Informasi Umum Kehutanan 2002

Embed Size (px)

Citation preview

Informa s i U mum

KEHUTANANDepartemen Kehutanan

DEPARTEMEN KEHUTANAN 2002

INFORMASI UMUM KEHUTANAN 2002Penanggung Jawab Boen M Purnama Koordinator Bambang Soepijanto Tim Penyusun : Iman Santoso SY. Chrystanto Agus Justianto Anwar Triyono Saputro Agoes Sriyanto Suparman Rais Tetra Yanuardi Purwoto RH Bambang Supriyanto Syaiful Anwar Putera Parthama Widagdo Bambang Sigit Bambang Riyanto Aulia Aruan Hadi Daryanto

Diterbitkan Oleh / Published by :

DEPARTEMEN KEHUTANANMinistry of ForestryBoleh dikutip dengan menyebut sumbernya May be cited with refference to the source

KATA PENGANTAR

Dalam rangka memberikan informasi umum tentang kebijakan Departemen Kehutanan dan perkembangan pembangunan kehutanan kepada pegawai Departemen Kehutanan, pemerhati masalah kehutanan dan masyarakat umum yang berkepentingan, kami publikasikan buku INFORMASI UMUM KEHUTANAN TAHUN 2002. Buku ini merupakan penerbitan pertama dari rencana penyusunan seri Publikasi kebijakan kehutanan. Kami menyadari masih adanya kekurangan dalam penyusunan buku ini, oleh karena itu kami harapkan adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan lebih lanjut. Harapan kami semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang optimal. Jakarta, Desember 2002 KEPALA BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN

BOEN M PURNAMA NIP. 080037272

i

DAFTAR ISIHalaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI . ii 1. PENDAHULUAN ... 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Pembagunan . 1.2 Komitmen International 1.3 Komitmen Nasional... SUMBER DAYA HUTAN . 2.1 Luas Kawasan Hutan ... 2.2 Tipe Hutan . 2.3 Kondisi Penutupan Lahan 2.4 Potensi Hutan 2.5. Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan . PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KONSERVASI KAWASAN . 3.1 Flora dan Fauna yang Dilindungi 3.2 Konservasi Alam ... 3.3 Perlindungan Hutan .. INDUSTRI KEHUTANAN . 4.1 Perkembangan Produksi Kayu bulat, Kayu Gergajian, Kayu Lapis dan Pulp . 4.2 Produksi Hasil Hutan Non Kayu Nasional . 4.3 Permintaan Hasil Hutan ... 4.4 Ekspor Kayu Olahan . 4.5 Keseimbangan Suplai dan Deman Hasil Hutan .. 4.6 Kebijakan Soft-landing . PENGURUSAN HUTAN .. 5.1 Perencanaan Hutan .. 1 2 3 5 8 8 10 11 14 16 18 18 18 21 25 25 26 27 28 29 30 31 31

2

3

4

5

ii

5.2 5.3 5.4 5.5 6

Pengelolaan Hutan ... Hutan Kemasyarakatan Pengelolaan Hutan Rakyat . Pengelolaan Hutan Adat ..

34 35 37 37 39 39 41 42 44 45 46 48 49 51 53 53 54 57 60 67 84

PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DIKLAT DAN PENYULUHAN KEHUTANAN . 6.1 Penelitian dan Pengembangan Kehutanan .. 6.2 Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan ... 6.3 Penyuluhan Kehutanan KEBIJAKAN PRIORITAS KEHUTANAN 2002 2004 ... 7.1 Pemberantasan Illegal Logging .. 7.2 Penanggulangan Kebakaran Hutan .. 7.3 Restrukturisasi Sektor Kehutanan .. 7.4 Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan 7.5 Penguatan Desentralisasi Kehutanan ... MASA DEPAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN 8.1 Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berkelanjutan 8.2 Sosial Forestry .. 8.3 Pengembangan Sistem Informasi Kehutanan .

7

8

DAFTAR ISTILAH ... LAMPIRAN ... DAFTAR PUSTAKA

iii

DAFTAR KOTAKHalaman Visi dan Misi ... 2 Kuda dan Kusir 4 Komitmen Johanesburg ... 6 Komitmen Indonesia terhadap International . 7 Paduserasi antara RTRWP dan TGHK . 9 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh ... 12 Inventarisasi Hutan Nasional .. 13 Permanent and Temporary Sample Plot (TSP/PSP) .. 15 Wisata Alam ... 20 Pertambangan di Dalam Kawasan Hutan . 33 Daerah Aliran Sungai (DAS) 35 Pandangan Masyarakat Adat .. 38 Sebagian dari Hasil Penelitian Kehutanan 40 Realisasi Pendidikan Kehutanan 41 Illegal Logging 47

Kotak 1.1 Kotak 1.2 Kotak 1.3 Kotak 1.4 Kotak 2.1 Kotak 2.2 Kotak 2.3 Kotak 2.4 Kotak 3.1 Kotak 5.1 Kotak 5.2 Kotak 5.3 Kotak 6.1 Kotak 6.2 Kotak 7.1

iv

DAFTAR TABELHalaman 8 9 12 13 14 19 20 22 24 25 26 27 28 28 29

Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 3.1. Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 4.1. Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6

Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 23 Propinsi Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah berdasarkan paduserasi TGHK-RTRWP Tahun 1999 Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 ... Kondisi Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi di dalam Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 Potensi Rata-Rata Tegakan pada Hutan Produksi (HP+ HPT) . Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi dalam rangka IUPHHK . Jumlah Spesies yang Dilindungi Undang-Undang .. Jumlah Lokasi dan Luas Kawasan Konservasi di Indonesia . Data Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 1999 sampai dengan 2002 Data Gangguan Kawasan Konservasi Periode 1999-2002 ... Produksi Kayu Bulat, Gergajian, Kayu Lapis dan Pulp selama 5 Tahun Terakhir ... Produksi Hasil Hutan Non Kayu Selama 5 Tahun Terakhir Produksi Hasil Hutan Non Kayu Perum Perhutani Tahun 2001 Kapasitas Produksi Industri di Indonesia .. Ekspor Kayu Olahan selama 5 tahun Terakhit Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kayu Bulat Nasional dari Tahun 1998 2019 ..

v

DAFTAR LAMPIRANHalaman 69 70 71 75 76 77 78 79 80 82 83

Lampiran-1 Lampiran-2 Lampiran-3 Lampiran-4 Lampiran-5 Lampiran-6 Lampiran-7 Lampiran-8 Lampiran-9 Lampiran-10 Lampiran-11

Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Peta Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 Peta Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia dari tahun 1985 1997 Peta Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia dari tahun 1985 1997 Kawasan Konservasi Darat sampai dengan Tahun 2001 Kawasan Konservasi Laut sampai dengan Tahun 2001 Daftar Taman Nasional di Indonesia sampai dengan tahun 2001 Perkembangan HPH Aktif sampai dengan Desember 2001 Perkembangan HTI sampai dengan Desember 2001

vi

1PENDAHULUAN

utan sebagai karunia dan Tuhan Yang Maha Esa yang kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, H dimanfaatkan secara optimalamanah dijaga kelestariaannya karenadianugrahkan dan serta memberikan manfaat serba guna kepada umat manusia. Oleh karena itu hutan dikuasai oleh negara dan diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun yang mendatang. Hutan sebagai salah satu penentu ekosistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung mengalami degradasi, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dikembalikan fungsinya, dan diurus dengan adil, arif dan bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung jawab. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berdimensi perencanaan, pengelolaan, peningkatan profesionalisme dan pengawasan, harus berwawasan global, serta menampung dinamika aspirasi, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. 1. Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Nasional Luas sumberdaya hutan berdasarkan hasil pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) adalah 120,35 juta ha atau sekitar 62,6% dari luas daratan Indonesia. Dalam kawasan hutan tersebut terkandung keanekaragaman hayati yang melimpah sehingga Indonesia juga dikenal sebagai mega-biodiversiti country. Sebagai gambaran, Indonesia memiliki sekitar 400 spesies pohon, 25.000 spesies tumbuhan berbunga,Informasi Umum Kehutanan - 2002

1

1.519 species burung, 515 species satwa mamalia, 600 species satwa reptilia, dan 270 species amphibia. Sejauh ini manfaat keragaman hayati tersebut belum mendapat porsi perhatian yang seharusnya.Kotak 1.1 VISI Terwujudnya kelestarian fungsi hutan sebagai system penyangga kehidupan, memperkuat ekonomi rakyat serta mendukung perekonomian nasional bagi kesejahteraan rakyat. MISI Memantapkan dan melindungi keberadaan kawasan hutan Rehabilitasi hutan dan lahan kritis Meningkatkan konservasi sumberdaya alam Mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan hutan secara adil Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan selaras dengan semangat otonomi daerah

VISI DAN MISI

Sebelum tahun 2000, produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman (termasuk hutan tanaman di Pulau Jawa) rata-rata per tahun sebesar 25,40 juta m3. Kontribusi terhadap perekonomian nasional berupa penerimaan devisa dari ekspor komoditas primer kehutanan yang pada tahun 1998 mencapai US $ 7.52 miliar. Tahun 1997 jumlah tenaga kerja pada kegiatan pengusahaan hutan tercatat sebanyak 183 ribu orang. Jumlah masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari sektor kehutanan secara langsung dan tidak langsung diperkirakan sekitar 30 juta orang. Sejak tahun 2000 produksi kayu bulat tersebut cenderung menurun akibat menurunnya kualitas sumberdaya hutan. Timbulnya kesadaran akan bahaya eksploitasi kayu yang berlebihan pada hutan alam mendorong Pemerintah untuk melaksanakan program pengembangan hutan tanaman dan rehabilitasi lahan kritis dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemerintah juga melaksanakan program hutan rakyat untuk mendorong penduduk pedesaan sekitar kawasan hutan untuk memenuhi permintaan kebutuhan energi dan kayu bangunan rumah tangga sehingga tekanan ekspoitasi terhadap kawasan hutan alam dapat dikurangi.Informasi Umum Kehutanan - 2002

2

Kotak 1.2

KUDA DAN KUSIR Sumber daya hutan digambarkan sebagai kuda yang mudah diperas tenaganya untuk kepentingan pembangunan dan peningkatan devisa negara. Sedangkan rimbawan digambarkan sebagai kusir yang memelihara dan mengendalikannya. Oleh karena itu laju kerusakan sumber daya hutan sangat tergantung pada kusirnya = Rimbawan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa sudah saatnya Rimbawan melakukan introspeksi atas upaya eksploitasi SDH secara berlebihan dan membiarkan hutan bernafas sehingga mempunyai kesempatan berkembang memperbaiki ekosistemnya. Walaupun ada pergeseran permintaan produk sumberdaya hutan, namun pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan seperti air, wisata dan lain sebagainya sampai saat ini belum maksimal. Hal tersebut antara lain disebabkan masih terfokusnya pemanfaatan hutan pada produk kayu. Pengelolaan dan pemanfaatan multi-fungsi hutan dan kebun perlu ditingkatkan sebagai alternatif sumber devisa dan pendapatan masyarakat di dan sekitar hutan. Di samping itu memberikan kesempatan pada sumber daya hutan khususnya kayu untuk bernafas. Seluruh Rimbawan tanpa kecuali perlu bercermin, koreksi diri, menyadari kelemahannya dan menatap masa depan melalui upaya konservasi dan rehabilitasi SDA dalam arti luas dengan melibatkan seluruh pihak terkait.Sumber Kuda dan Kusir : Korsa Rimbawan dan Rehabilitasi Hutan (2002)

Upaya pengembangan hutan tanaman ditargetkan dapat mencapai luasan sebesar 8.47 juta hektar tanaman dengan produksi minimum 9,7 juta m3 kayu dapat dihasilkan dari hutan tanaman tersebut pada tahun 2000-an. Namun nampaknya upaya tersebut belum mencapai sasaran, sehingga harapan untuk memenuhi kebutuhan kayu dari hutan tanaman menggantikan produksi kayu dari hutan alam masih jauh dari harapan. Disisi lain, ketersediaan kayu yang berasal dari tanaman karet, kelapa sawit dan kelapa adalah sangat potensial sebagai suplemen kayuInformasi Umum Kehutanan - 2002

3

dalam memenuhi kebutuhan kayu pada masa mendatang, namun belum diperhitungkan secara serius untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Selain hasil hutan kayu, kawasan hutan Indonesia memberikan komoditi lain dan jasa lingkungan yang tidak kalah penting bagi perekonomian masyarakat maupun perekonomian daerah dan nasional. Sebagai contoh, satwa dan tumbuhan telah menghasilkan devisa ekspor sebesar Rp. 3.799.033 pada tahun 1998/1999. Namun demikian, hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB (1999) pada kawasan hutan produksi memberikan peringatan yang penting dalam pemanfaatan kayu dan hasil hutan non kayu. Penelitian tersebut menyatakan bahwa nilai guna langsung (direct use value) dari kayu maupun komoditi non kayu yang dimanfaatkan oleh HPH maupun masyarakat hanya merupakan bagian kecil dari nilai ekonomi total ((total economic value) hutan; sedangkan bila kayu dan komoditi lainnya dieksploitasi secara berlebihan maka seluruh nilai ekonomi hutan tersebut akan hilang. Oleh karena itu kawasan hutan Indonesia yang saat ini sedang mengalami degradasi yang berat memerlukan penangan yang tepat agar fungsi dan produktivitasnya dapat dipulihkan . 2. Komitmen Internasional Perhatian dunia internasional terhadap hutan tropis pada khususnya dan sumberdaya hutan secara umum kelihatan semakin meningkat, terutama menjelang akhir abad ke 20 karena dirasakan semakin menurunnya potensi dan kualitas sumberdaya hutan yang berpengaruh pada ekosistem global. Perhatian ini ditunjukkan dengan adanya berbagai konvensi yang ditaati oleh hampir seluruh negara yang mempunyai sumberdaya hutan serta negara-negara yang mempunyai kepentingan atas keberadaan hutan di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dalam berbagai pembentukan dan menjalankan konvensi tersebut sebagai komitmen dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup. Untuk menjalin kerjasama dalam pelestarian lahan basah yang mempunyai kepentingan global maka pada tahun 1971, telah ditandatangani Konvensi RAMSAR tentang pengelolaan lahan basah. Selain itu, dalam rangka mengatur perdagangan species yang terancam punah, telah disepakati konvensi internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) pada tahun 1973. Sedangkan untuk pengelolaan sumberdaya hutan tropis secara lestari maka pada tahun 1980-an terbentuk organisasi kayu tropis yang dikenal dengan nama International Tropical Timber Organization (ITTO). Organisasi ini telah menerbitkan berbagai pedoman yang terkait dengan Sustainable Forest Management (SFM) danInformasi Umum Kehutanan - 2002

4

Kotak 1.3.

KOMITMEN JOHANNESBURGKomitmen terdiri dari 6 kelompok yaitu : From our origin to the future no. 1 to 7 From the Rio Principles to the Johannesburg Commitment on Sustainable Development no. 8 to 14 The challenges we face no. 15 to 21 The Johannesburg Commitment on Sustainable Development no. 22 to 60 Multilateralism is the future no. 61 to 64 Making it happen ! no. 65 to 69

Uraian butir komitmen tersebut adalah antara lain : Pembangunan yang berkelanjutan Pembangunan masyarakat global yang ramah dan layak Menjamin dunia yang bebas dari kejahatan akibat kemiskinan dan kerusakan lingkungan Pembangunan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan pada tingkat lokal hingga global Mendorong kerjasama dan dialog lintas ras, agama, budaya dan bahasa.

Criteria and Indicators for SFM. Disamping itu, Food and Agriculture Organization (FAO) meluncurkan program yang dikenal dengan Tropical Forest Action Programme (TFAP) pada tahun 1985. Pada tahun 1992, United Nation Conference on Environmental and Development (UNCED) dilaksanakan di Rio de Janeiro yang menghasilkan Forest Principles dan Agenda 21 dalam rangka penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Sebagai tindak lanjut kemudian dilaksanakan Conference on Sustainable Development (CSD) dan disepakatinya Convention on Biodiversity (CBD) pada tahun 1992, Convention on Combating Disertification (CCD) dan Framework Convention on Climate Change (FCCC) pada tahun 1994. Tindak lanjut FCCC yang signifikan adalah Kyoto Protocol yang dicetuskan pasca COP-3 di Kyoto pada tahun 1997.Informasi Umum Kehutanan - 2002

5

Untuk menindaklanjut konvensi-konvensi tersebut, maka pada tahun 1995-1997 telah bekerja suatu kelompok kerja yang disebut Intergovernmental Panel on Forests (IPF) dan dilanjutkan dengan Intergovernmental Forum on Forests (IFF) pada tahun 19972000. Disamping itu juga kelompok kerja lain yang bekerja pada tahun 1995-2000 yaitu Interagency Task Force on Forests (ITFF). Pada tahun 2000-an telah dibentuk forum kehutanan dibawah PBB yang disebut United Nation Forum on Forests (UNFF) pada tahun 2001, serta Collaborative Partnership on Forests (CPF pada tahun 2000). Pada bulan Agustus 2002 dilakukan pertemuan puncak para Kepala Negara di Johannesburg yang menghasilkan berbagai komitmen baru menindak lanjuti komitmen-komitmen yang pernah disepakati di Rio de Janeiro, yang pada intinya para negara bersepakat untuk meningkatkan upaya-upaya pembangunan yang berkelanjutan. 3. Komitmen Nasional Pada tingkat nasional, Indonesia juga telah menyusun Indonesian Forestry Action Plan (IFAP) pada tahun 1991, yang merupakan bagian dari prakarsa TFAP. Lebih lanjut, dalam melaksanakan proses sertifikasi produk-produk hasil hutan telah dibentuk Lembaga Ekolabel Indonesia. Dalam rangka menindaklanjut UNCED, Indonesia juga telah menetapkan peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman yang terkait dengan Sustainable Forest Management (SFM) dan Criteria and Indicators of SFM. Selain dari itu, sebagai bagian dari komitmen dengan Consultative Group on Indonesia (CGI) yang ditindaklanjut dengan dibentuknya Consultative Group on Indonesian Forestry (CGIF), Indonesia mempunnyai komitmen yang tinggi untuk menangani berbagai masalah dan isu dalam pengelolaan hutan. Sebagai tindak lanjut dari beberapa perjanjian dan konvensi internasional, seperti Agenda 21, Forest Principles, UNCED, Proposal IPF/IFF dll., Indonesia juga telah melaksanakan National Forest Programme (NFP). Proses NFP telah diawali dengan dibentuknya forum koordinasi bidang kehutanan yang disebut dengan InterDepartmental Committee on Forestry (IDCF).

Informasi Umum Kehutanan - 2002

6

Kotak 1.4 Komitmen Indonesia Terhadap Internasional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Pemberantasan Penebangan Liar Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Restrukturisasi Industri Kehutanan Hubungan antara Reforestasi dan Kapasitas industri kehutanan Penilaian Sumberdaya Hutan Moratorium Konversi Hutan Alam Program Kehutanan Nasional Penanganan Land Tenure Rekalkulasi tegakan Sistem Pengelolaan Hutan Desentralisasi Pengelolaan Hutan

International Commitment, i.e. : IPF/IFF/UNFF Convention: CBD, CCC, CCD, CITES, RAMSAR etc. CGI Commitment

Law 41/99 Law 5/90 Law 22/99 Law 23/97 Law 24/92 Law 5/60

National Guidelines

NFPLONG TERM FORESTRY PLANNING National Development Programme (Law No. 25/2000)

Strategic Planning

Regional Development Programme

Long Term Provincial Forestry Planning Long Term District Forestry Planning

Annual Forestry Planning

Strategic Planning on Provincial Level Strategic Planning on District Level

Annual Forestry Planning at Provincial Level Annual Forestry Planning at District Level Annual Forestry Planning at Management Unit Level

Long Term Forest Management Unit Planning

Strategic Planning on Management Unit Level

Informasi Umum Kehutanan - 2002

7

2SUMBER DAYA HUTANKeadaan dan Perubahan

1. Luas Kawasan Hutanawasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Luas Kawasan Hutan di Indonesia berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 2000 seluas 120,35 juta hektar atau sebesar 62,6% dari total luas daratan Indonesia seluas 192,16 juta ha. Kawasan hutan tersebut dibagi dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Luas kawasan hutan di Indonesia untuk 23 Propinsi belum termasuk propinsi Sumut, Riau dan Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 2.1.

K

Tabel 2.1.

Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 23 PropinsiLuas Daratan (juta Ha) 18,15 29,04 27,82 16,21 13,67 104,89 Luas Perairan (juta Ha) 5,07 Jumlah (Juta Ha) 23,21 29,04 27,82 16,21 13,67 109,96

Fungsi Hutan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Konversi Total

Sumber : Statistik Kehutanan 2001, Departemen Kehutanan

Informasi Umum Kehutanan - 2002

8

Penetapan kawasan hutan di tiga propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah saat ini masih dalam proses penyelesaian. Berdasarkan peta paduserasi Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Propinsi tahun 1999, keadaan kawasan hutan di tiga propinsi tersebut adalah sebagai berikut Tabel 2.2. Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah berdasarkan paduserasi TGHK-RTRWP Tahun 1999Luas Daratan(juta Ha)

Propinsi Sumatera Utara Riau Kalimantan Tengah Jumlah

HSAW(juta Ha)

HL(juta Ha)

HPT(juta Ha)

HP(juta Ha)

HPK(juta Ha)

7,17 9,45 15,36 31,98

0,25 0,56 0,68 1,49

1,92 0,36 1,02 3,30

0,76 0,00 4,59 5,35

0,87 2,65 4,45 7,97

0,04 0,33 0,00 0,37

Sumber : Statistik Kehutanan 1999, Departemen Kehutanan

Kotak 2.1

Paduserasi antara RTRWP dan TGHK

P

emaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan R encana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dilakukan di seluruh propinsi untuk menyempurnakan RTRWP yang telah ada, yaitu dengan mencermati kembali keberadaan kawasankawasan hutan yang secara yuridis telah ada sebelum ditetapkannya RTRWP. Proses pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) telah selesai dilaksanakan diseluruh propinsi kecuali Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah. Pemantapan peta RTRWP dan TGHK dilakukan oleh tim berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 696/KptsVII/1996 tgl 5 Nopember 1996. Kawasan-kawasan yang perlu dicermati (a) kawasan hutan yang telah dikukuhkan; (b) HPHTI dalam KBNK; (c) areal yang masih berhutan; (d) areal HPH yang diarahkan untuk Hutan Lindung.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

9

2. Tipe Hutan Berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1996, hutan di Indonesia berada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Komposisi hutan menurut tipe dan keberadaannya adalah sebagai berikut :Di dalam kawasan hutan12% 3% 2% 71% 12% 5% 0% 2% 67%

Di luar kawasan hutan26%

Hutan Dataran rendah ( < 1000 m dpl) Hutan Dataran Tinggi ( 1000 2000 m dpl) Hutan Pegunungan ( > 2000 m dpl) Hutan Mangrove Hutan Rawa

Gambar 2.1. Tipe Hutan di dalam dan di luar kawasan hutan Di dalam kawasan hutan : Hutan dataran rendah dengan ketinggian dibawah 1000 m dpl seluas 63,76 juta ha; Hutan dataran tinggi dengan ketinggian antara 1000 2000 m dpl seluas 10,65 juta ha; Hutan Pegunungan dengan ketinggian diatas 2000 m dpl seluas 2,81 juta ha Hutan Mangrove yang didominasi Rhizophora sp, Bruquiera sp, dan Aviceneae seluas 0,002 juta ha; Hutan Rawa seluas 10,53 juta ha

Informasi Umum Kehutanan - 2002

10

Di luar kawasan hutan : Hutan dataran rendah dengan ketinggian dibawah 1000 m dpl seluas 20,46 juta ha; Hutan dataran tinggi dengan ketinggian antara 1000 2000 m dpl seluas 0,51 juta ha; Hutan Pegunungan dengan ketinggian diatas 2000 m dpl seluas 0,03 juta ha Hutan Mangrove yang didominasi Rhizophora sp, Bruquiera sp, dan Aviceneae seluas 1,37 juta ha; Hutan Rawa seluas 7,81 juta ha

3. Kondisi Penutupan Lahan Keadaaan penutupan lahan / vegetasi terakhir diperoleh berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat ETM+7 seluruh Indonesia sejumlah 204 scenes (data liputan tahun 1999-2000). Penafsiran penutupan lahan / vegetasi dibagi kedalam dua kelas utama yaitu kelompok Hutan dan Non Hutan, yang masing-masing diklasifikasikan lagi secara lebih detil menjadi kelas-kelas sebagai berikut : Hutan terdiri dari Hutan lahan kering primer, Hutan lahan kering sekunder, Hutan rawa primer, Hutan rawa sekunder, Hutan mangrove primer, Hutan mangrove sekunder, dan Hutan Tanaman. Sedangkan Non Hutan terdiri dari Semak/Belukar, Belukar rawa, Pertanian lahan kering, campur semak, Perkebunan, Pemukiman, Pertanian lahan kering, Rawa, dan Savanna. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat 7 ETM (angka sementara s/d Juni 2002) di wilayah daratan Indonesia diketahui bahwa luas daratan yang masih berhutan adalah sebesar 41 %, sedangkan daratan yang bukan berupa hutan (Non Hutan) sebesar 47%, sisanya 12% tidak bisa ditafsir karena tertutup awan. Lahan non hutan adalah lahan selain vegetasi hutan, dapat berupa sawah lahan pertanian, pemukiman, alang-alang, semak/belukar serta lahan tidak produktif lainya. Keadaan Penutupan Lahan Berdasarkan penafsiran citra satelit 7 ETM disajikan pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

11

Kotak 2.2

Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dikenal pertama kali di USA pada tahun1950. Perkembangan teknologi RS di bidang kehutanan saat ini sudah sangat maju baik yang menggunakan wahana pesawat terbang maupun satelit antara lain potret udara, citra landsat TM5, landsat ETM 7, Citra radar, SPOT, NOAA, IKONOS, Hyperspectral, dll. Masing-masing teknologi tersebut mempunyai kelebihan baik dalam cakupan maupun resolusi spatialnya dari 1x1 km (NOAA) s/d 1x1 m (IKONOS).

Untuk mengetahui keadaan penutupan lahan dan vegetasi hutan di wilayah Indonesia, digunakan citra satelit Landsat 7 Enhanced Tematic Mapper Plus (ETM+) yang mempunyai resolusi spasial 30m untuk kanal multispektral, 60m untuk kanal thermal dan 15m untuk kanal pankromatik dengan siklus merekam daerah yang sama setiap 16 hari. Citra satelit Landsat 7 ETM+ ini merekam permukaan bumi termasuk liputan awannya, oleh karena itu untuk dapat melihat penyebaran luas hutan diperlukan citra yang bebas ataupun relatif sedikit penutupan awannya. Untuk mendapatkan citra yang bersih dari penutupan awan dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa citra multi temporal (mosaiking) atau melalui kombinasi dengan data citra radar yang mempunyai kemampuan penetrasi terhadap awan. Persebaran hutan di Indonesia yang diliput + 200 scene belum termasuk citra tambahan untuk membuat citra mosaik.

Tabel 2.3.

Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000Luas (ribu ha) 60.087 68.539 18.519 147.145 Persen Luas 40,8 46,0 13,2 100

Penutupan Lahan Berhutan Bukan Hutan / tidak berhutan Berawan/ tidak ada data Total Daratan yang ditafsirSumber : Badan Planologi kehutanan tahun 2002

Catatan : Wilayah yang belum selesai penafsirannya adalah Irian Jaya seluas 40,8 juta ha Penafsiran baik di dalam maupun di luar kawasan hutan .

Informasi Umum Kehutanan - 2002

12

Tabel 2.4

Kondisi Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi di dalam Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000Luas (juta ha) 52,6 27,6 13,4 Persen Luas 56,2 29,5 13,4

Penutupan Lahan Berhutan Bukan Hutan / tidak berhutan Berawan/ tidak ada dataCatatan : Tidak termasuk Propinsi Irian JayaSumber : Badan Planologi kehutanan tahun 2002

Areal berhutan dalam kawasan hutan meliputi hutan primer (virgin forest) seluas 20,4 juta ha, hutan sekunder (secondary forest) seluas 29,7 ha, dan hutan tanaman (HTI) seluas 2,4 juta ha.

Kotak 2.3.

INVENTARISASI HUTAN NASIONAL

P ada tahun 1989 sampai dengan tahun 1996 Indonesia untuk pertama kali melakukanperhitungan potensi hutan berskala nasional melalui Inventarisasi Hutan Nasional atau yang dikenal dengan nama National Forest Inventory (NFI) dengan memanfaatkan bantuan pinjaman Bank Dunia. Inventarisasi Hutan Indonesia dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan GIS yang dikombinasikan dengan pencatatan data plot lapangan dari Temporary Sample Plot (TSP) dan Permanent Sample Plot (PSP) yang berjumlah kurang lebih 2735 klaster. Klaster TSP/PSP tersebar secara sistematik setiap 20 x 20 km di Seluruh Indonesia kecuali Pulau Jawa. Idealnya Inventarisasi Hutan Nasional tersebut dilaksanakan setiap lima tahun. Namun hingga kini NFI belum pernah diulang kembali.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

13

4.

Potensi Hutan

Data potensi hutan nasional diperoleh pertama kali melalui survei Green Book yang dilaksanakan sejak tahun 1969. Setelah itu melalui Inventarisasi Hutan Nasional, telah disusun buku Laporan Akhir Statistik Sumberdaya Hutan Indonesia pada tahun 1996. Melalui Inventarisasi Hutan Nasional juga dilakukan pengukuran PSP yang dilakukan setiap 5 tahun sekali dengan tujuan mengetahui potensi hutan, pertumbuhan (growth and yield) dan memantau perubahannya. Saat ini telah dilaksanakan pengukuran ulang PSP sebanyak 1.100 plot klaster dan telah dilakukan pengolahan data berupa konsistensi dan validasi. Data potensi hutan tersebut juga telah dijabarkan untuk seluruh kabupaten di Indonesia sebagaimana daftar terlampir. Potensi rata-rata tegakan pada hutan produksi (HP+HPT) dihitung berdasarkan basis data lapangan (TSP/PSP) dan basis data GIS pada Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1990-1996, seperti disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Potensi Rata-Rata Tegakan pada Hutan Produksi (HP+HPT)Diameter 20-49 cm Komersial Seluruh jenis Vrata2 N/Ha Vrata2 N/Ha (m3/ha) (m3/ha) 22,9 31,7 56,3 86,3 23,7 29,8 49,2 69,0 11,9 15,4 57,4 77,9 11,5 12,0 46,9 52,6 2,5 3,4 22,9 35,0 20,0 25,8 48,3 69,1 Diameter 50 cm up Komersial Seluruh jenis Vrata2 N/Ha Vrata2 N/Ha (m3/ha) (m3/ha) 26,7 6,9 46,7 12,8 42,6 9,2 60,6 14,4 12,9 4,0 58,6 17,2 19,4 4,3 54,9 11,8 2,3 0,5 15,5 4,5 31,6 7,3 52,3 13,0

No 1 2 3 4 5

Pulau Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Indonesia

Sumber : Data TSP/PSP Inventarisasi Hutan Nasional, Badan Planologi, Tahun 1996

Berdasarkan data TSP/PSP Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1996, potensi total rotan di seluruh areal hutan sebesar 8,2 juta ton dan sekitar 91,2% (7,4 juta ton) terdapat di hutan dataran rendah, hutan rawa, dan hutan mangrove. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 8171/Kpts-II/2002 tanggal 5 September 2002 telah ditetapkan Kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi

Informasi Umum Kehutanan - 2002

14

yang dapat diberikan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam sebagai berikut : Tabel 2.6. Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi dalam rangka IUPHHKPotensi Tegakan Hutan (rata-rata Pohon per Hektar) Berdasarkan Kelas Diameter dan Kondisi Tanah Hutan Hutan Tanah Kering Hutan Tanah Basah/Rawa

No

Rayon

Ket.

10-19 Cm N/Ha 108 108 108 108 108 108

20-49 Cm N/Ha 39 39 39 39 39 39

> 50 Cm N/Ha 16 15 15 14 17 14

10-19 Cm N/Ha 108 108 109

20-49 Cm N/Ha 39 39 39

> 50 Cm N/Ha 21 16 18

1 2 3 4 5 6

Sumatera Kalimantan Sulawesi N. Tenggara Maluku Papua

N = Jlh pohon = Dia meter

Kotak 2.4

PERMANENT AND TEMPORARY SAMPLE PLOT (PSP/TSP)Permanent Sample Plot dan Temporary Sample Plot adalah sampel plot berupa klaster dalam kegiatan Inventarisasi Hutan Nasional. Sampel plot klaster dibuat secara sist ematis pada setiap grid 20x20 km di seluruh wilayah Indonesia. Setiap klaster terdiri dari 1 unit PSP dan 9 unit TSP. Tujuan pengukuran TSP adalah untuk pendugaan volume, kondisi tegakan, dan distribusi spesies serta biodiversity, yang pengukurannya dilakukan 1 kali. Sedangkan PSP digunakan untuk mengetahui perubahan sumber daya hutan dan riap pertumbuhan. Pengukuran dilakukan setiap 5 tahun sekali.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

15

5. Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan. Proses degradasi sumberdaya hutan dalam waktu 20 tahun ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun Demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Data rincian laju deforestasi/degradasi hutan disajikan pada Lampiran. Laju kerusakan tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain : a. Kebijakan pembangunan hutan tanaman melalui konversi hutan alam yang belum diikuti dengan penyiapan sumber daya yang baik telah mengakibatkan terlantarnya rencana penanaman sementara pemanfaatan konversi hutan alam melalui IPK berjalan dengan cepat. Hal ini telah memberikan kontribusi terbesar untuk terciptanya lahan kritis. Produksi kayu dari IPK selama 5 tahun terakhir sebesar 92,6 juta m3. Seiring dengan kondisi tersebut, keberhasilan pembangunan hutan tanaman dinilai belum sesuai dengan rencana. Dari 9,2 juta ha yang direncanakan hingga tahun 2001 baru terealisir 2,3 juta ha. b. Kesenjangan supply-demand bahan baku industri, dimana kapasitas industri terpasang sekitar 58,24 juta m3 sedangkan kemampuan lestari hutan adalah sekitar 25,4 juta m3. Disamping itu kebijakan di masa lalu pembukaan kran ekspor kayu bulat yang belum diikuti dengan kesiapan instrumenInformasi Umum Kehutanan - 2002

16

pengendaliannya telah mengakibatkan terbukanya pasar gelap yang bersumber dari kayu illegal logging. c. Kebakaran hutan tahun 1997/1998 menyebabkan hilangnya 4,8 juta hektar kawasan hutan. Walaupun upaya pencegahan kebakaran hutan telah dilaksanakan secara terus menerus dalam berbagai upaya, namun hasilnya belum optimal. Setiap tahun masih selalu terjadi kebakaran hutan antara 0,1 0,25 juta ha.

d. Masyarakat di sekitar hutan belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan hutan dan bahkan sebagian termarjinalkan akibat sebagian pola pembangunan hutan cenderung tidak mendorong peran serta masyarakat. Kecemburuan akan peran serta di dalam pembangunan kehutanan dan faktor kemiskinan telah mendorong proses pemanfaatan masyarakat oleh intelektual illegal logger. Disamping itu pola slash and burn dalam membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang dari tahun ke tahun terus meningkat. e. Tatanan sistem pemerintahan yang semula sentralistis telah berubah menjadi desentralisasi yang memberikan penekanan otonomi urusan di bidang kehutanan belum sepenuhnya diikuti dengan peraturan dan ketentuan di daerah.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

17

3PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KONSERVASI

KAWASAN1. Flora dan Fauna yang dilindungi

Indonesia merupakan negara mega biodiversity, dengan kelengkapan jenis flora dan fauna yang sangat besar dibanding negara-negara lain. Kekayaan ini tersimpan di dalam kerimbunan hutan Indonesia yang begitu luas. Paling sedikit terdapat 400-an jenis pohon, 500-an jenis mamalia, 1.500-an jenis burung, 25.000-an bungabungaan dan masih banyak lagi. Namun demikian tidak seluruh jenis flora dan fauna tersebut boleh diperdagangkan, sebagian dari mereka dilindungi dari kegiatan pemanfaartan dan perdagangan. Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan alam (flora) dan satwa liar (fauna) diatur dalam UU No. 5/1990 berdasarkan prinsip-prinsip konservasi (sesuai dengan daya dukung, keanekaragaman, dan potensinya). Jumlah species flora dan fauna yang dilindungi di Indonesia dapat dilihat pada Table 3.1. Jenis satwa yang dilindungi antara lain Gajah Sumatera (Elephas maximus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Babi Rusa (Babyrousa babyrussa), dan Anoa (Bubalus depresicornis). Jumlah spesies di Indonesia yang dilindungi Undang-Undang diberikan Tabel 3.1.

2. Konservasi AlamHutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

Informasi Umum Kehutanan - 2002

18

ekosistemnya. Hutan Konservasi Indonesia terdiri atas Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Taman Buru (TB). Kawasan Hutan Suaka Alam (KSA) adalah adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan. Kawasan hutan pelestarian alam (KPA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu. Rincian mengenai jumlah lokasi KSA, KPA dan Taman Buru di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.2. Table 3.1. Jumlah Spesies yang Dilindungi Undang-UndangNO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 FLORA/FAUNA Pohon Bunga Paku-pakuan Mamalia Burung Reptil Ampibi Ikan Kupu-kupu Kerang-kerangan Palm Anggrek Rafflessiaceae Lain-lain (akar bahar, kantong semar, dll) JUMLAH SPECIES 400 25.000 1.250 515 1.519 600 270 8.500 121 20.000 JUMLAH SPECIES DILINDUNGI 13 70 93 20 7 20 14 14 29 semua jenis semua jenis

Sumber: Ditjen PHKA tahun 2002

Informasi Umum Kehutanan - 2002

19

Kotak 3.1

WISATA ALAM

Wisata alam (eco-tourism) adalah obyek atau kegiatan yang berkaitan dengan rekreasi/pariwisata yang memanfaatkan sda dan ekosistemnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sektor pariwisata sekaligus mempertahankan keutuhan dan keunikan keragaman hayati dan ekosistemnya. Daya tarik wisata alam di Indonesia antara lain : Keanekaragaman flora (terdapat 375 genera flora asia, 644 flora Australia, 421 flora philipina, terdapat suku dipterocarpaceae sejamulah 386 jenis); Keanekaragaman Fauna sejumlah 663 jenis seperti komodo, anoa, babirusa, jalak bali, badak jawa,dll); Keanekaragaman Biota laut (tumbuhan alga 197 jenis, mangrove 38 jenis, karang batu 70 jenis, molusca/siput 1500 jenis, ikan 2000 jenis, penyu 5 jenis, lumba-lumba 24 jenis,dll);

Tabel 3.2Jenis

Jumlah lokasi dan luas Kawasan Konservasi di IndonesiaTotal Luas (juta ha) 22,56 2,67 3,62 14,82 0,97 0,24 0,24 Unit 385 174 50 40 93 14 14 Daratan Luas (juta ha) 17,94 2,48 3,55 11,13 0,29 0,24 0,24 Unit 357 169 47 34 79 14 14 Perairan Luas (ha) 4,62 0,19 0,07 3,68 0,68 Unit 28 5 3 6 14 -

Kawasan

Kawasan Konservasi Kawasan Suaka Alam1. 2.

Cagar Alam Suaka Margasatwa

Kawasan Pelestarian Alam 1. Taman Nasional 2. Taman Wisata Alam3. 4.

TAHURA Taman Buru

Sumber : Ditjen PHKA tahun 2002

Informasi Umum Kehutanan - 2002

20

Kawasan Konservasi darat yang telah ditunjuk dan ditetapkan sampai dengan tahun 2001 adalah 169 unit Cagar Alam, 47 unit Suaka Margasatwa, 79 Unit Taman Wisata Alam, 14 unit Taman Buru, 34 unit Taman Nasional, dan 14 unit Taman Hutan Raya. Sedangkan Kawasan Konservasi Laut terdiri dari 5 Unit Cagar Alam, 3 unit Suaka Margasatwa, 14 unit Taman Wisata, dan 6 unit Taman Nasional, dengan rincian pada Tabel 3.2. 3. Perlindungan Hutan Perlindungan hutan bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, konservasi dan produksi dari hutan tercapai secara optimal dan lestari. Secara umum perlindungan hutan diarahkan untuk menanggulangi bahaya kebakaran hutan, degradasi kawasan dan penurunan potensi ekonomi hutan. 3.1. Kebakaran lahan dan hutan Kebakaran hutan, kebun, dan lahan telah menjadi salah satu bentuk gangguan lingkungan hidup yang akhirnya menjadi gangguan yang serius terhadap pembangunan berkelanjutan. Dampaknya cukup besar terhadap kerugian ekonomis, kerusakan ekologis, estetika, produktivitas tanah, perubahan iklim, serta menurunnya keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang merupakan sumber plasma nutfah yang tak ternilai. Kebakaran hutan tahun 1997/1998 menyebabkan hilangnya lahan 9,7 juta hektar di mana 4,8 juta hektar merupakan areal hutan. Kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 9,3 milyar dollar (Bappenas, 1999). Kerugian seketika akibat asap kebakaran hutan dan kebun antara lain gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan transportasi, baik darat, perairan, maupun udara. Kejadian terakhir kebakaran di Sumatra Utara dan di Kalimantan Barat telah menyebabkan ditutupnya bandara di Medan dan di Pontianak untuk beberapa jam pada beberapa minggu yang lalu. Sementara itu, negara tetangga khususnya Singapura dan Malaysia melaporkan adanya gangguan asap yang menyelimuti beberapa bagian negara tersebut. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 99% diakibatkan oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja (kelalaian). Secara umum, konversi hutan menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan sosial (konflik masyarakat dengan pengusaha hutan) 14%, transmigrasi 8%, dan hanya 1% yang disebabkan oleh alam. Faktor lain yangInformasi Umum Kehutanan - 2002

21

menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit batubara, dan gambut. Daerah utama yang rawan kebakaran di Indonesia di antaranya adalah Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Data luas kebakaran lahan dan hutan di Indonesia disajikan pada tabel berikut: Tabel 3.3. Data Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 1999 sampai dengan 2002.KEBAKARAN Tahun 1999 2000 2001 2002 (s/d Sept) Hutan (Ha) 44,593.50 3,002.45 14,329.50 7,932.34 Lahan (Ha) 4,997.11 14,578.13 3,636.79 1,371.50

Sumber : Ditjen PHKA, tahun 2002 Catatan : Data tahun 2002 sampai dengan bulan September

3.2. Pengamanan Hutan Kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung, pada saat ini umumnya mengalami berbagai gangguan dan tekanan yang luar biasa beratnya. Gangguan tersebut pada umumnya berupa penebangan liar (illegal logging), perburuan liar, perambahan kawasan untuk perladangan dan pemukiman, eksplorasi dan eksploitasi tambang, serta konflik lahan untuk penggunaan lain. Akibatnya, laju degradasi hutan Indonesia sudah sangat memprihatinkan yaitu mencapai 1,6 juta hektar per tahun (interpretasi citra landsat 10 tahun terakhir). Penyebab perusakan tersebut, tidak hanya dari masyarakat sekitar kawasan hutan, namun lebih karena kelemahan kebijaksanaan pemerintah, seperti: 1. Kegagalan menurunkan pertumbuhan penduduk, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan;

2. Kegagalan menjamin kepastian hukum kawasan; 3. Kegagalan reformasi di bidang agraria dan pembaharuan sosial pada lahanlahan produktif; 4. Kegagalan menciptakan lapangan kerja alternatif dalam industri dan agroindustri yang jauh dari kawasan hutan;Informasi Umum Kehutanan - 2002

22

5. Lebih membuka daripada membatasi akses ke kawasan hutan; serta 6. Pemberian susbsidi dan insentif bagi transmigrasi dan translokasi di lahan-lahanhutan negara.

7. Kendala kelembagaan pemerintah yang turut bertanggung jawab terhadappengelolaan kawasan konservasi, seperti : - Prioritas bagi upaya konservasi alam biasanya rendah karena sistem sosial terbiasa dengan pemanfaaatan sumberdaya alam secara bebas. - Sistem komando dalam struktur organisasi pemerintah kaku, dan lemahnya dukungan dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi konflik; - Kondisi politik, ekonomi, dan sosial saat ini yang melemahkan dukungan finansial dan kemampuan birokrasi untuk menangani tindakan konservasi dan perlindungan. - Adanya tantangan politik lokal, tekanan organisasi kemanusiaan internasional dibidang HAM, dan perkembangan pemberdayaan otoritas daerah, di mana pihak berwenang tidak mendahulukan aspek konservasi dalam kasus-kasus yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam. Kerugian atau dampak kerusakan hutan sangat memprihatinkan, terutama yang disebabkan oleh illegal logging dan perdagangan kayu haram, di antaranya adalah: Degradasi sumberdaya hutan, antara lain berupa (a) Penggundulan hutan dan meningkatnya lahan kritis; (b) Menurunnya kualitas ekosistem; serta (c) Berkurangnya kuantitas dan kualitas biodiversity. Economic Loss, antara lain berupa (a) Hilangnya pendapatan negara seperti DR, IHH, dan pajak-pajak lainnya (diperkirakan sebesar Rp. 2,34 Trilyun per tahun di luar kerugian penyelundupan); (b) Nilai/harga kayu di pasar yang tidak wajar atau rendah akibat suplai yang berlebihan; (c) Rendahnya efisiensi pembalakan (limbahnya besar); serta (d) Pendapatan masyarakat yang tidak nyata dan hanya berjangka pendek. Degradasi moral, baik moral aparat, pengusaha, maupun masyarakat. Hal ini mudah dirasakan, sebagai contoh adalah para pelaku pelanggaran sudah tidak merasa salah/berdosa apabila berbuat penebangan dan peredaran kayu haram/illegal. Degradasi sosial kemasyarakatan, antara lain berupa (a) Masyarakat yang humanis berubah menjadi masyarakat yang individual; (b) Kesederhanaan yang tenteram berubah menjadi ketidakcukupan yang mengedepankan hukum rimba; (c) Pola kecenderungan menjadikan masyarakat bodoh,

-

-

-

Informasi Umum Kehutanan - 2002

23

miskin, dan sengsara dalam jangka panjang; (d) Terwujudnya kesenjangan sosial dalam masyarakat humanis; serta (e) Terbentuknya masyarakat yang tidak/kurang memiliki sikap taat hukum, tidak mau berusaha, dan tidak bekerja secara wajar. Degradasi budaya kemasyarakatan, antara lain berupa (a) Rasa cinta alam dan lingkungan tidak berkembang ke generasi berikutnya; (b) Terbangunnya masyarakat munafik, tidak bertanggung jawab, dan apriori; serta (c) Terbangunnya masyarakat malas, tidak beretos kerja, dan pesimistis.

Data gangguan kawasan konservasi periode tahun 1999-2002 disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Data Gangguan Kawasan Konservasi Periode Tahun 1999-2002 Tahun1999 2000 2001 2002 (s/d Sept)Sumber : Ditjen PHKA 2002

Penebangan Liar11.773 batang 45.468 m3 14.354 batang 42.466,60 m3 11.313 batang 279.014,02 m3 1.491 batang 1.386.060 m3

Perambahan Hutan117.117,97 Ha 33.480 KK 136.120,59 Ha 37.248 KK 2.590.459,25 Ha 43.872 KK 169.019,71 Ha 39.725 KK

Informasi Umum Kehutanan - 2002

24

4INDUSTRI KEHUTANAN1. Perkembangan Produksi Kayu Bulat, Kayu Gergajian , kayu Lapis dan Pulp Kayu gerjajian, kayu lapis dan pulp mulai tahun 1997/1998 mengalami permasalahan yang serius ditandai dengan adanya penurunan produksi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.1. Penurunan produksi tersebut disamping karena adanya penurunan potensi hutan alam, juga kemungkinan adanya kegiatan produksi dan perdagangan ilegal yang volumenya tidak tercatat. Keadaan produksi dari industri kehutanan juga tidak jauh berbeda. Jumlah produksi kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan produk-produk olahan lainnya juga mengalami penurunan yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir seperti disajikan pada Tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Produksi Kayu Bulat, Gergajian, Kayu Lapis, dan Pulp selama 5 tahun terakhirKayu Bulat 29.520.322 19.026.944 20.619.942 13.798.240 10.051.481 Produksi (m3) Gergajian Kayu Lapis 2.613.452 2.707.221 2.060.163 2.789.543 674.868 6.709.836 7.154.729 4.611.878 4.442.735 2.101.485 Pulp 2.424.453 1.993.624 1.194.283 658.984 702.121

Tahun 97/98 98/99 99/00 2000 2001

Sumber : Ditjen Bina Produksi Kehutanan

Informasi Umum Kehutanan - 2002

25

Perkembangan Produksi Kayu

30.000.000 25.000.000 20.000.000M3 15.000.000

Kayu Bulat Kayu Lapis Kayu Gergajian Pulp

10.000.000 5.000.000 0 97/98 98/99 99/00 2000 2001

2. Produksi Hasil Hutan Non Kayu Nasional Produksi Hasil Hutan Non kayu yang cukup menonjol sampai dengan tahun 2001 antara lain adalah rotan gondorukem, damar, dan kopal. Tabel 4.2 menyajikan produksi hasil hutan non kayu selama lima tahun terakhir. Tabel 4.2. Produksi Hasil Hutan Non Kayu Selama 5 Tahun TerakhirSatuan Ton Ton Ton Ton Ton Kg Ton Liter 1997/98 32.389 69.658 6.423 3.944 13.700 13.440 764 331.457 1998/99 62.644 43.785 7.887 1.479 7.633 13.279 516 357.035 1999/00 38.417 24.025 6.310 585 2.667 1.911 114 63.465 2000 94.752 3.342 114 647 2001 23.836 580 2.921 428 -

Jenis Komoditas Rotan Gondorukem Damar Sagu Terpentin Sutera Kopal M.Kayu Putih

Sumber : Ditjen BPK tahun 2002

Angka-angka di atas belum termasuk angka produksi PERUM PERHUTANI seperti rotan sampai dengan Desember 2001 mencapai 417.744 batang, serta getah pinus, kopal, daun kayu putih, lak cabang, bambu dan madu. Rincian produksi hasil hutan non kayu di Perum Perhutani seperti disajikan pada Tabel 4.3.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

26

Tabel 4.3. Produksi Hasil Hutan Non Kayu di Perum Perhutani Tahun 2001.Jenis Komoditas Getah Pinus Kopal Daun Kayu Putih Lak Cabang Kokon Kopi (Oce) Kopi Glondong Kering Cengkeh Bunga Cengkeh Gagang Rotan Bambu Kelapa MaduSumber : Perum Perhutani tahun 2002

Satuan Ton Ton Ton Ton Kg Kg Kg Kg Kg Btg Ton Btg Btr Kg

Produksi 70.743 428 26.213 966 74.052 28.951 1.196 6.787 102 417.744 7.547 3.200 70.778 10.445

3. Permintaan Hasil Hutan Kebutuhan bahan baku kayu untuk kepentingan Industri Perkayuan (kayu lapis, pulp, kayu gergajian, dll) di Indonesia diperkirakan sebesar 58,24 juta m3 berdasarkan dari kapasitas terpasang industri perkayuan. Rincian kebutuhan kayu tersebut meliputi Industri yang terkait HPH 41,09 juta m3 dan industri tak terkait HPH sebesar 17,15 juta m3 (Badan Planologi tahun 2000). Data konsumsi kayu untuk kepentingan domestik (masyarakat) sebesar 0.9 m3 per kapita per tahun (berdasarkan ITTO tahun 1990) secara significant akan terus meningkat sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk. Kapasitas izin IPKH tahun 2001 yang terbesar adalah jenis kayu gergajian/sawntimber sebesar 11.048.083 m3/tahun dari 1.618 unit izin IPKH dan kayu lapis sebesar 9.433.095 M3/tahun dari 107 unit izin IPKH.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

27

Tabel 4.4.No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kapasitas Produksi Industri Perkayuan di IndonesiaUnit 1.618 107 6 78 7 47 7 3 8 Kapasitas (M3/th) 11.048.083 9.433.095 3.980.000 2.085.738 1.923.236 1.530.557 106.666 7.530 6.576.800

Jenis Industri Sawntimber Plywood Pulp Block Board Chipmill Chopstick Pencilslat Kerangka Ply/Lunch Box Korek Api

Sumber : Ditjen BPK tahun 2002

4. Ekspor Kayu Olahan Ekspor kayu olahan meliputi jenis kayu gergajian, kayu lapis, wood working dan block board. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 2001 ekspor kayu lapis merupakan yang terbesar menghasilkan devisa yaitu 6.093,53 juta US $. Tabel 4.5. Ekspor kayu olahan selama 5 tahun terakhirNo 1 2 3 4 Produk Olahan Sawntimber Plywood Wood Working Block Board satuan 1.000 M3 juta US $ 1.000 M3 juta US $ 1.000 M3 juta US $ 1.000 M3 juta US $ 97/98 0,30 0,48 4.800,74 2.320,38 142,11 75,62 120,63 37,10 98/99 15,90 22,00 4.863,38 1.300,53 1.130,49 480,77 511,74 109,39 99/00 20,50 68,76 3.372,88 1.276,41 849,14 379,71 436,66 114,72 2000 9,87 40,52 3.096,24 881,00 1.190,40 309,71 368,78 70,56 2001 12,31 5,19 930,35 315,21 153,90 66,52 407,95 34,05

Sumber Ditjen BPK tahun 2002

Informasi Umum Kehutanan - 2002

28

1.000 M3

Volume Ekspor Kayu Olahan5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0

Sawntimber Plywood Wood Working Block Board

97/98

98/99

99/00

2000

2001

Selain kayu, hasil hutan lainnya yang diekspor adalah berupa rotan, arang, kayu manis, kopal, damar, tengkawang, jelutung serta hasil hutan ikutan lainnya. Tetapi untuk tiga tahun terakhir ekspor hasil hutan non kayu yang menonjol adalah rotan, arang dan damar. 5. Keseimbangan Suplai dan Demand Hasil Hutan Berdasarkan informasi diatas maka Indonesia mengalami kesenjangan bahan baku sebesar 32,84 juta m3 per tahunnya. Kesenjangan ini diperoleh dari perbedaan antara produksi kayu bulat sebesar 25,40 juta m3 per tahun dan konsumsi untuk kepentingan industri perkayuan sebesar 58,24 juta m3 per tahun. Berdasarkan kajian proyeksi produksi dan konsumsi kayu bulat nasional tahun 1998 digambarkan perbedaaan pertahun selama lima tahun sebagai berikut: Table 4.6Tahun 1998-1999 2000-2004 2005-2009 2010-2004 2005-2019

Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kayu Bulat Nasional dari tahun 1998 2019Optimis 40,34 51,60 54,16 56,86 60,16 64,02 72,50 70,96 76,99 77,83 Moderat 34,62 50,39 44,30 55,57 48,60 62,39 57,11 68,93 60,02 75,34 Pesimis 29,69 49,18 35,58 54,36 38,45 61,18 44,01 67,71 45,43 73,89

Sumber : Ditjen INTAG tahun 1998

Informasi Umum Kehutanan - 2002

29

Penyebab kesenjangan tersebut antara lain : (a) Pengembangan industri primer melampaui jatah tebangan tahunan (AAC); (b) Kurang berhasilnya pembangunan hutan tanaman; (c) Pemanfaatan hutan alam kurang optimal sehingga banyak limbah yang terbuang (efisiensi pembalakan rendah); (d) Praktek pengelolaan hutan alam yang belum berhasil melestarikan tingkat produksi kayu; (e) Industri perkayuan kurang efisien dalam pemanfaatan kayu karena peralatan/mesin yang sudah ketinggalan zaman. Kesenjangan kemampuan pasokan kayu bulat dengan kebutuhan industri perkayuan merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya penebangan liar. 6. Kebijakan Soft-landing Sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia berdasarkan asumsi yang diterapkan untuk pengelolaan hutan primer, sedangkan kondisi hutan produksi saat ini didominasi oleh bekas tebangan. Disamping itu, terjadinya konversi, kebakaran, perambahan hutan, penebangan kayu secara liar dan tebangan melebihi jatah tebangan (over-cutting) menunjukkan bahwa Jatah Produksi Tahunan atau Annual Allowable Cut (AAC) yang ada tidak mendukung kelestarian hasil, sedangkan AAC yang lestari merupakan syarat utama untuk pengelolaan hutan lestari dan komitmen dari Pemerintah. Berdasarkan kondisi hutan tersebut, maka dikeluarkan kebijakan Softlanding, yang dilakukan dengan mengurangi AAC secara terencana dan bertahap untuk memberikan kesempatan kepada industri kehutanan menyesuaikan langkah kebijakan terhadap kapasitas mereka. Kebijakan ini ditempuh untuk menghindari shocklanding dengan implikasi-implikasi yang berbahaya, seperti permasalahan keuangan dan sosial yang berat. Disamping itu, industri perkayuan akan menuju kebangkrutan jika dihadapkan pada pengurangan pasokan bahan baku secara drastis. Disamping itu, penyesuaian AAC akan merupakan bagian dari penyempurnaan sistem perencanaan manajemen hutan termasuk penyempurnaan metoda inventarisasi hutannya. Langkah-langkah yang dilakukan untuk implementasi kebijakan ini adalah: a. Langkah pertama : menerapkan pengurangan AAC sementara untuk Propinsi, misalnya 25% pada tahun 2002. Pengurangan secara bertahap pada tahunInformasi Umum Kehutanan - 2002

30

berikutnya dapat dilakukan (misalnya 15% untuk tahun 2003 dan 10% untuk tahun 2004) hingga mencapai kelestarian hasil yang dapat dipertangggung jawabkan. Berdasarkan perkiraan bahwa luas hutan primer telah berkurang lebih dari 40%, maka pengurangan AAC sebesar 25% pada tahun depan dan dilanjutkan pada tahun berikutnya merupakan hal yang masuk akal.

b. Langkah kedua : penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPH) baruuntuk semua unit pengelolaan hutan disertai dengan penyempurnaan peraturan, pedoman dan petunjuk teknis untuk perencanaan hutan produksi secara lestari. Kebijakan softlanding ditetapkan dalam rangka mengurangi kerusakan hutan yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan, yaitu melalui penebangan hutan alam secara bertahap. Perangkat hukum yang mendukung teknis pelaksanaannya adalah: Kuota tebangan tahunan nasional sesuai dengan SK Menhut No. 6652/KptsII/2002 tanggal 4 Juli 2002 tentang penyusunan, penilaian dan pengesahan Rancana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) pada hutan alam dan hutan tanaman. Dalam penetapan target produksi tahunan, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi wajib mempedomani rakapitulasi LHC (laporan hasil cruising) yang disahkan Bupati/Walikota Rekapitulasi LHC blok tebangan tahunan dijadikan dasar penerbitan SPP PSDH / DR sesuai dengan PP Nomor 25 tahun 2002.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

31

5PENGURUSAN HUTAN

1. Perencanaan Kehutanan Berdasarkan UU No. 41/1999, perencanaan kehutanan perlu dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan meliputi Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan, dan penyusunan rencana kehutanan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi sumber daya hutan, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungan secara lengkap. Hasil inventarisasi tersebut digunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan Neraca Sumber Daya Hutan Nasional (NSDH), penyusunan rencana kehutanan dan system informasi kehutanan. Pengukuhan kawasan hutan meliputi proses (a) penunjukan kawasan; (b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari. Pemanfaatan dapat dilakukan diseluruh kawasan hutan kecuali pada cagar alam (CA) dan zona inti atau zona rimba pada TN.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

32

Pemanfaatan Hutan Lindung berupa (a) pemanfaatan kawasan; (b) jasa lingkungan; (c) pemungutan hasil hutan non kayu. Sedangkan pada hutan produksi ditambah pemanfaatan hasil hutan kayu. Ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu dapat diusahakan oleh perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau daerah. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Kotak 5.1.

PERTAMBANGAN DI DALAM KAWASAN HUTAN

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan meliputi pertambangan dan energi, religi, pertahanan dan keamanan, telekomunikasi, dan perhubungan. Kepentingan pertambangan meliputi (a) pertambangan umum/mineral; (b) minyak dan gas bumi; (c) panas bumi; (d) jalur listrik; (e) instalasi air. UU no.41/1999 pada hakekatnya mengatur penggunaan kawasan hutan di hutan produksi (HP dan HPT) dan hutan lindung (HL) melalui prosedur pinjam pakai. Khusus penambangan di HL dilakukan dengan pola tertutup. Persetujuan penggunaan kawasan hutan yang berdampak luas dilakukan oleh Menhut berdasarkan persetujuan DPR. Hutan yang rusak akibat penggunaan tsb harus direklamasi dan direhabilitasi.

Penyusunan rencana kehutanan berdasarkan jangka waktu perencanaan, skala geografis, fungsi pokok kawasan hutan. Dasar hukum penyusunan rencana kehutanan antara lain adalah propenas 2000-2004 sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2000 dan Program Kehutanan Nasional yang dikenal dengan National Forest Programme (NFP). Menurut jangka waktu perencanaan perlu disusun Rencana Jangka Panjang (RUK), Rencana Strategis (Renstra), Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta).Informasi Umum Kehutanan - 2002

33

Kegiatan mendasar yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembangunan kehutanan adalah (1) penyelesaian penegakan hukum terhadap pelanggaran di sektor kehutanan al. : penebangan dan perdagangan liar, kebakaran hutan,dll.; (2) perubahan paradigma pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi non-kayu dan jasa lingkungan (ekotorisme, carbon sequestration,dll); (c) membuka diri terhadap pembangunan sektor lainnya dalam rangka konservasi sumber daya air. 2. Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan meliputi kegiatan (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan; (4) perlindungan hutan dan konservasi alam. Dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari dilakukan kegiatan tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, yaitu dengan memperhatikan kesesuaian luas dan letak hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Rehabilitasi hutan dan lahan meliputi reboisasi, penghijauan, pemeliharaan dan pengayaan tanaman, serta penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif. Pelaksanaan rehabilitasi dengan memperhatikan kondisi biofisik serta potensi masyarakat setempat. Reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai fungsinya. Kegiatan reklamasi meliputi kegiatan inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

34

Kotak 5.2. DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)Dalam memposisikan hutan sebagai pelindung tanah, air, dan lingkungan, maka rehabilitasi dan reklamasi hutan dan lahan dilakukan dengan menggunakan DAS sebagai unit analisis, dengan kriteria dan indikator kinerja DAS adalah: a. b. c. d. e. Pengunaan lahan (indikator : penutupan vegetasi, kesesuaian lahan, indeks erosi, dan pengelolaan lahan) Tata air (indikator : debit sungai, sedimen, polutan, dan nisbah handar sedimen) Sosial (indikator : kepedulian individu terhadap konservasi, partisipasi masyarakat, dan tekanan penduduk) Ekonomi (indikator : ketergantungan terhadap lahan, tingkat pendapatan masyarakat, produktivitas lahan dan jasa lingkungan) Kelembagaan (indikator : keberdayaan lembaga adat/lokal, ketergantungan terhadap pemerintah, dan kegiatan usaha bersama)

3. Hutan Kemasyarakatan Pada awalnya, Hutan Kemasyarakatan (HKm) diartikan sebagai hutan yang dikelola dengan tujuan mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan tanpa mengurangi fungsi pokoknya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan meningkatkan daya dukung lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh dan bagianbagian tertentu dari areal pertanaman hutan, baik yang berada di dalam maupun di luas kawasan hutan. Prioritas kegiatan hutan kemasyarakatan diarahkan pada daerah-daerah yang mendapat tekanan penduduk penduduk, sebagai akibat desakan kebutuhan akan lahan dan hasil hutan. Model/pola hutan kemasyarakatan pada wilayah tertentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi wilayah setempat dengan pendekatan jenis komoditi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada tahun 1995 diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 tanggal 20 Nopember 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Dalam keputusan tersebut, yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan adalah sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat.Informasi Umum Kehutanan - 2002

35

Hutan kemasyarakatan dilaksanakan dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan hutan produksi yang ditetapkan untuk kegiatan hutan kemasyarakatan. Tujuannya adalah : a. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan b. Meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai fungsi dan peruntukannya c. Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan untuk kegiatan Hutan Kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan atau hutan produksi yang kritis dan perlu direhabilitasi dan belum dibebani hak-hak lain. Kegiatan HKm dilakukan oleh masyarakat yang berada di dalam ataupun di sekitar kawasan hutan baik perorangan ataupun kelompok atau berupa koperasi. Pada tahun 1998 diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan yang merupakan bentuk pengusahaan hutan oleh masyarakat. Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik beratkan pada kepentingan mensejahterakan masyarakat. Pada tahun 1999 dilakukan penyempurnaan lagi dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999. Selanjutnya dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dilakukan penyempurnaan lagi dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa penyempurnaan kebijakan hutan kemasyaratan antara lain sebagai berikut : 1. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999, pengertian Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. 2. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan berazaskan kelestarian fungsi hutan baik dari aspek ekosistem, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik serta kepastian hukum. 3. Hutan Kemasyarakatan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dalam rangka

Informasi Umum Kehutanan - 2002

36

meningkatkan kesejahteraannya dengan tetap menjamin kelestarian fungsi hutan dan ekosistemnya. Prinsip pengelolaannya adalah sebagai berikut : a. Memberi peran yang lebih aktif kepada masyarakat setempat dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan; b. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dengan melimpahkan kewenangan kepada Pemerintah Kabupeten / Kota; c. Memberi peran kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk : Bertindak lebih pro aktif dalam pemberdayaan masyarakat setempat secara terus menerus dan berkesinambungan; Memberikan kemudahan dalam proses penyelenggaraan, berupa penyederhanaan perencanaan, perijinan, penarikan pungutan dan lain-lain; Membantu dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk menentukan kelembagaannya secara mandiri Hutan kemasyarakatan dilaksanakan di seluruh Indonesia, kecuali Jakarta karena tidak adanya kawasan hutan yang dapat ditetapkan pengelolaan hutan kemasyarakatan. Dalam periode 5 tahun 1997/1998 s.d. 2001, total realisasi pembuatan tanaman hutan adalah 35.427 ha. 4. Pengelolaan Hutan Rakyat Pengembangan hutan rakyat mempunyai peranan semakin penting, karena menghasilkan kayu untuk memenuhi permintaan kayu selain dari hutan alam yang kondisinya saat ini cenderung menurun kemampuannya dalam memenuhi permintaan kayu yang semakin meningkat. Dengan demikian pengembangan hutan rakyat akan mendorong berkembangnya usaha rakyat perdesaan. Kegiatan Pengembangan/pembangunan hutan rakyat selama tahun 2000 dan 2001 adalah seluas 5.792 ha. 5. Pengelolaan Hutan Adat Berdasarkan UU no. 41 Tahun 1999, Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat. Hutan Adat tersebut sebelumnya disebut sebagai hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau sebutan lainnya. Dengan demikian masyarakat adat yang keberadaan dan wilayahnya diakui ada, akan memperoleh hak mengelola dan memanfaatkan hutan sebagai hutan adat.Informasi Umum Kehutanan - 2002

di Provinsi DKI sebagai wilayah terakhir sejak kemasyarakatan

37

Hutan Adat merupakan bagian dari hutan negara sebagai konsekuensi penguasaan oleh hutan negara dan prinsip negara kesatuan. Meskipun demikian, hak-hak masyarakat adat untuk melakukan pengelolaan hutan tetap dijunjung tinggi sepanjang kenyataannya masyarakat adat tersebut ada dan diakui keberadaannya. Saat ini sudah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat adat. Dalam kaitan ini pengelolaan hutan oleh masyarakat adat akan diikuti dengan tanggung jawab pelestarian sumber daya yang dikelola oleh masyarakat.

Kotak 5.3.

Pandangan Masyarakat Adat

Pandangan masyarakat adat mengenai hutan adat sangat beragam dan terkait dengan konsep wilayah adat setempat antara lain : hutan adat sebagai daerah keramat yang harus dihormati; hutan adat sebagai hutan lindung atau hutan cadangan yang dapat dibuka jika anggota masyarakat membutuhkannya; hutan adat adalah semua hutan dalam wilayah adat sebagai hutan adat. Pengertian yang beragam tersebut memerlukan kesepakatan bersama semua stakeholder.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

38

6PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DIKLAT DAN PENYULUHAN KEHUTANAN1. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk meningkatkan penguasaan dan penerapan IPTEK kehutanan guna mendukung percepatan terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteaan masyarakat. Dalam konteks ini, penelitian dan pengemnbangan kehutanan diarahkan untuk menghasilkan kajiankajian ilmiah sebagi dasar pembuatan kebijakan (sebagai pemandu), menghasilkan teknologi untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi, dan menghasilkan paketpaket teknologi tepat guna untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya. Berbagai produk telah dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan, namun berbagai permasalahan masih dihadapi oleh Badan Litbang Kehutanan sebagai pemegang otoritas IPTEK kehutanan. Secara umum permasalahan tersebut adalah : (1) Badan Litbang belum menghasilkan IPTEK yang diharapkan membantu pemecahan permasalahan dalam pengelolaan hutan, (2) masih rendahnya appresiasi pihak pengguna atas perlunya IPTEK dalam praktek pengelolaan hutan. Kedua penyebab ini secara bersama-sama dari waktu ke waktu semakin memarginalkan peranan IPTEK (baca: Badan Litbang Kehutanan) dalam konstelasi pembangunan kehutanan, sementara di sisi lain kian disadari bahwa masalahmasalah kompleks dan multidimensi yang dihadapi sektor kehutanan dewasa ini sebagian bersumber dari pengabaian kaidah-kaidah IPTEK dalam pemanfaatan sumberdaya hutan beberapa dasa warsa berselang.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

39

Masalah lain yang dihadapi Badan Litbang Kehutanan untuk meningkatkan produktifitasnya berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya manusia. Saat ini jumlah tenaga S3 tidak lebih dari 50 orang dan sebagian sudah cukup senior mendekati purna tugas (bandingkan dengan Badan Litbang Pertanian yang mencapai lebih dari 200 orang plus sejumlah besar sedang dalam pendidikan).Kotak 6.1.

Sebagian dari Hasil Penelitian Kehutanan Teknologi pembangunan hutan tanaman meranti Teknologi pemanfaatan mikrobiologi tanah (mikoriza dan bakteri) untuk mempercepat pertumbuhan Varietas ulat sutera unggul, Teknologi budidaya lebah dan pengolahan madu Teknologi budidaya gaharu Teknologi penangkaran burung bayan (burung langka) Perangkat perencanaan pengelolaan hutan produksi Pengolahan batang sawit sebagai substitut kayu Kapasitas jenis-jenis hutan tanaman sebagai rosot karbon

Saat ini Badan Litbang Kehutanan sedang membenahi dan mereposisi diri. Satu langkah awal yang dilakukan ialah menata kembali program penelitian dan pengembangan jangka panjang (Renstra LITBANG) agar tanggap dengan permasalahan sektor kehutanan. Kegiatan penelitian dan pengembangan diarahkan lebih berorientasi kepada pengguna; hanya kegiatan-kegiatan yang akan menghasilkan IPTEK yang diperlukan oleh pengguna yang akan dilakukan. Secara khusus, dalam jangka menengah, kegiatan penelitian difokuskan pada interface (persinggungan) antara progam penelitian dan pengembangan jangka panjang (10 program) dan 5 (lima) kebijakan prioritas Departemen Kehutanan. Selain itu, kegiatan jangka pendek juga mencakup pengkajian atas status (review) dan sintesis IPTEK berbagai bidang. Untuk itu penyelenggaraan penelitian dan pengembangan dimasa datang akan dilakukan dalam bentuk jejaring (networking) dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, perusahaan swasta, dan organisasi atau lembaga penelitianInformasi Umum Kehutanan - 2002

40

lainnya. Diharapkan melalui starategi ini akan dihindarkan terjadinya duplikasi yang tidak perlu, sekaligus untuk meningkatkan sinergi. 2. Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Keberhasilan pembangunan kehutanan sangat tergantung pada kualitas sumberdaya manusia, bahkan pada era reformasi dan globalisasi dalam persaingan antar negara yang tajam maka tuntutan tersedianya tenaga yang professional adalah mutlak. Dengan demikian pengembangan sumber daya manusia kehutanan sangat penting dan strategis. Untuk itu Visi pembangunan sumberdaya manusia kehutanan adalah terwujudnya tenaga kehutanan yang professional dan berintegritas moral tinggi, berwawasan lingkungan dan peduli terhadap dinamika sosial masyarakat. Adapun misinya adalah (1) menyelenggarakan diklat kehutanan; (2) meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (3) meningkatkan kerjasama dan kemitraan.Kotak 6.2.

Realisasi Pendidikan KehutananJumlah karya siswa Departemen Kehutanan sejak tahun 1994 - 2001 seluruhnya berjumlah 443 orang terdiri dari S3 (Dalam Negeri dan Luar Negeri) sejumlah 76 orang; S2 sejumlah 167 org (Luar Negeri) dan 169 orang (Dalam Negeri); MM/MBA sejumlah 15 orang; dan S1 sejumlah 16 orang. Dari jumlah 443 orang sejumlah 332 orang telah

menyelesaikan pendidikannya sedangkan 90 Kegiatan diklat yang menonjol orang masih dalam penyelesaian studi dan drop antara lain : (1) melanjutkan out sejumlah 20 orang. program pendidikan sarjana dan pasca sarjana, diploma, menengah kejuruan kehutanan; (2) menyelenggarakan pelatihan aparatur/PNS; (3) mengembangkan tenaga kediklatan; (4) mengembangkan kerjasama pendidikan dan pelatihan antara lain dengan ITTO mengenai Sustainable Forest Management and Human Resources Development, Australia mengenai Reduce Impact Logging (RIL), Denmark mengenai TOT and production of extention materials.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

41

3. Penyuluhan Kehutanan. Penyuluhan kehutanan sebagai bagian integral dari pembangunan kehutanan yang intinya adalah upaya pemberdayaan masyarakat, dunia usaha dan para pihak lainnya, merupakan investasi dalam mengamankan asset negara terutama sumber daya hutan. Tujuan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan sehingga terwujud masyarakat yang mandiri yang berbasis kehutanan. Adapun sasarannya adalah masyarakat di dalam maupun diluar kawasan hutan yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan. Tenaga Penyuluh Kehutanan saat ini sebanyak: 5.767 orang yang terdiri dari Penyuluh PNS sebanyak 5.038 orang, Penyuluh CPNS 180 orang, Calon Penyuluh PNS 114 orang dan Calon Penyuluh Honorer sebanyak 435 orang.

114 180

435 P-PNS P-CPNS CP-PNS CP-HONOR 5,038

Gambar 6.1. Komposisi Tenaga Penyuluh Kehutanan

Wilayah binaan penyuluh kehutanan mencapai 21 propinsi terdiri atas 38 kabupaten/kota yang meliputi 2.192 kecamatan dan terdiri atas 11.725 Desa, dengan jumlah masyarakat binaan sebanyak 27.363 Kelompok Tani atau sebanyak 1.328.040 orang petani. Permasalahan yang dihadapi antara lain lemahnya kelembagaan masyarakat, belum optimalnya metodologi dan pelaksanaan penyuluhan yang melibatkan potensi masyarakat dan LSM.Informasi Umum Kehutanan - 2002

42

Kebijakan operasional dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan, yaitu: (1) mengembangkan system perencanaan dan program pennyuluhan dengan pendekatan bottom uptop down; (2) meningkatkan fungsi kelembagaan penyuluhan kehutanan Pusat, Daerah, dan Masyarakat; (3) meningkatkan peran serta penyuluhan dalam pembangunan kehutanan; (4) melakukan desentralisasi penyelenggaraan penyuluhan; dan (5) meningkatkan kualitas SDM penyuluhan saran dan prasarana dalam rangka pelaksanaan penyuluhan secara professional, efektif dan efisien.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

43

7KEBIJAKAN PRIORITAS KEHUTANAN 2002 - 2004

Upaya dan strategi yang

dilakukan Departemen Kehutanan bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk mengatasi permasalahan sektor kehutanan diharapkan akan menciptakan keseragaman pemahaman semua pihak untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari yang selanjutnya dapat mengembalikan citra positif dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan dan pada gilirannya dapat memacu persaingan produk hutan Indonesia di pasar global serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka itu, untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut diatas Departemen Kehutanan pada tahun 2002 2004 memprioritaskan program pembangunan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Pemberantasan penebangan liar. Penanggulangan kebakaran hutan. Restrukturisasi sektor kehutanan. Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan Desentralisasi bidang kehutanan

Berdasarkan evaluasi pembangunan kehutanan, titik lemah kebijakan pembangunan kehutanan adalah pada tataran orientasi operasional. Selama ini orientasi pembangunan cenderung memberikan peluang yang besar bagi pelaku ekonomi skala besar. Masyarakat hanya diikutsertakan bukan sebagai pelaku usaha, sementara itu hutan diberlakukan sebagai objek bukan sebagai suatu bagian sistem pembangunan. Design kebijakan pembangunan kehutanan dilakukan secaraInformasi Umum Kehutanan - 2002

44

sentralistis dan sifatnya berlaku makro sehingga muatan-muatan lokal kurang terwakili. 1. Pemberantasan Illegal Logging Kebijakan pemberantasan illegal logging dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi kerusakan sumberdaya hutan, mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan. Di samping itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk membangun persepsi yang sama dari seluruh pemangku kepentingan bahwa illegal logging telah menyebabkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Implementasi kebijakan berupa : 1. Sampai saat ini, pemberantasan illegal logging masih ditangani secara parsial, sehingga belum mampu menyelesaikan akar permasalahannya. Kegiatannya masih terfokus pada penangkapan dan pelelangan barang bukti. 2. Illegal logging terjadi bukan hanya karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan saja, tetapi pada sisi lain juga sangat terkait dengan penegakan hukum dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu institusi saja, karena melibatkan banyak sektor. Untuk itu perlu adanya komitmen dan koordinasi yang sinergis di antara sektor-sektor terkait.

3. Dampak dari adanya illegal logging tidak hanya dirasakan pada tingkat lokal saja, tetapi juga dirasakan sampai tingkat regional, nasional bahkan internasional. Untuk itu penanganan illegal logging harus dimulai sejak dari awal kegiatan penebangan terjadi sampai kepada jalur pemasaran di semua tingkatan. 4. Beberapa hal yang harus ditangani adalah: a. Penyusunan konsep pemberantasan illegal logging secara komprehensif dan sistematis. b. Pembangunan sistem informasi antara Pusat dan Daerah serta antardaerah dan perbaikan tata usaha kayu serta penguatan data dan informasi. c. Percepatan proses yustisi yang didukung oleh sistem pemantauan penyelesaian perkara.Informasi Umum Kehutanan - 2002

45

d. Pengadaan, pemberdayaan dan pendayagunaan PPNS Kehutanan, POLHUT dan PPKBRI. e. Penegakan hukum tanpa pandang bulu oleh instansi penegak hukum di daerah dengan dukungan secara tegas dari Pemerintah Pusat. f. Penggalangan dan peningkatan komitmen pemberantasan illegal logging dan illegal trade sebagai masalah nasional dan internasional.

g. Dukungan dana operasional dan sarana prasarana yang memadai. h. Peningkatan kegiatan penyuluhan untuk penyamaan persepsi. i. j. Pemberian insentif bagi pihak-pihak yang berjasa. Pengkajian efektivitas kinerja operasi pengamanan hutan Wanalaga dan Wanabahari.

k. Membangun flying-team GAKKUM (penegakan hukum) yang memberi dukungan kepada daerah yang menghadapi masalah penegakan hukum. 2. Penanggulangan Kebakaran Hutan Kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dimaksudkan untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan serta mewujudkan kondisi masyarakat yang terlindungi dari berbagai dampak akibat kebakaran hutan. Kebakaran hutan menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan hutan dan lingkungan termasuk musnahnya keanekaragaman hayati. Implementasi kebijakan berupa : 1. Kebakaran hutan tidak hanya merupakan ancaman yang serius bagi keutuhan dan kelestarian hutan, tetapi juga sangat merugikan perekonomian dan lingkungan hidup, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Untuk itu kemampuan pencegahan dan penanggulangan terhadap gangguan kebakaran hutan harus terus ditingkatkan. 2. Pembangunan jejaring kerja antar daerah perlu dilaksanakan untuk memungkinkan terbentuknya kerjasama dan dukungan antar daerah dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan yang efektif dan sinergis.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

46

Kotak 7.1.

ILLEGAL LOGGING

Dalam pemberantasan illegal logging, pada akhir tahun 2001 telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang penting antara lain : (1) Instruksi Presiden tentang Pemberantasan Illegal Logging di TN Gunung Leuser dan TN Tanjung Putting, (2) SKB Menhut dengan Mendagri tentang Larangan Ekspor Log, (3) Kerjasama Dephut dengan Polri dan TNI Angkatan Laut tentang Wanalaga dan Wanabahari, (4) SK Menhut tentang Moratorium Ramin dan (5) SK Menhut tentang Penertiban IPK,HPHH,IPPK dan Penetapan P2LHP,P3KB. Operasi Wanalaga dilaksanakan di seluruh wilayah hukum Indonesia (kecuali Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku dan Maluku Utara) adalah berupa penegakan hukum terhadap kejahatan pencurian, penebangan, pengangkutan dan perdagangan kayu secara illegal. Hasil Operasi wanalaga adalah sebagai berikut : Jumlah kasus yang diungkap : 1.031 perkara Jumlah tersangka yang ditangkap : 1.277 orang Jumlah barang bukti yang disita : o Kayu : 317.954,9 m3 ; 125.868 batang log; 11.161 lembar; 28,5 ton o 39 unit alat pemotong dan 6 unit alat berat o Alat angkut : 72 unit kapal; 201 unit truck dan 45 unit roda 4

Taksiran kerugian negara yang dapat diselamatkan mencapai Rp. 286,159 milyar (dengan standar harga Rp. 900.000/m3) Sedangkan Operasi Wanabahari yang dilaksanakan TNI-AL adalah dalam rangka penegakan hukum pengangkutan dan perdagangan kayu secara illegal dan pencegahan penyelundupan kayu ke luar negeri melalui transportasi laut Hasil Operasi Wanabahari pada Januari-April 2002 adalah menahan dan memproses sejumlah 35 unit kapal. Disamping pelaksanaan Operasi Wanabahari dan Operasi Wanalaga, Jajaran kehutanan bekerjasama dengan instansi terkait di daerah juga melaksanakan operasi pengamanan hutan secara terus menerus, anatara lain seperti : Operasi fungsional TN Gunung Leuser Operasi Gabungan TN Kerinci Seblat di Bengkulu Operasi gabungan dengan POLRES Rejang Lebong Operasi Gabungan Unit KSDA Riau di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling Operasi Pamhut Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim dan CDK Bulungan

Informasi Umum Kehutanan - 2002

47

3. Dalam jangka panjang penanggulangan kebakaran hutan dilaksanakan dengan membangun kelembagaan daerah dengan dukungan pusat yang melibatkan peran aktif masyarakat di dalam dan sekitar hutan. 4. Beberapa hal yang harus ditangani: a. Untuk mengatasi kebakaran hutan secara cepat dan tepat diupayakan tersedianya dana siap pakai (on-call budget) secara nasional. b. Memfokuskan upaya penanggulangan kebakaran hutan pada usaha pencegahan dengan mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) dan membangun satuan-satuan pemadam kebakaran hutan (brigade kebakaran) di tiap daerah yang rawan gangguan kebakaran hutan, dengan dukungan dana, sarana dan prasarana yang memadai. c. Membangun jejaring kerja antara pusat dan daerah serta antardaerah. d. Mengadakan kampanye penanggulangan kebakaran hutan 3. Restrukturisasi Sektor Kehutanan Kebijakan restrukturisasi sektor kehutanan dimaksudkan agar sumberdaya hutan dapat dikelola secara lestari, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Untuk itu, dalam kerangka restrukturisasi industri kehutanan diharapkan dapat tercipta industri kehutanan yang tangguh, kompetitif, tidak rentan terhadap perubahan lingkungan, serta terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan lingkungan yang dapat menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdaya saing global. Implementasi kebijakan berupa : 1. Terjadinya perubahan kondisi dan penurunan potensi sumber daya hutan yang signifikan mengharuskan dilakukannya redesign pengelolaan sumber daya hutan. Termasuk dalam hal ini adalah penetapan sistem pengelolaan dan sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi dan potensi sumber daya hutan, serta kondisi sosial masyarakat setempat. 2. Mempercepat pembangunan hutan tanaman untuk mengatasi kekurangan bahan baku industri. 3. Merasionalkan kapasitas industri, sehingga seimbang dengan kemampuan pasokan bahan baku secara lestari.Informasi Umum Kehutanan - 2002

48

4. Mendukung penutupan industri kehutanan yang bermasalah di BPPN, tidak efisien dan tidak didukung penyediaan bahan baku. 5. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah : a. Pemberlakuan sertifikasi wajib pengelolaan hutan alam produksi lestari bagi HPH/IUPHHK. b. Pendataan kapasitas industri kehutanan yang ada saat ini dan kemampuan pasokan bahan baku. c. Melakukan evaluasi potensi sumberdaya hutan yang ada sebagai dasar rasionalisasi kapasitas industri. 4. Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan Kebijakan rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dimaksudkan untuk mempercepat pulihnya kondisi sumberdaya hutan yang rusak dan lahan yang kritis serta mempertahankan dan melindungi kawasan konservasi dan keaneka ragaman hayati beserta ekosistemnya. Kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan ditujukan

untuk peningkatan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Dalam kaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan kayu, kebijakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan hutan tanaman yang produktif dan bernilai tinggi. Sedangkan konservasi sumberdaya hutan tidak hanya dilakukan pada kawasan konservasi, tetapi juga pada hutan lindung, hutan produksi dan kawasan ekosistem esensial lainnya di luar kawasan hutan, dengan harapan keanekaragaman hayati dapat tetap terpelihara dan bahkan meningkat. Implementasi kebijakan berupa : 1. Keberhasilan rehabilitasi hutan memerlukan komitmen Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan para pemangku kepentingan, dengan dukungan dana, iptek dan SDM yang memadai. 2. Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dijadikan unit analisis/perencanaan dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKM) harus mencirikan jenis tanaman pokok hutan unggulan setempat yang dipadukan dengan jenis tanaman yang bernilai tinggi. 4. Model pembangunan hutan yang berkolaborasi dengan masyarakat perlu dikembangkan, termasuk model Pengelolaan Hutan Bersama MasyarakatInformasi Umum Kehutanan - 2002

49

(PHBM) yang dikembangkan oleh PERHUTANI. Namun demikian perlu diikuti dengan evaluasi atas keberhasilannya. 5. Penanganan tindakan hukum secara tegas dan tuntas terhadap pelaku perusakan kawasan konservasi, perburuan liar, dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara tidak sah, agar lebih diprioritaskan dan ditingkatkan. 6. Penciptaan kondisi dan iklim usaha yang kondusif dalam usaha hutan tanaman, melalui pemberian kepastian hukum yang mantap dan perlindungan kepada investor hutan tanaman secara konsisten. 7. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: a. Mempercepat pengesahan pedoman penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. b. Memacu kegiatan rehabilitasi dengan memprioritaskan pada kawasankawasan hutan yang sudah dikukuhkan. c. Menerapkan cost benefit sharing dalam pengembangan hutan rakyat. d. Menyelesaikan secara tuntas pembangunan HTI yang menggunakan dana reboisasi yang dinilai bermasalah dengan mempedomani ketentuan yang berlaku. Restrukturisasi perusahaan HTI Patungan dan HTI BUMN mengupayakan pembenahan yang dilakukan dalam kegiatan usaha Pembangunan HTI yang didanai sebagian dari DR. e. Mengembangkan hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis pada areal yang tidak produktif dalam kawasan hutan produksi (berupa lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar). f. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri perkayuan dalam negeri, dengan tingkat harga jual yang wajar dan seimbang dengan harga jual kayu di pasar regional dan global.

g. Mengembangkan Lembaga Keuangan dan Lembaga Pemasaran yang sesuai dengan sifat dan karakter usaha hutan tanaman, antara lain berjangka panjang dan beresiko tinggi. h. Melaksanakan penelitian terhadap jati unggul hasil pembiakan kultur jaringan yang saat ini banyak beredar di masyarakat. i. Mempercepat penyusunan standar dan kriteria reklamasi kawasan hutan bekas penambangan.

Informasi Umum Kehutanan - 2002

50

j.

Mengembangkan mekanisme pengawasan dan pengendalian yang efektif dalam penyelenggaran RHL melalui DAK-DR