15
BAB IX ISLAM DAN NEGARA Artinya: “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu bisa saling mengenal dan kenal:……”. QS. Al-Hujuraat (49): 13 1 A. ASAL MULA TERBENTUKNYA NEGARA Manusia sebagai mahluk sosial diciptakan Allah dalam keadaan lemah, tanpa bantuan orang lain, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhan hidup, yang diperlukan. Watak dasar penciptaan diri yang serba terbatas ini, mendorong manusia untuk bekerjasama dan saling membantu. Dari peroses Interaksi Sosial itu secara Evolutif membentuk komunitas hidup bermasyarakat dan akhirnya sepakat membuat kontrak politik untuk mendirikan negara. “Organisasi kemasyarakatan merupakan keharusan bagi kehidupan manusia. Manusia adalah mahluk politik atau sosial, dia tidak dapat hidup tanpa organisasi kemasyarakatan atau Negara”. 2 Negara merupakan persekutuan

Islam dan Negara

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Islam dan Negara

BAB IX

ISLAM DAN NEGARA

Artinya: “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu bisa saling

mengenal dan kenal:……”. QS. Al-Hujuraat (49): 13 1

A. ASAL MULA TERBENTUKNYA NEGARA

Manusia sebagai mahluk sosial diciptakan Allah dalam keadaan lemah,

tanpa bantuan orang lain, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhan

hidup, yang diperlukan. Watak dasar penciptaan diri yang serba terbatas ini,

mendorong manusia untuk bekerjasama dan saling membantu. Dari peroses

Interaksi Sosial itu secara Evolutif membentuk komunitas hidup bermasyarakat

dan akhirnya sepakat membuat kontrak politik untuk mendirikan negara.

“Organisasi kemasyarakatan merupakan keharusan bagi kehidupan

manusia. Manusia adalah mahluk politik atau sosial, dia tidak dapat hidup tanpa

organisasi kemasyarakatan atau Negara”.2 Negara merupakan persekutuan

hidup, memiliki sejumlah penduduk dan merumuskan negara sebagai negara

hukum dalam suatu Permusyawaratan. Menurut Al – Maswardi “Lembaga

Negara dan Pemerintahan adalah sebagai pengganti fungsi kenabian dalam

menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” 3 Dengan demikian, dimulai dari

sisi negara dapat difahami sebagai lembaga politik atau Organisasi pemerintahan

sebagai Manifestasi keberserikatan hidup didalam wilayah suatu masyarakat

bangsa untuk mewujudkan ketertiban umum dan kesejahteraan bersama dengan

berdasarkan sistem hukum.

Page 2: Islam dan Negara

Dalam teori kontrak sosial terbentuknya negara Madinah adalah setelah

Nabi Muhammad SAW. Yang didukung seluruh komponen penduduk setempat

sepakat menerima “Piagam Madinah” sebagai kontrak politik bersama. Aspirasi

yang multi etnis, kultur dan agama diakomodir dalam piagam yang terdiri 47

pasal , memuat peraturan dan hubungan antara berbagai Komunitas dalam

masyarakat Madinah yang majmuk. Di negara baru ini Nabi bertindak layaknya

seorang kepala Negara dengan Piagam Madinah sebagai Konstitusinya. Pada

periode Madinah inilah totalitas ajaran Islam yang berkaitan dengan aspek sosial

politik dan kenegaraan dapat diterapkan secara Efektif, karena agama dan

kekuasaan politik berjalan seiring .

B. TUJUAN PEMBENTUKAN NEGARA

Tujuan bermasyarakat dan bernegara ialah untuk mewujudkan kebaikan

dan melindungi kepentingan bersama untuk kesejahteraan yang mereka

harapkan. Menurut Al-Farabi “dalam kehidupan bernegara tidak hanya bertujuan

memenuhi kebutuhan pokok dan kelengkapan kehidupan, tetapi yang lebih

penting adalah terciptanya kebahagiaan lahir batin, material dan spiritual. 4

Negara dalam usahanya mencapai tujuan dan cita-citanya diperlukan

landasan moral dengan menjaga terpeliharanya kehidupan beragama,

Solidaritas Sosial dan ahlak yang luhur sebagai proses kondisioning

terbentuknya masyarakat yang sejahtera. Di samping itu suasana yang nyaman,

aman dan tertib. sebagai tujuan asasi bernegara diperlukan pemimpin yang adil

dan berwibawa serta pemerintahan yang bersih dari penyimpangan dan

kezaliman. Dalam hal ini sistem hukum dan penegakan hukum oleh hakim-hakim

yang adil menjadi jaminan terwujudnya cita-cita luhur tujuan bermasyarakat dan

=>bernegara yang baik, yakni memanusiakan kehidupan manusia yang

manusiawi sesuai Fitrah yang dikehendaki Allah SWT.

C. PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA

Dalam tradisi politik Islam terdapat tiga corak pemikiran tentang

hubungan agama dan negara. Perbedaan cara pandang ketiga pemikiran ini

terletak pada konseptualisasi yang diberikan kedua istilah tersebut kendati Islam

difahami sebagai agama yang ajarannya meliputi totalitas kehidupan manusia

termasuk politik dan kenegaraan.

Paradigma pertama adalah cara pemikiran konservatif yang terdiri dari

ulama Syi’ah dan kelompok Fundamentalis seperti M. Rasyid Ridha, Sayyid

2

Page 3: Islam dan Negara

Qutub dan Al-Maududi. Mereka memahami Islam sebagai Agama yang

Komprehensip mengatur berbagai aspek kehidupan termasuk politik kenegaraan.

Dalam Syari’at Islam juga tidak ada pemisahan antara agama dan politik, antara

agama dan negara. Dengan demikian. Urusan agama dan negara terintegrasi

sebagai satu sistem yang tidak terpisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik

kenegaraan. Negara sebagai lembaga politik juga merupakan wilayah

keagamaan.

Negara dalam perspektif Syi’ah dan kelompok Fundamentalisme

tersebut diatas adalah negara Theokrasi dimana kekuasaan negara

diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan dan menjadikan Syari’at Islam

sebagai hukum dasar negara. Agama Islam juga menjadi agama resmi negara.

Oleh karena itu dalam negara Teokrasi tidak dibenarkan menempuh

kebijaksanaan politik, Hukum dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran

dan hukum Tuhan atau Syari’at Islam.

I=> Dalam konteks ini, Al- Maududi mengatakan: “dalam bernegara

umat Islam tidak perlu bahkan dilarang meniru sistem barat, cukup kembali

kepada sistem politik Al-Khulafa, Al- Rasyidin sebagai model atau contoh sistem

menurut Islam”. 5

Paradigma kedua adalah pemikiran yang bercorak akomodatif

sebagaimana pendapat Al – Mawardi (W. 1058). Bahwa “Lembaga Negara dan

Pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga

agama dan mengatur dunia”.6 “Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia

merupakan dua hal yang berbeda, tapi berhubungan secara simbolik, keduanya

merupakan dua dimensi dari misi kenabian”.7 Dengan demikian antara agama

dan negara terdapat hubungan yang bersifat komplementer. Karena dengan

negara, agama dapat berkembang dan sebaliknya dengan agama, negara dapat

berkembang dalam bimbingan etika dan moral.

Dalam konsepsi Al – Mawardi tersebut ditas menunjukkan tentang

hubungan agama dan negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai sumber

legitimasi terhadap realitas politik atau menjadikan agama sebagai alat jastifikasi

kepatuhan politik. Dengan demikian Al – Mawardi memperkenalkan sebuah

pendekatan pragmatis dalam penyelesaian politik ketika dihadapkan dengan

prinsip – prinsip agama.

Paradigma ketiga, konsep pemikiran sekularistik yang menghendaki

pemisahan antara agama dan politik atau negara. Diantara tokoh sekularis

muslim ialah Ali Abd. Raziq (W. 1905 M). Ahmad Lutfi Sayyid (W. 1973 M). Ali

3

Page 4: Islam dan Negara

Abd Raziq memahami “Islam tidak berbeda dengan agama – agama yang lain

yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan urusan

politik dan negara terserah sepenuhnya kepada umat tentang atau pola

pengaturan yang akandipakai pemerintahan menurut Islam tidak harus berbentuk

Khalifah atau teokrasi, melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya

sesuai konteks budaya”. 8

“Sistem Pemerintahan tidak disinggung – singgung oleh Al – Qur’an dan

Hadits, oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan – ketentuan

tentang corak negara. Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai tugas kerasulan

dan dalam misi beliau tidak termasuk pembentukan negara”. Sistem Khalifah

timbul sebagai perkembangan yang seharusnya dari sejarah Islam. Sistem

Pemerintahan Khalifah merupakan proses histories dan bukan misi

keagamaan.soal corak dan bentuk negara bukanlah soal agama, tetapi soal

duniawi dan urusannya sepenuhnya diserahkan kepada akal manusia untuk

menentukannya”. 9

Konsep pemikiran tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam

hendaknya bersikap rasional dan realistis dalam mewujudkan cita – cita politik

yang diperjuangkan dengan cara yang etis dan yang sesuai dengan konteks

budaya dan peradaban masyarakatnya. Agama Islam memang tidak mengatur

urusan politik, negara dan sistem pemerintahan, tetapi umat Islam tidak dilarang

berpolitik dan berijtihad untuk urusan negara dan bahkan kekuasaan politik

membangun pemerintahan yang adil justru sangat penting dan diperlukan oleh

umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi

social dan politik itu sendiri atau keniscayaan sejarah yang sedang berkembang.

Dengan jalan pikiran seperti ini Islam dapat dihadirkan sebagai agama rakhmat

dan perekat peradaban masyarakatnya, bukan sebagai kekuatan politik

ideologis.

D. SISTEM POLITIK ISLAM

2

4

Page 5: Islam dan Negara

Dalam tradisi politik Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek

sejarah perkembangan politik dunia Islam dan kedua aspek pemikiran politik

Islam, yaitu sebagai berikut :

1. Perkembangan Bentuk Pemerintahan Islam

Dari segi bentuk negara maupun system pemerintahan, terdapat

perbedaan antara masa Nabi, masa Al – Khulafa’ Al Rasyidin dan

sesudahnya. System pemerintahan pada masa Nabi lebih tepat disebut

sebagai system teokrasi, karena beliau memang memerintah atas nama

Tuhan, melalui syari’at-Nya yang diwahyukan kepada Nabi, baik dalam

bentuk Qur’an dan Hadis. Kekuasaan negara, baik dalam hal legislative,

eksekutif maupun yudikatif berada ditangan beliau sendiri, meskipun

kadang – kadang beliau juga mendelegasikan kepada salah seorang

sahabat. Sebagaimana yang diberikan kepada Mu’adz Ibn Jabal. Sebagai

seorang Nabi yang memiliki sifat ma’shum, semua tindakan yang beliau

lakukan selalu dikontrol allah, sehingga loyalitas kaum muslimin kepada

beliau pun bersifat absolut.

Namun demikian dalam memecahkan persoalan – persoalan yang

muncul sering juga Nabi melakukan “msuyawarah” dengan para

sahabatnya, dan tidak jarang beliau memutuskan secara demokratis (suara

terbanyak). Bahkan sebelum terjadinya penghianatan kelompok non

muslim, terutama kauh Yahudi terhadap Piagam Madinah, mereka juga ikut

dalam musyawarah ini. Piagam ini pun sebenarnya merupakan konsesus

bersama antara kelompok agama yang ada di Madinah untuk membangun

sebuah masyarakat atau sebuah negara yang anggotanya terdiri dari

masyarakat yang majemuk.

Pada masa Al-Khulafa’ Al-Rasydin (11-41 H / 623-661 M) bentuk

negara atau system pemerintahan lebih tepat disebut sebagai Republik,

karena system pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara pemilihan

atau pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria

kesalehan dan kemampuannya, bukan berdasarkan kriteria kekeluargaan

secara turun temurun. Dalam pengambilan keputusan para Khalifah itu

terbiasa melakukannya melalui musyawarah, terutama dengan para

sahabat senior, yang kemudian para ulama disebut sebagai “Ahlul hal wa

Al-Aqd”, kumpulan para ahli yang kini dapat disamakan dengan lembaga

5

Page 6: Islam dan Negara

permusyawaratan rakyat (Majlis Syura). Pada periode Al-Khulafa’ Al-

Rasydin system pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena pada

Khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan di bumi ini. Mereka hanya sebagai

pengganti nabi dalam menjaga urusan keagamaan dan keduniaan.

Setelah periode Al-Khulafa’ Al-Rasydin, yakni sejak munculnya

dinasti Umayah sampai berakhirnya dinasti Turki Usmani, bentuk negara

kemudian berkembang menjadi monarki meskipun negara ini masih

bernama kekhalifahan yang bersifat universal dengan bentuk ini kepala

negara (Khalifah atau Sultan) tidak lagi dipilih oleh rakyat atau wakilnya,

tetapi secara turun temurun di lingkungan dinasti tertentu saja. Syari’at

Islam pun masih tetap menjadi hukum positif, meskipun dalam prakteknya

sering terjadi campur tangan penguasa.

Pada masa kontemporer, terutama sejak berakhirnya dinasti

Usmani pada tahun 1923 M. praktek kenegaraan di lingkungan umat Islam

banyak dipengaruhi oleh praktek kenegaraan barat. Hal ini terjadi akibat

penjajahan Barat, pendidikan modern dan kombinasi politik barat atas

negara – negara dunia ketiga, termasuk dunia Islam. Menurut Samuel P.

Huntington meskipun secara tioritis (doktriner) Islam itu kompatibel dengan

nilai – nilai demokratis, dalam praktiknya jarang sekali system demokrasi

dilaksanakan di negara – negara muslim.10

2. Pemikiran Politik Islam

Ali Abd. Al – Razaq bahwa system politik pemerintahan menurut

Islam boleh mengambil bentuk apa saja, bahkan secara ekstrim beliau

mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Mendakwahkan agama, dan tidak

ada kaitannya dengan urusan kenegaraan. Dengan demikian, monarki,

republik dan sosialis, asal disana terdapat prinsip syura’. Al–Qur’an tidaklah

memberikan suatu pola ketatanegaraan tertentu secara pasti, yang harus

diikuti oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Dalam hal ini

dikemukakan dua argumen. Pertama, Al-Qur’an pada prinsipnya adalah

petunjuk etis bagi manusia, ia bukanlah sebuah kita ilmu politik. Kedua,

sudah menjadi sunatullah bahwa institusi – institusi social politik dan

organisasi selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. 11

6

Page 7: Islam dan Negara

Menurut Nurcholis Madjid, nilai negara dan pemerintahan dalam

istilah Islam adalah instrumental dan bukan tujuan itu sendiri. Prinsip dari

segala prinsip yang dikehendaki oleh umat Islam adalah taqwa kepada

Tuhan. Jadi bentuk pemerintahan atau negara adalahdiwujudkan untuk

menciptakan ruang dan sebagai tempat bagi setiap manusia dalam

mengembangkan taqwanya kepada Tuhan. Jadi masalahnya adalah

masalah etika moral, dan kalau seseorang betul – betul mengikuti etika

yang bersumber dari ketataan dan tauhid, hasilnya adalah sikap

demokratis.

Negara Islam sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah. Masalah

kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari ajaran Islam. Umat Islam

menurut negara atau pemerintahan ini menjadi negara atau pemerintahan

Islam. Yang penting adalah isi atau substansinya, bukan bentuk formalnya.

Bentuk formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi, boleh

negara ini dikehendaki oleh Allah, yang diridhai-Nya. Negara seperti ini

bisa ditumbuhkan melalui pendekatan budaya dalam arti seluas – luasnya.

Termasuk didalamnya pendidikan, dakwah, kesenian, dan diantaranya

yang terpenting adalah dinamika intelektual. Abdurrahman Wahid juga

mengemukakan bahwa negara harus dilihat dari segi fungsinya, bukan dari

normal formalnya, atau negara Islam atau bukan. Selama kaum Muslim

dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh.

Maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran yang

urgen. 12

E. DEMOKRASI ISLAM

Asas demokrasi dalam tinjauan al-Qur’an surat Ali Imran (3): 159:

7

Page 8: Islam dan Negara

Artinya: “….. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan

(duniawi) itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,

maka bertaqwalah kepada Allah….” 13

Diantara system politik barat yang kini banyak direspon oleh umat Islam adalah

system demokrasi yang dianggap identik dengan konsep syura yang terdapat

dalam ayat Al-Qur’an tersebut diatas. Secara prinsip, Sistem demokrasi dinilai

sebagai sebuah system yang paling bias menghargai semua nilai – nilai

kemanusiaan dan sejalan dengan proses globalisasi, persamaan, kebebasan,

dan kemajemukan ( pluralisme ). Demokrasi tidak hanya sebatas dalam sebuah

masyarakat atau negara, tetapi juga antar negara. Dengan demikian demokrasi

kini sudah menjadi ide yang bersifat universal, hampir seluruh negara didunia

termasuk negara – negara muslim, meskipun dengan disertai mondifikasi baik

dari segi konsep maupun bentuknya, sesuai dengan system keyakinan dan

budaya local masing – masing negara.

Kata “demokrasi” atau “democracy”, berasal dari kata Yunani “demos”

yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara harfiah

demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Secara histories demokrasi ini muncul

sebagai respons terhadap system monarki dictator Yunani pada abag SM.

Namun demokrasi modern yang muncul sejak abad 16 M. telah mengalami

perkembangan dimana demokrasi tidak hanya dipafami sebagai kelembagaan

trias politika, tetapi juga mengandung nilai – nilai universal, terutama persamaan,

kebebasan dan prulalisme.

Dalam tradisi pemikiran Islam, para cendekiawan Muslim yang

mendukung ide demokrasi beranggapan bahwa system demokrasi ini merupakan

system pemerintahan mayoritas yang menerapkan metode permusyawaratan

dalam pengambilan keputusan. Mereka menyamakan konsep demokrasi dengan

konsep syura yang terdpat dalam Al – Qur’an, hal ini didukung juga oleh fakta

sejarah bahwa Nabi juga pernah mengambil keputusan berdasarkan suara

terbanyak atau demokratis, yakni ketika beliau memutuskan posisi kaum

muslimin dalam perang Uhud untuk melakukan tindakan opensip menghadapi

serbuan kaum Musyrikin.

Nilai – nilai demokrasi atau syura dalam penerapannya secara histories

dapat dilihat dari proses permusyawaratan yang terjadi pada pertemuan di Balai

Saidah (Madinah) segera setelah Nabi Saw. wafat. Pada waktu itu Abu Bakar

8

Page 9: Islam dan Negara

yang terpilih sebagai khalifah pertama menyampaikan pidato pelantikannya, yang

isinya menerima mandat dari rakyat untuk melaksanakan Al-Qur’an dan Al-

Sunnah. Selama ia melaksanakan mandat ini, ia harus dipertahankan.

Sebaliknya, jika ia berbuat kesalahan fatal, ia harus diturunkan. 14

Adapun bentuk demokrasi dapat berbeda – beda sesuai kondisi yang

ada dalam suatu masyarakat Islam, yang penting adalah pelaksanaan prinsip

syura yang secara sadar dihormati dan dipertahankan. Dalam konteks ini ijtihad

politik berperan untuk merumuskan bentuk demokrasi yang sesuai dengan

budaya masyarakat Islam setempat. Oleh karena itu umat Islam bebas

menentukan tipe system politik demokrasi yang mereka inginkan. Secara

histories, institusi semacam syura ini sudah ada sejak masyarakat pra Islam,

dalam urusan bersama mereka menjalankan melalui permusyawaratan. Tentu

saja Al-Qur’an melakukan perubahan mendasar terutama merubah syura dari

sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan

hubungan darah dengan hubungan iman.

Menurut Muhammad Iqbal kohesi antara Islam dengan ide demokrasi

terletak pada prinsip persamaan (equality), yang didalam Islam dimanipestasikan

oleh ajaran Tauhid sebagai suatu gagasan kerja dalam kehidupan sosio-politik

umat Islam. Hakikat Tauhid satu gagasan kerja itu bias membumi, hendaklah

umat Islam secara sadar kreatif membangun kembali sosio-politiknya dengan

menciptakan demokrasi spiritual di muka bumi.

Bagi Iqbal, kekurangan demokrasi barat tampaknya pada aspek

spiritualnya itu, selebihnya demokrasi barat tidak ada persoalan untuk diterima

dan diterapkan sebagai system politik. Dalam kontek ini konsep syura

merupakan gagasan politik utama pada Al-Qur’an, maka system demokrasi

nampak lebih cocok atau mendekati kepada cita – cita utama politik Al-Qur’an,

sekalipun tidak harus identik dengan system politik demokrasi barat. 15

Sistem politik demokrasi Islam oleh Amien Rais disebut “theo demokrasi”

yang cirri – cirinya sebagai berikut :

1. Harus dijalankan atas dasar keadilan dalam berbagai bidang kehidupan

sejalan dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ (3) : 135

2. Ditegakkan atas dasar syura bukan elitisme dan diskriminasi etnis.

Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan mandat dari Tuhan,

sedangkan pemimpin hanyalah pelayan umat (Al-Qur’an surah an-Nisa

(3) : 159)

9

Page 10: Islam dan Negara

3. Ditegakkan atas dasar persaudaraan Islam tanpa diskriminasi. Konsep

syura sebagai theo demokrasi merupakan prinsip fundamental dalam

menjamin negara dan masyarakat agar tidak hancur dan hanyut dalam

kultus individu. 16

DAFTAR KUTIPAN

1Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu

ma’aniyatu ila Lughati al-Indunisiya, ( Medinah Munawwarah: khadim al-

Haramain asy-Syarifain, Tahun 1411 H ), h. 847

2 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, ( Jakarta: UI-Press, 1993 ),

h. 99

3 Al – Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam

Takaran Islam, ( Jakarta: Gema Insani, 2000 ), h. 15

4 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Op.Cit. h. 51

5 Ibid. h . 166

6 Al – Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam

Takaran Islam, Loc. Cit.

7 Ulumul Qur’an, Nomor 2, Vol. IV. 1993. h. 6

8 Bandingkan : Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara. Loc.Cit. h. 141

dan 208

9 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang,

1975), h . 85

10 Masykuri Abdillah, Makalah, Gagasan dan Tradisi Bernegara Dalam

Islam, h. 3 – 6

11 Ismail SM. & Abdul Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan

Masyarakat Madani, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000 ) h. 38 – 39

12 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta:

Paramadina, 1995). h. 188

13 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit., h. 103

14 Masykuri Abdillah, Loc.Cit. h. 1 – 2

10

Page 11: Islam dan Negara

15 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Op.Cit. h.

223

16 Ismail SM & Abdul Mukti, Pendidikan Islam, Demokrasi dan

Masyarakat Madani, Op.Cit. h.43

11