Upload
vulien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
INTERAKSI MASYARAKAT SUKU ASLI
(MASYARAKAT ADAT)DENGAN MASYARAKAT
PENDATANG DAN IMPLIKASINYA PADA RANCANGAN
PENGELOLAAN TAMAN NASIONALWASUR
Y A R M A N
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Interaksi Masyarakat Suku Asli
(Masyarakat Adat) dengan Masyarakat Pendatang dan Implikasinyapada
Rancangan Pengelolaan Taman Nasional Wasur adalah karya saya dengan arahan
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
Yarman
NRP. E353100015
ASTRACT
YARMAN. Interaction Between Native Communities (Indigenous People) with
The Immigrants and Its Implication to The Management Concept of Wasur
National Park. Under the direction of Sambas Basuni and Rinekso Soekmadi.
Wasur National Park (WNP) was one of Indonesia Natural Reserve
Areainhabited by 68,8% native communities namely Marind Imbuti, Kanume,
Marori Men Gey and Yeinan, also by 31,18% immigrants originating from Java,
Sulawesi and Maluku.This research was aimed to formulate the implication of
interaction between native communities with the immigrants for the management
of WNP. The natives wisdoms were in the form of sasi tradition, wisdoms toward
the sacred places, totemism, hunting and education system. Socio-economic
interactions among the natives were expressed on the forms oflanduse and water
consumption which might betrigger for conflicts, as happenened at the Tomer
village between theKanume and the immigrants from Sulawesi. This interaction
also established within the field of agriculture, labour, financial capital and land
cultivation. Socio-cultural interaction were expressed through marriage, beliefs,
religions, art and language, whilesocio-ecology interaction were shown by the
similarity of resource exploitation pattern, tradition symbols and sacred places.
Immigrants from Maluku also managed to establish an interaction in a matter of
utilization regulation which influenced by the church sasi. The implications of the
interaction of native communities with the immigrants for the management of
WNP is the creation of regional regulations, zoning, law enforcement, cultivation
of plants and animals ofnative communities’ totems, alternative natural resource
utilization, community training and assistance which consider the presence and
interest of the community itself.
Keywords: Interaction, native community, immigrants, Wasur National Park
RINGKASAN
YARMAN. Interaksi Masyarakat Suku Asli (Masyarakat Adat) dengan
Masyarakat Pendatang dan Implikasinya pada Rancangan Pengelolaan Taman
Nasional Wasur. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, RINEKSO SOEKMADI.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan implikasi interaksi masyarakat
suku asli dengan masyarakat pendatang bagi pengelolaan TNW. Tujuan khusus
dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang di dalam TNW yang
meliputi sejarah kependudukan, jumlah dan sebaran penduduk (sex ratio,
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan matapencaharian), 2)
Mengidentifikasi aturan-aturan informal dan kearifan lokal, 3)
Mengidentifikasi situasi interaksi sosial ekonomi, sosial budaya, serta ekologi
suku asli dan masyarakat pendatang serta dampaknya pada tatanan, nilai-nilai
kehidupan masyarakat suku asli maupun masyarakat pendatang.Manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap kebijakan pengelola kawasan konservasi sehingga dapat meningkat
kesejahteraan masyarakat di TNW.
Penelitian ini dilaksanakan di TNW Kabupaten Merauke Provinsi Papua.
Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan, diawali dengan pembuatan
proposal pada bulan Maret 2012. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan
April-Mei 2012. Metode pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka
(dokumentasi), pengamatan langsung (observasi) dan wawancara.
Masyarakat suku asli yang mendiami TNW adalah masyarakat Malind
Anim yang terdiri dari 4 suku yaitu Suku Malind Imbuti 640 jiwa (14.75%), Suku
Kanume 1.695 jiwa (39.00%), Suku Marori Men Gey 221 Jiwa (5,09%), dan Suku
Yeinan 430 jiwa (430 (9.91%), total penduduk masyarakat asli dalam kawasan
2.986 Jiwa (68.82%) dan masyarakat pendatang dari Jawa, Sulawesi dan Maluku
1.353 jiwa (31.18), Masyarakat asli Suku Kanume memiliki penduduk yang
paling banyak, dan memiliki wilayah adat yang luas didalam Kawasan TNW
tersebar di 7 Kampung dalam TNW sedangkan suku Marori Men Gey jumlah
penduduk terkecil hal ini disebabkan oleh suku tersebut memiliki wilayah adat
yang sempit dalam kawasan TNW, berada pada satu kampung yaitu kampung
Wasur. Masyarakat Pendatang jumlah penduduk terbesar terdapat di kampung
Sota, hal ini disebabkan kampung tersebut merupakan lokasi transmigrasi yang
berasal dari jawa. Sex rasio penduduk di TNW 1 : 0,92, ini berarti jumlah
laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan rumus
Dependency Ratio (DR),setiap 1 orang usia produktif menanggung 8 orang usia
tidak produktif, berarti bahwa beban ekonomi masyarakat berat.Pendidikan
penduduk di 10 kampung mayoritas masih berada pada tingkat lulus Sekolah
Dasar (SD/MI/Sederajat) sebanyak 39,76%,tidak/belum tamat SD 30,29%, telah
tamat SLTP/MTs 17,53% dan tamat SLTA/MA/sederajat 8.09%, dan tamat
Sekolah Menengah Kejuruan, pendidikan tinggi menempati porsi yang kecil
antara 0,90% hingga 2,45%. Tingkat pendidikan sangat menentukan sebagai alat
penyampaian informasi kepada orang tentang perubahan dan mendorong
penerimaan-penerimaan gagasan baru.
Penduduk yang bermatapencaharian petani 84,61%, dimana masyarakat
suku asli masih menggantungkan hidup dari berburu, beladang berpindah dan
meramu, sedangkan masyarakat pendatang sebagai petani menetap dan
berdagang. Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pedagang (4,59%)
merupakan masyarakat pendatang.
Malind Anim memiliki kearifan dalam pengelolaan alam yang berupa 1)
Kearifan sasi adat yaitu aturan adat untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya
alam agar pemanfaatannya dilakukan secara bijak. Contoh sasi tempat sakral,
sasi rawa, sasi dusun sagu, sasi dusun kayu dan sasi kebakaran. 2) Kearifan
terhadap tempat-tempat sakral yaitu suatu wilayah yang dikeramatkan oleh
masyarakat asli secara turun temurun dijaga kelestarian dan keasliannya, tempat-
tempat yang disakralkan berupa tanah tinggi (dek), tempat lapang, hutan, pohon,
sumur (mata air). 3) Sistem totemisme yaitu suatu kepercayaan terhadap suatu
tumbuhan dan satwa yang dianggap sebagai penjelmaan dema yang merupakan
leluhur mereka seperti anjing, babi, pohon kelapa, pisang dan lain-lain, 4) Sistim
perburuan yang dilakukan oleh masyarakat asli dilakukan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan dengan cara-cara tradisional, yaitu dengan
menggunakan panah dan anjing 5) Penentuan batas wilayah tanah adat telah
dilakukan sejak nenek moyang mereka yang kemudian diwariskan kepada anak
cucu mereka dimana penentuan batas-batas wilayah tanah adat diatur berdasarkan
batas alam yang ada seperti sungai/kali, tanah tinggi, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih kepemilikan, 6) Sistim pendidikan, pendidikan bagi masyarakat
malind anim dilakukan sejak masih kecil yang dilakukan oleh orang tua dan
paman atau saudara laki-laki ibu, pendidikan tersebut dilakukan di rumah adat
dan juga pada saat kegiatan berburu, meramu dan beladang. Materi yang diberikan
adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku baik perilaku terhadap orang
tua, alam dan masyarakat dan juga membuat kebun-kebun, hukuman pelanggaran
terhadap adat dan kepercayaan.
Interaksi antara masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang berupa
interaksi sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi. Interaksi sosial
ekonomi terjadi pada sarana prasaranan pertanian, tenaga kerja, modal finansial,
pengolahan lahanan. Dalam pemanfatan lahan terjadi konflik di Kampung Tomer
antara Suku Kanume dengan Masyarakat pendatang dari sulawesi.
Interaksi sosial budaya masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang dari
Jawa dan Sulawesi terjadi dalam hal perlengkapan hidup dan bahasa. Interkasi
sosial budaya masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang dari Maluku
terjadi dalam hal perlengkapan hidup, perkawinan, agama, kesenian dan bahasa.
Interkasi Sosial Ekologi antara masyarakat suku asli terjadi dalam hal
kesamaan aturan pemanfaatan sumber daya alam, benda simbol adat dan tempat
sakral. Interaksi masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang terjadi pada
aturan pemanfaatan yang dipengaruhi oleh masyarakat pendatang dari maluku
yaitu sasi gereja.
Implikasi interaksi masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang bagi
pengelolaan TNW adalah: (1) Perlu pembuatan Peraturan Daerah (Perda) yang
mengakui keberadaan masyarakat adat, (2) Zonasi TNW mempertimbangkan
kebutuhan kepentingan masyarakat,(3) mengikutsertakan masyarakat pemilik hak
adat dalam pengelolaan TNW, (4) Penegakan hukum adat dan hukum formal atas
pelanggaran terhadap kawasan konservasi, (5) Budidaya terhadap tanaman dan
satwa asli yang merupakan totem masyarakat suku asli, (6) Mencari alternatif
pemanfaatan sumber daya alam berupa obyek wisata, (7) Pelatihan dan
pendampingan kepada masyarakat secara kontinyu dalam hal pemanfaatan
pengolahan sumber daya alam agar bernilai ekonomi lebih tinggi.
Kata kunci: Interaksi, masyarakatsukuasli, masyarakatpendatang, Taman
NasionalWasur.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
INTERAKSI MASYARAKAT SUKU ASLI (MASYARAKAT
ADAT) DENGAN MASYARAKAT PENDATANG DAN
IMPLIKASINYA PADA RANCANGAN PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL WASUR
Y A R M A N
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F
Judul Tesis : Interaksi Masyarakat Suku Asli (Masyarakat Adat)
dengan Masyarakat Pendatang dan Implikasinya
pada Rancangan Pengelolaan Taman Nasional
Wasur
Nama Mahasiswa : Yarman
NRP : E353100015
Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Konservasi Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 5 Oktober 2012 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
kehendak-Nya penelitian dengan judul “Interaksi Masyarakat SukuAsli
(Masyarakat Adat) dengan Masyarakat Pendatang dan Implikasinya Pada
Rancangan Pengelolaan Taman Nasional Wasur” dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka penulisan tesis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi
Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang terhormat:
1. Direktur Jenderal PHKA, Sekretaris Ditjen PHKA, Kepala Sub Bagian
Kepegawaian dan Rumah Tangga Ditjen PHKA serta Kepala Balai Taman
Nasional Wasur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melaksanakan dan menyelesaikan program pendidikan ini.
2. Dr. Agus Priyono Kartono, M.si selaku Ketua, Dr.Mirza Dikari Kusrini,
M.Siselaku Sekretaris Program S2 pada Program Studi Konservasi
Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan
dan seluruhdosen pengasuh mata kuliah atas pembelajaran yang sangat
berharga selamaprogram pendidikan
3. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F selaku anggota Komisi Pembimbing.
4. Dr.Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing.
5. Para Pejabat Es. IV serta seluruh Staf Balai Taman Nasional Wasur yang
telah membantu dalam penelitian ini.
6. Bapak dan Ibu ku tercinta (H. Saadunir Kadir dan Hj. Nurmaini) dan Bapak
Ibu Mertua ku (H. Mansyur DS dan Hj. Mardiana) dan adik-adik ku
(Armaizal, Nursan, Fitrizal, ST, Mistuti Khairani, Mulyana, SE, Muhamad
Ali Marman, ST, Muhamad Ali Akbar, ST, dan Nurlaila Mansur, SE) yang
telahmemberikandukunganbaikmorilmaupunmateriil.
7. Sahabat ku Iga Nuraprianto, Abdullah Tuharea dan Mas Gatot yang telah
banyak membantu saya dalam penulisan penelitian ini.
8. Pak Sofwan, Bu Umi dan Pak Udin atas segala bantuan dan pelayanan yang
diberikan selama kuliah.
9. Seluruh rekan-rekan Program Studi KonservasiKeanekaragamanHayati
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
10. Terimakasih penulis persembahkan kepada Istriku Mardianty, ST, M.Eng
yang dengan sabar dan penuh kasih sayang mendorong dan mendukung
penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan,
kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan saran dan kritik
membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil
penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Oktober 2012
Yarman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 11 Maret 1973 dari ayah
H. Saadunir Kadir dan Ibu Hj. Nurmaini. Penulis merupakan putra pertama dari
lima bersaudara.
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Merauke dan pada tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih pada
Fakultas Pertanian Manokwari Jurusan Kehutanan. Tahun 1999 penulis diangkat
sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehutanan dan ditempatkan
pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua I Jayapura. Tahun 2007 penulis
dipromosikan menjadi Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional II Ndalir pada
Balai Taman Nasional Wasur Merauke.
Tahun 2010 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK.276/Menhut-II/Peg/20011 tanggal 10 Februari 2011 tentang Surat
Keputusan Tugas Belajar, penulis terdaftar sebagai mahasiswa diProgram Studi
Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan
Republik Indonesia Cq. Ditjen PHKA Tahun 2010.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 3
1.3. Perumusan Masalah ...................................................................... 6
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taman Nasional ........................................................................... 9
2.2. Paradigma Baru Kawasan Konservasi .......................................... 12
2.3. Masyarakat Hukum Adat ............................................................ 13
2.4. Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam oleh
Masyarakat Adat Malind Anim .................................................... 15
2.5. Konsep Property Rights ............................................................... 18
2.6. Interaksi Sosial ............................................................................. 20
2.6.1. Interaksi Sosial Ekonomi ................................................ 21
2.6.2. Interaksi Sosial Budaya ................................................... 22
2.6.3. Interaksi Sosial Ekologi ................................................... 23
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 25
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ........................................................... 25
3.3. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 25
3.4. Metode Penentuan Informan ........................................................ 27
3.5. Analisa Data ................................................................................. 27
3.5.1. Analisis Kualitatif ........................................................... 27
3.5.2. Analisis Trianggulasi ...................................................... 28
3.6. Ringkasan Metode Penelitian ....................................................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .......................................... 31
4.1.1. Sejarah Kependudukan ................................................... 31
4.1.2. Jumlah dan Sebaran Penduduk ........................................ 33
4.1.3. Tingkat Pendidikan ......................................................... 35
4.1.3. Matapencaharian ............................................................ 36
4.2. Aturan-Aturan Informal dan Kearifan Lokal .............................. 37
4.2.1. Marga dan Sub Marga Pada Masyarakat Suku Asli ........ 37
4.2.2. Kearifan Sasi Adat .......................................................... 39
ii
4.2.3. Kearifan Terhadap Tempat Sakral ................................... 40
4.2.4. Paham Totemisme ........................................................... 42
4.2.5. Sistem Peburuan ........................................................... 43
4.2.6. Penentuan Batas Wilayah Tanah Adat .......................... 44
4.2.7. Sitem Pendidikan ............................................................. 44
4.3. Situasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dan Masyarakat
Pendatang ...................................................................................... 45
4.3.1. Interaksi Sosial Ekonomi ................................................. 45
4.3.1.1. Aktifitas Produksi .............................................. . 45
4.3.1.2. Aktifitas Konsumsi .............................................. 49
4.3.1.3. Aktifitas Distribusi .............................................. 51
4.3.2. Interaksi Sosial Budaya ................................................ 52
4.3.3. Interaksi Sosial Ekologi .................................................. 59
4.3.4. Faktor-Faktor Terjadinya Perubahan Sosial Ekonomi,
Sosial Budaya dan Sosial Ekologi yang Mendasar ............ 61
4.3.4.1. Agama .............................................. ................... 61
4.3.4.2. Kolonialisasi (Pemerintahan Belanda) ................ 62
4.3.4.3. Pendatang Maluku (Timor Tepa) ...................... .. 63
4.3.4.4. Pemerintahan Indonesia .................................. ... 63
4.3.4.5. Gap Generation .............................................. ..... 65
4.3.5. Temuan-Temuan Penelitian .............................................. 66
4.4. Konsep Pengelolaan TNW ........................................... ................ 66
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 75
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 75
5.2. Saran ....................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 77
LAMPIRAN ................................................................................................ 81
iii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Paradigma Baru Kawasan Konservasi (Protected Areal)....................... 12
2. Tipe Hak Properti dan Kewajiban ..................................................... 19
3. Jenis dan Sumber Data Sekunder yang diperlukan dalam Penelitian.. 25
4. Ringkasan Metode Penelitian................................................................. 29
5. Penyebaran Masyarakat Suku Asli dan Masyarakat Pendatang pada
Kampung di TNW yang dibangun oleh Pemerintah di Kampung
Wilayah Adat Masyarakat Suku Asli ..................................................... 31
6. Jumlah Penduduk Masyarakat Suku Asli dan Masyarakat
Pendatang di TN Wasur Berdasarkan Kampung ................................ 33
7. Sebaran Jumlah Penduduk di TNW Berdasarkan Jenis Kelamin
dan Sex Ratio ........................................................................................ 34
8. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di TN Wasur Tahun
2010 ....................................................................................................... 34
9. Jumlah Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas Dirinci Menurut
Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan tahun 2010 ........................... 36
10. Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha dan Kampung .......................................................... 37
11. Marga dan Sub Marga pada 4 suku di TN Wasur ................................. 38
12. Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Malind Imbuti ..................... 41
13. Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Kanume .............................. 41
14. Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Marori Men Gey .................. 41
15. Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Yeinan ................................. 42
16. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli Terhadap
Pengelolaan TNW .................................................................................. 68
17. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang Terhadap Pengelolaan TNW ................................................ 70
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................... 6
2. Interaksi Sosial Ekonomi pada Aktivitas Produksi Masyarakat Suku
Asli dan Pendatang di TNW ............................................................... 45
3. Interaksi Sosial Ekonomi pada Aktivitas Konsumsi Masyarakat Suku
Asli dan Pendatang di TNW ............................................................... 49
4. Interaksi Sosial Ekonomi pada Aktivitas Distribusi Masyarakat Suku
Asli dan Pendatang di TNW ............................................................... 51
5. Interaksi Sosial Budaya Masyarakat Suku Asli dan Pendatang di
TNW .................................................................................................... 53
6. a) Rumah Tradisional Malind Anim (Sumber: Abteihang
Architektur 1970), b) Model rumah masyarakat yang dibangun oleh
pemerintah Indonesia yang terdapat di dalam Kawasan TNW . ......... 56
7. Informan Kepala Suku a) Malind Imbuti (Kasimirus Gebze), b)
Kanume (Martin Ndiken), c) Yeinan (David Dagijai), d) Marori Men
Gey (Wilhemus D Gebze ................................................................ 57
8. Interaksi Sosial Ekologi Masyarakat Suku Asli dan Pendatang di
TNW .................................................................................................... 59
9. Tanaman Anggin/jenis puring (Codiaeum sp) perhiasan adat suku
Malind Anim ........................................................................................ 60
10. a) Babi hutan yang merupakan hewan adat yang digunakan pada
acara adat. b) Babi putih yang sering digunakan sebagai
pengganti babi hutan dalam acara adat ............................................. 65
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian di TNW ................................................................. 81
2. Peta Tempat-Tempat Penting Masyarakat Suku Asli di TNW ................. 82
3. Sisilah Suku-Suku Besar di Kabupaten Merauke ..................................... 83
4. Marga dan Totem pada Malind Imbuti ................................................... 84
5. Marga dan Totem pada Suku Kanume .................................................... 88
6. Marga dan Totem pada Suku Marory Men-Gey ..................................... 90
7. Marga dan Totem pada Suku Yeinan ..................................................... 94
8. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Malind Imbuti dengan
Kanume) Terhadap Pengelolaan TNW ..................................................... 96
9. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Malind Imbuti dengan
Marori Men Gey) Terhadap Pengelolaan TNW ....................................... 98
10. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Malind Imbuti dengan
Yeinan) Terhadap Pengelolaan TNW ....................................................... 100
11. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Kanume dengan
Marori Men Gey) Terhadap Pengelolaan TNW ....................................... 102
12. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Kanume dengan
Yeinan) Terhadap Pengelolaan TNW ....................................................... 104
13. Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Marori Men Gey
dengan Yeinan) Terhadap Pengelolaan TNW .......................................... 106
14. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Malind Imbuti VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW ......... 108
15. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Malind Imbuti VS Sulawesi) Terhadap Pengelolaan TNW .. 110
16. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Malind Imbuti VS Maluku) Terhadap Pengelolaan TNW .... 112
17. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Kanume VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW.................... 114
18. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Kanume VS Sulawesi Terhadap Pengelolaan TNW ............ 116
19. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Kanume VS Maluku)i Terhadap Pengelolaan TNW ............ 118
20. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Marori Men Gey VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW ..... 120
vi
21. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Marori Men Gey VS Sulawesi)Terhadap Pengelolaan TNW. 122
22. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Marori Men GeyVS Maluku) Terhadap Pengelolaan ........... 124
23. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Yeinan VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW .................... 126
24. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Yeinan VS Sulawesi) Terhadap Pengelolaan TNW .............. 128
25. Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat
Pendatang (Yeinan VS Maluku Terhadap Pengelolaan TNW................ 129
vii
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dunia internasional sangat memperhatikan dan peduli bahwa pengelolaan
kawasan konservasi (protected area) perlu dilandasi pengakuan hak-hak
masyarakat lokal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan
jumlah masyarakat adat di Indonesia sekitar 80 juta jiwa (AMAN 2012).
Menggunakan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT), di Indonesia jumlah
KAT mencapai 267.550 kepala keluarga atau 1,1 juta jiwa yang tersebar di 211
kabupaten, 807 kecamatan dan 2.328 desa pada 27 propinsi (DEPSOS 2008).
Keberadaan masyarakat adat atau wilayah adat tersebut sebagian tumpang tindih
dengan kawasan Konservasi.
Pada tingkat nasional pemerintah telah mengakomodir keberadaan
masyarakat adat melalui Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya,
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dimana
pemerintah mengakui secara sah keberadaan masyarakat adat. Namun peraturan
perundangan tersebut belum diterapkan sesuai dengan hak-hak masyarakat adat
tersebut. The International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam
Kongres Taman Sedunia (World Park Congress/WPC) kelima pada bulan
September 2003 di Durban, Afrika Selatan yang menghasilkan Durban Accord
mulai mengakomodir penghormatan hak-hak masyarakat asli, tradisional dan
berpindah (indigenous, traditional and mobile people) yang berada dalam
kawasan konservasi.
Konsep pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi selama ini telah
mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat sebagai „pemilik‟ kawasan
secara turun temurun. Pemerintah telah menetapkan 527 kawasan konservasi
dengan luas 27.190.992,91 hektar yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, dimana sebagian besar merupakan Taman Nasional
(TN) (DEPHUT 2009). UU No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa TN
merupakan salah satu kategori dari kawasan pelestarian alam yang mempunyai
2
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi (Sekditjen PHKA 2007b). Kosmaryandi (2012) menyebutkan terdapat
24 TN dari 50 TN di Indonesia yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan TN.
Kawasan hutan Wasur telah ditunjuk sejak tahun 1978 sebagai suaka alam
yang terdiri dari Suaka Margasatwa Wasur berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor: 252/Kpts/Um/5/1978 tanggal 3 Mei 1978, dengan luas 206.000
ha dan Cagar Alam Rawa Biru dengan luas 4.000 ha. Tahun 1982 luas Suaka
Margasatwa Wasur ditambah 98.000 ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor: 15/Kpts/Um/1/1982, sehingga luasannya menjadi 304.000 ha. Cagar
Alam Rawa Biru dan Suaka Margasatwa Wasur dideklarasikan sebagai Taman
Nasional Wasur (TNW), berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
448/Kpts-II/1990 tanggal 24 Maret 1990 dengan luas keseluruhan 308.000 ha.
Selanjutnya pada tahun 1997 TNW ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 282/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, dengan luas 413.810
ha (BTNW 1999).
TNW dihuni oleh 4 masyarakat suku asli, yaitu suku Malind Imbuti,
Kanume, Marori Men Gey dan Yeinan. Mereka telah hidup dan berdiam secara
turun temurun serta memiliki hak adat atas seluruh tanah dalam kawasan (BTNW
1999). Masyarakat ini umumnya bermatapencaharian sebagai pengumpul dan
peramu hasil hutan. Selain penduduk asli terdapat pula masyarakat pendatang
yang hidup bersama di dalam TNW, diantaranya: Jawa, Sulawesi dan Maluku.
Akibat perkembangan dan tuntutan kebutuhan hidup, telah terjadi eksploitasi
sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat suku asli dan pendatang yang
berdampak negatif serta menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang Undang Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, keberadaan masyarakat hukum adat diakui apabila
telah memenuhi unsur-unsur: (1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap); (2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya; (3) ada wilayah hukum adat yang jelas; (4) ada pranata dan perangkat
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (5) masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
3
hidup sehari-hari (Sekditjen PHKA 2007a). Dengan adanya interaksi dengan
masyarakat pendatang di dalam TNW, maka satu atau lebih dari syarat-syarat
tersebut kemungkinan tidak terpenuhi lagi.
Adanya interaksi masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang dapat
menimbulkan terjadinya perubahan-perubahan di bidang sosial ekonomi, sosial
budaya dan sosial ekologi (lingkungan). Menurut Soekanto (2005) bentuk-
bentuk perubahan tersebut dapat berupa: a) Perubahan yang lambat atau pun
berjalan cepat; b) Perubahan kecil dan perubahan besar; c) Perubahan yang
dikehendaki (intented change), atau perubahan yang direncanakan (planned
change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change) atau
perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change). Perubahan–perubahan
masyarakat dapat mengenai nilai–nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola
perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial.
Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan nilai positif dan negatif
terhadap pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat suku asli
dan masyarakat pendatang. Dengan demikian, untuk mengelola TN yang adaptif
perlu ada kajian mengenai interaksi antara masyarakat suku asli dan masyarakat
pendatang dan implikasinya pada rancangan pengelolaan TNW.
1.2. Kerangka Pemikiran
Pengelolaan kawasan konservasi termasuk TNW masih bersifat sentralistik
terlihat dari hirarki organisasinya. Balai TNW sebagai UPT (Unit Pelaksana
Teknis) bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal (Dirjen) PHKA Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia.
Era desentralisasi yang diterapkan dewasa ini terutama di Papua dalam
kebijakan otonomi khusus, mendorong pengelolaan kawasan yang lebih kolaboratif
dengan berbagai pemangku kepentingan terutama dengan masyarakat suku asli.
Keterlibatan masyarakat suku asli telah diakui dalam pasal 37 Undang Undang
Nomor 41 tahun 1999 yaitu dalam hal pemanfaatan hutan dan pemanfaatan hasil
hutan. Hasil penelitian Sembiring et al. (1998) menyatakan bahwa kebijakan
4
terpusat telah mematikan potensi dari pemerintah daerah, masyarakat lokal atau
adat, maupun potensi jangka panjang dari keberlanjutan dan kelestarian sumber
daya alam dan kawasan konservasi itu sendiri.
Masyarakat suku asli sebagai suatu kesatuan masyarakat memiliki sistem
pengaturan yang tumbuh dan berkembang dari mereka sendiri dengan kesepakatan
masyarakat lainnya. Masyarakat tersebut memiliki tatanan hukum serta nilai-nilai
yang berlaku di dalam batas wilayah adatnya. Intervensi yang berlebihan dari
pihak pemerintah dapat merusak bentuk pengaturan dari masyarakat suku asli
yang telah berjalan dan berakibat runtuhnya sistem dan pola pengaturan yang
dimiliki. Intervensi semacam ini sering terjadi dengan ketetapan-ketetapan
pemerintah yang merusak sistem yang sudah cukup mandiri.
Masyarakat suku asli yang berdiam di TNW merupakan masyarakat suku
asli yang memiliki kearifan lokal di dalam pengelolaan sumber daya alamnya.
Selain itu, mereka juga memiliki budaya yang berhubungan dengan pelestarian
lingkungan dan konservasi seperti perlindungan daerah-daerah sakral secara turun
temurun, melestarikan berbagai adat istiadat yang berkaitan dengan konservasi
tradisional seperti sistem sasi1, pembakaran tradisional yang arif dan bijaksana
dan melindungi berbagai jenis satwa liar yang berkaitan dengan totem2
masyarakat suku asli. Selain masyarakat suku asli yang ada di dalam TNW, ada
juga masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Maluku yang
memungkinkan terjadinya proses interaksi diantara mereka. Interaksi tersebut
akan menimbulkan nilai-nilai atau norma-norma baru yang berhubungan dengan
sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi baik yang bersifat positif atau
bahkan negatif .
Sejak awal pembentukan TNW pada tahun 1997, kebijakan pengelolaan
kawasan telah diarahkan untuk tetap mengakomodir keberadaan masyarakat suku
asli yang tinggal didalamnya. Kebijakan ini dijalankan berdasarkan pada
kenyataan bahwa masyarakat yang berada di dalam kawasan sudah ada dan
beraktivitas jauh sebelum kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan TNW.
1 Aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk menjaga keseimbang alam pada masyarakat
Malind Anim. 2 Perubahan wujud Dema kedalam bentuk tumbuhan, binatang ataupun benda dan menjadi simbol
kelompok.
5
Masyarakat secara tradisional memiliki atau mempunyai kearifan budaya secara
turun temurun untuk mengelola sumber daya alam di TNW sesuai dengan hak
adatnya.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur (RPTNW) tahun 1999-2024
telah menetapkan tujuan pengelolaannya untuk menjaga integritas perwakilan
keanekaragaman hayati lahan basah kawasan timur Indonesia, perlindungan
budaya tradisional masyarakat suku asli, mendukung peningkatan kualitas
pembangunan regional (pariwisata alam, sumber air bersih dan sumber protein),
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, baik
melalui kegiatan ilmu pengetahuan, penelitian, budidaya maupun bio-teknologi
sumber plasma nutfah yang tersedia, serta peningkatan peluang usaha dan
lapangan kerja. Pemberdayaan masyarakat dalam TNW merupakan salah satu
tujuan dari strategi action plan visi Transfly3 Indonesia – PNG karena dari 8 suku
yang ada di Kabupaten Merauke, 4 suku diantaranya ada dalam kawasan TNW,
yaitu suku Yeinan, Kanume, Marori Men Gey dan Malind Imbuti.
Untuk mengantisipasi berbagai permasalahan dan mengatasi konflik dengan
masyarakat pendatang, maka diperlukan suatu kajian interaksi sosial ekonomi,
sosial budaya dan sosial ekologi masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang
yang ada di dalam kawasan TNW. Secara skematis kerangka pemikiran
penelitian disajikan pada Gambar 1.
3 Wilayah tanah basah di Asia Pasifik yang melintasi perbatasan Papua New Guinea dan
Indonesia, kawasan ini terletak di selatan Papua dan meliputi hutan monsoon, savana , lahan
basah, sungai-sungai dan garis pantai.
6
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas, beberapa
pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi masyarakat suku asli dengan
masyarakat pendatang di dalam TNW yang meliputi sejarah
kependudukan, jumlah dan sebaran penduduk (sex ratio, umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan dan matapencaharian).
2. Bagaimanakah bentuk aturan-aturan informal dan kearifan lokal.
3. Bagaimanakah situasi interaksi sosial ekonomi, sosial budaya, serta
ekologi suku asli dan masyarakat pendatang serta dampaknya pada tatanan,
nilai-nilai kehidupan masyarakat suku asli maupun masyarakat pendatang.
4. Bagaimana rumusan implikasi interaksi masyarakat suku asli dengan
masyarakat pendatang bagi pengelolaan TNW.
7
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah merumuskan implikasi interaksi
masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang bagi pengelolaan TNW.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi masyarakat suku asli dengan
masyarakat pendatang di dalam TNW yang meliputi sejarah
kependudukan, jumlah dan sebaran penduduk (sex ratio, umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan dan matapencaharian).
2. Mengidentifikasi aturan-aturan informal dan kearifan lokal.
3. Mengidentifikasi situasi interaksi sosial ekonomi, sosial budaya, serta
ekologi suku asli dan masyarakat pendatang serta dampaknya pada
tatanan, nilai-nilai kehidupan masyarakat suku asli maupun masyarakat
pendatang.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap kebijakan pengelola kawasan TNW agar tercapai
sinkronisasi sosial, ekonomi dan ekologi di dalam kawasan.
8
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taman Nasional
Taman Nasional merupakan kawasan konservasi yang menurut kategori
protected area IUCN (1994) termasuk dalam kategori II. Pengertian taman
nasional berdasarkan beberapa pustaka antara lain: a). Kawasan pelestarian alam
yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi ((Sekditjen PHKA 2007b); b). Kawasan pelestarian alam
yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang spesifik dengan
kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi objek rekreasi yang besar, mudah
dicapai dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (MacKinnon
et.al. 1993); c). Areal yang cukup luas, dimana ada satu atau beberapa ekosistem
tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemukiman (pendudukan lahan oleh
masyarakat); spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi dan kondisi habitatnya
memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan nilai rekreasi atau yang memiliki nilai
lanskap alam dengan keindahan yang tinggi (IUCN 1994).
Berdasarkan definisi di atas, terdapat beberapa kegiatan pengelolaan yang
dapat dilakukan pada taman nasional. Oleh karenanya diperlukan kehati-hatian
karena beberapa kegiatan mempunyai peluang tumpang tindih (overlap) ruang
seperti pariwisata dan kegiatan budidaya walaupun harus dilakukan secara
terbatas. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya memberikan pengaruh lanjutan dari
sisi ekonomis, budaya, maupun ekologis (lingkungan).
Menurut Alikodra (1987) tujuan pengelolaan taman nasional
dikelompokkan menjadi empat aspek utama yaitu konservasi, penelitian,
pendidikan dan kepariwisataan. Keempat aspek tersebut harus memperhatikan
kepentingan masyarakat suku asli yang ada di dalam maupun di sekitar taman
nasional. Dengan demikian maka sistem taman nasional memiliki banyak
keunggulan dibandingkan dengan sistem kawasan konservasi lainnya yakni
dibentuk untuk kepentingan masyarakat, konsep pelestarian didasarkan atas
perlindungan ekosistem sehingga mampu menjamin eksistensi unsur-unsur
pembentuknya dan dapat dimasuki oleh pengunjung sehingga pendidikan cinta
10
alam, kegiatan rekreasi dan fungsi-fungsi lainnya dapat dikembangkan secara
efektif. Untuk mengakomodir aspek-aspek tersebut taman nasional dibagi ke
dalam zona-zona.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona taman nasional terdiri dari
(Dephut 2006):
1. Zona inti,
2. Zona rimba, zona perlidungan bahari untuk wilayah perairan.
3. Zona pemanfaatan,
4. Zona lain, antara lain (a) zona tradisional; (b) zona rehabilitasi; (c) zona
religi, budaya dan sejarah; dan (d) zona khusus.
Zona inti (core/sanctuary zone) merupakan bagian kawasan taman nasional
yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh
aktivitas manusia. Zona ini berfungsi sebagai tempat melindungi dan
berkembang biaknya satwa liar, tidak boleh dikunjungi oleh umum, kecuali
dalam rangka penelitian dan tidak boleh ada bangunan apapun.
Untuk menentukan zona inti ditetapkan kriteria zona inti yang mencakup:
a. Bagian dari taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekositemnya.
b. Mempunyai formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.
c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan
tidak atau belum diganggu manusia.
d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami.
e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekositemnya yang
langka atau keberadaannya terancam punah.
Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang
dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Dapat dikembangkan sarana dan
11
prasarana untuk mendukung kegiatan pariwisata alam. Kriteria penetapan zona
pemanfaatan, antara lain:
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekositem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik.
b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
c. Kondisi lingkungan sekitar mendukung upaya pengembangan pariwisata
alam.
Zona rimba adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan
potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona
pemanfaatan. Pada zona rimba dapat dilakukan perlindungan, pengawetan,
pembinaan flora dan fauna beserta habitatnya bagi kepentingan penelitian,
pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang
budidaya serta mendukung zona inti. Kriteria penetapan zona rimba, antara lain:
a. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari
jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi.
b. Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona
inti dan zona pemanfaatan.
c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Zona tradisional bagian taman nasional untuk kepentingan pemanfaatan
tradisonal oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan
dengan sumber daya alam. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional
yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan
pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. Zona religi, budaya dan sejarah
bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan
warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan,
perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Zona khusus bagian dari taman
nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindari telah terdapat kelompok
masyarakat dan atau sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum
wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana
telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
12
2.2. Paradigma Baru Kawasan Konservasi
Menurut Phillips (2003) dalam Phillips (2004) terjadi perubahan paradigma
dalam pengelolaan kawasan konservasi dimana paradigma baru muncul
dikarenakan sering terjadi konflik sehubungan dengan kepemilikan tanah dan
kebijakan ekonomi makro, konflik etnis dan politik, dan ketidakadilan kekuasaan
di berbagai tingkatan. Paradigma baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Paradigma Baru Kawasan Konservasi (Protected Area).
Paradigma Lama: Kawasan dilindung Paradigma Baru: Kawasan dilindung
Didirikan sebagai unit terpisah Direncanakan sebagai bagian dari sistem
nasional, regional dan internasional
Dikelola sebagai "pulau-pulau" Dikelola sebagai elemen jaringan (kawasan
dilindungi, penyangga dan dihubungkan
dengan koridor-koridor hijau.
Dikelola secara reaktif dalam skala
waktu pendek, dengan sedikit pelajaran
dari pengalaman
Dikelola secara adaptif, pada perspektif
waktu yang lama, mengambil keuntungan
dari terus-menerus belajar
Tentang perlindungan aset alam dan
lanskap yang ada - bukan tentang
pemulihan nilai-nilai yang hilang
Tentang perlindungan tetapi juga pemulihan
dan rehabilitasi, sehingga nilai-nilai yang
hilang atau terkikis dapat pulih
Digunakan hanya untuk pengawetan
(tidak untuk pemanfaatan yang produktif)
dan perlindungan bentang alam (bukan
pada fungsi ekositem)
Didirikan untuk pengawetan tapi juga untuk
ilmu pengetahuan, sosial ekonomi (termasuk
perawatan dari pelayanan ekositem) dan
tujuan budaya
Didirikan dengan cara teknokratis Didirikan melalui pertimbangan politik,
membutuhkan sensitivitas, konsultasi dan
pertimbangan yang cerdik
Dikelola oleh para ilmuwan alam dan ahli
sumber daya alam
Dikelola oleh individu multi-skilled,
menerapkan pengetahuan lokal.
Didirikan dan dikelola sebagai sarana
untuk mengontrol kegiatan warga sekitar,
tanpa memperhatikan kebutuhan mereka
dan tanpa keterlibatan mereka.
Didirikan dan dikelola untuk kepentingan
masyarakat setempat; sensitif terhadap
keprihatinan masyarakat setempat (yang
diberdayakan sebagai peserta dalam
pengambilan keputusan)
Dijalankan oleh pemerintah pusat Dijalankan oleh banyak mitra (pemerintah,
masyarakat setempat, kelompok adat, sektor
swasta, LSM dan lain-lain)
Dibiayai oleh wajib pajak Dibiayai dari berbagai sumber dan mandiri
Manfaat pengawetan dianggap jelas Manfaat pengawetan dievaluasi dan dihitung
Manfaat terutama pengunjung dan
wisatawan
Manfaat lebih banyak dirasakan oleh
masyarakat lokal
Dipandang terutama sebagai aset nasional Dilihat sebagai kekayaan masyarakat dan
juga sebagai aset nasional
Sumber: Phillips 2003 dalam Phillips 2004
Perubahan paradigma tersebut terutama pada pengelolaan kawasan, dimana
menurut paradigma lama, masyarakat adat kurang dan hampir tidak diikutsertakan
13
dalam pengelolaan kawasan dan masyarakat tidak memiliki akses dan ruang
dalam pemanfaatan sumber daya alam yang sebelumnya mereka miliki.
Sedangkan pada paradigma baru, pengelolaan kawasan telah berorientasi pada
sinergisitas keterlibatan multi stakeholders dan multi manfaat yang dapat
diperoleh dari suatu kawasan konservasi dengan tetap mempertahankan fungsi
perlindungan terhadap proses-proses ekologi yang esensial dan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanakeragaman hayati (genetik, spesies,
dan ekosistem), dan pemanfaatan secara lestari terhadap sumber daya alam
hayati beserta ekosistemnya.
2.3. Masyarakat Hukum Adat
Menurut ahli hukum adat Ter Haar, masyarakat hukum adat merupakan
masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (teritorial), keturunan (geneologis)
serta wilayah dan keturunan (teritorial-geneologis), dimana terdapat keragaman
bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lain. Selanjutnya secara
internasional, Konvesi ILO 169 tahun 1989 merumuskan masyarakat adat sebagai
masyarakat yang berdiam di negara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial,
kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat
lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian
oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan
khusus (Phillips 2004). Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Daerah Papua disebutkan bahwa Adat adalah kebiasaan
yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat
setempat secara turun-temurun. Masyarakat Adat Papua adalah warga
masyarakat suku asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk
kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya
(RI 2001).
World Parks Conggres IUCN ke 5 tahun 2003 menghasilkan 10 outcome
(IUCN 2003), dimana hak-hak masyarakat adat terdapat pada outcome kelima.
Disebutkan bahwa hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples), termasuk
masyarakat adat berpindah (mobile indigenous peoples) dan masyarakat lokal
14
(local communities) dilindungi dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan
konservasi biodiversitas. Tiga target utama pada outcome kelima, yaitu:
1. Main Target 8 – Semua kawasan dilindungi yang sudah ada dan akan datang
didirikan dan dikelola sepenuhnya sesuai dengan hak-hak masyarakat adat,
termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat lokal sampai dengan
waktu IUCN World Parks Congress berikutnya.
2. Main Target 9 – Pengelolaan dari semua hal yang relevan dengan kawasan
dilindungi melibatkan wakil-wakil yang dipilih oleh masyarakat adat,
termasuk masyarakat adat berpindah dan masyarakat lokal, secara
proporsional terhadap hak-hak dan kepentingan mereka, sampai dengan
waktu IUCN World Parks Congress berikutnya.
3. Main Target 10 – Mekanisme partisipatif untuk restitusi wilayah tradisional
masyarakat adat, yang digabungkan dalam kawasan dilindungi dengan
pemberitahuan diawal dan tanpa paksaan, ditetapkan dan diimplementasikan
sampai dengan waktu IUCN World Parks Congress berikutnya.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 mengatur pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat. Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat hukum
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak (Sekditjen PHKA 2007a) :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Keberadaan masyarakat hukum adat diakui apabila telah memenuhi unsur-
unsur sebagaimana penjelasan Pasal 67 ayat (1) yaitu pertama masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); kedua ada kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ketiga ada wilayah hukum adat yang
jelas; keempat ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati; dan kelima masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Penjelasan pasal
67 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan daerah disusun dengan
15
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat
setempat, dan tokoh masyarkat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta
instansi atau pihak lain yang terkait.
Dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on
Biological Diversity) dalam pasal 8 mengenai konservasi in-situ dalam huruf j
dikatakan;… menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan,
inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat suku asli (masyarakat adat) dan
lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi
dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan
penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik
pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik semacam itu dan mendorong pembagian
keuntungan yang dihasilkan secara adil dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-
inovasi dan praktik-praktik semacam itu. Selanjutnya dalam pasal 15 butir 4
dikatakan; Akses atas sumber daya hayati bila diberikan, harus atas dasar
persetujuan bersama (terutama pemilik atas sumber daya) (RI 2004).
2.4. Penguasaan dan Pengelolan Sumber Daya Alam oleh Masyarakat Adat
Penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat
adat sering dikaitkan dengan kearifan tradisional. Pada perkembangan waktu
kearifan tradisional mulai terkikis mengingat perubahan memiliki sifat dinamis.
Menurut Keraf (2002) ada 5 penyebab kearifan tradisional mengalami erosi di
dunia yaitu: a) terjadi proses desakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu
pengetahuan dan tehnologi modern. Alam yang dianggap oleh masyarakat adat
sebagai hal yang sakral dan menyimpan sejuta misteri yang sulit dijelaskan
dengan akal sehingga masyarakat menghormati dan menjaganya dengan baik.
Tingkat ilmu pengetahuan dan tehnologi alam dianggap sebagai obyek yang dapat
dipilah-pilah dan dianalisis serta dijelaskan secara ilmiah, rasional, secara clara et
distincta, b) Alam telah dinilai ekonomi sangat tinggi tidak lagi bernilai sakral,
dengan nilai ekonomis tersebut, alam dapat dieksploitasi untuk memberikan
manfaat ekonomis, c) Adanya dominasi filsafat dan etika barat yang bersumber
dari Aristoteles dan paradigma ilmu pengetahuan yang carteian yang telah
16
mengubur etika adat, yaitu manusia dianggap sebagai makluk sosial sehingga
etika adat telah dilupakan oleh masyarakat modern, d) hilangnya keanekaragaman
hayati, yang mengakibatkan semakin hilangnya kearifan lokal masyarakat, e)
hilangnya hak-hak masyarakat adat. Dengan demikian nilai yang dianggap sakral
oleh masyarakat adat mulai terkikis oleh 5 hal tersebut dan mengancam
keberadaan masyarakat adat.
Masyarakat adat di wilayah Papua meyakini bahwa manusia dan alam yang
mengisi kekuatan hidup bersama yang berasal dari Sang Pencipta yang berdiam di
alam, dimana roh manusia akhirnya akan beristirahat. Kehidupan dipandang
sebagai kekuatan yang fundamental. Upacara adat yang bersifat khusus pada
umumnya dilakukan untuk memastikan kesinambungan kekuatan, kesuburan dan
kesehatan komunitas. Kekuatan roh dalam adat berasal dari tanah dan
kepemilikan atas tanah memberikan kekuasaan bagi masyarakat hukum adat
untuk memberlakukan adat untuk menjamin kemakmuran masyarakat (Bauw &
Sugiono 2009)
Wilayah adat Malind Anim berada di antara Sungai Bian dengan bidang
dasar segitiga menempati wilayah pesisir sepanjang kurang lebih 30 km di sebelah
timur Merauke, yaitu wilayah dimana pantai berpasir tidak dijumpai lagi menjadi
area berlumpur sehingga area ini tidak dihuni, sampai Selat Muli atau Marianne di
sebelah barat. Batas bagian barat segitiga membentang dari mulut Selat Muli ke
bagian atas mencapai Sungai Bulaka terus ke atas mencapai Sungai Bian. Batas
teritori di bagian ini sama dengan batas hutan hujan dan berliku kearah tenggara
melintasi bagian atas mencapai Sungai Kumbe selanjutnya berbelok ke selatan
dan memanjang ke timur mencapai bagian bawah Sungai Maro. Teritori Malind
sangat jarang dihuni karena pola perjalanan perburuan tradisional, tetapi batas-
batas diketahui dan selalu mengikuti sungai kecil atau jalan setapak di area
dataran atau melintasi hutan (Verschueren 1970 dalam Kosmaryandi 2012).
Masyarakat adat meyakini bahwa manusia merupakan bagian integral dari
alam sehingga alam menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan manusia. Dalam hal ini, antara sumber daya alam dan manusia terdapat
interaksi yang saling mempengaruhi dan demikian halnya di antara komponen
sumber daya alam juga terdapat interaksi yang saling mempengaruhi di antara
17
satu dengan lainnya. Masyarakat adat memiliki pandangan bahwa alam adalah
sebagai sesuatu yang harus dijaga kelestarian dan keseimbangannya. Cara
pandang terhadap kelestarian sumber daya alam tersebut menjadi dasar bagi
tumbuhnya pengetahuan tradisional/lokal (traditional/indigenous knowledge)
yang selanjutnya memunculkan sikap yang berupa kearifan tradisional. Gambaran
cara pandang masyarakat adat terhadap sumber daya alam ini, diantaranya dapat
dilihat dari bagaimana aturan-aturan adat masyarakat Malind Anim (Kosmaryandi
2012).
Masyarakat Malind Anim mempercayai totem yang berhubungan mistik
atau ritual dengan jenis tumbuhan dan binatang tertentu, sehingga dalam
pemanfatan tumbuhan dan satwa tersebut dilakukan sesuai dengan aturan adat
yang berlaku. Menurut WWF Region Sahul Papua (2006) masyarakat adat
Malind Anim memiliki beberapa totem pada marga-marga yang ada di dalamnya,
seperti Marga Gebze memiliki totem waref (kangguru pohon), kayor (burung
cendrawasih), yakop (kakatua putih), gawo (kura-kura leher panjang), kelapa dan
kaloso (ikan arwana), Marga Kaize dengan totem kay (kasuari), yag (burung
cenderawasih), parakulen (kuskus), ake (gambir), mengga (sagu pucuk merah)
dan kees (kayu melaleuca), Marga Mahuze dengan totem da (sagu), nggus
(kepiting besar), Marga Balagaize dengan totem qiu bob (buaya hitam), kidub
(elang laut perut putih), Marga Samkakai dengan totem yano (kangguru dada
putih), mborap (mambruk), kuskus, kura-kura dada putih, Marga Ndiken dengan
totem dohisakir (cenderawasih merah), dohi bopti gau (kura-kura dada merah),
aritil (sagu dahan panjang) dan Marga Basikbasik dengan totem basik (babi), gau
(kura-kura leher pendek), kapiog (kakatua raja), sehingga mereka akan menjaga
kelestarian bumi, tanah, batu, dan semua tumbuhan dan hewan yang bersimbiosis
dengan totem.
Dalam sistem pengolahan lahan (milah/mirav) masyarakat tidak mengenal
jual beli lahan/tanah atau dirusak karena kehidupan manusia sangat tergantung
pada tanah, sehingga jika tanah dirusak, maka manusia akan punah. Milah/mirav
tidak diperjualbelikan walaupun ditempati oleh orang lain/anggota suku lain,
sehingga milah/mirav tersebut tetap menjadi milik suku Malind Anim
(Kosmaryandi 2012). Milah/mirav dikelola dalam pola kepemilikan keluarga
18
(famili) atau boan (marga) ataupun keluarga yang lebih besar anim/ihe/ize (satu
kelompok genealogis teritorial). Boan makan (hak ulayat) diberi identitas dengan
nama-nama tempat, binatang piaraan dan dalam lagu-lagu sakral, sehingga
keberadaanya diketahui oleh setiap Malind Anim yang mengenal adatnya.
Masyarakat adat yang mendiami wilayah TNW adalah bagian dari
masyarakat suku besar Malind Anim, dalam TNW terdapat 4 masyarakat suku
asli yaitu Yeinan, Kanume, Marori Men Gey dan Malind Imbuti. Masyarakat
suku asli di TNW saat ini tersebar di 9 kampung, yaitu kampung Kuler,
Onggaya, Tomer, Tomerau, Kondo, Wasur, Rawa Biru, Yanggandur dan Sota.
Kampung tersebut dibangun pemerintah dengan tujuan untuk memudahkan
proses-proses pembangunan dalam administrasi pemerintahan kampung yang
lebih terintegrasi.
2.5. Konsep Property Rights
Demsetz (1967) menyatakan bahwa fungsi utama hak properti adalah
memandu insentif dalam rangka menyadari internalisasi-eksternalisasi yang lebih
besar. Terkait dengan sumber daya alam, hak properti memainkan peranan dalam
menentukan pola kesamaan dan ketidaksamaan akses, dan juga kreasi insentif
untuk keseluruhan manajemen dan perbaikan yang berkelanjutan. Sebagai
hubungan sosial, properti akan menghubungkan antara orang yang satu dengan
lainnya yang terkait dengan lahan dan sumber daya lainnya. Oleh karena itu,
hubungan properti adalah pengaturan kontrak yang terkonstruksi secara sosial di
antara sekelompok orang yang terkait dengan nilai obyek dan lingkungan mereka
(Bromley 1998).
Perbedaan rezim hak properti akan tergantung pada kondisi kepemilikan,
hak dan kewajiban pemilik, peraturan penggunaan, dan tempat pengawasan.
McCay & Acheson (1987); Bromley (1989); Hanna et al. (1995) dalam Kassa
(2009) mengklasifikasi hak properti dan kewajibannya menjadi empat tipe rezim.
Sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
19
Tabel 2 Tipe Hak Properti dan Kewajiban.
No. Hak Kepemilikan Pemilik Hak Kepemilikan Kewajiban Pemilik
1 Private property perorangan Kepemilikan, perorangan,
pemiliknya dengan mudah
untuk mengakses dan
mengontrol pemanfaatan
sumber daya
Menghindari pemanfaatan
yang tidak dapat diterima
secara sosial
Common property Kelompok Tidak melibatkan mereka
di luar kelompok
Pemeliharaan,
Pemanfaatan sumber daya
terbatas sesuai dengan
batasan-batasan yang ada
3 State property Negara Memanfaatkan sumber
daya sesuai dengan aturan
Pemanfaatan untuk tujuan
sosial
4 Open access
(nonproperty)
Tidak ada
pemiliknya
Diperebutkan Tidak ada
Sumber: McCay & Acheson (1987); Bromley (1989); Hanna et al. (1995) dalam Kassa (2009).
Private property merupakan suatu kebijakan preskriptif untuk memecahkan
masalah yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan di bawah suatu
kondisi yang open access atau common property (Cheung & Demsetz dalam
Pearce & Warford 1990). Private property mewajibkan pemberian nama
kepemilikan individu, jaminan terhadap pemiliknya untuk mengontrol akses dan
hak pemanfaatan sosial yang dapat diterima (Black 1968). Hal ini mengharuskan
pemiliknya untuk menghindari pemanfaatan khusus yang tidak diterima secara
sosial, seperti polusi air sungai.
Common property dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki hak untuk
mengeluarkan mereka yang bukan kelompoknya dan berkewajiban memelihara
penggunaan properti sesuai dengan batasan-batasan yang ada (McCay & Acheson
1987; Stevenson 1991). Rezim seperti ini seringkali diimplementasikan untuk
sumber daya publik yang sulit untuk dibagi (Ostrom 1990).
State property dimiliki oleh negara dalam unit politik yang memberikan
kewenangan kepada agen publik untuk membuat aturan (Black 1968). Agen
publik tersebut memiliki kewajiban untuk memastikan kalau aturan-aturan yang
dibuat mempromosikan tujuan-tujuan sosial. Negara memiliki hak untuk
memanfaatkan sumber daya sesuai dengan aturan.
Open access tidak ada pemiliknya dan terbuka untuk umum. Dinamika dari
open access merupakan dasar dari apa yang disebut “tragedy of the commons”. Di
20
bawah rezim open access, pengambil manfaat tidak memiliki kawajiban untuk
memelihara sumber daya atau membatasi penggunaannya. Penting untuk
diketahui bahwa keempat sistem ini tidak berlawanan satu dengan lainnya
melainkan merupakan sebuah kombinasi sepanjang spektrum dari open access
hingga kepemilikan perorangan (Hanna et al. 1995).
Apabila institusi pemerintah dan masyarakat lokal terlibat maka hal ini
merupakan kombinasi state property dan private property, sehingga dalam
perencanaannya harus memasukkan otoritas pembuat keputusan. Suatu sistem
akan berfungsi dengan baik bila peraturan yang ditetapkan konsisten dengan
kepemilikan misalnya ketika sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat dikelola
melalui pengaturan common property. Tidak peduli apapun jenis sistem properti,
keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan tentang kondisi lokal dan
akomodasi pengetahuan lokal merupakan suatu sistem yang paling sesuai untuk
diadaptasi (Tietenberg 1988). Mekanisme yang sesuai untuk mengatasi konflik
harus tersedia. Hal lain yang dibutuhkan adalah sistem monitoring dan
pelaksanaan yang tepat untuk penegakan hukum yang sesuai dengan tingkat
pelanggaran untuk melindungi hak klaim (Ostrom 1990).
2.6. Interaksi Sosial
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa interaksi merupakan
hal saling melakukan aksi; berhubungan; mempengaruhi; antar hubungan
(Depdikbud 1996). Sedangkan Menurut Koentjaraningrat (1985) interaksi
adalah suatu proses timbal balik antara organisme, individu dengan individu
lainnya atau antara populasi dengan populasi yang lain. Di satu pihak
memberikan aksi dan di pihak lain memberikan reaksinya. Pada dasarnya proses
ini terjadi karena adanya kebutuhan.
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antara orang
perseorangan dan orang perseorangan, antara perseorangan dan kelompok dan
antara kelompok dan kelompok (Depdikbud 1996). Soekanto (2005) mengutip
defenisi Gillin dan Gillin, menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan
hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara
kelompok, maupun antara individu dengan kelompok.
21
Soekanto (2005) menyatakan bahwa interaksi sosial tidak akan mungkin
terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.
Kontak merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna
bagi pelakunya dan kemudian ditangkap oleh invidu atau kelompok lain. Makna
yang diterima direspon untuk memberikan reaksi. Kontak dapat terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui gerak dari fisikal
organisme, misalnya melalui pembicaraan, gerak dan isyarat. Sedangkan kontak
tidak langsung adalah lewat tulisan atau bentuk-bentuk komunikasi jarak jauh
seperti telepon, chatting, dan sebagainya. Setelah terjadi kontak langsung muncul
komunikasi. Terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi, oleh karena
komunikasi itu timbul apabila seorang individu memberikan tafsiran pada
perilaku orang lain. Dalam tafsiran itu seseorang lalu mewujudkan perilaku
dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin
disampaikan oleh orang lain.
Dalam kehidupan bersama setiap individu dengan individu lainnya harus
mengadakan komunikasi. Komunikasi merupakan alat utama bagi sesama
individu untuk saling kenal dan bekerja sama serta mengadakan kontak fisik dan
non fisik secara langsung maupun tidak langsung.
2.6.1. Interaksi Sosial Ekonomi
Damsar (2011) interaksi ekonomi merupakan hubungan antara produksi,
distribusi dan transaksi, yang dalam sosiologi disebut sebagai teori pertukaran.
Sosiologi ekonomi didefinisikan dengan 2 cara. Pertama, sosiologi ekonomi
didefinisikan sebagai sebuah kajian yang mempelajari hubungan antara
masyarakat yang didalamnya terjadi interaksi sosial dengan ekonomi, hal ini
dilihat bagaimana masyarakat mempengaruhi ekonomi dan sebaliknya bagaimana
ekonomi mempengaruhi masyarakat; kedua, sosiologi ekonomi didefinisikan
sebagai pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena ekonomi .
Randall (1987) dalam Kassa (2009) menyatakan bahwa ekonomi sebagai
suatu sistem organisasional merupakan sistem yang mengorganisasikan produksi
barang dan jasa serta pendistribusiannya. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari
keterkaitannya dengan sistem alam (atmosfir, geosfir, hidrosfer dan biosfer) dan
22
sistem sosial yaitu sistem aturan, adat istiadat, tradisi dan jaringan komunikasi
yang memberikan pedoman atau kendala serta saluran interaksi antar manusia.
2.6.2. Interaksi Sosial Budaya
Koentjaraningrat (1985) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
kehidupan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut maka interaksi
budaya merupakan interaksi yang berhubungan dengan tingkah-laku manusia,
baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah laku bukan
hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada
dalam pikiran mereka.
Soekanto (2005) tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural
universals, yaitu :
1) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata alat-alat produksi, transpor dan sebagainya) ;
2) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya);
3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem
hukum, sistem perkawinan);
4) Bahasa (lisan maupun tertulis);
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya);
6) Sistem pengetahuan;
7) Religi (sistem kepercayaan).
Menurut Suparlan P 1994 dalam Djoht (2002) struktur kebudayaan Papua
bersifat longgar. Orang Papua merupakan improvisator kebudayaan yaitu
mengambil alih unsur-unsur kebudayaan dan menyatukannya dengan
kebudayaan sendiri tanpa memikirkan untuk mengitegrasikannya dengan
unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya secara menyeluruh.
Kebudayaan Papua juga terbentuk atas interaksi antara masyarakat Papua dan
masyarakat pendatang.
23
2.6.3. Interaksi Sosial Ekologi
Ekologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos
yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup
maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya
Interaksi antara masyarakat dan kawasan dibutuhkan agar masyarakat
mengetahui dan merasakan secara langsung manfaat dari kawasan. Salah satu
yang menjadi penyebab kesadaran masyarakat yang rendah terhadap perlindungan
kawasan konservasi adalah keterbatasan pengetahuan mengenai berbagai manfaat
jangka panjang kawasan dan sumber dayanya (Wiratno et al. 2004). Interaksi
manusia dengan lingkungan alamnya termasuk kawasan hutan dapat dikaji
berdasarkan persepsi dari masyarakat tersebut yang ditunjukan melalui perilaku
dan tindakan dalam pemanfaatan kawasan hutan sesuai dengan daya dukungnya.
Semakin intensif suatu masyarakat memanfaatkan kawasan hutan tersebut maka
interaksinya semakin tinggi (Kamakaula 2004).
Bentuk interaksi antara masyarakat dengan sumber daya alam dapat
dikatakan sama untuk setiap kawasan yaitu pemanfaatan terhadap sumber daya
berupa buah-buahan, satwa, kayu bakar, tanaman obat dan lain-lain. Interaksi
ini terjadi karena adanya faktor kebutuhan manusia untuk pemenuhan kebutuhan
dasar dari manusia atau masyarakat tersebut.
Knowies & Wareing (1976) dalam Kamakaula (2004) menyatakan bahwa
manusia selain berinteraksi dengan lingkungannya, juga menjadikan lingkungan
sebagai sumber aspirasinya. Dengan demikian jika manusia menempati suatu
tempat dalam jangka waktu yang lama, maka akan menjadi bagian/komponen dari
ekosistem yang sama. Perubahan yang dilakukannya pada lingkungan alam juga
akan mengubah ekosistemnya.
24
25
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TNW Kabupaten Merauke Provinsi Papua
(Lampiran 1). Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan, diawali
dengan pembuatan proposal pada bulan Maret 2012. Pengambilan data
dilaksanakan pada bulan April-Mei 2012.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis menulis, alat
perekam, kamera. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah daftar pertanyaan
(panduan wawancara).
3.3. Metode Pengumpulan Data
Menurut Singarimbun & Effendi (1989) untuk dapat memperoleh data
sesuai dengan kebutuhan maka dirancang suatu metode dengan menggunakan
daftar pertanyaan. Secara rinci proses pengambilan data dilaksanakan sebagai
berikut :
1. Studi Pustaka (dokumentasi) merupakan kegiatan yang dilakukan di
dalam pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan situasi dan kondisi
subyek penelitian yang bersumber dari instansi-instansi terkait serta data
penunjang lainnya. Jenis dan sumber data sekunder disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Jenis dan Sumber Data Sekunder yang Diperlukan Dalam Penelitian
No Jenis Data Sumber Data
1
2
2
3
4
Data Kependudukan
Sejarah Kawasan
Peta
Kondisi Sosek, sosbud, ekologi
Data Penunjang Lainnya
BPS, Kecamatan, Kepala Desa.
BTNW
BTNW
BTNW, Kecamatan
Instansi yang terkait/LSM
2. Pengamatan langsung (observasi): merupakan kegiatan pengamatan,
pencatatan dan pengukuran langsung di lokasi penelitian, bertujuan untuk
26
melihat, merasakan dan memaknai interaksi sosial ekonomi, sosial budaya
dan sosial ekologi masyarakat suku asli yang ada di TNW.
3. Wawancara mendalam untuk memperoleh data primer, yang dilakukan
kepada Informan yang terdiri dari Kepala Suku, Ketua-ketua Marga dan
tokoh penduduk pendatang.
Peubah yang diambil dari informan adalah:
a. Interaksi Sosial Ekonomi
- Aktivitas produksi pemanfaatan sumber daya alam dalam kawasan
terdiri dari sarana produksi, tenaga kerja, adopsi dan inovasi, modal
finansial dan interaksi pemanfaatan penggunaan lahan dan air.
- Aktivitas konsumsi terdiri dari barang pabrik, hasil kebun
masyarakat, hasil hutan kayu (HHK) dan hasil hutan bukan kayu
(HHBK).
- Aktivitas distribusi terdiri dari jual beli dan barter barang.
b. Interaksi Sosial Budaya
- Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi dan sebagainya);
- Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan dan perkawinan);
- Bahasa (lisan maupun tertulis);
- Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya);
- Hukum adat;
- Religi (sistem kepercayaan).
- Agama
c. Interaksi Sosial Ekologi
- Aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk menjaga
keseimbang alam.
- Benda yang menjadi simbol kelompok.
- Tempat-tempat sakral
d. Sejarah Suku-Suku di TNW
e. Aturan Aturan Adat yang mengatur kehidupan masyarakat
f. Pemanfaatan Sumber daya hutan oleh masyarakat adat
g. Identifikasi bentuk pengelolaan secara adat/tradisional masyarakat lokal
27
3.4. Metode Penentuan Informan
Informan yang diambil sebanyak 79 orang, terdiri dari Kepala Suku
dari 4 suku yaitu suku Kanume, Marori Men Gey, Yeinan dan suku Malind
Imbuti, ketua marga dari masing-masing suku, tokoh masyarakat pendatang
dari Jawa, Sulawesi, dan Maluku yang tinggal di 10 kampung di TNW dan
Kepala Balai TNW. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner
(interview) yang bertujuan untuk mendapatkan informasi secara lengkap dan
detail berkaitan dengan interaksi sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi.
Wawancara juga dilakukan terhadap informan secara mendalam
(indepth interview) yang bertujuan untuk mendapatkan informasi secara lengkap
dan detail yang dilakukan secara reflexive mengenai hidupnya, pengalamannya
mengenai interaksi sosial ekologi, sosial budaya dan sosial ekologi sebagaimana
ia ungkapkan dalam bahasanya sendiri agar memperoleh pemahaman tentang
realitas kehidupan masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola hutan yang
berhubungan dengan kearifan lokal serta pemahaman tentang pandangan subyek
peneliti atau pihak-pihak terkait.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Analisis Kualitatif
Data kualitatif merupakan serangkaian data yang dikumpulkan melalui
observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman dan biasanya diproses
sebelum siap digunakan melalui pencatatan, pengetikan, penyutingan. Analisis
kualitatif menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang
diperluas.
Menurut Miles & Huberman (1992) terdapat tiga teknik analisis data
kualitatif, yaitu:
1. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang didapatkan dari catatan harian
yang dikumpulkan selama proses penelitian. Proses ini akan berlangsung terus
menerus meliputi kegiatan: (a) meringkas atau menyunting data untuk
melihat kelengkapan dan keabsahan data; (b) menelusuri tema dan
menganalisis yang berkaitan dengan interaksi sosial, ekonomi dan budaya
28
antar suku serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan (c) membuat
gugus–gugus dan menyusun data berdasarkan urutan kejadian; dan (d)
menulis catatan harian berupa matriks yang berisi: kategori fakta, metodologi dan
teori yang diperoleh dari temuan di lapangan.
2. Penyajian data, adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajiannya berupa bentuk matriks dan bagan yang menggabungkan
informasi dalam suatu bentuk yang padu sehingga memudahkan melihat
fenomena yang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang
benar ataukah terus melangkah melakukan analisis.
3. Kesimpulan, adalah proses menemukan makna data, bertujuan memahami
tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Kesimpulan
mencakup verifikasi atas kesimpulan dengan menghubungkan semua kejadian
sosial, ekonomi dan budaya yang ditemukan di lapangan. Kesimpulan yang
sifatnya sementara ini kemudian didiskusikan dengan subyek, informan dan
pembimbing tesis. Apabila kesimpulan peneliti sesuai dengan interpretasi
pihak–pihak terkait, maka temuan tersebut akan menjadi kesimpulan
penelitian. Namun, jika kesimpulan peneliti belum menunjukkan
kesesuaian dengan interpretasi mereka, maka peneliti akan terus mencari data
dan merumuskan kesimpulan kembali.
3.5.2. Analisis Trianggulasi
Denzin (1978) dalam Moleong (2010) membedakan empat macam
trianggulasi: memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.
Analisis trianggulasi dilakukan melalui langkah-langkah: 1) Membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2) Membandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; 3)
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4) Membandingkan keadaan dan
perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat; 5)
Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang terkait.
Secara keseluruhan dan ringkas, metode penelitian yang digunakan
disajikan dalam tabel 4.
29
Tabel 4 Ringkasan Metode Penelitian
Tahapan dan Tujuan Penelitian
Jenis
Data/Informasi
yang dibutuhkan
Sumber Data/
Informasi
Teknik
Pengum-
pulan Data
Teknik
Analisis
Data
Output yang Diharapkan
Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat suku asli dengan masyarakat
pendatang di dalam TNW yang meliputi
jumlah dan sebaran penduduk (sex ratio,
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan matapencaharian).
Data Kependudukan 4
suku asli dan
Masyarakat Pendatang
Primer: Kepala
Suku, Ka. BTNW,
BPS, Ka. Kampung.
observasi dan
studi literatur
Kualitatif Kondisi sosial ekonomi
masyarakat suku asli dengan
masyarakat pendatang di
dalam TNW.
Mengidentifikasi aturan-aturan informal
dan kearifan lokal.
Aturan-Aturan Informal
dan Kearifan lokal.
Primer: Ka. Suku,
Ketua Marga
penduduk asli, Kepala
BTNW.
Observasi,
indepth
interview,
studi literatur
kualitatif
Aturan-aturan informal yang
merupakan kearifan lokal.
Mengidentifikasi situasi interaksi sosial
ekonomi, sosial budaya, serta ekologi suku
asli dan masyarakat pendatang serta serta
dampaknya pada tatanan, nilai-nilai
kehidupan masyarakat suku asli maupun
masyarakat pendatang.
Interaksi sosial
ekonomi, sosial
budaya, sosial ekologi
Primer: Ketua Marga
penduduk asli dan
masyarakat pendatang.
observasi dan
indepth
interview
kualitatif Interaksi antar suku dalam
pemanfaatan sumber daya alam
di TNW serta dampak pada
tatanan, nilai-nilai kehidupan
masyarakat suku asli maupun
masyarakat pendatang.
Merumuskan konsep pengelolaan TNW
berdasarkan pertimbangan situasi interaksi
masyarakat suku asli dan masyarakat
pendatang.
Sintesis data dan
informasi perubahan-
perubahan yang terjadi
serta implikasinya
Data Primer
Data Sekunder
Observasi,
indepth
interview,
studi literatur
kualitatif
dan
trianggulasi
Rumusan konsep pengelolaan
TNW berdasarkan
pertimbangan situasi interaksi
masyarakat.
30
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
4.1.1. Sejarah Kependudukan
Kampung-kampung yang ada di TNW berada dalam empat wilayah
administrasi distrik, yaitu kampung Wasur berada pada Distrik Merauke,
kampung Kuler, Onggaya, Tomer, Tomerau dan Kondo berada pada Distrik
Naukenjerai, kampung Rawa Biru, Yanggandur dan Sota berada pada Distrik
Sota dan kampung Poo berada pada Distrik Jagebob (Tabel 5). Kampung-
kampung tersebut mulai dibangun pada masa kolonial pemerintah Belanda
dan sebagian dibangun pada masa pemerintahan Indonesia.
Tabel 5 Penyebaran Masyarakat Suku Asli dan Masyarakat Pendatang pada
Kampung di TNW yang dibangun oleh Pemerintah di Kampung
Wilayah Adat Masyarakat Suku Asli
Suku Kuler Onggaya Tomer Tomerau Kondo Rawa
Biru Yanggandur Sota Poo Wasur
Total
Kampung
Malind Imbuti √* √ √ – √* – – – – – 4
Kanume √* √* √* √ √* √* √* – – 7
Marori Men Gey – – – – – – – – – √* 1
Yeinan – – – – – – – – √* – 1
Jawa √ √ √ √ √ √ √ √ √ 9
Sulawesi √ √ √ √ – – √ √ – √ 7
Maluku √ √ √ √ – – – √ √ √ 7
Total 4 5 5 4 2 2 3 4 2 4 36
Keterangan: √* = Wilayah adat Masyarakat Suku Asli
Tabel 5 menunjukkan penyebaran masyarakat suku asli dan masyarakat
pendatang di dalam kawasan TNW. Suku Malind Imbuti mendiami 2
kampung yang merupakan wilayah adat dari suku Malind Imbuti dan 2
kampung yang merupakan wilayah adat suku Kanume yaitu Kampung
Onggaya dan Tomer. Penyebaran suku Malind pada Kampung Onggaya
disebabkan karena ikatan perkawinan dengan masyarakat suku Kanume
sedangkan keberadaan suku malind Imbuti pada kampung Tomer disebabkan
adanya penempatan oleh pemerintah sekitar tahun 2005/2006, yang
sebelumnya mereka tinggal di Papua New Guinea.
Suku Kanume merupakan suku yang mempunyai wilayah adat terluas di
TNW yang menyebar pada 6 kampung dan 1 kampung yang merupakan
32
wilayah tanah adat suku Malind Imbuti yaitu Kampung Kondo. Kepemilikan
hak tanah adat di dalam kawasan TNW ini 75 % merupakan hak tanah adat suku
Kanume, 10 % suku Yeinan dan sisanya merupakan hak tanah adat suku Marori
Men Gey dan Malind Imbuti (BTNW 1999). Masyarakat suku Kanume yang
tinggal di Kampung Kondo merupakan masyarakat yang dulunya mendiami
kampung lama yaitu kampung Korkari yang merupakan tanah adat suku
Kanume, pada tahun 1972 pemerintah membangun perumahan di kampung
Kondo untuk suku Kanume dan suku Malind Imbuti sebagai pemilik tanah
adat.
Suku Marori Men Gey merupakan gabungan dari suku Marori dan Men
Gey yang disebut dengan Manggatanim, suku tersebut menetap di kampung
Wasur yang merupakan tanah adatnya. Suku Marori Men Gey telah berpindah-
pindah dari beberapa kampung tradisional yang kemudian menetap di kampung
Wasur (Wosul).
Suku Yeinan mendiami kampung Poo yang berada di luar kawasan
TNW, tetapi wilayah adat suku Yeinan berada dalam kawasan TNW.
Kampung Poo merupakan salah satu pemukiman yang dibangun oleh misionaris
pada tahun 1930 yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah Indonesia. Mereka
dulunya tinggal di kampung-kampung lama yang berada di dalam TNW,
terpisah-pisah pada tanah kepemilikan marga masing-masing dan sulit
dijangkau. Untuk mempermudah pemberian bantuan dan pengorganisasian
pemerintahan maka dilakukan dipindahkan keluar dari TNW. Selain tinggal di
Kampung Poo suku Yeinan juga mendiami wilayah di luar kawasan TNW
seperti kampung Toray dan Erambu.
Masyarakat pendatang yang tinggal di kampung-kampung dalam TNW
adalah masyarakat dari Jawa, Sulawesi, Maluku. Masyarakat pendatang dari
Jawa menetap di 9 kampung dan memiliki penyebaran terbanyak di TNW.
Masyarakat jawa yang tinggal di Sota merupakan masyarakat transmigrasi
yang didatangkan pemerintah sejak tahun 1996.
Masyarakat pendatang dari Sulawesi menetap dan tinggal di 7 kampung,
mereka sebelumnya tinggal di dalam TNW dengan alasan untuk mencari
rejeki dan mengikuti keluarga yang terlebih dahulu tinggal di dalam TNW.
33
Masyarakat pendatang dari Maluku menyebar di 7 kampung dan terjadi
perkawinan dengan masyarakat suku asli.
4.1.2. Jumlah dan Sebaran Penduduk
Penduduk yang bermukim di dalam kawasan TNW sebanyak 4.339 jiwa
yang terdiri dari masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang. Secara rinci
tersaji dalam Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah Penduduk Masyarakat Suku Asli dan Masyarakat Pendatang
di TNW Berdasarkan Kampung
No. Kampung
Masyarakat Suku Asli Masyarakat
Pendatang
Jumlah Total Penduduk
Malind
Imbuti Kanume
Marori Men Gey Yeinan
Jumlah Jiwa % KK
1. Kuler 260 0 0 0 260 243 503 11.59 103
2. Onggaya 131 59 0 0 190 111 301 6.94 70
3. Tomer 83 124 0 0 207 253 460 10.60 97
4. Tomerau 0 280 0 0 280 22 302 6.96 60
5. Kondo 166 90 0 0 256 8 264 6.08 47
6. Rawa Biru 0 219 0 0 219 6 225 5.19 47
7. Yanggandur 0 338 0 0 338 19 357 8.28 71
8. Sota* 0 585 0 0 585 675 1.260 29.04 285
9. Poo** 0 0 0 430 430 8 438 10.09 86
10. Wasur 0 0 221 0 221 8 229 5.28 95
Jumlah 640 1.695 221 430 2.986 1.353 4.339 100,00 640
Persen (%) 14,75 39,06 5,09 9,91 68,82 31,18 100.00
Keterangan: * = Kampung enclave (BTNW 2011)
** = Kampung di luar TNW
Sumber: BPS Kabupaten Merauke 2010 (data diolah)
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk terbanyak berada
di kampung Sota Distrik Sota mencapai 1260 jiwa dan sebanyak 675 jiwa
merupakan masyarakat pendatang. Kampung ini merupakan ibu kota Distrik
Sota dan merupakan daerah penempatan transmigrasi tahun 1996 yang
berasal dari Jawa.
Persentase jumlah penduduk di TNW masih didominasi oleh penduduk
masyarakat suku asli sebanyak 68,82%. Penduduk asli di 10 kampung
tersebut sebagian besar berasal dari suku Kanume (39,06%), hal ini
disebabkan suku Kanume memiliki wilayah adat terbesar sehingga menyebar
pada 7 kampung di TNW.
34
Tabel 7 Sebaran Jumlah Penduduk di TNW Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Sex Ratio
No. Kampung Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
1. Kuler 261 242 503 1 : 0,93
2. Onggaya 156 145 301 1 : 0,93
3. Tomer 247 213 460 1 : 0,86
4. Tomerau 156 146 302 1 : 0,94
5. Kondo 132 132 264 1 : 1,00
6. Rawa Biru 110 115 225 1 : 1,05
7. Yanggandur 198 159 357 1 : 0,80
8. Sota 693 567 1.260 1 : 0,82
9. Poo 225 213 438 1 : 0,95
10. Wasur 118 111 229 1 : 0,94
2.296 2.043 4.339 10 : 9,21
Persen (%) 52,92 47,08 100 1 : 0,92
Sumber: BPS Kabupaten Merauke 2010
Tabel 7 menunjukkan bahwa sex rasio penduduk berjenis kelamin laki-
laki terhadap perempuan di TNW adalah 1 : 0,92, ini berarti jumlah laki-laki
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Komposisi penduduk menurut
jenis kelamin penting artinya untuk melihat keseimbangan antara jumlah
penduduk laki-laki dan perempuan, dimana ketidakseimbangan antara jumlah
penduduk laki-laki dan perempuan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi
rumah tangga dan keberlangsungan reproduksi.
Tabel 8 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok umur di TNW Tahun 2010.
Umur Jumlah Penduduk (Jiwa) Persen (%)
0 – 4 714 16,45
5 – 9 643 14,81
10 – 14 570 13,13
15 – 19 523 12,06
20 – 24 466 10,74
25 – 29 431 9,94
30 – 34 362 8,34
35 - 39 282 6,51
40 – 44 267 6,15
45 – 49 237 5,47
50 – 54 152 3,51
>55 256 5,91
Jumlah 4.339 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Merauke 2010 (data diolah)
35
Rendahnya jumlah penduduk yang berusia lanjut juga menunjukkan usia
harapan hidup masyarakat sangat rendah. Hal ini disebabkan karena pelayanan
kesehatan di kampung-kampung masih sangat rendah akibat kurangnya tenaga
medis. Dari data dalam tabel 8 diatas dapat diketahui angka beban tanggungan
keluarga dengan menggunakan rumus Dependency Ratio (DR) sebagai berikut :
DR = P.0-14+P.55
P.15-54 x 100
DR = 1927+256
2720 x 100 = 80
Keterangan: P.0 – 14 + P.55 = jumlah penduduk usia tidak produktif P.16 – 54 = jumlah penduduk usia produktif
Angka 80 menunjukkan bahwa dalam 100 jumlah penduduk usia produktif
akan menanggung 80 penduduk usia tidak produktif atau 1 orang usia produktif
menanggung 8 orang usia tidak produktif. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
beban ekonomi masyarakat di TNW yang ditanggung berat.
4.1.3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk yang bermukim di kampung-kampung
pada wilayah TNW masih rendah. Sebagian besar berada pada tingkat sekolah
dasar. Keterbatasan sarana prasarana pendidikan pada jenjang yang lebih
tinggi dan aksesibilitas menuju lokasi tersedianya sekolah lanjutan merupakan
beberapa kendala yang umum terjadi di kawasan TNW. Jarak sekolah dan
tempat tinggal ditambah minimnya sarana dan prasarana transportasi sering
menjadi alasan mengakses pendidikan. Sekolah Dasar saat ini hampir telah
tersedia di seluruh desa yang ada, tetapi SLTP dan SLTA terfokus di ibu kota
distrik (tersedia 5 sekolah lanjutan yang berada di dalam kawasan TNW).
Tingkat pendidikan masyarakat suku asli di dalam TNW juga dipengaruhi oleh
kebiasaan masyarakat yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarga dalam
kegiatan meramu (berburu dan berkebun), sehingga anak-anak tidak dapat
bersekolah dengan baik.
36
Tabel 9 Jumlah Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas Dirinci Menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
No. Kampung Pendidikan 1 2 3 4 5 6 7 8
1. Kuler 117 128 79 32 2 2 2 -
2. Onggaya 59 94 52 20 8 3 5 -
3. Tomer 96 79 71 49 13 3 4 -
4. Tomerau 70 99 20 4 - 1 1 -
5. Kondo 73 102 13 5 - 2 - -
6. Rawa Biru 97 56 2 5 - - - -
7. Yanggandur 90 150 10 7 - - - -
8. Sota 267 366 244 99 50 13 20 -
9. Poo 89 168 47 28 0 5 0 -
10. Wasur 79 119 62 28 11 2 1 -
Total 1037 1361 600 277 84 31 33 0
Persen (%) 30,29 39,76 17,53 8,09 2,45 0,90 0,96 0
Sumber: BPS Kabupaten Merauke 2010 Keterangan: 1) Tidak/belum tamat SD, 2) Tamat SD/MI/Sederajat, 3) Tamat
SLTP/MTs/Sederajat, 4) Tamat SLTA/MA/Sederajat, 5) Tamat SM Kejuruan, 6) Tamat Dip. I/II/III/Akademi, 7) Tamat S-1, 8) Tamat S-2
Komposisi tingkat pendidikan masyarakat di dalam kawasan yang mencapai
70,05% untuk penduduk yang tidak/belum serta tamat SD sangat tidak berimbang
dengan jenjang pendidikan lanjutan lainnya. Jika tingkat pendidikan penduduk
dikaitkan dengan program wajib belajar 9 tahun, maka total penduduk yang
berhasil menamatkan pendidikan sampai jenjang SLTP hanya 17,53%. Menurut
Soerjani et al. (1987) tingkat pendidikan sangat menentukan sebagai alat
penyampaian informasi kepada orang tentang perubahan dan merangsang
penerimaan-penerimaan gagasan baru. Semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin banyak pengetahuan maka semakin kritis suatu masyarakat.
Pendidikan masyarakat pendatang yang tinggal di TNW memiliki
pendidikan yang cukup, yaitu ada yang mencapai pendidikan Strata 1 (S-1).
Masyarakat pendatang lebih visioner dibandingkan dengan masyarakat suku asli
dalam pendidikan, sehingga pendidikan merupakan keharusan bagi anak-anak
mereka.
4.1.4. Matapencaharian
Mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani peramu, dimana
masyarakat suku asli masih menggantungkan hidupnya dari berburu, berladang
berpindah. Masyarakat pendatang melakukan kegiatan pertanian secara menetap
dan berdagang. Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pedagang
merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Maluku,
dalam kegiatan berdagang mereka menggunakan modal sendiri tanpa ada
37
pinjaman modal dari luar hal ini menunjukkan bahwa mereka merasa bahwa
masyarakat suku asli membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk membeli
barang-barang kebutuhan mereka berupa kopi, gula, pinang, sirih, rokok dan
beras. Mata pencaharian masyarakat di tiap kampung di TNW disajikan pada
tabel 10.
Tabel 10 Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha di Setiap Kampung
No. Kampung Lapangan Usaha
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Kuler 208 - - - 5 6 - - 11
2. Onggaya 100 - - - 5 - - - 16
3. Tomer 210 - - - 7 4 - - 18
4. Tomerau 138 - - - 3 3 - - 5
5. Kondo 136 - - - - 4 - - 7
6. Rawa Biru 135 - - - - - - - 9
7. Yanggandur 200 - - - 3 5 - - 13
8. Sota 606 1 3 1 12 80 16 - 114
9. Poo 207 - - - - - - - 17
10. Wasur 122 - - - 4 10 2 0 0
Jumlah 2062 1 3 1 39 112 18 0 210
Persen (%) 84,61 0,04 0,12 0,04 1,60 4,59 0,74 0 8,25
Sumber: BPS Kabupaten Merauke 2010
Keterangan: 1: Pertanian (peladang berpindah, berburu dan meramu, petani menetap), 2:
Pertambangan, 3: Industri, 4: Listrik dan Air bersih, 5: Bangunan,
6:Perdagangan, Restoran dan hotel, 7: Pengangkutan dan komunikasi, 8:
Keuangan, Persewaan, 9: Jasa
4.2. Aturan-Aturan Informal dan Kearifan Lokal Masyarakat Suku Asli
4.2.1. Marga dan Sub Marga Pada Masyarakat Suku Asli
Taman Nasional Wasur didiami oleh masyarakat Malind Anim yang terdiri
dari 4 suku yaitu suku Malind Imbuti, Kanume, Marori Men Gey dan Suku
Yeinan dengan marga dan sub marga masing-masing. Masyarakat suku asli
memiliki aturan-aturan informal dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber
daya alam. Keraf (2006) menyebutkan kearifan tradisional adalah milik
komunitas yang menyangkut pengetahuan manusia, alam dan relasi dalam alam,
karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional
dengan tidak direkayasa akan menjadi universal pada diri mereka sendiri.
Kondisi demikian terlihat pada banyaknya marga, sub marga yang berasal dari
empat suku tersebut. Secara rinci marga dan sub marga pada empat suku di TN
Wasur tersaji dalam Tabel 11.
38
Tabel 11 Marga dan Sub Marga Pada 4 Suku di TNW.
NO. Suku Malind Imbuti Suku Kanume Suku Marori Men Gey Suku Yeinan 1. Marga Ndiken:
- Sub Marga Pa Ndik
- Sub Marga Kana Ndik
Marga Ndimar:
-Sub Marga Maningge (Onggaya),
-Sub Marga Semerki (Yanggandur),
-Sub Marga Ndermbe (Rawa Biru),
-Sub Marga Nggitua (Sota),
-Sub Marga Koe (Sota)
Marga Ndiken:
-Sub Marga Kanal (Phi)
-Sub Marga Induk(Ndik)
Marga Yanggib: -Sub Marga Gagujal
-Sub Marga Gawaljal -Sub Marga Yoreljal,
-Sub Marga Webtu
-Sub Marga Jelobar Webtu -Sub Marga Kelibak Webtu
-Sub Marga Dambujal
–Sub Marga Kabarjal -Sub Marga Marpijal
-Sub Marga Kosnan
2. Marga Kaize:
-Sub Marga Dawi Rik
-Sub Marga Honi Rik
-Sub Marga Ndaro Rik
Marga Mbanggu
-Sub Marga Kaiber Barkall
-Sub Marga Nkutar,
-Sub Marga Almaki
Marga Kaize
Marga Kabronain: -Sub Marga Kupeljal
-Sub Marga Kwerkejal -Sub Marga Tabaljal
-Sub Marga Wonjal
-Sub Marga Blojal -Sub Marga Keijal
-Sub Marga Dagijai
-Sub Marga Takuter -Sub Marga Bakujal
-Sub Marga Jeguljal
-Sub Marga Ipijal -Sub Marga Tangkajal
3. Marga Samkakai
-Sub Marga Yano
Marga Ndipkuan: -Sub Marga Nupkuan Manggu
-Sub Marga Mayua Nggerbil
-Sub Marga Ngguntar Nggerbu -Sub Marga Bedi Nggerbu)
Marga Samkakai
Marga Kaorkenan: -Sub Marga Mahujel
-Sub Marga Mago
-Sub Marga Galjel -Sub Marga Kwemoy
-Sub Marga Talijei
-Sub Marga Belmijai -Sub Marga Kabujai
-Sub Marga Gemter
-Sub Marga Murnan -Sub Marga Bajei
-Sub Marga Waliter
-Sub Marga Yebze -Sub Marga Wanjei
-Sub Marga Samalajai
-Sub Marga Coulgeljai -Sub Marga Kecanter
4. Marga Gebze:
-Sub Marga Gebze Moyurek
-Sub Marga Gebze Megaize -Sub Marga Gebze Awaba
-Sub Marga Gebze Honggrek
-Sub Marga Gebze Dayurek
-Sub Marga Gebze Warinaurek
-Sub Marga Gebze Kutamze
Marga Gebze: -Sub Marga Megatze
(Pisang Mbiti)
-Sub Marga Mayolik(Kelapa), -Sub Marga Walinaulik
(Pisang)
-Sub Marga wabalik(Kelapa) -Sub Marga Dayolik(Kelapa)
Marga Yemunan: -Sub Marga Winenjai Darat
-Sub Marga Winenjai Rawa
-Sub Marga Kwarjai -Sub Marga Dagaljai
-Sub Marga Yoakjai, Kwipalo
5. Marga Basik Basik:
-Sub Marga Sapize
-Sub Marga Nazrarik
-Sub Marga Burraptangger
-Sub Marga Werappare
Basik Basik
(Wilulek, Sapise)
6. Marga Balagaize:
-Sub Marga Balagaize Yolmen
-Sub Marga Balagaize Sah
-Sub Marga Balagaize Kahol
Balagaize
7. Marga Mahuze:
-Sub Marga Wggulurze
-Sub Marga Okabuli
-Sub Marga Zohe
-Sub Marga Makilik
-Sub Marga Marihuli
Marga Mahuze: -Sub Marga Mahuze Asli,
-Sub Marga Mahuze Ndewah
Sumber: Data Primer 2012
39
Masyarakat Malind Anim identik dengan alam sehingga alam harus dijaga
dan dilestarikan dengan hukum adat (LMA Suku Malind 2007). Upaya
perlindungan wilayah yang dimiliki masyarakat adat umumnya melekat dalam
kehidupan mereka agar pemanfaatan sumber daya alam dapat berkesinambungan.
Pandangan antara keseimbangan lingkungan hidup dengan manusia ini juga
didukung oleh pernyataan Dumatubun (2001) dalam Dumatubun (2002)
pandangan tentang sehat dan sakit oleh masyarakat Malind Anim adalah apabila
tidak ada lagi keseimbangan antara lingkungan hidup dan manusia maka penyakit
akan menyerang.
Menurut Primack et al. (1998) sebagian masyarakat tradisional mempunyai
etika dan aturan konservasi (kearifan tradisional dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam secara
tradisional telah dilakukan oleh masyarakat suku asli yang berada dalam kawasan
TNW seperti kearifan sasi adat, kearifan terhadap tempat-tempat sakral, sistem
totemisme, sistim perburuan dan sistim pendidikan.
4.2.2. Kearifan Sasi Adat
Sasi merupakan suatu ritual yang dibuat untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya alam agar dalam pemanfaatannya dilakukan secara bijak. Ritual sasi
dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai wilayah atau jenis yang disasi dan
dihadiri oleh semua marga yang ada dan kepala Suku. Ritual sasi dalam
beberapa suku dikenal dengan nama Cal (Yeinan); Sal (Kanumee); Sarr (Marori)
yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi binatang buruan dan atau
tanaman untuk berkembang biak.
Ritual pelaksanaan sasi umumnya dilakukan dengan mengikatkan alang-
alang dan janur kelapa pada tiang pancang, pohon mati, kayu yang disilangkan
atau diletakkannya atribut sasi seperti yang dipasang pada batas-batas dusun atau
jalur akses masuk. Atribut ritual pelaksanaan sasi biasanya akan berbeda untuk
mencirikan asal marga yang melakukan sasi, seperti marga Ndimar pada suku
Kanume, atribut yang digunakan adalah dengan memasang buah kelapa dan
alang-alang.
Jenis-jenis sasi yang dilakukan oleh keempat masyarakat suku asli tersebut
berupa sasi rawa, sasi dusun sagu, sasi dusun kayu dan sasi kebakaran.
40
Pemberlakuan sasi dapat dikelompokkan secara langsung dan tidak langsung. 1).
Langsung, pemberian tanda peringatan tertentu di lokasi sasi agar orang lain
mengetahui bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang disasi, seperti yang
dilakukan oleh suku Yeinan yaitu dengan menancapkan anak panah di tanah,
melipat dan menempel jenis daun tertentu di pohon yang dilakukan oleh suku
Yeinan. Suku Malind Imbuti ritual sasi dilakukan dengan acara adat dan
penanaman misar (jenis kayu khusus yang ditancap ke tanah sebagai tanda
diberlakukkannya sasi). Pelaksanaan sasi pada suku Kanume dilakukan oleh
pawang adat dimana sang pawang memanah ke atas sambil menyebut lahan yang
akan disasi sampai panah mengenai tanah. 2). Tidak langsung: upaya penerapan
sasi dilakukan dengan memberikan informasi dan pengumuman kepada
masyarakat atau marga lainnya di kampung terhadap tempat tertentu, jenis kayu,
hewan, tanaman atau ikan yang mengalami degradasi atau deplesi untuk diketahui
dan diindahkan.
4.2.3. Kearifan Terhadap Tempat Sakral
Tempat sakral merupakan suatu wilayah atau tempat yang dikeramatkan
oleh masyarakat adat yang secara turun temurun dijaga kelestarian dan
keasliannya. Ada banyak tempat sakral yang terdapat di dalam kawasan TNW
yang tersebar pada wilayah adat keempat suku di TNW yang dikuasai oleh
masing-masing marga dan suku.
Tempat-tempat sakral bagi masyarakat adat merupakan tempat keramat
yang tidak boleh dimasuki ataupun mengambil hasil dari lokasi tersebut secara
bebas dikarenakan masyarakat menghormati dema dan takut terjadi bencana atau
ganjaran dari dema4. Menurut kepercayaan masyarakat asli yang ada di dalam
Kawasan TNW terdapat banyak tempat-tempat sakral berupa tanah tinggi (dek),
tempat lapang, hutan, pohon, sumur (mata air). Tempat-tempat sakral bagi
masing-masing marga pada keempat masyarakat suku asli di TNW disajikan
dalam tabel 12, 13, 14 dan 15.
4
Penjelmaan leluhur berupa tumbuhan dan satwa yang menempati wilayah tertentu yang
dipercaya dapat melindungi manusia yang berbentuk totem.
41
Tabel 12 Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Malind Imbuti
No Marga Jenis Tempat Sakral
1. Gebze Mbobotak dan Nawalitak yang merupakan sumur alam yang dipercaya
sebagai tempat persinggahan nenek moyang
2. Kaize Mbanggu yang merupakan tempat yang tertutup untuk umum dan hanya
boleh dimasuki oleh marga Kaize
3. Mahuze Nggoras (tanah gundukan yang didalamnya terdapat tengkorak manusia
yang terletak di samping rumah adat),
Barapiam yang terletak di sungai Ndalir, Roroduf yang diyakini
merupakan tempat bersemayam arwah orang yang telah meninggal
4. Balagaize Sungai Ndalir, Bitur-bitur (daerah rawa), Kanisdema yang merupakan
penghuni pohon pinang
5. Samkakai -
6. Ndiken Kampung Kondo, kali Mayo, kali Senggar, kali Wemse, kali Mbanggu,
hulu kali Ndalir
7. Basikbasik Baram dan Sungai Ndalir
Tabel 13 Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Kanume
No Marga Jenis Tempat Sakral
1. Ndimar Aukambo (sumur alam) yang terletak di Kampung Tomer, Samleber
(persinggahan leluhur) Kaulei dan Ngawah (dusun sagu), Nsat dan
Sainnz yang terletak di Kampung Sota, Yawer, Ncuar, Baram, Tarkiter,
Waru dan Cumanetek yang terletak di kampung Onggaya
2. Mbanggu Dusun sagu (Sarmbar, Smanitek, Kirakambo, Yapir, Walamal,
Kirakambo, Nggelem, Yawalkal, Umbal, Kasarmeng), Kampung lama
(Mbenggu, Ncantawo, Kairer, Ncontokal, Selku, Tarbokar, Sarar, Ku,
Pince, Sakrir, Sakarmeru, Warapi, tempat keramat berupa Wawan,
Tumeneser, Puar, Kencerber, Ntuser, Kembaam, Mbo, Perkuter,
Wanteam, Bramea)
3. Ndipkuan Urima Kambo (sumur alam di kampung Tomer)
Tabel 14 Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Marori Men Gey
No Marga Jenis Tempat Sakral
1. Gebze Yolonggot dan Wami di daerah Yambare dan Oaku tempat tersebut
merupakan habitat bagi burung maleo
2. Kaize Penem yang berupa rute perjalanan nenek moyang, Rouu yang berupa
tanah merah yang berbentuk gundukan, Kur (sumur gambir)
3. Mahuze Mesah Merer
4. Balagaize Payom, Udi-udi, Sibekula, Siwol dan sungai Ndalir
5. Samkakai Penem, Sibet Kulah, Mbuur, Kombol
6. Ndiken Wosul Teu, Sinde, Yamuk, Kanuli, Dauda
7. Basikbasik Sambaed hata, Yom
42
Tabel 15 Tempat Sakral Marga-Marga Pada Suku Yeinan
No Marga Jenis Tempat Sakral 1. Yanggib Waro, Chebiau, Kamono, Kamnou, Cakokter, Bariau
2. Kabronain Poo, Kuiau, Manten, Jerro, Kekum, Kamde, Wewekorar, Dumkater,
Taleau, Peanggor, Ke Ajer, Gorwa Wagendeter, Kwenggi, Yopang,
Agebag, Muara Kali Obat, Yokema, Wadeg, Batas Dusun Tebelgaiper,
Amakeau, Walig, Win, Badgeberter, Guwag, Begermu, Jendabeg,
Mog,Camoh, Gamdai, Tupiau, Kuwer, Jel Nam Peter, Kukuma,
Dortoreau, Jermare, Cer, Berabetau, Wakuam, Derrko, Beimeter,
Yedeguan, Marg, Gamjar Yerbag, Kairo, Laubenter, Gerr, Malen Kater,
Kuareau, Calotarr, Kejerea, Jembe, Werai-Pe, Wegipar, Karmer,
Akikater, Alepel, Mainter
3 Kaorkenan Moug, Polka, Tarr, Galmehautr, Giripi, Carok, Bawan, Cabo, Glat,
Kwarjeg, Jar-Jar, Wibi, Kih, Tawah, Klapei.
4.2.4. Paham Totem (Totemisme)
Dalam kehidupan masyarakat Malind Anim dikenal adanya totem, yang
merupakan suatu kepercayaan suku Malind Anim terhadap satwa dan tumbuhan
yang dianggap dan dipercaya sebagai leluhur mereka. Totem tersebut merupakan
satwa dan tumbuhan asli (endemik) yang ada di wilayah adat mereka (lampiran
4,5,6 dan 7).
Dalam kehidupan tradisional masyarakat suku asli yang ada di TNW
memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya, baik yang berasal
dari dalam totemnya maupun di luar totem marga. Pemanfaatan totem yang
berasal dari luar marga diharuskan meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik
totem tersebut dan memperlakukan tumbuhan dan satwa yang menjadi totem
marga lain sesuai dengan aturan marga tersebut, seperti pada pemanfaatan
Saham5 (kangguru tanah) yang merupakan totem dari Marga Samkakai, apabila
marga Kaize melakukan perburuan terhadap saham terlebih dahulu meminta ijin
kepada marga Samkakai, Saham yang telah diburu dengan cara dipanah,
kemudian dibelah dari dada sampai ke perut secara vertikal, isi perut dibuang dan
kemudian kepala diikat menghadap ke atas. Apabila ada yang melanggar aturan
tersebut maka dikenakan sanksi berupa teguran yang dilanjutkan denda dengan
tanaman wati (Piper methisticum), membuat bedeng untuk kebun kumbili (jenis
umbi-umbian) dan penyerahan hasil kebun berupa ubi, pisang dan apabila masih
melakukan pelanggaran maka dikenakan hukuman mati.
5 Saham merupakan bahasa daerah dari Suku Malind yang ditujukan kepada kanguru tanah atau
Wallabi (Darcopsis muelleri)
43
Pemanfaatan sagu merupakan totem marga Mahuze. Sagu dipandang
sebagai sesuatu yang sakral dan harus diperlakukan dengan baik sesuai dengan
ketentuan adat. Pemanfaatan sagu dilakukan dengan seijin dari pada pemilik
totem sagu.
4.2.5. Sistim Perburuan
Berburu merupakan aktivitas masyarakat yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kegiatan berburu yang dilakukan oleh masyarakat
tradisional dilakukan dengan menggunakan busur (panah) dengan bantuan
anjing. Kegiatan ini dilakukan dengan menargetkan hewan buruan jantan dewasa
pada lokasi buru sesuai kepemilikan marganya. Memperlakukan satwa buruan
juga dilakukan sesuai dengan adat yang berlaku. Pemburu yang berasal dari marga
bukan pemilik totem harus meminta izin untuk melakukan perburuan pada jenis
hewan tertentu ke marga pemilik totemnya, hasil buruan harus dibagi dengan
pemilik totem. Menurut Tim PSL Uncen (1998) cara-cara perburuan tradisional
masyarakat suku asli (Malind) dibagi menjadi 2 cara: 1). Cara tradisional murni
yaitu menggunakan panah. Cara ini digunakan secara intensif dan efektif pada
kondisi hewan buruan dalam populasi besar. Masyarakat secara arif memilih
hewan buruan menurut jenis kelamin dan umur. 2). Cara Ohan (bahasa Malind)
atau Way (bahasa Kanume), yaitu cara berburu tradisional yang
mengkombinasikan penggunaan api, anjing dan anak panah atau kayu pemukul
yang dilakukan pada saat musim kemarau.
Kegiatan berburu yang dilakukan oleh masyarakat suku asli dilakukan
sesuai dengan aturan dari marga-marga suku tersebut. Pada marga Gebze dari
suku Marori Men Gey. Waktu berburu dilakukan pada sore dan malam hari, hal
ini diduga agar satwa buruan tidak takut dan lari ketempat lain. Marga Keize
memiliki aturan dalam memanah satwa buruan harus diarahkan ke lambung satwa
atau di bawah telinga, hal ini dimaksudkan agar satwa tidak merasa sakit terlalu
lama. Marga Kaorkenan dari suku Yeinan memiliki aturan bahwa burung hanya
dipergunakan pada acara adat dan cara pengambilannya dengan menggunakan
panah.
Pelanggaran terhadap ketentuan adat dikenakan sanksi adat berupa
peringatan dan nasehat oleh marga atau ketua adat. Denda yang diberikan
44
kepada pelanggar bisa berupa tanaman wati, babi dan hasil alam lainnya seperti
pisang, keladi dan tebu dengan jumlah yang diputuskan pada acara musyawarah
adat atau sidang adat.
4.2.6. Penentuan Batas Wilayah Tanah Adat
Hak ulayat pada Masyarakat Malind Anim dikelola oleh marga.
Kepemilikan tanah-tanah adat oleh marga ditandai dengan pemberian nama-nama
sesuai dengan keberadaan keluarga. Pada tanah-tanah adat dari marga-marga
tersebut dijadikan sebagai tempat-tempat sakral dimana tanah-tanah tersebut
merupakan cerita dari perjalanan leluhur dari marga-marga tersebut.
Batas atas tanah adat baik antara marga yang ada dalam suku maupun
batas wilayah antar suku, ditentukan oleh aturan-aturan yang mengikat masing-
masing marga atau suku. Pengaturan batas hak adat antara suku diatur menurut
batas-batas alam yang biasa digunakan adalah pantai, savana, hutan, sungai, dan
rawa. Batas wilayah antar suku hampir sama dengan penentuan batas antar marga
seperti sungai besar, rawa. Pengetahuan tentang batas-batas wilayah marga atau
suku diberikan oleh orang tua pada saat anak-anak mengikuti orang tua berburu,
meramu, mencari ikan dan kegiatan lainnya yang dilakukan pada wilayah marga
masing-masing.
4.2.7. Sistem Pendidikan
Pendidikan tentang kearifan lokal oleh masyarakat Malind Anim dilakukan
saat masih anak-anak yang dilakukan oleh orang tua dan juga oleh saudara laki-
laki ibu. Pendidikan nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku baik perilaku
terhadap orang tua, alam dan masyarakat dan juga membuat kebun-kebun,
hukuman pelanggaran terhadap adat, kepercayaan dilakukan di rumah laki-laki
(Otiv). Selain pendidikan dilakukan di rumah laki-laki juga pendidikan dilakukan
juga pada saat melakukan kegiatan-kegiatan berburu, mencari ikan dan
pengenalan terhadap hewan dan tumbuhan yang menjadi totem mereka. Anak-
anak Malind juga diajarkan tentang cara memanah, karena panah bagi masyarakat
Malind merupakan senjata untuk pertahanan diri, berburu, keperkasaan dan seni.
Pendidikan bagi masyarakat Malind Anim adalah menjadi manusia sejati
yang berwibawa, kekar, kuat sigap, bermoral dan bermartabat. Dalam masyarakat
Malind Anim dikenal dengan sebutan “Anim Ha”.
45
4.3. Situasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dan Masyarakat Pendatang
Interaksi masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang dikaji
berdasarkan faktor sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi. Dari
ketiga faktor tersebut akan ditelaah interaksi dalam bentuk konflik dan
kerjasama.
4.3.1. Interaksi Sosial Ekonomi
Interaksi sosial ekonomi masyarakat di dalam kawasan TNW
dikelompokkan kedalam 3 aktivitas yaitu: Aktivitas produksi, aktivitas konsumsi
dan aktivitas distribusi.
4.3.1.1. Aktivitas Produksi
Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas produksi masyarakat di dalam
kawasan TNW dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan: 1) sarana
produksi, 2) tenaga kerja, 3) adopsi, 4) modal finansial dan 5) pemanfaatan
penggunaan lahan dan air.
Keterangan: a = sarana produksi, b = tenaga kerja, c = adopsi, d = modal finansial
dan e = pemanfaatan penggunaan lahan dan air.
Gambar 2 Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas produksi masyarakat suku
asli dan pendatang di TNW.
Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas produksi pada masyarakat suku
asli di TNW secara umum tidak terjadi, hal ini disebabkan keempat
masyarakat suku asli tidak menetap pada satu kampung secara bersama-sama.
46
Kasus konflik penggunaan lahan di kampung Kondo antara suku Kanume dan
Malind Imbuti sebagai pemilik hak adat atas wilayah kampung disebabkan
atas pemindahan penduduk yang dilakukan pemerintah. Dengan menetapnya
suku Kanume membutuhkan lahan untuk berkebun sementara wilayah adat
mereka jauh dari Kampung Kondo. Kondisi ini menyebabkan suku Kanume
tidak dapat melakukannya pengelolaan lahan secara leluasa, sehingga mereka
meminta kepada pemerintah untuk dapat mengembalikannya ke kampung
lama di Korkari.
Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas produksi antara masyarakat
pendatang dari suku Jawa terjadi pada kegiatan pertanian dalam pemanfaatan
sarana prasarana, tenaga kerja dan adopsi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi
suku asli dari Malind Imbuti, Kanume, Marori Men Gey dan Yeinan. Interaksi
yang terjadi antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang dari Jawa terjadi
pada penggunaan sarana prasarana pertanian yang umum digunakan seperti
cangkul, sabit, parang dan mesin bajak sawah. Penggunaan cangkul, sabit dan
parang ditemukan di semua kampung, sedangkan mesin bajak sawah hanya
ditemukan di kampung Tomer, Sota, Wasur dan Onggaya.
Selain bertani suku Jawa di kampung Onggaya juga terlihat pada
penggunaan alat produksi dalam mencari ikan seperti penggunaan jaring dan
peralatan perikanan lain. Suku Jawa yang ada di kampung ini selain
bermatapencaharian sebagai nelayan juga sebagai pembuat minyak kelapa dengan
melibatkan masyarakat asli sebagai tenaga kerja.
Saat ini masyarakat suku asli mulai bercocok tanam padi pada beberapa
kampung dalam TNW yaitu Kampung Kuler, Onggaya, Tomer, Wasur, Rawa Biru
dan kampung Sota. Bertanam padi diperkenalkan oleh masyarakat pendatang
terutama para transmigran ataupun program pertanian oleh pemerintah, pembukaan
sawah secara besar-besaran di dalam kawasan TNW dilakukan semenjak
masuknya transmigrasi di Kampung Sota dan juga dengan adanya program MIFE
(Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang merupakan program pertanian
dengan membuka persawahan sejak tahun 2008. Namun adopsi teknologi
pertanian ini kurang berhasil diterapkan oleh masyarakat asli, hal ini diduga karena
47
menanam padi membutuhkan inovasi tertentu dan bertanam padi bukan kebiasaan
mereka.
Dalam pemanfaatan hasil hutan terjadi hubungan interaksi kerjasama antara
masyarakat pendatang dari Jawa seperti pemanfaatan kemiri, minyak kayu putih
dan buah merah. Hal ini terlihat pada kasus yang terjadi pada suku Kanume yang
melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan dan kebun yang kemudian dijual atau
ditampung untuk diolah lebih lanjut kepada masyarakat dari suku Jawa. Kegiatan
pengolahan pasca pungut di hutan dan kebun juga melibatkan masyarakat suku
asli yang berasal dari kampung setempat (Rawa Biru dan Yanggandur) sebagai
tenaga kerja.
Kasus interaksi yang terjadi dalam pemanfaatan daun kayu putih
(Asteromyrtus simphiocarpa) untuk pembuatan minyak kayu putih terlihat dari
hubungan kerja sama antara suku Kanume dan masyarakat pendatang dari
Sulawesi dan Jawa yang berdomisili di kampung Yanggandur dan Rawa Biru.
Kegiatan destilasi dilakukan oleh masyarakat pendatang sedangkan pengumpulan
daun kayu putih dan kayu bakar dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini
diduga karena proses destilasi membutuhkan waktu dan curahan kerja yang
banyak dan keterbatasan akses memungut daun kayu putih di tanah adat
masyarakat yang membutuhkan izin pemilik lahan atau dusun kayu putih. Interaksi
masyarakat dengan komoditi kayu putih ini dilakukan secara insidentil pada
wilayah adat mereka, disaat mereka membutuhkan uang untuk suatu barang/jasa
yang disediakan oleh para masyarakat pendatang.
Pemanfaatan lahan oleh masyarakat pendatang dari Jawa diperoleh melalui
program transmigrasi di kampung Sota, pemberian secara adat oleh masyarakat
suku asli yang terjadi di kampung Tomer dan dengan cara membeli dari
masyarakat suku asli di kampung Tomer dan Tomerau. Tanah yang dijual oleh
masyarakat suku asli dimanfaatkan oleh masyarakat pendatang untuk membangun
rumah, lahan kebun dan tempat usaha.
Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas produksi antara masyarakat
pendatang dari Sulawesi dengan suku asli terjadi pada suku Malind Imbuti,
Kanume dan Marori Men Gey dalam hal penggunaan sarana prasarana, tenaga
kerja, adopsi dan modal finansial. Kondisi ini terlihat pada hampir semua
48
kampung kecuali kampung Poo, dimana masyarakat dari Sulawesi tidak ada yang
berdomisili di kampung Poo. Interaksi masyarakat Sulawesi umumnya terlihat
pada aktivitas perdagangan dan perikanan laut. Kasus penggunaan peralatan-
peralatan yang biasa digunakan oleh masyarakat Sulawesi yang berada di
kampung Kuler berupa penggunaan jaring diadopsi oleh suku Malind Imbuti.
Kasus interaksi penggunaan modal finansial antara masyarakat Sulawesi
dengan suku Malind Imbuti dan Kanume dengan pemberian modal usaha dalam
bentuk bahan dan alat produksi (jaring, es batu, senter, baterei) untuk melakukan
kegiatan produksi seperti menangkap ikan (darat atau laut) dan hasil yang
diperoleh dijual ke pemberi modal usaha. Kondisi ini terjadi di kampung Kuler dan
Onggaya.
Kasus pemanfaatan lahan di Tomer bagian pantai terjadi konflik
pemanfaatan lahan yang dianggap sebagai tempat sakral oleh suku Kanume
namun ditempati oleh masyarakat pendatang dari Sulawesi yang
bermatapencaharian sebagai nelayan untuk menetap sementara. Konflik ini
mengakibatkan protes yang dilakukan oleh suku Kanume kepada pemerintah agar
mereka dapat dipindahkan ke tempat yang lain.
Pemanfaatan lahan oleh masyarakat Sulawesi dengan cara membeli dan
sewa pakai dengan masyarakat suku asli. Kasus pembelian lahan terjadi di
kampung Kuler, Onggaya dan Tomer untuk digunakan sebagai tempat tinggal,
berkebun dan tempat usaha. Sedangkan sewa pakai tanah terjadi pada kampung
Wasur dan digunakan sebagai tempat usaha berupa kios atau warung.
Interaksi masyarakat Maluku dengan masyarakat asli dari suku Malind
Imbuti, Kanume, Marori Men Gey dan Yeinan terjadi pada sarana produksi,
interaksi ini terjadi pada saat mayarakat Maluku pertama masuk ke Merauke,
dimana masyarakat dari Maluku mulai memperkenalkan sarana produksi berupa
parang yang digunakan untuk membuka kebun, senjata api yang digunakan untuk
berburu burung cenderawasih.
Dalam hal tenaga kerja masyarakat Maluku dengan masyarakat Malind
Imbuti mengolah kelapa dijadikan kopra, masyarakat maluku mengajarkan cara
membuat kopra kepada masyarakat suku Malind Imbuti. Masyarakat suku asli
49
mengadopsi cara bertanam, berternak babi dan pemanfaatan kelapa. Kelapa
dijadikan sebagai bahan baku penghasil minuman beralkohol.
Pada pemanfaatan lahan oleh masyarakat Maluku diakibatkan terjadinya
pernikahan dengan masyarakat suku asli yang terjadi di kampung Kuler, Onggaya,
Tomer dan Wasur. Penyerahan tanah adat tersebut dilakukan dengan melakukan
prosesi pemotongan hewan babi sebagai pengakuan hak adat terhadap
penggunaan lahan tersebut.
4..3.1.2. Aktivitas Konsumsi
Interaksi sosial ekonomi aktivitas konsumsi masyarakat di dalam kawasan
TNW dikelompokkan dalam hal: 1) barang pabrik, 2) hasil kebun, 3) hasil hutan
kayu (HHK) dan 4) hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Keterangan: a = barang pabrik, b = hasil kebun, c = hasil hutan kayu,
d = hasil hutan bukan kayu
Gambar 3 Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas konsumsi antara
masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang di TNW.
Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan penduduk asli
umumnya untuk pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan papan dari
kegiatan meramu hasil hutan. Masyarakat suku asli yang mendiami kawasan
TNW tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan meramu hasil hutan dan telah
menjadi adat kebiasaan mereka terutama pada kondisi kelimpahan hasil hutan,
terutama satwa buru.
Pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di
Kampung Kondo terjadi konflik. Suku Kanume tidak dapat memanfaatkan hasil
50
hutan secara leluasa karena kepemilikan lahan adat. Lahan adat di Kampung
Kondo merupakan milik Suku Malind Imbuti.
Matapencaharian masyarakat pendatang di dalam kawasan TNW pada
umumnya adalah berdagang dan bertani, sehingga interaksi sosial ekonomi pada
aktivitas konsumsi yang terjadi berupa interaksi dalam mengkonsumsi barang
pabrik berupa rokok, pakaian, gula, kopi, bumbu dapur dan sebagainya.
Masyarakat suku asli (Suku Kanume) yang ada di Kampung Yanggandur membeli
bebagai kebutuhan berupa gula, kopi, pinang dan terkadang juga mie instan dan
beras, pembelian beras dan mie instan dilakukan tetapi tidak sesering membeli
kopi, gula, sirih dan pinang karena masyarakat suku asli mengkonsumsi hasil
kebun mereka berupa pisang, ubi-ubian yang diselingi dengan beras.
Keberadaan masyarakat pendatang di dalam TNW membutuhkan bahan
makanan namun tidak memiliki kebun, hal ini membuat mereka menanami lahan
pekarangannya dengan tanaman pertanian berupa sayur-sayuran, pisang, ubi-ubian
dan lain-lain. Pemanfaatan jenis-jenis tanaman pertanian tersebut selanjutnya
diadopsi pula oleh masyarakat suku asli di pekarangan rumah maupun di lahan
pertaniannya berdampingan dengan tanaman kumbili (jenis umbi-umbian), talas
(Colocasia spp.), sagu dan juga tanaman wati (Piper methisticum). Adopsi jenis-
jenis tanaman baru tersebut dimaksudkan untuk dikonsumsi maupun dijual kepada
masyarakat pendatang yang membutuhkan.
Dalam pemanfaatan hasil hutan kayu dan juga hasil hutan bukan kayu yang
dahulunya dimanfaatkan oleh masyarakat suku asli hanya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tertentu dengan intensitas dan kapasitas yang kecil seperti
sebagai kayu bakar, untuk pembuatan perahu, perumahan, penggunaan satwa pada
acara adat. Dengan adanya masyarakat pendatang dengan tingkat kebutuhan
terhadap hasil hutan kayu membuat masyarakat suku asli menjual hasil hutan
tersebut kepada pendatang baik digunakan sebagai bahan bangunan perumahan
maupun bahan bangunan proyek pemerintah yang ada di dalam kawasan TNW
seperti sekolah, puskesmas dan kantor-kantor pemerintahan.
Konsumsi hasil hutan bukan kayu berupa satwa buru yang sebelumnya
dilakukan pada wilayah adat masing-masing mulai bergeser pada wilayah yang
dapat dijangkau. Berkurangnya jumlah satwa buru dan semakin kuatnya ikatan
51
sosial budaya diduga menjadi penyebab lintas wilayah selama menggunakan
peralatan buru secara tradisional seperti busur dan tombak. Konsumsi satwa buru
disamping untuk pemenuhan ekonomi dan protein keluarga juga untuk perayaan
adat atau keagamaan.
Saat ini perburuan di kawasan TNW lebih banyak dilakukan oleh masyarakat
di luar kawasan dengan menggunakan senjata api, namun biasanya didampingi
oleh masyarakat suku asli yang berfungsi sebagai penunjuk jalan. Kondisi ini
banyak menimbulkan ketidaksenangan masyarakat suku asli lainnya karena
berdampak pada semakin sulitnya mereka menjumpai satwa buruan pada lokasi
yang biasanya menjadi tempat ditemukannya satwa buru tersebut.
4.4.1.3. Aktivitas Distribusi
Interaksi sosial ekonomi aktivitas distribusi (penyaluran barang) masyarakat
di dalam kawasan TNW dikelompokkan dalam 2 hal: 1) jual- beli dan 2) barter
(barang-barang).
Keterangan: a = jual-beli, b = barter
Gambar 4 Interaksi sosial ekonomi pada aktivitas distribusi antara suku asli
di TNW.
Pada gambar 8 terlihat bahwa dalam aktivitas distribusi antara
masyarakat suku asli di TNW tidak terjadi pada kegiatan jual beli dan juga
barter. Hal ini disebabkan keberadaan dari masing-masing suku tidak terjalin
kontak secara langsung dan juga dalam pemanfaatan sumber daya alam,
masyarakat suku asli melakukan pengambilan serta pemanfaatan secara
langsung dari alam.
52
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan usaha untuk meningkatkan
ekonomi dan pendapatan merupakan suatu alasan terjadinya interaksi antara
masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang. Interaksi sosial ekonomi juga
terjadi secara kontinyu dikarenakan beberapa faktor nilai ekonomis, permintaan
yang terus menerus dan aksebilitas produksi distribusi yang baik. Pada aktivitas
distribusi terjadi jual beli dan barter (barang-barang) antara masyarakat pendatang
dan masyarakat suku asli.
Pemungutan hasil alam secara langsung di alam dengan kegiatan berburu,
menangkap ikan ataupun mengambil hasil hutan lainnya lebih banyak dikonsumsi
sedangkan jika tersedia pasar, maka kelebihannya akan dijual kepada masyarakat
pendatang yang ada di kampung tersebut dan juga dijual kepada pedagang
penampung yang berasal dari luar kawasan. Keberadaan masyarakat luar yang
tinggal dan menetap di kampung memberikan pasar bagi hasil alam yang
diusahakan penduduk lokal.
Kerjasama barter barang menunjukkan bahwa kegiatan barter antara
masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang terjadi, hal ini disebabkan oleh
tingkat kebutuhan ekonomi masyarakat dan kebutuhan akan barang yang dijual di
kios dimana nilai uang yang dimiliki masyarakat sangat terbatas sehingga
masyarakat suku asli menukar barang hasil kebun dan hasil buruan kepada
masyarakat pendatang yang mempunyai usaha dalam perdagangan (kios),
masyarakat suku asli menukar barang hasil kebun dengan barang-barang seperti
gula, kopi, pinang, beras, mie instan. Interaksi jual dan barter barang antara suku
Yeinan dengan Pendatang Sulawesi tidak terjadi hal ini disebabkan pendatang dari
Sulawesi tidak ada di kampung tersebut.
4.3.2. Interaksi Sosial Budaya
Interaksi sosial budaya masyarakat di dalam kawasan TNW dikelompokkan
dalam hal: 1) alat dan perlengkapan hidup, 2) kekerabatan dan perkawinan,
3) hukum adat, 4) kepercayaan, 5) agama, 6) kesenian dan 7) bahasa.
53
Keterangan: a = alat dan perlengkapan hidup, b = kekerabatan dan perkawinan,
c = hukum adat, d = kepercayaan, e = agama, f = kesenian dan
g = bahasa.
Gambar 5 Interaksi sosial budaya antara masyarakat suku asli dan masyarakat
pendatang di TNW.
Interaksi yang terjadi antara masyarakat suku asli (Suku Kanume, Malind
Imbuti, Marori Men Gey dan Yeinan) di dalam kawasan TNW telah berlangsung
sejak lama. Beberapa kesamaan dalam hal alat dan perlengkapan hidup,
kekerabatan dan perkawinan, hukum adat, kepercayaan, kesenian dan bahasa.
Dalam perlengkapan hidup terdapat kesamaan seperti penggunaan panah
untuk kegiatan berburu, perang. Sebagai alat penajam panah tersebut dengan
menggunakan taring babi, peralatan tersebut digunakan oleh masyarakat suku asli
(suku Malind Imbuti, Kanume, Marori Men Gey dan Yeinan).
Sistem kekerabatan masyarakat suku asli didasarkan pada pertalian darah
dan perkawinan. Masyarakat suku asli menganut kekerabatan sistem boan/marga,
yaitu kekerabatan berdasarkan garis keturunan patrilineal (mengikuti marga
ayah). Kelompok kekerabatan patrilineal disebut Myetra dalam bahasa Kanume
yang berarti marga.
Dalam melaksanakan perkawinan tidak diperbolehkan kawin antara sesama
marga. Sistim perkawinan yang terjadi pada saat ini tidak ada larang untuk
menikah dengan suku lain. Tradisi suku Kanume yang masih sering dilakukan
di kampung yaitu tradisi pertukaran anak, contoh pada pernikahan antara anak
laki-laki dari keluarga Mbanggu dengan anak perempuan dari keluarga Ndimar,
54
dimana keluarga Mbanggu harus memberikan anak perempuannya untuk
dinikahkan dengan anak laki-laki dari keluarga Ndimar.
Dalam hal kekerabatan antara masyarakat suku asli, terlihat kesamaan
penggunaan nama marga, totem dan juga terjadi perkawinan antar masyarakat
suku asli yang ada di TNW. Kasus perkawinan antar masyarakat suku asli
banyak terdapat di kampung Onggaya antara suku Kanume dengan suku Malind
Imbuti. Kesamaan marga dapat kita lihat pada suku Kanume yang memiliki
marga tersendiri namun sering memakai marga dari suku Malind (Hariadi 1994).
Terdapat kesamaan marga antara suku Malind Imbuti dengan marga yang dipakai
oleh suku Marori Men Gey.
Interaksi antara masyarakat suku asli bisa dilihat dalam persamaan dan
kemiripan bahasa. Demikian halnya dengan budaya totem (totemisme6
:
pemujaan/kepercayaan pada tumbuhan/hewan). Terdapat persamaan sistem
budaya totem yang dimanifestasikan dalam marga-marga Suku Kanume dan Suku
Malind. Totem tersebut umumnya direfleksikan dalam nama-nama marga,
sebagai contoh adalah marga Sanggra yang mempunyai totem bangau putih, ada
beberapa aturan berupa etika yang harus ditaati warga Sanggra terhadap hewan
ini, antara lain tidak boleh dibunuh atau dicelakai. Demikian halnya dengan
marga Balagaize yang mempunyai totem api, dalam kehidupan sehari-hari harus
memperlakukan api dengan etika antara lain tidak diperbolehkan memukul-mukul
api. Sedangkan marga Gebze yang mempunyai totem kelapa, etika dalam
memperlakukan kelapa antara lain bila makan kelapa tidak diperbolehkan
dibuang-buang dan jika selesai memakan buah kelapa wajib ditelungkupkan pada
saat membuang kelapa. Pelanggaran etika yang dilakukan oleh anggota marga
berupa sanksi adat dengan ilmu magis ”suanggi” yang bisa berakibat fatal yaitu
kematian.
Pada saat ini masyarakat suku asli hidup berdampingan dengan
masyarakat pendatang dari suku-suku lain yang ada di Indonesia, seperti Jawa,
Sulawesi, Maluku dan lain-lain. Interaksi sosial budaya yang terjadi pada
masyarakat suku asli dan pendatang berupa interaksi yang berhubungan dengan
6 Kepercayaan hubungan mistik antara suatu kelompok makluk manusia yang merupakan kesatuan
kekerabatan dengan tumbuhan, binatang, benda dan menjadi simbol kelompok.
55
kebutuhan akan peralatan dan perlengkapan hidup seperti pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata alat-alat produksi. Dalam kegiatan kehidupan
sehari-hari, masyarakat suku asli sudah lama mengenal adanya pakaian. Pakaian
merupakan suatu kebutuhan yang harus ada, hal ini disebabkan oleh adanya
interaksi dengan masyarakat pendatang yang telah memakai pakaian yang terbuat
dari kain. Hal ini dimulai sejak masuknya masyarakat luar baik pada saat
penginjil dari barat maupun pencari burung cenderawasih yang berasal dari
Maluku yang biasa disebut masyarakat Timor dan selanjutnya terjadi mobilisasi
besar-besaran pada saat Irian Barat bersatu dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dengan adanya program transmigrasi. Sebelum mengenal kain,
masyarakat suku asli menggunakan tempurung kelapa sebagai pelindung
kemaluan dan anyaman sebagai penutup bagian belakang.
Interaksi yang terjadi dengan masyarakat pendatang, menyebabkan
masyarakat juga mengenal perumahan (perumahan semi modern) yang dibangun
pada masa pemerintah Belanda maupun pada masa pemerintah Indonesia.
Perumahan ini dibangun dengan tujuan mempermudah dalam administrasi
pemerintahan. Dalam Kawasan TNW yang didiami oleh masyarakat suku asli
(suku Malind Imbuti, Kanume, Marori Men Gey dan Yeinan) tidak lagi
ditemukan rumah adat (rumah tradisional masyarakat suku asli). Perumahan
masyarakat suku asli terdapat di kampung-kampung lama, dimana kampung-
kampung lama tersebut sudah lama tidak ditinggali sejak dipindahkan oleh
pemerintah ke lokasi pemukiman yang baru. Rumah laki-laki (otiv) dan rumah
perempuan (sava) sejak tahun 1920 telah hilang, hal ini terjadi sejak dilakukannya
pemindahan dan mempersatukan perumahan masyarakat. (Depdikbud 1984).
Berdasarkan wawancara dengan Ketua adat Kanume diketahui bahwa
rumah adat berbentuk rumah panggung, dengan ketinggian sekitar 2 meter. Hal
ini dimaksudkan agar pembicaraan yang bersifat rahasia tidak didengar oleh orang
lain seperti anak yang belum cukup umur. Atap terdiri dari kulit kayu Bus
(Melaleuca spp) dan alang-alang, dinding dari tulang nibun dan kulit akar
pandan. Rumah untuk laki-laki terpisah dengan rumah perempuan. Rumah adat
masyarakat Malind Imbuti biasa disebut nggotad (balai laki-laki) yang berfungsi
untuk kegiatan adat atau upacara adat. Rumah untuk laki-laki yang didiami oleh
56
ayah, saudara-saudara laki-laki dan anak laki-laki yang telah dewasa, sedangkan
rumah perempuan didiami oleh perempuan dan anak-anak yang masih kecil.
Rumah bagi masyarakat Malind merupakan suatu tempat yang sangat
dihormati dan dianggap suci, hal ini terlihat bahwa tidak boleh melakukan
hubungan di dalam rumah. Hubungan suami isteri dilakukan di kebun atau
tempat berladang dan juga pada saat kegiatan lainnya seperti pada saat mencari
ikan, pangkur sagu dan lain-lain.
Pada saat ini bentuk rumah yang didiami oleh masyarakat berbentuk
persegi empat yang terbuat dari kayu, berlantaikan tanah atau sebagian dibuat
panggung, beratapkan seng. Rumah-rumah yang didiami masyarakat suku asli
merupakan rumah yang dibangun oleh pemerintah Belanda dan pemerintah
Indonesia.
Gambar 6 a) Rumah Tradisional Malind Anim (Sumber: Abteihang
Architektur dalam Kosmaryandi 2012), b) Model rumah
masyarakat yang dibangun oleh pemerintah Indonesia yang
terdapat di dalam Kawasan TNW.
Sistim kepemimpinan tradisional hanya mengenal kepala suku dan ketua
marga. Kepala suku merupakan panglima perang yang membawahi marga-marga
yang ada pada suku-suku tersebut, dan pengangkatan kepala suku dilakukan atas
dasar kemampuan yang dimilikinya antara lain kebijakan dan keperkasaan di
dalam bertempur sehingga disegani oleh marga-marga yang ada di suku tersebut.
Keempat kepala suku dapat dilihat pada Gambar 8.
a b
57
Dok: Yarman 2012
Gambar 7 Informan Kepala Suku: a) Malind Imbuti (Kasimirus Gebze), b)
Kanume (Martin Ndiken), c) Yeinan (David Dagijai), d) Kepala Suku
Marori Men Gey (Wilhemus D Gebze).
Pada saat ini di kampung-kampung telah didirikan Lembaga Masyarakat
Adat (LMA) yang merupakan perwakilan dari kepala suku di kampung-kampung.
Mengingat perubahan-perubahan dalam tatanan adat sehingga pada tahun 2007
dilakukan pertemuan adat suku besar Malind Anim di Dusun Saror menetapkan
Lembaga Masyarakat Adat Malind Anim Kabupaten Merauke merupakan wadah
kesatuan adat Malind Anim. Lembaga Masyarakat Adat ini memiliki struktur
adat yang dimulai dari tingkat kampung hingga ketingkat Kabupaten.
Selain pemerintahan informal di dalam kawasan TNW juga terdapat
pemerintahan formal yaitu pemerintahan kampung dan pemerintahan distrik
(kecamatan). Tingkat kampung dipimpin oleh seorang kepala Kampung yang
dipilih oleh masyarakat yang ada di kampung tersebut yang disahkan oleh Kepala
Distrik sedangkan ditingkat distrik dipimpin oleh seorang Kepala Distrik yang
diangkat oleh Bupati.
Pernikahan juga telah terjadi antara masyarakat suku asli dengan masyarakat
pendatang. Pernikahan antara masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang
a b
c d
58
dilakukan atas dasar suka sama suka sebagai akibat adanya interaksi dengan
masyarakat pendatang. Pernikahan antara masyarakat pendatang banyak terjadi
antara masyarakat Maluku dengan masyarakat suku asli dari keempat suku
tersebut.
Masyarakat suku asli dalam berkomunikasi dengan suku lain atau
masyarakat pendatang dengan menggunakan bahasa Indonesia. Interaksi dalam
berbahasa ini menunjukkan telah terjadinya interaksi antar mereka secara verbal
yang secara langsung membawa dan mengenalkan budaya berbahasa kepada
masyarakat asli. Pada saat ini bahasa daerah (Malind Imbuti, Kanume, Marori
Men Gey dan Yeinan) masih tetap digunakan oleh orang tua, namun kemampuan
penguasaan bahasa daerah bagi anak-anak mulai menurun, sehingga dalam
berkomunikasi masih sering dicampur antara bahasa daerah dengan bahasa
Indonesia. Penurunan penggunaan bahasa oleh anak-anak disebabkan oleh
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di sekolah-sekolah,
masuknya sarana komunikasi melalui radio dan televisi serta interaksi dengan
masyarakat pendatang.
Interaksi masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang dalam hal
kesenian kurang terjadi, karena budaya-budaya kesenian dari daerah pendatang
jarang dilaksanakan di tengah masyarakat suku asli yang ada di dalam kawasan
TNW. Pada kampung Sota kegiatan kuda lumping dilakukan pada saat hari-hari
besar nasional, karena wilayah Sota ini merupakan daerah transmigrasi yang
berasal dari Jawa. Interaksi kesenian yang masuk ke masyarakat di dalam TNW
seperti disco (tarian barat) yang merupakan budaya barat, yosim pancar yang
merupakan budaya masyarakat Papua bagian utara yang dibawa oleh masyarakat
pendatang dan juga terjadi transfer budaya di luar kawasan TNW.
Dengan adanya interaksi dengan masyarakat luar, pada saat ini masyarakat
suku asli menganut agama Katolik yang dibawa oleh para misionaris dan agama
Protestan yang dibawa oleh guru-guru agama dari Maluku. Sebelum masuknya
agama di tengah masyarakat suku asli, mereka menganut kepercayaan terhadap
Dema, ini diyakini oleh semua masyarakat suku asli di TNW. Selain agama
Kristen Katolik dan Protestan, dalam TNW juga terdapat penganut agama Islam.
59
Penganut Agama Islam merupakan masyarakat yang berasal dari Jawa dan
Sulawesi.
4.3.3. Interaksi Sosial Ekologi
Interaksi sosial ekonomi aktivitas konsumsi masyarakat di dalam kawasan
TNW dikelompokkan dalam 3 yaitu: 1) aturan pemanfaatan sumber daya alam, 2)
benda simbol adat dan 3) tempat sakral.
Keterangan: a = Aturan pemanfaatan sumber daya alam,
b = benda simbol adat dan
c = tempat sakral.
Gambar 8 Interaksi sosial ekologi masyarakat suku asli dan masyarakat
pendatang di TNW.
Interaksi Sosial Ekologi antara suku asli di TNW telah berlangsung
lama. Hal ini dapat dilihat dari aturan-aturan pemanfaatan terhadap
sumberdaya alam yang ada, seperti kesamaan dalam pemberlakuan sasi pada
masing-masing suku yang ada di TNW.
60
Gambar 9 Tanaman anggin/jenis puring (Codiaeum sp) perhiasan adat suku
Malind Anim.
Interaksi dalam pemanfaatan tanaman sebagai minuman dan makanan di
dalam masyarakat Malind Anim terdapat kesamaan seperti pemanfaatan Tanaman
Wati (Piper methisticum) dan Kumbili (Deascorea, sp). Wati dan Kumbili
merupakan dua tanaman penting yang sangat dihormati keberadaannya oleh
masyarakat suku asli terutama di kawasan TNW. Wati merupakan tanaman adat
yang bernilai tinggi bagi masyarakat Malind Anim, tumbuhan ini digunakan oleh
masyarakat suku asli pada setiap acara adat. Wati ini merupakan refleksi
penghormatan dan penghargaan kepada leluhur dan adat, setelah minum wati,
peminum akan merasa tenang, menghilangkan rasa lelah dan tertidur, setelah
bangun tidur badan akan kembali segar, tanaman wati merupakan tanaman yang
mengandung senyawa sedatif yang bersifat penenang.
Kumbili merupakan makanan tradisional terpenting bagi masyarakat suku
asli. Dalam bahasa Kanume lumbung yang disebut nai mo atau keter, merupakan
tempat penyimpanan persediaan umbi kumbili selama berbulan-bulan (sekitar 10
bulan). Dinding dan atap lumbung itu terbuat dari kulit kayu Bus (Eucalyptus sp.).
Apabila persediaan umbi itu habis sementara masa panennya belum tiba, mereka
mengonsumsi sagu. Periode konsumsi sagu itu sekitar dua bulan. Kumbili
dipercaya sebagai tanaman sakral yang harus diperlakukan dengan baik sehingga
tanaman ini harus dipertahankan, aturan sosial dan adat yang disampaikan oleh
para leluhur agar kumbili dijaga dan tidak diperbolehkan untuk dijual ke pihak lain
di luar adat, karena dikhawatirkan akan punah jika hal tersebut dilanggar.
61
Keseragaman juga dapat dilihat pada penggunaan simbol-simbol adat
yang ada di masing-masing suku seperti penggunaan totem yaitu semua jenis
satwa dan tumbuhan endemik merupakan totem dari marga yang ada di suku-
suku tersebut. Tempat sakral bagi masyarakat suku asli merupakan sejarah
atau historis dari perjalanan nenek moyang dari marga-marga. Hal tersebut
memiliki kesergaman dengan keempat suku yang ada di TNW.
Interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat suku asli terjadi
dalam hal aturan pemanfaatan sumber daya alam, benda simbol adat dan tempat
sakral. Pemanfaatan sumber daya alam, totem dan benda simbol adat yang ada di
wilayah adat masyarakat suku asli, masyarakat pendatang dipengaruhi oleh aturan
adat masyarakat suku asli, sehingga pemanfatan yang dilakukan oleh masyarakat
pendatang harus seijin atau sepengetahuan dari masyarakat suku asli, ini
diberlakukan bagi semua masyarakat pendatang yang ada di TNW.
Interaksi masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang terjadi
dalam hal pemanfaatan sumber daya alam berupa sasi gereja yang dibawa
oleh masyarakat Maluku. Sasi gereja merupakan pengaturan pemanfaatan
sumber daya alam berupa lahan, yang diniatkan oleh pemilik sebagian
hasilnya disumbangkan untuk kepentingan gereja. Sasi gereja ini banyak
dilakukan oleh masyarakat, karena mereka percaya bahwa lahan yang telah
disasi gereja lebih aman karena mereka takut akan dosa apabila terjadi
pelanggaran terhadap aturan sasi tersebut.
4.3.4. Faktor-Faktor Terjadinya Perubahan Sosial Ekonomi, Sosial
Budaya dan Sosial Ekologi yang Mendasar
4.3.4.1. Agama
Perubahan-perubahan tatanan norma dan nilai-nilai pada masyarakat
suku asli (Malind Anim) baik nilai sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial
ekologi dari masyarakat tradisional. Masyarakat suku asli masih sangat
menggantungkan hidupnya dengan alam dengan memanfaatkan sumber daya
alam secara tradisional sebatas pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disamping
itu masyarakat suku asli masih menganut kepercayaan terhadap Dema yang
memberikan nilai-nilai tradisional terhadap penghargaan sumber daya yang
ada.
62
Kepercayaan masyarakat suku asli terhadap Dema mulai bergeser sejak
masuknya agama Kristen Katolik di Papua Selatan tahun 1905 yang dibawa
Misionaris. Dema dianggap sebagai penjelmaan nenek moyang yang
diwujudkan dalam bentuk tumbuhan dan satwa. Masuknya agama
memberikan perubahan-perubahan dalam cara pandang masyarakat suku asli
seperti mengenalkan Ketuhanan Yang Esa dan nilai-nilai lainnya yang
bertentangan dengan nilai-nilai tradisional selama ini, terutama yang terkait
dengan 10 firman Tuhan.
Perubahan-perubahan cara pandang masyarakat suku asli terhadap nilai-
nilai sosial, budaya dan ekologi akibat masuknya agama semakin
berkembang akibat masuk guru-guru agama Kristen Protestan dari Maluku
(Kei dan Tanimbar) tahun 1930 yang berinteraksi dengan masyarakat Malind
Anim yang belum menganut agama. Masuknya kedua agama ini terlihat dari
sebaran agama penduduk suku asli di TNW saat ini yang mayoritas beragama
Kristen Khatolik dan Kristen Protestan.
4.3,4.2. Kolonialisasi (Pemerintahan Belanda)
Sebelum masuknya Belanda ke pantai selatan (sekarang Merauke),
pantai selatan berada pada kekuasaan kerajaan Tidore. Menurut Dep. AD
(1962) Pantai Selatan dengan ibu kota Merauke menjadi bagian pemerintahan
Kerajaan Belanda sejak tahun 1910 yang menjadikan Merauke sebagai Zuid
Nieuw Guinea suatu afdeling dibawah pemerintahan Belanda. Pada
pemerintahan Belanda, kampung-kampung baru dibangun untuk memudahkan
pengaturan pemerintahan daerah. Masyarakat yang ada di kampung-kampung
tradisional disatukan dalam satu kampung tertentu, sehingga kebiasaan
masyarakat yang selama ini hidup dengan alam dengan simbol-simbol adat
yang kental (seperti penggunaan rumah adat dan atribut adat lainnya) mulai
hilang.
Sejak masa pemerintahan Belanda, program transmigrasi telah
diterapkan dengan mendatangkan penduduk dari pulau Jawa. Mereka
memperkenalkan dan menerapkan adat budaya yang umum dilakukan bagi
masyarakat Jawa, salah satunya adalah intensifikasi pertanian dengan sistem
pertanian sawah. Sejak saat itu masyarakat suku asli mulai mengenal adanya
63
sistem pertanian lain dan mengkonsumsi beras sebagai makanan lain selain
makanan tradisionalnya (kumbili dan sagu).
Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Malind, menyatakan
terjadinya transformasi (perubahan) di Merauke dimulai sejak awal tahun 1900-
an ketika gelombang pendatang masuk ke Merauke. Kebanyakan pendatang
adalah orang Jawa yang dibawa Belanda, masyarakat pendatang dari Jawa yang
dibawa Belanda dikenal dengan sebutan Jamer (Jawa Merauke) (Prasetyo &
Harthana 2011).
3.3.4.3. Pendatang Maluku (Timor Tepa)
Pendatang dari Maluku Tepa (Timur Tepa) merupakan salah satu aktor
terjadinya perubahan sosial, budaya, ekonomi dan ekologi. Kedatangan
masyarakat Timur Tepa dimulai sekitar 1910 untuk mencari burung
Cenderawasih (Paradisaea spp) dan Buaya (Crocodylus spp). Interaksi
tersebut akhirnya mengarah pada terjadinya perkawinan dengan masyarakat
suku asli (Malind Anim).
Masuknya masyarakat Maluku ke Merauke membawa beberapa inovasi
yang umum dan telah menjadi tradisi masyarakat Timur Tepa, antara lain
dalam pembuatan minuman alkohol yang dibuat dari kelapa atau pembuatan
kopra (STIA 2005). Tersedianya sumber daya kelapa yang banyak di daerah
pesisir Merauke kemudian dimanfaatkan masyarakat Timur Tepa bekerjasama
dengan masyarakat suku asli agar dapat bertahan lama dan bernilai ekonomi
tinggi dengan pembuatan kopra. Selain itu masyarakat Timur Tepa biasanya
mengkonsumsi minuman beralkohol yang dibuat dari kelapa pada saat
digelarkannya upacara dan pesta-pesta adat. Kebiasaan mengkonsumsi
minuman beralkohol dari bahan lokal ini pada akhirnya menjadi kebiasaan
yang umum ditemukan di masyarakat suku asli hingga saat ini.
3.3.4.4. Pemerintahan Indonesia
Pada masa peralihan kekuasan dari pemerintah Belanda ke pemerintahan
Indonesia, Irian Barat mulai dibangun, guru-guru didatangkan dari Maluku
dan daerah lainnya. Kurikulum nasional yang ada pada pelajaran yang
diterapkan pada sekolah-sekolah tidak mengakomodir ilmu pengetahuan lokal
yang ada di Papua dan adanya larangan penggunaan simbol-simbol adat
64
seperti bahasa. Kondisi ini menyebabkan anak-anak generasi yang mengecap
pendidikan pada masa tersebut kurang memperoleh ilmu pengetahuan lokal di
bangku pendidikan. Pengetahuan menyangkut adat istiadat lebih banyak
diperoleh secara informal di luar bangku sekolah.
Perubahaan terus terjadi setelah masuknya Irian Barat ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dimulai dengan adanya program
transmigrasi sekitar tahun 1969, dimana lokasi transmigrasi ini berdekatan
dengan wilayah adat masyarakat suku asli di TNW seperti daerah Jagebob dan
juga transmigrasi yang ada dalam TNW yaitu Kampung Sota. Pada saat itu
pula banyak masyarakat yang berasal dari Jawa, Sulawesi, Maluku dan lain-
lain masuk ke Papua dengan membawa budaya dan adat yang dimiliki dari
daerahnya masing-masing, sehingga masyarakat suku asli yang dulunya
memiliki tatanan nilai-nilai adat mulai luntur dengan adanya nilai-nilai baru.
Dengan datangnya transmigran dari Jawa yang mengenalkan sistem
pertanian menetap bagi masyarakat suku asli. Selain orang Jawa, masyarakat
pendatang dari Sulawesi ada juga yang berprofesi sebagai petani dengan
menerapkan sistem pertanian yang sama. Sistem pertanian yang dibawa di era
ini semakin berkembang dengan penerapan teknologi pertanian intensif seperti
pemupukan, pengendalian hama penyakit, irigasi maupun penggunaan
teknologi mekanis. Perkembangan sistem pertanian ini memungkinkan
bertambahnya produktifitas hasil pertanian (padi) yang akhirnya turut
dikonsumsi oleh masyarakat suku asli.
Selain itu kegiatan tradisional masyarakat suku asli seperti pemungutan
sagu, wati, mencari ikan dan memelihara babi hutan (Sus scrofa) mulai
berkurang karena masyarakat pendatang juga membawa dan mengenalkan
teknik beternak sapi, kambing, kuda, ayam dan sebagainya. Pemeliharaan babi
hutan (Sus scrofa) sebagai salah satu satwa adat yang biasa dan harus dimiliki
menjadi berkurang dan digantikan dengan babi putih (babi jerman). Babi
hutan (Sus scrofa) dan babi putih (babi jerman) dapat dilihat pada gambar 10.
65
Gambar 10 a) Babi hutan (Sus scrofa) yang merupakan hewan adat yang
digunakan pada acara adat. b) Babi putih yang sering digunakan
sebagai pengganti babi hutan dalam acara adat.
3.3.4.5. Gap Generation
Sekitar tahun 1918 terjadi wabah yang menyebabkan banyaknya
masyarakat suku asli yang meninggal akibat wabah penyakit influensa dan
sipilis. Kehadiran pendatang yang mencari burung kuning (Cenderawasih) dan
operasi militer hingga ke pedalaman dianggap membawa dampak
kemandulan. Penyakit ini cepat berkembang dikarenakan ada adat
masyarakat yang melibatkan perkawinan antara satu wanita dengan banyak
pria yang dilakukan pada saat acara adat (Depdikbud 1984). Kondisi ini
diperkuat juga dengan pernyataan Rawung (2005) yang menyebutkan tahun
1918 masyarakat pantai mendapat wabah flu Spanyol dan penyakit
granuloom yang meminta banyak korban penduduk pantai yang diperkirakan
jumlah penduduk pantai awalnya sekitar 30.000 jiwa sehingga tersisa sekitar
8.000 jiwa.
Banyaknya korban meninggal akibat kondisi tersebut menyebabkan
terjadi Gap Generation pada masyarakat suku Malind Anim yang
menghambat transfer budaya di antara mereka. Adanya aturan adat untuk
tidak mentransfer pengetahuan tertentu secara terbuka kepada pihak lain di
dalam atau di luar suku turut memperparah terjadinya transfer pengetahuan
budaya yang ada pada suku Malind Anim. Transfer pengetahuan budaya
tersebut harus ditujukan kepada orang yang tepat yang dianggap dapat
menjaga nilai-nilai yang telah dianut oleh para leluhur.
a b
66
4.3.5 Temuan-Temuan Penelitian
Beberapa temuan yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan
perubahan-perubahan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial ekologi yang
terjadi di Taman Nasional Wasur adalah:
Sejarah Penduduk
Penduduk yang tersebar pada kampung-kampung di dalam TNW
dikelompokkan dalam 3 asal penduduk, yaitu: masyarakat suku asli pemilik
hak adat, masyarakat suku asli yang berasal dari masyarakat suku asli di luar
kepemilikan hak adat dan masyarakat pendatang.
Perubahan Sosial Ekonomi, Sosial Budaya dan Sosial Ekologi
Berdasarkan fakta bahwa perubahan terhadap nilai sosial budaya ekologi
pada Masyarakat suku asli dipengaruhi oleh masuknya agama, pemerintahan
Belanda, Masuknya masyarakat pendatang dari Maluku, pemerintahan Indonesia
dan adanya Gap Generation.
Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli
Interaksi antar masyarakat suku asli bersifat positif terutama dalam interaksi
sosial budaya dan sosial ekologi. Masyarakat suku asli saling memahami,
menghormati dan menghargai nilai tradisional, keberadaan suku, marga, totem
dan tempat-tempat sakral.
Interaksi Masyarakat Suku Asli dan Pendatang
Interaksi masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang lebih banyak
bersifat positif. Masyarakat pendatang membawa perubahan terutama dalam
tatanan sosial ekonomi dalam hal transfer ilmu pengetahuan serta sosial ekologi
dalam penerapan sasi gereja. Masyarakat suku asli melakukan adopsi
pengetahuan pertanian. Sedangkan interaksi masyarakat pendatang kepada
masyarakat asli lebih banyak dibatasi oleh keterbatasan masyarakat pendatang
dalam akses sosial, budaya dan ekologi pada lahan ulayat masyarakat asli.
4.4. Konsep Pengelolaan TNW
Taman Nasional Wasur (TNW) merupakan kawasan yang memiliki
fungsi untuk menjaga integritas perwakilan keanekaragaman hayati lahan
basah kawasan timur Indonesia, perlindungan budaya tradisional masyarakat
67
suku asli, pendukung peningkatan kualitas pembangunan regional (pariwisata
alam, sumber air bersih dan sumber protein), dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan, baik melalui kegiatan ilmu
pengetahuan, penelitian, budidaya maupun rekayasa bio-teknologi sumber
plasma nutfah yang tersedia, serta peningkatan peluang usaha dan lapangan kerja.
Sejak terjadinya interaksi antara masyarakat suku asli dengan masyarakat
pendatang, banyak terjadi perubahan-perubahan terhadap nilai-nilai kearifan
lokal. Perlu adanya suatu rancangan yang dapat digunakan dalam pengelolaan
TNW tanpa menghilangkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat asli.
TNW mempunyai enam sasaran prioritas pengelolaan dalam 20 tahun
mendatang (Tahun 2011-2030). Sasaran pengelolaan TNW adalah: a)
Terwujudnya kemantapan status dan penataan kawasan TN Wasur, b)
Terwujudnya kelembagaan pengelolaan TN Wasur berbasis resort yang kuat dan
mandiri yang dilandasi partisipasi dan kolaborasi dengan masyarakat adat dan
stakeholders lainnya, c) Terwujudnya pengawetan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, d) Terselenggaranya pemanfaatan kawasan secara optimal, e)
Terselenggaranya fungsi penelitian, pendidikan dan pengembangan, f)
Terwujudnya peningkatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
(BTNW 2011). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disajikan implikasi
interaksi terhadap pengelolaan TNW (Lampiran 8 sampai dengan 25) diringkas
pada Tabel 16 dan 17.
68
Tabel 16 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN
Wasur
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan Masyarakat
Adat dan Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya
Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan Secara
Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat
Di Dalam dan
Sekitar
Hutan
Sosial Ekonomi:
- - -
Konflik yang terjadi antar suku Malind
Imbuti dengan Kanume terjadi dalam hal
pemanfaatan penggunaan lahan, hasil
hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu:
- Konflik yang terjadi merupakan suatu
alat kontrol sehingga dalam
pemanfaatan lahan terdapat
pembatasan oleh aturan adat.
- Penyelesaian konflik pemanfaatan
lahan, hasil hutan kayu dan hasil hutan
bukan kayu dengan cara mencarikan
lokasi dan mengembalikan masyarakat
suku asli yang berada pada wilayah
adat masyarakat suku asli lainnya,
dengan memperhatikan kelestarian dan
terjaganya kawasan.
- -
Sosial Budaya:
Kesamaan dalam hal alat dan
perlengkapan hidup, terjadi
kekerabatan dan perkawinan,
hukum adat, kepercayaan, kesenian
dan bahasa yang digunakan, ini
merupaka nilai positif dalam
pengelolaan kawasan karena
pemahaman terhadap pengelolaan
kawasan lebih mudah diterima oleh
beberapa suku karena kesamaan
yang mereka miliki. Ini dapat
dipadukan dalam forum yang
mewakili suku yang ada di TNW
- - - -
69
Lanjutan Tabel 16 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN
Wasur
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan Masyarakat
Adat dan Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya
Alam Hayati
dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan Secara
Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembanga
n
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat
Di Dalam Dan
Sekitar
Hutan
Sosial Ekologi:
Dalam hal kesamaan cara dan
sistim dalam aturan
pemanfaatan sumber daya
alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat
sakral oleh masyarakat adat,
hal ini merupakan nilai positif
dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana
zonasi diambil dari tempat-
tempat sakral masyarakat suku
asli dengan memperhatkan
aturan pemanfaatan terhadap
sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak
menghambat, membatasi
masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya
alam sehingga mereka dapat
ikut serta dalam menjaga
zona-zona yang telah
disepakati bersama.
- - - - -
*) BTNW 2011
70
Tabel 17 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
endemik
- . - .
Masyarakat suku asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi,,
Masyarakat suku asli mengadopsi sistim
produksi dan pemberian modal finansial
dari masyarakat sulawesi kepada
masyarakat Malind Imbuti.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan)
b. Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
c. Transparansi sistem informasi pasar
terutama menyangkut besaran harga
yang berlaku, jumlah dan jenis satwa
yang dapat diperdagangkan.
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku asli seperti pakaian,
perumahan, senjata dan alat
produksi merupakan nilai positif
bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW
perlu menggali kembali
budaya masyarakat suku
asli.
- . - .
71
Lanjutan Tabel 17 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya:
- -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- -
Masyarakat suku asli
mempunyai aturan dalam
pemanfataan sumber daya alam
seperti sasi adat , dan pada saat
ni telah masuk juga aturan
pemanfaatan yang diadopsi dari
masyarakat pendatang yaitu
sasi gereja. Ini merupakan
kekuatan yang dapat dipadukan
sehingga pemanfaatan
terhadap satwa dan tumbuhan
dapat diatur, sehingga
kelestarian dari pada satwa dan
tumbuhan tetap terjaga. -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
masyarakat pendatang
dibatasi oleh aturan adat
yang berlaku sehingga ,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
72
Berdasarkan hasil penelitian interaksi masyarakat suku asli dengan
masyarakat pendatang pada Tabel 16 dan 17 di atas maka implikasi interaksi
dapat dirumuskan konsep rancangan pengelolaan untuk masing-masing strategi
kegiatan pengelolaan TNW sebagai berikut:
1. Kemantapan status dan penataan kawasan TNW
a. Untuk penataan kawasan dan penguatan kelembagaan masyarakat adat
perlu didorong kepada pemerintah daerah untuk pembuatan Peraturan
Daerah (Perda) yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Dengan
adanya Perda tersebut maka pemanfaatan terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh masyarakat suku asli dan masyarakat pendatang dapat
dilakukan secara bijaksana sesuai dengan aturan adat dan aturan formal.
b. Konsep zonasi yaitu pada zona inti dan religi budaya serta sejarah dapat
mengakomodir tempat-tempat sakral yang dikramatkan oleh masyarakat
suku asli dan juga sistem penentuan batas wilayah tanah adat, pada
penentuan zona tersebut mempertimbangkan kebutuhan dan
mengakomodir masyarakat, sehingga tidak membatasi kehidupan sosial
ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi masyarakat.
2. Kelembagaan pengelolaan TNW berbasis resort yang kuat dan mandiri yang
dilandasi partisipasi dan kolaborasi dengan masyarakat adat dan stekeholders.
a. Mengikutsertakan masyarakat suku asli pemilik hak adat dalam
pengelolaan TNW, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
tanggungjawab dan rasa memiliki masyarakat suku asli terhadap TNW
serta meningkatkan perekonomian masyarakat, ini penting karena
keterbatasan pemerintah dalam hal pesonil dan dana.
b. Pembentukan resort-resort pengelolaan yang disesuikan dengan hak adat
atas tanah kepemilikan pada suku-suku tersebut.
3. Pengawetan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
a. Pada pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terlihat
kesamaan dalam pelaksanaan aturan pemanfaatan sumber daya alam,
terhadap simbol adat serta pengaturan tempat-tempat sakral dari
masyarakat suku asli dan juga terlihat bahwa pemanfaatan hasil hutan
yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari pada
73
intensitas yang kecil pada saat sekarang pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi dan juga terjadi
pergesaran dalam hal penggunaan perlengkapan hidup, memperhatikan hal
tersebut di atas maka perlu adanya penegakan hukum terhadap
pelanggaran yaitu memperlakukan penerapan sanksi/hukum adat kepada
masyarakat adat dan hukum formal bagi masyarakat pendatang, apabila
terdapat hal-hal yang belum diatur oleh hukum adat maka dapat
dikenakan hukum formal, demikian pula sebaliknya
b. Pelarangan terhadap perburuan modern, perburuan hanya
mengakomodir masyarakat asli dengan aturan adat yang berlaku.
c. Budidaya terhadap tanaman dan satwa yang merupakan totem bagi
masyarakat suku asli serta menghindari masuknya tumbuhan dan satwa
eksotik kedalam TNW.
4. Pemanfaatan kawasan secara optimal
Mencari alternatif pemanfaatan sumber daya alam berupa obyek wisata
sehingga perlu dilakukan pendataan terhadap obyek-obyek wisata yang
ada, sehingga masyarakat yang ada disekitarnya dapat diikut sertakan
dalam kegiatan pengelolaan terhadap obyek wisata tersebut.
5. Fungsi penelitian, pendidikan dan pengembangan
Perlu adanya kajian terhadap tanaman, satwa yang dapat dijadikan sebagai
pendapatan bagi masyarakat yang dilakukan secara bijaksana dan terjaga
kelestariannya
6. Peningkatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
a. Kontrol penggunaan sarana produksi yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran ikan
yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan).
b. Perlu dilakukan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat
secara kontinyu dalam hal pemanfaatan pengolahan sumber daya alam
agar bernilai ekonomis lebih tinggi, yang dimana masyarakat suku asli
dapat mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau bahan
jadi.
74
75
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
1. Penyebaran penduduk pada kampung-kampung di TNW dikelompokkan
dalam 3 asal penduduk, yaitu: Masyarakat suku asli pemilik hak adat
(Masyarakat suku asli yang tinggal di kampung wilayah adatnya),
masyarakat suku asli yang berasal dari masyarakat suku asli di luar
kepemilikan hak adat (masyarakat suku asli yang tinggal di kampung
yang bukan wilayah adatnya)dan masyarakat pendatang (Jawa, Sulawesi
dan Maluku). Total penduduk di TNW 4.339 jiwa, sex ratio 1: 0,92
dimana jumlah laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, tingkat
pendidikan masyarakat pendatang lebih tinggi dibandingkan dengan
masyarakat suku asli. Masyarakat suku asli bermatapencaharian sebagai
peramu, berburu, berkebun dan nelayan sedangkan masyarakat pendatang
bermatapencaharian sebagai sebagai pedagang, nelayan, petani.
2. Secara turun-temurun masyarakat suku asli telah memiliki aturan adat dalam
pengelolaan alam yang berupa a) Kearifan sasi adat. b) Kearifan terhadap
tempat-tempat sakral, c). Sistem totemisme, d). Sistim perburuan, e).
Penentuan batas wilayah tanah adat, f). Sistim pendidikan.
3. Interaksi antar masyarakat suku asli bersifat positif terutama dalam interaksi
sosial budaya dan sosial Ekologi. Masyarakat suku asli saling memahami,
menghormati dan menghargai nilai tradisional, keberadaan suku, marga,
totem dan tempat-tempat sakral. Masyarakat pendatang membawa perubahan
terutama tatanan sosial ekonomi dalam hal transfer ilmu pengetahuan serta
sosial ekologi dalam penerapan sasi gereja. Masyarakat suku asli melakukan
adopsi pengetahuan pertanian. Sementara itu masyarakat pendatang
memiliki keterbatasan dalam akses pemanfaatan sumber daya lahan milik
masyarakat suku asli (masyarakat adat).
4. Implikasi interaksi masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang bagi
pengelolaan TNW adalah: (1) Perlu pembuatan Peraturan Daerah (Perda)
yang mengakui keberadaan masyarakat adat, (2) Zonasi TNW
mempertimbangkan kebutuhan kepentingan masyarakat, (3)
76
mengikutsertakan masyarakat pemilik hak adat dalam pengelolaan TNW, (4)
Penegakan hukum adat dan hukum formal atas pelanggaran terhadap kawasan
konservasi, (5) Budidaya terhadap tanaman dan satwa asli yang merupakan
totem masyarakat suku asli, (6) Mencari alternatif pemanfaatan sumber
daya alam berupa obyek wisata, (7) Pelatihan dan pendampingan kepada
masyarakat secara kontinyu dalam hal pemanfaatan pengolahan sumber
daya alam agar bernilai ekonomi lebih tinggi.
5.2. Saran
1. Pemerintah melakukan peningkatan pendidikan formal kepada masyarakat
asli dan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam pendidikan formal.
2. Untuk menjaga dan memperkuat ikatan sosial, budaya, ekonomi dan ekologi
perlu memasukkan simbol-simbol masyarakat suku asli dari satwa dan
tumbuhan sebagai lambang integritas dan konservasi dari masyarakat adat.
77
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1987. Manfaat Taman Nasional Bagi Masyarakat Sekitarnya. Media
Konservasi. I(3):13-20.
[AMAN] Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. 2012. Menuju Kongres ke IV.
Masyarakat Adat. http://www.aman.or.id/in/masyarakat-adat.html. [5
Maret 2012].
Bauw L, Sugiono B. 2009. Pengaturan Hak Masyarakat Hukum Adat di Papua
dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam. J Konstitusi. I: 104-139.
Black HC. 1968. Black’s Law Dictionary, Revised 4th
Edition. St. Paul.
Minnesota: West Publishing.
Bromley DW. 1998. Property Rights in Economic Development: Lesson and
Policy Implication. In: Lutz, E. (Eds), Agriculture and Environment:
Perspectives on.
[BTNW] Balai Taman Nasional Wasur. 1999. Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Wasur (1999-2024) . Merauke: Balai TNW.
[BTNW] Balai Taman Nasional Wasur. 2011. Draf Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Wasur (2011-2030) . Merauke: Balai TNW.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta.
Demsetz H. 1967. Toward a Theory and Property Right: American Economic
Review 57 (May).
[Dep. AD] Departemen Angkatan Darat. 1962. Penuntun Bagi Petugas di Irian
Barat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Angkatan Darat
[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Sistem Kesatuan
Hidup Setempat Daerah Irian Jaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
[Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Ed Ke-2, Cetakan 8. Jakarta: Balai Pustaka.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta:
Departemen Kehutanan
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Data Strategis Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam 2009. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam.
[Depsos] Departemen Sosial. 2008. Implementasi Kebijakan Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil. http://www.depsos.go.id/modules.
php?name=News&file=print&sid=565. [5 Maret 2012].
78
Djoht DR. 2002. Penerapan Ilmu Antropologi Kesehatan Dalam Pembangunan
Kesehatan Masyarakat Papua. Jurnal Antropologi Papua Laboratorium
Antropologi. 1:13-34.
Dumatubun AE. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif
Antropologi Kesehatan. Jurnal Antropologi Papua 1:43-62.
Hanna S, Folke C, Goran MK. 1995. Property Rights and Environmental
Resources. Di dalam Hanna S, Munasinghe M, editor. Property Rights
and the Environment: Social Ecological Issues. The Beijer Institute of
Ecological Econ and The World Bank. Hlm. 15-29.
Hariadi, B.T. 1994. Tinjauan Etnobotani Sistem Pertanian Suku Kanum di Taman
Nasional Wasur. Merauke. Fakultas Pertanian Universitas Cendrawasih.
Manokwari. Tidak dipublikasikan.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
1994. Guidelines for Protected Areas Management Categories. IUCN
Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA)-World
Conservation Monitoring Centre (WCMC). Cambridge: IUCN
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2003. The Durban
Action Plan. http://cmsdata.iucn.org/downloads/durbanactionen.pdf
[03 Maret 2012].
Kamakaula Y. 2004. Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Hutan Mangrove
(Studi Kasus di Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Provinsi Papua)
[Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Kassa S. 2009. Konsep Pengembangan Co-Management untuk Melestarikan
Taman Nasional Lore Lindu. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Keraf AS. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Koentjaraningrat. 1985. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Kosmaryandi N. 2012. Pengembangan Zonasi Taman Nasional: Sintesis
Kepentingan Konservasi Keanekaragaman Hayati Dan Kehidupan
Masyarakat Adat. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
(LMA) Lembaga Masyarakat Adat Suku Malind Anim. 2007. Hasil dan
Rekomendasi. Pertemuan Adat Suku Besar Malind Anim di Dusun
Saror. 26 – 31 Juli 2007. Merauke.
Mackinnon JK, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang
Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, penerjemah.Yogyakarta:
Gajahmada University Press. Terjemahan dari: Managing Protected
Areas in The Tropics.
McCay BJ, Acheson JM. 1987. The Question of the Commons; The Culture and
Ecology of Communal Resources. Tuscon: University of arizona Press.
Miles M, Huberman A. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang
metode– metode Baru. Jakarta: UI Press.
79
Moleong LJ. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ostrom E. 1990. Governing the Common: The Evolution of Institutions for
Collective Action. New York: Cambridge University Press.
Pearce D.W. dan Jeremy J. Warford. 1993. World Without End : Economics,
Enviroment and Sustainable Development. New York: Oxford University
Press.
Phillips A. 2004. Indigenous and Local Communities and Protected Areas :
Towards Equity and Enhanced Conservation. Best Practice Protected
Area Guidelines Series No. 11. IUCN – The World Conservation Union.
Prasetyo EE, Harthana T. 2011. Suku Malind Hidup di Antara Busur dan Pacul.
http://health.kompas.com/read/2011/04/16/0405185/.Suku.Malind.Hidup.
di.Antara.Busur.dan.Pacul. [29 Maret 2012].
Primack RC, Supriatna J. Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Rawung WH. 2005. Menelusuri Jejak Misionaris di Papua Selatan. Merauke:
Seksi Sejarah Panitia Seratus Tahun Gereja Katolik di Papua Selatan.
[RI] Republik Indonesia. 2001. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Daerah Papua.
[RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati
(United Nation Convention on Biological Diversity)
[Sekditjen PHKA] Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. 2007a. Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan. Di Dalam Peraturan Perundang-undangan Bidang
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Sekditjen PHKA.
Hlm. 36-109.
Sekditjen PHKA] Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. 2007b. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di Dalam
Peraturan Perundang-undangan Bidang Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. Jakarta: Sekditjen PHKA. Hlm 1-35.
Sembiring SN, Husbani F, Arif AM, Ivalerina F, Hanif F. 1998. Kajian Hukum
dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Menuju
Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat.
Kerjasama antara Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan
Indonesia dengan Natural Resources Managament Program.
Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC OUT- PCE- I
- 806-96-00002-00.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Soekanto S. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
80
Soerjani, Munir. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan
dalam Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Stevenson GG. 1991. Common Property Economics : A General Theory and Land
Use Applications. Cambridge: Cambridge University Press.
[STIA] Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Karya Dharma. 2005. Profil Kampung
Kuler Distrik Merauke. [Kegiatan Praktek Kerja Lapang]. Merauke:
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Karya Dharma.
[WWF] World Wildlife Fund Indonesia Region Sahul Papua. 2006. Laporan
Lokakarya Hasil Identifikasi Tempat Penting Masyarakat Suku Besar
Malind Anim dalam Bio-Visi Ecoregion Trans Fly Merauke, 19- 21
September 2006 Kerjasama Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke,
Lembaga Masyarakat Adat Malind Anim, WWF Indonesia Region Sahul
Papua. Merauke: WWF Region Sahul Papua
Ter Haar Bzn TH, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, [K.Ng.Soebakti
Poesponoto [penterj.:Asas-asas dan Susunan Hukum Adat], Jakarta:
Pradya Paramita, cetakan XI, 1994.
Tietenberg TH. 1988. Environmental and Natural resources Economics, Second
Edition. Boston. Scott, Foresman and Company.
Tim PSL Uncen. 1998. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung Kabupaten
Daerah Tingkat II Merauke. Irian Jaya. Kerjasama Pusat Studi
Lingkungan Universitas Cenderawasih, Dinas Kehutanan Propinsi
Daerah Tingkat I Irian Jaya. Merauke.
Wiratno D, Indriyo A, Syarifudin A, Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin
Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman
Nasional. Edisi Kedua [edisi revisi]. Jakarta: Publikasi FOReST Press,
The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI-NGO
Movement.
81
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian di TNW
82
Lampiran 2 Peta Tempat-Tempat Penting Masyarakat Suku Asli di TNW
(Sumber: BTNW 2011)
83
Lampiran 3 Sisilah Suku-Suku Besar di Kabupaten Merauke
Keterangan: Suku di Dalam TNW
84
Lampiran 4 Marga dan Totem pada Malind Imbuti
Marga Totem
Daerah Indonesia Ilmiah
GEBZE
Ada 7 Sub Marga :
1. Gebze Moyurek
2. Gebze Megaize
3. Gebze Awaba
4. Gebze Hongrek
5. Gebze Dayorek
6. Gebze Warinaurek
7. Gebze Kuyamze
Mamalia
Paniki Kelelawar Pteropus scapulatus
Waref Kanguru pohon Darcopsis muelleri
Tupai kelapa/Petauridae Dactylopsila tatei
Kuskus hitam putih Phalanger intercastelanus
Burung
Pombo putih Peregam Laut Ducula bicolor
Pombo Peregam Kuning Ducula mulerii
Tari-tari Trulek topeng Vanelus miles
Piwa Belibis/ Itik gunung Anas superciliosa
Ek Elang alap kelabu Accipiter novaehollandiae
Tambatub Cerak besar Pluvialis squatorola
Tambatub Trinil pembalik batu Arenaria interpres
Komin Kukabura sayap biru Dacelo leachii
Sim Raja udang biru langit Alcedo azurea
Sarinai/Keri/Uriphitam
Pari-pari /Urip merah
Yowi Kuntul karang Eggretta sacra
Kayor Cendrawasih raggiana Paradiseae raggiana
Mbiru Dara laut kaspia Hydropogne caspia
Toratol Taktarau tutul Eurostopadus augus
Toratol Taktarau gunung Eurostopadus archboldi
Voi Bayan Eclectus roratus
Yakop Cacatua putih Cacatua galerita
Geb/Burung Hantu Serak padang Tyo capensis
Reptilia
Gawo Kura–kura leher panjang Chelodina novaguinea
Petola/Kliu Sanca semak
Wai kadihu Biawak hijau Varanus sp
Garguru Kodok warna hijau
Kepiting
Tumbuhan
Mambara Kayu timur
Mbuti naped Pisang putih kecil Musa Sp
Kelapa Kelapa Cocos nucifera L
Ikan
Koloso Arwana Sceloropages jardini
Kaize
Burung
Kay Kasuari Casuarius casuarius
Yag Cendrawasih Paradisaea raggia
Kukabura sayap biru Dacelo leachii
Urip/Keri-keri
Reptilia/Amphibi
Simo Ular air kuning
Ular patola/Sanca semak
Kodok hitam bintik putih
hidung panjang
Tumbuhan
Um Teratai merah Nymphaea Sp
Do kasim Kasim merah Phragmetis karka
Parasara Semak di rawa
Ake Gambir Endiandra fulva
Suba Bambu kuning Bamboosa Sp
Mengga Sagu (Pucuk merah) Metroxylon Sp
Kees Kayu melaleuca Melaleuca Sp
Tale – tale arr Kayu putih/bunga merah Malaleuca Sp
Anggin Puring Codiaeum Sp
Jambu Guava sp.
Ava
Mamalia
Parakulen Kuskus Phalanger sp
85
Ikan
Mosor Ikan kaca kecil Ambassis agrammus
Unsur Alam
Api
Mahuze
Ada 5 Sub Marga :
1. Nggulurze
2. Okabuli
3. Zohe
4. Makilik
5. Marihuli
Mamalia
Ndakele Kelelawar leher kuning Pteropus scapulatus
Nggat Anjing Canis familiaris
Burung
Njabuk Undan kacamata Pelecanus conspicillatus
Ennem Nuri merah Eos squamata
Mboafa Angsa boiga Anseranas semipalmata
Ndalom iwag Kedidir belang Haematopus longirostris
Mahuk Mambruk Gaura scheepmakeri
Haraf kokoti Sikatan kuning Microeca flavigaster
Ndalo Gajahan timur Numenius madagascariensis
Keke Elang ekor panjang Henicorpenis longicauda
Hong Wili-wili semak Burhinus grallarius
Piwa Itik gunung Anas superciliosa
Nggur Kokokan laut Ardeola striata
Saruk Bubut ayam Centropus phasianinus
Serangga
Wi Ulat sagu
Moanim Tawon sagu
Tumbuhan
Da Sagu Metroxylon Sp.
Mbof Sagu daun pendek Metroxylon Sp.
Alitil Sagu daun panjang Metroxylon Sp.
Koiwilimba Sagu isi batang putih Metroxylon Sp.
Dowilimba Sagu isi batang merah Metroxylon Sp.
Haraf Mangrove api-api Avicenia sp
Barau-barau kulit batang mirip pohon kedondong sedangkan daun mirip
daun papaya
Um Teratai rawa warna biru Nymphaea Sp
Mbaksom Ganggang rawa merah
Manggon-manggon Ganggang rawa hijau
Nggat-nggat Paku-pakuan/cakar ayam
Babin wati Wati merah Piper methysticum
Karfdah Kayu bush putih Melaleuca Sp
Ikan
Anda-ikan sembilan Ikan duri warna coklat Arius carinatus
Ndaman ndanim Ikan warna kuning di laut
Rakum Ikan Sembilan rawa
Nggus Kepiting besar
Falat Kepiting besar hijau
Kabo-kabo Kepiting kecil sungai
Ndua Kepiting batu
Balagaize
Sub Marga :
1. Balagaize Yolmen
2. Balagaize Sah
3. Balagaize Kahol
Burung
Kidub Elang laut perut putih Haliaettus sanfordi
Reptilia
Qiu Bob Buaya Hitam /Buaya Darat Crocodylus novaeguineae
Koihu Qiu Buaya Putih/Buaya Laut Crocodylus porosus
Tumbuhan
Kanis Pohon pinang Arenga Sp
Kidup napet Pisang kidup Musa Sp
Dormosud
Wara Jambu Merah/Jambu Air Guava Sp
Kambali Rumput Rawa
Um Teratai Nymphaea Sp
Anggin Qiupe Puring Codiaeum Sp
Anggin Kiu’unum Puring Codiaeum Sp
Manenggop Akar Tuba
Kelapa yang mata/mulutnya besar Cocos nucifera
86
Ikan
Parara Ikan kakap laki Lates calcarifer bloch
Wueli Ikan Paring
Kotif/kotib Mogurnda mogurnda
Saleh Udang
Semua jenis ikan yang ada di air garam/air laut.
Unsur Alam
Etob Air garam/air laut
Samkakai
Sub Marga :
Yano
Mamalia
Yano Kanguru dada putih Macropus agilis
Kuskus Phalenger orientalis
Burung
Ke ke Elang siul Haliastur sphernurus
Mborap Mambruk selatan Gaura scheepmakeri
Reptilia
Kura-kura dada merah Emydura subglobosa
Tumbuhan
Hobyara Pohon Jambu Guava Sp
Odo Kunaihi Tebu merah daun hitam Saccharum Sp
Timod Tebu daun merah Saccharum Sp
Doh kasim Anak panah dari bambu
kosong
Wati Wati buku pendek Piper methysticum
Ndiken
Sub Marga :
1. Pa ndik
2. Kana ndik
Burung
Ndik hitam putih Jenjang brolga Grus rubicund
Ndik putih Cangak Pasifik Ardea pasifica
Yowi Bangau tong-tong Egretta alba
Dohisakir Cendrawasih merah Paradiseae
Rarag Gagak orru Corvuc orru rubra
Muriwa Camar hutan Sterna fuscata
Reptilia
Dohi bopti gau Kura-kura dada merah Emydura subglobosa
Podapod Kadal Tiliqua scinqoides
Tadu Kaki seribu
Tumbuhan
Wati Tenup Putih Piper methysticum
Wati Berbin Merah Piper methysticum
Wati Pelim Piper methysticum
Hongwati Piper methysticum
Samain wati Piper methysticum
Doga Pohon Ingas
Ser Bintangur perempuan
Yarua Bintangur
Botra Pohon rawa
Aritil Sagu dahan panjang Metroxylon Sp
De tamuku Tembakau
Andin ndik isas Tanaman hias
Do kasim Pohon kasim merah Phragmetis karka
Od Tebu merah Saccharum Sp
Kuiti Kelapa yang buahnya besar,
bagus dan sehat
Cocos sp
Onggat yama kindti Kelapa yang atas seperti
bisul
Cocos sp
Masuri Rumput rawa
Bunga rawa Bunga rawa
Mbasom imu Kantong semar Nepenthes sp
Pesapes Rumput pisau
Ikan
Tung
Maupang Ikan sumpit Toxotes lorentzi
Basikbasik
Ada 4 Sub Marga
1. 1. Sapize
Mamalia
Basik Babi Sus scrofa
Banati Babi tanah/landak Zaglosus
87
2. 2. Nazrarik
3. Burraptangge
4. Werappare
Tibawa Lumba-lumba
Burung
Kapiog Kakatua raja Probosciger atterimus
Reptilia
Gau Kura-kura leher pendek
Sanca air Liasis fuscus
Tumbuhan
Ood Tebu merah Saccharum Sp
Balau Sukun Artocarpus communis forst
Zez / Rahai Akasia Acacia sp.
Ikan
Mumu Siput laut
Miaw udang Keadaan langit yang biru
88
Lampiran 5 Marga dan Totem pada Suku Kanume
Marga Totem
Daerah Indonesia Ilmiah
MBANGGU
Ada 4 Sub Marga :
1. Kairer
2. Barkali
3. Nkutar
4. Almaki : Mayua
Mamalia
Maam Kanguru lapang Macropus agilis
Kerar Anjing Canis familiaris
Kembu, Kuer Babi Hutan
Sapal Kelelawar
Burung
Wiri-wiri Alap-alap
Kirsau Jenjang brolga Grus rubicunda
Mbawai Angsa boiga
91
Manggu/Burung Hantu Punggok rimba N. theomacha
Manggu/Burung Hantu Punggok kokodok N. novaeseelandiae
Manggu/Burung Hantu Punggok gonggong N. connivens
Manggu/Burung Hantu Punggok papua Uroglaux dimorpha
Manggu/Burung Hantu Celepuk maluku Otus magicus
Geb/Burung Hantu Serak hitam Tyto tenebricosa
Geb/Burung Hantu Serak jawa T. alba
Geb/Burung Hantu Serak padang T. capensis
Was/Burung Hantu Paruh kodok papua Podargus papuensis
Was/Burung Hantu Paruh kodok pualam P. ocellatus
Was/Burung Hantu Atoku besar Aeghoteles insignis
Was/Burung Hantu Atoku wallacea A. Wallacii
Was/Burung Hantu Atoku kalung A. Bennetii
Was/Burung Hantu Atokusavana A. Cristatus
Telu-telu Cabak maling Caprimulgus macrurus
Telu-telu Cabak kelabu C. indicus
Telu-telu Taktarau tutul Eurostopodus argus
Telu-telu Taktarau kumis E. mystacalis
Telu-telu Taktarau gunung E. archboldi
Telu-telu Taktarau papua E. papuensis
Kokfale Kipasan Sp. Rhipidura Sp.
Mbis Sembis Melipotes Sp. Melipotes Sp.
Mbis Sembis Cikukua Sp. Philemon Sp.
Mbis Sembis Bondol Sp. Erythrura Sp.
Mbis Sembis Pipit ekor api Oreostruthus fuliginosus
Mbis Sembis Bondol Sp. Lonchura Sp.
Njawar Kucing tutul Ailuroedus melanotis
Njawar Kucing kuping putih A. buccoides
Njawar Bentet coklat Lanius cristatus
Njawar Namdur coklat Chlamydera cerviniventris
Njawar Namdur dada kuning C. lauterbachi
Yek Cendrawasih Botak Cicinnurus respublica
Mo kon Kukabura aru Ducelo tyro
Mo kon Kukabura perut merah Ducelo gaudichaud
Mo kon Raja udang paruh sekop Clytoceyx rex
Mo kon Tiong lampu biasa Eurystomus orientalis
Reptilia
Sokwo Kura – kura leher
panjang
Chelodina novaguinea
Pere nggorindro Kepiting merah besar
Tumbuhan
Ilembin Gebang Corypha elata
Mbudinaped Pisang mbudi Musa Sp
Duaga Pohon ingas
Kelapa Kelapa Cocos nucifera L
Ikan
Gabus Putih Oxyeleotris herwerdini
Kaize
Burung
Mopou Kasuari anak Casuarius casuarius
Mbour Kasuari dewasa Casuarius casuarius
Yag Cendrawasih Paradisaea raggia
Kuriyeh Kukabura sayap biru Dacelo leachii
Urip/Keri-keri
Reptilia
Simo Ular air kuning
Prahmorou Ular patola merah
Kodok bintik hitam
Tumbuhan
Sir momot Teratai merah Nymphaea Sp
Parasomrou Kasim merah Phragmetis karka
Parasara Semak di rawa
Ake Gambir Endiandra fulva
Wereyi suba Bambu kuning Bamboosa Sp
Prah meaga oon Sagu (Pucuk merah) Metroxylon Sp
92
Ruu Kayu melaleuca Melaleuca Sp
Maro Kayu putih/bunga merah Malaleuca Sp
Mor Kayu melaleuca Melaleuca Sp
Ikan
Mosor Ikan kaca kecil Ambassis agrammus
Unsur Alam
Api
Mahuze
Ada 2 Sub Marga :
Mahuze Asli
Mahuze Ndewah
Mamalia
Sikah Waref Kanguru hitam Dorcopsis hagenii
Koro Anjing Canis familiaris
Burung
Mbo’afa Angsa Boiga Anseranas semipalmata
Peresorwo Cenderawasih Paradiseae Sp
Mbeweh Belibis kembang Dendrocygna arcuata
Monjo-yowi Kuntul ukuran kecil Egretta garzetta
Serangga
Woi Ulat sagu
Njurmban Tawon sagu
Tumbuhan
Nggi Sagu Metroxylon sago
Kayu Puki Pohon tinggi, kulit kayu mirip kayu kedondong , daun
mirip daun papaya
Wati-wati Semak, batang merah, bunga putih
Bibisuwo Sejenis ganggang hidup didalam air, batang dan daun
merah, lembek
Pohon Mawar Pohon berbunga merah, daun besar
Ikan
Anda Ikan duri warna coklat Arius carinatus
Waf Udang rawa
Balagaize
Mamalia
Woro Tikus Rattus rattus
Beyem Kus-kus loreng Spilocoscus maculatus
Burung
Kidub Elang laut perut putih Haliaettus leucogaster
Yaryam Kakatua jambul kuning Cacatua galerita
Reptilia
Delub Buaya Crocodylus novaeguineae
Delub Buaya Crocodylus porosus
Aimba Biawak rawa Varanus sp
Yormu Biawak kecil Varanus sp
Rowarama Katak sawah/kecil
Tumbuhan
Sonom Pohon pinang Arenga Sp
Worof
Bunbun
Ndru
Mari
Nggemgem uliba Sagu Metroxylon sp
Blagai napet Pisang Musa Sp
Ndomof napet Pisang (sudah punah) Musa Sp
Karwa singgo
Samap
Bibiso Rumput rawa
Momot Teratai Nymphaea Sp
Mer Rumput rawa
Im Rumput rawa
Kar Umbi
Ikan
Palala Ikan kakap laki Lates calcarifer bloch
Akakap lati Mata bulan Megalops cyprinoids
Ikan Kotif/kotib Mogurnda mogurnda
93
Mosor
Unsur Alam
Adika Air
Samkakai
Mamalia
Praon Saham dada merah Macropus agilis
Mbreje Saham dada kuning Thylogale brujnii
Welef Dorcopsis hagenii
Kwejekulen Saham dada putih
Mbeyem Kuskus Phalenger orientalis
Burung
Kofoi Rajawali papua Harpyopsis novaeguineae
Reptilia
Kura–kura leher panjang Chelodina novaguinea
Kura – kura leher
pendek
Elseya novaeguinea
Tumbuhan
Ujuji Bebentuk seperti salak berwarna hijau
Nduru kecil Bush merah Melaleuca Sp
Ndiken
Sub Marga :
Induk /ndik
Kanal /phi
Burung
Ndik Jenjang brolga Grus rubicund
Ndik Putih /Manimpu Cangak Pasifik Ardea pasifica
Yowi Bangau tong-tong Egretta alba
Gagak Gagak Corvuc orru
Parayag Cendrawasih Merah Paradiseae rubra
Reptilia
Prasakuo Kura-kura dada merah Emydura subglobosa
Wati neiyen Kadal Tiliqua scinqoides
Merji/alemem Kaki seribu
Tumbuhan
Wati Tenup Putih Piper methysticum
Wati Berbin Merah Piper methysticum
Wati Pelim Piper methysticum
Hongwati Piper methysticum
Samain wait Piper methysticum
Masuli/Kambuar Bunga rawa
Grem Pohon rawa dengan bunga berwarna merah
Keri temgu Tembakau
Alitil Sagu dahan panjang Metroxylon Sp
Poyo anep eyupa Kelapa yang buahnya besar, bagus dan sehat
Yan dame va poyo Kelapa yang atas seperti bisul
Pera sombrow Pohon kasim merah Phragmetis karka
Kormarih Kantong semar Nepenthes sp
Ikan
Koumbow
Merju Ikan sumpit Toxotes lorentzi
Basikbasik
Ada 2 Sub Marga
Wilulek
Sapise
Mamalia
Basik Babi Sus scrofa
Ham/banggaou Kuskus Phalenger orientalis
Burung
Kidup Elang besar Haliastur indus
Reptilia
Kiu-haya Buaya Crocodylus porosus
Tumbuhan
Kanis Pinang Arenga Sp
Balau Sukun Artocarpus communis forst
Bend Keladi Caladium bicolor
Ikan
Kiva /kaloso Arwana Scerolopages jardini
Unsur Alam
Adika Air
Miaw udang Keadaan langit yang biru
94
Lampiran 7 Marga dan Totem pada Suku Yeinan
Marga Totem
Daerah Indonesia Ilmiah
YANGGIB
Ada 10 sub marga :
1. Gagujai
2. Gawaljai
3. Yoreljai
4. Webtu
5. Jelobarwbtu
6. Kecibakwebtu
7. Dambujai
8. Kabarjai
9. Marpijai
10. Kosnan
Mamalia
Jou/Pakem/Biyab Anjing Canis familiaris
Burung
Dik Bangau leher hitam Ephippiorhynchus asiaticus
Dag/taon-taon Julang papua Rhyticeros plicarus
Reptilia
Keterr/Pander Biawak Varanus salvator
Raber Buaya Crocodylus novaeguineae
Tumbuhan
Po/Gargar/Waliki/
Jamjam
Kelapa Cocos nucifera L
Camai/Bikwai Wati Piper methysticum
Paliten Sagu daun panjang Metroxylon Sp
Ikan
Boboy Ikan kakap yang besar
Pidercur Ikan kakap yang sedang
Unsur Alam
Kou Air
KABRONAIN
Ada 12 Sub Marga :
1. Kupeljai
2. Kwerkejai
3. Tabaljai
4. Wonjai
5. Blojai
6. Keijei
7. Dagijai
8. Takuter
9. Bakujai
10. Jeguljai
11. Ipijai
12. Tangkajai
Burung
Guaek Kasuari
Casuarius casuarius
Kei=Guamerjai Kasuari besar bulu hitam
Dagejai Kasuari kecil
Awaniter Kasuari kecil hitam
Bayawiter Kasuari muda/kuning
Jeraket Kasuari kecil
Pinon/Binau Pergam kalung
Reptilia/Amphibi
Jeugeul Cicak
Kuh Kaki seribu
Jinbut Ular hitam berbisa
Mi Cicak dinding
Mudugul Cicak besar
Dawul Cicak hitam
Jagul Cicak garis hitam
Cicak licin bintik hitan
kuning, ukuran 40 cm
Pai/Alakh/Emeth Lintah darat
Tumbuhan
Ake/Erend/Kemol/
Teremenep/ Kelket
Gambir Endiandra fulva
Tub Rotan besar Calamus sp.
Pad Rotan kecil Calamus sp.
Kob Buluh/bambu kecil Bamboosa Sp
Atiti Puring Codoeum variegatum
Tam Sukun Artocarpus altilis
Buluh tuyu daun kecil bermiang, ruas panjang, kulit untuk pisau
tradisional (kuei), untuk anak panah.
Mamalia
Kerp Tikus kayu
Unsur Alam
Kau Air
Berakau Air sungai
Bilekau Air rawa
Bekau Mata air/Sumur
KAORKENAN
Ada 16 Sub Marga :
1. Mahujei(Sagu/Byei, Barmakr/Cendrawasih raggian
Mamalia
Yamai/Saham
Toray
Kangguru lapang Macropus agilis
Bhend Kelelawar Pteropus scapulatus
95
2. Mago (Sarang semut)
3. Galjei (Busur)
4. Kwemoy (Serak
Australia)
5. Talijei (Kelelawar)
6. Belmojai (Ikan arwana/
Billem)
7. Kabujei(Ikan
Duri/Koraw)
8. Gemter (Ikan cucut/Patel
/Watenang)
9. Murnan (Ikan cucut/
Patel / Watenang)
10. Bhjei (Sanca semak
/Patola)
11. Waliter (Serak Australia)
12. Yebze (Ular Boa Tanah)
13. Wanjei (Ikan Duri /
Koraw)
14. Samajay(Jahe/Bunggam)
15. Coulgeljai (Buaya air
tawar / Dobou)
16. Kecanter (Kap-kap/Ulat)
Burung
Barmakr Cendarwasih raggiana Paradiseae raggiana
Barmakr Cendrawasih kecil Paradiseae minor
Ceberu Tale Elang Paria Milvus migrans
Tale Elang Bondol Haliasur Indus
Watch Serak Australia Tito Novaehollandiae
Serangga
Wi Ulat sagu
Moanim Tawon sagu
Reptile
Yhthm Ular Boa tanah
Kelbi / Bill Ular Sanca semak
Dobou Buaya Air Tawar Crocodylus novaeguineae
Ikan
Koraw Ikan duri warna coklat Arius carinatus
Patel/ Watenang Ikan Cucut
Kaloso Ikan Arwana Sceloropages jardini
Unsur Lainnya
Ahk Rumah
Pegi / Thkul Busur Panah
Anak Panah
Dam Anak panah seluruhnya
Malend Ujung anak panah
Kaphi Sarung pembungkus anak panah
Mus samus Sarang rayap
YEMUNAN
Ada 6 sub marga :
1. Wenanjai Darat
2. Wenanjai Rawa
3. Kwarjai
4. Dagaljai
5. Yoakjai
6. Kwipalo
Burung
Terater Burung kenangan Vanellus miles
Tercorawer Irediparra gallinaceae
Kawai Gagak hitam
Oongh Pecuk ular Phalacrocorax sulcivostris
Karto Erystomus orientalis
Topcalo Kakatua raja Probosciger alterimus
Colak Betet Aprosmictus erythropterus
Reptilia dan Amphibi
Cako / Wolfpek Kura-Kura Leher Pendek Elseya novaeguinea
luel Kura-Kura Leher Panjang Chelodina novaguinea
Akecako Kura-Kura Dada Merah Emydura subglobosa
Debow Buaya Crocodylus novaeguineae
Keuteur Biawak Sungai Varanus sp.
Pach / Kai Biawak Lapang Varanus sp.
Nagwal Biawak rawa Varanus sp.
Beluth Moa
Payh Lintah darat
Kou payh Lintah air
Mamalia
Beuceuk / mabo Babi Sus scrofa
Jou Anjing Canis familiaris
Tumbuhan
Par / Mantan Pinang dahan panjang Arenga Sp
Yeur Bambu Bamboosa Sp
Yemulwalk Teratai Nymphaea Sp
Gonggaph Pohon tali-tali
Ikan
Kaloso/ Billem
gulalejro
Arwana sisik merah Sceloropages jardini
Diblang udang batu
Unsur Alam
Wayan Bintang
96
Lampiran 8 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Malind Imbuti dengan Kanume) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN
Wasur
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan Secara
Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan
Dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat
Di Dalam
Dan Sekitar
Hutan
Sosial Ekonomi:
- - -
- Konflik yang terjadi merupakan
suatu alat kontrol sehingga dalam
pemanfaatan lahan terdapat
pembatasan oleh aturan adat.
- Penyelesaian konflik pemanfaatan
lahan, hasil hutan kayu dan hasil
hutan bukan kayu dengan cara
mencarikan lokasi dan
mengembalikan masyarakat suku
asli yang berada pada wilayah adat
masyarakat suku asli lainnya,
dengan memperhatikan kelestarian
dan terjaganya kawasan.
- -
Sosial Budaya:
Kesamaan dalam hal alat dan
perlengkapan hidup, terjadi
kekerabatan dan perkawinan,
hukum adat, kepercayaan,
kesenian dan bahasa yang
digunakan, ini merupaka nilai
positif dalam pengelolaan
kawasan karena pemahaman
terhadap pengelolaan kawasan
lebih mudah diterima oleh
beberapa suku karena kesamaan
yang mereka miliki. Ini dapat
dipadukan dalam forum yang
mewakili suku yang ada di TNW
- - - -
97
Lanjutan Lampiran 8 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN
Wasur
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat
Di Dalam
Dan Sekitar
Hutan
Sosial Ekologi:
Dalam hal kesamaan cara dan
sistim dalam aturan
pemanfaatan sumber daya
alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat
sakral oleh masyarakat adat,
hal ini merupakan nilai positif
dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana
zonasi diambil dari tempat-
tempat sakral masyarakat suku
asli dengan memperhatkan
aturan pemanfaatan terhadap
sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak
menghambat, membatasi
masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya
alam sehingga mereka dapat
ikut serta dalam menjaga zona-
zona yang telah disepakati
bersama.
- - - - -
*) BTNW 2011
98
Lampiran 9 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Malind Imbuti dengan Marori Men Gey) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat di
Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi: - - - - - -
Sosial Budaya:
-
Kesamaan dalam hal Alat
dan perlengkapan hidup,
terjadi kekerabatan dan
perkawinan, hukum adat,
kepercayaan, kesenian dan
bahasa yang digunakan, ini
merupaka nilai positif dalam
pengelolaan kawasan karena
pemahaman terhadap
pengelolaan kawasan lebih
mudah diterima oleh
beberapa suku karena
kesamaan yang mereka
miliki. Ini dapat dipadukan
dalam forum yang mewakili
suku yang ada di TNW.
- - - -
Sosial Ekologi:
Dalam kesamaan cara dan sistim
dalam aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat sakral oleh
masyarakat suku asli, ini merupakan
nilai positif dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana zonasi
diambil dari tempat-tempat sakral
masyarakat suku asli dengan
memperhatkan aturan pemanfaatan
- - - - -
99
Lanjutan Lampiran 9 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat Di
Dalam Dan
Sekitar
Hutan
terhadap sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak menghambat,
membatasi masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya alam
sehingga mereka dapat ikut serta
dalam menjaga zona-zona yang telah
disepakati bersama.
*) BTNW 2011
100
Lampiran 10 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Malind Imbuti dengan Yeinan) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat di
Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi: - - - - - -
Sosial Budaya:
-
Kesamaan dalam hal Alat
dan perlengkapan hidup,
terjadi kekerabatan dan
perkawinan, hukum adat,
kepercayaan, kesenian dan
bahasa yang digunakan, ini
merupaka nilai positif dalam
pengelolaan kawasan karena
pemahaman terhadap
pengelolaan kawasan lebih
mudah diterima oleh
beberapa suku karena
kesamaan yang mereka
miliki. Ini dapat dipadukan
dalam forum yang mewakili
suku yang ada di TNW.
- - - -
Sosial Ekologi:
Dalam hal kesamaan cara dan sistim
dalam aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat sakral oleh
masyarakat suku asli, ini merupakan
nilai positif dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana zonasi
diambil dari tempat-tempat sakral
masyarakat suku asli dengan
memperhatkan aturan pemanfaatan
- - - - -
101
Lanjutan Lampiran 10 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat Di
Dalam Dan
Sekitar
Hutan
terhadap sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak menghambat,
membatasi masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya alam
sehingga mereka dapat ikut serta
dalam menjaga zona-zona yang telah
disepakati bersama.
- - - - -
*) BTNW 2011
102
Lampiran 11 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Kanume dengan Marori Men Gey) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat di
Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi: - - - - - -
Sosial Budaya:
-
Kesamaan dalam hal
Alat dan perlengkapan
hidup, terjadi kekerabatan
dan perkawinan, hukum
adat, kepercayaan, kesenian
dan bahasa yang digunakan,
ini merupaka nilai positif
dalam pengelolaan kawasan
karena pemahaman terhadap
pengelolaan kawasan lebih
mudah diterima oleh
beberapa suku karena
kesamaan yang mereka
miliki. Ini dapat dipadukan
dalam forum yang mewakili
suku yang ada di TNW.
- - - -
Sosial Ekologi:
Dalam hal kesamaan cara dan sistim
dalam aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat sakral oleh
masyarakat adat, hal ini merupakan
nilai positif dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana zonasi
diambil dari tempat-tempat sakral
masyarakat suku asli dengan
memperhatkan aturan pemanfaatan
- - - - -
103
Lanjutan Lampiran 11 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat Di
Dalam Dan
Sekitar
Hutan
terhadap sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak menghambat,
membatasi masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya alam
sehingga mereka dapat ikut serta
dalam menjaga zona-zona yang telah
disepakati bersama.
- - - - -
*) BTNW 2011
104
Lampiran 12 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Kanume dengan Yeinan) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat di
Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi: - - - - - -
Sosial Budaya:
-
Kesamaan dalam hal
Alat dan perlengkapan
hidup, terjadi kekerabatan
dan perkawinan, hukum
adat, kepercayaan, kesenian
dan bahasa yang digunakan,
ini merupaka nilai positif
dalam pengelolaan kawasan
karena pemahaman terhadap
pengelolaan kawasan lebih
mudah diterima oleh
beberapa suku karena
kesamaan yang mereka
miliki. Ini dapat dipadukan
dalam forum yang mewakili
suku yang ada di TNW.
- - - -
Sosial Ekologi:
Dalam hal kesamaan cara dan sistim
dalam aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat sakral oleh
masyarakat adat, hal ini merupakan
nilai positif dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana zonasi
diambil dari tempat-tempat sakral
masyarakat suku asli dengan
memperhatkan aturan pemanfaatan
- - - - -
105
Lanjutan Lampiran 12 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat Di
Dalam Dan
Sekitar
Hutan
terhadap sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak menghambat,
membatasi masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya alam
sehingga mereka dapat ikut serta
dalam menjaga zona-zona yang telah
disepakati bersama.
- - - - -
*) BTNW 2011
106
Lampiran 13 Implikasi Interaksi Antar Masyarakat Suku Asli (Marori Men Gey dengan Yeinan) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat di
Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi: - - - - - -
Sosial Budaya:
-
Kesamaan dalam hal Alat
dan perlengkapan hidup,
terjadi kekerabatan dan
perkawinan, hukum adat,
kepercayaan, kesenian dan
bahasa yang digunakan, ini
merupaka nilai positif dalam
pengelolaan kawasan karena
pemahaman terhadap
pengelolaan kawasan lebih
mudah diterima oleh
beberapa suku karena
kesamaan yang mereka
miliki. Hal dapat dipadukan
dalam forum yang mewakili
suku yang ada di TNW.
- - - -
Sosial Ekologi:
Dalam hal kesamaan cara dan sistim
dalam aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda-benda adat dan
sistem penentuan tempat sakral oleh
masyarakat adat, hal ini merupakan
nilai positif dalam kemantapan dan
penataan kawasan dengan cara
penentuan zonasi, dimana zonasi
diambil dari tempat-tempat sakral
masyarakat suku asli dengan
memperhatkan aturan pemanfaatan
- - - - -
107
Lanjutan Lampiran 13 Rencana kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan Status dan
Penataan Kawasan TN Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan
Kawasan Secara
Optimal
Fungsi Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat Di
Dalam Dan
Sekitar
Hutan
terhadap sumber daya alam, benda-
benda dan simbol adat dari
masyarakat suku asli. Zonasi
terhadap TNW tidak menghambat,
membatasi masyarakat dalam
pemanfaatan sumber daya alam
sehingga mereka dapat ikut serta
dalam menjaga zona-zona yang telah
disepakati bersama.
- - - - -
*) BTNW 2011
108
Lampiran 14 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Malind Imbuti VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Suku Malind Imbuti dipengaruhi
dalam penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan)
b. Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Malind Imbuti seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku Malind Imbuti, maka
TNW perlu menggali
kembali budaya masyarakat
suku Malind Imbuti.
- . - .
109
Lanjutan Lampiran 14 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya:
- -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang dari
Jawadipengaruhi dan
dibatasi oleh aturan
pemanfaatan sumber daya
alam, benda simbol adat dan
tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku Malind
Imbutii dan pendatang dari
Jawa dibatasi oleh aturan
adat yang berlaku sehingga ,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
110
Lampiran 15 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Malind Imbuti VS Sulawesi) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian, Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan satwa
eksotik sebagai tanaman dan satwa
ternak sehingga penggunaan
tumbuhan dan satwa adat mulai
pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan dalam
aktifitas adat dan budaya.
- Mengontrol masuknya satwa/
tumbuhan eksotik yang dapat
mengancam keberadaan satwa/
tumbuhan yang merupakan
totem masyarakat suku asli.
- . - .
Suku Malind Imbutii dipengaruhi
dalam penggunaan sarana produksi,
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi dan pemberian modal
finansial dari masyarakat sulawesi
kepada masyarakat Malind Imbuti.
a.Kontrol penggunaan sarana
produksi yang ramah lingkungan
dan menerapkan keberlanjutan
(seperti spesifikasi jenis, kelamin
dan ukuran ikan yang
diperbolehkan untuk dimanfaatkan)
b. Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
c. Transparansi sistem informasi pasar
terutama menyangkut besaran harga
yang berlaku, jumlah dan jenis
satwa yang dapat diperdagangkan.
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup suku Kanume
seperti pakaian, perumahan, senjata
dan alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan tingkat
kearifan lokal, dimana biasanya
mereka menggunakan alat dan
perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal ini
menyebabkan berkurangnya
potensi wisata budaya
masyarakat suku asli, maka
TNW perlu menggali
kembali budaya masyarakat
suku asli.
- . - .
111
Lanjutan Lampiran 15 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan
dan
Pengembanga
n
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya:
- -
mereka dari alam sehingga mereka
menjaga alam tersebut agar jangan
rusak dengan adanya alternatif alat
dan perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol adat
dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh aturan
adat yang berlaku sehingga ,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
112
Lampiran 16 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Malind Imbuti VS Maluku) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Suku Malind Imbuti dipengaruhi
dalam penggunaan sarana produksi
mengadopsi sistim produksi dari
masyarakat Maluku.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Malind Imbuti seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
113
Lanjutan Lampiran 16 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya: - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- -
Masyarakat suku asli
mempunyai aturan didalam
pemanfataan sumber daya alam
seperti sasi adat , dan pada saat
ni telah masuk juga aturan
pemanfaatan yang diadopsi dari
masyarakat pendatang yaitu
sasi gereja. Ini merupakan
kekuatan yang dapat dipadukan
sehingga pemanfaatan
terhadap satwa dan tumbuhan
dapat diatur, sehingga
kelestarian dari pada satwa dan
tumbuhan tetap terjaga.
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
114
Lampiran 17 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Kanume VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Kanume seperti pakaian,
perumahan, senjata dan alat
produksi merupakan nilai positif
bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
115
Lanjutan Lampiran 17 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya: - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
116
Lampiran 18 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Kanume VS Sulawesi) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Kanume seperti pakaian,
perumahan, senjata dan alat
produksi merupakan nilai positif
bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
117
Lanjutan Lampiran 18 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya: - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
118
Lampiran 19 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Kanume VS Maluku) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Kanume seperti pakaian,
perumahan, senjata dan alat
produksi merupakan nilai positif
bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
119
Lanjutan Lampiran 19 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Buday: - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- -
Masyarakat suku asli
mempunyai aturan didalam
pemanfataan sumber daya alam
seperti sasi adat , dan pada saat
ni telah masuk juga aturan
pemanfaatan yang diadopsi dari
masyarakat pendatang yaitu
sasi gereja. Ini merupakan
kekuatan yang dapat dipadukan
sehingga pemanfaatan
terhadap satwa dan tumbuhan
dapat diatur, sehingga
kelestarian dari pada satwa dan
tumbuhan tetap terjaga.
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
120
Lampiran 20 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Marori Men Gey VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Marori Men Gey seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
121
Lanjutan Lampiran 20 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya: - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
122
Lampiran 21 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Marori Men Gey VS Sulawesi) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Marori Men Gey seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
123
Lanjutan Lampiran 21 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya: - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
124
Lampiran 22 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Marori Men Gey VS Maluku) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Marori Men Gey seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
125
Lanjutan Lampiran 22 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- -
Masyarakat suku asli
mempunyai aturan didalam
pemanfataan sumber daya alam
seperti sasi adat , dan pada saat
ni telah masuk juga aturan
pemanfaatan yang diadopsi dari
masyarakat pendatang yaitu
sasi gereja. Ini merupakan
kekuatan yang dapat dipadukan
sehingga pemanfaatan
terhadap satwa dan tumbuhan
dapat diatur, sehingga
kelestarian dari pada satwa dan
tumbuhan tetap terjaga.
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011
126
Lampiran 23 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Yeinan VS Jawa) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Marori Men Gey seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
127
Lanjutan Lampiran 23 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- - -
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
128
Lampiran 24 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Yeinan VS Sulawesi) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan TN
Wasur
Kelembagaan
Pengelolaan TNW
Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri
yang Dilandasi
Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam
Hayati dan
Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan Secara
Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan
dan
Pengembangan
Peningkatan
Ekonomi
Masyarakat di
Dalam dan Sekitar
Hutan
Sosial Ekonomi:
- - - - - -
Sosial Budaya:
- - - - - -
Sosial Ekologi: - - - - - -
*) BTNW 2011
129
Lampiran 25 Implikasi Interaksi Masyarakat Suku Asli dengan Masyarakat Pendatang (Yeinan VS Maluku) Terhadap Pengelolaan TNW
Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan Sekitar Hutan
Sosial Ekonomi:
-
Pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk kebutuhan
perumahan dan sarana-
prasarana perkantoran hal
ini akan mengarah pada nilai
materi dari kayu tersebut,
dalam pemanfaatannya perlu
diatur agar pemanfaatannya
tepat sasaran, dengan cara:
- Pengaturan tata usaha
pemanfaatan HHK dan
HHBK yang diselaraskan
dengan aturan adat dan
formal yang berlaku
- Pemanfaatan hasil hutan
secara kolaboratif dengan
stakeholders terkait agar
efektif dan sustain
Masuknya jenis tanaman dan
satwa eksotik sebagai tanaman
dan satwa ternak sehingga
penggunaan tumbuhan dan
satwa adat mulai pudar.
- Pelestarian jenis satwa dan
tumbuhan yang digunakan
dalam aktifitas adat dan
budaya.
- Mengontrol masuknya
satwa/ tumbuhan eksotik
yang dapat mengancam
keberadaan satwa/ tumbuhan
yang merupakan totem
masyarakat suku asli.
- . - .
Masyarakat asli dipengaruhi dalam
penggunaan sarana produksi.
Masyarakat asli mengadopsi sistim
produksi.
a. Kontrol penggunaan sarana produksi
yang ramah lingkungan dan
menerapkan keberlanjutan (seperti
spesifikasi jenis, kelamin dan ukuran
ikan yang diperbolehkan untuk
dimanfaatkan).
b.Pendampingan sistem pertanian
intensif bagi masyarakut suku asli
Sosial Budaya:
- . - .
Perubahan didalam alat dan
perlengkapan hidup masyarakat
suku Marori Men Gey seperti
pakaian, perumahan, senjata dan
alat produksi merupakan nilai
positif bagi pembangunan, tetapi
perubahan tersebut akan
melunturkan/ menghilangkan
tingkat kearifan lokal, dimana
biasanya mereka menggunakan
alat dan perlengkapan hidup
Dengan pudar/hilangnya
simbol adat seperti bahasa,
kesenian dan rumah adat
masyarakat suku asli, hal
ini menyebabkan
berkurangnya potensi
wisata budaya masyarakat
suku asli, maka TNW perlu
menggali kembali budaya
masyarakat suku asli.
- . - .
130
Lanjutan Lampiran 25 Rencana Kegiatan
Pengelolaan
Kawasan
TNW*
Hasil Interaksi
Kemantapan
Status dan
Penataan
Kawasan
TNW
Kelembagaan Pengelolaan
TNW Berbasis Resort yang
Kuat dan Mandiri yang
Dilandasi Partisipasi dan
Kolaborasi dengan
Masyarakat Adat dan
Stakeholders lainnya.
Pengawetan
Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Pemanfaatan Kawasan
Secara Optimal
Fungsi
Penelitian,
Pendidikan dan
Pengembangan
Peningkatan Ekonomi
Masyarakat
di Dalam dan
Sekitar Hutan
Sosial Budaya - -
mereka dari alam sehingga
mereka menjaga alam tersebut
agar jangan rusak dengan
adanya alternatif alat dan
perlengkapan dari luar maka
masyarakat suku asli tidak
menggantukan dari alam.
- - -
Sosial Ekologi:
- -
Masyarakat suku asli
mempunyai aturan didalam
pemanfataan sumber daya alam
seperti sasi adat , dan pada saat
ni telah masuk juga aturan
pemanfaatan yang diadopsi dari
masyarakat pendatang yaitu
sasi gereja. Ini merupakan
kekuatan yang dapat dipadukan
sehingga pemanfaatan
terhadap satwa dan tumbuhan
dapat diatur, sehingga
kelestarian dari pada satwa dan
tumbuhan tetap terjaga.
Masyarakat pendatang
dipengaruhi dan dibatasi oleh
aturan pemanfaatan sumber
daya alam, benda simbol
adat dan tempat sakral dalam
pemanfaatan sumber daya
alam, hal ini merupakan nilai
positif dalam pengelolaan
TNW, dimana pemanfaatan
terhadap sumber daya alam
yang dilakukan oleh
masyarakat suku asli dan
pendatang dibatasi oleh
aturan adat yang berlaku,
sehingga pengawetan sumber
daya alam hayati dan
ekosistem dapat terjaga.
- -
*) BTNW 2011