41
ISLAM DAN UMAT ISLAM PADA MASA ORBA HINGGA PASCA REFORMASI Kabul Astuti 1 Pendahuluan: Lahirnya Orde Baru Jejak historis hubungan Islam dan rezim Orde Baru dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Keberagaman sudut pandang tersebut telah dikaji oleh para peneliti Islam, seperti penelitian M. Syafi'i Anwar (1995), Abdul Azis Thaba (1996), Bahtiar Effendy (1998), M. Rusli Karim (1999), dan Masykuri Abdillah (1999). Dalam kaitannya dengan umat Islam, pandangan Snouck Hurgronye terhadap Islam tetap penting, karena Orde Baru juga menghormati Islam sebagai praktik agama pribadi tetapi tidak memberinya peluang untuk menjadi kekuatan politik seperti ketika periode awal aliansi aktivis Islam dengan tentara yang bekerja sama untuk memberantas PKI. 2 Kelahiran Orde Baru tidak lepas dari peristiwa G 30 S/PKI dan Supersemar. Peristiwa G 30 S/PKI sendiri menyisakan sejumlah tanda tanya. Secara fisik-militer gerakan ini dipimpin oleh Letkol Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa. Di Jakarta, mereka melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat, yaitu Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo, dan Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun. Sementara itu, Jenderal A.H. Nasution yang sedianya menjadi target sasaran berhasil lolos, meskipun putrinya, Ade Irma Suryani tewas tertembak. 3 Di Yogyakarta, pemberontakan juga terjadi dimana Letkol Sugijono dan Kolonel Katamso dibunuh di desa Kentungan, Yogyakarta. 4 1 Penulis adalah Santri Pesma Lir Ilir. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata kuliah “Sejarah Islam di Indonesia”, Juli 2013. 2 M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 588. 3 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm 390. 4 Ibid, hlm 398. 1

Islam Pada Masa Orba-Pasca Reformasi (1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Islam pada Masa Orba-Pasca Reformasi

Citation preview

ISLAM DAN UMAT ISLAMPADA MASA ORBA HINGGA PASCA REFORMASI

Kabul Astuti[footnoteRef:2] [2: Penulis adalah Santri Pesma Lir Ilir. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata kuliah Sejarah Islam di Indonesia, Juli 2013. ]

Pendahuluan: Lahirnya Orde BaruJejak historis hubungan Islam dan rezim Orde Baru dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Keberagaman sudut pandang tersebut telah dikaji oleh para peneliti Islam, seperti penelitian M. Syafi'i Anwar (1995), Abdul Azis Thaba (1996), Bahtiar Effendy (1998), M. Rusli Karim (1999), dan Masykuri Abdillah (1999). Dalam kaitannya dengan umat Islam, pandangan Snouck Hurgronye terhadap Islam tetap penting, karena Orde Baru juga menghormati Islam sebagai praktik agama pribadi tetapi tidak memberinya peluang untuk menjadi kekuatan politik seperti ketika periode awal aliansi aktivis Islam dengan tentara yang bekerja sama untuk memberantas PKI.[footnoteRef:3] [3: M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 588.]

Kelahiran Orde Baru tidak lepas dari peristiwa G 30 S/PKI dan Supersemar. Peristiwa G 30 S/PKI sendiri menyisakan sejumlah tanda tanya. Secara fisik-militer gerakan ini dipimpin oleh Letkol Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa. Di Jakarta, mereka melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat, yaitu Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo, dan Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun. Sementara itu, Jenderal A.H. Nasution yang sedianya menjadi target sasaran berhasil lolos, meskipun putrinya, Ade Irma Suryani tewas tertembak.[footnoteRef:4] Di Yogyakarta, pemberontakan juga terjadi dimana Letkol Sugijono dan Kolonel Katamso dibunuh di desa Kentungan, Yogyakarta.[footnoteRef:5] [4: Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm 390.] [5: Ibid, hlm 398.]

Terdapat sekurangnya lima versi mengenai siapa pelaku pemberontakan G 30 S/PKI.[footnoteRef:6] Namun, istilah G 30 S/PKI yang diciptakan oleh Orde Baru secara tidak langsung telah menutup semua tafsir historis mengenai pelaku kudeta. Pasca terjadinya pembantaian para jenderal Angkatan Darat yang konon- dilakukan oleh PKI ini, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah tertanggal 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Melalui surat perintah ini, Soekarno meminta Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjaga stabilitas dan keamanan negara. Langkah pertama yang diambil oleh Soeharto adalah dengan mengumumkan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.[footnoteRef:7] [6: Lima versi tentang dalang G 30 S/PKI. Pertama, PKI. Versi ini terdapat dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI maupun dalam buku-buku sejarah di sekolah-sekolah. Kedua, kudeta internal angkatan darat, versi Ben Anderson dan Ruth Mc Vey dalam makalahnya yang dikenal sebagai Cornell Paper. Ketiga, Sukarno, merupakan versi dari Antonio Dake dan John Hughes yang menyebut peristiwa tersebut sebagai skenario Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagai perwira tinggi AD. Keempat, Soeharto. Keterlibatan Soeharto disinggung oleh Latief dan Wertheim. Kelima, unsur asing (CIA AS, dinas rahasia inggris, RRC, bahkan Jepang), dikemukakan oleh Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson. Lih. Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. (Jakarta: Kompas, 2009) Hlm. 193.] [7: Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2005), hlm 365.]

Pada Sidang Umum VI MPRS tahun 1966, Supersemar disahkan oleh MPRS menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Akibatnya, Soekarno tidak mungkin lagi mencabut surat perintah tersebut. Secara tidak langsung, kekuasaan Soekarno telah terlucuti dan diserahkan kepada Soeharto. Terlebih lagi, pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara ditolak oleh MPRS karena dianggap tidak lengkap dan sama sekali tidak menyebut peristiwa G 30 S/PKI. Pada bulan Sidang Istimewa MPRS Maret 1967, ditetapkan pencabutan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan pengangkatan Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian, pada Sidang Umum MPRS Maret 1967, Soeharto resmi ditetapkan sebagai Presiden RI.[footnoteRef:8] Sejak itulah, Indonesia secara resmi memasuki sebuah era kepemimpinan baru yang lazim disebut Orde Baru. [8: Ibid, hlm 366-367.]

Pola Hubungan Pemerintah Orba terhadap IslamKetika terjadi pemberontakan G 30 S/PKI, umat Islam bekerja sama dengan ABRI dalam membantu pemerintah memadamkan pemberontakan PKI. Oleh karena itu, harapan umat Islam terhadap pemerintah Orde Baru pada awalnya cukup besar. Namun, kenyataannya harapan tersebut tidak menjadi kenyataan. Pemerintah Orde Baru justru lebih dekat dengan kalangan Kristen dan para pengusaha Cina daripada kalangan Islam. Thaba[footnoteRef:9] membagi pola hubungan antara umat Islam dan pemerintah Orde Baru ke dalam tiga periode, yaitu periode Antagonistik (1966-1981), Resiprokal-Kritis (1982-1985), dan Akomodasi (1986-runtuhnya Orde Baru). [9: Lih. disertasi Abdul Aziz Thaba yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh Penerbit GIP, dalam Abdul Aziz Thaba. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)]

Pada periode yang pertama, pemerintah menganggap kekuatan politik Islam sebagai ancaman sehingga pemerintah membuat banyak kebijakan yang merugikan kepentingan umat Islam. Pemerintah juga melakukan birokratisasi politik untuk menjinakkan umat Islam. Sementara itu, sebagian kelompok Islam ada yang mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap sikap pemerintah dalam bentuk konfrontasi, sehingga hubungan di antara keduanya menjadi semakin tegang. Beberapa peristiwa yang menandai periode ini adalah gagalnya pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia yang dipelopori oleh Moh. Hatta; gagalnya rehabilitasi Masyumi dan berdirinya Parmusi; dimasukkannya aliran kepercayaan ke dalam GHBN; kontroversi RUU Perkawinan; dan masalah perjudian yang kian marak sejak akhir 1960 hingga awal 1970.[footnoteRef:10] [10: Pramono U. Tanthowi. Kebangkitan Politik Kaum Santri. (Jakarta: PSAP, 2005). Hlm 33.]

Pada periode kedua (Resiprokal-Kritis), sifat antagonistik masih ada, tapi kedua belah pihak perlahan-lahan berupaya mengurangi kecurigaan dengan saling mempelajari dan memahami posisi masing-masing. Masa ini ditandai dengan digulirkannya ide pemerintah pada tahun 1982 untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal setiap organisasi massa (ormas) yang ada di Indonesia hingga penetapannya sebagai asas tunggal pada tahun 1985. Gagasan asas tunggal ini sempat menuai pro-kontra di tubuh umat Islam. Namun, pada akhirnya, sebagian besar ormas Islam bisa menerima Pancasila sebagai asas tunggal.Pada periode ketiga (akomodasi), kedua belah pihak berusaha saling mendekat dan menghindari konflik. Pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan umat Islam. Sebaliknya, para tokoh dan berbagai ormas Islam juga mulai memberikan dukungannya secara terbuka kepada Soeharto untuk terus menjadi presiden pada periode berikutnya. Kemunculan fase akomodasi dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor, yaitu munculnya kelas menengah santri baru, pembaruan pemikiran dan praktik politik Islam, serta pergesekan elit politik Orde Baru.[footnoteRef:11] Bentuk-bentuk akomodasi tersebut adalah adanya RUU Pendidikan Nasional tahun 1988 yang mengakui peran pengajaran agama di semua tingkat pendidikan, kebijakan mengenai masalah jilbab, RUU peradilan agama, kompilasi hukum syariah, SKB tentang Bazis, penghapusan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), Kasus Tabloid Monitor, dan pembentukan BMI tahun 1991[footnoteRef:12]. [11: Ibid. Hlm 66. ] [12: Ibid. Hlm 86-104]

Selain Abdul Aziz Thaba, ada pula pandangan dari para peneliti lain. Rusli Karim membagi pola hubungan Islam dan negara menjadi empat periode. Yaitu tahun 1966-1972 sebagai fase mencari bentuk, tahun 1973-1985 sebagai era partai tunggal (PPP), tahun 1986-1990 sebagai era mengambang atau transisi-rekonsiliasi, dan terakhir tahun 1990 hingga kejatuhan Orba sebagai fase akomodatif. Sementara itu, Din Syamsuddin melihat bahwa hubungan antara Islam dan negara dibagi menjadi dua periode. Pertama, berupa kompetisi walaupun kurang bersifat ideologis, yang dapat dilihat melalui agenda depolitisasi Islam. Kedua, terjadi kooptasi penguasa terhadap kekuatan politik Islam, yang ditandai dengan sistem satu partai Islam, yaitu PPP.[footnoteRef:13] Namun, pandangan-pandangan tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda. [13: ibid. Hlm 33-35]

Sementara itu, dilihat dalam konteks hubungannya dengan Kristen, perjumpaan antara Islam dan Kristen pada masa Orde Baru dapat dibagi menjadi tiga masa. Pertama, kurun waktu 1966-1973, kedua pihak saling berlomba untuk mendapatkan tempat pada pemerintahan yang baru ini. Namun, pada masa ini, Kristen berada di atas Islam. Kedua, kurun waktu 1974-1989, pada masa pengaruh Islam mulai menguat, sementara dominasi Kristen semakin menurun. Namun, posisi Islam belum dominan. Terakhir, pada masa 1990-1998, pada masa-masa akhir Orde Baru, golongan Kristen semakin tidak mendapatkan tempat dalam pemerintahan. Sebaliknya, peranan golongan Islam semakin meningkat.[footnoteRef:14] [14: Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia: 2005). Hlm 363. Buku ini membahas sejarah perjumpaan Islam dan Kristen sejak zaman penjajahan Portugis hingga pasca Orde Baru. Untuk pembahasan yang lebih spesifik lihat juga disertasi Mujiburrahman. Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesias New Order. (Leiden: Amsterdam University Press, 2006)]

Kebijakan-Kebijakan Orde Baru dan Kondisi Umat Islama. Strategi Depolitisasi Ulama Tahun-tahun antara pemilu 1971-1977 merupakan masa penataan kembali politik Orde Baru, terutama melalui penyederhanaan partai politik. Pemerintah memprakarsai penggabungan partai-partai politik ke dalam tiga organisasi, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Hanya ada dua partai politik dan satu golongan karya yang berhak mengikuti Pemilu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berdiri pada 5 Januari 1973 dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973. Sebelumnya, telah didahului dengan pembentukan Golongan Karya (Golkar) yang terdiri atas golongan fungsional. PDI merupakan merger dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, dan partai Murba, sedangkan PPP merupakan penggabungan dari partai-partai Islam seperti Parmusi, PSII, NU, dan Perti. Pemerintah memainkan peranan yang berhasil dalam mengolah kepemimpinan politik PDI dan PPP.[footnoteRef:15] Kebijakan pemerintah ini dirasakan oleh para ulama sebagai kebijakan deparpolisasi ulama. Para ulama yang tidak terpilih dalam kepemimpinan Golkar, PDI, atau PPP dibenarkan bila bersedia aktif di luar jalur parpol, misalnya dalam MUI, DDII, DKM (Dewan Keluarga Masjid), DMI (Dewan Masjid Indonesia), Rumah Zakat, dan lain-lainnya.[footnoteRef:16] [15: Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1993), hlm 139.] [16: Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. (Jakarta: Salamadani, 2012), hlm 487. ]

Untuk melaksanakan deparpolisasi ulama tersebut, kebijakan pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto melancarkan fabian strategy, blitzkrieg strategy, dan violence strategy. Fabian strategy merupakan strategi yang dilaksanakan dengan perlahan dalam menciptakan perubahan, namun pasti (alon-alon asal kelakon). Blitzkrieg strategy siap menindak secara militer dan cepat tepat, terhadap gerakan lawan yang muncul di permukaan secara fisik militer. Selanjutnya, violence strategy adalah strategi kekerasan yang diarahkan untuk menumpas bromocorah atau preman, salah satunya dengan strategi penembak misterius.[footnoteRef:17] Siapapun yang tidak bersesuaian dengan kehendak pemerintah dipaksa untuk bungkam. Rezim ini lebih tepat disebut sebagai rezim satu wajah. [17: Ibid. Hlm 487]

Fabian strategy antara lain dilakukan dengan cara mengizinkan untuk sementara waktu, didirikannya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi/PMI) pada 20 Februari 1968. Parmusi pada awalnya diizinkan berdiri dengan syarat ketua dan pengurusnya bukan dari mantan pimpinan Partai Islam Indonesia Masjumi. Pemerintah militer Orde Baru tidak dapat bekerjasama lagi dengan mantan pimpinan Partai Islam Indonesia Masjumi. Brigdjen Ali Moertopo menilai mereka sebagai kelompok fundamentalis. Hal ini disebabkan Masjumi diduga pernah ikut terlibat pemberontakan PRRI-Permesta. Dipraktikkannya fabian strategy ini terlihat pada saat Parmusi mengadakan Muktamar November 1968 di Malang. Dalam muktamar tersebut, peserta secara aklamasi mengangkat Mr. Mohamad Roem sebagai Ketua Umum. Dampaknya, keputusan Muktamar Parmusi yang menetapkan Mohamad Roem, mantan pimpinan Partai Masjumi, sebagai Ketua Umum ditolak oleh pemerintah. Soeharto menegaskan bahwa tokoh-tokoh Masjumi djangan sampai duduk dalam pimpinan PMI. Selagi saja berkuasa, saja tidak segan-segan membekukan PMI.[footnoteRef:18] [18: Ibid. Hlm 489-492]

Hal yang sama juga terjadi dengan Partai Demokrasi Islam Indonesia yang digawangi oleh Moh. Hatta. Partai ini juga ditolak oleh Soeharto pada Juli 1967. Akhirnya, untuk menampung aspirasi umat Islam dalam berpolitik, Soeharto membentuk PPP. Sejumlah partai politik di-merger ke dalam PPP. Menyatunya partai-partai Islam ke dalam PPP bukannya memperkuat partai, tetapi semakin memperlemah keberadaan partai-partai Islam. Di dalam tubuh PPP terdapat dua golongan, yaitu golongan NU sebagai golongan mayoritas dan golongan Parmusi yang ditunjuk oleh pemerintah. Persaingan antara kedua golongan ini menimbulkan konflik internal di dalam tubuh partai. Selanjutnya, pemerintah mendesak PPP untuk menyingkirkan mereka yang bergaris keras. Proses melunakkan partai Islam berlangsung terus hingga pemilu 1982.[footnoteRef:19] [19: Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1993) Hlm. 140.]

Sebanyak enam kali pemilu diadakan pada masa Orde Baru, dan setiap kali itu pula, Golkar selalu memperoleh kemenangan mutlak. Hampir dua pertiga suara dimonopoli oleh Golkar, sedangkan sisanya PPP dan PDI. Berikut ini data hasil perolehan suara pemilu dari tahun 1971-1997.Tabel 1. Perolehan Suara Pemilu 19711997 (dalam %)[footnoteRef:20] [20: Brown, Colin. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales: Allen & Unwin, 2003). Hlm 206.]

1971 1977 1982 1987 1992 1997Golkar 63 64 64 73 68 74PPP 27 2828 16 17 23PDI 10 8 8 11 15 3Keterangan: PPP dan PDI belum terbentuk sampai tahun 1973. Perolehan PPP dan PDI yang tertera di atas merupakan jumlah perolehan suara dari tiap elemen-elemen partai yang membentuknya pada pemilu 1971. Pada dasarnya, respons umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru pada dasawarsa awal terbagi menjadi beberapa kubu, yaitu kelompok yang meninggalkan arena politik praktis, kelompok yang bersifat akomodatif terhadap kebijakan pemerintah, oposisi intra parlementer (para tokoh fundamentalis dan reformis Parmusi, PPP, dan NU), radikal konfrontatif ekstra-parlementer (PII dan HMI) serta kreatif intelektual (sekelompok generasi baru intelektual Islam). Kelompok yang pertama diwakili oleh Muhammadiyah dan para pemimpin Masyumi, yang kemudian mendirikan DDII. Kelompok yang kedua diwakili oleh Parmusi, PPP, serta NU.[footnoteRef:21] [21: Pramono U. Tanthowi. Kebangkitan Politik Kaum Santri. (Jakarta: PSAP, 2005), hlm 59-61.]

Selain deparpolisasi ulama, pemerintah Orde Baru juga melakukan penangkapan terhadap sejumlah aktivis dakwah. Imaduddin Abdulrahim, seorang pencetus LMD dan dai yang memiliki pemikiran tegas dan keras ditangkap pada tanggal 23 Mei 1978 karena ceramah-ceramahnya yang bersifat subversif. Namun, karena tuduhannya tidak jelas, ia kemudian dibebaskan. Ismail Sunny, seorang pengurus ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) yang berdiri pada tahun 1990. Ia ditangkap dua kali oleh pemerintah. Pertama kali ditangkap pada tahun 1978 setelah menyampaikan kesaksian terhadap masalah inkonstitusional di Indonesia pada akhir Desember 1977. Penangkapan kedua terjadi pada tahun yang sama karena ceramah-ceramah di kampus. Bersama dengan Ismail Sunny, juga ditahan Mahbub Djunaidi dan Bung Tomo. Selain Imaduddin dan Ismail, masih banyak lagi para aktivis dakwah yang ditangkap oleh Pemerintah. Salah satunya adalah penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah pada peristiwa Tanjung Priok 1984, penangkapan terhadap gerakan usroh Abdullah Sungkar di Lampung tahun 1989, dan penangkapan salah satu tokoh Masyumi, Muhammad Natsir.

b. Polemik RUU PerkawinanBagi umat Islam, perkawinan merupakan peristiwa suci dan bernilai ibadah sehingga pelaksanaannya harus memenuhi syariat Islam. RUU Perkawinan pertama kali diajukan pada tanggal 7 September 1968. Dalam RUU tersebut, terdapat sejumlah pasal yang tidak bersesuaian dengan syariat Islam. Hal itu menimbulkan protes di kalangan umat Islam. Salah satu pasal yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam adalah pasal mengenai dasar perkawinan. Pasal 3 ayat 1 RUU Perkawinan menyebutkan bahwa Pada dasarnya perkawinan itu bersifat monogami. Padahal, menurut ajaran agama Islam, perkawinan dapat bersifat monogami maupun poligami. Dengan adanya pasal tersebut, maka poligami menjadi tidak dibenarkan. Perdebatan mengenai RUU Perkawinan di tahun 1968 berlangsung sangat alot, hingga akhirnya dibekukan sampai pemilu pertama tahun 1971. Perdebatan tersebut berkisar seputar persoalan poligami, kedudukan wanita dalam perkawinan, persoalan perceraian, perkawinan campuran, dan perjanjian perkawinan.[footnoteRef:22] [22: Lih. Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991). Hlm 452.]

Pada Juli 1973, masalah RUU perkawinan kembali dibahas. RUU yang baru diajukan, namun masih menuai permasalahan. Pasal 20 ayat 2 RUU Perkawinan itu menyebutkan, Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan. Umat Islam sangat berkeberatan dengan RUU tersebut.[footnoteRef:23] Prof. HM. Rasjidi menulis sebuah artikel di harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, dengan judul Kristenisasi dalam Selubung, Ummat Islam tidak akan dapat menerima RUU Perkawinan. Sebaliknya, harian Sinar Harapan dan harian Kompas yang mewakili kelompok Kristen-Katolik justru menggugat RUU Perkawinan yang berdasarkan atas agama. Masalah ini menuai pro kontra yang luar biasa. [23: Husaini, Adian. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2009). Hlm 104]

Akhirnya muncul kesepakatan, di antaranya (1) Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak dikurangi atau diubah, (2) Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tak mungkin disesuaikan dalam RUU terseut dihapuskan, (3) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.[footnoteRef:24] Dengan adanya kompromi tersebut, umat Islam bisa menerima keberadaan RUU Perkawinan. Terlepas dari RUU Perkawinan, bila ditarik spektrum yang lebih luas, terlihat bahwa pada saat ini pun usaha-usaha untuk melemahkan umat Islam melalui jalur perundang-undangan masih banyak dilakukan. Sebut saja, RUU Kesetaraan Gender yang kini tengah di-godog oleh DPR. RUU tersebut jelas tidak bersesuaian dengan ajaran agama Islam. [24: Ibid. Hlm 105 ]

c. Kasus Jilbabisasi[footnoteRef:25] [25: Untuk memahami kasus pelarangan jilbab lebih jelas lagi, baca buku Alwi Alatas. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991, (Jakarta: Al-Itisham Cahaya Ummat, 2001) ]

Kasus pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri pertama kali terjadi pada tahun 1979. Pada tahun tersebut, terjadi sedikit ketegangan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung karena ada beberapa siswi yang mengenakan kerudung. Pihak sekolah bermaksud untuk memisahkan siswi-siswi ini dalam satu kelas tersendiri. Namun, siswi-siswi tersebut menolak dipisahkan dari kawan-kawannya yang tidak mengenakan jilbab. Setelah ada campur tangan dari Ketua Majelis Ulama Jawa Barat, EZ Muttaqien, pemisahan ini akhirnya tidak jadi dilakukan. Setahun setelah itu, tahun 1980, terjadi kasus yang sama di SMAN 3 dan SMAN 4 Bandung. Berkembangnya semangat berjilbab di kalangan pelajar sekolah menengah negeri Bandung kemungkinan besar berasal dari pelatihan-pelatihan yang diadakan Masjid Salman ITB yang pada masa itu aktif menyelenggarakan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) serta Studi Islam Intensif (SII). Pengaruh aktivitas Masjid Salman ITB tidak hanya terbatas pada kalangan mahasiswa Bandung saja, melainkan juga kalangan pelajar sekolah menengah dan kota-kota selain Bandung. Di Jakarta, kasus pelarangan jilbab juga mulai bermunculan. Munculnya semangat berjilbab di lingkungan sekolah menengah negeri di Jakarta banyak dipengaruhi oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta. Pada tanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P dan K. SK tersebut dapat dikatakan tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain sehingga berbenturan dengan keinginan beberapa siswi di sekolah-sekolah negeri yang ingin mengenakan jilbab. Pasca keluarnya SK tersebut, banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya dikeluarkan dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta. Kasus jilbab yang pertama sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan guru olah raga SMAN 3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka melepaskan kerudung. Bukan hanya kerudung yang menjadi masalah, kedelapan siswi ini juga diwajibkan mengenakan celana pendek (hotpant) pada jam pelajaran olah raga. Setelah surat-menyurat yang cukup alot antara Majelis Ulama, Kanwil Departemen P & K Jawa Barat, dan pihak sekolah, barulah masalah itu dapat diselesaikan. Para siswi tetap diizinkan menggunakan kerudung pada jam-jam pelajaran, termasuk jam olah raga. Tapi, untuk kasus yang terjadi di SMAN 68 Jakarta Pusat, beberapa bulan setelah itu, siswi yang mengenakan kerudung terpaksa menerima kenyataan harus dikeluarkan dari sekolah.Sejak itu, kasus-kasus jilbab di berbagai sekolah negeri lainnya segera bermunculan. Semakin lama semakin banyak siswi yang mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal ini menimbulkan reaksi dari beberapa lembaga Islam, terutama Pelajar Islam Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis Ulama Indonesia (MUI), mewakili lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan advokasi kepada Departemen P&K agar bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya mengenai peraturan seragam sekolah ini.Pada awal tahun ajaran 1984/1985, kasus-kasus pelarangan jilbab lebih sering muncul daripada tahun-tahun sebelumnya. Lembaga Bina Insan Kamil (LBIK) melaporkan 29 siswi berjilbab dari sembilan sekolah negeri terancam dikeluarkan. Serial Media Dakwah menyebutkan bahwa 300 pelajar puteri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan Sumenep, terpaksa pindah sekolah karena masalah kerudung ini. Hanya di Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap diperkenankan. Tidak sedikit siswi-siswi yang terpaksa mengalah terhadap peraturan seragam sekolah dan akhirnya melepas jilbab selama berada di lingkungan sekolah. Pada tahun 1988-1991, kasus jilbab mulai masuk ke ranah pengadilan. Kasus yang pertama kali berlanjut ke pengadilan adalah kasus pelarangan jilbab di SMAN 1 Bogor. Beberapa siswi yang berjilbab di sekolah tersebut diperbolehkan hadir belajar di kelas, tetapi di dalam absensi mereka dianggap tidak hadir dan seluruh ulangan maupun praktikum yang mereka ikuti tidak dinilai oleh guru. Selain itu, mereka juga dipanggil ke kantor sekolah setiap hari dan ditekan dengan berbagai pertanyaan yang bernada intimidatif. Setelah gagal untuk menyelesaikan hal ini secara musyawarah, empat orang tua siswi berjilbab di sekolah ini menuntut Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor ke pengadilan. Dalam mengajukan gugatannya, mereka dibantu oleh LBH Jakarta. Kasus ini dimenangkan oleh para siswi berjilbab. Kepala SMAN 1 Bogor menyampaikan permohonan maaf dan berjanji untuk menerima kembali siswi-siswi berjilbab.Berbeda dengan kasus SMA N 1 Bogor, sidang kasus jilbab yang menimpa sepuluh siswi SMAN 68 Jakarta berlangsung sangat lama. Peristiwa bermula pada bulan November 1988 ketika di sekolah tersebut mulai bermunculan siswi-siswi berjilbab. Siswi-siswi ini menerima tekanan terus menerus dari sekolah. Mereka harus memilih antara melepas jilbab, keluar dari kelas, atau guru yang tidak mengajar di kelas mereka. Tekanan yang diterima oleh siswi-siswi ini meningkat terus hingga akhirnya mereka sama sekali tidak diizinkan masuk ke dalam sekolah. Kebijakan ini didukung oleh Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta. Setelah jalan musyawarah tidak membuahkan hasil, orang tua siswi-siswi ini kemudian menempuh jalur hukum lewat bantuan LBH Jakarta. Pada tanggal 2 Maret 1989, kasus ini resmi diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah beberapa kali sidang, pengadilan memutuskan untuk menolak seluruh tuntutan penggugat. Para penggugat memutuskan untuk naik banding. Dari sepuluh orang tua siswi berjilbab, kini tinggal lima yang meneruskan gugatan ke pengadilan tinggi. Perjuangan siswi-siswi ini di pengadilan tinggi pun rupanya mengalami kekalahan. Namun, pada tanggal 19 Desember 1990 mereka mengajukan kasasi. Hasil sidang pengadilan ini baru muncul beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1995, dengan kemenangan di pihak siswi-siswi berjilbab. Padahal, sejak 1991 jilbab sudah diizinkan di sekolah-sekolah negeri.Kasus jilbab menarik perhatian berbagai media massa. Media massa yang meliput berita pelarangan jilbab pada masa ini adalah majalah Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit, Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota. Media-media massa ini juga menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya menyatakan keprihatinan mereka terhadap apa yang menimpa siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Adapun tokoh yang ikut merespon kasus ini antara lain Djafar Badjeber (Komisi E DPR RI), Sarwono Kusumaatmaja (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara), Nursyahbani Katjasungkana (Direktur LBH Jakarta), KH Hasan Basri (Ketua MUI), Hartono Mardjono (Wakil Ketua DPA), Mardinsjah (Sekjen PPP), Lukman Harun (PP Muhammadiyah), Anwar Harjono (DDII), A.M. Saefudin (Direktur Pesantren Ulil Albab Bogor), dan Drs. Ridwan Saidi.Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah negeri, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal, sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga Rp. 160,00. Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal dunia dihakimi massa karena diteriaki sebagai penebar racun. Semua peristiwa itu menimbulkan reaksi dan kemarahan umat Islam. Sejumlah demonstrasi digelar di berbagai kota. Sementara itu, pembicaraan intensif mengenai masalah ini bergulir terus antara MUI dan Departemen P dan K yang diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM (Dikdasmen), Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru[footnoteRef:26], yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak. Hal ini disambut gembira oleh siswi-siswi berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan mereka. [26: Pada SK yang baru ini, keinginan para siswi berjilbab sudah diakomodir, lengkap dengan contoh gambar pakaiannya. Namun, istilah yang digunakan pada SK tersebut tetap seragam khas, bukan jilbab.]

Konflik yang terkait dengan jilbab di sekolah-sekolah negeri sangat terkait dengan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Sikap curiga pemerintah terhadap umat Islam telah mendorong terjadinya konflik, termasuk kasus-kasus pelarangan jilbab. Penyamaan segaram sekolah ini secara tidak langsung merupakan bentuk militerisasi Orde Baru dalam bidang pakaian. Namun, kegigihan siswi-siswi SMA dalam memperjuangkan hak untuk mengenakan jilbab atau busana muslimah di lingkungan sekolah menunjukkan bahwa semua itu dilandasi oleh keyakinan dan motivasi yang kuat, bukan semata karena ikut-ikutan. Munculnya semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal Indonesia. Faktor internal yang menonjol adalah semakin ideologis dan militannya beberapa organisasi pelajar muslim dan masjid kampus dalam melakukan program kaderisasi sebagai dampak tekanan pemerintah yang kuat terhadap mereka. Faktor eksternal yang menonjol adalah dorongan psikologis yang diberikan oleh Revolusi Iran serta pengaruh ideologis pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia. Sikap kaku pemerintah terhadap peraturan seragam sekolah telah menyebabkan persoalan ini menjadi berlarut-larut. Persoalan jilbab atau busana muslim lebih tepat dilihat dari sudut pandang hak seseorang dalam menjalankan agamanya daripada dilihat dari sudut pandang politik. Sikap Departemen P dan K terhadap persoalan jilbab menunjukkan bahwa pemerintah belum bersifat akomodatif terhadap aspirasi umat Islam.[footnoteRef:27] [27: Pokok pembahasan mengenai tema jilbabisasi ini sepenuhnya diambil dari laporan hasil penelitian Kasus Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri di Indonesia tahun 1982-1991 oleh Alwi Alatas, S.S (laporan yang tidak diterbitkan). ]

d. Pembentukan MUI Strategi depolitisasi ulama menyebabkan sejumlah ulama terjegal masuk ke ranah politik pemerintahan. Akhirnya, karena kebutuhan dakwah, pada tanggal 9 Mei 1967 Mohammad Natsir bersama dengan bekas pemimpin Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Tujuannya untuk mendorong dan meningkatkan dakwah Islam di kalangan muslimin Indonesia.[footnoteRef:28] Selanjutnya, pada tahun 1969, pemerintah memprakarsai berdirinya Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII), dengan ketuanya KH. Moh Ilyas. Pemerintah menolak bahwa PDII dibentuk sebagai tandingan dari DDII. Organisasi ini merupakan organisasi semi resmi, yang dikelola oleh sejumlah ulama dan cendekiawan yang dekat dengan pemerintah. Salah satu pencapaian PDII adalah keberhasilannya menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia di Jakarta pada 30 September-4 Oktober 1970. Para peserta mengajukan usul untuk mendirikan lembaga fatwa. Masalah lembaga fatwa ini kemudian menjadi isu sentral yang belum menemui titik sepakat hingga akhir musyawarah[footnoteRef:29]. [28: Lihat Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991). Hlm 439] [29: Ibid. Hlm 441]

Empat tahun kemudian, tanggal 26-29 November 1974, PDII memprakarsai lokakarya mubaligh seluruh Indonesia. Dalam lokarya ini disepakati perlunya Majelis Ulama atau lembaga semacamnya. Untuk melakukan konsensus tersebut, Mendagri mengintruksikan agar daerah-daerah membentuk Majelis Ulama tingkat daerah. Kemudian, pada tanggal 21-27 Juli 1975 di Jakarta, diadakan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang diikuti oleh utusan-utusan dari Majelis Ulama daerah se-Indonesia. Presiden Soeharto dalam pidato pembukaannya memberikan sepuluh garis-garis pedoman bagi bentuk dan fungsi MUI.[footnoteRef:30] Musyawarah Majelis Ulama Indonesia I pada akhirnya melahirkan deklarasi mengenai berdirinya Majelis Ulama Indonesia, yang ditandatangani oleh 53 peserta musyawarah pada tanggal 26 Juli 1975. MUI pertama kali diketuai oleh Prof. Dr. HAMKA. MUI yang baru saja dibentuk ini memiliki empat fungsi, yaitu [30: Ibid. Lebih lanjut mengenai sepuluh instruksi presiden Soeharto tersebut, baca hlm 443. Di antaranya bahwa tugas ulama adalah amar maruf nahi munkar, menjadi penghubung antara pemerintah dengan ulama, menjadi penerjemah yang menyampaikan pikiran-pikiran dan kegiatan pembangunan kepada masyarakat, serta memberikan bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah.]

1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat islam umumnya sebagai amar maruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.2. Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama.4. Penghubung antara ulama dengan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional. [footnoteRef:31] [31: Ibid. Hlm 444. ]

Fungsi MUI sebagai lembaga pemberi fatwa berarti mendorong ulama berperan serta dalam pembangunan bangsa. Pada waktu-waktu selanjutnya, MUI terus mengalami berbagai dinamika.[footnoteRef:32] MUI pada masa Orde Baru dianggap sebagai stempel pemerintah. MUI sebagai lembaga fatwa harus berjalan seiring dengan pemerintah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan pun harus mendukung kebijakan pemerintah. Misalnya, fatwa tentang IUD, tubektomi, dan fasektomi. Pada awalnya, MUI memfatwakan IUD haram dilakukan karena membuka aurat perempuan. Namun, karena tekanan dari pemerintah, MUI mengubah fatwa tersebut. Setelah masa reformasi, MUI mengubah citranya tidak lagi hanya sekedar alat kebijakan pemerintah. MUI mendefinisikan diri sebagai khadimul ummah, bukan lagi khadimul hukumah. [32: Salah satu penelitian mengenai dinamika di tubuh MUI dilakukan oleh Moch Nur Ichwan dalam makalahnya Towards a Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the Politics of Religious Orthodoxy dalam Martin van Bruinessen (ed.). Contemporary Developments in Indonesia Islam Explaining the Conservative Turn. (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2013). Hlm 60. ]

e. Aliran Kepercayaan Dimasukkannya aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam GBHN pada Sidang Umum MPR 1978 menimbulkan masalah. Aliran kepercayaan atau aliran kebatinan merupakan fenomena sosial yang telah lama muncul. Aliran kepercayaan ini banyak sekali bermunculan dan kadang sulit dikendalikan. Ada yang menganggap diri sebagai agama di antaranya agama Adam Makripat, agama Pran Suh, dan ADARI (Agama Djawa Asli RI). Ada pula yang tidak mengaku sebagai agama, SUBUD (Susila Budidarma), GMKRI (Gabungan Musyawarah Kebatinan RI), Paguyuban Ngesti Tunggal, dan lain-lain. Pemerintah Indonesia memasukkan aliran kepercayaan sebagai kelompok tersendiri dalam GBHN dengan alasan UUD pasal 29 ayat 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Alasan ini tidak dapat diterima. Kata kepercayaan tidak bisa diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap eksistensi kepercayaan di samping adanya agama-agama besar yang diakui, tapi artinya adalah menunjuk kepada kepercayaan agama yang ada. Moh Hatta yang ikut merumuskan UUD 1945 memperkuat hal itu, menurutnya kepercayaan berarti kepercayaan kepada agama.[footnoteRef:33] [33: Op cit. Hlm 454-456. ]

Persoalan masuknya aliran kepercayaan kemudian menjadi masalah besar dan sempat menimbulkan ketegangan. Isu aliran kepercayaan ini berkembang bersamaan dengan munculnya kembali masalah Islam Jamaah. Umat Islam menginginkan agar mereka dibina. Mengakui mereka secara legal berarti pemurtadan secara sengaja kelompok ini dari kelompok besarnya, yaitu Muslim. Oleh karena itu, umat Islam menentang kebijakan pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan ke dalam GBHN. Dari segi ideologis politis, pengakuan aliran kepercayaan dalam GBHN dianggap sebagai usaha untuk menghilangkan mayoritas Islam di Indonesia. [footnoteRef:34] [34: Op cit. Hlm. 455 ]

f. Asas Tunggal Pancasila Pancasila kembali menjadi masalah, bukan sebagai dasar negara, tetapi sebagai asas tunggal setiap organisasi di Indonesia. Gagasan Presiden Soeharto tentang asas tunggal partai pertama kali dikemukakan dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982 di hadapan DPR. Dengan adanya kebijakan ini, maka semua partai politik, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan harus menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal. Soeharto berpendapat bahwa Pancasila adalah dasar falsafah dan ideologi negara dan pandangan hidup masyarakat Indonesia yang akan selalu memberi bimbingan kepada setiap gerak kegiatan kita, negara, masyarakat,dan manusia Indonesia.[footnoteRef:35] Asas tunggal Pancasila menjadi isu sentral menjelang Sidang Umum MPR tahun 1983, bersamaan dengan mengemukanya gagasan RUU Keormasan. Dari kalangan umat Islam, timbul beragam respons. Di antara yang menolak gagasan asas tunggal rata-rata didasarkan atas pertimbangan agama. Bagi umat Islam, kata asas menunjuk kepada hal yang paling mendasar dan hakiki dalam kehidupan. Hal ini menjadi masalah yang sangat peka.[footnoteRef:36] [35: Prof. Darji Darmodiharjo, salah satu konseptor penting P4, sekaligus Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Dept P &K, mengajukan sembilan makna Pancasila yang diantaranya adalah sebagai jiwa bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, dasar falsafah negara, ideologi negara, perjanjian luhur bangsa, cita-cita dan tujuan nasional, pandangan hidup yang mempersatukan bangsa, dan sebagai way of life.] [36: Alasannya, QS Ali Imran:85, Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. ]

Syafruddin Prawiranegara sangat menyayangkan hal ini. Keharusan asas tunggal akan bertentangan dengan kehendak UUD 1945 itu sendiri. Pasal 28 menjamin kemerdekaan setiap warga untuk berserikat dan menyatakan pendapat.[footnoteRef:37] Meskipun demikian, di kalangan umat Islam ada pula yang menerima asa tunggal Pancasila, di antaranya Nurcholis Madjid yang sejak dulu menyuarakan gagasan sekular Islam Yes, Partai Islam No. Menurutnya, hal ini tidak merupakan esensi keimanan Islam. Tokoh lain, yaitu Jalaluddin Rahmat juga membenarkan Cak Nur, katanya, di dalam Quran dan hadits tidak ada satupun kata daulah.[footnoteRef:38] [37: Lihat Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991). Hlm. 458] [38: Ibid. Hlm 459.]

Partai politik yang resmi akan terkena kebijakan ini adalah PPP, karena dalam anggaran dasarnya partai ini masih menggunakan dasar Islam di samping Pancasila. Dengan diberlakukannya UU tersebut, PPP yang selama itu dianggap sebagai partai islam, tidak lagi menjadi partai islam dalam bentuk resmi dan eksklusif. Dngan kata lain, PPP harus dapat membuka diri, menerima anggota dari agama lain, selain Islam. Asas tunggal Pancasila ini juga menimbulkan heboh dalam Kongres HMI, karena pemerintah menghendaki organisasi ini mengganti dasarnya dari Islam ke Pancasila. Namun, HMI menolak.[footnoteRef:39] Sementara itu, NU menyatakan bisa menerima asas Pancasila sebagai asas tunggal. Karena menurutnya, Republik Indonesia adalah hasil perjuangan final ummat Islam. Konsekuensi dari sikap di atas adalah NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan mengamalkannya secara konsekuen dan murni.[footnoteRef:40] [39: Deliar Noer. Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal Agama. (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983). Hlm. 13] [40: Taufik Abdullah (ed.). Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991). Hlm 450.]

Sementara itu, Muhammadiyah tampak lebih berhati-hati. Para pemimpin Muhammadiyah berusaha memantau setiap perkembangan, mencari informasi dan mempelajari isu asas tunggal ini. Pandangan Muhammadiyah terhadap asas tunggal didasarkan pada pendirian Ki Bagus Hadikusumo, seorang pemimpin Muhammadiyah yang ikut merumuskan pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengertian sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Itulah sebabnya, Muhammadiyah kemudian bisa menerima. Undang-undang keormasan disahkan pada bulan Agustus 1985. Pada akhir tahun 1987, hampir seluruh organisasi masyarakat Islam telah menyesuaikan diri dengan UU No. 8/1985 tersebut.[footnoteRef:41] [41: Ibid. Hlm 461. ]

Deliar Noer mengajukan analisa tentang konsekuensi penerapan asas tunggal partai ini. Menurutnya, asas tunggal partai menafikan hubungan antara agama dan politik, yang bagi agama tertentu, apalagi Islam, berarti bertentangan dengan ajarannya. Ini berarti dorongan untuk sekularisasi dalam politik. Asas tunggal partai juga menafikan kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang menurut keyakinan masing-masing. Keyakinan ini baik yang bersumber pada ajaran agama maupun pemahaman lain. Asas tunggal partai juga menghalangi orang-orang yang sama keyakinan untuk mengelompok sesamanya berdasarkan keyakinan, termasuk agama. Dalam hal ini asas tunggal mengandung unsur paksaan dan bukan keleluasaan yang merupakan ciri demokrasi.[footnoteRef:42] Hal ini juga mengandung kecenderungan ke arah sistem partai tunggal. Kalaupun tidak terwujud, akibatnya terjelma sistem satu partai yang terselubung. [42: Op Cit. Hlm 60. ]

Hubungan antara Pancasila dan Islam sebenarnya berkaitan dengan tafsiran yang diberikan, bisa jadi bertentangan dan bisa jadi tidak. Ada hal-hal yang dicakup dalam Islam, tapi tidak tercakup dalam Pancasila. Karena itu, ajaran Islam lebih bersifat luas, mencakup hal-hal yang oleh Pancasila mungkin tidak terpikirkan. Pancasila tanpa agama akan kosong. Sebaliknya, dengan beragama, khususnya Islam, maka kita sudah otomatis menegakkan Pancasila, kelima sila itu tegak dengan sendirinya.[footnoteRef:43] [43: Op Cit. Hlm 116.]

Selama dekade 1980-an, isu bahwa umat Islam adalah anti Pancasila memang sering terdengar. Kaum Kristen dan kaum Islamofobia lainnya berhasil menghegemoni penafsiran Pancasila sehingga penafsiran Pancasila disalahpahami dan disalahpahamkan sebagai sebuah konsep sekuler selama beberapa dekade. Dominasi kaum sekuler dalam politik Orde Baru akhirnya berdampak kepada upaya sekularisasi Pancasila. Pancasila ditempatkan sebagai posisi netral agama atau sekuler. Padahal, sejarah kelahiran Pancasila dan bunyi teks Pembukaan UUD 1945 sebenarnya sangat kental dengan nuansa worldview Islam, bukan pandangan dunia sekuler atau ateis. Pancasila memuat nilai-nilai Islam. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya konsep islam yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila. Tokoh Islam yang terlibat perumusan Pancasila, seperti K.H. Wahid Hasjim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosoejoso.[footnoteRef:44] Menanggapi hal itu, di Majalah Panji Masyarakat No. 323/1981, Hamka menulis sebuah artikel dengan judul Pancasila dan Syariat Islam. Dikatakan oleh Hamka, Bahwasanya kaum Muslimin Indonesia menerima Pancasila sebagai falsafah atau dasar Negara RI ini, tidaklah perlu diragukan lagi. Kecuali jika Pancasila itu diatasi dengan hal-hal yang bertentangan dengan Islam.[footnoteRef:45] [44: Husaini, Adian. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2009). Hlm 13. ] [45: Ibid. Hlm. 115]

Upaya Pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila menjadi landasan moral dilakukan melalui sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). PPP, tokoh Masyumi Sjafroedin Prawiranegara, dan H.M. Rasjidi menolak hal tersebut. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusatan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asas-asas ajaran agama, terutama Islam. Sejak tahun 1975, PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Penataran P4 juga wajib bagi pegawai negeri dan mahasiswa. Ada yang menyebut bahwa proses Pancasilaisasi mempunyai implikasi deislamisasi. Menurut Natsir, diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila.[footnoteRef:46] [46: Ibid. Hlm 110-111]

g. ICMIPengaruh Moertopo mulai meredup sejak serangan penyakit jantung yang dialaminya pada tahun 1978, hingga kemudian dia meninggal pada tahun Mei 1984. Golkar selama periode Sudharmono (1983-1988) mulai menunjukkan surutnya pengaruh kelompok Murtopo karena Sudharmono lebih suka mengakomodasi para aktivis Islam. Penunjukan L.B. Moerdani, sebagai Panglima TNI (ABRI) pada bulan Maret 1983 untuk sementara waktu membuat pengaruh lobi non-Muslim bertahan. Namun, dengan selesainya masa jabatan Moerdani sebagai Panglima ABRI pada tahun 1988, terjadilah titik balik dalam sikap dan relasi strategis Suharto dengan para elit militer.[footnoteRef:47] [47: Latif, Yudi. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010). Hlm 642]

Sepanjang periode 1983-1988, beberapa intelektual muslim mulai memainkan peran-peran penting dalam Dewan Pengurus Pusat Golkar (DPP Golkar), misalnya Akbar Tandjung, K.H. Tarmudji, Ibrahim Hasan, Anang Adenansi dan Qudratullah. Inteligensia Muslim yang berkiprah dalam birokrasi negara ini seringkali disebut sebagai neo-santri. Sejumlah intelektual muslim, seperti Gus Dur, Cak Nur, dan beberapa orang lainnya, diangkat sebagai anggota MPR dari utusan golongan di bawah bendera Golkar.[footnoteRef:48] Tahun 1980-an dan 1990-an juga merupakan masa panen raya atau ledakan jumlah intelektual Muslim Indonesia dari berbagai gerakan.[footnoteRef:49] Tabel berikut ini merepresentasikan pencapaian jenjang S1 berdasarkan agama dari penduduk Indonesia dalam kelompok usia 2429 tahun.[footnoteRef:50] [48: Ibid. Hlm 643] [49: Lebih lanjut mengenai pembentukan ICMI serta kaitan antara intelektual muslim dengan kekuasaan Orde Baru dapat dibaca pada bab VI buku Daniel Dhakidae. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003)] [50: Op cit. Hlm 648]

Tahun Muslim Kristen HinduA B C A B C A B C1976 16.218 0,0% 75,3% 4.191 0,4% 19,4% 520 0,1% 2,4%1985 71.516 0,2% 76,0% 18.706 0,7% 19,8% 3.024 0,5% 3,2%1995 553.257 1,8% 77,5% 132.657 4,1% 18,5% 16.604 2,8% 2,3%

*Sumber: Survei Antarsensus Indonesia oleh BPS pada tahun 1976, 1985 dan 1995

Keterangan: A = total jumlah kelompok agama tertentu yang menyelesaikan S1 (dari kelompok usia ini)B = persentase A terhadap total jumlah kelompok agama tertentu (dari kelompok usia ini)C = persentase A terhadap total penduduk (dari kelompok usia ini)Sepanjang tahun 1980-an, sebenarnya telah muncul usaha untuk menyatukan para intelektual muslim ke dalam satu wadah khusus, sebagai usaha untuk untuk memperkuat daya tawar intelektual muslim di tengah-tengah pemerintah. Pada tahun 1980, para intelektual Muslim di Surabaya dan sekitarnya membentuk Cendekiawan Muslim Al-Falah (CMF) yang dipimpin oleh Fuad Amsjari. Kemudian pada bulan Desember 1984, MUI mengadakan pertemuan intelektual muslim di Wisma PKBI, Jakarta, yang disusul dengan acara Silaturahmi Cendekiawan Muslim, di Ciawi (Bogor ) pada bulan Maret 1986 dan diikuti lebih dari 100 intelektual Muslim. Di Yogyakarta pada awal tahun 1989, Imaduddin Abdulrahim mengorganisir sebuah pertemuan para intelektual Muslim. Pertemuan itu diikuti oleh sekitar 50 partisipan dari beragam gerakan Islam termasuk Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari dan Syafii Maarif. Pertemuan itu telah berhasil menyepakati rencana mendirikan sebuah perhimpunan intelektual Muslim, namun aparat keamanan tiba-tiba memaksa membubarkan pertemuan tersebut. Kegagalan tersebut menjadi cermin sikap pemerintah yang cenderung masih bersikap antagonis terhadap Islam.[footnoteRef:51] [51: Ibid. Hlm 667-669.]

Kedekatan Soeharto dengan Islam semakin erat ketika masuknya B.J. Habibie ke dalam lingkaran pemerintahan. Habibie merupakan kombinasi unik dari latar belakang sipil, kecerdasan akademis, kesalehan islami, dan kedekatan dengan Soeharto, yang membuatnya menjadi kunci masa depan bagi banyak kaum intelektual kelas menengah Islam. Ketika para intelektual muslim mendirikan ICMI, yang disetujui oleh Soeharto pada Desember 1990, mereka meminta Habibie untuk memimpinnya. ICMI mengubah konstelasi peta politik dan religius di Indonesia.[footnoteRef:52] Kedekatan Islam dengan Soeharto kemudian membawa angin segar bagi kehidupan umat Islam di Indonesia. Sejumlah kebijakan yang bersifat akomodatif dikelaurkan, seperti diperbolehkan mengenakan jilbab di ruang publik, penguatan pendidikan agama, dan adanya sanksi bagi pelecehan agama di media massa (kasus tabloid Monitor). [52: M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2010). Hlm 668.]

Pembentukan organisasi cendekiawan muslim ini merupakan tonggak terpenting dalam hubungan antara Orba dengan Islam yang semakin akomodatif sejak paruh kedua 1980-an. ICMI lahir pada tanggal 7 Desember 1990 di Universitas Brawijaya, Jawa Timur. Organisasi ini mendapatkan dukungan penuh dari Soeharto. Bersama Centre for Information and Development Studies (CIDES) dan harian Republika, ICMI segera berperan sebagai think tank Orde Baru menggantikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies).[footnoteRef:53] CSIS sendiri merupakan lembaga think tank pada masa-masa awal pemerintah Orde Baru, yang didirikan oleh golongan Cina-Katolik pada tahun 1971. Ali Moertopo, Daoed Jusuf, dan Benny Moerdani merupakan tokoh dari lembaga ini. [53: Jan S. Aritonang, ... Hlm 456-462. ]

Berdirinya ICMI merupakan momentum bersejarah dalam kebangkitan umat Islam di Indonesia. Ia menandai berakhirnya dominasi Kristen-Katolik yang sejak awal Orde Baru dekat dengan Soeharto dan mempengaruhinya dalam mengambil kebijakan, salah satunya lewat CSIS. CSIS ikut andil dalam memainkan kebijakan Orde Baru, termasuk dalam hal marginalisasi umat Islam. Upaya marginalisasi umat Islam ini dilakukan melalui beberapa cara, yaitu deideologisasi (pemaksaan asas tunggal), depolitisasi (konsep floating mass), dan sekulerisasi (terbitnya UU yang mengabaikan peran agama). Mantan Asisten Personel Kepala Staf Angkatan Darat, Mulchis Anwar, dalam sebuah kolom berjudul Bongkar Pasang Inteligen di Majalah Tempo edisi 23-29 Oktober 2000, mengakui adanya berbagai rekayasa menyakitkan terhadap umat Islam. Isu berdirinya negara Islam, rekayasa Komando Jihad, Warsidi (Lampung), peristiwa Tanjung Priok yang memakan korban lebih dari 400 nyawa, adalah bagian dari rekayasa tersebut.[footnoteRef:54] Namun, sejak Soeharto mulai cenderung kepada umat Islam, berbagai kebijakan yang pro Islam pun dihasilkan, termasuk izin menggunakan jilbab di ruang publik bagi muslimah, pendirian Bank Muamalat pada tahun 1991, dan sejumlah kebijakan lainnya. Puncaknya, ketika Soeharto menggaet Habibie sebagai wakil presiden. [54: Islam di Tengah Carut Marut Politik Orde Baru dalam Majalah Suara Hidayatullah, Edisi Khusus Milad 2008. Hlm 28]

Sejumlah Kebijakan LainSelain kebijakan-kebijakan yang telah diuraikan di atas, Orde Baru juga menelurkan beberapa kebijakan yang memicu pro kontra dengan umat Islam atau yang menimbulkan pertentangan antara umat Islam dengan Kristen-Katolik. Salah satunya, SKB No. 1 tahun 1969 yang ditetapkan pada tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh Menteri Agama KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, tentang pembangunan gereja. SKB ini menyatakan bahwa Pembangunan gereja harus seizin kepala daerah dan apabila dianggap perlu kepala daerah dapat meminta pendapat organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat. Selain itu, umat Kristen juga mempermasalahkan SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978 yang mengatur tentang pedoman penyiaran agama. Penyiaran agama tidak boleh ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain. [footnoteRef:55] [55: Adian Husaini. Gereja-Gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia. (Jakarta: Dea Press, 2000). Hlm 154. ]

Selain SKB No. 1 tahun 1969, SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978, ada lagi peraturan perundang-undangan lain, yakni UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi momok bagi kaum Kristen, karena di dalamnya mengandung pasal-pasal tentang kedudukan pendidikan agama di sekolah. Di antaranya berbunyi Siswa mempunyai hak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Selanjutnya, bagian penjelasan, pasal 28 ayat 2 UU No 2 tahun 1989 tersebut berbunyi Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.[footnoteRef:56] Golongan Kristen khawatir UU ini menghalangi dapat misi kristenisasi. Terutama di sekolah-sekolah Kristen, hal ini menimbulkan masalah karena banyak juga anak orang Islam yang bersekolah di sekolah tersebut. [56: Ibid. Hlm 159]

Masalah kerukunan umat beragama menjadi permasalahan serius pada masa Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Masalah kerukunan umat beragama mulai mengemuka sejak meletusnya pemberontakan G 30/S PKI, terutama karena maraknya kristenisasi. Kegiatan misi Kristen di Indonesia meningkat. Orang-orang komunis (eks-PKI) dan umat Islam yang miskin adalah sasaran utama mereka. Pada tahun 1967, misi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung perasaan umat Islam, yaitu dengan mendirikan gereja dan sekolah kristen di tengah masyarakat muslim. Keadaan tersebut menimbulkan suatu peristiwa yang tidak diinginkan, di antaranya perusakan gereja di Meulaboh Aceh (Juni 1967), perusakan gereja di Makassar (Oktober 1967), dan perusakan sekolah Kristen di Palmerah Slipi, Jakarta.[footnoteRef:57] [57: M. Natsir. Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983). Hlm. 207. ]

Masalah kristenisasi dan kerukunan umat beragama ini memicu Presiden Soeharto mengeluarkan seruannya agar untuk jangan sampai mengganggu perasaan golongan lain, maka dalam penyiaran agama itu harus kita usahakan agar jangan sampai ditujukan kepada orang yang sudah beragama. Dalam seminar tanggal 28 Oktober tentang Peranan Pemimpin-Pemimpin Agama dalam Pembangunan Nasional Menteri Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata RI, M. Panggabean juga menyampaikan pidato yang menghimbau untuk ditingkatkannya kerukunan hidup beragama dan toleransi yang tinggi antar pemeluk agama, dengan memperhatikan faktor-faktor di bawah ini. a. Jangan sampai orang berusaha supaya orang lain yang sudah memeluk agama meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang ia peluk, dengan penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaanb. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antara kelompo-kelompokc. Saling memahami kepercayaan satu sama lain[footnoteRef:58] [58: Ibid. Hlm 252]

Untuk mencegah perselisihan antar umat beragama dan membendung maraknya kristenisasi, pihak Islam mengajukan suatu modus vivendi, suatu rumusan piagam antar agama. M. Natsir telah menawarkan tiga solusi yang kiranya dapat menjadi titik temu antara umat Islam dan Kristen, yaitu sebagai berikut.[footnoteRef:59] [59: Lebih lanjut, baca M. Natsir. Mencari Modus Vivendi Kerukunan Ummat Beragama di Indonesia. Cetakan kedua. (Jakarta: Media Dakwah, 2007).]

1. Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk membawa perkabaran Injil sampai ke ujung bumi, supaya menahan diri dari maksud dan tujuannya dari program Kristenisasi itu; 2. Orang Islam pun harus menahan diri, jangan cepat-cepat melakukan tindakan fisik. Tapi, ini hanya bisa apabila orang Kristen pun dapat menahan diri; 3. Sementara itu, pihak pemerintah harus bertindak cepat apabila pihak Kristen tidak mematuhi larangan-larangan pemerintah, agar pada orang Islam tidak timbul perasaan tidak berdaya, seolah-olah mereka tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hukum terhadap rongrongan pihak lain.Akan tetapi, pihak Kristen dan Katolik menolaknya. Kemudian dari Menteri Agama, Mukti Ali juga memberikan sebuah bentuk penyelesaian terkait tata cara penyebaran agama. Pada tahun 1979, Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan Nomor 70 Tahun 1979 tentang Pedoman Penyiaran Agama.[footnoteRef:60] Namun seiring berjalannya waktu, baik usulan dari M. Natsir maupun keputusan Menteri Agama Mukti Ali, belum berjalan dengan efektif. Sampai saat ini, masih banyak kerusuhan yang disebabkan praktik-praktik penyebaran agama, terutama kristenisasi. Maka, mau tak mau yang terjadi saat ini adalah gejala free fight for all dan survival of the fittest di bidang agama.[footnoteRef:61] [60: Menurut butir kedua isi surat keputusan tersebut, penyiaran agama tidak dibenarkan untuk:ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain;dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk sesuatu agama; dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku, dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain; dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang lain yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.] [61: M. Natsir. Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983) Hlm 248.]

Otak di Balik Pemerintahan Orde Baru Musuh Orde Baru ada dua, yaitu ekstrim kiri (marxis) dan ekstrim kanan (fundamentalis). Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus pernyataan sebagai organisasi terlarang. Sementara itu, terhadap golongan Islam, tindakannya lebih banyak lagi, di antaranya penolakan rehabilitasi Masyumi; dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri; pemaksaan fusi parpol dengan UU No 3/1973; terbitnya UU Perkawinan 1974 yang merupakan deislamisasi kaidah-kaidah kemasyarakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam; terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam pada 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah; serta disahkannya aliran kepercayaan dan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) melalui Tap MPR No II/1978.Otak dari berbagai kebijakan yang mendiskreditkan Islam pada masa Orde Baru adalah Letnan Jenderal Ali Moertopo.[footnoteRef:62] Pada tahun 1970, Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dibajak oleh John Naro, yang didalangi oleh Ali Moertopo. Selanjutnya, pada peristiwa 15 Januari (Malari) 1974, Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan dituduh sebagai dalang peristiwa tersebut. Pasca 1982, peran Ali Moertopo digantikan oleh Jenderal Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985, Benny menggalakkan kebijakan bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila. Peristiwa menarik sesudahnya, yaitu kasus lembaran putih. Lembaran putih merupakan surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandatangani oleh sejumlah tokoh Islam. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkap para penceramah yang dianggap garis keras seperti AM Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardie, dan lain-lain. Mereka dicap sebagai ekstrem kanan. [62: Baca buku Strategi Politik Nasional Ali Moertopo (Jakarta: CSIS, 1974). Lihat juga dalam Adian Husaini. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 2009) Hlm. 13. ]

Pilar sentral daripada pemerintahan rezim Soeharto adalah kelompok militer, yang lebih akrab disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Dalam rangka menyingkirkan umat Islam, ABRI merumuskan beberapa strategi politik. Strategi ini dilakukan melalui beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh institusinya maupun perwira tinggi militer. Pertama, Desember 1966 kelompok militer menyatakan akan mengambil tindakan tegas kepada siapa saja yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilu tahun 1971, dimana ABRI menjadi tulang punggung Golkar. Ketiga, melalui Mendagri mengeluarkan peraturan menteri yang dimaksudka untuk memurnikan wakil-wakil Golkar di badan-badan legislatif, pegawai negeri dilarang dan harus diganti jika mereka bergabung ke dalam partai politik (PNI, NU, Parmusi, PSII, dll). Keempat, restrukturisasi parpol melalui fusi partai politik. Kelima, penerapan konsep massa mengambang, dimana aktivitas partai di tingkat desa dan kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan. Keenam, dasar ideologi pancasila. Ketujuh, pemberlakuan UU Keormasan pada tahun 1985 yang mewajibkan semua organisasi sosial keagamaan untuk menggunakan asas tunggal Pancasila.[footnoteRef:63] [63: Lebih jelas lagi mengenai hal ini dapat dilihat skripsi Edhy Hariyanto. Peran Politik Militer (ABRI) Orde Baru terhadap Depolitisasi Politik Islam di Indonesia (Studi terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru terhadap Politik Islam tahun 1967-1990). (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006). Hlm 117-118.]

Peranan Islam dalam Masa Transisi: Antara Orba ke ReformasiSelama 32 tahun (1966-1998) berkuasa, Soeharto telah sukses melakukan berbagai pencapaian dalam pembangunan di Indonesia, khususnya pembangunan infrastruktur, pertanian, dan industri. Bersamaan dengan itu, pembangunan sekolah-sekolah agama dan perguruan tinggi Islam juga dilakukan. Meskipun, tidak dipungkiri banyak kejahatan kemanusian dan KKN yang mewarnai perjalanan kekuasaannya. Hingga pada bulan Agustus 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi, yang sebelumnya juga telah menghantam Thailand dan sejumlah negara Asia lainnya. Meskipun mendapatkan bantuan dana dari IMF (International Monetary Fund) pada bulan Oktober 1997 dan Januari 1998, nilai mata uang Indonesia tergelincir dari rata-rata Rp 2400 per dolar US pada pertengahan 1997 menjadi Rp 17.500 pada bulan Maret 2008. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang juga terkena imbas krisis moneter, Indonesia termasuk yang terkena dampak paling parah, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial.[footnoteRef:64] [64: Colin Brown. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? (New South Wales: Allen & Unwin, 2003). Hlm 226]

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menjadi katalis bagi rakyat untuk mempertanyakan legitimasi Orde Baru dan membayangkan masa depan negara tanpa Suharto. Krisis ekonomi tersebut kemudian melahirkan krisis politik. Elit kekuasaan memperlihatkan perpecahan internal yang parah. Para oposan yang berserakan mulai bersatu dalam sebuah gerakan bersama, sementara dukungan internasional, terutama yang berasal dari institusi-institusi keuangan, lenyap. Semua itu dan faktor-faktor lainnya yang terjadi secara simultan menciptakan tekanan yang besar sehingga akhirnya Soeharto kehilangan dukungan. Akibatnya, dia tak punya pilihan lain selain mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998.[footnoteRef:65] Pengunduran diri Soeharto ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Dari satu sisi, pengunduran diri ini merupakan pelaksanaan ke luar dari keputusan yang diambil dari dalam hatinya sendiri. Di sisi lain, juga karena perlawanan luas dari rakyat Indonesia dan pengkhianatan yang dilakukan oleh rekan-rekannya sendiri. Sebanyak 14 menteri menyatakan diri menolak diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi.[footnoteRef:66] [65: Yudi Latif. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta. Hlm 657.] [66: Pramono U. Tanthowi (2005), hlm 183]

Tidak dipungkiri bahwa umat Islam memiliki peranan besar dalam suksesi kekuasaan menuju masa Reformasi.[footnoteRef:67] Pada masa ini, umat Islam tengah berada pada posisi yang strategis dan kuat. Amien Rais, tokoh Muhammadiyah yang juga seorang cendekiawan Islam, adalah lokomotif bagi gerakan reformasi. Kekuatan reformasi juga tidak lepas dari sumbangan peran para mahasiswa muslim di berbagai kampus. Mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI, HMI, BEM KM, dan sejumlah LDK ikut turun ke jalan menuntut reformasi dan turunnya Soeharto dari jabatan kepresidenan. Pada waktu-waktu selanjutnya, peristiwa ini menjadi momen yang sangat bersejarah dalam konstelasi pergerakan mahasiswa muslim di Indonesia. [67: Eman Mulyatman. Islam di Era Reformasi: Mengantar Buih Jadi Gelombang dalam Majalah Sabili Edisi No 9 Th X 2003, hlm 172-177 ]

Akhirnya, sejak 21 Mei 1998, Habibie resmi mengambil alih kepemimpinan Indonesia. Pemerintah reformasi yang baru saja dibentuk ini langsung dituntut untuk melaksanakan sejumlah agenda. Berikut ini merupakan sejumlah agenda keagamaan pemerintah reformasi, yaitu1. Reposisi ulamaSelama pemerintahan Orba, ulama diposisikan sebagai fasilitator penguasa untuk mengamankan kebijakan-kebijakannya. Pemerintah reformasi dituntut untuk mengubah paradigma dalam memandang ulama tersebut. Ulama harus diposisikan berada di atas penguasa (umaro). Ulama tidak perlu sungkan mengeluarkan fatwa walaupun kurang disenangi asal fatwa itu sesuai menurut ketentuan syariat. 2. Penentuan puasa, 3. Biaya haji, yang dinilai tidak sesuai dengan fasilitas yang didapatkan, 4. UU Penyebaran Agama dan rumah ibadah, pemerintah diharapkan lebih berani mengambil sikap untuk menetapkan UU tersebut. [footnoteRef:68] [68: Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001). Hlm. 69-74.]

Namun, berbeda dengan pendahulunya, kepemimpinan Habibie dinilai sangat lemah karena sejumlah faktor. Selain karena legitimasi kekuasaannya dipertanyakan oleh banyak orang dan munculnya persepsi bahwa Habibie merupakan warisan dari Soeharto, Habibie juga dinilai tidak memiliki basis massa yang kuat untuk membangun kekuasaannya. Tokoh-tokoh Islam seperti Amien Rais, Nurcholis Madjid, Adnan Buyung, dan Emil Salim, cenderung menempatkan Habibie sebagai pemerintahan transisi yang bertugas menyiapkan pemilu selanjutnya.[footnoteRef:69] Segera setelah menggantikan Soeharto sebagai presiden, Habibie membuka keleluasaan publik untuk membentuk partai politik. [69: Pramono U. Thantowi, Hlm 188-189.]

Di era reformasi, hasil amandemen UUD 1945 memungkinkan partai politik tumbuh berlipat ganda jumlahnya. Partai-partai yang berasas Islam atau dipimpin oleh tokoh Islam, menurut Vincent Wangge SH dalam Direktori Partai Politik Indonesia (1999), antara lain yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Masyarakat Umat Muslimin Indonesia Baru-Partai Masyumi Baru (PMB), Partai Ummat Islam (PUI)[footnoteRef:70] [70: Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara. 2012. Api Sejarah 2. (Bandung: Penerbit Salamadani, 2012) ]

Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra, Partai Masyumi Baru (PMB) pimpinan Ridwan Saidi, dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM) pimpinan Abdullah Hehamahua merupakan sejumlah partai yang berasal dari eks-Masyumi.[footnoteRef:71] Kemunculan partai-partai muslim ini disinyalir oleh sejumlah pengamat sebagai awal kebangkitan kaum santri di Indonesia. Dari 48 partai politik, 20 partai di antaranya dapat dikategorikan sebagai partai Islam. Namun, meskipun dari segi kuantitas cukup banyak, nyatanya partai-partai Islam tersebut tidak mendapatkan kemenangan. Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDIP, dengan perolehan suara sebanyak 33,7 %. Sementara itu, partai-partai Islam seperti PPP, PKB, PK, PNU, dan PAN cenderung mendapatkan suara sedikit. PAN yang dipelopori oleh Amien Rais hanya meraih suara 7 %. Berikut ini data perolehan suara pemilu 1999.[footnoteRef:72] [71: Op Cit, Hlm 201.] [72: M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Third Edition. (Hampshire:Palgrave, 2001). Page 418. ]

Party Valid votes % Valid votes Parliamentary seats %Electedparliamentary seatsPDI-P 35.706.618 33.7 153 33.1Golkar 23.742.112 22.4 120 26.0PPP 11.330.387 10.7 58 12.6PKB 13.336.963 12.6 51 11.0PAN 7.528.936 7.1 34 7.416 lainnya 14.200.921 13.4 46 10.0Total 105.845.93 99.9 462 100.1

Hal itu menimbulkan pertanyaan, kenapa partai Islam kalah? Tidak lain, karena mereka pecah. Oleh karena melihat hasil pemilu ini, beberapa orang yang dimotori oleh Amien Rais mendirikan poros tengah untuk menyatukan kekuatan umat Islam. Dari PDI-P, Megawati dicalonkan sebagai presiden atas dukungan sejumlah partai, yaitu PDI-P, PKB, PBTI, PDKB, PNI, dll. Sementara dari poros tengah, awalnya ada dua calon, yaitu Gus Dur dan Yusril Ihza Mahendra. Akan tetapi, Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri pada detik-detik akhir. Hal ini mengagetkan kubu Megawati. Kekuatan umat Islam pun terpusat untuk mendukung Gus Dur, di antaranya dari PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKU, PSII, PNU.[footnoteRef:73] Apalagi, pada saat itu, sosok perempuan yang menjabat sebagai presiden belum bisa diterima oleh sebagian besar kalangan umat Islam. Tahun 1999, Abdurrahman Wahib atau Gus Dur resmi dilantik sebagai Presiden RI ketiga. Ia merupakan presiden Indonesia pertama dan satu-satunya hingga saat ini yang berasal dari kalangan santri. [73: Pramono U. Tanthowi. Hlm 224.]

Islam Pasca Reformasi: 1998-2012 Tidak terlihat memperoleh keunggulan politik sejak 1950-an, Islam bergerak ke depan dalam politik Indonesia sejak 1990-an. Indonesia sedang mengalami kebangkitan Islam sejak 1980-an.[footnoteRef:74] Menurut Martin van Bruinessen, pembangunan di Indonesia sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 memberikan perubahan besar pada wajah Islam Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya keinginan untuk menegakkan hukum syariah, semakin menguatnya kekuatan umat Islam dalam kancah politik, serta munculnya berbagai gerakan yang semula di bawah tanah, seperti PKS, HTI, Jamaah Tabligh dan Salafi.[footnoteRef:75] Seperti kotak pandora yang baru saja dibuka, pada masa setelah Orde Baru berbagai kelompok seolah berlomba untuk menunjukkan eksistensinya. Gerakan-gerakan yang semula bergerak di bawah tanah mulai muncul ke permukaan. [74: Adam Schwarz. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. (United States of America: Westview Press, 2000). Hlm 327.] [75: Martin van Bruinessen (ed.). Contemporary Developments in Indonesia Islam Explaining the Conservative Turn. (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2013), hlm 1]

Setelah runtuhnya Orde Baru hingga 2013, Indonesia telah mengalami empat kali pergantian kepemimpinan dan lima kali pemilu. Mulai dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga terakhir dua periode di bawah Susilo Bambang Yudhoyono. Keempat sosok tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda. Soekarno ternyata lebih banyak berbicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng aling-aling; Soeharto sangat high context, senyumnya multi-tafsir; Habibie kuat dengan bahasa tubuh dan emosional; Gus Dur tidak punya pola, alias suka-suka, tepi sering menggertak komunikan; Megawati easy going dan, konon, tidak mau repot; sedang SBY sering membingungkan dan kurang jelas.[footnoteRef:76] Majalah Suara Hidayatullah dalam sebuah artikel memberi judul tentang pemerintahan SBY-JK dalam hubungannya dengan syariat Islam sebagai politik angin bertiup. SBY tidak bersifat represif terhadap umat Islam, tetapi juga membiarkan program-program sekularisasi terus dijalankan.[footnoteRef:77] [76: Ada satu buku yang membahas pola komunikasi keenam presiden Indonesia. Baca Tjipta Lesmana. 2008. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.] [77: Pemerintahan SBY-JK dan Syariat Islam: Politik Angin Bertiup dalam Majalah Suara Hidayatullah Edisi Khusus Milad 2008.]

Awalnya, pada bagian ini penulis ingin membuat gambaran sikap keempat presiden di atas terhadap Islam. Hal itu sangat menarik, sebab keempat-keempatnya memiliki latar belakang dan kondisi kultural yang berbeda-beda. Habibie dikenal sebagai intelektual muslim yang pernah berkiprah di ICMI, Gus Dur merupakan seorang santri nyleneh, anak kyai yang hidup di suasana kultur religius, Megawati bisa dibilang lahir dari keluarga nasionalis sekular, sementara SBY memulai karirnya dari kalangan militer dan tidak memiliki latar belakang kedekatan dengan kelompok agama. Akan tetapi, karena keterbatasan literatur, hal itu tidak dapat dilakukan. Pemerintahan Gus Dur banyak menuai kritik dan protes dari masyarakat. Serangan terhadap Gus Dur sebagian besar diarahkan pada kelemahan fisiknya, banyak pernyataan Gus Dur yang emosional dan dianggap melanggar konstitusi. Sikap Gus Dur kadang-kadang nyleneh dan menyakiti sejumlah pihak. Perkataannya yang menyinggung sejumlah pihak, seperti Apa bedanya DPR dengan taman kanak-kanak? dalam Sidang Paripurna DPR, telah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia juga dinilai lamban dalam menyelesaikan kasus Aceh dan menganggap sepele masalah Maluku. Gus Dur semakin menyakiti hati umat Islam ketika ia mengemukakan rencana membuka hubungan dagang dengan Israel.[footnoteRef:78] [78: Pramono U. Tanthowi. Kebangkitan Politik Kaum Santri. (Jakarta: PSAP, 2005), hlm 239-241.]

Gus Dur dinilai gagal mentransformasikan kepemimpinan patrimonial seperti kepemimpinan dalam pesantren, menjadi kepemimpinan modern dalam skala yang lebih luas. Dengan tindakan-tindakan yang diambilnya, secara tidak sadar Gus Dur sebenarnya sedang menggerogoti kekuasaannya sendiri.[footnoteRef:79] Di sisi lain, ia dipuji-puji oleh Barat sebagai sosok Islam moderat, non fundamentalis, tidak radikal dan tidak ekstrim. Ia juga sempat dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2000. Koran International Herald Tribune (IHT), 21 Oktober 1999 menyebut Gus Dur sebagai pemimpin muslim yang toleran dan inklusif serta seorang pejuang HAM.[footnoteRef:80] [79: Ibid. Hlm 247. ] [80: Adian Husaini. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Gema Insani Press: Jakarta. Hlm 15. ]

Memasuki tahun 2001, dukungan terhadap Gus Dur semakin melemah. Sebagian kalangan di DPR/MPR meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR. Hal ini semakin beralasan ketika 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit yang berisi pembekuan DPR/MPR dan Partai Golkar, serta mempercepat pemilu. MA mengeluarkan fatwa bahwa dekrit tersebut melanggar hukum. Akhirnya, SI MPR dilaksanakan pada tanggal 21-26 Juli 2001. Hasilnya, dekrit presiden tanggal 23 Juli 2001 dinyatakan tidak sah dan bertentangan hukum, MPR memberhentikan Gus Dur, menetapkan Megawati sebagai Presdiden RI serta mengangkat Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.Namun, di samping menguatnya kekuatan Islam di parlemen, ada sejumlah isu krusial yang terjadi selama masa pasca reformasi, yaitu 1. Islam LiberalDi Indonesia, kelompok Islam liberal dimotori oleh JIL (Jaringan Islam Liberal). Mereka ibarat musuh dalam selimut, karena menggerogoti akidah umat Islam dari dalam. Program yang mereka gulirkan adalah seputar isu-isu liberalisme, sekularisme, pluralisme, feminisme, demokrasi, dan HAM. Tokoh-tokohnya adalah Nurcholis Madjid, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie Assyaukanie, Djohan Effendi, Musdah Mulia, serta banyak tokoh-tokoh lain yang bernaung di bawah JIL. Ide-ide mereka telah masuk ke ranah akademis, termasuk yang paling parah justru di universitas-universitas islam negeri (UIN). Penyebaran gagasannya juga berlangsung kuat karena didukung dana internasional melalui LSM-LSM seperti Asia Foundation dan Ford Foundation. Jika ditelusuri sejarahnya, benih-benih liberalisasi Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi, secara sistematis, proyek ini dimulai pada awal tahun 1970-an oleh Nurcholish Madjid dalam makalahnya yang berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.[footnoteRef:81] Gagasan utama dari liberalisme adalah progresivitas. Liberalisasi Islam di Indonesia dilakukan melalui liberalisasi bidang aqidah (pluralisme agama), liberalisasi bidang syariah (perubahan metodologi ijtihad), dan liberalisasi konsep wahyu dengan ide dekonstruksi terhadap Al Quran. Pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram bagi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. [81: Makalah Tantangan Pemikiran Kontemporer: Liberalisasi Islam di Indonesia oleh Dr. Adian Husaini, hlm 1. Pembahasan mengenai Islam Liberal telah sangat banyak dilakukan, dalam berbagai buku, makalah, dan artikel. Lihat tulisan-tulisan Adian Husaini, Hamid Fahmy Zarkasyi, Adnin Armas, Nirwan Syafrin, Syamuddin Arif, Akmal Sjafril, dll. ]

2. Terorisme Isu lain yang menyita perhatian umat Islam adalah banyaknya kasus terorisme di Indonesia, yang mengatasnamakan Islam sebagai landasan untuk berjihad. Padahal, Islam sendiri tidak pernah mengajarkan untuk berlaku kekerasan apalagi terorisme. Terorisme mulai mencuat sejak peristiwa 11 September 2001, ketika gedung WTC dan Pentagon dibom oleh sekelompok orang yang konon berasal dari jaringan Al Qaeda, Osama bin Laden. Sejak itu, barat seolah memberikan ultimatum kepada seluruh dunia untuk berperang melawan terorisme. Di Indonesia, serangkaian peristiwa pemboman yang terjadi, di antaranya Peristiwa Bom Bali I & II, bom Hotel J.W Marriot, pemboman di gereja-gereja pada malam Natal tahun 2000, dan sejumlah peristiwa lainnya. Sayangnya, isu terorisme ini disikapi secara berlebihan dan kadangkala tidak tepat oleh pemerintah. 3. Masalah Perda SyariahPasca reformasi, masalah syariat islam mencuat di sejumlah daerah. Pada bulan Juni 2001, disahkan UU Nanggroe Aceh Darussalam oleh DPR RI, sebagai buah perjuangan rakyat Aceh. UU tersebut memberikan kekuatan hukum bagi masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah di wilayah Aceh. Penerapan syariat Islam ini didukung oleh sejumlah peluang, di antaranya peluang politik (UU tentang otonomi daerah tahun 1999), peluang birokrasi yang ditandai oleh banyaknya tokoh islam yang menjadi elit birokrasi, dan meningkatnya kesadaran masyarakat Islam akan syariat.[footnoteRef:82] Namun, pada saat yang sama tantangannya adalah (1) budaya barat yang sudah merasuk ke dalam pikiran sebagian umat Islam, (2) kalangan sekuler yang tidak menghendaki penerapan syariah di Indonesia, dan (3) publik opini yang terbentuk melalui media massa tidak memihak pada penerapan syariah.[footnoteRef:83] [82: Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001) Hlm. 146-150. ] [83: Ibid. Hlm 151.]

4. Kerukunan Umat Beragama Dalam sejarah Indonesia, permasalahan kerukunan umat beragama mulai muncul dan meningkat pasca peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada waktu itu, praktik kristenisasi yang dilakukan oleh oknum gereja kepada umat Islam sangat marak sampai pada tahun 1967. Hal ini menimbulkan ketersinggungan yang berkepanjangan bagi umat Islam. Puncaknya, pada Juni 1967 terjadi peristiwa perusakan gereja di Meulaboh, Aceh. Selanjutnya, Oktober 1967, terjadi perusakan sekolah Kristen di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Pada masa Orde Baru (1967-1998), permasalahan kerukunan antarumat beragama sangat mempengaruhi kestabilan pemerintahan Soeharto. Berbagai usaha telah dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, namun belum ditemukan solusi yang relevan. Pasca reformasi, masalah kerukunan antarumat beragama di Indonesia tak kunjung selesai, bahkan bisa dibilang semakin parah. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya aksi kekerasan antarumat beragama terutama umat Islam-Kristen. Di samping itu, masalah kerukunan intra umat beragama juga makin mengemuka akibat maraknya aliran sesat. Pengeboman gereja pada malam Natal tahun 2000, penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat, kasus Syiah di Sampang Madura, dan sejumlah kasus lainnya menjadi catatan tersendiri dalam masalah kerukunan umat beragama. Ada berbagai faktor yang mendasari terjadinya kekerasan umat beragama. Peristiwa-peristiwa semacam ini kemudian mendorong pemerintah untuk menciptakan komunitas-komunitas kerukunan umat beragama dan dialog antar agama. Namun, sayangnya, gagasan ini kemudian seringkali ditunggangi oleh Islam Liberal untuk menyebarkan ide pluralisme. Padahal, menciptakan kerukunan umat beragama tidak serta merta berarti dilakukan dengan menerima kebenaran semua agama. 5. Perkembangan Aliran SesatAliran sesat tampak makin marak perkembangannya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Mulai dari ruwatan kemusyrikan hingga JIL muncul secara resmi.[footnoteRef:84] Banyak paham-paham keagamaan yang muncul dengan membawa simbol Islam. Tak sedikit umat Islam yang mengalami kebingungan, apakah ajaran ini benar atau bertentangan dengan ajaran Islam. Berikut ini merupakan beberapa aliran sesat yang berkembang di Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru. [84: Track record pemerintahan Gus Dur yang buruk ini kemudian diindikasi menjadi salah satu sebab kekalahan perpolitikan umat Islam saat ini. Gus Dur yang notabene adalah seorang kyai dan didukung oleh mayoritas umat Islam lewat Poros Tengah ternyata tidak dapat memenuhi harapan rakyat. Baca tulisan Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam dalam Majalah Sabili No. 9 Th X 2003 hlm 88. ]

a. Syiah Permasalahan seputar Syiah baru-baru ini mencuat di Indonesia sejak kasus Sampang Madura tahun 2011. Pergerakannya tidak mudah dideteksi karena adanya takiyah dari para pengikutnya. Tokoh Syiah di Indonesia adalah Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, dan lain-lain. Terdapat banyak media massa, penerbit, dan yayasan yang dikuasai oleh Syiah, termasuk Mizan, Yayasan Muthahari, Rausyan Fikr, dan sebagainya. Syiah sendiri berkembang luas di Iran, Suriah, dan sekitarnya. Berdasarkan fatwa MUI pada bulan Maret 1984, MUI Pusat merekomendasikan bahwa Syiah merupakan salah satu faham yang terdapat perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan pokok itu mencakup masalah hadis, imam, ijma, rukun iman dan khulafaurrasyidin. Karena perbedaan pokok tersebut, MUI memberikan himbauan agar umat Islam Indonesia mewaspadai ajaran Syiah. Terakhir, pada 21 Januari 2012 dengan surat keputusan No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, MUI Jawa Timur memberikan fatwa sesat pada Syiah dan hal ini berlaku umum.b. AhmadiyahAliran yang lahir pada tahun 1900 ini pada awalnya adalah rekayasa kolonial Inggris yang menjajah India. Tokoh utamanya adalah Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) yang diyakini sebagai nabi. Di Indonesia, Ahmadiyah masuk pada tahun 1925. Aliran ini sudah dilarang MUI sejak tahun 1980 dan dinyatakan sebagai ajaran sesat. Namun, kelompok Ahmadiyah masih terus menunjukkan aktivitasnya di sejumlah daerah sehingga memicu reaksi dari masyarakat. Kini, Ahmadiyah memiliki sekitar 200 cabang, terutama di Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB, dan lain-lain. c. Bahai Aliran Bahaiyah merupakan sebuah aliran yang menyempal dari ajaran Syiah Itsna Asyriyah. [footnoteRef:85] Kelompok ini muncul pada tahun 1844 didalangi oleh kolonial Rusia, Yahudi dan Inggris dengan tujuan merusak akidah umat islam. Pengikutnya sebagian besar ada di Iran, kemudian sebagian kecil di Iraq, Suriah, Libanon, dan Palestina. Pendiri gerakan ini adalah Mirza Ali Muhammad Reza al-Syirazi (1819-1849). Setelah meninggal, ia digantikan oleh Mirza Husein Ali yang digelari al-Baha. Dari sinilah ajarannya disebut Bahaiyah, dengan kitabnya yang terkenal Al-Aqdas. [85: Akmal Sjafril. 2012. Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme. Indie Publishing: Depok. Hlm 244-245.]

Ajaran pokoknya adalah bahwa Mirza Ali adalah Al-Bab yang menciptakan segala sesuatu dan dengan ucapannya terjadi segala sesuatu di alam ini. Dua murid utamanya, yaitu Shubhi Azal dan Bahaullah, diusir dari Iran karena dianggap telah melanggar mahzab Syiah. Di Indonesia, paham ini mengklaim punya pengikut di daerah Tasikmalaya dan menuntut agar pemerintah memberi mereka hak untuk tumbuh dan dalam KTP anggotanya diizinkan mengisi kolom agama dengan Bahai. d. Salamullah Lia Aminuddin mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Jibril melalui mimpi. Puteranya adalah Al Masih yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Ajaran Lia Aminuddin atau Lia Eden ini telah dinyatakan sesat oleh MUI pada 22 Desember 1997. e. Meditasi ala Anand KrishnaAjaran Krishna bertumpu pada tiga pokok, yaitu Tuhan adalah Aku, Aku adalah Tuhan; Reinkarnasi; dan Semua agama adalah sama. Dua ajaran pertama merupakan paham yang dianut sekelompok sufi yang sesat pada abad-abad yang silam. Jadi, bila diperhatikan aliran-aliran sesat ini mempunyai titik temu yang perlu dicermati, yaitu bersumber dari paham mistisisme-sufi, serta ada upaya ke arah menyatukan semua agama dalam paham baru. Kedua unsur ini tak lepas dari pengaruh Yahudi, yang berupaya kuat menggabungkan semua agama menjadi satu payung.[footnoteRef:86] [86: Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. (Jakarta: Usamah Press, 2001). Hlm 189-193.]

Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, ada pula Komunitas Penimbrung Quran Sunnah, NII KW IX, LDII, Inkar Sunnah, Isa Bugis, Lembaga Kerasulan, dan lain sebagainya.[footnoteRef:87] Aliran-aliran sesat ini merupakan tantangan internal bagi umat Islam. [87: Hartono Ahmad Jaiz. Membedah Anatomi Aliran Sesat dalam Majalah Sabili No. 9 Th X 2003, Hlm 114-151.]

PenutupSejarah adalah ilmu tentang masa lalu yang tak pernah usang, karena ia memperbaharui dirinya dengan penemuan data baru dan cara melihat suatu peristiwa dari sudut pandang yang baru.[footnoteRef:88] Pada awal masa Orde Baru, umat Islam berada dalam posisi termarginalkan. Banyak kebijakan-kebijakan Orde Baru yang tidak mengakomodasi kepentingan umat Islam. Penyebabnya, tidak lain karena golongan inner circle yang dekat dengan Soeharto adalah golongan Cina-Katolik. Akhirnya, banyak gerakan umat Islam pada zaman Orde Baru yang berjalan secara diam-diam, meskipun di sisi lain, kondisi tersebut menyebabkan militansi dan kreatifitas dakwah umat Islam. Kebijakan rezim Orde Baru adalah kebijakan satu wajah, yang memenggal hak-hak bersuara golongan yang berseberangan dengan pemerintah. Pada saat yang sama, catatan mengenai pelanggaran hak-hak sipil, korupsi, dan nepotisme bertaburan. Namun, tidak bisa diabaikan pula bahwa jika dilihat dari segi pembangunan ekonomi dan infrastruktur, pemerintahan Soeharto mencatatkan sejumlah prestasi. [88: Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. (Jakarta: Kompas, 2009. Hlm 197]

Pada akhir dekade pemerintahan hingga kejatuhan Orde Baru, pengaruh Islam mulai menguat. Kebijakan-kebijakan yang pro Islam banyak dihasilkan pada masa tersebut. Kedekatan Soeharto dengan Islam makin terasa ia menunaikan ibadah haji tahun 1991, yang secara otomatis kemudian mengubah namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto. Kemudian, pada tahun 1998, umat Islam yang membuka pintu gerbang reformasi bangsa Indonesia. Secara politik, kekuatan umat Islam makin diperhitungkan. Kondisi umat Islam dalam sejumlah aspek jauh lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru. Meskipun pada saat yang sama, tantangan baik dari dalam maupun dari luar umat Islam juga bermunculan. Penyebaran paham-paham yang merusak akidah umat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, serta berkembangnya aliran sesat merupakan ekses dari keterbukaan yang dimunculkan pada masa reformasi. Umat Islam masih perlu melanjutkan perjuangan dan mengatasi tantangan-tantangan tersebut.Sejarah adalah perlu, sepanjang manusia hidup di dunia. Dengan membaca peristiwa-peristiwa sejarah umat Islam pada masa lalu, umat Islam saat ini bisa belajar dan merumuskan strategi yang tepat bagi kejayaan Islam di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

BukuAbdullah, Taufik (ed.). 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas.Alatas, Alwi. 2001. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991. Jakarta: Al-Itisham Cahaya Ummat.Alatas, Alwi. Tanpa tahun. Laporan Hasil Penelitian Kasus Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri di Indonesia tahun 1982-1991. Edisi yang tidak diterbitkan. Aritonang, Jan S. 2005. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Brown, Colin. 2003. A Short History Of Indonesia: The Unlikely Nation? New South Wales: Allen & Unwin.Daud Rasyid. 2001. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis Atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali kepada Syariah. Jakarta: Usamah Press.Daniel Dhakidae. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hariyanto, Edhy. 2006. Peran Politik Militer (ABRI) Orde Baru terhadap Depolitisasi Politik Islam di Indonesia (Studi terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru terhadap Politik Islam tahun 1967-1990). Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.Husaini, Adian. 2000. Gereja-Gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia. Jakarta: Dea Press.Husaini, Adian. 2002. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Jakarta: Gema Insani Press.Husaini, Adian. 2009. Pancasila buk