Upload
vanthien
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Intervensi Pemerintah Atas Subsidi Bbm dan Komitmennya Dalam Kerjasama
Forum G20 Sampai Masa Presidensi Rusia 2013.
Ditulis oleh: Enrico David Tarigan
I. Pendahuluan
Keputusan kebijakan dalam sebuah sistem demokrasi tidak dilakukan oleh satu badan atau segelintir
elit ekonomi yang dominan, melainkan dengan melibatkan multiplicity of participants dalam sebuah
pemerintahan. Dengan asumsi ini, banyak negara mencoba mengadopsi nilai-nilai universal tertentu
dalam proses pemerintahan agar dipandang sebagai 'pemerintahan yang baik'. Nilai-nilai universal
tersebut diantaranya adalah: “Partisipasi” – mendorong masyarakat luas untuk ikut serta dalam
pengambilan keputusan; “Konsensus” berorientasi kepada pencapaian keputusan berdasarkan
kesepakatan bersama; “Transparan” - bersikap terbuka terhadap aturan/pengawasan dari semua
pihak dalam proses pengambilan keputusan; “Responsif” - mendengarkan dan menanggapi
kebutuhan warganya , “Efektif dan efisien” - menyediakan pelayanan dasar; serta “Adil dan inklusif”
- kesetaraan hak dan kewajiban setiap warga negara (Powley & Anderlini , 2004). Dengan nilai-nilai
tersebut, pemerintah yang ‘baik’ akan mencoba untuk menempatkan posisinya dalam setiap aspek
pembangunan. Meskipun begitu, seperti pernyataan Adam Smith, “pemerintah memiliki kewajiban
untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan invasi eksternal serta melindungi setiap anggota
masyarakat dari ketidakadilan dan potensi penindasan, namun tidak ada alternatif pilihan bagi
sebuah kebijakan yang sempurna tanpa mengorbankan kebijakan lainnya”. Hal ini dapat diartikan
bahwa pemerintah harus mempertimbangkan setiap instrumen intervensi kebijakan dari berbagai
aspek sekaligus memutuskan sebuah kebijakan yang tidak bias di tengah masyarakatnya.
Selama ini dalam menjalankan dan mempromosikan pembangunan dan pertumbuhan ekonominya,
Pemerintah Indonesia dapat dikatakan melakukan intervensi kebijakan/campur tangan dengan tiga
alasan utama yaitu: 1) Sebagai antisipasi/koreksi adanya kegagalan pasar (distortions); 2)
Pendistribusian pendapatan bagi masyarakat; 3) Alasan sosial. Khusus untuk alasan ketiga tersebut,
Deardoff (2000) mengatakan bahwa butuh kehati-hatian pelaku kebijakan agar tidak terjebak dalam
batasan yang tipis dengan alasan/tujuan lain.
Mengingat banyaknya pandangan kontroversial tentang intervensi pemerintah ditengah konflik
kepentingan dalam konteks yang lain seperti krisis keuangan, ketidakpastian kondisi ekonomi,
2
dengan kerjasama internasional maka kajian ini akan membahas salah satu kontroversi tersebut
yaitu Intervensi Pemerintah terkait subsidi BBM dan komitmennya dalam kerjasama forum G20.
II. Intervensi Pemerintah
Dari perspektif ekonomi, intervensi pemerintah utamanya dilakukan dengan pertimbangan nilai
efesiensi. Salah satu yang dapat dijadikan prinsip sederhana dari nilai efesiensi tersebut adalah
manfaat marjinal melebihi biaya marjinal dalam setiap perubahan apapun. Dengan biaya dan
manfaat yang didefinisikan dengan benar, maka kita sering menggunakan nilai efesiensi untuk
menyoroti perilaku atau aktivitas ekonomi tertentu. Di dalam sistem pasar, konsumen
menggunakan prinsip ini untuk menentukan/mengukur berapa besar konsumsi untuk mendapatkan
kepuasan tertentu. Para ekonom menyebutkan bahwa dalam bentuk ideal persaingan sempurna,
kepuasan dari masing – masing individu tersebut secara optimal menuntun tingkat pencapaian
kesejahteraan bagi perekonomian bangsa secara keseluruhan. Apabila menggunakan asumsi ini,
sepanjang seluruh biaya dan manfaat direfleksikan dalam harga pasar, maka dapat dikatakan bahwa
campur tangan atau intervensi dari pemerintah tidak lagi dibutuhkan.
Di pandangan lain, begitu banyak alasan mengapa intervensi pemerintah sangat dibutuhkan
meskipun suatu negara secara de jure mengadopsi sistem ekonomi terbuka. Alasan yang sering
dimunculkan adalah faktor eksternalitas yang ditimbulkan dari sistem itu sendiri. Sebagai contoh,
kondisi politik dan keamanan dikawasan Timur Tengah sangat mempengaruhi harga minyak dunia
yang akhirnya berpengaruh besar terhadap roda perekonomian suatu negara mengingat BBM masih
merupakan energi utama yang dikonsumsi oleh masyarakat yang persentase konsumsinya terhadap
total pemakaian energi terus mengalami peningkatan.
Masih dalam koridor intervensi, dengan melihat kondisi terkini, timbul pertanyaan: “Bagaimana
pemerintah Indonesia menempatkan posisinya untuk memberikan perlindungan bagi setiap individu
dari sisi sosial/melindungi masyarakat dari keterpurukan faktor eksternal sekaligus memenuhi
komitmennya ketika subsidi BBM menjadi salah isu yang populer di forum G20?”
2.1 Intervensi Pemerintah atas Subsidi BBM
Manusia sebagai pelaku ekonomi memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam usahanya
memenuhi kebutuhan. Perbedaan kemampuan ini memiliki potensi untuk dapat menciptakan
kemiskinan dan ketimpangan secara masif pada suatu wilayah perekonomian. Di sinilah bahasan
subsidi masuk ke dalam permasalahan sebagai sebuah solusi oleh pengambil kebijakan. Subsidi
3
dianggap mampu berfungsi sebagai alat peningkatan daya beli masyarakat serta dapat
meminimalisasi ketimpangan akan akses barang dan jasa sehingga dalam konteks manajemen
keuangan negara, pemerintahlah yang bertanggungjawab untuk menentukan besaran dan
keberlangsungan program subsidi tersebut.
Kebijakan subsidi pada dasarnya adalah salah satu bentuk kewajiban negara kepada masyarakat
untuk membantu meringankan beban masyarakat atas harga komoditas vital dan strategis yang
menguasai hajat hidup orang banyak dalam rangka menjaga stabilitas harga sehingga dapat
terjangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat. Subsidi tersebut dapat berbentuk alokasi
belanja negara dalam APBN yang pendistribusiannya melalui perusahaan negara maupun swasta
seperti subsidi BBM.
Subsidi BBM merupakan selisih negatif antara hasil penjulan BBM dengan seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan dan distribusi BBM di dalam negeri. Kebijakan pemberian subsidi BBM
sebenarnya sudah dimulai sejak tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas
perekonomian nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas yang strategis.
Dengan posisi Indonesia sebagai negara eksportir yang tergabung dalam OPEC (sebelum tahun
2008), subsidi BBM pada saat itu kurang mendapat tempat untuk menjadi suatu isu panas di dalam
ranah domestik, karena dianggap sebagai sesuatu yang wajar - setiap kenaikan harga minyak selalu
menjadi tambahan pendapatan bersih bagi negara. Namun dalam perjalanannya, subsidi BBM
ternyata menimbulkan masalah ketika peningkatan konsumsi tidak lagi diimbangi dengan
peningkatan produksi minyak. Pada tahun 1996 produksi minyak nasional mencapai 1,4 juta
barel/hari, dan terus mengalami penurunan sehingga produksi tahun 2005 hanya sebesar 930 ribu
barel/hari. Sebagian besar (sekitar 88%) dari total produksi nasional berasal dari lapangan yang
ditemukan pada awal tahun 1940-an dan 1970/1980-an sehingga mengalami penurunan produksi
secara alami dengan laju penurunan sebesar 5-15% per tahun. Bahkan saat ini produksi minyak bumi
terus merosot hingga tinggal 861 ribu barel per hari. Sementara dari sisi konsumsi, pada tahun
1990, konsumsi BBM Indonesia sebesar 169.168 ribu SBM (setara 1,1 juta kiloliter), angka ini adalah
40.2 % dari total konsumsi energi final. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2000, konsumsinya
meningkat menjadi 304.142 ribu SBM (setara hampir 2 juta kiloliter), dimana proporsi konsumsinya
pun turut meningkat menjadi 47.4 %. Pada tahun 2008, realisasi konsumsi BBM bersubsidi mencapai
38,2 juta kiloliter dan meningkat menjadi 43,3 juta kiloliter di 2012, bahkan pada APBNP tahun 2013
volume konsumsi BBM bersubsidi mencapai 48,0 juta kiloliter (Nota Keuangan RAPBN, 2014).
Kondisi ini menyebabkan adanya perubahan paradigma dimana intervensi subsidi BBM yang tadinya
dianggap sebagai salah satu cara pemerintah untuk melindungi masyarakat dari keterpurukan, kini
menuai banyak kritikan. Tidak hanya dianggap sebagai intervensi yang salah salah sasaran, subsidi
4
BBM juga dipandang sebagian besar negara maju bersifat kontra-produktif bagi pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan dan seimbang (FSSBG).
III. Komitmen Pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dalam forum G20 Beberapa forum dan kerjasama internasional telah dibentuk dan memainkan peran yang besar
dalam perekonomian dunia termasuk ketika krisis finansial global melanda Indonesia. Sebagai
anggota forum dan kerjasama internasional tersebut, Indonesia sebagai salah satu anggota aktif
mempunyai potensi dalam mereformasi arsitektur perkonomian dunia serta dapat berkontribusi
bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi global yang kuat, berimbang dan berkelanjutan. Sebagai
anggota forum G-20, Indonesia juga mendapatkan suatu keistimewaan yang besar untuk
melanjutkan kiprahnya dalam forum multilateral regional maupun global. Forum high-profile ini
menstimulasi pemerintah Indonesia untuk lebih pro-aktif dalam berbagai forum-forum multilateral
yang menjadikan Indonesia lebih ‘terbuka” di mata dunia. Sebagai konsekuensinya adalah ketika
Indonesia memutuskan untuk bergabung di dalam forum G20, maka dengan serta merta Indonesia
membentuk suatu komitmen bersama dengan negara-negara anggota lain, sekaligus berkewajiban
menjalankan komitmen tersebut dengan konsisten.
Menurut Meyer (1991 dalam Chairy 2009), komitmen adalah kemampuan untuk menyelaraskan
perilaku dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara
mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi
organisasi dari pada kepentingan pribadi. Komitmen juga dapat berarti penerimaan yang kuat
terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, sehingga individu akan berupaya serta berkarya dalam
organisasi tersebut. Sepanjang keikusertaannya dalam forum G20 yang dimulai pada tahun 2008,
hingga saat ini, Indonesia bersama dengan negara-negara anggota lain telah mendeklarasikan
komitmen bersama yang salah satunya terkait dengan efesiensi energi melalui upaya pengurangan
subsidi BBM. Sampai pada konteks ini, timbul pertanyaan mengenai sejauh mana pemenuhan
komitmen Indonesia tersebut dan apakah nilai-nilai yang ada dalam forum G20 selaras dengan
kepentingan/prioritas nasional Indonesia sendiri. Menjawab pertanyaan ini tentunya harus dimulai
pada saat keterlibatan Indonesia di dalam forum G20 sampai saat ini, dimana pada rentang waktu
tersebut Pemimpin Indonesia turut menandatangani sebuah Deklarasi Pimpinan Tertinggi G20.
Deklarasi ini merupakan sebuah bentuk komitmen atas upaya yang harus dijalankan forum G20
untuk perkonomian dunia yang lebih baik termasuk melalui implementasinya di masing-masing
negara anggota.
5
Sepanjang keiikutsertaan Indonesia dalam forum G20 sejak 2008 sampai sekarang, Presiden
Indonesia telah menyampaikan komitmennya melalaui deklarasi yang telah disepakati bersama,
termasuk ketika pada tahun 2009, komitmen efesiensi energi telah mengarah kepada upaya yang
semakin spesifik yaitu rasionalisasi/pengurangan subsidi BBM.
Beberapa pernyataan dari Pemimpin Negara anggota G20 yang dituangkan dalam deklarasi KTT
terkait dengan subsidi BBM tertera dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. G20 Summit Leaders Declaration
Presidensi Pernyataan Deklarasi US, Pittsburgh summit 24 – 25 September 2009
1. “The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) and the IEA have found that eliminating fossil fuel subsidies by 2020 would reduce global greenhouse gas emissions in 2050 by ten percent.
2. “Leaders agreed rationalize and phase out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption”
Republik Korea, Seoul Summit, 11-12 November 2010 1. “To provide broader, forward-looking leadership in the post-crisis economy, we will also continue our work to rationalize and phase-out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies”
Perancis, Cannes Summit, 4 November 2011 1. “We reaffirm our commitment to rationalise and phase-out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption, while providing targeted support for the poorest.
2. We welcome the country progress reports on
implementing strategies for rationalizing and phasing out inefficient fossil fuel subsidies, as well as the joint report from the IEA, OPEC, OECD and the World Bank on fossil fuels and other energy support measures.”
Meksiko, Los Cabos, 18-19 Juni 2012 1. We welcome the progress report on fossil fuel subsidies, and we reaffirm our commitment to rationalize and phase out inefficient fossil fuel subsides that encourage wasteful consumption over the medium term while providing targeted support for the poorest
2. We also welcome a dialogue on fossil fuel subsidies
with other groups already engaged in this work
6
Rusia, St. Petersburg, 5-6 September 2013 1. We reaffirm our commitment to rationalise and phase out inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption over the medium term while being conscious of necessity to provide targeted support for the poorest.
2. We ask Finance Ministers to report back by the next Summit on outcomes from the first rounds of voluntary peer reviews. Recognising the importance of providing those in need with essential energy services, we ask Finance Ministers to consider, in conjunction with the relevant international institutions, policy options for designing transitional policies including strengthening social safety nets to ensure access for the most vulnerable.
Sumber: Database Bidang Forum G20, BKF
Secara umum, sikap Indonesia atas tindak lanjut dari sebuah deklarasi adalah dukungan terhadap
dilaksanakannya monitoring dan evaluasi implementasi komitmen yang lahir dari sebuah deklarasi
sebagai upaya mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi global yang kuat dan mengurangi
ketidakseimbangan global sebagai jangkar dan tujuan bersama forum G-20. Oleh karena itu, ketika
Tim Riset IORI, Higher School of Economics, National Research University dan Munk School of Global
Affairs, Universitas Toronto memaparkan hasil penilaian/analisis atas komitmen Indonesia dalam hal
efesiensi energi/ pengurangan subsidi BBM setelah rentang waktu Leaders Declaration Los Cabos
2012, maka Indonesia merasa berhak untuk meng-counter hasil penilaian yang dipandang kurang
merepresentasikan upaya yang selama ini telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Adapun hasil penilaian dari Tim Riset tersebut adalah sebagai berikut:
“Indonesia has partially complied with its commitment to rationalize inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption and aid the nation’s vulnerable groups. As the government has been forced to look at reducing fuel subsidies for financial reasons they have also considered applying the additional funds to the nation’s vulnerable groups. However, because only future plans have been made to cut inefficient fossil fuel subsidies Indonesia receives a score of 0 for its work in progress on fossil fuel subsidy phase-out.”
Tanpa bermaksud untuk mencari justifikasi atau pembelaan atas komitmen Indonesia yang belum
terpenuhi dalam pengurangan subsidi BBM, Indonesia adalah salah satu dari sembilan negara
anggota forum G20 yang juga menerapkan subsidi BBM dan bukan pula sebagai negara yang paling
besar dalam hal memberikan subsidi bahan bakar fosil tersebut. Dengan menggunakan ukuran
subsidi yang diusulkan oleh IEA, data menunjukkan bahwa pada tahun 2011 tingkat subsidi BBM di
sembilan negara tersebut bervariasi, antara 0,3 (Korea Selatan) dan 79,5 (Arab Saudi) (lihat Gambar
7
1). Dibandingkan negara-negara lainnya, tingkat subsidi BBM di Indonesia (23,2%) dibandingkan total
biaya produksi termasuk dalam kategori moderat dan diantara sembilan negara tersebut, kinerja
Indonesia masih lebih baik dibandingkan Saudi Arabia dan Argentina. (Sumber: IEA, 2013 dalam
Bidang G20-BKF dan Uiversitas Parahyangan, 2013)
Gambar 1 . Tingkat Subsidi BBM Sembilan Negara Anggota G20 (% dari Total Biaya Produksi)
Sementara merujuk laporan yang dibuat Bloomberg Rankings tahun 2013 dengan menggunakan
data Bloomberg, Associates for International Research Inc, Portal Energi Eropa dan Dana Moneter
Internasional (IMF), disebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat 49 di dunia dengan harga
BBM sebesar US$3,68 per galon (satu galon sama dengan 3,7 liter). Sementara apabila dibandingkan
dengan negara-negara G20 lainnya, berdasarkan tingkat harga BBM per galon Indonesia berada pada
posisi ke-16.
Meskipun begitu, kita tidak bisa serta-merta menyebutkan harga minyak di Indonesia cukup murah
sebelum melihat data “pain at the pump” atau daya beli masyarakat terhadap harga minyak yang
disebutkan di atas. Bloomberg juga merilis daftar peringkat negara berdasarkan persentase
pendapatan harian rata-rata yang dibutuhkan untuk membeli segalon BBM yang artinya masyarakat
harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang cukup besar dari pendapatan rata-rata mereka
sehingga dapat membeli BBM. Bila menggunakan parameter ini, Indonesia masuk dalam daftar
sepuluh besar negara di dunia atau urutan kedua dari negara-negara anggota G20 seperti yang
terlihat dalam tabel 2.
8
Tabel 2. Peringkat negara G20 berdasarkan harga BBM dan daya beli
Peringkat Negara G20 berdasarkan tingkat harga BBM Per galon
Peringkat Negara G20 berdasarkan persentase pendapatan harian rata-rata untuk membeli BBM
1. Turki (US$9,89) 3
2. Italia (US$8,87) 9
3. Prancis (US$8,38) 13
4. Inggris (US$8,06) 14
5. Jerman (US$7,96) 15
6. Spanyol (US$7,06) (permanent invitation) 11
7. Korea Selatan (US$6,77) 10
8. Jepang (US$6,70) 16
9. Australia (US$6,31) 18
10. Brasil (US$5,40) 7
11. Argentina (US$5,39) 6
12. Afrika Selatan (US$5,06) 5
13. India (US$5) 1
14. Kanada (US$4,76) 17
15. China (US$4,74) 4
16. Indonesia (US$3,68) 2
17. Rusia (US$3,47) 12
18. Amerika Serikat (US$3,29) 19
19. Meksiko (US$3,22) 8
20. Arab Saudi (US$0,45) 20
Sumber: Data Bloomberg cited in Media Nusantara (diolah)
Dengan kata lain, berdasarkan data tersebut masyarakat Indonesia relatif mengeluarkan nilai uang
yang cukup besar ketika harus mengkonsumsi BBM dibandingkan negara-negara lain. Namun,
beberapa pakar isu energi menilai bahwa Indonesia tidak layak lagi memberikan subsidi BBM dan
harus menaikkan harga jual mengingat Indonesia bukanlah negara produsen minyak yang dapat
memberikan harga BBM rendah kepada masyarakatnya seperti Venezuela (Rp 300 per liter), Uni
Emirat Arab (Rp 4.600 per liter) dan Saudi Arabia (Rp 2.000 per liter); Mereka diangggap masih layak
melakukannya karena produksi yang besar: Venezuela (2,9 juta barrel per hari), Saudi Arabia (9,4
juta barrel), dan UEA (2,6 juta barrel).
9
Atas dasar perbandingan dengan negara lain dan terlepas dari metode hasil penilaian Tim Riset IORI,
National Research University dan Munk School of Global Affairs, Universitas Toronto yang menuai
banyak kritikan dari negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia, dalam hal ini Pemerintah
Indonesia dituntut untuk segera tanggap dengan kesiapannya atas komitmen-komitmen yang telah
dilontarkan untuk mengurangi subsidi BBM secara bertahap.
Dalam perbandingan yang sederhana, dapat dilihat bahwa ketika Indonesia memutuskan bergabung
dengan G20 sekaligus berkomitmen untuk mengurangi subsidi BBM pada tahun 2009, kenyataannya
tidak terlihat adanya pengurangan alokasi besaran subsidi BBM untuk tahun berikutnya. Bahkan
kenaikan alokasi besaran subsidi BBM juga terjadi di tahun 2012 (lihat gambar 2).
Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah)
Persentase perbandingan alokasi belanja untuk subsidi BBM dibandingkan dengan belanja negara
juga semakin meningkat ketika Indonesia mulai berkomitmen. Beberapa alasan dilontarkan sebagai
alasan sulitnya menurunkan subsidi BBM, utamanya adalah:
1. Peningkatan harga minyak dan depresiasi nilai tukar rupiah menyebabkan besaran subsidi
BBM melonjak;
2. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah kendaraan bermotor;
3. Harga jual BBM lebih murah dimana semakin tinggi disparitas antara harga BBM bersubsidi
dan BBM non-subsidi maka semakin besar migrasi konsumen dari BBM non subidi ke BBM
bersubsidi
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Belanja Negara 985,730.7 937,382.1 1,042,117. 1,294,999. 1,491,410. 1,726,191.
Subsidi BBM 139,106.7 45,039.4 82,351.3 165,161.3 211,895.7 199,850.0
0.0
50,000.0
100,000.0
150,000.0
200,000.0
250,000.0
0.0
200,000.0
400,000.0
600,000.0
800,000.0
1,000,000.0
1,200,000.0
1,400,000.0
1,600,000.0
1,800,000.0
2,000,000.0
Sub
sid
i BB
M
Be
lan
ja N
ega
ra
Gambar 2. Perbandingan Belanja Negara dengan Subsidi BBM
10
4. Distribusi subsidi BBM yang tidak tepat sasaran yang dinikmati kalangan atas.
3.1 Tantangan dan Kesiapan Indonesia dalam memenuhi Komitmen Pengurangan Subsidi BBM
Langkah substantif pertama telah dilakukan pemerintah melalui kebijakan pengurangan subsidi
secara nyata melalui revisi APBN 2013 yang menaikkan harga premium bersubsidi sebesar 33%
menjadi Rp6.500/lt dan solar sebesar 22% menjadi Rp5.500. Pengurangan subsidi terkait juga
dilakukan melalui kenaikan tarif dasar listrik sebesar 15% per tahun mulai 1 Januari 2013 yang
diharapkan dapat memberikan fleksibilitas fiskal lebih bagi a.l. pembangunan infrastruktur. Namun
demikian yang tidak kalah penting sebagai faktor penentuan alokasi subsidi namun sulit untuk
dikontrol adalah alasan politis.
Alasan politis dipandang sangat berperan dalam pertimbangan alokasi subsidi BBM di Indonesia.
Tarik ulur pengurangan dan penambahan subsidi antara pemerintah dan parlemen, memperlihatkan
keputusan yang diambil sebagai apologi politis. Sementara, pertimbangan-pertimbangan rasional
berdasarkan kajian empirik pasca keputusan tersebut sering menjadi terabaikan. Sebagian pendapat
menyerukan bahwa saat ini konsep ‘optimalisasi dan efesiensi’ sering dilupakan jika menyangkut
kebijakan ekonomi yang dipolitisasi seperti kasus BBM bersubsidi.
Meskipun begitu, pengurangan bahkan penghapusan subsidi BBM sebenarnya sudah diwacanakan
oleh pemerintah sebelum Indonesia bergabung dalam forum G20. Dalam hal ini pemerintah sering
menekankan bahwa kebijakan yang tak populis ini (mengurangi subsidi BBM) diambil sebagai
langkah penyelamatan APBN untuk keperluan-keperluan yang produktif seperti peningkatan
pendidikan, infrastruktur dan pelayanan masyarakat lainnya. Sementara, parlemen berkilah bahwa
pengurangan subsidi akan berdampak sistemik seperti memacu peningkatan inflasi yang berarti akan
menyengsarakan dan memunculkan kelompok miskin baru. Pemerintah diminta untuk bisa memulai
dan merubah cara pandang terhadap kebijakan subsidi yang selama ini masih dianggap sebagai
beban keuangan negara, menjadi kebijakan yang memiliki stimulus fiskal yang efektif untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sinkronisasi kebijakan subsidi dengan kebijakan
sektor lain sudah harus mulai tertata dengan baik, sehingga akan saling mendukung keberhasilan
kebijakan masing-masing sektor perekonomian.
Menjawab tantangan ini, pemerintah sendiri telah berusaha untuk memberikan “edukasi” kepada
masyarakat. Dengan menggaet beberapa akademisi dan peneliti, Pemerintah menggunakan
beberapa kajian pro-pegurangangan subsidi untuk meyakinkan DPR dan masyarakat sipil bahwa
pemberian subsidi BBM selama ini tidaklah tepat sasaran. Beberapa kajian pro-pengurangan subsidi
11
tersebut diantaranya adalah penelitian Bank Dunia 2010 mengenai persentase kelompok rumah
tangga penerima subsidi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa, terdapat 25% kelompok rumah
tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%.
Sementara itu, 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah
hanya menerima subsidi sekitar 15%. Selain itu dari hasil kajian Kementerian ESDM, 2011 mengenai
pengguna BBM, mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 89% digunakan untuk transportasi darat,
dimana mobil pribadi menggunakan sebesar 53%, motor menggunakan sebesar 40%, mobil barang
sebesar 4% dan angkutan umum sebesar 3%.
Dalam proses pendekatannya kepada DPR dan masyarakat sipil, Pemerintah dua tahun terakhir telah
menurunkan besaran subsidi BBM dan meng-claim bahwa pengalihan ini diperuntukan bagi
program-program yang produktif dan mempunyai efek bergulir bagi pengurangan kemiskinan dan
pertumbuan ekonomi. Pemerintah sering menegaskan bahwa besaran belanja negara yang
meningkat setiap tahunnya untuk program-program pengentasan kemiskinan/jaminan sosial
sekaligus pertumbuhan ekonomi merupakan pengalihan dari pengurangan belanja subsidi. Empat
program anggaran yang sering menjadi program unggulan pemerintah adalah ketahanan pangan,
pendidikan, infrastruktur dan anggaran pengentasan kemiskinan seperti yang tertera pada gambar 3
Gambar 3. Belanja Prioritas Negara sebagai salah satu bentuk pengalihan Subsidi
Sumber: Kementerian Keuangan (2013)
Program-program inilah yang tidak hanya menjadi alasan dan senjata pemerintah untuk mengurangi
subsidi di ranah “pertempuran domestik”, namun kemudian menjadi “tameng” bagi Pemerintah
12
Indonesia, untuk melindungi diri dari “kesinisan” negara maju seperti AS atas lambatnya
penghapusan subsidi BBM. Program-program tersebut mampu menjadi alasan bagi Indonesia untuk
meminta dunia internasional (termasuk forum G20) agar lebih bersikap “permisif” atas belum
siapnya Indonesia untuk memenuhi komitmen penghapusan subsidi. Program-program tersebut juga
telah memperkuat bentuk pemenuhan komitmen lain (reformasi strktural) Indonesia di dalam
forum G20 yaitu pengentasan kemiskinan dan perlindungan sosial (lihat Deklarasi 2013). Sehingga
merunut pada kondisi pada saat ini, dapat digambarkan bahwa kesiapan pemenuhan komitmen
Indonesia di G20 sangat tergantung dengan rasionalitas APBN seperti tertera pada gambar 4.
Gambar 4. Interkoneksitas Pemenuhan Komitmen Indonesia dengan Rasionalitas APBN
Dari gambar hubungan interkoneksitas di atas dapat dijelaskan bahwa Indonesia menjadi “tepat”
untuk terikat dalam sebuah komitmen ketika prioritas agenda nasional telah ditetapkan dengan
pertimbangan rasionalitas APBN (pendekatan bottom up). Dalam hal ini APBN dikatakan “rasional”
tentunya apabila telah mempertimbangkan nilai-nilai partispatif, konsensus, transparan, Responsif,
Efektif dan efisien (nilai universal yang dijelaskan pada halaman 1).
Namun dalam kasus subsidi BBM, interkoneksitas tersebut dapat terjadi dengan pendekatan dua
arah yaitu top down dan bottom up. Dikatakan ketika top down ketika pemimpin-pemimpin dunia di
negara maju sangat menaruh perhatian dengan kebijakan efesiensi energi utamanya pengurangan
dan pengahapusan subsidi BBM, Indonesia “mau tidak mau” atau “siap tidak siap” sebagai negara
anggota harus mengambil peran (kata lain mematuhi kesepakatan yang ada), meskipun pada
kenyataannya Indonesia belum siap dengan alasan berbagai faktor termasuk alasan sosial dan
politis.
13
IV. Pendekatan Kebijakan Publik untuk Membentuk Sebuah Komitmen yang tepat
Dalam hal penentuan kebijakan subsidi BBM, proses yang begitu panjang sebelumnya telah dilalui
dengan melibatkan banyak pihak hingga menjadi sebuah komitmen Indonesia dalam forum G20.
Namun tidak ada satupun yang dapat memastikan apakah semua pihak dalam proses tersebut
mempunyai gagasan yang sama untuk mengimplementasikannya.
Merujuk pada teori proses kebijakan publik, McIntyre-Mills (2006) mengungkapkan bahwa konsep
systemic governance dapat digunakan untuk menyeimbangkan gagasan individualisme dengan
kolektivisme di saat mengambil keputusan yang kompleks. Dalam arti yang lebih luas, konsep ini
dianggap mampu merefleksikan kepentingan vital suatu bangsa. Beberapa pendekatan dalam
konsep systemic governnace dapat dilakukan yang salah satunya melalui pendekatan pertanyaan
Ulrich. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk meramu sebuah perencanaan kebijakan ke depan
yang melibatkan beragam pihak dan dapat pula digunakan sebagai pendekatan evaluasi atas dampak
sebuah kebijakan, dengan cara membandingan apa yang terjadi pada saat ini dan apa yang
seharusnya terjadi/menjadi tujuan (is/ought to).
Tanpa harus memaksakan semua pertanyaan Ulrich untuk dijawab, dan merujuk kepada nilai-nilai
universal yang sebelumnya dijelaskan, maka tabel yang berisi pertanyaan stategi berikut ini akan
menyajikan kompeksitas kebijakan subsidi BBM. Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengangkat
sebuah komitmen di fórum internasional termasuk G20 tidaklah mudah dan butuh kesiapan dari
berbagi lini untuk memenuhi/mengimplementasikan komitmen tersebut.
Tabel 3: Aplikasi Perencanaan dan Evaluasi Kebijakan Subsidi BBM dalam 12 Pertanyaan
Pendekatan Ulrich
1. Who is/ought to be the beneficiary of the system?
Masyarakat umum (randomly) yang menggunakan Sepeda motor (40 %), mobil pribadi (53 %), angkutan barang (4 %), dan angkutan publik (3 %). Kemungkinan besar adalah penduduk berlatar belakang ekonomi menengah termasuk pengusaha industri golongan I-4 dan I-3 (sumber: Kontan News)
Angkutan publik yang sebagain besar digunakan oleh pengguna dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
2. What is/ought to be the purpose of the systems design?
Mencegah ketimpangan masif/ meringankan beban masyarakat atas harga komoditas vital dan strategis tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak.
(Left side) + Pertimbangan aspek ekonomi (kesehatan APBN), perlindungan sosial masyarakat, pembangunan SDM lokal, nasional, internasional
3. What is/ought to be the built-in measure for success?
1. Kompensasi konsumsi (Berapapun 1. Nilai Rasional dan optimalisasi harus seiring
14
konsumsi BBM, bagaimanapun gejolak harga minyak dunia, kebutuhan BBM selalu dicukupi dengan harga MURAH);
2. Mandatory Spending;
3. APBN bersifat myopic (orientasi 1 tahun sementara komitmen dilakukan bertahun-tahun, pelaksanaan maksimum sekitar 8-9 bulan);
4. Spending besar-besaran bertumpu di tiga-dua bulan terakhir).
dalam kebijakan terkait konsumsi BBM; 2. Fiscal space yang lebih fleksibel dan tidak ada
dorongan untuk menghabiskan anggaran ; 3. Minimasi political business cycle dan politisasi
kebijakan pemerintah; 4. Pertimbangan kompleksitas kebijakan
berdasarkan realitas .
4. Who is actually/ought to be the decision maker?
Pemerintah dan DPR 1. Pihak-pihak pembuat kebijakan; 2. Pihak-pihak yang menerima efek dari sebuah
kebijakan; 3. Pihak-pihak pendukung (akademisi, peneliti)
5. What conditions are/ought to be controlled by decision maker?
1. Utamanya Pemerintah harus mempertimbangkan keseimbangan APBN, dengan dana terbatas dan beberapa jenis belanja yang bersifat sudah mengikat;
2. Asumsi makro dari kebijakan eksternal seperti Volatilitas harga komoditi minyak;
3. Pertanggungjawaban keuangan/mencegah temuan penyimpangan.
1. Indikator 1 s.d 3; 2. Definisi dan ruang lingkup masalah, analisis,
strategi, implementasi, monitoring dan evaluasi atas keterlayakan kebijakan dengan pertimbangan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan;
3. Pertanggungjawaban dampak kebijakan (evidence based policy-EBP).
6. What conditions are /ought not to be controlled by decision maker?
1. Undang-undang yang dibuat pada saat kondisi tidak krisis;
2. Penggunaan kendaraan pribadi yang cenderung eksesif;
3. Distribusi SPBU yang tidak merata yang memicu penjualan bensin eceran;
1. Indikator 1 s.d 3; 2. Pengaruh fase politik (misalnya pemilu)
terhadap penyusunan APBN; 3. Intervensi asing.
7. Who is/ought to be involved as planner?
Pemerintah (K/L terkait), konsultan/expert /akademisi, anggota DPR
Pemerintah (K/L terkait), konsultan/expert /akademisi, anggota DPR
8. Who is/ought to be involved as experts, and of what kind of expertise?
Sebagian besar merupakan akademisi/konsultan dengan latar belakang ekonomi.
1. Akademisi/konsultan dengan latar belakang ekonomi;
2. Independent researchers dengan latar belakang beberapa disiplin ilmu sosial dan environmental knowledge.
9. Where do the involved seek/ ought to seek guarantee that the planning will be successful?
Kolektif data dari beberapa sumber konsultan, pemerintah, persetujuan DPR, dukungan politik dari interest groups
Utamanya adalah validitas data melalui participatory approach (dialog) yang merepresentasikan kebutuhan masyarakat
10. Who among the involved witnesses represents/ought represent the concerns of the affected?
Kelompok anggota masyarakat yang Representasi masyarakat yang terangkum dalam
15
berposisi birokrat dan anggota DPR berbagai affected stake-holders
11. Are/ought the affected given an opportunity to emancipate themselves from the experts and to take their fate into their own hands?
1. Anggota DPR selama ini diharapkan mampu merepresentasikan kebutuhan masyarakat;
2. Usulan dari Konsultan/Akademisi/Expert sebagai second opinion.
1. Masyarakat kelompok rentan masih membutuhkan pendampingan/institusi perwakilan yang mampu memperjuangkan kebutuhan/kehidupan layak dengan pertimbangan berbagai aspek;
2. Dengan sistem pemerintahan yang berujung kepada jalur birokrasi, masyarakat tidak dapat langsung menyuarakan kepentingan/kebutuhan sehingga dibutuhkan suatu institusi perwakilan yang bersih tanpa intervensi kepentingan lain (politis, keuntungan finansial).
12. What world view is underlying/ought to underlie the design of the system?
1. Tekanan dari masyarakat internasional terutama negara maju (US) agar Indonesia menghilangkan subsidi BBM secara bertahap;
2. USAID memberikan dana US$ 4 juta dalam bantuan langsung fiskal 2001 guna menguatkan pengaturan sektor energi untuk menciptakan sektor energi yang lebih efesien dan transparan
1. Pendekatan secara pragmatis dengan konsep pemikiran dengan menggunakan pendekatan “konsekuensi/dampak” tidak hanya kepada orang secara langsung tetapi juga lingkungannya;
2. Pertimbangan kerjasama internasional dengan prioritas utama terletak pada kedaulatan negara yang mampu menentukan sikap atas kebutuhan/kepentingan nasional.
KESIMPULAN
1. Pemerintah melakukan intervensi subsidi pada awalnya untuk mencegah ketimpangan
masif/meringankan beban masyarakat atas harga komoditas vital dan strategis tertentu yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Namun kebijakan tersebut pada saat ini dipandang
menjadi tidak tepat sasaran seiring dengan prioritas pemerintah untuk mengurangi
pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif untuk direalokasi ke kegiatan
produktif. Alokasi anggaran untuk mendukung program perlindungan sosial (Jamkesmas,
PKH, PNPM dan bencana alam) diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kemunduran
sosial bagi masyarakat miskin daripada pemberian subsidi BBM. Program-program ini yang
kemudian menjadi salah satu program unggulan Indonesia di forum G20 sekaligus sebagai
“tameng” dari kesinisan beberapa negara maju atas belum terpenuhinya komitmen
penghapusan subsidi.
16
2. Komitmen Indonesia dalam forum G20 terkait dengan subsidi BBM merupakan suatu
permasalahan yang cukup kompleks yang tidak hanya melibatkan aspek ekonomi tetapi juga
aspek sosial dan politik. Dalam hal ini, ke depan, rasionalitas APBN diharapkan sudah
mempertimbangkan segala aspek tersebut karena meskipun Indonesia belum mampu
sepenuhnya memenuhi komitmen penghapusan subsidi di dalam forum G20, namun langkah
substantif usaha ke arah tersebut sudah dimulai.
REKOMENDASI
Dengan melihat kecenderungan perkonomian domestik dan global, kebijakan pengurangan subsidi
BBM memang harus dilakukan secara bertahap dan rasional dengan pertimbangan aspek ekonomi
dan sosial. Kepentingan politis yang sulit dijabarkan dan diterjemahkan ternyata sungguh
mempengaruhi upaya-upaya substanstif ke arah perbaikan yang berkesinambungan. Oleh karena itu
diperlukan sosialisasi yang dilakukan secara transparan dan berkesinambungan agar kebijakan
pengurangan subsidi BBM dapat dipahami konsumen sebagai target kebijakan, secara rasional
(meminimalisir propoganda atas kepentingan politis).
Kajian ini belum mencakup dampak positif dari kebijakan subsidi BBM, namun pemerintah dapat
meneruskan mengalokasikan anggaran subsidi tersebut untuk meningkatkan anggaran yang lebih
produktif dengan penyediaan dan peningkatan kualitas pelayanan publik seperti infrastruktur,
kesehatan dan pendidikan yang mempunyai efek bergulir bagi perekenomian masyarakat.
Semua pihak tentu sepakat bahwa sebuah komitmen internasional lahir dari proses perundingan
yang menghasilkan sebuah kesepakatan dengan pertimbangan bahwa komitmen tersebut juga tidak
akan merugikan negara sendiri. Namun, mengingat rumusan kebijakan didasarkan pada rasionalitas
penyusun kebijakan (subyektivitas perumus kebijakan sangat dominan dalam pendekatan ini), maka
sesuai dengan konsep systemic governance, Pemerintah Indonesia sangat memerlukan keterlibatan
stakeholders yang solid untuk merangkum apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan Indonesia dan
apa yang perlu diperjuangkan ke forum internasional termasuk G20. Ke depan, sistem recall (memori
masa lalu) dan foresight (orientasi ke depan) yang lebih panjang dapat membantu pemerintah
sebagai panduan program-program yang hasilnya diperoleh dalam rentang waktu multiyears
sehingga Indonesia secara tepat dan konsisten mampu mengusung komitmennya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Bidang Forum G20-BKF & Uiversitas Parahyangan, 2013, ‘Kajian Evaluasi Komitmen Indonesia dalam
Forum G-20, Jakarta-Indonesia.
Chairy, L. 2009, ‘Seputar Komitmen Organisasi, viewed Oktober 2013 http://staff.ui.ac.id/system/files/users/liche/material/ -komitmenorganisasi-liche.pdf
Deardoff, A. 2000, ‘The Economics of Government Market Intervention, and Its International
Dimension’, the University of Michigan.
Kementerian Keuangan, 2013, ‘Nota Keuangan dan RAPBN 2014, Jakarta-Indonesia.
McIntyre-Mills, 2006, Volume 1: Rescuing the Enlightenment from Itself: Critical and Systemic
Implications for Democracy, Springer, New York.
Media Nusantara, 2013, ‘Daftar Harga BBM Dunia -Bloomberg Rankings tahun 2013’, Jakarta Indonesia.
National Research University dan Munk School of Global Affairs & Universitas Toronto, 2013, ‘2012 Los Cabos G20 Summit Interim Compliance Report’, G20 Research Group, Rusia.
Powley, E. & S. N. Anderlini, 2004, ‘Democracy and Governance’, in International Alert and Women
Waging Peace, Inclusive Security, Sustainable Peace: A Toolkit for Advocacy and Action,
Washington, D.C,
Ulrich. W, 1987, ‘Critical Heuristics of Social Systems Design’, European Journal of Operational
Research, vol. 31, no. 3.
.