60

ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id
Page 2: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ISSN 2086 – 910X

PENANGGUNG JAWAB

Prof. Bustami Syam, Dr. Ir., MSME

PEMIMPIN REDAKSI

Dwira N. Aulia, Ir., M.Sc, PhD

KETUA DEWAN REDAKSI

Beny O,Y Marpaung, ST, MT, PhD

DEWAN EDITOR

Salmina W. Ginting, ST, MT

Wahyuni Zahrah, ST, MS

R. Lisa Suryani, ST, MT

PENYUNTING AHLI

A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, PhD

A/Prof. Julaihi Wahid, Dipl.Arch, B.Arch, M.Arch, PhD

Prof. Abdul Ghani Salleh, B.Ec, M.Sc, PhD

Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD

PELAKSANA TEKNIS, DESAIN DAN TATA LETAK

Hajar Suwantoro, ST, MT

SEKRETARIAT/SECRETARIAT

Shanty Silitonga, ST, MT

Novi Yanthi

ALAMAT PENERBIT/EDITORIAL CORRESPONDENCE

Program Studi Magister Teknik Arsitektur Gedung J7

Fakultas Teknik

Jalan Perpustakaan Kampus USU

Universitas Sumatera Utara

Medan 20155 Indonesia

Telp/Fax. 061-8219525

E-mail: [email protected]; [email protected]

Website: http://mta.usu.ac.id

DITERBITKAN OLEH/PRINTED BY

Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Universitas Sumatera Utara

Medan

Koridor

JURNAL ARSITE TUR DAN PERKOTAAN

Page 3: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Volume 02 Nomor 01, Januari 2011 ISSN 2086 – 910X

DAFTAR ISI

STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA

(RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN

Dwira Nirfalini Aulia, Achmad Delianur Nasution, R. Lisa Suryani

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

Hajar Suwantoro

PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA

SUSTAINABLE ARCHITECTURE

Novi Rahmadhani

ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT

N. Vinky Rahman

AMALIUN FOODCOURT

Ramadhoni Dwi Payana

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

Thomas Andrian, Abdul Majid Ismail, Basaria Talarosha

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN MENURUT APRESIASI

PEREMPUAN

Anna Lucy Rahmawati, Julaihi Wahid, Achmad Delianur Nasution

1-7

8-18

19-24

25-29

30-34

35-46

47-56

Jurnal Arsitektur “Koridor” adalah jurnal ilmiah dalam bidang arsitektur serta ilmu-ilmu terapannya dalam bidang-bidang:

perancangan arsitektur, perancangan tapak dan lingkungan, perkotaan dan permukiman, teknologi bangunan ,serta teori

dan kritik arsitektur.

Bagi penulis yang berminat memasukkan tulisan dalam jurnal ini harap merujuk pada ketentuan dan format penulisan pada

bagian dalam sampul belakang.

Jurnal Arsitektur “Koridor” diterbitkan oleh Program Magister Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, dengan frekuensi penerbitan tiga kali (nomor) untuk setiap tahun (volume).

Ide maupun opini yang tertuang dalam tulisan yang dimuat di jurnal ini merupakan murni berasal dari penulis, dan sama sekali

tidak mencerminkan pandangan, kebijakan, maupun keyakinan dari anggota Dewan Redaksi, penyunting maupun Program

Magister Teknik Arsitektur USU sebagai institusi penerbit.

Koridor

JURNAL ARSITE TUR DAN PERKOTAAN

Page 4: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN

DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD

DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI

1

STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN

Dwira Nirfalini Aulia, Achmad Delianur Nasution, R. Lisa Suryani

Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara

Abstrak. Dalam usaha menata wajah kota yang lebih baik dan menyediakan tempat tinggal yang layak bagi

masyarakat golongan menengah ke bawah diperlukan suatu lahan yang sangat luas serta sarana dan prasarana

pendukungnya yang banyak pula. Peremajaan kota terutama pada bidang permukiman mengarah kepada

pembangunan rumah susun. Studi kelayakan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melakukan kajian

pembangunan rumah susun sederhana di kawasan Kampung Aur dalam strategi peremajaan kawasan

permukiman di kota Medan. Kajian aspek fisik, sosial budaya dan ekonomi dilakukan dengan metoda survey

dan wawancara. Temuan dari kajian ini mengidentifikasikan bahwa warga masih enggan untuk tinggal di

rumah susun meskipun rusuna itu akan di bangun pada lokasi yang sama dan dari kajian aspek ekonomi harga

sewa/jual rumah susun masih terjangkau oleh mereka.. Kajian aspek fisik menemukan bahwa pada kawasan

tersebut layak dibangun rumahsusun untuk memenuhi kebutuhan jumlah rumah bagi warga Kampung Aur

tersebut.

Kata kunci: studi kelayakan, permukiman kumuh, rumah susun

PENDAHULUAN

Terbatasnya lahan perkotaan menyebabkan

pemerintah kota dituntut untuk dapat

memanfaatkan lahan secara efisien dengan

meningkatkan intensitas penggunaannya.

Tuntutan akan penggunaan lahan perkotaan

cenderung semakin meningkat seiring

diterapkannya otonomi daerah. Hal ini antara

lain disebabkan Pemerintah Kota dituntut untuk

dapat memanfaatkan sumber daya ruang dan

tanah secara maksimal bagi peningkatan

pendapatan daerah, di sisi lain adanya tuntutan

masyarakat yang semakin kritis dalam

mendapatkan pelayanan umum, termasuk

penyediaan sarana dan prasarana sosial, budaya,

taman dan ruang terbuka hijau. Dalam usaha

menata wajah kota yang lebih baik dan

menyediakan tempat tinggal yang layak bagi

masyarakat golongan menengah ke bawah

diperlukan suatu lahan yang sangat luas dan

sarana dan prasarana pendukungnya yang

banyak pula. Hal ini menyebabkan harga rumah

tersebut menjadi sangat mahal sementara

kemampuan masyarakat membelinya sangat

terbatas. Rumah susun merupakan salah satu

cara pemecahan yang cukup baik, walaupun

masih banyak masyarakat yang belum bisa

menerima keberadaannya (Rahayu & Rutiana,

2007).

Beberapa permasalahan perumahan permukiman

khususnya yang menyangkut permukiman

kumuh yang teridentifikasi di Kota Medan :1 (a).

Masih rendahnya penyediaan rumah yang layak

huni terutama bagi masyarakat berpenghasilan

rendah; (b). Masih terdapatnya kawasan-

kawasan permukiman yang belum tertata secara

baik dalam hal ini khususnya di Kampung Aur;

(c). Masih adanya kawasan permukiman yang

kumuh baik yang ilegal maupun yang legal.

Sebelum dilaksanakan pembangunan rumah

susun, perlu diadakan pengkajian kelayakan

1 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

Rencana Pembangunan Jangka menengah (RPJM) Kota

Medan Tahun 2006 – 2010, Hotel Darma Deli Medan tgl 3

Oktober 2005

Page 5: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 1-7

2

agar setelah pembangunan itu diterima dan

dilaksanakan dapat mencapai hasil yang sesuai

sasaran (Jauzie, 2005).

Studi kelayakan ini bertujuan untuk:

(a).mengkaji kelayakan pembangunan rumah

susun dari aspek ekonomi, fisik-lingkungan dan

sosial budaya; (b).memberi rekomendasi untuk

mengantisipasi berbagai masalah ekonomi,

fisik-lingkungan dan sosial budaya dalam

perencanaan pembangunan rumah susun. Studi

kelayakan ini bermanfaat bagi : (a).Pemerintah

dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dalam

perencanaan pembanggunan rumah susun;

(b).Warga permukiman eksisting, sebagai

informasi bagi mereka tentang berbagai aspek

dalam peremajaan permukiman kumuh melalui

pembangunan rumah susun; (c). Pemerhati dan

peminat masalah lingkungan permukiman kota

sebagai salah satu rujukan dalam pembangunan

rumah susun untuk merehabilitasi permukiman

kumuh.

Ruang lingkup kegiatan Studi Kelayakan

Pembangunan Rumah Susun Sederhana yang

dilakukan melalui tahapan: (1). Studi Aspek

Fisik: kondisi permukiman eksisting (rumah,

sanitasi, utilitas), kondisi lingkungan sungai,

kondisi tanah; (2). Studi Aspek Ekonomi:

perkiraan pembiayaan, skema pembiayaan, nilai

jual; (3). Studi Aspek Sosial Budaya: kondisi

sosial budaya warga eksisting, tanggapan warga

terhadap rencana pembangunan, aspirasi dan

harapan warga untuk rencana pembangunan;

dan (4).Studi Aspek Hukum dan Regulasi:

arahan rencana tata ruang kota, peraturan

perundangan yang terkait, status hukum tanah

dan bangunan.

KAJIAN PUSTAKA

Rumah susun adalah bangunan gedung

bertingkat yang dibangun dalam suatu

lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian

yang distrukturkan secara fungsional dan dalam

arah horizontal maupun vertikal sebagai satuan-

satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara

terpisah, terutama untuk tempat hunian yang

dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,

terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi

dengan bagian bersama (UU RI No. 16 tahun

1985; PP RI No. 4 tahun 1988). Rusuna (Rumah

Susun Sederhana), berupa kumpulan unit-unit

hunian (apartment atau rumah susun) yang

dibuat sesederhana mungkin guna mendapatkan

harga yang terjangkau bagi masyarakat

berpenghasilan rendah yang menjadi target

penghuninya. Sederhana dalam arti memenuhi

persyaratan teknis minimal yang dipersyaratkan

khususnya dalam hal Keselamatan, Keamanan

dan Kesehatan.

Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa)

adalah Rusuna yang status kepemilikannya

bersifat Sewa karena target penghuninya adalah

masyarakat yang tingkat ekonomi belum mampu

untuk membeli. Disini harus dibedakan dengan

mereka yang bermaksud menyewa sehubungan

dengan tujuan bertempat tinggalnya sementara,

bukan karena tidak mampu. Rusunami (Rumah

Susun Sederhana Milik) adalah Rusuna yang

status kepemilikannya adalah Hak Milik

(mengikuti pola strata title), merupakan tipologi

baru dalam rangka mempercepat penyediaan

unit hunian guna memenuhi kebutuhan yang

sudah sangat mendesak.

Keterbatasan pertama dalam pembangunan

rusuna di pusat kota adalah lahan. (Prabawasari,

2002) menawarkan konsep land sharting dalam

penyediaan lahan rusuna di pusat kota. Land

sharting merupakan penggabungan dan

modifikasi dari konsep-konsep land sharing,

land consolidation dan konsep rumah susun

sewa. Dengan konsep land sharting peremajaan

kawasan kumuh akan terbagi empat yaitu : (1).

Area rusun milik penduduk asli, (2). Area

rusunawa untuk pekerja sektor informal, (3).

Area rusunawa untuk golongan menengah

keatas dan (4). Area komersial dengan status

sewa tanah dan sewa bangunan. Konsep land

sharting ini yang coba diterapkan pada

peremajaan permukiman kumuh Kampung Aur.

METODOLOGI KAJIAN

Untuk mencapai maksud dan tujuan dari studi

kelayakan ini yakni tersedianya data dan

informasi mengenai kelayakan pembangunan

Rumah Susun sederhana di Kampung Aur dan

potensi kawasan, maka jenis penelitian yang

efektif untuk digunakan dalam penelitian ini

adalah exploratory research yang bertujuan

untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya

dari berbagai sumber dan mengidentifikasi

tentang potensi kawasan. Tahapan studi

kelayakan dilakukan berdasarkan skematik

berikut.

Page 6: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN

DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD

DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI

3

PEMBAHASAN

1) Kajian Aspek Fisik

Kelurahan Aur sudah ada sejak tahun 1965-an,

begitu juga dengan munculnya permukiman

kumuh di daerah ini. Permukiman kumuh

Kampung Aur dijumpai di tepi Sungai Deli

dengan akses utama melalui Jalan Mantri.

Jumlah rumah kumuh di Kampung Aur sudah

banyak berkurang karena kebakaran yang terjadi

beberapa tahun lampau. Ciri-ciri permukiman

kumuh di Kelurahan Aur ini adalah sebagai

berikut: bangunan berbentuk rumah panggung

dan tidak permanen, material bangunan berupa

papan kayu, bangunan tidak terawat. Dari data

statistik terdapat sebanyak 412 unit rumah

darurat, 15 unit RSS tipe 21; 20 unit RSS tipe

36, dan 25 unit RSS tipe 45. Prilaku masyarakat

sehari-hari masih memanfaatkan sungai sebagai

MCK meskipun rumah-rumah yang jauh dari

sungai sudah memiliki MCK dirumahnya.

Sampah masih dibuang di sungan karena tidak

memiliki tempat pembuangan sampah.

Sebahagian rumah yang ada sudah menjadi hak

milik namun masih ada yang menyewa.

Berdasarkan (Permen PU No.5, 2007), standar

perencanaan Rusun di kawasan perkotaan

adalah sebagai berikut: (1). Kepadatan

Bangunan ( KDB tidak melebihi dari 0.4; KLB

tidak kurang dari 1,5; dan Koefisien Bagian

Bersama (KB) tidak kurang dari 0,2. (2). Lokasi

terjangkau layanan transportasi umum, serta

dengan mempertimbangkan keserasian dengan

Provinsi Sumatera Utara Kota Medan Kampung Aur

Jl. Ir. Juanda

S. Deli

Jl. Brigjend Katamso

Page 7: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 1-7

4

lingkungan sekitarnya. (3). Tata letak Rusun

harus memperhatikan faktor-faktor

kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan

keserasian. (4). Jarak Antar Bangunan dan

Ketinggian ditentukan berdasarkan persyaratan

terhadap bahaya kebakaran, pencahayaan dan

pertukaran udara secara alami (5). Fungsi

Rumah Susun diperuntukkan untuk hunian dan

dimungkinkan memiliki jenis kombinasi fungsi

hunian dan fungsi usaha. (6). Luasan Satuan

Rumah Susun minimum 21 m2, dengan fungsi

utama sebagai ruang tidur/ruang serbaguna dan

dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur. (7).

Rusun harus dilengkapi prasarana dan sarana.

(8). Transportasi Vertikal Rusun bertingkat

rendah dengan jumlah lantai maksimum 6 lantai,

menggunakan tangga sebagai transportasi

vertikal sedangkan Rusun bertingkat tinggi

dengan jumlah lantai lebih dari 6 lantai,

menggunakan lift sebagai transportasi vertikal.

Dengan menerapkan konsep subsidi silang,

program ruang makro perencanaan Rumah

Susun Kampung Aur direkomendasikan sebagai

berikut:

a. Terdapat area komersil, yang terdiri dari

zona unit usaha dan zona pedagang

informal

b. Unit hunian menengah, berupa rumah

susun dengan unit hunian tipe 45 dan tipe

54 dan unit sederhana, terdiri dari tipe 21

dan tipe 36

c. Fasilitas umum dan fasilitas sosial: tempat

ibadah dan aula serba guna

d. Ruang Terbuka, terdiri dari : ruang terbuka

hijau /jalur hijau di tepi sungai dan ruang

terbuka publik yaitu jalur pedestrian, inner

court bangunan yang sekaligus dapat

dimanfaatkan sebagai area bermain dan

lapangan olah raga.

Sebagai salah satu bentuk skenario subsidi

silang dan pengembangan ekonomi masyarakat,

maka perencanaan rusunawa juga merencanakan

ruang-ruang usaha. Ruang-ruang yang akan

direncanakan antara lain:

a. Area komersil untuk usahawan menengah.

Area komersil ini direncanakan dalam

bentuk tipologi ruko. Direncanakan berada

pada area yang paling mudah diakses.

b. Area komersil untuk usahawan sektor

informal. berbentuk ruang terbuka publik

yang bersifat fleksibel. Ruang terbuka

publik ini merupakan ruang serba guna

yang dapat digunakan bagi pedagang kaki

lima pada siang hari, serta parkir kendaraan

pada malam hari. Ruang terbuka untuk

pedagang informal ini terintegrasi dengan

area komersil dalam satu sirkulasi yang

kontiniu dengan kemudahan akses dari

jalan utama.

c. Ruang usaha-bengkel kerja. Ruang ini

merupakan wadah pembinaan

kewirausaahaan bagi penghuni rusunawa.

Fasilitas ini akan menjadi tempat pelatihan-

pelatihan untuk peningkatan ekonomi

keluarga yang sekaligus akan menjadi

bengkel kerja, seperti usaha benda-benda

daur ulang, pelatihan menjahit dan

memasak bagi ibu-ibu rumah tangga dan

sebagainya.

2) Kajian Aspek Sosial Budaya

Pada daerah permukiman tua (berumur lebih

dari lima puluh tahun) seperti Kampung Aur,

tipologi penduduk yang didasarkan atas keaslian

dan lama tinggal dapat dengan mudah dikenali.

Tipologi tersebut terbagi atas 3 kelompok yaitu

penduduk asli, masyarakat pendatang lama dan

masyarakat pendatang musiman (Daldjoeni,

1997). Lama tinggal dan asal usul masyarakat

(asli atau pendatang) yang menempati kawasan

studi ternyata sangat mempengaruhi sifat dari

organisasi sosial kemasyarakatan yang terbentuk

di kawasan studi. Sifat dari organisasi sosial

kemasyarakatan ini juga mempengaruhi pola

interaksi sosial dan mata pencaharian penduduk.

Komunitas Kampung Aur merupakan komunitas

yang sudah lama terbentuk sehingga interaksi

sosial yang terjadi didalamnya akan mengikuti

pola interaksi penghuni pada generasi

sebelumnya. Pola ini disosialisasikan secara

berkelanjutan. Akan tetapi yang berubah adalah

kondisi lingkungan dimana komunitas itu

berada. Kondisi kualitas Sungai Deli yang

tadinya baik semakin lama semakin menurun

kualitasnya akibat pencemaran lingkungan yang

terjadi. Sehingga pada kondisi sekarang ini perlu

dilakukan perubahan prilaku komunitas untuk

menyikapi penurunan kualitas Sungai Deli yang

terjadi. Hampir 74% responden mengatakan

bahwa Sungai Deli dimanfaatkan sebagai MCK

penduduk. Prilaku ini merupakan prilaku yang

diwariskan dan disosialisasikan generasi

sebelumnya yang sudah tinggal di Kampung

Page 8: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN

DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD

DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI

5

Aur. Perlu dilakukan penyuluhan dan

pembangunan MCK Umum untuk merubah

prilaku penghuni.

Temuan kajian pada Kampung Aur

menghasilkan bahwa sebanyak 89% penghuni

menolak untuk dibangun rumah susun di

kawasan studi. Alasan ketidak setujuan itu

adalah karena sudah terlanjur nyaman tinggal di

rumah yang sekarang. Bila dihubungkan dengan

kepuasan penghuni tinggal di kawasan studi,

ternyata sebanyak 69.8% penghuni cukup puas

tinggal di Kampung Aur. Mengikut standar

kenyamanan dan kesehatan hunian, kondisi

rumah di Kampung Aur seharusnya sudah tidak

nyaman dan selamat lagi untuk dihuni.

Ditambah dengan kondisi banjir musiman yang

selalu datang secara berkala. Tetapi karena

penghuni sudah bertahun-tahun tinggal di

kawasan studi, sehingga mereka sudah

beradaptasi dengan ketidak nyamanan tersebut.

Mayoratas penghuni menjawab cukup

memuaskan untuk sarana lingkungan seperti

listrik, air bersih, sanitasi dan pembuangan

sampah , meskipun permasalahan pada masing-

masing sarana utilitas juga ada.

Alasan penghuni menolak tinggal dirumah

susun, karena susah naik turun (6.1%) dan

merasa sudah nyaman tinggal di rumah

horizontal (4.7%). Kebiasaan bertempat tinggal

pada bangunan hunian horizontal, menyebabkan

penghuni keberatan bila harus tinggal pada

bangunan hunian vertikal (Uguy, 1996).

Lamanya menghuni merupakan aspek yang

menyebabkan warga enggan melakukan

perubahan pada lingkungan tempat tinggalnya.

Sebanyak 88.2% responden sudah tinggal di

Kampung Aur selama > 20 tahun. Dan warga

tinggal disana secara turun temurun (97.5%).

Kondisi ini menyebabkan keterikatan yang erat

warga terhadap lingkungan rumah tinggalnya.

Sementara alasan lokasi Kampung Aur yang

berada di pusat kota hanya 36.6% responden

yang menjawabnya. Dibutuhkan pendekatan dan

sosialisasi yang aktif dari pemerintah kota

apabila akan meremajakan kawasan ini. Karena

keterikatan masyarakat Kampung Aur bukan

terhadap lokasi kawasan ini tetapi terhadap

suasana dan kondisi lingkungan hunian yang

sudah dihuni berpuluh tahun.

3) Kajian Aspek Ekonomi

Kajian aspek ekonomi dilakukan dengan

pendekatan analisis dari sisi supply dan demand.

Melalui pendekatan analisis dari sisi supply

dilihat besarnya harga sewa atau sewa-beli yang

diperoleh melalui biaya produksi, operasional

dan pemeliharaan rumah susun sederhana.

Adapun dari sisi demand dilihat kemampuan

masyarakat melalui tingkat pendapatannya

untuk dapat tinggal di rumah susun berdasarkan

harga sewa atau sewa-beli yang ditetapkan saat

ini maupun hasil perhitungan melalui biaya

produksi, operasional dan pemeliharaan tersebut

(Santoso, 2008).

Perhitungan biaya tinggal yang harus

ditanggung oleh penghuni di rumah susun

dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri

Negara Perumahan Rakyat (No. 18, 2007). Pada

dasarnya biaya tinggal terdiri dari biaya sewa

atau sewa beli beserta surcharge. Besarnya

harga sewa maupun sewa beli di rumah susun

sederhana bagi masyarakat berpendapatan

rendah dipengaruhi oleh besarnya biaya

produksi pada tahap pembangunannya.

Disamping biaya produksi terdapat juga biaya

operasional dan pemeliharaan (operation and

maintenance cost) yang turut mempengaruhi

besarnya biaya surcharge di rumah susun

sederhana.

Dalam studi ini pendekatan metode yang

digunakan dalam memperoleh informasi

mengenai kemampuan masyarakat dalam

membayar harga sewa maupun angsuran harga

sewa beli didasarkan pada parameter pendapatan

yang digunakan bank pada umumnya dalam

menilai kelompok masyarakat yang layak

memperoleh kredit Kepemilikan rumah (Permen

Perumahan Rakyat No. 7, 2007). Parameter

pendapatan keluarga yang dikatakan mampu

membayar sewa rumah (ataupun angsuran sewa-

beli) jika persentase pengeluaran untuk rumah

ditambah utilitas dasar, pajak dan pembayaran

asuransi adalah 20% sampai dengan 30% dari

total pendapatan. Berdasarkan hasil analisi,

rata-rata pengeluaran sebulan keluarga di

Kampung Aur adalah sebesar Rp. 2.142.662,-.

Page 9: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 1-7

6

Komposisi pengeluaran penghuni Kampung

Aur:

NO KOMPONEN PERSENTASE

1 RUMAH 0.58

2 MAKANAN 33.69

3 PAKAIAN 0.27

4 PENDIDIKAN 9.73

5 TRANSPORTASI 7.95

6 LISTRIK/AIR 5.29

7 TABUNGAN 2.04

8 LAIN-LAIN 37.59

Berdasarkan indikator diatas, maka dapat

dianalisis bahwa penghuni Kampung Aur

mampu untuk menyewa rumah susun karena

persentase pengeluaran untuk rumah + utilitas

dasar + asuransi = 0.58% + 5.29% + 2.04% <

20%. Sehingga disarankan untuk peremajaan

rumah susun di kawasan ini adalah bentuk

rusunawa. Tetapi karena jumlah penghuni

Kampung Aur yang memiliki rumah rata-rata

50% dari populasi Kampung Aur maka yang

tepat bentuk peremajaan Kampung Aur adalah

kombinasi Rusunawa dan Rusunami.

KESIMPULAN

Secara umum hasil dari studi kelayakan yang

dilakukan adalah adanya ketidak sesuaian antar

keinginan penghuni Kampung Aur dengan

rencana peremajaan kawasan kota yang akan

dilakukan oleh pemerintah kota. Mayoritas

penghuni (90%) tidak setuju apabila kawasan

permukiman mereka diremajakan. Ketidak

sesuaian ini perlu dilakukan penyelesaiannya

dengan melakukan rembug warga dan sosialisasi

rencana. Musyawarah ini diharapkan dapat

menghasilkan jalan keluar yang optimal

sehingga rencana peremajaan kawasan dapat

dilaksanakan. Musyawarah ini perlu dilakukan

karena semua responden yang menjawab tidak

setuju, tidak menyebutkan alasan ketidak

setujuan tersebut sehingga perlu ditelusuri

kembali permasalahannya.

Secara ekonomi, perbedaan yang signifikan

antara tinggal dirumah horizontal (informal)

dengan rumah vertikal (formal) yaitu pada pola

pengeluaran yang lebih besar dan tetap untuk

komponen rumah hal ini disebabkan oleh: (1).

Cara memiliki atau menguasai seperti menyewa

atau membeli. Salah satu karakteristik

penguasaan rumah oleh kelompok masyarakat

miskin adalah dengan cara menyewa. (2).

Standar rumah susun itu sendiri seperti listrik,

air dan maintenance cost dari pengelola akibat

dari standard rumah formal yang ditetapkan.

Akan tetapi perubahan ini akan diikuti dengan

peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga

peningkatan pengeluaran akan mampu

ditanggung oleh penghuni. Ketidak berhasilan

peremajaan kawasan dapat terjadi apabila

penghuni tidak dapat beradaptasi dengan

lingkungan hunian formal yang baru sehingga

tujuan dari peremajaan kawasan tersebut

menjadi tidak tepat sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Daldjoeni, N (1997), Seluk Beluk Masyarakat

kota, Pusparagam Sosiologi Kota dan

Ekologi sosial, Penerbit Alumni,

Bandung.

Jauzie, Mohammad Qoyyim (2005), Studi

Kelayakan Finansial Rumah Susun

Sederhana Sewa II Universitas

Muhammadiyah Malang, Departemen

Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah

Malang, http://student-

research.umm.ac.id/research/download/u

mm_student_research_abstract_3651.pdf.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat

N0. 07/PERMEN/M/2007 tentang

Pengadaan Perumahan dan Permukiman

dengan dukungan fasilitas Subsidi

Perumahan melalui KPR Sarusun

Bersubsidi.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat

N0. 18/PERMEN/M/2007 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif

Sewa Rumah Susun Sederhana yang

dibiayai APBN dan APBD.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis

Pembangunan Rumah Susun Sederhana

Bertingkat Tinggi.

Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang

Rumah Susun

Page 10: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN

DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD

DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI

7

Prabawasari, Veronika Widi (2002) Konsep

Land Sharting untuk pembangunan

permukiman kumuh kawasan pusat kota,

Jurnal Desain & Konstruksi, Vol 1, No. 2

hal 33 – 41.

Rahayu Murtanti Jani & Rutiana (2007) Strategi

Perencanaan pembangunan permukiman

kumuh, Kasus permukiman bantaran

Sungai Bengawan Solo, Kelurahan

Pucangsawit, Surakarta, Gema Teknik,

No.1 tahun X, hal 89 – 96.

Santoso, Soly Imam (2008) , Perhitungan harga

sewa dan sewa-beli rumah susun

sederhana serta daya beli masyarakat

berpendapatan rendah di DKI Jakarta,

http://kk.pl.itb.ac.id/ppk.

Uguy, Mediana J H (1996), Perilaku Spasial

penghuni dalam Lingkungan Perumahan

Massal, Program Pasca Sarjana Program

Studi Ilmu Lingkungan Universitas

Indonesia.

UU RI No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun

Page 11: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18

8

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

Hajar Suwantoro

Departemen Arsitektur

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Email: [email protected]

Abstract. Jakarta Old Town area reserve an invaluable historical value, but the buildings of high historical

value built between the 17th century and 18 left neglected and ignored, thus adding to the slum impression and

unorganized. Conservation is one attempt to take advantage of the physical legacy of the past culture of high

historical value, and will only run well if the use of buildings can be optimized. Adaptive reuse is known as one

of the modifications in development and has performed well in many Asian countries such as China and

Singapore. Through a comparative study in the Tanjong Pagar area can be seen that the approach to

conservation by adaptive reuse of this historic area has given good results. Approach to revitalization in the

region carried out by using the existing physical to accommodate new functions and mixing with other functions

as appropriate. Through this approach there growth and socio-economic values in the area without reducing

the value of historical, educational, aesthetic, increasing the number of visitors to the area, and restoring the

area's identity as a high historical value. Refers to these conditions, adaptive reuse study of the revitalization of

Old Jakarta Kota area aims to reveal the principles of adaptive reuse that can provide profits and sustainable

benefits for the community, economic, cultural, and physical needs within the scope of an historic area. This

study will also indicate the opportunity to improve and restore the life and identity of the Old City area of

Jakarta which had lost and neglected.

Keywords: Adaptive reuse, conservation, revitalization area,mixed-use development, Jakarta Old Town

PENDAHULUAN

Pada masa lalu, Jakarta Kota (Oud Batavia)

adalah ibukota Batavia dan merupakan pusat

penting kegiatan ekonomi dan politik

Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan buku

harian seorang prajurit tua Gedenkschrijften van

een oud koloniaal, Clockener Brousson

mengungkapkan bahwa Kota Tua Jakarta pernah

mengalami masa kejayaan pada pertengahan

abad ke-17, sehingga sempat mendapat julukan

sebagai Queen of the East (Sejarah Kota Tua,

Dinas Kebudayaan & Permuseuman Provinsi

DKI Jakarta, 2007).

Kondisi kawasan Kota Tua Jakarta saat ini

sangat memprihatinkan. Berbagai permasalahan

yang timbul di dalamnya antara lain kemacetan,

polusi udara, polusi air dan sampah. Begitu juga

kondisi infrastruktur dan utilitas yang buruk,

ditandai dengan minimnya sarana pedestrian,

masalah perparkiran, hingga menurunnya

kualitas lingkungan. Jika ditinjau dari aspek

kelembagaan, koordinasi antar dinas pada

pemerintah kota (yang terkait dengan kebijakan

dan program dalam penanganan kawasan Kota

Tua Jakarta) terlihat masih lemah. Selain itu,

banyak karya arsitektur dengan nilai sejarah

tinggi yang rusak, terbengkalai ataupun hancur.

Secara geografis, kawasan Kota Tua Jakarta

memiliki posisi yang sangat strategis. Pada

masanya, kawasan ini merupakan pintu gerbang

utama untuk memasuki Jakarta melalui

Kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. Saat ini,

dengan kemudahan akses darat yang cukup baik,

Page 12: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

HAJAR SUWANTORO

9

terlebih setelah dilalui jalur bus Transjakarta

(busway), kawasan ini tetap memiliki posisi

penting, salah satunya sebagai kawasan

perdagangan. Kawasan Kota Tua Jakarta

dikelilingi oleh pusat-pusat bisnis seperti

Glodok, Mangga Dua, dan Tanah Abang, yang

cukup berpengaruh terhadap perkembangan

kawasan sekitarnya. Bahkan, pada kurun waktu

1965-1985, kawasan Kota Tua Jakarta termasuk

sebagai salah satu kawasan bisnis utama

(central business district) di Jakarta. Hal ini

masih dapat dilihat dari banyaknya gedung-

gedung bekas perkantoran, bank, kantor asuransi

dan kantor perdagangan yang tersebar di

sepanjang Jalan Kali Besar dan di sekitar

kawasan Museum Fatahillah.

Kawasan Kota Tua Jakarta menyisakan jejak

struktur kota era kolonial serta arsitektur

bersejarah dengan nilai sejarah tinggi, sekaligus

mewariskan cerminan kisah sejarah, tata cara

hidup, dan budaya masyarakat Jakarta di masa

lalu. Pendekatan pelestarian dengan adaptive

reuse yang telah dilakukan di Kota Tua Jakarta

(Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan

Keramik, Museum Wayang, Café Batavia, dll)

berusaha untuk menghidupkan kembali fungsi

dan aktivitas ekonomi di kawasan ini. Secara

fisik, usaha tersebut telah memperlihatkan

penampilan yang lebih baik serta mampu

memperbaharui fungsi bangunan dengan

kegiatan perkantoran, restoran dan kegiatan

pameran. Namun jika dilihat dari sisi lain, usaha

ini belum mampu menghidupkan kembali

suasana dan kehidupan perkotaan seperti

layaknya sebuah kawasan bisnis, hunian,

perkantoran, dan perdagangan dengan segala

aktivitasnya yang dinamis.

Pendekatan pelestarian dengan adaptive reuse

harus dilakukan pada lingkup yang lebih luas,

tidak hanya melibatkan satu atau beberapa

bangunan saja, melainkan harus melibatkan

sebuah kawasan sebagai satu sistem dengan

berbagai fasilitas dan fungsi yang saling

melengkapi. Suatu kawasan harus dapat

mengakomodasi berbagai kebutuhan warganya,

misalnya dengan menyediakan ruang untuk

fungsi dan fasilitas dengan berbagai pilihan

sesuai keperluan. Agar mudah diakses, maka

diusahakan agar semua fungsi dan fasilitas

tersebut dapat saling berdekatan, terintegrasi,

dan memiliki sarana pedestrian yang baik.

Konsep seperti ini sangat sesuai dengan prinsip-

prinsip pembangunan fungsi campuran (mixed-

use development).

Revitalisasi kawasan, khususnya dalam konteks

sebuah kawasan campuran yang bernilai sejarah

tinggi, selain memperhatikan prinsip-prinsip

adaptive reuse, juga sangat penting untuk

memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan

fungsi campuran (mixed-use development)

dalam lingkup kawasan. Kota Tua Jakarta

memiliki banyak bangunan bersejarah dengan

berbagai tipologi. Beberapa bangunan

diantaranya dalam kondisi cukup baik, dan

masih dapat dimanfaatkan dengan berbagai

fungsi yang sesuai dengan tipologinya. Untuk

itu, akan lebih tepat jika pendekatan pelestarian

kawasan ini dilakukan dengan memperhatikan

prinsip-prinsip adaptive reuse berbasis kawasan.

Dengan memanfaatkan bangunan lama,

percampuran fungsi-fungsi baru yang saling

mendukung dan melengkapi dapat dikelola demi

menciptakan sebuah lingkungan untuk berbagai

aktivitas dan interaksi warganya. Jika hal ini

dapat dilaksanakan, suasana dan kehidupan

perkotaan pada kawasan Kota Tua Jakarta dapat

dihidupkan kembali.

ADAPTIVE REUSE

Adaptive reuse adalah usaha untuk memberikan

fungsi baru pada sebuah bangunan dimana

fungsi lamanya sudah tidak lagi produktif.

Konsep ini seringkali digambarkan sebagai

proses yang secara struktural, bangunan dengan

fungsi lama dikembangkan untuk dapat

mewadahi fungsi baru yang dapat meningkatkan

nilai ekonomi (Austin, 1988). Adaptive reuse

bukan sekedar mengembalikan tampilan fisik

dan signifikansi elemen-elemen arsitektur

semata, melainkan berusaha menghormati dan

menghargai sejarah, arsitektur serta struktur

bangunan lama dengan memasukkan fungsi baru

yang lebih tepat dan bermanfaat.

Proses recycling pada bangunan telah menjadi

alat revitalisasi yang penting dan efektif.

Pendekatan ini dikembangkan sebagai salah satu

metoda untuk melindungi bangunan-bangunan

yang signifikan dan bernilai sejarah tinggi dari

penghancuran. The Urban Land Institute (ULI)

mendefinisikan rehabilitasi sebagai sebuah

Page 13: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18

10

variasi perbaikan atau perubahan terhadap

bangunan eksisting yang memungkinkan

bangunan tersebut dapat mengakomodasi

fungsi-fungsi baru yang lebih kontemporer/masa

kini dengan tetap mempertahankan fitur-fitur

masa lalu. Adaptive reuse sendiri merupakan

salah satu komponen penting dalam proses

rehabilitasi tersebut (Bookout, 1990).

Dalam pelaksanaannya, adaptive reuse sering

menghadapi kendala yang berbeda, tergantung

persepsi para pemegang kepentingan dalam

pembangunan dan kondisi kawasan. Beberapa

kendala yang dihadapi dalam proses adaptive

reuse antara lain, adanya konsep bahwa sesuatu

yang baru dianggap lebih baik. Para perencana

yang tidak tanggap sering menilai bahwa

bangunan-bangunan tua adalah penghalang bagi

kemajuan ekonomi, yang diperlihatkan melalui

banyaknya kawasan dengan bangunan-bangunan

tua yang dibiarkan terabaikan. Bangunan-

bangunan tersebut dianggap ketinggalan zaman,

dan tidak dapat memenuhi tuntutan fungsi masa

kini. Beberapa kota bahkan menghancurkan

kawasan-kawasan bernilai sejarah demi sebuah

pembangunan baru dengan dalih menciptakan

identitas baru pada kawasan, padahal justru

mengorbankan identitas masa lalu yang

sebenarnya sudah ada dan telah mengakar.

Konsep adaptive reuse memiliki manfaat

ekonomi dan manfaat sosial. Manfaat ekonomi

tersebut diantaranya biaya konstruksi yang

relatif lebih rendah, biaya akuisisi lahan yang

ringan, dan waktu konstruksi yang lebih singkat,

tergantung lingkup pekerjaannya. Pendekatan

ini juga menjadi salah satu faktor yang dapat

mendorong proses pengembangan kawasan

karena lebih ekonomis jika membeli lahan yang

sudah termasuk bangunan, dibandingkan

membeli lahan kosong dan membuat bangunan

baru. Keuntungan ekonomi lain dari adaptive

reuse adalah dapat mendukung strategi

konservasi energi dan penghematan sumber

daya, sedangkan manfaat sosial dari adaptive

reuse antara lain dapat menjembatani hubungan

antara masa lalu dan masa sekarang melalui

revitalisasi lingkungan. Lebih bijak jika

melakukan pendekatan revitalisasi yang

mengedepankan sense of place dari kawasan

sekitarnya daripada memindahkan permasalahan

pada suatu kawasan dengan menghancurkan

struktur sosial yang telah ada. Hal ini dapat

tercapai jika pendekatan pelestarian dengan

adaptive reuse dilaksanakan bukan hanya pada

satu atau beberapa bangunan saja, melainkan

harus melibatkan sebuah kawasan sebagai satu

sistem yang saling terkait, saling terhubung dan

saling mempengaruhi.

REVITALISASI BERBASIS KAWASAN

Dalam lingkup sebuah kawasan perkotaan,

revitalisasi harus melibatkan dua komponen

pembaharuan, yaitu pembaharuan fungsi fisik

dan pembaharuan fungsi ekonomi. Kedua

komponen akan bersifat saling melengkapi,

misalnya revitalisasi fisik sebagai strategi

jangka pendek, sedangkan revitalisasi ekonomi

sebagai strategi jangka panjang. Dalam waktu

relatif singkat, revitalisasi fisik dapat

memberikan wajah yang lebih atraktif, kemasan

yang lebih menarik, dan dapat membuat orang

untuk datang. Sedangkan untuk jangka panjang,

revitalisasi ekonomi diperlukan karena cara ini

merupakan salah satu usaha yang cukup

produktif dalam mengelola aset private sehingga

dapat menyediakan subsidi bagi pengelolaan

aset publik.

Steven Tiesdell dkk. (1996) menyatakan bahwa,

nilai ekonomi sebuah kawasan harus dapat

diciptakan dalam dua skala : pertama dalam

tingkatan bangunan tunggal (individual

building), kedua dalam tingkatan bangunan

secara kolektif (collective buildings) pada satu

kawasan. Rehabilitasi atau konversi bangunan

secara individu tidak akan memberikan

perbedaan yang signifikan terhadap

pertambahan nilai ekonomi sebuah kawasan.

Bangunan-bangunan adalah aset yang saling

terhubung antara satu dengan yang lain.

Kualitas, kondisi, perawatan dan pengelolaan

dari properti di lingkungan sekitarnya memiliki

efek langsung terhadap nilai bangunan. Nilai

dari sebuah real estate muncul dari investasi

yang telah dibuat oleh orang lain, misalnya

pembayar pajak, pemilik properti, pekerja, dll.

Jika ditiadakan jalur pedestrian, jalan, drainase,

pengolahan air bersih, perlindungan keamanan,

pekerjaan, dan orang-orang yang berkunjung,

bagaimana nilai sebuah bangunan? Secara

virtual, nilainya adalah nol (Rypkema, 1992

dalam Tiesdell dkk., 1996).

Page 14: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

HAJAR SUWANTORO

11

Gbr. 1: Berbagai konfigurasi penerapan mixed-

use untuk berbagai fungsi dan fasilitas kota.

Sumber: Urban Design Compendium, 2000.

Faktor-faktor tersebut memicu kebutuhan akan

pendekatan revitalisasi yang lebih komprehensif

dan berbasis pada kawasan (area-based

revitalization). Saat ini, banyak sekali strategi

revitalisasi berbasis kawasan yang secara umum

menggunakan pendekatan berdasarkan

pengembangan properti. Meskipun strategi

pengembangan properti sangat diperlukan, tapi

sepertinya hal ini belum cukup sebagai sebuah

bentuk usaha revitalisasi. Selain pengembangan

properti, perlu juga dikaji infrastruktur dan

pengembangan ekonomi pada kawasan,

mendorong pertumbuhan potensi lokal (daya

saing investasi, pekerjaan, dll.), serta

memaksimalkan pemanfaatan potensi heritage.

Untuk menarik investasi dalam kawasan

tertentu, misalnya kawasan bersejarah, harus ada

sebuah pertimbangan rasional untuk

mengembangkan fungsi-fungsi komersial.

Fungsi-fungsi seperti ini diharapkan dapat

memicu aktivitas ekonomi sehingga kehidupan

perkotaan pada suatu kawasan dapat berjalan

dengan dinamis.

PEMBANGUNAN FUNGSI CAMPURAN

(MIXED-USE DEVELOPMENT)

Konsep pembangunan fungsi campuran (mixed-

use development) telah berkembang secara luas,

bahkan sebelum berkembangnya konsep zoning

modern yang mengatur kebijakan tata guna

lahan dalam sebuah kawasan. Konsep ini

bertujuan untuk memberi kenyamanan dan

keamananan bagi warga dengan mendekatkan

fungsi hunian dengan fungsi lain seperti

perkantoran, jasa dan komersial. Pada awal abad

ke-20, kota-kota di Amerika telah menerapkan

konsep mixed-use dengan mencampur fungsi

komersial dan hunian, terutama pada kawasan

transit atau pusat pemberhentian kenderaan dan

pada daerah persimpangan jalan (DCAUL,

2003). Menurut Urban Landscape Institute, ULI

(1976), yang di maksud dengan mixed-use

development adalah:

1. Mengakomodasi tiga atau lebih fungsi yang

dapat menghasilkan pendapatan/produk.

2. Menempatkan fungsi-fungsi signifikan dan

integrasi fisik dari komponen-

komponennya.

3. Menyelaraskan pembangunan dengan

rencana kota yang konsisten.

Sejak tahun 1910 sampai 1950-an,

konsep mixed-use sudah jarang digunakan pada

pengembangan kawasan baru, digantikan

dengan konsep zoning yang menerapkan tata

guna lahan sesuai dengan fungsi-fungsinya.

Konsep ini memisahkan fungsi hunian,

komersial, perkantoran, dan sekolah. Pada tahun

1960 sampai 1970-an, konsep mixed-use

kembali populer dan menjadi alat revitalisasi

kawasan urban, menyusul kelemahan konsep

zoning yang tidak dapat memecahkan masalah

kepadatan yang semakin tinggi, terutama di

daerah perkotaan. Pada akhir abad ke-20, sekitar

tahun 1990 sampai 2000-an, mixed-use

development telah berkembang kembali sebagai

salah satu komponen penting dalam konsep

pembangunan yang sedang tren saat ini,

misalnya Transit Oriented Development (TOD),

Traditional Neighborhood Development (TND),

Page 15: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18

12

Gbr. 2: Bentuk pembangunan fisik dan fungsi baru

di kawasan Tanjong Pagar

Sumber : www.ura.gov.sg, 2008

Livable communities, dan prinsip-prinsip Smart

Growth.

Dalam perkembangannya, mixed-use

development banyak dilakukan pada

pembangunan kawasan baru ataupun revitalisasi

kawasan. Secara umum mixed-use development

dapat dilakukan dalam tiga pendekatan (Grant,

2002), yaitu :

1. Menambah dan memperkuat intensitas

penggunanaan lahan (land intensity)

2. Menambah dan memperkuat keragaman

penggunaan lahan (land diversity)

3. Mengintegrasikan kembali penggunaan

lahan yang tersegregasi (land integrity)

Pembangunan kawasan dengan konsep mixed-

use pada beberapa kota di negara maju telah

berhasil memberikan kontribusi yang penting

dalam konteks perancangan perkotaan.

Beberapa keuntungan dari konsep pembangunan

mixed-use (Llewelyn-Davies, 2000) yaitu,

menciptakan akses yang nyaman ke berbagai

fasilitas; meminimalkan kemacetan dalam

perjalanan ke tempat bekerja; memberi

kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi

sosial; mendorong kehadiran komunitas sosial

yang beragam; adanya stimulasi visual dari

perbedaan bangunan dalam jarak dekat;

meningkatkan keamanan dan kenyaman bagi

pejalan; mendorong efisiensi energi,

penggunaan ruang dan bangunan;

mengakomodasi pilihan yang lebih beragam,

baik lokasi atau jenis bangunan; meningkatkan

vitalitas dan kehidupan kota atau kawasan pada

skala pedestrian; dan memperpanjang aktivitas

pada fasilitas-fasilitas kota dan fungsi-fungsi

pendukungnya.

Konsep mixed-use berhubungan dengan

kedekatan jarak, maka keberhasilannya sangat

dipengaruhi oleh jarak untuk berjalan ke

fasilitas-fasilitas yang sering digunakan.

Penempatan pusat aktivitas dapat diterapkan

pada persimpangan jalan dan sepanjang sirkulasi

pergerakan utama. Dengan memasukkan fungsi

hunian ke dalam fungsi lain secara mixed-use

akan dapat memperpanjang aktivitas

perkantoran dan komersial. Dalam skala besar

(macro land use), pembangunan mixed-use

berorientasi kepada penataan blok-blok

bangunan yang berbeda fungsi dalam satu

kawasan secara horizontal, misalnya

penempatan shopping mall yang berdekatan

dengan kantor, hunian dengan kantor,

convention center dan lain-lain.

Pembangunan mixed-use tidak hanya membahas

pencampuran fungsi secara horizontal, tapi juga

secara vertikal, dengan berbagai konfigurasi

fungsi dalam lingkup yang lebih kecil (micro

land use). Gambar 1 memperlihatkan bahwa

fungsi hunian atau perkantoran dapat diletakkan

di atas fungsi pertokoan, restoran atau fungsi

hiburan. Pengaturan seperti ini dapat

menciptakan suasana kehidupan perkotaan,

misalnya bila lantai dasar digunakan sebagai

retail dan komersial, maka fasade retail dan

komersial yang transparan serta pedestrian yang

aktif dapat menciptakan koridor yang menarik

secara visual, sekaligus memperkuat aktivitas

pada skala pedestrian.

STUDI BANDING KASUS: TANJONG

PAGAR, SINGAPURA

Kawasan ini termasuk dalam bagian dari

kawasan chinatown di Kota Singapura yang

ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh

pemerintah Singapura pada tanggal 7 Juli 1989.

Awalnya Tanjong Pagar merupakan kawasan

pemukiman dan komersial yang dihuni ratusan

penduduk berkebangsaan Cina dan India.

Sebagian besar diantaranya berprofesi sebagai

pekerja galangan kapal serta kaum buruh di

sekitar dermaga pelabuhan kapal laut. Seiring

dengan perkembangannya, kawasan tersebut

semakin ramai ditempati oleh para pendatang,

misalnya saudagar berkebangsaan Arab, yang

sebagian besar berprofesi sebagai pedagang.

Akibatnya, mulai timbul berbagai persoalan

sosial dan pencemaran lingkungan. Hingga

akhir abad ke-19, kawasan Tanjong Pagar terus

berkembang, meskipun terlanjur dikenal sebagai

kawasan yang marak akan kegiatan peredaran

opium dan prostitusi.

Page 16: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

HAJAR SUWANTORO

13

Gbr. 3: Karakteristik bangunan shophouses di

kawasan Tanjong Pagar, Singapura

Sumber : www.flickr.com, 2008

Kondisi tersebut mendorong pihak pemerintah

Singapura untuk segera menetapkan kawasan ini

sebagai kawasan yang dikonservasi pada akhir

tahun 1980-an, dan memasukkannya ke dalam

Singapore’s Goverment Conservation Plan.

Setelah proyek konservasi kawasan ini rampung

diselesaikan pada pertengahan tahun 1990-an,

banyak bangunan-bangunan rumah toko

(shophouses) yang telah dikembalikan ke

kondisi fisik semula.

Hampir 200 unit shophouses telah selesai

direnovasi untuk mendukung konsep adaptive

reuse berdasarkan upaya revitalisasi yang akan

diterapkan di kawasan tersebut. Saat ini Tanjong

Pagar telah berkembang menjadi salah satu

’fashionable district’ di Kota Singapura, yang

hidup selama 24 jam, diisi oleh berbagai fungsi

dan kegiatan dari art and craft, bisnis, bar, cafe,

dan restoran. Hasilnya, kini kawasan tersebut

menjadi salah satu kawasan di Kota Singapura

yang kaya akan keragaman visual dari segi

arsitektur. Kompleks bangunan bernilai sejarah

tinggi yang dikombinasikan dengan masuknya

bangunan-bangunan pencakar langit baru

bergaya arsitektur modern, telah menciptakan

suatu pencampuran yang unik dan menarik.

Salah satu tujuan dilakukannya revitalisasi di

kawasan ini adalah untuk mendukung misi besar

dari pemerintah Singapura dalam menciptakan

kondisi kualitas fisik dan lingkungan kotanya

agar lebih baik dan nyaman untuk dihuni, dan

memperkuat posisi Singapura di era persaingan

pasar global saat ini. Proyek revitalisasi

kawasan Tanjong Pagar ini juga merupakan

salah satu bagian dari „Singapore Conservation

Programme’ yang diprakarsai oleh pemerintah

Singapura dan dikelola oleh Singapore Urban

Redevelopment Authority (URA). Prinsip dasar,

kebijakan dan ketentuan upaya revitalisasinya

juga mengacu kepada Conservation Master Plan

(1989) yang dikeluarkan oleh URA Singapura.

Beberapa langkah dan strategi yang diterapkan

URA diantaranya adalah:

a) Melakukan penataan ulang terhadap zoning

dan land-use kawasan

b) Mengembangkan konsep fashionable

district of singapore yang berada di

kawasan pusat kota (chinatown)

c) Menerapkan konsep adaptive reuse untuk

pelestarian bangunan-bangunan bersejarah

d) Melakukan in-fill development

Proses rekonstruksi dan restorasi bangunan-

bangunan yang telah hancur atau rusak di

kawasan ini tidak terlalu sulit dilakukan karena

kondisi fisik dari sebagian besar bangunan-

bangunan tua yang ada masih dalam keadaan

baik, dan masih dapat ditinggali. Penerapan

konsep adaptive reuse bahkan telah berhasil

merevitalisasi kembali way of life dari

masyarakat tradisional Cina pada kawasan ini,

yaitu untuk berdagang. Restorasi dalam konteks

intervensi fisik bangunan, bukanlah satu-satunya

aspek yang menjadi nilai penting dari

keberhasilan revitalisasi kawasan ini, tetapi

keberhasilan tersebut juga turut didukung oleh

adanya beberapa aspek lain, seperti penetapan

kebijakan land use kawasan, aksesibilitas,

perbaikan infrastruktur, dan karakteristik fungsi

penunjang perekonomian yang disuntikkan ke

dalam kawasan.

STUDI LAPANGAN : ZONA 2 (KAWASAN

FATAHILLAH) KOTA TUA JAKARTA

Kajian ini menitikberatkan studi lapangan pada

Zona 2 (kawasan Fatahillah), karena

berdasarkan kajian sejarah, sebagian besar dari

kawasan Sunda Kelapa dan Zona 2 (kawasan

Fatahillah) adalah cikal bakal Kota Tua, yaitu

kota yang pada masa kolonial berada di dalam

dinding benteng, yang ditinggali sebagian besar

oleh bangsa Belanda. Beberapa bagian kawasan

serta beberapa bangunan pada kawasan ini juga

telah mengalami perbaikan kualitas fisik dan

telah menerapkan usaha-usaha revitalisasi.

Page 17: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18

14

Gbr. 4: Peta Kawasan Cagar Budaya Kota Tua dan

pembagian zona-zona yang ada di dalamnya.

Sumber : diolah dari Rencana Induk Kota Tua

Jakarta, Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 2007.

Pada masa penjajahan Belanda sampai abad ke-

19, daerah ini merupakan bagian Selatan dari

kawasan di dalam dinding kota yang dibatasi

oleh Sungai Ciliwung di sisi Timur, Sungai

Krukut (Jelakeng) di sisi Barat, Jalan Jembatan

Batu dan Jalan Asemka di Sisi Selatan, serta

kawasan pasar ikan di sisi Utara. Di masa-masa

akhir kolonial Belanda, kawasan ini berperan

sebagai pusat bisnis (CBD) kota Batavia dengan

konsentrasi kegiatan perdagangan dan jasa di

sepanjang Sungai Kali Besar, dan pemerintahan

disekitar Taman Fatahillah. Jalan dan

sungai/kanal membentuk blok-blok berupa grid

kota dengan 2 (dua) taman/plaza yaitu Taman

Fatahillah yang menjadi pusat kegiatan publik

dan Taman Beos yang dikelilingi oleh kantor-

kantor besar dan stasiun kereta api. Di

sepanjang Kali Besar terdapat kantor perusahaan

dagang dan pelayaran. Blok-blok di belakang

Kali besar ditempati oleh hunian dan bangunan

pergudangan (Guidelines Kota Tua, Dinas

Kebudayaan & Permuseuman Provinsi DKI

Jakarta, 2007). Luas wilayah zona 2 (kawasan

Fatahillah) menurut Dinas Tata Kota adalah

sekitar 87 ha (lihat gambar 4). Pada kawasan

tersebut terdapat tipe bangunan yang berbeda-

beda, misalnya jika dilihat dari dimensinya,

maka dapat dibedakan atas 3 (tiga) tipe, yaitu:

Bangunan besar yang berdiri sendiri pada satu

blok kota atau lebih dari setengah blok kota,

bangunan di kavling pojok, dan bangunan-

bangunan deret yang membentuk satu blok kota.

Jika dibedakan menurut masyarakat dan

zamannya, dapat diidentifikasi 4 (empat)

tipologi langgam bangunan, yaitu: Bangunan

kolonial Eropa (colonial indische, neo-klasik

eropa, art deco, dan art nouveau), bangunan

masyarakat Cina (gaya cina selatan dan

campuran dengan gaya kolonial Eropa),

bangunan masyarakat pribumi, dan bangunan

modern Indonesia (international style).

Keunikan bangunan-bangunan ini jika dilihat

dari teori perancangan kota, beberapa

diantaranya telah menerapkan konsep perimeter

block dan build to line atau sempadan nol, yang

saat ini masih menjadi tren dalam konsep

perancangan kota.

Rencana revitalisasi pada zona 2 (kawasan

Fatahillah) diarahkan sebagai kawasan living

heritage, yaitu sebagai kawasan yang

diproyeksikan menjadi salah satu tempat

kegiatan utama skala kota bagi warga DKI

Jakarta dan sekitarnya untuk berekreasi,

berbudaya, bertinggal, dan bekerja dengan tetap

menjaga kelestarian sebagai kawasan cagar

budaya. Berdasarkan beberapa kriteria yang ada

di Peraturan Daerah No.5 tahun 1999, Zona 2

kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi

3 (tiga) golongan yaitu:

1. Lingkungan Golongan I, di sekitar Taman

Fatahillah dan Jalan Cengkeh.

2. Lingkungan Golongan II, di sepanjang Kali

Besar, Jalan Pintu Besar Utara, dan

sekitar Taman Beos.

3. Lingkungan Golongan III, di luar Golongan I

dan II, area di sekitar Sungai Ciliwung

di sisi Timur dan area

sekitar Sungai Krukut (Jelateng) di sisi

Barat.

Seperti yang telah tercantum dalam Guidelines

Kota Tua (2007), peruntukan lahan pada zona 2

(kawasan Fatahillah) adalah sebagai berikut:

Taman Fatahillah sebagai ruang terbuka aktif di

titik pusat zona 2, diwujudkan melalui

peningkatan kegiatan publik, terutama dalam

skala kota yang bersifat tidak permanen, baik

yang terjadwal maupun insidentil. Jalan

Zona 2

(87ha)

Zona 2

(87ha)

Page 18: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

HAJAR SUWANTORO

15

Gbr. 5: Skema peruntukan Mikro pada bangunan

Sumber: Guidelines Kota Tua, Dinas Kebudayaan

& Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2007.

Cengkeh dikembalikan wujud fisiknya seperti

masa lalu dan diperuntukkan sebagai ruang kota

linier yang menghubungkan Taman Fatahillah

dengan area bekas Kastil Batavia. Jalan Pintu

Besar Utara dimanfaatkan sebagai shopping

street, dimana lantai dasar bangunan-bangunan

di sisi Baratnya terdiri atas toko/retail,

restoran/café, dan galeri. Taman Stasiun Beos

diperuntukkan sebagai taman terbuka dan

tempat pemberhentian busway. Ruang terbuka

di sepanjang sisi Kali Besar, diperuntukkan

sebagai ruang terbuka aktif dalam bentuk

restoran tepi air (waterfront restaurant row),

kaki lima tepi air (waterfront food stalls),

esplanade dan shopping street.

Peruntukan makro kawasan pada zona 2

(kawasan Fatahillah) adalah untuk kegiatan

campuran dan seni budaya. Kegiatan campuran

yang diperkenankan untuk lingkungan cagar

budaya golongan I dan II adalah hunian terbatas

seperti hotel maupun service apartment serta

komersial/jasa/retail yang bercampur dengan

fungsi budaya, sedangkan kegiatan campuran

yang diperkenankan untuk lingkungan cagar

budaya golongan III adalah hunian untuk

masyarakat golongan menengah ke atas yang

bercampur dengan fungsi komersial/kantor/jasa

dan pendidikan terbatas. Kegiatan-kegiatan

retail, jasa, komersial yang tidak diperbolehkan

di lingkungan cagar budaya golongan I dan II

adalah toko bahan bangunan dan pusat

kesehatan. Kegiatan kantor juga tidak

diperbolehkan, kecuali jika letaknya di lantai

atas. Rumah/panti jompo, supermarket, tidak

diperkenankan kecuali bila letaknya tidak

berada di bagian depan bangunan. Dilarang

mengadakan tempat hiburan yang bertentangan

dengan nilai-nilai susila, antara lain tempat

perjudian dan pelacuran. Kegiatan-kegiatan

yang menimbulkan polusi tidak diperbolehkan,

misalnya bengkel mobil, pompa bensin,

percetakan, segala jenis industri (kecuali

industri rumah berskala kecil), pergudangan dan

pengemasan barang (kecuali bila merupakan

bagian dari kegiatan utama yang diizinkan), juga

tempat ibadah (kecuali yang telah mendapatkan

izin).

Selain peruntukan secara makro pada kawasan,

dalam Guidelines Kota Tua (2007) juga telah

diatur peruntukan secara mikro pada bangunan,

yaitu antara lain : Pemanfaatan lantai dasar pada

lingkungan cagar budaya golongan I dan II

diutamakan untuk fungsi/kegiatan yang

berhubungan langsung dengan ruang publik,

antara lain : restoran, toko/retail, galeri, tempat

hiburan, lobby bangunan, entrance hall, dan

sejenisnya.

Pemanfaatan lantai atas di lingkungan cagar

budaya golongan I diperbolehkan untuk

kegiatan-kegiatan yang bersifat publik serta

dapat diakses oleh umum, seperti museum,

galeri, fasilitas pendidikan dan budaya,

perkantoran, hotel, dan hunian terbatas.

Pemanfaatan bagian belakang lantai dasar

bangunan di lingkungan cagar budaya golongan

I untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat publik

serta dapat diakses oleh umum, seperti museum,

galeri, fasilitas pendidikan dan budaya,

perkantoran, hotel, dan hunian terbatas.

Pemanfaatan lantai atas di lingkungan cagar

budaya golongan II untuk kegiatan-kegiatan

yang bersifat semi-publik antara lain : museum,

galeri, fasilitas pendidikan dan budaya,

perkantoran, hotel, hunian terbatas, dan unit-unit

apartemen. Sedangkan pemanfaatan lantai atas

di lingkungan cagar budaya golongan III untuk

kegiatan-kegiatan yang bersifat semi-publik dan

privat, seperti hunian, perkantoran, dan

pendidikan.

Meskipun arahan perencanaan dan

pengembangan kawasan Kota Tua Jakarta

seperti yang terdapat dalam guidelines Kota Tua

(2007) telah terdeskripsi dan terkonsep dengan

sangat baik, namun berdasarkan pengamatan

lapangan, belum ada implementasi secara nyata.

Usaha pelestarian pada kawasan Kota Tua

Jakarta belum dapat dikatakan berhasil sesuai

dengan yang direncanakan.

Page 19: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18

16

EVALUASI DAN DISKUSI

Cohen (1999) menyatakan bahwa sebuah

kawasan bersejarah yang terdiri dari bangunan-

bangunan, infrastruktur, ruang terbuka, dan

jalan-jalan yang merepresentasikan periode

berbeda-beda, menciptakan variasi budaya dan

lapisan-lapisan kehidupan pada skala urban.

Seiring berlalunya waktu, karakter urban

tersebut semakin berkurang dan tidak dapat

memberikan kualitas seperti pada masanya,

sedangkan kualitas tersebut juga tidak dapat

diberikan oleh kota-kota baru pada wilayah

urban ataupun sub-urban saat ini.

Gejala penurunan kualitas fisik dapat mudah

diamati pada kawasan Kota Tua Jakarta, karena

sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat

kegiatan perekonomian dan sosial budaya),

kawasanan tersebut umumnya berada dalam

tekanan-tekanan pembangunan. Berkurangnya

kinerja bangunan atau tempat, terjadi ketika

timbul adanya ketidakcocokan atau

ketidaksesuaian antara kemampuan tempat atau

bangunan dengan kebutuhan-kebutuhan masa

kini.

Menurut Martokusumo (2006), dimensi

penurunan kinerja sebuah kawasan kota dapat

mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu:

struktur/fisik, fungsi, citra, aspek legal dan

institusi/kelembagaan, lokasi, serta

finansial/ekonomi. Pada kawasan Kota Tua

Jakarta, semua dimensi penurunan kinerja

kawasan seperti tersebut diatas dapat ditemukan.

Hal ini dapat dilihat dari kondisi bangunan-

bangunan tua yang terabaikan, perubahan fungsi

bangunan yang tidak semestinya, dan cenderung

mendorong aktivitas yang sangat merugikan

serta melemahkan identitas kawasan sebagai

sebuah kawasan bersejarah.

Suatu hal yang sudah lazim, bahwa properti

yang terabaikan memunculkan vandalisme, tuna

wisma, dan aktivitas merugikan lainnya,

sehingga menurunkan nilai jual properti, pajak,

dan menjauhkan investasi di dalam kawasan

(Steve Chambers dalam Star Ledger, 25 Januari

2004). Hal ini menyebabkan pemerintah

menghentikan layanan terhadap fasilitas publik

karena kawasan tersebut sedikit sekali

menghasilkan pajak, atau bahkan sama sekali

tidak ada.

Penurunan kualitas lingkungan pada kawasan

yang diabaikan dapat terjadi dalam kurun waktu

sangat singkat. Beberapa bangunan yang

diabaikan, dapat menjadi pemicu penyebaran

secara transisional pada sebuah lingkungan.

Penduduk lokal mulai merasa tidak nyaman,

sehingga pemilik properti dan developer juga

enggan berinvestasi. Siklus seperti ini terus

berlanjut pada setiap wilayah, sehingga pada

saat tertentu, kawasan tersebut menjadi sama

sekali kosong dan mulai ditinggalkan.

Fenomena ini disebut sebagai broken window

theory, yang dicetuskan oleh ahli kebijakan

publik, yaitu George L. Kelling dan James Q.

Wilson (1999). Mereka menyatakan bahwa “jika

sebuah jendela pada suatu bangunan telah rusak

dan dibiarkan tidak diperbaiki, maka semua

jendela pada bangunan itu akan ikut rusak”.

Properti yang dibiarkan tidak terawat dan

dibiarkan terabaikan dalam kondisi seperti itu,

mengindikasikan komunitas pada kawasan

tersebut telah kehilangan rasa kepedulian. Tidak

dapat dipungkiri, bahwa hal demikian telah

terjadi pada kawasan Kota Tua Jakarta.

Berbagai usaha revitalisasi telah dilakukan

pemerintah DKI Jakarta untuk memperbaiki

kondisi tersebut. Salah satunya adalah berusaha

memberi fungsi baru dengan memanfaatkan

struktur yang lama pada beberapa bangunan

yang dikelola oleh pemerintah, misalnya

Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan

Keramik, dan Museum Wayang. Selain itu,

terdapat juga beberapa bangunan yang

menerapkan pendekatan yang sama, namun

dengan memberi fungsi yang lebih bersifat

komersial dan dikelola oleh swasta. Meskipun

secara fisik terlihat lebih baik dan mampu

mendatangkan orang-orang dengan berbagai

Gbr. 6: Kondisi interior salah satu bangunan terabaikan

di sebelah El Gato Bar, kawasan Kota Tua Jakarta.

Sumber : dokumentasi pribadi, April 2008.

Page 20: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:

MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA

JAKARTA

HAJAR SUWANTORO

17

tujuan, mulai dari sekedar bersantai, jalan-jalan,

bermain, belajar menggambar, hingga tujuan

yang lebih komersial, misalnya pemotretan dan

pengambilan video untuk iklan (video clip).

Namun pada malam hari, ketika semua kegiatan

telah selesai, maka suasana menjadi sama sekali

berbeda. Tidak ada kehidupan perkotaan dengan

segala aktivitasya yang dinamis, hanya beberapa

kegiatan kecil yang bersifat temporer dan statis

pada lokasi tertentu.

Isu inilah yang seharusnya menjadi perhatian

utama pelestarian kawasan Kota Tua Jakarta.

Pada kawasan yang telah mulai ditinggalkan dan

diabaikan, penduduk tidak akan mau tinggal,

berinteraksi dan beraktivitas karena merasa

tidak mendapat jaminan keamanan, keselamatan

atau kenyamanan. Aktivitas ekonomi tidak

berkembang dengan baik karena pemilik modal

enggan berinvestasi. Pemerintah kesulitan

mengelola kawasan karena harus menanggung

beban biaya pemeliharaan infrastruktur yang

besar, sedangkan penerimaan pajak sangat kecil.

Pendekatan pelestarian melalui adaptive reuse

harus mempertimbangkan adanya keragaman

fungsi-fungsi, misalnya menyuntikkan fungsi

hunian pada fungsi perdagangan dan

perkantoran. Usaha ini dapat memperpanjang

rentang aktif kawasan dan menciptakan interaksi

warga yang dinamis, sehingga kehidupan

perkotaan di kawasan Kota Tua Jakarta dapat

kembali terwujud.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Keberhasilan upaya revitalisasi yang dilakukan

pada sebuah kawasan bersejarah tidak hanya

ditentukan oleh adanya upaya dan strategi

perbaikan fisik kawasan dan bangunan-

bangunan bersejarahnya saja, tetapi lebih

ditentukan oleh adanya strategi penerapan

aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan

pada kawasan tersebut, serta peran pihak

pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam

pembangunan kota. Hasil akhir dari upaya

revitalisasi yang dilakukan pada sebuah

kawasan bersejarah tidak hanya berupa

terlahirnya kembali identitas dan kondisi fisik

kawasan dan bangunan bersejarahnya saja,

tetapi lebih kepada terciptanya suatu kondisi

keberlanjutan dari keberadaan aspek sosial,

budaya, dan lingkungan dari kawasan tersebut.

Melalui hasil kajian literatur dan studi banding

kasus, didapat beberapa isu penting dalam

keberhasilan strategi revitalisasi dalam konteks

kawasan, khususnya melalui pendekatan

pelestarian dengan adaptive reuse diantaranya

yaitu:

1. Adaptive reuse bukan sekedar

mengembalikan tampilan fisik dan

signifikansi arsitektur semata, melainkan

berusaha menghormati dan menghargai

sejarah, arsitektur serta struktur bangunan

lama dengan cara memasukkan fungsi baru

yang lebih tepat dan bermanfaat.

2. Rehabilitasi atau konversi bangunan secara

individu tidak akan memberikan perbedaan

yang signifikan terhadap pertambahan nilai

ekonomi sebuah kawasan.

3. Peran pemerintah dan pengelola kawasan

Kota Tua Jakarta harus lebih inovatif dalam

menentukan kebijakan pengembangan, juga

peran pemilik properti/bangunan di dalam

kawasan yang lebih aktif untuk mengelola

asetnya.

4. Konsep adaptive reuse berhubungan erat

dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi-

fungsi baru harus dapat mengakomodasi

kepentingan-kepentingan komersial untuk

mendapatkan keuntungan (profit), tanpa

meninggalkan kepentingan bagi publik

(benefit).

5. Penerapan adaptive-reuse pada bangunan-

bangunan eksisting dapat dilakukan dengan

pendekatan mixed-use, yaitu mencampur

fungsi hunian dengan fungsi-fungsi lain

misalnya komersial, perkantoran, dan jasa,

seperti yang telah dilakukan pada kawasan

Tanjong Pagar.

6. Arahan pengembangan kawasan yang

tertuang dalam Guidelines Kota Tua (2007)

telah mengakomodasi konsep mixed-use,

baik dalam skala makro maupun mikro,

sehingga ada kesempatan untuk

memperbaiki dan mengembalikan

kehidupan serta identitas kawasan Kota Tua

Jakarta dengan konsep ini. Namun,

diperlukan kerjasama aktif dari public

sector (pemerintah) untuk mendukung

pembangunan infrastruktur dan private

sector (swasta) untuk menggerakkan

aktivitas ekonomi.

Page 21: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18

18

DAFTAR PUSTAKA

Austin, Ricard L. (1988). Adaptive Reuse :

Issues & Case Studies in Building

Preservation. New York: Van Nostrand

Reinhold.

Bookout, Lloyd W. Jr..(1990). Residential

Development Handbook. Second Edition.

Washington, D.C.: Urban Land Institute

Cohen, Nahoum. (1999). Urban Conservation.

Cambridge: MIT Press.

Dinas Kebudayaan & Permuseuman Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2007).

Sejarah Kota Tua, Jakarta: Jakarta Culture

& Heritage.

Dinas Kebudayaan & Permuseuman Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2007).

Guidelines Kota Tua, Jakarta: Jakarta

Culture & Heritage.

Grant, Jill. ( 2002). Mixed-use in Theory and

Practice. APA Journal. Vol. 68, No. 1, 71-

84.

Llewelyn-Davies. (2000). Urban Design

Compendium, London: English Partnership.

Martokusumo, Widjaja. (2006). Revitalisasi

dan Rancang Kota. Beberapa Catatan dan

Konsep Penataan Kawasan Kota

Berkelanjutan, Jurnal Perencanaan

Wilayah dan Kota ITB, Vol.17, No. 3, 31-

45.

Tiesdell, Steven., dkk. (1996), Revitalizing

Historic Urban Quarters, Oxford, London:

Architectural Press.

Wilson, James Q dan Kelling, George L. (1989,

February). Making Neighborhoods Safe,

Atlantic Monthly.

Witherspoon, Robert E., et al. (1976). Mixed-

use Development: New Ways of Land Use.

Washington D.C.: Urban Land Institute

Page 22: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA

SUSTAINABLE ARCHITECTURE

NOVI RAHMADHANI

19

PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA

SUSTAINABLE ARCHITECTURE

Novi Rahmadhani

Mahasiswa Fakultas Teknik, Departemen Arsitektur USU

Email: [email protected]

Abstrak. Bangunan Pusat Riset dan Rekreasi Hortikultura Kwala Bekala memilki fungsi riset tanaman

hortikultura dan agroedutourism di kompleks Universitas Sumatera Utara (USU) Kwala Bekala dengan sistem

pertanian vertikal (vertical farming) sebagai fokus riset utama. Desain bangunan menerapkan Sustainable

Architecture, sehingga diharapkan bangunan ini nantinya akan dapat mengaplikasikan aspek sosial, ekonomi

dan lingkungan yang berkelanjutan.

Kata kunci: pusat riset, agroedutourism, hortikultura, vertical farming, sustainable architecture

PENDAHULUAN

Fokus riset pertanian vertikal (vertical farm)

pada bangunan ini dilatarbelkangi oleh isu krisis

pangan global yang diprediksi akan terjadi

akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk

dunia yang mengakibatkan alih konversi lahan

pertanian. Hal ini mengakibatkan semakin

sedikitnya lahan pertanian karena digunakan

untuk membangun permukiman dan tempat

tinggal yang cukup.

Fungsi riset ini dipadukan juga dengan fungsi

pariwisata, sehingga teknologi baru pertanian

tanaman hortikultura yang ada dapat

dipublikasikan dan dipelajari oleh masyarakat

umum dan pelaku edukasi yang berkunjung.

Karena penerapan pertanian vertikal pada

bangunan, akan terdapat masa-masa panen

pangan. Supermarket dijadikan tempat untuk

mewadahi penjualan hasil panen dari bangunan

ini.

Penerapan Sustainable Architecture pada

bangunan, selain dengan fungsinya yang

berkelanjutan, diaplikasikan juga dengan

menggunakan teknologi penghasil energi

mandiri, mendaur ulang sisa hasil pertanian /

limbah bangunan sehingga dapat digunakan

kembali untuk kebutuhan bangunan,

Memanfaatkan potensi sekitar yang ada, yaitu

kotoran hewan dari peternakan yang ada di

kompleks USU Kwala Bekala, dan diharapkan

kemandirian bangunan terhadap produksi energi

dapat meminimalisir biaya operasional

bangunan.

Isu krisis lahan pertanian di Indonesia,

khususnya untuk kawasan Sumatera Utara

sendiri mulai dapat dilihat tanda-tandanya dari

data berikut (Badan Pusat Statistik Medan,

2007).

1. Jumlah kebutuhan penduduk yang semakin

meningkat seiring bertambahnya jumlah

populasi

2. Konversi lahan

3. Menurunnya tingkat kesuburan lahan

Menurut Sundu (2008), “lahan subur di

Indonesia menyusut 2,5 ha per jam dengan

penambahan penduduk 4 orang per menit,

dibandingkan di dunia 8 ha per jam dengan

penambahan penduduk 24 orang per menit.”

Page 23: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 19-24

20

Karena permasalahan-permasalahan tersebut,

dibutuhkan teknologi dan inovasi pada sistem

pertanian sebagai solusi dari permasalahan yg

akan datang. Teknologi terbaru dalam mengatasi

masalah ini telah ditawarkan secara global

sebagai pertanian vertikal.

Untuk kawasan Sumatera Utara dengan luas

lahan yang masih memungkinkan untuk

pertanian secara horizontal untuk saat ini,

dibutuhkan lembaga untuk meneliti dan meriset

setiap kemungkinan untuk dijadikan tindakan

preventif.

TUJUAN PROYEK

Diharapkan mampu menjadi ikon dari

kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi USU

Menjadi wadah aktivitas keilmuan USU

Merancang bangunan dengan sistem

hemat energi dan berkelanjutan

Diharapkan dapat memberikan

sumbangsih terhadap industri Sumatera

Utara

Dapat menjadi area rekreasi keilmuan

yang dapat diakses oleh masyarakat

umum

ARSITEKTUR BERKELANJUTAN

(SUSTAINABLE ARCHITECTURE)

SEBAGAI ACUAN PERANCANGAN

Rocky Mountain Institute mengeluarkan 5

elemen desain sustainable:

1. Desain yang “penuh dan pekat” di awal

2. Tidak memiliki style tertentu, tidak

memiliki batasan bentuk

3. Berbiaya cukup besar pada awal

pembangunan

4. Desain yang terintegrasi

5. Meminimalisir konsumsi energi dan

bahkan menghasilkan energinya sendiri.

Prinsip dari desain bangunan yang sustain

(berkelanjutan) antara lain:

Paham akan tempat (Understanding

place)

Tabel 1. Proyeksi Pangan di Indonesia Versi Deptan RI

Tabel 2. Perubahan-perubahan Lahan Padi di Indonesia, 1999-2002

Page 24: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA

SUSTAINABLE ARCHITECTURE

NOVI RAHMADHANI

21

Terhubung dengan alam (Connecting

with nature)

Selaras dengan proses alami

(Understanding natural processes)

Selaras dengan pengaruh lingkungan

sekitar (Understanding eviromental

impact)

Mencakup proses desain yang kreatif

(Embracing co-creative design

processes)

Selaras dengan penduduk sekitar

(Understanding people)

KONSEP TAPAK

Entrance utama (A) berada pada jalan besar dan

diperuntukkan untuk pedestrian dan para

pengunjung yang menggunakan bus shuttle atau

pengunjung yang hanya diturunkan dari

kendaraan pribadi.

Entrance sekunder (B) diperuntukkan untuk

pengunjung yang parkir dengan menggunakan

kendaraan pribadi. Terdapat area drop off untuk

menurunkan pengunjung.

Entrance bagi ilmuwan dan pelaku edukasi

terpisah dan berada pada bagian kanan kawasan.

Area Parkir (C) diperuntukkan untuk parkir

kendaraan pribadi pengunjung agroedutourism.

Area Parkir (D)

merupakan area parkir

untuk pengunjung

supermarket.

Area Plaza (E) merupakan

area taman bunga dan

kebun tanaman pangan

dengan sistem pertanian

vernakular. Pada area ini

Gambar 1. Zoning pada ground plan

Sumber: penulis

Gambar 3. Lokasi

entrance untuk

researcher

Sumber: penulis

Gambar 4. Suasana area parkir

supermarket

Sumber: Penulis

Gambar 2. Lokasi entrance pada ground

plan

Sumber: penulis

Page 25: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 19-24

22

poin pertama dimulainya agroedutourism.

Disediakan pula mini bus untuk berkeliling pada

area tapak.

Jembatan penyebrangan (F) merupakan

jembatan penghubung yang difungsikan untuk

menghubungkan area tapak langsung ke

bangunan. Jembatan ini diaplikasikan karena

terdapat perbedaan kontur + 6 meter.

Bangunan Supermarket (G) merupakan wadah

untuk menjual hasil panen tanaman pangan.

Kelebihan dari hasil tanaman pangan tersebut

adalah hasil yang organik karena meminimalisir

penggunaan zat-zat kimia dalam perawatan

tanaman pada bangunan.

Kolam pembelajaran (H) merupakan kolam

dengan sistem perawatan tanaman dengan

bantuan ikan (fish culture). Disini juga dijadikan

gathering spot, di mana pengunjung yang ada

juga dapat berekreasi dan belajar.

Bangunan Utama (I), bangunan utama berisi

fungsi riset, wisata dan pertanian vertikal.

Ampiteater (J), merupakan area berkumpul yang

menghadap langsung ke danau. Pada area ini

dapat dijadikan tempat untuk event-event

tertentu dan tempat pembelajaran publik.

PENERAPAN KONSEP SUSTAINABLE

PADA BANGUNAN

1. Penggunaan photovoltaic dengan sistem

berselang seling untuk mendapatkan

cahaya alami yang cukup ke dalam

bangunan dan mendapatkan panas

matahari untuk diubah menjadi energi

listrik.

Gambar 5. Suasana main plaza

Sumber: penulis

Gambar 6. Suasana jembatan

Sumber: penulis

Gambar 7. Suasana kolam pembelajaran

Sumber: penulis

Gambar 8. Bentukan Massa Utama

Sumber: penulis

Gambar 9. Suasana Ampiteater

Sumber: penulis

Page 26: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA

SUSTAINABLE ARCHITECTURE

NOVI RAHMADHANI

23

Pada bagian podium juga terdapat panel

photovoltaic untuk memproduksi energi

listrik bagi kebutuhan pada tiap lantainya.

2. Konsep pencahayaan memaksimalkan

cahaya alami untuk masuk kedalam

bangunan. Bukaan pada sisi timur dan

barat diberikan buffer berupa pepohonan

pada area tapak.

Massa podium yang bertingkat juga

dibuat untuk memaksimalkan terdapatnya

bukaan pada tiap lantai.

Bukaan pada bagian tower juga

dimaksimalkan untuk mendapatkan

cahaya yang cukup untuk fotosintesis

tanaman yang ada di dalamnya.

3. Konsep pengkondisian udara

dimaksimalkan secara alami. Pada bagian

podium, pengkondisian udara buatan

hanya terdapat pada ruang-ruang lab,

sedangkan untuk bagian tower hanya

terdapat pada zona hidroponik tanaman

saja.

Pada bagian koridor dan sirkulasi pada

tower menggunakan pengkondisian

udara alami dengan suasana yang

terbuka.

4. Penggunaan Roof garden

dimaksimalkan pula dengan desain

massa podium yang bertingkat. Hal ini

dimaksudkan untuk menghasilkan

kondisi udara yang sejuk didalam

bangunan dan menjadikan tumbuhan

sebagai citra dari bangunan ini.

5. Sistem sanitasi pada bangunan

mengaplikasikan sistem bioswale

(penampungan air hujan). Bak

Gambar 10.

Photovoltaic

pada bangunan

Sumber:

penulis

Gambar 11. Letak photovoltaic pada

podium

Sumber: penulis

Gambar 12. Letak bukaan pada

bangunan

Sumber: penulis

Gambar 13. Pengkondisian udara pada

area sirkulasi

Sumber: penulis

Page 27: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 19-24

24

penampungan air terdapat pada bagian

roof top, air hujan yang ditampung

pada bak penampungan air tersebut

disalurkan ke solution tank (tanki

dengan nutrisi untuk tanaman),

dialirkan ke setiap hydroponic shelf

pada tiap lantai tower, lalu diolah

kembali menjadi air bersih di bagian

basement dan dialirkan ke ground

water tank dan dipompa kembali

kebagian roof top.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Medan (2007) Medan

Dalam Angka

De Chiara. Joseph, and John Calender.1981.

Time Saver Standart for Building Types.

Mcgraw Hill Book Company.New York.

Frick, Heinz., dan Pujo. L. S., 2007, Ilmu

Konstruksi Perlengkapan dan Utilitas

Bangunan 2, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta

Frick, Heinz., dan Tri Hesti M., 2006, Arsitektur

Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Guiding Principles of Sustainable Design

(1993),

www.verticalfarm.com

www.kwalabekala.usu.ac.id

Gambar 14. Lokasi roof garden

Sumber: penulis

Gambar 15. Sistem sanitasi pada

hydroponic shelf

Sumber: penulis

Page 28: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT N. VINKY RAHMAN

25

ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT

N. Vinky Rahman

Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara

Abstract. In the late 1980s, appear interesting phenomenon in Indonesia, and its tracks are still visible to this

day, that is when, where many region are trying to revive its traditional architecture. Many modern buildings

are found which are not rooted in local culture makes the loss of region "identity". In Central Java, the "Jogio"

roof become an idol, found not only in its original context as the roof of the pavilion, but also as a roof on the

building height, banks, government offices, police stations, even billboards. The same was found in West

Sumatra with the "Roof of Rumah Gadang". In Medan (city of multi-ethnic), met ornaments that represent the

representation of local culture (Melayu and Tapanuli) embedded (built later) as the gate canopy, or roof of the

addition of modern buildings that already exist. What is this phenomenon?, Whether this form of identity

obscurity Indonesia's current architecture, or a form of traditional Eastern architecture transformation into a

modern Western.

PENDAHULUAN

Bila kita coba menelaah penerapan arsitektur

atap tradisional pada gedung modern, terlihat

agak naif, namun fenomena tersebut

menunjukkan adanya kesadaraan akan sejarah

dalam era modern ini, sekaligus menunjukkan

cara pandang sebagian masyarakat kita akan

sejarahnya, dalam hal ini arsitektur tradisional.

Hotel Danau

Toba – Medan

(atap Ruma

Bolon)

(sumber:

http://www.pem

komedan.go.id/

en/hotel.php)

Bank

Mandiri –

Padang (atap

Rumah

Gadang)

(sumber:

http://www.f

lickr.com/ph

otos)

Bank Bukopin –

Solo (atap

Rumah Joglo)

(sumber:

http://www.skys

crapercity.com)

PERADABAN TIMUR DAN ARSITEKTUR

TRADISIONAL INDONESIA

Hampir tidak ditemukan batasan yang benar-

benar jelas antara peradaban Timur dan Barat.

Kalau memakai terminologi keyakinan bahwa

agama-agama besar adalah bertujuan untuk

menyatukan seluruh umat manusia, maka

tempat turunnya agama-agama itu (di sekitar

daerah Arab dan Mesopotamia) merupakan

pertengahan antara kedua jenis peradaban yang

disepakati tersebut, yaitu peradaban Barat ada di

sebelah Barat Arab dan Mesopotamia,

sedangkan peradaban Timur di sisi lainnya.

Kondisi iklim dan geografis yang berbeda

membuat cara berpikir yang berbeda pula, yang

pada akhirnya membentuk perilaku, norma,

bahkan bentuk arsitektur yang berbeda pula.

Mesopotamia

(sekarang Irak)

(sumber :

http://pusatwawa

san.blogspot.co

m)

Page 29: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 25-29

26

Terdapat hal pokok yang dapat

merepresentasikan perbedaan antara peradaban

Barat dan Timur. Peradaban Barat sifatnya

cenderung lebih eksoteris (bersifat umum, lebih

terbuka dan publik), memandang segala sesuatu

harus terjelaskan (secara nalar yang

mengakibatkan cara pandang yang empiris

(berdasar pengalaman), rasionalis (akal sehat),

dan naturalis (satu matra, kasat mata).

Berbeda halnya dengan orang Timur, peradaban

Timur sifatnya lebih esoteris (bersifat pribadi

dan tertutup), memandang segala sesuatu

tanpa perlu terjelaskan, yang lebih penting

adalah maknanya. Hal tersebut mengakibatkan

cara berpikir yang intuitif dan cenderung

emosional. Perbedaan budaya ini juga

teraplikasikan dalam karya arsitektur yang

dihasilkan.

Dalam arsitektur, para ahli membedakan cara

pandang antara arsitektur barat dan arsitektur

timur dalam beberapa pemahaman antara lain:

Arsitektur Barat bersifat sangat 'material'

sementara arsitektur di Timur sangat

'spritual'

Arsitektur Barat cenderung lebih

mementingkan “objek” dan tata cara

membangun, sementara di Timur, desain

lebih memandang proses dan nilai-nilai.

yang dikaitkan dengan hubungan yang

lebih luas. (sosial dan spritual)

Arsitektur Barat 'mengatasi' alam,

sementara arsitektur Timur, menekankan

pada 'keharmonisan' antara: manusia dan

masyarakat, manusia dan alam

(lingkungannya) dan manusia dengan

Tuhan.

Di dunia Barat, keberadaan sebuah karya

arsitektur haruslah kokoh, fungsional, dan indah

(trilogi Vitruvius). Tolok ukur ini

keseluruhannya terjelaskan dalam sudut

pandang manusia. Sedangkan di dunia Timur,

karya-karya arsitektur lebih merupakan

penghayatan terhadap keyakinan alam serta

dunia alam lain yang lebih besar. Hal tersebut

menyebabkan, wujud karya arsitektur di Timur

tidak hanya sekadar kuat, berfungsi, dan indah,

tetapi juga menambahkannya dengan simbol-

simbol yang berisi pengajaran akan alam yang

lebih besar (makro kosmos).

Arsitektur Timur selalu menyertakan

pembahasan akan isi dan makna yang diwakili..

Membahas taman di Jepang misalnya, bukan

sekadar mengulas taman yang indah,

pengalaman ruang yang menarik (bagi

manusia), ataupun cara menanam pohon atau

memasang batu, tetapi juga selalu menyertakan

tentang keheningan yang terwujud, sakral, dan

Divine Presence (kehadiran substansi

Ketuhanan). Candi-candi di India lebih dikenali

dari simbol atau makna yang berusaha

disampaikan (seperti nirwana yang

dilambangkan dengan stupa, semesta yang

dilambangkan dengan bentuk mahameru)

ketimbang fungsi dan konstruksi. Di Cina,

paham Feng Shui, kaidah tata letak yang naik

daun pada akhir dekade 90an, memang bukan

melulu membahas arsitektur an sich, atau

hubungan arsitektur dengan manusia secara

fisikal, namun lebih menekankan kaitan

makrokosmos dengan tata letak (arsitektur),

yang kemudian dipercayai membawa

peruntungan tersendiri bagi manusia.

Japanese Garden

(sumber : http://home-and-

gardening.info)

Sri Chamundeswari Temple,

India

(sumber :

http://www.mapmytemple.com)

Di Indonesia, simbolisasi juga banyak dijumpai

dalam arsitektur tradisionalnya. Simbol-simbol

tersebut bahkan dtemukan pada bangunan-

bangunan vernakuler sekalipun, walaupun

sebenarnya simbol ini lebih banyak digunakan

untuk bangunan penting seperti pada bangunan

kerajaan ataupun peribadatan. Sama seperti

halnya candi-candi India, bangunan candi di

Indonesia lebih merupakan kata-kata yang

terwujud dalam bangunan, ketimbang konstruksi

bangunannya itu sendiri.

Page 30: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT N. VINKY RAHMAN

27

Pada relief di dinding sekeliling bangunan

candi Borobudur, banyak dijumpai relief-relief

yang meggambarkan sebuah cerita tertentu.

Bentuk penyajian cerita pun bukan berupa

gambar naturalis, tetapi acapkali satu gambar

menceritakan satu tempat dalam waktu yang

berbeda.

Misalnya salah satu relief pada Candi

Borobudur yang menggambarkan Buddha

sedang melakukan perlombaan memanah. Pada

relief yang lain, Sidharta Buddha digambarkan

tiga kali, yaitu ketika sedang menunggu, ketika

mengambil busur, dan ketika memanah. Tiga

kejadian dalam satu gambar! (Dr. Primadi

Tabrani "Memadukan Seni, llmu, dan

Teknologi sebagai Salah Satu Upaya

Membangun Budaya dalam Pembangunan

Nasional). Kedalaman penyajian ini pada

akhirnya memberikan perbedaan kedalaman

makna yang terungkap. Bila ingin lebih

didalami, kalimat (dari ornamen arsitektural)

bisa diartikan sebagai sebuah pengajaran tentang

diri manusia, yaitu dualisme potensi manusia

(lahir-batin, baik-buruk, pribadi-sosial, rasional-

intuitif) harus terwujuud dalam satu sosok jiwa-

raga yang utuh. Pengertian ini bisa terus

diperdalam sampai penghayatan manusia

tentang semesta dan kehidupan.

Hal yang ingin disampaikan pada deskripsi di

atas adalah bahwa makna-makna di balik suatu

bentuk yang diciptakan adalah hal yang sangat

penting disajikan pada arsitektur tradisional kita.

Karya arsitektur ini bukan hanya dibaca dengan

kode ganda (dual-coding): kode sang pencipta

dan kode sang pengamat, tetapi juga kode

berjenjang {multi-level coding): mengartikan

sebuah "bahasa" arsitektur sesuai dengan

kedalaman penghayatan akan makna yang

terkandung di dalamnya. Makna tersebut

sebenarnya bisa membawa arsitektur tradisional

kita dapat melepaskan diri dari kemonotonan

dan stagnasi. Bisa menjadi benar pendapat yang

mengatakan, bahwa penerapan kaidah arsitektur

tradisional kita kondisinya lepas dari makna

yang dikandung, seperti contoh di awal tulisan

ini, justru akan membawa arsitektur tradisional

kearah kemandegan / tidak berkembang.

KEBUTUHAN ERA BERWUJUD

MODERNISASI

Di era sekarang, kaidah modern telah menjadi

keharusan untuk melangkah lebih maju dan

berkembang. Lewat cara berpikir modern,

manusia mulai memanfaatkan potensi terbesar

yang dimilikinya yaitu “akal”. Lewat

pengembangan rasio inilah manusia mulai

mengenali dan menganalisa alam, sekaligus

memanfaatkannya untuk kehidupan. Ilmu

pengetahuan dan teknologi pun berkembang.

Pada awalnya, modernisme memang lahir di

Barat, tetapi lewat kolonisasi, perkembangan

informasi, dan hubungan-hubungan lain,

modernisme menyebar ke seluruh dunia,

merambah ke wilayah dan cara berpikir

masyarakat Timur.

Modernisasi di dunia Timur bermula dari

kolonisasi bangsa Barat, yang kemudian

dilanjutkan dengan Perang Dunia I dan Perang

Dunia II yangb semakin mengukuhkan dominasi

bangsa Barat terhadap Timur. Bangsa Barat

yang modernlah yang memimpin dunia (sampai

saat ini), bangsa Timur hanya mengikuti.

Secara bertahap, bangsa Timur mulai

mengganggap modernisme, meski banyak

dipengaruhi oleh nilai-nilai Barat, banyak

menjanjikan hal-hal yang lebih baik. Pada

beberapa bangsa Timur, tradisi tidak bisa

berkembang karena harus menghadapi

penjajahan. Tradisi yang lebih intuitif, sering

mistis, semakin kurang bisa menjawab

permasalahan yang ada. Modernisme

menjanjikan kejelasan, dan teruji bisa

memecahkan berbagai persoalan.

Di Indonesia pada awal abad ke-20, sempat

terjadi perdebatan antar budayawan (Sutan

Takdir Alisyahbana di satu kubu dan Sanusi

Pane di kubu lain) tentang arah perkembangan

bangsa Indonesia: ke Barat atau ke Timur. Tak

bisa dikatakan siapa yang menang ataupun

kalah, tetapi jaman membawa bangsa kita

menghadapkan wajah ke dunia barat. Setelah

masa ini, arsitektur yang muncul pun arsitektur

Relief Panil No. 46-49 seri Lalitavistara

Candi Borobudur, Jawa Tengah

(sumber : http://politikana.com)

Page 31: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 25-29

28

modern, karena ilmu, teknologi dan pendidikan

yang menghasilkannya pun juga modern.

Sampai awal tahun 1970-an, Indonesia

ditumbuhi arsitektur modern. Kesadaran akan

pentingnya semangat lokal akhirnya muncul

juga. Penerapan secara naif (politis) sempat

terjadi. Namun sampai saat ini, kesadaran

tentang jiwa lokal / arsitektur tradisional hanya

sekadar menjiwai bagian-bagian tertentu dari

wujud arsitektur. Desain yang ada masih

didominasi oleh kaidah-kaidah modern. Bisa

dikatakan Arsitektur tradisional tidaklah muncul

secara utuh pada masa sekarang kini.

ARSITEKTUR INDONESIA MASA KINI

DAN MASA DEPAN

Digugatnya modernisme, termasuk arsitektur

modern, dapat menjadi periode istirahat untuk

arsitektur Indonesia untuk dapat merenungkan

ke manakah arah arsitektur kita. Akan tetap kah

dalam kerangka arsitektur Barat, agar selalu

berkomunikasi dengan arsitektur dunia (yang

tetap didominasi oleh arsitektur Barat), atau

akankah selalu turut dalam trend arsitektur

Barat: seperti postmodern, dekonstruksi, dsb?.

Akankah nilai-nilai tradisional sebagai warisan

sejarah arsitektur Indonesia hanya mampu

"ditempelkan" atau "menjiwai hanya sebagian"

dari wujud arsitektur yang tetap dalam

kerangka pemikiran modern? Atau memilih

idealnya, mempertahankan yang baik yang

pernah dilakukan, baik dari Barat maupun dari

tradisi, serta mengambil yang lebih baik dari

keduanya?

Los Angeles, Disney Hall,

1998-2003. Frank Gehry

(postmodern architecture)

(sumber :

http://jan.ucc.nau.edu)

The Seattle Public Library,

Rem Koolhaas

(Deconstructivist

architecture)

(sumber :

http://plusmood.com)

Apabila kita dapat belajar dari peradaban Barat

yang berhasil melahirkan modernisme sehingga

membuatnya kini mendominasi dunia.

Keberhasilan itu bisa dijelaskan karena adanya

cara berpikir yang konseptual oleh Barat,

ketimbang cara berpikir kategorikal yang

dimiliki orang Timur. Dengan berpikir lebih

konseptual, kaum modernis menerobos

berbagai disiplin ilmu yang baru, lebih fleksibel

terhadap perubahan, karena mereka telah paham

akan esensi dari apa yang mereka kuasai.

Dengan berpikir demikian, kaum modern telah

berhasil mematahkan mitos terhadap sejarah,

sehingga sejarah dan tradisi bukan lagi sesuatu

yang bersifat kaku yang dapat membatasi

potensi kita untuk berkembang. Selanjutnya,

apakah penyaduran cara berpikir konseptual ini

dapat diterapkan untuk melihat warisan

arsitektur tradisional kita?

Dalam arsitektur, cara berpikir konseptual bisa

dimulai dengan melakukan demitosisasi

terhadap warisan tradisional kita. Bentuk-

bentuk yang sudah ada pada arsitektur

tradisional kita dapat dibuat bukan lagi menjadi

sebuah mitos, atau sebuah keharusan. Arsitektur

Minang tidaklah harus berbentuk Gonjong,

Arsitektur Jawa saat ini tak perlu berwujud

Joglo. Masyarakat Jawa pernah menghasilkan

wujud yang lain seperti Borobudur dan

Prambanan pada masa yang lalu. Oleh karena

itu, dapat saja terwujud pada masa sekarang ini

dan tentu di masa yang akan datang, dijumpai

arsitektur Jawa yang berbeda dari Borobudur

ataupun Jogio?

Mungkin kita dapat belajar dari arsitektur Islam,

khususnya arsitektur bangunan mesjid, yang

selalu muncul berbeda bentuk pada daerah yang

berbeda, tergantung kondisi yang ada. Bentuk

desain sebuah masjid tak harus beratap kubah,

tetapi juga bisa juga berupa ruang terbuka

(Mekkah), atau beratap Tajug seperti di Jawa,

atau dibangun berupa tumpukan tanah liat

seperti kondisinya di Afrika Tengah, ataupun

bentuk-bentuk lain tergantung daerahnya.

Meskipun bentuk yaog berbeda, kosa kata dan

makna ajaran Islam selalu hadir di setiap bentuk

arsitektur yang terwujud. Arsitektur tradisional

kita juga bisa hadir dalam bentuk yang berbeda

dalam kurun waktu yang berbeda pula. Bila

hanya terpaku pada bentuk tertentu saja, kita

akan segera dengan cepat mengucapkan

seiamat tinggal kepada warisan arsitektur

tradisional kita.

Page 32: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT N. VINKY RAHMAN

29

Beberapa Ilustrasi Arsitektur Mesjid yang

beragam bentuk di Dunia.

Mesjid Sunan

Ampel Surabaya,

(sumber :

http://blog-apa-

aja.blogspot.com)

Mesjid Agung

Djenne, Mali

(sumber :

http://unusual-

architecture.co

m)

Niujie Mosque

in Beijing,

China

(sumber :

http://jlw-

mesjid.blogspot.

com)

Munculnya postmodernisme dalam arsitektur

sebenarnya akan dan dapat memberi peluang

untuk melihat dan menciptakan karya arsitektur

yang tdak selalu memandang sisi fungsional,

kekuatan struktur, dan estetika saja.

Perkembangan arsitektur sebagai “bahasa” akan

memungkinkan penelusuran dan penelitian yang

lebih kreatif terhadap warisan arsitektur

tradisional kita. Kita pernah punya arsitektur

yang sangat kaya akan “bahasa”, karya

arsitektur yang berisi berbagai makna dan

pengajaran. Untuk sekarang dan masa yang akan

datang, bukan tidak memungkinkan hal tersebut

dapat pula terwujudkan.

PENUTUP

Arsitektur memang bukan sekadar memilih

antara Barat atau Timur, atau menggunakan

cara Barat di satu sisi dan Timur di sisi lainnya.

Manusia hidup selalu memiliki misi, maka

manusia berarsitektur pun hendaknya punya

misi. Sebagai kesimpulan dari uraian di atas,

misi arsitektur, sekaligus misi manusia adalah:

menghadirkan akan substansi Ketuhanan

memiliki etos pengorbanan untuk membantu

sesama

mendukung terciptanya sistem yang positif,

serta

mengandung nilai-nilai untuk pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Gelemter, Mark; (1995); Sources off

Architectural Form : A Critical History of

Western Design Theory, Mancester

University Press, U. K

Hanno-Walter Kruft; (1994); A History of

Architectural Theory : From Vitruvius to

The Present, Princenton Architectural.

Lang, Jon; (1987); Creating Architectural

Theory : The Role of The Behavioral

Sciences in Environmental Design; van

Nostrand Reinhold Co., NY

Meiss, Pierce von; (1991); Elements of

Architecture : from Form to Place;

Chapman & Hall, Switzerland.

Schirmbeck, Egon; (1983), Idea, Form, and

Architecture: Design Principles in

Contemporary Architecture; van

Nostrand Reinhold Co., NY

Page 33: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 30-34

30

AMALIUN FOODCOURT

Ramadhoni Dwi Payana

Principal Simon+Dhoni Studio

PENDAHULUAN

Produk kuliner sudah lama menjadi ciri khas di

kota Medan, tempat-tempat pusat jajanan

semakin banyak menyebar. Dari yang sifat

tradisional (seperti warkop, warteg,dsb) sampai

yang Modern (seperti foodcourt dan mall).

Gejala ini semakin besar sehingga menarik

minat banyak investor untuk ber-investasi

disektor ini.

Amaliun foodcourt muncul juga karena melihat

potensi ekonomis disekitar wilayah tersebut.

Walau didaerah Amaliun (Kota Matsum) itu

banyak terdapat pedagang makanan tradisional

seperti warkop TST(Teh Susu Telur) di jalan

Puri yang sudah sangat terkenal. Namun hal ini

malah jadi sebuah peluang besar. Hal ini

membuktikan ada pasar yang besar, yang

memungkinkan untuk dibuat sebuah pusat

jajanan makanan yang didesain dengan lebih

modern dengan fasilitas yang lebih baik.

Adalah sebuah tantangan besar ketika proyek ini

diberikan. Karena lokasi yang terletak di

kawasan bersejarah Kota Medan. Lokasi 400m

dari Mesjid Raya dan Taman Sri Deli. Hal ini

tentu jadi pertimbangan besar dalam melakukan

pendekatan desain.

Permintaan dari pemilik sendiri sangat jelas.

Mereka ingin membuat pusat jajanan sekaligus

convention hall untuk masyarakat menengah ke

bawah yang dapat digunakan untuk acara

resepsi pernikahan, arisan dan seminar. Karena

seringnya masyarakat kota Matsum menutup

jalan untuk mengadakan hajatan dan dinilai

sangat mengganggu kepentingan umum dapat

menjadi peluang yang dicoba untuk diakomodir.

KONDISI SITE

Site proyek ini berada di sudut jalan dan kapling

terbagi dua bagian, bagian depan dan belakang.

Dibagian depan dahulunya ada rumah pemilik

yang sudah dihancurkan dan dibagian belakang

masih ada rumah yang kondisinya masih cukup

baik. Bagian depan dijadikan foodcourt dan

convention. Dan bagian belakang bangunannya

tetap dipertahankan untuk dijadikan ruang

meeting kecil.

Site tersebut berbatasan langsung dengan jalan

pada 3 sisinya dan sisi satu lagi berbatasan

dengan Hotel Madani. Secara ekonomi posisi ini

sangat baik dari kemudahan akses dan

memudahkan pemisahan akses publik dan

service. Kalau dilihat lebih luas lokasi yang

berada dekat dengan Mall Yuki Simpang Raya,

Mesjid Raya, Hotel Madani dan beberapa hotel

lainnya. Akan menjadi pusat berkumpul yang

baru dan berbeda. Yang dapat mengakomodir

kebutuhan para pengunjung pusat perbelanjaan,

hotel dan wisatawan yang ingin makan atau

minum dengan harga yang lebih murah. Pada

saat-saat tertentu bangunan ini.

Page 34: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

AMALIUN FOODCOURT RAMADHONI DWI PAYANA

31

KONSEP MASSA

Bentuk bangunan ini tidak terlalu istimewa

hanya berupa kotak (box), karena lebih

berorientasi pada efesiensi fungsi dan zoning.

Bentuk kotak (box) merupakan bentuk dasar

yang paling bisa dimanfaatkan dari semua

sisinya. Lalu bentuk kotak yang masif ini

diangkat seperti melayang sehingga ruang

dibawahnya menjadi ruang publik. Sedangkan

kotak (box) tadi yang lebih masih menjadi ruang

privat. Ruang publik yang terbuka itu dijadikan

foodcourt dan ruang privat dilantai 2 itu

dijadikan ruang convention hall dengan

kapasitas 500 orang.

Batasan peraturan tata bangunan mengharuskan

bangunan ini mempunyai GSB (Garis Sempadan

Bangunan) dari jalan Amaliun sejauh 7m dan

6m dari jalan sisi yang lain. Sedangkan jarak

antar bangunan diharuskan 1,5m. hal ini jelas

membuat bangunan ini semakin mengecil dan

diperlukan strategi lain agar luas ruangan

dilantai dua memungkinkan untuk menampung

lebih banyak orang. Oleh karena itu bentuk

kotak dibagian lantai dua dibesarkan di tiga sisi

menghadap jalan dan samping Hotel Madani

sebesar 1,4m.

Taman Sri

Deli

Mesjid Raya

Hotel Madani

Yuki

Simpang

Raya

Gambar 1. Kondisi Site Amaliun Foodcourt

Hotel Madani

Mesjid Raya

Taman Sri Deli

SITE

Yuki Simpang

Raya

Page 35: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 30-34

32

Pertimbangan lain dari bentuk kotak (box)

adalah kemudahan dalam konstruksi.

Dikarenakan proyek ini menuntut pengerjaan

yang cepat (mengingat saat itu sudah mendekati

bulan Ramadhan yang biasanya ada acara

Ramadhan Fair) maka pemilihan sistem struktur

dan finishing dengan menggunakan bahan-

bahan industrial yang mudah dikerjakan, tahan

lama/cuaca dan minim dalam hal perawatan.

Pemilihan penggunaan struktur baja dirasa

mungkin akan lebih mahal dari struktur beton.

Namun dari segi ekonomis hal ini bisa lebih

cepat dikerjakan dan bangunan cepat selesai

sehingga lebih cepat untuk memulai usaha dan

mencapai BEP (Break Event Point). Bahkan

pengecoran lantai dua yang menggunakan bahan

bondeck dan di ekspose dengan finishing cat

duco semata-mata untuk berhemat dan mengejar

waktu. Namun ini jadi keunikan sendiri

bagaimana kesan industrial ini dapat dikurangi

dengan memberikan pencahayaan lampu

sembunyi, sehingga pengunjung tidak merasa

seperti berada di sebuah gudang.

Pada area stand penjualan makanan, dinding

counter menggunakan bahan glassblock. Bahan

yang relatif murah mudah didapat dan kuat,

namun dapat memberikan efek dramatis ketika

diberi lampu dari balik meja. Menambah

kehangatan suasana.

Selain analisa terhadap efisiensi fungsi ruang,

perlu juga analisa untuk konteks terhadap

lingkungan sekitar. Hal yang sifatnya berupa

wujud fisik maupun nonfisik. Secara fisik

bangunan yang mempunyai karakter yang paling

kuat adalah Masjid Raya Al–Matsum. Kami

mencoba melihat proporsi dan bagaimana

Masjid Raya membagi ruang publik dan

privatnya. Ruang-ruang publik yang terbuka dan

tanpa batas terpisah oleh ketinggian lantai

dengan ruang privat sebagai ruang sholat.

Proporsi ini coba diambil ketinggian antara

ruang luar dan ruang dalam Masjid. Kami

merasa terkesan sekali dengan kondisi dan

pembagian zoning yang dilakukan oleh Masjid

Raya.

Di sisi lain sesuatu yang tidak terlihat itu adalah

arah kiblat, suasana religius dan atmosfir

kawasan melayu yang kental. Arah kiblat adalah

sebuah superimposisi terhadap bentuk rigid

arsitektur kota. Kiblat menjadikan bangunan

Masjid seperti melawan alur sitenya. Hal ini

juga jadi sumber ide buat kami untuk membuat

superimposisi di bagian kotak yang masif tadi.

Seperti ada dua kotak yang menumpuk dan

kotak satu dimiringkan posisinya searah kiblat.

Sehingga terbentuk kotak yang lebih dinamis.

Bentuk kotak yang mengarah ke kiblat diberi

ornamen lengkungan seperti koridor Masjid

Raya. Dan lengkungan ini juga di adopsi oleh

Yuki Simpang Raya. Hal ini menandakan

lengkungan ini sudah menjadi sebuah bentuk

pengikat antar bangunan sekaligus memberi

tanda bahwa bagian kotak yang dimiringkan itu

berorientasi ke arah kiblat Masjid raya. Selain

kiblat

Page 36: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

AMALIUN FOODCOURT RAMADHONI DWI PAYANA

33

itu suasana religius yang kental dengan simbol-

simbol islam menjadi inspirasi untuk membuat

bangunan ini dominan berwarna hijau. Warna

hijau ini sekaligus membuat bangunan ini lebih

menonjol dari bangunan sekitarnya. Ini

merupakan salah satu efek yang diharapkan agar

bangunan ini mudah dikenali.

Selain dua hal diatas hal ketiga yang perlu

diperhatikan adalah kawasan ini merupakan

kawasan bersejarah kerajaan Kesultanan Deli.

Apalagi tidak jauh dari lokasi dahulunya

terdapat salah satu Istana Deli yang sudah

dihancurkan waktu terjadinya revolusi sosial.

Kami melihat hal yang paling sering atau

signifikan dari citra bangunan Melayu adalah

ornamen pada lisplank. Ornamen ini hampir ada

disetiap bangunan bercitra Melayu. Dari Istana

sampai rumah rakyat jelata. Namun bentuk ini

perlu ditransformasikan dalam citra yang lebih

modern agar dapat melebur dengan bangunan.

Kami mencoba mengambil bentuk yang paling

sederhana dari ornamen tersebut yaitu bentuk

segitiga. Bentuk segitiga ini dibuat secara tiga

dimensi menjadi kulit bangunan pada lantai dua

bagian kotak yang masif.

SIRKULASI

Kami berharap ruang publik di lantai satu yang

merupakan area makan dapat menyatu dengan

ruang luar kota. Sehingga seolah-olah area

makan tersebut seperti bagian dari ruang kota

dan sebaliknya. Kami meniadakan pagar dan

parkir kendaraan berdekatan dengan area

makan. Hal ini untuk membuat penajaln kaki

dari berbagai sisi bangunan dapat melewati atau

mengunjungi area makan dengan leluasa. Ini

seperti pedestrian besar yang kami harapkan

bisa berkesinambungan dengan lingkungan

sekitar nantinya. Lalu bagaimana dengan

parkir??

Kebetulan pemilik masih memiliki areal kosong

tepat disamping jalan dan areal itu dijadikan

parkir sepeda motor dan mobil. Kantung parkir

seperti ini sangat diperlukan untuk menampung

pengunjung yang sering membludak pada

waktu-waktu tertentu atau sedang ada kegiatan

di-convention hall. Jalan disisi samping

bangunan relatif sepi sehingga pengunjung

dapat dengan mudah untuk menyeberang ke

area foodcourt.

Bagian samping bangunan yang berbatasan

langsung dengan Hotel Madani menjadi jalur

sirkulasi servis, menuju stan penjualan

makanan. Memasukan barang/bahan makanan

serta piring kotor dan bersih semua dilakukan

dari jalur ini. Lift makanan juga disiapkan untuk

mengangkut makanan ke lantai dua kalau ada

acara. Jalur service ini tidak terlihat oleh

pengunjung sehingga suasana di area makan

tetap terjaga.

Selain itu sirkulasi bagi pengunjung lantai dua

dan foodcourt perlu dipisahkan secara jelas.

Yaitu dengan menempatkan tangga di bagian

belakang bangunan dan disediakan lobby khusus

untuk menyambut tamu.

Site

Area Parkir

Page 37: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 30-34

34

PEMANFAATAN CAHAYA MATAHARI

DAN SIRKULASI UDARA ALAMI

Saat ini isu tentang penghematan energi sudah

menjadi isu global dan arsitek sebagai agen

perubahan dunia diharapkan memulai untuk

memanfaatkan energi alami sebesar mungkin

untuk mengurangi efek pemanasan bumi.

Karena itulah beberapa isu tentang penghematan

energi coba kami terapkan disini.

Pemanfaatan cahaya alami sangat diperlukan di

ruang convention hall karena dengan adanya

cahaya alami ini apabila acara dilakukan pada

waktu pagi atau siang hari ruangan ini sudah

cukup terang. Sehingga hanya perlu

menghidupkan lampu sebagian kecil saja.

Cahaya alami ini di dapat dari lubang cahaya di

celah atap. Dengan adanya sumber cahaya ini

ruangan menjadi lebih terang namun tidak silau

karena cahaya yang masuk merupakan pantulan

dari dinding, bukan cahaya langsung. Selain dari

lubang di celah atap, sumber cahaya juga

didapat dari dinding-dinding yang terdapat

ornamen segitiga yang mempunyai dua fungsi.

Selain memberikan cahaya alami ke dalam

ruangan sekaligus memasukan angin. Namun

pada saat penggunaan semua lubang angin

tersebut ditutup dengan acrilic sehingga cahaya

tetap masuk namun angin tidak dapat leluasa

lagi. Hal ini dirasa perlu karena suara bising dari

jalanan dapat direduksi sekecil mungkin dan

diperlukannya pengkondisian udara di ruangan

convention hall tersebut.

Bentuk-bentuk segitiga yang terdapat di dinding

lantai dua mempunyai fungsi tambahan di

eksterior yaitu lubang menyembunyikan lampu.

Segitiga yang muncul keluar di dalamnya

terdapat lampu hemat energi yang pada malam

hari akan menyala. Sedangkan segitiga yang

menghadap kedalam akan memberikan efek

yang sama apabila ruang dilantai dua digunakan

sehingga pengunjung dapat tahu kalau ada

kegiatan dilantai dua dengan melihat lampu

yang muncul dari segitiga yang menghadap

kedalam. Kami berharap bangunan ini dapat

menjadi urban lantern dikawasan tersebut

karena foodcourt ini buka sampai dini hari dan

dapat memberikan ruang positif.

PENUTUP

Sebuah proyek berskala besar atau kecil tetap

saja akan memberikan kontribusi terhadap ruang

kota dan iklim mikro. Kota Medan

membutuhkan rule model untuk banyak hal

bagaimana sebuah desain berkesinambungan

terhadap geniusloci kota, sehingga kota

berkembang ke arah yang lebih baik. Desain

Amaliun Foodcourt hanyalah sebuah titik kecil

dari kawasan ini. yang diharapkan dapat

memberikan tawaran alternatif pendekatan

terhadap kota dan argumentasi untuk

meyakinkan pemilik untuk mau memberikan

sebagian areal tanahnya untuk kota. Dan hal ini

terbukti mampu meningkatkan pendapatan

usaha tersebut. “Good design is good business”

kata seorang arsitek terkenal.

Page 38: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

THOMAS ANDRIAN

35

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN

(KPUM) TRAYEK 64

Thomas Andrian, Abdul Majid Ismail, Basaria Talarosha

Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota

Abstract. A city with all its activities needs transportation in order to support it society movement, whether in city or

near the boarder of city region. Due to the condition, the public transportation should have good performance and

service, therefore accessibility and mobility problems can be handled or minimized. The purpose of this evaluation

of public transportation performance is to find out any factors, which influenced the performance of public

transportation.

This research started with a review toward the most existence transportation route with many lines and served two

main terminals in Medan city, such as Amplas Terminal and Pinang Baris Terminal Amplas Terminal is entrance

for the commuters come from Deli Serdang areas, and Pinang Baris Terminal is entrance for the commuters come

from Deli Serdang and Binjai areas.

This research only performance of public transportation from Amplas Terminal routes towards Pinang Baris

Terminal and not described of all public transportation routes in Medan. The data collection performed by direct

survey to the location and interview with the passengers.

There are recommendation and rules in performance or service of public transportation construction. The result of

literary study suggest that the most dominant factors in measuring performance of public transportation is time,

which consist of delaying time, routes time, waiting time, distance between stop corner, and the rate of mode

changes. In addition, based on the data collection in location show other finding such as there are unbalance in

preparing transportation device in every time section compared to the demand, it signed by a very low load factor

just about 38 % of Amplas Terminal toward Pinang Baris Terminal and 35 % for the vice versa in peak time in the

morning.

Keywords: The performance of public transportation, load factors, Medan

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota-kota di Indonesia telah berkembang

dengan pesat dalam pengertian intensitas

aktivitas sosio ekonomi dan luas wilayah

perkotaannya seiring dengan kemajuan ekonomi

yang telah terjadi, kecenderungan saat ini

memperlihatkan bahwa tahun-tahun yang akan

datang perkembangan serupa akan terus terjadi.

Untuk memberikan pelayanan transportasi yang

baik, angkutan umum harus mampu

memberikan kinerja yang maksimal Masalahan

mobilitas dan aksesibilitas kendaraan

penumpang umum seperti: sistem operasi, jarak

antar kendaraan yang tidak menentu (head way),

perlambatan, kemacetan, kurang tepatnya

pengaturan lokasi pemberhentian, terbatasnya

rute pelayanan yang mengakibatkan terlalu

jauhnya jarak berjalan kaki serta terbatasnya

jumlah armada angkutan, diusahakan agar dapat

segera diminimalisir atau dihilangkan sama

sekali.

Penelitian yang dilakukan oleh Suryono (2006),

diketahui bahwa telah terjadi perjalanan bersifat

komuter atau ulang alik dari wilayah Binjai dan

Page 39: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46

36

Deli Serdang ke Kota Medan sebanyak 240.595

orang per hari.

Saat ini para penglaju atau masyarakat yang

melakukan perjalanan komuter di wilayah

Mebidang (Medan-Binjai dan Deli Serdang)

masih menitikberatkan pada angkutan jenis

kecil/ MPU yaitu sebesar 70% (3.738

kendaraan) sisanya 30 % adalah jenis Mobil Bus

(1.652 kendaraan), walau pada kenyataannya

fisik bus dimaksud masih merupakan jenis

MPU, hanya susunan dan kapasitas tempat

duduk yang berbeda.

Tabel 1.1 Jumlah Armada Angkutan Komuter

di Pinggiran Kota Medan

Jenis Pelayanan Trayek Perusahaan Realisasi

Angkot BUS 48 14 1,580

MPU 61 6 2,514

Akdp BUS 21 8 72

MPU 41 12 633

Angdes MPU 56 14 591

Jumlah 227 54 5,390

Sumber : Suryono, 2006

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian yang telah dilakukan Suryono

(2006), diketahui bahwa Terminal Amplas

adalah merupakan pergerakan awal bagi para

penglaju dari arah selatan kota Medan

(Kabupaten Deli Serdang) dengan jumlah

penumpang sebesar 47.611 orang per harinya,

yang selanjutnya akan didistribusikan ke

berbagai tujuan di wilayah Kota Medan dan

sekitarnya.

Salah satu jenis angkutan kota yang beroperasi

dari terminal Amplas menuju Terminal Pinang

Baris adalah KPUM nomor trayek 64, dengan

jumlah armada sebanyak 160 unit kendaran

dengan lintasan trayek sebagai berikut:

Keluar:

Terminal Terpadu Amplas,Jl. Denai, Jl.SM.

Raja, Jl. Warni, Jl.Brigjen Katamso, Jl. Pemuda,

Jl. A.Yani, Jl.Sutoyo, Jl. Imam Bonjol, Jl.Cut

Nyak Dien, Jl.P.Diponegoro, Jl. Zainul Arifin,

Jl.Gajah Mada, Jl. KH.W.Hasyim, Jl. G.Subroto,

Jl.P.Baris.

Masuk:

Terminal Terpadu P.Baris, Jl. P.Baris,

Jl.G.Subroto, Jl.KH.W.Hasyim, Jl.Gajah Mada,

Jl.Iskandar Muda, Jl.Hayam Wuruk,

Jl.Mataram, Jl.P.Nyak Makam, Jl.Patimura,

Jl.Monginsidi, Jl.Juanda, Jl.Karim MS,

Jl.H.Misbach, Jl. Slamet Riyadi,

Jl.KH.A.Dahlan, Jl.Imam Bonjol, Jl.

Juanda, Jl.Juanda Baru, Jl. SM.Raja, Jl. P.

Denai, Terminal Terpadu Amplas.

Untuk itu guna memberikan pelayanan yang

baik kepada penumpang, secara terinci perlu

diketahui unjuk kerja atau kinerja pada trayek

dimaksud mengingat KPUM trayek 64 adalah

sebagai salah satu angkutan yang paling

dominan dalam menyebarkan/ mendistribusikan

perjalanan, baik bagi para penglaju, maupun non

penglaju yang berawal dari Terminal Amplas

dan berakhir atau bertujuan ke Terminal Pinang

Baris atau diantara keduanya.

1.2.1 Rumusan Masalah

Penyelenggaraan angkutan umum bukanlah

masalah yang sederhana, hal ini dikarenakan

adanya kepentingan yang saling bertolak

belakang antara pengguna jasa angkutan dan

penyedia jasa angkutan. Untuk itu evaluasi

terhadap kinerja angkutan menjadi hal yang

penting guna mengeliminir konflik kepentingan

antara pengguna dan penyedia jasa angkutan.

1.2.2 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini kinerja angkutan umum

akan dibatasi hanya pada angkutan jenis mobil

penumpang umum (MPU) khususnya pada

trayek 64, variabel-variabel yang akan

dievaluasi adalah hanya pada variabel utama.

Untuk variabel khusus seperti kenyamanan,

keamanan tidak akan dibahas mengingat

penilaiannnya sangat subyektif untuk masing

masing individu.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini

ialah:

1. Mengetahui varibel apa saja yang dapat

digunakan untuk mengevaluasi kinerja

angkutan umum.

Page 40: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

THOMAS ANDRIAN

37

2. Dari varibel yang didapat akan digunakan

untuk menilai unjuk kerja angkutan umum

jenis mobil penumpang (MPU) pada KPUM

trayek 64.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu bagian dari

proses penilaian kinerja angkutan umum

sehingga diharapkan kondisi pelayanan

angkutan umum yang sekarang dapat diperbaiki

dan ditingkatkan pelayanannya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Konsep Pergerakan

Tamin, (1997) menyatakan dalam sistem

transportasi terdapat konsep dasar pergerakan

dalam daerah perkotaan yang merupakan prinsip

dasar dan titik tolak kajian di bidang

transportasi. Konsep tersebut terbagi dalam dua

bagian yaitu : (i) ciri pergerakan tidak spasial

(tanpa batas ruang) di dalam kota, misalnya

yang menyangkut pertanyaan mengapa orang

melakukan perjalanan, kapan orang melakukan

perjalan, dan jenis angkutan apa yang

digunakan, (ii) ciri pergerakan (dengan batas

ruang) di dalam kota, termasuk pola tata lahan,

pola perjalan orang dan pola perjalan barang.

2.2.1 Pergerakan Tidak Spasial

Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri

pergerakan yang berkaitan dengan aspek tidak

spasial, seperti sebab terjadinya pergerakan,

waktu terjadinya pergerakan dan jenis moda

yang digunakan.

2.2.2 Pergerakan Spasial

Konsep paling mendasar yang menjelaskan

terjadinya pergerakan atau perjalanan selalu

dikaitkan dengan pola hubungan antar distribusi

spasial perjalanan dengan distribusi tata guna

lahan yang terdapat pada suatu wilayah. Dalam

hal ini konsep dasarnya adalah bahwa suatu

perjalanan dilakukan untuk kegiatan tertentu di

lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut

ditentukan oleh pola tata guna lahan kota

tersebut, oleh karenanya faktor tata guna lahan

sangat berperan. Ciri perjalanan spasial, yaitu

pola perjalanan orang dan pola perjalanan

barang.

2.3 Bangkitan Perjalanan

Hobbs, (1995) menyatakan perjalanan dengan

aneka angkutan dan atau aneka maksud

perjalanan disederhanakan menjadi perjalanan

yang ditandai dengan satu jenis angkutan dan

satu maksud dengan mengabaikan tahap-tahap

antara pemberhentian untuk maksud sekunder.

2.4 Perjalanan dan Bepergian

Menurut Abler et.al (1972) dalam Suwarjoko

(1990), kalau kita berbicara masalah bepergian,

tekanan utama adalah pada hubungan antara

tempat asal dan dan tujuan, sedangkan bila kita

bicara masalah perjalanan kita memperhatikan

lintasan, alat angkut (kendaraan), kecepatan dan

semua yang terjadi atau kita lihat sepanjang

lintasan

Sedangkan perjalanan dilakukan dengan tujuan

menikmati kegiatan perjalanan itu sendiri atau

karena ada maksud tertentu, unsur kegiatan jasa

angkutan selain tentu saja ada unsur bepergian

didalamnya.

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Pilihan

Moda

Bruton (1975), mengemukakan pemilihan moda

angkutan di daerah perkotaan bukanlah proses

acak, melainkan dipengaruhi oleh faktor

kecepatan, jarak perjalanan, kenyamanan,

kesenangan, biaya, keandalan, ketersediaan

moda, ukuran kota, serta usia, komposisi dan

status sosial ekonomi pelaku perjalanan. Semua

faktor ini dapat berdiri sendiri atau saling

bergabung. Beberapa faktor yang tidak dapat

dikuantifikasikan cenderung diabaikan dalam

analisis pemilihan moda, dengan pengertian

pengaruhnya kecil atau dapat diwakili oleh

beberapa peubah lain yang yang dapat

dikuantifikasikan, seperti kenyamanan,

keamanan, kepuasan.

Page 41: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46

38

2.5.1 Kinerja Sistem Perangkutan Bruton (1970), mengemukakan derajat layanan/

kinerja yang ditawarkan oleh berbagai moda

angkutan adalah faktor yang patut

diperhitungkan pengaruhnya pada pencaran atau

pilihan moda angkutan. Dilain pihak, waktu

perjalanan dan banyaknya uang yang

dibelanjakan untuk angkutan umum maupun

pribadi juga berpengaruh pada pilihan moda

angkutan.

2.5.1.1 Waktu Nisbi Perjalanan

Waktu nisbi perjalanan dapat diterangkan

sebagai nisbah waktu perjalanan dari pintu ke

pintu antara angkutan umum dengan angkutan

pribadi. Alternatif ukuran lain menurut Bruton,

adalah selisih mutlak waktu perjalanan antara

kendaraan umum dan kendaraan pribadi.

2.5.1.2 Biaya Nisbi Perjalanan

Biaya nisbi perjalanan adalah perbandingan

antara biaya perjalanan dengan kendaraan umum

dan kendaraan pribadi

2.5.1.3 Derajat Nisbi Layanan

Ukuran yang dikembangkan oleh National

Capital Transportation Agency sangat khas dan

ditentukan oleh faktor yang disebut tambahan

waktu perjalanan, yaitu waktu yang digunakan

diluar kendaraan (umum maupun pribadi)

selama perjalanan tertentu misalnya waktu

berjalan, waktu menunggu, hambatan memarkir.

2.6 Standar Kinerja Angkutan Umum

Perencanaan perangkutan didefinisikan sebagai

proses yang tujuannya mengembangkan sistem

angkutan yang memungkinkan manusia dan

barang bergerak atau berpindah tempat dengan

aman dan murah. Selain itu masih ada unsur

cepat, jadi aman dan murah perangkutan juga

harus cepat. Bahkan untuk memindahkan

manusia, selain cepat, aman dan murah sistem

perangkutan harus pula nyaman (Pignataro,

1973 dalam Warpani 1990).

2.6.1 Parameter Kinerja Angkutan Umum

Sesuai Rekomendasi World Bank

Parameter angkutan umum sebagaimana yang

direkomendasikan World Bank dari hasil studi

pada negara-negara berkembang adalah sebagai

berikut:

a. Minimum Frekuensi,

Rata-rata 3 - 6 kendaraan/jam, minimum

1,5 - 2 kendaraan/jam.

b. Waktu Tunggu

Rata-rata 5 - 10 menit, maksimum 10 - 20

menit.

c. Jarak Mencapai Pemberhentian

Di pusat Kota 300 - 500 m, di pinggir Kota

500 - 1000 m

d. Tingkat Perpindahan

Rata-rata 0 – 1 kali , Maksimum 2 kali.

e. Waktu Perjalanan

Rata-rata 1 - 1,5 jam, Maksimum 2 jam.

f. Kecepatan Kendaraan

1) Daerah padat 10-12 Km/Jam

2) Daerah tidak padat 25 Km/jam

3) Dengan bus line/way 15-18 Km/jam

4) Biaya perjalanan 10-25 % dari

perkapita.

Konsep Tingkat Pelayanan AngkutanUmum

(Transportation Research Board, USA)

a. Waktu dan Jarak Berjalan Kaki

Tingkat

Pelayanan

Waktu

Berjalan Kaki

(menit)

Jarak Berjalan

Kaki(meter)

A < 2 0 -100

B 2-4 101-200

C 4-7,5 201-400

D 7,5-12 401-600

E 12-20 601-1000

F >20 >1000

Page 42: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

THOMAS ANDRIAN

39

b. Perpindahan dan Waktu Menunggu

Tingkat

Pelayanan

Jumlah

Perpindahan

Angkutan

Umum

Waktu

Menunggu(menit)

A 0 -

B 1 <5

C 1 5-10

D 1 >10

E 2

F >2

c. Waktu Menunggu

Tingkat

Pelayanan

Waktu Menunggu (menit)

>8 9-12 13-20 >21

A 85-

100%

90-

100%

95-

100%

89-

100%

B 75-84 80-89 90-94 95-98

C 66-74 70-79 80-89 90-94

D 55-65 60-69 65-79 75-89

E 50-54 50-59 50-64 50-74

F <50 <50 <50 <50

d. Headway dan Kepadatan Penduduk

Tingkat

Pelayanan

Kepadatan Penduduk/km2

>4000 3000-4000

Headway

(menit)

Headway (menit)

Sibuk Tak

Sibuk

Sibuk Tak

Sibuk

A <2 <5 4 <9

B 2-4 15-19 5-9 10-14

C 5-9 10-14 10-14 15-19

D 10-14 15-20 15-19 20-29

E 15-20 21-30 20-30 30-60

F >20 >30 >30 >60

Tingkat

Pelayanan

Kepadatan Penduduk/km2

2000-3000 750-2000

Headway (menit) Headway (menit)

Sibuk Tak

Sibuk

Sibuk Tak

Sibuk

A <9 <14 <9 <14

B 10-15 15-19 10-14 15-29

C 15-24 20-30 15-24 30-44

D 25-39 31-45 25-39 45-59

E 40-60 46-40 40-60 60-19

F >60 >60 >60 >90

e. Kepadatan penumpang

Tingkat

Pelayanan

Kepadatan Penumpang

A Tempat duduk terpisah dengan

sandaran yang tinggi

B Tempat duduk sejajar membujur per

penumpang minimum 0,46 m2/pnp

C Tempat duduk sejajar melintang per

penumpang minimum 0,46 m2/pnp

D Tempat duduk 0,28-0,46 m2/pnp

atau faktor muat 100-110 %

E Faktor muat 111-125%

F Faktor muat >125%

f. Indeks Waktu Perjalanan terhadap

Kendaraan Pribadi

Tingkat

Pelayanan

Indeks

Waktu

Perjalanan

Keterangan

A < 2 Indeks waktu

perjalanan= waktu

perjalanan

<td

width="121" v

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah angkutan

umum di Kota Medan, jenis mobil penumpang

umum KPUM dengan nomor trayek 64, yang

memiliki rute trayek terminal Amplas ke

terminal Pinang Baris pulang pergi

3.2 Kebutuhan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah

data yang relevan untuk dipergunakan dalam

analisis. Data yang dibutuhkan ini meliputi data

primer dan data sekunder.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang sesuai dengan

kebutuhan, maka dilakukan beberapa survai

yang meliputi:

a. Survai Dinamis (diatas kendaraan)

b. Survai Statis (diluar kendaraan)

Page 43: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46

40

c. Survai inventarisasi potensi pembangkit

pergerakan

3.4 Proses Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan dari hasil survai

lapangan disusun dan diolah dalam bentuk tabel,

grafik dan gambar. Pengolahan data dibagi

dalam beberapa bagian yang menggambarkan

kinerja pelayanan angkutan umum (KPUM) rute

64 yang meliputi hubungan antara trayek dan

tata guna lahan di sekitar jalan yang menjadi

rute layanan angkutan umum (KPUM) rute 64,

kecepatan rata-rata tiap ruas jalan yang dilalui,

rata-rata waktu tempuh tiap ruas jalan yang

dilalui, rata-rata jumlah penumpang naik dan

turun tiap ruas, segmentasi penumpang ,waktu

tundaan, jumlah perpindahan moda angkutan

sesudah maupun sebelum menggunakan

angkutan, jarak berjalan ke pemberhentian. Dari

data yang diperoleh akan dihitung beberapa

indikator yang ideal, baik dari sisi jumlah

angkutannnya, waktu lamanya perjalanan,

perjalanan pulang pergi, kebutuhan angkutan

optimal, arus penumpang pada jam sibuk.

3.5 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah jumlah

armada angkutan (KPUM) rute 64 sesuai ijin

yang terdapat pada Keputusan Walikota Medan

Nomor 551.21/339/K/2008 tentang

Perpanjangan Izin Trayek Angkutan Kota Jenis

Mobil Penumpang Umum yang berjumlah

sebanyak 160 unit kendaraan.

Sedangkan untuk menentukan jumlah sampel

wawancara kepada penumpang adalah dengan

menggunakan rumus:

n = N / (Nd2+ 1)

Dimana : N = Jumlah populasi

d = Derajat kecermatan

n = Jumlah sampel

Untuk penelitian ini nilai derajat kecermatan

diambil 5 % yang berarti bahwa derajat

kecermatan yang diinginkan menunjukkan

tingkat ketepatan dalam mencapai 95 % jaminan

ketepatan.

Jumlah populasi adalah jumlah penumpang yang

menggunakan angkutan selama 12 jam operasi,

adalah sebesar 28036 penumpang. Berdasarkan

rumus sebagaimana tersebut di atas maka jumlah

sampel yang diteliti adalah:

N= 28.036 / (28.036 X 0.052 +1) = 394

penumpang.

Dengan demikian besarnya sampel yang

diperoleh adalah sebanyak 394 penumpang,

tetapi untuk mempermudah pengambilan

sampel maka jumlah sampel dikurangi sehingga

diambil angka dengan jumlah sampel sebanyak

100.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rute Angkutan dan Tata Guna

Lahan

Pada angkutan KPUM rute 64 fungsi tata guna

lahan yang dilalui didominasi oleh pusat bisnis

(CBD), pendidikan, pemerintahan dan yang

penting adalah terminal sebagai awal dan akhir

dari suatu perjalanan dengan kepadatan sedang

dan tinggi, detail fungsi tata guna lahan dan

kepadatan yang dilalui oleh angkutan KPUM

rute 64 adalah sebagai berikut :

Page 44: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

THOMAS ANDRIAN

41

Gambar 4.1 Fungsi Tata Guna Lahan pada Kecamatan yang Dilalui

Oleh Angkutan KPUM Rute 64

KEC. MEDAN PETISAH

Perumahan, perkantoran, konservasi,

lapangan golf, hutan kota

KEC. MEDAN BARAT

Perumahan, perkantoran, konservasi,

lapangan golf, hutan kota

KEC MEDAN

SUNGGAL

Perumahan,

perkantoran,

konservasi,

lapangan

golf, hutan

kota

KEC. MEDAN

BARU

Pusat bisnis

(CBD), pusat

pemerintahan

, hutan kota,

pusat

pendidikan

KEC. MEDAN POLONIA

Pusat bisnis (CBD), pusat

pemerintahan,hutan kota, pusat

pendidikan

KEC. MEDAN AMPLAS

Perumahan, industri terbatas, terminal

barang/ pergudangan

KEC. MEDAN

KOTA

Pusat bisnis

(CBD), pusat

pemerintahan

, hutan kota,

pusat

pendidkan

KEC. MEDAN

MAIMUN

Pusat bisnis

(CBD), pusat

pemerintahan

, hutan kota,

pusat

pendidkan

4.2 Jenis Perjalanan

Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada

penumpang diketahui jenis perjalanan selama

12 jam ( 06.00 WIB s/d 18.00 WIB) operasi

Angkutan KPUM rute 64 adalah sebagaimana

terlihat pada gambar berikut.

18%

20%

49%

7% 6% Bekerja

Sosial

Pendidikan

Hiburan

Kebudayaan

Gambar 4.2 Prosentase Jenis Perjalanan

Pada KPUM Rute 64

Kinerja Angkutan Umum

4.3.1 Waktu Tempuh Tiap Ruas

Waktu Tempuh Rata-Rata

Arah Terminal Amplas - Terminal P. Baris

0

5

10

15

20

25

Term

inal T

erp

adu

Jl. S

isin

gam

angara

ja

Jl. P

em

uda -

Jl.

Jl.S

uto

yo -

Jl. I

mam

Jl. C

ut

Nyak D

ien -

Jl. Z

ain

ul A

rifin -

Jl.

Jl. K

H.W

. H

asyim

-

Jl. P

inang B

aris -

(Menit)

Peak Pagi

Of Peak

Peak Sore

Page 45: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46

42

Waktu tempuh Rata-Rata

Arah Terminal P. Baris-Terminal Amplas

05

1015202530

Term

inal

terp

adu P

inang.

Jl.G

ato

t S

ubro

to

- Jl. K

H.

W.

Jl. G

aja

h M

ada -

Jl. H

ayam

Jl. M

ata

ram

- J

l.

P N

yak M

akam

Jl. P

atim

ura

- J

l.

Mongin

sid

i

Jl. J

uanda -

Jl.

Sis

ingam

angara

Jl. P

angera

n

Denai -

Term

inal

(Menit) Peak Pagi

Of Peak

Peak Sore

Gambar : 4.3 Waktu Tempuh Rata-Rata per

Ruas Tiap Arah

4.3.2 Kecepatan Tiap Ruas

Kecepatan adalah faktor penentu dalam

penilaian kinerja angkutan umum, kecepatan

adalah fungsi dari jarak dibagi dengan waktu

tempuh, guna memberikan gambaran secara

lebih detil maka kecepatan dihitung

berdasarkan pada jarak tiap ruas pada jaringan

jalan yang dilalui, hal ini untuk mengetahui

tingkat tundaan yang terjadi setiap simpangnya.

Kecepatan Tiap Ruas

Arah Terminal Amplas-Terminal P. Baris

-10.020.030.040.050.060.0

Term

inal

Jl.

Jl. P

em

uda -

Jl.

Jl.S

uto

yo -

Jl.

Jl. C

ut

Nyak

Jl. Z

ain

ul A

rifin -

Jl. K

H.W

.

Jl. P

inang B

aris

(Km

/jam

) Peak Pagi

Of Peak

Peak Sore

Kecepatan Tiap Ruas

Arah Terminal P. Baris-Terminal Amplas

-5.0

10.015.020.025.030.035.040.045.050.0

Term

inal te

rpadu

Pin

ang.

Baris-

Jl.G

ato

t S

ubro

to -

Jl. K

H.

W.

Jl. G

aja

h M

ada -

Jl. H

ayam

Wuru

k

Jl. M

ata

ram

- J

l. P

Nyak M

akam

Jl. P

atim

ura

- J

l.

Mongin

sid

i

Jl. J

uanda -

Jl.

Sis

ingam

angara

ja

Jl. P

angera

n

Denai -

Term

inal

(Km

/jam

)

Peak Pagi

Of Peak

Peak Sore

Gambar : 4.4 Kecepatan Tiap Ruas Tiap Arah

4.3.3 Waktu Tundaan

Waktu tundaan adalah waktu yang

mengakibatkan perjalanan angkutan umum

tertunda sebagai akibat lalu lintas, naik turun

penumpang maupun tundaan yang diakibatkan

persimpangan sebagai akibat adanya lampu

merah/ traffic light. Secara terinci jumlah

waktu tundaan pada masing-masing simpang

pada tiap ruas jalan yang dilalui angkutan

KPUM rute 64 sebagaimana terlihat pada tabel

berikut.

Waktu Tundaan Tiap Ruas

Arah Terminal Amplas-Terminal P. Baris

01020304050607080

Jl.S

isin

gam

anga

Jl.S

isin

gam

anga

Jl.S

isin

gam

anga

Jl.Juanda-

Jl.B

rigje

n

Jl.S

uto

yo-

Jl.Z

ain

ul A

rifin-

Jl.G

ato

t

Jl.G

ato

t

( D

etik) Peak Pagi

Of Peak

Peak Sore

Waktu Tundaan Tiap Ruas

Arah Terminal P.Baris-Terminal Amplas

0102030405060708090

100

Jl.G

ato

t S

ubro

to-

Jl.G

ato

t S

ubro

to-

Jl.Z

ain

ul A

rifin-

Jl.N

yak M

akam

-

Jl.M

ongin

sid

i-

Jl.Juanda-

Jl.S

isin

gam

angar

Jl.S

isin

gam

angar

Jl.S

isin

gam

angar

(Detik) Peak Pagi

Of Peak

Peak Sore

Gambar : 4.5 Waktu Tempuh Tiap Ruas Tiap

Arah

4.3.4 Jarak ke pemberhentian

Dari 100 penumpang yang diwawancarai 38 %

menyatakan melakukan perjalanan sejauh 100

m untuk mencapai tujuan, 33 % menyatakan

melakukan perjalanan sejauh 50 m untuk

mencapai tujuan

Page 46: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

THOMAS ANDRIAN

43

38

33

11

15 3100 M

50 M

200 M

25 M

300 M

Gambar : 4.6 Jumlah Penumpang Menuju

Tempat Pemberhentian

4.4. Load Faktor

4.4.1 Load Faktor Statis

Dalam penelitian ini load factor atau faktor

muat statis ditujukan untuk menghitung

kedatangan kendaraan tiap selang waktu (head

way), sehingga diharapkan dapat diketahui

frekwensi kendaraan tiap periode waktunya,

baik pada waktu sibuk pagi dan sore maupun

pada waktu off peak. Faktor muat tiap periode

waktu angkutan KPUM rute 64 adalah sebagai

berikut.

Amplas-P.Baris

21%

21%

22%

Peak Pagi

Off peak

Peak Sore

Amplas-P.Baris

21%

21%

22%

Peak Pagi

Off peak

Peak Sore

Gambar: 4.7 Prosentase Penumpang Masing-

Masing Arah Tiap Periode Waktu

4.4.2 Load Faktor Dinamis

Pada load factor dinamis penghitungan

dilakukan secara dinamis, artinya pencatatan

dilakukan sepanjang awal perjalanan sampai

dengan ahkir perjalanan, pencatatan dilakukan

tiap ruas jalan yang dilalui oleh angkutan

KPUM rute 64 sehingga akan diketahui jumlah

permintaan per ruas jalan, dan dimana saja

banyak terdapat naik dan turun penumpang.

Prosentase jumlah penumpang pada tiga

rentang waktu masing masing arah adalah

sebagai berikut:

Amplas-P. Baris

38%

29%

33%

Peak Pagi

Off Peak

Peak Sore

P.Baris-Amplas

35%

29%

36%Peak Pagi

Off Peak

Peak Sore

Gambar : 4.8 Prosentase Penumpang Tiap

Periode Waktu

4.5 Kebutuhan Angkutan Umum

Kepadatan arus penumpang dalam satu hari

mengalami fluktuasi atau perubahan sesuai

dengan kesibukan dan kegiatan yang dilakukan

oleh pelaku perjalanan. Dari data yang

dihimpun melalui survai diatas kendaraan

(survai load factor dinamis) diperoleh data

pada masing masing rentang waktu peak pagi,

Page 47: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46

44

off peak dan peak sore, diketahui terjadi

permintaan penumpang yang terbesar adalah

pada peak pagi 10.269 orang diikuti peak sore

9.617 orang dan off peak 8.150 orang, untuk

itu perlu diatur untuk bagaimana caranya

melayani distribusi penumpang pada masing-

masing periode waktu dengan cara yang

efisien.

4.5.1 Arus Penumpang Pada Jam Sibuk

Dalam kerangka ruang atau waktu ternyata

jumlah total perjalanan pada sesi waktu peak

pagi ( 07.00 s/d 09.00 WIB) dan sore (16.00 s/d

18.00 WIB), selama rentang waktu masing-

masing 2 jam ( ternyata mampu

membangkitkan permintaan sebesar 37 %

(10.269 orang) untuk peak pagi dan 34 %

(9.617 orang) untuk peak sore sedangkan untuk

off peak (09.00 s/d 16.00 WIB) yang memakan

waktu selama 8 jam hanya menghasilkan 29 %

(8.150 orang).

Peak Pagi,

10269

Off Peak, 8150

Peak Sore,

9617

Gambar : 4.9 Total Jumlah Penumpang Tiap

Periode Waktu

4.5.2 Waktu Perjalanan Pulang Pergi

Waktu perjalanan pulang pergi adalah waktu

yang dibutuhkan dalam melakukan perjalanan

dari dari Terminal Amplas ke Terminal Pinang

Baris dan kembali lagi ke Terminal Amplas,

waktu yang dibutuhkan termasuk waktu

menurunkan dan menaikkan penumpang dan

deviasi waktu perjalanan untuk tiap arah yang

umumnya diasumsikan sebesar 5 % 1 ,

sedangkan waktu henti di terminal

diasumsikan sebesar 10 %2 , dari waktu antar

terminal

Tabel 4.1 Waktu Perjalanan Pulang Pergi Tiap

Periode Waktu

Waktu

(menit)

Peak Off peak

Pagi Sore

TAB 111 96 76

TBA 88 97 80

σ AB2 5.6 4.8 3.8

σ BA2 4.4 4.85 4

TTA 11.1 9.6 7.6

TTB 8.8 9.7 8

CT ABA 229 222 179

4.5.3 Kebutuhan Angkutan Optimal

Mengingat adanya fluktuasi arus penumpang

maupun angkutan umum dan lalu lintas, agar

penumpang, operator dan para pengguna jalan

lainnya tidak saling dirugikan maka perlu

ditempuh suatu cara untuk dapat mengatasinya,

terutama pada jam sibuk sehingga dapat

disediakan armada yang seimbang dengan

jumlah permintaannya sebagai berikut :

a. Jam Sibuk (peak pagi dan sore )

Setiap angkutan umum KPUM rute 64

dapat mengangkut penumpang dengan

load facktor maksimal 100 % (16 orang).

b. Jam Sepi (off peak)

Setiap angkutan umum KPUM

diupayakan agar dapat mengangkut

penumpang dengan load factor 60 % (10

orang).

4.5.4 Faktor Muat Ideal

Menurut Undang Undang Nomor: 14 Tahun

1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

faktor muat yang ideal adalah sebesar 70 %.

Oleh karenanya penambahan kendaraan pada

suatu rute baru dapat dilakukan apabila angka

faktor muat 70 % telah tercapai.

4.6. Waktu

4.6.1 Waktu Tunggu

Waktu tunggu penumpang pada pemberhentian

merupakan fungsi dari tingkat kedatangan

(headway) angkutan dalam satuan waktu

tertentu yang diturunkan dari frekwensi

perjalanan angkutan umum.

Page 48: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL

PENUMPANG UMUM (MPU)

STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)

TRAYEK 64

THOMAS ANDRIAN

45

Tabel 4.2 Waktu Tunggu Tiap Arah

Arah

Waktu Tunggu (Menit) Rata-

rata

(12

jam)

Peak

Pagi [ a

]

(2 jam)

Off

Peak [ b

]

(8 jam)

Peak

Sore [

c ]

(2jam)

Terminal

Amplas

-

Terminal

P.Baris

3.9 3.5 5.2 6.2

Terminal

P.baris -

Terminal

Amplas

4.4 4.3 4.6 7.2

Sehingga waktu perjalanan diekspresikan

sebagai

Tj = 2 Tw + Td + Tt

dimana :

Tj = Waktu perjalanan total penumpang

Tw =Waktu berjalan kaki ke pemberhentian

Td =Waktu menunggu angkutan/ kendaraan di

pemberhentian

Tt =Waktu perjalanan di atas kendaraan

Data yang diperlukan dalam penghitungan

waktu perjalanan ialah

a. Rata-rata waktu tunggu penumpang pada

pemberhentian

b. Rata-rata kecepatan perjalanan angkutan

c. Rata-rata perjalanan penumpang di atas

kendaraan

Tabel 4.3 Waktu Perjalanan Tiap Arah

Rute Jarak

(Km)

Tj = Waktu Perjalanan

(menit)

2T

W Td Tt Jmlh

Terminal

Amplas-

Terminal

P. Baris

19,.3

6 2.4 1.95

94.3

3

98.6

8

Terminal

P. Baris-

Terminal

Amplas

19,18 2.4 2.15 88.3

0

92.8

5

4.7 Tingkat Pergantian Moda

Dari hasil wawancara dengan penumpang

diketahui saat ini sebanyak 60 % penumpang

melakukan pergantian moda 2 kali, 20 %

penumpang melakukan pergantian moda 1 kali

dan terdapat sebayak 20 % penumpang yang

melakukan pergantian moda sebanyak 3 kali.

Dari sampel yang diambil rata-rata pergantian

moda pada angkutan umum rute 64 adalah

sebanyak 2 kali pergantian moda.

60%20%

20%

2 kali

1 kali

3 kali

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dari sisi lintasannya, trayek angkutan

KPUM 64 sangat baik karena melewati

rute yang tata guna lahannya didominasi

oleh daerah CBD, pusat pemerintahan,

pusat pendidikan, perumahan, perkantoran

yang artinya pusat-pusat kegiatan yang ada

dapat dengan mudah diakses penumpang.

2. Terdistribusinya penumpang naik dan

penumpang turun yang hampir merata pada

setiap ruas jalan yang dilalui

mengidikasikan adanya permintaan

angkutan yang merata pada setiap ruas, hal

ini tidak terlepas dari fungsi tata guna lahan

yang dilalui oleh KPUM rute 64 yang

secara umum adalah Pusat bisnis (CBD),

pusat pemerintahan, hutan kota dan pusat

pendidikan dengan kepadatan sedang

hingga tinggi.

3. Hasil evaluasi kinerja angkutan KPUM rute

64 menunjukkan bahwa beberapa variabel

menunjukkan angka yang masih di bawah

nilai yang disarankan masing yaitu:

frekwensi (15 kendaraan), waktu tunggu (4

menit), jarak mencapai pemberhentian (89

Page 49: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46

46

meter), tingkat perpindahan (2 kali), waktu

perjalanan (1,5 jam), sedangkan faktor

kecepatan khususnya pada daerah padat

angkanya menunjukkan diatas rekomendasi

yang disarankan yaitu sebesar 13 Km/ jam

sedangkan angka yang direkomendasikan

adalah 10 Km/ jam sampai dengan 12 Km/

jam.

4. Untuk waktu tempuh dari awal hingga

akhir perjalanan atau sebaliknya rata-rata

memerlukan waktu yang cukup lama yaitu

92 menit, lamanya waktu tempuh tidak

terlepas dari tingginya waktu tundaan yang

rata-rata mencapai 27 menit pada setiap

tiga rentang waktu (peak pagi, peak sore off

peak).

5. Load FactorDinamis pada KPUM rute 64

ini sangat rendah dengan rata –rata pada

tiga rentang waktu (peak pagi, peak sore

off peak) rata-rata hanya mencapai 23 %.

Dengan artian bahwa jumlah tempat duduk

yang disediakan tidak terisi penuh (100 %).

Dengan demikian telah terjadi kelebihan

supplay dibandingkan demand yang ada.

6. Khusus untuk jarak antar kendaraan (head

way) nilai yang ada sangat jauh dibawah

nilai yang disarankan oleh World Bank, hal

ini dari sisi penumpang tentunya sangat

menguntungkan tetapi dilain sisi

sebenarnya telah terjadi pemborosan yang

besar dikarenakan supplay yang terlalu

besar jika dibandingkan demand yang ada.

5.2 Saran

1. Dalam jangka pendek, tanpa mengganti

jenis kendaraan yang ada saat ini untuk

menghindari terjadinya pemborosan dalam

penyelenggaraan angkutan umum, perlu

dilakukan langkah yang segera, terutama

guna mengoptimalkan faktor muat (load

factor), hal ini dapat dilakukan dengan

cara meningkatkan head way kendaraan

menjadi lebih besar dari yang ada saat ini

yaitu lebih besar dari 4 menit.

2. Jangka panjang guna meningkatkan

efisiensi perlu dimulai langkah-langkah

untuk mengoperasikan angkutan massal

dengan daya angkut yang lebih besar

seperti bus maupun KA.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kota Medan (2005), Rencana Umum

Tata Ruang Kota Medan

Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2007,

Medan Dalam Angka 2007

Glasson, J., 1974, Pengantar Perencanaan

Regional. Bagian Satu Dan Dua,

Terjemahan Paul Sihotang, LPFE-UI.

Jakarta

Hobbs F.D., (1995), Perencanaan dan Teknik

Lalu Lintas, edisi kedua, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, 1995

Ofyar Z.Tamin, (1997), Perencanaan dan

Pemodelan Transportasi, ITB,

Bandung, 1997

Syafiatun, S, 2007, Kajian Preferensi

Bermukim di Daerah Perbatasan Kota,

Studi Kasus Kelurahan Gedung Johor

Kecamatan Medan Johor Kota Medan

dan Desa Delitua Kecamatan

Namorambe Kabupaten Deli Serdang

Sinuligga, B. D., 2005, Pembangunan Kota,

Tinjauan Regional dan Lokal, Pustaka

Sinar Harapan

Supranto, J, 1997, Statistik Teori dan Aplikasi,

Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta, 1997

Page 50: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN

MENURUT APRESIASI PEREMPUAN

ANNA LUCY RAHMAWATI

47

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN

MENURUT APRESIASI PEREMPUAN

Anna Lucy Rahmawati, Julaihi Wahid, Achmad Delianur Nasution

Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota

Universitas Sumatera Utara

Abstrak. Kehadiran perempuan adalah salah satu indikator keberhasilan ruang terbuka publik. Dalam

penelitian ini, Lapangan Merdeka Medan terdefinisi sebagai central square yang berhasil dengan terpenuhinya

beberapa indikator keberhasilan ruang terbuka publik, termasuk kehadiran perempuan di dalamnya.

Tolok ukur kualitas lingkungan pada umumnya dapat ditafsirkan melalui citra yang muncul dari lingkungan

tersebut. Dengan kata lain, penelusuran citra penting dilakukan karena ia bermakna kualitatif dan bersifat

evaluatif. Bagaimanakah citra Lapangan Merdeka Medan sebagai sebuah central square yang berhasil dapat

diketahui melalui apresiasi perempuan yang memiliki pengalaman atas kehadirannya di Lapangan Merdeka

Medan.

Penelitian ini menggunakan skala pengukuran Semantic Differential Scale (SDS), yaitu jenis skala pengukuran

sikap seseorang terhadap suatu konsep tertentu dengan menggunakan pasangan kata sifat yang memiliki makna

berlawanan (positif >< negatif).

Sebagai kesimpulan diperoleh bahwa citra Lapangan Merdeka Medan menurut apresiasi perempuan bermakna

“cukup positif”. Makna evaluatif yang terkandung dari citra ini memperlihatkan kualitas Lapangan Merdeka

Medan masih perlu ditingkatkan sampai pada makna tertinggi yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu citra

yang “sangat positif”.

Kata kunci: perempuan, ruang terbuka publik yang berhasil, apresiasi, citra

PENDAHULUAN

Kehadiran perempuan dinyatakan oleh Whyte

(1988) dan Carmona, et al. (2003) sebagai salah

satu indikator dan kunci keberhasilan ruang

terbuka publik. Hal ini mengandung implikasi

bahwa dimana terdapat kehadiran perempuan

dalam suatu ruang terbuka publik, maka ruang

terbuka publik tersebut memiliki kualitas

tertentu yang memenuhi kebutuhan perempuan

secara fisik dan psikologis.

Kawasan Lapangan Merdeka Medan merupakan

bagian awal terbentuknya Kota Medan yang

diawali sebagai daerah perkebunan tembakau

Deli. Di sudut barat laut Lapangan Merdeka

terletak Kantor Pos Besar yang merupakan titik

nol Kota Medan. Setelah tahun 1927, area seluas

kurang lebih 175m x 275m akhirnya ditetapkan

sebagai taman kota (Passchier, 1995). Di

lapangan ini terjadi beberapa peristiwa

bersejarah dan hingga saat ini Lapangan

Merdeka dan sekitarnya merupakan kawasan di

Pusat Kota Medan dengan konsentrasi bangunan

bersejarah yang sangat tinggi, sebagai hasil

peninggalan arsitektur pada masa kolonial

Belanda.

Lapangan Merdeka Medan saat ini terdefinisi

sebagai ruang terbuka publik di pusat kota yang

berhasil, baik secara topografis (aspek fisik)

maupun prosedural (aspek kegiatan) dan

berdasarkan indikator waktu operasional serta

Page 51: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56

48

kehadiran banyak orang, termasuk di dalamnya

adalah perempuan.

Kehadiran perempuan dalam suatu ruang

terbuka publik menjadi fokus amatan yang

menarik karena terkait dengan issue gender

yang membicarakan perbedaan laki-laki dan

perempuan sebagai hasil konstruksi sosial

masyarakat. Sejauh mana keberhasilan

Lapangan Merdeka Medan, kualitas-kualitas

yang dimilikinya dan bagaimana ia memenuhi

kebutuhan perempuan untuk berada di sana,

dapat terungkap melalui kegiatan pencarian citra

dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai

kualitatif.

TUJUAN

Menemukan faktor-faktor penting yang

berpengaruh dalam peningkatan kualitas fisik

Lapangan Merdeka Medan, dan menemukan

suatu kesimpulan tentang Citra Lapangan

Merdeka Medan yang dihimpun dari penilaian

dan apresiasi perempuan.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Citra

Dalam konteks kekotaan, definisi tipikal dari

citra kota diberikan oleh Kotler et al. 1993

(dalam Laaksonen et al. 2006), yang

menggambarkannya sebagai “sejumlah

keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki

seseorang terhadap suatu tempat”. Citra kota

juga didefinisikan sebagai "gambaran mental

dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata

pandangan masyarakatnya" (Lynch, 1960).

Citra lingkungan merupakan hasil dari proses

dua arah antara pengamat dan lingkungan yang

diamatinya (Lynch, 1960 p.6). Citra juga

dijelaskan sebagai “titik kontak antara orang dan

lingkungannya” (Downs 1967 dalam Rapoport

1977) yang kemudian menghubungkan mereka

pada suatu perilaku tertentu (Rapoport 1977

p.43). Lingkungan memberikan kesan tentang

perbedaan dan hubungan, dan pengamat

(dengan kemampuannya beradaptasi dan dalam

tujuan-tujuannya) memilih, mengorganisasi dan

memberikan makna menurut apa yang

dilihatnya. Hal ini menjelaskan bahwa citra

dapat sangat bervariasi di antara pengamat yang

berbeda (Lynch, 1960 p.6) dan sebuah kota juga

dapat memiliki makna yang berbeda untuk

orang yang berbeda pula (Rapoport 1977).

2. Ruang Terbuka Publik

2.1. Definisi Ruang Terbuka Publik

Berdasarkan Arti Kata

Menurut J.B.Jackson, 1985 (dalam Marcus

&Francis, 1998) plaza adalah suatu bentukan

dalam kota yang berfungsi sebagai tempat

berkumpul masyarakat untuk penikmatan secara

pasif. Atau dengan kata lain, place, plaza dan

piazza adalah suatu bentuk ruang terbuka publik

(public open space) di dalam kota. Salah satu

prinsip place secara estetis adalah memiliki

gambaran visual.

Dalam salah satu tulisannya, Lynch (1965)

mendefinisikan ruang terbuka publik dengan

terlebih dahulu mengartikan kata “open” atau

“terbuka” sebagai: bebas untuk dimasuki atau

digunakan, tidak terganggu, tidak terbatas, dapat

dicapai dengan mudah, tersedia, terbuka, tanpa

batasan waktu, jelas, tidak ditentukan, bebas

lepas, responsif, siap untuk mendengar atau

melihat seperti dalam hati yang terbuka, mata

terbuka, tangan terbuka, pikiran terbuka, rumah

yang terbuka, kota yang terbuka.

Dari segala kemungkinan, alun-alun (square)

adalah yang pertama ditemukan dalam

penggunaan ruang kota (Krier, 1979). Menurut

J.B. Jackson (1985) dalam Marcus & Francis

(1998), alun-alun adalah suatu bentuk kota yang

menarik orang-orang untuk penikmatan secara

pasif. Lynch (1981, 443) dalam Marcus &

Francis (1998) mengatakan bahwa "alun-alun

dimaksudkan sebagai suatu fokus aktivitas,

berada di pusat wilayah perkotaan yang intensif.

2.2. Definisi Ruang Terbuka Publik

Berdasarkan Tipologi dan Karakteristik

Melalui riset dan penelitiannya, Carr, et al.

(1992) mendefinisikan ruang publik kota

berdasarkan tipologi dan karakteristik seperti

ditunjukkan pada Tabel 1. Berikut.

Page 52: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN

MENURUT APRESIASI PEREMPUAN

ANNA LUCY RAHMAWATI

49

Tabel 1. A typology of contemporary urban

public spaces

Type Characteristics

Public parks:

Public/central park Ruang terbuka

publik yang

dikembangkan dan

dikelola sebagai

bagian dari sistem

zona ruang terbuka

kota.

Downtown parks Taman hijau

dengan rerumputan

dan pepohonan

yang berlokasi di

pusat kota

Commons Sebuah kawasan

hijau yang luas

yang

dikembangkan di

kota-kota lama new

england

Neighborhood park Ruang terbuka

yang dibangun

dalam lingkungan

permukiman

Mini/vest-pocket park Taman kota yang

kecil

Squares and plazas

Central square Alun-alun atau

plaza, biasanya

merupakan

kawasan bersejarah

yang

dikembangkan di

pusat kota

Corporate plaza Plaza yang

dibangun sebagai

bagian dari

bangunan

komersial atau

perkantoran

Memorial

Ruang terbuka

yang bertujuan

untuk mengenang

seseorang atau

kejadian dalam

skala lokal atau

nasional yang

penting.

Markets

Tabel 1. A typology of contemporary urban

public spaces

Type Characteristics

Farmers’ markets Ruang terbuka atau

jalanan yang

digunakan sebagai

pasar tradisionil

atau pasar loak

Streets

Pedestrian sidewalks Bagian kota dimana

orang bergerak

dengan berjalan

kaki

Pedestrian mall Jalan yang tertutup

untuk lalulintas luar

Transit mall Dikembangkan

untuk

meningkatkan

akses perpindahan

ke kawasan pusat

kota

Traffic restricted

streets

Jalan yang

digunakan sebagai

ruang terbuka

publik

Town trails (jalan

kota)

Sebagai sarana

penghubung

bagian-bagian kota

melalui jaringan

jalan kota yang

menyeluruh

Playgrounds

Playground Tempat bermain

yang berlokasi di

lingkungan

permukiman

Schoolyard Halaman sekolah

sebagaimana

tempat bermain

Community open spaces

Community

garden/park

Ruang terbuka

lingkungan yang

dirancang,

dikembangkan atau

dikelloa oleh

penghuni lokal

pada lahan kosong

Greenways and parkways

Interconnected

recreational and

natural areas

Kawasan alami dan

ruang terbuka

untuk kegiatan

rekreasi yang

Page 53: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56

50

Tabel 1. A typology of contemporary urban

public spaces

Type Characteristics

dihubungkan oleh

pedestrian dan jalur

sepeda.

Atrium/indoor

marketplace

Atrium Ruang publik yang

dikembangkan

sebagai ruang

atrium di dalam

ruangan

Marketplace/downtow

n shopping center

Ruang interior,

kawasan

perbelanjaan yang

dikelola oleh

swasta

Found/neighborhood

spaces

Found

spaces/everyday open

spaces

Jenis ruang terbuka

yang dapat diakses

oleh publik,

misalnya sudut

jalan, deretan

tangga menuju

suatu gedung

Waterfronts

Waterfronts, harbor,

beaches, riverfronts,

piers, lakefronts

Ruang terbuka

yang ada di

sepanjang aliran air

dalam kota,

pelabuhan, pantai,

tepi sungai,

dermaga dan tepi

danau.

Sumber: Carr et al. 1992 p.79-84

2.3. Definisi Ruang Terbuka Publik

Berdasarkan Pendekatan Topografis dan

Prosedural

Iveson (2007) mendefinisikan ruang publik kota

melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan

topografis (topographical approaches) dan

pendekatan prosedural (procedural

approaches). Pemahaman ruang publik kota

berdasarkan kedua pendekatan ini dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1) Pendekatan topografis

Pada umumnya ruang publik kota

didefinisikan melalui pendekatan

topografis, yang menunjuk pada tempat-

tempat tertentu di dalam kota yang (atau

seharusnya) terbuka bagi warga kotanya.

2) Pendekatan prosedural

Dalam pendekatan prosedural, ruang publik

dipahami dalam konteks aktifitas sebagai

ruang apa pun, melalui aksi politik dan

tempat publik pada suatu waktu tertentu,

menjadi „tempat kekuasaan dari suatu aksi

umum yang dikoordinasikan melalui pidato

dan persuasi‟ (Benhabib, 1992 p.78 dalam

Iveson, 2007).

2.4. Makna Dan Kualitas Ruang Terbuka

Publik

Secara esensial, kriteria ruang publik meliputi

tiga aspek, yaitu: Meaningful: dapat

memberikan makna atau arti bagi masyarakat

setempat, baik secara individual maupun

kelompok; Responsive: tanggap terhadap semua

keinginan pengguna dan dapat mengakomodir

kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut;

Democratic: dapat menerima kehadiran

berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa

ada diskriminasi (Carr at al, 1992).

Dari segi perancangan, dikenal sebuah istilah

Nonmeasurable Design Criteria atau Kriteria

Desain Tak Terukur, yaitu suatu kriteria yang

lebih menekankan pada aspek kualitatif di

lapangan. Kriteria ini sering dipakai dalam

penelitian kualitatif untuk mengukur suatu

kualitas lingkungan kota. Shirvani (1985)

merangkum enam butir kriteria desain tak

terukur yang diperoleh melalui analisa

perbandingan desain tak terukur, yaitu:

a. Access (Pencapaian)

b. Compatibility (Kecocokan)

c. Views (Pemandangan)

d. Identity (Identitas)

e. Sense (Kesan)

f. Livability (Kenyamanan)

2.5. Ruang Terbuka Publik yang Berhasil

The Project for Public Space, 1999 (Carmona et

al. 2003 p.100) mengidentifikasi empat atribut

utama mengenai keberhasilan ruang terbuka

publik, yaitu: kenyamanan dan citra (comfort

and image); akses dan penghubung (access and

linkage); penggunaan dan aktifitas (uses and

Page 54: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN

MENURUT APRESIASI PEREMPUAN

ANNA LUCY RAHMAWATI

51

activity), dan suasana yang ramah/bersahabat

(sociability.

Dalam perspektif gender, Whyte (1988)

menyatakan bahwa salah satu indikator ruang

terbuka publik yang berhasil adalah persentasi

kehadiran perempuan yang lebih tinggi dari

rata-rata. Whyte mencatat bahwa, secara umum,

perempuan lebih diskriminatif dalam memilih

ruang dan, oleh karena itu, proporsi yang rendah

atas kehadiran perempuan umumnya

menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah.

Perempuan juga mencari tingkat privasi yang

lebih besar daripada laki-laki, yang cenderung

memilih tempat duduk yang lebih menonjol.

2.6. Perubahan Ruang Terbuka Publik dan

Keterlibatan Swasta

Kota, secara alami selalu mengalami perubahan.

Kota bersifat dinamis dan bukan statis sehingga

bangunan, ruang terbuka publik, proses disain

dan manajemennya harus dapat mengenali

perubahan-perubahan ini. Bagaimanapun juga

harus ada suatu apresiasi bahwa, untuk sebagian

besar orang, perubahan yang mengakibatkan

hilangnya lingkungan yang familiar adalah

sangat menyakitkan, terutama jika itu terjadi

dalam skala yang luas atau bahkan menyeluruh

(Tibbalds, 2004 p.77). Koneksi individu

terhadap suatu tempat muncul dalam berbagai

cara: dari sejarah hidup seseorang dan

pengalaman pribadinya, dari tradisi penggunaan

suatu wilayah, dan dari acara-acara khusus di

suatu tempat (Carr, et al. 1992).

Dalam dinamika perubahan kota turut serta

memunculkan beberapa pernyataan bahwa

ruang publik kota berada di bawah ancaman

tindakan perusahaan dan pengembang swasta

yang lebih peduli dengan keuntungan yang akan

diperoleh daripada fungsi publiknya (Iveson,

2007).

Dengan membandingkan kota-kota dan ruang-

ruang publik yang ideal dimasa lalu, Mitchell

(1995) dalam Iveson (2007) menunjukkann

bahwa akses ke ruang publik selalu merupakan

hasil perjuangan politik dan bahwa ruang

terbuka publik belum pernah „terbuka untuk

semua‟.

3. Isu Gender Dalam Konteks Ruang

Terbuka Publik

Kehidupan perempuan dan laki-laki, pekerjaan

yang mereka lakukan, pendapatan yang mereka

terima, peran yang diberikan, dan hubungan

mereka dibentuk oleh norma-norma sosial dan

tradisi yang memperlakukan wanita dan pria

berbeda. Pada gilirannya, atribut-atribut

perempuan dan laki-laki, kontribusi yang

diberikan dan cara mereka mengambil

keputusan dan meningkatkan kehidupan sosial

dan ekonomi juga berbeda (Beall, 1996).

Dalam studi perkotaan kenyataan tersebut

mendukung argumen, bahwa meskipun laki-

laki dan perempuan tinggal di rumah yang sama,

mereka menempati ruang yang berbeda untuk

bekerja dan bersantai. Laki-laki pergi bekerja

setiap hari dan wanita tinggal di rumah untuk

mengurus rumah tangga, merawat anak-anak

dan lanjut usia. Segregasi ini sering disebut

sebagai “gender division of labour” atau

pembagian kerja berdasarkan gender

(Stevenson, 2003).

METODOLOGI PENELITIAN

1. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini bersifat gender,

yaitu kaum perempuan, baik penduduk maupun

pendatang di Kota Medan yang mengetahui

keberadaan Lapangan Merdeka Medan dan

pernah mengunjunginya. Populasi ini termasuk

dalam jenis populasi infinit (memiliki jumlah

yang tidak tetap/tidak diketahui) dan unit

analisisnya adalah individu perempuan dengan

batas usia 15 tahun ke atas dan memiliki

pengetahuan dan pengalaman tentang Lapangan

Merdeka Medan.

Sebagai dasar untuk menentukan jumlah

sampel, Champion, 1981 (dalam Mustafa, 2003)

mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik

selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel.

Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan

sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang

jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian

ini akan mengambil sampel minimal sebesar

120 dan maksimal sebesar 250 dalam waktu 1

minggu dengan rentang waktu 1 (satu) kali

Page 55: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56

52

pengambilan data (One Shot or Cross Section

Studies).

2. Skala Pengukuran

Variabel penelitian diukur dengan menggunakan

skala pengukuran berdasarkan model Semantic

Differential Scale (SDS) atau disebut juga

sebagai skala perbedaan makna kata. SDS

merupakan satu jenis skala pengkelasan yang

juga banyak digunakan untuk mengukur sikap

responden terhadap satu obyek tertentu.

Angka yang umumnya diterapkan berupa angka

positif untuk menunjukan sikap positif (1.2,dst),

angka negatif untuk menunjukan sikap negatif (-

1,-2, dst) dan angka 0 untuk menunjukan sikap

netral atau tidak memihak. Dapat juga berupa

deretan angka positif yang dimulai dari 1 sampai

dengan 7 dengan pemaknaan Sangat Negatif

sampai dengan Sangat Positif. Dalam penelitian

ini kata-kata sifat yang digunakan berasal dari

variabel indikator Citra Lapangan Merdeka

Medan seperti yang dijelaskan dalam kerangka

teoritis.

3. Metode Analisa Data

Proses analisa data akan menggunakan alat

bantu SPSS (Statistics Program for Social

Science). Jenis statistika yang digunakan adalah

statistika deskriptif, yaitu statistika yang

berhubungan dengan metode pengelompokkan,

peringkasan dan penyajian data dalam cara yang

lebih informatif (Ashari dan Santosa, 2005: 2

dalam Khotimah, 2007).

4. Pemaknaan Citra

Pemaknaan citra dibutuhkan untuk mendapatkan

satu kesimpulan umum dari apresiasi perempuan

yang menjadi responden dalam penelitian ini.

Konsekuensi logis dari penggunaan skala

pengukuran Semantic Differential Scale adalah

pemaknaan citra dalam skala “Sangat Negatif”

sampai dengan “Sangat Positif”. Hasil penelitian

akan menunjuk pada salah satu titik dari skala

“Sangat Negatif” sampai dengan “Sangat

Positif” dan pembahasan secara deskriptif-

kualitatif akan menggambarkan makna-makna

yang terkandung dari hasil penelitian tersebut.

TINJAUAN KAWASAN STUDI

Pada tahun 1883 Deli Maatschappij mendirikan

sebuah perusahaan kereta api Deli Spoorweg

Maatschappij dan pada tahun 1885 jalur kereta

api antara Medan dan Labuhan Deli diresmikan.

Bersamaan dengan itu, dilakukan penanaman

pohon trembesi di sekeliling pinggiran

lapangan.

Pada tanggal 1 April 1909 Medan memperoleh

status Gementee atau Kotamadya Independen.

Sejak saat itu acara ulang tahun Ratu Belanda,

penyambutan tamu negara dan acara kenegaraan

besar lainnya selalu diadakan di Lapangan

Merdeka.

Pada awal tahun 2000 terjadi penambahan

fungsi di Lapangan Merdeka yang digagas oleh

Pemko Medan dalam suatu rangkaian program

pengembangan kota “Medan Metropolitan”

untuk mempromosikan Kota Medan sebagai

salah satu tujuan pariwisata dan bisnis berskala

internasional. Kegiatan ini diawali dengan

memindahkan lokasi penjualan buku bekas dari

Titi Gantung ke sisi timur Lapangan Merdeka

(depan Stasiun Kereta Api) pada pertengahan

tahun 2002 dan dinamai sebagai “Pasar Buku”

(Gambar 1) dan pembangunan objek wisata

kuliner bertajuk Merdeka Walk di sepanjang sisi

barat pada tahun 2004 dan mulai beroperasi

pada tanggal 19 Mei 2005 (Gambar 2).

Gambar 1. “Pasar Buku” di sepanjang

sisi timur Lapangan Merdeka

Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2009

Page 56: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN

MENURUT APRESIASI PEREMPUAN

ANNA LUCY RAHMAWATI

53

Berbagai kegiatan yang memperlihatkan

eksistensi perempuan di Lapangan Merdeka

terjadi pada beberapa event yang berhasil

direkam dan dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Gambar 2. Suasana Merdeka Walk

pada suatu siang menjelang sore

Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2009

Gambar 3. Perayaan Hari Perempuan

Internasional di Lapangan Merdeka. Sumber:

Dina Lumbantobing (Arsip PESADA)

Gambar 4. Program lingkungan Medan Green and

Clean 2009 di Lapangan Merdeka Medan

Sumber : <http:// www.antarasumut.com/>

Gambar 5. Calon Presiden Hj Megawati

Soekarnoputri dan Ketua DPD PDIP Sumut

Panda Nababan menyapa kader dan

simpatisan partai pada Rapat Umum Bersama

di Lapangan Merdeka Medan.

Sumber : < http://nababan.wordpress.com/>

Gambar 6. Kehadiran Veteran Wanita

Minah Br Siregar (89) menghadiri upacara

perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 64,

tanggal 17 Agustus 2009 di Lapangan Merdeka.

Sumber : <http://www.profile.dnaberita.com/>

Gambar 7. Festival Sumatera Utara

Gempar 2009 dipusatkan di Lapangan Merdeka

Medan sejak tanggal 12-15 November 2009.

Sumber : < http://yapzica.wordpress.com/>

Gambar 8. Penobatan Ikon Olahraga Kota

Medan 2009

Sumber : <http://www.medantalk.com/>

Page 57: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56

54

HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden dalam penelitian ini adalah

perempuan. Jumlah perempuan yang

direkomendasikan adalah 150-250 perempuan.

Jumlah kuesioner yang disebarkan sebanyak 250

dan terpilih 217 kuesioner yang diisi dengan

benar dan dapat diandalkan untuk mewakili

populasi. Dari 217 perempuan terdapat 47

(21,6%) perempuan yang belum pernah

mengunjungi Merdeka Walk. Sisanya sebanyak

170 perempuan memiliki pengalaman

berkunjung ke Lapangan Merdeka dan Merdeka

Walk.

1. Hasil Penilaian Perempuan

Hasil penilaian perempuan terhadap Lapangan

Merdeka dan Merdeka Walk ditunjukkan yang

memperlihatkan perbedaan-perbedaan di atas

ditunjukkan dalam Tabel 2. di bawah ini:

Tabel 2. Penilaian Perempuan

Terhadap Lapangan Merdeka dan Merdeka Walk E

P

A

No Kata Sifat Negatif

Penilaian Perempuan

Kata Sifat Positif sang

at

neg

atif

neg

atif

cuk

up

neg

atif

net

ral

cuk

up

po

siti

f

po

siti

f

sang

at

po

siti

f

1 2 3 4 5 6 7

A 1 MEMBOSANKAN, tidak banyak pilihan

kegiatan

MENYENANGKAN, banyak pilihan kegiatan

P 2 SULIT dicapai MUDAH dicapai

E 3 KOTOR BERSIH

P 4 GERSANG, PANAS RINDANG, SEJUK

E 5 Tidak aman AMAN

E 6 MAHAL MURAH

P 7 TIDAK NYAMAN

untuk kegiatan rekreasi NYAMAN untuk kegiatan rekreasi

A 8 TIDAK BEBAS masuk

dan berkegiatan BEBAS masuk dan

berkegiatan

E 9 Suasananya LESU Suasananya HIDUP

E 10 Fasilitasnya TIDAK

LENGKAP Fasilitasnya LENGKAP

E 11 Bentuk dan fungsi

bangunannya TIDAK COCOK

Bentuk dan fungsi bangunannya

COCOK

P 12 Pemandangannya

TIDAK MENARIK Pemandangannya

MENARIK

E 13 TIDAK RAPI RAPI

P 14 TIDAK BERKESAN BERKESAN

P 15 TIDAK SERASI dengan

bangunan di sekitar SERASI dengan

bangunan di sekitar Lapangan Merdeka

E 16 Memiliki pentunjuk yang TIDAK JELAS

Memiliki petunjuk yang JELAS

A 17 SEPI RAMAI

A 18 PASIF-STATIS AKTIF-DINAMIS

Ket: __________________ Penilaian Perempuan Terhadap Segmen Lapangan Merdeka

Sumber: Hasil Analisis (2009)

Page 58: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN

MENURUT APRESIASI PEREMPUAN

ANNA LUCY RAHMAWATI

55

Citra Lapangan Merdeka dan Merdeka Walk

bermakna CUKUP POSITIF untuk dimensi

Evaluasi dan Potensi, dan bermakna POSITIF

untuk dimensi Aktifitas.

2. Apresiasi Perempuan

Dari data Apresiasi Perempuan yang

terkumpul dapat diperoleh kesimpulan

berdasarkan suara terbanyak, sebagai berikut:

a. Sebanyak 23% perempuan menyatakan

Lapangan Merdeka disukai terutama karena

alasan bebas untuk dikunjungi, suasananya

nyaman dan menyenangkan untuk tempat

rekreasi dan berkumpul bersama teman

dan/atau keluarga. Hanya 0,7% perempuan

yang menyatakan tidak menyukai

Lapangan Merdeka karena tidak sejuk,

gersang dan panas.

b. Sebanyak 32% perempuan menyatakan

Lapangan Merdeka penting karena tersedia

peluang untuk berbagai macam kegiatan,

seperti: olahraga, rekreasi, wisata kuliner,

upacara dan lain-lain.

c. Dari segi aktifitas, 23% perempuan

menyatakan Lapangan Merdeka telah

memenuhi kebutuhan mereka karena

tersedia peluang untuk berbagai macam

kegiatan dengan bebas. Jumlah suara yang

hampir sama (20%) menyatakan belum

memenuhi kebutuhan karena fasilitasnya

belum sepenuhnya tersedia.

d. Jika memiliki kesempatan untuk

merubah/memperbaiki Lapangan Merdeka,

sebanyak 35% perempuan menyatakan

mereka ingin meningkatkan kebersihan

lapangan dan 23% suara ingin

mempertahankan keberadaan pepohonan

yang ada di sekitar Lapangan Merdeka.

e. Sebanyak 17% perempuan yang pernah

berkunjung ke Merdeka Walk, menyatakan

menyukai Merdeka Walk karena dapat

menjadi tempat hiburan dan wisata kuliner

di malam hari, baik bersama teman maupun

keluarga. Hanya 0,8% suara yang

menyatakan tidak menyukai Merdeka Walk

karena mahal, tidak terjangkau kalangan

menengah ke bawah.

KESIMPULAN

a. Citra Lapangan Merdeka Medan Menurut

Apresiasi Perempuan adalah “CUKUP

POSITIF”. Makna dari citra yang “cukup

positif” ini adalah: perempuan dalam

penelitian ini senang dan suka berada di

Lapangan Merdeka Medan karena kualitas-

kualitas yang dimiliki, yaitu: mudah

dicapai, bebas untuk dikunjungi dan

tersedia berbagai sarana dan fasilitas

olahraga, rekreasi serta tersedia peluang

untuk berbagai kegiatan yang cocok dengan

kebutuhan dan tujuan penggunaannya.

Bersamaan dengan hal tersebut, perempuan

juga menyorot tentang kurangnya kerapian,

kebersihan lingkungan dan toilet umum,

kurangnya penghijauan dan bangku-bangku

taman serta kurangnya pemeliharaan sarana

dan fasilitas yang ada. Hampir seluruhnya

berpendapat bahwa Lapangan Merdeka

Medan penting dan dibutuhkan, tetapi

sekaligus mengharapkan pengelolaan dan

pemeliharaan yang lebih baik untuk

meningkatkan kualitas lingkungan fisiknya.

Kehadiran Merdeka Walk juga penting dan

dibutuhkan tapi disatu sisi telah

menimbulkan reaksi pro (sangat menyukai)

dan kontra (bongkar Merdeka Walk!) yang

tegas di kalangan perempuan dalam

penelitian ini. Hal ini mencerminkan sistem

pengelolaan dan konsep perencanaan yang

belum terbuka bagi semua kalangan.

b. Berdasarkan penilaian dan apresiasi

perempuan, faktor-faktor penting yang

berpengaruh dalam peningkatan kualitas

fisik Lapangan Merdeka Medan adalah

terutama dalam pemeliharaan kebersihan,

termasuk toilet; penataan taman, pedagang

kaki lima dan parkir yang lebih rapi;

peningkatan penghijauan dan penambahan

bangku taman; serta penyediaan dan

pemeliharaan berbagai sarana yang tersedia

untuk menciptakan suasana yang lebih

nyaman dan menyenangkan.

Page 59: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id

Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56

56

DAFTAR PUSTAKA

Carmona M, Heath T, Oc T, Tiesdell S, 2003,

Public Places Urban Spaces – The

Dimensions of Urban Design,

Architectural Press, Unacre House,

Jordan Hill, Oxford.

Carr S, Francis M, Rivlin LG, Stone AM, 1992,

Public Space, Cambridge University

Press.

Iveson, K 2007, Publics and The City,

Blackwell Publishing Ltd, Oxford, UK.

Khotimah, K 2007, Analisis Korelasi Rank

Kendall Dan Aplikasinya Dengan

Program SPSS, Tugas Akhir, Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Negeri Semarang.

Lynch, K 1960, The Image of the City, The

MIT Press. Cambridge, Massachusetts,

London, England.

Lynch, K 1972, What Time is This Place?, The

MIT Press. Cambridge, Massachusetts,

London, England.

Marcus, CC and Francis, C 1998, People Places

– Design Guidelines for Urban Open

Space, Van Nostrand Reinhold, New

York, USA.

Mustafa, H 2003, Metode Penelitian,

Universitas Katolik Parahyangan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program

Studi Ilmu Administrasi Niaga,

Bandung.

Rapoport, A 1977, Human Aspect of Urban

Form, Pergamon Press Ltd.,

Headington Hill Hall, Oxford,

England.

Shirvani, H 1985, The Urban Design Process,

Van Nostrand Reinhold Company,

Inc. New York.

Stevenson, D 2003, Cities and Urban Cultures,

Open University Press, Maidenhead,

Philadelphia.

Tibbalds, F 2004, Making People-Friendly

Towns : Improving the public

environment in towns and cities, Spon

Press, Taylor & Francis e-Library,

London & New York.

Whyte WH, 1988 “The Design of Spaces” from

“City : Rediscovering the Center”

in The City Reader, p.483-490, 2nd

edn,

eds. LeGates RT & Stout F,

Routledge, London & New York.

Page 60: ISSN 2086 - talenta.usu.ac.id