Upload
riri-malikah-nasution
View
352
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
IRAK
Complicated Ethnic Victimization
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Politik Identitas dalam Hubungan Internasional
Dosen: Marbawi A. Katon
Oleh:
Windy Alexander Tjiam 208000325
Siti Octrina Malikah 209000061
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
2010
PENDAHULUAN
Langkah Irak sebagai salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang mengalami transisi
pada sistem pemerintahannya menjadi demokrasi tidaklah begitu lancar. Langkah Irak
tersendat oleh heterogenitas etnis yang ada dan tidak adanya titik temu sehingga sentimen
rasial yang ada semakin memanas dan diperkeruh dengan adanya aksi kekerasan berskala
besar terhadap warga suku Kurdi pada masa pemerintahan Saddam Hussein. Pada makalah
kali ini, kami ingin membahas mengenai konflik etnis yang terjadi di Irak.
I. FENOMENA DAN STATUS QUO
Pada dasarnya, hubungan yang berlangsung antara seorang individu dengan individu lain
tidak terlepas dari dua jenis hubungan, yaitu kerjasama dan konflik. Ada tuntutan dan
kebutuhan psikologis tersendiri dari manusia untuk membentuk sekutu atau musuh. Identitas
manusia, baik yang diperoleh dari ascribe status ataupun achieved status, dapat dikapitalisasi
menjadi sebuah identitas yang dapat menimbulkan dikotomi. Dikotomi ini lazimnya antara
lebih baik dan lebih buruk, di mana sisi yang lebih baik hampir selalu direkatkan dengan
kelompok sendiri sementara yang lebih buruk direkatkan dengan kelompok lain.
Peran etnis dalam konflik telah menjadi perdebatan dikalangan ahli studi konflik. Ada tiga
pandangan mengenai peran suku: pertama, pandangan objektivis, struktur ekonomi (dan
politik) obyektif langsung menyebabkan konflik. Kedua, pandangan primordial, struktur
sejarah obyektif dan relatif stabil dari produksi melahirkan budaya yang langsung
menyebabkan konflik atau yang memiliki elemen-elemen yang tidak cocok dengan struktur
modern ekonomi politik global. Ketiga, pandangan instrumentalis, struktur yang
menyebabkan konflik dihasilkan oleh tindakan dan politik, bukan oleh struktur objektif.1
Irak memiliki konflik yang sangat kompleks karena lahir dari faktor-faktor internal yang
memang sudah cukup rumit dan juga intervensi dunia internasional yang dalam hal ini adalah
Amerika Serikat. Faktor internal di sini adalah faktor identitas kelompok, baik suku, politik,
regional, maupun aliran agama. Sementara itu, faktor ekternal yang dimaksud di sini
bersumber dari Amerika serikat dan sekutunya. Dalam usaha untuk memahami konflik yang
1 Kivimäki dalam Dewi Fortuna Anwar, edt., 2005 : 125)
terjadi di Irak, kita tidak bisa lepas dari kuatnya pengkotak-kotakan masyarakat baik secara
kesukuan, ideologi, maupun aliran keagamaan. Irak terpecah atas suku-suku kurdi, arab, dan
turkmen; antara syiah dan sunni; dan juga antar berbagai ideologi sosialis, islam, pan
arabisme, dan pan Islamisme.2 Berdasar pada fragmentasi masyarakat seperti itulah, maka
memahami konflik Irak tidak bisa lepas dari kerangka berfikir yang menggunakan teori-teor
konflik terutama interaksi kelompok-kelompok.
Konflik yang kerap terjadi di Irak dapat dikelompokkan menjadi konflik vertikal dan konflik
horizontal. Namun, paska pemerintahan Saddam Husein, ketika Irak menuju ke arah
demokratisasi ternyata tidak menurunkan intensitas konflik tetapi justru mempertinggi
intensitas konflik terutama konflik horizontal. Pertama, Sunni yang dahulu mempunyai
legitimasi kekuasaan pemerintahan mutlak di pemerintahan Saddam Husein masih belum
mampu menerima kenyataan bahwa sekarang mereka tidak lagi memiliki kekuasaan seperti
di masa lalu.
Hal ini semakin diperuncing dengan nihilnya pengampunan bagi Saddam Husein dan para
pengikut setianya. Hukuman mati bagi bagi Saddam semakin berimplikasi terhadap tindakan
Sunni terhadap Syiah, dan sebaliknya, yang semakin keras dan represif. Kedua, campur
tangan asing, terutama Amerika Serikat, terhadap politik domestic Irak pun semakin
mengobarkan kebencian syiah radikal di Irak.
Dengan memperhatikan kedua faktor di atas, mungkin pandangan instrumentalis lebih
realistik, di mana suku memang merupakan elemen penting namun bukanlah penyebab
konflik yang utama. Banyak sekali pihak yang demi memperjuangkan kepentingan
pribadinya, telah menyusupkan kepentingannya melalui sentiment perbedaan kelompok atau
suku. Maka tidak heran jika kemudian kerap terjadi mobilisasi massa, benturan kepentingan
kelompok, radikalisme, yang disinyalir tidka memiliki kepentingan objektif kelompok suku
tetapi hanya demi tercapainya kepentingan pribadi.
2 Sugito: Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak, jurusan Hubungan Internasional UMY.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja konflik etnis yang ada di Irak?
2. Bagaimanakah konflik yang terjadi di Irak pada masa :
a. Sebelum pemerintahan Saddam Hussein
b. Ketika pemerintahan Saddam Hussein
c. Setelah pemerintahan Saddam Hussein
III. KERANGKA TEORI
Teori yang digunakan: Ethnic Victimization Theory oleh Joseph Volcan Montville.
Upaya saling mencederai kelompok lain juga semakin terbuka ketika salah satu suku merasa
telah merasakan pengorbanan atau ethnic victimization. Joseph V. Montville memberikan
batasan konsep pengorbanan etnis sebagai keadaan ingatan etnis manakala keamanan
kelompoknya dihancurkan oleh kekerasan dan agresi. Menurut Volkan, pengorbanan etnis ini
akan memunculkan ketidakmampuan berkabung (inability to mourn) yang bersifat
uncomplicated atau complicated.
1. Uncomplicated adalah suatu kondisi ketika suatu kelompok mampu menerima
kehilangan dan berupaya mengatasi rasa sedih.
2. Complicated adalah suatu kondisi ketika kelompok merasa tidak rela atas kehilangan
atau pengorbanannya maka kelompok tersebut akan berusaha merebutnya kembali
atau melakukan balas dendam.
PEMBAHASAN
Irak merupakan negara multietnik, penduduk Irak terdiri dari berbagai suku dan kelompok-
kelompok yang didasarkan oleh etnik maupun agama, seperti Syiah, Sunni, Arab, Kurdi,
Assyiria, keturunan Persia, dll dimana agama di Irak walaupun mayoritas Islam juga terbagi
antara Syiah dan Sunni. Kelompok Syiah merupakan kelompok yang menjadi mayoritas di
Irak, namun warga Syiah tidak seperti masyarakat yang menjadi mayoritas pada umumnya
karena Syiah hampir tidak menyentuh politik dan pemerintahan Irak yang didominasi oleh
Sunni sehingga menyebabkan berbagai konflik antara pemerintah dan masyarakat Irak.
I. KONFLIK-KONFLIK DI IRAK
Konflik etnis yang terjadi di Irak dikelompokkan menjadi dua, yaitu konflik horizontal dan
konflik vertikal dimana konflik horizontal sendiri merupakan konflik antar etnis yang terjadi
di Irak, dan konflik vertikal merupakan konflik antara pemerintah dan masyarakat
sebagaimana telah dituliskan di atas.
Konflik Vertikal yang terjadi di Irak tidak hanya melibatkan masyarakat Syiah dan
pemerintah yang merupakan suku Sunni, suku Kurdi juga terlibat konflik dengan pemerintah
di Irak bagian Utara. Pemetaan pengelompokan etnis serta sentimen rasial yang terjadi di Irak
dimana mayoritas Kurdi berada di Irak bagian Utara, bagian Selatan yang mayoritas Syiah,
dan Sunni yang berada di tengah Irak tidak terlepas dari peran Kerajaan Turki Usmani yang
pernah menguasai kawasan Irak. Sejak masa kerajaan Turki Usmani, warga Syiah merupakan
masyarakat mayoritas di kawasan Irak, namun sejak saat itu pula Sunni diberikan otoritas di
bidang politik dan militer yang terus bertahan hingga sekarang.
Sejak pertama kali Irak menyatakan kemerdekaannya dimana pada saat itu pemerintahan Irak
masih bersifat kerajaan yang dipimpin oleh Sunni dimana pada masa ini Syiah juga turut
berperan dalam pemerintahan walaupun tidak banyak, dan kemudian mengalami kudeta oleh
militer dan digantikan oleh pihak militer dan tampuk kepemimpinan dipegang oleh Jendral
Abdul Karim Qasim yang merupakan orang Sunni pada tahun 1958. Pada masa ini,
masyarakat Kurdi diberikan janji oleh pihak pemerintah bahwa mereka akan mendapat tanah
sendiri yang disebut Kurdistan, akan tetapi karena janji tersebut tidak terpenuhi maka
dimulailah pemberontakan kaum Kurdi pada tahun 1961 dibawah kepemimpinan Mustafa
Barzani. Pada 1963, posisi puncak pemerintahan tetap dipegang oleh militer dan lagi-lagi
kepemimpinan dipegang oleh kaum Sunni dimana pada masa ini warga Kurdi telah diberikan
berbagai janji otonomi yang tidak terpenuhi dan menyebabkan pemberontakan Kurdi kembali
terjadi hingga pemerintahan berganti lagi pada tahun 1966 dan kudeta yang kembali terjadi
pada tahun 1968. Upaya kudeta kembali terjadi di Irak pada tahun 1973 yang dipimpin oleh
Nazim Kazzar, seorang Syiah namun gagal.
Syiah walaupun mayoritas, juga mengalami penindasan dominasi Sunni di Irak seperti halnya
masyarakat Irak dari kelompok-kelompok lain yang lebih kecil. Penyebab utama konflik
antara Syiah dan Sunni adalah politik, dimana Syiah sebagai masyarakat mayoritas di Irak
beradu dengan Sunni untuk memperebutkan hak memerintah dan hak untuk ikut berperan
dalam bidang-bidang politik, pemerintahan, hukum, dan militer.
Sunni yang berkuasa dituntut oleh kelompok Syiah yang ingin lebih berperan dalam politik
dan pemerintahan dan mendapat peran yang sesuai dengan persentase populasi mereka di
Irak. Pada tahun 1958 pasca runtuhnya sistem monarki di Irak, peran Syiah di bidang
pemerintahan dan politik mulai berkurang, selain karena kepemimpinan yang terus berganti
dan berkutat di antara Sunni, juga karena banyak tokoh-tokoh Syiah yang menjadi pemimpin
Partai Komunis terlebih ketika adanya aksi penumpasan Partai Komunis di Irak.
Politik kembali menjadi faktor penyebab pertikaian antara Kurdi dan Sunni dimana Kurdi
yang merupakan non-Arab merasa terasing terlebih dengan posisi geografis Irak dimana
Kurdi ditempatkan di Irak kawasan Utara (Barat Laut). Ideologi juga menjadi pemicu konflik
ini, dimana Kurdi lebih menganut Marxisme-Leninisme dan sifat nasionalis mereka yang
tinggi menyebabkan Kurdi ingin terlepas dari Irak dan membentuk sebuah negara sendiri.
Aksi pemberontakan etnis Kurdi dimulai sejak tahun 1960-an sampai dengan 1991 dimana
mereka melancarkan pemberontakan tingkat rendah terhadap pemerintahan pusat di Baghdad
yang kemudian menyulut terjadinya perang yang lebih besar antara Kurdi dengan
pemerintahan pada tahun 1975, 1988, dan 1991. Menurut kelompok Arab, etnis Kurdi
dianggap sebagai pemberontak dan pengkhianat bangsa Irak sehingga pemerintah Irak selalu
berusaha menumpas eksistensi Kurdi di Irak, salah satu contohnya dengan menggunakan
senjata kimia yang dikenal sebagai peristiwa Halabja pada 1988.
II. PERJALANAN KONFLIK DI IRAK
A. Sebelum pemerintahan Saddam Husein
Konflik etnis antara suku Kurdi di Irak serta berbagai upaya perjuangan (atau bisa disebut
juga pemberontakan) Kurdi terhadap pemerintah Irak tidak terlepas dari keinginan Kurdi
yang ingin merdeka dan membentuk negara sendiri. Selain merasa terasing, Kurdi juga
merasa mereka pantas untuk mendapatkan tanah sendiri karena pada tahun 1920 sejak
berakhirnya Perang Dunia I, Inggris dengan Liga Bangsa-Bangsa bermaksud memberikan
kemerdekaan dan adanya Perjanjian Sevres mengenai pembentukan Kurdistan sebagai Tanah
Air Etnis Kurdi dan perjanjian itu ditandatangani oleh berbagai negara di Sevres, Perancis.
Namun perjanjian Sevres tersebut tidak pernah diratifikasi, bahkan pada 1922 kawasan Mosul
yang seharusnya merupakan bagian dari Kurdistan sebagaimana dimuat di Perjanjian Sevres
tersebut dijadikan sebagai bagian dari wilayah Irak. Pada 1923, Perjanjian Sevres dibatalkan
dan digantikan Perjanjian Lusanne yang tidak menyebutkan masalah Kurdi dan sejak saat itu
kebijakan pemerintah Baghdad tidak lagi membicarakan masalah otonomi atau kemerdekaan
Kurdi.
Alasan dibatalkannya Perjanjian Sevres adalah karena wilayah Kurdistan sudah terintegrasi
ke dalam negara-negara lain seperti Turki, Irak, Iran, Suriah sejak negara-negara tersebut
berdiri dan oleh karena itu dinilai sulit bagi negara-negara tersebut untuk melepas sebagian
wilayah mereka untuk membentuk negara Kurdistan. Salah satu faktor lain yang
menyebabkan negara-negara tersebut enggan melepas wilayah Kurdistan adalah karena
ketakutan akan kehilangan kekayaan minyak yang terkandung di wilayah Kurdistan tersebut,
faktor ini dinilai sebagai faktor yang menyebabkan Inggris mengurungkan niatnya membantu
pembentukan negara Kurdi. Hal ini terlihat dari sikap Inggris yang enggan membantu etnis
Kurdi ketika terjadi konflik antara Irak, Turki, dan Kurdi untuk merebut wilayah Mosul dan
Kirkuk yang kaya akan minyak. Inggris pun kemudian mendukung monarki Irak dalam
mengklaim wilayah Mosul sebagai bagian dari negara Irak.
Pada 1924 Sulaymaniah yang dikuasai Kurdi jatuh ke tangan Inggris dan pada masa itu nasib
warga Kurdi di Irak lebih baik daripada etnis Kurdi yang tersebar di negara lain karena
Inggris meminta monarki Irak untuk menghormati bahasa, budaya, dan adat istiadat etnis
Kurdi sampai Irak merdeka dari kolonial Inggris pada 1932. Kemudian setelah Irak merdeka
dan mendirikan pemerintahan, pemerintahan Irak memberikan janji otonomi kepada Kurdi.
Akan tetapi saat Mullah Mustafa Barzani, seorang tokoh Kurdi berkehendak menegaskan
kedaulatannya di Kurdistan di kawasan Irak Utara, pemerintahan Irak menyatakan perang
dengan Kurdi. Dan sejak saat itu dimulailah pergerakan bersenjata etnis Kurdi di Irak untuk
menuntut otonomi penuh dalam mengelola tanah Kurdistan tanpa campur tangan Baghdad
(pemerintahan Irak).
Belakangan, Kurdi tidak lagi bertujuan membentuk negara Kurdistan merdeka, mereka hanya
menginginkan wilayah Kurdistan yang otonom untuk mengaturnya sendiri, serta
mempertahankan identitas dan sistem sosial budaya mereka.Tujuan inilah yang kemudian
diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Kurdi dengan naungan Partai Demokratik Kurdi yang
dipimpin oleh Mullah Mustafa Barzani bersama dengan tokoh Kurdi yang lain pada 1943.
Kemudian Kurdi mulai berhasil mendapatkan otonomi di Irak secara perlahan seperti wilayah
Irbil dan Badinan.
Pada 1945, Baghdad kembali menyatakan kekuasaan Irak atas Kurdistan yang menyebabkan
Mustafa Barzani memimpin perjuangan etnis Kurdi melawan Irak. Pada perlawanan ini,
Barzani kalah dan pindah ke Mahabad, Barat Laut Iran. Kurdi kemudian mendapat
perlindungan dari Uni Soviet untuk membentuk kongres dengan tujuan mendirikan Republik
Kurdi pada 1946, namun sebulan kemudian Mahabad direbut kembali oleh pemerintah Iran
dan “Republik Mahabad” dibubarkan oleh pemerintah Iran dan Barzani melarikan diri ke Uni
Soviet hingga 1958 saat revolusi Irak. Pejuang Kurdi melakukan berbagai pemberontakan di
Irak Utara pada 1960 karena penindasan Irak terhadap etnis Kurdi Irak yang semakin parah.
Dalam pemberontakan Kurdi kali ini, tentara Peshmerga di bawah Barzani berhasil
menguasai seluruh pegunungan di Timur Laut Irak. Pemberontakan Kurdi ini kemudian
meluas ke Mosul, Arbil, dan Kirkuk sebagai kota-kota besar di Kurdistan. Dampak dari
serangkaian pemberontakan Kurdi ini adalah pembubaran Partai Demokrasi Kurdistan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Irak pada 1961.
Kemudian pada 1970, Mullah Mustafa Barzani dan Saddam Hussein yang waktu itu masih
menjabat sebagai wakil Presiden menandatangani perjanjian yang isinya mengenai otonomi
yang akan ditawarkan oleh pemerintahan Irak kepada Kurdi dan akan mengikutsertakan
Kurdi di dalam pemerintahan Baghdad dengan syarat Kurdi menghentikan kegatan
pemberontakan dan melakukan gencatan senjata di kedua belah pihak. Namun, Barzani juga
mengajukan syarat yang meminta ia tetap sebagai komandan Peshmerga dan Kirkuk menjadi
bagian dari wilayah Kurdistan.
Namun, usaha perdamaian antara etnis Kurdi dengan Irak gagal karena pemerintah Irak
hanya memberikan otonomi di beberapa kawasan saja seperti Arbil, Dahuk, dan Sulaymaniah
dan Kirkuk tetap menjadi wilayah Irak karena Kirkuk merupakan penghasil 30% minyak
Irak. Penyebab lain kegagalan upaya damai ini juga karena keinginan Kurdi untuk
memperluas otonomi yang meliputi Kirkuk dan Mosul, sedangkan muncul kekhawatiran
apabila Kurdi menguasai Kirkuk maka Kurdi akan membentuk negara di Irak Utara yang
dapat memicu bangkitnya Kurdi di kawasan lain seperti Turki sehingga Turki berusaha
menghalangi keinginan Kurdi dengan membiarkan Irak mempertahankan Kirkuk dan Mosul.
Keputusan pemerintah Irak mengenai otonomi wilayah Kurdistan tanpa Kirkuk menyebabkan
penolakan dari Barzani, dan dalam kurun tiga tahun sejak saat itu, pemerintah Irak berusaha
menghilangkan nyawa Barzani. Barzani kemudian menghimbau rakyat Kurdi melakukan
pemberontakan terhadap Baghdad, dan perlawanan untuk memperjuangkan eksistensi Kurdi
pun kembali marak dan kemudian menyulut peperangan antara Irak-Kurdi hingga 1975
dimana pihak Barzani kalah dan melarikan diri, lalu pihak Baghdad menumpas
pemberontakan di kawasan Irak Utara. Pada tahun yang sama, terjadi konflik internal di kubu
Kurdi karena berdirinya Uni Patriotik Kurdistan yang didirikan oleh Jalal Talabani, seorang
mantan anggota Partai Demokratik Kurdistan yang berselisih dengan Mustafa Barzani.
Setelah itu, Mustafa Barzani dikarenakan keadaan yang sudah tua tidak mampu lagi
meneruskan perjuangannya sehingga mengundurkan diri pada 1979 dan kemudian digantikan
putranya, Massoud Barzani.
B. Saat pemerintahan Saddam Husein
Saddam mulai tertarik dan mengurus masalah militer yang berhubungan dengan
pemberontakan di Irak Utara (wilayah Kurdi) sejak dia mulai mendapat peran dan posisi
dalam pemerintahan pada 1970-an. Berbagai penindasan yang dilakukan Saddam terhadap
Kurdi pada 1970-an seolah mensinyalir akan adanya penyerangan dan pembantaian terhadap
etnis Kurdi. Ketika Saddam Hussein menempati posisi puncak pemerintahan, Saddam pun
mengeluarkan kebijakan seperti pembunuhan massal, penghancuran desa-desa di wilayah
Kurdi, penembakan demonstran yang merupakan mahasiswa dan rakyat sipil, serta
pembunuhan politikus yang menjadi oposisinya.
Saddam Hussein yang dikenal diktator pada masa pemerintahannya mendirikan pengadilan
khusus untuk tahanan politik dan perwira angkatan bersenjata Irak. Pengadilan khusus ini
terbagi menjadi dua, yaitu permanen dan temporer dan sanksi yang dijatuhkan kepada
terpidana bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat atau naik banding. Terdakwa juga
tidak dapat menggunakan hak sebagai warga negara untuk melakukan pembelaan diri di
pengadilan. Salah satu pengadilan khusus yang bersifat permanen yaitu Mahkamah Revolusi
di Baghdad dan Mahkamah Khusus Militer di Kirkuk yang berfungsi mengadili warga
kelompok Kurdi dan anggota militer yang berada di Kirkuk.
Bentuk lain penindasan Saddam pada masa pemerintahanya terhadap warga non-Arab, non-
Sunni dan oposisinya adalah dengan mengasingkan secara paksa dan menyita harta benda
serta surat-surat berharga milik warga seperti kartu identitas dan ijazah pendidikan yang
terjadi sejak 1980 hingga 1988. Saddam juga menjadikan keluarga dari anggota politik dan
militer yang menentangnya, serta kesatuan-kesatuan Kurdi yang tidak bersalah sebagai
jaminan bagi anggota keluarga mereka yang melarikan diri agar menyerahkan diri kepada
pemerintah. Berdasarkan keterangan Lembaga Arab yang menangani HAM, dinyatakan
bahwa ada tokoh Partai Demokrasi Kurdistan, Muhammad Baqir Muhsin el Hakim beserta
keluarganya yang ditangkap dan dibunuh pada rezim Saddam karena dituduh melakukan
provokasi dan mempimpin gerakan separatis Kurdi, dan juga dituduh melakukan kerja sama
dengan Iran ketika perang Irak-Iran yang menjadikan rakyat Kurdi dicap sebagai pengkhianat
Irak.
Selain el Hakim, banyak tokoh-tokoh Partai Demokrasi Kurdi lain yang menjadi korban
kediktatoran Saddam yang dibunuh tanpa tuduhan yang jelas dan tanpa melalui pengadilan
resmi. Menurut perwakilan Irak di PBB, pada 1985 terdapat 19 orang Kurdi yang dijatuhi
hukuman mati karena tergabung dalam Partai Demokrasi Kurdi dan tewas dibunuh akibat
tuduhan kepemilikan senjata serta peledak yang dirujuk untuk aksi teror. Pada Oktober 1985,
diperkirakan Saddam telah membunuh sedikitnya 300 rakyat Kurdi di beberapa kota di Irak
Utara terutama di Sulmaniyah tanpa persidangan menurut laporan Lembaga Amnesti
Internasional. Laporan ini menunjukkan adanya penangkapan ratusan orang Kurdi yang
terdiri dari mahasiswa, pegawai, tentara beserta keluarganya, politikus dari Partai Demokrasi
Kurdi dan Partai Sosialis Kurdi. Sebanyak sekitar 450 desa Kurdi dibom melalui udara dan
sebagian orang Kurdi yang selamat mengungsi ke Selatan, bahkan sampai keluar Irak dimana
di perbatasan aparat Irak mengambil surat-surat berharga ataupun identitas mereka.
Keberadaan warga Irak di Utara yang mayoritas Kurdi belum mendapat jaminan hak-hak
yang pasti bahkan setelah perang Iran-Irak berakhir mereka masih mengalami penindasan.
Akibat penindasan ini, perkumpulan negara-negara Arab mengeluarkan pernyataan yang
menyudutkan pemerintahan Saddam dan Irak disalahkan atas penggunaan gas-gas kimia
terhadap warga Kurdistan Irak.
Berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran HAM ini menyebabkan Saddam Hussein turun dari
tampuk pemerintahan atas campur tangan Amerika Serikat (AS) melalui invasi AS ke Irak
yang didasarkan atas pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
C. Setelah pemerintahan Saddam Husein
Berbicara mengenai berakhirnya rezim Saddam Hussein di Irak tentunya tidak terlepas dari
peran Amerika Serikat (AS) yang melakukan invasi ke Irak. Setelah berakhirnya rezim
Saddam Hussein yang ditandai dengan adanya invasi AS ke irak, pemerintahan Irak mulai
bergeser menjadi demokrasi dengan tujuan agar seluruh masyarakat Irak turut serta
berpartisipasi dalam bidang politik dan pemerintahan di Irak yang telah bertahun-tahun
lamanya didominasi oleh Sunni.
Setelah runtuhnya rezim Saddam Hussein dengan bantuan pihak AS, awalnya masyarakat
Irak mendukung adanya kehadiran AS di Irak. Namun lama kelamaan rakyat Irak mulai tidak
mendukung kehadiran AS di Irak selain karena kehadiran AS tidak dapat mengendalikan
suasana domestik Irak setelah jatuhnya Saddam, juga karena rakyat Irak mulai beranggapan
mereka berada di bawah pemerintahan kolonial, walaupun AS menyatakan tujuan mereka
hanya untuk mentransformasi Irak menjadi negara demokrasi liberal. Aksi perlawanan
masyarakat Irak terhadap keberadaan AS pun dimulai.
Dalam kondisi kekosongan di posisi puncak pemerintahan Irak, berbagai tokoh dari oposisi
pun mulai menawarkan diri untuk menjadi orang nomor satu di Irak. Namun tokoh-tokoh ini
tidak lebih dari sekedar kontestan karena nantinya pemimpin Irak akan dipilih oleh AS dan
tentunya mereka akan memilih tokoh yang dapat bekerja sama dan tergolong pro-AS. Bahkan
untuk mengisi kekosongan itu, AS membentuk sebuah pemerintah transisi yang dipimpin Jay
Garner, seorang zionis yang anti Arab. Penunjukkan Jay Garner tentunya disebabkan adanya
kepentingan AS di Irak seperti membentuk kerjasama bidang ekonomi yang menguntungkan
AS, membentuk pemerintahan di Irak yang pro AS dan Israel yang dikenal sebagai sekutu
AS, dan menjadikan Irak sebagai kepanjangan tangan AS di kawasan Timur Tengah.3
3 http://www.angelfire.com/planet/ppitunisia/artikel/Iraq%20Pasca%20Rezim%20Saddam%20Husain.htm
Perselisihan antar etnis hingga sekarang masih terjadi di Irak karena berbagai alasan mulai
alasan politik, historis, budaya, dan agama. Masing-masing etnis di Irak belum dapat bersatu
dan menjalankan pemerintah secara baik karena sentimen rasial yang masih kental di Irak
ditambah dengan adanya fakta historis tentang kekejaman etnis yang pernah terjadi di Irak.
Perselisihan vertikal antara pemerintah dan rakyat juga masih terjadi karena adanya ketidak
setujuan etnis-etnis minoritas terhadap pemerintah yang mayoritas Syiah walaupun
pemerintahan Irak sekarang terdiri dari berbagai etnis.
Hingga kini, Irak telah menjalankan dua kali pemilihan yang pertama pada tahun 2005
dengan adanya kehadiran tentara AS di Irak dan yang kedua adalah pemilihan yang baru
berlangsung pada tahun 2010 ini. Dimana pemilihan yang kedua dinilai lebih demokratis
karena warga etnis Sunni juga turut memberikan suara setelah pada pemilihan 2005 tidak
berpartisipasi. Walaupun rezim Saddam telah berakhir dan pemerintahan Irak telah
mengadopsi sistem pemerintahan demokratis, perselisihan dan konflik etnis di Irak masih
belum terhindarkan, selain karena perebutan kekuasaan yang didasari etnik serta peran Kurdi
sebagai korban berbagai kekerasan yang menentukan juga karena adanya larangan bagi
anggota partai Baath (partai yang pernah dipimpin Saddam dan telah berkuasa sekian lama di
Irak) untuk mencalonkan diri. Irak juga mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai
sebuah negara dikarenakan kondisi Irak saat ini dikategorikan sebagai negara lemah dengan
pasukan keamanan besar, memiliki berbagai institusi yang tidak efisien, serta pelayanan
umum seperti listrik dan kesehatan yang sangat buruk bagi masyarakat Irak.4
4 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/10/101711/Irak-Pascapemilu-Perjuangan-Menuju-Stabilitas
KESIMPULAN
Sejak awal Irak memang telah memiliki banyak konflik internal. Hal ini bisa dikarenakan
kontur masyarakatnya yang memang terdiri dari berbagai klaster. Setiap kelompok yang
bersengketa memiliki alasan yang kuat untuk terus melanjutkan konflik tersebut. Baik
pemerintahan otoriter di zaman Saddam Husein ataupun dalam fase demokratisasi sekarang
ternyata tidak mengurangi konflik yang terjadi, namun justru semakin memanas.
Sistem pemerintahan Irak yang sekarang multi etnik juga menimbulkan perpecahan sendiri di
dalam tubuh pemerintahan karena tingginya sentimen rasial di antara masyarakat Irak dan hal
ini kemudian menghambat laju pertumbuhan Irak baik dalam bidang ekonomi maupun
stabilitas politik. Irak juga telah menerima bantuan dari PBB untuk menyelesaikan masalah
daerah-daerah yang diperebutkan seperti Kirkuk misalnya.
Akan sulit bagi Irak untuk mengembangkan negaranya walaupun Irak memiliki modal yang
cukup apabila kondisi internal Irak masih terpecah antar etnis. Namun tidak tertutup
kemungkinan bagi Irak untuk berkembang dan menjadi sebuah negara baru di kawasan Timur
Tengah karena menganut sistem demokrasi dan pembangunan ekonomi yang mumpuni.
Referensi
Kivimäki dalam Dewi Fortuna Anwar, edt., 2005 : 125
Sugito: Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak, jurusan Hubungan
Internasional UMY
www.angelfire.com/planet/ppitunisia/artikel/Iraq%20Pasca%20Rezim%20Saddam
%20Husain.htm
suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/10/101711/Irak-Pascapemilu-
Perjuangan-Menuju-Stabilitas
majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/04/21/KL/
mbm.20030421.KL86815.id.html
http://www.crisisgroup.org/en/key-issues/iraq-and-the-kurds-the-struggle-over-
kirkuk.aspx