108

Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dalam edisi terakhirnya dua tahun lalu, Indonesian Dance Festival (IDF) merayakan dua dekade keberadaannya, sebuah kisah tentang usaha bertahan dalam banyak hal. Misalnya, seperti upaya melawan banyaknya tantangan dalam usaha menempatkan ‘tari’ sebagai seni yang otonom dan layak untuk ditelisik dengan kritis. Pada tahun ini, sebuah arah baru untuk perjalanan IDF di masa yang akan datang pun ditetapkan. Dan tema EXPAND yang diangkat dalam kuratorial edisi ini merupakan wujud dari aksi tersebut.

Citation preview

Page 1: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 2: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 3: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Daftar Isi / ContentsProgram Schedule 2Sambutan Gubernur Provinsi DKI Jakarta 4 Opening Speech from the Governor of Special Capital Region of JakartaSambutan Rektor Institut Kesenian Jakarta 6 Opening Speech from the Rector of Jakarta Arts InstituteSambutan Direktur idf 2014 8 Opening Speech from the Director of idf 2014

idf 2014 Program idf 2014 12 EXPAND: Pernyataan Kuratorial / Curatorial Statement 15 Sejarah idf / idf's History 18

Main Performances - Commission Works Roro Mendut, Retno Maruti (Indonesia) In Collaboration with Nindityo Adipurnomo (Indonesia) 26 SASARAN SILEK, Perguruan Silek Kumango 36 KRIS IS, Arco Renz (Belgium) and Ali Sukri (Indonesia) 38

Main Performances - Works Soft Machine, Choy Ka Fai (Singapore) & Rianto (Indonesia) 44 Cry Jailolo, Eko Suprianto (Indonesia) 48 In Between, Katia Engel (Germany) In Collaboration with Benny Krisnawardi (Indonesia) 52 Cédric Andrieux, Jérôme Bel (France) 56 2, TAO Dance Theatre (China) 60 Metal, Camera and Flying Objects, Contact Gonzo (Japan) 64

Showcase Barangan, Otniel Tasman (Indonesia) 70 Ghulur, Hari Ghulur (Indonesia) 72 We were One, Asri Mery Sidowati (Indonesia) 74

LAB Sisyphus, Melati Suryodarmo (Indonesia) 78

Master Classes New Body Techniques / Teknik-teknik Tubuh yang Baru, Tao Ye & TAO Dance Theatre (China) 84

On-off, Balance-unbalance in the Body of Tradition / On-off, Balance-unbalance pada Tubuh Tradisi, Rianto (Indonesia) 86

Special Program & Discussion The Stage is My Playground / Panggung adalah Taman Bermainku 90 Diskusi / Discussion, Bicara Tari / About Dance 93

Lifetime Achievement Award 2014 96

Panitia / The Committee 101Friends of idf 104Ucapan Terima Kasih / Acknowledgement 105

Page 4: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

2

Program Schedule

Programs

Opening EventMain Performance

Main Performance

Main PerformanceMain Performance

Master ClassesShowcase

Main Performance

Master Classes

LABMain Performance

DiscussionSpecial Program:Ibu & AnakSpecial Presentation

Main Performance

Main Performance

Date

Tue

Wed

Thu

Fri

Sat

Title / Topic

Roro Mendut

Softmachine: Rianto

Cry JailoloIn Between

New Body Technique“Barangan”, “Ghulur”“We were one”Cedric Andrieux

On-off, balance-unbalance pada tubuh tradisiSisyphus“2”

Bicara TariPanggung adalah taman bermainkuSasaran Silek

KRIS IS

Metal, Camera and Flying Objects

Time

19.3020.00

16.00

20.0021.00

10.0016.00

20.00

10.00

16.0020.00

13.0016.00

18.30

20.00

22.00

Page 5: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

3

Performer

Commission WorkRetno Maruti (Indonesia) in collaboration with visual artist Nindityo Adipurnomo (Indonesia)

Rianto (Indonesia), a project by Choy Ka Fai (Singapore)Eko Supriyanto (Indonesia)Katia Engel (Germany) in collaborationwith Benny Krisnawardi (Indonesia)

Tao Ye & TAO Dance Theater (China)Otniel Tasman (Indonesia), Hari Ghulur (Indonesia), Asri Meri Sidowati (Indonesia)Jerome Bel (France)

Rianto (Indonesia)

Melati Suryodarmo (Indonesia)TAO Dance Theater (China)

Sharing & DiscussionPresentation by Mamaqu Penari Sasaran Silek Kumango,Parak Juar, Batusangkar Commission WorkArco Renz & Kobaltworks (Belgium) in collaboration with Ali Sukri & ISI Padangpanjang (Indonesia)Contact Gonzo (Japan) & Heavy Metal Band (Indonesia)

Venue

Teater Jakarta, TIMTeater Jakarta, TIM

Teater Kecil, TIM

Gedung Kesenian JakartaGedung Kesenian Jakarta

Ruang C, FSP - IKJTeater Kecil, TIM

GoetheHaus

Ruang C, FSP-IKJ

Teater Kecil, TIMGedung Kesenian Jakarta

Serambi SaliharaGalery Salihara

Lobby Salihara

Teater Salihara

Amphiteater Salihara

IDF’s History Exhibition: Lobby Teater Kecil TIM, 4th - 7th Nov, 11am - 8pm

indonesian dance festival 2014

Page 6: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

4

SambutanGubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Saya menyambut baik diselenggarakannya, Indonesia Dance Festival XII tahun 2014, pada tanggal 4 sampai dengan 8 November tahun 2014, di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Kecil TIM, GoetheHaus serta Komunitas Salihara.

Festival tari bertaraf internasional ini diharapkan, memberikan kontribusi meningkatkan kualitas kesenian Jakarta, meningkatkan persahabatan dan hubungan kerja sama antara Jakarta dengan kota-kota lain di dunia, melalui komunitas seniman.

Selamat berfestival kepada peserta dari mancanegara dan dari seluruh Indonesia, selamat menikmati berbagai atraksi tarian daerah dan mancanegara.

Semoga festival ini berlangsung sukses, memperoleh sambutan positif insan seni dan masyarakat Indonesia.

Jakarta,Gubernur Provinsi Daerah KhususIbukota Jakarta

Basuki Tjahaja Purnama

Page 7: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

5

Opening speech from the Governor of Special Capital Region of Jakarta

I happily welcome the XII Indonesian Dance Festival, which will be held from November 4 – 8th 2014, at Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Kecil TIM, GoetheHaus and Komunitas Salihara.

The international dance festival will hopefully be able to give a contribution to increasing the quality of art in Jakarta, whilst strengthening friendship and cooperation between Jakarta and other cities in the world, through the art community.

To the international and Indonesian participants, enjoy the festival and enjoy the different attractions from local and international dances.

Hopefully the festival will be a success, and receive a positive welcome from the art community and Indonesian public.

Jakarta,Governor of Special Capital Region of Jakarta

Basuki Tjahaja Purnama

Page 8: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

6

Sambutan Rektor Institut Kesenian Jakarta

Tahun 2014 ini, Indonesian Dance Festival (IDF) memasuki usianya yang ke 22 tahun. Indonesian Dance Festival lahir dari inisiatif para akademisi dan pelaku tari yang bernaung di bawah Institut Kesenian Jakarta dan kini, kita kembali disuguhi berbagai karya tari para koreografer tari kontemporer dunia mau pun nasional, serta bibit-bibit seni tari yang akan mewarnai seni tari di masa yang akan datang.

Expand adalah tema yang diangkat dalam IDF 2014 ini. Ditilik dari usianya, tema tersebut sungguhlah pas diangkat untuk perhelaan kali ini. IDF dengan demikian berniat memperkuat dirinya, mencari kemungkinan lain, dan mencoba berbagai alternatif untuk seni tari dalam perkembangan di masa depan. Sebuah upaya yang patut dihargai menilik dedikasi, konsentrasi, dan kegigihan para pelaksana IDF untuk menjaga keberlangsungannya hingga kini.

Selain sebagai festival yang terus berusaha memberikan kontribusi bagi dunia tari dan mempertemukan karya tari dengan publiknya, keberadaan IDF juga penting bagiupengembangan pendidikan seni di IKJ. Maka, atas nama IKJ, saya mengucapkan selamat dan sukses atas terselenggaranya IDF 2014 ini. Kami berharap festival ini akan terus berelangsung di masa depan. Juga dapat memberi inspirasi dan membangkitkan semangat para insan tari secara khusu dan para seniman secara umum untuk terus berkarya, dan menjadi pemicu bagi pihak-pihak lain untuk mengadakan kegiatan serupa sehingga kehidupan seni-budaya di Indonesia akan semakin baik.

Selamat berfestival, selamat berkreasi, dan selamat berprestasi untuk semua penampil dan segenap tim kreatifnya. Kepada masyarakat, selamat menikmati karya-karya terbaik para seniman tari Indonesia maupun mancanegara.

Jakarta, November 2014

Dr. Wagiono Sunarto, M. Sc.

Page 9: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

7

Opening speech from the Rector of Jakarta Arts Institute

This is the 22nd year of the Indonesian Dance Festival (IDF). This festival was born out of the initiative of academics and dance practitioners who worked at the Jakarta Arts Institute, and now we are again presented with many dance works of international and local choreographers, and also new art forms of dance that will enrich dance art in the future.

The festival’s theme this year is Expand. Considering the festival’s age, this theme feels appropriate. IDF is trying to strengthen itself, finding different possibilities and trying different alternatives for developing the art of dance in the future. This is an effort worthy of praise considering the dedication, concentration and tenacity of the festival’s organizers to maintain the festival’s existence.

Besides continuing to contribute to the dance world and presenting dance works to the public, IDF is also important for the development of art education in IKJ. Therefore, on behalf of IKJ, I congratulate everyone and wish success for the festival. We hope that the festival will continue to be held in the future. We also hope that this can inspire and trigger the spirit of dance practitioners in particular, and artists in general, to keep on creating works and become a trigger themselves for other people, so that they might hold similar events and improve the artistic and cultural life in Indonesia.

To every performer and their creative teams, enjoy the festival, enjoy creating and enjoy making achievements. To the public, may you enjoy the finest works of Indonesian and international dance artists.

Jakarta, November 2014

Dr. Wagiono Sunarto, M. Sc.

Page 10: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

8

Memperluas inspirasi

Tahun ini Indonesian Dance Festival (IDF) telah memasuki usia ke 22. Festival ini dibuat untuk merayakan karya-karya kreatif para seniman Indonesia maupun manca negara. Juga sebagai wahana yang mempertemukan karya-karya seni tari dengan publik sekaligus ruang pertemuan para pelaku seni tari: koreografer, penari, kritikus, akademisi, promotor seni, dan para seniman dari berbagai bidang seni yang lain. Dengan pertemuan itu mereka akan berbagi pengalaman, saling belajar dan melakukan dialog kreatif. Dan publik dapat menikmati karya-karya mereka yang terus berkembang. IDF kali ini mengangkat tema Expand, untuk menegaskan bahwa seni tari akan terus berkembang, menjelajah ke mana saja, bertemu dengan siapa saja, termasuk berbagai bidang seni lain untuk saling memperkaya perspektif masing-masing.Di sini kami menampilkan karya-karya para koreografer yang memiliki latar belakang sosio-kultural yang sangat beragam, baik latar belakang bangsa dan negara maupun keragaman inspirasi di mana para koreografer berpijak. Berbagai latar belakang tersebut kami harapkan akan melahirkan cara pandang yang berbeda-beda terhadap realitas maupun terhadap dunia tari itu sendiri. Sekali lagi kami ingin menggaris bawahi bahwa dalam perkembangan seni tari kini para koreografer mencoba mengembangkan pendekatan baru dalam berkarya, dengan memanfaatkan berbagai sumber pula. Semua menjadi mungkin karena seni pada dasarnya memang dapat bergerak ke mana saja. Kreativitas dapat tumbuh dari mana saja. Dan semua itu membutuhkan wadah agar mereka terus eksis.IDF adalah salah satu wadah untuk mengangkat hasil kreativitas semacam itu, sekaligus untuk melihat berbagai pencapaian artistik yang dilakukan oleh para pencipta tari. Dengan menyaksikan karya cipta itu maka kita kita dapat melihat dan apa yang terjadi di sekitar kita. Lebih khusus, IDF adalah wahana untuk merangsang kreativitas koreografer muda sehingga dapat menghasilkan karya-karya yang lebih inspiratif dan berkualitas di masa datang. Dengan menikmati karya-karya yang berkualitas kita akan mendapatkan sesuatu yang dapat memperkaya pemahaman kita terhadap kehidupan. Maka, mari kita rayakan karya-karya tari agar kita dapat merayakan hidup secara lebih inspiratif. Selamat berfestival.

Maria DarmaningsihDirektur IDF 2014

Page 11: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

9

Expanding inspiration

This year marks the 22nd year of the Indonesian Dance Festival (IDF). The festival is held to celebrate creative works of both Indonesian and international artists. It also connects different forms of dance to the public and also serves as a meeting place for people in the dance world: choreographers, dancers, critics, academics, art promoters and artists from various disciplines.In this event, they will share experience, learn together and build creative dialogues; and the public will be able to enjoy their continuously developing artworks. This year IDF presents a theme: Expand, to emphasize that the art of dancing will continue to expand, explore every place, meet everyone—which includes other art fields, to together enrich their perspectives.Here we perform works of choreographers from various sociocultural backgrounds, nationalities and inspirations that form the basis for the artists. This diversity is expected to produce different point of views toward reality and the world of dancing.Again, we want to underline that in the development of dance, choreographers are trying to develop new approaches in producing works, and also to take advantage of different resources. This is made possible because basically, art can move flexibly. Creativity can grow from anywhere, and it needs a vessel to maintain its existence.IDF is one of these vessels to uplift this kind of creativity, and also a place to view different artistic achievements from the dance creators. By watching these achievements, we can see the things around us. Specifically, IDF is a place to stimulate young choreographers to produce more inspiring and better works in the future.By enjoying high quality works we will gain things that will enrich our understanding in life. So, let us celebrate these dances so we can celebrate life with more inspirations. Enjoy the festival.

Maria Darmaningsih2014 IDF Director

Page 12: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 13: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

idf 2014

Page 14: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

12 13

Main Performances Main Performances adalah program yang sudah ada sejak penyelengaraan Indonesian Dance Festival (IDF) yang pertama kali. Melalui proses kuratorial, dalam sesi ini ditampilkan karya-karya koreografer dari Indonesia maupun dari mancanegara yang dianggap mapan dan bisa tampil secara utuh. Pada program ini akan dilihat karya-karya yang sedang menjadi perhatian dunia internasional maupun karya-karya dari para koreografer terkemuka Indonesia yang aktif pada saat ini.

Commission WorkDi edisi tahun 2014 ini, untuk pertama kalinya IDF memproduksi sendiri karya koreografer yang telah dipilih oleh kurator dan dianggap pantas ditampilkan sebagai karya utama dalam festival. Karya-karya dalam commission work - baik karya kolaborasi sesama seniman Indonesia maupun dengan seniman mancanegara - sejak awal dirancang khusus untuk ditampilkan dalam IDF. Hal ini akan terus dilakukan pada pelaksanaan IDF selanjutnya.

Main Performances Main Performance program was started at the first Indonesian Dance Festival (IDF). Through a curatorial process, the program presents works from both Indonesian and international choreographers who are considered established and capable to present a whole performance. This program highlights dance works that are of interest to the international stage and also dance works from leading Indonesian choreographers.

Commission WorkIn 2014, IDF for the first time is producing a choreography that has been chosen by the curators and is considered qualified to become the festival’s main performance. The works in commission work—either collaborative works with fellow Indonesian artists or with international artists—have been designed specifically for IDF. This will continue to happen in the next IDF.

ShowcaseShowcase is the space for young choreographers to perform: they who are evolving and actively creating dance work with specific characteristics. Sometimes we find fresh out-of-the-box works during

Program idf 2014

Page 15: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

12 13

ShowcaseShowcase adalah sebuah ruang tempat tampilnya para koreografer muda: mereka yang sedang berkembang dan aktif mencipta karya tari yang memiliki karakteristik yang spesifik. Pada program ini seringkali ditemukan karya-karya segar dan terkadang di luar dugaan. Sesi ini juga berfungsi sebagai wahana untuk memantau perkembangan karya para koreografer muda potensial yang kreatif dari seluruh Indonesia.

LABLAB adalah sebuah program baru yang disajikan dalam IDF edisi tahun 2014 ini. Program ini sengaja diadakan untuk menyajikan karya-karya yang sedang dalam proses penggarapan. Karya yang sedang dalam proses penggarapan ini dipilih dengan cermat oleh para kurator untuk ditampilkan. Fokus utama program ini adalah untuk melihat bagaimana proses pengembangan konsep sebuah karya hingga perealisasiannya melalui kerja-kerja studio.

Master ClassesProgram Master Classes IDF memberi kesempatan kepada para koreografer, pencinta tari, dan mahasiswa serta masyarakat luas yang hendak mengikuti pelajaran teknik tari tertentu. Dalam master classes para penari dan koreografer tingkat dunia yang terkenal dengan pencarian, penemuan dan teknik tertentu akan bertindak sebagai instruktur guna membagikan ilmunya secara bebas dan terbuka untuk para peserta.

Special Program: Ibu & Anak Program ini bertujuan untuk menunjukkan salah satu irisan realita di pentas tari Indonesia ketika banyak penari yang menurunkan kecintaannya menari pada anaknya. Hubungan darah pun

this session. It also serves as a way to review the development of potential creative young choreographers’ works from every part of Indonesia.

LABLAB is only been introduced in this year’s IDF edition. This program is designed to present works during their development process. These works have been carefully selected by the curators to be performed. The main focus of the program is to see the development process of a dance concept until the work is ready to be performed through studio works.

Master ClassesIDF’s Master Class program gives a chance to choreographers, dance lovers, students and general public who are interested in studying specific dance techniques. In this program, dancers and choreographers who are well-known for their exploration, invention and technique will act as the instructors and share their knowledge freely and openly to the participants.

Mother & Child: Special ProgramThis program intends to show a slice of reality in the Indonesian dance scene where a lot of dancers pass on their love of dancing onto their children. Blood relation is enriched by artistic connection. Another slice of reality is that dancers are often challenged by the society. Many parents—mainly urban middle class—support their children to take up dance lesson as an extracurricular activity but object when their offsprings wish to seriously pursue this ‘hobby’ and intend to make it as a profession in the future. Dancing is still considered as a hobby and dancer is not considered equal to other professions, even artistic professions such as architect or designer that have developed their own industry.

Page 16: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

14 15

diperkaya oleh hubungan artistik. Di irisan realita lainnya, profesi penari secara umum sering mendapat tantangan dari masyarakat. Banyak orang tua - terutama para kelas menengah urban - yang mendorong anaknya untuk mengambil kursus tari sebagai kegiatan ekstra-kurikuler, namun keberatan ketika anaknya serius menekuni ‘hobby’ ini dan lantas berniat menjadikannya profesi di kemudian hari. Penari masih dianggap sebagai sekedar hobby dan bukan profesi yang bisa disejajarkan dengan profesi di bidang lainnya, bahkan di bidang seni lainnya seperti arsitektur ataupun desain yang memang telah berkembang menjadi industri.

Discussion: Bicara TariProgram diskusi ini dibuat sebagai wahana bagi para praktisi tari - koreografer, penari, produser maupun presenter - untuk saling berbagi pengalaman, mempertajam ide, dan juga melakukan refleksi serta mengajukan tinjauan kritikal atas perjalanan kreatif dan karya-karya mereka. Program diskusi juga sebagai wahana dialog antara para pelaku tari dengan publiknya.

Lifetime Achievement AwardLifetime achievement award adalah penghargaan dari IDF untuk tokoh tari Indonesia yang telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam kehidupan tari di Indonesia; yaitu tokoh-tokoh yang telah mendedikasikan hidupnya bagi pengembangan seni tari secara luas. Lebih khusus Lifetime Achievement Award adalah sebuah upaya untuk tidak melupakan kontribusi para tokoh tersebut, sebagai cara mengenang, mencatat, dan mengabadikan sejarah. Lifetime Achievement Award juga dianggap perlu diberikan kepada mereka yang telah menentukan keberadaan IDF selama ini.

Discussion: Bicara Tari (Talking About Dance)This discussion program is designed for dance practitioners—choreographers, dancers, producers and presenters—to share experience, sharpen ideas, reflect and also critically review their creative journey and works. This program also serves as a dialogue between dance practitioners with their public.

Lifetime Achievement AwardLifetime achievement award is IDF award for Indonesian dance figures who have given significant contribution to Indonesian dance scene; figures who have dedicated their life in the development of dance. Specifically, the Lifetime Achievement Award is an effort to remember such contributions, by thinking, recording and capturing history. This award is considered important to be given to those who have brought the Indonesian Dance Festival to its current position.

Page 17: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

14 15

IDF: EXPANDDalam edisi terakhirnya dua tahun lalu, Indonesian Dance Festival (IDF) merayakan dua dekade keberadaannya, sebuah kisah tentang usaha bertahan dalam banyak hal. Misalnya, seperti upaya melawan banyaknya tantangan dalam usaha menempatkan ‘tari’ sebagai seni yang otonom dan layak untuk ditelisik dengan kritis. Pada tahun ini, sebuah arah baru untuk perjalanan IDF di masa yang akan datang pun ditetapkan. Dan tema EXPAND yang diangkat dalam kuratorial edisi ini merupakan wujud dari aksi tersebut. Selama bertahun-tahun, IDF lebih dikenal dengan platfrom festival yang terutama

Pernyataan KuratorialCuratorial Statement

INDONESIAN DANCE FESTIVAL (IDF) 2014

IDF: EXPANDIn its last edition two years ago, Indonesian Dance Festival (IDF) celebrated its two decade existence, a story of survival on so many levels - against plentiful odds - as an attempt of putting ‘dance’ as an autonomous art form worthy of critical investigation. This year, a new future direction sets in, and the theme EXPAND embodies the action to take in terms of this edition curatorial framework. For years, IDF has been more known as a festival platform to mainly present finished works, with some space nurtured to forge artistic collaboration yet this was done without much intervention. This year, for the first time, IDF expands to commission

Artistic Curator : Helly Minarti, Tang Fu Kuen, Daisuke Muto

Page 18: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

16 17

menampilkan karya-karya yang pernah dipentaskan dengan beberapa ruang yang disediakan untuk menempa kerja kolaborasi artistik. Namun kolaborasi ini pun dilakukan tanpa banyak intervensi. Pada tahun ini, untuk pertama kalinya, IDF mengembangkan komisi (commission) untuk dua karya utama sebagai karya pembuka festival dan penutupannya. Yang pertama adalah menggarap ulang drama-tari Roro Mendut, karya koreografi Retno Maruti yang sudah dikenal luas sebagai sosok terkemuka tari neo-klasik Jawa bersama kelompok Padneçwara — sebuah kelompok penari yang didirikan pada 1976. Roro Mendut dipentaskan pertama kali pada 1977 dan telah diadaptasi dalam berbagai bentuk sebelum ditampilkan terakhir kali di “Jakarta Berlin Art Festival” (2011). Untuk pembukaan IDF, kami memperkenalkan Maruti dengan Nindityo Adipurnomo, seorang perupa, untuk mengerjakan ulang karya tersebut. Ekspansi fundamental yang lain adalah karya komisi koreografer Arco Renz dari Kobalt Works, sebuah kelompok tari berkedudukan di Brusel, yang berkolaborasi dengan koreografer Ali Sukri dan para penari muda dari ISI Padangpanjang (Insitut Seni di Sumatra Barat). Karya yang dihasilkan, Kris Is, adalah ko-produksi internasional pertama IDF, sebuah lompatan besar di waktu yang tepat sebagai upaya secara organik memperpanjang wacana praktek tari Indonesia dalam kaitannya dengan tari global. Kedua karya komisi ini melibatkan kreasi dalam bingkai kolaborasi di mana intervensi dramaturgi sungguh diberi tempat. EXPAND juga direfleksikan dalam daftar penampil lainnya, baik itu eksperimen dalam aspek artistik, produksi atau dalam upaya menjangkau khalayak baru melalui pertemuan dua bentuk seni yang berbeda dan kontras yakni tari kontemporer dengan musik heavy metal. IDF juga secara ekletik menggabungkan para

two major works as its opening and closing. The first is a remaking of dance-drama Roro Mendut, a choreography by well-known Retno Maruti, the doyenne of neo-classical Javanese dance with her long-standing Padneçwara - a collective of dancers and performers founded in 1976. Roro Mendut premiered in 1977 and was adapted for a different sites before last performed in “Jakarta Berlin Art Festival” (2011). For IDF’s opening, we introduced Maruti with visual artist Nindityo Adipurnomo rework the piece. Another fundamental expansion is to commission choreographer Arco Renz of Kobalt Works, a dance company based in Brussels, to collaborate with choreographer Ali Sukri and the young dancers of ISI Padangpanjang (the arts academy in West Sumatra). The resulting piece, KRIS IS, is the first international co-production by IDF, a big but timely leap in an attempt to organically extend the discourse within Indonesian dance practice in relation to the global one. Both commissions involve creating a collaborative frame in which dramaturgical intervention can take place. EXPAND is also reflected in the other line-up, be it experimentation in the aspects of artistic, production or in reaching a new audience through an encounter of two different forms as contrast as contemporary dance and heavy metal. IDF eclectically cross-pollinates collaborators across art forms and genres as well as introduces a special Mother-Daughter session to highlight the local cultural phenomenon through selected case studies in which mothers passing their dancing onto the daughters. To wrap around, EXPAND touches the discussion slot by pushing the issue of collaboration and co-production, with emphasis on Asian experiences in terms of negotiating with the lack (or absent ) of proper dance infrastructure and related issues.

Page 19: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

16 17

kolaborator dari lintas bentuk seni dan genre. Termasuk juga memperkenalkan Special Program: Ibu-Anak untuk menyoroti fenomena budaya lokal melalui studi khasus terpilih, di mana seorang ibu meneruskan semangat menarinya kepada anak-anaknya. Untuk merangkum keseluruhannya, EXPAND di dalam sesi diskusi mengangkat isu kolaborasi dan ko-produksi dengan penekanan pada pengalaman Asia dalam hal negosiasi dengan kekurangan (atau ketiadaan) infrastruktur tari yang layak dan juga isu-isu terkait lainnya.

Page 20: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

18 19

Tahun 2014 ini, Indonesian Dance Festival (IDF) memasuki usia 22 tahun, dan 12 kali penyelenggaraannya. Menilik ulang sejarahnya, festival yang didirikan pada 1992 ini bertujuan mengisi kekosongan festival tari yang berfungsi sebagai ajang regenerasi insan tari Indonesia. Hingga kini, IDF adalah satu-satunya festival tari terkemuka di Indonesia yang secara konsisten menjalankan program-programnya. Imajinasi tentang sebuah festival atau kegiatan bertaraf nasional yang menjadi ajang penempaan para koreografer muda Indonesia sesungguhnya berhutang pada program Festival Penata Tari Muda yang kemudian bernama Pekan Penata Tari Muda yang diselenggarakan oleh Dewan

This year in 2014 the Indonesian Dance Festival is 22 years old and has been held 12 times. Revisiting the history, the festival that was started in 1992 was trying to fill the absence of a dance festival, which helped the regeneration of the dance workforce in Indonesia. Up to now, IDF is the only prominent dance festival in Indonesia that consistently runs its programs.The idea of a festival or national event that serves as a learning place for young Indonesian choreographers was based on the Festival Penata Tari Muda (Young Choreographers Festival) program, which later on was changed into Pekan Penata Tari Muda (Young Choreographers Week), held by Jakarta Art Council

Indonesian Dance Festival: Upaya Memproduksi Karya dan Wacana Tari IndonesiaAn Attempt to Produce Indonesian Dance Works and Discourse

Sejarah idfidf's History

Page 21: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

18 19

Kesenian Jakarta dari tahun 1978 sampai 1985. Tercatat, ajang ini telah melahirkan koreografer-koreografer handal Indonesia seperti Gusmiati Suid, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, Wiwiek Sipala, Wiwiek Widiastuti, dan Ben Suharto. Hilangnya program ini di awal era 1990-an menimbulkan keprihatinan beberapa tokoh dan akademisi tari terkemuka Indonesia, khususnya mereka yang bernaung di bawah Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada saat yang sama, Sal Murgiyanto kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan studi pengkajian tari di Amerika Serikat. Maria Darmaningsih sebagai sekretaris jurusan Tari IKJ mendorong Sal Murgiyanto untuk menyusun suatu festival tari yang mampu merangkum perkembangan kreatif para koreografer penting, khususnya koreografer muda Indonesia. Pada tahun 1992, bersama-sama Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti dan Melina Surjadewi, Sal Murgiyanto merintis IDF. Prakarsa tersebut didukung oleh Farida Oetoyo (yang saat itu menjabat ketua Gedung Kesenian Jakarta), Sardono W Kusumo, Tom Ibnur, Julianti Parani, Deddy Luthan, dan Edi Sedyawati. Penamaan Indonesian Dance Festival sedikit banyak terinspirasi oleh American Dance Festival (ADF) yang pernah dihadiri oleh Sal Murgiyanto, di mana ia turut terlibat mengirim dan mempresentasikan karya seniman tari Indonesia ke ajang tersebut. IDF pada mulanya merupakan salah satu bentuk kegiatan pengabdian masyarakat dari IKJ. Hingga kini festival ini masih bernaung di bawah bendera Fakultas Seni Pertunjukan (FSP), IKJ. Sejak awal penyelengaraannnya, IDF telah membangun kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), PKJ TIM, The National Institute of The Arts Taipei, Asian Cultural Council dan American Dance Festival di Durham, North Carolina.

since 1978 until 1985. Notably, this event had produced Indonesian leading choreographers such as Gusmiati Suid, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, Wiwiek Sipala, Wiwiek Widiastuti and Ben Suharto. The discontinuation of this program in the early 1990s had raised some concerns from prominent dance figures and academics in Indonesia, especially those who were under the Jakarta Art Institute (IKJ) at the time. During this time, Sal Murgiyanto returned to Jakarta after he finished his dance study in America. Maria Darmaningsih as the then secretary of IKJ’s Dance Department, urged Sal Murgiyanto to arrange a dance festival that would be able to summarize the creative development of important choreographers, especially young Indonesians.In 1992, Sal Murgiyanto, along with Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti and Melina Surjadewi, started the Indonesian Dance Festival. This effort was supported by Farida Oetoyo (who at the time was the chairperson of Gedung Kesenian Jakarta or the Jakarta Playhouse), Sardono W Kusumo, Tom Ibnur, Julianti Parani, Deddy Luthan and Edi Sedyawati. The name of the festival was more or less inspired by the American Dance Festival (ADF), in which Sal Murgiyanto participated by sending and presenting Indonesian dance artists.IDF originally was a form of IKJ’s community service. Now the festival is still held under the Performing Arts Faculty of IKJ. Since its inception, IDF has established cooperation with various parties including Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), PKJ TIM, The National Institute of The Arts Taipei, Asian Cultural Council and the American Dance Festival in Durham, North Carolina.On its initial edition (1992), IDF only invited a few Indonesian choreographers, which

Page 22: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

20 21

Pada perhelatannya yang pertama (1992), IDF hanya mengundang beberapa koreografer dari Indonesia, di antaranya Indra Utama, Arief Rofiq, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, dan Sukarji Sriman. Namun pada perhelatannya yang kedua (1993), IDF juga mementaskan karya para koreografer mancanegara, dan hal ini berlangsung hingga sekarang. Edisi IDF yang kedua tersebut menjadi penting karena menandai program baru yaitu showcase, program yang dirancang untuk menampung bibit-bibit berbakat para koreografer muda Indonesia. Program showcase inilah sesungguhnya roh dari IDF. Ia merupakan ajang bagi koreografer muda Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya, sekaligus ‘mendewasakan’ dirinya serta memperluas pergaulan dunia tari mereka. Selain memberi tempat untuk para koreografer muda, IDF juga menghidupkan sebuah tradisi yang sudah ada sejak Pekan Penata Tari Muda, yaitu acara diskusi sebagai ajang penggodokan gagasan, kritik, dan juga tempat berbagi pengalaman sesama pelaku tari Indonesia dan mancanegara.Selama tiga tahun pertama, IDF dilaksanakan setiap tahun (1992, 1993, dan 1994). Namun kegiatan itu dianggap terlalu cepat jika diadakan setahun sekali. Maka semenjak 1994, IDF diadakan setiap dua tahun sekali. Perkembangan politik Indonesia juga mempengaruhi perhelatan festival ini. IDF keempat (1996) sempat terganggu oleh demonstrasi politik oleh PDI di Cikini, Jakarta. IDF kelima, yang seharusnya diadakan pada tahun 1998, terhadang peristiwa Reformasi sehingga ditunda hingga tahun berikutnya (1999). Pendanaan selalu menjadi tantangan. Namun, sejak tahun 2012, di bawah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, IDF dijadikan agenda tetap kegiatan Pemda DKI Jakarta.Dalam kurun 1992 hingga 2004, IDF dipimpin oleh Sal Murgiyanto. Tahun 2004 adalah masa peralihan. Maka pada

included Indra Utama, Arief Rofiq, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo and Sukarji Sriman. However, on its second occasion (1993), IDF presented some works of international choreographers, as this has been maintained up to now. The second edition of IDF became crucial because it introduced a new program, the showcase, which isa program designed to accommodate talented young Indonesian choreographers. The showcase program is the true spirit of IDF. It is an event for young Indonesian choreographers to exhibit their skills, and also to mature and expand their dance world. Other than providing space for young choreographers, IDF also brought back a tradition that was started in Pekan Penata Tari Muda, which was a discussion forum as a way to formulate ideas, critic and share experience between Indonesian and international dance workers.In the first three years, IDF was held annually (1992, 1993 and 1994). However it was considered too soon if it was done once a year. Thus, since 1994, IDF was held biannually. The political developments in Indonesia also affected the festival. The fourth IDF in 1996 was momentarily interrupted by the political demonstration by PDI (the Indonesian Democratic Party) in Cikini, Jakarta. The fifth IDF, which was supposedly held in 1998, was stopped by the Reformation political movement, so it was postponed until the following year (1999). Funding has been always a challenge. However, since 2012, under the instruction of the then Jakarta governor Fauzi Bowo, IDF was included in the regular agenda of the Jakarta provincial government.In the span of 1992 until 2002, IDF was chaired by Sal Murgiyanto, and then followed by Nungki Kusumastuti (2004-2008), and now, Maria Darmaningsih (2010-present). IDF has succeeded in presenting significant works from both established Indonesian

Page 23: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

20 21

perhelatan tahun itu, Nungki Kusumastuti menjabat sebagai Direktur Eksekutif. Selanjutnya, Nungki Kusumastuti menjabat Direktur IDF sejak 2006-2008. Kini, Direktur IDF adalah Maria Darmaningsih (2008-sekarang). IDF telah berhasil menampilkan karya-karya signifikan para koreografer Indonesia baik yang sudah mapan maupun yang sedang berkembang, juga mementaskan karya-karya koreografer dari berbagai penjuru dunia. Dari Indonesia, antara lain karya Retno Maruti, Gusmiati Suid, Sardono W. Kusumo, I Ketut Rina, Sukarji Sriman, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido, Eko Supriyanto, Boi G. Sakti, Hartati, Benny Krisnawardi, Ery Mefri, dan Jecko Siompo. Sementara dari mancanegara tersebut Ku Ming-Shen (Taiwan), Min Tanaka (Jepang), Takiko Iwabuchi (Jepang), Cezerine Barry (Australia), Wen Hui (PR China), Susanna Leinonen (Finlandia), Janis Brenner, Yin Mei Critchell (Amerika Serikat), Arco Renz (Belgia/Jerman), Meg Stuart (Jerman), Vincent Mantsoe (Afrika Selatan/Prancis), Kim Jae Duk (Korea Selatan), Jerôme Bél (Perancis), dan banyak lagi. Juga dihadiri para pengamat, peneliti dan kritikus tari internasional di antaranya, Jochen Smith (Jerman), Judy van Zyle, Adrienne L. Kaeppler (Smithsonian Institution), George Kochi, dan lain-lain. Sejak 2006, IDF juga melibatkan kurator internasional sebagai anggota artistic board, yaitu Tang Fu Kuen dari Singapura (sejak 2006) dan Daisuke Muto dari Jepang (sejak 2008). Dimulai dari lingkungan akademis Institut Kesenian Jakarta, IDF pun mengembangkan visi festival yang berpijak pada konteks pengalaman tari Indonesia yang hidup dalam kisaran dan pertemuan dari berbagai akar budaya yang sangat beragam. IDF memang diciptakan sebagai wahana pertemuan kreatif berbasis pengalaman lintas budaya sebagai proses pembelajaran bagi semua orang untuk menjelajahi dan menyelami keragaman kultural yang

choreographers and developing ones, and also presenting various works from international choreographers. From Indonesia, IDF has shown the works of, among others, Retno Maruti, Gusmiati Suid, Sardono W. Kusumo, I Ketut Rina, Sukarji Sriman, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido, Eko Supriyanto, Boi G. Sakti, Hartati, Benny Krisnawardi, Ery Mefri and Jecko Siompo. Meanwhile, international artists who have performed in IDF are Ku Ming-Shen (Taiwan), Min Tanaka (Japan), Takiko Iwabuchi (Japan), Cezerine Barry (Australia), Wen Hui (PR of China), Susanna Leinonen (Finland), Janis Brenner, Yin Mei Critchell (USA), Arco Renz (Belgium/Germany), Meg Stuart (Germany), Vincent Mantsoe (South Africa/France), Kim Jae Duk (South Korea), Jerôme Bél (France) and many more. This festival has also been viewed by international dance observers, researchers and critics such as, among others, Jochen Smith (Germany), Judy van Zyle, Adrienne L. Kaeppler (Smithsonian Institution) and George Kochi (Asian Cultural Council Japan). Since 2006, IDF has also involved international curators—as members of the artistic board—Tang Fu Kuen from Singapore (since 2006) and Daisuke Muto from Japan (since 2008). Starting from the academic environment of the Jakarta Art Institute, IDF has developed a vision of a festival that finds its root in Indonesian dancing experience that lives in the range of and the meeting point of various cultural backgrounds. IDF was created as a creative meeting point that was based on intercultural experience as a learning process for everyone involved to explore and dive into the cultural diversity presented through the language of the dance: the choreography. Specifically, the learning process is directed towards the development of dance education that is based on those various contexts; the traditional,

Page 24: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

22 23

ada melalui koreografi sebagai sebuah bahasa. Secara khusus, proses pembelajaran itu diarahkan pada pengembangan pendidikan seni tari yang bertolak dari berbagai konteks tadi, baik yang tradisional, modern maupun kontemporer melalui program-program pertukaran antar sesama seniman tari Indonesia dan mancanegara berupa kolaborasi, workshop, presentasi (pementasan), seminar dan master class. Program-program itu dirancang sebagai ajang memperkenalkan karya para koreografer muda sekaligus ruang mediasi antara karya-karya koreografi dengan masyarakat luas Indonesia. Awalnya, IDF adalah perayaan ragam karya koreografi sebagai wahana untuk membuka diri terhadap segala perbedaan identitas sebagai sumber terciptanya berbagai kemungkinan dialog atau bentuk-bentuk kolaborasi guna mendorong kreativitas kepenarian dan koreografik seniman tari Indonesia. Sebagai festival yang berpijak pada pengembangan pendidikan tari, IDF juga berusaha tanggap terhadap kebutuhan praktik di dunia tari kontemporer, diantaranya memediasi beragam lokalitas tari Indonesia dengan perkembangan di ranah global. menghubungkan pengalaman yang lokal dan global. Tahun ini, IDF berbenah diri dan merefleksi ulang perjalanannya yang terwujud dalam program kuratorialnya. Jika selama ini panggung IDF didominasi oleh karya-karya yang sudah pernah dipentaskan, tahun ini IDF ditandai oleh kombinasi karya baru para koreografer Indonesia (premiere), karya koreografer mancanegara yang secara artistik dianggap memiliki terobosan dengan beberapa karya koreografik baru, diantaranya dua karya yang diproduksi atau di ko-produksi oleh IDF sendiri. Mengambil posisi sebagai ‘produser’ secara sadar adalah terobosan baru.

modern and contemporary through exchange programs between the Indonesian and international dance artists in forms of workshops, presentations (performances), seminars and master classes. These programs were designed as a way to introduce young choreographers’ works and also mediation space between choreographies and Indonesian society. Initially, IDF was a celebration of various choreographies as a way to open the self towards differences in identities. This helped in creating dialogues and collaborations to support creativity in dancing and choreography of Indonesian dance artists. As a festival that is based on the development of dance education, IDF is also trying to address the practical needs in the world of contemporary dance, which includes mediating the locality of various Indonesian dances with the development in the global scene, by connecting local experience to global scene.This year, IDF is resettling and reflecting its journey, shown in the festival’s curatorial program. If previous IDF editions has been dominated by works that have been shown before, this year IDF is marked by a combination of new works from Indonesian choreographers (premieres), international choreographers that are artistically considered as breakthrough works and new choreographies; two works are produced or co-produced by IDF. Working as the producer is a breakthrough. It is not only the producer of a dance piece, but also of discourse—through which critical intervention towards contemporary dance practices is exercised. This year, IDF will be opened by a new production of a reinterpretation of Roro Mendut—a collaboration work between Retno Maruti and visual artist Nindityo Adipurnomo, and will be closed by Kris Is—a collaboration work between Arco Renz from Kobalt Works dance company (Brussel), Melanie Lane, Ali Sukri

Page 25: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

22 23

Produser di sini bukan sekadar sebagai produser karya tari, tapi juga produser wacana - melalui mana intervensi kritis terhadap praktik tari kontemporer dilakukan. Tahun ini, IDF akan dibuka oleh sebuah produksi baru atas tafsir ulang Roro Mendut, hasil kolaborasi koreografer Retno Maruti dan perupa Nindityo Adipurnomo, dan ditutup oleh Kris Is, kolaborasi koreografer Arco Renz dari kelompok tari Kobalt Works (Brussel), Melanie Lane, Ali Sukri - koreografer yang juga dosen tari - dengan enam penari muda mahasiswa/lulusan ISI Padangpanjang. Untuk Kris Is, IDF bekerja sama dengan Kobalt Works dan Komunitas Salihara dalam bingkai ko-produksi.

(choreographer and dance lecturer) and six young dancers (students/graduates) from ISI Padangpanjang. For Kris Is, IDF is the co-producer, together with Kobalt Works and Komunitas Salihara.

Page 26: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 27: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Main Performances:Commission Works

Page 28: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

26

Karya ini mengangkat kisah klasik yang lahir dalam sejarah Jawa sekitar tahun 1627 pada saat kerajaan Mataram berkuasa di bawah raja Sultan Agung. Sebagaimana pendahulunya, Panembahan Senapati, Sultan Agung melanjutkan politik ekspansi Mataram dengan menaklukkan wilayah-wilayah Jawa Tengah bagian utara dan wilayah Jawa Timur, hingga kemudian menyerang Batavia. Politik ekspansi yang dilakukan Sultan Agung adalah ekspedisi penaklukkan yang paling besar dalam sejarah Mataram.

Retno Maruti (Indonesia)Berkolaborasi dengan Nindityo Adipurnomo (Indonesia)

Teater Jakarta, Taman Ismail MarzukiSelasa, 4 November 2014 / Tuesday, November 4th 201420.00 WIB / 8.00 PM

This work recounts a classical story that originated in Java during the reign of Mataram kingdom under Sultan Agung around 1627. Just like his predecessor, Panembahan Senapati, Sultan Agung continued Mataram’s political expansion by conquering the regions in the northern part of Central Java and all of East Java, and continuing his way to Batavia. This political expansion was the largest conquest expedition in the history of Mataram.One of the regions conquered by Mataram

Retno Maruti (Indonesia) In Collaboration with Nindityo Adipurnomo (Indonesia)

Roro Mendut

Page 29: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

27

Salah satu wilayah taklukan Mataram adalah daerah Pati yang terletak di wilayah pesisir utara Jawa. Sang raja Sultan Agung Mataram mengutus senapati sakti mandraguna Tumenggung Wiroguno untuk menaklukkan daerah Pati. Kesaktian Wiroguno dan bala tentaranya menggulung seperti ombak samudra menghancurkan pasukan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola. Pati pun takluk di kaki Mataram.Tumenggung Wiroguno dan bala tentaranya kemudian mengangut

was Pati that is located on the north coast of Java. Sultan Agung of Mataram sent his powerful commander-in-chief Tumenggung Wiroguno to conquer Pati. Wiroguno’s magical power and army, like tidal waves, crashed Pati forces, which were led by Adipato Pragola. Pati was conquered by Mataram.Tumenggung Wiroguno and his army then took back their spoils of war which included a woman named Roro Mendut to the Mataram palace. Initially, Roro Mendut was to be given to Sultan

Page 30: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

28

pampasan perang dan membawa serta Roro Mendut sebagai putri boyongan ke Istana Mataram. Semula Roro Mendut akan dipersembahkan kepada Sultan Agung, tapi sang raja kemudian memberikan Roro Mendut kepada Tumenggung Wiroguno sebagai hadiah. Tumenggung Wiroguno yang telah memasuki usia senja dan tidak memiliki anak, sangat senang menerima hadiah tersebut dan hendak menjadikan Roro Mendut sebagai istri, menggantikan posisi istri pertamanya yang telah menua. Tapi Roro Mendut menolak diperistri Wiroguno. Di Mataram, Roro Mendut kemudian bertemu kekasihnya, Pronocitro, yang juga dikenal baik oleh Wiroguno. Hubungan Roro Mendut – Pranacitra – Wiroguno menjadi pelik dan sangat berbahaya. Di satu sisi Wiroguno menghadapi Roro Mendut sebagai perempuan yang ia cintai sekaligus seperti anak yang dikasihi, di sisi lain sang gadis mencintai pemuda lain yang berada dalam lingkungan kuasa Wiroguno pula. Cinta Wiroguno kepada Roro Mendut sebenarnya telah melampaui hasrat badaniah karena sang panglima hendak menjadikan Mendut sebagai bagian dari upaya untuk meneruskan wibawa kebangsawanan sebagai pejabat tinggi

Agung, but the king then gifted her to Tumenggung Wiroguno. Wiroguno who was old and didn’t have any children was delighted with his present and decided to marry Roro Mendut, replacing his first old wife. However, Roro Mendut refused to be married to Wiroguno.In Mataram, Roro Mendut then met her lover, Pranacitra, whom was also known well by Wiroguno. This triangle conflict between Roro Mendut, Pranacitra and Wiroguno became increasingly complicated and dangerous. On one hand, Wiroguno saw Roro Mendut as the woman he loved and cared for like a daughter, and on other hand the girl was in love with another man whom also lived in Wiroguna’s territory. Wiroguno’s love for Roro Mendut had gone more than mere physical needs because the old commander wanted to inherit the title of high officer to an heir that was still absent and he had hoped that Roro Mendut would produce such heir.Her increasingly harder rejection followed by her secret affair with Pronocitro had angered Wiroguno and he tried various ways to persuade and force the girl to marry him. However, Roro Mendut persisted and this had worsened the situation. Roro Mendut and Pronocitro

Page 31: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

29

di istana yang harus terwariskan, sementara sang panglima belum memiliki keturunan. Dari Roro Mendut sang panglima berharap akan mendapatkan pewaris itu. Penolakan Roro Mendut yang semakin keras diikuti percintaannya secara diam-diam dengan Pronocitro membuat Wiroguno menjadi murka dan dengan berbagai cara sang panglima membujuk serta memaksa sang gadis agar bersedia diperistri. Tapi Roro Mendut terus bertahan sehingga situasinya menjadi semakin mencemaskan. Roro Mendut dan Pronocitro pun tahu bahwa pada saatnya mereka harus menghadapi kemungkinan yang paling buruk. Kisah Roro Mendut – Pronociro – Wiroguno ini adalah kisah yang sangat populer dalam masyarakat Jawa. Kisah ini banyak ditampilkan dalam berbagai pertunjukan tradisional Jawa dan telah diangkat dalam beberapa novel serta film. Retno Maruti pertama kali mengangkat kisah Roro Mendut ini dalam karya tari pada tahun 1977 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1979. Selama kurun 30 tahun terakhir, karya ini telah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia maupun di mancanegara, di antaranya pada “Jakarta Berlin Art Festival” 2011. Khusus untuk IDF 2014, Maruti meciptakan kembali karya tari Roro Mendut dalam sesi commisssion work. Kali ini ia berkolaborasi dengan

also knew that at some point they might have to face the worst possible outcome.The story of Roro Mendut, Pronocitro and Wiroguno is a very popular story in Javanese society. It bases many traditional performances and has been adapted into novels and movies.Retno Maruti first adapted this story into a dance performance in 1977 and further developed it in 1979. In the past 30 years, this work has been performed in various events in Indonesia and other countries; one of them was in the Jakarta Berlin Art Festival in 2011.For the IDF 2014 edition, Maruti will recreate Roro Mendut in the commission work session. IDF put her in collaboration with Nindityo Adipurnomo, a contemporary visual artist from Yogyakarta. In her dance works, Maruti combines classical Surakarta and Yogyakarta dance styles. Meanwhile, Nindityo has been exploring actual themes in visual discourse that is based on Javanese culture.

Page 32: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

30

Nindityo Adipurnomo, seorang perupa kontemporer dari Yogyakarta. Dalam karya-karya tarinya Maruti memadukan tari klasik gaya Surakarta dan Yogyakarta, sedangkan Nindityo juga banyak mengeklsplorasi khazanah visual yang berakar pada budaya Jawa dalam tema-tema aktual. Dalam proses kolaborasi, Maruti dan Nindityo bersama-sama mengembangkan aspek dasar koreografi, terutama aspek dramaturgi berikut eksplorasi visual tari klasik Jawa. Secara khusus, Nindityo memandang bahwa tari klasik Jawa sudah “sangat visual” sehingga ia hendak kembali pada substansi gerak dan substansi ruang yang disusun oleh Maruti dengan menciptakan elemen-elemen simbolik visual yang paling relevan. Berbagai elemen koreografi dan susunan visual yang diciptakan merupakan bagian dari perwujudan tafsir mereka atas kisah klasik Roro Mendut – Pronocitro – Wiroguno yang terperangkap dalam pusaaran kuasa-cinta, baik dalam tataran fisik maupun dimensi simbolik. Dalam tari klasik Jawa, narasi diungkapkan dalam bentuk tembang (puisi yang dinyanyikan), sebagaimana yang berlangsung dalam opera. Bersama penata musik, Maruti turut menyusun puisi (tembang) yang dinyanyikan oleh para penari dan oleh para pemusik, terutama oleh swarawati (Sinden).

Retno Maruti (lahir 8 Maret 1947) di Solo, Jawa Tengah, adalah penari dan koreografer yang tumbuh dalam tradisi tari klasik Jawa. Ia belajar seni pertunjukan tradisi Jawa sejak usia lima tahun. Ayahnya, Susiloatmadja, seorang ahli seni kriya/dosen ASRI Yogya dan dalang, memasukkannya ke perkumpulan seni di lingkungan dalam mapun di luar kraton Surakarta untuk belajar tari, gamelan dan tembang Jawa.

In the collaboration process, Maruti and Nindityo are developing the basic aspects of choreography, especially the dramaturgy and visual exploration of classical Javanese dances. Specifically, Nindityo feels that classical Javanese dances are “very visual”. This propels him to go back to movements and space, which will be composed by Maruti through recreating the most relevant visual symbolic elements. Different elements of choreography and visual compositions created are part of their interpretation of the story of Roro Mendut, Pronocitro and Wiroguno; the three characters who were trapped in a maelstrom of love and power, both in physical level and symbolic dimension. In classical Javanese dances, the narration is recited in form of tembang (poems that are sung), similar to an opera. Along with the music director, Maruti also composes these poems that will be sung by the dancers and music players, mainly by the lead female singer (sinden).

Retno Maruti (born on March 8th 1947) in Solo, Central Java, is a dancer and choreographer that has grown up in the tradition of classical Javanese dances. She started learning the art of Javanese performance traditions when she was five years old. Her father Susiloatmadja—an expert in craftsmanship/lecturer in ASRI

Page 33: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

31

Yogyakarta and also a puppet master—put her into an art community in and outside the Surakarta palace to study Javanese dances, gamelan and poem songs (tembang).Other than dancing at the palace, she also danced in Sendratari Ramayana at Prambanan temple complex in 1961-1969. She was one of the kijang (deer) dancers. In 1964 Maruti was involved in various Indonesian government cultural missions at the New York World Fair. In 1969, she created Langendriyan Damarwulan—a Javanese opera that was based on a historical romance during the Majapahit era. In 1976, along with Sentot Sudiharto she established Padneçwara dance studio in Jakarta.Other than Langendriyan Damarwulan, in her classical Javanese dance career spanning four decades, she has created many works, which include: Abimanyu Gugur (1976); Roro Mendut (1977 & 1979); Sawitri (1977); Palgunadi (1978); Sekar Pembayun (1980); Keong Emas (1981); Begawan Ciptoning (1983); Kongso Dewo (1989); Dewabrata (1998);

Selain menari di kraton, ia juga menari pada Sendratari Ramayana di Prambanan pada tahun 1961-1969, sebagai penari kijang. Pada tahun 1964 Maruti terlibat dalam berbagai misi kesenian pemerintah R.I. ke New York World Fair. Pada tahun 1969 ia menciptakan karya tari Langendriyan Damarwulan, sebuah opera Jawa yang diangkat dari kisah roman sejarah zaman Majapahit. Pada tahun 1976, bersama Sentot Sudiharto ia mendirikan sanggar tari Padneçwara di Jakarta. Selain Langendriyan Damarwulan, selama empat dekade berkarya dalam tari klasik Jawa, ia telah melahirkan banyak karya, di antaranya Abimanyu Gugur (1976); Roro Mendut (1977 & 1979); Sawitri (1977); Palgunadi (1978); Sekar Pembayun (1980); Keong Emas (1981); Begawan Ciptoning (1983); Kongso Dewo (1989); Dewabrata (1998); Surapati (2001); Alap-alapan Sukesi (2004); Portraits of Javanese Dance (2005) dan Bedaya-Legong Calon Arang (2006) yang mempertemukannya dengan koreografer Ayu Bulantrisna Djelantik. Khusus pada karya Bedaya-Legong

Page 34: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

32

Surapati (2001); Alap-alapan Sukesi (2004); Portraits of Javanese Dance (2005) and Bedaya-Legong Calon Arang (2006), which introduced her to choreographer Ayu Bulantrisna Djelantik. Specifically for Bedaya-Legong Calon Arang, Maruti combined the Javanese bedaya dance with Balinese legong palace dance. This work was an adaptation of Calon Arang; a story that is originated in East Java and very popular in Bali. This work has been performed in several places in Jakarta, Bali and Singapore.Maruti has also been presented with many awards; one of them was the Life Achievement Award from Akademi Jakarta in 2005. Maruti still teaches at the Jakarta Arts Institute.

Calon Arang, Maruti memadukan tari bedaya Jawa dan tari legong kraton dari Bali. Karya ini mengambil kisah Calon Arang yang berasal dari Jawa Timur dan sangat populer di Bali. Karya ini dipentaskan di beberapa tempat, di Jakarta, Bali dan di Singapura. Selama karirnya Maruti juga telah banyak mendapat penghargaan, di antaranya Life Achievement Award dari Akademi Jakarta tahun 2005. Sampai saat ini, Maruti juga menjadi staf pengajar di Institut Kesenian Jakarta. Nindityo Adipurnomo, menempuh pendidikan seni rupa di Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pada awal dekade 1980-an aktif menjadi seniman sekaligus inisiator berbagai event seni rupa kontemporer melalui galeri Cemeti

Page 35: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

33

Nindityo Adipurnomo studied fine art at the Indonesian Arts Institute (ISI) Yogyakarta. In the beginning of the 1980s, he was actively working as an artist and initiator of various contemporary art events through Cemeti Art House that he established together with Dutch artist Mella Jaarsma in Yogyakarta. His artworks have been exhibited in many important events in Indonesia and other countries, and are owned by individual and institutional collectors.Nindityo has been exploring various possibilities in contemporary art by breaking through limited representative forms of conventional art, creating new possibilities. In the end of the 1980s, Nindityo explored Bedhaya dance in form of a fine art piece. He did this together with a dancer from ISI Yogyakarta who emphasized the creation of a space model (in floor pattern) of the Bedhaya dance. This was then made into a performance art show. Other than holding his solo exhibitions, he has also been involved in a lot of important group exhibitions, such as: the Jakarta Art Council Biennale IX (1993), the Second Asia Pacific Triennale in Brisbane (1996), Contemporary Art in Asia: Traditions and Tensions in New York (1996), the Havana Biennale in Havana, Cuba (1997), the Second Fukuoka Triennial in Fukuoka, Japan (2002), Gwangju Biennale di Gwangju, South Korea (2002), Circle Point Open Biennale in Jakarta (2003), Busan Biennale Busan, South Korea (2004), Indonesian Contemporary Art in Herbert F. Johnson Museum, Cornell University Ithaca, New York (2005), Contemporary Museum of Photography Milano, Italy (2006) and many more.His work with other artists was when he collaborated with Garin Nugroho in the movie Opera Java. Since 2010, he and Mella Jaarsma have been doing an artistic research on “Peranakan” (Chinese

Art House yang ia dirikan bersama seniman asal Belanda Mella Jaarsma, di Yogyakarta. Karya-karyanya telah dipresentasikan dalam berbagai event penting di Indonesia dan mancanegara, serta telah dikoleksi oleh kolektor individual maupun institusi. Nindityo banyak mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam seni rupa kontemporer dengan menerobos keterbatasan bentuk-bentuk representasi seni rupa konvensional menuju kemungkinan-kemungkinan baru. Pada akhir dekade 1980-an Nindityo mengeksplorasi tari Bedhaya dalam suatu karya seni rupa. Eksplorasi tersebut dilakukan bersama seorang penari dari ISI Yogyakarta yang menekankan penciptaan model keruangan (dalam pola lantai) tari Bedhaya yang digarap menjadi jejak keruangan dalam bentuk seni rupa pertunjukan. Selain telah melakukan banyak pameran tunggal, juga terlibat berbagai pameran penting, di antaranya: The Jakarta Art Council Biennale IX (1993), The Second Asia Pacific Triennale in Brisbane (1996), Contemporary Art in Asia: Traditions and tensions di New York (1996), The Havana Biennale in Havana, Cuba (1997), The Second Fukuoka Triennial in Fukuoka, Japan (2002), Gwangju Biennale di Gwangju, Korea Selatan (2002), Circle Point Open Biennale di Jakarta (2003), Busan Biennale Busan, Korea Selatan (2004), Indonesian Contemporary Art di Herbert F. Johnson Museum, Cornell University Ithaca, New York (2005), Contemporary Museum of Photography Milano, Italia (2006) dan lain-lain. Bersama beberapa seniman ia pernah terlibat dalam kolaborasi dengan Garin Nugroho untuk film Opera Java. Sejak tahun 2010, bersama Mella Jaarsma ia melakukan penelitian artistik tentang “Peranakan” di Lasem, Rembang dan Semarang, Jawa Tengah. Bagian awal dari penelitian itu dipresentasikan di

Page 36: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

34

descendant) in cities of Lasem, Rembang and Semarang, (all in Central Java). The early part of the research was presented at Galeri Semarang under the title “Toekar Tambah.” He is one of the board members of The Foundation of Biennale Yogyakarta.He is the co-founder of Galeri Cemeti (1998), which was changed into Cemeti Art House (1999) and also the Cemeti Art Foundation, which was changed into IVAA (Indonesian Visual Art Archive). In 2005, Nindityo received A Long Live Achievement Award: John D. Rockefeller’s 3rd Award, the Asian Cultural Council, New York.

Galeri Semarang dengan judul “Toekar Tambah”. Bersama beberapa seniman Nindityo menjadi anggota board The Foundation of Biennale Yogyakarta. Ia turut mendirikan Galeri Cemeti (1988) yang berubah menjadi Cemeti Art House (1999), juga Cemeti Art Foundation yang berubah menjadi is IVAA (Indonesian Visual Art Archive).Pada tahun 2005 Nindityo menerima A Long Live Achievement Award : John D. Rockefeller’s 3rd Award, The Asian Cultural Council, New York.

Page 37: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

35

Tim Artistik / Artistic Team

Roro Mendut : Rury NostalgiaPronacitro : Agus PrasetyaTumenggung Wiroguno : Sentot SNyi Menggung : Retno MarutiAdipati Pragola : Widaru KrefiantoBlendung : Djoko SSJagung : Sri MulyadiJago : Sentot Erwin, Luluk Ari Prasetya

Penari Perempuan : Yuni Trisapto, Wati Gularso, Nungki Kusumastuti, Female dancers Inda Aminah Christina Ambarwati, Hanny Herlina, Siti Aisyah Daeng.

Penari Laki-laki : Mahesani Tunjung Seto, Guntur Kusumo Widigdo, Female dancers Wijanarko, R.Danang Cahyo Wijoyanto, Luluk Ari Prasetya, Sentot Erwin, Irwan Adi Rusmantyo, Misfa Andy Ashari, Danar Hendratmoko, Mauritius Tamdaru Kusumo, Sanggita Satyaji Widyadarmo

Karawitan : B. Subono, Wahyu Santosa Prabowo, Danis Sugiyanto, Gamelan Players Sri Mulyana, Dwi Suryanto, Wardono, Rian Susilo, Nanik Dwi Widianingrum, Anik Dianawati, Kadar Sumarsono, Suroso HM, Suliyo.

Didukung oleh : Bapak Arifin Panigoro

Padneçwara team

Penanggung jawab karya : Retno MarutiPenata Gerak : Rury Nostalgia, S. Trisapto, Djoko S SPenata Gending dan Tembang : Blacius SubonoArt Director : Sentot SStage Manager : S. TrisaptoLighting Director : Soni Sumarsono Sound Director : Bayu WicaksonoAssisten Stage Manager : Yuli BhimawanKostum : PadneçwaraPerias : Harsi Djumadi, Surip Handayani, Sukirman, Tiyo B Property : Hermanto, Sarno

Cemeti Arts House

Visual Artist : Nindityo AdipurnomoAsisten Perupa : Dwi Novianto, Agnesia Linda Mayasari

Page 38: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

36

Sasaran Silek mengacu pada lokasi tertentu di mana pencak silat secara tradisional dipraktekkan di Minangkabau (Sumatera Barat) sampai sekarang. Secara fisik, Sasaran Silek adalah sebuah lapangan terbuka sederhana di nagari Minang di mana para praktisi dari segala umur mempraktekan pencak silat. Tidak jarang, randai-pun dipentaskan sesaat setelah mereka beribadat isya pada sore hari di masjid desa. Kali ini, Sasaran Silek ditampilkan sebagai pendahuluan untuk karya penutup, Kris is. Pencak-silat merupakan bagian dari materi gerak yang dimasukkan ke dalam karya tari kontemporer ini. Sasaran Silek berfungsi untuk menunjukkan konteks aslinya di mana Kris is bersumber.

Sasaran Silek refers to a particular site where pencak-silat is traditionally practiced in Minangkabau (West Sumatra) until now. Physically, this is a simple open field in Minang nagari (village) where the practitioners of all age practice pencak silat and not seldom randai too (traditional Minang theatre) right after they have observed isya ( last prayer) in the early evening in the village mosque. This time, Sasaran Silek is enacted to prelude the closing piece, Kris Is. Pencak-silat is part of the movement materials incorporated by this contemporary piece. Sasaran Silek serves to put its original context where it is sourced.

Presentasi / Presentation : Perguruan Silek Kumango, Parak Juar Batusangkar, Sumatera Barat. Perguruan Silek Kumango, Parak Juar Batusangkar, West Sumatera.

Pimpinan / Direction : Isman Djamhur.

Prologue Evening Performance; KRIS IS

Lobby Salihara, Komunitas SaliharaSabtu, 8 November 2014 / Saturday, Nov 8th 201418.30 WIB / 6.30 PM

Perguruan Silek Kumango

SASARAN SILEK

Page 39: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

37

Page 40: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

38

Kris is merupakan terjemahan dari crisis dalam bahasa Indonesia. Karya ini merupakan sebuah tampilan yang dikerjakan bersama enam penari Indonesia di Padangpanjang, Sumatra Barat, dengan basis kultural budaya Minangkabau. Dengan latar budaya dan seni tersebut, maka keenam penari muda ini memiliki dasar pencak silat sebagai elemen penting gerak mereka. Dalam proses kolaborasi ini, para penari dan tim produksi berhadapan dengan hal-hal baru. Hal-hal baru ini lantas membawa pengaruh yang tak terduga yang menimbulkan konstelasi tertentu yang khas, di mana pilihan mau dan tak mau harus dilakukan demi perkembangan keseimbangan dan survive. Karya Arco Renz berkolaborasi dengan Ali Sukri dan enam penari muda ini merupakan ko-produksi internasional pertama dari Indonesian Dance Festival.

Kris is is the Indonesian translation for crisis. This dance work is a performance of six Indonesian dancers from Padangpanjang—a town with Minangkabau cultural background—West Sumatra. These six dancers incorporate the martial art pencak silat as an important element in their movements. In the collaboration process, the dancers and production team faced new issues, which then brought unexpected influences resulting in a special constellation, where choices had to be made for creating a balance and surviving.This collaboration between Arco Renz, Ali Sukri and the six dancers is the first international coproduction by the Indonesian Dance Festival (IDF). This dance work is a massive leap at the right time for the IDF. The festival itself is an effort to organically widen the discourse on the Indonesian dance practices and

Teater Salihara, Komunitas SaliharaSabtu, 8 November 2014 / Saturday, Nov 8th 201420.00 WIB / 8.00 PM

Arco Renz (Belgium) and Ali Sukri (Indonesia)

KRIS IS Premiere

Page 41: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

39

Karya ini menunjukkan sebuah lompatan besar di waktu yang tepat dari IDF sendiri yang juga merupakan upaya secara organik memperpanjang wacana praktek tari Indonesia dalam kaitannya dengan tari global.Dalam Kris is, keenam penari muda tersebut mengkonstruksi aspek positif dari “krisis”. Unsur ketidakstabilan yang ada dalam “krisis” coba dilihat sebagai sesuatu yang menguntungkan dan memicu perubahaan. Pada karya ini tubuh mengalami transformasi. Kestabilan struktur waktu dan ruang di sekitar tubuh mulai didestabilisasi demi terciptanya perubahaan dan perkembangan tubuh itu sendiri. Dalam keadaan seperti itu, individu perlu menegosiasikan keseimbangan baru, stabilitas yang berbeda bersama dengan perubahaan lingkungan, kemudian muncul kembali dengan level kompleksitasnya yang baru. Arco Renz belajar tari, teater dan sastra di Berlin dan Paris. Ia adalah angkatan pertama dari PARTS yang didirikan Anne Teresa De Keermaekers di Brussels. Arco Renz adalah juga dosen tamu untuk tari dan koreografi di berbagai negara di seluruh dunia.Pada tahun 2000, Arco Renz mendirikan KobaltWorks, sebuah company tari yang berkedudukan di Brussels, Belgia. Produksi utama KobaltWorks antara lain Think Me Thickness (2001), .states (2001), Mirth (2002), Dreamlands (2003), heroïne (2004), Opium (2004), Bullitt (2006), i!2 (2008), PA (2009), 1001 (2010), CRACK (2011), DUST (2011), solid.states (2012), dan Discografie (2013). Arco Renz secara reguler mengkreasi “commisioned works” antara lain untuk Brussels Opera House, Paris Opera Palais Garnier, La Scala Opera House (milan), Festical d’Art Lyrique (Aix en Provence), Brussels Philharmonic Orchestra, Norvegian National Company of Contemporary Dance, dan Oldenburgisches Staatstheater (Jerman).

their relation to the global scene.In Kris is, the six young dancers are constructing the positive aspects of a “crisis.” The instability in a crisis is seen as something valuable and a trigger of changes. In this dance work, the body transforms. The stability of space and time around the body is destabilized in order to create some changes and development in the body itself. In such condition, an individual needs to negotiate a new balance; a different stability and also a change of environment. Then, the body will reappear with a new level of complexity.Arco Renz studied dance, theater and literature in Berlin and Paris. He was part of the first class of P.A.R.T.S established by Anne Teresa De Keermaekers in Brussels. Arco Renz has also been a guest lecturer for dance and choreography in many countries.In 2000, Arco Renz started KobaltWorks, a dance company based in Brussels, Belgium. KobaltWorks’ main productions were including Think Me Thickness (2001), .states (2001), Mirth (2002), Dreamlands (2003), heroïne (2004), Opium (2004), Bullitt (2006), i!2 (2008), PA (2009), 1001 (2010), CRACK (2011), DUST (2011), solid.states (2012) and Discografie (2013). Arco Renz regularly creates commissioned works for, among others, Brussels Opera House, Paris Opera Palais Garnier, La Scala Opera House (Milan), Festival d’Art Lyrique (Aix en Provence), Brussels Philharmonic Orchestra, Norwegian National Company of Contemporary Dance and Oldenburgisches Staatstheater (Germany).He has been involved in many development, research and exchange programs between Europe and Asia, which include the Monsoon project. This is a series of continuous research and performance platform that brings

Page 42: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

40

Arco Renz banyak terlibat dalam proyek pengembangan penelitian dan pertukaran Eropa- Asia, di antaranya proyek Monsoon, berupa serangkaian penelitian berkelanjutan dan platform performance yang menyatukan seniman Asia dan Eropa.Proyek tersebut dilakukan dalam beberapa edisi di Seoul (2006), Leuven (2007-2010) dan Brussels (2013). Edisi berikutnya akan diadakan di Sydney pada tahun 2015. Sepanjang 2014 dan 2015, Kobalt Works|Arco Renz terlibat dalam proyek kolaborasi di Indonesia (KRIS IS), Vietnam (Hanoi Stardust), Filipina (COKE), dan Thailand/Singapura (Alpha).Ali Sukri lahir di Pariaman, tanggal 28 Oktober 1978. Ia belajar tari di SMKI (SMK 7 Padang), STSI Padangpanjang (1998 - 2002), studi S2 di ISI Surakarta (2006 - 2008). Ia kini tercatat sebagai pengajar di Fakultas Seni pertunjukan, Jurusan Seni Tari, ISI Padangpanjang. Sukri banyak bersentuhan dengan disiplin ilmu lain seperti, teater, seni rupa dan musik. Sentuhan ini, akhirnya semakin mempertegas identitasnya sebagai penari dan koreografer. Sukri aktif mengikuti berbagai event dalam lokal, nasional maupun Internasional. Ia pernah mengikuti American Dance Festival di Duke Universty, Durham, Amerika Serikat. Ia aktif juga di komunitas seni Hitam Putih Padangpanjang dan mendirikan kelompok Sukri Dance Theatre pada tahun 2003 di kota Padangpanjang. Karya-karyanya telah ditampilkan dalam perbagai event nasional mau pun internasional. Di antaranya Inside dalam forum American Dance Festival (ADF) di Duke University, Durham, Amerika (2014), Pagar Nagari dalam forum Muhibah Seni di Utrecht, Belanda (2013), Tanah Tepi dalam forum pagelaran tunggal di Teater Arena ISI Padangpanjang (2012), Anggun Nan Tongga dalam forum Asean Malay Festival di Gedung Hoerijah Adam Pandangpanjang (2012), dan Malin Kondang dalam program Indonesia Kita di Graha Bakti Budaya Jakarta (2012).

together artists from Asia and Europe. This project has been held for several editions in Seoul (2006), Leuven (2007-2010) and Brussels (2013). The next edition will be held in Sydney in 2015. In 2014 and later in 2015, KobaltWorks | Arco Renz is involved in collaborative projects in Indonesia (KRIS IS), Vietnam (Hanoi Stardust), the Philippines (COKE) and Thailand/Singapore (Alpha).Ali Sukri was born in Pariaman on October 28th 1978. He studied dance at SMKI (SMK 7 Padang), STSI Padangpanjang (1998-2002), and earned his Master’s degree at ISI Surakarta (2006-2008). He lectures at the Performing Arts Faculty, Dance Department, ISI Padangpanjang. He has been interacting with various disciplines of art such as theater, fine art and music. This interaction eventually emphasizes his identity as a dancer and choreographer. He is actively participating in local, national and international events. He had participated in the American Dance Festival at Duke University, Durham, USA. He is actively involved in art community Hitam Putih Padangpanjang and established Sukri Dance Theatre in 2003 in Padangpanjang. Sukri’s works have been performed in various national and international events. These include Inside at the American Dance Festival (ADF) at Duke University, Durham, USA (2014), Pagar Nagari in Muhibah Seni forum in Utrecht, Netherlands (2013), Tanah Tepi in a solo performance at the Teater Arena ISI Padangpanjang (2012), Anggun Nan Tongga at the Asean Malay Festival at the Hoerijah Adam building in Pandangpanjang (2012) and Malin Kondang in the Indonesia Kita program at the Graha Bakti Budaya Jakarta (2012).

* Dalam pertunjukan ini, Kobalts Work didukung oleh Pemerintah Finlandia.

KobaltWorks is supported by the Finland government for this performance

Page 43: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

41

Choreography : Arco Renz in collaboration with the performers, Melanie Lane and Ali SukriDance : David Putra Yudha, Endang Wahyuni, Fadila Oziana, Dwi Asti Wulan Jani, Kurniadi Ilham, Erwin Mardiansyah.Artistic Collaboration : Melanie LaneChoreographic Collaboration : Ali SukriMusic : Marc AppartLight : Jan MaertensInterpreter : Helly Minarti, MN QomaruddinRehearsal Coordinator : Kurniasih ZaitunCommission : Indonesian Dance Festival – IDF 2014Production : Kobalt Works vzwCo-Production : Indonesian Dance Festival – IDF 2014; Komunitas SaliharaPartners : ISI Padangpanjang and Aie Angek Cottage

Page 44: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 45: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Main Performances:Works

Page 46: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

44

Proyek Soft Machine yang dilakukan oleh Choy Ka Fai adalah sebuah upaya mencari tahu posisi tari kontemporer saat ini. Ia mengadakan penelitian di Asia untuk mendapatkan inspirasi karya koreografi yang baru dan eksperimental. Sejak tahun 2012 ia berkeliling Asia, bertemu dan melakukan wawancara dengan para koreografer yang ia anggap dapat memberikan perspektif baru dalam tari kontemporer. Hasil dari penelitiannya selama tiga tahun itu adalah presentasi empat dokumenter performance yang ia kerjakan bersama Rianto (Indonesia), Surjit Nongmeikapam (India), Xiao Ke x Zi Han (China) dan Yuya Tsukahara (Jepan). Hal utama yang hendak ia tunjukkan dalam serial dokumenter ini adalah bagaimana proses kolaborasi atau interaksi secara

Teater Kecil, Taman Ismail MarzukiRabu, 5 November 2014 / Wednesday, November 5th 201416.00 WIB / 4.00 PM

Choy Ka Fai (Singapore) & Rianto (Indonesia)

Soft Machine

Photo by Choy Ka Fai & Law Kian Yen

Soft Machine by Choy Ka Fai is an attempt to find out the current position of contemporary dance. He did research in Asia to gain inspiration for new and experimental choreography work. Since 2012 he has been travelling through Asia, meeting and interviewing choreographers whom he considered were capable of giving new perspectives in contemporary dance.The result of his three year research is a presentation of four documented performances that he created together with Rianto (Indonesia), Surjit Nongmeikapam (India), Xiao Ke x Zi Han (China) and Yuya Tsukahara (Japan). The main thing that he wanted to show in this documentary series is the collaboration process or the intimate interaction between choreographers. From this

Page 47: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

45

intim dengan setiap individu koreografer. Dari interaksi dan kolabirasi itu ia menelisik berbagai hal yang mendorong terjadinya momen-momen penting dalam penciptaan karya tari. Penelitian itu dipicu oleh kegelisahan Choy Ka Fai terhadap pandangan beberapa kurator Eropa terhadap tari di Asia, salah satunya pada saat muncul video promosi “Out of Asia: The Future of Contemporary Dance” di Sadler’s Wells di London pada 7 September 2011. Sebagai seorang seniman, respons spontan Choy Ka Fai adalah, “Siapa anda sehingga mengatakan pada kami apa masa depan tari kontemporer dan apa yang telah dihasilkan Asia?”Choy Ka Fai menegaskan: “Dari perspektif personal saya, pandangan kuratorial

interaction, he investigated various issues that prompted important moments of the creation of a dance work.This research was triggered by Choy Ka Fai’s anxiety towards some European curators’ view of dance in Asia. One of them was shown in the promotional video of “Out of Asia: The Future of Contemporary Dance” at Sadler’s Wells in London on September 7th 2011. As an artist, Choy Ka Fai’s spontaneous reaction was, “Who are you to say about the future of contemporary dance and what Asia has produced so far?”.He stressed that, “From my personal perspective, the curatorial concern was superficial. As Asia is extremely diverse culturally, it is difficult to access local knowledge and tradition without investing

Page 48: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

46

time for research or first-hand experience. There is a recurring sense of mystification put upon the cultural production from the East for the cultural consumption market of the West. The persistence of exoticism is a sadly evident in the institutional promotion of contemporary dance from Asia. Why does the West still think it has the power of artistic imperialism to the rest of the world? How can we negotiate the seductions of Orientalism and seek real interaction with the local cultural practitioners? My initial research revealed to me that it is clear that the discussion of contemporary dance in Asia is still in an embryonic state and has been mostly conducted through academic research under immense influence from the West. With this revelation as a starting point, I thought someone from Asia should create new spaces for such discourse. From the naive idea of “From Asia For Asians”, I started an 18-month journey across 13 Asian cities in my search for what is “Inside Asia”.” Choy Ka Fai is a performance artist and speculative designer. He received a scholarship from the National Art Council (Singapore) to study interior design at The Royal College of Art, London. In 2010, he won The Singapore Young Artist Award. Some of his works have been presented in Tokyo Festival (2011), Singapore Art Festival (2012) and Tanz in August 2013. History and also different uncertainties in the future inspire Ka Fai. His research started from his interest in understanding the conditions of the human body, different representations of memory and its power to shape expressions.Rianto is the artistic director of Dewandaru Dance Company in Tokyo, Japan. He studied dancing at ISI Surakarta (Central Java) in addition to studying the traditional dance of Lengger from Banyumas, when he was young. Since 2003, he has lived in Tokyo where he develops a different

terhadap tari Asia terasa dangkal. Bagaimana pun, budaya Asia sangat beragam. Sangat sulit untuk mengakses pengetahuan lokal dan tradisinya tanpa meluangkan waktu untuk melakukan penelitian atau terlibat secara langsung. Sense mistik selalu disematkan pada produk budaya dari Timur untuk konsumsi pasar budaya di barat. Menyedihkan bahwa eksotisme terus bertahan dalam promosi yang bersifat institusional dari tari kontemporer Asia. Mengapa barat masih merasa bahwa mereka memiliki kekuatan imperialisme artistik terhadap sisa-sisa praktisi budaya lokal?”“Penelitian awal saya menunjukkan bahwa pembahasan tentang tari kontemporer di Asia masih pada tahap embrio, kendati banyak penelitian akademik yang telah dilakukan di bawah pengaruh barat yang sangat kuat. Dengan pemahaman seperti itu sebagai titik awal, menurut saya, seseorang dari Asia sendiri harus mengkreasi ruang untuk wacana tersebut. Dari sebuah ide naif, “Dari Asia untuk Asia” saya memulai perjalanan selama 18 bulan ke 13 kota di Asia untuk suatu penelitian yang saya sebut sebagai “Inside Asia”.Choy Ka Fai adalah seorang seniman performance dan desainer spekulatif. Ia mendapat beasiswa dari National Art Council (Singapura) untuk belajar desain interior di The Royal College of Art, London. Pada tahun 2010, ia mendapat penghargaan The Singapore Young Artist Award. Beberapa karyanya sudah dipresentasikan pada Festival Tokyo (2011), Singapore Arts Festival (2012), dan Tanz pada Agustus 2013. Ka Fai banyak terinspirasi dari sejarah dan berbagai upaya pentorian ketidakpastian masa depan. Penelitiannya berawal dari ketertarikan untuk memahami kondisi tubuh manusia, berbagai perwuju dan memori dan kekuatannya dalam membentuk ekspresi.

Page 49: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

47

Concept, Multimedia and Direction : Choy Ka Fai Dramaturgy : Tang Fu Kuen Sound Design : Zulkifle Mahmod Lighting Design : Ryoya Fudetani & Yap Seok Hui Production/Technical Manager : Yap Seok Hui

Soft Machine project is supported by The Arts Creation Fund, National Arts Council (Singapore)

With additional support from TheatreWorks (Singapore), danceBox (Kobe, Japan) Kyoto Experiment (Japan), Attakkalari Centre for Movement Arts (Bangalore, India) Living Dance Studio (Beijing, China).

Rianto adalah direktur artistik pada Dewandaru Dance Company di Tokyo, Jepang. Ia belajar tari di ISI Surakarta dan sebelumnya mendalami tari tradisi Lengger dari Banyumas sejak usia muda. Sejak 2003 ia menetap di Tokyo,di mana ia mengembangkan praktik koreografi yang berbeda meski tetap berangkat dari tradisi yang dimilikinya. Ia sudah tampil bersama banyak koreografer, di antaranya Akiko Kitamura (Jepang), Sen Hea Ha (Korea) dan Chen Shi Zheng (Cina).

practice of choreography that is still based on his own traditions. He has performed with many choreographers, including Akiko Kitamura (Japan), Sen Hea Ha (Korea) and Chen Shi Zheng (China).

Page 50: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

48

Cry Jailolo adalah satu karya yang dipersembahkan sebagai tangisan atau air mata untuk ikan-kan dan terumbu karang di laut Teluk Jailolo, Maluku Utara. Pesan dari karya ini sesunguhnya sangat jelas: hentikanlah penghancuran laut dan ekosistem, termasuk di teluk Jailolo yang indah itu. Kembalikan laut sebagai air yang jernih dan bening sehingga keindahan laut tetap menjadi surga di dunia. Cry Jailolo terinspirasi dari (dan menggunakan) tari Legu Salai dari desa Sahu di Jailolo, Halmera Barat. Tarian ini mengandung harapan bahwa ikan-ikan akan menari lagi di antara batu dan bunga karang. Ini juga sejenis tangisan tentang keheningan laut yang mulai hancur akibat keserakahan manusia. Kita menyaksikan

Cry Jailolo is a work representing the sadness and tears for the marine life and coral reefs in Jailolo Bay, North Maluku. The message of this work is very clear: stop the destruction of the ocean and its ecosystem, including the beautiful Jailolo Bay. The message of the dance is the hope that the ocean would be clean and clear again, and to keep the beauty of the ocean as a part of world’s paradise.Cry Jailolo is inspired by the Legu Salai dance from Sahu Village in Jailolo, West Halmahera. This dance implies the hope that the fish would again dance between the coral reefs and rocks. It also represents the sadness seeing the destruction of the ocean because of human’s greed. We are witnessing the increasingly damaged ocean in Indonesia

Gedung Kesenian JakartaRabu, 5 November 2014 / Wednesday, November 5th 201420:00 WIB / 8.00 PM

Eko Suprianto (Indonesia)

Cry Jailolo Premiere

Page 51: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

49

Page 52: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

50

semakin parahnya kerusakan laut di Indonesia karena tindakan manusia yang semakin ekspansif dan destruktif. Di satu sisi, manusia di daerah Jailolo dan daerah-daerah pantai di seluruh Indonesia sangat tergantung pada laut, tapi pada sisi yang lain manusia itu justru menghancurkan tempatnya bergantung hidup. Manusia sedang menghancurkan dirinya sendiri.

because of the increasingly expansive and destructives people. On one hand, the people of Jailolo and coastal areas in Indonesia are highly dependent on the ocean, but on the other hand the people themselves that are destroying their mean of survival. The humans are self destructing.

Page 53: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

51

Choreographer : Eko SupriyantoAssistant to Choreographer : Geri KrisdiantoMusic Composer : Setyawan JayantoroDramaturgy : Arco RenzDancers : Veyndi Dangsa, Greatsia Yobel Yunga, Fernandito Wangelaha, Gerry Gerardo Bella, Noveldi Bontenan, Budiawan Saputra Riring, Geri Krisdianto.Artistic and Lighting : Iskandar K. LoudinCostume Designer : Retno TanProduction Team : Astri Kusuma Wardani, Eko Wahyudi, R Danang Cahyo, Harid Atid and Ervina Marlin DalenohProducer : Tang Fu Kuen

Acknowledgments : Ir. Namto Hui Roba SH, West Halmahera Regent and family, Fenny Kiat, S.STP., M.Si and the West Halmahera Jailolo Tourism Agency’s staff, Drs Sulistyo Tirtokusumo, Solo Dance Studio and 2013-2015 Sasadu On The Sea – Jailolo Bay Festival team, Prof. Sardono W. Kusumo and Dr. Sal Murgiyanto, Mas Martin and Mbak Irine.

Production : EkosDance Company 2014

Eko Spuriyanto belajar tari di ISI Surakarta dan menyelesaikan gelar master di bidang tari dan koreografi di UCLA Department of World Arts and Cultures (2001). Kini, ia tercatat sebagai dosen tari di almamaternya, ISI Suraktarta. Ia telah mengadakan banyak pementasan di Amerika, Asia dan Eropa. Ia juga berkolaborasi dengan banyak seniman mancanegara mau pun Indonesia. Di antaranya menjadi koreografer dan penari di Operanya Peter Sellars, konsultan tari untuk Julie Taymor “Lion King” dan tour dunia Madonna “The Drowned Word Tour 2001”. Ia juga terlibat dalam proyek Opera Jawa karya Garin Nugroho dan Musikal ONROP karya Joko Anwar. Pada tahun 2013 dan 2014, Eko terlibat dalam Festival Teluk Jailolo, di Halmahera Barat, Maluku Utara, Indonesia. Pada kesempatan itu ia mencipta tari dan mengadakan penelitian. Ia beberapa kali tampil dalam Indonesian Dance Festival.

Eko Supriyanto studied dance in ISI Surakarta (Central Java) and got his Master’s degree in dance and choreography at the Department of World Arts and Cultures at UCLA (2001). Now, he is a lecturer at ISI Surakarta and pursuing his doctorate at Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Eko has performed in America, Asia and Europe. He also has collaborated with many international and Indonesian artists, including working as the choreographer and dancer in Peter Sellars’s opera, dance consultant for Julie Taymor’s “Lion King” and Madonna’s world tour “The Drowned World Tour 2001”. He was also involved in Garin Nugroho’s Opera Java and Joko Anwar’s musical ONROP. In 2013 and 2014, Eko was involved in Jailolo Bay Festival, in West Halmahera, North Maluku, Indonesia. During this event, he created a dance and conducted research. He performed several times at the Indonesian Dance Festival.

Page 54: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

52

What is being told through what we see and what - through what we can’t see - yet still happens?The performance piece “in between” is a research on stillness and transition. It is about the moments, during which nothing seems to happen, but without these moments, nothing can happen. The project is based on the movement vocabulary of Minangkabau pencak-silat (martial art) from West Sumatra, and the interpretations of what the artistic team defines as the space “in between”. Katia Engel’s approach here is very specific: throughout the entire piece is a video projection, which is not just a prominent element, but core to the

“Apa yang tengah diungkapkan melalui segala yang kita lihat dan apa yang diungkapkan dari segala yang tidak kita lihat, sedangkan semuanya masih terjadi?”In Between adalah sebuah penelitian atas keheningan dan transisi. Yaitu tentang momen-momen di mana tak ada kejadian apa-apa, tapi tanpa momen-momen tersebut, tak ada sesuatu pun yang mungkin terjadi. Proyek ini didasarkan pada kosa gerak dari Pencak Silat Minangkabau, Sumatera Barat, dan interpretasi dari apa yang didefinisikan oleh tim artisitik sebagai “ruang antara”. Dalam karya ini Katia menggunakan pendekatan yang spesifik, melalui

Gedung Kesenian JakartaRabu, 5 November 2014 / Wednesday, November 5th 201421:15 WIB / 9.15 PM

In Between

Katia Engel (Jerman)Berkolaborasi dengan Benny Krisnawardi (Indonesia)Katia Engel (Germany) In Collaboration with Benny Krisnawardi (Indonesia)

Page 55: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

53

Page 56: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

54

kekuatan proyeksi video, bukan hanya sebagai elemen utama, tapi sebagai titik tolak pengembangan karya. Proyeksi video membagi karya tari menjadi bagian-bagian yang berbeda dan membentuk konsep dari bagian-bagian tersebut dari ide visual dan perspektif yang berbeda-beda pula. Yang menyatukan keseluruhan karya tari adalah eksplorasi atas waktu, memori dan imajinasi. Dalam eksplorasinya, Katia Engel berkolaborasi dengan koreografer Benny Krisnawardi dan para penari yang terlatih dalam teknik harimau dalam Pencak Silat Minangkabau. Pilihan kerja sama ini didasari oleh fakta bahwa teknik tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh namanya, terinspirasi dari gerakan harimau yang minim dalam gaya tapi lebih spontan dengan gerakan yang dekat pada lantai. Koreografi spesifik Engel ini adalah penelitian tentang waktu pertemuan tertentu (saat/waktunya) tubuh yang menari, khususnya dalam konsep ‘galuik’. Dalam konsep ini para penari harus menilai intensi gerak penari lain untuk bergerak berdasarkan intuisi mereka sendiri, sebelum mereka merespon gerakan tersebut. Pengkreasian keheningan dan konsentrasi dipasangkan dengan tindakan langsung sehingga memungkinkan terjadinya eksplorasi estetika dan kepekaan spiritual akan waktu (time) dan waktunya (timing) yang tepat untuk mengambil tempat. Katia Engels juga dibantu oleh kurator, Helly Minarti.Katia Engel adalah seorang seniman multidisipliner asal Augsburg, Jerman yang berdomisili di Berlin dan Indonesia. Karya seninya lebih banyak bermain di wilayah performance, instalasi, video dan fotografi. Ia belajar tari dan gerak di Dance Institute Bremen, Jerman dan Laban-bartenieff Institute of Movement Studies New York, Amerika Serikat. Ia juga belajar fotografi, patung, dan film secara otodidak. Sejak 2001, Katia menciptakan karya panggung yang berdasar pada

development of the work. The projected video is dividing the dance work into distinct parts and approaching the concept of the piece from different visual ideas and perspectives. What connects the dance work as a whole is the exploration of the process of time, memory and imagination. Katia Engel collaborates with choreographers and dancers, who trained in a particular style of Minangkabau pencak-silat (local martial-art) ‘harimau’ (tiger style). This choice of working with Minangkabau pencak-silat ‘harimau’ derives from the fact that this technique is – as the name already suggests – inspired by the movements of a tiger, less stylized and more spontaneous with all movements taking place with proximity to the floor. Engel’s specific choreographic research on time encounters this particular (timed) dancing body, in particular in the concept of ‘galuik’ where the dancers have to assess the other’s intention to move based on their intuition, before they respond. The created stillness and concentration, paired with immediate actions, allow the exploration of both aesthetic and spiritual sensibilities of time and timing to take place.Katia Engel, born in Augsburg, Germany, and currently based in Berlin and Indonesia, works in the field of performance, installation, video and photography. Besides her formal education in dance and movement at Dance Institute Bremen/Germany and Laban-Bartenieff Institute of Movement Studies New York, she trained herself in photography, sculpting and filmmaking. Since 2001, Katia creates her own stage works, which are typically based on a specific visual concept. Her performances have been presented among others at Chashama Theater and Galapagos Art Space (New York), HAU Berlin, and Akademie der Künste Berlin.

Page 57: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

55

konsep visual yang spesifik. Karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai tempat, antara lain pada Chashama Teater dan Galapagos Art Space (New York), HAU Berlin dan Akademie der Künste Berlin. Benny Krisnawardi, lahir di Batusangkar (Sumatera Barat), belajar Pencak-Silat Minangkabau sebelum belajar tari. Ia termasuk anggota awal Gumarang Sakti Dance Company. Ia bergabung dengan kelompok itu pada 1980-an. Ia tamat dari Institut Kesenian Jakarta (jurusan tari) dan melanjutkan untuk tampil bersama Gumarang Sakti di Indonesia dan luar negeri. Ia belakangan juga menjadi asisten koreografer untuk Gusmiati Suid dan Boi Sakti—koreografer dari Gumarang Sakti. Sebagai penari senior generasi pertama, ia tidak hanya pelatih dalam kelompok tersebut tetapi juga memperkenalkan metodologi Gumarang Sakti melalui lokakarya-lokakarya.

Benny Krisnawardi, born in Batusangkar (West Sumatra), studied Pencak-Silat Minangkabau style before dancing. He was among the early members of GumarangSakti Dance Company, joining it in the 1980s. He graduated from Jakarta Arts Institute (dance) and continued to perform with Gumarang Sakti in Indonesia and abroad. He later worked as assistant choreographer for bothGusmiatiSuid and BoiSakti – the Company’s choreographers. As a senior dancer of the first generation, he was not only trainer within the company but as well introducing the methodology of GumarangSaktithrough workshops.

Dancer : Davit Fitrik, Nanda Lesmana, M. Akbar Fitrio ArthaChoreography : Benny KrisnawardiAssistant Choreographer : Davit FitrikComposer, Musician : Syahrial TandoAdditional sound engineer : Siti Asifa NasutionArtistic Director, Video : Katia EngelVideo technician : Abdur Rosid, Soni WibisonoProduction Management : Helly MinartiProduction : Goethe Institute, JakartaCo-production : Rudolf Augstein Stiftung, Germany

Page 58: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

56

Karya ini diangkat dari nama penari eponim Cédric Andrieux, terkhusus dari karya solonya. Karya ini merupakan refleksi perjalanan karir sang penari yang sejak belajar tari kontemporer di Brest (Perancis) dan dilanjutkan di Conservatoire National Supérieur de Musique et de Danse de Paris. Juga perjalannanya sebagai penari di Merce Cunningham Dance Company, New York dan di Ballet Lyon Opera. Karya ini merupakan bagian dari rangkaian proyek Bel untuk berkolaborasi dengan para penari dari pelbagai disiplin ilmu yang ia mulai sejak tahun 2004. Sebelumnya, pada tahun 2001 ia meciptakan karya Show must go on

This work’s title comes from the eponymous dancer Cédric Andrieux, and is based mainly on his solo career. This work is a reflection of the dancer’s career since he studied contemporary dance in Brest (France) and continued studying at the Conservatoire National Supérieur de Musique et de Danse de Paris. The work also depicts his journey as a dancer at the Merce Cunningham Dance Company, New York; and Ballet Lyon Opera.This dance work is a part of Bel’s project in collaborating with different dancers from various disciplines. This work was started in 2004. Before that in 2001, he created the Show must go on that combined twenty actors with 1990s pop songs

GoetheHausKamis, 6 November 2014 / Thursday, November 6th 201420:00 WIB / 8.00 PM

Jérôme Bel (France)

Cédric Andrieux

Photo by Douglas Chen

Page 59: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

© Photographer Marco Caselli Nirmal

Page 60: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

58

(2001) yang menyatukan dua puluh pemain berikut lagu-lagu pop era 1990-an dan DJ. Ia pernah berkolaborasi dengan Véronique Doisneau dalam produksi Véronique Doisneau, kemudian dengan penari tradisional Thailand, Pichet Klunchun (2005) yang menghasilkan karya Pichet Klunchun and Myself. Juga dengan Pina Bausch, Bob Wilson, dan José Limon Dance Company dalam Lutz Förster.Dalam setiap proyek tersebut, Bel berusaha menampilkan pengalaman setiap seniman dan menunjukkan berbagai dimensi yang sedikit banyak mengandung sejarah koreografi Barat

and a DJ. He once collaborated with Véronique Doisneau in the production of Véronique Doisneau, and also with Thai traditional dancer Pichet Klunchun (2005) that resulted in Pichet Klunchun and Myself. He also collaborated with Pina Bausch, Robert ‘Bob” Wilson and José Limon Dance Company (within Lutz Förster).In each project, Bel tried to present the experience of each artist and show the different dimensions that more or less incorporate the history of Western or Asian choreography of the artists he collaborated with. This is the reason why each production is titled according to the

Page 61: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

59

atau Asia pada seniman yang dia ajak berkolaborasi. Itulah kenapa judul setiap produksinya diangkat dari nama-nama para pelaku tari. Jérôme Bel adalah seniman yang bekerja secara internasional. Ia lahir tahun 1964 dan menetap di Paris. Ia terlibat dalam National Center for Contemporary Dance di Angers 1984-1985. Pada tahun 1985 sampai 1991 ia menjadi penari banyak koreografer di Prancis dan Italia. Pada tahun 1992, ia menjadi asisten pementasan Philip Découflé untuk seremoni Olimpiade XVI Musim Dingin Albertville dan Savoie Games. Ia juga pernah menjadi co-kurator bersama Alain Platel untuk Klapstuk, sebuah festival di Leuven, Belgia. Ia juga secara teratur mengisi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Karya-karyanya juga banyak mendapatkan penghargaan.

names of the dancers Bel worked with.Jérôme Bel is an artist who works internationally. He was born in 1964 and currently resides in Paris. He was involved in the National Center for Contemporary Dance in Angers from 1984-1985. From 1985 until 1991 he danced for many choreographers in France and Italy. In 1992, he worked as the assistant producer for Philip Découflé for the XVI Winter Olympic Games in Albertville and Savoie’s ceremony. He also co-curated with Alain Platel for Klapstuk, a festival in Leuven, Belgium. He regularly gives lectures in various universities. His works have garnered many awards.

Concept : Jérôme BelBy and With : Cédric AndrieuxWith extracts of pieces by : Trisha Brown (Newark), Merce Cunningham (Biped, Suite for 5), Philippe Tréhet (Nuit Fragile), Jérôme Bel (The show must go on)Coaches : Jeanne Steele (Merce Cunningham) and Lance Gries (Trisha Brown)Co Production : Théâtre de la Ville (Paris), Festival d’Automne (Paris), R.B. Jérôme Bel (Paris) Supported by : Centre National de la Danse (Paris), La Ménagerie de Verre (Paris), Baryshnikov Arts Center (New York)Thanks to : Thérèse Barbanel, Trevor Carlson and Yorgos LoukosProduction Manager : Sandro GrandoSubsidies : R.B Jérôme Bel is supported by the Direction régionale des affaires culturelles d’Ile-de-France, French Ministry for Culture and Communication, and by the Institut Français, French Ministry for Foreign Affairs, for its international tours.

Page 62: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

60

Judul “2” berangkat dari keyakinan Tao Ye bahwa satu kata atau frase tidak cukup untuk merangkum makna suatu karya teater tari kontemporer. Menurutnya, sebuah judul dapat menimbulkan pra konsepsi pada penonton dan membatasi imajinasi mereka. Melalui seri tari eksperimental minimalisnya, Tao Ye melihat lebih banyak kemungkinan untuk menggali dan memicu potensi tubuh manusia sebagai elemen visual dan juga pembebasan tubuh dari keterbatasan representasi atau batasan narasi. Dengan begitu akan berlangsung pembebasan diri dari batasan dan penyempitan penceritaan. Hal ini juga memberi penonton kebebasan penuh untuk berimajinasi dan menginterpretasi. Melalui

The title “2” is based on Tao Ye’s belief that a word or phrase is not enough to summarize the meaning of a contemporary dance work. He feels that a title can create preconceptions in the audience and limit their imagination. Through his minimalist experimental dance series, Tao Ye seeks ever-more possibilities to explore and trigger the potential of human body as a visual element and also release that body from any representational or narrative limitations. This enables the self to release itself from limitations and constricting storytelling. This will also allow the audience full freedom to imagine and interpret. Through his works that are titled using numbers and not words, Tao Ye

Gedung Kesenian JakartaJumat, 7 November 2014 / Friday, November 7th 201420:00 WIB / 8.00 PM

TAO Dance Theatre (China)

2 Indonesian Premiere

Page 63: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

61

Page 64: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

62

karya-karyanya yang menggunakan judul berupa angka dan bukan kata-kata, Tao Ye berharap dapat melampaui dualitas abstrak versus pemikiran konkret.TAO Dance Theatre didirikan pada tahun 2008 oleh Tao Ye, seorang seniman yang belajar di Chongqing Dance School di Chongqing, China. Kelompok ini adalah kelompok tari kontemporer Cina pertama yang diundang ke Lincoln Center Festival (US) dan The Sydney Opera House (Australia). Sejak berdirinya, mereka sudah mengadakan tur ke lebih dari 30 negara di lima benua. Pada 2013, TAO Dance Theatre didaulat untuk mengisi

hopes that he can go beyond the binary abstract-versus-concrete thoughts.TAO Dance Theatre was established in 2008 by Tao Ye, an artist who had studied at the Chongqing Dance School in Chongqing, China. This group was the first Chinese contemporary dance group invited to the Lincoln Center Festival (US) and the Sydney Opera House (Australia). Since their establishment, they have toured more than 30 countries in five continents. In 2013, TAO Dance Theatre was invited to perform at the opening of the second Beijing International Ballet and Choreography Competition at the

Page 65: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

63

Choreography : Tao Ye, Duan NiMusic : Xiao HeDancers : Duan Ni, Tao YeCostumes : Tao Ye, Li MinLighting : Ma Yue, Tao YeProducer / Management : Ping Pong Productions (www.pingpongarts.org)Premiere : June 2, 2011 at the Singapore Arts Festival.

A co-commission for the Singapore Arts Festival, NorrlandsOperan / M.A.D.E Festival Sweden, and Dansmakers Amsterdam

Blog (Mandarin) : http://blog.sina.com.cn/taoye1026 Weibo (Mandarin) : http://weibo.com/taodancetheaterFacebook (English) : https://www.facebook.com/TAO.Dance.Theater YouTube (English) : http://www.youtube.com/user/TDT1026

pembukaan Beijing International Ballet and Choreography Competition yang kedua di National Centre for the Performing Arts (NCPA)-tempat yang sangat prestisius di China. Tao Ye telah diundang untuk mengajar dan memberikan workshops di berbagai wilayah di Cina dan di berbagai negara, di antaranya di American Dance Festival, New York University Tisch for the Art, Singapore Arts Festival, Dongyi University of Korea, Beijing Ullens Center for Contemporary Art (UCCA), Beijing Dance Academy, China Central University of Nationalities, dan lain-lain.Koreografer dan pendiri TAO Dance Theatre, Tao Ye, dikenal sebagai seniman yang mengembangkan teknik latihan bagi para para penarinya untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan potensi tubuh manusia hingga batas-batas paling ekstrem.

National Centre for the Performing Arts (NCPA)—a highly prestigious venue in China. Tao Ye has been invited for lectures and workshops in various regions in China and other countries, including at the American Dance Festival, New York University Tisch for the Art, Singapore Arts Festival, Dongyi University of Korea, Beijing Ullens Center for Contemporary Art (UCCA), Beijing Dance Academy, China Central University of Nationalities, Taiwan National University of the Arts and many others.The choreographer and founder of TAO Dance Theatre Tao Ye is developing a practice technique for his dancers to explore the possibilities of the human body’s potential to surpass its extreme limitations.

Page 66: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

64

Pada karya ini Contact Gonzo akan berkolaborasis dengan Yusuke Nishimitsu seorang fotografer Jepang dan Metal Core Band (Skychurch dari Manila adalah kolaborator untuk pertunjukan premier karya ini). Band yang terlibat harus berasal dari Asia dan untuk IDF, kami akan berkolaborasi dengan Rising the Fall, sebuah band asal Jakarta. Karya ini dibuat untuk Asia Contemporary Dance Festival di Kobe, 2014. Festival tersebut bertujuan untuk fokus pada kehidupan masyarakat kontemporer terutama pada transmisi informasi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat hari ini, sejak ekspor impor menggunakan kapal-kapal di masa lalu hingga teknologi internet saat ini. Aliran musik Heavy Metal misalnya adalah sesuatu yang dibawa masuk, melalui compact disc, ke dalam keseharian masa muda mereka-mereka yang kini berusia 30-40-an tahun. Hal ini

In this piece Contact Gonzo will make session with Yusuke Nishimitsu a Japanese photographer and a Metal Core Band (Skychurch from Manila was the collaborator for the premiere). The band must be from Asian region, and for IDF, we will collaborate with Jakarta - based Rising the Fall. The performance was initialy created for the Asia Contemporary Dance Festival in Kobe, 2014. The festival aimed to focus on peoples life today, especially on transmitting information that affects our life, starting from import export by ships in the old days to Internet technology today. Heavy Metal for example was something brought in to our days of youth if you are now around 30-40 years old. It was brought in more by compact discs. This happened quite equally into the Asian region where many heavy metal bands here still expanding the ideas and names

Amphitheatre Salihara, Komunitas SaliharaSabtu, 8 November 2014 / Saturday, November 8th 201422:00 WIB / 10.00 PM

Contact Gonzo (Japan)

Metal, Camera and Flying Objects

Page 67: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 68: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

66

Collaborator : Yusuke Nishimitsu (photographer),Rising the Fall (metal core band).

Contact Gonzo :Masakazu Kobayashi, Takuya Matsumi, Keigo Mikajiri, Ryu Mieno, Yuya Tsukahara.

terjadi secara cukup merata di seluruh Asia dan menghasilkan banyak band heavy metal yang terus memperluas ide dan nama genre tersebut. Dengan adanya internet dalam kehidupan kita, pertukaran informasi menjadi lebih cepat dan pengembangan ide dengan demikian bisa terjadi pada waktu yang hampir bersamaan. Yusuke Nishimitsu, yang karya fotonya memiliki kesamaan dalam hal kecepatan yang bercampur dengan emosi-emosi yang lebih pribadi di dalam gambar-gambarnya, akan memotret kehidupan lokal (dalam hal ini, kehidupan di Jakarta) dan akan ditampilkan pada waktu yang bersamaan. Apakah tubuh akan menjadi yang terakhir untuk ditransmisikan dalam kehidupan modern ini dan apakah mungkin hal itu dilakukan?Contact Gonzo adalah komunitas dari Osaka, Jepang yang menggabungkan referensi improvisasi ‘kontak’ dengan estetika ‘gonzo’ dari wartawan legendaris Hunter S. Thompson. Mereka berkarya di tempat-tempat umum seperti gunung, sungai, galeri, museum, teater dan gang-gang di seluruh dunia. Selain sebagai nama kelompok, Contact Gonzo adalah juga nama bagi metode yang dikembangkan oleh Masaru Kakio dan Yuya Tsukahara sejak 2006. Contact Gonzo juga berkarya di area instalasi, video dan fotografi serta performance untuk teater dan festival tari internasional. Kelompok ini sudah tampil di pelbagai festival semisal Spring Dance Festival, Utrecht, Belanda (2011); Panorama Dance Festival, Rio de Janeiro, Brazil (2012); MoMa Performing Histories, New York, Amerika Serikat (2013); dan Performance at Asia Contemporary Dance Festival (2014). Saat ini Contact Gonzo terdiri dari lima anggota dengan latar belakang yang berbeda yakni Masakazu Kobayashi, Takuya Matsumi, Ryu Meino, Keigo Mikajiri dan Yuya Tsukahara.

of the genre. As internet is introduced to our life, the exchange of information becomes faster and what happens is that developing ideas takes place at the same time. Yusuke Nihsimitsu whose images have a similar kind of speed-ness mixed with more private emotions inside his pictures will be showed at the same time after taking the images of the local life (in this case, of Jakarta). Will the body be the last to be transmitted in this modern life and what could it be done?Contact Gonzo is a collective from Osaka, Japan, that combines contact improvisation references with legendary journalist Hunter S. Thompson’s “gonzo” aesthetics. They work in public sites such as mountains, rivers, galleries, museums, theaters and alleys around the world. Besides being a company, Contact Gonzo is also a name of a method they have developed by Masaru Kakio and Yuya Tsukahara starting on 2006. They also work on creations of installations, videos and photography and creating performance piece for theaters and international dance festivals. Contact Gonzo has performed at various festivals such as Spring Dance Festival, Utrecht, Nedherland (2011); Panorama Dance Festival, Rio de Janeiro, Brazil (2012); MoMa Performing Histories, New York, USA (2013); and Performance at Asia Contemporary Dance Festival (2014). Currently contact Gonzo consists of five members with different back grounds, including Masakazu Kobayashi, Takuya Matsumi, Keigo Mikajiri and Yuya Tsukahara.

Page 69: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 70: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 71: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Showcase

Page 72: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

70 71

Barangan, sebagaimana namanya, diangkat dari kisah penari Lengger Barangan yang hidup di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Barangan berasal dari bahasa Jawa, mbarang yang berarti mengamen. Lengger Barangan merupakan istilah untuk penari lengger yang mengamen. Ini adalah sebentuk kesenian rakyat di Jawa yang tetap bertahan dari serbuan kesenian pop dan berbagai bentuk hiburan pop yang telah merambah segala ruang. Dengan kesederhanaannya yang berakar pada tradisi lokal, Lengger Barangan menjadi bagian kehidupan masyarakat tradisional tempatnya lahir dan hidup, sebagai salah satu bentuk eskpresi tradisional yang terus bergumul dalam arus modernitas. Bagi para pelakunya, bentuk ekspresif tersebut menjadi satu-satunya senjata bertahan hidup. Usaha untuk menjadikan “mbarang” sebagai komoditas yang dapat “diperjualkan belikan” adalah

The title Barangan is taken from a story of a dancer of Lengger Barangan who lives amidst the hustle and bustle of urban life. Barangan comes from the Javanese word—mbarang—which means “to busk.” Lengger Barangan is a name for a lengger dancer who busks for a living. It is a form of traditional art that still survives. It is one of the traditional art forms in Java, keeping its existence under the storm of different art forms and various pop entertainments invading every surface. With its simplicity that is based on the local tradition, Lengger Mbarang is a part of the traditional community’s life in which it was born and lives. It is a form of traditional expression, which is constantly struggling with modernity. For the practitioners, this form of expression becomes the only mean of survival. The effort to transform “mbarang” as a “tradable” commodity is an option that can be understood in two ways: the persistence in challenging the

Teater Kecil, Taman Ismail MarzukiKamis, 6 November 2014 / Thursday, November 6th 201416.00 WIB / 4.00 PM

Otniel Tasman (Indonesia)

Barangan

Berto
Highlight
Page 73: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

70 71

Choreographer : Otniel TasmanMusic director : Bagus Tri Wahyu UtomoDancers : Otniel Tasman, Indriana Arninda Dewi, Rio Tulus Pernando, Dede Ari Prabowo, Sri Hastuti, CahwatiLighting : Zanudhimas SafrudinArtistic : Akhmad Ali MaksumManager : Ika Nurdita LarasatiProduction : Jimaliusphina

rapid changes around these people, or the inability to face every change that is happening.Otniel Tasman was born in 1989 in Banyumas, Central Java. He studied dance at ISI Surakarta, Indonesia from 2007 until early 2014. Otniel Tasman is regularly involved in many productions, dancing for Indonesian choreographers such as Wahyu Santoso Prabowo, Dwi Windarti, Fitri Steyaningsih, Eko Supriyanto, Eko Supendi, Nuryanto, S Pamardi and Suprapto Suryodarmo. Other than that, he also has created several choreographies for singles and also collaborated in an ensemble. Some of his works include Salah, Rohwong, Angruwat, Barangan and Mantra. He has performed in many festivals both in Indonesia and other countries. He was chosen to participate in the ChoreoLab: Process in Progress program held by the Dance Committee, Jakarta Arts Council this year.

pilihan yang dapat dibaca dalam dua cara: kegigihan menantang perubahan yang bergerak cepat di sekitar mereka atau ketidak-berdayaan menghadapi segala perubahaan yang terjadi.Otniel Tasman lahir pada 1989 di Banyumas, Jawa Tengah. Ia belajar tari di ISI Surakarta, Indonesia dari 2007 hingga awal 2014. Otniel Tasman kerap terlibat dalam pelbagai produksi sebagai penari untuk beberapa koreografer Indonesia seperti Wahyu Santoso Prabowo, Dwi Windarti, Fitri Steyaningsih, Eko Supriyanto, Eko Supendi, Nuryanto, S Pamardi dan Suprapto Suryodarmo. Selain itu ia pun sudah menciptakan beberapa koreografi untuk lagu solo dan juga berkolaborasi dengan ensemble. Beberapa karyanya antara lain Salah, Rohwong, Angruwat, Barangan, dan Mantra. Ia telah tampil di berbagai festival di Indonesia maupun di mancanegara. Terakhir, ia terpilih untuk mengikuti program ChoreoLab: Process in Progress yang diadakan oleh Komite Tari, Dewan Kesenian Jakarta.

Page 74: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

72 73

Karya tari Ghulur adalah sebuah karya yang terinspirasi dari kesenian Topeng Ghulur di desa Larangan Barma, Sumenep, Madura. Rangsangan visual dari kesenian itu mendorong Hari Ghulur (Moh. Hariyanto) menciptakan tarian Ghulur. Pertunjukan Ghulur adalah sejenis dialog antara tubuh dengan tanah. Dialog itu terejawantah dalam gerak bergulung-gulung. Dalam karya ini penari bergerak bergulung, melompat, dan juga merayap. Semua dilakukan tanpa adanya gerak atau posisi berdiri. Melalui karya ini, Hari hendak mengungkapkan bahwa tumpuan tubuh tidak selalu berada pada kaki. Seluruh anggota tubuh yang lain dapat menjadi tumpuan.Hari Ghulur atau Moh. Hariyanto lahir di Sampang, Madura 16 Oktober 1986. Ia belajar di jurusan Sendratasik, FBS, Universitas Negeri Surabaya tahun 2010. Selanjutnya ia melanjutkan studi S2

Ghulur is a dance work inspired by the art of Topeng (mask) Ghulur in Larangan Barma Village, Sumenep, Madura island of the Northeastern Java. The visual stimuli of the art encouraged Hari Ghulur (Moh. Hariyanto) to create the dance Ghulur. This dance work is a dialogue between the body and the land. The dialogue is represented through his rolling movement. In this dance work, the dancer would roll, jump and crawl, and every movement is done without a moment of standing up. Through this dance work, Hari is trying to show that the body’s support is not necessarily always on the feet. However, each part of the body can become the support.Hari Ghulur a.k.a Moh. Hariyanto was born in Sampang, Madura on October 16th 1986. He studied dance at the FBS, Universitas Negeri Surabaya in 2010. He then pursued his Master’s degree on Art

Teater Kecil, Taman Ismail MarzukiKamis, 6 November 2014 / Thursday, November 6th 201416.00 WIB / 4.00 PM

Hari Ghulur (Indonesia)

Ghulur

Page 75: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

72 73

Choreographer : Hari Ghulur (Moh. Hariyanto)Dancer : Hari Ghulur (Moh. Hariyanto)Lighting director : Rizakh “Grandong” RahidProducer : Sekar Alit S.PArtistic director : Hery Lentho

di Penciptaan Seni, ISI Surakarta dan selesai tahun 2013. Saat ini ia adalah tenaga pengajar pada STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya dan mendirikan studio tari Sawung Dance Studio di Surabaya. Hari Ghulur kerap menjadi penari banyak koreografer di antaranya Hery Lentho, Peni Puspito, Kuku (Taiwan) dan Carlos Gracia Estevez (Spanyol). Pada World Dance Day 2012, ia menjadi salah satu penari dalam event menari 24 jam di ISI Surakarta. Karyanya “Crossline” mendapatkan hibah Seni Kelola 2013 dalam kategori karya Inovatif. Ia juga terpilih mengikuti kolaborasi koreografer internasional Kaki Seni Art Exchange di Kuala Lumpur, Malaysia (2013).

Creation at ISI Surkarta and graduated in 2013. He is a lecturer at STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta), the high school for the arts, in Surabaya and has established a dance studio, Sawung Dance Studio, in Surabaya. Hari Ghulur often dances for various choreographers, such as for Hery Lentho, Peni Puspito, Kuku (Taiwan) and Carlos Gracia Estevez (Spain). In the 2012 World Dance Day, he became one of the dancers who danced for 24 hours in ISI Surakarta. His work “Crossline” was awarded a grant from 2013 Seni Kelola in the category of innovative work. He was also chosen to participate in a collaboration of international choreographers at the Kaki Seni Art Exchange in Kuala Lumpur, Malaysia (2013).

Page 76: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

74 75

We were One sesungguhnya hendak bercerita tentang manusia dan keberlangsungannya. Terinspirasi dari cerita Adam dan Hawa, sosok manusia pertama, sebagaimana termaktub dalam kitab suci Al quran di mana manusia laki-laki dan perempuan berawal dari satu tubuh yang sama. Namun satu tubuh ini lantas berpisah dan menemukan diri mereka masing-masing. Di dalam diri masing-masing inilah muncul berbagai perbedaan satu dengan yang lainnya. Namun perbedaan tersebut bukannya mengguncang tatanan, melainkan justru menjadi sumber keseimbangan kehidupan. Laki-laki membutuhkan penyeimbang pada perempuan, begitu pun sebaliknya. Dengan demikian, kehidupan menjadi tak lengkap tanpa penyatuan keduanya; penyatuan dalam perbedaan. Karya We were One adalah sebuah refleksi atas pemahaman

We were One endeavors to speak about humans and their continued existence. Inspired by the story of the first humans Adam and Eve, as told in the Quran that said the male and female human came from the same body. However, this one body was then separated and each part found its own self. In these separated bodies, there were differences. However, these differences did not disrupt order; they became the source of balance in life. The man needed a balance from the woman, and vice versa. Thus, life is not complete without the unity of both entities; the unity in differences. We were One is a reflection of an understanding about women and men in such perspective; an understanding that comes from a belief and comprehension of one form of spirituality.Asri Mery Sidowati was born in Bogor, West

Teater Kecil, Taman Ismail MarzukiKamis, 6 November 2014 / Thursday, November 6th 201416.00 WIB / 4.00 PM

Asri Mery Sidowati (Indonesia)

We were One

Page 77: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

74 75

Choreographer : Asri Mery SidowatiDancers : Fajar Prasetyani, Dede Ari PrabowoMusic Director : Abdi PutraLighting Director : Ryoya Fudetani (Japan)Production manager : Anyi Wulan

atas makhluk perempuan dan laki-laki dalam perspektif semacam itu. Sebuah pemahaman yang berangkat dari suatu kepercayaan dan penghayatan terhadap spiritualitas tertentu. Asri Mery Sidowati, lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 27 Maret 1986. Belajar tari secara formal di Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta, (selesai pada tahun 2009). Beberapa karyanya telah dipentaskan di berbagai forum di Indonesia maupun di mancanegara, di antaranya pada Festival Lounge, Indonesian Dance Festival. Karyanya yang cukup menarik perhatian adalah ‘(Re) Evolution’ & ‘Merah’ (2008). Ia kini belajar di Korea National University of Art (KNUA) untuk Master Koreografi. Selain tari, ia juga aktif berteater dan bermusik. Dia bergabung dengan Teater Aya di bawah bimbingan Slamet Rahardjo Djarot dan juga Dapur Teater di bawah seniman Remy Sylado, dan lain-lain.

Java, on March 27th 1986. She studied dance formally at the Performing Arts Faculty, Jakarta Arts Institute (graduated in 2009). Some of her works have been performed in different forums in Indonesia and other countries, including at the Festival Lounge, Indonesian Dance Festival. Her dance work that quite captivated people’s attention was the ‘(Re) Evolution’ & ‘Merah’ (2008). Currently Asri is studying at the National University of Art in the Master of Choreography program in Korea (KNUA). Other than dancing, she is also active in doing theater and music. She joined Teater Aya under the tutelage of Slamet Rahardjo Djarot and also Dapur Teater under the tutelage of Remy Sylado, and many others.

Page 78: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 79: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

LAB

Page 80: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

78 79

“Sisyphus” adalah proyek riset tari yang dilandasi oleh keingintahuan untuk menemukan cara memahami hubungan antara praktik-praktik spiritual tradisional di Jawa, perdukunan dan kaitannya dengan tubuh kekinian kita. Sebagai sebuah riset, Sisyphus taat pada prosesnya yang sistematik dengan tujuan untuk secara bertahap membuka pengalaman yang baru dan memperkaya pengetahuan. Proyek riset ini mendorong anggotanya untuk memahami tubuh sebagai alat yang menjembatani “alam bawah sadar” dan ingatan melalui pengujian dan pengalaman “kerasukan” dibawah bimbingan para ahlinya. Terinspirasi oleh istilah “tubuh tanpa organ” dari Antonin Artaud, proyek ini berusaha memasuki persepsi performing body dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, gerak, energi dan spiritualitas. Metode rekonstruksi dan dekonstruksi

Sisyphus is a dance research project that is based on the desire to understand the relationship between traditional spiritual practices in Java, shamanism and its relation to our modern body. As a research, Sisyphus is following a systematic process in order to gradually open new experience and enrich knowledge. This research project pushes its participants to conceive the body as a tool that connects the subconscious and memory through testing and experiencing a “trance” under the guidance of the experts.Inspired by the term “the body without organs” from Antonin Artaud, this project is trying to explore inside the perception of the performing body and its connection to the social, movement, energy and spiritual environment. The reconstruction and deconstruction method in this project is used to support the release process of

Teater Kecil, Taman Ismail MarzukiJumat, 7 November 2014 / Friday, November 7th 201416.00 WIB / 4.00 PM

Melati Suryodarmo (Indonesia)

Sisyphus

Page 81: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

78 79

Page 82: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

80 81

dalam proyek ini digunakan untuk mendukung proses pelepasan beban fisik (konstruksi-konstruksi lama yang masih dibawa namun tidak ada kaitannya dengan realitas tubuh kekiniannya) yang kemudian memberi kemungkinan untuk menemukan karakter gerakan yang paling signifikan dan individual.Melati Suryodarmo, lahir pada tahun 1969 di Solo, Indonesia. Setelah lulus studi Hubungan International di FISIP UNPAD pada tahun 1993, Melati mulai belajar di jurusan senirupa dengan fokus pada bidang studi Konsep Ruang dan Performance Art di Hochschule fuer Bildende Kuenste Braunscweig (HBK) Jerman pada tahun 1994. Di BHK Braunschweig Melati belajar performance dibawah bimbingan intensif oleh Anzu Furukawa (performance/Butoh) dan Marina Abramovic. Sejak tahun 1996 ketika masih mahasiswa hingga sekarang, Melati telah menampilkan karya performance-nya di berbagai festival internasional dan berpartisipasi apda pameran-pameran seni rupa di berbagai negara, di antaranya: 50th Venice Biennale 2003, Marking the territory, IMMA Dublin. e.t.c. In 2005, Melati Suryodarmo juga tampil di The Van Gogh Museum Amsterdam (2005); Videobrasil Sao Paolo (2005), Haus der Kulturen der Welt Berlin, 52nd Venice Biennale Dance Festival (2007), KIASMA Helsinki (2007), Manifesta7, di Bolzano, Italia (2008), Luminato festival of the arts, Toronto (2012), dan Sensorium 360°, Sngapore Arts Museum, Singapura (2014).

any physical burden (old constructions that are still used but have no relation to the current reality of the body) that later enables the performers to find the most significant and individual character of their movements.Melati Suryodarmo was born in 1969 in Solo, Indonesia. After finishing her study at the International Relation at FISIP UNPAD in 1993, she started to explore fine art, focusing in the Concept of Space and Performance Art at the Hochschule fuer Bildende Kuenste Braunscweig (HBK) Germany in 1994. At HBK Braunschweig she studied performance art under the intensive tutoring of Anzu Furukawa (performance/Butoh) and Marina Abramovic. Since 1996 when she was still a student, until now, Melati has shown her performance artworks in international festivals and participated in art exhibitions in many countries, including: 2003 50th Venice Biennale, Marking the Territory, IMMA Dublin, etc. She also performed at The Van Gogh Museum Amsterdam (2005); Videobrasil Sao Paolo (2005), Haus der Kulturen der Welt Berlin, 52nd Venice Biennale Dance Festival (2007), KIASMA Helsinki (2007), Manifesta7, in Bolzano, Italia (2008), Luminato Festival of the Arts, Toronto (2012), and Sensorium 360°, Singapore Arts Museum, Singapore (2014).

Page 83: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

80 81

Ideas, choreographer, artistic director : Melati SuryodarmoPerformers : Agus Mbendhol Margiyanto, Retno Sulistyorini, Agung Wening Titis, Cahwati Hendra Setiawan, Melati SuryodarmoMusic : Wukir SuryadiLight Design : Tria VitaVideography : Melati SuryodarmoPhotography : Retno Sayekti Lawu

This creation research project is a special commission from : Asian Arts Theatre (AAT) in Gwangju, South Korea with a support from Studio Plesungan (Karanganyar, Indonesia) and Indonesian Dance Festival, 2014

Page 84: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 85: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Master Classes

Page 86: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

84 85

Direktur Artistik Tao Ye telah menciptakan metodenya sendiri dalam melatih para penarinya. Metode barunya ini memungkinkan para penari untuk menghasilkan bahasa tubuh yang unik dan juga untuk meneliti potensi terbesar dalam gaya-gaya gerak mereka sendiri. Maka, bergabunglah dengan Tao Ye dan grup TAO Dance Theater-nya untuk kelas intensif eksplorasi dan penemuan fisik. Melalui permainan untuk merilekskan tubuh dan latihan-latihan membuka pikiran, para peserta akan mengalami secara langsung teknik-teknik gerak baru dari Tao Ye. Teknik-teknik yang akan diajarkan Tao Ye dalam kelas ini adalah teknik-teknik yang pernah diajarkannya di Singapura, Swedia, Belanda, Jerman dan beberapa negara lainnya. TAO juga akan mendemonstrasikan dan mengajarkan nukilan dari repertoar milik grup tersebut yang menuntut begitu banyak kemampuan fisik. Tao Ye mengatakan, “dalam kelas ini, kita akan menantang kemampuan tubuh kita, mempertajam kejelasan dari kemampuan respons kita, sehingga pikiran menjadi lebih sadar akan setiap nuansa detail tubuh, dan memperpanjang keterjagaan kita melampaui batas-batas tubuh kita guna ke luar menuju ruang di sekitar kita.”

Artistic Director Tao Ye has been developing his own way of training his dancers so they are able to execute his unique physical vocabulary, and also to reach greater potential in their own movement styles. Join Tao Ye and his company TAO Dance Theatre for a class of intensive physical exploration and discovery. Through games to relax the body and exercises to open the mind, participants will experience first-hand Tao Ye’s new movement techniques that he has been invited to teach in Singapore, Sweden, Holland, Germany and more. TAO also demonstrates and teaches excerpts of the company’s physically demanding repertory. Says Tao Ye, “In this class, we will challenge the ability of our own body, sharpen the clarity of our responsiveness so that the mind becomes more conscious of the body’s every detailed nuance, and extend our awareness beyond the limits of our body out into the space around us.”

Ruang C, Fakultas Seni Pertunjukan IKJKamis, 6 November 2014 / Thursday, November 6th 201410.00 WIB / 4.00 PM

Tao Ye & TAO Dance Theatre (China)

Teknik-teknik Tubuh yang Baru New Body Techniques

Page 87: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

84 85

Page 88: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

86 87

Not only heavily influenced by traditional dance techniques, Rianto is also exploring the methodology of contemporary dance creations. He wants to show a communication of the body that is based on a form of discommunication. He also wants to show a form of communication that doesn’t involve any touch between the bodies. By emphasizing these things, Rianto is essentially creating his own dance technique that is free from any western method. He fully concentrates on a creation of a typically Asian body movement, “the Asian body”. In the past years, Rianto has gone back to dive deep into his traditions, by living a traditional life and exploring the base of the traditional Lengger Bayumasan dance from Central Java. However, he has a special interest in

Selain sangat terinspirasi dengan teknik tari tradisi, Rianto juga mendalami metodologi penciptaan gaya kontemporer. Rianto ingin menunjukkan gambaran komunikasi tubuh yang berdasarkan atas dis-komunikasi dan juga cara komunikasi yang sebisa mungkin menghindari sentuhan antartubuh. Dengan menekankan hal itu, Rianto sebenarnya menciptakan sebuah teknik tari yang khas miliknya dan sama sekali tidak bersentuhan dengan metode barat. Ia sepenuhnya berkonsentrasi pada penciptaan gerak tubuh yang khas Asia, “Tubuh Asia”. Dalam beberapa tahun terakhir, Rianto kembali menyelami tradisinya yakni dengan menjalani kehidupan tradisional sehari-hari dan juga mendalami dasar tari rakyat Lengger

Ruang C, Fakultas Seni Pertunjukan IKJJumat, 7 November 2014 / Friday, November 7th 201410.00 WIB / 10.00 AM

Rianto (Indonesia)

On-Off , Balance-Unbalance pada Tubuh TradisiOn-Off, Balance-Unbalance in the Body of Tradition

Page 89: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

86 87

Banyumasan, Jawa Tengah. Namun ia juga punya minat khusus terhadap representasi tubuh dalam seni tari modern. Dua hal ini membuatnya bisa ke luar dari jalur pemikiran logis dan membawanya masuk dunia gerak tubuh yang irasional dan tidak dapat dijelaskan, misalnya situasi tubuh yang kerasukan roh. Rianto dalam program Master Class Indonesian Dance Festival 2014 akan membagikan pengalamannya menggali kembali kemungkinan tubuh penari Asia untuk menjadi tubuh yang baru. Tubuh baru ini adalah tubuh dengan keunikan ragam gerak yang didapatkan dengan membagi energi tubuh “on-off”, “balance-unbalance”, serta kemungkinan-kemungkinan teknik baru lainnya.

the body representation in modern dance art. These two elements enable him to go out of the path of logical thinking and bring him into a world of irrational and inexplicable body movement, such as a body that is in a trance state. Rianto in the Master Class program at the 2014 Indonesian Dance Festival will share his experience in rediscovering the possibilities of Asian dancers’ bodies to be made into new bodies with unique and diverse movements. This should be done by sharing an “on-off”, “balance-unbalance” body energy, and other possibilities of new techniques.

Page 90: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 91: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Special Program and Discussion

Page 92: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

90

Program ini bertujuan untuk menunjukkan salah satu irisan realita di pentas tari Indonesia ketika banyak penari yang menurunkan kecintaan menarinya pada anaknya. Hubungan darah pun diperkaya oleh hubungan artistik. Di irisan realita lainnya, profesi penari secara umum sering mendapat tantangan dari masyarakat. Banyak orang tua—terutama di kalangan kelas menengah urban—mendorong anaknya untuk mengambil kursus tari sebagai kegiatan ekstra-kurikuler. Namun, mereka keberatan ketika anaknya serius menekuni ‘hobi’ ini dan lantas berniat menjadikannya profesi di kemudian hari. Penari masih dianggap sebagai sekedar hobi dan bukan profesi yang bisa disejajarkan dengan profesi di bidang lainnya. Bahkan, di bidang seni lainnya pun profesi penari dianggap sebelah mata dibandingkan dengan arsitektur ataupun desain yang memang telah berkembang menjadi industri.

This program intends to show one piece of reality in the Indonesian dance scene where a lot of dancers inherit their love of dancing to their children. Blood relation is enriched by artistic connection. Another piece of reality is that dancers are often challenged by the society. Many parents—mainly urban middle class—who support their children to take up dance lesson as an extracurricular activity but object when they want to seriously pursue this ‘hobby’ and intend to make it as a profession in the future. Dancing is still considered as a hobby and dancer is not considered equal to other professions, even artistic professions such as architect or designer that have developed their own industry.The Ibu & Anak program is characterized by these two contrasting pieces of reality and it tries to picture them based on real stories. This session may question these realities, but it will make any judgment.

Galeri Salihara, Komunitas SaliharaSabtu, 8 November 2014 / Saturday, November 8th 201416.00 WIB / 4.00 PM

Program Spesial: Ibu & Anak / Mother & Child

PANGGUNG ADALAH TAMAN BERMAINKUThe Stage is My Playground

Page 93: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 94: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

92

Program Ibu & Anak diwarnai oleh dua realita yang kontras ini dan berusaha menggambarkannya berdasarkan cerita yang beredar. Bisa jadi mempertanyakan realita itu, namun tidak untuk menghakimi. Presentasi karya dalam sesi ini akan dipersembahkan oleh Mamaqu-penari, sebuah komunitas yang beranggotakan beberapa alumni Jurusan Tari, Institut Kesenian Jakarta yang kini sudah menjadi seorang ibu beserta anak-anaknya. Mereka berkumpul untuk menyatukan visi seni budaya serta mencoba mewadahi dan melanjutkan apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Kelompok ini berusaha memanfaatkan ‘warisan darah seni’ pada anak-anak mereka untuk mentransfer pengetahuan, fisi kebudayaan, dan jati diri mereka sebagai penari.

The performance in this session will be presented by Mamaqu-penari, a community whose members are graduates from the Dance Department of Jakarta Arts Institute, who are now mothers themselves, with their children. They got together to unite their artistic and cultural visions and try to provide a space to continue what they have been doing so far. This group endeavors to take advantage of their artistic characteristics, passed on to their children, as a way to transfer their knowledge, cultural visions and identity as a dancer.

Acara / Agenda : Pemutaran video cuplikan pertunjukan Screening of a performance video Pemutaran video profil Hartati dan Retno Maruti Screening of profile videos of Hartati and Retno MarutiPresentasi karya oleh Komunitas Mamaqu-penari. Performance by Komunitas Mamaqu-PenariDiskusi Regenerasi Profesi Penari dan Koreografer di Indonesia. Discussion: The Regeneration of Dancers and Choreographers in Indonesia

Nara Sumber / Sources : Retno Maruti, Rury Nostalgia, Hartati, dll

Page 95: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

93

About dance is a discussion forum where some dance practitioners engage to talk about specific theme/problem in dance. This time we gather choreographers and producer to discuss about collaboration and co-production, tapping into reflections on their shared experiences. Moderated by IDF curator Tang Fu Kuen, the discussion will invite choreographers Katia Engel and Eko Supriyanto; artist Melati Suryodarmo and dance producer Alison Freedman of Beijing-based Ping Pong Production in this informal panel.

Bicara Tari adalah forum diskusi yang melibatkan beberapa praktisi tari untuk berbicara tentang tema tertentu atau masalah tertentu dalam tari. Kali ini Indonesian Dance Festival menghadirkan koreografer dan produser untuk membahas tentang kolaborasi dan co-produksi. Dalam diskusi kali ini akan ditekankan perihal refleksi dan sharing pengalaman dari para pembicara. Diskusi ini akan mengundang koreografer Katia Engel dan Eko Supriyanto, seniman Melati Suryodarmo dan Alison Freedman, produser dari Ping Pong Production yang berbasis di Beijing. Diskusi informal dan santai ini akan dimoderatori oleh Tang Fu Kuen, kurator dari Indonesian Dance Festival 2014.

Serambi Salihara, Komunitas SaliharaSabtu, 8 November 2014 / Saturday, November 8th 201413:00 WIB / 1.00 PM

Diskusi / Discussion

Bicara Tari ABOUT DANCE

Pembicara / Speakers : Katia Engel; Eko Supriyanto; Melati Suryodarmo; Alison FreedmanModerator : Tang Fu Kuen

Page 96: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 97: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

LIFETIME ACHIEVEMENT

AWARD

Page 98: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

96

Adalah sebuah program penghargaan yang diberikan kepada tokoh-tokoh individu atau kelompok yang telah memberikan kontribusi besar pada pengembangan seni tari di Indonesia. Program yang dilakukan oleh Indonesian Dance Festival (IDF) sejak tahun 2012 ini bukan sekadar ucapan terima kasih pada dedikasi, perjuangan, dan kegigihan tokoh-tokoh yang selama hidupnya terus mengupayakan kemajuan dunia tari secara luas, tapi juga sebagai upaya untuk mengenang dan mengabadikan peran dari tokoh-tokoh penting dalam seni tari di Indonesia serta mengambil inspirasi dari pengabdian mereka terhadap pengembangan kreativitas seni tari yang tak pernah selesai. Inspirasi

The 2014 IDF Lifetime Achievement Award is given to individuals or groups that have contributed greatly to the development of dance art in Indonesia. The award program that has been initiated by the Indonesian Dance Festival since 2012 is not just a way to express gratitude towards the dedication, struggle and tenacity of these figures who have been trying to develop the dance world widely for a long time, but it is also an effort to commemorate and immortalize the roles of these important figures in Indonesian dance scene. Their devotion in the dance world is inspiring as they never stop increasing the endless creativity in dance. The inspiration also comes from the life of the dance figures

Sal Murgiyanto, PhDIDF Lifetime Achievement Award 2014

Page 99: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

97

Page 100: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

98

dari kehidupan para tokoh tari yang telah bekerja dan memberikan warisan bagi generasi berikutnya.IDF Life Time Achievement Award 2014 diberikan kepada Sal Murgiyanto, PhD. Bagaimana pun keberadaan IDF tak dapat dilepaskan dari peran tokoh ini. Dalam dunia seni tari, Sal Murgiyanto dikenal sebagai seorang kritikus tari yang paling konsisten menulis dan melakukan penelitian sekaligus menjadi pendidik dengan pengalaman yang sangat luas. Sal Murgiyanto lahir di Surakarta, 27 Desember 1945.Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta, ia melanjutkan studi S-2 di Department of Theatre and Dance, University of Colorado (MA 1976). Gelar doktor di bidang kajian seni pertunjukan diperoleh dari Department of Performance Studies, New York University dengan disertasi Moving between Unity and Diversity: Four Indonesian Choreographers (1991). Ia pernah menjadi penari Sendratari Ramayana Prambanan, Jawa tengah, dan terlibat dalam beberapa karya tari Sardono W Kusumo. Selain menari, Murgiyanto juga menciptakan karya koreografi, di antaranya Damarwulan; Candrakirana, dan Sukosrono-Sumantri. Sal Murgiyanto pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1978-1985), Konsultan Yayasan Kesenian Jakarta, menjadi anggota World Dance Alliance Asia Pacific Centre, serta menjadi Ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI 1993-1997). Dan sebagai inisiator event tari, Sal Murgiyanto adalah sosok penting peletak dasar IDF. Ia juga adalah direktur pertama IDF sejak berdirinya pada tahun 1992 hingga 2004. Sebagai seorang kritikus tari, Murgiyanto aktif menulis kritik di berbagai majalah dan surat kabar. Beberapa buku yang ditulisnya di antaranya: Ketika Cahaya Merah Memudar (1993) Teater

who have worked and bequeathed their legacy to the next generation.The 2014 IDF Lifetime Achievement Award is given to Sal Murgiyanto, PhD., considering the existence of the Indonesian Dance Festival is very much related to the role he has played in it. In the dance world, Sal Murgiyanto is known as the most consistent dance critic in writing and undertaking research, and also working as lecturer, equipped with vast experience.Sal Murgiyanto was born in Surakarta, December 27th 1945. After he finished his study at ASTI Yogyakarta, he pursued his Master’s degree at the Department of Theatre and Dance, University of Colorado (MA 1976). His doctorate program in performance studies was taken at the Department of Performance Studies, New York University, resulting in his dissertation titled Moving between Unity and Diversity: Four Indonesian Choreographers (1991).He had danced in the Sendratari Ramayana Prambanan, Central Java, and was also involved in several dance works from Sardono W. Kusumo. Other than dancing, Murgiyanto has also created choreographies, including Darmawulan, Candrakirana and Sukosrono-Sumantri. Sal Murgiyanto was a member of the Jakarta Arts Council (1978-1985), the consultant for Jakarta Arts Foundation, a member of World Dance Alliance Asia Pacific Centre, and the chairperson of Indonesian Performance Art Community (MSPI, 1993-1997). And as an initiator of dance events, Sal Murgiyanto is an important figure who founded the basis of the Indonesian Dance Festival. He was the first director of the Indonesian Dance Festival, from 1992 until 2004.As a dance critic, he actively writes in different magazines and newspapers. The books that he has published include Ketika Cahaya Merah Memudar (1993),

Page 101: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

99

Daerah Indonesia (1996 bersama I Made Bandem), Kritik Tari (2002) dan Tradisi dan Inovasi (2004). Ia telah memberikan banyak pelatihan kritik tari dan mempresentasikan makalah di berbagai seminar di Indonesia maupun di mancanegara. Sebagai pendidik, Sal Murgiyanto telah menjadi pengajar di beberapa universitas dan akademi, di antaranya di Institut Kesenin Jalarta, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan di Departemen Tari National Institute of Arts, Taipei, Taiwan. Sal Murgiyanto juga telah menerima berbagai penghargaan, di antaranya dari Smithsonian Institution, Wahington D.C., sebagai pemimpin rombongan Indonesia yang tampil di Smithsonian Folkways Festival (KIAS 1991); penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI 2008) sebagai Pemrakarsa dan Penyelenggara IDF yang berskala Internasional, dan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden RI (2013) sebagai penari, kritikus seni dan akademisi.Dengan pengalamannya yang luas, hingga kini Sal Murgiyanto tetap tekun mengamati dan mengikuti perkembangan seni tari di Indonesia maupun di dunia. Juga terlibat secara aktif dalam diskusi seni di Indonesia. Selain sebagai sosok penting yang berada di belakang pendirian IDF, Sal Murgiyanto dikenal luas di kalangan praktisi dan akademisi tari di luar negeri. Dengan latar belakang tersebut, dengan bahagia IDF memberikan Life Time Achievement 2014 kepada sosok yang tekun dan pendiam ini. Penghargaan ini diharapkan menjadi inspirasi kalangan muda untuk meneruskan dedikasinya di bidang seni tari.

Teater Daerah Indonesia (1996 with I Made Bandem), Kritik Tari (2002) and Tradisi dan Inovasi (2004). He has given many trainings in dance criticism and presented his papers in various seminars in Indonesia and other countries.As a lecturer, Sal Murgiyanto has been working in several universities and academies, including Jakarta Arts Institute, the Master’s degree Program at the Gadjah Mada University Yogyakarta and the Department of Dance of the National Institute of Arts, Taipei, Taiwan.Sal Murgiyanto has been given various awards, including an award from the Smithsonian Institution, Washington D.C. as the leader of the Indonesian team who performed at the Smithsonian Folkways Festival (KIAS, 1991); an award from the Indonesian World Record Museum (MURI, 2008) as the Initiator and Organizer of the Indonesian Dance Festival—an international event; and Satyalancana Kebudayaan from the Indonesian president as a dancer, art critic and academic.With his extensive experience, Sal Murgiyanto continues to observe and follow the development of the dance scene both in Indonesia and around the world. He is also actively involved in art discussions in Indonesia. He is not only one of the important figures in the establishment of the Indonesian Dance Festival, but also known widely by dance practitioners and academics abroad. With such a background, it gives IDF great pleasure to present the 2014 IDF Lifetime Achievement Award to this diligent and quiet figure. It is hoped that this award will inspire the younger generation to continue the dedication to the art scene.

Page 102: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Our Sponsors

Page 103: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

The Committee

Board of Trustees : Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Dr. Arie Budiman.

Advisory Board :Rektor Institut Kesenian Jakarta : Dr. Wagiono SunartoKetua Pengurus Yayasan Seni Budaya Jakarta : Slamet Rahardjo DjarotDekan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ : Hari Poerwanto, SE., M.Sn.Dr. Sal MurgiyantoDrs. H. SuparmoH. Soedarmaji J.H Damais

Artistic Board : Tang Fu Kuen : Daisuke Muto : Dr. Helly Minarti : Nungki Kusumastuti S. Sn.,M.Sos. : Maria Darmaningsih, S.Sn.,M.Ed.

Executive Director : Maria Darmaningsih, S.Sn.,M.Ed.Finance Director : Nungki Kusumastuti, S.Sn.,M.Sos.Administration & Management Director : Melina Surja Dewi S.Pd, M.Si.Consultant : Adi WicaksonoGeneral Secretary : Yessy ApriatiFinance Manager : Lusiati KD S.Sn.,M.SiFinance Staff : Sri Endah Padminingrum : Bawon

Secretariat : Anna Rini : Rahma

Sponsorship Team : Nungki Kusumastuti : Maria Darmaningsih : Melina Surja Dewi : Menik Soerjosetanto : Widia Djatingrum

Publication : Widya SumadioMedia Relationship : Hendra Bagya Social Media : Reza EshuisCopy Writer : Berto TukanVisual Design : TandunWeb Designer : Wilson Santoso Ceremony & Protocol : Bekti Lasmini S. Sn.,

Page 104: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)
Page 105: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Translator : Ariyantri EddytarmanInterpreter : MN Qomaruddin

Invitation & Ticketing : Marjuki S.E. : Damianus Nindyotomo : Rizky Baihaqi : Aneke Khairunisa : Tarini

Liaison Officer & Transportation : Kartika & Cindy Tania

General Division : Widaryaningsih S.E. Anggawati S.E. Hendi Wijaya Zulaikah Supardjo Hermanto Saidi Soleh Riki Angga Sanim Erik Syahrul

Stage Production : Iskandar Ludin Tri Sapto Sonny Soemarsono Rico Fresti Deray Yuwono Takariyanto Sinyo Rudi Pulingala P. Hermanto Romi Romanix

Photo Documentation : Gusti Dibal - IdeaSeniVideo Documentation : Fendi Siregar & TeamAchievement Award’s video : Bambang Supriadi & TeamAward Designer : Astari RasjidVideo Highlight & Bumper : Gandung Bondowoso & Team

Coordinator ProgramDiscussion : Berto TukanMaster Classes : Sita TyasutamiSpecial Program: Ibu & Anak : Yola Yulfianti : Herlina Syahrifuddin

Showcase : Rizki Ressa “Sasaran Silek” : Benny Krisnawardi“Young Choreographers Workshop” : Rini Widiastuti & Ery Ekawati S.Sn.Pra event @GIK : Herlina SyarifuddinOpening Night : Haryati Abelam YunantoInternational Guest : Syinta WibowoIDF Historical Exhibition : ruangrupa corps

Page 106: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

friends of idf

1 Rifa Zahirsjah2 Afi Shamara3 Chew Sin Hwa4 Atilah Soeryadjaya5 Astari Rasjid6 Niken Rachmad7 Soraya Roshanty8 Agus Haryo9 Bondan Winarno10 Susbandono11 Indira Hadi12 Miranti Pakpahan13 Regina Mitshiko14 Wati Gandarum

15 Renitasari16 Adi Pardianto17 Myrna Ratna M18 Putu Fajar Arsana19 Adila Soewarmo20 Restu Imansari21 Dolly22 Raditya Wibawa23 Dinny Yusuf24 Nina Yusuf25 Eny Sulistyowati26 Alan Feinstein27 Yayasan Indonesia

Lebih Baik

Page 107: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

Bapak Basuki Tjahaja PurnamaBapak Arie Budiman Bapak Wagiono Sunarto Bapak Hari PoerwantoBapak Bambang SubektiBapak SusbandonoIbu Adila SuwarmoIbu RenitasariBapak Rikard Bagun Ibu Myrna RatnaBapak Kiki Barqi Ibu Niken RachmadIbu Astari RasjidIbu Afi ShamaraIbu Rifa ZahirsjahBapak Chew Sin HwaIbu Wati GandarumIbu Yatty SaptodewoIbu Sri AgustiniatiIbu Atilah SoryadjayaIbu DollyIbu Mayke MalaonFakultas Seni Pertunjukan – IKJFakultas Film & Televisi – IKJFakultas Seni Rupa – IKJTeater Jakarta

Taman Ismail MarzukiGedung Kesenian JakartaKomunitas Salihara Goethe Institut Jakarta Institut Francais IndonesiaJapan Foundation Hotel Treva InternationalTupperware IndonesiaKOMPAS MingguPT. Bank Central Asia, TbkAie Angek Cottage BukittinggiWardah BeautyAsian Cultural CouncilPerhimpunan Pengusaha TionghoaInstitut Seni Indonesia – PadangpanjangInstitut Seni Indonesia – SurakartaTaman Budaya SurakartaPT. Jaya Ancol, Tbk PT. Bank DKI (Persero), TbkEat & EatGaleri Indonesia KayaGaruda FoodYayasan Indonesia Lebih Baik

Semua media partner idf

terima kasih, kepada:

Page 108: Indonesian Dance Festival 2014: Cataloque (Expand)

VENUE :

GOETHEHAUS JAKARTAJalan Dr Sam Ratulangi No. 9 – 15, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia.

KOMUNITAS SALIHARAJalan Salihara No.16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia.

GEDUNG KESENIAN JAKARTA Jalan Gedung Kesenian No. 1, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia.

TAMAN ISMAIL MARZUKIJalan Cikini Raya No.73, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia.

INSTITUT KESENIAN JAKARTAJalan Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia.