Upload
vandiep
View
317
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Integrasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Fisika dalam Rangka
Menyiapkan Sumber Daya Manusia Berkarakter Kuat Menyongsong
Era Revolusi Industri 4.0
I Wayan Suastra
Universitas Pendidikan Ganesha
Act Locally Thinks Globally
PENDAHULUAN
Era revolusi industri 4.0
merupakan abad yang sering disebut era
disruption (kekacauan/disrupsi), penuh
dengan kompleksitas dan ketidakpastian
serta menghasilkan generasi milenia
yang antara lain memiliki ciri-ciri:
kecanduan internet (sebagian besar
waktunya untuk internet/sosial media),
suka bekerja, suka bermain, bersenang-
senang, hidupnya konsumtif, dan kurang
perhatian.
Gardner (2007) menyatakan
bahwa untuk menghadapi tantangan
masa depan yang begitu kompleks dan
cepat ini adalah dengan menguasai lima
pikiran untuk masa depan (five minds for
the future) yang meliputi: pikiran
terdisiplin, pikiran menyintesis, pikiran
mencipta, pikiran merespek, dan pikiran
etis. Artinya, selain sumber daya manusia
itu cerdas (smart), juga diperlukan
pikiran dan perilaku etis (karakter
baik/good character).
Saat ini berbagai persoalan dialami
bangsa Indonesia, seperti maraknya
intoleransi, radikalisme, terorisme, fitnah
di media sosial (Hoak), korupsi,
pemerasan/kekerasan (bullying),
penggunaan narkoba (Badan Narkotika
Nasional menyatakan ada lebih dari 3,6
juta penduduk pecandu narkoba di
Indonesia tahun 2010), rapuhnya rasa
kebangsaan baik dari kalangan
masyarakat biasa sampai yang
berpendidikan tinggi, serta adanya
sekelompok masyarakat yang ingin
mengganti dasar negara kita Pancasila
yang berlandaskan ke-bhineka-an dengan
ideologi lain. Persoalan ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja karena akan
berakibat pada runtuhnya tatanan
kebangsaan kita. Salah satu yang diduga
sebagai penyebab persoalan ini adalah
kurang ditanamkannya secara baik
karakter kebangsaan dalam proses
pendidikan di sekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapatnya Zamroni (2000:1)
yang mengatakan bahwa dewasa ini,
pendidikan cenderung menjadi sarana
"stratifikasi sosial" dan sistem
persekolahan yang hanya mentransfer
kepada peserta didik apa yang disebut
sebagai dead knowledge, yaitu
pengetahuan yang terlalu bersifat hafalan
(textbookish), sehingga bagaikan sudah
diceraikan dari akar budayanya. Lebih
lanjut, Suastra (2017) menyatakan bahwa
nilai-nilai kearifan lokal yang ada di
masyarakat kurang mendapat perhatian
dalam proses pembelajaran di sekolah,
padahal nilai-nilai tersebut masih sangat
relevan diterapkan dalam kehidupan
bermasyarat dan dapat menjaga keutuhan
banga Indonesia. Fenomena ini
mengindikasikan kegagalan dalam
bidang dalam mengembangkan
pendidikan nilai. Lebih lanjut, Widja
(2016) mengatakan bahwa carut-
marutnya bangsa ini disebabkan karena
adanya disfungsi sekolah dalam
pendidikan budi pekerti (moral). Kurang
baiknya moral siswa berakibat pada
rendahnya karakter siswa adalah
2
indikator kegagalan guru dalam
mengintegrasikan pengetahuan tentang
nilai menjadi tindakan yang positif
(Lickona, 1999; Lopes, dkk, 2013; Abu,
dkk, 2014; Aisah, 2014). Sudah saatnya
segera dibangun kembali kesadaran akan
pentingnya pembinaan karakter bagi
insan Indonesia melalui pendidikan yang
bermutu. Sesuai dengan pendapatnya
Elmubarok (2008) yaitu, mengumpulkan
yang terserak, menyambung yang
terputus, dan menyatukan yang tercerai.
Berkenaan dengan tuntutan
kebutuhan dunia kerja di masa depan,
National Association College Employers
(NACE) tahun 2015 menguraikan bahwa
5 teratas keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan dunia usaha adalah 1)
kemampuan bekerja dalam tim (4,55), 2)
kemampuan mengambil keputusan yang
tepat dan pemecahan masalah (4,50), 3)
merencanakan, mengorganisasi, dan
memprioritaskan pekerjaan (4,48), 4)
kemampuan memperoleh informasi dan
memproses informasi (4,48), serta 5)
kemampuan menganalisis data
kuantitatif (4,37) dengan skor maksimal.
Artinya, untuk mengantisipasi
perkembangan dunia yang begitu cepat
dan kompleks ini diperlukan sumber
daya manusia yang berkualitas dan
berdaya saing tinggi dengan menekankan
pada karakter (kecerdasan sosial,
kecerdasan emosiaonal, dan kecerdasan
spiritual).
Rendahnya kualitas pendidikan
tidak bisa lepas dari peran guru dalam
proses pendidikan. Perhatian utama
dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan adalah meningkatkan kualitas
guru. Jadi, gurulah yang memegang
peranan sentral dalam proses pendidikan,
di samping faktor-faktor lainnya seperti:
kurikulum, serta sarana dan prasarana
pendukung lainnya. Guru merupakan
unsur penentu terciptanya mutu
pelayanan dan hasil pendidikan
(Zamroni, 2001). Oleh karena itu, bangsa
Indonesia memerlukan guru yang cerdas,
arif, dan berkarakter Indonesia agar
mampu menghasilkan sumber daya
manusia yang kompeten, cerdas, dan
berkarakter bangsa Indonesia yang kuat.
ASPEK BUDAYA PADA
PEMBELAJARAN FISIKA
Untuk mempelajari proses
pembelajaran fisika di sekolah, selain
memakai teori psikologi yang berakar
pada konstruktivisme individu (personal
constructivism) dan perspektif sosiologi
yang bertumpu pada konstruktivisme
sosial (social constructivism), para
peneliti dan ahli pendidikan sains saat ini
mencoba untuk menggunakan kajian
teori anthropologi (anthropological
perspective). Yang terakhir ini mencoba
melihat proses pembelajaran fisika di
sekolah pada setting budaya masyarakat
sekitar (Suastra, 2005; Cobern dan
Aikenhead, 1996). Menurut perspektif
antropologi, pembelajaran fisika
dianggap sebagai transmisi budaya
(cultural transmission) dan pembelajaran
fisika sebagai "penguasaan" budaya
(cultural acquisition). Dengan demikian,
proses belajar mengajar fisika di kelas
dapat diibaratkan sebagai proses
pemindahan dan perolehan budaya dari
guru dan oleh murid. Untuk pembatasan,
kata budaya (culture) yang dimaksud di
sini adalah suatu sistem atau tatanan
tentang simbol dan arti yang berlaku pada
interaksi sosial suatu masyarakat (Geertz,
1992). Berdasarkan batasan ini, fisika
dapat dianggap sebagai subbudaya
kebudayaan Barat (Euro-Amerika). Oleh
karena itu, sains asli (budaya lokal) dari
suatu komunitas di Indonesia (non-Barat)
adalah subbudaya dari kebudayaan
komunitas tersebut.
Pengaruh sains barat sangat kuat
pada pembelajaran fisika (sains) di
sekolah yang tujuan utamanya adalah
transmisi budaya dari budaya negara
yang dominan (Stanley dan Brickhouse,
2001). Pentransmisian subkultur sains
dapat mendorong dan dapat
menghancurkan atau memisahkan. Jika
subkultur sains pada umumnya harmonis
3
dengan budaya sehari-hari siswa,
pembelajaran sains akan memiliki
kecenderungan untuk memperkuat
pandangan siswa terhadap alam semesta,
dan hasilnya adalah inkulturasi (Hawkins
& Pea, 1987). Jika inkulturasi terjadi,
maka berpikir ilmiah siswa tentang
kehidupan sehari-hari akan meningkat.
Tetapi jika subkultur sains berbeda
dengan budaya sehari-hari siswa tentang
alam semesta, seperti yang terjadi pada
kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa,
2002), maka pembelajaran sains akan
memiliki kecenderungan untuk
menghancurkan atau memisahkan
pandangan siswa terhadap alam sehingga
siswa akan meninggalkan atau
meminggirkan cara asli mereka.
Hasilnya adalah asimilasi (Jegede &
Aikenhead, 2000) yang konotasinya
sangat negatif sebagai bukti adanya
“hegemoni pendidikan” atau
“imperialisme budaya” (Battiste dalam
Cobern & Aikenhead, 1996:5). Siswa
akan berjuang menegosiasi untuk
menembus batas antara subkultur yang
asli dan subkultur sains. Tetapi, dalam
kenyataannya, siswa sering menolak
aspek-aspek penting budayanya sendiri.
Sebagai contoh, dalam penelitian yang
berseri dari tahun 1972 sampai tahun
1980 di Papua New Guenia telah
ditemukan pengaruh tersembunyi yang
signifikan terhadap terjadi pemisahan
siswa dari budaya tradisionalnya. Pada
sekolah-sekolah yang lebih formal,
siswanya lebih menerima alienisasi.
Untuk kasus di Bali, hal itu dapat dilihat
dari makin banyaknya kerusakan
lingkungan alam seperti rusaknya hutan
lindung, terleklamasinya pantai untuk
kepentingan hotel, rusaknya terumbu
karang di berbagai tempat, makin
sedikitnya hutan, serta makin
berkurangnya binatang langka yang ada
di Bali (burung jalak Bali, Penyu hijau,
burung kokokan), serta makin
berkurangnya bangunan-bangunan
tradisional Bali yang penuh dengan nilai-
nilai kearifan tradisional.
KESULITAN SISWA
(MASYARAKAT TIMUR) DALAM
BELAJAR SAINS (FISIKA)
Para ahli yang berkecimpung
dalam penelitian tentang keterlibatan
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh
siswa dalam proses pembelajaran sains
menggunakan sebuah metafora atau
pengkiasan yang diberi nama "metafora
sang pelintas batas” (border crossing
methaphor) untuk menjelaskan proses
pembelajaran sains dari perspektif
antropologi (Jegede & Aikenhead, 2000;
Wahyudi, 2003:7). Menurut metafora ini,
siswa dianggap sebagai sang pelintas
batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai
budaya keseharian mereka dengan nilai-
nilai budaya sains di sekolah yang pada
dasarnya didominasi oleh budaya sains
Barat. Kata "batas" di sini adalah "batas
imajiner" yaitu batas yang ada dalam
pikiran, bukan batasan secara material.
Menggunakan metafora ini, Costa (1995)
mengelompokkan siswa ke dalam lima
kategori berdasarkan cara mereka masuk
ke dalam budaya sains di kelas dari
budaya keseharian mereka, seperti
digambarkan dalam Gambar 1 berikut.
4
Gambar 1 Proses Usaha Kelima Kelompok Siswa dalam Melintasi "Batas" Budaya
Keterangan :
CB = cultural border (batas budaya)
IDKS = I don’t know students
PS = potential scientist student
OS = outsider students
OSK = other smart kids
Kelompok pertama disebut dengan
“Potential Scientist ” (PS). Siswa dalam
kelompok ini dapat dengan mudah
melintasi batas kedua budaya (CB) yaitu
budaya sekolah sains dan budaya
keseharian mereka secara alami, seolah-
olah batas tersebut tidak ada bagi
mereka. Kelompok kedua disebut dengan
“Other Smart Kids” (OSK), yaitu
kelompok siswa yang dapat melewati
batas dengan baik, namun mereka masih
menganggap dan mengakui sains sebagai
sebuah budaya asing. Siswa dalam
kelompok ini kebanyakan suka
menggunakan cara “cerdas" untuk
berhasil dalam pembelajaran sains.
Mereka dapat membangun konstruks
pengetahuan sains di dalam skemata
mental mereka dan menyimpannya
dalam memori jangka panjang yang
hanya dapat diakses lagi ketika
diperlukan pada saat ujian. Kelompok
ketiga adalah “I Don’t Know
Students”(IDKS), yaitu suatu kelompok
yang menghadapi masalah serius dalam
melintasi batas kedua budaya tersebut,
tetapi mau belajar untuk mengatasinya,
dan berhasil menggunakan cara Fatima’s
Rule secara terus menerus. Kelompok ini
mungkin berhasil di dalam ujian
pelajaran sains, namun mereka tidak
memahami konsep sains secara
komprehensif. Mereka cenderung
menghafal konsep, bukan
memahaminya. Kelompok keempat
adalah “Outsider” (OS), yaitu kelompok
siswa yang cenderung terasing selama
proses pembelajaran sains berlangsung.
Kelompok ini menghadapi masalah besar
dalam usaha melintasi batas budaya.
Kelompok siswa ini hampir tidak
mungkin dapat melintasi batas tersebut.
Hal ini disebabkan oleh begitu kuatnya
pengaruh nilai kebudayaan keseharian
mereka, dibandingkan dengan konsep-
konsep sains yang mereka pelajari di
kelas. Kelompok terakhir adalah “Inside
Outsider” yaitu suatu kelompok yang
merasakan diskrimasi budaya oleh sains
modern sehingga mereka merasakan
tidak mungkin dapat menembus batas
kedua budaya tersebut. Kelompok ini
sebenarnya memiliki keinginan yang
School’s Culture
School Science Culture
PS
CB
Student Prior Beliefs
OS
OSK &
IDKS
IOS
5
besar, namun menjadi asing di
kelas/sekolah karena kelas/sekolah tidak
menyediakan tempat untuk nilai-nilai
budaya siswa (student’s prior belief).
Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan
(teralienisasi) sehingga tidak
mendapatkan pengetahuan sains yang
bermakna bagi hidup mereka.
Ogunniyi (dalam Aikenhead,
2000:8) menjelaskan bahwa pandangan
asli yang bertentangan dengan pemikiran
sains Barat tidak menghalangi
pemahaman sains siswa dan bahkan
pandangan asli dan pandangan ilmiah
tentang dunia dimungkinkan untuk
diajarkan secara silmultan. George
(2001:3) menyatakan dua hal (1) Pada
belajar kolateral paralel (parallel
collateral learning), siswa dapat
memiliki kedua skemata yang hanya
sedikit persamaannya (sains aslinya
belum dapat dijelaskan sains Barat), dan
akan menerima skemata yang terbaik dan
cocok dengan situasi yang dimilikinya.
(2) Melalui belajar kolateral yang
menguatkan (secured collateral
learning), siswa dapat dengan mudah
menyelesaikan konflik skematanya
karena hanya sedikit perbedaan. Siswa
mungkin akan memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang kedua skemata
karena sedikit perbedaan (sains aslinya
dapat dijelaskan dengan sains Barat).
Berdasarkan uraian tersebut,
jelas bahwa siswa dalam konteks
masyarakat tradisional (Timur termasuk
Indonesia) akan mengalami kesulitan
yang lebih besar dibandingkan dengan
siswa dari negara Barat dalam
mengkonstruksi sains dan sikap-sikap
ilmiah. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan konsep, pemaknaan
(epistemologi), dan cara memperoleh
pengetahuan mereka. Oleh karena itu,
dalam pembelajaran sains di sekolah,
perlu adanya bridging gap agar terjadi
keharmonisan budaya yang datang dari
Barat dengan budaya yang mereka miliki
sebagai warisan leluhur mereka dan
bagian dari kehidupan keseharian
mereka. Dengan demikian, budaya yang
dimiliki siswa dalam masyarakat
tradisional tidak begitu saja hilang
dengan datangnya budaya sains Barat,
tetapi dapat berjalan secara paralel dan
bahkan dapat menguatkan budaya yang
telah ada sebelumnya (inkulturasi).
PENTINGNYA PENDIDIKAN
KARAKTER BERBASIS
KEARIFAN LOKAL DI DALAM
PEMBELAJARAN
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008), karakter merupakan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain. Dengan demikian,
karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik
yang terpatri dalam diri dan
terejawantahkan dalam perilaku. Lebih
lanjut diuraikan dalam Disain Induk
Pembangunan Karakter Bangsa 2010-
2015 dimaknai sebagai tahu nilai
kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata
berkehidupan baik. Jadi, karakter dalam
tulisan ini adalah seperti yang dinyatakan
terakhir. Sebagai identitas atau jati diri
suatu bangsa, karakter merupakan nilai
dasar perilaku yang menjadi acuan tata
nilai interaksi antara manusia. Secara
universal karakter dirumuskan sebagai
nilai hidup bersama berdasarkan atas
pilar: kedamaian (peace), menghargai
(respect), kerja sama (cooperation),
kebebasan (freedom), kebahagiaan
(happiness), kejujuran (honesty),
kerendahan hati (humility), kasih sayang
(love), tanggung jawab (responsibility),
kesederhanaan (simplicity), toleransi
(tolerance), dan persatuan (unity)
(Samani & Hariyanto, 2011).
Pendidikan karakter adalah
upaya sadar dan sungguh-sungguh dari
seorang guru untuk mengajarkan nilai-
nilai kepada para siswanya (Winston,
2010). Pendidikan karakter telah
menjadi sebuah pergerakan pendidikan
yang mendukung pengembangan sosial,
pengembangan emosional, dan
pengembangan etik para siswanya.
6
Dengan demikian, pendidikan karakter
adalah merupakan upaya sadar dan
sistematis baik oleh sekolah maupun
pemerintah untuk membantu siswa
mengembangkan nilai-nilai pokok (core
vaule) nilai-nilai etik dan nilai-nilai
kinerja, seperti kepedulian, kejujuran,
kerajinan, fairness, keuletan, dan
ketabahan (fortitude). Lebih lanjut Burke
(2001) mengatakan bahwa pendidikan
karakter merupakan bagian dari
pembelajaran yang baik dan merupakan
bagian fundamental dari pendidikan yang
baik atau dapat juga dikatakan sebagai
pengembangan karakter yang mulia
(good character).
Karakter adalah sesuatu yang
sangat penting dan vital bagi tercapainya
tujuan hidup. Karakter merupakan
dorongan pilihan untuk menentukan yang
terbaik dalam hidup. Sebagai bangsa
Indonesia setiap dorongan pilihan itu
harus dilandasi oleh Pancasila.
Sementara itu sudah menjadi fitrah
bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa
yang multi suku, multi ras, multi bahasa,
multi adat, dan tradisi. Untuk tetap
menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia maka kesadaran untuk
menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika
merupakan siatu condisio sine quanon,
syarat mutlak yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi, karena pilihan lainnya adalah
runtuhnya negara ini. Karakter yang
berlandaskan Pancasila adalah karakter
yang dijiwai oleh kelima sila Pancasila
secara utuh dan komprehensif yaitu:
bangsa yang berketuhanan Yang Maha
Esa, bangsa yang menjunjung tinggi
kemanusiaan yang adil dan beradab,
bangsa yang mengedepankan persatuan
dan kesatuan bangsa, dan bangsa yang
demokratis dan menjunjung tinggi
hukum dan hak hasasi manusia, serta
bangsa yang mengedepankan keadilan
dan kesejahteraan. Begitu pentingnya
karakter dalam konteks universal
sehingga Wiliam Franklin Graham,Jr
mengatakan sebagai berikut.
When wealth is lost, nothing is lost
When health is lost, something is lost
When character is lost, everything is lost
Bila harta benda yang hilang, tidak ada
sesuatu berarti yang hilang
Bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang
hilang
Bila karakter yang hilang, segala
sesuatunya hilang
Berkenaan karakter berbasis nilai
kearifan lokal Bali yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran
fisika telah ditemukan Suastra (2017b),
yaitu seperti yang tertuang pada Tabel 1
berikut ini.
NO ASPEK KARAKTER INDIKATOR
1 RELIGIUS
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya
Mengagumi kebesaran Tuhan atas
fenomena-fenomena fisika (gejala alam)
yang menakjubkan dan tersembunyi
Merasakan kebesaran Tuhan dengan
keberagaman yang ada di dunia
2 BERKATA BENAR DAN
BERBUAT JUJUR
Perilaku yang menyatukan pikiran,
perkataan, dan tindakan yang benar
(Tri Kaya Parisudha)
Mau mengemukakan sesuatu yang
diyakinininya benar
Jujur dalam mengerjakan tugas atau tes
fisika
Terbuka dalam mengungkapkan kesulitan
belajarnya baik kepada teman maupun
guru
3 TOLERANSI (TATTWAMASI,
MENYAMA BRAYA)
Tidak membedakan suku, ras, agama
dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah
7
Sikap persaudaraan tanpa membedakan
agama, suku, etnis, sosial ekonomi,
dan jenis kelamin
Mau menerima pendapat yang berbeda
dari teman lainnya bila diyakininya benar
4 TANGGUNG JAWAB (SESANA
ATAU SWADHARMA)
Rasa dan sikap tanggung jawab
terhadap tugas dan kewajibannya
Menggunakan waktu secara efektif untuk
menyelesaikan tugas-tugas di kelas dan di
luar kelas
Mengerjakan tugas fisika dengan teliti
dan rapi serta mengumpulkannya tepat
waktu
Selalu berusaha untuk mencari informasi
tentang materi pelajaran fisika dari
berbagai sumber
5. RASA INGIN TAHU (SEKADI
NYAMPAT (MENYAPU), HILANG
LUHU BUKE KATAH)
Bertanya,mendiskusikan, dan ingin
menyelidiki/mengetahui berbagai
peristiwa yang ada di alam
Selalu membaca buku keilmuan,sains,
teknologi, dan budaya
Selalu ingin mencoba melakukan
penyelidikan terkait fenomena alam yang
berhubungan dengan fisika
Selalu ingin mencari tahu jawaban lain
dari permasalahan fisika yang
dipecahkannya
6 JENGAH
Sikap dan perilaku malu jika gagal atau
tidak bisa menyelesaikan tugas
maupun kewajibannya
Malu bila tidak bisa menyelesaikan tugas-
tugas yang diberikan oleh guru
Malu ketahuan menyontek dalam
ulangan/ujian fisika
Malu jika tidak bisa berkontribusi dalam
setiap kegiatan pembelajaran
7 SUKA BEKERJA KERAS DAN
DERMAWAN
Melakukan pekerjaan sampai
memperoleh hasil yang memuaskan
dan bermanfaat bagi diri dan orang lain
Atharwaveda XX.18.3
Atharwaveda III.24.5
Tekun mengikuti pembelajaran untuk
memperoleh hasil yang memuaskan
Suka menolong atau membantu teman
yang memerlukan bantuan
8 PEDULI DAN BERSAHABAT
DENGAN ALAM(SEKADI MANIK
RING CACUPU)
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya menjaga dan melestarikan
lingkungan alam di sekitarnya
Atharwaveda IX.10.12
Merencanakan dan melaksanakan
berbagai kegiatan pencegahan kerusakan
lingkungan
Mampu mengambil keputusan yang tepat
dalam mencegah maupun mengatasi
kerusakan lingkungan
9 MEREFLEKSI DIRI (MULAT
SARIRA)
Sikap dan tindakan yang selalu
melakukan perenungan terhadap
pikiran, perkataan, dan tindakan yang
telah dilakukan untuk perbaikan di
masa depan
Selalu merenungkan perbuatan yang telah
dilakukannya dan memperbaiki yang
salah
Tidak suka mencari-cari kesalahan orang
lain bila mengalami permasalahan atau
kegagalan atas dirinya
8
Tabel 1 menunjukkan bahwa ada 9
aspek karakter baik/positif dari budaya
lokal/kearifan lokal Bali yang bisa
dikembangkan dalam pembelajaran
fisika di sekolah, yaitu: religius, berkata
benar dan berbuat jujur, toleransi,
bertanggung jawab, rasa ingin tahu,
jengah, dan merefleksi diri (mulat
sarira). Aspek-aspek karakter berbasis
kearifan lokal Bali ini digali dari sikap
dan perilaku masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari yang dijiwai dari
kitab suci Hindu seperti Begawad gita,
Regveda, Atharwa veda, Silakramaning
Aguron-guron, dan Tri Kaya Parisudha.
Sumber lainnya juga diperoleh dari
filosofi yang berkembang dalam
masyarakat Bali yaitu Tri Hita Karana,
yang berarti keharmonisan antara
manusia dengan Tuhan (religius),
manusia dengan sesama manusia lainnya,
dan manusia dengan butha/alam semesta.
Suja (2000:56-57) mengatakan bahwa
hubungan manusia (Prajah) dengan
Tuhan (Prajapati) didasarkan atas
konsep Kawula Gusti, dalam artian
Tuhan adalah Gusti (penguasa),
sedangkan manusia adalah pelayan-
pelayan Tuhan dengan bhaktinya yang
tulus. Hubungan manusia dengan sesama
manusia didasarkan pada konsep Tat
Twam Asi, yang mengajarkan bahwa
sesama manusia adalah sama. Kita semua
(tanpa dibatasi oleh label apapun) adalah
bersaudara, va suduiva kutum bhakam.
Sebagai sesama manusia kita harus saling
menyayangi, saling menghormati, dan
saling melayani. “Perlakukan orang lain,
sebagaimana engkau inginkan
diperlakukan orang lain kepada dirimu”.
Keserasian hubungan manusia dengan
alam mengambil perumpamaan “kadi
manik ring cecupu”. Manusia
diumpamakan sebagai manik (janin),
sedangkan alam sebagai cecupu (rahim).
Konsep ini mengandung makna bahwa
manusia harus hidup dilingkupi oleh
alam, dan dari alamlah manusia
memperoleh makanan atau sarana untuk
hidup. Dalam posisi ini jelas tampak
bahwa manusia hidup bebas dalam
keterikatan dengan alam. Manusia bebas
mengambil apa saja dari alam, tetapi dia
wajib menjaga kelestariannya. Jika alam
rusak, maka manusia pasti akan hancur.
Atas dasar itu, manusia sudah selayaknya
harus hormat terhadap alam. Pustaka suci
Weda menyatakan, “Bumi ini adalah ibu
kita, kita adalah putra-putranya
(Atharwaveda, XII:1.12), serta “Bumi
adalah ibu, dan langit adalah ayah kita
(Yayurveda XXV:17). Semua karakter
berbasis nilai kearifan lokal tersebut pada
dasarnya diilhami dari pandangan alam
semesta masyarakat Bali seperti yang
diungkapkan Suastra (2017) yang
menyatakan bahwa spiritualitas terdapat
di dalam unsur-unsur kosmos (bhuwana
agung/makrokosmos) dan manusia
sebagai unsur mikrokosmos (buana alit)
serta manusia bertanggung jawab untuk
menjaga keharmonisan hubungan dengan
Tuhan, manusia, dan alam di mana
mereka berada. Temuan lainnya, seperti
rasa jengah (perasaan malu kalau tidak
berhasil) merupakan kata sehari-hari
yang dipesankan orang tua jika
mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Hendaknya dikerjakan secara
bersungguh-sungguh dan bertanggung
jawab sehingga tidak menimbulkan rasa
malu bagi diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat (desa). Rasa ingin tahu,
diambil dari konsep nyanyian sebagai
pesan dari para tetua (ayah, ibu, nenek,
kakek) kepada anak-cucunya, de ngaden
awak bisa depang anake ngadanin,
geginane buka nyampat, ilang luhu buke
katah, wiadin ririh enu liu pelajahan.
Artinya, jangan sombong kalau bisa,
seperti halnya menyapu, hilang sampah
maka debu akan datang lagi. Biarpun
pintar masih banyak yang harus
dipelajari karena ilmu itu tidak ada habis-
habisnya. Jangan cepat puas terhadap
ilmu yang dimiliki. Dengan demikian,
pesan utamanya sebenarnya adalah
belajarlah sepanjang hayat.
9
MENERAPKAN MODEL
PEMBELAJARAN FISIKA
BERBASIS BUDAYA LOKAL DI
SEKOLAH
Suastra (2017) menelaskan
langkah-langkah pembelajaran fisika
berbasis budaya untuk mengembangkan
kompetensi dasar fisika dan karakter
berbasis budaya lokal seperti Gambar 1
berikut. Ada 5 tahapan pokok dalam
pembelajaran meliputi 1) kegiatan awal ,
2) fase penyelidikan dari berbagai
perspektif, 3) fase aplikasi konsep, dan 4)
kegiatan akhir.
Gambar 2. Langkah pembelajaran fisika berbasis budaya (Suastra, 2010)
10
Beberapa prinsip yang harus
diperhatikan oleh guru dalam
mengembangkan pembelajaran sains
berbasis budaya lokal sebagai berikut.
(1) Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengekspresikan pikiran-
pikirannya, untuk mengakomodasi
konsep-konsep atau keyakinan yang
dimiliki siswa yang berakar pada
budaya lokal. Misalnya:
mengangkat topik bangunan rumah
tradisional Bali (angkul-angkul,
rumah bertiang, bale kulkul, meru
bertumpang), kegiatan pengabenan
dengan bade yang tinggi, instrumen
gamelan, pembuatan gamelan, dan
sebagainya.
(2) Menyajikan kepada siswa contoh-
contoh keganjilan (discrepant
events) yang sebenarnya hal biasa
menurut konsep-konsep sains Barat.
(3) Berperan untuk mengidentifikasi
batas budaya yang akan dilewatkan
serta menuntun siswa melintasi
batas budaya sehingga membuat
masuk akal bila terjadi konflik
budaya yang muncul. Guru dapat
menggunakan teori belajar kolateral
dalam mengatasi persolan
perbedaan pandangan asli siswa
dengan teori sains (Barat).
(4) Mendorong siswa untuk aktif
bertanya, berdiskusi, dan melakukan
pengujian dari berbagai perspektif:
sejarah, budaya lokal, maupun
secara ilmiah (metode ilmiah).
(5) Memotivasi siswa agar menyadari
akan pengaruh positif dan negatif
sains Barat dan teknologi bagi
kehidupan dalam dunianya (bukan
pada kontribusi sains Barat dan
teknologi untuk menjadikan mono-
kultural dari elit yang memiliki hak
istimewa).
(6) Pada saat tertentu lakukan persentasi
dengan penjelasan lebih dari satu
teori tentang fenomena melalui
diskusi kelas.
PENUTUP
Integrasi nilai kearifan lokal dalam
pembelajaran fisika akan mampu
menumbuhkembangkan tidak hanya
pemahaman dan aplikasi konsepnya
meningkat, tetapi karakter kebangsaan
siswa juga akan tumbuh baik. Yang
terpenting adalah bagaimana guru fisika
mampu mengelola kearifan lokalnya
sebagai sumber belajar yang efektif dan
mampu memfasilitasi belajar siswa
secara arif menjembatani budaya lokal
siswa menuju budaya ilmiah (cultural
border). Dengan demikian, pembelajaran
fisika di sekolah tidak lagi menjadi
pelajaran eksklusif yang hanya dipahami
sekelompok orang, melainkan akan
benar-benar menjadi science for daily
living, science for the future, dan science
for all.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, L., Mockhtar,M, Hassan, Z, Suhan,
S.Z.D. (2015). How to Develop
Character Education of Madrassa
Students in Indonesia. Journal of
Education and Learning. Vol.9(1),
pp.79-86.
Aikenhead.G. (2000). Renegotiating the
Culture of School Science. In
Improving Science Education :
The Contribution of Research.
Robin Miller, et al (eds).
http://www.usask.ca/education/
people/aikenhead/renegotiation.ht
m.
Aisah, A.R. (2014). The Implementation
of Character Education Through
Contextual Teaching and Learning
at Personality Development Unit
in The Sriwijaya University
Palembang. International Journal
of Education and Reserach, 2 (10),
203-214.
Baker et al (1995). The Effect of Culture
on the Learning of Science in non-
WesternCountries: The Results of
a Integrated Research Review.
International Journal Science
Education, 17.
11
Cobern,W.W & Aikenhead,G.S. (1996).
Cultural Aspects of Learning
Science. SLCSP Working
Paper#121.http:www.wmich.edu/
slcsp/121.htm/Des 2017.
Costa,V.B. (1995). When science is
“Another World”: Relationship
between Worlds of Family, Friend,
School, and Science. Science
Education, 79(3), 313-333.
Elmubarok, Z. (2008). Membumikan
Pendidikan Nilai. Jakarta: Penerbit
Alpabeta.
Gardner,H. (2007) Five Minds for The
Future (Alih Bahasa Tome Beka).
Jakarta: Gramedia Pustaka
George.J. (2001). Culture and Science
Education: Developing World
http://www.id21.org/education/e3j
g1g2.html.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan
Agama. Yogyakarta: Kanisius
Press.
Gonzales,P.Williams,T,Jocelyn,L.Roey,
S,Kastberg,D&Brenwald,S.
(2008).Higlights from TIMSS
2007: Mathematics and Science
Achievement of U.S.Fourth and
Eighth Grade Students in an
International Context. Washington
DC:Institute of Education
Sciences.
Jegede,O.J & Aikenhead,G.S. (2000).
Trancending Cultural Border:
Implications for Science Teaching.
http:[email protected].
June 2005.
Koesoema A. D. (2009). Pendidikan
Karakter di Zaman Keblinger
Mengembangkan Visi Guru
sebagai Pelaku Perubahan dan
Pendidikan Karakter. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lickona,T. (1999). Character Education:
Seven Crusial Issue. Action in
Teacher Education. 20(4):77-84.
Lopes, J. Oliveira, C. Reed, L & Gable,
R.A. (2013). Character Education
in Portugal. Chilhood Education,
89(5):286-289.
Ogawa.M.(2002). Sceinec as the Culture
of Scientist: How to Cope with
Scientism? http://sce6938-
01.fsu.edu/ogawa.html.
Rose,C &Nicholl,M.J. (2002)
Accelerated Learning for The 21st
Century. P.12. Editor: Purwanto.
Penerbit Nuansa.
Samani, M & Hariyanto. (2012). Konsep
dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Suastra,I.W. (2012).Model Pembelajaran
Fisika untuk Pengembangan
Kreativitas Berpikir dan Karakter
Bangsa Berbasis Kearifan Lokal
Bali. Makalah. Disajikan pada
Konvensi Nasional Pendidikan
(Konaspi) ke-8 pada tanggal 30
Oktober s.d 4 Nopember 2012 di
Yogyakarta.
Suastra,I.W. (2015). Guru Sains
Profesional dan Berkarakter
Indonesia. Makalah. Disajikan
pada Konvensi Nasional
Pendidikan (Konaspi) ke-9 pada
tanggal 12 – 15 Oktober 2016 di
Jakarta.
Suastra,I.W. (2017). Balinese Local
Wisdom and their Implications in
Science Education at School.
International Research Journal of
Management, IT & Social Sciences
(IRJMIS), 4(2), 42-50.
Suastra, I.W et al (2017b). Developing
Balinese Local Wisdom – Based
Characters in Physics Instruction
at Senior High School. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia (JPII)
terindeks Scopus. Volume 6 (2),
2017, p. 16-22.
Stanley,W.B.& Brickhouse,N.W. (2001).
The Multicultural Question
Revisited. Science Education, 85
(1), 35-48.
Suja, I.W (2000). Titik Temu IPTEK dan
Agama Hindu. Surabaya: Pustaka
Manik Geni.
Tilaar, H.A.R. (2012). Pengembangan
Kreativitas dan Enterpreneurship
12
dalam Pendidikan Nasional.
Jakarta: Penerbit Kompas.
Widja. I.G. (2016). Pendidikan Nasional
antara Harapan dan Realitas.
Jakarta: Krishna Anadi Printing.
Winston, S. (2010). Character Education:
Implication for Critical
Democracy. International Critical
Chilhood Policy Studies, 1 (I).
Zamroni. (2001) Peran Kolaborasi
Sekolah-Universitas dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam di Indonesia. Makalah.
Disampaikan pada National
Seminar on Science Education
Faculty of Science and
Mathematic Education on
Collaboration with Japan
International Cooperation Agency
and Directorate General of Higher
Education. Bandung August 21,
2001