11
141 INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI DENGAN PENDUDUK LOKAL DI KOTA PALOPO THE ETHNIC INTEGRATION OF CHINESE AND THE DYNAMICS OF SOCIAL ECONOMIC WITH LOCAL PEOPLE IN PALOPO CITY Sritimuryati Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: [email protected] Diterima: 15 Januari 2020; Direvisi: 11 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT The nation integration is inseparable from culture and the dynamics of social economic. This article is the result of research on effort and process to unite the differences in a country, thus to create national harmony. As we know that Indonesia is a very large nation, both its culture and territory. This research is conducted to understand the history of Chinese migration in Palopo City from various important aspects that influences the process of the nation integration which would create a national integration. The research method used is the historical method, while data collection method is through the library research and the field research. The relationship between the Chinese and the local people today is a manifestation and legacy of the Dutch era and the influence of Chinese migration toward the process of change and the dynamic of social economic in Palopo City. The relation between the Chinese and the local people were harmoniously at first, then initially stretched along with the coming of Dutch into Indonesia who wanted to monopolize the trading. The Dutch and Chinese compete to dominate the trading in Indonesia. Keywords: the nation of integration, Chinese ethnic, social culture. ABSTRAK Integrasi bangsa tidak terlepas dari budaya dan dinamika sosial ekonomi. Artikel ini adalah hasil penelitian tentang usaha dan proses mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada suatu negara, sehingga tercipta keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar, baik kebudayaan maupun wilayahnya. Penelitian ini dilakukan untuk memahami sejarah migrasi etnis Tionghoa di Kota Palopo dari berbagai aspek penting yang mempengaruhi proses integrasi bangsa yang akan melahirkan integrasi nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah, sedangkan metode pengumpulan data adalah metode kepustakaan dan metode lapangan. Hubungan orang Tionghoa dengan penduduk lokal pada hari ini adalah manifestasi dan warisan zaman Belanda dan pengaruh migrasi orang Tionghoa terhadap proses perubahan dan dinamika sosial ekonomi di Kota Palopo. Hubungan orang Tionghoa dan penduduk lokal yang semula harmonis, kemudian berangsur-angsur merenggang seiring dengan masuknya Belanda ke Indonesia yang ingin memonopoli dagang. Belanda bersaing dengan Tionghoa yang telah lama mendominasi perdagangan di Indonesia. Kata kunci: integrasi bangsa, etnik Tionghoa, sosial budaya PENDAHULUAN Serangkaian peristiwa dari masa ke masa membuat istilah Cina di kalangan masyarakat Tionghoa dianggap merupakan sebutan yang mengandung ejekan dan menghina. Tindakan pengesahan Kepres tersebut merupakan salah satu langkah panjang dari pemerintah untuk merangkul masyarakat Tionghoa, dalam meminimalisir kesenjangan antara penduduk pribumi dan nonpribumi dalam mewujudkan kesatuan bangsa dan negara Indonesia dalam

INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

141

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI DENGAN PENDUDUK LOKAL DI KOTA PALOPO

THE ETHNIC INTEGRATION OF CHINESE AND THE DYNAMICS OF SOCIAL ECONOMIC WITH LOCAL PEOPLE IN PALOPO CITY

SritimuryatiBalai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166

Pos-el: [email protected]: 15 Januari 2020; Direvisi: 11 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACTThe nation integration is inseparable from culture and the dynamics of social economic. This article is the result of research on effort and process to unite the differences in a country, thus to create national harmony. As we know that Indonesia is a very large nation, both its culture and territory. This research is conducted to understand the history of Chinese migration in Palopo City from various important aspects that influences the process of the nation integration which would create a national integration. The research method used is the historical method, while data collection method is through the library research and the field research. The relationship between the Chinese and the local people today is a manifestation and legacy of the Dutch era and the influence of Chinese migration toward the process of change and the dynamic of social economic in Palopo City. The relation between the Chinese and the local people were harmoniously at first, then initially stretched along with the coming of Dutch into Indonesia who wanted to monopolize the trading. The Dutch and Chinese compete to dominate the trading in Indonesia.

Keywords: the nation of integration, Chinese ethnic, social culture.

ABSTRAKIntegrasi bangsa tidak terlepas dari budaya dan dinamika sosial ekonomi. Artikel ini adalah hasil penelitian tentang usaha dan proses mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada suatu negara, sehingga tercipta keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar, baik kebudayaan maupun wilayahnya. Penelitian ini dilakukan untuk memahami sejarah migrasi etnis Tionghoa di Kota Palopo dari berbagai aspek penting yang mempengaruhi proses integrasi bangsa yang akan melahirkan integrasi nasional. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah, sedangkan metode pengumpulan data adalah metode kepustakaan dan metode lapangan. Hubungan orang Tionghoa dengan penduduk lokal pada hari ini adalah manifestasi dan warisan zaman Belanda dan pengaruh migrasi orang Tionghoa terhadap proses perubahan dan dinamika sosial ekonomi di Kota Palopo. Hubungan orang Tionghoa dan penduduk lokal yang semula harmonis, kemudian berangsur-angsur merenggang seiring dengan masuknya Belanda ke Indonesia yang ingin memonopoli dagang. Belanda bersaing dengan Tionghoa yang telah lama mendominasi perdagangan di Indonesia.

Kata kunci: integrasi bangsa, etnik Tionghoa, sosial budaya

PENDAHULUAN

Serangkaian peristiwa dari masa ke masa membuat istilah Cina di kalangan masyarakat Tionghoa dianggap merupakan sebutan yang mengandung ejekan dan menghina. Tindakan pengesahan Kepres tersebut merupakan salah

satu langkah panjang dari pemerintah untuk merangkul masyarakat Tionghoa, dalam meminimalisir kesenjangan antara penduduk pribumi dan nonpribumi dalam mewujudkan kesatuan bangsa dan negara Indonesia dalam

Page 2: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

142

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia (Tempo, 2007: 94-95). Pasca diterapkannya peraturan presiden ini, banyak orang Tionghoa yang kembali ke Tiongkok (Tempo, 2007: 96-97). Bagaimana kondisi orang Tionghoa di Palopo? Apakah mereka eksklusif dan tertutup sama dengan stigma yang melekat pada orang Tionghoa selama ini? Apakah mereka berbaur dengan penduduk lokal atau tidak? Berdasarkan kajian Braam Moris bahwa pada awal hingga pertengahan abad ke-19, pedagang-pedagang Cina sudah aktif di Kerajaan Luwu mencari hasil-hasil hutan berupa rotan, bambu, tembakau, sirih, madu, dan sagu. Selain itu, juga diperdagangkan barang-barang seperti emas, tempaan besi, dan badik (Hafid, 1992/1993: 17). Hubungan Kerajaan Luwu dan Cina juga sudah terjalin sejak lama. Hal ini dapat ditelusuri dalam mitologi La Galigo. Diceritakan bahwa Sawerigading berlayar hingga ke negeri Cina untuk melamar gadis pujaannya We Cudai. Dari perkawinan antara Sawerigading dan We Cudai tersebut lahirlah keturunan raja-raja di Kerajaan Luwu.

Pentingnya studi tentang migrasi, integrasi, dan dinamika sosial ekonomi orang Tionghoa di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan. Jika di banyak tempat ditemui penduduk lokal dan orang Tionghoa tidak saling membaur, maka di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan berbeda halnya. Studi ini diharapkan dapat menjadi cermin dan pelajaran bagi masyarakat Indonesia pada umumnya tentang bagaimana hidup secara harmonis antara masyarakat pribumi dan nonpribumi. Walaupun istilah pribumi dan nonpribumi ini perlu kembali ditinjau. Menurut data Yayasan Budi Bhakti di Palopo, terdapat 500 KK atau sekitar 2.000 orang Tionghoa menghuni Kota Palopo. Jumlah yang tidak dapat dikatakan sedikit dan hubungan antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal Kota Palopo tidak pernah terdengar konflik. Keduanya hidup hamonis dan saling membaur.

semboyan Bhinneka Tunggal Ika.1 Tidak dapat dinafikan bahwa pembauran orang Tionghoa dengan penduduk lokal mengalami masalah dan belum tuntas sampai hari ini, baik di Indonesia maupun di Sulawesi Selatan terutama di Kota Palopo. Stigma bahwa orang Tionghoa itu eksklusif dan tertutup, membuat penduduk lokal dan orang Tionghoa memiliki dinding pemisah. Orang Tionghoa hidup dan bergaul dengan lingkungan dan komunitasnya sendiri.

Hubungan orang Tionghoa dengan penduduk lokal pada hari ini adalah manifestasi dan warisan zaman Belanda. Hubungan orang Tionghoa dan penduduk lokal yang semula harmonis berangsur-angsur merenggang seiring dengan masuknya Belanda ke Indonesia yang kemudian ingin memonopoli perdagangan. Belanda bersaing dengan Tionghoa yang telah lama mendominasi perdagangan di Indonesia. Oleh karena itu, Belanda menganggap hubungan Tionghoa dan penduduk lokal yang harmonis dapat menghalangi niat Belanda untuk menguasai sumber ekonomi di Indonesia. Kebijakan ini faktanya berhasil memecah hubungan orang Tionghoa dan penduduk lokal. Kedudukan sosial orang Tionghoa yang lebih tinggi dibanding orang pribumi menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Perbedaan status inilah yang diwariskan secara turun temurun dan pada akhirnya kecemburuan sosial itu pun masih pula dirasakan sampai hari ini. Hal ini yang menyebabkan di beberapa daerah, orang Tionghoa dan penduduk lokal tidak saling membaur dan hanya bergaul dengan komunitasnya saja.

Orang Tionghoa sangat terusik ketika Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10, tanggal 14 Mei, tahun 1959 yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan yaitu Rachmat Mujomisero yang berisi tentang

1 Indonesia dikotakkan dengan istilah pribumi dan nonpribumi. Golongan pribumi yaitu Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Makassar, Mandar, Toraja dan lain-lain yang merupakan suku asli di wilayah Indonesia dan nonpribumi adalah golongan etnis pendatang (Eropa, India, Tionghoa, Arab).

141—151

Page 3: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

143

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Jika di kota lain, termasuk Makassar, orang Tionghoa membangun komunitasnya sendiri, namun berbeda halnya dengan orang Tionghoa di Palopo. Mereka menyebar di seluruh wilayah Kota Palopo. Pembauran antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal di Kota Palopo menjadi persoalan yang menarik untuk diteliti di tengah stigma eksklusif dan tertutup yang disandang oleh orang Tionghoa umumnya.

Hampir di seluruh wilayah Indonesia, pasti ada sejumlah etnis Tionghoa yang berdomisili dan membentuk perkampungannya di tengah-tengah masyarakat etnis lokal. Sehingga, dapat dikatakan etnis Tionghoa telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Namun, dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dengan keturunan Tionghoa, masih sering terjadi psikososial-diskriminatif dan resisme.2 Fenomena ini menjadi wujud dari adanya pembedaan yang masih tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia. Sikap diskriminatif yang paling kelihatan terhadap etnis Tionghoa terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru,3 yang mengungkung etnis Tionghoa (disebut sebagai etnis Cina) dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, religi, politik maupun pendidikan.4 Setelah reformasi, isilah etnis Cina kemudian digantikan dengan etnis Tionghoa guna menghindari kesan penghinaan dan diskriminasi.

Serangkaian peristiwa dari masa ke masa membuat istilah cina di kalangan masyarakat

2 (Kompas.com , «Presiden SBY Ganti Istilah «China» Menjadi «Tionghoa», diunduh 13 Mei 2018)

3 Etnis Tionghoa adalah sebutan dari salah satu etnis di Indonesia yang di masa orde baru disebut sebagai etnis Cina. Istilah Cina untuk menyebutkan negeri Tiongkok dan bangsanya sebetulnya telah lama dipakai di Indonesia. Pada awalnya istilah itu tidak mengandung arti penghinaan. Namun, menjelang abad ke-20, dengan bangkitnya semangat nasionalisme Cina, istilah itu mulai dianggap sebagai mengandung makna kurang baik oleh kalangan etnis Tionghoa sendiri.

4 Belakangan tindakan diskriminasi dan rasis terhadap mahasiswa etnis Papua di Surabaya mulai heboh dibahas di berbagai media. Peristiwa ini merupakan salah satu bukti dari adanya perasaan berbeda antar satu etnis dengan etnis lainnya. Demikianlah yang juga pernah atau bahkan masih dialami oleh etnis Tionghoa.

Tionghoa dianggap merupakan sebutan yang mengandung ejekan dan menghina. Mereka merasa dimarginalkan di tengah-tengah masyarakat di lingkungannya. Mereka kadang kala masih dianggap orang asing (nonpribumi) dan bukan bagian dari masyarakat Indonesia. Hal ini seakan merepresentasikan kepada kita bahwa kesatuan bangsa dan negara Indonesia dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika belum mengakar dengan baik dalam kehidupan sejumlah masyarakat.5 Dewasa ini, ketika kasus Ahok yang notabene adalah keturunan Tionghoa dituduh menghina agama Islam marak diberitakan di media massa, mau tidak mau mengusik kembali kedudukan orang Tionghoa di Indonesia. Hubungan orang Tionghoa dengan penduduk lokal kembali memanas dan meruncing. Seolah tidak berkaca pada sejarah bahwa sebelumnya keduanya pernah sama-sama hidup harmonis dan membaur.

Tidak dapat dinafikan bahwa pembauran orang Tionghoa dengan penduduk lokal mengalami masalah dan belum tuntas sampai hari ini, baik di Indonesia maupun di Sulawesi Selatan terutama di Makassar. Stigma bahwa orang Tionghoa itu eksklusif dan tertutup membuat penduduk lokal dan orang Tionghoa memiliki dinding pemisah. Orang Tionghoa hidup dan bergaul dengan lingkungan komunitasnya sendiri. Pemerintah masih harus mengambil langkah panjang untuk merangkul masyarakat Tionghoa, meminimalisir kesenjangan antara penduduk pribumi dan nonpribumi.

Pada konteks lokal, contoh kecil bahwa orang Tionghoa pernah diterima baik di Makassar adalah kuliner mi titi. Mi titi adalah kuliner yang merupakan warisan orang Tionghoa. Makanan ini sangat popular di Makassar dengan sajian mie, sayuran dan campuran bakso atau sea food. Berbeda dengan makanannya yang begitu

5 Indonesia dikotakkan dengan istilah pribumi dan non pribumi. Golongan pribumi yaitu jawa, sunda, batak, bugis, Makassar, mandar, toraja dan lain-lain yang merupakan suku asli di wilayah Indonesia dan non pribumi adalah golongan etnis pendatang (Eropa, India, Tionghoa, Arab).

Integrasi Etnis Tionghoa dan Dinamika Sosial... Sritimuryati

Page 4: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

144

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

diminati, kini orang Tionghoa tampak tidak begitu disambut baik di kalangan masyarakat Bugis-Makassar yang mendiami wilayah Makassar. Walaupun keberagaman adalah hal yang tak asing di bumi Anging Mammiri ini, namun demikian keberadaan orang Tionghoa belum mendapatkan tempat di hati orang Bugis-Makassar. Orang Tionghoa mengelompok dengan sesama komunitasnya sendiri dan mereka cenderung tertutup dengan penduduk lokal.

Studi tentang orang Tionghoa sangat banyak kita temukan terutama tentang Cina di Sulawesi Selatan. Beberapa di antaranya yang telah menjadi buku yaitu: pertama, Cina Peranakan Makassar: Pembauran melalui Perkawinan Antarbudaya, karya Shaifuddin Bahrum (2003).6 Tulisan ini menyajikan kisah tentang keberadaan orang Cina di Makassar yang telah menjadi bagian sejarah panjang negeri ini. Namun demikian, tidak sedikit catatan buruk yang menimpa dan menodai nilai-nilai kemanusiaan mereka dalam berbagai insiden etnis. Padahal orang Cina ini juga menganggap dirinya sebagai orang Indonesia bahkan ada di antara mereka yang tidak merasa atau menganggap diri sebagai orang Cina, karena selain mereka sudah lahir dari percampuran darah dengan orang pribumi, mereka pun sudah tidak mengenal negeri Cina yang menjadi negeri leluhurnya. Mereka menjalani hidup kesehariannya seperti orang-orang Indonesia lainnya dan melakoni budaya dan bergaul dalam masyarakat setempat sebagaimana orang pribumi yang ada di Makassar. Kajian ini membantu untuk memahami proses integrasi budaya antara etnis Tionghoa dengan etnis Makassar. Terkait dengan proses integrasi, permasalahan yang menarik dalam kajian ini adalah yang terkait dengan identitas. Menurut Shaifuddin Bahrum (2003), sekalipun orang Cina telah bermukim cukup lama di Kota Makassar dan telah berbaur dengan warga masyarakat lainnya. Namun, dalam

6 Shaifuddin Bahrum, Cina Peranakan Makas-sar: Pembauran Melalui Perkawinan Antarbudaya. (Makassar: Yayasan Baruga Nusantara, 2003).

pembauran itu mereka tidak sedikit mengalami kendala dan tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki masalah dengan kaum pribumi. Studi ini memberikan sumbangan besar dalam mempertajam pertanyaan-pertanyaan yang diakukan dalam studi ini. Jika studi Bahrum, Effendy, dan Wirawan menekankan pada orang Tionghoa di Makassar, maka studi tentang orang Tionghoa di Kota Palopo ini lebih khusus melihat dari sudut integrasi antara penduduk lokal dengan orang Tionghoa pada masa era reformasi. Bagaimana mereka dapat hidup membaur dan hamonis. Namun demikian, tulisan-tulisan di atas tidak satu pun menyebut bagaimana keadaan orang Tionghoa di Kota Palopo. Disinilah letak perbedaan tulisan ini dengan tulisan yang telah ada sebelumnya.

METODE

Berdasarkan latar belakang yang diurai sebelumnya maka dirumuskan bahwa pokok persoalan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah apa saja yang mendasari proses integrasi antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal di Kota Palopo?. Bagaimana bentuk integrasi antara orang Tionghoa dan penduduk lokal di Kota Palopo?, dan bagaimana kehidupan sosial ekonomi orang Tionghoa di Kota Palopo serta pengaruh migrasi orang Tionghoa terhadap perubahan dan dinamika sosial ekonomi di Kota Palopo.

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah. Sejarah ditulis dengan titik tolak masa sekarang dan seleksi karya sejarah dikontrol oleh masalah-masalah kebudayaan yang didominasi pada masa sejarah itu ditulis (Paeni, 1988: 8). Karena itu, sebagai pertanggungjawaban masa lalu dapat diperoleh dari bekas-bekas dan sisa-sisa ingatan tentang suatu kejadian, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Adapun berupa tulisan terdiri atas dokumen-dokumen, arsip, naskah, catatan perorangan, artikel-artikel, dan karya para ahli. Sedangkan pertanggungjawaban masa lalu dapat ditemukan berdasarkan pengalaman, penglihatan atau kesaksian pengkisah itu

141—151

Page 5: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

145

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

sendiri. Sehubungan dengan hal itu untuk mengkaji persoalan ini digunakan dua metode yakni metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research).

Metode kepustakaan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data atau sumber-sumber tertulis, baik berupa buku-buku, makalah, artikel atau laporan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas. Selain penelitian perpustakaan juga dilakukan penelitian lapangan dengan jalan mengadakan wawancara kepada beberapa informan dengan maksud agar dapat diperoleh data sumber secara lisan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Wawancara dilakukan pada informan yang dianggap mengetahui persoalan. Dari hasil wawancara ini diharapkan akan saling melengkapi data-data yang telah diperoleh, kemudian dilakukan kritik sumber untuk diwujudkan dalam suatu kisah integrasi orang Tionghoa dengan penduduk lokal di Kota Palopo. Pertanyaan bagaimana proses terjadinya integrasi orang Tionghoa dengan penduduk lokal di Kota Palopo dengan melihat kehidupan orang Tionghoa di Kota Palopo dari awal kedatangannya, hingga mampu bertahan bukanlah suatu hal yang mudah. Orang Tionghoa yang minoritas tersebut mengalami banyak gejolak untuk bertahan. Di sini juga akan diperoleh faktor-faktor penyebab integrasi orang Tionghoa dengan penduduk lokal di Kota Palopo. Selain itu, akan mengurai bentuk-bentuk integrasi yang terjadi antara orang Tionghoa dan penduduk lokal di Kota Palopo

PEMBAHASAN

Kota Palopo adalah salah satu dari tiga bentuk pemerintahan kota yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan. Kota ini didiami oleh beberapa suku, baik suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, Jawa, Bali, maupun suku lainnya yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Etnis Cina keturunan banyak pula dijumpai di kota ini, sebagaimana dengan Kota Makassar dan kabupaten yang lain di Sulawesi Selatan. Etnis ini hidup dalam usaha perdagang,

sehingga sentra ekonomi banyak dikuasai oleh mereka yang disebabkan oleh kepiawaiannya dalam aktivitas perdagangan.

Secara geografis wilayah Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang menempat-kan laut sebagai jembatan penghubung antara satu pulau dengan pulau yang lain. Dengan demikian laut bukanlah sebagai pemisah melainkan sebagai penghubung. Di negara kepulauan seperti Indonesia ini, laut tidak hanya menjadi sarana transportasi atau penghubung akan tetapi juga menjadi sarana perdagangan yang menghubungkan berbagai wilayah.

Keadaan geografi yang strategis tersebut membuka kesempatan kepada berbagai pihak dalam kurun niaga dan setelahnya untuk berkunjung dan menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Nusantara termasuk berkunjung dan menetap di daerah Luwu.

Pasang Surut Proses Integrasi Bangsa

Proses integrasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah suatu usaha dan proses mempersatukan perbedaan yang ada pada suatu bangsa atau negara sehingga tercipta keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan maupun wilayahnya. Kondisi ini di satu sisi dapat membawa dampak positif bagi bangsa karena kita dapat memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya dan kekayaan alam yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain mendatangkan sebuah keuntungan, hal itu juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia-manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.

Etnis Tionghoa adalah sebutan dari salah satu etnis di Indonesia yang di masa orde baru disebut sebagai etnis Cina. Istilah Cina untuk menyebutkan negeri Tiongkok dan bangsanya sebetulnya telah lama dipakai di Indonesia. Pada awalnya istilah itu tidak

Integrasi Etnis Tionghoa dan Dinamika Sosial... Sritimuryati

Page 6: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

146

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

mengandung arti penghinaan. Akan tetapi menjelang abad ke- 20 dengan bangkitnya semangat nasionalisme Cina, istilah itu mulai dianggap sebagai mengandung makna kurang baik oleh kalangan orang Tionghoa sendiri. Di Indonesia istilah Tionghoa (untuk orangnya) dan Tiongkok (untuk negaranya) mulai digunakan oleh etnis Tionghoa dan kemudian oleh kelompok lain. Setelah reformasi isilah etnis Cina kemudian digantikan dengan etnis Tionghoa guna menghindari kesan penghinaan dan diskriminasi.

Sebelum kedatangan Belanda, orang Tionghoa dengan budayanya sendiri dapat hidup membaur dengan penduduk pribumi yang memiliki budaya yang jauh berbeda. Berdasar sumber sejarah dikisahkan bahwa awal kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara adalah untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Selain berdagang ada juga orang Tionghoa yang bertani dan menjadi tukang. Orang Tionghoa yang datang kebanyakan adalah kaum laki-laki sehingga kebanyakan dari mereka menetap dan kawin mawin dengan penduduk lokal sampai beberapa keturunan tanpa pernah kembali ke negara asalnya. Orang Tionghoa membaurkan diri baik dalam soal bahasa, makanan, pakaian, maupun agama. Bahkan sebagian dari mereka ada yang masuk memeluk agama Islam dan menjalankan seluruh adat istiadat penduduk lokal. Hasil perkawinan campuran inilah yang kemudian disebut dengan Tionghoa Peranakan.

Pengalaman yang serupa juga dialami oleh seorang Migran di Palopo yang bernama Djie Adjeng seorang etnis Tionghoa yang bermigrasi ke Palopo pada tahun 1917. Setelah pindah dari Palopo ke Masamba untuk mengkoodinir pekerjakan proyek bendungan di Masamba. Dia kenal dengan seorang gadis lokal yang berasal dari daerah Pararra, Sabbang. Gadis tersebut bernama Watiah. Tidak beberapa lama kenal, Djie Adjeng kemudian menikah dengan Watiah. Dari hasil pernikahannya tersebut dikaruniai 10 anak (5 orang putera dan 5 orang puteri).

Integrasi antara migran Tionghoa dengan penduduk lokal juga terjadi di Palopo di saat

puncak gelombang migrasi berlangsung pada tahun 1920-an. Dulu yang disebut Kota Palopo itu adalah daerah Tappong.7 Di daerah ini terdapat Pasar Sentral Palopo, Pelabuhan Tanjung Ringgit, dan pemukiman padat penduduk yang dihuni oleh berbagai macam etnis lokal, mulai dari etnis Bugis, Makassar, Toraja, Jawa dan etnis Tionghoa. Di daerah Tappong inilah etnis Tionghoa dan warga pribumi tinggal bercampur-baur dengan suasana damai dan saling hormat menghormati.

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah migran asal Tionghoa yang berada di Palopo tahun 1920-an. Tetapi berdasarkan data sensus penduduk yang dilakukan oleh Volkstelling pada tahun 1930, diketahui bahwa sebanyak 772 etnis Tionghoa yang bermukim di Tanah Luwu,8 sedangkan di daerah Mangarabombang, (sekarang Jalan Landau) bermukim kira-kira 20 kepala keluarga orang Arab dari Timur Tengah. Mereka juga hidup berbaur dengan warga setempat dan melakukan aktivitasnya sebagai pedagang. Dengan adanya beberapa orang arab yang bermukim di Mangarabombang saat itu, maka daerah tersebut kemudian terkenal dengan sebutan “Kampung Arab”.

Pada awalnya kedatangannya di Palopo, migran etnis Tionghoa sudah berbaur dan menyatu dengan masyarakat setempat. Tidak ada sekat-sekat antara mereka, baik sesama pendatang maupun dengan warga lokal di Tanah Luwu. Migran Etnis Cina tidak terpusat di Kota Palopo saja, melainkan menyebar hingga daerah-daerah pedalaman di Tana Toraja, Palopo, Masamba, hingga Malili.

Mereka yang berlatar-belakang sebagai petani di negeri asalnya kemudian mengembangkan usaha-usaha pertanian di daerah migran seperti Toraja, Palopo, dan Masamba. Etnis Tionghoa dari Suku Khek yang mahir dengan usaha-usaha pertanian di negara

7 Wawancara dengan Alexander Adjie atau Djie Wang Gip di Palopo, 4 Agustus 2018.

8 Harvey, Barbara Sillars Harvey Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. 1989a), hlm. 17

141—151

Page 7: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

147

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

asalnya juga mengembangkan usaha pertanian di daerah ini. Suku Khek yang menyebar di pegunungan Tana Toraja, Luwu, dan Palopo bercocok tanam dengan menanam sayur-sayuran, mengembangkan usaha pertanian dan usaha-usaha perkembunan.

Proses integrasi kemudian tercederai setelah pemerintah Indonesia pada tahun 1959 mengumumkan tindakan-tindakan yang melarang orang Tionghoa berdagang dan mengembangkan usaha-usahanya di daerah tingkat tiga (pedesaan), dan ini merupakan suatu contoh gamblang betapa sentimen anti Cina yang terpendam ini sekali terlepas dapat berkembang. Larangan ini segera berkembang menjadi kekuatan hukum dan kekuatan politik menyusul pengukuhannya oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. 9

Sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1959, para migran Tionghoa telah menyebar hingga ke daerah pedalaman di Tanah Luwu. Tidak hanya di pedesaan banyak di antara mereka juga bermukim dan bertempat tinggal di daerah pegunungan seperti di pegunugan Tana Toraja. Di daerah pedalaman Bantilang, seorang pengusaha Tionghoa yang sukses terkenal dengan nama Baba Bantilang. Pengusaha Tionghoa yang sukses di pedalaman Seko terkenal dengan sebutan Baba Seko, ada juga yang sukses di pedalamn Rampi yang terkenal dengan sebutan Baba Rampi dan begitu juga dengan Baba Tomuku berarti terkenal di daerah Tamuku.

Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 mereka yang bertempat tinggal di desa-desa, atau mereka yang bermukim di daerah pegunungan kemudian meninggalkan tempat tinggal dan usahanya dan bergegas pindah ke ibu kota kecamatan. Bahkan banyak di antara mereka yang memilih kembali ke Palopo. Menurut F.H Watulangi, di Tanah

9 Musimin A.R. Effendy, “Tionghoa Makassar di Tengah Pusaran Sejarah”, dalam Dias Pradadimara dan Muslimin A.R. Effendy (Peny.), Kontinuitas dan Peru-bahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Ombak, 2004, hlm. 234.

Luwu terdapat sekitar 200-an kepala keluarga yang menjadi korban penerapan PP Nomor 10 Tahun 1959.10

Penguasa militer daerah Suawesi Selatan dan Tenggara yang terlalu bersemangat mengeluarkan perintah-perintah tambahan yang bertujuan mengeksodus semua orang Tionghoa dari daerah pedesaan dan pegunungan. Menurut Effendi (2004), motif larangan ini pada mulanya adalah nasionalisme ekonomi, tetapi segera meletus menjadi semangat anti Cina yang meluas. Dampak dari kebijakan tersebut adalah ditutupnya Sekolah Cina di Palopo yaitu “Hwa Chio Kung Sue” (sekolah perantauan) yang beralamat di Jalan Diponegoro, Kota Palopo. Sekolah ini didirikan pada tahun 1920-an di bekas lahan pekuburan Cina, pemberian dari Datu Luwu Andi Kambo. Sekolah ini membina siswa perantauan Cina dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Banyak di antara mereka dari Malili, Masamba, Toraja yang mengungsi ke Palopo. Mereka dikumpulkan di Sekolah Cina dan Gedung Bioskop Palopo. Mereka kemudian diperiksa oleh tentara satu persatu, bagi kepala keluarga yang tidak memiliki surat nikah dan paspor, mereka kemudian dibawa ke Makassar bersama keluarganya dengan menggunakan truk lalu kemudian di deportasi ke Tiongkok.11

Pada tahun 1966 pemerintah menerapkan kebijakan asimilasi yang efektif untuk mengubah identitas Tionghoa yaitu kebijakan ganti nama. Melalui kebijakan ini pemerintah menekan etnis Tionghoa untuk mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama yang berlafal Indonesia. Hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa nama-nama yang disebut nama Indonesia sebenarnya adalah nama-nama non-Tionghoa. Pergantian nama tidak diwajibkan, akan tetapi selama tahun-tahun pertama di masa Orde Baru, sebagian besar orang Indonesia

10 Wawancara dengan F.H Watulangi di Palopo, 5 Agustus 2018

11 Wawancara dengan F.H Watulangi di Palopo, 5 Agustus 2018.

Integrasi Etnis Tionghoa dan Dinamika Sosial... Sritimuryati

Page 8: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

148

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

keturunan Tionghoa mengganti nama mereka. Karena ganti nama sering dianggap sebagai bukti dari kesetiaan politik kepada Indonesia atau identifikasi diri sebagai bangsa Indonesia.

Kebijakan asimilasi oleh pemerintah Orde Baru juga diterapkan kepada para migran di Palopo. Seperti keluarga besar Djie Wang Giep yang harus mengganti namanya dengan nama Indonesia menjadi Alexander Adjie. Hal yang sama juga berlaku bagi saudara-saudaranya. Adiknya yang bernama Hiu Hwa Siu berubah menjadi Muller Adjie, Jie Hwa Ching berubah menjadi Sony Ching Adjie, Je Pie berubah menjadi Marlina Adjie dan Hwa Kiu menjadi Mama Yanti.

Demi suksesnya kebijakan asimilasi, maka tidak hanya nama yang harus berubah, tempat usaha dan merek dagang yang menggunakan label atau merek bahasa Tionghoa pun juga harus berubah menjadi bahasa Indonesia. Tempat usaha foto milik Djie Wang Giep yang bernama “Be Kong” (artinya cantik) yang dirintis sejak tahun 1953 karena adaya kebijakan asimilasi, kemudian diubah menjadi “Tukang Potret Ong Giep”, beberapa saat kemudian berubah lagi menjadi “Remaja Fhoto”, nama usaha yang terakhir ini seratus persen menggunakan bahasa Indonesia.12

Istilah Cina atau Tionghoa?

Salah satu istilah yang sering muncul dalam zaman reformasi ini, dan kedengarannya simpatik adalah etnis Cina dan etnis Tionghoa. Mungkin karena istilah etnis/etnik adalah baru dan orang sudah bosan dengan istilah “keturunan” atau “golongan”.13 Istilah “Cina” untuk menyebut negeri Tiongkok dan bangsanya, sebetulnya telah lama dipakai di Indonesia. Istilah tersebut sebenarnya sudah popular dan telah digunakan sejak zaman kolonial dan bahkan sejak zaman VOC.

12 Wawancara dengan Alexander Adjie atau Djie Wang Gip di Palopo, 4 Agustus 2018.

13 Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 90

Kekuasaan politik pertama VOC yang mungkin secara resmi dengan berbagai macam peraturan yang dipaksakan secara fisik atau adminsitratif, menggolongkan berbagai jenis penduduk.

Penggolongan penduduk ini yang mengakibatkan penduduk terbagi secara rasial di antaranya berbagai alasan. Ada alasan agama, keamanan dan lain-lain. Sebab peraturan pertama VOC mengenai pemisahan pemukiman di Batavia adalah untuk orang Jawa (Mataram), ras, kepentingan ekonomi, administrasi dan seterusnya. Untuk orang Cina, pemukiman terpisah di Batavia dan kota-kota lain baru ada pada tahun 1740-an, setelah terjadinya pembantaian massal orang-orang Cina di Batavia oleh penduduk Eropa. Peraturan kembarnya, surat izin perjalanan baru ada pada abad ke-19 atau pada masa Tanam Paksa. Sejak abad ke-19 sampai tahun 1920 gerak gerik orang Cina di Hindia Belanda dibatasi sehingga menimbulkan ketidakstabilan permukiman orang Cina.

Pada masa kolonial modern yakni Hindia Belanda, pembagian masyarakat antargolongan menjadi ideologi kolonial untuk membenarkan kolonialisme. Masyarakat dibagi seperti dalam sistem kasta dengan berbagai peran sosial-politik dan ekonomi. Seperti kita ketahui, golongan Eropa di atas, Timur Asing sebagai kelas menengah dan perantara dan golongan pribumi. Pada abad ke-20, perkampungan eksklusif dan surat ijin perjalanan memang dihapuskan, tetapi politik pemisahan penduduk tetap diberlakukan dalam pendidikan, dengan adanya sekolah Belanda untuk berbagai macam golongan yakni ELS (Europese Lagere School), HCS (Hollandsch Chineeshe School), HIS (Hollands Inlandsch School).

Setelah Indonesia merdeka istilah Cina juga terus digunakan. Pada awalnya istilah tersebut tidak mengandung arti penghinaan. Akan tetapi menjelang abad ke-20, dengan bangkitnya nasionalisme Cina, istilah itu mulai dianggap sebagai mengandung makna kurang baik oleh kalangan orang Tionghoa sendiri.

Di Indonesia, istilah Tionghoa (untuk orangnya) dan Tiongkok (untuk negaranya)

141—151

Page 9: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

149

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

mulai digunakan oleh etnis Tionghoa dan kemudian oleh kelompok lain. Sejak Orde Baru, istilah Tionghoa tidak pernah terpakai sebagai sebuah wacana untuk mengapresiasi esensi kemanusiaan dalam komunitas yang plural. Pemberian label “Cina” kepada orang Tiongkok lebih didasarkan atas kebencian pribumi kepada Cina yang komunis dan menghina etnis Tionghoa. Cina pun dituduh berada di balik aksi-aksi kelompok “radikal kiri” yang merongrong keutuhan negara. Seiring dengan itu, tahun 1966 pemerintah Orde Baru telah mengambil suatu kebijakan terhadap etnis minoritas ini yang dianggap “berbahaya” dan menggantikan sebutan “Tionghoa” menjadi “Cina” untuk menyebut orang Tionghoa.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam penyebutan “Cina”, karena memang kami ini keturunan Cina. Hanya saja yang salah adalah pengucapannya yang mengandung unsur-unsur mengejek. Dengan penggunaan kata “Tionghoa” bisa meresistensi suku Tionghoa di Indonesia umunya, dan Palopo khususnya.14

Pribumi dan Non Pribumi: Memahami Perbe-daan Merajut Kembali Integrasi Bangsa

Sebagaimana dengan penyebutan Cina dan Tionghoa, istilah pribumi dan nonpribumi juga banyak menuai kritik, perdebatan dan menjadi kontroversial. Istilah pribumi ini juga mengandung makna negatif yang dianggap bersifat diskriminatif.15 “Seharusnya tidak ada lagi istilah pribumi dan nonpribumi yang diperuntukan kepada etnis Tionghoa di Indonesia”. Ini adalah kesimpulan dari FGD (Fokus Group Discassion) yang diselenggarakan di Palopo pada 5 Agustus 2018. Menurut Steven Hamdani, seorang anggota DPRD Kota Palopo, bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata pribumi adalah orang yang lahir di suatu tempat, suku asli atau yang mendiami

14 Steven Hamdani, FGD (Focus Group Disca-tion) yang diselenggarakan di Palopo, 5 Agustus 2018.

15 Wawancara dengan Luis Chandra di Palopo, 5 Agustus 2018.

suatu wilayah. Soalnya kami yang etnis Tionghoa ini juga lahir dan besar di Indonesia, tidak hanya itu, orang tua kami pun juga lahir di Indonesia. Kecuali nenek dan kakek kami yang lahir di Tiongkok kemudian bermigrasi ke Makassar lalu ke Palopo.16

Jika mengacu pada cerita La Galigo, maka kami juga berhak atas sejarah perkembangan Kerajaan Luwu. Dalam cerita La Galigo tersebut istri dari Sawerigading yang bernama We Cudai itu berasal dari negeri Cina. Oleh karena itu, berdasarkan cerita La Galigo, maka istilah pribumi dan nonpribumi sudah tidak relevan di Luwu dan Palopo dan dianggap sudah selesai. Karena kami dari etnis Tionghoa adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan sejarah masa lalu kerajaan Luwu. 17 Saat revolusi di Tanah Luwu, bapak kami yang bernama I Sheng juga ikut berjuang melawan Belanda. Bahkan bapak kami mendapatkan kartu veteran pejuang yang diberikan oleh Andi Sultani atas jasa-jasa bapak kami saat berjuang melawan penjajah Belanda di Tanah Luwu.

Munculnya Ketidakadilan Sosial Ekonomi

Ada yang menyebutkan bahwa kekayaan alam Indonesia hanya dikuasai dan dinikmati oleh satu persen penduduk Indonesia, lebihnya dikuasai para perantau. Pada dasarnya jika perantau datang dan tidak bekerja, maka mereka tidak bisa hidup dengan layak.

Orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang-pedagang yang bersifat perhitungan hemat, akan tetapi pada umumnya kaya dan kehidupan mereka pada umumnya di atas rata-rata tingkat ekonomi orang Indonesia yang memang berasal dari Indonesia (pribumi). Mereka hdup di kota-kota besar dan menguasai sumber daya alam dengan perekonomiannya.

Mereka telah mendapatkan pembatasan-pembatasan secara undang-undang dan peraturan pemerintah, di sisi lain, mereka terkesan

16 Steven Hamdani, FGD (Focus Group Discation) yang diselenggarakan di Palopo, 5 Agustus 2018.

17 Wawancara dengan Luis Chandra di Palopo, 5 Agustus 2018.

Integrasi Etnis Tionghoa dan Dinamika Sosial... Sritimuryati

Page 10: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

150

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

dimanjakan dari phak-pihak penguasa untuk mendapatkan berbagai kemudahan. Misalnya kemudahan dalam membuka dan memperluas usahanya, kemudahan untuk memperoleh bantuan kredit, yang oleh masyarakat lain sulit didapatkan. Kemudahan itu diperolehnya karena kemampuan mereka untuk meyakinkan penguasa yang memberikan berbagai fasilitas kepada mereka. Orang-orang Tionghoa pada waktu itu mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat maju dibandingkan dengan banyak pengusaha pribumi.

Mungkin saja anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar dan sulit diperoleh pembuktiannya. Namun cerita seperti ini beredar dalam masyarakat terutama di kalangan pengusaha. Setidaknya citra yang demikian kemudian menciptakan jurang pemisah antara orang Tionghoa dengan masyarakat lainnya. Ada kecemburuan terpendam dalam masyarakat yang bukan etnis Tionghoa.

Reformasi dan Perubahan Sosial Ekonomi

Tanggal 13-14 Mei tahun 1998 adalah hari-hari yang penting bagi etnis Tionghoa. Karena selama dua hari itu, di Jakarta dan Solo telah terjadi kerusuhan anti-Tionghoa secara besar-besaran. Tidak saja terjadi pembunuhan dan pembakaran, tetapi juga pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa yang dilakukan secara sistematis. Kaum minoritas ini tidak mendapat perlindungan sama sekali dan teriakan mereka tidak didengar oleh penguasa saat itu.

Peristiwa tersebut telah mengejutkan masyarakat Tionghoa dan dunia internasional. Mereka yang mampu telah mengungsi ke luar negeri, tetapi sebagian besar tetap berdiam di Indonesia. Masyarakat Tionghoa umumnya bingung, kalau bukan putus asa. Bahkan banyak bertanya-tanya apakah masih ada tempat bagi etnis Tionghoa di Republik Indonesia ini.

Sejak runtuhnya resim Orde Baru ditandai dengan lengsernya Soeharto dari singgasana kepresidenan di bulan Mei 1998, mengantar Indonesia menuju sebuah era baru. Angin reformasi berhembus kencang, tuntutan akan

perubahan di segala bidang bergulir dan terus bergulir. Dinamika sosial-ekonomi dan politik di Indonesia memasuki era baru pula.18

Di akhir masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada periode yang kedua, Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06 Pred. Kab./6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Melalui kepres itu, Presiden SBY mengganti istilah “Cina” dengan “Tionghoa”.

Pertimbangan pencabutan tersebut seperti dikutip dari situs Sekretaris Kabinet, istilah “Tjina” sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Kabinet Ampera yang pada pokoknya merupakan pengganti istilah “Tiongkok” telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa

PENUTUP

Sejarah migrasi etnis Tionghoa di Kota Palopo dengan melihat berbagai aspek penting yang mempengaruhi proses Integrasi bangsa yang akan melahirkan terciptanya integrasi nasional. Konsep integrasi bangsa, integrasi budaya dan dinamika sosial yang digunakan dalam kajian ini adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga tercipta keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan atau pun wilayahnya. Kajian ini paling tidak akan memberi informasi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan migrasi etnis Tionghoa di Palopo dan proses integrasi bangsa. Kajian ini diharapkan dapat menambah historiografi lokal, khusus kaitannya dengan studi sejarah kota. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pembanding dengan penelitian terdahulu dan menjadi langkah awal untuk studi yang lebih mendalam pada masa mendatang.

18 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds.). Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, 2007, 6-41.

141—151

Page 11: INTEGRASI ETNIS TIONGHOA DAN DINAMIKA SOSIAL EKONOMI

151

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Hubungan orang Tionghoa dengan penduduk lokal pada hari ini adalah manifestasi dan warisan zaman Belanda. Hubungan orang Tionghoa dan penduduk lokal yang semula harmonis kemudian berangsung-angsur merenggang seiring dengan masuknya Belanda ke Indonesia yang kemudian ingin memonopoli dagang. Belanda bersaing dengan Tionghoa yang telah lama mendominasi perdagangan di Indonesia. Oleh karena itu, Belanda menganggap hubungan Tionghoa dan penduduk lokal yang harmonis dapat menghalangi niat Belanda untuk menguasai sumber ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, kata Cina baik sebagai nama sebuah wilayah, negara atau sebagai suku bangsa maupun nama sebagai sebuah kelompok manusia pendukung suatu kebudayaan, sudah dikenali oleh masyarakat Luwu/Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan sejak berabad-abad yang lalu. Hal tersebut disebabkan oleh karena kata Cina sebagai sebuah wilayah tersebut termuat dalam mitologi masyarakat Bugis yang sangat terkenal yaitu cerita I La Galigo.

Kondisi sosial historis yang membedakan antara etnis Tionghoa Makassar dengan etnis Tionghoa Palopo. Dalam realitas sosial historisnya, hubungan antara etnis lokal dengan etnis pendatang seperti etnis Tionghoa di Makassar senantiasa terjadi konflik dengan isu SARA. Sedangkan di Palopo hubungan antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal Kota Palopo tidak pernah terdengar konflik. Keduanya hidup hamonis dan saling membaur. Jika di kota lain, termasuk Makassar orang Tionghoa membangun komunitasnya sendiri namun berbeda halnya dengan orang Tionghoa di Palopo. Mereka menyebar di seluruh wilayah Kota Palopo. Pembauran antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal di Kota Palopo menjadi kunci harmonisasi di Kota Palopo.

DAFTAR PUSTAKA

Bahrum, Shaifuddin. 2003. Cina Peranakan Makassar: Pembauran Melalui Perkawinan Antarbudaya. Makassar: Yayasan Baruga Nusantara.

Colombijn, Freek, dkk (eds). 2005. Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, NIOD, 2005.

Effendy, Muslimin A.R. 2004 ”Tionghoa-Makassar di Tengah Pusaran Sejarah”, dalam Dias Pradadimara dan Muslimin A.R. Effendy (peny.), Kontinuitas dan Perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Ombak.

Hafid, Muh. Yunus (ed.), Kerajaan Luwu (Menurut Catatan D.F. Braam Morris), Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Budaya dan Nilai Tradisional, 1992/1993.

Ham, Ong Hok. 2002. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara, Jakarta: Kompas.

Kompas.com , 2018. Presiden SBY Ganti Istilah “China” Menjadi “Tionghoa”. diunduh 13 Mei.

Paeni, Mukhlis dan Kathrin Robinson. 1987. Politik Kekuasaan dan Kepemimpinan di Pedesaan. Ujung Pandang: Lephas.

Pradadimara, Dias. 2005. “Penduduk Kota, Warga Kota Dan Sejarah Kota: Kisah Makassar” dalam Freek Colombijn, dkk (eds), Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan, Yogyakarta: Ombak, NIOD, 2005.

Sillars, Harvey Barbara. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Tempo edisi 13-19 Agustus 2007. “Peraturan yang Menggusur Tionghoa”.

Tempo edisi 13-19 Agustus 2007. “Terusir dari Kampung Sendiri”.

Wirawan. Yerry. 2013. Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar: Dari Abad ke-17 hingga Abad ke-20. Jakarta: KPG (Kepustakaan Popular Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient KITLV

Integrasi Etnis Tionghoa dan Dinamika Sosial... Sritimuryati