42
IMPLIKASI HUKUM KETETAPAN MPR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (KAJIAN ATAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN) Oleh: I KETUT SURYA BAWANA NIM: I2B 011 032 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2012

Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

IMPLIKASI HUKUM KETETAPAN MPR DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

(KAJIAN ATAS PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12

TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN)

Oleh:

I KETUT SURYA BAWANANIM: I2B 011 032

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS MATARAM

2012

Page 2: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan

makalah Kapita Selekta Hukum Tata Negara ini dengan judul “Implikasi

Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia”.

(Kajian Atas Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan)

Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada para

dosen pengampu mata kuliah Kapita Selekta Hukum Tata Negara, khususnya

kepada H. Sofwan, SH.,M.Hum. yang telah memberikan bekal pengetahuan

dan tugas perkuliahan untuk menambah khasanah pengetahuan di dalam

menimba ilmu dibangku kuliah.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik maupun saran demi penyempurnaan isi, bentuk maupun

susunan akan penulis terima dengan terbuka.

Semoga makalah ini dapat memberi kontribusi dalam menambah

wawasan kita semua dalam menempuh studi Ilmu Hukum pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum di Universitas Mataram.

.

Mataram, 12 Oktober 2012

Penulis,

Page 3: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………….……. i

Kata Pengantar…………………………………………...……..……………… ii

Daftar Isi…………………………………………………..…...………………... iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....…………………………………….…………………… 1

B. Rumusan Masalah………………………………………………………… 3

BAB II. PEMBAHASAN

A. Kedudukan MPR pasca amandemen UUD

1945………………………………………………………...….…….…… 4

B. Kedudukan TAP MPR pasca disahkannya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan……………………………………………………... 5

C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan mengadili terhadap Tap MPR yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945…………………………………………………..…… 19

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………..…………………… 24B. Saran…………………………………….……………………...………… 25

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum dilakukan perubahan atas UUD 1945, Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikontruksikan sebagai wadah penjelmaan

seluruh rakyat yang berdaulat, tempat ke mana Presiden harus tunduk dan

mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya.

Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum diadakan perubahan itu, dinyatakan

bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR”. Dari

kontruksi yang demikian, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat dipahami

sebagai lembaga tertinggi negara dimana kedaulatan seluruh rakyat Indonesia

terjelma. Oleh karena itu, segala ketetapan yang dikeluarkannya mempunyai

kedudukan lebih tinggi dari produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-

lembaga tinggi negara yang lain, seperti Presiden, DPR, ataupun Mahkamah

Agung1. Dengan demikian, ketetapan MPR/S lebih tinggi kedudukan

hierarkinya daripada Undang-Undang ataupun bentuk-bentuk peraturan

lainnya.

Kewenangan pembentukan TAP MPR dan kedudukan MPR sebagai

lembaga tertinggi Negara itu kemudian dihapus sejak amandemen ketiga

UUD 1945. Penghapusan kewenangan pembentukan TAP MPR ini

1

Jimly Asshiddiqie, “Perihal Undang-Undang”, PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan ke 2, Jakarta, 2010, halaman 33.

Page 5: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

didasarkan alasan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana Presiden

dan Wakil Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR dan tidak

mempunyai garis pertanggungjawaban terhadap MPR dalam menjalankan

kekuasaan pemerintahan. Garis pertanggungjawaban Presiden dan Wakil

Presiden sekarang langsung kepada rakyat berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam UUD 19452. Kedudukan MPR juga bukan lagi sebagai lembaga

tertinggi Negara tetapi bergeser sebagai lembaga Negara yang kedudukannya

sama dengan lembaga-lembaga Negara lainnya seperti DPR, MA, MK, dan

lainnya.

Lebih lanjut di dalam perubahan UUD 1945 pada Pasal 24 C,

dinyatakan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar…..”. ini berarti bahwa

MK bertugas dalam rangka mengawal proses agar setiap hukum yang dibuat

oleh Pemerintah tidak menyimpang dari konstitusi serta mengacu kepada

Pancasila dan UUD 1945.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka akan timbul pemikiran kita

bersama mengenai kedudukan TAP MPR yang telah ditetapkan terdahulu/

sebelum diadakan amandemen UUD 1945 apabila ditinjau dengan sistem

perundang-undangan di Negara kita setelah disahkannya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Kemudian mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi yang

diberikan oleh UUD 1945 terkait pengujian terhadap Undang-Undang yang

2

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

Page 6: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

dimohonkan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, lantas

bagaimana kemudian dengan TAP MPR yang dianggap bertentangan dengan

UUD 1945.

Dimana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa TAP MPR merupakan

bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang

ditempatkan di bawah UUD 1945 dan setingkat di atas Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa yang

dimaksud hirarki peraturan perundang-undangan meliputi:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Paraturan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan pengkajian guna menyusun makalah dengan judul “Implikasi

Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Page 7: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Indonesia (Kajian Atas Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya

dirumuskan pokok permasalahan – permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 ?

2. Bagaimanakah kedudukan TAP MPR pasca disahkannya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan ?

3. Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk

memeriksa dan mengadili terhadap Tap MPR yang dianggap bertentangan

dengan UUD 1945 ?

Page 8: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan MPR Paca Amandemen UUD 1945.

Gerakan reformasi tersebut telah melahirkan beberapa perubahan

sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai upaya untuk menjamin

perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights) bagi warga negara

Indonesia. Perubahan sistem ketatanegaraan tersebut telah termanifestasikan

di dalam Amandemen UUD 1945 yang merupakan aturan dasar negara

(staadsgrunndgesetz) Indonesia.

Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebelum

amandemen UUD 1945 didasarkan pada faham integralistik yang diajukan

oleh Soepomo. Faham integralistik ini mengatakan bahwa “Negara ialah

suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian,

segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan

persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah negara yang

berdasar pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya”. Menurut

Faham integralistik ini, di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia harus ada

satu lembaga yang menaungi semua lembaga-lembaga negara sebagai

puncak dari kekuasan negara untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan

mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Setelah amandemen ketiga kedudukan MPR kemudian bergeser

dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara sama dengan

lembaga negara lainnya. Oleh karena ini MPR bukan lagi sebagai pelaksana

Page 9: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

kedaulatan rakyat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2)

amandemen ketiga UUD 1945 bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Perubahan sistem ketatanegaraan sebagaimana telah dirumuskan di

dalam Amandemen UUD 1945 tersebut adalah terkait dengan perubahan

struktur dan fungsi dari lembaga kenegaraan di Indonesia, baik di dalam

kekuasan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun di dalam kekuasaan

yudikatif. Perubahan tersebut sebagai wujud pelaksanaan gagasan check and

balances antar pelaksana ketiga macam kekuasaan negara. Jika sebelum

Amandemen ketiga UUD 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga

tertinggi negara (supreme) yang melaksanakan kedaulatan rakyat

sepenuhnya, maka pada Amandemen ketiga UUD 1945 kedudukan MPR

tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan sebagai lembaga

negara yang sama seperti lembaga negara lainnya.

B. Kedudukan TAP MPR Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Berbicara mengenai kedudukan TAP MPR tentunya tidak terlepas

dari sejarah panjang Konstitusi Negara kita, dimana sebelum dilakukan

amandemen ketiga, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga dalam menjalankan kekuasaan

pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai mandatris MPR

dan mempunyai garis pertanggungjawaban kepada MPR berdasarkan Garis-

Garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh MPR melalui Ketetapan MPR

Page 10: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

(TAP MPR). Hal inilah yang menjadi dasar kenapa MPR mempunyai

wewenang membentuk TAP MPR sebagaimana disebutkan dalam UUD

1945 pra amandemen, yaitu “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan

Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan Negara”.

Pertanggungjawaban Presiden terhadap MPR itu juga didasarkan

pada adanya struktur kekuasaan Negara yang menempatkan MPR sebagai

lembaga tertinggi Negara (supreme) sebagai pemegang kedaulatan rakyat

sehingga segala proses penyelenggaraan Negara dapat dilakukan

pengawasan oleh MPR termasuk dalam proses penyelenggaraan kekuasaan

pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden.

Kewenangan pembentukan TAP MPR dan kedudukan MPR

sebagai lembaga tertinggi Negara itu kemudian dihapus sejak amandemen

ketiga UUD 1945. Penghapusan kewenangan pembentukan TAP MPR ini

didasarkan alasan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana Presiden

dan Wakil Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR dan tidak

mempunyai garis pertanggungjawaban terhadap MPR dalam menjalankan

kekuasaan pemerintahan. Garis pertanggungjawaban Presiden dan Wakil

Presiden sekarang langsung kepada rakyat berdasarkan ketentuan yang

diatur dalam UUD 1945. Kedudukan MPR juga bukan lagi sebagai lembaga

tertinggi Negara tetapi bergeser sebagai lembaga Negara yang

kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga Negara lainnya seperti DPR,

MA, MK, dan lainnya.

Penghapusan wewenang pembentukan TAP MPR itu diatur dalam

Pasal 3 amandemen ketiga UUD 1945. Dalam Pasal 3 amandemen ketiga

Page 11: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

UUD 1945 ini tidak menyebutkan lagi adanya wewenang pembentukan TAP

MPR. kewenangan MPR sekarang berdasarkan Pasal 3 amandemen ketiga

UUD 1945 tersebut adalah :

a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

c. Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan ketentuan UUD 1945 di atas sangat jelas bahwa

kewenangan pembentukan Ketetapan oleh MPR sudah dihapus dalam

sruktur peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini yang

melatarbelakangi diaturnya ketentuan dalam Pasal 1 Aturan Peralihan

amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi : “Majelis Permusyawaratan

Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status

hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada

Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.

Berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan amandemen keempat UUD

1945 di atas, maka dalam sidang tahunan MPR tahun 2003, MPR

mengeluarkan TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun

1966 sampai dengan tahun 2002. Berdasarkan Ketetapan MPR tersebut,

Ketetapan-Ketetapan MPR/S Tahun 1960 sampai dengan 2002

diklasifikasikan ke dalam enam kelompok, yaitu :

Page 12: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

1. Kelompok TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tiak berlaku (8

Ketetapan = 1 TAP MPRS + 7 TAP MPR).

2. Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan

tertentu (3 Ketetapan = 1 TAP MPRS + 2 TAP MPR).

3. Ketetapan MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 Ketetapan TAP

MPR).

4. Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

Undang-Undang (11 Ketetapan = 1 TAP MPRS + 10 TAP MPR).

5. Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai dengan ditetapkannya

Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-RI hasil pemilihan umum

tahun 2004 (5 Ketetapan MPR).

6. Ketetapan MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih

lanjut, baik bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai

dilaksanakan (104 Ketetapan = 41 TAP MPRS + 63 TAP MPR).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka fokus kajian kita

apabila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

“Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”

adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku

Page 13: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang

Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal

7 Agustus 2003”.

Oleh karena itu, tinggal dua kelompok ketetapan yang relevan

untuk dibahas lebih lanjut disini yang meliputi 3 + 11 atau 14 buah

ketetapan MPR/S. Ketetapan itu adalah :

1. Ketetapan MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan

tertentu.

1) TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,

Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah

Negara RI Bagi PKI Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk

Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran

Komunisme/Marxisme-Leninisme Dinyatakan Tetap Berlaku

Dengan Ketentuan Seluruh Ketentuan Dalam Ketetapan MPRS-RI

Nomor XXV/MPRS/1966 Ini, Ke Depan Diberlakukan Dengan

Berkeadilan Dan Menghormati Hukum, Prinsip Demokrasi, Dan Hak

Asasi Manusia.

2) TAP MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi

Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Dinyatakan Tetap Berlaku

Dengan Ketentuan Pemerintah Berkewajiban Mendorong

Page 14: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Keberpihakan Politik Ekonomi Yang Lebih Memberikan

Kesempatan Dukungan Dan Pengembangan Ekonomi, Usaha Kecil

Menengah, Dan Koperasi Sebagai Pilar Ekonomi Dalam

Membangkitkan Terlaksananya Pembangunan Nasional Dalam

Rangka Demokrasi Ekonomi Sesuai Hakikat Pasal 33 UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

3) Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan

Pendapat Di Timor-Timur tetap berlaku sampai dengan

terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan

MPR-RI No. V/MPR/1999.

Karena sekarang ketentuan yang dimaksud telah terlaksana, maka

ketetapan MPR Nomor V/MPR/1999 ini pun tidak lagi berlaku, sehingga

dalam kelompok ini tinggal 2 (dua) ketetapan saja yang masih berlaku

sampai sekarang, yaitu TAP No. XXV/MPRS/1996 dan TAP No.

XXVI/MPR/1998.

2. Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

Undang-Undang (11 Ketetapan = 1 TAP MPRS + 10 TAP MPR) :

1) Ketetapan MPR No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan

Pahlawan Ampera Tetap Berlaku Dengan Menghargai Pahlawan

Ampera Yang Telah Ditetapkan Dan Sampai Terbentuknya Undang-

Undang Tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan lain-lain tanda

kehormatan.

Page 15: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

2) Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara

Negara yang bersih dan bebas KKN sampai terlaksananya

seluruh ketentuan ketetapan tersebut. sekarang telah terbentuk

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, sehingga ketetapan ini dapat dikatakan

tidak berlaku.

3) Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan

otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan

sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan

republik Indonesia sampai dengan terbentuknya Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 18, 18 A, dan 18B UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. sekarang telah terbentuk

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, sehingga ketetapan ini dapat dikatakan tidak berlaku.

4) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan

tata urutan peraturan perundang-undangan sekarang telah

terbentuk Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga

ketetapan ini dapat dikatakan tidak berlaku lagi.

Page 16: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

5) Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan

Persatuan dan Kesatuan Nasional. sekarang telah terbentuk

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan

Negara dan Undang-Undang lain yang terkait, sehingga

Ketetapan tersebut dapat dikatakan tidak berlaku lagi.

6) Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI

dan Polri sampai terbentuknya Undang-Undang yang terkait.

sekarang telah terbentuk Undang-Undang tentang TNI dan

Undang-Undang tentang Polri, sehingga Ketetapan tersebut

dapat dikatakan tidak berlaku lagi.

7) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan

Peran Polri sampai terbentuknya Undang-Undang yang terkait

dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2)

dari ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. sekarang telah terbentuk

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia, sehingga Ketetapan

tersebut dapat dikatakan tidak berlaku lagi.

8) Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan

Berbangsa.

9) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa

Depan.

Page 17: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

10) Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah

Kebijakan Pemberantaan dan Pencegahan KKN sampai

terlaksanannya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.

11) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh

ketentuan dalam ketetapan tersebut.

Dari tiga ketetapan pada kelompok pertama masih berlaku 2 (dua)

ketetapan, sedangkan dari 11 (sebelas) ketetapan terakhir masih berlaku

5 (lima) ketetapan, sehingga seluruhnya yang masih berlaku ada 7

(tujuh) Ketetapan = 2 TAP MPRS + 5 TAP MPR, yaitu :

1) TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,

Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah

Negara RI Bagi PKI Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk

Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran

Komunisme/Marxisme-Leninisme Dinyatakan Tetap Berlaku

Dengan Ketentuan Seluruh Ketentuan Dalam Ketetapan MPRS-RI

Nomor XXV/MPRS/1966 Ini, Ke Depan Diberlakukan Dengan

Berkeadilan Dan Menghormati Hukum, Prinsip Demokrasi, Dan Hak

Asasi Manusia.

2) TAP MPR-RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi

Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, Dinyatakan Tetap Berlaku

Dengan Ketentuan Pemerintah Berkewajiban Mendorong

Keberpihakan Politik Ekonomi Yang Lebih Memberikan

Page 18: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Kesempatan Dukungan Dan Pengembangan Ekonomi, Usaha Kecil

Menengah, Dan Koperasi Sebagai Pilar Ekonomi Dalam

Membangkitkan Terlaksananya Pembangunan Nasional Dalam

Rangka Demokrasi Ekonomi Sesuai Hakikat Pasal 33 UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

3) Ketetapan MPR No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan

Pahlawan Ampera Tetap Berlaku Dengan Menghargai Pahlawan

Ampera Yang Telah Ditetapkan Dan Sampai Terbentuknya Undang-

Undang Tentang Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan lain-lain tanda

kehormatan.

4) Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan

Berbangsa.

5) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa

Depan.

6) Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah

Kebijakan Pemberantaan dan Pencegahan KKN sampai

terlaksanannya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut.

7) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh

ketentuan dalam ketetapan tersebut.

Dengan demikian, timbul masalah serius dengan status hukum

ketujuh Ketetapan MPR/S yang masih berlaku tersebut atas. Apakah

Page 19: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

ketujuh Ketetapan sederajat atau dapat disederajatkan dengan Undang-

Undang atau Undang-Undang Dasar. MPR sendiri dengan

kewenangannya yang telah dibatasi seperti yang diuraikan di atas,

sekarang tidak lagi berwenang untuk membahas Ketetapan-Ketetapan

yang dibuatnya sendiri di masa lalu. Oleh sebab itu, pertanyaan

mengenai lembaga negara mana yang dianggap berwenang

membahasnya tergantung kejelasan mengenai status hukum Ketetapan

MPR/S itu sendiri, apakah dapat disetarakan dengan Undang-Undang

atau dengan Undang-Undang Dasar.

Jika dipandang dari segi bentuknya dan lembaga yang berwenang

menetapkannya, jelas bahwa Ketetapan MPR/S itu dapat dinilai lebih

tinggi daripada Undang-Undang dan karena itu setara dengan Undang-

Undang Dasar, karena beberapa alasan. yaitu3 :

1) Secara historis sampai dengan pelaksanaan Sidang MPR Tahun

2003, kedudukannya memang (pernah) lebih tinggi daripada

kedudukan Undang-Undang seperti ditentukan oleh Ketetapan

MPR/S Nomor. III/MPR/2000.

2) Dari segi bentuknya, ketujuh Ketetapan MPR/S itu jelas pula bukan

berbentuk Undang-Undang sehingga tidak dapat disetarakan dengan

Undang-Undang.

3) Dari segi lembaga pembentuk atau lembaga negara yang

menetapkannya, jelas pula bahwa Ketetapan MPR/S tidak

3

Jimly Asshiddiqie, op.cit

Page 20: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang, yaitu DPR bersama-

sama dengan Presiden, melainkan oleh MPR (Majelis

Permusyawaratan Rakyat) dan MPRS (Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara).

Akatetapi, dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

maka berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca perubahan keempat

(2002), sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini

mengenal produk hukum yang bersifat mengatur yang kedudukannya

berada di bawah Undang-Undang Dasar (grondwet, gerundgesetz,

constitution), dan berada setingkat di atas Undang-Undang (wet, statue,

legislative act).

Untuk memastikan status hukum ketujuh Ketetapan MPR/S

tersebut di atas, pilihannya hanya ada dua kemungkinan itu saja, yaitu

dinilai mempunyai status sebagai Undang-Undang Dasar atau Undang-

Undang. Apabila ketujuh ketetapan tersebut disetarakan kedudukannya

dengan Undang-Undang Dasar, berarti ketujuh Ketetapan itu tidak dapat

diubah atau dicabut kecuali melalui mekanisme perubahan Undang-

Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.

Sedangkan apabila ketetapan-ketetapan itu diberi status setara dengan

Undang-Undang, berarti ketujuhnya dapat dicabut dan/atau diubah oleh

DPR bersama-sama dengan Presiden, yaitu dengan Undang-Undang.

Dalam Ketetapan No. I/MPR/2003, MPR sendiri juga menentukan

adanya 11 (sebelas) Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan

Page 21: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

terbentuknya Undang-Undang yang mengatur materi Ketetapan-

Ketetapan tersebut. Artinya kesebelas ketetapan MPR/S itu ditundukkan

derajatnya oleh MPR sendiri, sehingga dapat diubah oleh atau dengan

Undang-Undang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa MPR sendiri

telah menundukkan status hukum ketetapan-ketetapan yang pernah

dibuatnya setingkat dengan Undang-Undang, sehingga untuk selanjutnya

ketetapan-ketetapan yang tersisa tersebut harus dipandang sederajat

dengan Undang-Undang, jika demikian halnya, maka lembaga negara

yang berwenang membahas Undang-Undang ada empat lembaga yaitu :

1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

2. Presiden

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan

4. Mahkamah Konstitusi (MK)

Sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya masing-masing.

Jika ditelaah dengan seksama, ada beberapa alasan yang dapat

dipakai untuk menyatakan bahwa kedudukan ketujuh Ketetapan

MMPR/S sisa tersebut di atas memang dapat disetarakan dengan

Undang-Undang, bukan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu :

1. Sejak Ketetapan Nomor I/MPR/2003 sendiri telah menurunkan status

hukum ketetapan MPR warisan lama itu dalam derajat yang memang

setara dengan Undang-Undang, bukan dengan Undang-Undang

Dasar. Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 misalnya menempatkan

sekian Ketetapan MPR/S yang masih terus berlaku sampai materinya

diatur dengan Undang-Undang.

Page 22: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Dengan diaturnya hal-hal dalam ketetapan MPR/S itu oleh Undang-

Undang, maka Ketetapan MPR/S itu tidak berlaku lagi sebagai

peraturan. Misalnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan

oleh Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 itu sebagai peraturan yang

masih berlaku sampai materinya diatur dengan Undang-Undang.

sehubungan dengan itu, dengan diundangkannya Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian digantikan dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang memuat semua materi

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 di dalamnya, maka sejak itu

ketetapan MPR tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Artinya, MPR

sendiri telah menentukan bahwa derajat ketetapannya itu setara

dengan Undang-Undang.

Namun, dapat juga dipersoalkan secara kritis bahwa deklarasi

ketidakberlakuan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 itu, sebenarnya,

bukanlah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan yang saat

ini telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Mengenai tidak lagi berlakunya itu ditetapkan oleh MPR sendiri,

yaitu dengan Ketetapan No. I/MPR/2003. Pengaitannya dengan

Undang-Undang hanyalah sebagai kondisionalitas untuk berlakunya

deklarasi ketidakberlakuan Ketetapan No. I/MPR/2003. Dengan

demikian, hal atau keadaan masih berlakunya sejumlah Ketetapan

MPR/S sampai materinya diatur dengan Undang-Undang tidak serta

merta dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa ketetapan-

Page 23: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

ketetapan MPR/S dimaksudkan disetarakan derajatnya oleh MPR

sendiri dengan Undang-Undang. Akan tetapi, pengaitannya dengan

Undang-Undang menunjukan bahwa secara materiil, kandungan

materi Ketetapan-Ketetapan MPR/S warisan masa lalu itu dianggap

cukup diatur dengan Undang-Undang saja. berdasarkan

pertimbangan yang bersifat praktis tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa adanya ketujuh buah ketetapan MPR tersisa yang

keberlakuannya berlanjut sampai sekarang, dapat disetarakan

derajatnya dengan Undang-Undang, bukan Undang-undang

Dasar.

2. Ketujuh Ketetapan MPR/S tersisa itu harus dianggap setara

kedudukannya dengan Undang-Undang, karena dalam sistem hukum

kita yang baru berdasarkan UUD 1945 memang tidak lagi dikenal

adanya produk hukum di atas Undang-Undang Dasar, maka demi

hukum, kedudukannya harus dianggap setara dengan Undang-

Undang, meskipun bentuk formalnya bukan Undang-Undang, yaitu

“wet in materiele zin”. Namun demikian, logika yang terkandung

dalam pandangan kedua ini juga dapat dipakai untuk mendukung ide

yang menempatkan kedudukan ketujuh ketetapan itu setara dengan

Undang-Undang Dasar (konstitusi).

Menurut Djokosutono, Konstitusi atau “constitutie” dapat dipahami

dalam 3 (tiga) arti, yaitu :

(1) Konstitusi dalam arti materiil (contitutie in materiele)

(2) Konstitusi dalam arti formal (constitutie in formele zin)

Page 24: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

(3) Konstitusi dalam arti naskah yang didokumentasikan untuk

kepentingan pembuktian dan kesatuan rujukan (contitutie in

gedocumenteerd voo bewijsbaar en stabiliteit). Bagaimanapun,

seperti dikatakan oleh Hermann Heller, Konstitusi tidak dapat

dipersempit maknanya hanya sebagai Undang-Undang Dasar

atau Konstitusi dalam arti tertulis seperti yang lazim dipahami

karena pengaruh aliran kodifikasi. Disamping itu Undang-

Undang Dasar yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak

tertulis hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Bahkan,

seperti pengalaman di Inggris, banyak naskah hukum yang dapat

disebut sebagai konstitusi (constitution) dalam pengertian sistem

ketatanegaraan Inggris. Oleh sebab itu, di samping adanya

pengertian konstitusi tidak tertulis yang hidup dalam praktik

ketatanegaraan dan dalam kesadaran hukum masyarakat, dapat

pula dibedakan antara peraturan dasar yang terdapat dalam

berbagai naskah yang berbeda, dan Undang-Undang Dasar

sebagai satu naskah yang konstitusi tertulis.

Dengan berpatokan pada jalan pikiran demikian, ketujuh Ketetapan

MPR/S tersebut dapat juga diperlakukan sebagai peraturan yang

dikategorikan sebagai Peraturan Dasar. Yang dapat digolongkan sebagai

Peraturan Dasar itu adalah4 :

1. Undang-Undang Dasar,

2. Piagam Dasar seperti Piagam Hak Asasi Manusia,

4

Ibid, Hal..

Page 25: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

3. Bill of Rights,

4. Magna Charta, dan sebagainya

Dengan Demikian, Ketujuh Ketetapan MPR/S sisa tersebut di atas

disebut saja sebagai memiliki kedudukan yang setingkat dengan

Undang-Undang Dasar, yaitu dengan status sebagai bentuk peraturan

semacam, naskah piagam dasar itu. Sayangnya, apabila ditelaah isinya,

norma-norma yang terkadung di dalam ketujuh Ketetapan MPR/S

tersebut di atas, memang tidak layak untuk disetarakan dengan piagam-

piagam dasar seperti magna charta atau Bill of Rights dan lain-lain yang

isinya bersifat sangat mendasar karena menyangkut hak asasi manusia.

Sebagian terbesar isi norma yang terkandung di dalam ketujuh Ketetapan

MPR/S di atas berisi rekomendasi mengenai kebijakan-kebijakan sangat

operasional teknis atau berisi nilai-nilai etika kehidupan berbangsa yang

sangat abstrak. Karena itu, ketujuhnya tidak tepat disetarakan dengan

Undang-Undang Dasar. Karena itu, menurut saya, memang lebih tepat

jika ketujuh ketetapan itu dianggap sederajat dengan Undang-Undang,

bukan dengan Undang-Undang Dasar.

Apabila status hukum ketujuh Ketetapan MPR/S tersebut tidak

dapat ditentukan dengan tegas, maka keberadaan norma hukum yang

terkadung di dalamnya akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Akan

tetapi, resiko yang timbul apabila ketujuhnya ditafsirkan sebagai produk

hukum yang setara dengan Undang-Undang Dasar, pastilah lebih buruk

daripada resiko yang mungkin timbul jika ketujuh ketetapan itu

ditafsirkan sederajat dengan Undang-Undang. Semula, ketika ketujuh

Page 26: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Ketetapan MPR/S itu dibentuk, maka penetapan Ketetapan MPR cukup

didukung oleh para anggota MPR dengan mekanisme suara terbanyak

sesuai dengan Ketentuan Pasal 3 UUD 1945. Akan tetapi, jika statusnya

sekarang dianggap setara dengan Undang-Undang-Undang Dasar, maka

untuk mengubah atau mencabutnya diperlukan persyaratan dukungan

suara yang lebih sulit sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.

Padahal, apabila ditinjau dari segi isinya, untuk memenuhi tuntutan

perubahan zaman, materi ketujuh Ketetapan MPR tersebut jauh lebih

memerlukan sifat keterbukaan dan fleksibilitas dibandingkan dengan

materi Undang-Undang Dasar, sehingga memerlukan mekanisme

perubahan yang lebih sederhana dibandingkan dengan materi UUD

1945.

Tentunya masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan lain yang

dapat dieksplorasi guna mendukung atau menolak ide penyetaraan status

hukum ketujuh Ketetapan MPR/S sisa tersebut di atas dengan Undang-

Undang. Apalagi apabila hal itu dikaitkan dengan faktor-faktor ‘trauma

sejarah’, kebencian, dan dendam yang timbul di masa alu berkaitan

dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia. Yang kemudian

muncul adalah pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis

emosional untuk menolak ide penyetaraannya dengan Undang-Undang.

Faktor-faktor yang bersifat Psikologis-Politis ini tentunya dapat selesai

dengan sendirinya nanti dalam perjalanan sejarah. Akan tetapi, analisis

ilmiah yang bersifat teknis-akedemis sudah seharusnya tidak terpaku

kepada faktor-faktor Psikologis-Politis semacam itu. Bagaimanapun

Page 27: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

secara tegas, ketujuh Ketetapan MPR/S yang tersisa itu dapat dikatakan

masih berlaku setara dengan Undang-Undang.

Ketujuh produk hukum Ketetapan MPR/S sisa itu, meskipun

berbentuk Ketetapan MPR/S, tetapi berisi norma-norma hukum yang

setara dengan materi Undang-Undang. Karena itu, ketujuh produk

hukum tersebut dapat dikatakan sebagai Undang-Undang dalam arti

materiil (wet in materiele zin). Dengan status hukum sebagai “wet in

materiele zin” itu, maka prosedur pencabutannya, perubahanya,

penerapan dan penegakan serta pengujian konstitusionalitas suatu

Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, lembaga

negara yang dapat menentukan status hukum dan materi ketujuh

Ketetapan MPR/S tersebut untuk selanjutnya adalah lembaga-lembaga

negara yang mempunyai wewenang dalam urusan pembentukan,

perubahan, atau pembatalan Undang-undang.

Oleh karena itu, yang dapat menilai kembali (review) atau

menentukan status hukum dan materi ketujuh Ketetapan MPR/S sisa

tersebut ada empat lembaga negara yaitu :

1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

2. Presiden

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan

4. Mahkamah Konstitusi (MK)

Sesuai dengan kewenangan Konstitusionalnya masing-masing.

Jika ketujuh Ketetapan MPR/S itu hendak ditinjau ulang (review),

dapat dilakukan “legislative review” dengan membentuk Undang-

Page 28: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Undang yang mengubah atau mencabut ketetapan-ketetapan tersebut.

Lembaga negara yang dapat mengambil inisiatif adalah Presiden atau

DPR sebagaimana mestinya. Dalam Hal Ketetapan MPR/S itu berkaitan

dengan bidang kewenangan DPD, maka DPD juga dapat terlibat atau

dilibatkan dalam proses perancangan ataupun pembahasan rancangan

Undang-Undang yang bersangkutan. Namun, apabila dilakukan

“legislative review” Ketetapan MPR/S dimaksud dinilai telah

menimbulkan kerugian hak konstitusional pihak-pihak tertentu, maka

dengan memperluas pengertian Undang-Undang yang dapat diuji oleh

Mahkamah Konstitusi – Pihak-Pihak yang bersangkutan dapat saja

mengajukannya sebagai perkara pengujian Konstitusional di Mahkamah

Konstitusi. Dalam hal ini mekanisme yang ditempuh adalah “Yudicial

Review” sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dengan dihapuskannya wewenang pembentukan TAP MPR

berdasarkan Pasal 3 Amandemen ketiga UUD 1945, bukan berarti MPR

tidak diperbolehkan untuk membentuk TAP MPR, akan tetapi masih

tetap diperbolehkan hanya sebatas ketetapan MPR mengenai pelantikan

maupun pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Ini berarti

bahwa Tap MPR tidak lagi bersifat mengatur secara umum (regeling)

akan tetapi sudah bersifat konkrit dan individual (beschiking)5.

5

Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 32-34.

Page 29: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan

mengadili terhadap Tap MPR yang dianggap bertentangan dengan

UUD 1945.

Munculnya pengaturan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun

2011 yang mengkategorikan bahwa TAP MPR merupakan bagian dari jenis

dan hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling

(mengatur secara umum) dan berada di bawah UUD 1945 adalah akibat

masih berlakunya beberapa TAP MPR berdasarkan TAP MPR Nomor

1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Dalam Tap MPR ini mengelompokkan 139 TAP MPRS dan TAP MPR yang

sudah ada ke dalam enam kelompok status baru sebagaimana dikemukakan

sebelumnya.

Meskipun Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011

mengkategorikan Tap MPR termasuk bagian dari jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan, namun tidak berarti MPR masih mempunyai

wewenang untuk membentuk Tap MPR yang baru pasca amanndemen UUD

1945, karena yang dimaksud dengan Tap MPR sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut hanya terhadap

beberapa TAP MPR yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR

Nomor 1/MPR/2003. Dengan demikian, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.

12 Tahun 2011 ini hanya untuk mengakomudir terhadap beberapa TAP

MPR yang masih dinyatakan berlaku dan bersifat regeling. Hal ini

Page 30: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.

12 Tahun 2011, bahwa :

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960

sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Meskipun MPR tidak akan membentuk TAP MPR lagi yang

mengatur secara umum (regeling), akan tetapi tidak akan menutup

kemungkinan bahwa akan terdapat permohonan pengujian TAP MPR yang

masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 oleh

warga Negara yang mempunyai legal standing dimana hak-hak

konstitusionalnya dilanggar oleh berlakuknya TAP MPR yang masih

berlaku tersebut.

Akantetapi, apakah dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

ketujuh Ketetapan MPR/S tersebut dapat pula dinilai atau diuji oleh

Mahkamah konstitusi ? Jika DPR dan Presiden diperkenankan menilai,

mengubah, ataupun mencabut ketujuh ketetapan tersebut, mengapa

Mahkamah Konstitusi tidak ? Bukankah mekanisme “judicial review” atau

“constitutional review” di Mahkamah Konstitusi itu merupakan upaya

Page 31: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

konstitusional yang disediakan oleh UUD 1945 apabila mekanisme

“legislative revew” tidak atau belum sempat dilaksanakan, sedangkan

ketentuan yang terkandung di dalam suatu produk peraturan telah

menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara ataupun subjek

hukum yang dilindungi hak dan kewenangan konstitusionalnya oleh UUD

1945. Bukankah diadakannya mekanisme “judicial review” itu

dimaksudkan untuk mendampingi dan mengimbangi keberadaan

mekanisme “legislative review” adalah merupakan suatu keniscayaan,

sehingga segala ketentuan Undang-Undang Dasar dapat sungguh-

sungguh dijalankan dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi

dimaksudkan untuk menjamin hal itu. Oleh karena itu, apabila ketujuh

Ketetapan MPR/S tersebut di atas dianggap dapat diubah dengan Undang-

Undang, berarti ketujuh Ketetapan tersebut dapat pula diuji oleh Mahkamah

Konstitusi sesuai dengan Ketentuan UUD 1945.

Untuk menyelesaikan kasus ini, maka lebih tepat kiranya

dititikberatkan pada semangat dibentuknya MK sejak tahun 2003, bahwa

semangat dibentuknya MK adalah untuk melindungi hak-hak konstitusional

yang dilanggar oleh negara, sehingga keberadaan MK di Indonesia tidak lain

adalah sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the constitution) dan

penafsir UUD 1945 (the interpreter of the constitution)6.

Terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional yang dinilai karena

berlakunya TAP MPR yang masih tetap dinyatakan berlaku akan banyak

6

Moh. Saleh, Wewenang Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Page 32: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

merugikan masyarakat sebagai warga negara, sehingga apabila pengujian

TAP MPR itu masih menunggu sidang tahunan MPR, maka hal ini akan

membutuhkan waktu dan proses yang lama dan akan semakin menambah

volume kerugian bagi masyarakat.

Lahirnya MK di Indonesia sejak tahun 2003 telah melahirkan

beberapa terobosan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengujian terhadap TAP MPR ini tidak diatur secara jelas di dalam UUD

1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga hal ini akan

terjadi kekosongan hukum, apakah pengujian TAP MPR ini merupakan

wewenang MK atau diserahkan pada MPR dengan konsekwensi masyarakat

banyak dirugikan karena harus menunggu waktu dan proses yang sangat

lama.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 bahwa MK

hanya mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional,

yaitu :

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Page 33: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Konsep mengenai wewenang menguji untuk menjaga kesucian

konstitusi oleh lembaga yudisial ini dapat melihat beberapa putusan yang

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Di dalam

memberikan putusan, MA dapat berdasarkan pada peraturan yang dibuat

oleh Kongres maupun pada doktrin. Sebagian besar kasus yang ditangani

MA merupakan hasil interpretasi hukum dalam menentukan apakah suatu

peraturan atau pejabat berjalan sesuai dengan konstitusi atau tidak.

Wewenang MA ini tidak disebutkan secara khusus dalam konstitusi AS,

akan tetapi didasarkan pada doktrin yang disimpulkan oleh MA berdasarkan

naskah konstitusi dan telah dinyatakan secara gamblang dalam kasus penting

yaitu Marbury vs. Madison tahun 1803. Dalam putusannya MA dengan

hakim Marshall menyatakan bahwa “...tindakan legislatif yang

bertentangan dengan Konstitusi bukanlah Hukum...”, dan lebih lanjut

menambahkan bahwa ”adalah tugas dan wewenang dari lembaga peradilan

untuk menyatakan apakah hukum itu”. Atas dasar inilah, maka MA

mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian (yudicial review)

terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi AS7.

Tradisi AS inilah yang kemudian menjadi tonggak bagi lahirnya

ajaran supremasi konstitusional dalam pengujian peraturan perundang-

undangan. Menurut Smith Baily (Inggris), bahwa yudicial review didirikan

atas dasar doktrin Ultra Vires (ultra vires doctrin) yang digunakan dalam

7

Richard C. Schroeder, Garis Besar Pemerinhan Amerika Serikat, (Kantor Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2000), hlm. 96 – 101

Page 34: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

sistem hukum di Inggris. Berdasarkan doktrin tersebut kekuasan yudikatif

diberikan hak dan kewenangan untuk8 :

a. mengawasi batas kewenangan pemerintah dalam mengeluarkan

peraturan perundang- undangan (statutory authority) sesuai dengan

batas yurisdiksi atau kawasan kekuasaannya.

b. kekuasaan yudikatif diberikan hak, fungsi dan kewenangan untuk

melakukan pengawasan terhadap penguasa pusat maupun daerah dan

local untuk tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power) melampaui batas-batas yurisdiksinya.

c. Apa-apa yang tidak didelegasikan undang-undang kepada penguasa,

atau membuat peraturan perundang-undangan yang jauh lebih luas dari

apa yang telah didelegasikan, harus dinyatakan sebagai tindakan yang

tidak berdasar hukum (unlawful), karena dianggap sebagai tindakan

yang illegal.

Secara analisis ketatanegaraan bahwa MPR bukan lagi sebagai

lembaga tertinggi Negara seperti sebelum amandemen UUD 1945. MPR

sekarang sudah berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga Negara

lainnya, sehingga terhadap produk hukumnya-pun dapat dilakukan

peninjauan atau pengujian oleh lembaga Negara lain, yakni oleh MK demi

untuk menjaga kesucian nilai-nilai dan semangat dari pada UUD 1945.

8

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 44 – 45

Page 35: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Jika kita melihat fungsi MA dalam sistem peradilan di Amerika

serikat bahwa MA pada dasarnya mempunyai wewenang untuk menguji

segala produk hukum lembaga Negara yang melanggar atau bertentangan

dengan konstitusi dan melihat kedudukan dari pada MPR pasca amandemen

UUD 1945, maka menurut penulis lembaga Negara yang berwenang untuk

menguji Tap MPR sebelum dirubah dalam rapat tahunan MPR adalah MK,

karena semangat pembentukan MK adalah sebagai pengawal UUD 1945

(the quardian of the constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of

the constitution).

Page 36: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan pada Bab I sampai dengan Bab

II, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebelum Amandemen ketiga UUD 1945, MPR berkedudukan sebagai

lembaga tertinggi negara (supreme) yang melaksanakan kedaulatan

rakyat sepenuhnya, dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga dalam menjalankan

kekuasaan pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai

mandatris MPR dan mempunyai garis pertanggungjawaban kepada

MPR berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh

MPR melalui Ketetapan MPR (TAP MPR). Akan tetapi setelah

dilakukan Amandemen ketiga UUD 1945 kedudukan MPR tidak lagi

sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi bergeser sebagai lembaga

Negara yang kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga Negara

lainnya seperti DPR, MA, MK, dan lainnya. Sehingga berimplikasi

kepada pemangkasan kewenangan yang dimiliki sebelumnya, yakni

tidak lagi dapat menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

2. Adanya ketujuh buah ketetapan MPR tersisa yang keberlakuannya

berlanjut sampai sekarang, dapat disetarakan derajatnya dengan

Page 37: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Undang-Undang, bukan Undang-undang Dasar. Hal ini dikarenakan

jika statusnya sekarang dianggap setara dengan Undang-Undang-

Undang Dasar, maka untuk mengubah atau mencabutnya diperlukan

persyaratan dukungan suara yang lebih sulit sesuai dengan ketentuan

Pasal 37 UUD 1945. Padahal, apabila ditinjau dari segi isinya, untuk

memenuhi tuntutan perubahan zaman, materi ketujuh Ketetapan MPR

tersebut jauh lebih memerlukan sifat keterbukaan dan fleksibilitas

dibandingkan dengan materi Undang-Undang Dasar, sehingga

memerlukan mekanisme perubahan yang lebih sederhana dibandingkan

dengan materi UUD 1945.

3. Lembaga Negara yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap

Tap MPR yang bersifat regeling berdasarkan TAP MPR Nomor

1/MPR/2003 dan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini didasarkan pada dua

alasan. Alasan pertama, bahwa semangat pembentukan MK di

Indonesia adalah untuk menjaga hak-hak konstitusional warga Negara

yang diatur dalam UUD 1945, sehingga apapun peraturan yang dibuat

oleh lembaga atau pejabat Negara harus dikawal oleh MK supaya tidak

melanggar atau bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab inilah

maka MK disebut sebagai pengawal UUD 1945 (the quardian of the

constitution) dan penafsir UUD 1945 (the interpreter of the

constitution). Alasan kedua, bahwa MPR sejak dilakukan amandemen

ketiga UUD 1945 tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi

Negara (supreme), tetapi MPR sekarang berkedudukan sejajar dengan

Page 38: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

lembaga Negara lainnya. Oleh karena inilah maka terhadap produk

hukumnya-pun dapat dilakukan pengujian oleh lembaga Negara lainnya

yang berwenang sebagai pengawal konstitusi, dalam hal ini adalah MK.

B. Saran

Meskipun secara yuridis-formal tidak terdapat ketentuan yang mengatur

untuk pengujian TAP MPR atau Perpu tidak terdapat dasar hukum lembaga

mana yang berwenang melakukan pengujian, akan tetapi berdasarkan Pasal

10 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyatakan bahwa; “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya”. maka ke depan diharapkan dalam rangka penyempurnaan

hukum tidak perlu menunggu waktu yang lama, sehingga terhadap suatu

produk peraturan yang telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi

warga negara dapat diselesaikan melalui koridor yang tepat dan berkeadilan.

Page 39: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

LAMPIRAN EKSTRA

Struktur Kelembagaan Negara Sebelum Perubahan UUD 1945 (Sumber : Titik Triwulan Tutik, 2008 : 22-23)

Struktur Kelembagaan Negara Sesudah Perubahan UUD 1945 (Sumber : Titik Triwulan Tutik, 2006a : 125)

Berdasarkan bagan di atas terlihat bahwa UUD 1945 hasil Amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 1 (satu) lembaga bantu Negara dengan 7 (tujuh) lembaga negara sebagai berikut : Pertama, Kekuasaan Eksaminatif (Inspektif), yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); Kedua, Kekuasaan Legislatif yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas : (1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan (2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Ketiga, Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif), yaitu Presiden, dan Wakil Presiden; Keempat, Kekuasaan Kehakiman (Yudisial), Meliputi : (1) Mahkamah Agung (MA); (2) Mahkamah Konstitusi (MK), Kelima, Lembaga Bantu Negara (The State Auxiliary Body), yaitu Komisi Yudisial.

UUD 1945

BPK

Kekuasaan Eksaminatif(Inspektif)

MPR

DPR

PRESIDEN

WAKIL PRESIDEN

MA

Kekuasaan Yudisial

KY

Lembaga Negara Bantu

(Auxiliary State Body)

DPD

Kekuasaan Legislatif Kekuasaan

Eksekutif

MK

MPR

UUD 1945

DPR

Kekuasaan Legislatif

BPK

Kekuasaan Eksaminatif(Inspektif)

PRESIDEN

Kekuasaan Eksekutif

DPA

Kekuasaan Konsultatif

MA

Kekuasaan Yudikatif

Page 40: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Kedudukan, Tugas, dan Wewenang MPR sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945

(Sumber : Denny Indrayana, 2008 : 368)

Aturan-Aturan Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen

Kedaulatan Rakyat Dimonopoli MPR MPR tidak

memonopoli,

kedaulatan rakyat

dilaksanakan menurut

UUD 1945

Kedudukan Lembaga Tertinggi Negara

dengan kekuasaan yang

tidak terbatas

MPR hanya salah satu

dari beberapa lembaga,

dengan kekuasaan yang

terbatas

Pemilihan Presiden Dipilih oleh MPR MPR melantik Presiden

dan Wakil Presiden,

yang langsung dipilih

oleh rakyat.

GBHN Disusun oleh MPR, Presiden

melaksanakannya dan

mempertanggungjawabkan

pelaksanaannya kepada

MPR

MPR tidak lagi

memiliki kewenangan

ini

Perubahan Konstitusi Diubah dan ditentukan oleh

MPR

MPR masih tetap

memiliki wewenang-

wewenangan ini,

meskipun prosedur

amandemennya sudah

diubah

Pemberhentian Presiden Diberhentikan oleh MPR.

Prosedur ini tidak diatur

secara eksplisit dalam UUD

MPR memiliki

kekuasaan untuk

mencopot Presiden.

Page 41: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Kekuasaan ini diatur

dan terperinci dalam

UUD

Kekosongan kursi

Presiden

Konstitusi tidak memiliki

aturan tentang hal ini

MPR memiliki

kekuasaan untuk

memilih Presiden

dan/atau Wapres, dalam

hal bahwa salah satu

atau kedua jabatan itu

lowong.

Page 42: Implikasi Hukum Ketetapan MPR Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Asshiddiqie, Jimly, “Perihal Undang-Undang”, Cetakan ke 2, (Jakarta :

PT. RajaGrafindo Persada, 2010)

Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan

Pembongkaran. (Jakarta : Mizan. 2008)

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan

Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1997)

Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)

Richard C. Schroeder, Garis Besar Pemerinhan Amerika Serikat, (Kantor

Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri Amerika

Serikat, 2000)

Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia

Pascaamandemen UUD 1945. (Jakarta : Cerdas Pustaka, 2008)

B. Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia, TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI

tahun 1966 sampai dengan tahun 2002.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.