55
Pada pupuh ini disampaikan silsilah, dimulai dari Ngabehi Wirasecapa dari Bagelen. Nama-nama yang disebutkan selanjutnya adalah Pangeran Hadi, Tumenggung Gagak Pernala, Pringgandipura,Gagak Wirahandaka, Gagak Kumitir, Gagak Wirakusuma, Gagak Singalodraka, Wangsanagara, Wangsayuda, Wiralodra, Tanujaya, Tanujiwa. Dikisahkan Wiralodra bertapa agar mendapat kemuliaan. Pada malam Jumat ia mendapat petunjuk. Petunjuk yang didapat Wiralodra adalah agar ia membabat hutan di kali Cimanuk. Wiralodra kemudian berangkat ditemani Ki Tinggil menuju selatan kaki gunung. Setelah tiga tahun berkelana keduanya bertemu dengan Buyut Sidum yang memberi petunjuk mengenai tempat yang dicarinya. Buyut Sidum kemudian menghilang. Keesokan harinya mereka berjalan hingga tiba di Pasir Kucing dan menemukan kali yang jernih. Wiralodra kemudian mandi sedangkan Ki Tinggil tertidur hingga dua minggu lamanya. Mereka kemudian menuju arah utara dan bertemu dengan Wirasetra. Keduanya beristirahat dan disuguhi makan. Setelah sebulan lamanya keduanya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah dua bulan keduanya bertemu kembali dengan Ki Sidum yang menyediakannya macam-macam tanaman palawija. Ki Sidum menyamar sehingga keduanya tidak mengenalinya dan terjadi perkelahian karena Ki Sidum pura-pura marah. Ki Sidum memberi petunjuk bahwa tempat yang dicari mereka sudah hampir dekat. Wiralodra diperintahkan untuk menyebrang. Bila menemukan kijang mas bermata intan harus dikejar. Bila kijang itu menghilang maka itulah tempat yang dituju. Keduanya bertemu dengan macam-macam binatang buas. Ketika bertemu dengan ular maka ular itu dipukulnya dan berubah menjadi sungai. Lalu ia menemukan kijang yang kemudian berubah menjadi wanita cantik. Wiralodra menghampiri perempuan tersebut, yang mengaku dirinya bernama Larawana, dan ia belum menikah. Keduanya kemudian berkelahi dan Larawana berubah menjadi kijang mas. Wiralodra dan Ki Tinggil kemudian mengejar kijang mas tersebut menuju arah

Isi Sejarah Indramayu

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Isi Sejarah Indramayu

Pada pupuh ini disampaikan silsilah, dimulai dari Ngabehi Wirasecapa dari Bagelen. Nama-nama yang disebutkan selanjutnya adalah Pangeran Hadi, Tumenggung Gagak Pernala, Pringgandipura,Gagak Wirahandaka, Gagak Kumitir, Gagak Wirakusuma, Gagak Singalodraka, Wangsanagara, Wangsayuda, Wiralodra, Tanujaya, Tanujiwa.

Dikisahkan Wiralodra bertapa agar mendapat kemuliaan. Pada malam Jumat ia mendapat petunjuk. Petunjuk yang didapat Wiralodra adalah agar ia membabat hutan di kali Cimanuk. Wiralodra kemudian berangkat ditemani Ki Tinggil menuju selatan kaki gunung. Setelah tiga tahun berkelana keduanya bertemu dengan Buyut Sidum yang memberi petunjuk mengenai tempat yang dicarinya. Buyut Sidum kemudian menghilang.

Keesokan harinya mereka berjalan hingga tiba di Pasir Kucing dan menemukan kali yang jernih. Wiralodra kemudian mandi sedangkan Ki Tinggil tertidur hingga dua minggu lamanya. Mereka kemudian menuju arah utara dan bertemu dengan Wirasetra. Keduanya beristirahat dan disuguhi makan. Setelah sebulan lamanya keduanya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah dua bulan keduanya bertemu kembali dengan Ki Sidum yang menyediakannya macam-macam tanaman palawija. Ki Sidum menyamar sehingga keduanya tidak mengenalinya dan terjadi perkelahian karena Ki Sidum pura-pura marah.

Ki Sidum memberi petunjuk bahwa tempat yang dicari mereka sudah hampir dekat. Wiralodra diperintahkan untuk menyebrang. Bila menemukan kijang mas bermata intan harus dikejar. Bila kijang itu menghilang maka itulah tempat yang dituju. Keduanya bertemu dengan macam-macam binatang buas. Ketika bertemu dengan ular maka ular itu dipukulnya dan berubah menjadi sungai. Lalu ia menemukan kijang yang kemudian berubah menjadi wanita cantik. Wiralodra menghampiri perempuan tersebut, yang mengaku dirinya bernama Larawana, dan ia belum menikah. Keduanya kemudian berkelahi dan Larawana berubah menjadi kijang mas. Wiralodra dan Ki Tinggil kemudian mengejar kijang mas tersebut menuju arah timur dan berhenti di sungai Cimanuk. Kemudian terdengar petunjuk bahwa tempat itulah yang mereka cari.Wiralodra kemudian membabat hutan sehingga berbagai binatang buas dan makhluk halus melarikan diri. Hal itu membuat Ki Gede Muara marah dan terjadi pertarungan.Ki Tinggil lalu membaca mantra sehingga para siluman menjadi lumpuh. Saat itu datang utusan dari Tunjung Mas, yang mengatakan tidak boleh mengganggu Wiralodra karena keturunan Majapahit. Setelah itu tidak ada gangguan lagi sehingga keduanya dapat membuat pondokan dan berkebun dengan nyaman. Lama kelamaan banyak orang berdatangan dan Ki Tinggil dijadikan lurah. Setelah tiga tahun Wiralodra kembali ke Bagelen menemui ayah dan ibunya. Ternyata ayahnya mengangkat Wiralodra untuk memimpin Bagelen dibantu adik-adiknya, yaitu Wangsayuda, Tanujaya, Wangsanagari, dan Tanujaya.

Dikisahkan Ki Tinggil yang menjadi lurah mengangkat beberapa orang untuk membantunya, yaitu Bayantaka, Jayantaka, Surantaka, Wanaswara, Puspahita, dan Ki Pulana.

Page 2: Isi Sejarah Indramayu

Tiba-tiba datang perempuan cantik yang bernama Nyi Hindang Darma ke kampung Ki Tinggil. Nyi Hindang Darma diizinkan untuk membuat pondokan di tempat itu. Ki Tinggil mempunyai rencana untuk memberikan Nyi Hindang agar dijadikan istri oleh Wiralodra.Keberadaan Nyi Hindang Darma sampai ke telinga Pangeran Palembang. Pangeran Palembnang dengan murid-muridnya datang hendak menyerang Nyi Hindang tetapi berubah menjadi terpesona oleh kecantikan Nyi Hindang. Lalu terjadi perkelahian antara Nyi Hindang dengan Pangeran Palembang. Karena kesaktiannya, Nyi Hindang dapat mengalahkan musuhnya hingga tewas. Ki Tinggil melaporkan kejadian tersebut kepada Wiralodra di Bagelen. Ia juga menyarankan agar Wiralodra dengan adik-adiknya pergi ke pondokan yang mereka buat. Mereka kemudian berangkat. Sesampainya di pondokan, Ki Pulaha diminta untuk mengundang Nyi Hindang.

Nyi Hindang memenuhi undangan Wiralodra. Semua terpesona melihat kecantikannya. Atas permintaan Wiralodra Nyi Hindang menceritakan pertarungannya dengan Pangeran Palembang. Wiralodra dan adik-adiknya bertarung dengan Nyi Hindang setelah terlebih dahulu mengadakan perjanjian. Yang kalah menjadi pembantu yang menang. Keempat adik Wiralodra sudah kalah.

Wiralodra dan Nyi Hindang masuk hutan untuk bertarung. Karena tidak bias mengalahkan Wiralodra, Nyi Hindang lalu menghilang dan berubah wujud berkali-kali. Wiralodra tidak berhasil menangkap Nyi Hindang. Ia mendengar suara Nyi Hindang agar memberi nama tempat itu menjadi Darmayu. Wiralodra melanjutkan perjalanan menuju barat dan sampai di Pegaden. Setelah tiga malam kemudian kembali ke Cimanuk. Sesampainya di Cimanuk ia dikejutkan oleh kedatangan pasukan Pangeran Haryakuningan dari Gerage. Ia diperintahkan Sultan untuk memeriksa orang yang membuat negara. Terjadi pertarungan antara Arya Kumuning dengan Wiralodra. Kuda Arya Kumuning tunduk kepada Wiralodra dan membawa Arya Kumuning ke Kuningan. Setelah sampai kuda itu melepaskan Arya Kumuning lalu melarikan diri ke hutan. Patih Kuningan yang bernama Dipasarah lalu diperintahkan untuk mengabdi kepada Wiralodra.

Wiralodra kembali kepada pasukannya. Perkampungan yang dibuat tersebut kemudian diubah menjadi negara dan diberi nama Darmayu dan diadakan pesta selamatan. Adik-adik Wiralodra kemudian kembali ke Bagelen. Datang buronan dari Jepara yang akan merebut negara, yaitu Watuhaji dan pasukannya. Wiralodra berhadapan dengan Watuhaji. Keduanya sama kuatnya. Wiralodra mengeluarkan kesaktiannya, begitu pula Watuhaji. Watuhaji dan pasukannya seharusnya dikirimkan ke Mataram untuk dihukum mati, tetapi Wiralodra membiarkannya tetap hidup dan diperintahkan untuk menuju gunung. Pasukan Watuhaji menjadi perampok.

Lama-kelamaan Darmayu menjadi negara yang ramai, banyak pendatang dari Sumatra, Palembang, Bogor, dan Karawang. Pasukan dari Bogor dan Karawang datang karena terdesak oleh pasukan Belanda. Mereka mempersembahkan harta kepada Wiralodra sehingga Wiralodra menjadi sangat kaya.

Page 3: Isi Sejarah Indramayu

Wiralodra memiliki anak yang bernama Sutamerta, Wirapati, Nyayu Hinten, Drayantaka. Setelah Wiralodra meninggal dunia digantikan oleh Wirapati dan disebut Wiralodra II. Wiralodra II memiliki dua orang istri dan 13 putra. Nama putranya yaitu Raden Kowi, Raden Timur, Raden Sumerdi (Samerdi), Raden Wirantaka, Raden Wiratmaja, Hajeng Raksawiwangsa, Hajeng Sutamerta, Hajeng Nayawangsa, Hajeng Wiralaksana, Hajeng Hadiwangsa, Hajeng Wilastro, Hajeng Puspataruna, dan Hajeng Patranaya. Nyayu Hinten menikah dengan Werdinata, saudara Wirapati. Anaknya diberi nama Raden Wringin Hanom.

Wirapati dimintai tolong oleh Dalem Sumedang untuk menghadapi padukan Dalem Ciamis dan Kuningan. Wirapati (Wiralodra II) dengan Raden Waringin Hanom dapat mengalahkan musuh Dalem Sumedang. Dalem Sumedang menyatakan bahwa Sumedang disatukan dengan Indramayu, termasuk pesisir Kandanghaur. Ketika Wiralodra II meninggal dunia digantikan oleh Raden Sawerdi (Wiralodra III). Ia mempunyai putra empat orang, yaitu Raden Benggala, Raden Benggali, Hajeng Singawijaya, dan Hajeng Raksawinata. Ketika Wiralodra III meninggal dunia Benggali menginginkan jabatan. Tetapi berdasarkan ketentuan yang menggantikan harus Benggala. Benggali mengancam sehingga proses pergantian bupati tertunda lima bulan. Keputusan dari Betawi memperkuat bahwa yang menjadi pengganti adalah Benggala (Wiralodra IV).

Benggala (Wiralodra IV) mempunyai delapan orang anak, yaitu laki-laki Raden Lahut, Raden Ganar (Gandur), Hajeng Parwawinata, Raden Solo alias Kartawijaya, Hajeng Nahiyasta, Hajeng Gembrak, Hajeng Tayub, dan Hajeng Moka.

Nyai Moka pekerjaannya mengaji, sehingga diadakan tempat pengajian untuk keluarga dalem. Kiai mau mengajarkan mengaji asal anaknya yang bernama Kartawijaya diterima di kadaleman. Kartawijaya kemudian diangkat menjadi mentri di Panjunan.Bupati di Panjunan digantikan oleh Raden Semangun, putra Singalodra. Banyak terjadi perampokan sehingga rakyat banyak merasa tidak tenteram. Para perampok itu berkumpul di Bantarjati dan berasal dari Biyawak Jatitujuh, Kulinyar, dan Pasiripis. Jumlahnya sekitar 700 orang, dipimpin oleh Bagus Kandar, Bagus Rangin, Surapersanda, Bagus Leja, dan Bagus Seling. Mereka bersiap menyerang Darmayu. Lalu dilakukan penyerangan. Prajurit Darmayu terkejut karena ada perampok perempuan, yaitu Ciliwidara. Ciliwidara bisa melayang di angkasa sehingga tidak bisa dikalahkan. Saat itu prajurit Darmayu dipimpin oleh Kartawijaya. Kartawijaya melaporkan kejadian itu kepada Hastrasuta. Kartawijaya berhasil mengalahkan Ciliwidara. Ciliwidara kemudian menghilang. Lalu Kartawijaya memerintahkan agar menjaga tempat menghilangnya Ciliwidara. Hastrasuta dan Kartawijaya memperbincangkan kesaktian Ciliwidara. Pada suatu hari, ketika Wiralodra sedang berbincang dengan Hastrasuta, datang Nyi Jaya menyampaikan berita bahwa di Bantarjati sekitar seribu orang berkumpul hendak menyerang Darmayu. Karena itu pasukan dipersiapkan untuk menyerang perampok. Mereka kemudian berangkat menuju Bantarjati.

Terjadi pertempuran antara pihak Bagus Rangin dan Hastrasuta. Setelah berhasil mengalahkan para perampok sehingga banyak yang tewas, Hastrasuta meninggal oleh

Page 4: Isi Sejarah Indramayu

panah Ki Serit. Perampok menyamar sehingga berhasil mendekati dan menyerang perkemahan prajurit Darmayu. Sekitar 3000 perampok yang dipimpin Bagus Rangin kemudian menyerang Darmayu. Sepanjang perjalanan mereka merampok. Di Lobener mereka mendapat perlawanan dari orang Cina sehingga banyak perampok yang melarikan diri. Surapersanda merayu orang Cina agar mereka dibiarkan, sehingga para perampok itu tiba di Darmayu. Pada tahun 1808 Dalem Darmayu menyampaikan surat kepada Gubernur Jendral di Betawi, isinya meminta bantuan. Dari Betawi datang pasukan yang dipimpin oleh Tuan Postur. Mereka pura-pura akan memberikan jabatan kepada para perampok. Bagus Rangin dan pasukannya mempercayainya. Pihak Belanda mengirim surat kepada Dalem Darmayu agar menangkap perampok yang saat itu sedang berada di Mayahan. Prajurit Darmayu datang dan mengalahkan para perampok. Mereka diikat dan disiksa. Yang berhasil ditangkap dibawa ke Betawi untuk dipenjarakan, tetapi sebagian lainnya melarikan diri. Bagus Rangin dan Bagus Leja bersembunyi di hutan bersama anak dan istrinya. Mereka sampai di Tegal Slawi dan membuat pesanggrahan. Bagus Rangin mengirim surat tantangan kepada Wangsakerti. Wangsakerti mengirimkan utusannya. Terjadi pertarungan antara kedua belah pihak. Pihak Bagus Rangin banyak yang tewas. Ketika pihak Wangsakerti hampir kalah datang bantuan dari Setrokusumah.Terjadi pertempuran antara pasukan Bagus Rangin dangan pasukan Jaka Patuwakan, anak Wangsakerti. Bagus Rangin kalah dan melarikan diri ke Karawang, sedangkan Bagus Leja dan Bagus Kandar dikirim ke Betawi. Ketika di laut Bagus Leja dan Bagus Kandar melompat dan melarikan diri ke hutan. Para mantri yang ditugaskan mengawal tahanan menjadi kebingungan. Kartawijaya dan Raden Welang lalu hendak melapor kepada Sinuhun. Di Palimanan mereka melihat serdadu yang menjaga sumur yang ditutup rapat. Keduanya memaksa sehingga diserang serdadu tetapi tidak berhasil ditangkap.

Sesampainya di Garage mereka melaporkan hilangnya para tahanan. Komandan yang ada di Palimanan lalu mengirim surat kepada Gubernur Jendral di Betawi.Gubernur Jendral marah dan memerintahkan empat puluh orang serdadu untuk menyerang Cirebon. Sultan Cirebon memberikan senjata pusakanya kepada Kartawijaya dan Welang untuk menghadapi Gubernur Jendral dan pasukannya.

Kartawijaya dan Welang sudah tiba di Betawi. Keduanya dimarahi dan dicaci. Kartawijaya dan Welang dihukum dan dipasangi lima lusin meriam. Kiai Kuwu tidak tega melihatnya. Ia kemudian merasuki dan mengamuk sehingga pasukan jendral banyak yang tewas akibat bertarung dengan teman sendiri. Raden Welang tewas ditembak menggunakan senapan yang diisi dengan peluru yang terbuat dari intan.Keris pusaka menghilang dan Kartawijaya tewas ditembak. Mayatnya menghilang. Gubernur Jendral marah dan mengirim pasukan ke Cirebon sebanyak tiga kapal, agar Cirebon mengganti kerugian Belanda. Gubernur Jendral datang ke Mataram dan berpura-pura sedih. Sambil menangis ia menceritakan pertempuran yang merugikan pihaknya. Sultan lalu memerintahkan para tamtamanya untuk menyerang Cirebon. Cirebon diserahkan kepada Belanda. Gubernur Jendral dengan pasukannya kembali ke Batawi. Ia memanggil Wiralodra agar mengganti kerugian Belanda sejumlah Rp 11.030. Bupati tidak memiliki uang sebanyak itu sehingga Darmayu diserahkan kepada Belanda pada tahun 1610. Bupati meninggal dunia. Anaknya yaitu Raden Krestal (Wiralodra).

Page 5: Isi Sejarah Indramayu

Wiralodra memiliki tujuh orang anak, yaitu Raden Marngali Wirakusuma yang menjadi demang Bebersindang, Nyayu Wiradibrata, Nyayu Hempuh, Nyayu Pungsi, Nyayu Lotama, dan Hanjani. Bupati merasa bingung karena mertuanya menjadi perampok. Ia lalu mengirim surat ke Betawi. Tidak lama datang pasukan sehingga perampok ditangkapi.

Singatruna kemudian diangkat menjadi wedana Jatibarang. Ia terkenal bijaksana sehingga disegani rakyatnya. Ia memiliki lima orang putra, yaitu Patimah, Nyayu Juleka, Brataleksana, Bratasentana, dan Bratasuwita. Raden Rangga memiliki dua orang anak, yaitu Raden Mardada, Raden Wiramadengda, dan Nyi Sumbaga. Kalektor memiliki lima orang anak, yaitu Hardiwijaya, Sudirah, dan Nyai Juminah. Sedangkan Kartawijaya hanya memiliki satu orang anak, yaitu Raden Karta Kusuma. Ratu Hatma memiliki tiga orang anak, yaitu Biska, dan Kertadiprana. Kertadiprana mempunyai anak bernama Kertahudaka, Mangundria, Muhadapan, Nyayu Jenikuwu, dan Kertahatmaja.

Page 6: Isi Sejarah Indramayu

Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.

Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.

Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang).Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):

Page 7: Isi Sejarah Indramayu

Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia yang berbudaya.

Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).

Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).

Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab

Page 8: Isi Sejarah Indramayu

Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).

Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat.

Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.

Dalam buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara).Akan halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita tradisional Cirebon dalam episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari Cina yang beragama Islam. Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat, 1975; H.A. Dasuki, 1977). Dalam perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang tertarik putri Ki Gedeng Junti, tetapi cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Ia memaksa. Ki Gedeng Junti menolak halus lamarannya, kemudian membuat strategi dengan mengadakan sayembara. Jika Dampu Awang mampu merobohkan bambu ori yang tebalnya dua meter dan tingginya tiga meter yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti dalam waktu satu malam, lamaran itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia umumkan kepada rakyat untuk menaburkan emas di tembok bambu itu. Rakyat berebut emas dengan berbagai cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki Gedeng Junti dan putrinya menolak tipu muslihat ini, lalu lari dan meminta perlindungan Syeh Bentong, seorang wali di Kesenden Cirebon. Dampu Awang mengejar dan bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu Awang kalah, lalu lari ke Palembang. Syeh

Page 9: Isi Sejarah Indramayu

Bentong menikah dengan Putri Junti, selanjutnya rakyat Junti memeluk agama Islam mengikuti ajaran Syeh Bentong.

Kronologis dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi di mana-mana. Ada tema cinta ditolak, strategi menolak lamaran secara halus, dan waktu semalam sebagai syarat lamaran diterima. Pada legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian. Syarat cinta diterima itu adalah agar dibuatkan sebuah perahu dalam waktu semalam. Begitu pula Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam.Perspektif lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama sekali daerah Junti. Tahun 1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang) bersama istrinya, Nhay Rara Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa) bersama-sama pula Nhay Aci Putih dan Nhay Subang Larang pergi berlayar dari negeri Singapura (nama salah satu negeri di Cirebon) ke Malaka. Apakah bertolak dari Celangcang atau Muara Bondet atau dari Muara Jati, tidak jelas. Menurut cerita rakyat, Celangcang adalah pelabuhan zaman dahulu, yang namanya berasal dari kata nyangcang, artinya mengikat atau menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu Dampu Awang, karena lebih besar dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo, 1983).

Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.

Abad XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah Jawa, terhimpit antara dua bidang penelitian yang besar dan banyak tuntutannya: arkeologi Jawa dan sejarah kolonial. Ahli sejarah Islam yang mendalami sejarah kerajaan Islam, menjauhi masalah yang menarik itu. Ahli sejarah Jawa lebih tertarik pada sejarah tertulis yang lebih tua daripada masa Mataram Baru. Hanya beberapa orang saja, seperti Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua masalah dari masa yang gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).

Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul adalah Bengawan wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari 1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi sungai Singapura, dari muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.

Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan wettan).

Page 10: Isi Sejarah Indramayu

Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.

Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).

Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang Dermayu.

Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.

Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.

Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan

Page 11: Isi Sejarah Indramayu

Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva Nur Arofah, 2004).

Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).

Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu.Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).

Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat.

Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975).

Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lombang, dan Majakerta.

Page 12: Isi Sejarah Indramayu

Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).

Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer.***

Page 13: Isi Sejarah Indramayu

Kemiskinan, Perempuan, dan Citra Indramayu

Oleh SUPALI KASIM

Babad Dermayu, sebuah naskah sejarah tradisional berupa tembang macapat, salah satunya mengisahkan heroisme tokoh perempuan bernama Endang Dharma Ayu. Nama lain perempuan itu adalah Siti Maemunah atau Gandasari atau Retna Gumilang atau Ratu Saketi, yang disebut sebagai adik Fatahillah. Konon pada abad ke-16, ia dikirim oleh Sunan Gunungjati dari Cirebon sebagai mata-mata yang tugas utamanya adalah mencuri benda keramat, patung ular sarpa kandaga di Kerajaan Rajagaluh. Tugas itu dalam rangka ekspansi penyebaran agama Islam ke wilayah Rajagaluh dan sekitarnya. Secara politis, wilayah tersebut tetap menolak sebagai bagian dari Cirebon. Secara ideologi dan kepercayaan, pengaruh Hindu masih kuat.

Sarpa kandaga adalah simbol kekuatan rakyat Galuh. Jika patung yang dikeramatkan itu lepas, dipastikan kekuatan akan menurun pula. Endang Dharma Ayu mencari pasangan yang cocok untuk tugas tersebut. Ia memilih Raden Aria Wiralodra, yang bermukim di pedukuhan Cimanuk (Indramayu). Akan tetapi saat itu Wiralodra, yang berasal dari Bagelen (Jawa Tengah), justru sedang ”pulang kampung” dan ikut serta memadamkan pemberontakan Banyubiru terhadap Demak. Sebagai ”pejabat” yang diutus Demak ke Indramayu, ia merasa punya kewajiban untuk memadamkan pemberontakan itu.Akan halnya Endang Dharma, yang kemudian bermukim di pedukuhan Cimanuk, justru dituduh menyebarkan aliran pencaksilat jurus sunan, yang seharusnya tak sembarangan disebarkan. Tuduhan itu berasal dari Pangeran Guru, yang khusus datang dari palembang bersama 24 anak buahnya. Bentrok terjadi. Pangeran Guru dan anggotanya tewas. Konon Pangeran Guru adalah Arya Damar atau Arya Dilah yang merupakan bupati Palembang dari Majapahit, putra Prabu Wikramawardana.

Huru-hara di Cimanuk itu pada akhirnya menempatkan Endang Dharma sebagai ”musuh” penguasa Cimanuk, Wiralodra. Perang tanding tak terelekkan, namun di balik itu api asmara keduanya juga ternyata menyala-nyala. Akhir dari perang itu ada dua versi. Versi pertama, Endang Dharma Ayu kalah, lalu menceburkan diri ke sungai Cimanuk. Ia mohon agar namanya dijadikan nama pedukuhan. Hingga kini Indramayu konon berasal dari nama Dharma Ayu, Darmayu, in-Dermayu (lidah Belanda), lalu Indramayu. Versi kedua, menempatkan kedus sejoli itu sebagai pengantin yang menikah secara rahasia di Pegaden, agar tak diketahui publik, terutama musuh. Nama Indramayu berasal dari Endang Dharma Ayu.

Kiprah Endang Dharma dalam misi mencuri benda keramat di Rajagaluh, dikisahkan berakhir sukses. Rajagaluh akhirnya takluk kepada Cirebon. Meski demikian tak disebutkan bagaimana peran Wiralodra dalam misi tersebut.

Sebagai sebuah babad, yang merupakan sumber sekunder sejarah, akurasi data dan fakta seringkali lebih dibumbui hal-hal yang bersifat legendaris dan mitologis. Bahkan sumber lain, seperti Babad Cirebon, menyebutkan perempuan yang ikut berperan dalam perang

Page 14: Isi Sejarah Indramayu

dengan Rajagaluh itu bernama Nyi Mas Gandasari atau Nyi Mas Panguragan, tetapi tak disebutkan identik dengan Endang Dharma. Beberapa historiografi lain juga tak menyebutkan sosok adik Fatahillah yang bernama Endang Dharma. Beberapa sumber lain malah menyebutkan Wiralodra adalah utusan Sultan Agung dari Mataram (bukan Demak), yang berarti memiliki perbedaan waktu hampir seabad. Mataram melakukan ”transmigrasi lokal” dari Jawa ke pesisir utara Jawa Barat sebagai bagian strategi menggempur Batavia, setelah kekalahan tahun 1628-1629 akibat kekurangan logistik dan komunikasi.

Kabupaten Termiskin

Terlepas dari unsur sejarah, legenda, dan mitologi seperti itu, tampaknya keberadaan perempuan Indramayu tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-ekonomi Indramayu yang carut-marut sejak awal dekade 1930. meski memiliki sumberdaya alam (sawah, hutan, laut) yang melimpah, Indramayu dikenal sebagai kabupaten termiskin di Jawa Barat hingga dekade 1970. Ada peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut, yakni ”ayam mati di atas padi”. Bagi kalangan nelayan, setiap kali musim barat (hujan) berarti tak bisa melaut, ada ungkapan ”cul dayung adol sarung” (lepasnya pekerjaan mendayung untuk menangkap ikan di laut, berarti segala macam perabotan di rumah pun harus dijual pula untuk kehidupan sehari-hari, termasuk menjual sarung satu-satunya).Secara antropologis, penduduk Indramayu yang terlihat kemudian bukan hanya berasal dari Bagelen. Ada wilayah lain yang juga melakukan migrasi ke Indramayu sebelumnya, seperti saat kejayaan Majapahit terlihat pengaruh Majapahit pada daerah-daerah seeprti Kec. Juntinyuat (sebelah timur Indramayu). Arsitektur rumah gaya Majapahit terlihat di wilayah tersebut. Beberapa nama daerah juga menyiratkan keterpengaruhan dari Jawa Timur dan Madura, seperti Kamal, Lombang, Sampang, Tuban, dan Majakerta (Mojokerto).Di seputar kota Indramayu hingga Sindang, selain pengaruh aristrokrat (mungkin dari Mataram), juga perkampungan Arab dan Pecinan. Sedangkan di kecamatan Lelea dan Kandanghaur, pengaruh Kerajaan Sumedang masih terasa pada kulturnya, terutama bahasa. Bahasa Sunda-Lea dan Sunda-Parean (Sunda-Lelea dan Sunda-Kandanghaur). Di perbatasan Kab. Sumedang, dan Subang (sebagian wilayah Kec. Gantar, Haurgeulis, Kroya, Terisi), penduduk menggunakan bahasa Sunda, walau jumlahnya tak banyak.Di wilayah barat Indramayu (Kec. Gantar, Haurgeulis, Anjatan, Sukra, Patrol, Bongas) sebagian penduduk berasal dari Tegal-Brebes dan sebagian lagi berasal dari wilayah timur Indramayu dan Cirebon, yang melakukan migrasi pada tahun 1920-an melalui jalur kereta api. Hal itu dilakukan tanah dan hutan di wilayah barat masih perawan. Telah dibangun pula bendungan dan irigasi oleh Belanda.

Percampuran penduduk dari Bagelen (Demak atau Mataram), Jawa Timur, Tegal-Brebes, Pasundan, Arab, dan Cina itu menghasilkan suatu akulturasi yang kini disebut sebagai kultur Dermayu. Mereka mengaku bukan Jawa, bukan pula Sunda. Mereka menganggap wong Jawa adalah wong wetan, sedangkan urang Sunda adalah wong gunung. Satu hal yang penting dicatat, sebagian besar dari mereka adalah kalangan grass-root (wong cilik), kaum migran/transmigran, pinggiran yang terpaksa melakukan perpindahan dari wilayah asal ke Indramayu. Di antara mereka yang mampu bekerja keras, mendapatkan

Page 15: Isi Sejarah Indramayu

penghasilan, dan mengeluarkan pendapatan secara ketat (irit), akhirnya menjadi kaya. Sebaliknya tak sedikit pula yang gagal, kemudian terkungkung dalam kemiskinan.Pada kurun waktu tersebut terjadi kondisi yang menjurang antara majikan yang memiliki sawah hingga puluhan hektar dengan buruh tani yang makan untuk sehari saja terkadang tak ada. Begitu pula antara juragan (pemilik perahu) dengan bidak (nelayan anggota). Kehidupan ekonomi buruh sangat bergantung pada majikannya, termasuk kebaikannya dalam memperoleh kesempatan kerja. Begitu pula bidak terhadap juragan. Tak sedikit yang menumpang hidup pada majikan (24 jam mengabdi) dengan tujuan memperoleh makan untuk sanak-keluarga. 24 jam pengabdian itu dari mulai pekerjaan di rumah (memasak, mengisi bak mandi, menyapu, mencuci, pekerjaan di sawah, menumbuk padi, dsb.). Upah yang diterima adalah makan untuk sanak keluarga 2X dan diberi kesempatan mengolah sepetak sawah. Seringkali pula, ongkos mengolah sawah, bibit, dan pupuk berasal dari majikan. Ketika musim panen tiba, hasil padi dipotong biaya sewa dan biaya pengolahan tadi. Sosok seperti ini disebut pawongan.

Kemiskinan dan menjadi buruh secara turun-temurun bisa jadi menyebabkan trauma psikologis dan sosiologis bagi kaum buruh dan bidak. Status kaya pada petani digapai dengan cara-cara yang irit (medit, pelit), sehingga ketika mereka menjadi kaya sifat medit itu tetap berlaku. Misalnya: menanak nasi dengan menggunakan kayu rencekan (mencari kayu) dari ranting pohon bahkan dedak padi, lauk-pauk cukup ikan yang ada di pekarangan atau sawah, termasuk yuyu juga dimakan. Sayur-mayur dari pekarangan. Tak ada sikap hidup konsumtif. Hal yang berbeda ditunjukkan kaum nelayan. Ketika panen ikan, segala macam barang dibeli. Ketika paceklik, segala macam barang dijual.Kaya harta pada majikan dan juragan, ternyata menghasilkan sikap miskin pandangan. Apalagi yang miskin harta pada buruh dan bidak. Pandangan yang miskin itu antara lain dalam hal pendidikan anak-anak mereka. Seakan-akan tak ada kewajiban orangtua untuk menyekolahkan anak-anak hingga pendidikan tinggi. Tak sedikit yang hanya SD atau tak lulus SD, bahkan tak sekolah sama sekali. Posisi anak perempuan dinomorduakan dibandingkan laki-laki dalam hal pendidikan. Perempuan cukup bisa memasak, bekerja di sawah dan menata rumah, dianggap sudah cukup. Bahkan oleh orang tuanya, laki-laki pun seringkali dianggap tak perlu sekolah karena akan dibekali sawah sekian hektar.Kemiskinan pandangan juga pada hal-hal lainnya, seperti perkawinan. Ada semacam mitos yang salah kaprah di masyarakat, yaitu ”Lebih baik punya janda usia 15 tahun daripada punya anak gadis usia 18 tahun”. Bagi orangtua, jika putri mereka dilamar, meskipun masih usia 12 tahun, pantang untuk ditolak. Urusan kelanggengan ruamh tangga adalah nomor dua. Artinya, kalaupun beberapa bulan kemudian terjadi perceraian, bukanlah hal yang dianggap memalukan.

Dalam hal lembaga pendidikan dan jumlah guru di Indramayu masih sedikit. Pada dekade 1930-an SR (SD) hanya ada di ibukota kecamatan, yang guru-gurunya mayoritas berasal dari Jawa Tengah. Dekade 1950-an SR (SD) mulai ada di beberapa desa, SMP di tingkat kawedanan, dan SLA hanya ada di ibukota kabupaten (1 SMA, 1 SMEA, dan 1 SGB/SGA (SPG). Tahun 1974 bahkan didatangkan ribuan lulusan SPG dari Yogyakarta dan daerah Priangan. Penambahan jumlah sekolah dan guru tampak mulai ada pada dekade 1990-an.

Page 16: Isi Sejarah Indramayu

Eksploitasi Seni

Trauma sosiologis dan psikologis pada anak-anak kaum buruh dan bidak seakan-akan menemukan ”kran” pembuka, jika mereka mampu melepaskan diri dari ikatan keluarga secara ortodok. Kran itu adalah jika mereka berbakat menjadi seniman. Bagi perempuan, menjadi pesinden (penyanyi), adalah sebuah pemberontakan tersendiri dari keluarga dan lingkungan sejak dekade 1930-an. Saat itu seni yang muncul adalah sandiwara (ketoprak), tarling, wayang kulit, wayang golek cepak, sintren, dombret, genjring, tayuban, dan lainnya. Pandangan masyarakat, perempuan menjadi seniman tari ataupun pesinden (penyanyi) adalah sesuatu yang dianggap “melatar” (jalang, genit, ganjen). Menjadi seniman, dianggap merupakan profesi yang terbuka mengundang laki-laki untuk menggoda.Tayuban, sebagai tari pergaulan, menempatkan penari perempuan sebagai penghibur laki-laki dengan goyangannya, kemudian mendapatkan sawer. Di situ juga diramaikan dengan minuman keras, yang konon meniru gara orang Belanda ketika berpesta. Tak sedikit penari atau pesinden yang diincar laki-laki berduit, kemudian menjadi istri simpanan atau bukan simpanan.

Seni dongbret, malah secara vulgar melakukan eksploitasi seni. Penari perempuan yang disawer, dalam waktu beberapa menit, bisa diajak si penyawer ke tempat yang agak gelap, kemudian dicium-cium dengan imbalan beberapa rupiah saja. Biasanya pertunjukan dilakukan di daerah pangkalan nelayan sehabis pulang dari melaut. Kran keterbukaan makin menganga ketika Jakarta menggeliat sebagai ibukota dan kota metropolitan sejak 1970-an. Jarak yang relatif dekat (Indramayu-Jakarta hanya 4-5 jam dengan bus antarkota atau 3-4 jam dengan kereta api) menjadi pilihan untuk mengadu nasib bagi anak-anak kaum buruh yang trauma akan kemiskinan di kampung. Taak sedikit perempuan Indramayu yang terjerumus ke bisnis esek-esek di Kramat Tunggak dan tempat lainnya. Taak sedikit pula yang secara ekonomi berhasil menghilangkan kemiskinan. Di kampung, mereka membeli sawah, membangun rumah, membeli kendaraan, perhiasan, baju bagus, dsb.

Daya tarik inilah yang menjadi obsesi bagi para keluarga miskin untuk melakukan upaya ”instan” menghapus kemiskinan yang bertahun-tahun disandang seperti secara genealogis. Jika kini Indramayu dikenal sebagai daerah pemasok pelacur, mungkin ada benarnya. Beberapa penyebabnya antara lain himpitan ekonomi, pendidikan rendah, pemahaman agama yang rendah, standar moral yang rendah, sikap hidup konsumtif, patah hati, dendam (tak dikawin pacar padahal sudah tak gadis lagi, dicerai suami), bahkan ada pula yang berlatar sejarah (di sebuah kecamatan ada beberapa perempuan yang berawal menjadi selir di keraton secara tak resmi).

Sedangkan motivasinya antara lain kemauan diri-sendiri (karena patah hati, ingin punya banyak uang, ingin menunjukkan kemandirian, dsb, diajak teman/saudara yg sudah terjun lebih dulu, didorong suami (karena himpitan ekonomi), dan didorong orangtua (ekonomi), tergiur oleh keberhasilan orang lain yang sukses secara ekonomi (punya rumah bagus, kendaraan, sawah). Modus baru yang terlihat kini adalah dengan alasan

Page 17: Isi Sejarah Indramayu

berangkat ke kota sebagai pelayan restoran, diskotik, penari di luar negeri, dsb. Seringkali mengatasnamakan seni, yang terjadi adalah eksploitasi esek-esek.

Tidaklah heran jika ada mem-pleset-kan Kota Indramayu sebagai ”Kota Mangga” menjadi ”mangga mampir, mas!!!”, atau ”Kota Pelem” sebagai ”pelempuan”, atau sebutan ”Kota Ayu” dengan mempanjangkannya menjadi ”ayu mana, ayu mene!”. Yang dilakukan pemerintah kabupaten terlihat dengan membuat program yang berhubungan dengan pencegahan maupun pemberantasan penyakit tersebut, seperti razia, pencegahan traficking, penyuluhan, workshop, dsb. Motto pun dijunjung tinggi dengan penempatan relijiositas sebagai bidang nomor satu, yaitu visi ”Remaja” (relijius, maju, mandiri, sejahtera).

Pencegahan dini dilakukan di sekolah-sekolah dengan penanaman pendidikan agama, seperti kewajiban mengaji 15 menit sebelum pelajaran dimulai, wajib berbusana muslim, bersekolah di Madarsah Diniyah Awaliyah (MDA) bagi anak SD pada sore hari. Akankah efektif? Kita tunggu!**

Page 18: Isi Sejarah Indramayu

Sejarah Kabupaten Indramayu

Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bengelen Jawa Tengah bernama Raden Wiralodra yang mempunyai garis keturunan Majapahit dan Pajajaran, dalam tapa baratanya di kaki Gunung Sumbing mendapat wangsit.

"Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari, pergilah kearah matahari terbenam dan carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah disana, berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana. Kelak tempat itu akan menjadi subur dan makmur serta tujuh turunanmu akan memerintah disana". Demikianlah bunyi wangsit itu.

R. Wiralodra ditemani Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana. Tokoh-tokoh lain dengan pendiri pedukuhan dimaksud adalah Nyi Endang Darma yang cantik dan sakti, Aria Kemuning putra Ki Gede Lurah Agung yang diangkat putra oleh Putri Ong Tien istri Sunan Gunung Jati. Ki Buyut Sidum / Kidang Pananjung seorang pahlawan Panakawan Sri Baduga dari Pajajaran, Pangeran Guru, seorang pangeran dari Palembang yang mengajarkan Kanuragan dengan 24 muridnya.

Pedukuhan tersebut berkembang dan diberi nama "Darma Ayu" oleh R. Wiralodra yang diambil dari nama seorang wanita yang dikagumi karena kecantikan dan tkesaktiannya "Nyi Endang Darma", serta dapat diartikan "Kewajiaban Yang Utama" atau "Tugas Suci".

Pedukuhan Cimanuk yang diberi nama "Darma Ayu" yang kemudian berubah menjadi "Indramayu", setelah terbebas dari kekuasaan Pajajaran pada tahun 1527, diproklamirkan berdirinya oleh R. Wiralodra pada hari Jum'at Kliwon tanggal 1 Muharram 934H atau 1 Sura 1449 dan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527. Titimangsa tersebut resmi sebagai Hari Jadi Indramayu.

Setelah 1527, Daerah Indramayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi :

Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal. Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh. Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.

Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni.

Zaman pemerintahan Daenles (1806 - 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada masa ini berada dalam kekuasaan kerajaan Demak. Tahun 1546 menjadi bagian kesultanan Cirebon.

Tahun 1615 sebelah timur Sungai Cimanuk menjadi bagian keultanan Cirebon dan bagian baratnya ermasuk dalam wilayah kerajaan Mataram.

Page 19: Isi Sejarah Indramayu

Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni. Zaman pemerintahan Daenles (1806 - 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada zaman kompeni menjadi ajang masuk pertempuran segitiga antara kompeni, Mataran dan Banten. Tahun 1706, Indramayu jatuh kedalam kekuasaan kompeni Belanda seluruhnya seperti halnya dengan daerah-daerah lain, Indramayu mempunyai perjalanan yang sama berada dalam kekuasaan penjajahan.(*)

Page 20: Isi Sejarah Indramayu

Sunan Gunung Djati dan Islamisasi di Jawa   Barat

Oleh SULASMAN 

PENYEBARAN Islam di Nusantara, merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi, fase ini juga merupakan masa yang kurang jelas. Hal ini, menurut Ricklefs (1981) dalam A History of Modern Indonesia, karena  ternyata di beberapa bagian Indonesia telah ada dan bermukim para pedagang Arab. Mereka mendapat kedudukan yang kokoh dalam masyarakat lokal. Ini telah berlangsung selama berabad-abad. Mengenai hal ini telah terjadi perdebatan panjang antara para ahli sejarah, mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana penduduk Nusantara  menganut agama Islam.  Dengan demikian, maka banyak teori yang dikemukakan mengenai  kedatangan Islam di Nusantara. Teori-teori  yang ada banyak menunjukan perbedaan-perbedaan, terutama mengenai waktu dan negeri asal pembawanya. 

Di antara teori-teori yang banyak dikemukakan secara grand theory  terdapat tiga teori yaitu Teori Mekah  yang dipelopori Hamka, Teori Persia oleh Hoesen Djajadiningrat,  dan Teori Gujarat  oleh Snouck Horgrunje. Semua teori tersebut dalam argumentasinya menggunakan pendekatan budaya.

Kedatangan Islam di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dengan proses kedatangan masuk dan berkembang Islam di Nusantara secara integral. Hal ini menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) disebabkan karena Cirebon dan Banten yang dianggap sebagai pusat penyebaran agama Islam dan kekuasaan Islam di Jawa Barat. Cirebon dan Banten  posisinya berada pada  lokasi yang strategis baik secara ekonomis maupun politik.  Selain itu, letak Cirebon dan Banten berada pada jaringan perdagangan  internasional yaitu perdagangan jarak jauh (long dintance trade ) yaitu pergadangan jalur sutra.

Menurut Hasan Muarif Ambari (1998) Abad ke-13 sampai dengan 16 Masehi merupakan rentang waktu yang ditandai dengan pertumbuhan peradaban Islam di Nusantara. Saat itu hampir bersamaan dengan runtuhnya pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah, agama Islam telah  masuk dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara.  Penyebaran agama Islam ke Nusantara dilakukan oleh para  mubaligh dan para pedagang Arab dengan memanfaatkan  wahana perdagangan internasional yaitu perdagangan jalur sutra. Banyak wilayah-wilayah di Nusantara disinggahi oleh para pedagang Muslim, terutama  tempat – tempat yang berada di daerah pesisir seperti Tuban, Gresik, Demak, Cirebon, Banten dan lain sebagainya. Wilayah- wilayah itu dengan cepat  mengadakan hubungan dengan para pedagang Islam  dan telah membawa  dampak sosial maupun budaya bagi masyarakat setempat.

Menurut Sartono Kartodirdjo (1987), penyelenggaraan perkapalan  dan perdagangan di kota-kota pelabuhan melahirkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial  baik itu vertikal  maupun horizontal. Fenomena di atas ditandai oleh  adanya perkembangan perdagangan jarak jauh  (long dintance trade)  di mana para pedagang Arab memegang peranan penting yang telah berdagang di Nusantara sejak  awal abad Masehi, dan degradasi  pusat-pusat peradaban Islam  di Timur Tengah dengan ditandai oleh keruntuhan Daulah Abasyiah  yang mengakibatkan derasnya  pengembaraan  para ulama dan pedagang Arab  ke arah Timur untuk membuka wilayah baru baik itu untuk sosialisasi Islam maupun  kepentingan perdagangan.

Penyebaran dan sosialisasi Islam di Nusantara diawali dengan  kontak antara komunitas Nusantara dengan  para pedagang dan musafir dari Arab, Persia, Turki, Syiria, India, Cina dan lain-lain. Kemudian para pendatang tersebut melakukan kontak budaya dengan masyarakat Nusantara yang diikuti dengan  tumbuhnya kantung-kantung pemukiman muslim  baik itu di pesisir maupun di pedalaman. Kemudian tumbuh pusat-pusat  kekuatan politik  dan kesultanan Islam di Nusantara yang ditandai dengan  munculnya  kerajaan- kerajaan yang bercorak Islam.

Munculnya  kerajaan-kerajaan Islam di Pantai Utara Jawa, serta hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lainnya dan asal-usul penguasanya,  menunjukan bahwa Islamisasi di Jawa pada fase ini perlu dijelaskan dengan memperhitungkan  latar belakang politik dan ekonomi  mereka. Menurut Sartono Kartodiordjo (1987) para penguasa kerjaan di Pesisir Pantai Utara Jawa selain memegang tampuk pemerintahan, juga terlibat dalam perdagangan dan agama.

Page 21: Isi Sejarah Indramayu

Menurut De Graaf (2001) Sejak abad 11 Masehi di pesisir Utara Jawa telah  memiliki pemukiman-pemukiman Muslim, sehingga Islam dapat berkembang  di daerah tersebut.  Selain itu, cepatnya penyebaran agama Islam di pesisir maupun di pedalaman Jawa tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo. Secara  politik, periode ini merupakan pemantapan institusionalisasi Islam.

Para wali di Pantai Utara  Jawa termasuk  elite politik-religius. Menurut Sartono Kartodirdjo (1987), disamping kewibawaan ruhaniah mereka juga berperan di bidang politik, antara lain ada yang memegang kekuasaan pemerintahan. Keterpaduan antara dua jenis kekuasaan tidak bertentangan  baik itu dengan konsep  Islam tentang kekuasaan maupun konsep (Hindu)-Jawa tentang kekuasaan raja.

Peran dan kedudukan para wali  dapat dilihat dari beberapa karakternya di antaranya adalah :

1. Wali tidak mengembangkan atau memperluas wilayah, tetapi menjalankan pengaruh melalui lembaga-lembaga pesantren seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri.

2. Wali tidak mengembangkan pengaruh politik dan mengembangkan kekuasaan politik kepada tangan raja seperti yang dilakukan oleh Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.

3. Wali mengembangkan wilayah dan membuat lembaga kerajaan serta sekaligus mengembangkan agama Islam seperti yang diperankan oleh Sunan Gunung Djati baik di Cirebon maupun Banten.

Pada abad ke 15 dan 16 di Jawa Barat terdapat kerajaan Sunda dengan pusat  pemerintahannya di Pakuan Pajajaran. Kekuatan kerajaan tersebut melemah  setelah terjadi  pemberontakan-pemberontakan dari pelbagai daerah yang ingin melepaskan ikatan dengan Pakuan Pajajaran seperti Cirebon, Galuh, Talaga, dan Banten. Menurut F. de Haan  (1912:93), bersamaan dengan melemahnya kerajaan Sunda, Agama Islam mulai masuk  dan menyebar di wilayah  tersebut. Berdasarkan berita dari Tome Pires, pengaruh Islam di Jawa Barat berasal dari Cirebon (Uka Tjandrasasmita , 1975 : 93 ). Jika  berdasarkan berita  dari Tome Pires, maka Islam sudah ada di Cirebon  sejak  lebih kurang 1470-1475 Masehi (H. J. de Graaf, 1952:153). Tetapi sampai sekarang belum  ditemukan  keterangan yang pasti baik itu dari berita Cina maupun Arab  yang memberikan penjelasan waktu  tentang masuknya Islam ke Jawa Barat. Informasi mengenai hal ini hanya dapat diterima dari sumber-sumber lokal  seperti yang dikutif oleh Hageman (1866) yang menyebutkan  adanya Haji Purwa di Galuh dan Cirebon pada tahun 1250 Tahun Jawa atau 1337 Tahun Masehi.

Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan  melalui dua gerbang penyebaran  yaitu  Cirebon dan Banten. Didua daerah  itu dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama yaitu Sunan Gunung Djati. Karena dua  kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Dibawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam yaitu Cirebon dan Banten.

Cirebon

CIREBON sebagai kota wali dan sekaligus pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat  masih menyimpan misteri, terutama yang berhubungan dengan sumber-sumber sejarah untuk  menjelaskan bentangan sejarah Cirebon yang cukup panjang. Menurut Nina Herlina Lubis (2000) asal-usul kota tersebut  lebih banyak ditemukan dalam historiografi tradisional yaitu dalam bentuk manuskrip  yang ditulis pada abad 18. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan Cirebon sudah dimulai pada abad 15 dan 16 seiring dengan gerakan penyebaran  Islam di tanah Jawa oleh para wali.

Sejarah mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah di antaranya adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, babad walangsungsang, Pustaka rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi , Wawacan Sunan Gunung Djati dan lain sebagainya. Banyak para ahli atau peneliti meragukan sumber-sumber tersebut dan dianggap sebagai sumber sekunder. Tetapi  sebelum ada sumber lain yang lebih bisa lebih dipercaya, sumber tadi bisa dipergunakan  meskipun sumber sekunder untuk  menjelaskan bentangan sejarah perjalanan Islam di Jawa Barat terutama sejarah Cirebon. 

Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Pasambangan yang letaknya kurang lebih 5 KM dari  kota Cirebon sekarang. Sedangkan kota Cirebon sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk yaitu sebuah desa kecil yang merupakan pemukiman masyarakat muslim yang dipimpin oleh

Page 22: Isi Sejarah Indramayu

Ki Gedeng Alang-Alang. Menurut  Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon,  Ki Gedeng Alang – Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat menjadi kepala  pemukiman masyarakat  Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar Kuwu Cerbon. Adapun batas wilayahnya meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur, Cigugur  sebelah Selatan, Pegunungan Kromong sebelah Barat, dan Junti (Indramayu) sebelah Utara.

Berdasarkan sumber lokal yang tergolong tradisional, pendiri  Kesultanan Islam Cirebon adalah Sunan Gunung Djati.  Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara . Pada umumnya  sumber historiografi tradisional  tersebut  memulai menjelaskan sejarah Cirebon dari masa akhir Prabu Siliwangi sebagai penguasa Pajajaran.

Sumber-sumber sejarah tradisional memulai  menjelaskan Sejarah Cirebon dari dua nagari yang berada di daerah pesisir pantai utara Cirebon yaitu Nagari Surantaka dan Singapura. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan bahwa di Nagari Surantaka saat itu yang memegang kekuasaan adalah Ki Gedeng Sedang Kasih.  Wilayah kekuasaannya meliputi  Pelabuhan Muara Djati, yang menjadikannya sebagai Syahbandar. 

Berdasarkan sumber lokal mengatakan bahwa  penguasa Nagari Surantaka Ki Gedeng Sedang Kasih adalah  saudara Prabu Anggalarang dari Galuh.  Menurut  Babad Galuh dan  Carita Waruga Guru, Prabu Anggalarang adalah ayah dari Prabu Siliwangi. Dalam Babad Pajajaran diceritakan bahwa  penguasa Surantaka mempunyai puteri bernama  Nyai Ambet Kasih yang menikah dengan  Raden Pamanah Rasa putra Prabu Anggalarang yang juga sekaligus merupakan keponakannya.  Babad Siliwangi menjelaskan bahwa Pamanah Rasa adalah nama  masa pemuda  Prabu Siliwangi Raja Sunda Pajajaran.

Sementara itu di Singapura ada suatu peristiwa unik yaitu diadakan sayembara  untuk menentukan jodoh  puteri Mangkubumi Singapura Ki Gedeng Tapa yang bernama  Nyai Subang Larang.  Dalam sayembara itu ditentukan bahwa yang akan menjadi jodoh Nyai Subang Larang  adalah pemenang pertadingan dalam perkelahian bersenjata

Diantara peserta sayembara penentuan jodoh Nyai Subang Larang,  terdapat Raden Pamanah Rasa. Dalam sayembara itu yang keluar menjadi pemenang adalah putera Prabu Anggalarang. Dengan demikian, maka yang mendapatkan  puteri Mangkubumi Singapura adalah Raden Pamanah Rasa. Menurut Babad Cirebon Mereka menikah pada tahun 1422.

Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, sebelum perkawinan antara Nyai Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa, di Singapura terdapat dua peristiwa penting yaitu:

Pertama, tahun 1415 ke Nagari Singapura  tepatnya di Pelabuhan Muara Djati berlabuh kapal dari Cina selama satu minggu yang dinahkodai oleh    Te Ho  atau Cheng Ho atau Sam Po Kong dengan sekretarisnya bernama Ma Huang. Mereka adalah penganut agama Islam. Setelah  menetap di Nagari Singapura, Ma Huang  menikah dengan  saudara Ki Gedeng Tapa yaitu Nyai Rara Rudra. Setelah perkawinannya, Ma Huang bergelar Ki Dampu Awang. Menurut Buku Baluwarti Keraton Kasepuhan Cirebon para pengikut Cheng Ho berhasil membanguan sebuah Mercu Suar.

Kedua, tahun  1418 ke Nagari Singapura datang pula rombongan  pedagang dari Campa. Salah satu anggota rombongan tersebut terdapat seolang mubaligh yaitu  Syekh Hasanudin bin Yusuf Siddik. Atas  persetujuan Ki Gedeng Tapa, untuk  beberapa lama mereka tinggal di  di Singapura. Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren dan namanya kemudian dikenal menjadi Syekh Quro. Dari pertemuannya dengan Syekh Quro, kemudian Ki Gedeng Tapa  mengirimkan puterinya Nyai Subang Larang untuk belajar ilmu agama Islam di Pesantren Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik atau Syekh Quro Karawang.

Selain kedatangan Syekh Quro, Ki Gedeng Tapa kedatangan pula mubaligh pengajar agama Islam yaitu  Syekh Datuk Kahfi adik Sultan Sulaiman Bagdad. Pada saat dia datang  ke Singapura, penguasa nagari tersebut yaitu Ki Gedeng Tapa telah masuk Islam. Maka atas izin dari Mangkubumi Singapura Syekh Datuk Kahfi  menetap di Nagari Singapura yaitu di Pasambangan. Menurut salah satu sumber  tradisional,  di Pasambangan Datuk Kahfi menikah dengan Hadijah  seorang cucu Haji Purwa. Haji Purwa dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat. Kemudian Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren yang bernama Pesantren Quro Amparan Djati.

Page 23: Isi Sejarah Indramayu

Menurut Pustaka Carita Parahyangan, Prabu Siliwangi Raja Pajajaran dari isterinya yang bernama  Nyai Subang Larang atau Subang Karancang yang menganut agama Islam mempunyai anak yang bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raden Sanggara. Semua anak-anak  Prabu Siliwangi dari Subang Larang mengikuti jejak ibunya menganut agama Islam.  Sebagaimana  Subang Larang ibunya,  mereka menganut menganut Islam mazhab Hanafi.

Menurut Babad Cirebon, setelah  ibunya wafat, Pangeran Walangsungsang dan adik-adiknya  pergi meninggalkan Pajajaran.  Perjalanan pertamanya menuju ke wilayah Timur (Galuh). Kemudian Pangeran Walangsungsang  bertemu dan tinggal dengan  seorang Kasogatan (Ulama Budha) yang bernama Ki Danuwarsih.  Akhirnya  Pangeran Walangsungsang menikahi putri Ki Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis. Menurut Negara Kerta Bhumi  dari kediaman Ki Danuwarsih Pangeran Walangsungsang bersama isterinya Nyai Indang Geulis dan adiknya Nyai Lara Santang  menuju ke kerajaan Singapura yang terletak di pesisir pantai Utara Jawa dengan tujuan untuk menemui kakeknya  Ki Gedeng Tapa.

Sebagaimana telah dikemukaan, di Nagari Singapura  bermukim  seorang guru agama bernama Syekh Datuk Kahfi.  Atas keinginan dari Ki Gedeng Tapa, Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren  di Gunung Djati yang kemudian dikenal dengan Pondok Quro Amparan Djati. Syekh Datuk Kahfi kemudian oleh Ki Gedeng Tapa diberi gelar Syekh Nurjati. Kepada Syekh Nurjati inilah Pangeran Walangsungsang  belajar Islam mazhab Syafi’i.  Oleh Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah dan kelak setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi  Haji Abdullah Iman. Menurut Sunarjo (1983), Walangsungsang belajar agama Islam dari Syekh Datuk Kahfi selama  3 tahun.

Di lingkungan Keraton Nagari Singapura sendiri, Pangeran Walangsungsang  oleh Ki Gedeng Tapa diangkat  sebagai Pangraksabumi yang merupakan jabatan sebagai orang kedua dikeraton tersebut yaitu wakil dari Mangkubumi yang dijabat oleh Ki Gedeng Tapa sendiri. 

Setelah selesai menuntut Ilmu di  Pondok Quro Amparan Djati, Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah pada tahun 1445 membuka pemukiman baru di  daerah Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Di daerah baru tersebut Ki Samadullah berhasil menarik perhatian dari para pendatang lainnya, sehingga daerah Tegal Alang-Alang menjadi daerah baru yang banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai latar belakang baik suku maupun agama. Didaerah itu tumbuh sikap toleransi saling hormat-menghormati terhadap beberapa perbedaan. Menurut beberapa catatan sumber tradisional  daerah yang baru dibuka oleh Ki Samadullah dihuni oleh 346 orang  yang meliputi  orang Sunda 196 orang, Jawa 106 orang, Sumatera 16 orang, Semenanjung Malaysia 4 orang, India 2 orang, Persi 2 orang, Syam 2 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Hal ini di dapat dilihat dari hidup berdampingan antara  Ki Gedeng Danusela yang beragama  Budha sebagai Kuwu dengan Ki Samadullah yang beragama Islam dan  memegang jabatan pangraksa bumi yang kemudian bergelar Ki Cakrabumi (Nina Herlina Lubis, 2000:30).

Setelah sukses mendirikan  Dukuh Cirebon dan mengIslamkan penduduknya, maka atas saran dari Syekh Quro Amparan Djati yaitu Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi atau Syeikh Maulana Idlofi, Ki Samadullah bersama dengan adiknya Nyai Larasantang disarankan untuk menuanaikan ibadah haji guna menyempurnakan ibadah Islamnya. Menurut CaritaPurwaka Caruban Nagari, akhirnya Ki Samadullah tanpa ditemani Isterinya Nyai Indang Geulis karena sedang hamil tua, bersama adiknya Nyai Lara Santang  pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan menggunakan perahu layar besar.

Dalam perjalanannya ke Mekah, perahu layar mereka singgah di Mesir.  Bersama dengan para pejabat mesir mereka berlayar ke Mekah dan bersandar di Jedah.  Di kapal itulah, terjadi pertemuan antara wali kota Mesir Syarif Abdullah yang bergelar Sultan Makmun keturunan Bani Hasyim putera Ali Nurul Alim dengan Nyai Lara Santang Puteri Pajajaran. Akhirnya di Tanah Suci Mekah  Nyai Lara Santang dinikahkan oleh Ki Samadullah dengan Syarif Abdullah. Setelah menikah dengan Syarif Abdullah, Nyai Lara Santang  diberi gelar Hajjah  Syarifah Muda’im. Sedangkan Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah diberi gelar  Haji Abdullah Iman al-Jawi. Di Mekah mereka tinggal di  rumah Syeikh Bayanullah adik Syeikh Datuk Kahfi. 

Setelah perkawinan adiknya Nyai Lara Santang yang bergelar Hajjah Syarifah Muda’im, maka Pangeran Walangsungsang alian Ki Samadullah  atau Haji Abdullah Iman al-Jawi kembali ke Jawa dengan maksud meneruskan penyebaran agama Islam. Tetapi sambil pulang ke Jawa, Haji Abdullah Iman al-Jawi  singgah ke Iraq dan Campa sehingga dia dapat menyerap Islam secara universal.

Page 24: Isi Sejarah Indramayu

Menurut Pustaka Negara Kertabhumi, dan Carita Puwaka Caruban Nagari, setibanya di tanah air, Haji Abdullah Iman al-Jawi mendirikan Masjid Jalagrahan.  Selain itu  dibuat pula rumah besar  yang nantinya menjadi  Keraton Pakungwati. Nama tersebut diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdulah Iman al-Jawi  atau Ki Cakrabumi dari isterinya Nyai Indang Geulis yang bernama  Nyai Pakungwati.

Menurut Sunarjo (1983) karena menginginkan putera laki-laki untuk penerusnya, maka atas persetujuan  isterinya Nyai Indang Geulis, Haji Abdullah Iman al-Jawi menikahi puteri  Ki Gedeng Alang-Alang yang bernama Nyai Ratna Riris atau Nyai Kancana Larang. Dari perkawinan kedua ini, Pangeran Walangsungsang mempunyai putera yang diberi nama  Pangeran Cerbon.

Setelah kuwu Tegal Alang-Alang  atau Caruban yang juga mertua dari Pangeran Walangsungsang yaitu Ki Gedeng Alang-Alang meninggal dunia, maka Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban dengan gelar  Pangeran Cakrabuana menggantikan Ki Danusela. Tidak lama setelah  menjadi Kuwu Caruban, kakek Ki Samadullah yaitu Ki Gedeng Jumajan Djati atau Ki Gedeng Tapa wafat.  Abdullah Iman tidak mengantikan kakeknya menjadi penguasa Singapura tetapi memilih tetap menjadi kuwu Cirebon. Didukung dengan warisan yang diterima dari Ki Gedeng Jumajan Djati,  Pakuwuan Caruban statusnya ditingkatkan  menjadi  Nagari Caruban Larang. Dengan demikian maka Pangeran Cakrabuana menjadi  penguasa nagari sekaligus sebagai ulama.

Sementara itu,  Raja Pajajaran Prabu Siliwangi sangat gembira mendengar keberhasilan Pangeran Walangsungsang, sehingga untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana, maka Prabu Siliwangi  melantik  Ki Samadullah sebagai Tumenggung Cirebon. Dengan mengutus Tumenggung Jagabaya, Prabu Siliwangi  memberikan  Pratanda dan Anarimakna Kacakrawartyan. Kemudian  Haji Abdullah Iman al-Jawi diberi gelar resmi kerajaan oleh Prabu Siliwangi dengan gelar Sri Mangana. Dengan demikian maka, penguasa Caruban Larang  bernama Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi.

Sementara itu Nyai Lara Santang atau Hajjah Syarifah  Muda’im  yang telah menikah dengan  Syarif Abdullah walikota Mesir melahirkan dua orang putera yaitu Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati dan Syarif Nurullah. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah putra Hajjah Syarifah Muda’im ini akan menjadi salah seorang Wali Sanga penyebar Islam di tanah Jawa. Lebih jauh menurut naskah tersebut Syarif Hidayatullah  menduduki generasi ke 22 dari Nabi Muhammad SAW.

Setelah Syarif Hidayatullah menjadi pemuda dan berusia  dua puluh tahun, dia meninggalkan Mekah untuk berguru kepada beberapa orang guru seperti kepada Syeikh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun, Syeikh Athaillah Syazali. Beliau pergi pula ke Baghdad. Di sana syarif Haidayatullah berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya selama 2 tahun (Sunarjo, 1983:51). Dalam waktu singkat Syarif Hidayatullah telah mempunyai  banyak nama di antaranya  Syaid Al kamil, Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti.

Setelah ayahnya meninggal, Syarif Hidayatullah diminta untuk menggantikan ayahnya Syarif Abdullah. Tetapi dia menolak bahkan meminta adiknya Syarif Nurullah untuk menggantikan dirinya. Syarif Hidayatullah sendiri memilih pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam.  Menurut sumber tradisional, Pangeran Nurrullah inilah disebut sebagai orang Pasai yang merantau ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, kemudian namanya dikenal dengan Faletehan atau Fatahillah.

Dalam  perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah  singgah di Gujarat. Di sana Syaid Kamil betemu dengan Dipati Keling beserta anak buahnya.  Dipati Keling dan anak buahnya masuk Islam dan mengabdi pada Syarif Hidayattullah. Kemudian  mereka bersama-sama meneruskan perjalannannya menuju Jawa. Sebelum ke Jawa, Syaid Kamil  singgah di Pasai. Disini Syarif Hidayatullah berguru kepada Syaid Ishak. Di Pasai mereka tinggal selama dua tahun. Setelah itu, Syaid Kamil dan rombongan meneruskan perjalan menuju ke Jawa, yang diawali dengan persinggahannya di negeri Banten. Di negeri itu sudah banyak yang memeluk agama Islam berkat binaan  dari Syaid Rakhmat atau Ali Rakhmatullah seorang guru agama dari Ampel Gading yang kemudian bergelar Susuhunan Ampel.

Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah diminta untuk meneruskan Ali Rakhmattullah untuk mengajar agama Islam di negeri Banten. Ketika Syaid Rakhmatullah pulang ke Ampel, Syarif Hidayatullah ikut pula ke Ampel guna lebih memperdalam agama Islam. Ketika tiba di

Page 25: Isi Sejarah Indramayu

Ampel, di sana telah berkumpul para wali. Pada saat itu para wali sedang membagi pekerjaan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Setelah bersilaturahmi dengan para wali, maka diatur mengenai siasat  penyebaran Islam di Jawa. Saat itu Syaid Kamil atau Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Jawa bagian Barat yaitu di tatar Sunda.

Setelah mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda, maka bersama Dipati Keling dan anak buahnya berlayar menuju ke Caruban Larang untuk menemui uwaknya Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi. Setelah memasuki Caruban Larang, pertama kali Syaid Kamil mendarat di pelabuhan Muara Djati, kemudian ke desa Sembung-Pasambangan dekan Giri Amparan Djati.  Di sana Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam  menggantikan Syeikh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Masyarakat setempat menganggap Sayid Kamil sebagai orang Arab, sehingga digelari Syeik Maulana Djati atau Syeikh Djati.

Selain di Sembung-Pasambangan, Syarif Hidayatullah, mengajarkan agama Islam di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan  Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan. Tetapi perkawinannya tidak berlangsung lama, karena Nyai babadan meninggal dunia dan tidak mempunyai anak.  Mengenai perkawinan Sunan Gunung Djati  sumber tradisional seperti Wawacan Sunan Gunung Djati dan Babad Banten mengatakan bahwa ia menikahi beberapa orang isteri di antaranya Nyai Babadan, Nyai Rara Djati, Ratu Kawung Anten, Ratu Tepasan dan sorang puteri Cina On Tien. 

Pertemuan antara Syarif Hidayatullah, Dipati Keling beserta anak buahnya  dengan uwaknya Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman Al Jawi, telah melahirkan kekuatan baru bagi kerajaan Islam Cirebon,  terutama dalam penyebaran agama Islam di daerah itu. Syarif Hidayatullah beserta Dipati Keling dan anak buahnya oleh Pangeran Cakrabuana ditempatkan di Giri Sembung untuk mengelola Pondok Quro Amparan Djati peninggalan Syekh Datuk Kahfi.  Selain itu, oleh uwaknya Syaid Kamil dinikahkan dengan puterinya yaitu Nyai  Mas Pakungwati yang merupakan saudara sepupunya sendiri.

Di Giri Sembung, Syarif Hidayatullah disebut dengan Syeikh Maulana Djati atau Syeikh Djati. Setelah mengelola Pesantren di Giri Sembung, kemudian nama Syaid Kamil atau Syarif Hidayatullah  semakin terkenal dan dikenal dengan sebutan Susuhunan Djati atau Sunan Cirebon. Dalam mengajarkan agama Islam di Cirebon, Syeikh Djati tidak mengalami kesulitan, karena santri- santri yang belajar di pesantrennya sama-sama menganut Islam mazhab Syafi’i.

Menurut Sunarjo (1983), ke Cirebon telah datang rombongan dari Banten menghadap kepada Sunan Gunung Djati. Adapun kedatangan mereka adalah untuk meminta Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah untuk mengajarkan  agama Islam di Banten. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, setelah berunding dan mendapat restu dari Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi raja Kerajaan Islam Cirebon yang sekaligus uwak dan mertuanya, maka Syarif Hidayatullah pergi ke Banten.

Pada saat sedang giat-giatnya mengajarkan agama Islam di Banten, Syarif Hidayatullah di panggil pulang ke Cirebon karena tenaganya sangat dibutuhkan oleh Raja Cirebon. Setibanya di Cirebon, Sunan Gunung Djati diserahi  tugas untuk menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakra Buana haji Abdullah Iman al-Jawi sebagai Raja di Kerajaan Islam Cirebon yang telah dikuasainya selama 30 tahun. Kemudian setelah menyerahkan kekuasaan pada Sunan Gunung Djati, memilih hidup sebagai Muslim yang saleh  dengan mempelajari Ilmu Ma’rifatullah.

Untuk penobatan  Susuhunan Djati sebagai penguasa Kerajaan Islam Cirebon dilakukan oleh para wali yang tergabung dalam Wali Sanga dari Jawa Timur di antaranya Raden Fatah  dari Kesultanan Demak yang didampingi oleh Panglima Perang Kesultanan Demak Fadhilah Khan. Peristiwa penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Raja Kerajaan Islam Cirebon terjadi pada tahun 1479. Sejak tahun itulah  Caruban Larang atau Cirebon menjadi pusat sebuah kesultanan Islam.

Menurut  Hoesen Djajadiningrat (1913),  setelah Sunan Gunung Djati jadi penguasa Kerajaan Islam Cirebon, secara damai ia mengajarkan  dan menyebarkan agama Islam. Pada saat itu, beribu-ribu  orang berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru agama Islam. Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka membiarkan diri mereka  sendiri terseret  oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima dan memeluk agama Islam dan menghormati Sunan

Page 26: Isi Sejarah Indramayu

Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap bahwa Sunan Gunung Djati  adalah sebagai  peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan Cirebon.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman  menjadi penunjang yang vital. Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, terdiri dari Tumenggung sebagai pemimpin tertinggi, kemudian penasehat, dan pimpinan tentara atau lasykar yaitu para Adipati, kemudian para pemimpin wilayah yang lazim disebut dengan Ki Gedeng.

Adapun program-program yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon, menurut Sunarjo (1983) Sunan Gunung Djati adalah intensitas pengembangan agama Islam  ke segenap penjuru Tatar Sunda. Sedangkan di bidang ekonomi Sultan menekankan  bidang perdagangan terutama dengan nagari-nagari di wilayah Nusantara. Selain  itu dikembangkan pula hubungan perdagangan dengan  negeri Campa, Malaka, Cina, India, dan Arab.

Setelah  membangunan kekuatan-kekuatan ekonomi, Sunan Gunung Djati sebagai kepela pemerintahan melakukan penataan pemerintahan baik di pusat maupun di wilayah-wilayah nagari. Untuk kelancaran pemerintahan, maka Sultan menempatkan kerabat-kerabat dan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan Gunung Djati mempercepat pengembangan kota tersebut.  Untuk hal itu, maka ia menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pesisir Utara Jawa yaitu Kerajaan Islam Demak.

Menurut Tome Pires  seorang akuntan Portugis yang pernah tinggal di Cirebon  pada tahun 1513 memandang bahwa Cirebon merupakan bagian dari Demak  (Graff, 1974:138).  Dalam bukunya Suma Oriental (1944)  bahwa di Cirebon (the land of Cherimon ) dikepalai oleh Lebe Uca, dan merupakan vassal seorang lord dari Demak  yaitu Pete Rodim. Menurut Atja (1972)  yang dimaksud oleh Tome Pires Lebe Uca adalah  Sunan Gunung Djati dan Pete Rodim adalah Raden Fatah.  Bisa jadi pandangan semacam itu  terjadi karena Tome Pires  melihat bahwa pada saat Sunan Gunung Djati naik tahta menjadi raja di Kerajaan Islam Cirebon  menggantikan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi  yang melantiknya adalah para wali di antaranya  Raden Fatah Sultan Kerajaan Islam Demak.  Dengan dilantiknya Sunan Gunung jati oleh Raden Fatah, maka Tome Pires menganggap bahwa hal tersebut sebagai bukti ketundukan penguasa Cirebon kepada penguasa Demak. Oleh karena itu,  Tome Pires menganggap bahwa Cirebon merupakan vassal Kerajaan Islam Demak.

Hubungan antara  Cirebon dan Demak, menurut De Graaf (2001) dan F. de Haan (1912) selain karena kepentingan politik, juga didasari  oleh hubungan keluarga. Hal ini ditandai dengan perkawinan Sunan Gunung Djati sendiri dengan Nyai Ageng Tepasan. Menurut Wawacan Sunan Gunung Djati  Nyai Ageng Tepasan dianggap  ibu asal dari para sultan Cirebon.Dari perkawinan itu, Sultan Cirebon mempunyai dua orang anak yaitu  Nyai Ratu Ayu dan Pangeran  Muhammad Arifin yang kemudian dikenal dengan Pangeran  Pasarean.

Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913), berdasarkan Babad Cirebon dan Wawacan Sunan Gunung Djati serta Sejarah Para Wali, perkawinan politik antara penguasa Cirebon dengan Demak terus berlangsung, yaitu dengan  perkawinan  Pangeran Brata Kencana atau Pangeran Gung Anom putera Sunan Gunung Djati dari Nyai Lara Bagdad dengan Ratu Nyawa puteri Raden Patah. Sebenarnya  sebelum pernikahan itu, sebelumnya sudah terjadi pernikahan lain yaitu pernikahan antara  Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati atau kakaknya Brata Kelana dengan  Nyai Ratu Pembaya saudara Ratu Nyawa isteri Brata Kelana. Tetapi pernikahan mereka tidak lama, karena para pangeran meninggal dunia saat terjadi pertempuran melawan bajak laut ketika dalam perjalanan dari Demak ke Cirebon. Setelah meninggal Pangeran Jaya Kelana,  Nyai Ratu Pembaya menikah lagi dengan  Ki Fadhillah Khan atau Fatahillah atau Faletehan sebagai isterinya yang ke dua (Sunarjo, 1983:68). Selain itu menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) untuk memperkokoh hubungan Cirebon dan Demak maka dikawinkanlah putera Sunan Gunung Djati yaitu Pangeran Pasarean dengan  Ratu Nyawa puteri Sultan demak yang juga janda dari kakaknya yaitu Pangeran  Brata Kelana.  Menurut Babad Tanah Jawi, dan Babad Pajajaran, hubungan kedua kerajaan Islam itu semakin erat terutama setelah  perkawinan Nyai Mas Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Tetapi pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena

Page 27: Isi Sejarah Indramayu

Pangeran Sabrang Lor yang dikenal dengan Raja Demak II meninggal. Kemudian Janda Raja Demak II  tersebut menikah lagi dengan  Fatahillah.

Menurut Hasan Muarif Ambari (1997) Islam di Cirebon  berkembang dalam dua bentuk aliran, yaitu aliran Suni dan Syiah. Penyebar-penyebar Islam periode pertama adalah  para pedagang Arab Islam , para mubaligh,  para musyafir, para ahli kriya dan seniman di berbagai bidang.  Mereka sangat dimungkinkan menganut tarekat-tarekat tertentu dengan cara meleburkan diri  terhadap pengembangan tarekat di Cirebon dan sekitarnya.

Menurut  Carita Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Djati  untuk mendukung pemerintahannya, ia terus membangun sarana-sarana pendukung baik itu sarana ekonomi, politik maupun agama. Untuk sarana di bidang agama, Sunan Gunung Djati membangun mesjid agung. Berdasarkan sumber tradisional, pembangunan Mesjid Agung Cirebon didirikan dengan bantuan para wali seperti Raden Patah yang mengirimkan seorang arsitek dan sekaligus sebagai arsitek Mesjid Agung Cirebon yaitu Raden Sepat. Kemudian bantuan datang dari Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga dan Sunan Ampel. Mesjid tersebut oleh para wali diberi nama Mesjid Sang Cipta Rasa. Menurut De Graaf (2001), mesjid Sang Cipta Rasa menjadi model mesjid di kota-kota Islam di Jawa. Menurut sumber-sumber lokal  mesjid tersebut pernah digunakan untuk pelaksanaan musyawarah Wali Sanga dalam  pengadilan untuk mengadili Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.

Untuk  sarana  politik, Sunan Gunung Djati memperluas bangunan Istana Pakung Wati sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan. Kemudian di bidang ekonomi, Sultan Cirebon  selain memperluas  jaringan perdagangan,  untuk mendukung kegiatan ekonomi dibuat jalan-jalan antara istana ke pelabuhan Muara Djati  dan pasar.

Setelah Cirebon berada dibawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau Syeikh Djati, atau Susuhunan Djati, maka kota tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik  Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda. Selain itu Cirebon dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah  selain sebagai pusat kekuasaan Kesultanan Islam juga merupakan pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional  yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line)  yang dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dengan demikian maka dalam waktu singkat dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati Cirebon  tumbuh menjadi sebuah kota metropolis.

Sebagai sebuah kota metropolis, Cirebon mempunyai karakteristik  di antaranya sebagai berikut:

1. Tumbuhnya kehidupan kota yang bernafaskan Islam dengan pola penyusunan masyarakat serta hirearki sosial yang kompleks.

2. Berkembang arsitektur baik yang sakral maupun yang profan seperti Mesjid Sang Cipta Rasa, Keraton, dan bangunan lainnya yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen pra-Islam.

3. Tumbuhnya karya seni baik itu seni pahat, seni lukis, maupun sastra Islam. Hal ini bisa dilihat dari hasil karya seni seperti seni batik, seni musik, kaligrafi, dan karya sastra serta lainnya.

4. Tumbuh subur pendidikan Islam yaitu pesantren di sekitar Cirebon.5. Cirebon masuk dalam jaringan penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh Wali Songo.

Di samping hal-hal tersebut di atas yang menjadikan tumbuhnya Cirebon sebagai sebuah kota metropolis adalah:

Pertama, dukungan sarana dan prasarana esensial pemerintahan dan ekonomi sebagai sebuah ibu kota Kerajaan Pesisir sepert:

Keraton sebagai tempat kediaman resmi raja (Kepala Negara / Susuhunan dan pusat pemerintahan terletak tidak jauh dari Pelabuhan Muara Djati.

Mesjid Agung sebagai tempat ibadah dan tempat merumuskan program pengembangan agama Islam.

Pelabuhan utama Muara Djati dapat diandalkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan kerajaan.

Jalan raya utama yang menghubungkan ketaron sebagai pusat pemerintahan dengan pelabuhan sebagai pusat perekonomian, dan Mesjid sebagai pusat keagamaan.

Pasar sebagai pusat perdagangan di Psambangan.

Page 28: Isi Sejarah Indramayu

Kedua, telah dikuasainya daerah- daerah belakang (hunterland)  yang diandalkan untuk mensuplay bahan pangan.

Ketiga, dibentuknya pasukan lasykar yang dipimpin para dipati (panglima) yang berwibawa dan loyal pada Kerajaan.

Keempat, adanya penasehat-penasehat raja di bidang pemerintahan maupun agama. Kemudian diangkatnya  penasehat yang merupakan  pembantu utama di tingkat pusat, kemudian  kepala wilayah yaitu Ki Gedeng yang loyal  pada raja dan berdedikasi tinggi dan berwibawa.

Kelima, terjalinnya hubungan antar  negeri yang erat antara Cirebon dan Demak.

Keenam, mendapat dukungan penuh dari para wali yang tergabung dalam Wali Sanga yang mempunyai kharisma dalam masyarakat terutama di pesisir pantai Utara Jawa.

Ketujuh, bebasnya Cirebon dari ancaman Kerajaan Sunda Pajajaran (Prabu Siliwangi) karena Cirebon dianggap masih ada pertalian darah dengan penguasa Pajajaran.

Kesultanan Islam Cirebon  secara  geopolitik  menampilkan strategi situasional  yang tepat. Hal itu disebabkan karena  pada saat muncul kekuatan Islam di Tatar Sunda di wilayah itu tengah terjadi rotasi lokalisasi pusat kekuasaan dari  pedalaman  yaitu pusat kekuasaan kerajaan Hindu  ke pesisir.  Jadi pada saat yang bersamaan di daerah pesisir tumbuh dengan mantap pusat kekuasaan Islam di daerah pesisir.  Disini sangat memungkinkan  bahwa pada masa kesultanan Islam Cirebon, terjadi percampuran  antara etnis Sunda dan Jawa yang kemudian melahirkan sub-etnik sunda yaitu Cirebon. Menurut Ayat Rohaedi (1995:308) mereka  adalah orang Cirebon, yang berbahasa Jawa Cirebon, dan mengembangkan  budaya Cirebon. Dengan demikian, Kesultanan Cirebon telah melahirkan  karakteristik masyarakat yang beragam budaya, dengan  ciri  kehidupan kota bandar dengan masyarakat religius dan egalitarian, sesuai dengan konsep ummah.

Cirebon sebagai sebuah  pusat kekuasaan politik dan dakwah berada diantara pusat-pusat kekuasaan lainnya. Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut  perlu dijelaskan bagaimana geostrategi Cirebon pada abad ke 16 terutama aspek ekonomi dan politik. Hal ini perlu dijelaskan karena peran Cirebon  sebagai pusat kekuasaan dan dakwah Islam merupakan  bagian inheren dari sosialisasi Islam di Jawa Barat.

Secara ekonomis Kesultanan Islam Cirebon  yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati  berada didalam jalur internasional perdagangan jarak jauh yaitu pedagangan jalur sutra. Dengan letaknya yang strategis secara ekonomis, maka di kesultanan Cirebon  tumbuh dan berkembang pemukiman  bagi para pelaku ekonomi baik yang berasal dari dalam maupun luar Cirebon atau pendatang.  Hal inilah  yang mendorong  Cirebon muncul kota bandar dan merupakan salah satu bandar utama di  pantai Utara Jawa. Letak  Kesultanan Cirebon secara diametral  berada pada jalur antara Banten dan Jayakarta di bagian Barat dan  Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Giri di bagian Timur. Dengan demikian posisi bandar Cirebon berada  ditengah jaringan  ekonomi perdagangan dan penyiaran Islam baik ke Barat maupun ke Timur.

Jatuhnya Malaka ke  tangan Portugis telah merubah  peta geopolitik dan geoekonomi  Jawa dan telah menempatkan Cirebon dalam posisi strategis baik secara ekonomi maupun politik. Secara geopolitik, bersamaan dengan  munculnya kekuasaan kesultanan Islam Cirebon dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati, menurut De graf (2001:10) di wilayah kekuasaan raja-raja pesisir terjadi hegemoni kekuasaan Kesultanan Demak. Gerakan  transformasi agama dan politik dari Kesultanan Demak selain  ke wilayah timur yaitu Pajang dan Mataram juga ke arah Barat. Menurut Prodjokusumo (1991:68) berkat dukungan dari Sultan Demak, Sunan Gunung Djati  dapat melebarkan pengaruh dan kekuasaannya di Sunda Kelapa, kemudian ke Banten Girang dan Pakuan Pajajaran.

Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati  terus menjalin hubungan dengan sentra-sentra politik di antaranya dengan Demak yang pada saat itu dianggap eksfansif dan hegemonis. Dalam menjalin hubungan  dengan kekuatan politik lainnya  di wilayah Barat Kesultanan Islam Cirebon memantapkan  strategi penyiaran Islam sekaligus kepentingan politiknya untuk  menghadapi  Portugis dan Belanda dengan menempatkan Pangeran Maulana Hasanudin putra Sunan Gunung jati dari Isterinya kawung Anten menjadi  penguasa di Banten. Kemudian Sunan Gunung Djati mematahkan  pengaruh Portugis di Sunda Kelapa. Selain itu dengan aliansi antara Cirebon dan demak

Page 29: Isi Sejarah Indramayu

maka selain menaklukan dan  merebut Sunda Kelapa juga menaklukan Pakuan Pajajaran  yang Hinduistis. Sementara untuk ke arah Timur Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah  memantapkan hubungan dengan sentra-sentra kekuasaan raja-raja Muslim di pesisir yang merupakan jaringan dari Wali Songo seperti hubungannya dengan Sunan Kali Jaga.

Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Selain mengendalikan kekuasaan politik sebagai penguasa kesultanan Islam Cirebon, Sunan Gunung Djati terus menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tatar Sunda dengan dtemani oleh para pembantunya. Menurut  Nina Lubis ( 2000 ) daerah-daerah yang dijelajahi oleh Sunan Gunung  Djati  adalah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung ), Timbanganten (Kabupaten Garut ), Pasir Luhur, Batu layang, dan pengadingan (wilayah Barat dan Selatan Sumedang Larang). Daerah-daerah lain yang berhasil diIslamkan sebagaiman diceritakan dalam sumber-sumber tradisional adalah nagari Talaga, Raja Galuh, Dermayu, Trusni, Cangkuang dan Kuningan. Jika diperkirakan, maka gerakan Islamisasi Sunan Gunung Djati saat itu telah mencapai  2/3 wilayah Jawa Barat.

Setelah meninggalnya Sunan Gunung Djati tahun  1568 Masehi, menurut F. de Haan dalam bukunya Priangan  kekuasaannya di Cirebon  diteruskan oleh puranya yaitu Panembahan Ratu. Hal ini disebabkan karena  Pangeran Paseran menjadi Raja Cirebon  tidak lama karena beliau meninggal. Saat itu Sunan Gunung Djati masih hidup. Pada tahun 1570 yang berkuasa di Cirebon adalah Penembahan Ratu yang memerintah sampai dengan 1649.

Menurut Hasan Muarif Ambari (1998) kemantapan posisi geopolitik Cirebon seringkali diuji oleh tekanan Mataram terutama pada saat kekuasaan Mataram semakin kuat dan meluas.  Cirebon sering ditempatkan pada posisi sulit, seperti pada saat terjadi  konflik antara Mataram-VOC.  Hubungan Cirebon-Mataram bagaikan api dalam sekam. Selain itu posisi Cirebon sering dimanfaatkan oleh Mataram menjadi penghubung antara Mataram-Banten, dimana jika terjadi konflik akan mempersulit posisi Cirebon.  Untuk hal itu  akhirnya Cirebon memilih proteksi Belanda  pada 1681.

Posisi Cirebon secara politik sangat penting dan strategis bagi Mataram. Hal ini disebabkan karena Cirebon  dapat menjadi penghubung  bagi Mataram untuk menetralisir Kesultanan Banten untuk bertkembang lebih jauh. Sementara untuk menghadapi VOC, mataram menggunakan Cirebon sebagai “buffer-fower” untuk  menahan laju VOC yang berpusat di Batavia. Selain itu Cirebon bagi Mataram dianggap mampu  mengamankan dan menyediakan logistik militer bagi operasi Mataram ke Barat khususnya Batavia.

Hubungan Cirebon dengan Mataram tidak saja disebabkan karena beberapa kepentingan politik maupun ekonomi, tetapi juga karena hubungan keluarga melalui perkawinan meskipun perkawinanya itu lebih kental dengan nuansa politik. Hal ini terjadi pada saat Sultan Agung dari Mataram sedang giat-giatnya melakukan invasi ke Barat maupun ke Timur dan saat itu Cirebon merupakan satu-satunya wilayah yang tidak diinvasi Mataram.  Pada saat itu  Kesultanan Cirebon berada di bawah kekuasaan Panembahan Ratu. Di mana dalam menjalankan pemerintahannya ia lebih  diarahkan pada penguatan kehidupan keagamaan. Sultan Cirebon saat itu lebih banyak bertindak sebagai ulama dari pada sebagai umaro. Sultan Panembahan Ratu lebih mementingkan kepentingan agama daripada ekonomi dan politik.  Hal inilah yang membuat segan Sultan Agung dari Mataram untuk menginvasi Cirebon. Disamping itu Sultan Cirebon Panembahan Ratu  usianya lebih tua daripada Sultan Agung  dan menganggap sebagai guru.  Pada saat Mataram gagal menyerang batavia, VOC mendekati Panembahan Ratu Sultan Cirebon, tetapi tidak berhasil. Untuk  membendung pengaruh VOC maka diadakan perkawinan politis antara keluarga Kesultanan Cirebon dengan Kesultanan Mataram. Perkawinan pertama terjadi antara  Saudara kakak perempuan Panembahan Ratu yaitu Puteri Ratu Sakluh dengan Sultan Agung yang kemudian melahirkan Susuhunan Amangkurat I. Perkawinan berikutnya adalah antara  puteri Amangkurat I  dari Mataram dengan Panembahan Girilaya dari Cirebon. Hal inilah yang menempatkan posisi Cirebon dalam perkembangan sejarahnya  pada akhir abad ke 16 lebih codong ke Mataram dan bahkan menjadi vassal dari Mataram. Menurut  F. de Haan dalam Priangan pada awalnya hubungan antara Cirebon dan Mataram adalah hubungan persahabatan sejak masa perjanjian antara  Senapati dari Mataram dengan Panembahan Ratu dari Cirebon. Tetapi lambat laun dengan tanpa kekerasan  kedudukan persamaan antara keduanyan berubah. Cirebon yang tadinya sebuah kerajaan  sahabat Mataram menjadi  sebuah kerajaan taklukan Mataram.

Perkawinan politik antara Cirebon dengan Mataram telah mengakibatkan  jatuhnya kekuasaan Cirebon secara tidak langsung kedalam kekuasaan Mataram. Hal ini terjadi setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649. Kedudukannya  digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan Grilaya, karena

Page 30: Isi Sejarah Indramayu

puteranya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu.  Saat itu terjadi perubahan sikap dari  Amangkurat I terhadap Cirebon.  Perubahan itu diperlihatkan ketika ia mengharuskan Panembahan Girilaya bersama  puteranya  Martawijaya dan Kertawijaya tinggal di Mataram sampai akhirnya meninggal di Mataram.  Menurut  Ekajati (1978)  sikap Amangkurat tersebut  karena menganggap Girilaya bersalah telah membiarkan  pasukan Banten masuk Cirebon, sementara Banten  konflik dengan Mataram.

Banten

SEJARAH Banten tidak dapat dilepaskan dari sejarah Cirebon. Hal ini disebabkan karena menurut beberapa sumber bahwa ada hubungan yang erat secara historis antara Banten dan Cirebon. Masalah ini berhubungan dengan  peran seorang tokoh penyebar agama Islam yaitu Sunan Gunung Djati yang telah dianggap sebagai peletak  dasar bagi lahirnya dua kesultanan Islam di Jawa Barat sekaligus yaitu Kesultanan Islam Cirebon dan Banten.

Sejarah Islam di Banten dimulai pada fase akhir dari Kerajaan Hindu Pajajaran  yang saat itu sudah mulai menampakan tanda-tanda kemundurannya. Pada saat kekuasaan Hindu Pajajaran sudah mulai melemah, muncul gerakan dakwah Islam yang dipelopori oleh Wali Sango.

Menurut sebuah sumber, pada saat Kerajaan Pajajran menuju pada titik kehancuran, di Banten telah banyak penduduk yang memeluk agama Islam berkat gerakan dakwah yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Banten pada saat itu telah menjadi  pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang  baik lokal maupun internasional. Seiring dengan meningkatnya  perdagangan antara wilayah Timur dan Barat  maka saat itu Banten menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Arab, Cina, India dan Perlak serta para mubaligh . Menurut Halwani Michrob (1990:50), penyebaran Islam di Banten telah dimulai sejak abad ke 7 dan 8 Masehi. 

Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah ke Banten untuk mengajarkan agama Islam, didaerah itu sudah ada komunitas masyarakat Muslim yang telah mempelajari agama Islam dibawah bimbingan Sunan Ampel.  Selain itu  menurut  Afif Amrullah (1990:44)di sana sudah ada mesjid jami tempat beribadah  orang-orang yang telah memeluk agama Islam di Banten yaitu  mesjid di daerah Pacinan.

Menurut Carita Purwaka Carauban Nagari,  kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten terjadi pada saat dia sedang menuju ke Jawa untuk tujuan menyebarkan agama Islam  setelah terlebih dahulu singgah di Pasai. Banten pada saat itu merupakan vassal kerajaan Demak. Kedatangan Sunan Gunung Djati yang pada saat itu masih bernama  Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil diiringi oleh Dipati Keling dan para pengawalnya berjumlah  98 orang. Ketika tiba di Banten,  Syarif Hidayatullah bertemu dengan Ali Rakhmatullah atau dikenal dengan Sunan Ampel yang sedang mengajarkan agama Islam pada penduduk Banten.  Syarif Hidayatullah kemudian berguru kepada Sunan Ampel.

Setelah  cukup lama tinggal di Banten, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak bersama dengan Sunan Ampel. Dari Demak  dia pergi ke Cirebon setelah mendapat tugas dari para wali untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa bagian Barat.  Di Cirebon Syarif Hidayatullah berhasil menyebarkan agama Islam dan  menjadi penguasa kerajaan Islam Cirebon menggantikan  uwaknya Pangeran Cakra Buana.

Sunan Gunung Djati terus membina teritorial wilayah kekuasaannya sambil berdakwah mengajarakan agama Islam ke wilayah pedalaman seperti ke Ukur Cibaliung, Timbanganten,  Pasir Luhur, Batu Layang dan Pegadingan.  Gerakan penyebaran agama Islam terus ke wilayah Banten yang saat itu bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran.

Menurut sebuah sumber tradisional,  kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten atas permintaan utusan Banten yang datang ke Cirebon untk mengajarkan agama Islam di Banten.  Menurut Sunarjo (1983) dengan persetujuan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman Al Jawi yang saat itu menjadi Raja di Kerajaan Islam Cirebon, maka Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam.

Di Banten, Syekh Maulana Djati atau Syarif Hidayatullah atau Sunan  Gunung Djati mengajarkan agama Islam sehingga banyak penduduk Banten yang masuk agama Islam meninggalkan agama lama yaitu Hindu.  Salah satu keberhasilan dakwah Sunan Gunung Djati saat itu adalah  dapat mengIslamkan penguasa Banten yaitu Bupati Kawung Anten. Mereka bersama keluarga dan para pengikutnya

Page 31: Isi Sejarah Indramayu

memeluk agama Islam dan berguru pada Syarif Hidayatullah. Selain mengIslamkan Bupati Kawung Anten, Sunan Gunung Djati atas restu dari Bupati Kawung Anten menikah dengan Nyai Kawung Anten adik  bupati tersebut. Dari perkawinannya itu, Sunan Gunung Djati  mempunyai dua orang anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingkin. Menurut Sajarah Banten Sunan Gunung Djati tinggal di Banten sampai dengan tahun 1552.

Pada saat Islam sudah menyebar di Banten, dan mempunyai tonggak serta landasan  yang cukup kuat  dengan adanya legitimasi dari Bupati Kawung Anten, Syarif Hidayatullah pulang ke Cirebon. Kepulangannya ke Cirebon, karena  Raja Kerajaan Islam Cirebon sangat membutuhkan  tenaga Sunan Gunung Djati. Sepulangnya di Cirebon Sunan Gunung Djati diserahi tugas untuk memimpin Kerajaan Islam Cirebon oleh Raja Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi karena usianya sudah tua. Naiknya  Sunan Gunung Djati sebagai  Raja di Kerajaan Islam Cirebon telah mengukuhkan kekuasaannya  atas dua wilayah Islam yaitu Cirebon dan Banten.

Setelah Sunan Gunung Djati diangkat menjadi Sultan di  Kerajaan Islam Cirebon,  yang dihadapi olehnya pada saat itu baik di  Banten maupun Cirebon adalah Kerajaan Sunda  Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis untuk menghadapi  kekuasaan Islam.  Pada saat itu Kerajaan Sunda Pajajaran  dan Portugis mempunyai dan menguasai  bandar-bandar yang cukup strategis seperti Bandar Banten, Sunda Kelapa, Pontang, Cikande, Tanggerang dan Cimanuk.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, dan Pasai tahun 1512, maka  pusat perdagangan pindah dari kedua tempat itu ke Bandar Banten.  Hal ini disebabkan karena  para saudagar Islam  yang terdiri dari orang Arab, Cina dan Persia memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Jawa Barat yaitu Banten. Menurut Hamka (1981) rute perdagangan dari pelabuhan Banten ke arah Timur  rutenya Banten-Maluku dan rute Barat meliputi Banten-Salida-Padang Pariaman-Singkel-Barus-kemudian ke Aceh Barat.

Pada waktu Tome Pires mengunjungi  kota-kota pelabuhan di wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran tahun  1413, mengatakan bahwa Raja Sunda  merasa khawatir terhadap desakan dan perkembangan Islam di wilayah Timur. Kemudian dia berusaha membendung pengaruh agama Islam dengan cara mengurangi kedatangan saudagar-saudagar muslim  masuk ke bandar-bandar yang berada di wilayahnya. Usaha Raja Sunda Pajajaran itu tidak berhasil, karena kekuatan dan pengaruh agama Islam yang sebenarnya berasal dari Kerajaan Islam Demak yang saat itu sedang terus menerus mengembangkan  kekuasaannya untuk merebut hegemoni  di wilayah Timur setelah runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit sambil mengembangkan agama Islam. Menurut Hoesen Djajadiningrat (1913) guna menghadapi kekuatan dan pengaruh Islam dari Kerajaan Demak, maka Raja Sunda Pajajaran  mengadakan perjanjian  dengan Portugis tahun  1522 untuk melindunginya dari Kerajaan Islam Demak.  Kompensasi dari  perjanjian itu adalah  pemberian izin kepada  Henrique Leme pemimpin Portugis  untuk  mendirikan sebuah benteng di Sunda Kelapa serta  dizinkannya orang Portugis untuk  mengadakan tukar menukar lada dengan barang-barang yang diperlukan oleh penduduk setempat. Setelah ada kompensasi itu, maka Portugis  mendirikan  sebuah loji dan benteng kecil di Sunda Kelapa.

Menurut Sejarah Banten, pada tahun 1522 Jorge d’ Alboquerque Gubernur Malaka mengutus  Henrique Leme menemui Raja Sunda yang bernama Samiam untuk menjalin hubungan dagang dengannya. Tawaran itu disambut baik oleh raja Pajajaran, karena diapun punya kepentingan  dengan Portugis untuk membatu Pajajaran  menghadapi bangsa Mor (Islam). Perjanjian antara Porugis dan Pajajaran  dilakukan pada tanggal 21 Agustus 1522. Saat itu menurut Hoesen Djajadiningrat (1913),  yang menjadi saksi perjanjian tersebut adalah Mandari Ta’da, Tamingo Sangue de Pate, dan Bengar seorang syahbandar  Sunda Kelapa. Adapun isi perjanjian Portugis dan Pajajaran adalah:

1. Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Sunda Kelapa. 2. Untuk kapal Portugis yang datang, akan diberi muatan lada kemudian harus ditukar oleh

pihak Portugis dengan barang-barang yang dibutuhkan oleh Pajajaran. 3. Pada saat benteng mulai di bangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 Karung lada tiap

tahun, dan harus ditukar dengan keperluan Pajajaran sebanyak 351 Kwintal.

Dengan adanya  perjanjian tersebut, maka peranan Malaka  telah dikuasai sepenuhnya oleh Portugis, dan dengan dikuasainya Banten dan Sunda Kelapa, maka jalur perdagangan internasional  yang menghubungkan Cirebon dan Demak menjadi terputus.

Page 32: Isi Sejarah Indramayu

Untuk menghadapi Raja Sunda Pajajaran dan Portugis, menurut salah satu sumber sejarah, Sunan Gunung Djati mengirimkan  tim penyelidik  untuk mengetahui situasi terakhir di Banten dan Sunda Kelapa. Setelah menerima laporan dari utusannya, maka Sunan Gunung Djati atas persetujuan  Pangeran Cakrabuana dan Dipati Keling memutuskan untuk menyerang Banten dan Sunda Kelapa. Keputusan itu semakin diperkuat setelah menerima Fatahillah. Kedatangan Fatahillah atau Faletehan adalah menyampaikan pesan dan dukungan Sultan Demak untuk menyerang  Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis di Banten dan Sunda Kelapa. Dukungan Raja Demak diikuti dengan pengiriman bantuan armada yang dipimpin oleh Fatahillah sebagai panglimanya.

Menurut Fruin-Mees (1925) dengan dibantu oleh kekuatan dari Demak yang dipimpin oleh   Fatahillah bersama pemimpin pasukan lainnya, pasukan dari Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cirebon, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang  menyerang Banten, yang akhirnya Banten dapat direbut pada tahun 1525. Menurut Sajarah Banten, setelah Banten dapat direbut, maka  diangkat Hasanudin  jadi Dipati Banten dengan pusat pemerintahan Banten Girang.

Menurut beberapa sumber sejarah, setelah Banten  berhasil direbut oleh pasukan gabungan  Cirebon dan Demak, daerah itu menjadi bagian  dari Cirebon di bawah penguasaan Sunan Gunung Djati. Kemudian untuk menjalankan pemerintahan di Banten ia menyerahkannya kepada puteranya Hasanudin untuk menjadi Dipati Banten. Oleh karena itu menurut Hoesen Djajadiningrat    (1913)    yang meletakan dasar – dasar kekuasaan Islam di Banten adalah  Sunan Gunung Djati. Hal ini didasarkan bahwa meskipun Hasanudin  sebagai penguasa Banten, tetapi keputusan-keputusannya harus atas persetujuan Sunan Gunung Djati ayahnya.

Pada tanggal 8 Oktober 1526 Syarif Hidayatullah memindahkan pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang ke Banten dekat Pelabuhan  yang kemudian dikenal dengan “Surosowan“. Menurut Halwani Michrob (1993) pemindahan pusat kekuasaan itu berhubungan dengan  situasi politik dan ekonomi Asia Tenggara saat itu dimana  Malaka telah  jatuh dibawah kekuasaan Portugis sehingga para pedagang segan melakukan hubungan dagang dengan Portugis dan memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Selat Sunda yaitu Banten.

Setelah menaklukan Banten, maka dilakukan penyerangan terhadap Batavia dengan kekuatan tambahan bantuan dari Banten dibawah pimpinan Hasanudin. Penyerangan ke Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah. Setelah lewat pertempuran sengit, maka Kerajaan Sunda dan Portugis dapat dipukul mundur dari Sunda Kelapa dan akhirnya pada tanggal 22 Juni 1527 dapat dikuasai dan diganti namanya menjadi Jayakarta. Setelah  dapat merebut Sunda Kelapa, maka atas persetujuan Sultan Demak Fatahillah diangkat menjadi Dipati Jayakarta.

Pemimpin pasukan yang memimpin penyerang terhadap Sunda Kelapa adalah Fatahillah. Berdasarkan sumber tradisional  Fatahillah mempunyai  gelar Maulana  Fadhilah Khan  al-Pasey Ibnu Maulana Mahdar Ibrahim Al Gujarat. Dia dilahirkan di Pasai  pada tahun 1490 Masehi. Ayahnya bernama Maulana Mahdar Ibrahim dari Gujarat India yang tinggal di Basem Pasai. Ayahnya mempunyai keturunan yang sama dengan Syarif Hidayatullah  yakni Nurul Amin. Selain itu Fatahillah juga merupakan menantu dari Sunan Gunung Djati.

Menurut salah satu sumber,  sebelum    penyerangan ke Sunda Kelapa, Fatahillah  tinggal di Demak.  Di sini dia mempunyai  dua orang isteri. Pertama  adalah Nyai Ratu Ayu puteri Sunan Gunung Djati janda dari Pangeran Sabrang Lor  Sultan Demak. Isteri kedua adalah Nyai Ratu Pembayun, puteri Sultan Demak Raden Patah  janda Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati. Dengan demikian hubungan antara Fatahilah dengan Sunan Gunung Djati adalah menantu dari perkawinan dengan puterinya dan  suami dari menantunya.

Setelah  berhasil merebut Banten, Sunda Kelapa dan menggantinya menjadi Jayakarta, maka Sunan Gunung Djati  yang saat itu sudah tua menyerahkan  kekuasaan Kesultanan Islam Cirebon kepada Pageran Pasarean, kemudian Banten kepada Maulana Hasanudin, dan Jayakarta  kepada Fatahillah.

Setelah Sultan Hasanudin menjadi penguasa Kesultanan Islam Banten, maka terus dilakukan pengembangan-pengembangan baik itu agama, wilayah, politik maupun ekonomi.  Langkah  Sultan Hasanudin untuk  membangun dan mengembangkan Banten lebih menitikberatkan  pada pengembangan sektor  perdagangan.  Sarana dan prasarana terus dibangun untuk melengkapi dan menunjang kekuasaannya. Diantara  sarana- sarana yang dibangun oleh Sultan Banten adalah Keraton Surosowan sebagai pusat kekuasaan, Mesjig Agung yang letaknya disebelah Barat, Alun-alun sebagai

Page 33: Isi Sejarah Indramayu

pusat peristirahatan masyarakat dalam melakukan aktivitasnya di pusat kota Banten,  Pasar Pabean. Selain itu ditata pula pemukiman-pemukiman penduduk  untuk menghindari konflik seperti pemukiman  orang-orang Cina maka Sultan Hasanudin membuat  pecinan.

Banyaknya para pedagang muslim yang datang ke Banten selain aktif berdagang juga berdakwah,  maka selain pusat kekuasaan kota Banten itu penjadi pusat dakwah atau penyiaran agama Islam.  Dengan demikian, Banten selain sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat juga Sumatera bagian Selatan terutama Lampung.

Pada waktu Cirebon dan Banten  dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati,  perbatasan antara kedua wilayah tersebut  tidak menjadi masalah. Tetapi ketika  Banten diserahkan kepada Maulana Hasanudin dan Cirebon  kepada   Pangeran Pasarean yang kemudian kepada Panembahan Ratu, maka batas-batas wilayah menjadi masalah  yang menimbulkan ketegangan hubungan antara Banten dan Cirebon.  Persoalan batas wilayah muncul setelah Kerajaan Sunda Pajajaran  dapat ditaklukan Banten dan eksistensinya telah sirna.

Dari beberapa sumber dikatakan bahwa setelah Kerajaan Sunda Pajajaran ditaklukan Banten, maka seluruh wilayah kekuasaan Pajajaran berada dibawah kontrol dan kendali Banten. Seluruh wilayah bekas Pajajaran harus tunduk pada peraturan-peraturan Sultan Banten. Diantara yang menjadi persoalan adalah wilayah Priangan dan Sumedang Larang.  Kedua wilayah itu awalnya merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Pajajaran, sehingga setelah Pajajaran takluk kepada Banten, maka secara operasional pemerintahan berada dibawah kontrol Kesultanan Banten.  Tetapi menurut Sajarah Banten, dan Carita Purwaka Caruban Nagari, meskipun kedua daerah harus berada dibawah  kendali kekuasaan Banten pada kenyataannya dikedua daerah tersebut pengaruh Cirebon masih kuat. Masalah perbatasan  antara Cirebon dan Banten tidak dapat diselesaikan  secara resmi, sehingga persoalan tersebut membuat hubungan Banten dan Cirebon seperti bara api dalam sekam.

Pada awal kekuasaannya, Sultan Hasanudin memproklamirkan  bahwa Kerajaan Islam  Banten berada dibawah kekuasaan Kerajaan Islam Demak atau merupakan vassal dari Demak, Hal ini didasarkan karena  Banten dapat direbut dari Kerajaan Sunda Pajajaran dan dapat diIslamkan  dengan bantuan Raja Demak. Tetapi perkembangan berikutnya Sultan Hasanudin pada tahun  1568 memaklumkan bahwa Kerajaan Islam Banten  membebaskan diri dari Kerajaan Demak.

Menurut Hoesen Djajadiningrat (1983) Tindakan Hasanudin  melepaskan Kerajaan Islam Banten dari pengawasan  Demak merupakan  tindakan yang dianggap penting. Hal ini disebabkan selain untuk kemajuan pengembangan Banten, juga untuk menghindarkan diri dari kericuhan yang selalu terjadi pada keluarga kesultanan Demak yang masih merupakan keluarganya. Menurut De Graff (1989:151)  Hubungan keluarga antara  Banten dan Demak disebabkan oleh perkawinan antara Sultan Hasanudin dengan salah seorang puteri Kesultanan Demak yang dikaruniai beberapa orang anak. Sultan Hasanudin bertahta di Kerajaan Islam Banten selama  18 tahun.

 Sultan Hasanudin mempunyai anak tiga orang yaitu Puteri Pembayun, Pangeran Yusuf dan Pangeran  Arya yang tinggal di Jepara dengan bibinya Ratu Kalinyamat  yang nantinya menjadi Pangeran Jepara. Setelah Hasanudin meninggal dunia, maka Kesultanan Banten diserahkan kepada Pangeran Yusuf. Menurut Hamka   (1976:181) Pemerintahan Maulana Yusuf sebagaimana ayahnya merupakan sultan yang memimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama.

Kalau pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin pembangunan lebih dipusatkan pada bidang keamanan kota, perluasan wilayah  disamping menyebarkan agama Islam, maka pada masa kekuasaan Sultan Maulana Yusuf strategi pembangunan lebih dititik beratkan  pada pengembangan kota, keamanan wilayah,  perdagangan serta pertanian. Menurut  Husen Djajadiningrat (1983:153)  pasukan kerajaan Islam Banten dapat menaklukan  dan merebut Pakuan Pajajaran yang merupakan ibu kota Kerajaan Pajajaran pada tanggal 13 Desember 1579. Maka sejak peristiwa itulah Kerajaan Sunda Pajajaran habis riwayatnya. Gerakan perluasan wilayah oleh Sultan Maulana Yusuf diteruskan sampai ke pedalamam yaitu ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh Pajajaran. Menurut Nina Lubis (2000:56) sejak dikuasainya Ibukota Pakuan Pajajaran oleh Banten, maka di Jawa Bagian Barat tinggal beberapa kekuasaan yang lebih kecil dari kerajaan Sunda yaitu Banten, Cirebon, Sumedanglarang, dan Galuh.

Sebagaiman Cirebon,  Kesultanan Islam Bantenpun ditopang oleh  letaknya yang strategis sebagai Kota Bandar. Pada abad ke-16, Bandar Banten merupakan bandar yang bertarap internasaional. Letak

Page 34: Isi Sejarah Indramayu

Bandar Banten sangat strategis yaitu terletak  antara Malaka dan Gresik. Banyak kapal-kapal yang berlabuh disana seperti dari Cina, India, Arab, dan Eropa. Kedatangan kapal-kapal ke Bandar Banten tidak semata-mata  membawa barang dagangan dari negerinya, tetapi juga membeli komoditi dari Kerajaan Banten dan sekitarnya. Dengan demikian, maka Banten dapat menjalin hubungan bukan saja dengan daerah dipedalaman tetapi juga dengan dunia internasional. Selain itu di bandar Banten terjadi pula kontak sosial  yang memperlancar kontak budaya yang berasal dari kegiatan ekonomi ke bidang lainnya. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan terpenting di Jawa.

Struktur masyarakat dan kota Banten, banyak dijelaskan oleh beberapa sumber baik itu sumber lokal maupun asing. Informasi tertua mengenai struktur masyarakat Banten  diperoleh dari  Yans Kaerel seorang  anggota armada Belanda yang berlabuh di Banten pada  bulan Nopember 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Hautman.  Menurut Rouffaer dan Ijzerman (1915)  berdasarkan catatan Cornelis de Haoutman setiap kapal asing yang akan berlabuh dan berlayar di pelabuhan Banten  harus minta ijin dulu kepada Syah Bandar. Kemudian untuk memasuki kota Banten harus melalui  tempat pemungut pajak.

Gambaran mengenai Istana Raja Banten digambarkan oleh  Chijs (1881) dan Wertheim (1956)  bahwa Istana raja menghadap  ke Utara dikelilingi oleh parit dan rumah-rumah kecil, di sebelah gerbang utama terdapat rumah jaga, dan setelah  melalui pintu masuk  istana terdapat tempat terbuka dengan tiang  dan permadani. Sedangkan mengenai Iuas kota Surosowan  menurut catatan Valentijn kalau dijelajahi dengan jalan kaki akan selesai selama dua jam.

Dari beberapa catatan orang asing yang mengunjungi Banten pada masa kesultanan menggambarkan struktur masyarakat Banten  digolongkan pada empat golongan yaitu :

1. Golongan raja dan keluarga, menduduki status sosial yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena fungsi dan jabatannya merupakan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi.

2. Golongan elit, yaitu kelompok yang memiliki status sosial tinggi karena jabatannya seperti bangsawan Mangkubumi, Menteri, Laksamana, Senopati, Ulama, Tumenggung dan Syah Bandar.

3. Golongan bukan elit, seperti para pedagang, nelayan, tentara, petani, seniman, dan pejabat rendahan.

4. Golongan budak yaitu yang tidak mampu membayar utang

Selain masalah  stratifikasi sosial dalam masyarakat, menurut Hasan Muarif Ambari (1998)  di Banten dapat dilihat pula pengelompokan pemukiman menjadi empat kelompok yaitu :

1. Pengelompokan atas dasar ras dan suku yang terdiri dari kebalen (pemukiman orang Bali), karoya (pemukiman orang Koga dari India), dan karangantu (pemukiman orang asing lainnya).

2. Pengelompokan atas dasar keagamaan yang terdiri dari kapakihan (pemukiman kaum ulama), dan kasunyatan (pemukiman orang suci).

3. Pengelompokan atas dasar sosial ekonomi yaitu pamarican (tempat penyimpanan lada ), pabean (tempat manrik pajak), pajaringan (tempat pemukinan nelayan ), pasulaman ( tempat pengrajin sulam), kagongan (tempat membuat gong), pamaranggen (tempat membuat keris), pawilahan (tempat kerajinan bambu), pakawatan (tempat membuat jala), pratok (tempat pembuat obat), kepandean (tempat pembuatan alat-alat senjata ).

4. Pengelompokan atas dasar status dalam pemerintahan dan masyarakat yang terdiri dari kawangsan (tempat pemukiman Pangeran Wangsa), kaloran (tempat pemukiman Pangeran Lor), kawiragunan (tempat pemukiman Pangeran Wiraguna), kapurban (pemukiman Pangeran Purba), kabantenan (pemukiman pejabat pemerintah), kamandalikan (pemukiman Pangeran Mandalika), Keraton (pemukiman sultan dan keluarganya) dan kesatrian (pemukiman tentara).

Penutup

PROSES Islamisasi Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga secara integral. Penyebaran agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari perannan  tokoh Sunan Gunung Djati seorang wali yang juga seorang raja. Selain menyebarkan agama Islam, Sunan Gunung Djati telah menjadi peletak dasar bagi kekuasaan politik Islam di Jawa Barat yang meliputi Banten dan Cirebon.   Sebelum Sunan Gunung Djati  menyebarkan Islam di tatar Sunda, di

Page 35: Isi Sejarah Indramayu

Cirebon sudah ada gerakan penyebararan agama Islam yang dipelopori oleh Haji Purwa di Cirebon, Syekh Quro di Karawang dan Syekh Datuk Kahfi di Cirebon.

Gerakan Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Djati  dilakukan dengan pendekatan agama, ekonomi, politik dan kultural. Dengan pendekatan tersebut maka dalam waktu yang relatif singkat Islam dapat menyebar hampir keseluruh wilayah Jawa Barat.

Sumber-sumber mengenai  gerakan penyebaran agama Islam dengan tokohnya Sunan Gunung Djati lebih banyak terdapat dalam  sumber-sumber tradisional berupa babad dan wawacan serta cerita rakyat. Sumber-sumber tersebut masih perlu penelitian lebih jauh untuk mempertegas posisi Sunan Gunung Djati dalam gerakan penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dengan dilakukan penelitian ulang  yang lebih komprehensip mengenai sumber-sumber Sejarah Islam di Jawa Barat akan memperjelas sosok  Sunan Gunung Djati ada diantara mitos dan realitas sejarah.

Penelitian mengenai penyebaran agama Islam di Jawa Barat masih memerlukan penelian lanjutan terutama sentra-sentra dan pusat pusat penyebaran agama Islam di pedalaman tatar Sunda seperti Simedang Larang, dan Pamijahan dengan tokohnya Syekh Abdul Muhyi.

Daftar Pustaka

Atja, Tjarita parahijangan, Yayasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung, 1968. Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972. Atja & Saleh Danasasmita, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Proyek Pengembangan

Permuseuman, Bandung, 1981. Atja & Edi S. Ekadjati, Carita Parahyangan, Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Bandung,

1989. Ayat Rohaedi, dkk, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, Yayasan Pembangunan Jawa

Barat, 1989. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,

Mizan, Bandung, 1995. Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. De Graaf, H. J. & T. H. Pigeaud, Kerajaan – Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Pustaka Utama

Grafity & KITLV, Jakarta, 1985. Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra dan Sejarah, Unpad, Bandung,

1978 Fruin Mees, W, Geshiedenis van Java II, Uitgave van de commarsie voor de vilkslectuur,

Welterenden, 1920. Haan, F, de., Priangan; De Preanger -Regenschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot

1811, Eerste Deel,. Batavia: G.Kolff & Co, 1910. Haan, F, de., Priangan ; De Preanger -Regenschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot

1811, Tweede Deel,. Batavia: G.Kolff & Co, 1911. Haan, F, de., Priangan ; De Preanger -Regenschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot

1811, Deerde Deel,. Batavia: G.Kolff & Co, 1912. Hoesen Djajadiningrat, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter

kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving, Nederland, 1913. Diterjemahkan Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat – Sifat Penulisan Sejarah Jawa, Djambatan, Jakarta, 1983.

Halwany Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten, Yayasan Baluwarti, Jakarta, 1993.

Hageman, J.C.J. Gescheidenis der Soenda – Landen , TBG deel 16, Batavia : Lange & Co’s Hage M. Nijhoff, 1869.

Henri Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambari ( Editor ) , Panggung Sejarah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.

Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologi dan Historis Islam Indonesia, Logos, Jakarta, 1998.

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2000. Leur, J.C.V., Indonesian Trade and Society, Sumur Bandung, Bandung, 1960 Muhammad Syamsu AS, Ulama Pembawa Islam di Indonesia, Lentera, Jakarta, 1996. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1991. Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,

Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Page 36: Isi Sejarah Indramayu

Nina Herlina Lubis, dkk, Sejarah Kota – Kota Lama di Jawa Barat, Alqa Print, Bandung, 2000. P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Depdikbud, Jakarta, 1978. Pires, Tome, The Suma Oriental, terjemahan Armando Cortecao, London, 1944. Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. R. Z. Leirissa ( penyunting ), Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Depdikbud RI,

Jakarta, 1997. Sharon Siddique, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta, 1989. Susanto Zuhdi ( penyunting ), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Depdikbud RiI, Jakarta,

1997. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Jilid I, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1992. Uka Tjadrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota – Kota Muslim di Indonesia,

Menara Kudus, Kudus, 2000. Unang Sunarjo, Kerajaan Cirebon 1479 – 1809, Transito, Bandung, 1983. Yoseph Iskandar, Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga,

Bandung, 2000.