat pembelajaran yang berupa RPP dan
LKS bercirikan Learning Cycle 5E dapat melatih
siswa untuk mengerti hubungan atau keterkaitan
suatu materi dalam matematika dengan materi yang
akan dipelajari. Selain itu, dengan pembelajaran
Learning Cycle ini dapat membantu siswa untuk
belajar materi tertentu dengan memberikan
keterkaitan materi yang akan dipelajari dengan dunia
nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarni
(2014), bahwa melalui Learning Cycle 5E yaitu pada
tahap engagement dimana guru membangkitkan
minat siswa untuk belajar materi tertentu dengan
memberikan keterkaitan materi yang akan dipelajari
dengan dunia nyata. Selain itu, pada tahap ini guru
membangkitkan memori siswa mengenai materi
prasyarat untuk mempelajari materi yang akan
dipelajari. Oleh karena siswa dirangsang dan dilatih
untuk mengaitkan suatu materi tertentu dengan
materi lain, serta mengaitkan materi yang akan
dipelajari dengan dunia nyata, maka kemampuan
koneksi matematis siswa dapat meningkat. Hal
tersebut sependapat dengan Yuniawati (2011) yang
mengatakan bahwa kemampuan koneksi matematis
dapat membuka nalar siswa untuk memahami kaitan
ide-ide antar matematika, matematika dengan mata
pelajaran yang lain, dan antar kehidupan sehari-hari
sehingga siswa akan memahami setiap materi
matematika dengan lebih baik.
Pembelajaran dirancang dalam bentuk diskusi
kelompok dan diskusi kelas. Siswa mendiskusikan
dan menyelesaikan permasalahan yang ada pada
LKS, selanjutnya guru membimbing dan
mengarahkan diskusi kelas untuk mendiskusikan
hasil pengerjaan LKS. Diskusi kelas berlangsung
dengan menunjuk salah satu kelompok untuk
menjelaskan hasil diskusi mereka tentang suatu
permasalahan, sedangkan kelompok yang lain
memperhatikan dan memberikan tanggapan atas
jawaban tersebut. Adanya kegiatan diskusi
144. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
kelompok dapat memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar secara bermakna yang
selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep matematika. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mediatati (2012) yang menjelaskan
salah satu pembelajaran yang berpeluang besar dapat
meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa
adalah dengan menerapkan pembelajaran dimana
siswa diberikan tugas untuk diselesaikan dalam
kelompok. Menurutnya, interaksi tatap muka
memudahkan siswa untuk saling bertukar pikiran
dalam memahami pelajaran dan mencari solusi
untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Permasalahan yang dirancang pada LKS
bersifat kontekstual, tidak rutin, dan dalam
penyelesaiannya dibutuhkan pengaitan-pengaitan
antar materi matematika, matematika dengan
disiplin ilmu lain, dan dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan memberikan tugas atau soal-soal koneksi
matematis dapat melatih siswa untuk terbiasa
mengingat materi-materi yang pernah dipelajari,
sehingga ingatan siswa terhadap materi yang
dipelajari akan bertahan lama. Hal ini sependapat
dengan Heryani (2014) yang mengatakan bahwa
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal
koneksi matematis tergolong rendah, hal tersebut
dikarenakan kurangnya kesempatan siswa untuk
berlatih mengerjakan soal-sola koneksi matematis.
Jika siswa jarang berlatih mengerjakan soal-soal
koneksi matematis, maka ingatan siswa terhadap
materi yang dipelajari tidak bertahan lama sehingga
siswa akan kesulitan membangun pengetahuan baru
dari pengetahuan yang sudah dipelajari sebelumnya.
Selain berdampak pada kemampuan koneksi
matematis siswa, penerapan perangkat pembelajaran
yang dikembangkan dikelas juga memberikan
dampak lain. Perancangan perangkat pembelajaran
bercirikan Learning Cycle 5E meningktakan
keaktifan siswa selama pembelajaran di kelas.
Pembelajaran yang sebelumnya berpusat pada guru
menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal
ini dikarenakan siswa tida hanya duduk diam,
mendengarkan penjelasan dari guru, kemudian
mencatat kembali apa yang dicatat guru di papan
tulis. Siswa belajar secara mandiri, bersama-sama
dengan teman kelompoknya untuk memahami
pelajaran. Menurut Cohen dan Clough (dalam
Fajaroh dan Dasna, 2004), penerapan Learning
Cycle 5E melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran, dan membantu mengembangkan sikap
ilmiah siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Sumarni (2014) berpendapat bahwa
kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran Learning Cycle 5E lebih
baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan hasil analisis data hasil uji coba
kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan yang
dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
perangkat pembelajaran yang dikembangkan
memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan
keefektifan. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah
satu alternatif bahan ajar untuk siswa SMP dalam
pembelajaran materi Teorema Pythagoras.
Berdasarkan catatan pada saat uji coba
lapangan menunjukkan adanya kelebihan dan
kekurangan dari perangkat pembelajaran yang
dikembangkan. Adapun kelebihan perangkat
pembelajaran yang telah dikembangkan antara lain:
1. Langkah pembelajaran dalam RPP yang disusun
secara terperinci sesuai dengan tahap-tahap
Learning Cycle 5E, sehingga mempermudah guru
model dalam melaksanakan pembelajaran. Hal
ini berdasarkan respon positif yang diberikan
oleh guru model dimana guru tersebut merasa
mudah dalam menerapkan perangkat
pembelajaran.
2. Aktivitas-aktivitas yang dirancang mampu
menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peningkatan aktivitas siswa dalam setiap
pertemuan.
3. Permasalahan-permasalahan yang dirancang
dalam LKS mampu membantu siswa untuk
terbiasa menyelesaikan soal-soal koneksi
matematis, serta mampu membantu siswa untuk
memahami materi Teorema Pythagoras. Hal ini
terlihat berdasarkan hasil unjuk kerja siswa yang
meningkat pada setiap pertemuannya.
4. Aktivitas dalam pembelajaran memungkinkan
siswa untuk terlibat dalam interaksi sosial dengan
teman sebaya, sehingga meningkatkan motovasi
siswa untuk belajar. Hal tersebut terlihat dengan
adanya partisipasi aktif pada saat diskusi
kelompok maupun diskusi kelas.
Adapun kekurangan penerapan pembelajaran
Learning Cycle 5E ini sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan pembelajaran memerlukan
pengolahan kelas yang lebih terencana dan
terorganisasi. Hal ini berdasarkan komentar/
saran yang dituliskan salah satu observer pada
salah satu pertemuan, bahwa kontrol guru dalam
diskusi kelompok masih kurang.
2. Pengerjaan kegiatan dalam LKS memerlukan
waktu dan tenaga yang lebih banyak karena
adanya kegiatan diskusi kelas dalam setiap tahap
pembelajaran. Hal tersebut berdasarkan hasil
unjuk kerja siswa dalam LKS yang terkadang
belum tuntas.
3. Penggunaan bahasa dan simbol yang digunakan
dalam LKS kurang mudah dipahami, sehingga
siswa mengalami kesulitan dalam memahami
kalimat dalam setiap kegiatan. Hal tersebut
Sitaresmi, dkk. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran…, 145
berdasarkan komentar/ saran yang dituliskan oleh
observer, dimana dalam salah satu kegiatan
diskusi kelompok siswa sering bertanya pada
guru model tentang maksud dari pertanyaan yang
dituliskan.
PENUTUP
Kesimpulan
Perangkat pembelajaran bercirikan Learning
Cycle 5E pada materi Teorema Pythagoras kelas
VIII memiliki karakteristik diantaranya, (1)
Perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS
memenuhi kriteria valid, karena perangkat
pembelajaran telah sesuai dalam mengimplemen-
tasikan pembelajaran learning Cycle 5E pada materi
Teorema Pythagoras. Ini terlihat dari hasil analisis
data kevalidan RPP dan LKS masing-masing
diperoleh rata-rata keseluruhan aspek �̅�𝑡 = 3,38 dan
�̅�𝑡 = 3,18. Berdasarkan kriteria kevalidan, RPP dan
LKS dapat dinyatakan valid dengan revisi atas saran/
komentar validator, (2) Perangkat pembelajaran
memenuhi kriteria keprakrisan, karena perangkat
pembelajaran mudah digunakan, guru model
mempertimbangkan untuk menggunakannya
kembali dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu,
Berdasarkan hasil analisis data observasi aktivitas
guru, diperoleh rata-rata keseluruhan indikator �̅�𝑡 =3,28. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan,
keterlaksanaan perangkat pembelajaran (aktivitas
guru) masuk dalam kategori baik. Oleh karena itu,
perangkat pembelajaran yang dikembangkan
memenuhi kriteria kepraktisan, (3) Perangkat
pembelajaran memenuhi kriteria efektif, karena
perangkat pembelajaran dapat meningkatkan
kemampuan koneksi matematis siswa sesuai dengan
tujuan awal pengembangan produk, aktivitas siswa
selama proses pembelajaran sangat baik, serta hasil
unjuk kerja siswa dalam LKS baik. Berdasarkan
hasil analisis data observasi aktivitas siswa,
diperoleh rata-rata keseluruhan indikator �̅�𝑡 = 3,19,
sehingga tingkat keaktifan siswa termasuk dalam
kategori tinggi. Untuk skor unjuk kerja siswa dalam
LKS mencapai rata-rata �̅�𝑡 = 3,58. Berdasarkan
kriteria unjuk kerja siswa dalam LKS ini termasuk
dalam kategori baik. Selain itu, sebanyak 27 siswa
(≥ 70%) mengalami peningkatan kemampuan
koneksi matematis. Berdasarkan kriteria keefektifan,
maka perangkat pembelajaran memenuhi kriteria
keefektifan.
Saran
Peneliti memberikan saran- saran untuk
meningkatkan kualitas produk, diantaranya :
a. Pembelajaran matematika menggunakan
perangkat pembelajaran bercirikan Learning
Cycle 5E hendaknya dijadikan sebagai salah satu
alternatif pembelajaran di jenjang SMP sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan koneksi
matematis siswa.
b. Dalam melaksanakan pembelajaran, guru agar
benar-benar memahami dan menguasai materi
dan langkah pembelajaran yang telah dirancang.
c. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran,
diharapkan guru lebih bersungguh-sungguh dan
aktif dalam pengelolaan kelas, terutama pada saat
pembagian kelompok dilakukan secara merata
dengan kemampuan siswa yang heterogen.
DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi
Anak Kesulitan Belajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Fajaroh, F & Dasna, I. W. 2004. Penggunaan Model
Pembelajaran Learning Cycle untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil
belajar Kimia Zat Aditifdalam Bahan
Makanan pada Siswa Kelas II SMU Negeri 1
Tumpang-Malang. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran. Vol 11 (2), 112-122.
Heryani, Y. 2014. Peningkatan Kemampuan
Koneksi dan Komunikasi Matematik Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
pada Peserta Didik SMK Negeri di kabupaten
Kuningan. Jurnal Pendididkan dan Keguruan.
Vol. 1, No. 1.
Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan
(Aplikasi pada Penelitian Pendidikan
Matematika). Jember: Pena Salsabila.
Iskandar, Srini Murtinah. 2010. Strategi
Pembelajaran Konstruktivistik dalam Kimia.
Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.
Kusuma, I.L. 2011. Implementasi Model
Pembelajaran Learning Cycle “5E” untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep
Matematika Siswa SMP N 4 Sewon Kelas
VIIIA”. UNY: tidak diterbitkan. (Online).
http://eprints.uny.ac.id/1854/ (diakses tanggal
12 Juni 2015).
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool
for Planning Science Instruction. (Online)
http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/2
57lrcy.html (diakses tanggal 3 Desember
2014).
Mediatati, N. 2012. Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Learning Together untuk
Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar
Siswa Kelas X B pada Mata Pelajaran PKN di
SMK PGRI II Salatiga. Jurnal Satya Widya.
Vol. 28, No. 1.
NCATE/NCTM Program Standards. 2003.
Programs for Initial Preparation of
146. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Mathematics Teachers. (Online) http://www
(diakses tanggal 23 Februari 2015).
NCTM. 2000. Principles and Standard for School
Mathematics. United States: Reston, VA
Author.
Plomp, T. 2007. Educational design-based research:
An introduction. An Introduction to
Educational Design-based research.
Prosiding disajikan dalam seminar di East
China Normal University, Shangai, China,
23-26 November 2007: SLO Netherlands
Institute for Curriculum Development.
Purniati, Tia, Yulianti, Kartika, dan Sispiyati, Ririn.
2009. Penerapan Model Siklus Belajar Untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep
Mahasiswa Pada Kapita Seleksta
Matematika. Jurnal Penelitian, 9 (1). (Online),
http://jurnal.upi.edu, (diakses tanggal 18
November 2011).
Sumarni. 2014. Penerapan Learning Cycle 5E
Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi
dan Komunikasi Matematika Serta Self-
Regulated Learning Matematika Siswa. Tesis
UPI: tidak diterbitkan. (Online).
respository.upi.edu (diakses tanggal 9 Oktober
2015)
The Ontario Curriculum, Grades 1-8: Mathematics.
2005. (Online) http://www.edu.gov.on.ca.
(diakses tanggal 17 Maret 2015).
Yuniawati. 2011. Penerapan Pembelajaran
Matematika dengan Strategi REACT untuk
Meningkatkan kemampuan Koneksi dan
Representasi Matematik Siswa Sekolah
Dasar. Edisi Khusus no. 2.
147
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MENGGUNAKAN
GEOGEBRA PADA MATAKULIAH MATEMATIKA DASAR II
Syaiful Hamzah Nasution
Jurusan Matematika, Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang
Abstract: In the course of Basic Mathematics II with topic transformation of the graph y=sin x and y=cos
x in the form y = A sin (Bx + C) + D or y = A cos(Bx + C) + D, student tended to memorize formulas.
Most students do not conduct investigations or make simulations about the effect of A, B, C, and D
coefficients in the general form of the trigonometric equation y=A sin(Bx+C)+D or y=A cos(Bx + C)+D.
Hence, Student do not understand the effect of A, B, C, and D coefficients in the general form of
trigonometry equation. The purpose of this study was to describe the cooperative learning model using
GeoGebra software in the course of Basic Mathematics II. This study focused in topic transformation of
the graph y=sin x and y = cos x in y=A sin(Bx+C)+D form or y = A cos(Bx+C)+D form, and in topic
trigonometry identity. The result shown that implementation of cooperatice learning model using
GeoGebra improve student understanding, and encourages student to express ideas and make
conclusions based on observation and simulation.
Keywords: cooperative learning, GeoGebra, basic mathematics II.
Abstrak: Dalam perkuliahan Matematika Dasar II pada materi transformasi grafik y = sin x dan y = cos x
dalam bentuk y = A sin (Bx + C) + D atau dalam bentuk y = A cos(Bx + C) + D serta pada materi
identitas trigonometri, mahasiswa cenderung menghafal rumus. Sebagian besar mahasiswa tidak
melakukan investigasi atau simulasi tentang pengaruh A, B, C dan D pada bentuk umum persamaan
trigonometri y = A sin(Bx + C) + D atau y = A cos(Bx + C)+ D serta pada materi identitas trigonometri.
Hal ini berakibat mahasiswa kurang memahami pengaruh A, B, C dan D pada bentuk umum persamaan
trigonometri tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pembelajaran kooperatif
menggunakan software GeoGebra pada matakuliah Matematika Dasar II. Fokus penelitian ini pada materi
transformasi grafik y = sin x dan y = cos x dalam bentuk y = A sin (Bx+C)+D atau dalam bentuk y=A
cos(Bx+C)+D serta pada materi identitas trigonometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
model pembelajaran kooperatif menggunakan GeoGebra meningkatkan pemahaman mahasiswa,
mendorong mahasiswa untuk melakukan pengamatan dan simulasi, dan mendorong mahasiswa untuk
menyampaikan ide dan membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan dan simulasi.
Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, GeoGebra, Matematika Dasar II.
Matakuliah Matematika Dasar II merupakan
matakuliah wajib bagi mahasiswa S1 Pendidikan
Matematika di Jurusan Matematika Universitas
Negeri Malang. Fokus utama matakuliah ini adalah
membahas konsep trigonometri dan penerapannya.
Matakuliah Matematika Dasar II memiliki beban 3
sks dengan 3 js.
Berdasarkan pengalaman peneliti selama
mengampu matakuliah Matematika Dasar II
diperoleh informasi bahwa selama mempelajari
materi transformasi grafik siny x dan cosy x
dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau dalam
bentuk cos( )y A Bx C D , mahasiswa cende-
rung menghafal pengaruh A, B, C, dan D terhadap
grafik fungsi siny x atau cosy x . Dalam
pembelajaran, sebagian besar mahasiswa tidak
melakukan investigasi atau simulasi tentang
pengaruh , , ,A B C dan D pada bentuk umum
persamaan trigonometri sin( )y A Bx C D atau
cos( )y A Bx C D .Hal ini berakibat mahasiswa
kurang memahami pengaruh , , ,A B C dan D pada
bentuk umum persamaan trigonometri tersebut.
Mahasiswa memperoleh hasil yang kurang
memuaskan ketika menyelesaikan soal yang
berkaitan dengan transformasi grafik siny x atau
cosy x dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau
dalam bentuk cos( )y A Bx C D , Selain itu,
pada materi identitas trigonometri, mahasiswa juga
cenderung untuk menghafal rumus identitas
trigonometri tanpa melakukan investigasi atau
simulasi terhadap beberapa identitas trigonometri.
Hal ini menyebabkan mahasiswa seringkali kesulitan
untuk menyelesaikan soal terkait masalah identitas
trigonometri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti
mempunyai ide untuk mendesain pembelajaran
148. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
dengan melibatkan diskusi secara aktif antar
mahasiswa. Selain itu peneliti membuat lembar kerja
yang didesain untuk mencatat hasil visualisasi dan
simulasi tentang pengaruh , , ,A B C dan D pada
grafik fungsi trigonometri sin( )y A Bx C D .
Untuk membuat visualisasi dan simulasi tersebut
dibutuhkan software GeoGebra. Oleh karenanya,
peneliti mendesain pembelajaran dengan meng-
gunakan model pembelajaran kooperatif. Tujuan
menerapkan model pembelajaran ini adalah untuk
memberikan kesempatan kepada mahasiswa
melakukan diskusi dengan teman sekelompok.
Pemilihan software GeoGebra karena software ini
mampu memberikan visualisasi dan simulasi yang
baik. Selain itu GeoGebra mudah digunakan.
Menurut Hamdani (2011:30), pembelajaran
kooperatif diterapkan strategi belajar dengan
sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil,
yang tingkat kemampuannya berbeda. Saat
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota
kelompok harus saling bekerjasama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran.
Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok
belum menguasai bahan pelajaran. Johnson &
Johnson (1994:278) me-nyatakan bahwa tujuan
pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan
belajar pebelajar untuk peningkatan prestasi
akademik dan pemahaman baik secara individu
maupun secara kelompok.
Hohenwarter dan Fuchs (2004) menyatakan
GeoGebra adalah software geometri interaktif yang
menawarkan kemungkinan memasukkan persamaan
aljabar secara langsung. Software GeoGebra
mendorong pebelajar untuk mempelajari matematika
melalui eksperimen. Dengan GeoGebra sangat
mungkin untuk mengamati parameter dari suatu
persamaan. GeoGebra sangat bermanfaat sebagai
media pembelajaran matematika dengan beragam
aktivitas sebagai berikut: (1) sebagai media
demonstrasi dan visualisasi, (2) sebagai alat bantu
konstruksi, dan (3) sebagai alat bantu proses
penemuan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Nasution (2012), belajar kooperatif dapat
mendorong siswa berdiskusi untuk memahami suatu
konsep dan memecahkan masalah yang diberikan
secara bersama sama. Dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya, setiap anggota kelompok harus saling
bekerjasama dan saling membantu untuk memahami
materi pelajaran. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Widyaningrum dan Murwanintyas
(2012), penggunaan GeoGebra dapat meningkatkan
motivasi dan hasil belajar.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menerap-
kan model pembelajaran kooperatif menggunakan
software GeoGebra pada matakuliah Matematika
Dasar II. Penelitian ini dibatasi pada materi
transformasi grafik fungsi siny x atau cosy x
dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau dalam
bentuk cos( )y A Bx C D dan identitas trigono-
metri.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.
Peneliti menggambarkan penerapan pembelajaran
kooperatif menggunakan GeoGebra untuk mening-
katkan pemahaman mahasiswa pada matakuliah
Matematika Dasar II dengan materi transformasi
grafik fungsi siny x atau cosy x dalam bentuk
sin( )y A Bx C D atau cos( )y A Bx C D
dan identitas trigonometri. Penelitian ini dilakukan
pada mahasiswa kelas CZ Program Studi Pendidikan
Matematika FMIPA UM semester gasal 2015/2016.
Instrumen penelitian dalam penelitian ini
sebagai berikut: (1) peneliti sebagai instrumen
utama, (2) lembar kerja mahasiswa, disusun sebagai
panduan saat mahasiswa menggunakan GeoGebra,
(3) Rubrik penilaian unjuk kerja yang dikembangkan
ber-dasarkan indikator sebagai berikut: (a) menun-
jukkan pemahaman terhadap masalah, (b) menun-
jukkan kemampuan mem-buat kesimpulan, (c) me-
nunjukkan kemampuan komunikasi, dan (d) mampu
menyelesaikan masalah, (4) pedoman wawancara.
Instrumen ini dikembangkan untuk memperoleh data
tentang pendapat atau komentar mahasiswa
terhadapa peneraan pembelajaran kooperatif
menggunakan GeoGebra, dan (5) angket. Data
diperoleh melalui observasi, hasil pekerjaan
mahasiswa, angket dan wawancara.
Data yang diperoleh dari observasi adalah
data yang berhubungan dengan fokus masalah, yaitu
data tentang penerapan model pembelajaran
kooperatif menggunakan GeoGebra matakuliah
Matematika Dasar II. Data hasil pekerjaan
mahasiswa diperoleh dari lembar kerja mahasiswa.
Data tentang respon mahasiswa terhadap
pembelajaran kooperatif meng-gunakan GeoGebra
diperoleh melalui angket dan wawancara.
Teknik analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif yang
meliputi analisis hasil jawaban lembar kerja, keter-
laksanaan pembelajaran dengan model kooperatif
menggunakan GeoGebra.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap Persiapan
Pada tahap ini peneliti menyiapkan instrumen
penelitian dan hal yang dibutuhkan saat penelitian.
Pada tahap ini peneliti menyusun soal pretes,
melakukan pretes, menyusun kelompok berdasarkan
149
pretes, menyusun lembar kerja mahasiswa dan
media dengan menggunakan GeoGebra, menyusun
rubrik penilaian unjuk kerja, menyusun pedoman
wawancara, dan angket. Dibutuhkan waktu lima hari
dalam tahap persiapan.
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti
menyusun dan melakukan pretes. Pretes ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang
penguasaan materi prasyarat. Pretes diikuti oleh 25
mahasiswa dari 26 total mahasiswa kelas CZ. Hasil
dari pretes selain untuk mendapat gambaran
penguasaan materi prasyarat, juga dijadikan sebagai
bahan masukan untuk membagi kelompok. Dari total
26 mahasiswa dibagi menjadi 7 kelompok. Satu
kelompok terdiri dari 4 – 5 mahasiswa dengan
kemampuan yang bervariasi berdasarkan hasil
pretes.
Gambar 1. File Kegiatan 2.gbb yang dikembangkan menggunakan GeoGebra.
Setelah pretes dilakukan peneliti menyusun
instrumen penelitian. Peneliti menyusun lembar
kerja mahasiswa 1 (LKM1) dengan materi
transformasi grafik fungsi sinus dan lembar kerja
mahasiswa 2 (LKM2) dengan materi transformasi
grafik fungsi kosinus serta lembar kerja mahasiswa 3
(LKM3) dengan materi identitas dan persamaan
trigonometri. Selain itu peneliti juga membuat media
menggunakan GeoGebra. Media yang dibuat diberi
nama file kegiatan 2.ggb, file kegiatan 3.gbb, dan
file kegiatan 4.gbb digunakan dalam LKM1. File
kegiatan 6.gbb, file kegiatan 7.ggb dan file kegitan
8.gbb digunakan dalam LKM2. Contoh file kegiatan
2.gbb dapat dilihat di Gambar 1. Bentuk file
kegiatan 3, 4, 6, 7 dan 8 serupa dengan file kegiatan
2.gbb. Sedangkan file grafik.pdf yang dibuat dengan
GeoGebra digunakan dalam LKM3. Sumber belajar
lain untuk mahasiswa adalah buku Algebra and
Trigonometry edisi keempat yang ditulis oleh
Beecher, Penna, dan Bitinger.
Tujuan dan kegiatan pembelajaran dalam
LKM1 dan LKM2 adalah dengan menggunakan
software GeoGebra, mahasiswa mengamati dan
membuat kesimpulan tentang transformasi dari
grafik fungsi sinus (LKM1) dan kosinus (LKM2).
Tujuan dan kegiatan pembelajaran dalam LKM3
adalah mahasiswa dapat membuktikan identitas
trigonometri dan menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan persamaan trigonometri.
Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah instrumen penelitian selesai dibuat,
dilakukan pelaksanaan penelitian. Pelaksanaan
penelitian dilakukan dalam 4 kali pertemuan.
Pertemuan 1 untuk materi transformasi grafik fungsi
siny x dalam bentuk sin( )y A Bx C D ,
pertemuan 2 untuk materi transformasi grafik fungsi
cosy x dalam bentuk cos( )y A Bx C D , per-
temuan 3 untuk materi identitas trigonometri dan
pertemuan 4 untuk tes.
Pertemuan 1
Sebelum pertemuan pertama dimulai, peneliti
telah membagi mahasiswa menjadi 7 kelompok.
Tiap kelompok terdiri dari 4 – 5 mahasiswa.
Penentuan jumlah mahasiswa dalam satu kelompok
mengacu pada pendapat Slavin (1995). Ketika
memulai pembelajaran, peneliti memberikan
apersepsi dan menjelaskan tujuan pembelajaran,
yakni transformasi grafik siny x dalam bentuk
sin( ) .y A Bx C D Setelah menyampaikan tujuan
pembelajaran, peneliti meminta mahasiswa untuk
150. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
berkumpul dalam kelompok. Kemudian peneliti
memberikan LKM1, file kegiatan 2.gbb, file
kegiatan 3.gbb, dan file kegiatan 4.gbb. Kemudian
peneliti meminta mahasiswa untuk membuka file
kegiatan 2.gbb, file kegiatan 3.gbb, dan file kegiatan
4.gbb dengan menggunakan GeoGebra. Setelah file
dibuka, peneliti menjelaskan secara singkt
bagaimana cara menggunakan file kegiatan 2, 3, dan
4 dengan GeoGebra. Setelah penjelasan singkat
berakhir, peneliti meminta mahasiswa untuk
melakukan diskusi.
LKM1 terdiri dari lima kegiatan. Pada
kegiatan 1 mahasiswa diminta untuk
menggambarkan grafik fungsi sinus dengan domain
[-4π, 4π]. Pada kegiatan 2, mahasiswa diminta untuk
mengamati pengaruh nilai A dari grafik fungsi
siny A x terhadap siny x . Pada kegiatan 3
mahasiswa diminta untuk mengamati pengaruh nilai
B dari grafik fungsi sin .y Bx Pada kegiatan 4
mahasiswa di-minta untuk mengamati pengaruh C
pada grafik fungsi sin( ).y x C Pada kegiatan 5
mahasiswa diminta untuk mengamati pengaruh D
pada grafik fungsi sin .y x D Setelah
menyelesaikan lima kegiatan tersebut mahasiswa
diminta membuat kesimpulan secara umum tentang
pengaruh A, B, C, dan D pada transformasi grafik
siny x dalam bentuk sin( ) .y A Bx C D
Selama pembelajaran berlangsung terlihat
mahasiswa aktif dalam diskusi kelompok. Mereka
mengamati dengan serius visualisasi dan simulasi
melalui GeoGebra. Hasil yang diperoleh melalui
visualisasi dan simulasi menggunakan GeoGebra
didiskusikan dengan sesama anggota kelompok
kemudian dicatat pada LKM1. Selama pembelajaran
berlangsung, peneliti sebagai dosen memantau
jalannya diskusi dengan mengunjungi tiap kelompok
untuk melihat hasil diskusi kelompok. Selama
diskusi berlangsung, peneliti juga memberikan
scafolding bagi kelompok yang memang
memerlukan petunjuk atau arahan dalam
menyelesaikan masalah pada LKM1. Kegiatan
diskusi kelompok dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada saat pembelajaran berlangsung, maha-
siswa tidak mengalamai kesulitan mengoperasikan
GeoGebra. Hal ini karena GeoGebra mudah diguna-
kan. Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan
GeoGebra dalam kelas adalah ketersediaan aliran
listrik yang memadai. Jika menggunakan laborato-
rium, maka harus diperhatikan masalah ketersediaan
listrik apabila padam. Saat pembelajaran, mahasiswa
menggunakan laptop, sehingga apabila listrik
padam, tidak mengganggu pembelajaran.
Setelah diskusi selesai, peneliti memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk menyajikan
hasil diskusi kelompok. Tidak semua kelompok
menyajikan hasil diskusinya, hanya beberapa
kelompok yang menyajikan hasil diskusi. Kelompok
lain menyimak dan memberikan tanggapan apabila
ada kesimpulan yang berbeda dengan kelompok
yang menyajikan hasil diskusi. Dari hasil penyajian
kelompok, diperoleh informasi bahwa mahasiswa
memahami dengan baik tentang pengaruh koefisien
, ,A B C , dan D pada transformasi grafik fungsi
siny x ke dalam bentuk sin( )y A Bx C D .
Gambar 2. Kegiatan diskusi kelompok.
Nasution, Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra…, 151
Hasil jawaban mahasiswa pada LKM1
menunjukkan bahwa mahasiswa memahami dengan
baik tentang pengaruh koefisien , ,A B C , dan D
pada transformasi grafik fungsi siny x ke dalam
bentuk sin( )y A Bx C D . Semua kelompok
memberi-kan jawaban yang benar. Gambar 3 berikut
meru-pakan scan lembar jawaban salah satu
kelompok.
Gambar 3. Scan kesimpulan secara umum dari salah satu kelompok pada LKM1
Pertemuan 2
Kegiatan pembelajaran pada pertemuan 2
tidak jauh berbeda dengan kegiatan pembelajaran
pada pertemuan 1. Peneliti membagi kelompok
seperti pada pertemuan 1. Ketika memulai
pembelajaran, peneliti memberikan apersepsi dan
menjelaskan tujuan pembelajaran, yakni
transformasi grafik cosy x dalam bentuk
cos( ) .y A Bx C D Setelah menyampaikan
tujuan pembelajaran, peneliti meminta mahasiswa
untuk berkumpul dalam kelompok. Kemudian
peneliti memberikan LKM2, file kegiatan 6.gbb, file
kegiatan 7.gbb, dan file kegiatan 8.gbb. Peneliti
tidak perlu lagi memberikan penjelasan tentang cara
penggunaan GeoGebra karena pada pertemuan 1
mahasiswa tidak mengalami kesulitan untuk
menggunakan GeoGebra.
LKM2 terdiri dari lima kegiatan. Pada
kegiatan 1 mahasiswa diminta untuk
menggambarkan grafik fungsi kosinus dengan
domain [-4π, 4π]. Pada kegiatan 2, mahasiswa
diminta untuk mengamati pengaruh nilai A dari
grafik fungsi cosy A x terhadap cosy x . Pada
kegiatan 3 mahasiswa di-minta untuk mengamati
pengaruh nilai B dari grafik fungsi cos .y Bx
Pada kegiatan 4 mahasiswa di-minta untuk
mengamati pengaruh C pada grafik fungsi
cos( ).y x C Pada kegiatan 5 mahasiswa diminta
untuk mengamati pengaruh D pada grafik fungsi
cos .y x D Setelah menyelesaikan lima kegiatan
tersebut mahasiswa diminta membuat kesimpulan
secara umum tentang pengaruh A, B, C, dan D pada
transformasi grafik cosy x dalam bentuk
cos( ) .y A Bx C D
Dari pertemuan 2 terlihat bahwa mahasiswa
terampil dalam menggunakan GeoGebra dan terlibat
aktif dalam diskusi kelompok. Mahasiswa tidak
merasa canggung dalam menyampaikan pendapat
baik dalam diskusi kelompok atau diskusi kelas.
Dari hasil pekerjaan mahasiswa pada LKM2
diperoleh informasi bahwa mahasiswa memahami
dengan baik materi transformasi grafik cosy x ke
dalam bentuk cos( ) .y A Bx C D
Pertemuan 3.
Pertemuan 3 membahas tentang identitas
trigonometri. Pada pertemuan ini, pembagian
kelompok tetap seperti pada pertemuan 1 dan per-
temuan 2. Ketika memulai pembelajaran, peneliti
menjelaskan tujuan pembelajaran, yakni identitas
trigonometri. Setelah menyampaikan tujuan
pembelajaran, peneliti meminta mahasiswa untuk
berkumpul dalam kelompok. Kemudian peneliti
memberikan LKM3 beserta file grafik.pdf sebagai
file panduan LKM3. File grafik.pdf memuat
beberapa gambar grafik fungsi trigonometri yang
dibuat dengan menggunakan GeoGebra. Gambar 4
adalah salah satu halaman dari file grafik.pdf.
LKM3 terdiri dari 8 kegiatan. Pada kegiatan
1, mahasiswa diminta untuk mendata grafik pada file
grafik.pdf yang memiliki kesamaan. Hasil tersebut
kemudian ditulis mahasiswa pada kegiatan 1 LKM
3. Pada kegiatan 2, kegiatan 3, kegiatan 4, kegiatan
152. JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
5, kegiatan 6, kegiatan 7, dan kegiatan 8, mahasiswa
diminta untuk membuktikan identitas trigonoetri
yang diberikan. Dalam membuktikan identitas
trigonometri tersebut, mahasiswa dipandu langkah
demi langkah.
Mahasiswa terlibat aktif dalam diskusi
kelompok. Tidak ada kendala untuk menjawab
masalah yang disajikan di kegiatan pada LKM3.
Mahasiswa dapat membuktikan identitas trigono-
metri yang ada pada LKM3.
Gambar 4. Gambar grafik fungsi trigonometri pada file grafik.pdf.
Pertemuan 4.
Pada pertemuan 4 dilakukan tes. Materi tes
meliputi transformasi grafik siny x atau cosy x
dalam bentuk sin( )y A Bx C D atau dalam
bentuk cos( )y A Bx C D dan identitas trigono-
metri. Tes diikuti oleh 26 mahasiswa. Jumlah soal
tes adalah lima butir dengan alokasi waktu 100
menit. Hasil tes disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil tes mahasiswa.
Nilai Angka (x) Huruf Jumlah Mahasiswa
x ≥ 85 A 7
80 ≤ x < 85 A- 9
75 ≤ x < 80 B+ 4
70 ≤ x < 75 B 3
65 ≤ x < 70 B- 2
60 ≤ x < 65 C+ 1
55 ≤ x < 60 C 0
40 ≤ x < 55 D 0
0 ≤ x < 40 E 0
Hasil Wawancara dengan Mahasiswa
Setelah pembelajaran berakhir, peneliti me-
lakukan wawancara ke beberapa mahasiswa. Dari
hasil wawancara diperoleh informasi bahwa secara
umum mahasiswa merespon baik pembelajaran
kooperatif menggunakan GeoGebra. Mahasiswa
merasa terbantu dengan adanya visualisasi dan
simulasi menggunakan GeoGebra. Dengan adanya
model pembelajaran kooperatif, mahasiswa dapat
berdiskusi antar sesama anggota kelompok.
Mahasiswa dapat dengan mudah menyampaikan
pendapat, ide atau saran tanpa merasa canggung.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan.
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut: (1) penerapan pembelajaran kooperatif
dapat mendorong mahasiswa untuk melakukan
diskusi, menyampaikan ide atau pendapat, dan
mengurangi rasa canggung atau malu dalam
berpendapat (2) penggunaan software GeoGebra
dapat memberikan visualisasi dan simulasi yang
baik untuk materi transformasi grafik fungsi
siny x atau cosy x ke dalam bentuk
sin( )y A Bx C D atau ke dalam bentuk
cos( )y A Bx C D dan pada materi identitas
trigonometri, (3) dengan adanya model
pembelajaran kooperatif menggunakan GeoGebra,
mahasiswa dapat membuat kesimpulan berdasarkan
hasil pengamatan dan simulasi, (4) pemahaman
mahasiswa terhadap materi rata rata meningkat, dan
(5) dari hasil wawancara dengan mahasiswa, respon
mahasiswa terhadap pembelajaran kooperatif
menggunakan GeoGebra baik. Mahasiswa terbantu
dengan simulasi yang ditampilkan oleh GeoGebra
ketika melakukan diskusi kelompok.
Nasution, Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra…, 153
Saran
Model pembelajaran kooperatif menggunakan
GeoGebra dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
mengajarkan Matematika Dasar II. Dalam meng-
gunakan GeoGebra, sebaiknya satu laptop atau
komputer digunakan oleh dua mahasiswa. Dalam
pembelajaran kooperatif, satu kelompok sebaiknya
terdiri atas 4-6 mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Beecher, Judith., Penna & Bitingger. 2012. Algebra
and Trigonometry 4th Edition. Boston:
Pearson Education, Inc.
Hamdani, 2011. Strategi Belajar Mengajar. Ban-
dung: CV Pustaka Setia.
Hohenwarter, M. & Fuchs, K. (2004). Combination
of Dynamic Geometry, Algebra, and Calculus
in the Software System Geogebra. Tersedia di:
www.geogebra.org/publications/pecs_2004.pd
f. Diakses: 5 Mei 2016.
Johnson, D.W. dan Johnson, R.T. 1994. Learning
Togother and Alone: Cooperative, Compe-
titive, and Individualistic Learning, Fourth
Edition. Massachusets: Allyn & Bacon
Nasution, Syaiful Hamzah. 2012. Penerapan Pem-
belajaran Kooperatif Berbantuan Media
Google SketchUp 8 untuk Memahamkan
Konsep Jarak pada Dimensi Tigas Kelas X.
Tesis, tidak diterbitkan.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory,
Research and Practice 2nd Edition. Boston:
Allyn and Bacon.
Widyaningrum, Yulia dan Enny Murwanintyas.
2012. Pengaruh Media Pembelajaran
GeoGebra terhadap Motivasi dan Hasil
Belajar Siswa Pada Materi Grafik Fungsi
Kuadrat di Kelas X SMA Negeri 2 Yogyakarta
Tahun Pelajaran 2012/2013. Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY.
.
154
IDENTIFIKASI POLA SISWA SMP BERDASARKAN TEORI GESTALT
Iva Nurmawanti1, Edy Bambang Irawan2, I Made Sulandra3
Universitas Negeri Malang
Abstract: Learning the patterns is an important activity in mathematics. However, many junior high
school students difficulty to identify the patterns. There are also students who are able to identify patterns
by looking at the structure of the image and then used to determine the rules.The purpose of this study to
describe the strategy of identifying patterns in the junior high school students to identify the patterns
based on Gestalt law , consist of law of proximity, law of similarity, law of closure, and the law of
continuity. The research subjects in this study were three students of seventh grade in SMPN 1
Tulungagung that identifies patterns by using different Gestalt Law. The subjects have communication
skills both written and spoken. Data collection instrument in this research is the problem of the number
pattern in the form of pictures and interview guidelines. This research is a descriptive study with
qualitative approach. The data in this study are test score and interviews. The result showed that the S1,
S2, and S3 using the law of proximity, similarity, closure, and / or continuity. Law of proximity used by S1,
S2, and S3. Law of similarity used by S1, for S3 used law of similarity and proximity in the process of
identifying patterns. S1 and S3 are also using law of closure, for S3 used law of similarity and proximity
in the process of identifying patterns. S2 used law of continuity.
Keywords: patterns identification , Gestalt theory, numbers patterns
Abstrak: Belajar dengan pola merupakan kegiatan yang penting dalam matematika. Namun siswa SMP
masih banyak yang mengalami kesulitan mengidentifikasi pola. Tetapi ada juga siswa yang mampu
mengidentifikasi pola yaitu dengan melihat struktur gambar dan selanjutnya digunakan untuk menentukan
aturannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi identifikasi pola siswa SMP dalam
mengidentifikasi pola berdasarkan hukum Gestalt yaitu kedekatan (law proximity), hukum kesamaan (law
of similarity), hukum penutupan (law of closure), dan hukum kesinambungan (continuity). Subjek
penelitian dalam penelitian ini adalah 3 siswa SMPN 1 Tulungagung kelas VIIA yang mengidentifikasi
pola dengan menggunakan Hukum Gestalt yang berbeda. Subjek dipilih yang memiliki kemampuan
komunikasi baik secara tulis maupun lisan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah soal
tentang pola bilangan dalam bentuk gambar dan pedoman wawancara. Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa hasil tes tentang pola
dan wawancara. Hasil analisis data menunjukkan bahwa S1, S2, dan S3 menggunakan hukum proximity,
similarity, closure, dan/ atau continuity. Hukum proximity digunakan S1, S2, dan S3. Hukum similarity
digunakan S1, untuk S3 menggunakam hukum similarity dan proximity dalam satu proses identifikasi
pola. S1 dan S3 juga menggunakan hukum closure, untuk S3 menggunakam hukum similarity dan
proximity dalam satu proses identifikasi pola. Hukum continuity digunakan S2. Kata kunci: identifikasi pola, Teori Gestalt, pola bilangan.
Pola sebagai jantung dari matematika dan
kamu dapat menemukan pola dengan mencari pada
bentuk (shapes), bilangan (numbers), dan banyak
benda lain (Holt, Rinehart, & Winston, 2006:1).
Zazkis dan Liljedahl (2002) juga menyatakan bahwa
pola sebagai jantung dan jiwa dari matematika dan
banyak prinsip dasar matematika sekolah muncul
sebagai generalisasi dari pola pada bilangan dan
bentuk (shape). Guerrero and Rivera (2002)
menjelaskan bahwa “pattern as a rule between the
elements of a series of mathematical objects which
are constructed”. Menurut Muhsetyo (2015: 110)
pola merupakan hubungan atau relasi, yaitu sifat
atau karakteristik bersama dari beberapa keadaan,
fakta, data kasus, atau kejadian. Berdasarkan pola
yang diperoleh dari beberapa keadaan tersebut
kemudian seseorang mempunyai bahan dasar untuk
memprediksi, menduga, atau menebak adanya aturan
yang berlaku secara umum, sebagai pernyataan
umum (generalisasi) dari sejumlah data atau fakta.
Barbosa, dkk (2007) menjelaskan bahwa
pemberian tugas untuk mengeksplorasi pola dapat
berkontribusi pada pengembangan kemampuan yang
berhubungan dengan penyelesaian masalah,
menganalisis kasus khusus, mengorganisasi data
dengan cara yang sistematis, membuat dugaan dan
Nasution, Model Pembelajaran Kooperatif Menggunakan GeoGebra…, 155
generalisasi. Pemberian masalah yang menantang
tentang pola juga dapat meningkatkan berpikir
kreatif siswa dan dapat mengembangkan
kemampuan matematika siswa (Barbosa, dkk, 2012).
Kennedy, Tipps, dan Johnson (2008:359) juga
menjelaskan bahwa menemukan dan menggunakan
pola merupakan strategi yang penting dalam
kehidupan, berpikir matematis, dan menyelesaikan
masalah. Oleh karena itu, pada sekolah tingkat
menengah, siswa harus sering mempunyai
pengalaman yang beragam dengan penalaran
matematis yang salah satunya melalui kegiatan
menguji pola dan struktur untuk menemukan
keteraturan (NCTM, 2000: 262).
Oleh karena pola merupakan hal yang penting
dalam pembelajaran matematika di Indonesia belajar
tentang pola juga terdapat dalam kurikulum. Pada
kurikulum 2013 disebutkan bahwa siswa harus dapat
menggunakan pola dan generalisasi dalam
menyelesaikan masalah (Permendiknas, 2013). Pada
kurikulum 2013 pola dipelajari siswa SMP di tingkat
awal yaitu kelas VII. Di SMA siswa juga belajar
tentang pola pada materi barisan dan deret. Oleh
sebab itu, materi pola pada kelas VII harus dikuasai
dengan baik oleh siswa.
Namun masih ada kesulitan siswa dalam
melakukan identifikasi. Siswa belum menemukan
cara yang tepat dalam menentukan aturan pola.
Berikut contoh kesulitan yang dialami siswa pada
Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Contoh soal tentang pola
Berikut jawaban siswa yang tidak mampu
menyelesaikan masalah tersebut.
Untuk mendapatkan kejelasan dari pekerjaan
tertulis siswa tersebut dilakukan wawancara.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa siswa
tersebut tidak mampu mencari aturan dari pola.
Menurut siswa ada bilangan yang tetap gambar ke-1,
ke-2, dan ke-3 yaitu bilangan 3. Selanjutnya ada
bilangan genap yang dijumlahkan dengan 3 pada
masing-masing gambar. Sehingga untuk gambar ke-
4 siswa menjulahkan bilangan 3 dengan suatu
bilangan genap. Namun aturan untuk bilangan genap
yang dijumlahkan tidak sesuai dengan aturan pada
pada gambar ke-1, ke-2, dan ke-3. Sehingga siswa
salah dalam menentukan banyak korek api pada
gambar ke-15. Hasil kesalahan siswa ini juga
didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan
oleh Lian dan Idris (2006) yang neyatakan bahwa
kesalahan yang biasa dilakukan siswa yaitu
kesalahan dalam mencari pola.
Oleh karena pola merupakan bagian dari
materi yang penting dalam pembelajaran matematika
di sekolah ada beberapa peneliti melakukan
penelitian tentang pola. Salah satunya yaitu Rivera
dan Becker (2005) dimana berdasarkan penelitian
yang dilakukan ada 23 strategi yang strategi yang
berbeda ditemukan. Strategi tersebut kemudian
diidentifikasi berdasarkan tiga jenis, (1) numerik,
yang hanya menggunakan isyarat yang didirikan dari
setiap pola yang terdaftar sebagai urutan bilangan
atau ditabulasikan dalam tabel untuk menurunkan
aturan, (2) figural, yang hanya berlaku di
generalisasi tugas yang menggambarkan pola
menggunakan diagram, dan bergantung sepenuhnya
pada isyarat visual yang didirikan langsung dari
struktur figur (gambar) untuk memperoleh aturan.
Selanjutnya Rivera dan Becker (2008) menemukan
strategi lain dari siswa yaitu kombinasi dari kedua
pendekatan numerik dan figural.
Rivera & Becker (2008) juga menyatakan
bahwa ada dua strategi yang digunakan siswa dalam
menggeneralisasi pola fugral yaitu generalisasi
konstruktif dan dekonstruktif. Generalisasi
konstruktif, yang terjadi ketika pola figural yang
diberikan dalam tugas generalisasi dipandang
sebagai kompisisi dari gambar yang tidak tumpang
156, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
tindih dan merupakan aturan yang dinyatakan
langsung sebagai jumlah dari beberapa sub
komponen. Generalisasi dekonstruktif, yang terjadi
ketika pola figural divisualisasikan terdiri dari
komponen yang tumpang tindih, dan aturannya
dinyatakan secara terpisah dengan menghitung
setiap komponen diagram dan kemudian
mengurangkan setiap bagian yang tumpang tindih.
Gambar berikut ini sebagai contoh dari strategi
konstruktif dan dekonstruktif dari siswa.
Gambar 2. Strategi konstruktif dalam
generalisasi pola
Gambar 3. Strategi dekonstruktif dalam
generalisasi pola
Ada strategi figural lain yang ditemukan
digunakan siswa dalam proses melakukan
generalisasi yaitu pada saat melakukan identifikasi.
Identifikasi merupakan kegiatan awal dalam proses
generalisasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Dyndal (2007) yang menyatakan ada empat langkah
dalam proses generalisasi yaitu pemodelan langsung,
identifikasi pola, tes pembuktian dari pola,
menemukan aturan untuk kasus umum. Strategi
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 4. Strategi figural lain
Strategi yang digunakan siswa tersebut bukan
merupakan strategi konstruktif dan dekonstruktif.
Namun strategi tersebut jika berdasarkan Teori
Gestalt merupakan strategi penutupan (closure).
Oleh sebab penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsiskan strategi identifikasi berdasarkan
Teori Gestalt. Teori Gestalt merupakan ide tentang
pengelompokan yaitu berdasarkan karakteristik
stimulus yang ada menyebabkan kita mempunyai
struktur atau penafsiran bidang visual atau masalah
dengan cara tertentu dari stimulus tersebut
(Hochberg, 2010:234).
METODE
Penelitian ini merupakan penilitian kualitatif.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena-fenomena
tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain,
secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Moleong, 2006). Data yang
diperoleh pada penelitian ini akan dideskripsikan
berdasarkan hasil pekerjaan siswa dari soal tentang
pola, sehingga jenis penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Penelitian ini dilakukan di SMPN 1
Tulungagung. Subjek dalam penelitian ini adalah 3
siswa SMPN 1 Tulungagung kelas VIIA. Ketiga
siswa tersebut yang dipilih berdasarkan strategi
figural yang digunakan dalam mengidentifikasi pola.
Strategi figural yang memiliki karakteristik keempat
Hukum Gestalt. Hal ini disebabkan agar diperoleh
deskripsi kemampuan siswa menyelesaikan soal
berdasarkan keempat Hukum Gestalt tersebut.
Tahap-tahap pengumpulan data dalam
penelitian ini meliputi tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, tahap analisis data, dan penulisan
laporan. Pada tahap persiapan, kegiatan yang
dilakukan yaitu menyusun isntrumen penelitian.
Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari satu soal
dengan gambar pada soal tersebut dapat
diidentifikasi menggunakan keempat Hukum
Gestalt. Selanjutnya instrumen tersebut divalidasi
oleh dosen pascasarjana matematika UM.
Selanjutnya tahap pelaksanaan dilakukan dengan
memberikan soal tersebut kepada calon subjek
penelitian. Calon kelompok subjek tersebut adalah
41 siswa kelas VII A yang menggunakan strategi
figural dengan hukum Gestalt berbeda. Selain itu
juga dipilih yang memiliki kemampuan komunikasi
yaitu komunikasi tulis dan lisan yang baik .
Kemampuan komunikasi tulis dilihat berdasarkan
kejelasan hasil pekerjaan tertulis siswa. Sedangkan
kemampuan komunikasi lisan dipilih berdasarkan
pendapat dari guru matematika siswa. Berdasarkan
kriteria pemilihan subjek tersebut terpilihlah 3
subjek yaitu S1, S2 dan S3. Selanjutnya berdasarkan
data hasil tes dan wawancara, data tersebut
dianalisis. Analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode
perbandingan tetap (constant comparative method)
yang dikemukakan oleh Glaser dan Strauss (dalam
Moleong, 2014: 288). Analisis data tersebut
Nurmawanti, Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt, 157
meliputi: reduksi data, kategorisasi, sintesisasi, dan
menyusun hipotesis kerja.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan subjek yang dipilih, S1, S2, dan
S3 menggunakan hukum proximity, similarity,
closure, dan/ atau continuity dalam mengidentifikasi
pola. Berikut soal tentang pola yang digunakan
dalam penelitian ini.
Hasil pekerjaan S1 yang menggunakan
hukum proximity, closure dan similarity dalam
mengidentifikasi aturan pola tersebut disajikan
dalam Gambar 5.
Gambar 5. Hasil pekerjaan S1
Hukum similarity digunakan S1 untuk
mengidentifikasi pola pada cara pertama dan cara
kedua. Pada cara yang pertama, S1 menentukan
aturan Gambar ke-1, ke-2, dan ke-3. Sebelum S1
menentukan aturan pada masing-masing gambar, ia
menginterpretasikan bahwa objek-objek pada
barisan Gambar no 1 memiliki kesamaan. Kesamaan
dari ketiga objek pada Gambar no1 tersebut adalah
sama-sama memiliki kelompok noktah yang
banyaknya ada 2 dan tersusun pa ling belakang dari
masing-masing objek. Selanjutnya kesamaan
tersebut digunakan oleh S1 sebagai acuan untuk
menentukan aturan pada masing-masing gambar.
Berikut cuplikan hasil wawancara dengan S1 yang
merupakan penjelasan cara pertama tersebut.
P : jelaskan bagaimana cara yang kamu gunakan
untuk menentukan banyak noktah pada
Gambar ke-4?
S1 : dengan membuat rumus untuk polanya Bu.
P : bagaimana cara yang kamu gunakan untuk
menentukan rumusnya?
S1 : dengan melihat gambarnya Bu.
P : jelaskan cara yang kamu gunakan untuk
menentukan aturan pada masing-masing
gambar tersebut!
S1 : pada gambar-gambar ini (menunjuk
jawabannya) memiliki dua-dua ini kan Bu.
Nah dua noktah yang dibelakang ini dijadikan
acuan untuk menentukan aturannya. Untuk
gambar pertama kan ada dua kotak ini yang
158, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
depan 1 dan yang belakang 2. Jadi aturannya
1+2. Untuk gambar yang ini (menunjuk
Gambar ke-2) 3+2. 3 untuk yang ini
(menunjuk pada kotak pertama pada Gambar
ke-2) dan 2 ini untuk yang belakang
(menunjuk kotak kedua pada Gambar ke-2).
Gambar ketiga juga sama Bu caranya.
Pada cara yang kedua, S1 mengidentifikasi
pola dengan menginterpretasikan masing-masing
gambar untuk menemukan aturannya. S1 tersebut
memberikan arti pada Gambar no 1 bahwa masing-
masing objek pada gambar tersebut memiliki
kesamaan. Kesamaannya yaitu sama-sama memiliki
banyak noktah satu yang tersusun di depan.
Selanjutnya banyaknya noktah 1 tersebut digunakan
sebagai acuan dalam menentukan aturannya.
Untuk cara yang ketiga yang digunakan S1
mengidentifikasi pola dengan menggunakan hukum
closure . Hal ini dilakukan dengan menambahkan
satu noktah pada Gambar ke-1, ke-2, dan ke-3.
Selanjutnya S1, melihat bahwa gambar tersebut
merupakan gambar yang tersusun penuh.
Berdasarkan pemahaman tentang apa yang
dilihatnya tersebut S1 menggunakannya untuk
menentukan aturan pada Gambar ke-1, ke-2, dan ke-
3.
Identifikasi yang dilakukan siswa dengan cara
keempat dengan menggunakan hukum proximity.
Hal ini itunjukkan S1 dengan memberikan arti pada
masing-masing gambar. S1 memberikan arti bahwa
gambar-gambar tersebut tersusun dengan
kelompok-kelompok tertentu. S1 menggunakan
jarak untuk mengelompokkan noktah-noktah
penyusun gambar tersebut. Pemberian jarak tersebut
bertujuan untuk menunjukkan adanya pola yang
tampak pada masing-masing gambar tersebut.
Berdasarkan penggunaan hukum gestalt untuk
memberikan arti masing-masing gambar tersebut, S1
membuat aturan masing-masing gambar.
Selanjutnya berdasarkan aturan masing-masing
gambar tersebut digunakan s1 untuk mencari
hubungan antara penyusun gambar dengan posisi
gambar untuk menentukan aturan umumnya. Aturan
umum dibuat oleh S1 untuk menentukan banyak
noktah pada gambar ke-4 dan ke-15. Berikut proses
yang dilakukan S1 untuk menentukan atuan umum
pola tersebut pada cara yang pertama berdasarkan
cuplikan wawancara berikut.
P : Bagaimana cara kamu menemukan n +(n − 1) + 2?
S1 : Untuk membuat aturan umum kan harus
disesuaikan dengan U nya Bu. Nah, 2 ini
sebagai acuannya. Jadi tidak boleh diubah.
Untuk yang pertama karena sudah sesuai
dengan U nya (menunjuk tulisan U1 di
jawaban tertulisnya) maka tidak perlu diubah.
Sedangkan untuk yang kedua ini kan belum
sesuai karena U2. Jadi 3 harus diubah
menadi 2+1. Untuk yang ke-3 karena U3 5
harus diubah menjadi 3+2. Jadi karena sudah
sesuai dengan U nya maka aturannya 𝑛 +(𝑛 − 1) + 2.
Untuk menentukan banyaknya noktah pada
Gambar ke-4, S2 menggunakan 3cara. Berikut hasil
pekerjaan S2 secara tertulis.
Cara yang pertama dilakukan oleh S2 dengan
menggunakan hukum continuity. S2 mencari
hubungan antara masing-masing gambar. Hubungan
yang digunakan S2 adalah hubungan kesinambungan
pada gambar-gambar di soal. Ada hubungan yang
terus berlanjut yaitu adanya penambahan dua noktah
dari gambar pertama ke gambar selanjutnya.
Hubungan tersebut diperoleh S2 dengan melihat
penyusun masing-masing gambar.
Untuk cara yang kedua dan ketiga, S2
menggunakan hukum proximity. Pada cara yang
kedua untuk menentukan aturan masing-masing
gambar dengan memberikan jarak pada masing-
masing gambar tersebut sehingga membentuk dua
Nurmawanti, Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt, 159
kelompok, yaitu kelompok atas dan kelompok
bawah. berdasarkan hal tersebut digunakan S2 untuk
menentukan aturan masing-masing gambar.
Selanjutnya aturan masing-masing gambar tersebut
digunakan untuk menentukan aturan umum dari pola
tersebut. Untuk menentukan aturan umum S2
menggambar gambar keempat dulu dan
diidentifikasi aturannya seperti gambar sebelumnya.
Selain itu juga digunakan S2 untuk menentukan
banyak noktah pada gambar ke-4. Sedangkan aturan
umum digunakan S2 untuk menentukan banyak
noktah pada gambar ke-15.
Cara yang ketiga seperti yang dilakukan pada
cara kedua yaitu dengan memberikan jarak terhadap
masing-masing gambar S2 membagi masing-masing
gambar menjadi beberapa kelompok. Pada Gambar
ke-1 dimaknai memiliki dua kelompok yaitu
kelompok yang memiliki banyak noktah 2 dan
banyak noktah 1. Sehingga aturan yang diperoleh
untuk Gambar ke-1 adalah 2+1. Berdasarkan
pemberiak arti pada Gambar ke-1, S2 memberikan
arti bahwa Gambar ke-2 juga tersusun dari
kelompok-kelompok yang memiliki banyak noktah
masing-masing 2 ada dua kelompok dan satu
kelompok yang memiliki banyak noktah 1. Aturan
yang didapatkan S2 berdasarkan har tersebut adalah
2+2+1. Selanjutnya dengan cara yang sama S2
memberikan arti bahwa Gambar ke-3 terdiri dari
kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki
banyak noktah 2 yaitu sebanyak tiga kelompok.
Selain itu juga memiliki kelompok dengan banyak
noktah 1. Berdasarkan aturan masing-masing
gambar yang telah dibuat digunakan S2 untuk
menentukan aturan umum yang selanjutnya
digunakan untuk menentukan banyak noktah pada
gambar ke-15.
Pada cara pertama S3 menggunakan hukum
proximity yaitu dengan memberikan jarak tertentu
untuk membagi masing-masing gambar menjadi
beberapa kelompok. Pada Gambar ke-1, ke-2, dan
ke-3, S3 membagi gambar-gambar tersebut masing-
masing terdiri dari dua kelompok. Kelompok yang
pertama yaitu kelompok noktah yang berada di atas
dan kelompok yang berada di bawah. Selanjutnya
karena S3 belum melihat adanya hubungan yang dari
kelompok gambar yang bawah dengan bilangan
pada gambar ia melihat susunan noktah pada
kelompok yang bawah. S3 memberikan makna
bahwa kelompok noktah yang bawah tersusun dari
noktah sebanyak bilangan yang menunjukkan urutan
gambar dan di tambah satu. Selanjutnya berdasarkan
hal tersebut S3 menentukan rumus umum yaitu
𝑈𝑛 = 𝑛 + (𝑛 + 1). Rumus umum tersebut
selanjutnya digunakan S3 untuk menentukan banyak
noktah pada Gambar ke-4 dan ke-15.
Identifikasi cara yang kedua dilakukan dengan
menggunakan hukum similarity. S3 melihat adanya
kesamaan pada masing-masing gambar tersebut
yaitu sama-sama memiliki kuantitas yang tetap yaitu
3 noktah. Selanjutnya S3 menggunakan hukum
proximity untuk mengidentifiksi aturan bagian
ygambar yang tidak tetap pada Gambar ke-1, ke-2,
ke-3, dan ke-4. Hukum proximity dugunakan S2
untuk membagi bagian gambar menjadi beberapa
kelompok. Selanjutnya berdasarkan hal tersebut
dibuat aturan masnig-masing gambarnya.
Identifikasi cara ketiga dilakukan S3 dengan
menggunakan hukum closure. S3 memberikan satu
noktah pada bagian pojok yang masih memiliki
celah agar tertutup. Selanjjutnya seteah menutup
gambar-gambar tersebut, S3 menggunakan hukum
proximity untuk membuat kelompok pada gambar
yang tertutup tadi. Penggunakan hukum proximity
untuk mencari hubungan antara posisi gambar
dengan kuantitas penyusun gambar guna ditemukan
aturan umumnya.
Untuk cara yang keempat S3 menggunakan
hukum proximity. S3 membagi masing-masing
gambar menjadi dua kelompok yaitu yang depan dan
yang belakang. Selanjutnya untuk bagian belakang
160, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
S3 membagi menjadi kelompok lagi untuk
menentukan aturan masing-masing gambar yang
dihubungkan dengan posisi gambar. Pencarian
hubungan tersebut untuk menentukan aturan
umumnya. Berdasarkan aturan umum yang dibuat
tersebut digunakan S3 untuk menetukan banyak
noktah bpada gambar ke-4 dan ke-15.
Berdasarkan paparan data di atas, telah
diketahui hukum Gestalt yang digunakan tidak
tunggal oleh masing-masing subjek. Hal ini
disebabkan karena adanya kebutuhan dalam
menyelesaikan soal di atas. Pada soal tentang pola di
atas siswa di tuntut untuk mencari cara sebanyak
mungkin yang digunakan. Sehinnga hukum gestalt
yang digunakan tidak tunggal. Selain itu berdasarkan
strategi yang digunakan dalam mengidentifikasi
berdasarkan Hukum Gestalt tersebut ditemukan
aturan umum yang berbeda-beda. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyndal
(2007) juga yang menjelaskan bahwa identifikasi
pola merupakan hal yang penting dalam menemukan
tipe simbolisasi pada generalisasi.
Untuk hukum continuity hanya dilakukan S2
untuk menentukan banyak noktah pada gambar ke-4.
Sedangkan untuk banyak noktah pada gambar ke-15,
S2 menggunakan aturan umum. Menurut S2
menggunakan hukum continuty untuk menentukan
gambar ke-15 teralu lama. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lannin, Barker, &
Townsend (2006) aturan umum umumnya dianggap
lebih berguna dan berlaku dari aturan rekursif.
Ketika seseorang menggunakan aturan rekursif
untuk posisi yang jauh akan menjadi melelahkan.
Bagi siswa yang belum mempelajari materi
aljabar kaitannya dengan operasi aljabar strategi
dengan menggunakan teori gestalt ini dapat
digunakan untuk mengenalkan siswa kemampuan
aljabar awal. Hal ini berarti dengan strategi ini dapat
digunakan siswa dalam membangun berpikir aljabar
siswa. Hashemi, dkk (2013) menjelaskan bahwa
melatih siswa bekerja dengan pola dapat
berkontribusi pada kemampuan berpikir aljabar
siswa. Selain itu berdasarkan penelitian yang
dilakukan Rivera (2010) dijelaskan bahwa Gestalt
effect membahas masalah yang relevan untuk pola
yang berguna, hal itu merupakan kriteria struktur
dasar dari aljabar.
PENUTUP
Kesimpulan
Berikut deskripsi strategi identifikasi S1, S2,
dan S3 dengan menggunakan Teori Gestalt
identifikasi pola dapat dilakukan dengan
menggunakan empat strategi. Keempat strategi
untuk identifikasi pola adalah sebagai berikut.
1. Proximity, identifikasi yang dilakukan dengan
menggunakan strategi ini oleh S1, S2, dan S3
yaitu komposisi gambar-gambar pada pola figural
dipandang memiliki jarak tertentu. Pemberian
jarak yang dilakukan pada masing-masing
gambar tersebut dapat dibuat beberapa kelompok
tertentu pada masing-masnig gambar.
Pengelompokan tersebut selanjutnya digunakan
untuk menentukan aturan masing-masing gambar.
2. Similarity, strategi ini dilakukan oleh S1 dan S3
dengan melihat adanya ciri-ciri yang sama pada
komposisi dari objek-objek pada pola.
Selanjutnya berdasarkan ciri-ciri yang sama
tersebut digunakan untuk menentukan kuantitas
yang tetap pada masing-masing aturan yang
dibuat untuk masing-masing gambar.
3. Closure, dengan menggunakan strategi ini S1 dan
S3 melihat komponen-komponen gambar pada
pola bergambar yang memiliki celah dapat
ditutup sehingga membentuk objek yang utuh.
Selanjutnya dilakukan identifikasi pada
komponen setelah ditutup tersebut, digunakan S1
dan S3 untuk menentukan aturan masing-masing.
Selanjutnya berdasarkan aturan yang dibuat S1
dan S3 mrengurangi dengan bilangan yang
menggambarkan kuantitas yang ditambahkan.
4. Continuity, strategi ini digunakan S3 untuk
melihat adanya kesinambungan antara gambar
sebelumnya dengan gambar setelahnya.
Kesinambungan tersebut berkaitan dengan
bagaimana gambar setelahnya dibentuk dari
gambar sebelumnya. Ada kuantitas tertentu yang
ditambahkan dari gambar sebelumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Barbosa, dkk. 2007. The influence of visual
strategies in generalization: a study with 6th
grade students solving a pattern task.
Proceedings of the Fifth Congress of the
European Society for Research in
Mathematics Education, 2007, pp. 844-851
Barbosa, dkk. 2012. Pattern Problem Solving Tasks
As A Mean To Foster Creativity In
Mathematics. Proceedings of the 36th
Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education, Vol. 4,
171-178. Taipei, Taiwan: PME.
Barbosa. A, Vale I., Palhares P. 2009. Exploring
Generalization With Visual Patterns:Tasks
Developed With Pre-Algebra Students.
Comunication International Meating on
Pattern. Viana de Castelo
Dyndal, J. 2007. High School Students’ Use of
Patterns and Generalisations. Proceedings of
the 30th annual conference of the
Nurmawanti, Identifikasi Pola Siswa SMP Berdasarkan Teori Gestalt, 161
Mathematics Education Research Group of
Australasia J. Watson & K. Beswick (Eds),
Vol.1. Merga Inc.
Guerrero, L. dan Rivera, A. 2002. Explorationof
Pattern and Recursive Functions. Dalam D.S.
Mewborn, P. Sztajn, D.Y. White, H.G. Heide,
R.L Bryant &K. Nooney (Eds.), Proceedings
of Annual Meeting of The North American
Chapter of International Group for The
Psychology of Mathematics Education (24th,
Athens, Georgia, October 26-29) (Vol. 1-4,
pp. 262-272). Athens, Georgia: PME: NA.
Hashemi, dkk. 2013. Generalization in the Learning
of Mathematics. Proceedings of the 2nd
International Seminar on Quality and
Affordable Education. Center of Mathematics
Education.
Hochberg, 2010. Educational Psychoogy Theory and
Practice. USA: Pearson.
Holt, Rinehart, Winston. 2006. Patterns and figures.
In Wisconsin Center for Education Research
& Freudenthal Institute (Eds.), Mathematics
in Context. Chicago: Encyclopædia
Britannica, Inc.
Kennedy, L.M., Tipps, S., dan Johnson, A. 2008.
Guiding Children’s Learning of Mathematics.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Lannin. J., Barker, D. & Townsend, B. (2006).
Algebraic generalisation strategies: Factors
influencing student strategy selecti on.
Mathematics Education Research Journal,
18(3), 3–28.
Muhsetyo, Gatot. 2015. Menghayati Kekayaan dan
Keindahan Matematika. Universitas Negeri
Malang.
Moleong, Lexy j. 2006. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda.
NCTM. 2000. Principle and Standards for School
Mathematics. Reston, V.A: Author.
Permendiknas RI No 68. 2013. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional republik Indonesia
Nomor 68 tentang KD dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan
Madrasah Tsanawiyah.Jakarta.
Rivera & Becker, 2005. Generalization Strategies Of
Beginning High School Algebra Students.
Proceedings of the 29th Conference of the
International Group for the Psychology of
Mathematics Education, Vol. 4, pp. 121-128.
Melbourne: PME.
Rivera & Becker,2008 . Middle school children s
cognitive perceptions of constructive and
deconstructive generalizations involving
linear figural patterns. ZDM Mathematics
Education 40(1), 65-82.
Rivera, F. 2010. Visual Templates in Pattern
Generalization Activity. 73:297-328.
Springer.
Zazkis, R. dan Liljedahl, P. 2002. Generalization Of
Patterns: The Tension Between Algebraic
Thinking And Algebraic Notation. Netherland:
Kluwer Academic Publishers.
162
GESTURE SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA
Rivatul Ridho Elvierayani1, Edy Bambang Irawan2, Sudirman3
Universitas Negeri Malang
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstract: During the process of solving the problem, all the spontaneous actions undertaken is the
natural state of students when dealing with problems. Does it have a big impact in helping students solve
mathematical problems?. In this study will be revealed about the role of student action or gesture of
students in solving mathematical problems. Subjects were selected four students at a junior high school in
Malang city. Researchers recorded all the activities of the students while solving a mathematical problem
to determine the students' gesture. The results showed that students using deictic and representational
gestures to communicate their mathematical ideas, to understand the problem at hand and also acts as a
guide in solving mathematical problems.
Keywords:Problem solving, gesture, deictic gesture, representasional gesture
Abstrak: Pada saat proses memecahkan masalah, segala tindakan spontan yang dilakukan merupakan
keadaan alami siswa ketika berhadapan dengan masalah. Apakah tindakan tersebut berpengaruh besar
dalam membantu siswa memecahkan masalah matematika?. Dalam penelitian ini akan diungkap
mengenai peranan tindakan siswa atau gesture siswa dalam memecahkan masalah matematika. Subjek
yang dipilih ada empat siswa di sebuah SMP kota Malang. Peneliti merekam segala aktivitas siswa saat
memecahkan masalah matematika untuk mengetahui gesture siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
siswa menggunakan gesture deiktik dan representasional untuk mengomunikasikan ide-ide matematis
mereka, memahami masalah yang sedang dihadapinya dan juga berperan sebagai pembimbing dalam
menyelesaikan masalah matematika.
Kata kunci: pemecahan masalah, gesture, gesture deiktik, gesture representasional
Pemecahan masalah (problem solving)
merupakan salah satu ketrampilan proses yang perlu
dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Hal
ini sesuai dengan National Council of Teachers of
Mathematics (2000) bahwa pemecahan masalah
merupakan ketrampilan dalam berpikir matematika
tingkat tinggi untuk dapat mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Saat memecahkan masalah
matematika, peneliti banyak menemui siswa yang
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tipe soal
berbentuk soal cerita. Hal ini diperkuat oleh
penelitian yang telah dilakukan oleh Croteau (2004)
dan Chan, dkk (2006) bahwa siswa masih
mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah
matematika berbentuk soal cerita materi aljabar dan
geometri. Saat siswa memecahkan masalah
matematika peneliti mencoba mengamati proses
pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa.
Peneliti mulai tertarik dengan segala tindakan yang
dilakukan siswa dalam memecahkan masalah
matematika. Baru-baru ini, banyak penelitian yang
mengkaji tentang kognisi yang diwujudkan
(embodied cognition) salah satunya mengenai
Theories of Embodied Cognition yang diungkap oleh
Caroline, dkk (2012). Teori ini menjelaskan bahwa
kemampuan kognitif seseorang berhubungan dengan
tindakan dan persepsi dari orang tersebut. Teori
inilah yang mendasari bahwa tubuh terlibat dalam
proses berpikir yang sedang dilakukan. Saat
seseorang dihadapkan dengan masalah, secara tidak
langsung seseorang tersebut memikirkannya
sebentar dan secara spontan menanggapi masalah
tersebut dengan berinteraksi melibatkan gerakan
tubuh mereka. Hosteter & Alibali (2008)
berpendapat bahwa gesture muncul dari persepsi dan
simulasi motorik yang mendasari bahasa dan
bayangan mental seseorang. Gesture menurut
Becvar, dkk (2008) adalah semua gerakan tubuh,
khususnya lengan dan tangan yang terintegrasi baik
dengan ucapan maupun tidak dan digunakan sebagai
alat untuk mengomunikasikan sesuatu. Gesture
sering dilakukan siswa dalam mempelajari konsep
baru di kelas, selain itu saat dihadapkan masalah
matematika gesture juga berperan penting dalam
memecahkan masalah tersebut.
Saat memecahkan masalah, siswa sering
menggunakan gesture disertai dengan ucapan, hal ini
digunakan untuk memperjelas pengguna gesture
kepada pendengar tentang apa yang sedang
dipikirkannya (McNeill, 1992). Sehingga gesture
sering nampak jika ada seseorang yang melihatnya.
Namun, terkadang siswa juga menggunakan gesture
ketika tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Sehingga gesture yang ia gunakan bertujuan untuk
Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 163
dirinya sendiri dalam proses pemecahan masalah
matematika tersebut. Gesture sangat berhubungan
erat dengan pemecahan masalah matematika, seperti
yang diungkap oleh Francaviglia & Servidio (2011)
bahwa gesture memberikan strategi komunikasi
yang baik dalam menyelidiki proses berpikir
matematis siswa dalam memecahkan masalah.
Penelitian tentang penggunaan gesture dalam
memecahkan masalah matematika telah banyak
dilakukan diantaranya Goldin-Meadow dan
rekannya (Church & Goldin-Meadow, 1986; Alibali
& Goldin-Meadow, 1993; Goldin-Meadow, Alibali,
& Church, 1993; dan Goldin-Meadow & Alibali,
1995) melakukan penelitian mengenai pemecahan
masalah konservasi bilangan dan ekivalensi.
Hasilnya menunjukkan bahwa siswa seringkali
menggunakan gesture untuk mempelajari konsep
baru untuk menjelaskan pemahaman mereka.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
peneliti mempelajari dan meneliti secara mendalam
peranan gesture siswa dalam memecahkan masalah
matematika, karena Alibali & Nathan (2011)
mengatakan bahwa gesture memberikan bukti
bahwa tubuh terlibat dalam berpikir dan berbicara
mengenai ide-ide yang diekspresikan melalui
gesture. Selain itu tujuan dari penelitian ini yaitu
ingin mengungkap peranan gesture yang dilakukan
siswa untuk dirinya sendiri dalam memecahkan
masalah matematika. Goldin-Meadow (2009)
menjelaskan bahwa seseorang juga menggunakan
gesture ketika tidak ada seseorang yang melihatnya.
Penelitian ini hanya difokuskan pada gesture pada
gerakan lengan dan tangan. Berdasarkan McNeill
(1992) dan Alibali & Nathan (2011) jenis gesture
yang dikaji dibedakan menjadi dua yaitu gesture
deiktik dan gesture representasional. Gesture deiktik
merupakan gesture menunjuk yaitu gesture yang
menunjuk ke objek, kejadian, lokasi atau orang.
Gesture representasional merupakan gesture dengan
bentuk lintasan tangan maupun lengan yang dapat
menggambarkan aspek-aspek dari pemaknaan
mereka. Berpijak pada kajian teori dan kajian
empiris yang telah dilakukan oleh peneliti, maka
dapat dibuat kerangka kerja gesture siswa selama
memecahkan masalah matematika. Hal ini diurakan
pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Kerangka Kerja Gesture Siswa selama Memecahkan Masalah
Jenis Gesture Deskripsi Perilaku Siswa selama Diskusi
Deiktik Gesture yang digunakan untuk
menunjuk objek, orang
ataupun suatu hal.
Menunjuk dengan jari tangan (jempol, telunjuk, tengah,
manis ataupun kelingking) pada suatu objek (bilangan, kata,
gambar, grafik) baik disertai ucapan maupun tidak.
Menunjuk dengan bantuan alat tulis (pensil, bolpoin,
penggaris) sebagai pengganti jari tangan pada suatu objek
baik disertai ucapan maupun tidak.
Representasional Gesture yang menggambarkan
ide-ide konkrit dan abstrak,
isi, atau peristiwa yang
disampaikan secara verbal
maupun non verbal.
Membuat lintasan gerak dengan jari tangan (seperti:
menggerakkan jari telunjuk secara melingkar, membuat
lintasan garis) baik di udara maupun di atas kertas.
Membuat lintasan gerak dengan alat tulis sebagai pengganti
jari tangan namun tidak meninggalkan bekas coretan.
Membuat lintasan gerak dengan tangan maupun lengan
menyerupai objek yang dibicarakan saat menjelaskan
kepada teman diskusinya (seperti: membuat lengkungan
dengan tangan untuk menjelaskan mengenai grafik fungsi
kuadrat).
METODE
Penelitian ini termasuk dalam penelitian
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara
rinci peranan gesture siswa dalam memecahkan
masalah matematika. Penelitian ini dilakukan dalam
satu kelas yang berjumlah 20 siswa di salah satu
SMP di kota Malang, kemudian siswa dibagi
menjadi 10 kelompok dan diberi lembar tugas.
Subjek dipilih berdasarkan pengamatan lagsung saat
siswa melakukan variasi gesture dalam memecahkan
masalah matematika secara kelompok. Instrumen
lembar tugas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah instrumen lembar tugas soal cerita berjumlah
dua soal diambil dari salah satu soal PISA
(Programme for International Student Assessment)
dan TIMSS (Trends in International Mathematics
and Science Study). Hal ini dilakukan karena soal-
soal matematika dalam studi PISA dan TIMSS lebih
banyak mengukur kemampuan siswa untuk bernalar,
memecahkan masalah dan berargumentasi daripada
soal-soal yang mengukur kemampuan teknis seperti
mengingat dan menghitung semata. Data penelitian
ini diambil dari rekaman audio-visual (video) siswa
selama proses memecahkan masalah matematika
164, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
secara kelompok. Ada empat subjek dari dua
kelmpok yang dipilih dalam penelitian ini yang
diambil peneliti untuk dilakukan proses pengambilan
data selanjutnya melalui wawancara subjek dan
mengeksplorasi penggunaan gesture yang dilakukan
selama memecahkan masalah matematika hingga
data lengkap, kemudian data dianalisis. Analisis data
mengikuti tahapan dari Johnson, B. & Christensen
L. (2004) yakni dilakukan dengan tekhnik
transkripsi, segmentasi, kodding dan
pengkategorissian hingga penarikan kesimpulan.
HASIL
Berdasarakan hasil penelitian yang telah
dilakukan mengenai peranan gesture dalam
memecahkan masalah yang diajukan oleh peneliti,
peneliti mengamati dua kelompok terpilih dari
sepuluh kelompok yang ditentukan sebelumnya.
Sepuluh kelompok yang telah ditentukan,
pembagian kelompoknya telah dilakukan oleh guru
kelasnya secara heterogen sesuai dengan proses
pembelajaran kooperatif. Pemilihan kedua kelompok
subjek ini didasarkan pada banyaknya variasi
gesture yang dilakukan selama memecahkan
masalah matematika juga kejenuhan data mengenai
peranan gesture selama proses pemecahan masalah
walaupun bentuk gesture yang dilakukan berbeda.
Dua kelompok subjek terpilih berasal dari kelompok
siswa berkemampuan tinggi dengan siswa
berkemampuan sedang dan siswa berkemampuan
sedang dengan siswa berkemampuan rendah.
Masing-masing kelompok subjek menggunakan
gesture deiktik, gesture representasional.
Peranan gesture dalam kelompok 1
Kelompok 1 merupakan kelompok siswa
berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan
sedang. Banyaknya gesture yang mereka lakukan
selama memecahkan masalah matematika sebanyak
56 gesture diantaranya 33 gesture menunjuk, 23
gesture representasional.
Peranan gesture S1
Saat diberikan soal, awalnya S1 mengerjakan
soal nomor 1, pada menit ke 00:05 S1 membaca soal
dengan gerakan tangan menunjuk (gesture deiktik),
S1 menggunakan jari telunjuk tangan kirinya pada
setiap kata dan gambar. Hal ini dilakukan oleh
keduanya untuk memperjelas soal dan untuk
memahami maksud soal yang diberikan pada dirinya
sendiri. Sehingga S1 melakukannya tanpa disertai
dengan ucapan yang melengkapi penggunaan
gesturenya.
Gambar 1. Gesture deiktik untuk memahami
masalah
Selanjutnya mulai menit 01:05 S1 melakukan
gesture deiktik dan gesture representasional untuk
mencoba membantu S2 dengan cara menunjuk
setiap gambar dengan jari telunjuk tangan kirinya
dan membuat gerakan melingkar tanpa
menimbulkan bekas dengan pensilnya pada hasil
jawaban yang dituliskan oleh S2 pada sebuah kertas.
Hal ini dilakukan S1 semata-mata untuk membantu
memfokuskan rencana penyelesaian yang dituliskan
oleh S2 pada dirinya sendiri.
Gambar 2. Gesture representasional untuk
memahami masalah
Semua variasi gesture yang dilakukan S1 di
awal saat memahami masalah dan merencanakan
penyelesaian semata-mata digunakan sendiri untuk
lebih memusatkan perhatiannya tentang masalah
yang sedang dihadapinya.
Pada menit ke 02:19 S1 mencoba melakukan
variasi gesture, baik gesture deiktik maupun gesture
representasional dengan menunjuk dan membuat
gerakan melingkar dengan pensilnya tanpa
meninggalkan bekas pada gambar timbangan.
Gesture tersebut dilakukan S1 untuk membantu
mengongkritkan ide nya dalam menyelesaikan
rencana penyelesaian yang dilakukan oleh S2.
Karena adanya kendala dalam memecahkan
masalah, S1 mencoba membaca soal kembali dengan
suara keras dan menggunakan gesture deiktik
dengan menunjuk menggunakan jari kelingking
tangan kirinya pada setiap kata yang ada pada soal.
Selain itu S1 juga menggunakan gesture
representasional dengan menunjuk dan membuat
lintasan melingkar dengan salah satu jari telunjuk di
gambar timbangan 1 dan jari tengah menunjuk di
menunjuk pada
lembar tugas
Membuat lintasan
melingkar pada gambar
timbangan
Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 165
timbangan 2 dengan tangan kirinya. Gesture ini
dilakukan secara bersamaan. Gesture yang dilakukan
S1 digunakan untuk dirinya sendiri untuk
memfokuskan masalah yang sedang dipikirkannya.
Selanjutnya S1 berdiskusi dengan S2 mengenai
rencana selesaian yang dilakukan. Keduanya saling
menggunakan gesture deiktik saat berdiskusi, hingga
pada akhir diskusi S1 menggunakan gesture
representasional dengan membuat simbol lima
dengan tangan kirinya untuk mengongkritkan
jawaban hasil diskusinya. Selama S2 menuliskan
hasil jawaban S1 menggunakan gesture deiktik
untuk membantu memfokuskan S2 dalam
menuliskan hasil jawaban selesaian.
Selanjutnya pada saat mengerjakan soal
nomor 2, S1 membaca soal dengan suara lantang dan
mulai menit ke 00:02 menggunakan gesture deiktik
dengan menunjuk menggunakan pensil pada setiap
kata yang ada pada soal. Hal ini dilakukan S1
semata-mata untuk lebih menfokuskan perhatiannya
pada masalah yang dihadapinya. Diskusi sempat
terhenti karena S1 tidak memahami maksud soal.
LIA juga menggunakan gesture representasional
untuk merepresentasikan maksud soal pada grafik
dengan membuat lintasan dengan pensil yang
digerakkan dari ujung kiri ke ujung kanan sumbu 𝑥
(seperti pada Gambar 4.4) pada gambar di lembar
tugas namun tidak meninggalkan bekas coretan pada
kertas.
Gambar 3. Gesture representasional untuk
merepresentasikan pemahaman masalah
Dilihat dari peranannya, variasi gesture yang
dilakukan S1 ditujukan kepada dirinya sendiri untuk
lebih memahami dan mengerti maksud soal dan
penyelesaian yang diinginkan pada masalah yang
dihadapinya. Diskusi terus berlanjut hingga S1
memberikan alasan jawaban dari hasil
pemahamannya dengan disertai gesture yang tertera
pada Gambar 4 di bawah ini:
Gambar 4. Gesture representasional (a) koordinat
kartesius (b) grafik lengkung (fungsi kuadrat)
(c) perpotongan garis (d) garis sejajar oleh S1
Awalnya S1 menggunakan gesture deiktik
yang tidak lain digunakannya untuk menarik
perhatian S2 tentang ide yang akan disampaikannya.
Sehingga keduanya fokus pada apa yang akan
dibicarakan. Selanjutnya gesture representasional
digunakan untuk menggambarkan tentang hubungan
grafik dan fungsi. Sehingga kedua gesture ini
berperan untuk mengkongkritkan ide ataupun
gagasan yang ada di pikiran mereka. Selain itu
berperan pula dalam memahami dan menemukan
pemecahan dari suatu permasalahan.
Peranan gesture S2
Awalnya S2 mengerjakan soal nomor 1, pada
menit ke 00:05 S2 membaca soal dengan gerakan
tangan menunjuk (gesture deiktik), S2 menggunakan
pensilnya untuk menunjuk setiap kata dan gambar
tanpa meninggalkan bekas coretan. Hal ini dilakukan
olehnya untuk memperjelas soal dan untuk
memahami maksud soal yang diberikan pada dirinya
sendiri. Selanjutnya S2 siswa berkemampuan tinggi
mulai menit ke 01:00 menulis rencana penyelesaian
dengan menggunakan konsep persamaan linear,
namun tidak memperoleh hasil jawaban yang
menurutnya tepat. Selanjutnya S2 mempunyai ide
untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan
konsep logika, S2 menggunakan gesture deiktik
dengan menunjuk menggunakan pensil pada setiap
gambar pada timbangan untuk menjelaskan rencana
selesaian yang dilakukan kepada teman diskusinya.
Selama mereka berdiskusi keduanya saling
menggunakan gesture deiktik untuk menunjuk
gambar disertai dengan ucapan. Hal ini dilakukan
untuk menegaskan ucapan yang disampaikannya.
Diskusi berlanjut pada nomor 2, S2 kembali
membaca soal tanpa disertai ucapan namun
166, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
menggunakan gesture menggunakan tangan
kanannya menunjuk pada gambar grafik untuk
memfokuskan maslalah yang sedang dihadapinya.
Ketika S1 tidak memahami masalah yang sedang
dihadapinya S2 memberikan bantuan dengan
menggunakan gesture representasional seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5. berikut untuk
menyampaikan pemahamannya terhadap masalah
yang sedang dihadapi oleh keduanya.
Gambar 5. Gesture representasional menjelaskan
pemahaman S2 kepada S1
Diskusi berlanjut sampai keduanya
menemukan jawaban akhir dari masalah dengan
bantuan gesture. Ketika gesture bersesuaian dengan
ucapan maka perhatian dalam proses diskusi terjalin
dengan baik.
Peranan gesture dalam kelompok 2
Kelompok 2 terdiri dari kelompok siswa
berkemampuan sedang dan siswa berkemampuan
rendah. Dalam diskusi ini jumlah gesture yang
mereka lakukan sebanyak 76 gesture, 57 diantaranya
merupakan gesture deiktik dan 19 gesture yang lain
merupakan gesture representasional.
Peranan gesture S3
Pada menit ke 00:04 S3 mulai menggunakan
gesture setelah membaca soal nomor 1. Gesture
pertama yang dilakukan S3 adalah gesture deiktik.
Gesture ini dilakukan dengan menunjuk gambar
timbangan tiga menggunakan pensil sebagai
pengganti jari tangan kanannya. Gesture ini
dilakukan setelah S3 selesai membaca soal tanpa
disertai ucapan. Gesture deiktik yang digunakan
semata mata berperan untuk memahami masalah
yang diberikan sebelum didiskusikan kepada
rekannya. Diskusi berlanjut dengan penggunaan
gesture deiktik higga pada menit ke 00:28 S3
menggunakan gesture representasional disertai
dengan ucapan. Gesture ini dilakukan S3 bersamaan
dengan gesture deiktik, dan dilakukan dengan
menggunakan kedua tangannya dimana tangan
kanan memegang pensil dan menunjuk gambar
timbangan 2, sedangkan ibu jari dan telunjuk tangan
kirinya membuat gerakan seperti mencubit untuk
mengambil 2 silinder pejal dan 1 bola di timbangan
2 dan dipindahkan ke timbangan 3 (seperti pada
Gambar 6). Berdasarkan hasil wawancara hal ini
dilakukan S3 untuk memfokuskan masalah yang
sedang dihadapinya
.
Gambar 6. Gesture deiktik dan representasional oleh S3
Selama memahami masalah pada menit ke
00:42, S3 selalu menggunakan gesture deiktik
dengan kedua tangannya tanpa disertai ucapan,
gesture ini dilakukan dengan tangan kanan
memegang pensil menunjuk sebuah gambar
timbangan dan jari telunjuk tangan kirinya
menunjuk gambar timbangan yang lain. Gesture ini
dilakukan S3 sampai pada menit ke 01:37. Karna S3
merasa belum memahami masalah yang diinginkan
pada soal nomor satu, S3 melanjutkan mengerjakan
soal nomor 2. Sama halnya seperti sebelumnya
selama memahami masalah S3 menggunakan
gesture menunjuk dan representasional dengan
menunjuk gambar grafik dan membuat lintasan
melingkar. Karena dirasa soal nomor dua lebih susah
dari soal nomor satu, S3 kembali mengerjakan soal
nomor satu.
Selama melanjutkan mengerjakan soal nomor 1,
S3 mendengarkan pendapat dari teman diskusinya,
dan setelah memahami rencana selesaian yang
diberikan, S3 kembali mengambil alih diskusi
dengan menjawab hasil selesaian dari soal nomor 1.
Ketika menemui kendala dalam perhitungannya, S3
menggunakan gesture representasional untuk
mengongkritkan ide yang sedang dipikirkannya.
Setelah menemukan jawaban, S3 menulis hasil
jawaban disertai gesture deiktik dengan cara S3
menulis menggunakan tangan kanannya, sedangkan
Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 167
tangan kirinya melakukan gesture deiktik dengan
menujuk mengunakan ibu jari dan telunjuknya pada
setiap timbangan secara bergantian. Hal ini
dilakukan S3 untuk dirinya sendiri. Peranan gesture
yang dilakukan S3 digunakan untuk memusatkan
perhatiannya dalam menuliskan hasil selesaian yang
dilakukan.
Gambar 7. Gesture deiktik saat menuliskan selesaian
Saat mengerjakan soal nomor dua, pada saat
memahami masalah S3 membaca soal secara lantang
disertai gesture deiktik dan gesture representasional.
Gesture deiktik dilakukan dengan menunjuk setiap
kata pada soal dengan menggunakan jari telunjuk
tangan kirinya dan gesture representasional
dilakukan beriringan dengan gesture deiktik dengan
cara membuat lintasan garis lurus pada sumbu 𝑥 dan
membuat lintasan lengkung seperti huruf U pada
grafik di soal dengan pensil di tangan kanannya
tanpa menimbulkan bekas coretan. Setelah
memahami masalah S3 memulai membuat rencana
selesaian dengan mendiskusikannya kepada teman
diskusinya menggunakan gesture deiktik dan
representasional disertai dengan ucapan seperti pada
Gambar 8 di bawah ini.
Gambar 8. Variasi gesture S3 saat merencanakan selesaian
Terlihat bahwa S3 menggunakan variasi
gesture baik berupa gesture deiktik maupun gesture
representasional untuk memberikan penjelasan
kepada rekan diskusinya mengenai rencana selesaian
yang sedang dipikirkannya. S3 merepresentasikan
grafik fungsi dan menjelaskan titik potong negatif
pada gafik fungsi tersebut. Gesture ini dilakukan S3
untuk mengongkritkan idenya dan membantu teman
diskusinya memahami selesaian dari soal tersebut.
Peranan gesture S4
Pada awalnya S4 membaca soal nomor 1,
mulai menit ke 00:08 S4 menggunakan gesture
deiktik dengan menunjuk gambar timbangan 2
menggunakan pensil dengan tangan kanannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan S4, gesture
deiktik yang digunakan semata mata berperan untuk
memahami masalah yang diberikan. Selama
memahami masalah S4 sering menggunakan gesture
deiktik dengan menunjuk setiap kata dan gambar.
Setelah memahami apa yang ditanyakan pada soal,
S4 memberanikan diri dengan mengusulkan rencana
selesaian dengan mengubah dulu berat satu silinder
pejal sama dengan tiga bola bejal, namun teman
diskusinya terlihat masih ragu dengan jawaban yang
diberikan oleh S4, sehingga diskusipun hening
sampai 2 menit. Karena teman diskusinya mengajak
berindah pada soal nomor 2, S4 mwncoba mengikuti
kemauan rekan diskusinya dan kembali memahami
masalah dengan menggunakan gesture. Gesture
yang digunakan adalah gesture deiktik dengan cara
menunjuk gambar grafik pada lemar soal (perhatikan
Gambar 9.). Hal ini semata-mata dilakukan untuk
dirinya sendiri sebagai cara untuk memudahkannya
dalam memahami maksud soal yang sedang
dibacanya.
168, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Gambar 9. Gesture deiktik S4 saat membaca soal
Selama memecahkan masalah, S4
menggunakan variasi gesture untuk membantunya
dalam memecahkan masalah yang sedang
dhadapinya. Seperti pada saa memberikan
argumentasinya mengenai rencana selesaian yang
dilakukan untuk melanjutkan jawaban nomor satu,
S4 memberikan pendapat disertai gesture deiktik.
Hasilnya menunjukkan bahwa dengan bantuan
gesture yang dilakukan 4 dapat memberikan
pengaruh baik terhadap teman diskusinya untuk
kembali menyelesaikan masalah nomor 1, dan
berhasil untuk menemukan jawaban akhir dari soal
nomor 1. Dengan bantuan gesture ini S4 dapat
mengongkritkan ide yang ada di pikirannya untuk
memberikan usulan mengenai rencana selesaian
yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Selanjutnya, S4 kembali memberikan
konstribusinya dalam berdiskusi dengan
memeberikan pendapat disertai gesture mengenai
masalah fungsi pada soal nomor 2. S4 berpendapat
bahwa S4 pernah menemui masalah yang disajikan
dari guru kelasnya. S4 merepresentasikan grafik
lengkung dengan empat kondisi (perhatikan Gambar
10). Dilihat dari peranannya gesture tersebut
digunakan S4 untuk memberikan bantuan kepada
teman diskusinya tentang konsep fungsi yang pernah
didapatkannya, selain itu juga digunakan untuk
mengongkritkan ide/gagasan yang dipikirkannya
kepada teman dikusinya.
Gambar 4.17 Gesture representasional oleh S4 untuk merepresentasikan grafik lain (a) lengkung ke kiri (b)
lengkung ke kanan (c) lengkung ke bawah (d) lengkung ke atas
Gesture yang dilakukan S4 memberikan
pengaruh ang besar kepada teman diskusinya
sebagai ide untuk menyelesaikan maslaah yang
sedang dihadapinya. Dari ide awal yang dmunculkan
S4 melalui gesture yang dilakukannya dapat menjadi
jembatan penghubung antara ide yang diberikan S4
dengan hasil jawaban yang diberikan oleh teman
diskusinya dalam menjawab masalah lembar tugas
nomor 2.
Dari semua gesture yang dilakukan oleh siswa
dalam memecahkan masalah matematika, peneliti
dapat membuat beberapa hasil temuan dari peranan
gesture yang digunakan siswa dalam memecahkan
masalah matematika. Hal tersebut diuraikan peneliti
dalam Tabel 2.
PEMBAHASAN
Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah
Matematika
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
memecahkan masalah matematis yang diberikan
oleh peneliti, siswa melakukan variasi gesture.
Variasi gesture yang dilakukan siswa dapat di-
golongkan berdasarkan klasifikasi yang dilakukan
oleh McNeill (1992) mengenai gesture proporsional.
Jenis gesture proporsional tersebut terdiri dari
gesture ikonik, gesture metaforik dan gesture
deiktik. Selanjutnya menurut Alibali & Nathan
(2007) gesture ikonik dan gesture metaforik disebut
sebagai gesture representasional. Sehingga dalam
penelitian ini semua siswa melakukan dua jenis
gesture yaitu gesture deiktik dan gesture
representasional.
menunjuk gambar
grafik
Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 169
Tabel 2. Peranan Gesture Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika
Jenis Peranan
Deiktik Memahami masalah.
Memperjelas soal.
Memusatkan perhatian untuk melaksanakan rencana selesaian.
Menegaskan ucapan.
Menunjukkan kepada orang lain
Memusatkan perhatian orang lain
Memusatkan perhatian bersama.
Representasional Mengongkritkan ide/gagasan yang dipikirkannya.
Memahami maksud soal.
Memberikan bantuan kepada orang lain.
Menjelaskan ide/gagasan kepada orang lain
Membantu memahami masalah.
Membantu menyelesaikan rencana selesaian.
Memusatkan perhatian bersama.
Gesture deiktik merupakan gesture yang
paling sering digunakan saat memecahkan masalah
yang diberikan. Dari ketiga kelompok jumlah
gesture deiktik yang dilakukan sebanyak 117 dari
173 gesture yang dilakukan. Fakta ini sesuai dengan
pernyataan yang diungkap oleh Alibali & Nathan
(2007) dalam salah satu penelitiannya diperoleh
bahwa 56% pembelajaran matematika menggunakan
gesture, 21% diantaranya menggunakan gesture
deiktik, 20% diantaranya gesture representasional
dan sisanya gesture menulis. Data hasil penelitian
menunjukkan bahwa gesture deiktik dilakukan siswa
dengan dua cara, terkadang tanpa ucapan dan paling
sering digunakan disertai dengan ucapan. Gesture
deiktik yang dilakukan tanpa ucapan digunakan
untuk dirinya sendiri sebelum menyampaikan apa
yang dipikirkan kepada lawan bicaranya, hal ini
sesuai dengan pendapat Alibali dan Nathan (2011)
bahwa siswa mengekspresikan pengetahuan baru
dalam bentuk gesture sebelum mereka
menyampaikannya dengan perkataan. Sedangkan
gesture deiktik yang digunakan bersamaan dengan
ucapan digunakan untuk menunjukkan suatu hal
kepada lawan bicaranya. Seperti yang dikatakan oleh
McNeill (1992) bahwa gesture dan ucapan
mengkombinasikan pengungkapan makna yang
tidak sepenuhnya ditangkap oleh pembicara jikalau
hanya dilakukan salah satu saja. Dengan kata lain
gesture deiktik yang disertai dengan ucapan
memberikan penegasan bagi pembicara untuk
menyampaikan apa yang dipahaminya. Dari
keempat siswa dalam data penelitian, gesture deiktik
yang digunakan untuk dirinya sendiri terjadi di awal
kegiatan baik gesture tersebut disertai ucapan
maupun tidak disertai ucapan. Hal ini dilakukan
siswa untuk memahami masalah. Selain itu gesture
ini juga digunakan siswa untuk memperjelas maksud
soal yang sedang dibacanya. Sehingga dengan
gesture yang digunakan dapat merepresentasikan
apa yang sedang dipahaminya. Gesture deiktik yang
digunakan untuk orang lain dilakukan siswa
bersamaan dengan ucapan. Hal ini dilakukan saat
berdiskusi untuk menunjukkan suatu hal kepada
orang lain, entah itu dengan menunjuk gambar, kata
ataupun gafik. Gesture deiktik yang dilakukan siswa
dalam memecahkan masalah di penelitian ini,
hampir sering dilakukan oleh siswa yang
berkemampuan sedang. Mereka menggunakan
gesture tersebut untuk dirinya sendiri dalam
memahami maksud soal dan merepresentasikan soal
ketika mereka selesai membacanya. Setelah
memahami maksud soal mereka menggunakan
kembali gesture deiktik untuk disampaikan kepada
rekan diskusinya dan terkadang juga digunakan
untuk bersama. Hal ini dilakukan siswa karena
mereka merasa dengan melakukan gesture tersebut
mereka dapat berperan aktif dalam menyelesaikan
masalah matematika secara kelompok.
Dalam penelitian ini penggunaan gesture
representasional ditemui dalam tiga cara baik itu
disertai ucapan maupun tidak disertai ucapan.
Pertama siswa menggunakan gesture
representasional di atas kertas, kedua dilakukan
diatas meja dan ketiga dilakukan di udara. Gesture
representasional yang dilakukan siswa diatas kertas
ditujukan pada gambar timbangan dan grafik.
Gesture ini sering berbentuk lintasan bentuk, baik
itu lintasan bentuk melingkar yang digunakan untuk
merepresetasikan informasi yang dianggap penting
dalam pikirannya, lintasan garis lurus untuk
merepresentasikan sumbu 𝑥 sebagai daerah asal
suatu fungsi dan lintasan grafik lengkung seperti
huruf U untuk merepresentasikan dengan jelas grafik
fungsi kuadrat. Gesture yang dilakukan ini
digunakan sebagai penggambaran objek yang sedang
dipikirkan siswa saat berdiskusi dengan rekan
kerjanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Alibali &
Nathan (2011) bahwa gesture representasional lebih
170, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
sering digunakan untuk menyatakan persepsi secara
visual. Gesture representasional dalam penelitian ini
digunakan siswa baik untuk dirinya sendiri, untuk
orang lain dan digunakan untuk bersama-sama (diri
sendiri dan orang lain). Gesture representasional
yang digunakan untuk diri sendiri banyak dilakukan
tanpa ucapan verbal. Gerakan yang dilakukan
cenderung membuat lintasan bentuk seperti lintasan
melingkar, lintasan garis lurus dan lintasan grafik U
di atas kertas. Hal ini dilakukan untuk
mengongkritkan apa yang sedang dipahaminya
setelah membaca soal. Gesture yang digunakan
untuk diri sendiri ditemui di awal kegiatan. Gesture
representasional yang digunakan untuk orang lain
selalu disertai dengan ucapan verbal. Gesture ini
dilakukan baik di atas kertas, di atas meja maupun
diudara, hal ini digunakan untuk menjelaskan
sesuatu baik itu pemaham siswa terhadap soal, ide,
maupun gagasan dalam merencanakan selesaian.
Gesture representasional yang digunakan untuk
kepentingan bersama, cenderung disertai dengan
ucapan. Hal ini dilakukan ketika siswa
merencanakan selesaian dan menuliskan rencana
selesain yang dilakukan diatas kertas. Hal ini
digunakan untuk memusatkan perhatian bersama
dalam menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapinya. Selain itu juga digunakan untuk
membantu memfokuskan hal yang dianggap penting
saat menuliskan rencana selesaian.
Peranan Gesture dalam Memecahkan Masalah
Matematika
Gesture deiktik merupakan gesture menunjuk
yang ditujukan pada suatu objek, tempat, atau
inskripsi pada suatu lingkungan fisik. Dalam
penelitian ini gesture deiktik digunakan untuk
menunjuk objek berupa gambar, grafik maupun
tulisan. Peranan gesture deiktik dalam memecahkan
masalah secara kelompok terbagi menjadi tiga
bentuk. Pertama, gesture deiktik digunakan sebagai
alat untuk menegaskan ucapan. Di awal kegiatan,
siswa membaca soal baik secara lantang maupun
tidak disertai dengan jari tangan menunjuk setiap
kata pada soal yang dibacanya. Hal ini berperan
untuk memusatkan perhatian siswa saat memahami
masalah yang sedang dihadapinya. Sesuai dengan
pendapat Alibali & Nathan (2011) bahwa gesture
deiktik secara khusus sangat menarik untuk
digunakan karena hal tersebut merupakan penandaan
secara spontan untuk memperjelas suatu hal. Kedua,
gesture deiktik berperan untuk menunjukkan kepada
orang lain. Gesture ini dilakukan bersamaan dengan
ucapan. Ucapan-ucapan yang sering digunakan
dalam penelitian ini seperti “ini kan” atau “ini lho
domainnya” ada pula “1 balok pejal” dan ucapan-
ucapan tersebut bersamaan dengan menunjuk
tulisan, gambar timbangan maupun grafik. Dengan
bantuan gesture deiktik penerima gesture
(pendengar) dapat dengan mudah mengetahui apa
yang dimaksud pengguna gesture ketika
menyampaikan objek pembicaraannya. Sehingga
pendengar terpusat dengan apa yang ditunjuk oleh
pengguna gesture tersebut. Ketiga, gesture deiktik
ini berperan untuk menunjukkan posisi suatu titik.
Gesture ini digunakan ketika siswa mengerjakan
masalah fungsi. Dari data hasil penelitian siswa
menggunakan gesture menunjuk untuk menentukan
titik-titik koordinat pada grafik. Gesture ini
dilakukan baik disertai ucapan maupun tidak disertai
ucapan oleh pengguna gesture. Di akhir kegiatan,
saat menuliskan rencana selesaian secara tidak sadar
siswa menggunakan gesture menunjuk baik itu
dilakukan sendiri sebagai penulis jawaban dan
pengguna gesture ataupun dilakukan orang lain
(pendikte) kepada penulis. Hal ini dilakukan sebagai
alat bantu dalam memusatkan perhatian siswa ketika
menuliskan suatu hal yang dimaksud dalam
pikirannya. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata
siswa mengatakan bahwa dengan gerakan menunjuk
yang dilakukannya dalam memecahkan masalah
matematika dilakukan secara tidak sadar dan
memberikan peranan penting dalam memusatkan
perhatian mereka selama mengerjakan masalah.
Sehingga mereka dengan mudah dapat memahami
soal dan mengetahui informasi-informasi penting
yang ada pada soal.
Dalam penelitian ini gesture representasional
digunakan untuk mengambarkan objek nyata
(timbangan), tindakan yang dilakukan pada objek
nyata seperti memindahkan gambar bola pejal pada
gambar timbangan, objek matematika (berupa grafik
fungsi kuadrat, diagram panah suatu fungsi),
tindakan pada objek matematika (berupa titik-titik
koordinat pada grafik fungsi kuadrat), dan simbol
matematika (bilangan 2 dan 5). Hal ini sejalan
dengan pendapat Alibali & Nathan (2011) bahwa
gesture representasional digunakan siswa untuk
menunjukkan simulasi motorik dan persepsi tentang
bahasa dan gambar juga merefleksikan konsep-
konsep melalui tubuhnya. Gesture ini juga banyak
digunakan untuk mempersepsikan secara visual.
Melalui Hostetter & Alibali (2008), gesture
representasional digunakan ketika siswa
mengaksikan komponen-komponen yang diberikan
melalui simulasi yang ditentukan oleh kognitifnya.
Sehingga keduanya berpendapat bahwa gesture
representasional digunakan untuk mensimulasikan
sebuah aksi. Dalam penelitian ini, pendapat para ahli
tersebut benar adanya, karena siswa dalam
memecahkan masalah mensimulasikan persepsi
mereka (membanyangkan timbangan dan grafik
fungsi) dengan aksi (seperti memindahkan setiap
Elvierayani, dkk. Gesture Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, 171
benda di timbangan agar timbangan tiga seimbang,
juga melakukan gerakan merangkul untuk
memudahkan representasi grafik fungsi) saat
berpikir tentang masalah yang dihadapinya. Gesture
representasional yang dilakukan oleh seorang siswa
tidak menutup kemungkinan berperan untuk dirinya
sendiri, Dalam penelitian ini gesture
representasional yang digunakan untuk dirinya
sendiri berperan dalam mengongkrtikan ide ataupun
gagasan yang sedang dipikirkannya dalam
mengahadapi masalah. Gesture representasional juga
dilakukan siswa untuk memberitahukan kepada
orang lain. Dalam hal ini gesture berperan sebagai
scaffolding atau alat bantu untuk teman diskusinya.
Hal ini mendukung dugaan Francaviglia & Servidio
(2011) bahwa gesture digunakan sebagai suatu
scaffolding kognitif yang membantu siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
dapat disimpulkan bahwa selama berdiskusi
memecakan masalah matematika siswa
menggunakan variasi gesture. Gesture yang
dilakukan siswa meliputi gesture deiktik dan gesture
representasional. Peranan gesture menurut jenisnya
dapat dikelmpokkan sebagai berikut: (1) Gesture
deiktik berperan sebagai alat untuk menegaskan
ucapan, untuk memusatkan perhatian pada suatu
masalah dan untuk menunjukkan objek maupun
posisi suatu hal dalam masalah yang dihadapi.
Gesture deiktik membantu siswa selama
memecahkan masalah meskipun gesture ini tidak
terencana dan efektif digunakan sebagai penuntut
siswa selama mencari strategi dalam memecahkan
masalah. (2) Gesture representasional berperan
dalam membantu orang lain dalam memecahkan
masalah (scaffolding). Berperan juga untuk
mengongkritkan ide/gagasan tentang apa yang
sedang dipikirkannya. Selain itu gesture
representasional juga digunakan sebagai alat untuk
menarik perhatian dan memusatkan perhatian siswa
selama memecahkan masalah. Dengan gesture
representasional siswa dapat terbantu dalam
mengurangi beban kerja siswa selama memecahkan
masalah. Sehingga siswa lebih terbantu beban
kognitifnya dengan representasi gerak yang
dilakukannya.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, ada beberapa saran yang dapat dibuat
peneliti berkaitan dengan gesture diantaranya: (1)
Gesture sangat berperan dalam memecahkan
masalah matematika sehingga alangkah baiknya bagi
para pengajar agar lebih aktif dalam menggunakan
gesture dalam proses pembelajaran yang dilakukan,
karena siswa lebih mudah memahami konsep
maupun gagasan yang disampaikan dengan
menggunakan gesture. (2) Gesture merupakan
pengetahuan yang diwujudkan (embodied cognition)
sehingga peneliti lanjutan mungkin dapat melihat
proses berpikir siswa berdasarkan gesture yang
digunakan.
DAFTAR RUJUKAN
Alibali, M. W. & Nathan, M. J. 2007. Teachers’
Gestures as a Means Scaffolding Student’s
Understanding: Evidence from an Early
Algebra Lesson. In R. Goldman, R. Pea, B.
Barron & S.J. Derry (Eds), Video Research in
the Learning Sciences, Mahwa, NJ: Erlbaum
Alibali, M.W. & Goldin-Meadow, S. 1993. Gesture–
speech Mismatch and Mechanisms of
Learning: What the Hands Reveal about a
Child’s State of Mind. Cognitive Psychology,
25: 468–523.
Alibali, M.W. & Nathan, M.J. 2011. Embodiment in
Mathematics Teaching and Learning:
Evidence from Learner’s and Teahcer’s
Gestures. The Journal of The Learning
Sciences. Hal: 247-286
Becvar, A., Hollan, J., dan Hutchins, E. 2008.
Representational Gestures as Cognitive
Artifacts for Developing Theories in a
Scientific Laboratory. Ackerman, M.S., (eds)
Resources, Co-Evolution and Artifacts:
Theory in CSCW . Hal: 117-143.
Caroline C, W., Walkington, C., Boncoddo, R.,
Srisurichan, R., Pier, E., Nathan, A., &
Alibali, M. 2012. Invisible Proof: The Role Of
Gesture And Action In Proof. Journal of
Memory and Languange, (Online), Vol. 43,
No. 3,
(http://cwalkington.com?PME2012_Presentas
ion_V15.pdf, diakses Desember 2015)
Chan, H., Tsai, P., Huang, T.Y. 2006. Web-based
Learning in a Geometry Course. Educational
Technology & Society, 9(2), pp.133-140.
Church, R.B. & Goldin-Meadow, S. 1986. The
Mismatch Between Gesture and Speech as an
Index of Transitional Knowledge. Cognition,
23: 43–71.
Croteau, Ethan A.,Heffernan,Neil T. &
Koedinger,Kenneth R.2004.Why Are Algebra
Word Problem Difficult?. Intelligent Tutoring
Systems Lecture Notes in Computer
Science,Vol. 3220, Hal: 240-250.
172, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Francaviglia, M. & Servidio, R. 2011. Gesture as a
Cognitive Support to Solve Mathematical
Problems. Psychology, 2 (2): 91-97.
Goldin-Meadow, S. & Alibali, M.W. 1995.
Mechanisms of Transfer: Learning with a
Helping Hand. Psychology of Learning and
Motivation, 33: 115–157.
Goldin-Meadow, S., Alibali, M.W. & Church, R. B.
1993. Transitions in Concept Acquisition:
Using the Hand to Read the Mind.
Psychological Review, 100: 279-297.
Goldin-Meadow, S., Susan, W. C & Zachary, A. M.
2009. Gesturing Gives Children New Ideas
About Math. Association for Psychological
Science, 1-6.
Hostetter, A.B. & Alibali, M.W. 2008. Visible
Embodiment: Gestures as Simulated Action.
Psychonomic Bulletin & Review. 15 (3): 495-
514
Johnson, B., Christensen, L.. 2004. Educatioonal
Research Quantitative, Qualitative, and
Mixed Approaches Second edition. United
States: Pearson Education, Inc.
McNeill, D. 1992 Hand and Mind: What Gesture
Reveal about Thought. Chicago: Chicago
University Press.
173
PENGEMBANGAN INSTRUMEN UNTUK MENGAMATI
KREATIVITAS SISWA SMP
Ahmad Bahrul Samsudin1, Gatot Muhsetyo2, Tjang Daniel Chandra3
Universitas Negeri Malang123, Pascasarjana- Universitas Negeri Malang123
e-mail1: [email protected]
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengembangan
instrumen yang digunakan untuk mengamati kreativitas matematika siswa SMP. Kreativitas merupakan
hal yang sangat penting untuk dimiliki siswa dalam belajar matematika. Terdapat tiga indikator yang
dikembangkan oleh para ahli yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan kebaruan
(Originality). Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan. Subjek dalam penelitian ini
adalah siswa SMP kelas VII A di MTs Muhammadiah 1 Taman Sidoarjo berjumlah 26 siswa semester
genap Tahun Ajaran 2015/2016. Output dari penelitian ini adalah produk yaitu berupa Lembar Kerja
Siswa (LKS) dan lembar essay kreativitas essay berbasis Open-ended.penelitian ini menggunakan metode
pengembangan plomp (2010) yang terdiri dari tiga fase yaitu preliminary research (penelitian awal),
prototyping phase (fase pengembangan), dan assessment phase (fase penilaian). Hasil analisis kevalidan
instrumen secara keseluruhan masuk dalam kategori valid yakni LKS 80,88%, RPP 82,81%, lembar tes 1
dan tes 2 berturut-turut bernilai 81,25% dan 84,37%.
Kata Kunci: Kreativitas, Instrumen, Pengembangan
Salah satu studi internasional yang meneliti
seputar ranah kemampuan kognitif siswa SMP yaitu
TIMSS (Trends in Mathematics and Science Study)
yang diadakan oleh IEA (International Association
for the Evaluation of Educational Achievement).
Aspek pemahaman, penerapan, dan penalaran
dalam ranah kemampuan kognitif seperti yang
diterapkan pada TIMSS dapat digunakan untuk
menunjukkan profil kemampuan berpikir siswa. Dari
ketiga aspek tersebut, aspek pemahaman dan
penerapan termasuk dalam kemampuan berpikir
dasar. Sedangkan aspek penalaran termasuk dalam
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kreatif
merupakan tingkat tertinggi seseorang dalam
berpikir. Krulick dan Rudnik (1995) menyebutkan
bahwa urutan tingkatan berpikir manusia dari paling
rendah hingga yang paling tinggi yakni di mulai dari
ingatan (recall), berpikir dasar (basic thinking),
berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif
(creative thinking). Secara hirarkis, tingkat berpikir
tersebut disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1: Tingkatan Berpikir Krulik dan Rudnick
Kreativitas merupakan hasil produk dari
aktivitas berpikir kreatif. Cropley (dalam Siswono,
2008) menyatakan bahwa setidaknya, paling sedikit
terdapat dua pemikiran utama dalam penggunaan
istilah kreativitas. Di satu sisi, kreativitas merujuk
pada sebuah pemikiran khusus atau fungsi mental
yang sering disebut sebagai pemikiran divergen.
Pada sisi lain, kreativitas merujuk pada produk yang
dipandang kreatif, seperti karya seni, arsitektur, atau
musik. Kreativitas merupakan produk dari berpikir
kreatif, yaitu suatu kesatuan atau kombinasi dari
berpikir logis dan divergen untuk menghasilkan
sesuatu yang baru.
Sebagai negara berkembang, Indonesia
membutuhkan calon tenaga-tenaga kreatif yang
mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta kepada
kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya.
Sehubungan dengan hal ini pendidikan hendaknya
tertuju pada pengembangan kreativitas siswa agar
kelak dapat memenuhi kebutuhan pribadi,
masyarakat bahkan negara (Munandar, 2012).
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 juga
mengungkapkan bahwa salah satu standar
kelulusan siswa dalam mata pelajaran matematika
SMP/MTs adalah Kreativitas.
Kreativitas ini sangat dibutuhkan di masa
depan setiap siswa, oleh karenanya setiap siswa
haruslah mendapatkan pelatihan bagaimana
mengembangkan kreativitas mereka disekolah.
Ervync (1991) menyatakan bahwa kreativitas
memainkan peranan penting dalam siklus penuh
174, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
dalam berpikir matematis. Polya (1973)
mendefinisikan pengetahuan matematika sebagai
informasi dan know-how. Know-how yang dimaksud
disini adalah kemampuan untuk menyelesaikan
masalah yang memerlukan pendapat, keaslian, dan
kreativitas. Fakta dilapangan menunjukan bahwa
banyak guru matematika baik di pendidikan dasar
maupun menengah masih kurang memperhatikan
kreativitas siswa-siswanya. Dari wawancara yang
dilakukan peneliti terhadap salah guru matematika di
MTs Muhammadiyah 1 Taman, secara umum hal ini
disebabkan karena guru tidak memahami bagaimana
mengamati kreativitas dalam pembelajaran terutama
di matapelajaran matematika. Mengamati yang
dimaksud oleh guru tersebut adalah mengukur dan
melatihkan kreativitas.
Salah satu instrumen penilaian yang dapat
mengamati keterampilan berpikir kreatif siswa
adalah instrumen soal essay yang menuntut jawaban
kreatif (Marwiyah,dkk. 2015). Instrumen ini
haruslah disesuaikan dengan penilaian komponen
berpikir kreatif menurut ahli. Ismaimuza (2010)
mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan
menemukan hubungan atau keterkaitan baru, melihat
sesuatu dari perspektif baru, atau membentuk
kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang ada
dalam pikiran. Siswono (2008) dan Shriki (2013)
mendefinisikan kreativitas yang berhubungan
dengan proses kreatif meliputi kelancaran (fluency),
keluwesan (flexibillity), dan kebaruan (originality).
Berikut indikator kreativitas dari segi proses dapat
diuraikan dalam tabel 1. berikut ini:
Tabel 1. Indikator Kreativitas
Indikator Deskripsi
Kelancaran
(Fluency)
Mengacu pada bermacam-macam interpretasi atau jawaban terhadap
sebuah masalah
Keluwesan
(flexibility)
Kemampuan menyelesaikan masalah dari sudut pandang berbeda dengan
benar
Kebaruan
(Originality)
Hasil penyelesaian masalah yang mengacu pada kemampuan siswa dalam
menjawab masalah dengan jawaban berbeda-beda tetapi tetap bernilai benar
atau satu jawaban yang “unik atau tidak biasa” dilakukan oleh siswa pada
tingkat kemampuannya. (diadaptasi dari Laily, dkk .2013)
Instrumen berupa essay selain digunakan
untuk mengetahui bentuk profil kemampuan siswa,
juga dapat digunakan sebagai sarana melatih
kemampuan siswa untuk berpikir pada tingkat yang
lebih tinggi (Rofiah,dkk. 2013). Soal-soal yang
digunakan sebagai latihan dapat berisi pertanyaan
yang menuntut siswa menggunakan kreativitas
dalam hal pemecahan masalah matematika. Agar
dapat menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan
penalaran tingkat tinggi yaitu cara berpikir logis
yang tinggi. Berpikir logis yang tinggi sangat
diperlukan oleh siswa dalam proses pembelajaran di
kelas, khususnya dalam menjawab pertanyaan
karena siswa perlu menggunakan pengetahuan,
pemahaman, dan keterampilan yang dimilikinya dan
menghubungkannya dalam situasi baru.
Berdasarkan hal-hal tersebut, masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan
instrumen untuk mengamati kreativitas matematika
siswa SMP?
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
bagaimana proses pengembangan instrumen yang
digunakan untuk mengamati kreativitas matematika
siswa SMP
METODE
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian
pengembangan. Subjek dalam penelitian ini adalah
siswa SMP kelas VII A di MTs Muhammadiah 1
Taman Sidoarjo berjumlah 26 siswa. Output dari
penelitian ini adalah produk yaitu berupa Lembar
Kerja Siswa (LKS) dan lembar essay kreativitas.
LKS dan lembar essay ini berbasis Open-ended,
yaitu berisikan soal atau permasalahan terbuka
bersifat Non-algoritmik, Cenderung kompleks
(membutuhkan kemampuan analisis sehingga
menemukan pola baru dalam menyelesaikan soal),
Membutuhkan usaha untuk menemukan struktur
dalam ketidakteraturan yang bertujuan melatih
kreativitas siswa.
Model Penelitian Pengembangan dalam
penelitian ini menggunakan model pengembangan
Plomp (2010:25). Terdapat 3 fase dalam
pengembangan Plomp (2010) yaitu: (1) preliminary
research (penelitian awal), (2) prototyping phase
(fase pengembangan), dan (3) assessment phase
(fase penilaian). Model pengembangan Plomp
mudah dipahami dan cocok digunakan dalam
melakukan proses penelitian pengembangan
instrumen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Awal (Preliminary Research)
Pada fase penelitian awal ini dilakukan
aktivitas yang meliputi: (a) meninjau literatur; (b)
menganalisis kebutuhan dan konteks; (c)
mengembangkan kerangka konseptual dan teoritis
Samsudin, dkk. Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP, 175
untuk penelitian. Berikut diuraikan masing-masing
aktivitasnya.
a. Meninjau literatur
Dalam aktivitas ini peneliti melakukan kajian
teori mengenai pendekatan yang cocok digunakan
dalam instrumen essay untuk mengamati kreativitas
siswa. Pendekatan yang cocok untuk dikembangkan
dalam instrumen tersebut adalah berisi tentang soal
berbasis Open-ended. Hal tersebut berdasarkan
beberapa hasil kajian teori para ahli tentang
hubungan kreativitas dan soal open-ended.
Menurut Shimada (1997) menyatakan bahwa
pendekatan open ended berawal dari pandangan
bagaimana mengevaluasi kemampuan siswa secara
objektif dalam kreativitas. Sementara itu Nohda
(2001) mengatakan tujuan pendekatan open-ended
adalah untuk membantu mengembangkan aktivitas
yang kreatif dari siswa dan kemampuan berpikir
matematis mereka dalam memecahkan masalah.
Indikator pengukuran kreativitas siswa dan
pendekatan open-ended di jelaskan oleh Krulick dan
Rudnick (1995) pada tabel 2 berikut
Tabel 2. Hubungan Pendekatan Open-ended dengan Indikator Kreativitas
Komponen Kreativitas Penjelasan Komponen Kreativitas Open-ended
Kelancaran
(fluency)
Mengacu pada bermacam-macam
interpretasi atau jawaban terhadap
sebuah masalah.
Siswa menghasilkan
lebih dari satu jawaban
benar.
Keluwesan
(flexibility)
Kemampuan menyelesaikan masalah
dari sudut pandang berbeda dengan
benar.
Siswa menemukan
sedikitnya dua
keragaman jawaban
benar
Kebaruan
(Originality)
Hasil penyelesaian masalah yang
mengacu pada kemampuan siswa
dalam menjawab masalah dengan
jawaban berbeda-beda tetapi tetap
bernilai benar atau satu jawaban yang
“unik atau tidak biasa” dilakukan oleh
siswa pada tingkat kemampuannya.
Siswa diberi kesempatan
mengajukan jawaban-
jawaban unik menurut
pemikirannya sendiri
(diadaptasi dari Krulick dan Rudnick .1995)
Hal tersebut juga didukung oleh beberapa
kajian pendapat ahli lainya seperti berikut.
1. Menurut Cropley dalam Siswono (2008)
kreativitas merupakan produk dari berpikir
kreatif, yaitu suatu kesatuan atau kombinasi dari
berpikir logis dan divergen untuk menghasilkan
sesuatu yang baru
2. Menurut Suherman (2003), tujuan dari
pendekatan open-ended adalah membantu
mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir
matematika siswa melalui problem solving
secara simultan
3. Menurut Silver (1997), Hamza and Griffith
(2006) Mendesain pembelajaran yang dapat
memberikan siswa kesempatan yang lebih untuk
mengeksplorasi permasalahan yang memberikan
banyak solusi dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam bepikir kreatif.
4. Suherman (2003) juga mengatakan bahwa
Permasalahan open-ended adalah sebuah
permasalahan yang mempunyai banyak jawaban
benar.
5. Menurut Becker dan Shimada (1997)
mendeskripsikan pembelajaran open-ended
sebagai pembelajaran yang dimulai dari
mempresentasikan masalah open-ended,
kemudian pembelajaran berlanjut dengan
penggunaan banyak jawaban benar dengan tujuan
untuk memberikan pengalaman pada siswa dalam
menemukan sesuatu yang baru.
Berdasarkan penjelasan beberapa pendapat
tersebut peneliti memilih open-ended sebagai dasar
mengembangkan Instrumen yang digunakan dalam
mengamati kreativitas siswa.
b. Menganalisis Kebutuhan dan Konteks
Tujuan dari tahap ini adalah untuk
menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan
sebagai alternatif menyelesaikan masalah yang
ditemui dalam kegiatan pembelajaran matematika,
dan menganalisis konteks apa saja yang terkait
dengan kebutuhan tersebut. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap identifikasi kebutuhan diantaranya adalah
identifikasi kondisi siswa dan wawancara guru
tentang kelemahan pembelajaran. Sedangkan
kegiatan yang dilakukan pada analisis konteks
adalah meninjau materi.
Identifikasi kondisi siswa dilakukan dengan
memberikan soal open-ended kepada 26 siswa SMP
kelas VII MTs Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo
untuk mengetahui kreativitasnya. Hasil dari
pemberian tersebut diketahui bahwa kreativitas
siswa masih rendah. Karena masih banyak siswa
yang belum bisa mengerjakan soal yang diberikan.
Untuk analisis kelemahan pembelajaran
dilakukan wawancara secara tidak terstruktur dengan
176, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
guru mata pelajaran matematika di MTs
Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo tersebut dan
meneliti lembar kerja siswa (LKS) yang digunakan
oleh siswa. Dari wawacara tersebut didapatkan hasil
bahwa:
1. Guru sangat berperan aktif dalam pembelajaran,
sedangkan siswa berperan sebagai pendengar
(audience). Setelah menyampaikan materi, guru
memberikan contoh soal dan dilanjutkan dengan
latihan soal.
2. Soal-soal yang diberikan merupakan soal tertutup
(closed problem) dan bukan termasuk soal
melatih kreativitas. Ini disebabkan keterbatasan
waktu dan bahan ajar sehingga guru jarang
bahkan tidak pernah memberikan soal terbuka
(open problem).
3. Guru hanya menggunakan LKS dan buku paket
yang tersedia. Guru jarang sekali membuat LKS
sendiri. LKS tidak berisi masalah open-ended.
Dari analisis masalah yang diuraikan di atas,
maka kebutuhan dapat diidentifikasi. Kebutuhan
tersebut adalah: (1) diperlukan mengembangkan
LKS yang digunakan sebagai bahan ajar siswa untuk
melakukan kegiatan-kegiatan melatih kreativitas; (2)
diperlukan mengembangkan lembar essay berisi soal
open-ended untuk mengukur kreativitas siswa.
c. Mengambangkan Kerangka Konseptual dan
Teoritis
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini yakni
merancang sebuah kerangka konseptual dan teoritis
yang digunakan untuk mengembangkan produk
berdasarkan pada tinjauan literatur dan penelitian
awal yang telah dilakukan. Merancang kerangka
konseptual dan juga teoritis dilakukan untuk
membuat rancangan RPP, LKS, dan tes kreativitas
yang disesuaikan dengan teori yang dapat melatih
dan mengukur kreativitas, yaitu dengan pendekatan
open-ended.
Lembar Kerja Siswa (LKS) yang
dikembangkan berisikan satu aktivitas, pendalaman
aktivitas, dan latihan soal – soal open-ended.
Aktivitas berisikan masalah yang dalam proses
menyelesesaikannya melatihkan kelancaran
(Fluency),keluwesan (flexibility), dan kebaruan
(originality). Sedangkan tes kreativitas berisikan
masalah-masalah open-ended yang tiap butir soalnya
dapat memunculkan komponen kreativitas siswa
ketika proses pengerjaan. Dengan langkah-langkah
tersebut diharapkan kreativitas siswa dapat
dilatihkan dan diukur karena kegiatan-kegiatan yang
akan dilakukan dalam aktivitas LKS sudah
disesuaikan dengan langkah-langkah untuk
mengamati indikator kreativitas. LKS juga
dirancang dengan tampilan yang menarik agar siswa
tertarik untuk mengerjakan LKS tersebut.
Aktivitas lain yang dilakukan yakni meninjau
materi yang digunakan dalam pengembangan
instrumen. Peneliti meninjau materi yang cocok
digunakan untuk mengamati kreativitas kelas VII
SMP. Dari hasil kaji materi ini peneliti memutuskan
untuk menggunakan materi segitiga dan segiempat.
Menurut Siswono (2007) materi segitiga dan
segiempat dapat digunakan dalam mengidentifikasi
kemampuan berpikir kreatif siswa.
Fase Pengembangan (prototyping Phase)
Fase ini bertujuan untuk mengembangkan
Produk Instrumen untuk mengamati kreativitas
siswa. Produk yang dikembangkan adalah Lembar
Kerja Siswa (LKS) dan tes kreativitas, dan lembar
validasi. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini
adalah menyusun Instrumen meliputi: a)
menentukan materi, kompetensi dasar (KD),
indikator, dan tujuan pembelajaran, b) menyusun
LKS, c) menyusun RPP, d) menyusun tes
kreativitas.
a) Menentukan Materi, Kompetensi Dasar (KD),
Indikator, dan Tujuan Pembelajaran
Untuk menyusun LKS dan tes kreativitas
peneliti perlu memilih materi, Kompetensi Dasar,
indikator, dan tujuan pembelajaran terlebih dahulu.
Berdasarkan pada penelitian awal pada kajian
literatur, materi yang sesuai untuk meningkatkan
kreativitas siswa SMP adalah segitiga dan
segiempat. Dari materi tersebut, peneliti
memfokuskan pada Kompetensi Dasar (KD)
“Memahami sifat bangun datar dan
menggunakannya untuk menentukan keliling dan
luas”. Kemudian dari KD ini peneliti menyusun
indikator pembelajaran yang disesuaikan dengan
indikator kreativitas, yaitu dapat berpikir lancar
(fluency), dapat berpikir luwes (flexibility), dapat
menentukan solusi baru (originality) terhadap
masalah luas segitiga dan segiempat. Dari indikator
tersebut maka tujuan pembelajarannya adalah
melalui pembelajaran berbasis open-ended siswa
dapat berpikir lancar (fluency), dapat berpikir luwes
(flexibility), dapat menentukan solusi baru
(originality) terhadap masalah luas segitiga dan
segiempat.
b) Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS berbasis open-ended disusun dengan
memberikan soal atau masalah yang memiliki
banyak solusi benar atau memiliki banyak cara
penyelesaian. LKS yang dikembangkan terdiri dari
tiga LKS, yaitu LKS 1 terkait menentukan luas
segitiga dan segiempat dengan berbagai cara, LKS 2
terkait masalah hubungan luas segitiga dan
segiempat terhadap luas bangun yang lebih komplek,
sedangkan LKS 3 terkait mengaplikasikan luas
segitiga dan segiempat pada kehidupan nyata. Pada
Samsudin, dkk. Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP, 177
LKS 1 dan LKS 2 diberikan dua aktivitas
pembelajaran berkelompok yang terdiri dari
“aktivitas” dan “mendalami aktivitas”, dan aktivitas
pembelajaran individu yakni “mengerjakan soal
open-ended”. Sedangkan pada LKS 3 hanya
diberikan aktivitas mandiri saja yang berisi tentang
masalah-masalah nyata. Dalam menyelesaikan soal
yang sajikan pada langkah “aktivitas” dan
“mendalami aktivitas” di LKS 1 dan LKS 2,
diberikan cara dan petunjuk untuk menyelesaikan
soal, dimana ketika siswa melakukan proses mencari
solusi soal open-ended yang disajikan sesuai
petunjuk, siswa secara tidak langsung akan
mengasah kemampuan berpikir lancar (fluency) dan
kemampuan berpikir luwes (flexibility) mereka.
Kemudian pada langkah “mengerjakan soal open-
ended” siswa secara individu diminta mengerjakan
soal open-ended yang disajikan dengan tujuan
melatih tiga komponen kreativitas mereka yakni
fluency, flexibility, originality. Pada LKS 3 siswa di
latih secara individu mengerjakan masalah nyata
yang open-ended untuk mengasah secara mendalam
tiga komponen kreativitas mereka.
c) Tes kreativitas
Tes kreativitas yang disusun terdiri dari dua
macam yaitu tes I dan tes II. Masing-masing tes
kemampuan kreativitas tersebut disusun essay yang
berisi 3 masalah open-ended mencakup materi luas
segitiga dan segiempat dengan tingkat kesulitan
yang setara. Seperti pada Gambar 2
Gambar 2: Kesetaraan Soal
Tes 1 diberikan kepada siswa sebelum
pemberian lembar kerja siswa (LKS) berbasis open-
ended. Sedangkan tes 2 diberikan kepada siswa
setelah pemberian lembar kerja siswa (LKS). Dari
tes 1 dan tes 2 akan diperoleh perbedaan hasil tes
kemampuan kreativitas siswa, sehingga perbedaan
tersebut dapat dipakai sebagai pedoman mengukur
kreativitas.
Fase Penilaian (Assessment Phase)
LKS dan tes kreativitas yang telah disusun dalam
tahap pengembangan, selanjutnya dilakukan tahap
penilaian. Penilaian pada penelitian ini yakni hanya
sampai dengan diujikan pada validator ahli. Setelah
Instrumen telah selesai disusun, peneliti melakukan
validasi. Validasi ini dilakukan oleh dua validator
ahli. Pada tahap uji validasi ini terdapat fase iterasi,
yaitu apabila hasil validasi prototipe instrumen ini
belum mencapai kriteria valid maka peneliti akan
merevisi terhadap prototipe instrumen yang
dikembangkan sesuai dengan saran dan komentar
para validator. Apabila hasil yang telah direvisi
masih belum juga mencapai kriteria valid untuk
yang kedua kalinya, maka peneliti akan melakukan
revisi lagi. Begitu seterusnya sampai perangkat
pembelajaran yang dihasilkan memenuhi kriteria
valid.
Prosedur untuk menilai kevalidan perangkat
pembelajaran yakni meminta penilai ahli tentang
kelayakan prototipe yang telah dibuat. Penilaian ini
menggunakan lembar validasi yang diberikan
kepada validator dengan dilampiri Instrumen yakni
lembar kerja siswa (LKS) serta tes kreativitas.
Analisis terhadap hasil validasi yang dilakukan
validator ditentukan dari presentase rataan skor
kevalidan dengan menggunakan rumus berikut.
𝑆𝑣 = 𝑆𝑟
𝑆𝑚𝑥 100%
𝑆𝑣: Presentase hasil validasi
𝑆𝑟: Rataan skor validasi dari
masing-masing validator
𝑆𝑚: Skor maksimal yang
dapat diperoleh
Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan
kriteria dalam Tabel 3 berikut.
178, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Tabel 3 Kriteria Validitas
𝑺𝒗 Kriteria Keterangan
𝟕𝟓% ≤ 𝑆𝑣 ≤ 100% Valid Tidak perlu rivisi
𝟓𝟎% ≤ 𝑆𝑣 < 75% Belum valid Revisi kecil
𝟐𝟓% ≤ 𝑆𝑣 < 50% Belum valid Revisi besar
𝟎% ≤ 𝑆𝑣 < 25% Tidak valid Belum dapat digunakan
(diadaptasi dari Hobri, 2010)
Data akhir penilaian validator terhadap
instrumen diperoleh setelah pengembang melakukan
revisi instrumen berdasarkan saran dan komentar
dari para validator. Data tersebut berupa data
kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif
berupa nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil
penskoran lembar validasi perangkat pembelajaran
oleh dua validator. Sedangkan data kualitatif berupa
saran serta komentar terhadap instrumen dari para
validator, baik yang tercatat pada kolom lembar
validasi maupun yang tidak tercatat.
Hasil validasi LKS oleh validator 1 dan 2
yakni sebesar 80,88%. Ini berarti LKS tergolong
kriteria valid tanpa revisi, sedangkan RPP memiliki
nilai 82,81%. Ini berarti RPP masuk dalam kriteria
valid. Untuk lembar tes 1 dan tes 2 berturut-turut
bernilai 81,25% dan 84,37%. Jadi lembar tes
tergolong dalam kriteria valid.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pengembangan instrumen untuk
mengamati kreativitas matematika pada siswa SMP
yang telah dilakukan, dapat disimpulkan instrumen
yang disusun memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Instrumen berbasis open-ended atau berisi
tentang soal dan masalah terbuka
2. Aspek kreativitas siswa ada tiga komponen yakni
kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility),
kebaruan(originality)
3. Aspek kreativitas dapat diamati melalui
pemberian soal atau masalah terbuka (open-
ended)
4. Hasil kevalidan instrumen keselueruhan dalam
kategori yakni LKS 80,88%, RPP 82,81%,
lembar tes 1 dan tes 2 berturut-turut bernilai
81,25% dan 84,37%
Saran
Berdasarkan pengembangan instrumen untuk
mengamati kreativitas siswa SMP, peneliti dapat
memberikan beberapa saran, yaitu:
1. Tampilan instrumen sebaiknya di buat semenarik
mungkin agar siswa tertarik untuk mengerjakan
instrumennya.
2. Untuk penelitian yang selanjutnya sebaiknya
ditambahkan aktivitas uji coba kelompok kecil
dan uji coba lapangan yang bertujuan untuk
mengukur tingkat keefektifan instrumen yang
telah dikembangkan
DAFTAR RUJUKAN
Ervync, G. (1991). “Mathematical Creativity”.
Dalam Tall, D. Advanced Mathematical
Learning. London: Kluwer Academic
Publisher
Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP
melalui Pembelajaran Berbasis Masalah
dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi
pada PPs UPI. (Unpublished)
Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. (1995). The
New Sourcebook for Teaching Reasoning and
Problem Solving in Elementary School.
Needham Heights, Massachusetts: Allyn &
Bacon.
Marwiyah, Siti, Kamid, Risnita. (2015).
Pengembangan Instrumen Penilaian
Keterampilan Berpikir Kreatif pada Mata
Pelajaran IPA Terpadu Materi Atom, Ion, dan
Molekul SMP Islam Al Falah. Edu-Sains
Volume 4 (1)
Munandar,U. (2012). Pengembangan Kreativitas
Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nohda, N. (2001). A study of Open-Appoach Method
in School Mathematics. Teaching- Focusing
on Mathematical Problem Solving Activities.
(online).
Polya, George. (1973). How To Solve It.
Princetown, New Jersey:Princetown
University Press.
Peraturan Pemerintah Pendidikan Nasional Nomor
22 Tahun 2006. Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Departeman Pendidikan Nasional.
Rofiah, Emi, Nonoh Siti Aminah, Elvin Yusliana
Ekawati (2013). Penyusunan Instrumen Tes
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika
Pada Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika
Vol.1 No.2(17)
Siswono, Tatag Yuli Eko. (2008). Model
Pembelajaran Berbasis Pengajuan Dan
Samsudin, dkk. Pengembangan Instrumen untuk Mengamati Kreativitas Siswa SMP, 179
Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya:
Unesa University Press.
Siswono, Tatag Yuli Eko. (2007). Penjenjangan
Kemampuan Berpikir Kreatif Dan Identifikasi
Tahap Berpikir Kreatif Siswa Dalam
Memecahkan Dan Mengajukan Masalah
Matematika. Disertasi tidak dipublikasikan.
Surabaya: Pascasarjana Universitas Negeri
Surabaya.
Shriki, A. (2013). A Model for Assessing the
Developmentof Students’ Creativity in the
context of Problem Posing. Journal
Creative Education, Vol. 4(430-439)
Shimada, S dan Becker J.P. (1997). The open-ended
approach: A new Proposal for Teaching
Mathematics. Virginia: National Cauncil of
Teachers of Mathematics
Suherman, E. et al. (2003). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer (Edisi Revisi).
Bandung: JICA-FPMIPA UPI.
Silver, E. A. (1997). “Fostering Creativity through
Instruction Rich in Mathematical Problem
Solving and Problem Posing”. The
International Journal on Mathematics
Education, Vol 29(3).
180
PENINGKATAN LEVEL KEMAMPUAN SISWA SMP KATEGORI
PRESTRUCTURAL DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI
MELALUI PEMBERIAN SCAFFOLDING
Tabita Wahyu Triutami1, Purwanto2, Abadyo3
Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract: SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) taxonomy is one way to determine the level
of students ability to solve geometry problems. The tests and interviews for students of class IX-A SMP 2
Banyuwangi showed that there were students in prestructural level which having difficulty in solving
geometry problems. Therefore, the provision of scaffolding to these students is needed to overcome the
difficulties and to increase ability level. The purpose of this study is to describe the provision of
scaffolding that can increase the level of junior high school students ability in the prestructural category
in solving geometry problems. The type of the research is case study of descriptive qualitative approach.
Subjects in this study is students under prestructural level category in solving geometry problems. The
results showed that the scaffolding can increase the level of student ability from prestructural to
relational in solving geometry problems. The scaffolding which can increase the level of student ability
from prestructural to relational in solving geometry problems is scaffolding level 2 (i.e. explaining
(showing and telling) and reviewing (students explaining and justifying; prompting and probing
questions; parralel modeling)).
Keywords: geometry problems, level of ability, SOLO taxonomy, scaffolding
Abstrak: Salah satu cara untuk mengetahui level kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal geometri
adalah dengan menggunakan taksonomi SOLO. Hasil tes dan wawancara menunjukkan bahwa masih ada
siswa kelas IX-A SMPN 2 Banyuwangi yang kemampuannya berada pada level prestructural sehingga
mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal geometri. Oleh karena itu, perlu pemberian
scaffolding yang dapat mengatasi kesulitan siswa tersebut sehingga level kemampuan siswa tersebut
dapat meningkat. Artikel ini disusun berdasarkan hasil penelitian tentang pemberian scaffolding yang
dapat meningkatkan level kemampuan siswa SMP kategori prestructural dalam menyelesaikan soal
geometri. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek pada
penelitian merupakan satu siswa yang memiliki level kemampuan prestuctural dalam menyelesaikan
soal geometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian scaffolding dapat meningkatkan level
kemampuan siswa dari prestructural menjadi relational dalam menyelesaikan soal geometri. Scaffolding
yang dapat meningkatkan level kemampuan siswa dari prestructural menjadi relational dalam
menyelesaikan soal geometri adalah scaffolding level 2 yaitu explaining (showing and telling) dan
reviewing (students explaining and justifying; prompting and probing questions; parralel modeling ).
Kata kunci: soal geometri, level kemampuan, taksonomi SOLO, scaffolding
Proses berpikir siswa dalam menyelesaikan
suatu permasalahn dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa tingkatan atau level yang berbeda sesuai
dengan kemampuannya. Level kemampuan siswa
selalu menjadi perhatian pendidik (Guven & Baki,
2010), tidak terkecuali pada materi geometri. Salah
satu cara untuk mengetahui level kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal geometri adalah dengan
menggunakan taksonomi SOLO (Structure of
Observed Learning Outcomes). Taksonomi SOLO
merupakan teori yang dikembangkan oleh Biggs &
Collis (1982). Biggs & Collis (dalam Lian & Yew,
2011) menyatakan bahwa ketika siswa menjawab
tugas yang diberikan, respons mereka menampilkan
urutan serupa di seluruh tugas. Respons tersebut
akan meningkat dari yang sederhana sampai yang
abstrak ( Biggs & Collins dalam Chan dkk, 2002).
Respons tersebut menunjukkan adanya identifikasi
tahap ketika seorang siswa sedang beroperasi atau
berpikir (Biggs & Collis dalam Lian & Yew, 2011).
Tahapan perkembangan kognitif tersebut yang
kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO.
Taksonomi SOLO terdiri dari lima level yang
didasarkan pada respons yang diberikan mulai dari
yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu
prestructural, unistructural, multistructural,
relational, dan extended abstract (Biggs & Collis,
1982 : 24-25). Tabel 1 berikut ini merupakan
indikator level kemampuan dalam menyelesaikan
soal geometri berdasarkan Taksonomi SOLO yang
disusun berdasarkan skema respon taksonomi SOLO
oleh Biggs & Collis (1982 : 24-25) dan deskripsi
setiap level taksonomi SOLO oleh Chick (1998).
Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 181
Tabel 1. Indikator Level Kemampuan Siswa berdasarkan Taksonomi SOLO Level Kemampuan
Siswa Indikator Pekerjaan Siswa
Prestructural Pekerjaan siswa tidak relevan dengan masalah dalam soal.
Siswa tidak melakukan identifikasi terhadap konsep – konsep yang terkait.
Menuliskan fakta – fakta yang tidak ada hubungannya dengan masalah dalam soal.
Tidak menuliskan apapun, menghindari soal.
Unistructural Siswa menggunakan satu informasi yang terdapat dalam soal, satu proses dan satu konsep
untuk mencari solusi.
Siswa menggunakan proses/konsep berdasarkan data yang terpilih tetapi kesimpulan yang
diperoleh tidak relevan.
Siswa tidak memahami masalah tetapi dapat melakukan satu proses yang tepat.
Multistructural Siswa menggunakan lebih satu informasi yang terdapat dalam soal, lebih dari satu proses dan
konsep untuk mencari solusi.
Siswa dapat membuat beberapa hubungan dari beberapa informasi tetapi ada sedikitnya satu
proses yang dilakukan salah sehingga kesimpulan yang diperoleh tidak relevan.
Siswa menggunakan beberapa informasi tetapi tidak terdapat hubungan dari informasi –
informasi tersebut sehingga tidak dapat menarik kesimpulan.
Relational Siswa menggunakan semua informasi untuk mengaplikasikan konsep atau proses lalu
memberikan hasil sementara dan menghubungkan dengan informasi atau proses yang lain
sehingga dapat menarik kesimpulan yang relevan.
Extended abstract Siswa menggunakan semua informasi untuk mengaplikasikan konsep atau proses lalu
memberikan hasil sementara dan menghubungkan dengan informasi atau proses yang lain
sehingga dapat menarik kesimpulan yang relevan.
Siswa dapat membuat generalisasi dari hasil yang diperoleh, yaitu menemukan lebih dari satu
cara untuk menyelesaikan masalah.
Siswa dapat mengaplikasikan domain atau konsep lain di luar geometri untuk menyelesaikan
masalah.
Pada tanggal 1 Maret 2016 peneliti
memberikan tes 1 kemampuan menyelesaikan soal
geometri kepada 36 siswa kelas IX-A SMPN 2
Banyuwangi. Tes tersebut berisikan dua butir soal,
butir soal pertama disusun untuk menjangkau
kemampuan siswa hingga pada level relational
Taksonomi SOLO, sedangkan butir soal kedua
disusun untuk menjangkau kemampuan siswa
hingga pada level extended abstract Taksonomi
SOLO. Gambar 1 berikut ini merupakan instrumen
tes yang diberikan.
Gambar 1. Instrumen Tes 1
Hasil tes dan wawancara menunjukkan bahwa
masih ada siswa yang kemampuannya berada pada
level prestructural dalam menyelesaikan soal
geometri. Siswa tersebut tidak memahami konsep
yang ada pada soal nomor 1 dan 2 sehingga semua
proses dan konsep yang digunakannya untuk
mencari besar ∠𝐵𝑂𝐶, ∠𝐴𝑂𝐵 ∠𝐶𝑂𝐵, ∠𝐷𝑂𝐸, dan
∠𝐵𝐶𝐷 salah dan sama sekali tidak berhubungan
dengan masalah yang dicari. Siswa tersebut juga
tidak melakukan identifikasi terhadap informasi
yang ada pada soal dan konsep yang terkait dengan
informasi tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
suatu bantuan yang dapat mengatasi kesulitan siswa
tersebut. Bantuan yang diberikan harus disesuaikan
182, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
dengan tingkat perkembangan siswa yang dikenal
dengan konsep Zone of Proximal Delopment (ZPD).
ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya (batas bawah ZPD), yaitu
kemampuan memecahkan masalah secara mandiri
dengan tingkat perkembangan potensial (batas atas
ZPD) yaitu kemampuan memecahkan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa dan teman sejawat
(Veer,2007). Bantuan untuk mengembangkan
pengalaman anak – anak yang berada dalam zona
perkembangan proksimal mereka ini kemudian
dikenal dengan scaffolding.
Wood, Buner, & Ross ( dalam Anghileri,
2006) mengemukakan gagasan tentang scaffolding
yaitu bantuan orang dewasa kepada anak – anak dan
secara perlahan – lahan bantuan tersebut akan
ditinggalkan ketika anak tersebut telah mampu
menyelesaikan permasalahan sendiri. Hunter (2012)
menyatakan bahwa scaffolding adalah pembelajaran
yang terjadi sebagai hasil dari interaksi sosial antara
individu dengan pengetahuan lebih dan kurang.
Guru yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih
akan membangun dinding pengetahuan dan
kemampuan yang akan digunakan untuk membantu
siswa (melakukan scaffolding) untuk mendapatkan
kemampuan matematika yang lebih lanjut/tinggi.
Amiripour (2012) dalam penelitiannya menyatakan
scaffolding yang efektif dalam pembelajaran di kelas
antara lain : menggunakan pola, menggunakan
umpan balik, mengorganisasi respons siswa,
menggunakan instrumen pembelajaran,
menempatkan siswa sebagai instruktur,
menghilangkan miskonsepsi, dan menggunakan
masalah nyata. Hasil dari penelitian Amiripour
(2012) menunjukkan bahwa siswa dapat melakukan
komunikasi sosial dan mereka dapat belajar konsep
matematika secara benar melalui aktivitas
scaffolding dalam pembelajaran matematika.
Anghileri (2006) mengusulkan tiga tingkatan
dari penggunaan scaffolding. Tingkatan tersebut
antara lain, level 1 : environmental provisions
(classroom organization, artefacts), level 2 :
explaining, reviewing, and restructuring, dan level 3
: developing conceptual thinking. Scaffolding pada
level 1 merupakan scaffolding yang diberikan secara
berkelompok, sedangkan untuk level 2 dan 3
merupakan scaffolding yang diberikan secara
individu kepada siswa. Berdasarkan latar belakang
tersebut, peneliti berkeinginan untuk melakukan
penelitian tentang peningkatan kemampuan siswa
SMP kategori prestructural dalam menyelesaikan
soal geometri melalui pemberian scaffolding. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan deskripsi
mengenai pemberian scaffolding yang dapat
meningkatkan level kemampuan siswa SMP kategori
prestructural dalam menyelesaikan soal geometri.
Pada penelitian ini pemberian scaffolding hanya
difokuskan pada level 2 dan level 3 scaffolding oleh
Anghileri karena nantinya pemberian scaffolding
pada siswa dilakukan secara tatap muka dan satu
persatu. Pemberian scaffolding dikatakan berhasil
jika siswa dengan level kemampuan prestructural
dalam menyelesaikan soal geometri dapat meningkat
menjadi level relational atau exrended abstract.
METODE
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Subjek pada
penelitian ini merupakan satu siswa (S1) yang
memiliki level kemampuan prestuctural dalam
menyelesaikan soal geometri. Pemilihan subjek ini
didasarkan pada hasil tes 1, rekomendasi guru, dan
kemampuan siswa dalam menyampaikan
gagasannya. Instrumen yang digunakan pada
penelitian ini merupakan instrumen tes, pedoman
wawancara, dan pedoman pemberian scaffolding
yang sebelumnya telah divalidasi oleh dua orang
validator yang merupakan dosen pascasarjana prodi
pendidikan matematika Universitas Negeri Malang.
Instrumen berisikan dua butir soal, butir soal
pertama disusun untuk menjangkau kemampuan
siswa hingga pada level relational Taksonomi
SOLO, sedangkan butir soal kedua disusun untuk
menjangkau kemampuan siswa hingga pada level
extended abstract Taksonomi SOLO. Instrumen tes
1 diberikan pada tes awal sedangkan instrumen tes 2
diberikan setelah pemberian scaffolding. Pedoman
pemberian scaffolding berisikan rencana pemberian
scaffolding kepada siswa disesuaikan dengan
kesulitannya dalam menyelesaikan tes 1. Gambar 2
berikut ini merupakan instrumen tes 2.
Gambar 2. Instrumen Tes 2
Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 183
Sumber data utama dalam rancangan
penelitian ini adalah hasil tes dan wawancara.
Analisis data hasil wawancara dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan teknik transkripsi,
segmentsi, kodding dan pengkategorian serta
penarikan kesimpulan (Johnson & Christensen, 2004
: 501). Penarikan kesimpulan dilakukan berkaitan
dengan jenis scaffolding yang diberikan dan level
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
geometri berdasarkan taksonomi SOLO setelah
pemberian scaffolding. Level kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal geometri dikategorikan
berdasarkan pada indikator pada Tabel 1 dan skema
respon taksonomi SOLO oleh Biggs & Collis (1982
: 24-25).
HASIL
Pemberian Scaffolding kepada S1
Berdasarkan hasil tes dan wawancara
didapatkan hasil bahwa S1memiliki kemampuan
menyelesaikan soal geomtri pada level
prestructural. S1 tidak dapat mengerjakan semua
soal pada tes 1 dengan benar. S1 belum menguasai
konsep - konsep yang ada pada soal tes 1 (penamaan
sudut, sudut keliling, sudut pusat, hubungan antara
sudut keliling dan sudut pusat yang menghadap
busur yang sama, dan sudut perpotongan antara dua
tali busur) sehingga semua proses yang
digunakannya dalam menyelesaikan soal salah.
Proses pemberian scaffolding kepada S1 tercantum
dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Deskripsi Pemberian Scaffolding S1
No
Soal
Deskripsi
Pekerjaan S1
Masalah yang
Dihadapi S1
Bentuk Scaffolding yang
Diberikan
Reaksi S1 Terhadap
Scaffolding yang
Diberikan
Komponen
Scaffolding :
Kegiatan
yang
dilakukan
1 Semua proses
yang
dilakukan S1
dalam
menyelesaikan
soal nomor 1
salah
S1 tidak
memahami
penamaan sudut
(S1menganggap
∠𝐴𝐶𝐵, ∠𝐵𝐴𝐶,
dan ∠𝐶𝐵𝐴 sama
saja)
Peneliti memberikan
penjelasan tentang
penamaan sudut yang benar
dan memberikan berbagai
macam contoh sudut serta
bagaimana menamakannya.
Selanjutnya, peneliti
menanyakan tentang sudut –
sudut yang diketahui di soal
dan meminta S1 untuk
menunjukkan sudut yang
dimaksud pada gambar.
Setelah mendengarkan
penjelasan peneliti, S1
mulai paham dengan
penamaan sudut dan
dapat menunjukkan
sudut yang diketahui di
soal pada gambar
dengan benar.
Explaining :
Showing and
telling
Reviewing
:Students
Explaining
and Justifying
S1 mengatakan
bahwa ∠𝐵𝑂𝐶
adalah sudut siku
– siku kemudian
sudut keliling (S1
tidak memahami
sudut pusat dan
sudut keliling)
Peneliti menjelaskan bahwa
sudut pusat adalah sudut
yang titik sudutnya ada di
titik pusat lingkaran dan
sudut keliling adalah sudut
yang terbentuk oleh dua tali
busur yang berpotongan
pada lingkaran sehingga titik
sudutnya ada pada lingkaran
(di kelilingnya lingkaran ).
Selanjutnya, peneliti
menanyakan informasi yang
ada di soal nomor 1
termasuk sudut pusat atau
keliling.
Setelah mendengar
penjelasan peneliti, S1
dapat menyebutkan
mana sudut pusat dan
sudut keliling dari
sudut – sudut yang
diketahui dan
ditanyakan di soal.
Explaining :
Showing and
telling
Reviewing
:Students
Explaining
and Justifying
S1 tidak
memahami
konsep antara
sudut pusat dan
sudut keliling
yang menghadap
busur yang sama
( S1 menganggap
Peneliti menerangkan
bahwa besar sudut pusat
adalah dua kali sudut
keliling atau besar sudut
keliling adalah dua kali
sudut pusat hanya berlaku
kalau sudut pusat dan
sudut keliling tersebut
Explaining :
Showing and
telling
Reviewing
:Students
184, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
No
Soal
Deskripsi
Pekerjaan S1
Masalah yang
Dihadapi S1
Bentuk Scaffolding yang
Diberikan
Reaksi S1 Terhadap
Scaffolding yang
Diberikan
Komponen
Scaffolding :
Kegiatan
yang
dilakukan
besar sudut pusat
itu dua kalinya
sudut keliling
yang mana saja
tanpa melihat
busur yang
dihadap sama atau
tidak).
menghadap busur yang
sama. Selanjutnya,
peneliti memberikan
beberapa persoalan
tentang konsep yang baru
saja dijelaskan untuk
melihat pemahaman S1.
Peneliti kemudian
memberikan pertanyaan
tentang sudut keliling apa
yang sesuai yang dapat
digunakan untuk mencari
besar sudut pusat, yaitu
∠𝐵𝑂𝐶 dan ∠𝐴𝑂𝐵.
Setelah
mendengarkan
penjelasan peneliti
tentang hubungan
sudut pusat dan
sudut keliling, S1
dapat menjawab
bahwa ∠𝐵𝑂𝐶 =2∠𝐵𝐴𝐶 dan
∠𝐴𝑂𝐵 = 2∠𝐴𝐶𝐵.
Explaining
and Justifying
S1 tidak dapat
menemukan besar
∠𝐴𝐶𝐵 yang
nantinya akan
digunakan untuk
mencari besar
∠𝐴𝑂𝐵.
Peneliti memberitahukan
bahwa besar ∠𝐴𝐶𝐵 dapat
dicari dengan menjumlahkan
besar ∠𝐴𝐶𝑂 dan ∠𝑂𝐶𝐵.
Karena sudut ∠𝐴𝐶𝑂 sudah
diketahui , peneliti meminta
S1 untuk mencari besar
∠𝑂𝐶𝐵 dengan menggunakan
segitiga 𝐵𝑂𝐶.
S1 tidak bisa
menjawab.
Explaining :
Showing and
telling
Peneliti kemudian
menjelaskan bahwa segitiga
𝐵𝑂𝐶 sama kaki, kemudian
memberikan pertanyaan :
“Kalau 𝐵𝑂𝐶 ini sama kaki,
berarti besar ∠𝑂𝐶𝐵 dan
∠𝐶𝐵𝑂 ini bagaimana ?”
“Dari informasi tersebut,
coba sekarang kamu cari
besar ∠𝑂𝐶𝐵.”
S1 menjawab bahwa
besar ∠OCB dan
∠𝐶𝐵𝑂 sama, namun
tidak bisa mencari
besar ∠𝑂𝐶𝐵.
Reviewing :
Prompting
Question
Peneliti memberikan
masalah lain yang mirip
dengan masalah yang
dihadapi S1 :
“Misalkan ada segitiga
𝐴𝐵𝐶, besar ∠𝐶𝐵𝐴 adalah
35°, besar ∠𝐵𝐴𝐶 adalah
75°. Berapakah besar
∠𝐴𝐶𝐵 ?”
S1 dapat menjawab
soal tersebut dengan
benar, selanjutnya S1
akhirnya dapat
menjawab bahwa
∠𝑂𝐶𝐵 =1
2(180° −
∠𝐵𝑂𝐶). Setelah
menemukan besar
∠𝑂𝐶𝐵, selanjutnya S1
mencari besar
∠𝐴𝐶𝐵,yaitu besar
∠𝑂𝐶𝐵 ditambah
dengan besar ∠𝐴𝐶𝑂.
Dari besar ∠𝐴𝐶𝐵, S1
menemukan besar
∠𝐴𝑂𝐵, yaitu ∠𝐴𝑂𝐵 =2∠𝐴𝐶𝐵.
Reviewing :
Parallel
Modelling
2 Semua proses
yang
dilakukan S1
dalam
menyelesaikan
soal nomor 2
salah
S1 tidak
memahami
informasi yang
diketahui di soal
yaitu ∠𝐶𝐹𝐵 dan
∠𝐶𝐴𝐵.
Peneliti memberikan
pertanyaan – pertanyaan
sebagai berikut :
“∠𝐶𝐹𝐵 itu merupakan sudut
yang terbentuk dari
perpotongan apa dengan
apa? Perpotongannya
S1 menyebutkan
bahwa ∠𝐶𝐹𝐵 adalah
sudut perpotongan
antara 𝐶𝐷 dan 𝐵𝐸 dan
∠𝐵𝐴𝐶 adalah sudut
keliling.
Reviewing :
Probing
Question
Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 185
No
Soal
Deskripsi
Pekerjaan S1
Masalah yang
Dihadapi S1
Bentuk Scaffolding yang
Diberikan
Reaksi S1 Terhadap
Scaffolding yang
Diberikan
Komponen
Scaffolding :
Kegiatan
yang
dilakukan
dimana?”
“Bagaimana dengan ∠𝐶𝐴𝐵
?”
Peneliti menegaskan
kembali kepada S1 bahwa
∠𝐶𝐹𝐵 itu adalah sudut
yang terbentuk karena
perpotongan tali busur 𝐵𝐸
dan 𝐶𝐷 di dalam
lingkaran.
Peneliti kemudian
menanyakan beberapa
pertanyaan kepada S1 :
“Sudut keliling itu apa
tadi ? Titik sudutnya harus
dimana tadi ? Kalau sudut
pusat kan titik sudutnya di
pusat lingkaran, kalau
sudut keliling ?”
“Apakah ∠𝐶𝐴𝐵 itu sudut
keliling ?”
Dari pernyataan S1
tentang ∠𝐶𝐴𝐵, peneliti
menegaskan kembali
bahwa ∠𝐶𝐴𝐵 itu adalah
sudut perpotongan antara
tali busur 𝐶𝐸 dan 𝐵𝐷 di
luar lingkaran.
Dari pertanyaan
tersebut, S1
menyadari
kesalahannya bahwa
∠𝐶𝐴𝐵 bukan sudut
keliling karena titik
sudutnya ada di luar
lingakaran. S1
kemudian
mengatakan bahwa
∠𝐶𝐴𝐵 adalah sudut
perpotongan antara
𝐵𝐴 dan 𝐶𝐴.
Reviewing :
Probing
Question
S1 tidak tahu cara
mencari besar
∠𝐶𝑂𝐵 dan
∠𝐷𝑂𝐸 dengan
menggunakan
besar ∠𝐶𝐹𝐵 dan
∠𝐶𝐴𝐵.
Peneliti menerangkan
bahwa besar sudut
perpotongan antara dua
tali busur di dalam
lingkaran itu sama saja
dengan setengah dari
jumlah busur yang
terpotong, sehingga
∠𝐶𝐹𝐵 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 +
∠𝐷𝑂𝐸). Peneliti juga
menerangkan bahwa besar
sudut perpotongan antara
dua tali busur di luar
lingkaran itu sama saja
dengan setengah dari
selisih busur yang
terpotong, sehingga
∠𝐶𝐴𝐵 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 −
∠𝐷𝑂𝐸).
Peneliti kemudian
meminta S1 memakai
konsep tersebut dan
informasi tentang
besar ∠𝐶𝐹𝐵 dan ∠𝐶𝐴𝐵
untuk mencari besar
∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸.
S1 bingung tidak bisa
menjawab.
Explaining :
Showing and
telling
Developing
Conceptual
Thinking :
Making
connections
186, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
No
Soal
Deskripsi
Pekerjaan S1
Masalah yang
Dihadapi S1
Bentuk Scaffolding yang
Diberikan
Reaksi S1 Terhadap
Scaffolding yang
Diberikan
Komponen
Scaffolding :
Kegiatan
yang
dilakukan
Peneliti lalu menjelaskan :
“Kamu kan tadi punya
∠𝐶𝐴𝐵 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 −
∠𝐷𝑂𝐸) dan ∠𝐶𝐴𝐵 = 25°
berarti kan 25 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸). Itu
dapatnya yang pertama.
Lalu selanjutnya kan tadi
punya ∠𝐶𝐹𝐵 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 +
∠𝐷𝑂𝐸) dan ∠𝐶𝐹𝐵 = 70°,
berarti kan 70 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸).
Sekarang kamu punya dua
persamaan 25 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸) dan
70 =1
2(∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸).
Masing – masing persamaan
bisa disederhanakan tidak?”
S1 dapat
menyederhanakan
persamaan tersebut
menjadi :
50= ∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸
140 = ∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸
Explaining :
Showing and
telling
S1 tidak dapat
menemukan besar
∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸
dari sistem
persamaan betikut
:
5= ∠𝐶𝑂𝐵− ∠𝐷𝑂𝐸
140= ∠𝐶𝑂𝐵− ∠𝐷𝑂𝐸
Peneliti memberikan
ilustrasi masalah yang lebih
sederhana.
“Misalkan ada sistem
persamaan
𝑥 + 𝑦 = 10 𝑥 − 𝑦 = 5
Selesaikan sistem
persamaan linier dua
variabel di atas untuk
mendapatkan nilai 𝑥 dan
𝑦.”
S1 dapat
menyelesaikan masalah
tersebut dengan benar,
dari situ S7 dapat
menemukan besar
∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸
dengan menggunakan
proses eliminasi dan
substitusi dari sistem
persamaan
∠𝐶𝑂𝐵 + ∠𝐷𝑂𝐸 = 140 ∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸 = 50
Reviewing :
Parallel
Modelling
S1 tahu bahwa
besar ∠𝐵𝐶𝐷
adalah setengah
kali besar ∠𝐵𝑂𝐷,
namun S1 tidak
dapat mencari
besar ∠𝐵𝑂𝐷.
Peneliti memberikan
pertanyaan kepada S1 :
“∠𝐶𝑂𝐵 ditambah ∠𝐸𝑂𝐶
ditambah ∠𝐷𝑂𝐸 terus
ditambah sudut ∠𝐵𝑂𝐷 itu
jadinya nanti apa ?
Keempat sudut itu
ditambahkan jadinya apa
?”
Dari pertanyaan
tersebut S1 menyadari
bahwa jika sudut
∠𝐶𝑂𝐵, ∠𝐸𝑂𝐶, ∠𝐷𝑂𝐸,
dan ∠𝐵𝑂𝐷
ditambahkan akan
menjadi satu lingkaran,
sehingga ∠𝐵𝑂𝐷 =360 − (∠𝐶𝑂𝐵 +∠𝐶𝑂𝐸 + ∠𝐸𝑂𝐷).
Setelah menemukan
besar ∠𝐵𝑂𝐷, S1
mencari besar ∠𝐵𝐶𝐷
yaitu setengah besar
∠𝐵𝑂𝐷.
Reviewing :
Prompting
Question
Level Kemampuan S1 Setelah Pemberian
Scaffolding
Setelah pemberian scaffolding, S1
mengerjakan tes 2. Untuk tes 2 soal nomor 1, S1
mencari besar ∠𝐴𝑂𝐶 dengan menggunakan
informasi tentang besar ∠𝑂𝐴𝐶 (diketahui) dan
konsep segitiga sama kaki serta jumlah sudut dalam
segitiga pada segitiga 𝐶𝑂𝐴. S1 mengetahui bahwa
segitiga COA sama kaki karena mempunyai dua sisi
yang sama panjang yaitu 𝑂𝐴 dan 𝑂𝐶 (jari – jari
lingkaran) sehingga ∠𝑂𝐴𝐶 = ∠𝐴𝐶𝑂. Kemudian
besar ∠𝐴𝑂𝐶 yang diperoleh digunakan untuk
mencari besar refleks ∠𝐴𝑂𝐶, yaitu ∠𝐶𝑂𝐴 dengan
menggunakan konsep jumlah sudut satu lingkaran
Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 187
penuh. Informasi tentang besar refleks ∠𝐴𝑂𝐶
kemudian digunakan untuk mencari besar ∠𝐴𝐵𝐶
dengan menggunakan konsep hubungan antara sudut
pusat dan sudut keliling yang menghadap busur yang
sama. Selanjutnya, S1 menggunakan informasi
tentang besar ∠𝐴𝐵𝐶, ∠𝐵𝐶𝐴, ∠𝐴𝐶𝑂, ∠𝐶𝑂𝐴, dan
∠𝑂𝐴𝐶 untuk mencari besar ∠𝐶𝐴𝐵 dengan
menggunakan konsep jumlah sudut dalam
segiempat. Gambar 3 berikut ini merupakan respon
S1 dalam menjawab tes 2 soal nomor 1.
Gambar 3. Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal Nomor 1
Tabel 2. Keterangan Kode dalam Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal nomor 1 No Kode Keterangan
1 Informasi atau klu yang diberikan yang dapat mendorong respons
2
Respons, baik perantara atau hasil akhir
3
Konsep atau proses yang diharapkan sebagai bagian dari geometri
4 InfJrLing Informasi tentang jari – jari lingkaran pada gambar
5 InfSdtOAC Informasi besar ∠𝑂𝐴𝐶 yang ada pada soal
6 InfSdtBCA Informasi besar ∠𝐵𝐶𝐴 yang ada pada soal
7 Ksp SgtSmKk Konsep tentang segitiga sama kaki
8 KspJmlSdtSgt Konsep tentang jumlah sudut segitiga
9 KspJmlSdtPtr Konsep jumlah sudut putar atau jumlah sudut satu lingkaran penuh
10 KspSdtPstKel Konsep tentang hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling
yang menghadap busur yang sama
11 KspJmlSdtSgmpt Konsep tentang jumlah sudut segiempat
12 KesPrtrSdtACO Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐴𝐶𝑂
13 KesAkhSdtAOC Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐴𝑂𝐶
14 KesPrtrSdtCOA Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐶𝑂𝐴
15 KesPrtrSdtABC Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐴𝐵𝐶
16 KesAkhSdtCAB Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐶𝐴𝐵
17 Level SOLO Relational
Untuk soal tes 2 nomor 2, S1 mampu
mengerjakan semua soal, baik 2a maupun 2b,
dengan benar. S1 mencari besar ∠𝐻𝑂𝐺 dan ∠𝐼𝑂𝐽
(2a) dengan menggunakan informasi besar ∠𝐻𝐿𝐺
dan ∠𝐻𝐾𝐺. S1 menerapkan konsep besar sudut
perpotongan antara dua tali busur di dalam lingkaran
sehingga mendapatkan
∠𝐻𝐿𝐺 =1
2(∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽)
80 =1
2(∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽)
160 = ∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽 dan besar sudut perpotongan antara dua tali busur di
luar lingkaran sehingga mendapatkan
∠𝐻𝐾𝐺 =1
2(∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽)
35 =1
2(∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽)
70 = ∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽.
Selanjutnya, S1 mendapatkan sistem persamaan
linier dua variabel sebagai berikut
∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽 = 160
∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽 = 70.
S1 kemudian melakukan prosedur eliminasi dan
subtitusi pada sistem persamaan di atas untuk
menemukan besar ∠𝐻𝑂𝐺 dan ∠𝐼𝑂𝐽.
Untuk soal nomor 2b yaitu mencari besar
∠𝐺𝑂𝐼, pertama S1 menggunakan informasi besar
∠𝐻𝐿𝐺 dan konsep sudut bertolak belakang untuk
mendapatkan besar ∠𝐼𝐿𝐽. Selanjutnya S1
menggunakan informasi tentang besar ∠𝐼𝐿𝐽 dan
∠𝐽𝐼𝐻 serta konsep jumlah sudut dalam segitiga pada
segitiga 𝐼𝐿𝐽 untuk mendapatkan besar ∠𝐺𝐽𝐼.
Informasi tentang besar ∠𝐺𝐽𝐼 tersebut kemudian
digunakan S1 untuk mencari besar ∠𝐺𝑂𝐼 dengan
menggunakan konsep hubungan antara sudut pusat
dan keliling yang menghadap busur yang sama.
Gambar 4. berikut ini menggambarkan respon S1
dalam menjawab tes 2 soal nomor 2.
188, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Gambar 4. Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal Nomor 2
Tabel 3. Keterangan Kode dalam Skema Respon S1 untuk Tes 2 Soal nomor 2 No Kode Keterangan
1 Informasi atau klu yang diberikan yang dapat mendorong respons
2
Respons, baik perantara atau hasil akhir
3
Konsep atau proses yang diharapkan sebagai bagian dari geometri
4
Konsep atau proses abstrak yang diambil dari luar domain geometri
5 InfSdtHKG Informasi besar ∠𝐻𝐾𝐺 yang ada pada soal
6 InfSdtHLG Informasi besar ∠𝐻𝐿𝐺 yang ada pada soal
7 InfSdtJIH Informasi besar ∠𝐵𝐶𝐴 yang ada pada soal
8 KspPerpTbDlmLing Konsep tentang besar sudut perpotongan antara dua tali busur di
dalam lingkaran
9 KspPerpTbLuLing Konsep tentang besar sudut perpotongan antara dua tali busur di
luar lingkaran
10 KspSisPerLiDuaVar Konsep sistem persamaan linier dua variabel
11 KspSdtPstKel Konsep tentang hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling
yang menghadap busur yang sama
12 KspJmlSdtSgt Konsep tentang jumlah sudut segitiga
13 KspSdtTb Konsep sudut bertolak belakang
14 KesPrtrPers1 Kesimpulan perantara yang didapat yaitu persamaan ∠𝐻𝑂𝐺 + ∠𝐼𝑂𝐽 = 160
15 KesPrtrPers2 Kesimpulan perantara yang didapat yaitu persamaan ∠𝐻𝑂𝐺 − ∠𝐼𝑂𝐽 = 70
16 KesAkhSdtHOGIOJ Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐻𝑂𝐺 dan ∠𝐼𝑂𝐽
17 KesPrtrSdtILJ Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐼𝐿𝐽
18 KesPrtrSdtGJI Kesimpulan akhir yang didapat tentang besar ∠𝐺𝐽𝐼
19 KesAkhSdtGOI Kesimpulan perantara yang didapat tentang besar ∠𝐺𝑂𝐼
20 Level SOLO Relational
Dari hasil pekerjaan S1 dan wawancara untuk
soal nomor 2, S1 dapat menggunakan semua
informasi yang ada dalam soal serta dapat
mengaplikasikan konsep atau proses dengan benar
lalu memberikan hasil sementara dan
menghubungkan dengan informasi atau proses yang
lain sehingga dapat menarik kesimpulan yang
relevan. S1 juga dapat menggunakan konsep lain
diluar geometri, namun S1 belum dapat membuat
generalisasi dengan mencari cara lain untuk
menyelesaikan masalah. Berdasarkan skema respon
Taksonomi SOLO oleh Biggs & Collis (1982 : 24-
25) dan indikator level kemampuan siswa
berdasarkan Taksonomi SOLO dalam Tabel 1 dapat
dikatakan bahwa kemampuan S1 berada pada level
relational dalam mengerjakan tes 2. Level
kemampuan S1 meningkat dari prestructural menjadi
relational.
PEMBAHASAN
Scaffolding untuk Meningkatkan Level
Kemampuan Siswa Kategori Prestructural dalam
Menyelesaikan Soal Geometri
Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 189
Ada beberapa konsep yang tidak dipahami S1
ketika mengerjakan tes 1 soal nomor 1, yaitu
penamaan sudut (S1 menganggap ∠𝐴𝐶𝐵, ∠𝐵𝐴𝐶,
dan ∠𝐶𝐵𝐴 sama saja), sudut pusat, sudut keliling
dan hubungan antara sudut pusat dan sudut keliling
yang menghadap busur yang sama (S1 menganggap
besar sudut pusat itu dua kalinya sudut keliling yang
mana saja tanpa melihat busur yang dihadap sama
atau tidak). Peneliti kemudian memberikan
scaffolding level 2 yaitu explaining (showing and
telling) dan dilanjutkan dengan reviewing (students
expalining and justifying). Anghileri (2006)
mengatakan bahwa dalam strategi showing and
telling guru memegang kontrol dan melakukan
percakapan yang terstruktur (diskusi satu arah/guru
saja yang menjelaskan) sehingga kegiatan yang
dilakukan peneliti adalah memberikan penjelasan
tentang konsep – konsep yang tidak dimengerti oleh
S1. Untuk melihat apakah S1 sudah memahami
konsep yang dijelaskan atau tidak maka selanjutnya,
peneliti melakukan scaffolding berupa reviewing
(students expalining and justifying). Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Anghileri (2006) yang
mengatakan bahwa students expalining and
justifying dapat memberikan informasi kepada guru
tentang pemahaman siswa terhadap suatu konsep
matematika. Hasil dari scaffolding tersebut adalah
S1 dapat memahami informasi yang ada pada tes 1
soal nomor 1 serta dapat menjelaskan bahwa
∠𝐵𝑂𝐶 = 2∠𝐵𝐴𝐶 dan ∠𝐴𝑂𝐵 = 2∠𝐴𝐶𝐵 (yang
ditanyakan pada soal tes 1 nomor 1).
Kesulitan selanjutnya yang dihadapi S1 dalam
menyelesaikan tes 1 soal nomor 1 adalah S1 tidak
tahu bagaimana cara menemukan besar ∠𝐴𝐶𝐵.
Peneliti kemudian memberikan scaffolding level 2
yaitu explaining ( showing and telling) dan
dilanjutkan dengan reviewing (prompting questions).
Peneliti memberikan penjelasan sedikit terkait
dengan cara menemukan besar ∠𝐴𝐶𝐵, yaitu dengan
menjumlahkan besar ∠𝐴𝐶𝑂 (diketahui di soal ) dan
∠𝑂𝐶𝐵. Selanjutnya, peneliti memberikan pertanyaan
pertanyaan pendorong (prompting) kepada S1 agar
S1 dapat menghubungkan antara konsep segitiga
sama kaki dan informasi yang diketahui di soal
untuk mendapatkan besar ∠𝑂𝐶𝐵. Wood dalam
Anghileri (2006) mengatakan bahwa strategi
prompting questions dapat menuntun proses
berpikir siswa menuju ke arah solusi yang telah
ditetapkan sebelumnya. Hasil yang didapat dari
scaffolding tersebut adalah S1 dapat menjelaskan
bahwa besar ∠OCB dan ∠𝐶𝐵𝑂 sama, namun tidak
bisa mencari besar ∠𝑂𝐶𝐵. Oleh karena itu, peneliti
kemudian memberikan scaffolding level 2 yaitu
reviewing (parallel modelling) dengan meminta
siswa untuk menyelesaikan masalah lain yang lebih
sederhana yang mempunyai tipe yang sama dengan
masalah orisinil yang dihadapi siswa (Anghileri,
2006). Hasil dari scaffolding tersebut adalah S1
dapat menemukan besar ∠𝑂𝐶𝐵 sehingga dapat
menyelesaikan tes 1 soal nomor 1.
Untuk tes 1 soal nomor 2, S1 tidak memahami
informasi yang ada pada soal tentang ∠𝐶𝐹𝐵 dan
∠𝐶𝐴𝐵. Peneliti kemudian memberikan scaffolding
level 2 yaitu reviewing (probing questions). Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Anghileri (2006)
bahwa strategi probing questions dapat menggali
pengetahuan yang ada di pikiran siswa untuk dapat
digunakan sebagai dasar dalam memahami
pengetahuan yang baru. Hasil yang didapat dari
scaffolding tersebut adalah S1 dapat menjelaskna
bahwa ∠𝐶𝐹𝐵 dan ∠𝐶𝐴𝐵 masing – masing adalah
sudut perpotongan antara dua tali busur di dalam dan
luar lingkaran, namun S1 tidak mengetahui konsep
tentang besar sudut perpotongan antara dua tali
busur di dalam dan luar lingkaran serta tidak dapat
menghubungkan konsep tersebut untuk mencari
besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸. Peneliti kemudian
memberikan scaffolding level 2 yaitu explaining (
showing and telling) dimana peneliti menjelaskan
tentang konsep besar sudut perpotongan antara dua
tali busur di dalam dan luar lingkaran dan
menjelaskan cara menemukan besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan
∠𝐷𝑂𝐸 dengan menggunakan konsep tersebut
sampai didapatkan suatu sistem persamaan linier dua
variabel
∠𝐶𝑂𝐵 + ∠𝐷𝑂𝐸 = 140
∠𝐶𝑂𝐵 − ∠𝐷𝑂𝐸 = 50.
Hasil yang didapat dari scaffolding tersebut
adalah S1 tidak dapat menemukan besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan
∠𝐷𝑂𝐸 dari sistem sistem persamaan linier dua
variabel yang ada, oleh karena itu peneliti kemudian
memberikan scaffolding level 2 yaitu reviewing
(parallel modelling) dengan meminta S1 untuk
menyelesaikan suatu sistem persamaan linier
variabel yang lebih sederhana dan umum. Hasil yang
didapat dari scaffolding tersebut adalah S1 dapat
menemukan besar ∠𝐶𝑂𝐵 dan ∠𝐷𝑂𝐸, namun S1
tidak dapat menghubungkan informasi tersebut
dengan informasi lain yang ada pada soal untuk
menemukan besar ∠𝐵𝑂𝐷 yang nantinya akan
digunakan untuk mencari besar ∠𝐵𝐶𝐷. Peneliti
kemudian memberikan scaffolding level 2 yaitu
reviewing (prompting questions) sehingga S1 dapat
menemukan besar ∠𝐵𝐶𝐷 dan menyelesaikan tes 1
soal nomor 2.
Setelah pemberian scaffolding, S1 mengerja-
kan tes 2. Dari hasil tes dan wawancara didapatkan
bahwa level kemampuan S1dalam menyelesaikan
soal geometri meningkat dari prestructural ke
relational. Sebelumnya, S1 sama sekali tidak
mampu mengerjakan soal tes 1, setelah pemberian
scafffolding S1 sudah memahami konsep konsep
yang ada pada soal dan dapat menggunakan semua
190, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
informasi yang ada dalam soal serta dapat
mengaplikasikan konsep atau proses dengan benar
lalu memberikan hasil sementara dan menghubung-
kan dengan informasi atau proses yang lain sehingga
dapat menarik kesimpulan yang relevan. S1 juga
dapat menggunakan konsep lain diluar geometri,
yaitu sistem persamaan dua variabel. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Rakhman (2015)
yang mengatakan bahwa siswa dengan level
relational dalam menyelesaikan soal geometri
memahami informasi – informasi yang ada dalam
soal dan ditanyakan dalam soal dengan baik, namun
informasi yang diberikan belum mampu untuk
menyelesaikan soal yang diberikan dengan baik,
siswa harus menentukan informasi lain sebelum
dapat digunakan untuk menentukan selesaian akhi
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian scaffolding dapat meningkatkan level
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal
geometri dari prestructural menjadi relational.
Setelah pemberian scaffolding, siswa mampu
menggunakan semua informasi yang ada pada soal
untuk mengaplikasikan konsep atau proses dalam
geometri maupun diluar geometri, lalu memberikan
hasil sementara dan menghubungkan dengan
informasi atau proses yang lain sehingga dapat
menarik kesimpulan yang relevan. Scaffolding yang
dapat meningkatkan level kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal geometri dari prestructural
menjadi relational adalah scaffolding level 2 yaitu
explaining (showing and telling) dan reviewing
(students explaining and justifying; prompting and
probing questions; parralel modeling ). Kegiatan
yang dilakukan dalam pemberian scaffolding berupa
menjelaskan konsep – konsep dalam geometri ysng
belum dipahami siswa; menunjukkan kepada siswa
masalah apa yang dicari penyelesainnya dalam soal
dan menuntun siswa untuk menemukan cara
menyelesaikannya; memberikan pertanyaan pen-
dorong (prompting) dan penggali/penyelidik
(probing) kepada siswa; membuat masalah yang
lebih sederhana namum memiliki karakteristik yang
sama dengan masalah original siswa dan meminta
siswa untuk menyelesaikannya; serta melakukan
tanya jawab dengan siswa dengan tujuan untuk
menggali apa yang diketahui dan tidak diketahui
oleh siswa, siswa menemukan sendiri letak
kesalahnnya, dan siswa dapat memberikan pem-
benaran maupun menyalahkan hasil pekerjaannya
sendir
Saran
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa siswa masih belum dapat mencapai level
extended abstract dalam menyelesaikan soal
geometri. Untuk itulah perlu ada penelitian lebih
lanjut yang membahas tentang pemberian scaf-
folding agar level kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal geometri meningkat dari
prestructural menajdi extended abstract. Pada
penelitian ini, subjek penelitian difokuskan hanya
pada satu siswa saja, untuk penelitian lebih lanjut
perlu adanya subjek pembanding untuk melihat
variasi pemberian scaffolding yang dapat diberikan
kepada siswa dengan level kemampuan pre-
structural dalam menyelesaikan soal geometri.
DAFTAR RUJUKAN
Amiripour,Parvaneh.,Modifi,Somayeh Amir.,&
Shahvarani,Ahmad.2012. Scaffolding as
Effective Method for Mathematical
Learning.Indian Journal of Science and
Technology,(online),5(9):3328-3331,
(http://www.indjst.org/index.php/indjst/article
/view/30681), diakses 15 November 2014.
Anghileri,J.2006.Scaffolding Practices that Enhance
Mathematics Learning. Journal of
Mathematics Teacher Education,
(online),9(1):33-52,(
http://link.springer.com/article/10.1007/s1085
7-006-9005-9#/page-1), diakses 15 November
2014.
Biggs, John B.,& Collis, Kevin F.1982.Evaluation
The Quality of Learning : The SOLO
taxonomy (Structure of The Observed
Learning Outcome).Academic Press,Inc.
Chan,dkk.2002.Applying the Structure of the
Observed Learning Outcomes (SOLO)
Taxonomy on Student's Learning Outcomes:
An empirical study.Journal of Assessment &
Evaluation in Higher Education,27(6):511-
527,(online),
(http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/
0260293022000020282#abstract), diakses 8
September 2015.
Chick,Helen.1998. Cognition in the Formal Modes:
Research Mathematics and the SOLO
Taxonomy.Mathematics Education Research
Journal, (online),10(2): 4-26,
(http://link.springer.com/article/10.1007/BF03
217340), diakses 4 Oktober 2015.
Guven,Bulent.,& Baki,Adnan.2010.Characterizing
Student Mathematics Teachers’ Level of
Understanding in Spherical Geometry.Journal
of Mathematical Education in Science and
Technology,(online), 41(8):991-
Triutami, dkk. Peningkatan Level Kemampuan Siswa SMP …, 191
1031,(http://www.tandfonline.com/doi/full/10.
1080/0020739X.2010.500692#abstract),
diakses 19 September 2015.
Hunter,Roberta.2012.Coming to “Know”
Mathematics through Being Scaffolded to
“Talk and Do” Mathematics. International
Journal for Mathematics Teaching and
Learning, Desember 2012.
Johnson, B., Christensen, L.. 2004. Educatioonal
Research Quantitative, Qualitative, and
Mixed Approaches Second edition. United
States: Library of Congress Cataloging-in-
Publicatiom Data.
Lian, Lim Hooi.,& Yew, Wun Thiam. 2011.
Developing Pre-algebraic Thinking in
Generalizing Repeating Pattern Using SOLO
Model. US-China Education Review
A,(online), 6:774-78, ISSN 1548-6613,
(http://eric.ed.gov/?q=Developing+Prealgebra
ic+Thinking+in+Generalizing+Repeating+Pat
tern+Using+SOLO+Model&id=ED529402),
diakses tanggal 19 September 2015.
Rakhman, Anang Fatur.2015.Profil Respon Siswa
dalam Menyelesaikan Soal Geometri Kelas X
SMA Negeri 1 Grati Pasuruan Berdasarkan
Taksonomi SOLO. Tesis tidak diterbitkan.
Malang:MIPA UM.
Veer, Rene Van Der. 2007. Lev Vygotsky. New
York. Continuum International Publishing
Group
192
INVESTIGASI PROSES BERPIKIR REFLEKTIF SISWA
DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL
Iwan Surya Dinata1 ;Toto Nusantara2; Susiswo3
Universitas Negeri Malang [email protected]
Abstract: Reflective Thinking is meaningful thinking based on argument and purpose. This thinking of
this involves solving problems, formulating conclusions, considering matters related, and make decisions.
The process of reflective thinking in this research includes: (1) the presentation of the problem situation,
(2) clarification of the problem, (3) the formation of a hypothesis, test and modify, (4) specifies the action
on the basis of a decision best. This study describes the process of reflective thinking of students who
attend the rural environment and the city. Subject taken from high-ability students from SMP Negeri 1
Malang as students who attend school in the city and students from SMP Negeri 1 Wagir as students who
attend the rural environment. The conclusion from this research is reflective thinking processes of
students from rural s environment in solving geometry problems as follows: the step to understand the
problem of students do (a) presentation of the problem situation; and (b) to clarify the issue. On
completion of the planned measures students' problems from city environment can use reflective thinking
processes, namely(a) provide information that is given (b) clarify that asked (c) determine action on the
basis of the best decisions. Steps taken from doing the plan is : (a) specify the actions based on the best
decisions, (b) Establishment of a hypothesis, test and modify. In the back testing step : (a) take any action
based on the best decisions (b) the test results obtained. While the students who come from rural
environment can only do reflective thinking process of formulating the problem came to implementing the
plan. In step look back, the student can not do reflective thinking.
Key Word : Processes Thinking, Reflective Thinking, Geometry Problem
Abstrak: Berpikir reflektif adalah berpikir yang bermakna yang didasarkan pada alasan dan tujuan.
Berpikir jenis ini merupakan jenis pemikiran yang melibatkan pemecahan masalah, perumusan
kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan membuat keputusan-keputusan. Proses
berpikir reflektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Hullfish dan Smith (1964) yang
meliputi: (1) penyajian situasi masalah, (2) klarifikasi masalah, (3) pembentukan hipotesis, menguji dan
memodifikasi, (4) menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik. Artikel ini disusun berdasarkan
hasil penelitian proses berpikir reflektif siswa yang bersekolah dilingkungan desa dan siswa yang
bersekolah dilingkungan kota. Subjek diambil dari siswa yang berkemampuan tinggi SMP Negeri 1
Malang sebagai siswa yang bersekolah dikota dan siswa SMP Negeri 1 Wagir sebagai siswa yang
bersekolah dilingkungan desa. Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah proses berpikir reflektif siswa
dari desa dalam menyelesaikan masalah geometri sebagai berikut: pada langkah memahami masalah
siswa melakukan (a) penyajian situasi masalah; dan (b) mengklarifikasi masalah. Pada langkah
merencanakan penyelesaian masalah siswa dari lingkungan kota dapat menggunakan proses berpikir
reflektif yaitu dengan (a) menyajikan informasi yang diberikan (b) mengklarifikasi yang ditanyakan (c)
menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik. Pada langkah melaksanakan rencana yang dilakukan
yaitu (a) menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik, (b) Pembentukan hipotesis, menguji dan
memodifikasi. Pada langkah memeriksa kembali yaitu (a) melakukan tindakan atas dasar keputusan
terbaik (b) pengujian hasil yang diperoleh. Sedangkan pada siswa yang berasal dari lingkungan desa
hanya dapat melakukan proses berpikir reflektif dari merumuskan masalah sampai pada melaksanakan
rencana. Pada langkah melihat kembali, siswa tersebut tidak dapat melakukan pemikiran reflektif.
Kata Kuci: Proses Berpikir, Berpikir Reflektif, Memecahkan Masalah Geometri
Belajar merupakan suatu kegiatan mental
dalam diri setiap manusia yang melibatkan proses
berpikir. Tujuannya adalah untuk mencapai berbagai
macam kompetensi, keterampilan dan sikap.
Sedangkan berpikir merupakan suatu kegiatan
mental yang melibatkan kerja otak, dan berpikir juga
berarti berjerih payah secara mental untuk
memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan
keluar dari masalah yang dihadapi. Menurut Saragih
(2008) tujuan utama dalam belajar matematika
adalah kemampuan pemecahan masalah dan salah
satu karakteristik utama matematika adalah memiliki
struktur yang saling terkait. Sehingga, dalam
mempelajari matematika seseorang harus mampu
Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 193
mengorganisasikan pengetahuan yang dimilikinya
untuk memecahkan suatu permasalahan matematika
yang dihadapinya.
Pembelajaran matematika disekolah tidak
hanya menekankan pada pemberian rumus-rumus
melainkan juga untuk dapat menyelesaikan berbagai
masalah matematis. Salah satu berpikir matematis
yang mendukung kemampuan pemecahan masalah
siswa dalam pembelajaran matematika adalah
berpikir reflektif (reflective thingking). Hal ini
terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecakan
masalah yang dihadapinya. Dewey (dalam Rodgers,
2002) situasi yang terjadi pada saat seseorang
mengalami kebingungan (perplexity) dan melakukan
penyelidikan berulang-ulang sampai menemukan
penyelesaian (inquiry) aktivitas ini disebut berpikir
reflektif. Menurut Sezer (2008) Berpikir reflektif
adalah kemampuan mengidentifikasi apa yang sudah
diketahui, menerapkan pengetahuan yang dimiliki
dalam situasi lain, memodifikasi pemahaman
berdasarkan informasi dan pengalaman-pengalaman
baru. Peserta didik yang berfikir reflektif menjadi
sadar dan mengendalikan pembelajaran mereka
dengan aktif mengakses apa yang mereka ketahui,
apa yang mereka perlu tahu dan bagaimana mereka
menjembatani kesenjangan. Dengan demikian,
berpikir reflektif adalah berpikir yang bermakna
yang didasarkan pada alasan dan tujuan. Berpikir
jenis ini merupakan jenis pemikiran yang melibatkan
pemecahan masalah, perumusan kesimpulan,
memperhitungkan hal-hal yang berkaitan, dan
membuat keputusan-keputusan.
Banyak ahli yang menyatakan pentingnya
berpikir reflektif dalam proses belajar seperti
Zemelman, Daniels, dan Hyde (1993) Tok (2008),
Sezer (2008), Lee (2005) dan Gurol (2011).
Zemelman, Daniels, dan Hyde (1993) percaya
bahwa belajar yang paling kuat terjadi ketika peserta
didik menggunakan berpikir reflektifnya untuk
memecahkan masalah. peserta didik menggunakan-
nya dengan cara meninjau kesesuaian langkah yang
mereka lakukan dengan konsep dasar dan
mengevaluasi perubahan apa yang mungkin
diinginkan dalam situasi pemecahan masalah. Tok
(2008) menyatakan bahwa kegiatan berpikir reflektif
meningkatkan prestasi akademik siswa di kelas sains
dan berpengaruh secara positif terhadap perilaku
siswa pada proses pembelajaran. Keterampilan
berpikir reflektif meningkatkan motivasi siswa
secara langsung, mengembangkan pemikiran mereka
dan mengembangkan kemampuan memecahkan
masalah. Sedangkan Lee (2005) menyatakan
berpikir reflektif dapat mengembangkan penalaran
guru dan siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan
berpikir reflektif siswa adalah dengan memberikan
sejumlah keterampilan memecahkan masalah, oleh
karena itu disarankan bagi calon guru perlu
melakukan proses berpikir reflektif dalam proses
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan
profesionalismenya.
Kemampuan berpikir reflektif belum menjadi
bagian tujuan pembelajaran matematika yang
penting oleh guru. Pada umumnya guru hanya
melihat pekerjaan siswa berdasarkan hasil akhir dari
penyelesaian masalah yang dikerjakan, tanpa
memperhatikan bagaimana proses penyelesaian
masalah itu. Jika jawaban siswa berbeda dengan
kunci jawaban, biasanya guru langsung
menyalahkan jawaban siswa tanpa menelusuri
proses siswa menjawab demikian. Dalam
pembelajaran matematika di SMP, siswa terkadang
tidak menyadari apa yang telah mereka alami dan
pelajari. Sehingga peran guru untuk meningkatkan
kesadaran siswa sangat penting. Sabandar (2010)
mengungkapkan bahwa berpikir reflektif masih
jarang dibiasakan oleh guru dan dikembangkan pada
siswa sekolah menengah. Hal ini didukung oleh
Hepsi Nindia sari (2010) dalam studi
pendahuluannya memperoleh beberapa temuan salah
satunya yaitu lebih dari 60% siswa sekolah
menengah belum mampu menyelesaikan tugas-tugas
berpikir reflektif matematis, misalnya tugas
menginterpretasikan, mengaitkan dan mengevaluasi.
Oleh karena itu diperlukan upaya guru untuk melatih
kemampuan berpikir reflektif siswa khususnya
dalam memecahkan masalah matematika.
Poyraz dan Usta (2013) menenliti proses
berpikir reflektif mahasiswa calon guru dilihat dari
beberapa variabel. Poyraz dan Usta (2013)
menemukan bahwa calon guru yang tinggal dikota
atau metropolitan memiliki kecenderung pemikiran
lebih reflektif daripada orang-orang yang dibesarkan
di sebuah desa tidak menunjukkan hal tersebut. Hal
ini dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing
individu tetapi juga dipengaruhi oleh tempat tinggal
orang tersebut. Poyraz dan Usta juga
mengungkapkan bahwa asal sekolah menengah atas
dari sekolah calon guru sebelum masuk perguruan
tinggi tidak mempengaruhi proses berpikir reflektif
mereka. Dari temuan Poyraz dan Usta (2013) dalam
artikel ini akan dibahas karakteristik berpikir
reflektif siswa SMP ditinjau dari tempat tinggal dan
asal sekolah siswa tersebut.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan untuk
mengungkapkan kejadian dari gejala-gejala yang
muncul dari subjek penelitian. Kejadian tersebut
digunakan untuk merumuskan karakteristik proses
berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah
geometri. Dalam penelitian deskriptif tidak
memberikan perlakuan, manipulasi atau
194, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
pengubahan, tetapi menggambarkan kondisi apa
adanya.
Penelitian ini di laksanakan di SMP Negeri 1
Wagir dan SMP Negeri 1 Malang pada semester
genap tahun pelajaran 2015-2016. Subjek penelitian
dipilih masing-masing sekolah 1 orang siswa SMP
kelas VII disekolah tersebut. Siswa yang bersekolah
di SMP Negeri 1 Malang ditetapkan sebagai siswa
yang memiliki lingkungan perkotaan, sedangkan
siswa yang berasal dari SMP Negeri 1 Wagir
sebagai siswa yang memiliki lingkungan sekolah
pedesaan. Subjek dipilih berdasarkan hasil tes
pemecahan masalah dengan melihat langkah-
langkah penyelesaian pemecahan masalah dan
dilihat dari sudut pandang ada tidaknya pemikiran
reflektif yang dilakukan pada saat menyelesaikan tes
pemecahan masalah.
Karakteristik penelitian kualitatif menurut
Moleong (2005) antara lain: (1) mempunyai latar
alamiah (natural setting) karena data yang diperoleh
sesuai dengan kejadian atau fenomena asli di
lapangan. (2) peneliti bertindak sebagai instrumen
utama, karena disamping sebagai pengumpul data,
peneliti juga terlibat langsung dalam proses
penelitian. (3) hasil penelitian bersifat deskriptif,
karena data yang dikumpulkan bukan berupa angka-
angka melainkan berupa kata-kata atau kalimat. (4)
peneliti lebih mementingkan proses dari pada hasil.
(5) adaya batasan masalah. (6) analisis data
cenderung induktif. (7) adanya batasan yang
ditentukaN.
Teknik pemilihan subjek dalam penelitian
menggunakan teknik purposive sampling. Teknik
purposive sampling yaitu suatu cara pengambilan
informasi sumber data dengan pertimbangan tertentu
(Sugiono, 2012). Pertimbangan tertentu ini
merupakan kriteria pemilihan subjek yaitu: (1) telah
mendapat pembelajaran mengenai segiempat, (2)
siswa yang dipilih berasal dari seklah yang berbeda
dengan lingkungan pendidikan yang berbeda pula,
(3) berdasarkan informasi dari guru matematika
yang mengajar, siswa yang dapat mengkomunikasi-
kan idenya dengan jelas baik secara lisan maupun
tulisan, dan (4) mempunyai potensi memenuhi
karakteristik proses berpikir reflektif yang
dikonstruksikan, yaitu siswa berkemampuan tinggi
pada masing-masing sekolah.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
yaitu wawancara berbasis tugas. Teknik wawancara
tersebut menggunakan hasil tes pemecahan masalah
sebagai pijakan untuk melakukan wawancara.
Peneliti mencari dan menggali informasi secara
mendalam untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan. Sebagai sember utama, peneliti akan
berinteraksi langsung dan sebagai pewawancara
dengan subjek penelitian. Peneliti dituntut mampu
menyesuaikan diri dan berinteraksi secara tuntas
dengan fenomena yang sedang terjadi. Data
penelitian dikumpulkan dengan instrumen bantu
berupa instrumen tes pemecahan. Sebelum
digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu
dilakukan validasi instrumen. Validasi dilakukan
untuk mendapatkan kesesuaian isi dari instrumen
yang digunakan.
PEMBAHASAN.
Analisis Subjek S (Siswa Kota)
Dari tugas pemecahan masalah kedua soal
nomor 1 yang diselesaikan oleh subjek S, pada
langkah memahami masalah subjek S menuliskan
jawaban sebagai berikut:
Gambar 1 Hasil Pekerjaan Subjek S Pada Saat
Memahami Masalah
Berdasarkan hasil pekerjaan pada Gambar 1,
Subjek S dapat menyajikan situasi masalah dengan
mengidentifikasi informasi yang diberikan seperti
menuliskan keliling lahan pabrik yang dimiliki 400
m dan panjang lahan 20 meter lebihnya dari lebar.
Subjek S dapat mengklarifikasi pertanyaan yang
diberikan yaitu panjang dan lebar lahan pabrik.
Berikut adalah hasil wawancara terhadap subjek S:
P : Apakah kamu paham dengan soal yang
diberikan?
S : Iya, paham
P : Coba ceritakan informasi apa saja yang
diberikan pada soal?
S : Ini buat dinding pagar yang bentuknya persegi
panjang. Panjangnya 20 meter lebihnya dari
lebarnya. Kelilingnya 400 meter.
P : Coba sebutkan apa saja yang ditanyakan pada
soal?
S : Panjang dan lebar lahan pabrik
Dari hasil pekerjaan siswa dan wawancara
yang dilakukan pada langkah memahami masalah,
subjek S dapat memahami masalah dengan baik.
Proses berpikir reflektif yang dilakukan oleh subjek
S saat memahami masalah adalah dengan
menyajikan situasi masalah, menuliskan informasi
yang tersedia pada soal seperti keliling lahan pabrik
400 meter dan panjang pabrik 20 meter lebihnya dari
lebar, subjek S menuliskan 𝑝 = 20 + 𝑙. Selain itu
Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 195
subjek S juga dapat mengklarifikasi pertanyaan pada
soal yaitu panjang dan lebar lahan pabrik.
Pada langkah merencanakan penyelesaian
masalah subjek S dapat memeriksa kecukupan
informasi yang diberikan dengan meyakini bahwa
informasi yang diberikan cukup untuk
menyelesaikan masalah. berikut hasil wawancara
yang dilakukan oleh subjek S:
P : Dari informasi yang diberikan apakah sudah
cukup untuk menyelesaikan soal tersebut?
S : Iya sudah cukup
P : Apakah kamu membuat sketsa untuk
memperjelas maksud soal?
S : Iya saya buat ini.
P : Dari sketsa yang kamu buat dengan informasi
yang diberikan bagaimana kamu
menghubungkannya?
S : Lebarnya itu l dan panjangnya itu saya ganti
dengan 20 + l karena pada soal panjangnya 20
meter lebihnya dari lebar. Ini kelilingnya 400
meter.
Setelah meyakini bahwa informasi yang
diberikan cukup untuk menyelesaikan masalah,
subjek S membuat sketsa gambar untuk memperjelas
maksud soal. Subjek S mengklarifikasi masalah dan
informasi yang ada pada soal dengan sketsa gambar
yang dibuat. berikut sketsa gambar yang dibuat oleh
subjek S:
Gambar 2 Sketsa Gambar Subjek S Saat
Merencanakan Penyelesaian
Subjek S menggambar sketsa bertujuan untuk
memperjelas maksud soal. Subjek S memberikan
simbol untuk lebar persegi janhang dengan l dan
panjang persegi panjang dengan 20 + l . subjek S
juga menuliskan keliling persegi panjang 400 m.
Dalam merencanakan strategi penyelesaian subjek S
menggunakan konsep keliling persegi panjang untuk
menentukan panjang dan lebar lahan pabrik.
Dari hasil pekerjaan siswa dan wawancara
terhadap subjek S, proses berpikir reflektif yang
dilakukan oleh subjek S pada langkah merencanakan
penyelesaian adalah menyajikan masalah dengan
merepresentasikan dalam bentuk gambar untuk
memperjelas maksud soal. Subjek S mengklarifikasi
pertanyaan dengan cara menghubungkan identifikasi
fakta dengan sketsa gambar yang dibuat. subjek S
menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik
dengan memilih konsep yang sesuai dengan masalah
yang dihadapi. Subjek S memilih konsep keliling
persegi panjang.
Pada langkah melaksanakan rencana, subjek S
menggunakan konsep keliling persegi panjang.
Subjek S mensubtitusi informasi yang ada pada soal
seperti keliling lahan pabrik, dan 𝑝 = 20 + 𝑙 pada
rumus keliling persegi panjang 𝐾 = 2𝑝 + 2𝑙 sehingga bentuk persamaannya menjadi 400 =2(20 + 𝑙) + 2𝑙, subjek S melakukan algoritma
perhitungan sehingga didapat lebar lahan pabrik
adalah 90 meter. Untuk menentukan panjang lahan
pabrik, subjek S mensubtitusikan hasil yang didapat
pada persamaan 𝑝 = 20 + 𝑙 sehingga panjang lahan
pabrik yang diperoleh adalah 110 meter. Berikut
adalah hasil pekerjaan subjek S:
Gambar 3 Hasil pekerjaan Subjek S Saat
melaksanakan rencana
Berikut adalah kutipan wawancara terhadap
subjek S pada langkah melaksanakan rencana:
P : Bagaimana cara kamu untuk menyelesaikan
soal nomor 1?
S : Saya menggunakan rumus keliling itu 2p + 2l,
saya masukkan angka-angkanya 400 = 2(20
+l) + 2l, terus 400 = 40 + 2l +2l, jadi 400 =
40 + 4l, kemudian saya kurangkan 400-40 =
4l, jadi 360 = 4l, l = 360
4= 90 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟.
Selanjutnya saya cari panjangnya diketahui
panjang sama dengan 20 + l, jadi 20 + 90 =
110 meter.
Berdasarkan hasil jawaban tertulis dan
wawancara, subjek S mampu berpikir reflektif pada
saat melaksanakan rencana yaitu menentukan
tindakan atas dasar keputusan terbaik dengan
menggunakan konsep yang sesuai dengan masalah
yang dihadapi. Subjek S menggunakan konsep
keliling persegi panjang untuk menentukan panjang
dan lebar lahan pabrik. Pembentukan hipotesis,
menguji dan memodifikasi dengan mensubtitusikan
panjang sama dengan 20 + l , lebarnya l dan keliling
lahan pabrik 400 m. Kemudian subjek S melakukan
algoritma perhitungan sehingga mendapatkan lebar
lahan pabrik. Setelah mendapatkan lebar, subjek
196, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
mensubtitusikan lebar yan diperoleh pada persamaan
𝑝 = 20 + 𝑙 didapat panjang lahan pabrik.
Pada langkah melihat kembali, subjek S
meyakini kesimpulan yang dibuat sudah sesuai
dengan informasi yang diberikan dan masalah pada
soal. Pada saat melakukan proses penyelesaian
subjek S melakukan kesalahan dalam melakukan
algoritma perhitungan, subjek S mengalikan angka
20 sebanyak 2 kali sehingga hasil yang diperoleh
tidak sesuai. Berikut petikan wawancara yang
dilakukan terhadap subjek S.
P : Apakah kamu yakin dengan strategi yang kamu
lakukan?
S : Iya yakin
P : Bagaimana kamu bisa yakin dengan strategi
yang kamu lakukan sudah sesuai dengan
informasi yang ada?
S : Iya karena ini yang ditanya adalah panjang
dan lebar, terus yang diketahui adalah
kelilingnya sama panjangnya 20 meter lebih
sama lebarnya. Sudah sesuai dengan
informasinya.
P : Apakah ada kesalahan dalam penyelesaian?
S : Ada sedikit kesalahan. Awalnya saya tulis 2.40
+ 2l + 2l, karena salah makanya saya coret.
P : Apakah kamu yakin dengan hasil yang kamu
peroleh?
S : Iya yakin
P : Apakah kamu mengoreksi kembali hasil yang
kamu peroleh tadi?
S : Iya saya koreksi.
P : Bagaimana kamu mengecek kembali hasil yang
kkamu peroleh?
S : Pertama saya baca kembali soal yang
diberikan supaya paham, kemudian saya cek
strategisaya ini kemudian saya menghitung
kembali. Dari hasil saya hitung 110.2 + 90.2
sama dengan 220+180 hasilnya 400. Hasilnya
sudah sesuai.
P : Apa yang dapat kamu simpulkan dari
pemecahan masalah yang kamu lakukan?
S : Jadi panjangnya 110 dan lebarnya 90.
Berdasarkan kutipan wawancara, subjek S
mampu berpikir reflektif pada langkah melihat
kembali yaitu, meyakini kebenaran yang diperoleh
berdasarkan tindakan atas dasar keputusan terbaik
dengan membaca kembali soal yang diberikan,
meyakinkan konsep yang digunakan sesuai dengan
masalah yang dihadapi, kemudian subjek S mencoba
menghitung kembali hasil yang diperoleh. Setelah
mendapatkan hasil, subjek S melakukan pengujian
ulang kembali dengan menyesuaikan keliling lahan
pabrik 400 meter. Panjang dan lebar yang diperoleh
disubtitusikan pada konsep keliling persegi panjang
dan memastikan bahwa hasilnya adalah 400 meter.
Masalah
PPS
B C
Cl
D E
PPS Cl
At
FG
H
J
At
HTM
Ms
Mr
Mlk
Mrk
L
M
HTM HTM
HTM
I
At
At
Diagram 1 Struktur Berpikir Subjek dalam Memecahkan Masalah Geometri
Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 197
Keterangan:
PPS : Presence of Problem Situation
Cl : Clarification
At : Action taken
HTM : Hypotheses formed, Tested, and Modified
Ms : Memahami masalah
Mr : Merencanakan penyelesaian
Mlk : Melaksanakan rencana
Mrk : Memeriksa kembali
: Alur proses reflektif
: Alur proses reflektif dua arah
: Aktivitas Memahami masalah
: Aktivitas Merencanakan penyelesaian
: Aktivitas Melaksanakan rencana
: Aktivitas Memeriksa kembali
Analisis Subjek AA (Siswa Desa)
Berikut adalah hasil pekerjaan subjek AA
dalam memecahkan tugas pemecahan masalah
pertama nomor 1 :
Gambar 4 Hasil Pekerjan Subjek AA dalam
Menyelesaikan Soal Nomor 1
Pada langkah memahami masalah subjek AA
tidak menyajikan informasi yang disediakan pada
soal, sehingga kurang memahami soal yang
diberikan. Subjek AA langsung pada proses
pemecahan masalah tanpa melakukan penyajian
situasi masalah. berikut adalah kutipan wawancara
yang menunjukkan hal tersebut.
P : Apakah kamu paham dengan soal yang
diberikan?
AA : paham
P : Coba kamu ceritakan informasi yang
disediakan pada soal?
AA : Pabrik sepatu itu mau dikasih dinding pagar
dari lahan pabrik tersebut yang
berbentukpersegi panjang. Lahan pabrik
tersebut diketahui panjangnya 20 meter
lebihnya dari lebar. Pajang didindig pagar
yang dibuat ini panjangnya 400 meter.
P : Apakah kamu bisa menyebutkan apa saja
yang ditanyakan dalam soal?
AA : Panjang dan lebar lahan pabrik
Berdasarkan hasil pekerjaan siswa dan
wawancara yang dilakukan, subjek AA hanya
mampu membaca soal yang diberikan. Subjek AA
tidak menyajikan situasi masalah dan klarifikasi
masalah yang diberikan, sehingga subjek AA kurang
memahami soal yang diberikan. Subjek AA tidak
terbiasa dengan penyajian informasi sebagai langkah
penyelesaian. Subjek AA mampu menyebutkan
pertanyaan yang ada pada soal. Sehingga subjek AA
pada saat memahami masalah hanya dapat
menyebutkan pertanyaan yang pada soal pada saat
wawancara. Sehingga dapat disimpulkan subjek AA
tidak menggunakan proses berpikir reflektifnya pada
saat memahami masalah.
Pada langkah merencanakan penyelesaian,
subjek AA menunjukkan aktivitas membuat rencana
penyelesaian dengan membuat lebih dari satu
rencana penyelesaian. Berikut adalah hasil aktivitas
siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah.
Gambar 5 Hasil aktivitas siswa dalam merencanakan penyelesaian
198, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa subjek
AA mencoba merencanakan penyelesaian dengan
membuat sketsa gambar pada kertas coretan yang
diberikan. Subjek AA juga membuat lebih dari satu
rencana penyelesaian. Pertama subjek AA mencoba
memilih konsep luas persegi panjang, kemudian
menggunakan konsep keliling persegi panjang
dengan menyimbolkan panjang persegi sebagai 20 +
l dan lebar l. Berikut adalah hasil wawancara yang
dilakukan kepada subjek R.
P : Apakah kamu membuat sketsa gambar untuk
memperjelas maksud soal?
AA : Iya. Saya buat
P : Dari sketsa gambar dan informasi pada soal,
bagaimana kamu menghubungkannya?
AA : Panjangnya 20 meter lebihnya dari l, terus ini
lebarnya l, 400 itu panjang eluruh dinding
pagar.
Berdasarkan hasil pekerjaan siswa dan
wawancara yang dilakukan, subjek AA pada langkah
merencanakan penyelesaian masalah menggunakan
proses berpikir reflektifnya dengan merepresentasi-
kan masalah dalam bentuk sketsa gambar, subjek
AA juga dapat menghubungkan informasi yang
diberikan pada soal dengan menuliskan panjang
lahan pabrik 20 + 𝑙 dan lebar pabrik l. Subjek AA
memilih konsep lus persegi dan keliling persegi.
Pada langkah melaksanakan rencana, subjek
AA menggunakan konsep keliling ppersegi panjang.
Berikut hasil pekerjaan subjek AA pada langkah
melaksanakan rencana.
Gambar 6. Penyelesaian Masalah Subjek AA Pada
langkah melaksanakan rencana
Berikut ini adalah hasil wawancara yang
dilakukan kepada subjek AA:
P : Untuk menjawab soal no 1 apakah kamu
mempunyai rencana awal?
AA : Awalnya saya agak bingung juga bagaimana
ngerjain soal no 1, jadi saya gunakan rumus
keliling 𝐾 = 2×(𝑝 + 𝑙) terus saya masukkan
p = 20 + l , jadi p sama dengan 400 dibagi 2
hasilnya 200 terus dikurang 20, jadi hasil p
nya 180, untuk l nya 180 dikurang 20 hasilnya
160 m.
Berdasarkan hasil pekerjaan siswa dan
wawancara yang dilakukan terhadap subjek AA
menggunakan konsep keliling persegi panjang 𝐾 =2×(𝑝 + 𝑙) untuk menentukan panjang dan lebar
lahan pabrik. Subjek AA menusbtitusikan
panjangnya 20 + l, lebarnya l dan kelilingnya 400.
Subjek AA membagi 400 dengan 2, hasilnya
kemudian dikurangkan 20 hasilnya 180 sebagai
panjang lahan pabrik. Untuk menentukan lebar
pabrik dengan mengurangkan panjang dengan 20,
didapat lebar lahan pabrik 160. Dari proses
pengerjaan yang dilakukan subjek AA terlihat
bahwa subjek AA dapat memilih konsep yang kaitan
dengan masalah yang diberikan. akan tetapi pada
langkah memodifkasi menguji dan membuat
hipotesis, subjek AA melakukan langkah yang tidak
tepat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada langkah
melakukan rencana subjek hanya mampu
menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik
dengan menggunakan konsep yang tepat sesuai
dengan masalah yang dihadapi.
Pada langkah melihat kembali subjek AA
tidak meyakini hasil yang diperoleh, subjek AA juga
tidak melakukan pengecekaan ulang untuk
meyakinkan jawaban yag diperoleh. Berikut kutipan
wawancra yang dilakukan terhadap subjek AA.
P : Apakah kamu yakin dengan jawaban yang
kamu peroleh?
AA : tidak yakin
P : Apakah kamu memeriksa kembali hasil yang
diperoleh?
AA : tidak
P : Apa yang dapat kamu simpulkan dari
pemecahan masalah ini?
AA : Jadi panjangnya 180 meter dan lebarnya 160
meter
Berdasarkan kutipan wawancara yang
dilakukan, subjek AA tidak melakukan proses
berpikir reflektif pada langkah melihat kembali.
Subjek AA tidak meyakini jawaban yang diperoleh
serta tidak melakukan pengecekan ulang untuk
mengetahui langkah-langkah yang mungkin kurang
tepat.
Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 199
Masalah
PPS
B C
Cl
D E
PPS Cl
At
FG
H
At
HTM
Ms
Mr
Mlk
Mrk
MHTM
HTM
I
At
E
F
HTM
At
Keterangan:
PPS : Presence of Problem Situation
Cl : Clarification
At : Action taken
HTM : Hypotheses formed, Tested, and Modified
Ms : Memahami masalah
Mr : Merencanakan penyelesaian
Mlk : Melaksanakan rencana
Mrk : Memeriksa kembali
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
proses berpikir reflektif siswa ditinjau dari tempat
tinggal. Siswa yang bersekolah di kota lebih banyak
melakukan proses berpikir reflektif dari pada siswa
yang bersekolah di desa. Pada langkah memahami
masalah siswa kota melakukan (a) penyajian situasi
masalah; dan (b) mengklarifikasi masalah. untuk
siswa dari desa hanya dapat melakukan klarifikasi
masalah tampa melakukan penyajian masalah.
Pada langkah merencanakan penyelesaian
masalah siswa kota dapat menggunakan proses
berpikir reflektif yaitu dengan (a) menyajikan
informasi yang diberikan dengan cara
merepresentasikan dalam bentuk sketsa gambar
untuk memperjelas maksud soal. (b) Subjek S
mengklarifikasi yang ditanyakan dengan cara
menghubungkan identifikasi fakta dengan sketsa
gambar yang dibuat. (c) Subjek S menentukan
tindakan atas dasar keputusan terbaik yaitu dengan
membuat lebih dari satu cara penyelesaian kemudian
menentukan strategi terbaik yang diyakini
mendapatkan hasil yang benar dan logis. Sedangkan
siswa dari desa hanya dapat melakukan pemilihan
konsep yang berkaitan dengan masalah.
Pada langkah melaksanakan rencana siswa
dari kota mampu berpikir reflektif yaitu (a)
menentukan tindakan atas dasar keputusan terbaik
dengan memilih salah satu strategi yang diyakini. (b)
Pembentukan hipotesis, menguji dan memodifikasi
Diagram 2 Struktur Berpikir Subjek AA dalam Memecahkan Masalah Geometri
200, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 2, Juli 2016
dengan menentukan perkalian bilangan untuk
mendapatkan hasil 20 serta perbandingannya 5:1, (c)
menjelaskan pemilihan rumus luas persegi panjang
yang digunakan untuk menentukan panjang dan
lebar. Sedangkan siswa dari desa hanya dapat
menggunakan konsep yang berkaitan dengan
masalah. namun pada langkah pengoprasian
persamaan masih mengalami kesalahan.
Pada langkah memeriksa kembali siswa dari
kota mampu berpikir reflektif yaitu (a) meyakini
kebenaran jawaban yang diperoleh berdasarkan
tindakan atas dasar keputusan terbaik yaitu dengan
menjelaskan pemilihan konsep yang dipilih untuk
menentukan panjang dan lebar dengan menggunakan
konsep luas persegi panjang. Meyakini cara yang
dipilih menghasilkan kesimpulan yang benar dan
logis dari beberapa cara yang dimiliki untuk
mendapatkan kesimpulan benar dan logis. (b) juga
melakukan pengujian hasil yang diperoleh dengan
mengalikan panjang dan lebar yang diperoleh dan
memastikan hasil dari perkalian tersebut merupakan
luas jalan yang akan dibuat. sedangkan siswa dari
desa tidak dapat melakukan proses berpikir reflektif.
Sedangkan siswa yang tinggal di desa hanya
dapat melakukan proses berpikir reflektif pada
langkah memahami masalah sampai melaksanakan
rencana. Sedangkan pada langkah melihat kembali
subjek tersebut tidak melakukan prmikiran reflektif.
Pada langkah memahami masalah, subjek dapat
mengklarifikasi masalah yang diberikan. Kemudian
pada langkah merencanakan penyelesaian, subjek
dapat memilih konsep yang berkaitan dengan
masalah. selanjutnya pada langkah melaksanakan
rencana subjek dapat menggunakan konsep yang
berkaitan namun pada langkah pengoprasian bentuk
persamaan masih mengalami kesalahan.
Maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang
tinggal di kota memiliki pemikiran yang lebih
reflektif dibanding siswa yang tinggal di desa. Hal
ini disebabkan oleh interaksi yang komplek yang
diterima siswa kota dibanding stimulus yang didapat
oleh siswa dari desa. Stimulus tersebut yang
berperan dalam mengembangkan pemikiran reflektif
yang dimiliki seseorang. Hal tersebut sejalan dengan
temuan yang diperoleh Poyraz dan Usta (2013)
menemukan bahwa calon guru yang tinggal dikota
atau metropolitan memiliki kecenderung pemikiran
lebih reflektif daripada orang-orang yang dibesarkan
di sebuah desa tidak menunjukkan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alacaci,C dan Dogruel,M. 2011. Solving A Stability
Problem By Polya’s Four Step. International
Journal of Electronics Mechanical and
Mechatronical Engineering. 1 (1): 19-28
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ayazgök, Büşra And Aslan, Hatice. 2013. The
Review Of Academic Perception, Level Of
Metacognitive Awareness And Reflective
Thinking Skills Of Science And Mathematic
University Students. Procedia - Social And
Behavioral Sciences 141 ( 2014 ) 781 – 790
Chee dan Pou. 2012. Reflective Thinking and
Teaching Practices: A Precursor For
Incorporating Critical Thinking Into the
Classroom. International Journal of
Instruction. Vol 5. No 1. (e-ISSN: 1308-
1470)
Christensen &johnson. 2004. Educational Research
Quantitative , Qualitative, and Mixed
Approches second Edition. USA : Personal
Education, Inc.
Dewey J. 1933. How We Think: A Restatement of the
Relation of Reflective Thinking to the
Educative Process, Boston, MA: D.C., Heath
and Company.
Gurol. A. 2011. Determining the reflective thinking
skills of pre-service teachers in learning and
teaching process. Energy Education Science
and Technology Part B: Social and
Educational Studies 2011 Volume (issue)
3(3): 387-402
Henderson, Napan, and Monteiro. 2004.
Encouraging reflective learning: An online
challenge. Beyond the comfort zone:
Proceedings of the 21st ASCILITE
Conference (pp. 357-364). Perth, 5-8
December.
Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum
Dan Pembelajaran Matematika. Malang.
Universitas Negeri Malang
Maureen, L. 2003. Using Critical Incidents to
Promote and Assess Reflective Thinking in
Preservice Teachers. Carfax Publising Vol. 4,
No. 2.
Moleong, L.J, 2007. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Mora and Rodriguez.2013. Cognitive Processes
Developed By Students When Solving
Mathematic Problems Within technological
Enviroments. TME 10 (1):109-136
Phan, Huy P. 2006. Examining of student learning
approaches, reflective thinking and
epistimologi beliefs. Electronic Journal of
Research in Educational Psychology, No. 10,
Vol 4(3). 2006
Polya, G. 1973. How To Solve It. 2nd ed, Princeton:
Princeton University Press. ISBN 0-691-
08097-6.
Dinata, dkk. Investigasi Proses Berpikir Reflektif Siswa Ditinjau dari Tempat Tinggal, 201
Poyraz, Cengiz And Usta, Seda. 2013.Investigation
Of Preservice Teachers’ Reflective Thinking
Tendencies In Terms Of Various Variances.
Journal On New Trends In Education And
Their Implications April 2013 Volume: 4
Sabandar, Jozua. 2009. Berpikir Reflektif dalam
Pembelajaran Matematika.
Saragih, Sehatta. 2008. Mengembangkan
Keterampilan Berpikir Matematika
(http://eprints.uny.ac.id/6947/1/P-
25%20Pendidikan(sehata).pdf diakses pada
tanggal 10 Februari 2015)
Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning
Mathematics. USA. Peguin Books.
Solso, Robert. L. Dkk. 2008. Cognitive Psychology.
8-Th Edition. Allyn And Bacon. Boston.
Suharna, Hery. 2012. Berpikir Reflektif (Reflective
Thinking) Siswa SD Berkemampuan
Matematika Tinggi Dalam Pemahaman
Pemecahan Masalah Matematika.
Tok S. 2008.The Impact of Reflective Thinking
Activities on Student Teachers’ Attitudes
Toward Teaching Profession, Performance
and Reflections, J Educ Sci;33:104-117
Zehavi and Mann. 2006. Instrumented Techniques
and Reflective Thinking in Analytic
Geometry. Weizmann Institute of Science
(Israel). TMME. Vol 2 No 2.
Petunjuk Bagi Penulis
1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik
dengan spasi rangkap pada kertas A4, panjang 10 – 20 halaman dan diserahkan paling lambat 2 bulan
sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan di atas kertas A4 sebanyak 2 eksemplar dan pada file, diketik
dengan menggunakan pengolah kata MS Word. Naskah yang masuk dievaluasi oleh Penyunting Ahli
atau Pakar.
2. Artikel yang dimuat dalam artikel ini meliputi tulisan tentang pembelajaran matematika baik SD, SMP,
SMA, maupun perguruan tinggi dalam bentuk: • temuan penelitian • pembelajaran matematika •
pengalaman pratis • kajian kepustakaan • gagasan konseptual • klinik matematika atau • rekreasi
matematika.
3. Semua karangan ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub bab (heading) masing-masing bagian,
kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul sub bab. Peringkat judul sub bab dinyatakan
dengan jenis huruf yang berbeda (semua huruf dicetak tebal/bold, jika diketik dengan komputer), cetak
miring, dan letaknya pada tepi kiri halaman, dan bukan dengan angka, sebagai berikut.
PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)
Peringkat 2 (Huruf Besar-Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)
Peringkat 3 (Huruf Besar-Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)
4. Sistematika artikel hasil telaah adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum
200 kata), kata kunci, pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi latar belakang dan tujuan atau
ruang lingkup tulisan, bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub bagian), penutup atau
kesimpulan, dan daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak
(maksimum 200 kata), kata kunci, pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi latar belakang, sedikit
tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran,
dan daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
6. Daftar rujukan disajikan mengikuti tatacara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan
kronologis.
Sutawidjaja, A. 2005. Matematika, XI (2) hal. 137 – 150. Malang: Jurusan Matematika FMIPA UM.
Kahfi, M.S. 1991. Geometri Transformasi 1. Malang: Proyek OPF IKIP MALANG. 1991.
7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang
diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi)
atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.
8. Contoh naskah cetak dibaca oleh penulis.
9. Tatacara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian (Universitas Negeri
Malang, 2010). Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan
yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987).
10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewer) yang ditunjuk oleh penyunting
menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)
naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau
penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis atau lewat e-mail.
11. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan
penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting
jika diketahui bermasalah.
12. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk
pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel,
berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel
tersebut.