Upload
builien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT
DENGAN PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA
SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN
(Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Pasal 77
huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
NOVITA AKRIA PUTRI
NIM : 1111048000024
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I pada Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah I akarta
Semua sumber data yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan Slcripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya ini merupkan hasil
dari tindakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
mber 2015
1.
2.
J.
utat,04cip
(
\
\\
Iw188475
.'Akiri"Putri-
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTTTUSI TERKAIT
DENGAN PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA
SEBAGAI OBJEK PRAPERADTLAN
(Studi Kasus: Putusan MK Nomor 2|/PUU-X lZ2[l4tentang Pengujian PasalTT
huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenrlhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
NOVITA AKRIA PUTRI
NIM: 1111048000024
'1P!,:B aw.a._h, .B iinbin g[n
W:,U----;i/.ab'|r,DR. Diawahir Heiaziev. SH. MA... 4...: r:'"::: ..
NIP: 195510151979031002
. KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN IIUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1436 Ht20ts M
SURAT PENGESAHAN UJIAN SKIRIPSI
Skiripsi berjudul lmplikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penambahan
Normafenetapan Tersangka Sebagai Objek Praperaditan (Studi Kasus: Putusan MKNomor 21iPUU-XIA}0d{ tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No"8
Tahun 1981_ te4tang Hukum Acara Pidana) telah diujikan dalam sidang Munaqasah
Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif hidayatullah Jakxta,23
September 2015. Skiripsi ini telah di terima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan
Negara.
Jakarta- 23 Seotember 2015 M10 Dhul-hijjah 1436 H
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
f--,-
NrP. 196912161 99603 1001
1. I(etua
2. Seketaris
3. 'Pembimbing
4. Penguji I
Panitia Ujian Munaqasah
: Drs.Asep Syarifudin Hidayat.SH.MHNIP. 19691 1211994031001
: Drs.Abu Tamrin. SH.M.HumNrP. 1 96s0908 I 99503001
: Dr.Dj awahir Hej azziey. SH..MA..MHNIP. 19500306197603 1001
: Prof.Dr.H.A. Salman Maggalatung.SH."MHNIP. 1 9540303t97 611 1 001
:Eitria.SH..MRNrF. 1 9790 82220t I 01 2007
5. Pengrdi II
ii
ABSTRAK
Nama : Novita Akria Putri
Program Studi : Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara
Judul : “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait
Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek
Praperadilan (Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang
Pengujian Pasal 77 Huruf A Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana)”
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 dan implikasinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan suatu pasal dalam suatu undang-undang yang diujikan. Penulis
meneliti pada pokok permasalahan yakni bahwa pada putusan Mahkamah
Konstitusi tidak hanya membatalkan suatu norma atau pasal, melainkan pula
menambahkan suatu norma. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis
normative dengan menggabungkan teori pengujian undang-undang, pembatasan
kekuasaan dan dikaitkan dengan prinsip checks and balances. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pada Pasal 77 huruf a UU
No.8 tahun 1981 adalah salah satu cerminan bahwa putusan Mahkamah, adalah
putusan yang memasuki ranah legislative dengan menambahkan norma penetapan
tersangka sebagai salah satu objek praperadilan.
Kata kunci:
Putusan Mahkamah Konstitusi, Penambahan Norma, Implikasi, dan Prinsip check
and balances.
iii
ABSTRACT
Name : Novita Akria Putri
Study Program : Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara
Title : “Implications of Constitutional Court’s Role to
Additional Norm Determination of The Suspect as Pretrial Object (Case
Study: Constitutional Court Judgement No.21/PUU-XII/2014 regarding
Judicial Review Article 77 point A on Law No. 8 tahun 1981 regarding
Criminal Procedure Law)”
The purpose of this thesis is to investigate and analyse the authority of the
Constitutional Court in testing the law against the 1945 Constitution and its
implications for the Constitutional Court's decision to cancel a clause in a statute
tested. The author examines the main issues that the decision of the Constitutional
Court not only cancel a norm or article, but also adds a norm. Writer using
normative juridical research method by combining the theory of judicial review,
the limitation of power and associated with the principle of checks and balances.
Constitutional Court Decision No. 21 / PUU-XII / 2014 concerning the test in
Article 77 letter a of Law No. 8 of 1981 is a reflection that the Court's decision, is
the decision to enter the realm of legislative norm-setting by adding the suspect as
one of the objects pretrial.
Key words:
Judgement of Constitutional Court, Additional Norm, Implication, and Check and
balances principle.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, adalah kalimat pembuka dari barisan kata pengantar yang
hendak penulis uraikan. Segala puji, syukur, dan sujud kehadirat Allah SWT,
yang selalu melimpahkan rahmat, ampunan, serta keberkahan-Nya sehingga
penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Selawat serta salam,
hendaknya selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi bingkai
uswatun hasanah bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Skripsi yang berjudul: “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek
Praperadilan (Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang
Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi
persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) pada jurusan Ilmu Hukum
Konsentrasi Kelembagaan Negara Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bahwa dibalik sebuah proses, tentu tidak hanya penulis yang tunggal
dalam memotivasi diri, suksesnya penulisan skripsi ini adalah karena dorongan,
nasihat, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka penulis ingin
mempersembahkan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibu Asih Asmanah dan Bpk H.Sukri adalah
kedua orang tua yang selalu menguatkan, menasihati, dan tak bosan berdoa
v
di sepertiga malamnya demi keberkahan ilmu penulis dunia dan akhirat.
Semoga selalu tercurah keselamatan dan rahmat Allah SWT bagi dua insan
yang amat penulis cintai ini. Amin.
2. Dr.H.Asep Saepudin Jahar.,MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat,SH.MH dan Abu Tamrin,SH.,M.Hum,
Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr.H.Djawahir Hejaziey,SH.,MA, Dosen Pembimbing yang memberikan
nasihat, motivasi, serta perbaikan-perbaikan yang konstruktif selama
penyusunan skripsi ini.
5. Dr.JM.Muslimin,MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu menguatkan semangat
dan motivasi dari segi tantangan studi.
6. Fitria S.H.MR, Nurohim Yunus, LLM, Nur Habibi Ihya,SH.I.MH, Indra
Rahmatullah,SHI.,MH, Hidayatulloh,SHI.,MH, Dosen Fakultas Syariah
dan Hukum yang senantiasa selalu mendampingi penulis dan tim ketika
menjadi delegasi perwakilan universitas dalam setiap kompetisi.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa mencurahkan ilmunya untuk
penulis.
8. Segenap Pengelola Perpustakaan, Kepala dan Staff Bagian Umum, Bagian
Keuangan, Bagian Akademik serta seluruh civitas akademika di Fakultas
vi
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mengisi hari-hari penulis selama menyelesaikan studi.
9. Segenap Guru dan Sahabat Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta
Selatan yang nasihatnya selalu menjadi penyemangat dalam setiap tindakan
penulis menyelesaikan studi.
10. Azhar Arief, S.E yang memberikan semangat, doa, waktu, kata-kata, dan
mendampingi penulis selama penyusunan skripsi ini.
11. Senior Ilmu Hukum, Hilda Hilmiah Dimyati, S.H, Arief Hanani, S.H, Endah
Sulastri,S.H, Sri Hayati,S.H, Rizky Haryo Wibowo,S.H adalah senior yang
sangat membantu penulis dalam proses belajar selama dalam organisasi
Moot Court Community.
12. Keluarga Besar Moot Court Community, Ryan Chandra Ardhyanto, Afrita
Nurul Afthi, Siti Nur Avivah, Bustomi, Ummu Salamah, Iwan Kurniawan,
M.Raziv Barokah dan Teguh Triesna Dewa (My Team), Aisyah Yusriyyah
Akhdal, Syah ul Haqq, Alfida Husna, Hamalatul Qurani, Abdulatif Zainal,
Reinaldo Rianto, dan seluruh pengurus serta anggota Moot Court
Community yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga tetap
menjadi basis organisasi penggenggam prestasi, Harumkan nama
Almamater kita!
13. Rekan-rekan Ilmu Hukum, Pengurus Angkatan Muda Peduli Hukum 2013-
2014, Pengurus PSHK 2014-2015, Rekan kelas Hukum Kelembagaan
Negara angkatan 2011, Rekan kelas Hukum Bisnis angkatan 2011, kalian
adalah rekan yang sangat akademis dalam diskusi dan organisasi.
vii
Akhirnya atas jasa, semangat dan doa dari semua pihak baik secara
moril maupun materil, penulis berdoa semoga Allah memberikan kebaikan
pahala atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin.
Ciputat, 7 September 2015 M
23 Dzulkaidah 1436 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………… i
ABSTRAK...…………………………………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... . 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... . 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................... . 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... . 8
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................ 10
E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual .................................... 12
F. Metode Penelitian .............................................................................. 17
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 22
BAB II KERANGKA TEORITIS...……………………………………………25
A. Realisasi Negara Hukum dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap
UUD 1945 .......................................................................................... 25
B. Penambahan Norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi .............. 30
C. Penetapan Tersangka Sebagai Tambahan Objek Praperadilan .......... 33
BAB III PROFIL LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA ........................................................................................ 39
A. Sejarah Dibentuknya Mahkamah Kostitusi dalam Rangka Reformasi
Yudikatif ............................................................................................ 39
ix
B. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang
Terhadap UUD 1945.......................................................................... 46
BAB IV ANALISIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 21/PUU-XII/2014 ............................................................... 52
A. Dasar Pertimbangan Mahkamah atas Putusan Penetapan Tersangka
Sebagai Objek Praperadilan .............................................................. 60
B. Implikasi Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 terhadap Penambahan
Norma Penetapan Tersangka pada Objek Praperadilan..................... 66
C. Faktor Yang Mempengaruhi Putusan MK Nomor 21/PUU-XII
/2014 .................................................................................................. 75
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................ 81
B. Saran .................................................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 85
LAMPIRAN
Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 ................................................................ 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peraturan perundang-undangan akan selalu tertinggal dengan
perkembangan masyarakat yang berjalan lebih cepat. Karena itu ada
sebuah pameo menyatakan, het recht hinkt achter de feiten aan, artinya
hukum dengan terpontang panting mengikuti peristiwanya dari belakang.1
Jika memandang Indonesia yang merupakan negara hukum, sudah
sepantasnya menjadikan hukum sebagai landasan utama berjalannya
penyelenggaraan negara. Negara hukum Indonesia dapat direalisasikan
dengan pilar-pilar utama penyangganya2 yakni beberapa di antaranya
adalah pembatasan kekuasaan, peradilan bebas dan tidak memihak,
perlindungan hak asasi manusia, serta didirikannya suatu lembaga
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk pelaksanaan hukum agar tidak
lagi terpontang-panting mengikuti peristiwa di belakangnya.3
1 Janedjri M.Gaffar, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2013), h.V.
2 Uraian masing-masing prinsip negara hukum dari Prof, Jimly Ashiddiqie mencangkup
12 pilar utama penyangga, yakni. Supremasi hukum, Persamaan dalam hukum, asas legalitas,
pembatasan kekuasaan, organ-organ penunjang yang independen, peradilan bebas dan tidak
memihak, peradilan tata usaha negara, Mahkamah Konstitusi, Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Bersifat demokratis, berfungsi sebagain sarana mewujudkan tujuan bernegara, transparansi dan
control sosial. Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh semakin
kuatna penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan bernegara
menggantikan model-model negara tradisional.
3Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h.132.
2
Sejalan dengan pandangan dari Cicero yaitu “Ubi Societas Ibi
Lius” bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum. Dengan kata lain
hukum berfungsi sebagai sarana pengendali social (social control).4 Ketika
dimanisasi problematika yang terjadi di tengah masyarakat mulai
meningkat, setidaknya hukum haruslah menjadi alat kontrol agar
masyarakat tetap terlindungi haknya, dan terciptanya ketertiban serta
perdamaian.
Mewujudkan negara yang memberikan perlindungan atas hak
warga negaranya adalah salah satunya dengan dibentuknya MK yakni
sebagai hasil Amandemen ke III UUD 1945. Melalui gagasan mereformasi
yudikatif, MK dibentuk setingkat dengan Mahkamah Agung (MA) dan
memiliki kewenangan untuk mengadili di tingkat pertama dan terakir‟ dan
…putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
kelembagaan negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum5.
Penelitian ini lebih mengkerucutkan pada pembahasan kewenangan
MK sebagai lembaga yang berwenang menguji konstitusional undang-
undang. Pada umumnya, pengujian undang-undang yang dilakukan dalam
4 Lihat Pengertian Hukum dan Seluruh Aspek Hukum, http://indrakusumaw.blogspot.
co.id/2012/08/pengertian-hukum-dan-seluruh-aspek-hukum.html diunduh pada 8 Oktober 2015
pukul 12.04 wib.
5 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran ,(Bandung:
Mizan Media Utama, 2007), h.278-279.
3
suatu peradilan lazim disebut dengan judicial review6,yang diawali dengan
sebuah permohonan, dan akan berakhir dalam satu putusan, yang
merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan
penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD yang dikokretisir
dalam ketentuan undang-undang, sebagai pelaksanaan tujuan bernegara
yang diperintahkan konstitusi.
Tentu ini merupakan hal yang cukup membanggakan, dikarenakan
selama pemerintahan Orde Baru tidak muncul politik hukum untuk
pengujian undang-undang. Di masa itu undang-undang benar-benar tidak
tersentuh pengujian oleh hukum. Adapun MA hanya dapat melakukan
pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
sehingga kalau ada produk hukum yang represif dan bersebrangan dengan
demokrasi maupun HAM tidak dapat disentuh oleh hukum untuk diuji
substansinya. 7
6 Mohammad Fajrul Falaakh merumuskan bahwa judicial review (hak uji materiil)
merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-
produk legislative dan eksekutif di hadapan konstitusi yang berlaku.[Lihat: Himawan Estu Bagijo,
Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi Perwujudan Negara Hukum yang Demokratis Melalui
Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang,LaksBang
Grafika:Yogyakarta,2014,h.54.]. Permasalahan Judicial Review pun mula-mula muncul dan
berkembang di Amerika Serikat dalam kasus yang terkenal yaitu Madison versus Marbury tahun
1803. Dimana Mahkamah Agung Amerika Serikat pada saat itu ditantang untuk dapt melakukan
pengujian (review atau toesting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan oleh
kongres. Awalnya, konstitusi Amerika Serikat tidaklah memberikan kewenangan tersebut kepada
Mahkamah Agung, namun atas keberanian John Marshall, Mahkamah Agung memiliki
kewenangan menguji undang-undang sebagai produk legislative. Hak untuk menguji inilah yang
biasa disebut dengan Judicial Review atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan toetsingrecht.
7Ni‟matul Huda, Perdebatan Hukum Tata Negara Peredebatan dan Gagasan
Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1.
4
Kewenangan MK sebagai penguji undang-undang terhadap UUD
1945 dan sebagai penafsir atas norma hukum inilah yang berujung pada
istilah MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution)
dan the sole of the interpreteur of the constitution dimana dua dimensi
tersebut melekat pada kewenangan MK. Dengan karakter inipun, putusan
peradilan konstitusi menjadi salah satu sumber hukum penting di samping
peraturan tertulis, tidak hanya dalam amar putusannya, tetapi juga tafsir
konstitusionalnya.8
Menguji konstitusionalitas dari undang-undang menekankan
bahwa MK adalah negatif legislatif yaitu sebagaimana menurut Maruarar
Siahaan merupakan tindakan dari MK dengan menyatakan bahwa undang-
undang yang dihasilkan oleh organ legislatif tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.9
Namun, di beberapa putusannya, MK tidak hanya membatalkan
suatu undang-undang yang telah diujikan kepada UUD 1945 dan
menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional, namun MK
menambahkan suatu norma hukum baru dalam putusannya tersebut.
Seperti dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Pasal
8 Janedjri M.Gaffar, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,h.VI.
9 Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum
Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009,h.359.
5
77 huruf a KUHAP10
tentang objek dari Praperadilan. Dalam amar
putusannya, MK memutus bahwa Pasal 77 huruf a Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.11
Ketika Pasal 77 (a) telah
dibatalkan melalui putusannya, MK seakan menambahkan suatu norma
mengenai objek baru dalam praperadilan yakni „penetapan tersangka‟.
Hal itulah yang menjadikan MK tidak hanya membatalkan suatu
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, namun MK telah
memasuki ranah positif legislatif yang seharusnya ditindak lanjuti oleh
organ legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam
menambah, memuat, dan menghapus suatu norma pada suatu undang-
undang12
.
Jika putusan tersebut dijadikan pembenar dalam melakukan suatu
penemuan hukum dan sejalan dengan keadaan masyarakat kekinian
sebagaimana pendapat Soejono Koesoemo Sisworo: “Bahwa hakikat
10
Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menegaskan bahwa
objek praperadilan yakni: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,
atau penghentian penuntutan.
11Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014.
12 Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi, “Tindak lanjut atas putusan
Mahkamah Konstitusi sbagaimana dimaksud ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.”
6
penemuan hukum, yaitu selalu berkaitan dengan situasi dan kondisi
masyarakat dan tetap dalam lingkungan sistem hukumnya.”13
Hal tersebut dapatlah penulis kategorikan sebuah upaya progresif14
dari MK, namun faktor keberpengaruhan dari aspek yuridis-filosofis dan
sosiologis dari permohonan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan nampaknya berpengaruh atas pertimbangan putusan MK.
Sehingga pasca putusannya diberlakukan, terdapat implikasi yang
berpengaruh di tengah masyarakat dan tidak sepenuhnya mengakomodir
suatu keadilan substantif.15
Oleh karena itu, penulis melihat terdapat kesenjangan yang terjadi
antara yang seharusnya dengan kenyataan yang terjadi. MK diamanahkan
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yang pada dasarnya
kewenangan tersebut adalah bentuk pengawasan terhadap produk
legislatif. Namun, pada kenyataannya MK dalam putusannya justru
13
Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, (Bandung:PT
Refika Aditama, 2012), h. 61.
14 Penulis mengartikan upaya progresif tersebut merupakan terobosan dari MK untuk
menghindari adanya kekosongan hukum namun definisi dari upaya Progresif itu sendiri yaitu
bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah,
mengikuti dinamika manusia. Karena itu, menurut Prof.Satjipto Rahardjo hukum harus terus
dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran
dalam menggapai keadilan.
15 Keadilan dalam hal ini bukan hanya keadilan hukum positif, tetapi juga meliputi nilai
keadilan hukum positif, dan meliputi nilai keadilan yang diyakini dan berkembang dalam
masyarakat. Dalam keadilan yang disebut sebagai keadilan substantif itu, ketika memutus perkara,
hakim tidak hanya menjalankan preskripsi yang terdapat dalam undang-undang. Di sini, hakim
mewujudkan keadilan yang hendak dicapai oleh aturan hukum dengan mempertimbangnkan rasa
keadilan yang berbeda-beda untuk setiap kasus, waktu, dan masyarakat tertentu.
7
menambahkan norma baru yaitu dengan mengabulkan permohonan
pemohon dengan menambahkan norma „penetapan tersangka‟ sebagai
salah satu objek praperadilan.
Atas uraian yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk
mengetahui implikasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014, dan pembahasan topik tersebut diuraikan dalam sebuah
penelitian yang berjudul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENAMBAHAN NORMA
PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN
(Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian
Pasal 7 huruf a Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan luas dan banyaknya penelitian terkait dengan
topik ini, maka permasalahan penelitian ini akan dibatasi. Fokus
penelitian yakni menyoroti esensial Kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yang berwenang menguji dan membatalkan undang-
undang yang bertentangan dengan UUD.
8
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang
dan permasalahan yang telah dibatasi oleh penulis, rumusan tersebut
dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 terhadap penambahan norma penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi ?
b. Apa pertimbangan hakim dalam melakukan putusan Nomor
21/PUU-XII/2014 ?
c. Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi putusan hakim
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setelah dirumuskannya beberapa permasalahan dalam penelitian
ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui implikasi atas putusan Mahkamah Konstitusi No
21/PUU-XII/2014 yang menambahkan norma penetapan tersangka
9
terhadap pembatalan Pasal 77 (a) Undang-Undang No.8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
b. Mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam memberikan
putusannya terkait dengan penambahan norma penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan.
c. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim
Mahkamah Konstitusi.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rintisan
pemikiran dalam segi keilmuan yang berkaitan dengan Ilmu
Hukum, khususnya kajian Ilmu Hukum Tata Negara yang berkaitan
dengan kewenangan kelembagaan negara yaitu untuk pembaharuan
sistem pemerintahan di Indonesia.
b. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan rujukan bagi para akademisi yang bergelut dalam keilmuan
hukum. Baik mahasiswa maupun para civitas akademika yang
mengambil kekhususan dalam keilmuan Hukum Tata Negara.
10
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang
berkaitan dengan penetilian yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang
diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber
kajian lain yang terlebih dahulu membahas terkait dengan Implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya adalah :
No. Nama Penulis/Judul
skripsi, jurnal/
Tahun.
Substansi Perbedaan dengan
Penulis
1. Agung Sudrajat /
Implikasi Peran
Mahkamah
Konstitusi sebagai
Positive Legislator
pada Uji Materiil
Undang-Undang
Terhadap Proses
Legislasi di
Indonesia (Studi
Kasus: Putusan MK
No. 10/PUU-
VI/2008 tentang
Pemuatan Syarat
Domisili Calon
Anggota DPD
dalam UU No. 10
Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum /
Skripsi Ilmu
Hukum, Fakultas
Hukum
Universtitas
Indonesia, Depok,
Skripsi penelitian ini
menjelaskan tentang
peran mahkamah
konstitusi sebagai
positif legislator dan
implikasinya terhadap
proses legislasi di
Indonesia.
Penelitian ini
berfokus pada studi
kasus putusan No.
10/PUU-VI/2008
menunjukkan bahwa
Mahkamah Konstitusi
di Indonesia telah
berperan sebagai
Positive Legislator
(pemuat norma).
Penulis meneliti
tentang implikasi
putusan Mahkamah
Konstitusi pasca
penambahan norma
mengenai penetapan
tersangka dalam
objek praperadilan.
Penelitian penulis
berfokus pada
putusan
No.21/PUU-
XII/2014 yang
mana putusan
tersebut merupakan
putusan yang
kontroverisal,
dimana Mahkamah
Konstitusi yang
berwenang untuk
membatalkan saja
pasal yang diujikan
11
2012. namun ternyata
dalam putusannya,
menambahkan
norma dan akan
diteliti pula atas
keberpengaruhan
kasus-kasus dan
opini publik yang
merupakan faktor
penunjang terhadap
putusan hakim
Mahkamah
Konstitusi.
2. Aditya Warman /
Penerapan Negative
Legislation dalam
Pengujian Undang-
Undang pada
Putusan Mahkamah
Konstitusi
Berdasarkan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945 / Tesis
Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas
Bengkulu, 2013.
Tesis ini menjelaskan
tentang kewenangan
Mahkamah Konstitusi
untuk menghilangkan
keberlakuan suatu
norma undang-
undang tersebut
dimana Mahkamah
Konstitusi disebut
sebagai pembuat
undang-undang dalam
arti negative
(Negative Legislator),
berbeda dari fungsi
parlemen sebagai
pembuat undang-
undnag dalam arti
positif (Positive
Legislator).
Penulis meneliti
kesenjangan
kewenangan
mahkota Mahkamah
Konstitusi yakni
melakukan
pengujian undang-
undang terhadap
undang-undang
dasar, namun
nyanya Mahkamah
Konstitusi
sendirilah yang
telah menerobos
prinsip checks and
balances antar
lembaga negara
kususnya
Mahkamah
Kosntitusi dengan
DPR dan Presiden
sebagai pembuat
norma undang-
undang.
12
3. Anindtya Eka
Bintari / Mahkamah
Konstitusi sebagai
Negative Legislator
dalam Penegakkan
Hukum Tata
Negara / Jurnal
Universitas Negeri
Semarang, 2013.
Jurnal ini
menjelaskan tentang
kedudukan hukum
Mahkamah Konstitusi
sebagai pembatal
undang-undang.
Fokus penelitian
jurnal adalah
berlandaskan pada
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan
atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun
2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
yang telah dianggap
membatasi wewenang
Mahkamah Konstitusi
dimana beberapa
Pasal inti yang
dirubah dan
ditambahkannya.
Penulis meneliti
tentang kewenangan
Mahkamah
Konstitusi dalam
melakukan
pengujian undang-
undang terhadap
undang-undang
dasar dan
mengkaitkannya
dengan proses
putusan yang ada,
bahwa kewenangan
tersebut telah
diterobos oleh
Mahkamah
Konstitusi sendiri
sebagai pengawal
konstitusi.
E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Teori Negara Hukum
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep rechtstaat dan the
rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari
perkataan nomos dan cratos. Yaitu yang berarti dari nomos adalah norma
13
sedangkan cratos adalah kekuasaan.16
Berikut adalah ciri dari negara
hukum (rechtstaat) menurut Julius Stahl, mencakup empat elemen
penting: Perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan,
pemerintah berdasarkan undang-undang, dan peradilan tata usaha negara.17
Teori Pengujian Undang-Undang
Pengertian undang-undang formal dan materil adalah hal penting
kaitannya dengan pengujian formal (formele toesting) atau „procedural
review‟ dan pengujian materiil atau „substantive review‟ (materiele
toesting). Menurut A.W.Bradley dan K.D.Ewing, terdapat beberapa alasan
subtantif yang biasa dipakai untuk melakukan pengujian atau „judicial
review‟ atas norma umum peraturan (regeling) dan norma konkret
(beschikkings), yaitu18
:
1. The ultra vires rule (excess of power);
2. Abuse of discretionary power;
3. Failure to perform a statutory duty;
4. The concept of jurisdiction;
5. Mistake of fact;
16
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), h.125.
17 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,h.130.
18 Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011),
h.102.
14
6. Acting incompatibly with convention rights.
Pengertian pengujian undang-undang (judicial review) yang
berdasarkan alasan subtantif di atas dilakukan dengan implikasi adanya
putusan hakim Konstitusi dengan memperhatikan hak konstitusional
warga negara. Dan esensi dari putusan hakim yang dianggap adil
adalah putusan yang dibuat secara imparsial atau tidak berpihak
kecuali hanya kepada kebenaran.
Teori Putusan
Putusan hakim menurut Zairin Harahap, adalah suatu pernyataan
yang oleh hakim, sebagai pejabat negara diberikan wewenang atas itu,
diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.19
Dalam
ranah MK, dikenal adanya putusan dengan istilah ultra petita, ulta vires,
condionally constitutional, pembatalan undang-undang yang diberi batas
waktu dan pencabutan hak dipilih peserta pemilu kepala daerah, serta
menyebut secara tidak langsung subjek tertentu dalam putusan pengujian
UU.20
Dan pengertian putusan-putusan MK tersebut akan diuraikan dalam
bab selanjutnya dalam skripsi ini.
19
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada,cetakan ketiga, 2002), h.138.
20Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta:Prenada
Media Group, 2011),h.119.
15
Teori Prinsip Checks and Balances
Salah satu gagasan dalam gerakan reformasi yang berhasil
menjebol sakralisasi UUD 1945, penawaran yang paling penting adalah
usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances di dalam
sistem politik dan ketatanegaraan. Hal ini penting karena selama era dua
periode sebelumnya dapat dikatakan checks and balances itu tidak ada.21
Prinsip check and balances merupakan prinsip yang diterapkan dalam
upaya merealisasikan adanya distribution of power dalam suatu kerangka
sistem ketatanegaraan, dimana kedudukan MPR,DPR, dan DPD
(legislative) sama-sama mempunyai kedudukan sederajat dengan Presiden
(eksekutif) dan pelaksana kekuasaan kehakiman yang terdiri atas
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (yudikatif) dan sama-sama
saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and
balances.
2. Kerangka Konseptual
Implikasi Putusan
Implikasi adalah suatu keterlibatan atau keadaan terlibat.22
Artinya, implikasi dalam bahasa Indonesia adalah efek yang
ditimbulkan di masa depan atau dampak yang dirasakan ketika
21
Moh. Mahfudh MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h.67.
22 Lihat http://kamusbahasaindonesia.org// diakses pada 9 September 2015 pukul 15.00.
16
melakukan sesuatu. Maka implikasi putusan adalah suatu keterlibatan
suatu faktor dengan faktor lainnya akibat dari pernyataan seorang
hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.
Penambahan Norma
Definisi norma yang artinya suatu ukuran yang harus dipatuhi
oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun
dengan lingkungannya. Maka penambahan norma dapat didefinisikan
sebagai suatu penambahan ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang
atau sekelompok masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat erga omnes yakni mengikat semua pihak tidak hanya pihak
pemohon saja.
Objek Praperadilan
Secara harfiah, definisi praperadilan yakni Pra artinya sebelum
atau mendahului, berarti “praperadilan” dapat diartikan dengan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan.23
Adapun objek dari
praperadilan ditegaskan dalam Pasal 77 (a) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 yaitu, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ditegaskan
kembali oleh Yahya Harahap24
, bahwa Pasal tersebut tidaklah bersifat
23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h.187.
24Yahya Harahap, Pembahasan Permasaahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.8.
17
“limitatif”, ternyata dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP
memasukkan upaya paksa penyitaan ke dalam yuridiksi substantif
Praperadilan.
Penetapan Tersangka
Dalam proses hukum acara pidana, dalam menetapkan
tersangka tentu harus melalui tahap penyelidikan dan penyidikan
barulah dapat ditemukan tersangka. Disamping itu, penyidikan
bukanlah semata-mata tahap atau suatu proses pidana yang
mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhirnya. Penyidikan
pun secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka
merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan
setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup
berdasarkan hukum yang menunjuk seseorang atau beberapa orang
sebagai pihak yang diduga pelaku tindak pidana.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian jenis ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
18
manusia yang dianggap pantas.25
Penelitian ini berlandaskan norma-
norma hukum yang berlaku dan terdapat dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Jenis dan Sifat Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang kajiannya
dilakukan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literature, buku-
buku, perundang-undangan, dan sumber lainnya. adapun, Penelitian ini
bersifat Deskriptif-Normatif, yaitu akan mendeskripsikan tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian undang-
undang pada undang-undang dasar yang berimplikasi pada pembatalan
pasal dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini terkait dengan
putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan,
dimana studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang
dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.26
Dari bahan hukum
yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas.
25
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,cet I, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h.118.
26Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012),
h.123.
19
Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan
penjelasan yang sistematis. Pengelolaan bahan hukum bersifat deduktif
yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara
umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan
hukum itu diolah dan diuraikan kemudian penulis menganalisisnya
(melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah
dirumuskan dalam rumusan masalah.
4. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa
pendekatan. Dengan pendekatan ini, penulis akan mendapatkan
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu:
27 Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), dan pendekatan sejarah (historical
approach).
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.28
Pendekatan perundang-undangan (statute
27
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Cetakan 8, (Jakarta: Prenada Media Group,
2013), h. 133.
28 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,(Malang:
Bayumedia Publishing, 2008) cet.ke-IV, h. 302.
20
approach) dilakukan dengan menelaah perundang-undangan yang
berkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan Undang-
Undang lainnya yang terkait. Pendekatan selanjutnya yaitu
pendekatan kasus (case approach) dengan melakukan analisis
terhadap ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan
oleh hakim untuk sampai pada putusannya29
, yaitu dalam hal ini,
penulis menganalogikan alasan hukum dari hakim yang dijadikan
pertimbangan dalam putusan MK nomor 21/PUU-XII//2014.
5. Data dan Sumber Penelitian
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
otoritatif. Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak
yang berwenang. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu UUD NRI 1945, undang-
29
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, h. 158.
21
undang terkait sebagaimana telah disebutkan pada penjelasan
pendekatan perundang-undangan (statue approach), serta putusan
MK No. 21/PUU-XII/2014.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai hukum primer.30
Terdiri dari buku-buku,
jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan
dengan penelitian ini. Telaahan tersebut dimaksukan untuk
pengumpulan data dan informasi guna menyusun konsep dan
instrument penelitian, sedangkan telaahan dokumen dan literature
pada saat pengumpulan data dan pada saat analisis serta penafsiran
data dimaksudkan untuk menambah dan melengkapi data guna
diperoleh hasil pengkajian yang berkualitas.
6. Pengolahan dan Analisis Data
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan
sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum
tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang
sistematis.Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu
menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara
umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah
30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141.
22
bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian Penulis
menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab
isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
7. Teknis Penulisan Skripsi
Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet.
1. 2012.”
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam
lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih
memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang di teliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok
pembahasannya adalah sebagai berikut :
BAB Pertama Tentang Pendahuluan
Terdiri dari pemaparan latar belakang yang menguraikan
tentang bagaimana kesenjangan kewenangan MK dalam
melakukan pengujian sementara dalam putusannya Nomor
21/PUU-XII/2014 MK sehingga melakukan penambahan norma,
dan latar belakang ini yang nantinya akan dijadikan sebuah
pertanyaan dalam sebuah rumusan masalah. Kemudian dipaparkan
23
juga mengenai tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan
konseptual, tinjauan (review), metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB Kedua Kerangka Teoritis
Terdiri dari kerangka teori atau pemaparan teori filosofis
adanya pengujian undang-undang (judicial review) di dalam
sebuah negara hukum. Dalam bab inipun akan diuraikan definisi
verbal dari pembahasan penelitian. Adapun definisi yang akan
diuraikan adalah mengenai definisi penambahan norma, definisi
tentang penetapan tersangka, pemaparan objek Pra Peradilan secara
yuridis dan beberapa pendapat ahli serta uraian mengenai prinsip
checks and balances dalam doktrin sistem ketatanegaraan di
Indonesia.
BAB Ketiga Kelembagaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945
Terdiri dari uraian profil tentang kelembagaan Mahkamah
Konstitusi serta kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
penguji undang-undang pada undang-undang dasar. Serta uraian
tentang bagaimana seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan suatu Pasal dalam undang-undang yang telah
dinyatakan inkonstitusional.
24
BAB Keempat Analisis Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014
Bab ini merupakan inti dari pembahasan masalah yang
dibahas dan merupakan jawaban yang terdapat dalam perumusan
dan pembatasan masalah, maka dalam bab ini menguraikan tentang
implikasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam penambahan norma
sebagai objek praperadilan yang dituangkan dalam putusan MK
nomor 21/PUU-XII/2014.
BAB Kelima Tentang Penutup
Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian. Kesimpulan tersebut didasarkan pada temuan-temuan
data yang secara kualitatif dikaitkan dengan teori, doktrin, dan data
tambahan yang ditemukan oleh penulis. Kemudian juga dengan
saran-saran konstruktif yang dapat membantu dan memberikan
masukan terhadap perbaikan sistem ketatanegaraan di Indonesia
terlebih mengenai perbaikan-perbaikan pada putusan Mahkamah
Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi.
25
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Realisasi Negara Hukum dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap
UUD 1945
Negara Indonesia merupakan Negara Hukum berdasarkan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pendapat tentang kriteria suatu negara hukum
memiliki banyak perspektif, namun terdapat keterangan pokok yang
akhirnya dituangkan dalam UUD 1945, keterangan tersebut dihasilkan dari
pembahasan yang diuraikan dalam perubahan UUD 1945 mengenai
nomenklatur Negara Hukum, dimana ditegaskan oleh Agun Gunandjar
Sudarsa, bahwa negara Indonesia dapat disebut sebagai negara hukum
dengan 4 persyaratan yakni31
:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
2. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum;
3. Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, merdeka;
4. Adanya peradilan administrasi negara.
Jika ditinjau dari empat persyaratan tersebut maka dapat
diketahui, elemen penting dan utama terciptanya negara hukum yakni
31
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Buku II Sendi-sendi/Fundamen Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2010.
26
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Penjaminan tersebut
dapat direalisasikan dari sistem yang dibentuk oleh negara, baik sistem
kelembagaan negara maupun sistem sosial.
Salah satu usaha pencapaian suatu negara hukum yang
menjamin adanya perlindungan hak asasi manusia, ditilik dalam
amandemen UUD 1945 terdapat usulan dan pembahasan tentang judicial
review, maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang dilekatkan
kewenangan untuk melakukan judicial review tersebut. Dimana pada awal
pembahasan, hanya ada keinginan untuk memperkuat posisi dan peran
MA. Salah satunya dengan memberikan kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD kepada MA. Dalam usulannya, Hamdan
Zoelva menyampaikan usulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir, serta memiliki
kewenangan utama yaitu, memutuskan kewenangan mengajukan uji
terhadap undang-undang, memutus perselisihan antar lembaga negara,
kemudian kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.32
Dalam implementasi penegakkan ide negara hukum yang
termaktub dengan jelas dalam UUD 1945 sebagai dasar berjalannya
penyelenggaraan negara, adanya kewenangan dalam pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 adalah mekanisme yang begitu
32
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2010.
27
membanggakan untuk dapat melindungi hak warga negara yang ditumpah
ruahkan dalam norma-norma yang termaktub dalam undang-undang.
Reformasi kekuasaan kehakiman melalui didirikannya
Mahkamah Konstitusi tentu menjadi hal gemilang untuk meninggalkan
kemunduran bangsa dimana pada periode Pra Reformasi yang masih
sangat jauh dari perlindungan hak asasi manusia.
Pengujian undang-undang (judicial review) adalah sebuah
mekanisme yang hadir untuk dapat memberikan perlindungan hak asasi
manusia. Ditegaskan oleh Taufiqurrahman Syahuri bahwa hak uji
konstitusionalitas adalah hal yang dapat dilaksanakan ketika masyarakat
mempersoalkan produk undang-undang disebabkan adanya kerugian
konstitusinal oleh segolongan masyarakat.33
Kewenangan tersebut dilekatkan kepada Mahkamah Konstitusi
dan termaktub dengan jelas dalam UUD 1945, Pasal 24C yakni untuk
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, dimana hak
konstitusionalitas dari setiap warga negara akan terjamin dengan adanya
mekanisme tersebut.
Adapun hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD
sebagai sebuah hukum tertinggi34
. Makna dari pernyataan tersebut adalah
33
Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h.112
34Hans Kelsen menyebutkan bahwa UUD menduduki tempat tertinggi dalam hukum
nasional, sebab itu merupakan landasan sistem hukum nasional. Undang-Undang Dasar
merupakan fundamental law. Untuk itu Hans Kelsen menunjuk hak menguji sebagai mekanisme
28
bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif yang
mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apalagi terjadi
pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui
peradilan dan bukan lewat mekanisme politik35
.
Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun
mekanisme „judicial review‟ yang terus berkembang dalam praktek di
berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut sangat antusias, baik
di dunia akademis maupun praktek, bahkan tidak kurang oleh lingkungan
cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judiciary). Seperti dikemukakan
oleh Lee Bridges, Georges Meszaros dan Maurice Sunkin36
,
“Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the
judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against
oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to
prevent and check the abuse executive power.”
Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima
sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi
“guarantees of the constitution”. Jadi dapat dikatakan bahwa hak menguji merupakan konsekuensi
dari konstitusi tertulis, atau yang oleh Kelsen disebut konstitusi dalam arti formal, atau konstitusi
dalam arti sempit.
35Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h. 486
36Jimly Ashiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h.2.
29
(check and balance) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman
para jabatan pemerintahan untuk menjadi sewenang-wenang.
Adapun nilai uji dari undang-undang tersebut adalah nilai uji
konstitusionalitasnya, yakni undang-undang tersebut diujikan baik dari
segi formiil ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian
konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas.37
Dalam pengujian Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang hukum acara pidana, pemohon mengungkapkan alasan
bahwa idealnya suatu Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara
tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian
diberikan penilaian oleh hakim38
.
Pemohon menjadikan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 dengan
adanya penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan-ketentuan dalam
hukum acara pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan prinsip-prinsip
hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan terhadap hak asasi manusia,
Pasal 28 J ayat (2) UUD 194 telah menegaskan bahwa pembatasan tersebut
semata-mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain.39
Maka, inilah yang menjadi bentuk realisasi
37
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,h.487.
38Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 h.3.
39Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.21/PUU-XII/2014 h. 4.
30
negara hukum dalam prosedur pengujian undang-undang terhadap undang-
undang dasar.
B. Penambahan Norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pencapaian reformasi yudikatif yang telah dilakukan pada
amandemen UUD 1945 ke tiga dengan memunculkan Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan konstitusi yang diharapkan akan mengemban
amanah kewenangannya untuk dapat menegakkan hak konstitusional
warga negara.
Terkait dengan hal tersebut, Hans Kelsen dalam bukunya General
Theory of Law and State (1973) mengemukakan bahwa kewenangan
lembaga peradilan menyatakan suatu peraturan yang lebih rendah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pemikiran Judicial Review terus berkembang setelah kasus John
Marshall yang kemudian melahirkan istilah Judicial Review tersebut di
atas. Sedangkan dalam pelembagaannya dikenal bahwa Hans Kelsen
sebagai perintis lahirnya Mahkamah Konstitusi pertama. Dalam istilah
kelsen, pada proses legislasi, “recognized the need for an institution with
power to control or regulate legislation”. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa
lembaga peradilan konstitusi ini berwenang membatalkan suatu undang-
undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara
31
hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, pemegang kekuasaan kehakiman
bertindak sebagai negative legislator.40
Artinya sifat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan undang-undang hanya menentukan undang-undang tersebut
konstitusional atau inkonstitusional. Karena, jika diperhatikan beberapa
putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah semua yang ditambahkan
normanya. Melainkan hanya dilakukan pembatalan terhadap pasal atau
undang-undang yang dianggap inkonstitusional.
Tidak hanya mengenai penambahan norma melainkan mengenai
penghapusan norma, Mahkamah Konstitusi pun pada pertimbangan
resminya pada putusan perkara Nomor 122/PUU-VII/2009 yakni
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, dimana pemohon dirugikan oleh butir 37 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang
menilai kerugian itu karena penghapusan ketentuan demikian merupakan
hak pembentuk undang-undang.41
Inilah yang menjadi problematika dalam putusan Nomor 21/PUU-
XII/2014 yang akan diteliti penulis, bahwa dalam putusan ini Mahkamah
40
Lihat www.saldiisraa.co.id tulisan berjudul, “Negative Legislator” diakses pada 13 Juli
2015 Pukul 15.57.
41Muchamad Ali Safa‟at, Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang-
Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume
7 Nomor 1, Februari 2010, h.2.
32
Konstitusi tidak memberikan pernyataan yang sama terkait dengan
penghapusan norma yang memang menjadi kewenangan ranah legislatif.
Jika dikaitkan dengan definisi norma yang artinya suatu ukuran
yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya
ataupun dengan lingkungannya.42
Disamping itu, hukum menurut Hans
Kelsen adalah termasuk dalam sistem norma yang dinamik
(nomodynamics), oleh karena itu hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh
lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau
menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi isi norma
tersebut, tetapi dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya.43
Maka
penambahan norma dapat didefinisikan sebagai suatu penambahan ukuran
yang harus dipatuhi oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes yakni mengikat semua
pihak tidak hanya pihak pemohon saja. Ketika sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengikat semua pihak sedangkan diputus dengan prosedur
yang nyatanya tidak memperhatikan prinsip checks and balances.
Hal itulah, yang menjadi alasan mengapa sebenarnya dalam
putusan MK telah memasuki wilayah positif legislatif, karena jika kembali
pada pendapat Maria Farida Indrarti di atas, maka lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menghapus dan membentuk norma adalah lembaga
42
Maria Farida Indrarti, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta : Kanisius, 2007, h.18.
43 Maria Farida Indrarti, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta : Kanisius, 2007, h.23.
33
yang sama. Dalam perspektif kelembagaan negara di Indonesia, lembaga
yang memiliki otoritas tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
lembaga legislatif (lembaga pembentuk undang-undang).
C. Penetapan Tersangka Sebagai Tambahan Objek Praperadilan
Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”,
konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri
untuk: memanggil – memeriksa – menangkap – menahan – menggeledah –
menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan
tindak pidana.
Akan tetapi, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan
istimewa” tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: the right of due
process.44
Permasalahan ini perlu disinggung karena pada kenyataannya
masih banyak keluhan dari masyarakat tentang adanya berbagai tata cara
“penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum
acara. Atau diskresi yang dilakukan penyidik sangat bertentangan dengan
HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan, penyelidikan atau
44
Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum
acara”. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”,
dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum
(no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip
“perlakuan” dan dengan “cara yang jujur”.[Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95].
34
penyidikan. Oleh karena itu, hal ini patut diuraikan untuk meningkatkan
ketaatan mematuhi penegakan the right of due process of law.45
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa secara ideal
Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa,
dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh
hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga
negara dan penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah
kesetaraan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin, yang memiliki
kekuasaan dan yang tidak memiliki kekuasaan. Inilah yang dianut oleh
Hukum Acara Pidana Indonesia.
Adapun penetapan tersangka adalah suatu penetapan yang
dilakukan setelah dilaksanakannya proses penyelidikan dan penyidikan.
Dimana rangkaian kegiatan tersebut adalah hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Yahya Harahap menyebutnya dengan dua fase
tindakan yang berwujud satu. Hampir tidak ada perbedaan makna antara
dua kegiatan tersebut, namun hanya bersifat gradual saja46
.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
45
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan
dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95.
46 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan
dan penuntutan,h.109.
35
menurut cara yang diatur oleh undang-undang47
. Sedangkan penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya48
.
Dari dua pengertian variabel tersebut, tentu penetapan tersangka
merupakan proses yang terjadi setelah dilakukannya proses penyidikan
yakni dengan adanya bukti terang guna menemukan tersangkanya. Maka
proses penyidikan haruslah dilakukan sesuai dengan hukum due process of
law dengan tetap memperhatikan dan melindungi hak-hak asasi manusia
sehingga penetapan tersangka adalah hal yang dilakukan secara acak,
karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan
hak-hak setiap warga negara.
Penetapan tersangka49
mengakibatkan adanya upaya paksa lain
yang akan diberlakukan kepada seseorang yang telah ditetapkan sebagai
47
Lihat Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
48Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
49 Penetapan seseorang sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan kesemuanya
merupakan pengurangan kebebasan individu, yang seharusnya dirumuskan secara clear and clean
dalam KUHAP. Perumusan parameter melakukan penetapan tersangka, mengeluarkan perintah
penangkapan dan penahanan yang tidak jelas, karena tidak dirumuskannya pengertian yang
memadai tentan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam
KUHAP, akibatnya hanya menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil
dalam implementasinya di lapangan.[lihat putusan MK No.21/PUU-XII/2014 halaman 28 sebagai
legal standing dari pemohon].
36
tersangka seperti dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain
sebagainya. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar atas upaya paksa
tersebut maka seorang warga negara mempunyai jalur yang dinamakan
praperadilan dalam suatu upaya Hukum Acara Pidana Indonesia guna
mempertahankan haknya.
Praperadilan merupakan salah satu prinsip KUHAP yakni sebagai
lembaga control. Adapun praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10
KUHAP, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan
memutus50
:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan.
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Permintaan ganti kerugian yang diajukan ke praperadilan adalah
akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 95
50
Haka Astana M.Widya,“Praperadilan dan Hakim Komisaris”,Problematika Pembaruan
Hukum Pidana Nasional,(Jakarta:Komisi Hukum Nasional RI,2013),h.30-33.
37
dan penjelasan Pasal 95), sedangkan permintaan rehabilitasi yang diajukan
ke praperadilan adalah akibat diputus bebas atau diputus lepas (Pasal 97).
Dengan kata lain, Praperadilan memiliki objek penting didalamnya
yakni, Pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa
yang meliputi penangkapan dan penahanan, Kedua, memeriksa sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat
dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata apa
yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah
pernah dituntut dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, perkara yang disangkakan padanya merupakan perkara
yang kadaluwarsa, dan abuse of authority. Ketiga, berwenang memeriksa
tuntutan ganti rugi, Keempat, memeriksa permintaan rahabilitasi, Kelima,
Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.51
Berdasarkan uraian objek praperadilan yang berlaku sebelum
dibatalkannya Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, penetapan tersangka tidak masuk dalam klasifikasi
objek praperadilan. Namun, jika diperhatikan secara seksama, upaya
penyidikan dapatlah dihentikan melalui jalur praperadilan dengan tiga
syarat yang telah diuraikan diatas.
51
Yahya Harahap, Pembahasan Permasaahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,h.4-6.
38
Namun pengajuan pemohon untuk dijadikannya penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan adalah agar Hukum Acara itu bukan
untuk memanjakan orang yang diduga bersalah dan untuk menghindari
adanya unfair prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara
melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan yang tidak
berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful
legal evidence). Dan demi memegang teguh keadilan dengan melindungi
hak asasi warga negara meskipun ia bersalah.52
52
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 h.4.
39
BAB III
PROFIL LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA
A. Sejarah Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Rangka
Reformasi Yudikatif
Penanaman paham konstitusi adalah salah satu cara untuk
merealisasikan tujuan nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang telah diuraikan sebelumnya. Paham konstitusi disebut dengan
konstitusionalisme (constitutionalism) yakni yang berarti paham atau
aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan (limited power). Dalam
kaitan dengan negara atau pemerintah, konstitusionalime adalah paham
atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan negara (limitation of
state power) atau pembatasan kekuasaan pemerintahan (limitation of
power of government atau limited government).53
Pembatasan kekuasaan tersebutlah yang dibagi dalam tiga
pembagian utama dalam UUD 1945, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Adanya pembatasan kekuasaan negara
dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian
kekuasaan secara vertical atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
53
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi „makna dan aktualisasi‟,
(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada), 2014, h.146.
40
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti
yang dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”.54
Dalam perspektif historis yuridis, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif mengalami perubahan yang signifikan pasca
amandemen UUD 1945, dimana perubahan sistem ketatanegaraan dari
parlementer ke presidensil yang cukup mempengaruhi kewenangan dua
kekuasaan tersebut. Sedangkan kekuasaan kehakiman, pasca Amandemen
UUD 1945 ke-tiga telah mengalami perubahan dari segi substansi dan
kelembagaan55
. Yakni, setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945
maka dalam rangka pembentukan MK, MPR menetapkan MA
menjalankan fungsi sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah
kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah pembahasan yang mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
54
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006),h.5.
55 Perubahan tersebut mencangkup, Pertama, reformasi dalam hal indepedensi kehakiman
yang dipertegas dan diformalkan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kedua, pembentukan
Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru dibentuk setingkat dengan Mahkamah
Agung yang hakimnya diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh
DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Sedangkan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih
dari dan oleh Hakim-Hasssskim Konstitusi. Ketiga, pembentukan Komisi Yudisial, satu lembaga
baru lainnya yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung serta
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
41
(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316).56
Berdasarkan landasan konstitusional pula, sejarah berdirinya
lembaga MK diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court)
dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B
Undang-Undang Dasar 194 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dna kenegaraan modern yang muncul di
abad ke-2057
.
Ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan58
. Dimana kekuasaan kehakiman yang dimaksud adalah
kekuasaan kehakiman yang tidak hanya terdiri dari Mahkamah Agung dan
56
Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September 2015 pukul
12.45 wib.
57 Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September 2015 pukul
13.00 wib.
58Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id /index
.php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 19.57.
42
Mahkamah Konstitusi, melainkan juga terdiri dari peradilan-peradilan di
bawah Mahkamah Agung.
Terbentuknya MK juga tidak lepas dari kacamata perspektif
historis, gagasan untuk terdapatnya lembaga yang dapat menguji undang-
undang terhadap UUD 1945 nyatanya telah ada sejak Rapat Besar Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, tanggal 15 Juli 194,
yakni ketika Yamin menyampaikan usulan perihal perbandingan undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Dibentuknya Mahkamah Agung pada saat itu, menurut Yamin agar
melakukan kekuasaan kehakiman dan membanding undang-undang
dengan Undang-Undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan
kepada Presiden, yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan,
dan melakukan aturan pembatalan.59
Hadirnya Mahkamah Konstitusi, sebagai tanda bahwa telah lahir
lembaga yang mampu menguji sustansi undang-undang, yang sebelumnya
tidak diakomodir pada masa orde baru. Semua produk undang-undang
dapat ditinjau substansinya maupun prosedur pembuatannya. Sehingga
hak-hak warga negara dan demokrasi dapat terlindungi dari kemungkinan
potensi negatif pembentuk undang-undang yang ingin mereduksi bahkan
59
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku VI tentang
Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2010,h.17-18.
43
menggerogoti prinsip-prinsip negara hukum, hak asasi manusia (warga
negara) maupun substansi demokrasi.60
Khusus untuk memelihara kebersesuaian dan ketaatasasan UU
terhadap UUD 1945, UUD 1945 memberi kewenangan dan tugas itu
kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah sebuah
lembaga dalam rumpun kekuasaan kehakiman dengan kewenangan khusus
antara lain untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD bahkan
membatalkan (sebagian) UU yang pembentukannya telah disepakati
bersama oleh DPR dengan Presiden. Sebagai lembaga dalam rumpun
kekuasaan yudikatif itu proses kerja Mahkamah Konstitusi adalah proses
sebuah lembaga peradilan.61
Dengan menilik beberapa perspektif diatas, pada akhirnya MK
merupakan lembaga negara baru buah reformasi ketatanegaraan Republik
Indonesia melalui perubahan (amandemen) UUD NRI 1945 diberikan
kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk :
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
60
Ni‟matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan,(Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1-2.
61Jakob Tobing, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jakob Tobing
tentang Perubahan UUD 1945), (Jakarta : Konstitusi Press, 2008), h. 251.
44
Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jika diperhatikan secara seksama, seluruh kewenangan yang
diberikan kepada MK oleh UUD 1945 tersebut berkaitan dengan upaya
untuk mencapai kedua tujuan kembar yakni sebagai upaya untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan
sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum.62
Agaknya dua istilah tersebut tidaklah berlebihan jika disandingkan
satu sama lain, bahwa negara hukum dan demokrasi sangatlah
berkesinambungan, karena sulit dibayangkan sebuah negara hukum tanpa
demokrasi atau demokrasi tanpa hukum itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi sebagai garda konstitusi adalah bentuk
realisasi dari dua hal tersebut yakni dijalankannya demokrasi karena
mengedepankan hak-hak konstitusional warga negara melalui kewenangan
yang melekat yakni pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan
menjunjung tinggi hukum karena dilaksanakan kewenangannya
62
Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa
Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008,h.9.
45
berdasarkan amanah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia. hal
tersebutlah yang senada dengan apa yang ditekankan ole John Norton
Moore:
Constitutions should embody the fundamental compact with the
people – such constitutions should serve as the highest form of law to
which all other laws and governmental actions must conform. As such,
constitutions should embody the fundamental precepts of a democratic
society rather than serving to incorporate ever-changing laws more
appropriately dealt with by statute. Similarly, governmental structures and
actions should seriously conform with constitutional norms, and
constitutions should not be mere ceremonial or aspirational documents.
Atas dasar hal tersebut, dapat dikatakan bahwa “negara hukum”
mempengaruhi adanya kelaziman sebuah konstitusi untuk memuat hak-hak
dasar atau hak asasi (basic rights) setiap warga negara yang kemudian
dinyatakan sebagai hak konstitusional. Fungsi utama Mahkamah
Konstitusi inilah yang menjamin bahwa konstitusi benar-benar ditaati dan
dilaksanakan dalam praktik.63
Maka, dapat dilihat bahwa terbentuknya Mahkamah Konstitusi
adalah atas tiga reformasi utama, yakni reformasi konstitusi, reformasi
63
Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa
Gede Palguna, h.75-77.
46
yudikatif, yang menjadi hal gemilang bagi reformasi ketatanegaraan
Indonesia.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-
Undang Terhadap UUD NRI 1945
Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting
adalah bukan hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukum (Ius curia
novit), tetapi mengetahui secara obyektif fakta atau peristiwa sebagai
duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a
priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih
dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Pada dasarnya, putusan
merupakan salah satu penemuan huum (judge made law/rechtvinding),
dengan demikian hakim telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat
menjatuhkan putusan yang obyektif, adil, dan tidak dipengaruhi oleh unsur
apapun kecuali sikap obyektifnya dan rasa keadilan itu semata.
Secara pengertian umum, putusan dapat diartikan suatu pernyataan
yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan di persidnagan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Soedikno
Mertokoesoemo menambahkan bahwa bukan hanya yang diucapkan saja
yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yag dituangkan dalam
bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.
Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai
47
putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Putusan yang
diucapkan di persidangan (uitspraak) tidka boleh berbeda dengan yang
tertulis (vonnis).64
Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan), salus populi
suprema lex (suara rakyat adalah hukum tertinggi). Sebagai asas, adagium
tersebut pelaksanaannya diatur dalam sistem ketatanegaraan yang terdapat
pada UUD. Artinya, kekuasaan legislatif yang memiliki wewenang luas
dalam membentuk undang-undang tidaklah secara mutlak mencerminkan
kehendak rakyat seluruhnya. Suara mayoritas seringkali menjadi dominan
dalam proses pengambilan keputusan lembaga legislatif sehingga tidak
jarang suara legislatif adalah suara mayoritas yang ternyata dapat
merugikan hak konstitusional warga negara.65
Pengujian undang-undang (judicial review)66
dimaksudkan untuk
menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tidak
bertentangan dengan UUD dan memberi perlindungan hak konstitusional
64
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h.137-139.
65Harjono,Tranformasi Demokrasi,(Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2009),h.139.
66 Ditegaskan bahwa „review‟ dapat dibedakan dari „appeal‟, seperti yang dikatakan oleh
Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that is wrong or incorrect, and that
the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada judicial review, “the court is
not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it
was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman : “Judicial review is concerned,
not with the decision, but with decision making process”. Lihat Saldi Israa, 2010, Pergeseran
Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.294. Lihat juga Jimly Ashiddiqie,2002,Judicial
Review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Tata Negara,
makalah tidak dipublikasikan,h.5.
48
warga negara. Di dalam ketentuan UUD banyak disebutkan bahwa untuk
hal-hal tertentu diperlukan undang-undang sebagai pelaksanaan ketentuan
UUD, namun hal ini tidaklah berarti bahwa lembaga legislatif hanya buat
undang-undang yang diperintahkan secara langsung oleh UUD saja
(undang-undang organik). 67
Untuk menguji sifat konstitusional dari sebuah undang-undang,
maka paham konstitusionalisme adalah paham yang tepat untuk
diwujudkan, yakni bahwa setiap kewenangan kenegaraan haruslah dibatasi
karena dengan adanya pembatasan tersebut hak-hak masyarakat sipil tetap
terjamin. Meskipun lembaga legislatif adalah wakil rakyat dan kepadanya
diberikan wewenang yang luas oleh UUD untuk membuat undang-undang,
tidak berarti bahwa kewenangan lembaga legislatif tersebut mutlak.68
Dalam pembatasan tersebut, upaya warga negara dalam melakukan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah upaya untuk
memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya yang belum di akomodir
dengan baik di dalam undang-undang yang belum mencerminkan tiga hal
utama dalam sebuah aturan hukum, yakni memberikan kemanfaatan,
kepastian hukum dan keadilan. Melalui putusan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, diharapkan tiga hal utama
67
Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.138.
68 Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.139.
49
tersebut didapatkan oleh warga negara yang dirugikan hak
kostitusionalnya.
Pada peradilan di forum Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam
Pasal 24C sebagai “tingkat pertama dan terakhir”. Hal tersebut tentunya
dimaksudkan bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat
dilakukan upaya hukum sebagaimana yang tersedia pada peradilan tingkat
pertama yang dapat dilakukan banding terhadap putusannya atau upaya
hukum lain baik kasasi maupun peninjauan kembali, sehingga putusan
tersebut bersifat final.69
Dalam suatu proses hukum di depan, putusan lembaga peradilan
haruslah diakhiri dengan memberikan status final. Hal ini diperlukan untuk
kepastian hukum. Namun apabila semua upaya hukum telah digunakan
maka suatu keharusan, demi kepastian, sebuah putusan haruslah bersifat
final artinya tidak ada lagi upaya hukum lain dan oleh karenanya
berlakulah res judicata facit ius (putusan pengadilan harus diterima
sebagai hukum dalam kenyataan). Putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final harus
diterima sebagai res judicata facit ius.70
Jika putusan MK memiliki sifal final and binding, namun pada
putusannya, MK memiliki bentuk-bentuk putusan yang perlu diuraikan
69
Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.140.
70 Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.141.
50
dalam penelitian ini, yaitu pertama, ultra petita adalah putusan yang
dikenal pada rezim hukum perdata dan pidana yakni ketika hakim
menjatuhkan keputusan hukuman pidana melebihi dari tuntutan jaksa. Dan
putusan ultra petita seharusnya tidak berada pada rezim hukum tata negara
dikarenakan, yaitu MK memutus dengan putusan yang melebihi apa yang
diminta (petitum) pemohon. Menurut Taufiqurrahman Syahuri, wajar
apabila MK menjatuhi putusan yang ultra petita dengan menyatakan
bahwa suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedua, Condionally constitutional, pada posisi putusan ini MK telah
memasuki ranah positif legislatif, karena dalam amar putusannya, MK
tidak hanya memutus tentang konstitusionalitas suatu undang-undang
melainkan juga memberikan syarat baru dalam amar putusannya tersbut.
Ketiga, Pembatalan UU dengan tenggat waktu, bentuk putusan ini adalah
bentuk putusan yang menunda keberlakuan putusan MK karena
terinspirasi oleh pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana
keberlakuan suatu UU secara efektif dapat ditunda beberapa waktu setelah
disahkan.71
Maka, putusan MK dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah
bentuk permohonan keadilan dari warga negara, masyarakat, atau
segolongan masyarakat yang hak konstitusionalitasnya dirugikan atas
71
Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h.120-121.
51
produk undang-undang. Suatu putusan adalah hal yang ditunggu
masyarakat untuk dapat melindungi hak konstitusionalnya.
52
BAB IV
ANALISIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
21/PUU-XII/2014 TERHADAP PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN
TERSANGKA DALAM OBJEK PRAPERADILAN
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia sebagaimana kamu semua, sedang
kamu mengajukan perkara kepadaku, oleh karena itu, barangkali sebagian kamu
lebih mengerti dan lebih mengetahui daripada sebagian lainnya.”
(Hadits Riwayat Bukhari Muslim)
Sebagaimana hadits tersebut, dapat dianalogikan bahwa seseorang
dibebankan suatu perkara dan diamanahkan untuk mewujudkan suatu putusan
yang berkeadilan. Namun, upaya untuk mewujudkannya tentu harus ditopang
dengan berbagai faktor-faktor pendukung, seperti, terkumpulnya bukti-bukti, saksi
dan lain sebagainya agar dapat memutus putusan yang berkeadilan dan
berkepastian hukum bagi pihak-pihak tertentu, maupun bagi seluruh pihak.
Di Indonesia, perwujudan keadilan dapat ditegakkan melalui paradigma
perlindungan hak konstitusional warga negara yang termaktub dalam perubahan
UUD 1945. Hal tersebut merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari
gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada
tahun 1998. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor
penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi
karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan
53
ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang
pasti.72
Perubahan UUD 1945 menegaskan adanya prinsip checks and balances
dimana terbagi adanya tiga kekuasaan utama disamping tersadapat kekuasaan-
kekuasaan lainnya yang melengkapi tiga kekuasaan utama tersebut. Tiga
kekuasaan utama tersebut dapat dikategorikan sebagai primary constitutional
organs yakni: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Serta terdapat lembaga-lembaga penunjang atau pendukung (auxiliary state
organs). Keseluruhan lembaga-lembaga negara tersebut merupakan bagian-bagian
dari negara sebagai suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing
menjalankan fungsi tertentu dan saling berhubungan sehingga memerlukan
pengaturan dan pemahaman yang tepat untuk benar-benar berjalan sebagai suatu
sistem.73
Dalam reformasi kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi muncul
dan dibentuk untuk menjawab kebutuhan masyarakat dalam rangka menegakkan
negara hukum yang demokratis dan menghormati serta menegakkan nilai-nilai
hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi.
Mahkamah Konstitusi RI sebagai pengawal konstitusi dan penafsir
konstitusi demi menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945, muncul
72
Jimly Asshiddiqie,Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,(Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h.479.
73Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h.ix.
54
akibat adanya perubahan UUD 1945. Dimana dalam perubahan tersebut telah
menjadikan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan supremasi telah
beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan
mendasar inilah maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan
konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan
sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling
mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Telah sejak lama bangsa Indonesia begitu mendambakan kehadiran sistem
kekuasaan kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji produk hukum di
bawah Undang-Undang Dasar 1945.74
Oleh sebab itu, desakan akan pengujian
peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada
peraturan dibawah undang-undang (UU) melainkan juga di atas UU terhadap
UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada
sebuah mahkamah sendiri diluar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran
itu, adanya MK yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah
keniscayaan.75
Pengujian undang-undang merupakan sebuah pengujian atas norma yang
nantinya akan mengikat warga negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak
hanya sebagai sebuah lembaga yang hanya pemberi ajudikasi dan meninggalkan
74
Lihat Uji Konstitusionalitas oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ahmad
Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu studi tentang adjudikasi Konstitusional sebagai
Penyelesaian Sengketa Normatif), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006), h. 259.
75 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,h.491.
55
keputusan tersebut untuk Pemerintah jalankan dan untuk pembentuk undang-
undang pahami.76
Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang salah
satunya adalah melakukan pengujian undang-undang dimana putusan Mahkamah
bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 ayat (1) UU
No.8 Tahun 2011 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ….”adalah
bentuk konsekuesi logis keberlakuan putusan tersebut akan mengikat seluruh
masyarakat tidak hanya pihak-pihak yang menjadi pemohon (erga omnes)77
.
Jika melihat dasar yuridis dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat final and binding serta mengikat seluruh pihak (erga omnes), adapun
istilah negative legislator yang melekat pada institusi Mahkamah Konstitusi
adalah tidak lepas bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi. Yaitu dimana
semangatnya melekat pada perspektif historis pembentukan Mahkamah Konstitusi
Austria yang dipelopori oleh Hans Kelsen yakni adalah dikarenakan adanya
peluang peraturan lebih rendah bertentangan dengan peraturan lebih tinggi,
76
Agung Sudrajat, Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator
Pada Uji Materiil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia (Studi Kasus: Putusan
MK No.10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarata Domisili Calon Anggota DPD dalam UU
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum,Skripsi S 1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,
Depok, 2012, h.112.
77 Putusan pengadilan biasa yang telah berkekuatan tetap yang bersifat inter-partes atau
yang mengikat di antara pihak-pihak berperkara, putusan mana mengandung penghukuman atau
perintah untuk melakukan satu perbuatan atau menyerahkan sesuatu barang sebagai prestasi salah
satu pihak berperkara. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan putusan MK dalam pengujian
undang-undang. Sebagai satu mekanisme checks and balances putusan MK yang mengabulkan
satu permohonan untuk menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat dan/atau bagian dari undang-
undang bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terlebih-lebih jika
menyangkut pengujian undang-undang yang bersifat beleidsregels, yang bersifat self-executing,
tidak selalu mudah untuk diimplementasikan.[Lihat, Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah
Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009,h.363-364]
56
sehingga Kelsen dalam istilahnya pada proses legislasi menyatakan, “recognized
the need for an institution with power to control or regulate legislation”78
ditegaskan kembali bahwa lembaga peradilan berwenang membatalkan suatu
undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara
hukum, dan dalam menajalankan fungsi ini, pemegang kekuasaan kehakiman
bertindak sebagai negative legislator.
Bahkan tidak hanya melekat pada institusinya saja, Hans Kelsen juga
menyatakan bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator, yang
melalui putusan-putusannya melaksanakan keseimbangan dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara. Dikatakannya bahwa: “The annulment of a law is legislative
function, an act – so to speak – of negative legislation. A court which is competent
to abolish laws – individually or generally – functions as a negative legislator”.
Keputusan demikian mengikat secara umum, sehingga semua organ penegak
hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak menerapkan lagi hukum yang
demikian.79
78
Lihat Saldi Israa, Negative Legislator, artikel diakses pada 13 Agustus 2015 dari
www.saldiisraa.co.id.
79Ada yang meragukan bahwa tidak disebutnya putusan MK bersifat final dan mengikat,
melainkan hanya final sebagai putusan pada tingkat pertama dan terakhir, menyebabkan putusan
final belum tentu dianggap mengikat oleh institusi-institusi diluar MK, sehingga para pejabat tidak
terikat oleh putusan MK tersebut dan tidak wajib untuk melaksanakannya.[Achmad Syahrizal,
Problematika Implementasi Putusan MK,Journal Konstitusi Volume 4 Nomor 1, Maret
2007,h.123). Pendapat tersebut kurang tepat, karena berdasarkan Pasal 47 UU MK, putusan tingkat
pertama dan terakhir yang final tersebut, memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum yang bersifat erga omnes, yaitu akibat hukumnya mengikat
semua pihak, baik pihak dalam perkara maupun institusi negara lainnya. Kurangnya sosialisasi dan
pemahaman akan akibat hukum yang timbul, lebih mungkin menjadi penyebab tidak dirasaknnya
implementasi tersebut merupakan kewajiban konstitusional.[Lihat juga, Maruarar Siahaan, Peran
57
Pihak pemerintah pada putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014
menyatakan, bahwa pada pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni bahwa terhadap ketentuan Pasal
tersebut menurut Presiden permohonan tersebut tidak menjadi kompetensi
Mahkamah Konstitusi karena yang diajukan adalah saran kepada pembuat
undang-undang agar kompetensi lembaga praperadilan diperluas, termasuk
perpanjangan penahanan.80
Jelaslah, dalam pendapat tersebut menyatakan bahwa
perluasan suatu norma dalam perundnagan adalah kewenangan dari DPR sebagai
lembaga legislatif yang memiliki otoritas membentuk, menambahkan, maupun
menghapus norma dalam suatu undang-undang.
Uji konstitusionalitas suatu undang-undang tidak lain merupakan
pembatasan kewenangan dari DPR. Karena terdapat kemungkinan bahwa satu
undang-undang yang dihasilkan organ legislative tidak singkron dengan norma
yang terdapat di dalam UUD 1945. Undang-undang tersebut dapat dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan tindakan itu merupakan satu
pembatasan yang luar biasa terhadap kekuasaan legislatif. Uji konstitusionalitas
disamping selalu dapat dipersoalkan dari segi prinsip-prinsip demokrasi juga
merupakan realisasi negara berdasarkan kedaulatan hukum.
Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli
2009,h.364.].
80Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014
h.95.
58
Berdasarkan perspektif tersebut, dapat dilihat bahwa semangat
pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menjadi penyeimbang
kekuasaan antar lembaga negara dan menjadi pengawas atas produk yang
dibentuk oleh DPR yakni menjaga konstitusionalitas Undang-Undang yang
berkesesuaian dengan UUD 1945.
Perspektif historis dibentuknya Mahkamah Konstitusi akhirnya
ditransformasikan menjadi suatu landasan hukum yakni dimana pelaksanaan
kewenangan Mahkamah Konstitusi termaktub dalam Pasal 24 C UUD 1945
sebagai dasar yuridis utama. Ditegaskan bahwa lembaga Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga yang berada dalam naungan kekuasaan kehakiman yakni lembaga
yang diamanahkan tugas untuk menjadi pengawal dan penafsir konstitusi demi
terselenggaranya penyelenggaraan negara sejalan dengan UUD 1945.
Adapun Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981,
diujikan dengan dasar pemohon warga negara Indonesia, salah satu dasar
pemohon yaitu bahwa konsep praperadilan yang terbatas pada memberikan
penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyiikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan
perlindungan yang cukup bagi Tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.81
Dengan beberapa pendapat yang menjadi
pertimbangan Mahkamah, nyatanya Mahkamah sependapat dan sejalan dengan
apa yang dimohonkan oleh pemohon.
81
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 h.
70.
59
Hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa
penetapan tersangka merupakan hal yang berkesesuaian dengan hukum, untuk
dapat dijadikan salah satu objek praperadilan sebagaimana yang dimohonkan oleh
pemohon.
Putusan Mahkamah tersebut merupakan putusan yang bersifat normatif
legislatif, berdasarkan kewenangannya Mahkamah Konstitusi tidaklah berwenang
menciptakan norma baru dalam suatu undang-undang yang diujikan, hal ini
ditegaskan oleh Jamin Ginting saksi ahli dari KPK dalam sidang kasus
praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, menurut
keterangannya Mahkamah Konstitusi memiliki sifat dasar yakni sebagai negative
legislative bukan normative legislatif82
, maka yang perlu diperbaiki adalah prinsip
checks and balances yang harusnya ditegakkan, karena prosedur penambahan
nroma merupakan kewenangan DPR bersama dengan Presiden.
Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menilai putusan tersebut jelas
merupakan putusan yang tidak hanya mengawasi produk legislatif, namun dalam
putusan tersebut justru Mahkamah Konstitusi telah memasuki ranah legislatif.
Seharusnya Mahkamah Konstitusi bertindak dengan memperhatikan landasan
yuridis yang telah termaktub dengan jelas dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf d dan
82 Achmad Zulfikar Fazli, Putusan MK Terkait Praperadilan Belum Dapat dijalankan,
lihat:http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/06/410511/putusan-mk-terkait-praperadilan-
belum-dapat -dijalankan diakses pada 26 Agustus 2015 pukul 14.05.
60
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang
berisi:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-
Undang;
c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Bahwa pasca diputusnya suatu putusan, terdapat tindak lanjut yang akan
menjadi kewenangan DPR sebagai lembaga legslatif dalam menambah atau
menghapus suatu norma. Karena ternyata pada putusan yang diteliti kali ini,
Mahkamah tidak hanya menyatakan pasal tersebut konstitusional atau
inkonstitusional namun, Mahkamah mewujudkan permohonan pemohon untuk
menjadikan „penetapan tersangka‟ sebagai salah satu objek praperadilan tanpa
memperhatikan dampak yang akan terjadi pada masyarakat yang
perkembangannya amat dinamis.
A. Dasar Pertimbangan Mahkamah atas Putusan Penetapan Tersangka
Sebagai Objek Praperadilan
Alles binnen de kader van de wet, cara berhukum semata-mata
berdasarkan undang-undang atau istilah lain yang ditemukan adalah
61
“mengeja undang-undang”83
. Pertimbangan hakim adalah upaya penting
dalam menemukan sisi keadilan. Ronald Dworkin mengungkapkan, bahwa
membaca UUD itu tidak sama dengan membaca peraturan biasa. Kita
perlu membaca lebih sungguh-sungguh (taking law seriously) dan
membaca UUD sebagai pesan moral (the moral reading of the
constitution).84
Dalam legal standing (kedudukan hukum) atau yang artinya hal
yang mendasari pembenaran subyektum pencari keadilan mengajukan
permohonan pengujian undang-undang ke hadapan Mahkamah Konstitusi.
Pemohon harus dapat mendalilkan legal standing yang mendasari
pengajuan permohonan pengujiannya itu. Legal standing adalah entitle
atau hak yang mem-benarkan subyektum mengajukan permohonan
pengujian undang-undang. Legal standing tidak lain dari hak gugat.85
Adapun dalam permohonan pada putusan No. 21/PUU-XII/2014,
pemohon memiliki dalil yakni bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28I
ayat (5) UUD 1945 apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak
sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
83
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks, Lihat:Satya Arinanto dan Ninuk
Triyanti, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi,(Jakarta:Rajawali Press, 2011),
h.3.
84 Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif,h.164.
85Berjalan-Jalan di Ranah Hukum Pikiran-Pikiran Lepas Laica Marzuki, (Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h.103.
62
surat, dan pemohon memohon pada Mahkamah untuk mengadakan suatu
perluasan objek praperadilan yakni salah satunya dimasukannya penetapan
tersangka sebagai salah satu objek yang dapat dipraperadilankan.
Atas dasar tersebut, Mahkamah mempertimbangkan secara garis
besar, pertama, yakni ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu
perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana
menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi
lembaga penegak hukum. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses
peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak
tersanga/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran
hak asasi manusia.
Kedua, penegakkan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi
terciptanya dan teralisasinya tujuan nasional Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang termaktub dengan jelas dalam alinea ke empat UUD 1945
yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
63
Ketiga, Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu
tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang
mempunyai harkat, martabat, dan keuddukan yang sama di hadapan
hukum.
Keempat, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas
tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak
mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan
tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang
diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat.
Kelima, bahwa keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai
bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan
hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia,
sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai
bagian dari mahakarya KUHAP. Namun nyatanya, pranata praperadilan
tidaklah berjalan maksimal sesuai fungsinya memerankan peran
pengawasan, karena praperadilan hanya bersifat post facto sehingga tidak
sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang
mengedepankan unsur objekif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat
diawasi pengadilan.
Keenam, Mahkamah berpendapat bahwa sejak diberlakukannya
KUHAP pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial
dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
64
Sejalan dengan peryataan Hakim Mahkamah, pada sidang
Praperadilan Dahlan Iskan, terdapat empat orang berstatus Ahli dan satu
orang sebagai saksi fakta yang dihadirkan oleh Jaksa di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Pada 31 Juli 2015, seorang ahli yakni Prof.Edward Omar
Sharif Hiariej Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa
penetapan tersangka perlu diuji karena hal tersebut menyangkut hak asasi
manusia (HAM), aturan KUHAP merupakan produk Orde Baru yang
kurang menghargai HAM, Edward mencontohkan tidak jarang selama ini
orang ditetapkan tersangka namun tidak diproses hingga akhirnya
meninggal86
. Inilah yang dimaksudkan oleh Hakim Mahkamah, bahwa
problematika penetapan tersangka belum menjadi isu krusial pada saat
pembentukan peraturan-perundang-undangn, sejalan dengan dinamisnya
kehidupan masyarakat, maka kini objek penetapan tersangka perlulah
menjadi hal yang diujikan.
Adapun upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai
sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan,
namun pada masa sekarang bentuk-bentuk upaya paksa telah mengalami
berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah
“penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam
bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya
batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara
86
Lihat Saksi ahli jaksa justru dukung dahlan, www.kaltimpost.co.id- html, diakses pada
24 Agustus 20i5, pukul:16.09 wib.
65
untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya
untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian
tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus
mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga
jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih
dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik
dan sempurna.
Ketujuh, Ditegakkan dan dilindunginya proses praperadilan
adalah bertujuan agar tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi
manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemerikasaan penyidikan dan
penuntutan. Berdasarkan dan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan perlindungan hak asasi manusia yang termaktub dalam
Bab XA UUD 1945, maka setiap tindakan penyidik yang tidak memegang
teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia
dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan, meskipun hal
tersebut dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto
Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari
proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan
sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak
asasi seseorang.
Kedelapan, dinyatakan apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan
secara ideal dan benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun
66
pranata praperadilan dihadirkan sebagai upaya realisasi perlindungan hak
asasi manusia yang jelas tekmaktub dan dilindungi dalam UUD 1945.
Mahkamah berpendapat dimasukannya keabsahan penetapan tersangka
sebagai objek pranata praperadialn adalah agar perlakuan terhadap
seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia
yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan
hukum. Atas kedelapan pertimbangan tersebutlah, Mahkamah berpendapat
bahwa dalil pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang
diadili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum.
B. Implikasi Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 terhadap Penambahan
Norma Penetapan Tersangka pada Objek Praperadilan
Implikasi hukum secara substantif dari putusan itu adalah
mengenai tindakan “lepas tangan” dari Mahkamah Konstitusi tentang
presentase tiket keadilan. Permasalahannya adalah, apakah suatu putusan
Mahkamah mampu mencerminkan keadilan, dalam arti sesuai dengan
heterogenitas masyarakat Indonesia87
.
Pembahasan pada penilitian ini akan diuraikan menegnai implikasi
dari penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan
pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 merupakan
87
Samsul Wahidin, Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), h.200.
67
salah satu upaya untuk mengisi kekosongan hukum sebelum diberlakukan
penambahan norma dalam suatu undang-undang.
Atas tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menyebabkan
adanya implikasi pada penegakkan hukum acara pidana di Indonesia.
Menurut analisa penulis, implikasi tersebut melingkupi tiga segi utama
yakni implikasi terhadap penegakkan hak konstitusional warga negara,
implikasi pada implementasi putusan di tengah masyarakat, dan implikasi
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang pada dasarnya memiliki
prinsip checks and balances.
Pertama, implikasi putusan dari segi penegakkan hak
konstitusional warga negara, sudah tidak diragukan bahwa negara adalah
aspek utama dalam mengatur serta menata kehidupan masyarakat.
Cara negara untuk mengatur warga negara adalah salah satunya
dengan membentuk suatu aturan yang dinormakan dalam produk undang-
undang, dimana undang-undang tersebut adalah aturan yang diserap dari
norma dasar yakni UUD 1945, dan disebutlah undang-undang tersebut
bersifat konstitusional. Ketika undang-undang tersebut mencederai hak
konstitusional warga negara disinilah celah dimana warga negara memiliki
hak untuk dapat memperjuangkannya melalui proses judicial review di
peradilan konstitusi. Disini pulalah peran negara amat penting dalam
memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara.
68
Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan salah satu dalil
pemohon yang memohon untuk dilindungi hak konstitusionalnya, akibat
dicederai dengan tindakan aparatur penegak hukum yang telah menetapkan
pemohon sebagai tersangka tanpa memperhatikan adanya due process of
law.
Mahkamah akhirnya pada putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
mengabulkan „penetapan tersangka‟ sebagai salah satu objek praperadilan.
Tujuan tindakan tersebut selaras dengan semangat dari dibentuknya
Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution. Adapun
alasan utama dari putusan tersebut yakni menegakkan hak asasi manusia
yang dilindungi oleh konstitusi negara.
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar sejalan dengan apa
yang diuraikan sebelumnya dalam concurring opinion (alasan berbeda)nya
mengemukakan bahwa putusan Mahkamah adalah putusan yang
memperhatikan hak asasi manusia sebagai hak dasar yang ia miliki, tidak
hanya hak yang melekat kepada tersangka tersebut, namun juga
melindungi hak-hak yang dimiliki oleh keluarga dari tersangka tersebut88
dan tentu untuk memberikan kehati-hatian dari aparatur penegak hukum
untuk tidak melakukan kesewenangan dalam melakukan penyidikan
sehingga tidak hak warga negara yang terampas percuma.
88
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014
h.111.
69
Oleh karena itu, alangkah tepat tindakan Mahkamah memutus
bahwa Pasal 77 huruf a inkonstitusional, karena tentu tujuannya adalah
mengembalikan nyawa dari undang-undang tersebut karena ternyata dalil
dan bukti pemohon dapat membuktikan bahwa Pasal tersebut tidak lagi
memiliki jiwa atau semangat perlindungan hak asasi manusia. Namun,
penulis tetap menyoroti kewenangan Mahkamah Konstitusi yang pada
dasarnya merupakan negatif legislatif, yakni membatalkan suatu pasal
yang diujikan, bukan justru menambahkan suatu norma atas perluasan
yang dimohonkan oleh Pemohon89
. Atas hal tersebutlah, penulis melihat
adanya ketidaksingkronan apa yang seharusnya dengan kenyataan yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedua, Implikasi terkait dengan implementasi putusan di tengah
masyarakat, adapun pada umumnya dalam sebuah putusan peradilan
konstitusi tidak boleh menjatuhkan putusan di luar yang diminta oleh
pihak berperkara pemohon (ultra petita)90
. Sebagaimana menurut Ahmad
Dimyati Natakusumah anggota DPR fraksi PPP pada sidang pengujian UU
No.8 Tahun 2011 perubahan terhadap UU No.24 Tahun 2003 tentang
89
Pendapat penulis sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam oleh Hakim Konstitusi
Patrialis Akbar dalam Concurring Opinion (Alasan berbeda) bahwa Patrialis Akbar mendukung
dan setuju dengan putusan Mahkamah dalam perkara tersebut, namun akan lebih tepat jika hal ini
diserahkan pada pembentuk Undang-Undang untuk menentuka pilihan objek-objek praperadilan
asal sejalan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.[Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 21/PUU-XII/2014 h.113).
90Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan Bab III dalam skripsi ini, bahwa
putusan ultra petita atau suatu putusan yang melebihi dari apa yang dimohonkan (petitum) adalah
suatu putusan yang berada pada rezim hukum pidana dan hukum perdata.
70
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa MK secara konstitusional hanya
memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD dan
tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma sebagai norma baru
yang diputus bertentangan dengan UUD. Dipertegas pula dengan
pernyataan M.Zainal Arifin kuasa hukum pemohon pada perkara No.
48/PUU-IX/2011 menyatakan, bahwa pembentukan undang-undang fungsi
legislasi konstitusional merupakan kewenangan DPR bersama pemerintah,
jika MK dalam putusannya membuat norma baru, maka MK telah
melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi. 91
Namun, Mahkamah Konstitusi telah membuat terobosan dalam
putusannya terkait dengan pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meskipun sejalan dengan
apa yang dimohonkan, namun sekali lagi tindakan Mahkamah Konstitusi
merupakan tindakan yang menembus prosedural hukum sehingga
dikhawatirkan akan memberi peluang pada Mahkamah Konstitusi
memasuki ranah kewenangan legislatif.
Hal tersebut nyatanya pasti menuai animo masyarakat pasca
putusan tersebut diputus dan dibacakan pada persidangan tanggal 28 April
2015 dimana beberapa orang yang ditetapkan tersangka dapat
mempraperadilankan penetapannya sebagai tersangka. Tidak hanya bagi
masyarakat tapi juga bagi aparatur penegak hukum.
91
Pengujian UU MK “DPR:MK Tidak berwenang putus “ultra petita”, Jurnal Konstitusi
No.56 (September 2011):h.21.
71
Ketiga, Implikasi terhadap aparatur penegak hukum, dalam
menegakkan norma yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yakni masih
terdapat pertentangan dari pihak tertentu mengenai penetapan tersangka
sebagai salah satu objek praperadilan atau bukan.
Misalnya, pasca putusan Mahkamah Konstitusi diputus, telah
banyak pihak yang ditetapkan tersangka mengajukan praperadilan, salah
satunya pada kasus praperadilan Dahlan Iskan, Jaksa yang mendakwa
berpedapat bahwa penetapan tersangka bukanlah objek dari praperadilan,
namun ahli yang didatangkan berpendapat bahwa penetapan tersangka
adalah sah sebagai objek praperadilan. Hal ini menggambarkan bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi meskipun bersifat erga omnes namun pada
faktanya tidak mampu mengikat seperti halnya undang-undang yang
mempunyai kepastian hukum dan disepakati seluruh pihak.
Karena terdapat anggapan bahwa sekali hakim konstitusi memutus
maka ratusan masyarakat Indonesia harus patuh dan tunduk.92
Maka sudah
sepatutnya suatu norma yang dirumuskan dalam undang-undang
diberlakukan melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-
undangan yang menjadi otoritas dari lembaga legislatif.
Menanggapi hal tersebut Edward Omar Sharif Hiariej menyataan
bahwa selepas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-
92
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010, h.164.
72
XII/2014, penetapan tersangka merupakan objek praperadilan. Masih
dilansir dari media yang memberitakan tentang praperadilan yang diajukan
oleh Dahlan Iskan, sebagai seorang akademisi, Edward berpendapat bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan peradilan biasa yang hanya
dipatuhi para pihak, sifat putusan Mahkamah Konstitusi yakni mengikat
dan berlaku untuk seluruh pihak seketika diputus dihadapan publik (erga
omnes).93
Disamping hal yang sudah terjadi, yaitu mengenai jaksa yang
belum memaksimalkan adanya putusan MK sebagai landasan bahwa
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, perlu ada antisipasi pula
terhadap penyidik yang sekiranya menetapkan seseorang sebagai
tersangka.
Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, dimana penetapan
tersangka adalah ujung dari tindakan penyidik yang sebelumnya yaitu
berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan dan memperoleh
kejelasan akan tindak pidana yang terjadi. Tindakan tersebut adalah bukan
upaya paksa sebagaimana objek praperadilan sebelumnya94
. Maka disini
penyidik dituntut untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang
sebagai tersangka, karena ketika seseorang dengan bukti yang jelas telah
93
Lihat Artikel, Saksi Ahli Jaksa mendukung Dahlan Iskan, http://www.kaltimpost.co.id.,
Diakses pada 26 Agustus 2015 pada pukul 21.19.
94Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 h.
115.
73
ditetapkan sebagai tersangka, kemudian diajukan praperadilan akan ada
celah bagi seseorang tersebut menghilangkan bukti yang telah berhasil
ditemukan penyidik. Implementasi tersebutlah yang harus dimaksimalkan
oleh setiap aparatur penegak hukum. Seperti yang dikemukakan oleh
Indriyanto Seno Adji95
sebagai Pelaksana Tugas Pimpinan KPK bahwa
pasca putusan MK tersebut, KPK akan tetap melaksanakan tugasnya
dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum secara baik serta
tentu bertindak dengan professional dan tidak sewenang-wenang.
Tentu selain hal tersebut, putusan MK yang menyatakan penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan patutnya tidak dijadikan alat atau
celah melemahkan penegakkan hukum di Indonesia.
Keempat, implikasi terhadap sistem ketatanegaraan yang pada
dasarnya memiliki prinsip checks and balances. Sebagaimana konsep teori
yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut sistem
pembagian kekuasaan (distribution of power) yang saling melengkapi satu
sama lain. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan legislatif sebagai
pembentuk undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang,
dan yudikatif sebagai pengawas undang-undang.
95
Wawancara yang dilakukan oleh Metro News.com kepada Indriyanto Seno Adji terkait
dengan penetapan tersangka sebagai salah objek praperadilan pasca putusan MK, lihat di Yogi
Bayu Adji, KPK Hormati Putusan MK Memasukkan Penetapan Tersangka Jadi Objek
Praperadilan, http://news.metrotvnews.com/read/2015/ diakses pada 9 Oktober 2015 pukul 17.15.
74
Pembagian kekuasaan tersebut tercermin dalam prinsip check and
balances dimana lembaga negara yang satu dengan yang lainnya saling
mengimbangi dan mengawasi. Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia,
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga di bawah naungan kekuasaan
kehakiman atau lembaga yudikatif yang kewenangan dasarnya adalah
sebagai pengawas undang-undang.
Ketika, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa penetap tersangka
sebagai salah satu objek praperadilan tanpa membiarkan tempo waktu
untuk adanya tindakan lebih lanjut dari putusan tersebut, ini merupakan
tindakan Mahkamah Konstitusi yang telah memasuki kewenangan
legislatif.
I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto Hakim
Konstitusi dalam Dissenting Opinion (pendapat berbeda) menegaskan
dalam pernyataannya yang dilansir oleh media96
bahwa hal ini merupakan
ranah penerapan hukum, dan tidak dimasukannya penetapan tersangka
dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang pembentuk
undang-undang.
Oleh karena itu, implikasi pada sistem ketatanegaraan di Indonesia
adalah, tidak adanya penegasan prinsip check and balances sebagaimana
yang telah diatur dalam UUD 1945. Adapun Mahkamah Konstitusi
96
Ihsanuddin, Artikel, MK Putuskan Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan,
http//nasional.kompas.com//Mk-Putuskan-Penetapan-Tersangka-sebagai-Objek-Praperadilan,
diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pada pukul 22.00.
75
sebagai pengawal konstitusi telah mencederai sendiri prinsip pembatasan
kekuasaan yang telah termaktub dalam UUD 1945.
C. Faktor Yang Mempengaruhi Putusan MK Nomor 21/PUU-
XII/2014
Dari ketiga implikasi yang telah penulis paparkan, dapat diketahui
beberapa faktor yang mempengaruhi putusan Mahkamah, yaitu :
Faktor Yuridis-Filosofis, faktor pertimbangan hakim dari landasan
yuridis konstitusional, menurut analisa penulis yaitu kembali pada elemen
utama dalam negara hukum ialah perlindungan hak asasi manusia, tentu
negara memiliki andil untuk membentuk aturan bagi masyarakatnya. Maka
tak lain faktor utama yang mempengaruhi putusan Mahkamah ialah
konstitusi sebagai teks utama dasar pertimbangan hakim yakni untuk
menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945. Konstitusi
dijadikan dasar utama karena normanya yang hidup dam berjiwa
sebagaimana menurut Montesquieu yang pernah mengemukakan97
:
“Hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks
undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para
hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun
tentang ketaatannya.”
97
Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta:Prenada
Media Group,2012), h. 41.
76
Menilik pada hal tersebut, maka tindakan Mahkamah adalah
tindakan untuk menjadikan undang-undang berjiwa dan bernyawa kembali
sesuai dengan nilai dasar dalam UUD 1945.
Faktor Sosiologis, Pergolakan dinamika yang berkembang di
tengah masyarakat tentu menjadi salah satu landasan atau pertimbangan
Mahkamah dalam memutus permohonan judicial review ini. Gelombang
pergolakan politik yang kerap mempengaruhi kualitas dari suatu lembaga
negara adalah hal yang penulis soroti. Putusan Mahkamah Konstitusi
diputus yakni pada tanggal 28 April 2015, namun sebelumnya telah terjadi
polemik mengenai objek penetapan tersangka yang nyatanya diputus
terlebih dahulu di Pengadilan Negeri oleh Hakim Sarpin Rizaldi dalam
kasus Komjen Budi Gunawan. 98
Atas pergolakan yang terjadi tersebut, akhirnya masyarakat seperti
disadarkan bahwa penetapan tersangka adalah hal yang krusial pada saat
ini. Maka setelah perkara praperadilan Budi Gunawan pun beberapa orang
yang ditetapkan tersangka mengajukan praperadilan secara berbondong-
98
Dalam wawancara yang dilansir oleh Hukum Online kepada Hakim Sarpin Rizaldi,
beliau menyatakan bahwa mengenai punya wewenang atau tidak, kalau pengadilan menganggap
bahwa pengadilan berhak melakukan pengawasan kepada tindakan penyidik secara luas,
setidaknya kita bisa menarik manfaat dari peristiwa ini,” ujarnya kepada hukumonline, Senin
(16/2).[Lihat: Tri Yuanita Indriani, Artikel, Akademisi: Kita Bisa Menarik Manfaat dari Putusan
Praperadilan BG, http://www.hukumonline.com//, diakses pada 27 Agustus 2015 pukul 21.00 wib.
77
bondong. Berikut adalah tabel data pengajuan praperadilan terkait dengan
penetapan tersangka99
:
Tabel 1:
Tersangka yang mengajukan praperadilan terkait dengan penetapan
tersangka:
99
Lihat Artikel Indonesia Hukum pada http://www.bbc.com/indonesia/ berita_indonesia
diunduh pada tanggal 9 Oktober 2015 pukul 14.36 WIB.
No.
Nama yang
Ditetapkan
Sebagai
Tersangka
Kasus
1. Dahlan Iskan
Kasus tindak pidana korupsi pembangunan
Gardu Induk di Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara Barat.
2. Suryadharma
Ali
Kasus dugaan korupsi dalam
penyelenggaraan haji di Kementerian Agama.
3. Sutan
Bhatoegana
Kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam
penetapan APBN Perubahan Kementerian
ESDM di Komisi VII DPR RI
4. Hadi Poernomo Kasus Dugaan Korupsi penerimaan keberatan
Pajak PT BCA tahun 1999.
5. Suroso Atmo
Martoyo
Kasus dugaan suap pengadaan zat tambahan
bahan bakar, tetraethyl lead (TEL) Pertamina
tahun 2004-2005.
6. Mukti Ali Kasus Dugaan Korupsi Dana Bantuan Sosial.
78
Pada tabel tersebut tergambar bahwa animo pengajuan praperadilan
terkait dengan penetapan tersangka diajukan kebanyakan oleh tersangka
yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sebuah hal yang patut
disorot ketika dengan dikabulkannya permohonan pada putusan MK
Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan secara bahwa Pasal 77 huruf a
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan100
. Hal itu akan
menjadi celah bagi para tersangka tindak pidana korupsi untuk dapat
membatalkan penetapan tersangkanya sehingga penegakkan hukum terkait
pemberantasan korupsi akan lebih lemah.
Penulis menilai Mahkamah Konstitusi yang memutus putusan
tersebut kemudian menambahkan norma baru dalam pasal yang telah
dibatalkan adalah dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hukum.
Namun nyatanya, sebelum putusan Mahkamah dinyatakan sah dan
mengikat, putusan mengenai penetapan tersangka dapat menjadi objek
praperadilan, sudah lebih dulu diputus di Pengadilan Negeri sebagaimana
data yang telah diungkapkan di atas. Maka, sangat jelas bahwa dinamika
yang terjadi di masyarakat menjadi faktor yang sangat mempengaruhi
pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi.
100
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014
h.110.
79
Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa hukum bukanlah suatu
skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah,
mengikuti dinamika manusia.101
Dinamika masyarakat pun menjadi titik perhatian dari Mahkamah
dengan diperkuat dengan salah satu pertimbangan dari Mahkamah yakni,
KUHAP yang diberlakukan mulai dari tahun 1981, penetapan tersangka
belumlah menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Kenyataannya, penetapan tersangka sekarang
menjadi isu yang krusial dan patut diujikan.
Analisa penulis mengaitkan putusan Mahkamah sebagaimana ayat
dibawah ini:
Artinya : Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada
menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami
padanya, jika kami berbuat demikian, maka benar-benarlah kami orang-
orang yang zalim. (QS: Yusuf:79).
Terkait dengan ayat tersebut ialah, ketika suatu perbuatan adalah
sudah sepatutnya ditahan, dibatasi, agar suatu pengaruhnya dapat
101
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, h.VII.
80
memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.
Dan, bahwa setiap tindakan yang dilakukan seharusnya dapat dibatasi dan
ditahan ketika undang-undang sudah dengan jelas memberikan pembagian
kekuasaan antar lembaga negara.
Adapun faktor sosiologis yang telah diuraikan di atas memanglah
hal yang berpengaruh atas putusan Mahkamah, oleh karenanya sosialisasi
mengenai keberlakuan atau tindak lanjut dari putusan Mahkamah
Konstitusi adalah hal yang patut diperhatikan.
Jika tindak lanjut belum terpenuhi, setidaknya sosialisasi putusan
tersebut haruslah menyentuh seluruh lapisan agar tidak terjadi kontradiksi
antar penegak hukum yang akan berhadapan langsung dengan kasus
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
81
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang
pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, menuai beberapa implikasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, Implikasi yang tepat
yakni memberikan penegakkan hak konstitusional warga negara,
Kedua, Implikasi terhadap implementasi putusan tersebut di tengah
masyarakat, yakni akan terdapat banyak kasus terkait dengan
penetapan tersangka yang akan diajukan dalam proses praperadilan.
Terlebih ketika data menunjukkan bahwa terdapat 6 tersangka
sebelum diputus putusan MK tersebut, telah ada kasus yang
dikabulkan pembatalan terkait dengan penetapan tersangka dalam
proses praperadilan. Ketiga, Implikasi terhadap aparatur penegak
hukum yakni kesulitan bagi penyidik dalam menetapkan seseorang
sebagai tersangka, kemudian ketidaktahuan aparatur penegak hukum
dalam menerapkan norma putusan Mahkamah Konstitusi tentang
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dikarenakan aparatur
82
penegak hukum seperti jaksa akan melihat terlebih dahulu teks
undang-undang yang berlaku dan Keempat, implikasi terhadap sistem
ketatanegaraan yang pada dasarnya memiliki prinsip check and
balances.
2. Bahwa pada putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
pertimbangan hakim yang paling utama mengenai tiga hal,
perwujudan due process of law dalam negara hukum, gelombang
dinamika masyarakat dari segi politik dan budaya yang juga sangat
mempengaruhi pertimbangan hakim, serta yang paling krusial adalah
mengenai realisasi penegakkan hak asasi manusia pada proses
praperadilan sebagai tersangka dalam penyidikan dan pemeriksaan.
3. Faktor yang mempengaruhi pertimbangan hakim Mahkamah antara
lain, pertama, faktor yuridis-filosofis yang menurut Pasal 24 C UUD
NRI 1945 melekatkan kewenangan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, serta faktor
filosofis yakni faktor ideal seorang hakim konstitusi dalam
memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, kedua,
faktor sosiologis yakni dinamika yang terjadi di tengah masyarakat
dengan terjadi polemik mengenai penetapan tersangka yang memang
belum diakomodir dengan baik dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
83
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui
penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran konstruktif sebagai
berikut:
1. Secara Struktur Kelembagaan Negara, terjadi hilangnya
penegasan prinsip check and balances antar lembaga negara.
Maka, berdasarkan prinsip checks and balances dengan
melaksanakan perintah undang-undang yang memuat
kewenangan masing-masing lembaga negara, prinsip tersebut
haruslah dipertegas, lembaga negara yang dimaksud yakni
Mahkamah Konstitusi sebagai negatif legislatif dengan DPR
sebagai lembaga positif legislatif.
2. Secara Substansi Hukum, ketika adanya produksi undang-
undang, maka produksi tersebut patutnya menyesuaikan dengan
dinamika yang terjadi di tengah masyarakat, agar undang-
undang tidak bersifat kaku dan mutlak. Dengan tindak lanjut
putusan Mahkamah Konstitusi, dan menyegerakan pengesahan
RUU KUHAP dengan dimuatnya norma penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan, maka hal tersebut akan memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia dalam proses
hukum acara pidana.
84
3. Secara Kultur Hukum, dalam putusan Mahkamah Konstitusi
yang memutus bahwa penetapan tersangka adalah sebagai salah
satu objek praperadilan adalah putusan yang mengikat seluruh
pihak secara otomatis (erga omnes). Hal tersebut diputus
kemudian diperluas norma dalam objek praperadilan, namun
tidaklah melalui tahap partisipasi masyarakat sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Maka
seharusnya, jika harus ada pemuatan norma Mahkamah
Konstitusi harus dengan tegas menyatakan bahwa hal tersebut
adalah kewenangan dari lembaga legislatif, yakni Dewan
Perwakilan Rakyat.
85
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur an dan Terjemahan, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2014.
Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai
Implementasi, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.
__________, Jimly, Konstitusi dan Konstitusinalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
__________, Jimly, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
__________, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Asikin, Zainal dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Astana M.Widya, Haka,“Praperadilan dan Hakim Komisaris”,Problematika
Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi Hukum Nasional
RI, 2013.
Dillah, Philips dan Suratman, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta,
2012.
Estu Bagijo, Himawan Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi Perwujudan Negara
Hukum yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang,Yogyakarta: LaksBang Grafika, 2014.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Harahap, M.Yahya Pembahasan Permasaahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
________, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
penyidikan dan penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
86
Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
_________. Tranformasi Demokrasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2009.
Huda, Ni‟matul Perdebatan Hukum Tata Negara Peredebatan dan Gagasan
Penyempurnaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2014.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008.
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran,
Bandung: Mizan Media Utama, 2007.
Israa, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012.
Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Sendi-sendi/Fundamen
Negara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2010.
_________, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.
__________, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jakob Tobing
tentang Perubahan UUD 1945), Jakarta : Konstitusi Press, 2008.
__________, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan
Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008.
___________, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum Pikiran-Pikiran Lepas Laica
Marzuki, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2006.
Manan, Bagir dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi „makna dan
aktualisasi‟, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2014.
87
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum,Jakarta: Prenada Media Group, 2013.
Mahfudh, MD, Moh, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Rajawali Pers: Jakarta, 2011.
M.Gaffar, Janedjri, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2013.
Salman, Otje, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung:
Refika Aditama, 2012.
Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi (Suatu studi tentang adjudikasi
Konstitusional sebagai Penyelesaian Sengketa Normatif), Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2006.
Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum, Jakarta:
PT.Prenada Media Group,2011.
Wahidin, Samsul Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014.
Rahardjo, Satjipto, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010.
Jurnal Hukum
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Ultra petita Konstitusional, Jurnal
Konstitusi, No. 57 Oktober 2011.
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Putusan Uji UU Perkebunan: Akhir
Kriminalisasi Petani, Jurnal Konstitusi, No.56 September 2011.
Siahaan, Maruarar, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum
Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009.
Safa‟at Ali, Muchamad, Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam
Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, 2010.
Syahrizal, Ahmad, Problematika Implementasi Putusan MK,Journal Konstitusi
Volume 4 Nomor 1, Maret 2007.
88
Skripsi
Sudrajat, Agung. Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator
Pada Uji Materiil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia
(Studi Kasus: Putusan MK No.10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarata
Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum,Skripsi S 1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2012.
Peraturan Perundang-Undangan
Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan DPR, No.15/DPR-RI/I/2004-2005 tentang
Peraturan Tata Tetib DPR. Pasal 42.
__________. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.24 Tahun
2003,LN. 98 Tahun 2003, TLN.No.4316.
__________. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
No. 11 Tahun 2011, LN No.82 Tahun 2012, TLN No. 5234.
__________.Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.8 tahun 2011, LN
No.70 Tahun 2011, TLN No. 5266.
Hamzah, Andi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Rineka
Cipta, 2010.
Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2011.
___________. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Pasal 77 huruf a
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentan Hukum Acara Pidana.Putusan
MK No.21/PUU-XII/2014.
Internet
Achmad, Fazli Zulfikar. Putusan MK Terkait Praperadilan Belum Dapat
dijalankan, http://news.metrotvnews.com//, diakses pada tanggal 26
Agustus 2015.
Ihsanuddin, Artikel, MK Putuskan Penetapan Tersangka sebagai Objek
Praperadilan, http//nasional.kompas.com//Mk-Putuskan-Penetapan-
89
Tersangka-sebagai-Objek-Praperadilan, diakses pada tanggal 27 Agustus
2015.
Indriani, Tri Yuanita, Artikel, Akademisi: Kita Bisa Menarik Manfaat dari
Putusan Praperadilan BG, http://www.hukumonline.com//, diakses pada
tanggal 27 Agustus 2015.
Indonesia Hukum , http://www.bbc.com/indonesia/ berita_indonesia diakses pada
tanggal 9 Oktober 2015 Pukul 14.36.
Israa, Saldi, Negative Legislator. www.saldiisraa.co.id. artikel diakses pada
tanggal 13 Agustus 2015.
Mahkamah Konstitusi, Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi,
c.n,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page.website. Profil
SejarahMK diunduh pada 1 September 2015
Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah
konstitusi.go.id /index .php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1
September 2015
Saksi Ahli Jaksa mendukung Dahlan Iskan, http://www.kaltimpost.co.id// Diakses
pada tanggal 26 Agustus 2015 pada pukul 21.19.
90
LAMPIRAN