73
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA INDUSTRI MEBEL SKALA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN JEPARA MOHAMMAD SIDIQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESELAMATAN DAN … · 1. Tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan di lingkungan kerja industri mebel skala mikro dan kecil 17 2. Jenis penyakit yang timbul

  • Upload
    phamdat

  • View
    233

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PADA INDUSTRI MEBEL SKALA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN JEPARA

MOHAMMAD SIDIQ

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Implementasi Kebijakan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Mohammad Sidiq NIM E151100031

RINGKASAN MOHAMMAD SIDIQ. Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan EFI YULIATI YOVI.

Industri mebel Jepara berskala mikro dan kecil sangat penting bagi Kabupaten Jepara, karena mampu menciptakan lapangan kerja bagi 280-350 ribu usia produktif. Kontribusi nyata sektor industri mebel ini pada Produk Domestik Regional Bruto Jepara mencapai lebih 22,6% pada tahun 2010. Para pekerja di industri mebel berperan penting di balik kondisi ini.

Kondisi tempat kerja industri mebel kayu menunjukkan kondisi yang tidak aman. Namun upaya perlindungan terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi para pekerja belum tampak.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menguraikan implementasi kebijakan K3 di industri mebel kayu di Jepara, mengidentifikasi aktor yang terlibat dalam kebijakan K3 dan menemukan alternatif strategi pengembangan K3. Informan dalam penelitian ini adalah para pekerja di industri mebel, pemilik/pengurus usaha mebel, lembaga legilatif, dinas tenaga kerja, dinas kesehatan, puskesmas, perguruan tinggi dan LSM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan K3 belum diterapkan pada industri mebel skala mikro dan kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain terkait dengan masalah yang tidak mudah dikendalikan menyangkut perilaku, kebijakan yang ada saat ini belum dapat menstrukturkan implementasi dan faktor di luar kebijakan seperti kondisi sosial ekonomi pekerja. Alternatif strategi implementasi K3 yang disarankan yakni peningkatan kesadaran para pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang K3, peningkatan kapasitas pemda baik kualitas maupun kuantitas dalam menjalankan fungsinya dalam implementasi K3, pelibatan para pemilik/pengurus usaha melalui asosiasinya untuk mengintegrasikan K3 dalam aspek bisnisnya, dan penyusunan perda tentang K3 di Jepara.

Kata kunci: kebijakan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), industri mebel kayu skala mikro dan kecil, Jepara

SUMMARY

MOHAMMAD SIDIQ. Policy Implementation of Occupational Safety and Health in Jepara Small Scale and Household Furniture Industry. Supervised by DODIK RIDHO NURROCHMAT and EFI YULIATI YOVI.

There is no doubt that small scale and household industry of wooden furniture in Jepara is very important for Jepara District; this industry generates employment growth for 280–350 thousands productive age. Significance contribution of furniture industry constitutes over 22.6% to Gross Regional Domestic Product in 2010. In the context of Jepara, the workers play pivotal role in the overall industrial economy of the region.

The physical condition of workplace in most wooden furniture industry are unsafe. In contrary the efforts to provide Occupational Safety and Health (OSH) for workers are not observable.

With qualitative research approach, this study outlines the implementation of OSH policy in wooden furniture industry in Jepara, identifies actors who involved in the implementation process of OSH policy, and apprehends alternative implementation strategies. Informants in this study were the workers in the furniture industry, the owner / caretaker furniture business, legilatif institutions, employment agencies, health departments, community health centers, university, and NGOs.

The study results indicate that OSH protection is not implemented in small scale and household furniture industries. Factors that influence this condition are related to problems that are not easily controlled such as behavior of actors involved (workers and business owners), existing policies that have not been able to structure the OSH implementation, and other factors beyond policy e.g. socio-economic status of workers. The proposed alternative strategies of OSH implementation includes increasing awareness of the workers and the owners/ managers of wooden furniture industry, enhancement capacity building of government employee for carrying out theirs functions in the implementation of OSH, the involvement of the business owners/managers attempt to integrate OSH through their associations in their business, and development policy instrument appropriate for the context of furniture industry in Jepara

Keywords: policy, Occupational Safety and Health (OSH), micro small and

medium industry, wooden furniture, Jepara

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PADA INDUSTRI MEBEL SKALA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN JEPARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

MOHAMMAD SIDIQ

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS

Judul Tesis : Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara

Nama : Mohammad Sidiq NIM : E151100031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dodik R.Nurrochmat, MSc.F.Trop Ketua

Dr. E.Y. Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi S2 Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah sejak bulan Maret sampai April 2012 ini ialah kebijakan, dengan judul Implementasi Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil di Kabupaten Jepara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc., F.Trop dan Ibu Dr. E.Y. Yovi, S.Hut, M.Life.Env.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan serta bimbingan dalam penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku dosen penguji pada ujian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Heri Purnomo beserta staf Center for International Forestry Research (CIFOR) serta Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Project No. FST/2007/119 (CIFOR Project code: R-LIV-220-1-ACI16) “Mahogany and teak furniture: action research to improve value chain efficiency and enhance livelihoods”, dan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Mohammad Sidiq

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1  PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis 3 Manfaat Penelitian 3 

2  METODE 4 Pendekatan Penelitian 4 Lokasi dan Waktu Penelitian 7 Unit Analisis 8 Penentuan Contoh 9 Pengumpulan Data 10 Analisis Data 10 Pengujian Keabsahan Hasil Penelitian 10 

3  HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 14 Isi dan Instrumen Kebijakan K3 20 Implementasi K3 pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil 24 Aktor-aktor yang Terlibat dalam Implementasi Kebijakan K3 33 pada Industri Mebel Jepara 33 Kesenjangan (Gap) antara Kebijakan K3 dan Implementasinya pada Industri Mebel Jepara 41 Strategi Implementasi K3 untuk Industri Mebel Jepara 44 Pola Implementasi K3 pada Industri Mebel Jepara 46 

4  SIMPULAN DAN SARAN 47 Simpulan 47 Saran 48 

DAFTAR PUSTAKA 49 

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL

1. Tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan di lingkungan kerja industri mebel skala mikro dan kecil 17 

2. Jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja yang dialami 74 orang pekerja di lingkungan kerja mebel skala mikro dan kecil di Jepara 18 

3. Tinjauan terhadap isi kebijakan K3 21 4. Tinjauan terhadap instrumen kebijakan keselamatan dan kesehatan

kerja 23 5. Sumber bahaya yang teridentifikasi di lingkungan kerja mebel skala

mikro dan kecil di Jepara 24 6. Daftar para pihak dan perannya dalam implementasi K3 di Jepara 35 7. Perspektif dan posisi aktor terhadap kebijakan K3 36 8. Kepentingan aktor terhadap kebijakan K3 38 9. Kekuasaan dan kepemimpinan aktor K3 pada industri mebel Jepara

skala mikro dan kecil 38 10. Deskripsi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala

mikro dan kecil berdasarkan model Sabatier dan Mazmanian 41 11. Kombinasi SWOT yang mempengaruhi strategi implementasi

kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil 45 

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pendekatan penelitian implementasi kebijakan K3 pada

industri mebel Jepara skala mikro dan kecil 5 2. Model implementasi kebijakan Sabatier dan Mazmanian (1980) 6 3. Lokasi penelitian 8 4. Alur analisis dan interpretasi data dalam penelitian implementasi

kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil 11

DAFTAR LAMPIRAN

1. Karakteristik informan berdasarkan kriteria umum 55 2. Data jenis kecelakaan dan penyakit berdasarkan hasil wawancara 59

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan keselamatan kerja di Indonesia menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1970 memberlakukan tiga unsur, yakni unsur tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi sesuatu usaha, unsur tenaga kerja yang bekerja, dan unsur bahaya kerja di tempat kerja. Aturan keselamatan kerja untuk bidang kehutanan terdapat dalam Pasal 2 ayat 2d dalam undang-undang tersebut yang berbunyi “wajib diterapkan dalam pekerjaan pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya”.

Menurut Suma’mur (1977), pembukaan lahan dan pengerjaan hutan merupakan kelompok pekerjaan kehutanan (industri kayu hulu), sedangkan pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya adalah menyangkut pengubahan primer kayu untuk kegiatan-kegiatan lain (industri pengolahan kayu hilir). Industri mebel (furniture) termasuk ke dalam kelompok industri pengolahan kayu hilir.

Industri-industri mebel berskala mikro dan kecil1 di Jepara merupakan “urat nadi bagi masyarakat Jepara”. Industri ini mampu menciptakan lapangan kerja dan mempekerjakan sekitar 40–50 persen dari 700 ribu jiwa usia produktif di Jepara (BPS dan BAPPEDA 2011). Produk mebelnya masih menjadi andalan bagi Provinsi Jawa Tengah, di samping produk tekstil (ILO 2004) dengan kontribusi nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mebel jati pada tahun 2010 adalah paling tinggi dibandingkan nilai PDRB industri lainnya, yakni lebih dari 22,65% (BPS dan BAPPEDA 2011). Mereka yang ada di balik fakta ini adalah para pekerja atau pengrajin mebel.

Fakta menunjukkan bahwa kondisi tempat kerja industri mebel umumnya memiliki resiko kecelakaan dan gangguan kesehatan karena pengaruh dari sifat pekerjaannya, karakteristik pekerja, dan budaya keselamatan kerja serta adanya penggunaan mesin-mesin berbahaya dan tata letak ruang kerja yang kurang baik (Ratnasingam et al. 2011a). Para pekerja selalu terpapar partikel debu kayu, kebisingan dari penggunaan mesin-mesin perkakas seperti gergaji, mesin serut listrik, gurinda dan bor, serta terpapar bahan kimia pada kegiatan pelapisan warna pada tahapan finishing mebel, sampai diatas ambang batas yang diizinkan (Whitehead 1982; Whysall et al. 2006; Ratnasingam et al. 2010). Selain itu penggunaan mesin-mesin perkakas yang berhubungan dengan menangani, menyimpan, mengangkat dan mengangkut beban secara manual yang bersifat membahayakan keselamatan dan kesehatan pekerja (Kemenakertran 2003).

Dalam rangka melindungi hak asasi para pekerja terkait keselamatan dan kesehatan dalam bekerja, pemerintah mengeluarkan kebijakan keselamatan kerja agar diterapkan di setiap tempat kerja (UU No 1 Tahun 1970), pemberi kerja wajib memberikan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kepada pekerja/buruh (UU No 13 Tahun 2003) melalui penerapan sistem manajemen K3

1 BPS (2011) mengategorikan industri berdasarkan jumlah pekerja sebagai berikut: industri

rumah tangga (mikro) dengan pekerja 1–4 orang; industri kecil: 5–19 orang; industri menengah: 20–99 orang; dan industri besar: 100 orang atau lebih.

2

(PP No 50 Tahun 2012). Namun upaya perlindungan K3 pada industri-industri mebel skala mikro dan kecil dihadapi oleh berbagai situasi masalah, diantaranya adalah komitmen dari pemilik usaha/pengusaha, sikap pimpinan/pengurus perusahaan terhadap kepentingan K3, resistansi pekerja dalam hal mengubah perilakunya dalam bekerja (Whysall et al. 2006) dan moral pekerja (Michael & Wiedenbeck 2004). Bagaimana dengan implementasi kebijakan K3 pada industri mebel Jepara? Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut, diperlukan sebuah penelitian tentang implementasi K3 pada industri-industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara.

Penelitian ini penting untuk dilakukan atas dasar masalah penelitian K3 di sektor industri kehutanan sejauh ini dilakukan pada industri-industri skala besar, belum menyentuh pada industri skala mikro dan kecil. Penelitian Gandaseca dan Yoshimura (2001) mengkaji implementasi keselamatan kerja, kesehatan dan kondisi kehidupan para pekerja di 7 perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia, yakni di Perum Perhutani Jawa Barat, PT. Bara Induk Sumatera Utara, PT. Hutan Musi Persada Sumetera Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper Riau, PT. Kiani Lestari Kalimantan Timur, PT. Tanjung Redeb Hutani Kalimantan Timur, dan PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Timur. Beberapa studi lainnya adalah penelitian Ratnasingam et al. (2011a) menganalisis faktor-faktor resiko kecelakaan kerja di 50 industri mebel kayu skala besar di Malaysia; Ratnasingam et al. (2011b) mengevaluasi kecelakaan kerja di 240 industri mebel kayu skala besar di Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia.

Selain itu, penelitian K3 di luar sektor kehutanan sejauh ini juga dilakukan pada perusahaan-perusahaan skala besar seperti yang dilakukan oleh Siahaan (2002) menganalisis gap antara aspek perencanaan dan pelaksanaan K3 pada tingkat pembina dan pelaksana di perusahaan penerbangan; Lubis (2002) menganalisis skoring faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja untuk mengukur performa pengelolaan dan penilaian kebutuhan program K3 di perusahaan pertambangan; Octarina (2004) menganalisis korelasi faktor kepemimpinan, budaya kerja, komunikasi dengan pelaksanaan K3 di industri tekstil; Susilawaty (2007) mengkaji proses implementasi kebijakan K3 dengan analisis kompilasi tupoksi instansi daerah; dan selanjutnya Tarigan (2008) menganalisis implementasi K3 di perusahaan sawit dengan fokus pada kriteria kebijakan perusahaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan outcome dari sistem manajemen K3.

Perumusan Masalah

Perlindungan K3 di Indonesia pada berbagai sektor pembangunan termasuk sektor kehutanan telah dilegitimasi dalam bentuk undang-undang dan derivatnya. Khusus sektor kehutanan, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa industri-industri mebel dan unit-unit usaha penjualan kayu bahan baku mebel skala mikro dan kecil belum menerapkan prinsip-prinsip perlindungan K3 (Yovi et al. 2013); perlindungan K3 di industri mebel informal (sifat pekerjaan hanya berdasarkan perintah dan perolehan upah, dan hubungannya hanya sebatas majikan dan buruh) masih sangat lemah dibandingkan dengan sektor formal (Yani 2006).

3

Kasus di Jepara, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dalam bidang industri mebel skala mikro dan kecil sebagai pekerja mebel atau pengrajin. Meskipun mereka pada umumnya bekerja pada industri skala kecil, namun kontribusi mereka melalui industri mebel telah diakui pemerintah daerah sebagai penyumbang ekonomi bagi kabupaten dan penyumbang nilai ekspor (Purnomo et al. 2011). Namun pada kenyataannya, perlindungan K3 bagi para pekerja atau pengrajin mebel Jepara masih sangat lemah (Yovi et al. 2013). Padahal perlindungan K3 merupakan salah satu hak dasar para pekerja ataupun pengrajin di lingkungan kerjanya yang wajib diberikan oleh pengurus/pemilik usaha (UU No.1/1970; ILO 1981; ILO 1985; UU No. 23/1992 dan UU No. 13/2003). Berdasarkan hal di atas, pertanyaan penelitian dalam kajian ini adalah:

1. Bagaimana implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara?

2. Siapa aktor-aktor yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara?

3. Bagaimana bentuk strategi pengembangan implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menguraikan implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara,

2. Mengidentifikasi para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan K3 di tingkat Kabupaten Jepara, dan

3. Mengidentifikasi strategi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel kayu skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Perlindungan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil sangat lemah.

2. Peran pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan pekerja dapat menjadi insentif bagi efektivitas implementasi K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil.

3. Strategi implementasi pengelolaan K3 dapat ditentukan sesuai dengan tipologi dan kebutuhannya untuk industri mebel skala mikro dan kecil.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa informasi ilmiah diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang analisis implementasi kebijakan dan berguna bagi pengembangan penelitian analisis kebijakan terkait manajemen K3. Hal ini juga penting sebagai salah satu sumber referensi bagi pemerintah daerah setempat dalam rangka menyusun rancangan strategi implementasi K3

4

yang diterapkan pada industri mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara, serta dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas mebel Jepara mencapai sertifikasi produk mebel.

2 METODE

Pendekatan Penelitian

Kerangka pendekatan penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Pendekatan ini dipilih berdasarkan pertimbangan, bahwa data dikumpulkan dari temuan-temuan di lapangan (situasi masalah empiris), dan dianalisis untuk memahami substansi dari objek penelitian, yakni fenomena realitas implementasi kebijakan K3; pada latar yang spesifik, yakni pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil; dan pada batasan waktu untuk penggalian informasi yang lebih mendalam tentang subjek yang diteliti, yakni para pekerja/pengrajin mebel, pengurus/ pemilik usaha mebel, dan pihak pemerintah daerah yang terkait (Bungin 2009; Denzim & Lincoln 2009; Creswell 2010; Alwasilah 2011).

Kerangka pendekatan penelitian ini (Gambar 1) dinarasikan sebagai berikut. Untuk mengenali fenomena implementasi kebijakan K3, penelitian ini mengacu pada pendekatan teoritis fenomenologi bahwa fenomena bersifat subjektif dan mengandung makna, dengan demikian harus digali dengan cara memahami konseptual para pelaku, pengetahuan atau pemahaman para pelaku (Bungin 2009). Lebih lanjut teori Erickson (1996) berpandangan bahwa ada hubungan antara pekerja, tempat kerja, lingkungan dan kondisi sosial budaya sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya. Oleh karena itu kejadian-kejadian di lapangan dikaji dengan menggali informasi secara langsung melalui para pelaku, di tempat kerjanya dan mengamati situasi lingkungan sosial budaya setempat.

5

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian implementasi kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil

Dalam implementasi suatu kebijakan, kenyataan menunjukkan bahwa selalu ada kesenjangan (gap) antara tujuan yang dinyatakan dalam suatu produk kebijakan dengan outcome yang dihasilkan dari implementasi kebijakan (Dunn 2003; Santoso 2010; Kusumanegara 2010; Nugroho 2011; Winarno 2012), atau yang dinyatakan Santoso (2010) sebagai “missing link”. Berdasarkan pada hal itu penelitian ini menggali informasi mengenai gap yang terjadi dalam proses implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara. Dengan menggunakan dasar teoritis Sabatier dan Mazmanian (1980), proses implementasi kebijakan K3 tersebut diidentifikasi dengan menggunakan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel tersebut adalah karakter situasi masalah (berkaitan dengan mudah tidaknya masalah dikendalikan); daya dukung kebijakan (kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi); dan faktor-faktor di luar undang-undang ataupun peraturan yang mempengaruhi proses implementasi.

6

Gambar 2 Model implementasi kebijakan Sabatier dan Mazmanian (1980)

Ketiga kelompok variabel dari model Sabatier dan Mazmanian (1980) tersebut (Gambar 2) sebagai berikut:

(1) Karakteristik masalah: mudah tidaknya masalah dikendalikan

a. Kesulitan teknis dari masalah

b. Kemajemukan perilaku/tingkat pemahaman kelompok sasaran

c. Prosentase kelompok sasaran dibandingkan jumlah populasi

d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan

(2) Daya dukung peraturan: kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi

a. Penggunaan dasar teori yang memadai

b. Kejelasan dan konsistensi isi kebijakan

c. Ketepatan alokasi sumberdaya

d. Keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan dari lembaga pelaksana

f. Rekruitmen pejabat pelaksana

g. Akses dan partisipasi kelompok-kelompok luar

(3) Faktor-faktor di luar kebijakan

a. Kondisi sosial ekonomi dan tingkat kemajuan teknologi

b. Perhatian media terhadap masalah

c. Dukungan publik

d. Sikap dan sumberdaya dari kelompok terkait

e. Dukungan dari pejabat yang berwenang

f. Komitmen dan keterampilan kepemimpinan dari pejabat pelaksana

7

Dalam hal implementasi K3 di lingkungan kerja mebel, efektivitas implementasi K3 terbentuk melalui proses keterkaitan antara aktor, aturan, dan situasi setiap aktor mengenai persepsi, tujuan dan sumberdaya yang mereka miliki yang membentuk outcome atas tindakan-tindakannya. Para aktor bisa berasal dari kelompok sasaran, pejabat pelaksana, pejabat berwenang, kelompok-kelompok luar/publik, dan komunitas (Hermans dan Thissen 2009). Pendekatan analisis aktor secara lebih mendalam dilakukan untuk memahami eksistensi tripartit (pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan pekerja). Analisis aktor dilakukan dengan menggunakan pendekatan Schmeer (1999) untuk memahami perspektif, posisi, kepentingan, penguasaan sumberdaya dan kepemimpinan dari para aktor.

Pendefinisian permasalahan kebijakan mengacu pada Dunn (2003) yang berpandangan bahwa permasalahan kebijakan itu subjektif tergantung pada konteks dan deskripsi peneliti; dinamis sehingga tidak terus-menerus terpecahkan; dan dapat diformulasikan menurut individu atau kelompok yang mendefinisikan. Seluruh hasil analisis secara deskriptif didefinisikan sebagai permasalahan kebijakan. Sedangkan untuk merumuskan strategi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil, analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi faktor internal (kekuatan/Strength dan kelemahan/Weaknessess) dan faktor eksternal (peluang/Opportunities dan ancaman/Threats), didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang; dan meminimalkan kelemahan dan ancaman (Start dan Hovland 2004).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Jepara secara geografis terletak pada koordinat 110°9`48, 02" sampai 110°58`37,40" Bujur Timur dan 5°43`20,67" sampai 6°47`25, 83" Lintang Selatan (Gambar 2).

Penelitian ini dilakukan di 6 kecamatan yang menjadi pusat kegiatan industri-industri mebel dengan latar industri skala mikro dan kecil, dari total 16 wilayah kecamatan di Kabupaten Jepara. Nama-nama kecamatannya adalah Kecamatan Bangsri, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Jepara, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Kedung, dan Kecamatan Batealit.

Kegiatan wawancara dan observasi di lapangan dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai pada tanggal 28 Februari sampai 31 Maret 2012. Kegiatan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) diselenggarakan satu bulan setelah peneliti menyusun catatan lapangan hasil penelitian, yakni pada bulan April 2012 yang dikerjasamakan dengan Dinsosnakertran Kabupaten Jepara.

8

Sumber: http://studioproses4.wordpress.com/jepara/gambaran-umum/fisik/geografis/

[diunduh 2013 Okt 31]

Gambar 3 Lokasi penelitian

Unit Analisis

Unit analisis (subjek) yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pekerja mebel, pengurus/pemilik usaha mebel, pejabat pemerintah, dan aktor-aktor yang terkait lainnya sebagai individu, kelompok atau organisasi/lembaga.

Menurut Bungin (2009), unit analisis masalah kualitatif (unit analisis sosial Ritzer) terdiri atas empat tingkat unit analisis, yaitu (1) tingkat makro–objektif yang menjelaskan fenomena seperti birokrasi, hukum dan masyarakat; (2) tingkat makro–subjektif yang menjelaskan nilai, norma dan budaya; (3) tingkat mikro dan objektif yang menjelaskan pola perilaku, tindakan dan interaksi; dan (4) tingkat mikro–subjektif yang menjelaskan persepsi, dan proses konstruksi realitas.

9

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini memfokuskan perhatian pada tingkat makro–objektif, perhatian pada makna data yang berasal dari masyarakat umum di lingkungan tempat kerja mebel dan pemerintahan di Kabupaten Jepara; pada tingkat makro–subjektif, perhatian pada data umum mengenai budaya atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di lingkungan tempat kerja mebel di Kabupaten Jepara; pada tingkat mikro–objektif, perhatian pada data yang berkaitan dengan perilaku, tindakan dan interaksi individu dan kelompok dari para pekerja/pengrajin mebel, pengurus/pemilik usaha mebel baik sebagai individu maupun kelompok; dan pada tingkat mikro–subjektif, perhatian pada data tentang persepsi dari setiap aktor yang terkait sebagai individu dan kelompok.

Penentuan Contoh

Penelitian ini menggunakan teknik penarikan contoh tidak berpeluang (nonprobability sampling), yakni metode pemilihan contoh dengan pertimbangan tertentu/purposive sampling (Cochran 1991) dan metode snowball sampling (Creswell 2012).

Jumlah informan kunci (key informan) yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 114 orang, terdiri atas 7 orang pada unit penjualan kayu (TPK, logpark); 5 orang pada unit tempat penggergajian kayu (sawmill); 6 orang pada unit usaha TPK yang terintegrasi dengan sawmill; 57 orang pada unit bengkel kerja mebel; 12 orang pada unit bengkel finishing; 15 orang pada unit usaha mebel skala menengah; 5 orang pada lembaga asosiasi mebel; 6 orang dari lembaga pemerintah; dan 1 orang dari perguruan tinggi.

Jumlah informan kunci yang dilibatkan dalam FGD adalah sebanyak 20–25 orang perwakilan dari perusahaan/pengurus/pemilik usaha, pekerja, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan perguruan tinggi. Penelusuran informasi juga dilakukan di kantor-kantor instansi pemerintah daerah yang terkait, dan di kantor-kantor lembaga-lembaga mitra CIFOR di Kabupaten Jepara.

Pemilihan contoh (lokasi) berdasarkan pada pengetahuan awal tentang populasi yang diperoleh dari CIFOR2 sebagai narasumber ahli, atas dasar pertimbangan bahwa lokasi-lokasi penelitian adalah pusat kegiatan industri-industri mebel dan unit-unit usaha terkait lainnya yang berskala mikro dan kecil, serta lokasi-lokasi tersebut mewakili sentra-sentra industri mebel di wilayah Kabupaten Jepara.

Penggalian data/informasi dilakukan mulai dari satu titik informan ke informan berikutnya secara sambung-menyambung berdasarkan informasi baru yang disampaikan oleh informan yang telah diwawancarai, sampai kepada informan baru yang dapat memberikan informasi secara lengkap. Dalam hal ini jumlah contoh bisa sedikit, tetapi juga bisa banyak tergantung pada situasi sosial yang mendukung kecukupan informasi sesuai dengan fokus penelitian. Melalui metode snowball sampling proses pengumpulan data dianggap sudah selesai jika sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi.

2 Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Project No.

FST/2007/119 (CIFOR Project code: R-LIV-220-1-ACI16) “Mahogany and teak furniture: action research to improve value chain efficiency and enhance livelihoods”

10

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi Creswell (2012) dan Patton (2002) yakni data kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk data observasi, data wawancara, dan data dokumentasi termasuk bentuk materi audiovisual. Berdasarkan hal tersebut data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data kuantitatif mengenai kejadian kecelakaan dan jenis penyakit yang timbul akibat hubungan kerja dan lingkungan kerja.

Selanjutnya penelitian ini mencakup tiga jenis data kualitatif, yaitu data hasil wawancara berupa jawaban-jawaban dari para aktor (subjek penelitian) mengenai pengalaman, persepsi, pendapat, perasaan dan pengetahuan tentang K3 dan penerapannya sehari-hari; data hasil observasi berupa deskripsi pekerjaan pada tiap tempat kerja, perilaku, tindakan, percakapan, hubungan para aktor mulai dari pekerja/pengrajin mebel, pengusaha dan pihak pemerintah; data hasil telaah dokumen berupa telaah isi materi kebijakan yang terkait perlindungan K3, laporan-laporan tertulis serta literatur terkait industri mebel ukir di Kabupaten Jepara.

Wawancara dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam (in-depth interview), dengan cara face-to-face interview, melalui telepon, dan pertemuan kelompok. Observasi dilakukan dengan mengamati lingkungan kerja TPK, sawmill, workshop, dan bengkel kerja finishing; mengamati aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan perilaku yang dimunculkan oleh tiap aktor yang diteliti; dan mengamati kejadian berdasarkan perspektif tiap aktor yang diteliti. Sedangkan studi dokumentasi dilakukan dengan menelaah isi dokumen yang terkait dengan materi kebijakan, laporan-laporan, foto-foto atau bukti gambar terkait dengan tujuan penelitian.

Analisis Data

Alur analisis dan interpretasi data diilustrasikan pada Gambar 4. Inti dari analisis kuantitatif adalah untuk menilai atau mengukur (Creswell 2012), dalam penelitian ini adalah untuk menduga tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan dan persentase terjadinya gangguan kesehatan di lingkungan kerja dan/atau akibat kerja berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci. Sedangkan inti dari analisis kualitatif terletak pada proses-proses untuk menggambarkan berbagai fenomena realitas sosial yang menjadi fokus penelitian dalam bentuk naratif-kualitatif, mengklasifikasikan fenomena kedalam tema-tema yang dikaji, dan melihat bagaimana hubungannya dengan teori atau konsep (Dey 2005).

Pengujian Keabsahan Hasil Penelitian

Dalam konteks analisis kualitatif, validitas tidak mengacu pada batasan angka tertentu, melainkan berpijak pada kebenaran dan kejujuran dari deskripsi, penjelasan, tafsiran dan kesimpulan yang dibuat oleh peneliti berdasarkan apa yang dirasakan oleh objek (Alwasilah 2011).

11

Gambar 4 Alur analisis dan interpretasi data dalam penelitian implementasi kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil

Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan hasil penelitian dalam penelitian ini mengacu pada pengembangan teknik pemeriksaan oleh Bungin (2009) sebagai berikut:

1. Kriteria 1: kredibilitas (derajat kepercayaan) peneliti

Teknik pemeriksaan:

(1) Keikutsertaan peneliti Peneliti mendatangi langsung tempat kejadian untuk memahami konteks tindakan, makna gagasan/ide pelaku, dan proses interaksi antar pelaku pada setiap latar (setting) yang sedang diamati, dan langsung melakukan wawancara dengan informan-informan.

(2) Menemukan siklus kesamaan data Peneliti secara konsisten menerapkan teknik snowball sampling, yakni konsisten bahwa kegiatan pengumpulan data terus dilakukan untuk menemukan data lainnya untuk penelusuran informasi lanjutan, dan proses pengumpulan data dianggap sudah selesai jika sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi.

(3) Ketekunan pengamatan Peneliti menggunakan pendekatan perasaan dan sabar terutama pada saat melakukan observasi pada setiap latar (setting) yang sedang diamati dan wawancara dengan informan-informan.

12

(4) Triangulasi kejujuran peneliti Peneliti menjalani proses penelitian bersama dengan tim proyek CIFOR dan apa adanya terhadap hasil penelitian melalui proses bimbingan oleh dua dosen pembimbing yang memiliki pengalaman kuat di bidang K3 dan aspek sosial pada konteks industri mebel kayu skala mikro dan kecil dan menengah di Kabupaten Jepara.

(5) Pengecekan melalui diskusi Peneliti melakukan diskusi dengan berbagai kalangan yang memahami objek penelitian diluar informan yang menjadi subjek penelitian, yakni berdiskusi dengan pengurus dan anggota APKJ, pengurus FRK, Ketua dan pengurus ASMINDO Kab. Jepara, pihak akademisi dari STIENU. Peneliti juga berdiskusi dengan pihak legislatif, yakni Komisi C DPRD Kab. Jepara, dan pihak eksekutif di Kab. Jepara, yakni Bappeda, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi, UKM dan Pengelolaan Pasar, Dinas Kesehatan Kab. Jepara/Puskesmas Kecamatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

(6) Kajian kasus negatif Peneliti melakukan sebatas peninjauan contoh dan kasus melalui media internet dan literatur jurnal untuk melihat kecenderungan informasi dan digunakan sebagai bahan pembanding.

2. Kriteria 2: kredibilitas metode pengumpulan data

Teknik pemeriksaan:

(7) Triangulasi metode Penelitian ini melakukan teknik yang berbeda dan menggabungkan teknik-teknik pengumpulan data untuk meningkatkan kredibilitas, yakni merancang teknik pengumpulan data melalui wawancara–observasi–analisis dokumentasi–Focus Group Discussion (FGD). Wawancara dilakukan untuk mengetahui opini, persepsi, penilaian, ide/gagasan, dan ingatan dari para pelaku (subjek penelitian); observasi dilakukan untuk merekam konteks perilaku, tindakan, situasi pada tiap latar (setting); dan analisis dokumentasi dilakukan untuk menggambarkan berbagai fenomena realitas sosial, bukti-bukti, dan fakta pembanding yang berkaitan dengan objek penelitian. Terakhir, FGD yang dilandaskan pada temuan-temuan di lapangan dilakukan untuk menghasilkan informasi langsung dari berbagai sudut pandang para pihak yang mewakili kelompok-kelompok subjek penelitian ataupun di luar subjek penelitian. FGD juga dilakukan untuk verifikasi data hasil temuan di lapangan.

(8) Triangulasi sumber data Penelitian ini membandingkan informasi yang dikumpulkan dari hasil wawancara dibandingkan dengan informasi hasil observasi, membandingkan informasi yang disampaikan oleh subjek secara individu di masing-masing tempat kerja dengan informasi yang disampaikan oleh perwakilan kelompok informan pada saat pelaksanaan FGD, membandingkan apa yang dikatakan para

13

informan tentang situasi sosial di tempat penelitian dengan apa yang disimpulkan dari beberapa penelitian sosial yang terkait tempat penelitian, membandingkan keadaan dan perspektif subjek dengan berbagai pendapat dan pandangan dari informan diluar subjek penelitian seperti pihak-pihak asosiasi, legislatif, eksekutif, akademisi termasuk penduduk/pengunjung dan pembeli mebel yang ditemui di ruang pamer (showroom) mebel, dan membandingkan hasil wawancara dengan hasil analisis dokumen atau literatur.

3. Kriteria 3: kredibilitas teoritis dan referensi

Teknik pemeriksaan:

(9) Triangulasi teori Penelitian ini mengurai informasi yang diperoleh dari proses pengumpulan data di lapangan menjadi bagian-bagian kecil berdasarkan tema-tema atau kategori yang digunakan untuk analisis berdasar pada konsep/teori kerangka analisis implementasi kebijakan model Sabatier dan Mazmanian (1980) dan kerangka konseptual Hermans dan Thissen (2009) dan Schmeer (1999). Penelitian ini juga menghubungkan tema-tema/kategori dengan konsep-konsep sistem manajemen K3 pada lingkungan kerja.

(10) Kecukupan referensial Penelitian ini mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya, baik yang berasal dari pengumpulan data di lapangan maupun dari penelusuran jurnal nasional/internasional, buku-buku literatur, hasil-hasil penelitian orang lain, dokumentasi proyek CIFOR di Kab. Jepara, dan penelusuran informasi melalui website.

4. Kriteria 4: kepastian

Teknik pemeriksaan:

(11) Uraian rinci Penelitian ini secara konsisten menggunakan alur analisis dan interpretasi data, yakni mengurai konteks materi kebijakan; konteks latar penelitian (lokasi); mengurai tindakan, gagasan/ide pelaku, dan proses munculnya perilaku, tindakan dan interaksi pelaku individual pada tingkat pelaku, kejadian dan jaringan kerja dimana pelaku berada di dalamnya; mengurai kerangka analisis implementasi kebijakan; kemudian menghubungkan tema-tema untuk menggambarkan pemahaman baru.

5. Kriteria 5: kebergantungan

Teknik pemeriksaan:

(12) Audit kebergantungan Penelitian ini disusun melalui proses bimbingan oleh komisi pembimbing yang mengecek mulai dari latar belakang, tujuan penelitian, kerangka pikir penelitian, kerangka pendekatan penelitian, metode yang digunakan, dan penentuan keabsahan melalui sidang komisi pembimbing dan ujian komprehensif.

14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Jepara adalah Kota Ukir

Jepara menjadi Kota Ukir adalah atas dasar kerajinan mebel ukir itu berbasis kearifan lokal yang melanjutkan tradisi budaya leluhur dan warisan sejarah (Gustami 2000). Hal ini terbukti bahwa warisan seni ukiran di Jepara sudah ada sejak berabad yang lalu, dimulai dari Jaman Ratu Shima (jaman hindu), Ratu Kalinyamat (awal jaman islam), Raden Ajeng Kartini (jaman modern), sampai ke jaman Ibu Tien Soeharto pada masa orde baru (Gustami 2000). Pada zaman Majapahit, perkembangan teknologi perkayuan Jepara telah mewariskan bentuk tradisi ukiran kayu rumah Kudus (Kurniawan 2010).

Jepara menjadi terkenal di Indonesia dan di dunia karena mebel Jepara mengalami proses promosi yang cukup lama. Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1853 mebel ukir Jepara sudah dipamerkan di kota Batavia; dan pada tahun 1898 ukiran Jepara dipamerkan oleh R.A. Kartini pada pameran karya wanita di Den Haag, Belanda (Kurniawan 2010). Selanjutnya pada masa orde baru, upaya promosi terus dilakukan untuk memperkenalkan motif-motif baru atau desain baru di berbagai pameran, seperti di Pekan Raya Jakarta tahun 1985 (Margono 2010); pameran tunggal mebel Jepara di Bali tahun 1989 dan pameran rutin baik di tingkat nasional maupun internasional yang dikelola oleh Asmindo Jepara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Jepara dalam bentuk Pameran Produk Ekspor sejak tahun 2002 sampai dengan saat ini, pameran Asean Furniture Show atau Internasional Furniture Fair Singapore dari tahun 2003–2008; pameran International Furniture Fair and Craft Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 (Fauzi 2010).

Konteks Sosial–Ekonomi Industri Mebel Jepara

Industri-industri mebel Jepara hampir semuanya berupa perusahaan keluarga yang dijalankan oleh saudara sendiri, dan setidaknya melibatkan dua atau tiga keluarga atau garis keturunan (Roda et al. 2007). Dari industri-industri semacam itu terdapat 14.091 unit industri mebel skala kecil di Jepara, setidaknya terdapat 12.202 unit bengkel kerja mebel, 763 unit TPK, 158 unit samwill, dan 210 unit gudang/tempat finishing mebel (Roda et al. 2007). Namun dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun, jumlah industri mebel Jepara mengalami penurunan menjadi setidaknya 11.022 unit industri mebel skala kecil, dengan jumlah bengkel kerja mebel 8.281 unit pada tahun 2010 (Irawati et al. 2013). Hal itu terjadi diantaranya karena kenaikan harga bahan baku tidak diikuti secara siginifikan oleh harga jual produk akibatnya banyak pengrajin kecil gulung tikar dan terbebani hutang (Sujarot 2012); dan ketatnya operasi kayu sehingga banyak pencuri, penjarah dan penadah yang ditangkap akibatnya banyak pengrajin yang menggunakan kayu ilegal/hasil penjarahan mengalami penurunan omset dan mengalami kerugian (Margono 2010).

15

Pemerintah mengakui eksistensi industri mebel Jepara memiliki nilai tambah tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja serta memberikan kontribusi cukup penting terhadap perekonomian Jepara dan wilayah sekitarnya 25–27% (Purnomo et al. 2010; Purnomo et al. 2014). Selanjutnya Parlinah (2010) mengidentifikasi dari data Bappeda dan BPS Kabupaten Jepara bahwa pada tahun 2006, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jepara yaitu sebesar 27 persen dari Rp 5,67 triliun (harga berlaku tahun 2000) atau dari Rp 3,55 rriliun (harga konstan selama tahun 2000).

Banyak kalangan menilai, secara umum masa keemasan mebel Jepara pernah terjadi pada saat peristiwa lonjakan permintaan (booming), yakni pada saat di Indonesia mengalami peristiwa krisis ekonomi global (Purnomo et al. 2010). Namun demikian peristiwa itu hanya membawa keberuntungan bagi para eksportir, tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan para pengusaha mikro dan kecil yang skala usahanya relatif sempit dan sebagian besar diantara mereka sangat tergantung pada perusahaan yang lebih besar, karena mereka terikat dengan sistem sub kontrak, bahkan para pengrajin lokal hanya bekerja sebagai buruh yang mengerjakan pesanan bagi pengusaha-pengusaha yang lebih besar (Handayani et al. 2003).

Konteks Politik Industri Mebel Jepara

Secara umum komitmen politik untuk pengembangan industri mebel telah dilakukan oleh Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; dan tertuang dalam Peraturan Presiden RI No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional yang berkomitmen mengembangkan klaster industri prioritas berupa industri kayu dan barang kayu yang berbasis pada potensi lokal dengan cara memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya usaha mikro, kecil dan menengah, melalui pendanaan, pembangunan sarana dan prasarana, mengadakan dan menyebarluaskan informasi usaha, mengembangkan pola kemitraan, penyederhanaan birokrasi perizinan usaha, memberikan kesempatan tempat usaha dan lokasi sentra, mengembangkan promosi dagang, dan pengembangan kelembagaan terkait pelayanan usaha.

Dimensi politik pengembangan industri mebel jepara dijelaskan oleh pihak DPRD dan Pemerintah Kabupaten Jepara bahwa sesuai UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, otonomi daerah merupakan kewenangan yang dimiliki pemerintah Kabupaten Jepara untuk berkepentingan dengan industri mebel, termasuk yang berskala mikro dan kecil, karena kelompok industri ini dapat memberikan dampak pada peningkatan kemampuan ekonomi wilayah.

Dalam konteks politik di Jepara, eksistensi industri mebel skala mikro dan kecil sangat jelas peranannya yakni sebagai media interaksi mutualisme (yang saling menguntungkan) diantara para pemangku kepentingan; industri mebel Jepara sebagai sponsor utama kegiatan pembangunan dan dari peran itu eksistensi industri mebel Jepara dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan di Kabupaten Japara; dan sejak produk mebel ukir Jepara mendapatkan pengakuan Hak atas

16

Kekayaan Intelektual (HAKI) Indikasi Geografis3 dari Kementerian Hukum dan Perundang-undangan (Arya L 5 April 2014, komunikasi pribadi).

Berkaitan dengan identitas produk, industri-industri mebel di Jepara bersifat mengelompok dalam bentuk sentra di beberapa lokasi membentuk identitas sesuai jenis produk mebel yang mayoritas diproduksi dan diperdagangkan dengan tingkat spesialisasi tergolong tinggi (Roda et al. 2007). Di Jepara terdapat setidaknya 4 sentra industri mebel besar (Roda et al. 2007). Sentra-sentra mebel tersebut adalah sentra ukir relief, sentra industri patung dan ukir, sentra industri gebyok, dan sentra-sentra kecil lainnya seperti sentra kursi yuyu, kursi betawi, lemari, pembatas ruang bermotif ukir (sketsel) dan lain-lain. Sedangkan sentra perdagangannya terletak di wilayah Ngabul, Senenan, Tahunan, Pekeng, Kalongan dan Pemuda (Amin SM 5 April 2014, komunikasi pribadi).

Kecelakaan dan Penyakit di Lingkungan Industri Mebel

Data angka kecelakaan kerja4 di industri mebel skala mikro dan kecil Jepara tidak pernah tersedia. Para pemilik usaha di lingkungan industri mebel skala mikro dan kecil tidak pernah mendata kejadian kecelakaan kerja secara terdokumetasi. Informasi kecelakaan kerja pada umumnya disampaikan secara lisan oleh pekerja ataupun pengurus/pemilik usaha, dan mereka hanya menunjukkan bukti-bukti bekas luka atau cacat di bagian tubuh akibat kecelakaan kerja yang dialaminya.

Para pekerja ataupun pengurus/pemilik usaha menyebutkan bahwa di tempat penjualan kayu (TPK), para pekerja pernah terjatuh dari atas truk, tertimpa kayu, terjepit kayu, terkena gigitan/sengatan hewan berbisa, dan terkena gergaji mulai dari luka sayat sampai bagian jari tangan terputus. Di bengkel kerja mebel/brak (workshop) jari ataupun tangan pekerja pernah terkena perkakas ukir mebel seperti mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap, gergaji; terkena paparan zat kimia; tersengat listrik; dan terluka bakar. Sedangkan di lokasi bengkel kerja finishing para pekerja pernah tertimpa mebel, terjepit kayu, terkena paparan debu dan zat kimia.

Berdasarkan data kecelakaan kerja yang diperoleh dari hasil wawancara dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha di beberapa tempat kerja mebel diperoleh angka tingkat kekerapan (frequency rate) yang menunjukkan bahwa para pekerja tersebut dalam setahun mengalami kejadian kira-kira 3–6 kecelakaan pada setiap 8.000 jam orang kerja (Tabel 1).

3 Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari

suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menentukan adanya kualitas, reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan manusia yang dijadikan atribut barang tersebut (Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis).

4 Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui (Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Berdasarkan Permenaker No PER.03/MEN/98 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan, kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. Dalam pengertian ini kecelakaan terdiri atas kecelakaan kerja, kebakaran atau peledakan atau bahaya pembuangan limbah, dan kejadian berbahaya lainnya.

17

Tabel 1 Tingkat kekerapan dari kejadian kecelakaan di lingkungan kerja industri mebel skala mikro dan kecil

Tempat Kerja Jenis

Kecelakaan Kerja

Jumlah Rata-rata

Kejadian per Tahun (n=74)

Jumlah Rata-rata

Hari Tidak Kerja (n=74)

Tingkat Kekerapan

(FR)

TPK Kuku kaki lepas 1,5 3

Jari putus/luka 1 20

Terjepit kayu/alat 3,2 9,2

Jumlah n = 7 5,7 32,2 5,71 (6)

Sawmill Kuku tangan lepas 1 5

Jari putus/luka 1 38

Terjepit kayu 1 3

Jumlah n = 5 3 46 3,05 (3)

TPK & Sawmill Kuku tangan lepas 1 12,5

Kuku kaki lepas 1 4

Jari putus/luka 1,5 46,7

Terjepit kayu 1 6

Jumlah n = 6 3,5 56,7 3,60 (4)

Bengkel Kerja Mebel Terkena gergaji 1 20

Terkena pahat/alat 1 7

Jari putus/luka 1 22

Lelah/letih 1 1,3

Jumlah n = 57 4 50,3 4,08 (4)

Keterangan: satu juta jam adalah jumlah jam kerja dari 500 karyawan yang bekerja 40 jam seminggu dan 50 minggu pertahun (SNI 13-6618-2001).

Sumber: hasil wawancara dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha di beberapa tempat kerja mebel di Jepara.

Data tentang penyakit yang timbul kerena hubungan kerja5 juga tidak terdokumentasi secara baik di tingkat unit industri, namun berdasarkan hasil wawancara dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha menyebutkan bahwa jenis penyakit yang timbul selama mereka bekerja di lingkungan kerja mebel adalah sesak nafas, encok, usus turun, batuk dan paru-paru (Tabel 2).

Kepres No 22/1993 menunjukkan bahwa berbagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja itu terjadi akibat pajanan zat seperti debu, persenyawaan yang beracun; kebisingan, gerakan mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi); radiasi elektro magnetik dan mangion; penyebab fisik, kimia atau biologik; virus, bakteri atau parasit; dan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.

5 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh

pekerjaan atau lingkungan kerja. Terdapat 31 jenis kategori penyakit yang timbul karena hubungan kerja (Kepres No 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja).

18

Tabel 2 Jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja yang dialami 74 orang pekerja di lingkungan kerja mebel skala mikro dan kecil di Jepara

Tempat Kerja

Penyakit yang Dikeluhkan

Kategori Penyakit Karena Hubungan Kerja

(Kepres No 22/1993)

Rata-rata Kejadian

per Tahun

Rata-rata Hari Tidak

Kerja

TPK Sesak nafas Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik)

1 5

Encok Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

17,3 18

Usus turun Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

1 3,8

Sawmill Encok Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

6,5 7

Gangguan pendengaran

Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan

1 tetap kerja

TPK & Sawmill

Sesak nafas Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik).

1 12,5

Encok Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

50 50

Usus turun Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

1 5

Gangguan pendengaran

Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan

1 tetap kerja

Bengkel Kerja Mebel

Batuk Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik).

2 5,3

Sesak nafas Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik).

1,4 3,2

Paru-paru Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik).

1 20

Encok Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

31 31

Lelah/letih Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

13 1,3

Gangguan pendengaran

Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan

1 tetap kerja

Bengkel finishing mebel

Batuk Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik).

2,7 5,3

Sesak nafas Alveolitis Alergika (dari debu serbuk kayu/organik).

1 1

Lelah/letih Penyakit yang disebabkan oleh gerakan mekanik

1 1

Gangguan pendengaran

Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan

1 tetap kerja

Sumber : Hasil wawancara dengan 74 orang pekerja dan pengurus/pemilik usaha di beberapa tempat kerja mebel di Jepara.

19

Secara teori, beberapa kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi bahwa suatu penyakit memang disebabkan oleh agen di tempat kerja atau lingkungan kerja tertentu, yakni dengan pemeriksaan gejala klinis dan perkembangannya sesuai diagnosis, mengamati hubungan sebab akibat antara pajanan dan kondisi diagnosi atau diduga kuat berdasarkan kepustakaan medis, epidemiologi atau toksikologi, dan dapat diindikasikan dari adanya pajanan yang diduga sebagai penyebab penyakit serta tidak ditemukan diagnosis lain (Gulati dan Redlich 2008).

Berdasarkan hal tersebut maka jenis-jenis penyakit seperti sesak nafas, batuk, paru-paru dan lelah/letih yang mereka alami patut diduga sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja, meskipun jenis penyakit-penyakit tersebut mirip dengan penyakit sesak nafas, batuk, paru-paru dan lelah/letih lain yang tidak berhubungan dengan kerja. Hal itu diduga dari akibat terjadinya pajanan dari debu organik/serbuk kayu sebagai penyebabnya. Selain itu, jenis penyakit encok dan usus turun juga patut diduga sebagai akibat pajanan dari gerakan mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi).

Lebih lanjut dugaan itu diperkuat dengan lama pajanan yang dialami para pekerja, dimana berdasarkan data informan yang diwawancarai rata-rata mereka telah bekerja sebagai pengrajin ataupun buruh mebel selama 14 tahun, dengan pengalaman kerja paling muda selama 1 tahun dan paling senior selama 35 tahun.

Jenis gangguan pendengaran diakui oleh para pekerja sebagai salah satu gangguan yang timbul karena hubungan kerja, khususnya mereka yang bekerja di sawmill, bengkel kerja mebel dan sebagian di bengkel finishing, namun para pekerja yang diwawancarai berpendapat bahwa kondisi gangguan pendengaran itu belum berakibat fatal dan masih tetap bisa melakukan pekerjaan. Berdasarkan Kepres No 22/1993, gangguan pendengaran itu masuk kategori penyakit yang timbul karena hubungan kerja, yakni jenis kelainan pendengaran yang diakibatkan oleh kebisingan.

Fakta di Jepara menunjukkan bukti bahwa kondisi kerja yang bising sering ditemui dan dirasakan khususnya di lokasi sawmill, bengkel kerja mebel dan bengkel kerja finishing, namun data ataupun catatan tentang penyakit tersebut tidak tersedia. Berdasarkan hal tersebut kasus ini memerlukan telaah yang lebih teknis yang tidak dilakukan pada penelitian ini terutama dalam hal seberapa tinggi tingkat paparan kebisingan dan tingkat kelainan pendengaran yang diderita oleh para pekerja mebel sebagai akibat dari kebisingan di tempat kerjanya.

Selain itu menurut para pekerja ada jenis penyakit lainnya yang sering timbul, yakni flu, demam, Demam Berdarah (DB), dan tifus. Namun jenis-jenis penyakit tersebut diduga sebagai penyakit menular yang disebabkan terutama oleh virus. Berdasarkan hal tersebut flu, demam, DB dan tifus sulit dikatakan sebagai jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Hal ini karena virus sebagai agen penyebabnya tidak semata-mata timbul karena hubungan kerja dan timbul di lingkungan kerja mebel, namun berasal dari lingkungan yang lebih luas di luar tempat kerja mebel.

20

Adapun data yang diperoleh dari puskesmas setempat, yakni Puskesmas Kecamatan Jepara, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Batealit, dan Kecamatan Kedung menunjukkan bahwa tercatat 20 besar penyakit dan kesakitan selama kurun waktu 2010–2012 yang diderita penduduk Jepara antara lain Nasopharingitis akut (common cold, influenza), TBC paru klinis, bronkitis akut, penyakit kulit alergi, asma, dan penyakit saluran nafas lainnya. Jenis-jenis penyakit tersebut patut diduga sebagian timbul disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Hal ini diduga dari kasus di Jepara, dimana sekitar 40–50 persen dari 700 ribu penduduk usia produkstif bekerja dalam bidang industri mebel sebagai pekerja mebel atau pengrajin.

Isi dan Instrumen Kebijakan K3

Isi Kebijakan K3

Kebijakan pemerintah dalam bidang keselamatan kerja di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 (UU No.1/1970) tentang Keselamatan Kerja. Selain itu, ada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 (UU No.13/2003) tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, perlindungan hak pekerja atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan kewajiban perusahaan untuk mengintegrasikan sistem manajemen K3 kedalam sistem manajemen perusahaan, serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 (UU No.23/1992) tentang Kesehatan, yang mengatur kewajiban perusahaan dalam hal pemeriksaan kesehatan pekerja dan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 (PP No.50/2012) tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Peraturan Pemerintah ini mengatur kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam segala tempat kerja, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa kewajiban itu berlaku untuk setiap perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau yang mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Wacana dibalik kebijakan-kebijakan tersebut adalah dalam rangka melindungi hak asasi para pekerja atas K3.

Melalui UU No 1 Tahun 1970 merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan tenaga kerja di setiap tempat kerja, baik formal maupun informal. Secara hukum, perlindungam tersebut dianggap sebagai hak asasi yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat usaha baik pada jenis usaha bermotif ekonomi maupun bermotif sosial, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa. Bentuknya selain industri skala besar, juga industri atau jenis usaha kecil–menengah.

Selain memproteksi pekerja, UU No 1 Tahun 1970 juga menjadi dasar untuk memproteksi perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Sumber bahaya itu mencakup keadaan mesin-

21

mesin, pesawat-pesawat, alat-alat kerja dan peralatan/bahan lainnya; lingkungan; sifat pekerjaan; cara kerja; dan proses produksi.

Pemerintah mempertegas lagi perlindungan keselamatan kerja melalui UU No 13 Tahun 2003, pengganti UU No 14 Tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan ini dibuat dalam konteks pembangunan nasional bahwa tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.

Dari UU No 13 Tahun 2003 tersebut diharapkan adanya pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan perannya dalam pembangunan dan peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya. Adapun perlindungan terhadap tenaga kerja ditujukan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Tabel 3 Tinjauan terhadap isi kebijakan K3

UU No 1 Tahun 1970 Keselamatan Kerja

UU No 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan

PP No 50 Tahun 2012 Sistem Manajemen K3

Apa yang diatur

Mengatur keselamatan pekerja, keselamatan orang di lingkungan kerja dan bahan/peralatan yang digunakan aman

Mengatur hak dan kewajiban bagi pekerja dan pengusaha

Mengatur pengelolaan K3 secara sistematis dan menyeluruh dalam suatu sistem manajemen melalui proses perencanaan, penerapan, pengukuran dan pengawasan

Siapa pelaksana

Pengusaha/pemilik usaha dan pekerja

Pengusaha/pemilik usaha Pengusaha, pemerintah dan lembaga audit independen

Mengapa ada aturan ini

Perlindungan hak asasi keselamatan bagi pekerja, orang di lingkungan kerja dan sistem yang aman

Melaksanakan pembangunan ketenagakerjaan salah satunya melindungi tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan

Meningkatkan perlindungan K3 yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi

Untuk siapa Pekerja Pekerja Pekerja

Bagaimana pelaksanaan

Pelaksanaannya dilakukan secara terorganisir melalui peran pemerintah, pengusaha dan pekerja

Tidak ada keterangan pelaksanaan, untuk pelaksanaannya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah

Pelaksanaannya terintegrasi dalam sistem manajemen perusahaan: penetapan kebijakan K3, perencanaan, pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kinerja K3, peninjauan, peningkatan kinerja SMK3

Perlindungan K3 merupakan bagian perlindungan–pengupahan dan kesejahteraan yang digariskan dalam UU No 13 Tahun 2003, khususnya terdapat dalam Pasal 86 dan pasal 87. Isi Pasal 86 UU No 13 Tahun 2003 dinyatakan

22

bahwa “(1) setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusialaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai agama; (2) untuk melindungi keselamatan harus ada upaya keselamatan dan kesehatan kerja; dan (3) perlindungan seperti pada ayat 1 dan ayat 2 dilaksanakan sesuai peraturan perundangan.”

Sedangkan pada Pasal 87 UU No 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa “(1) setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselataman dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan; (2) ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja diatur dengan Peratutan Pemerintah.”

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 87 Ayat 2 UU No 13 Tahun 2013 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah/PP No 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). SMK3 merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan terkait dengan resiko keselamatan kerja. SMK3 berdasarkan PP 50 Tahun 2012 tersebut hanya diwajibkan bagi perusahaan yang mempekerjakan minimal 100 orang atau memiliki tingkat potensi bahaya tinggi (Pasal 5 Ayat 2).

Namun pada dasarnya SMK3 merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dengan demikian kondisi tempat kerja yang aman dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi para pekerja merupakan hal yang pokok.

Adapun tujuan dari SMK3 adalah (1) meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi, (2) mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen pekerja/buruh dan atau serikat pekerja, dan (3) menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien untuk mendorong produktivitas.

Beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan SMK3 adalah sebagai berikut:

(1) Penetapan K3. Penerapan kebijakan K3 dilaksanakan oleh pengusaha. (2) Perencanaan. Pengusaha dalam menyusun rencana melibatkan Ahli

K3, panitia pembina K3, wakil pekerja/buruh dan pihak lain terkait perusahaan. Rencana K3 memuat: tujuan/sasaran, skala prioritas, upaya pengedalian bahaya, penetapan SD, jangka waktu pelaksanaan, indikator pencapaian dan sistem pertanggungjawaban

(3) Pelaksanaan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang melaksanakan harus bersertifikat. Kewenangan di bidang K3 dibuktikan dengan surat izin kerja dari instansi yang berwenang. Prasarana dan sarana untuk melaksanakan kebijakan K3 terdiri dari organisasi yang bertanggungjawab di bidang K3, anggaran yang memadai, prosedur kerja, informasi dan pelaporan serta instruksi kerja. Kegiatan dalam pemenuhan persyaratan K3 meliputi tindakan pengedalian, design-rekayasa, prosedur-instruksi kerja, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan, pembelian barang-jasa, produk akhir, upaya menghadapi

23

keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri, dana rencana dan pemulihan keadaan darurat.

(4) Pemantauan dan Evaluasi. Pemantauan dan evaluasi dilakukan melalui pemeriksaan ,pengujian, pengukuran dan audit internal SMK3 oleh SDM berkompeten. Jika perusahaan tidak punya SDM dapat menggunakan jasa pihak lain. Hasil pemantauan dan evaluasi diberikan ke pengusaha. Hasil pemantauan dan evaluasi digunakan untuk melakukan tindakan perbaikan

(5) Pengawasan SMK3. Pengawasan SMK3 dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, Kota/Kabupaten. Hasil pengawasan akan dijadikan sebagai dasar pembinaan K3.

Instrumen Kebijakan K3

Manfaat perlindungan K3 untuk para pekerja yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah sangat tergantung pada instrumen kebijakan yang berkaitan dengan implementasi K3. Secara teoritis, Vedung (2010) mengklasifikasikan instrumen kebijakan yang digunakan agar kebijakan bisa dijalankan, yaitu regulasi (didalamnya terdapat sanksi sebagai mandat dari peraturan), administrasi (regulasi yang terkait dengan prosedur tata kelola, dan insentif sebagai mandat dari peraturan); ekonomi (instrumen yang mendorong perolehan manfaat seperti pengurangan pajak, subsidi, dan harga premium); dan informasi (instrumen yang mendorong pembentukan pengetahuan baru, tidak membatasi pengetahuan yang ada, dan membangun benchmark).

Tabel 4 Tinjauan terhadap instrumen kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja

Instrumen UU No 1 (1970)

Keselamatan Kerja UU No 13 (2003) Ketenagakerjaan

PP No 50 (2012) SM K3

Regulasi Tempat, pekerja dan alat yang aman wajib bagi pengusaha;pekerja wajib menggunakan APD; ada sanksi penjara atau bayar denda

Penerapan SMK3 terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan wajib bagi pengusaha; hak perlindungan K3 wajib diberikan untuk pekerja

Penerapan SMK3 wajib bagi pengusaha; namun tidak dijelaskan tentang sanksi bila SMK3 tidak diterapkan

Administratif Pengaturan peran pemerintah dalam pengawasan dan pembinaan

Ketetapan K3 sebagai bagian dari ketenagakerjaan

Prosedur SMK3 sudah jelas; tidak ada kaitannya dengan proses perizinan

Ekonomi Tidak ada Tidak ada Berkaitan dengan skema sertifikasi

Informasi Pembentukan informasi tentang kewajiban keselamatan kerja bagi pengusaha dan pekerja

Pembentukan informasi tentang kewajiban SMK3 bagi perusahaan

Pembentukan informasi prosedur SMK3

24

Implementasi K3 pada Industri Mebel Skala Mikro dan Kecil

Sumber bahaya merupakan kondisi kerja yang dapat menyebabkan cedera dan kecelakaan kerja yang berakibat fatal (Alli 2001). Hasil pengamatan di lingkungan kerja mebel skala mikro dan kecil di Kabupaten Jepara mengindikasikan sumber-sumber bahaya di lingkungan kerja mebel (Tabel 5). Secara umum sumber-sumber bahaya yang ada di lingkungan kerja mebel tersebut dikelompokkan ke dalam 5 kategori. Kategori tersebut mengacu pada Niu (2010) dalam kajiannya tentang perspektif Konvensi ILO–1981 terkait dengan ergonomi dan K3. Kelima kategori sumber bahaya yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) bahaya yang berasal dari bangunan tempat kerja, peralatan dan instalasi; (2) bahaya yang berasal dari bahan; (3) bahaya yang berasal dari proses; (4) bahaya dari cara kerja; dan (5) bahaya yang berasal dari lingkungan kerja.

Tabel 5 Sumber bahaya yang teridentifikasi di lingkungan kerja mebel skala mikro dan kecil di Jepara

Tempat Kerja

Sumber Bahaya

Bangunan/ Alat/Instalasi

Bahan Proses Prilaku Kerja

Lingkungan Kerja

TPK Lokasi di tanah terbuka Alat pengungkit dari kayu atau besi

Kayu bulat (Log)

Memanggul, mengangkat kayu log secara manual

Kurang koordinasi pada saat mengangkat kayu berat, Pekerja tidak mengenakan APD, tidak sesuai prosedur yang benar, salah postur tubuh saat mengangkat log

Lantai tanah licin, kumuh; tumpukan kayu tinggi, kayu terguling, kadang ditemui hewan berbisa,

Sawmill TPK & Sawmill

Di tanah terbuka terintegrasi dengan bangunan sawmill Alat gergaji mesin (sirkel, chainsaw)

Kayu bulat (Log) Debu kayu

Memanggul, mengangkat kayu log secara manual Mendorong log ke posisi mesin gergaji

Pekerja tidak menggunakan APD, tidak sesuai prosedur yang benar, salah postur tubuh saat mengangkat log dan di ruang penggergajian

Tumpukan kayu, lingkungan kumuh, suara bising mesin, dan debu kayu

25

Tabel 5 Lanjutan

Tempat Kerja

Sumber Bahaya

Bangunan/ Alat/Instalasi

Bahan Proses Prilaku Kerja

Lingkungan Kerja

Bengkel Kerja

Di halaman rumah, di teras rumah, di dalam rumah, dan bangunan khusus bengkel Alat berupa mesin gergaji, bor, mesin serut listrik, martil, mesin bubut, pisau, alat ukir/pahat

Balok kayu, papan, serpihan kayu, debu/ serbuk kayu

Membubut, memahat, merakit komponen mebel, mengangkat mebel

Pekerja tidak menggunakan APD, tidak sesuai prosedur yang benar, kesalahan postur tubuh saat mengangkat barang, tidak konsentrasi, kecerobohan pekerja

Ruang kerja dan instalasi listrik tidak tertata rapi, suara bising (martil, ketam), debu kayu, alat-alat kerja kurang terawat

Bengkel finishing mebel

Pada umumnya dalam ruang tertutup berupa bangunan gudang, garasi atau ruko (rumah toko) Alat yang dipakai: mesin kompresoramplas, gurinda.

Bahan kimia PU (piyu) dan Nitro-cellulose Gliscerine (NC) Amplas

Amplas, semprot politur, packing, dan bongkar muat

Pekerja tidak menggunakan APD, tidak sesuai prosedur yang benar, kesalahan postur tubuh saat kerja amplas, kecerobohan pekerja

Ruang kurang ventilasi, suhu ruangan panas, debu kayu, paparan zat kimia pewarna kayu

Implementasi K3 di Tempat Penjualan Kayu

Tempat Penjualan Kayu (TPK) merupakan salah satu bentuk tempat kerja. Tempat ini umumnya berupa lahan terbuka, baik di lapangan maupun di lahan pekarangan, yang bersifat permanen umumnya dalam bentuk depot kayu yang terintegrasi dengan unit penggergajian (sawmill). Hampir setiap hari di tempat ini dicirikan oleh adanya tumpukan log/kayu gelondongan, dan aktifitas bongkar dan muat kayu oleh para pekerja/buruh. Di Jepara, tempat-tempat kerja seperti ini terdapat di beberapa tempat yang berada di sekitar lokasi industri mebel. Roda et al. (2007) mencatat ada sebanyak 760 TPK skala kecil di Kabupaten Jepara.

Ciri khas dari tempat ini adalah adanya tumpukan-tumpukan log/kayu gelondongan yang mereka tumpuk dengan ketinggian mencapai 1,5 meter, log/kayu gelondongan itu ditumpuk di beberapa lokasi terkadang sampai memenuhi lahan yang tersedia. Di tempat ini jarang sekali terlihat adanya penggunaan mesin, peralatan ataupun instalasi berbahaya, namun di tempat kerja ini potensi bahaya yang teramati adalah ketika tumpukan log/kayu gelondongan itu tinggi, basah/licin dan tidak stabil sehingga terjadinya runtuhan log/ kayu gelondongan dari tumpukannya. Menurut para pekerjanya, ketika log/kayu

26

gelondongan dalam keadaan sudah lama tertumpuk kemudian lembab terkadang menjadi tempat atau sarang hewan berbisa yang dapat menyerang/menyengat tangan pekerja ketika pekerja memindahkan log/kayu gelondongan tersebut. Selain itu menurut para pekerja, pada saat bongkar kayu dari truk seringkali ditemukan kalajengking (berbisa) dari celah-celah tumpukan kayu dan lubang kayu. Bahkan pernah ditemukan ular dari celah kayu dan lubang kayu tersebut.

Kondisi tidak aman di tempat ini seringkali terjadi dari faktor pekerja yang ceroboh atau yang tidak mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, bekerja tanpa mengindahkan metode kerja yang benar atau postur tubuh yang kurang tepat saat mengangkat barang, bekerja tanpa konsentrasi, dan bekerja tanpa koordinasi dengan anggota tim lainnya sehingga menyebabkan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja yang sering terjadi di TPK adalah tangan terjepit kayu atau kaki tertimpa kayu pada saat kegiatan bongkar dan muat kayu dari truk maupun dari tumpukannya sehingga menyebabkan tangan atau kaki terkilir, terluka, bahkan kuku tangan atau kaki terlepas. Beberapa jenis kecelakaan kerja lainnya adalah terjatuh dari truk, kepleset pada saat kegiatan bongkar dan muat kayu, terkena gigitan/sengatan hewan berbisa, dan terkena serpihan kayu yang berserakan di areal TPK. Selain kecelakaan, para pekerja mengeluhkan beberapa penyakit akibat kerja adalah kram otot, pusing dan hernia. Gangguan kesehatan lainnya adalah gangguan kulit, gangguan pendengaran, demam berdarah, dan pegal-pegal di seluruh tubuh pada setiap malam hari.

Dalam proses produksi, para pekerja di TPK umumnya melakukan pekerjaan bongkar, muat dan memindahkan log atau kayu balok dari satu tumpukan ke lokasi tumpukan lainnya di areal TPK dengan cara memanggul, memikul dan menggelindingkan secara manual. Jenis pekerjaan ini dilakukan oleh pekerja laki-laki.

Alat-alat yang digunakan untuk membantu seringkali menggunakan kayu pengungkit, kayu pikulan dan tambang (tali yang besar). Kegiatan memindahkan ataupun mengangkat log/kayu balok berukuran besar dengan panjang log 2–3 meter di lakukan secara bersama-sama oleh 4–5 orang. Namun ada juga pekerja yang memanggul log/kayu balok dengan tumpuan bahunya tanpa alat bantu. Untuk membongkar kayu dari truk sering kali dilakukan dengan cara yang sangat beresiko yakni dengan mendorong kayu hingga setengah bagiannya berada di luar bak truk, kemudian posisi truk digerakkan maju oleh supit truk sehingga kayu terjatuh ke tanah akibat pergerakan truk ke depan tadi. Selain itu untuk menjatuhkan kayu dari bak truk ke tanah sering dilakukan dengan cara mengangkat ujung kayu dari tumpukan di dalam bak truk dan mendorongnya ke arah tanah.

Pekerja di TPK bekerja setiap hari minimal ± 8 jam per hari. Para pekerja di TPK tidak segan untuk kerja lembur jika harus memenuhi banyak pesanan dalam waktu singkat. Ada 18 orang yang diwawancarai untuk mewakili para pekerja di TPK, yakni mereka yang telah bekerja sebagai kuli/buruh TPK selama 10–25 tahun, dan usia mereka berkisar antara 35–51 tahun. Tingkat pendidikannya sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah pertama, bahkan ada yang tidak tamat sekolah dasar.

27

Sikap disiplin dan kesadaran para pekerja di lokasi TPK terhadap perlindungan K3 masih sangat rendah. Hal yang paling umum mereka tunjukan dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari adalah mereka tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Para pekerja berpendapat mengapa mereka lebih memilih tidak menggunakan APD karena berbagai alasan bahwa bahaya, resiko dan kecelakaan kerja dianggap hal biasa, kecelakaan pada saat bekerja adalah takdir, nasib dan resiko yang harus dihadapi; mereka tidak menggunakan helm karena tidak nyaman dipakai dan panas; mereka tidak menggunakan sarung tangan karena mengurangi kepekaan tangan dan jari dan mengganggu pekerjaan; mereka tidak menggunakan sepatu boot karena tidak nyaman dan mengurangi kemampuan gerakannya.

Pemilik usaha TPK umumnya menempatkan staf pengawas atau mandor di lokasi kerja TPK. Meskipun pada waktu-waktu tertentu pemilik TPK langsung turun ke lapangan untuk mengawasi dan memberikan instruksi kerja. Para pemilik ataupun staf pengawas di lokasi TPK pada umumnya membiarkan para pekerja bekerja secara aman sesuai dengan kesadaran mereka masing-masing. Realitasnya, hampir semua pekerja TPK tidak menggunakan APD dalam kerjanya dan tidak mendapat himbauan ataupun teguran apapun dari pemilik ataupun staf pengawas. Kegiatan pemilik ataupun staf pengawas di lokasi TPK lebih fokus terhadap kegiatan produksi. Bila terjadi kecelakaan yang menimpa pekerja di lokasi kerja, maka pemilik atau pengurus industri memberikan bantuan pengobatan untuk pembelian obat-obatan ataupun biaya pengobatan ke klinik/puskesmas. Pemilik TPK tidak menyediakan secara khusus fasilitas medis, APD seperti: helmet, sepatu boot, pelindung mata, sarung tangan, masker dan pelindung telinga, serta asuransi tenaga kerja (ASTEK) bagi para pekerjanya. Para pemilik TPK ataupun staf pengawasnya juga memiliki pandangan bahwa kecelakaan dan penyakit akibat kerja adalah nasib dan takdir. Adapun dalam hal gangguan kesehatan, mereka tetap menganggap bahwa gangguan kesehatan yang terjadi merupakan kejadian yang bersifat alami dan tidak dapat dihindari.

Implementasi K3 di Tempat Penggergajian Kayu

Tempat penggergajian kayu (sawmill) adalah salah satu bentuk tempat kerja yang juga berhubungan dengan proses produksi mebel. Kita dapat melihat sawmill yang terintegrasi dengan TPK atau yang terintegrasi dengan brak mebel atau terintegrasi dengan unit usaha lainnya seperti jasa gudang dan pengeringan. Hasil identifikasi CIFOR pada tahun 2011 jumlah unit sawmill adalah sekitar 101 unit dengan pekerja mayoritas laki-laki (Irawati dan Purnomo 2012).

Sawmill umumnya berupa ruangan terbuka, tanpa dinding, lantainya tanah yang dipadatkan, menggunakan atap seng dan tiang kayu dan umumnya permanen. Ruang kerja utama terdiri atas tempat penggergajian kayu dan tempat untuk mesin penggerak gergaji. Ciri khas lainnya adalah ketika hari kerja, di dalam dan di sekitar ruang sawmill mengalami kontaminasi berupa debu serbuk gergajian.

Faktor lingkungan fisik yang paling mudah dirasakan ketika kita memasuki ruang sawmill dan disaat mesin gergaji sedang bekerja membelah/memotong kayu adalah kita langsung terpapar oleh kebisingan dan getaran dari mesin itu.

28

Kemudian ketika log/kayu gelondingan itu sedang dibelah/dipotong oleh mata gergaji, pekerja ataupun orang lain yang berada di dalam ruang sawmill langsung merasakan partikel debu dari serbuk kayu gergajian karena kontaminasi udara di ruang kerja. Lingkungan fisik yang seperti itu dialami setiap hari oleh para pekerja sawmill, sehingga berpengaruh terhadap suasana kerja, kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja.

Sumber bahaya utama di tempat kerja ini berasal dari mesin gergaji berupa circle, genset/mesin diesel dan perilaku pekerjanya. Menurut para pekerja jenis-jenis kecelakaan kerja yang pernah terjadi antara lain terjepit, tertimpa log/papan, tersetrum dan sampai bagian jari tangannya terpotong oleh mata gergaji yang berputar dengan kecepatan tinggi. Gangguan lainnya adalah gangguan kesehatan seperti: gangguan pernafasan akibat terpapar debu serbuk kayu gergajian karena kontaminasi udara di ruang kerja, dan gangguan pendengaran akibat terpapar kebisingan dari mesin penggerak circle.

Dalam proses produksi, para pekerja di sawmill umumnya melakukan kegiatan pembelahan/pemotongan log atau kayu gelondongan menjadi lembaran papan yang akan dijadikan komponen produk mebel. Tipe sawmill nya kebanyakan menggunakan circle. Sifat pekerjaannya membutuhkan ketelitian dan pengalaman cukup tinggi dari para pekerja, karena mereka harus bisa mengatur posisi log dalam keadaan gergaji sawmill terus berputar. Pada umumnya para pekerja di sawmill melakukan jenis pekerjaan berikut: mengangkat log untuk menempatkan di atas lori ataupun meja gergaji, mendorong log dan menempatkan posisi log ke arah mata gergaji sesuai dengan bentuk yang diinginkan, dan mengangkat kembali papan untuk ditumpuk di suatu tempat. Proses penggergajiannya dengan sistem mekanik, akan tetapi semua proses mengangkat dan memindahkan log atau papan dilakukan secara manual.

Proses penggergajian di sawmill umumnya menggunakan circle (gergaji bundar) yakni bilah yang bergigi berbentuk lingkaran yang dipasang portabel sehingga sebagian dari pisau menonjol di atas meja; dan chainsaw (gergaji rantai) atau gergaji mesin dengan mata gergaji berbentuk rantai dipasang pada bilah gergaji dari plat baja. Pada umumnya unit usaha penggergajian kayu hanya menerima jasa penggergajian sesuai dengan permintaan atau pesanan dari pemilik log. Kegiatan mengangkat, memindahkan, memotong ataupun membelah log/papan berukuran besar umumnya di lakukan oleh 3 orang.

Sama seperti pekerja di TPK, para pekerja sawmill bekerja setiap hari mulai dari pukul 07.00 atau 08.00. Dalam keadaan normal, proses produksi sawmill setiap harinya beroperasi selama 8 jam. Para pekerja sawmill setidaknya berpengalaman 15–30 tahun, kisaran umurnya antara 45–50 tahun. Mereka mengakui bahwa kesadaran terhadap bahaya keselamatan kerja memang paling sulit mendapat perhatian. Namun mereka pun mengakui bahwa keselamatan dan kesehatan kerja adalah tanggung jawab setiap orang untuk bekerja dengan benar sehingga urusan nafkah tidak terganggu. Para pekerja sawmill umumnya berpendidikan sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah pertama.

Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari mereka tidak disiplin menggunakan APD. Realitasnya para pekerja jarang sekali menggunakan sarung tangan, masker penutup mulut/hidung, dan kacamata pada saat bekerja, padahal di

29

lingkungan kerja sawmill banyak debu dari serbuk gergaji. Paparan debu di ruangan kerja mereka secara tidak langsung berpotensi menyebabkan terjadi gangguan pada pernafasan, iritasi kulit dan iritasi mata. Selain debu yang berpotensi penyakit, pisau gergaji yang mereka gunakan juga dapat berakibat fatal, yakni terluka sampai terputusnya anggota tubuh terutama jari-jari tangan. APD jarang sekali mereka gunakan karena persepsi mereka tentang masker adalah tidak nyaman dipakai, panas dan sering mengganggu komunikasi; mereka tidak mamakai kacamata karena tidak nyaman, tidak enak dipandang; mereka tidak menggunakan sarung tangan karena mengurangi kepekaan tangan dan jari dan mengganggu pekerjaan; mereka tidak menggunakan sepatu boot karena tidak nyaman, panas dan tidak ada biaya untuk membeli. Kecelakaan dan penyakit yang disebabkan dari tempat kerja dianggap hal biasa, kecelakaan pada saat bekerja adalah takdir, nasib dan resiko yang harus dihadapi.

Para pengrus/pemilik usaha sawmill umumnya membiarkan para pekerjanya bekerja sesuai keinginan mereka. Dalam kondisi itu pengurus/pemilik usaha juga tidak secara khusus menyediakan APD untuk para pekerjanya dan tidak menghimbau ataupun memberikan teguran apapun kepada para pekerjanya selama mereka tidak menggunakan APD. Pihak pemilik usaha hanya memberikan bantuan secara kemanusiaan untuk pembelian obat-obatan ataupun biaya pengobatan ke klinik/puskesmas jika terjadi kecelakaan yang menimpa pekerjanya di lokasi kerja.

Implementasi K3 di Bengkel Kerja Mebel

Bengkel kerja mebel yang sering disebut brak atau workshop adalah unit-unit usaha yang bertujuan untuk memproduksi mebel. Ruang produksinya sebagian area terbuka. Pada umumnya bangunannya berupa rumah yang difungsikan sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha. Bagian rumah yang difungsikan sebagai tempat usaha, sebagian untuk produksi dan sebagian lagi, seperti di halaman, teras atau garasi untuk tempat memajang produk-produk setengah jadi. Selain itu ada juga yang memfungsikan lahan rumahnya sebagai gudang barang jadi sekaligus tempat transaksi jual beli. Jika memasuki bengkel kerja mebel/brak, tata letak ruang kerja pada umumnya tidak teratur dalam menempatkan posisi urutan proses produksi. Suasana di dalam bengkel kerja/brak penuh dengan tumpukan barang-barang mebel; dan berantakan dengan limbah kayu berupa serpihan kayu, potongan-potongan kayu berukuran kecil dan debu kayu.

Berdasarkan pengamatan dan merasakan langsung di lapangan, faktor lingkungan fisik yang paling mudah dirasakan ketika kita memasuki ruang bengkel mebel/brak adalah kebisingan dari pukulan-pukulan tukul/martil, suara ketam listrik pada saat sedang menyerut/melicinkan kayu; atau seringkali melihat bahaya lingkungan kerja dari sisi proses, cara kerja penggunaan bahan dan alat, posisi kerja, dan lingkungan kerja. Di dalam bengkel mebel/brak juga dapat merasakan partikel debu dari serbuk kayu gergajian karena kontaminasi udara di ruang kerja. Lingkungan fisik yang seperti itu dialami setiap hari oleh para pekerja.

30

Sumber bahaya utama di tempat kerja ini berasal dari tata letak tempat kerja yang tidak teratur, instalasi listrik yang tidak tertata baik, instalasi ruangan kerja yang tidak/kurang lengkap, peralatan kerja yang kurang terawat, debu kayu hasil penggergajian dan pengamplasan, dan kebisingan yang dihasilkan dari alat yang digunakan. Adapun sumber bahaya yang berasal dari perilaku pekerja yang kurang tepat adalah rendahnya kesadaran pemakaian alat pelindung diri saat bekerja, perilaku yang kurang peduli dengan metode kerja yang benar, konsentrasi, postur tubuh disaat bekerja, dan koordinasi dalam bekerja.

Kegiatan produksi di bengkel kerja/brak mebel merupakan gabungan proses mekanik (pemotongan, pengeboran dan pembentukan model-model produk dengan mesin bubut) dan pengerjaan seni (pengukiran dan pembentukan akhir/finishing). Di Jepara, diperoleh informasi bahwa umumnya pengusaha mebel dan para pekerjanya menerapkan 7–8 jam kerja per hari. Proses produksinya meliputi kegiatan berikut: pembuatan bahan komponen mebel dengan desain mebel, yakni mengukur dan mencetak papan-papan dengan menggunakan cetakan/model (mal) sesuai kebutuhan dan kemudian di potong sesuai ukuran dan mal; molding dan pembentukan, yakni penghalusan komponen mebel menjadi komponen dengan ukuran dan model yang sebenarnya, mencakup kegiatan penyerutan, pengeboran, pengeleman, pengukiran, dan pengamplasan; perakitan komponen (assembling), yakni merakit komponen-komponen produk sesuai dengan desain atau pesanan. Proses terakhir dari kegiatan di lingkungan kerja mebel adalah kegiatan pengamplasan dan finishing (pewarnaan), pengepakan (packing) dan pengiriman barang. Namun tidak seluruh brak mebel melakukan seluruh rangkaian kegiatan dengan lengkap karena ada industri yang hanya membuat produk setengah jadi.

Peralatan yang digunakan oleh para pekerja ada dua jenis, yakni peralatan mekanis dengan bantuan tenaga listrik dan peralatan manual. Para pekerja umumnya menggunakan peralatan mekanis berikut: mesin gergaji kayu atau yang sering dijumpai adalah mesin circle, mesin bor kayu, mesin serut, dan mesin amplas. Sedangkan peralatan manualnya terdiri dari gergaji manual, palu/martil, tatah/pahat, tatah ukir, pisau, dan lainnya seperti tang, obeng dan alat-alat ukur kayu. Para pekerja mebel menggunakan peralatan sesuai dengan keterampilan dan keahlian mereka, baik dari segi pengoperasian alat maupun kemampuan membuat bentukan kayu dengan ketelitian tinggi secara manual.

Seperti halnya pekerja TPK dan sawmill, umumnya tingkat pendidikan formal para pekerja mebel adalah sekolah dasar. Meskipun ada yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sekolah menengah atas, tetapi sedikit. Usia para pekerja mebel umumnya berkisar 25–60 tahun, dan telah bekerja selama 2–35 tahun berdasarkan pengalaman dan keterampilan mereka masing-masing dibidang ukiran dan perkayuan.

Tiap pengusaha mempekerjakan sejumlah pekerja/tenaga kerja produksi yang diupah secara harian atau borongan, paling sedikit 2–5 orang. Pada saat permintaan pesanan meningkat, pengusaha mencari tambahan tenaga kerja. Di Jepara, penambahan pekerja relatif mudah karena jumlah pekerja mebel cukup banyak, dan sistem pengupahan dengan sistem harian atau borongan lebih mudah disepakati.

31

Berkaitan dengan pengusahanya, tingkat pendidikan pengusaha mebel cukup bervariasi, ada yang hanya setingkat sekolah dasar, dan ada yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tinggi. Namun pada umumnya tingkat pendidikan para pengusaha mebel di Jepara adalah setingkat SMP dan SMA atau yang sederajat. Usia mereka sangat bervariasi dan yang paling dominan adalah berusia 40-an tahun, dengan pengalaman kerja sebagai pengusaha umumnya telah mencapai 35 tahun. Mereka umumnya dari kaum laki-laki.

Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari umumnya pekerja tidak menggunakan APD dan hanya sebagian kecil yang menggunakannya. Selain itu sebagian pekerja merokok sambil bekerja. Alasan-alasan para pekerja jarang sekali menggunakan APD seperti sarung tangan, masker penutup mulut/hidung, dan kacamata pada saat bekerja, karena persepsi mereka tentang sarung tangan adalah karena mengurangi kepekaan tangan/dan jari pada saat melakukan pekerjaan; masker tidak nyaman dipakai, panas dan sering mengganggu komunikasi; sedangkan kacamata itu tidak nyaman, tidak enak dipandang; alas kaki (sandal/sepatu) itu juga tidak nyaman, panas dan tidak ada biaya untuk membeli. Para pekerja mebel umumnya menganggap kecelakaan dan penyakit akibat kerja dianggap hal biasa, takdir, nasib dan resiko yang harus dihadapi.

Para pengusaha atau pemilik usaha mebel umumnya membiarkan para pekerjanya bekerja sesuai keinginan mereka. Dalam kondisi itu pemilik usaha juga tidak secara khusus menyediakan APD untuk para pekerjanya dan tidak menghimbau ataupun memberikan teguran apapun kepada para pekerjanya selama mereka tidak menggunakan APD. Pihak pemilik usaha hanya memberikan bantuan secara kemanusiaan untuk pembelian obat-obatan ataupun biaya pengobatan ke klinik/puskesmas jika terjadi kecelakaan yang menimpa pekerjanya di lokasi kerja.

Implementasi K3 di Bengkel Kerja Finishing

Bengkel kerja finishing pada umumnya berupa bangunan gudang (warehouse) yang tertutup, permanen, dan difungsikan sebagai tempat usaha jasa finishing. Bentuknya sangat bervariasi berupa bangunan seperti gedung olah raga; bangunan aula yang didirikan pada lahan seluas 200–400 m2 atau lebih; ada yang berupa bangunan rumah tinggal atau hanya berupa bangunan rumah toko (ruko). Pada umumnya lahan atau halaman muka dari bengkel-bengkel kerja finishing digunakan untuk mengeringkan produk-produk mebel yang sedang dikerjakan. Kita dapat menemukan bengkel-bengkel finishing di bangun di pinggir jalan raya, di lahan khusus yang terpisah dari lingkungan permukiman, dan ada yang dibangun di dalam permukiman penduduk. Jumlahnya mencapai ratusan unit. Hasil identifikasi CIFOR (2012) menyebutkan bahwa ada lebih dari 500 unit bengkel finishing pada tahun 2011.

Suasana yang paling mudah dilihat ketika kita memasuki ruang bengkel finishing adalah ada pekerja yang sedang mengamplas (kebanyakan pekerja perempuan), ada yang sedang mendempul mebel, menyemprot untuk pewarnaan mebel dengan spray gun; ada kebisingan dari bunyi mesin kompresor, atau mesin gurinda, mesin amplas listrik. Di dalam bengkel kerja finishing juga dapat merasakan partikel debu dari pengamplasan karena kontaminasi udara di ruang

32

kerja. Beberapa tempat finishing yang dikunjungi di lapangan memiliki ruang yang sangat pengap (kurang mendapat udara dari luar), penerangan kurang baik, dan suhu ruangan panas. Lingkungan fisik yang seperti itu dialami setiap hari oleh para pekerja. Selain itu bengkel finishing juga ada yang digunakan sebagai gudang penyimpanan barang mebel.

Proses finishing di suatu tempat ke tempat lain sangat beragam, tergantung pada hasil akhir mebel yang diharapkan. Namun pada umumnya para pekerja melakukan kegiatan berikut: menyervis/memperbaiki mebel-mebel sebelum proses selanjutnya; mengamplas dan mendempul; menyemprot untuk pewarnaan dasar; melakukan proses sending sealer dan pengamplasan dengan amplas halus; menyemprot untuk pewarnaan akhir untuk menentukan seberapa tua hasil warna yang diinginkan; melapisi warna kayu dan memberikan efek gloss pada kayu (top coat). Selain pewarnaan atau pengecetan, ada juga yang melakukan kerja seni seperti rustic. Pada proses rustic produk mebel dibentuk agar tampak kasar dan alami dengan menggunakan mesin gurinda. Setelah proses finishing selesai, mereka melakukan pengepakan produk-produk mebel dan pengiriman.

Proses finishing menggunakan bahan kimia. Jenis dan jumlah bahan kimia yang digunakan dalam proses finishing sangat beragam, tergantung hasil akhir yang diinginkan. Beberapa bahan kimia yang lazim di gunakan adalah Polyurethane atau sering di sebut PU (piyu) adalah jenis bahan finishing yang paling mahal, Nitrocellulose Gliscerine (NC) adalah bahan finishing yang banyak di gunakan untuk pesanan kelas ekspor. Melamine adalah bahan yang sering di gunakan dalam industri mebel lokal.

Ada kalanya penyemprotan/pelapisan bahan kimia dilakukan berulang-ulang, namun ada pula yang cukup dilakukan sekali. Portable sander atau gerinda, serta spray gun merupakan alat yang banyak digunakan dalam proses finishing. Penggunaan alat-alat ini membantu pekerja dalam mempermudah pelaksanaan proses produksi, tetapi di sisi lain juga memberikan dampak negatif terhadap penyebaran sumber bahaya.

Para bengkel finishing, banyak pekerja perempuan yang terlibat dalam proses finishing suatu produk mebel. Pada umumnya pekerja-pekerja finishing berpendidikan rendah, yakni sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah pertama. Usia mereka umumnya 20 tahun–40 tahun keatas. Lamanya bekerja di pekerjaan finishing sangat beragam, ada yang baru 1 tahun namun ada yang sudah bekerja 20 tahun.

Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari, para pekerja memiliki kebiasaan tidak menggunakan APD ketika mereka sedang mengamplas atau menyemprotkan zat pewarna kayu, politur, dan cat kayu. Padahal mereka menyadari bahwa tindakan tersebut beresiko terkena penyakit karena lingkungan yang berdebu dan akibat dari kebiasaan terhirup bahan kimia dari udara yang terkontaminasi dari alat semprot pewarna kayu. Alasan-alasan mereka tidak memakai APD antara lain karena tidak nyaman dipakai, seringkali lupa, dan tidak ada biaya untuk membeli karena pengusaha tidak menyediakan. Para pekerja di bengkel finishing mebel umumnya juga menganggap bahwa kecelakaan dan penyakit akibat kerja dianggap hal biasa dan resiko yang harus dihadapi.

33

Para pengusaha atau pemilik usaha umumnya membiarkan para pekerjanya bekerja dengan keinginan mereka. Para pengusaha juga tidak secara khusus menyediakan APD dan tidak menghimbau ataupun memberikan teguran apapun kepada para pekerjanya selama mereka tidak menggunakan APD. Pihak pemilik usaha hanya memberikan bantuan secara kemanusiaan untuk pembelian obat-obatan ataupun biaya pengobatan ke klinik/puskesmas jika terjadi kecelakaan yang menimpa pekerjanya di lokasi kerja.

Aktor-aktor yang Terlibat dalam Implementasi Kebijakan K3 pada Industri Mebel Jepara

Sabatier dan Mazmanian (1980) berpendapat bahwa dukungan publik dari

berbagai stakeholder atau pemangku kepentingan (para pihak) menjadi salah satu faktor penentu dalam proses implementasi kebijakan. Pelibatan para pihak dalam proses implementasi kebijakan K3 memerlukan informasi tentang siapa saja sebenarnya yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam upaya untuk mendorong terlaksananya perlindungan hak pekerja atas keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

Identifikasi Aktor

Hasil identifikasi para pihak yang terkait implementasi kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil terdiri atas lembaga pemerintah (pihak eksekutif dan legislatif), kelompok pengusaha mebel (swasta), kelompok pekerja (pengrajin mebel), lembaga non-pemerintah, dan akademisi. Beberapa aktor lainnya yaitu lembaga pendanaan dan media massa.

Lembaga pemerintah. Kelompok ini terdiri atas pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Di tingkat provinsi adalah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Provinsi Jawa Tengah. Di tingkat kabupaten adalah Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertran) Kabupaten Jepara, Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara dan Komisi C (Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Ketenagakerjaan) DPRD Kabupaten Jepara.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (amandemen) dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, Pemerintah Pusat memberikan wewenang operasional sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara. Disnakertransduk Provinsi Jawa Tengah dan Dinsosnakertran Kabupaten Jepara terlibat dalam kebijakan K3 yang berperan mengawasi implementasi K3 di di tempat kerja. Adapun Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara berperan dalam memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan pekerja. Komisi C DPRD Kabupaten Jepara memiliki relevansi dalam hal pengesahan anggaran sosialisasi dan pembinaan K3 melalui Dinsosnakertran Kabupaten Jepara dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara.

Lembaga swasta. Kelompok ini terdiri atas perusahaan/pengusaha/pemilik usaha mebel, usaha TPK dan usaha sawmill. Selain itu ada tiga asosiasi pengusaha swasta seperti Asosiasi Mebel Indonesia Kabupaten Jepara (ASMINDO), dan

34

Asosiasi Pengrajin Kecil Jepara (APKJ). Pemilik usaha adalah pihak yang berkaitan langsung dengan hukum ketenagakerjaan, dan yang mempunyai kekuasaan membuat komitmen dan kebijakan terhadap pelaksanaan perlindungan hukum pekerja atas K3 di tempat kerja.

Pekerja. Kelompok ini terdiri dari para pekerja/pengrajin mebel di industri-industri mebel skala mikro dan kecil, termasuk para pekerja/buruh di TPK dan sawmill.

Pekerja mebel, ataupun pekerja/buruh di TPK dan sawmill, adalah 40–50% populasi tenaga kerja di Jepara (BPS 2011), yang terkena dampak langsung, baik positif maupun negatif dari suatu pekerjaan memproduksi mebel, dan yang berkaitan langsung dengan hukum ketenagakerjaan dan perlindungan hukum pekerja/buruh atas K3. Para pekerja/buruh adalah subjek yang harus dijamin hak-hak dasarnya untuk mendapatkan perlindungan atas K3 dalam melakukan setiap pekerjaan di tempat kerjanya.

Masyarakat/Penduduk Setempat. Kelompok ini adalah penduduk setempat yang tinggal di sekitar industri-industri mebel. Penduduk/masyarakat setempat adalah kelompok pasif yang terkena dampak dari lingkungan industri mebel. Kelompok ini terdiri atas balita, anak-anak, dewasa dan mereka yang sudah lanjut usia.

Lembaga Pendidikan/Akademisi. Kelompok ini untuk wilayah Jepara, terdapat setidaknya dua lembaga pendidikan, yakni Sekolah Tinggi Teknologi Design Nahdlatul Ulama (STTDNU), dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nahdlatul Ulama (STIENU). Kelompok ini mempunyai keterlibatan tidak langsung dalam kebijakan K3 mengingat perannya dalam peningkatan kapasitas pengrajin/pekerja mebel.

Lembaga Non-Pemerintah. Kelompok ini terdiri atas Forum Rembug Klaster (FRK) atau forumnya para produsen dan eksportir mebel di Jepara; Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lapesdam) Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan salah satu perangkat organisasi NU untuk program pemberdayaan masyarakat menuju sejahtera, berkeadilan dan demokratis; dan Forum Lintas Pelaku (FLP) yang merupakan gabungan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masa di Jepara. Mereka tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan perlindungan hukum pekerja/buruh atas K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil.

Lembaga Pendanaan. Kelompok ini terdiri atas lembaga-lembaga pendanaan seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Lembaga Koperasi. Lembaga-lembaga tersebut bergerak untuk pemodalan pengembangan usaha industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara. Eksistensi lembaga ini tidak memiliki keterkaitan langsung terhadap upaya perlindungan hukum pekerja/buruh atas K3.

Berdasarkan keterlibatan para pihak yang dapat mempengaruhi maupun para pihak yang akan dipengaruhi oleh kebijakan K3 maka dapat ditetapkan aktor kebijakan K3. Para aktor yang terkait langsung dengan kebijakan K3 adalah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk), Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Dinas Kesehatan, Komisi C

35

DPRD Kabupaten Jepara, pengusaha/pemilik usaha dan pekerja. Secara ringkas para pihak yang terkait dengan kebijakan K3 dengan perannya masing-masing di Jepara terdapat dalam Tabel 6.

Tabel 6 Daftar para pihak dan perannya dalam implementasi K3 di Jepara

Kategori Aktor Lembaga Keterlibatan

Pemerintah Daerah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk)

Pengawasan K3 di tempat kerja untuk wilayah lintas kabupaten

Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans)

Pengawasan K3 di tempat kerja di wilayah kabupaten

Dinas Kesehatan Pemeriksaan kesehatan pekerja

Lembaga Legislatif DPRD Komisi C Pengesahan anggaran sosialisasi dan pembinaan K3

Swasta Pengusaha (pemilik atau pengurus di Sawmill, TPK dan Mebel)

Pembuat komitmen K3 dan Pelaksana SMK3

Asosiasi Pengusaha (ASMINDO, APKJ,HPKJ)

Membangun komitmen untuk melaksanakan SMK3

Masyarakat Sipil Pekerja Pihak yang berhak mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam bekerja

Serikat Pekerja Memperjuangkan dan membela hak dan kepentingan pekerja

Penduduk setempat (warga sekitar bengkel)

Pasif (kelompok masyarakat terkena dampak)

Perguruan Tinggi STTDNU, STIENU Mengembangkan kurikulum muatan lokal tentang perlindungan K3 industri mebel (Hasil FGD)

Non-Pemerintah Forum Rembug Klaster (FRK), Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lapesdam), Nahdlahul Ulama (NU), Forum Lintas Pelaku (FLP)

Pendukung

Lembaga Pendanaan Bank Rakyat Indomesia (BRI), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Koperasi

Penyedia bantuan kredit usaha bagi pengusaha

Perspektif dan Posisi Aktor

Perspektif yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi sebagai pandangan aktor terhadap kebijakan K3. Adapun posisi aktor yang dimaksud disini menunjukkan status atau kondisi aktor sebagai pendukung atau oposisi atau netral terhadap kebijakan K3. Informasi persepsi dan posisi ini diperoleh dengan cara langsung menanyakan kepada informan. Selain itu posisi aktor juga dapat diinterpretasikan dari tindakan aktor terkait dengan kebijakan K3.

36

Tabel 7 Perspektif dan posisi aktor terhadap kebijakan K3

Aktor Perspektif Posisi

S N O

Komisi C DPRD K3 menjadi hak dasar bagi pekerja tanpa memandang perusahaan tempat dia bekerja skala besar ataupun kecil

Disnakertransduk K3 merupakan tanggung jawab dan kepentingan bersama baik pihak pengusaha, tenaga kerja maupun pemerintah

Dinsosnakertrans K3 memerlukan “payung hukum” di tingkat daerah sebagai dasar bagi Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) untuk dapat melaksanakan kegiatan pembinaan dan penegakan hukum bagi perlindungan K3, khususnya pada industri mebel skala mikro, kecil dan menengah di Jepara

Dinas Kesehatan K3 merupakan hal yang penting karena “efek domino” dari lemahnya kesadaran perlindungan K3 langsung berdampak selain para pekerja, juga pada penduduk di sekitar industri mebel pada umumnya mereka terjangkit penyakit khususnya infeksi saluran pernafasan akut dan paru-paru.

Pemilik/pengurus usaha

K3 penting bagi perusahaan karena jika kesehatan pekerja terganggu maka akan mempengaruhi proses produksi mebel. Namun pada pelaksanaannya para pemilik/pengurus usaha menganggap bahwa dari sisi bisnis K3 masih belum diprioritaskan karena peluang kejadian kecelakaan fatal sangat kecil, margin profit kecil, dan pengaruh K3 terhadap produksi mebel kecil.

Pekerja K3 penting karena sehat dan selamat adalah modal dasar pekerja untuk terus bekerja. Adapun kecelakaan maupun penyakit merupakan takdir yang tidak bisa dihindari.

Aktor yang setuju dan/atau tindakannya relevan dengan kebijakan K3

dikategorikan sebagai pendukung (S), sedangkan aktor yang tidak setuju dan/atau tindakannya tidak relevan dengan kebijakan K3 dikategorikan sebagai oposisi (O). Jika aktor tidak mempunyai pendapat atau tindakannya tidak dapat terlihat maka dikategorikan netral (N). Berikut perspektif dan posisi aktor terhadap kebijakan K3 di Kabupaten Jepara.

Perspektif Komisi C DPRD Kabupaten Jepara yang diwakili oleh Bapak Masun Duri mempunyai pandangan bahwa industri mebel di Jepara memang telah diakui berkontribusi nyata bagi perekonomian daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari para pekerja. Namun upaya peningkatan kesadaran, penegasan tanggung jawab, mekanisme perlindungan K3 di tingkat usaha mebel skala mikro dan kecil masih belum mendapatkan prioritas. Padahal posisi para pekerja mebel di Jepara adalah menjadi tulang punggung sektor industri tersebut.

Disnakertransduk mempunyai perspektif tentang K3 sebagai budaya yang harus terus ditanamkan kepada para pengusaha dan pekerja di tingkat industri mebel, khususnya bagi industri-industri yang sudah memiliki komitmen dan

37

kemampuan sumberdaya. Sedangkan Dinsosnakertrans mempunyai perspektif tentang K3 bahwa K3 penting untuk semua pekerja, namun implementasi K3 saat ini dengan keterbatasan dana hanya diterapkan pada industri formal skala menengah ke atas. Dinas Kesehatan mempunyai perspektif bahwa pekerja di industri-industri skala mikro dan kecil tetap perlu mendapatkan perlindungan K3 karena faktanya bahwa mereka memang mempunyai risiko tinggi yang akan mengancam keselamatan dan kesehatannya, terutama penyakit akibat terkena debu mebel.

Perspektif pemilik/pengurus usaha khususnya yang berskala mikro dan kecil terkait dengan K3 secara prinsip bahwa pekerja yang selamat dan sehat tentunya akan menentukan keberlanjutan usaha yang dijalankan. “K3 penting karena dengan K3 para pekerja akan sehat, dengan kesehatan pekerja perusahaan akan tetap eksis, memudahkan proses produksi, dan memperoleh keuntungan finansial demikian karena penegakan hukum“.

Perspektif pekerja terhadap K3 memang mendukung, namun dalam faktanya hal itu tidak terlihat dari perilaku mereka sendiri. Umumnya pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri dengan alasan merepotkan dan terlalu mengada-ada. Sehingga masih ada kecelakaan yang terjadi karena unsafe conditions.

Kepentingan Aktor

Sebagai lembaga legislasi, DPRD Komisi C mempunyai kepentingan terhadap K3 khususnya terhadap prinsip keadilan terhadap penegakan sebuah peraturan yang bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. K3 secara prinsip merupakan hak dasar bagi pekerja tanpa memandang perusahaan tempat dia bekerja skala besar ataupun skala kecil.

Kepentingan Disnakertransduk sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga untuk pengawasan pelaksanaan kebijakan K3 dan pembinaan berupa pelatihan bagi pihak industri demi tercapainya kesejateraan masyarakat. Dinsosnakertrans sebagai lembaga pemerintahaan kabupaten mempunyai tupoksi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peran pengawasan terhadap implementasi K3 menjadi pintu baginya dalam memberikan layanan publik untuk berperan serta dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara mempunyai kepentingan sesuai dengan tupoksi terkait dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat umumnya dan khususnya para pekerja. Pekerja yang celaka maupun sakit difasilitasi berupa upaya penyelamatan dan penyembuhan penyakit.

Pemilik/pengurus usaha mempunyai kepentingan terhadap usahanya agar dapat terus berjalan memberikan nilai keuntungan usaha yang sebesar-besarnya. Adanya pengaturan keselamatan kerja di perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan. Apabila tingkat kecelakaan meningkat atau para pekerja sering tidak bekerja sebagaimana mestinya karena sakit maka, itu akan menambah biaya pengeluaran dan secara otomatis akan mengurangi keuntungan.

Bagi pekerja adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tenteram sehingga pekerja/buruh akan dapat memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa

38

khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja. Sehingga kepentingan pekerja tehadap kebijakan K3 terkait dengan keberlangsungannya untuk tetap bekerja yang dapat diraih dalam kondisi selamat dan sehat guna memperoleh pendapatan.

Tabel 8 Kepentingan aktor terhadap kebijakan K3

Aktor Kepentingan

DPRD Komisi C Sebagai wakil rakyat, harus dapat menjaminkan hak pekerja atas keselamatan dan kesehatan dalam bekerja.

Disnakertransduk Menjalankan tupoksi terkait dengan ketenagakerjaan

Dinsosnakertrans Menjalankan tupoksinya untuk mewujudkan K3 di daerah

Dinas Kesehatan Menjalankan tupoksinya terkait dengan pemeriksaan kesehatan, pencatatan data kesakitan termasuk di seluruh wilayah desa (termasuk desa-desa yang berada di lingkungan kerja mebel)

Pemilik Usaha Keuntungan dari usaha yang sebesar-besarnya, perhatian terhadap K3 dilakukan sesuai dengan permintaan dari pekerja sendiri yang secara umum masih kurang menyadari K3 merupakan hal pokok yang harus dijaga

Pekerja Keselamatan dan kesehatan merupakan hak dasar bagi mereka ketika bekerja untuk dapat meneruskan penghidupan dirinya dan keluarganya.

Kekuasaan dan Kepemimpinan

Kekuasaan atau power adalah penguasaan sumberdaya (sumberdaya manusia atau anggaran) atau kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya sehingga mempengaruhi aktor lain. Kepemimpinan atau leadership adalah keinginan untuk memulai atau menginisiasi atau memimpin aksi terkait K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil (Tabel 9).

Tabel 9 Kekuasaan dan kepemimpinan aktor K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil

Kepemimpinan Tinggi Kepemimpinan Rendah

Kekuasaan Tinggi Komisi C DPRD Pemilik/pengurus usaha

Kekuasaan Rendah -

Dinsosnakertrans, Dinas Kesehatan, Pekerja

Dinsosnakertrans memiliki kekuasaan yang rendah karena keterbatasan

dalam sumberdaya manusia dan anggaran untuk melaksanakan tugasnya khususnya dalam melakukan pembinaan. Selama ini upaya peningkatan kesadaran, penegasan tanggung jawab, mekanisme perlindungan K3 di tingkat industri mebel skala mikro dan kecil masih belum mendapatkan prioritas. Padahal posisi para pekerja pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil adalah menjadi tulang punggung perekonomian Jepara. Kegiatan penyuluhan terkait mekanisme perlindungan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil oleh Dinsosnakertrans dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara pernah dilakukan tetapi

39

jarang sekali, karena pendanaan dari APBD hanya prioritas untuk perusahaan-perusahaan formal, yang sudah terdaftar dalam buku register di kedua dinas tersebut. Kepemimpinan Dinsosnakertrans untuk implementasi K3 pada industri skala kecil rendah dimana belum ada upaya apapun terkait dengan perlindungan K3 bagi industri skala mikro dan kecil.

Komisi C DPRD Kabupaten Jepara mempunyai kekuasaan tinggi dalam penetuan alokasi anggaran untuk implementasi K3 dan mempunyai kepemimpinan yang tinggi karena dapat mempengaruhi satuan kerja pemerintahan daerah (SKPD) terkait untuk memasukkan program K3 dalam kegiatan tahunan. Inisiatif dari Komisi C DPRD Kabupaten Jepara untuk mendukung program K3 ini baru muncul dalam proses FGD yang dilaksanakan dalam pengumpulan data dari penelitian ini. Dalam diskusi tersebut pihaknya menyadari bahwa kontribusi perekonomian Jepara yang berasal dari industri tidak terlepas dari para pekerja di industri skala mikro dan kecil dimana mereka juga sebenarnya berhak mendapatkan perlindungan K3.

Dinas Kesehatan mempunyai kepemimpinan rendah terhadap K3 karena dalam tupoksinya hanya sebatas untuk pemeriksaan kesehatan pekerja dan pencatatan data kesakitan sesuai dengan data yang masuk dari penduduk yang datang ke puskesmas untuk berobat. Demikian juga kekuasaan Dinas Kesehatan juga relatif rendah karena keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan program penyuluhan kesehatan khususnya untuk para pekerja industri mebel.

Pekerja memiliki kepemimpinan rendah dan kekuasaan rendah. Kepemimpinan terhadap K3 rendah karena pekerja memiliki keterbatasan dalam penguasaan informasi adanya kebijakan K3 yang melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja. Kekuasaannya rendah karena para pekerja berada pada posisi tawar yang lemah sebagaimana bentuk kontrak kerja yang tidak formal.

Relasi Tripartit (Pengusaha, Pemerintah dan Pekerja)

Mengimplementasikan K3 di industri-industri mebel skala mikro dan kecil merupakan keniscayaan bagi para pekerja. Pada hakikatnya, menurut peraturan perundang-undangan, perlindungan atas K3 merupakan kebutuhan asasi, dan secara tegas dinyatakan sebagai hak pekerja karena pemenuhan kebutuhan itu menjadi tanggung jawab pengusaha/pemilik usaha dan juga tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya.

Dalam konteks relasi tripartit, para pemilik/pengurus usaha, pemerintah Kabupaten Jepara dan pekerja adalah aktor-aktor penting yang bakal memberikan warna khusus pada penerapan K3 di industri-industri mebel skala mikro dan kecil. Peran ketiga aktor tersebut sungguh sangat penting bagi penerapan manajemen K3 saat ini dan mendatang.

Pemilik/pengurus usaha dapat diperankan sebagai aktor yang dapat mempromosikan implementasi K3 melalui produk mebel yang mereka hasilkan dengan membangun komitmen dan kapasitas para pemilik/pengurus usaha melalui asosiasinya. Hal ini sebagai upaya mengurangi distorsi informasi diantara kepentingan K3 dan kepentingan bisnis mebel. Lebih lanjut upaya ini diharapkan

40

dapat mengubah persepsi para pemilik/pengurus usaha bahwa K3 menjadi prioritas dari sisi bisnis karena faktanya peluang kejadian kecelakaan di lingkungan kerja mebel itu ada.

Kondisi yang ada saat ini menunjukkan bahwa para pemilik/pengurus usaha mebel skala mikro dan kecil pada umumnya mempunyai pola perilaku defensif terhadap pola perilaku para pekerjanya yang selalu beranggapan bahwa kecelakaan dan sakit yang mereka alami di tempat kerja adalah hal biasa; kecelakaan dan sakit adalah takdir (ketetapan Tuhan); dan pola perilaku defensif seperti itu umumnya adalah politik para pemilik usaha agar mereka tidak terbebani oleh biaya-biaya lain dari biaya produksi mebelnya. Dalam keadaan para pekerja tidak menuntut perlindungan haknya untuk mendapatkan perlindungan K3 di tempat kerja, maka para pemilik/pengurus usaha cenderung mengikuti keadaan tersebut. Tindakan maksimal dari pemilik/pengurus usaha kepada para pekerja adalah hanya memberikan bantuan secara kemanusiaan untuk pembelian obat-obatan ataupun biaya pengobatan ke klinik/puskesmas jika terjadi kecelakaan yang menimpa pekerjanya di lokasi kerja.

Berkaitan dengan para pekerjanya, pemilik/pengurus usaha harus mulai berperan kuat melakukan bimbingan dalam proses meningkatkan kesadaran untuk penguatan naluri para pekerja terhadap kebutuhan K3. Naluri para pekerja dikuatkan sehingga tumbuh rasa kepercayaan diri dan kesadarannya atas pentingnya K3 di lingkungan kerjanya. Dari naluri mereka itulah diharapkan muncul kemauan yang kuat untuk mengikuti tindakan yang dipersyaratkan dalam manajemen K3.

Pemerintah Kabupaten Jepara harus mulai untuk mengembangkan aktivitas pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan kerja pada industri-industri mebel skala mikro dan kecil sebagai upaya awal untuk meningkatkan kesadaran para pihak terkait pencegahan resiko kecelakan. Pemerintah daerah juga dapat mulai membangun media sosialisasi–pelatihan dan pendampingan secara efektif dalam rangka meningkatkan peran/partisipasi para pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang pelaksanaan sistem manajemen K3. Dari pemerintah daerah, para pemilik/pengurus usaha, pekerja dan masyarakat luas memperoleh transfer pengetahuan pentingnya K3. Peran penting lainnya dari pemerintah daerah adalah mulai membangun kordinasi yang baik (good–coordination) kepada siapa saja aktor yang terlibat untuk mempromosikan praktek-praktek terbaik perlindungan K3 untuk industri-industri mebel skala mikro dan kecil.

Dari sisi para pekerja, kompetensi para pekerja di industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara menunjukkan tingkat pengetahuan, pengertian, pengalaman dan keterampilan baik fisik maupun psikis tentang K3 sangat rendah. Kondisi tersebut menyebabkan industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara masih menghadapi kesulitan dalam menerapkan K3. Persepsi para pekerja di industri mebel Jepara, menganggap bahwa “kecelakaan itu nasib”, dan bagi mereka “penyakit itu resiko yang harus diterima, lebih sengsara lagi jika tidak bekerja”.

Sekitar 40–50 persen dari 700 ribu jiwa usia produktif di Jepara sangat membutuhkan penghasilan dari pekerjaannya sebagai buruh ataupun pengrajin di tempat-tempat kerja seperti di TPK, sawmill, brak, bengkel finishing, ataupun di perusahaan-perusahaan mebel yang lebih besar. Eksistensi industri-industri mebel

41

skala mikro dan kecil (yang jumlahnya mendominasi di Kabupaten Jepara) dengan berbagai karakter pemilik usahanya sedemikian rupa sehingga hampir setiap pekerja hanya bekerja berdasarkan kekeluargaan dan pertemanan, tanpa kontrak kerja yang jelas, dan sebagian besar dari mereka berstatus tenaga kerja harian.

Terkait dengan hal tersebut, para pekerja sebenarnya sadar atas kemungkinan risiko kecelakaan dan penyakit di tempat kerjanya hanya saja kesadaran seperti ini masih perlu dukungan dari pemilik usaha agar melakukan pengawasan agar K3 dapat diterapkan. Dengan demikian peran penting dari para pekerja adalah kesediaan mereka untuk berpatisipasi dalam penerapan K3 untuk kepentingan hidupnya sendiri.

Kesenjangan (Gap) antara Kebijakan K3 dan Implementasinya pada

Industri Mebel Jepara

Hasil telaah terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi K3 dengan model kebijakan Sabatier dan Mazmanian (Tabel 10) menunjukkan adanya kesenjangan (gap) dalam implementasi K3 di industri mebel Jepara pada skala mikro dan kecil.

Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan K3 antara lain mudah tidaknya masalah dikendalikan, yang dilihat dari tingkat kesulitan teknis bahwa program perlindungan K3 belum tertangani karena keterbatasan tenaga ahli sebagai pengawas; erubahan perilaku dari para pekerja ataupun pemilik/pengurus usaha tergantung dari perubahan persepsi mereka tentang kecelakaan dan penyakit di tempat kerja.

Tabel 10 Deskripsi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil berdasarkan model Sabatier dan Mazmanian

Variabel Deskripsi Implementasi

Mudah tidaknya masalah dikendalikan

a. Kesukaran teknis Kesulitan dalam melaksanakan monitoring dengan jumlah industri skala mikro dan kecil mencapai 12.000-an sementara tenaga SDM pengawas K3 3 orang. Kesadaran para pekerja terhadap K3 masih rendah seringkali mereka mengabaikan penggunaan APD.

b. Keragaman perilaku yang diukur

Perilaku yang diukur relatif seragam yakni perilaku pekerja dan pemilik/pengurus usaha dalam penegakan perlindungan K3.

c. Prosentase totalitas penduduk yg tercakup dalam kelompok sasaran

Perilaku yang akan diubah meliputi para pekerja dan pemilik/pengurus usaha industri perkayuan yang jumlahnya sangat besar sehingga memerlukan dukungan politik terhadap program terkait K3

d. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

Perubahan perilaku penegakan K3 terkait dengan perubahan sikap pekerja dan pemilik/pengurus usaha yang memerlukan pemenuhan terhadap pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.

42

Tabel 10 Lanjutan

Variabel Deskripsi Implementasi

Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi

a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai

Tujuan K3 sudah dijelaskan dalam peraturan yang dengan sistem manajemen K3 yang sarat dengan penyediaan dokumen, kebutuhan tenaga ahli, SDM bersertifikat dan anggaran. Sistem manajemen seperti ini belum sesuai dengan kapasitas/kapabilitas industri skala mikro dan kecil.

b. Keterandalan teori kausalitas yang dipergunakan

Kebijakan K3 merupakan kewajiban bagi perusahaan dengan TK minimal 100 orang atau berpotensi bahaya tinggi. Pemerintah menfasilitasi terkait implementasi K3 namun faktanya masih terbatas kemampuan pemerintah, selain itu tidak ada konsekuensi apabila kewajiban tidak dilaksanakan.

c. Ketepatan alokasi sumber-sumber dana

Dana terbatas hanya untuk monitoring industri skala menengah ke atas

d. Koordinasi Tidak ada persoalan koordinasi pusat dan daerah dalam implementasi kebijakan K3

e. Aturan dari badan pelaksana

Tidak ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pelaksana K3 di daerah terkait kebijakan K3.

f. Kesepakatan para pejabat

K3 bagian dari kesejahteraan tenaga kerja, namun K3 tidak termasuk ke dalam program prioritas.

g. Akses formal pihak-phak luar

Ada peluang pihak lain berpartisipasi terkait K3 yakni PHPL dan SVLK

Variabel di luar kebijakan

a. Kondisi sosek dan teknologi

Para pekerja dan pengurus/pemilik usaha yang terbatas kondisi ekonominya menghadapi kesulitan dalam penyediaan anggaran untuk implementasi K3, termasuk pengetahuan para pekerja dan pengurus/pemilik usaha yang masih sangat lemah

b. Dukungan publik Belum ada dukungan dari publik terhadap K3

c. Sikap dan sumber-sumber yg dimiliki kelompok sasaran

Kelompok sasaran meliputi para pekerja, pengurus/pemilik usaha, pemda terkait K3 dan DPRD. Semua aktor mempunyai perspektif yang positif atau perspektif netral. Namun perpsektif yang positif terhadap perlindungan K3 belum dapat ditampilkan dalam program-programya

d. Dukungan badan/lembaga berwenang

Lembaga berwenang (Dinas Ketenagakerjaan) belum memprioritaskan K3. Jumlah SDM pengawas K3 terbatas, begitu pula dengan anggaran terbatas

e. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana

Lembaga berwenang terkait K3 menetapkan K3 sebagai bagian dari kesejahteraan tenagakerja. Lembaga ini memiliki kepemimpinan dalam pengawasan K3 namun SDM dan anggaran terbatas sehingga pelaksanaan pengawasan hanya dilakukan pada industri skala menengah ke atas.

Kebijakan K3 belum dapat menstrukturkan proses implementasi, hal ini dilihat dari isi kebijakan yang membatasi kriteria perusahaan yang wajib melaksakan kebijakan K3 minimal 100 orang pekerja dan untuk kriteria potensi bahaya tinggi tidak dijelaskan lebih rinci dalam peraturan di bawahnya. Selain itu belum ada alokasi dana secara khusus untuk melaksanakan peran pengawasan

43

implementasi K3 di industri mikro dan kecil secara menyeluruh. Belum ada komitmen karena program K3 pada industri mebel tersebut belum mendapat prioritas kepentingan dan belum adanya kelompok luar yang berpartisipasi untuk mendorong kesadaran pekerja tentang K3.

Faktor-faktor diluar kebijakan, meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang pada umumnya memiliki keterbatasan dalam modal, belum ada dukungan publik seperti dari LSM, lembaga pendidikan dan asosiasi-asosiasi pengusaha yang mendukung perlindungan K3; dan dukungan pihak terkait. Komitmen pemilik usaha terhadap kebijakan K3 belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam sistem manajemen usaha (terutama skala mikro dan kecil) hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya dokumen perencanaan manajemen K3.

Implementasi kebijakan K3 pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil menunjukkan kesenjangan sebagai berikut:

(1) Kompetensi terkait K3 dari para pengusaha/pemilik usaha, pekerja, dan pemerintah relatif rendah.

(2) Anggaran dan sumberdaya manusia untuk pelaksanaan pengawasan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil sangat terbatas, sebagai contoh ketersediaan tenaga pengawas ahli K3 Kabupaten Jepara jumlahnya hanya 3 orang.

(3) Pemilik/pengurus usaha belum memiliki inisiatif untuk mengintegrasikan K3 ke dalam manajemen perusahaan. Sikap mereka cenderung hanya mengikuti perilaku pekerja yang belum mempunyai kesadaran terhadap K3.

(4) K3 belum merupakan kebutuhan pemilik/pengurus usaha pada industri mebel Kabupaten Jepara. Pada umumnya mereka belum menyadari bahwa modal untuk pelaksanaan K3 sebagai investasi, akan tetapi dipahami sebagai sesuatu yang meningkatkan biaya produksi (cost center).

(5) K3 belum menjadi kebutuhan para pekerja yang terlihat dari perilaku mereka saat bekerja tanpa memperhatikan keselamatan maupun kesehatan mereka yang berada pada kondisi tempat kerja yang tidak aman. Perilaku seperti ini didasari dengan pandangannya terhadap kecelakaan dan penyakit sebagai sebuah takdir.

(6) Lemahnya posisi tawar pekerja/pengrajin di tempat kerja karena pada umumnya mereka bekerja atas dasar perjanjian kerja tak tertulis (informal).

(7) Fasilitas K3 di tingkat industri mebel khususnya skala mikro dan kecil sangat minim bahkan tidak ada sama sekali. Bagi khususnya pemilik usaha kecil yang relatif memperoleh keuntungan kecil tentunya akan sulit untuk menyediakan fasilitas dan alat pertolongan pertama pada kecelakaan, dan APD.

(8) Khususnya di industri mebel skala mikro dan kecil, kebijakan tentang K3 belum dapat menstrukturkan implementasi kebijakan di lapangan. Kriteria perusahaan yang wajib melaksanakan K3 seperti dalam PP No 50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja tertera perusahaan yang minimal mempekerjakan 100 orang atau tempat kerja yang berpotensi bahaya tinggi. Kebijakan ini ditafsirkan

44

pelaksana kebijakan di daerah secara lugas, sehingga pengawasan implementasi K3 tidak untuk industri mikro dan kecil. Hal ini juga terkait dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan anggaran pengawasan.

(9) Lemahnya penegakan hukum/law enforcement terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja terhadap ketetapan manajemen perusahaan, atau yang dilakukan pengusaha/pemberi kerja terhadap ketetapan perundang-undangan. Sampai saat ini tidak ada sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan K3.

(10) Dukungan politik di daerah pada industri-industri mebel Jepara hanya sebatas aspek ekonomi mebel. Pemda menganggap K3 itu penting, namun hampir pada seluruh industri mebel berskala mikro dan kecil, sisi kemanusiaan (humanity) belum mendapatkan perhatian khusus. Selain itu intensitas fasilitasi perlindungan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil sangat kurang.

Strategi Implementasi K3 untuk Industri Mebel Jepara Realitas implementasi kebijakan K3 yang belum diterapkan pada industri-

industri mebel skala mikro dan kecil, memerlukan suatu strategi pembangunan yang tepat sesuai dengan situasi masalah di tingkat pelaksana. Berdasarkan telaah terhadap realitas perlindungan K3 pada industri berskala mikro dan kecil, realitas kondisi para aktor-aktor dalam kebijakan K3, dan kesenjangan implementasi K3 di tingkat pelaksana, keseluruhan situasi masalah itu kemudian diletakkan pada masing-masing kelompok SWOT pada Tabel 11.

Berdasarkan analisis SWOT tersebut dilakukan telaah terhadap strategi yang paling prioritas. Dalam konteks industri-industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara, prioritas pertama ditelaah dengan pertanyaan “strategi K3 apa yang seharusnya diarahkan secepatnya?” Prioritas kedua ditelaah dengan pertanyaan “strategi K3 apa yang mampu mengimplementasikan K3 dengan biaya semurah-murahnya?” Selanjutnya, prioritas ketiga ditekankan pada pertanyaan “strategi K3 apa yang mampu mengarahkan masa depan dari implementasi K3 dapat memberikan nilai tambah bagi para pihak pelaksana?” (AC 2011).

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditentukan daftar prioritas strategi untuk implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara sebagai berikut:

(1) Peningkatan kesadaran pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang kecelakaan dan penyakit akibat situasi dan kondisi tempat kerja, yang dapat dikurangi atau dihindari dengan upaya pencegahan dengan berperilaku bekerja menggunakan APD. Hal ini dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan maupun Dinas terkait dengan ketenagakerjaan dengan cara membangun media sosialisasi dan pelatihan bermain peran secara efektif dalam rangka meningkatkan peran/partisipasi para pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang pelaksanaan sistem manajemen K3. Media sosialisasi tersebut dapat juga melalui siaran radio komunitas sehingga sasarannya lebih mencakup masyarakat luas tidak sekedar para pekerja dan pemilik/pengurus usaha.

45

(2) Peningkatan kapasitas Disosnakertransduk atau Dinsosnakertrans baik secara kualitas maupun kuantitas melalui pelatihan-pelatihan bagi tenaga ahli K3 agar dapat menjalankan fungsi pengawasan implementasi kebijakan K3 secara optimal.

(3) Mendorong para pemilik/pengurus usaha melalui peran asosiasi dalam rangka mempromosikan dan mengarus-utamakan kepentingan K3 bagi perlindungan pekerja mebel skala mikro dan kecil di Jepara.

(4) Menyiapkan kebijakan daerah, misalnya dalam bentuk Perda inisiatif yang akan menjadi dasar implementasi K3 dan penetapan instrumen pengelolaan pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil. Hal ini masih mungkin untuk dilakukan mengingat PP No 50 tahun 2012 yang ditafsirkan secara lugas Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara hanya berlaku bagi perusahaan skala besar (>100 orang pekerja) atau yang memiliki tingkat resiko tinggi. Padahal filosofi kebijakan K3 adalah melindungi hak asasi manusia. Aktor yang dapat berperan dalam penyediaan peraturan daerah adalah Komisi C DPRD Kabupaten Jepara yang membidangi kesejahteraan rakyat dan ketenagakerjaan. Aktor ini memiliki kekuasaan dan kepemimpinan tinggi, serta relasi efektif dengan aktor lainnya yang bersifat hirarki.

Tabel 11 Kombinasi SWOT yang mempengaruhi strategi implementasi kebijakan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil

Peluang Kebijakan K3 sudah ada,

meski belum mampu menstrukturkan proses implementasi

Kontribusi nyata sektor industri mebel terhadap PDB

Ancaman Sistem kerja tanpa kontrak Belum ada dukungan publik Dukungan politik masih

bersifat ekonomi Fasilitas K3 di industri

skala mikro dan keicl minim

Kekuatan Pekerja terampil

menghasilkan berbagai produk mebel

Komisi C DPRD berkomitmen untuk menerapkan kebijakan K3

Ada hubungan dengan asosiasi pengraji kecil jepara

Kebijakan daerah yang luwes bagi industri skala mikro dan kecil untuk mendukung upaya implementasi K3, misalnya dalam bentuk Perda inisiatif

Kebijakan daerah dan pelibatan asosiasi mengintegrasikan K3 ke dalam aspek bisnis

Kelemahan Kesadaran pekerja dan

pengurus/pemilik usaha masih kurang

Kompetensi K3 pada pekerja, pengurus/pemilik usaha dan pemerintah terbatas

Terbatasnya SDM dan anggaran dalam menjalanka fungsi pengawasan dan pembinaan K3

Peningkatan kesadaran pekerja dan pengurus/pemilik usaha tentang K3 melalui transfer knowledge

Peningkatan kapasitas tenaga untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan K3

Peningkatan kesadaran pekerja dan pengurus/pemilik usaha tentang K3 melalui transfer knowledge

Peningkatan kapasitas tenaga untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan K3

46

Pola Implementasi K3 pada Industri Mebel Jepara

Implementasi kebijakan K3 pada industri-industri mebel skala mikro dan

kecil tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan tanpa dukungan pengembangan kompetensi sumber daya manusia, mulai dari SDM pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan pekerja, melalui pemerataan pengetahuan K3. Pendekatan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) Floyde et al. (2013) dalam upaya peningkatan pengelolaan K3 pada unit usaha skala kecil-menengah masih relevan untuk diadopsi pada industri-industri mebel mikro dan kecil di Jepara.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Floyde et al. (2013) tersebut diantaranya adalah penyediaan informasi pencegahan resiko kecelakan kerja kepada para pekerja dan pihak-pihak terkait lainnya, pendokumentasian upaya pencegahan dan pencatatan kecalakaan dan kejadian-kejadian di tempat kerja, sosialisasi–pelatihan dan pendampingan secara efektif, peningkatan peran/partisipasi para pekerja dalam pengenalan sistem manajemen K3, pengecekan kesehatan rutin bagi para pekerja terkait dengan resiko-resiko keselamatan kerja, dan membangun kordinasi yang baik (good–coordination) kepada siapa saja aktor yang terlibat untuk mempromosikan praktek-praktek terbaik perlindungan K3.

Upaya untuk membangun media sosialisasi dan pelatihan bermain peran secara efektif dalam rangka meningkatkan peran/partisipasi para pekerja dan pemilik/pengurus usaha mebel skala mikro dan kecil untuk implementasi K3 dapat mengadopsi konsep Yovi et al. (2013), yakni menyediakan akses dan menyebarluaskan informasi tentang perlindungan K3 pada konteks kebutuhan dan ketersediaan dana di Jepara. Akses dan penyebarluasan informasi tersebut dapat dilakukan melalui program siaran radio (radio komunitas di Kabupaten Jepara) yang diduga dampaknya bersifat masif (tidak sekedar para pekerja atau pemilik usaha, namun untuk masyarakat luas); mengembagkan kegiatan pelatihan untuk program peningkatan pengetahuan dan keterampilan terkait K3; dan membuat “safety game” sebagai media untuk penguatan naluri para pekerja ataupun pemilik/pengurus usaha mebel. Program “safety game” ini dapat dimainkan berulang-ulang dengan waktu yang sangat fleksibel. Media lainnya yang dapat digunakan untuk penyebarluasan informasi adalah liflet atau poster.

Selain “safety game”, upaya peningkatan naluri/insting para pekerja ataupun generasi muda di Jepara, terutama dalam hal memahami pentingnya K3 bagi kehidupan dan masa depan mereka dapat dilakukan dengan masukkan unsur muatan lokal perlindungan K3 ke dalam bentuk pendidikan K3 di sekolah. Hal ini sangatlah memungkinkan, mengingat Kabupaten Jepara memiliki perguruan tinggi ataupun sekolah kejuruan yang secara khusus dikembangkan untuk mempertahankan Jepara sebagai Kota Ukir.

Dari sudut pandang yang lebih luas, konsep desentralisasi dalam strategi pengelolaan hutan yang dikemukakan Nurrochmat (2010) dapat diadopsi untuk implementasi K3 dengan menekankan bahwa diperlukan otorisasi sebesar-besarnya di daerah termasuk lembaga-lembaga non pemerintah (misalnya untuk konteks usaha mebel adalah asosiasi mebel/pengrajin kecil) yakni dengan

47

pendekatan Co–Management terutama dalam memegang kontrol secara bersama-sama atas implementasi perlindungan K3 pada para pekerja industri berskala mikro dan kecil. Lebih lanjut menurut Nurrochmat (2010) mementingkan komitmen normatif untuk pengelolaan yang partisipatif dalam strategi pengelolaan (kasus hutan), juga dapat diadopsi untuk konteks pengelolaan K3 oleh pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan para pekerja/pengrajin mebel.

Selain itu, pendekatan mementingkan keberpihakan pada masyarakat lokal dalam strategi pengelolaan hutan, masih cukup relevan diadopsi untuk konteks pengelolaan K3, terutama dalam hal para pemilik/pengurus usaha atau pekerja atau pengrajin mebel, tidak sekedar terlibat sebagai objek melainkan subjek yang memiliki kapasitas dan otoritas sebagai pengambil keputusan pada tingkat implementasi di lapangan.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Undang-undang dan peraturan pemerintah mewajibkan perlindungan K3 pada semua skala industri, mencakup tempat-tempat kerja yang memiliki resiko bahaya tinggi, termasuk kondisi tempat kerja pada industri mebel skala mikro dan kecil. Praktik industri mebel skala mikro dan kecil pada realitasnya memiliki potensi resiko bahaya bagi keselamatan dan kesehatan para pekerjanya.

Data angka kecelakaan kerja di industri mebel skala mikro dan kecil Jepara tidak pernah tersedia. Data tentang penyakit yang timbul kerena hubungan kerja juga tidak terdokumentasi. Fakta menujukkan bahwa di tempat kerja mebel para pekerja pernah mengalami kecelakaan kerja mulai dari jari-jari terluka, terjepit kayu dan peralatan, terkena gergaji/pahat, kuku tangan/kaki terlepas, sampai bagian jari tangan terputus. Para pekerja juga mengalami beberapa jenis penyakit yang diduga sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja, akibat terjadinya pajanan dari debu organik/serbuk kayu, gerakan mekanik, dan kebisingan. Fakta tersebut belum terlalu kuat mendorong diimplementasikan K3 pada industri mebel skala mikro dan kecil.

Aktor-aktor utama yang terlibat dalam implementasi kebijakan K3 telah teridentifikasi, yakni lembaga legislatif (Komisi C DPRD Kab. Jepara), kelompok pemerintah (Dinsosnakertrans Kab. Jepara, dan Disnakertransduk Prov. Jawa Tengah); kelompok pemilik/pengurus usaha mebel, dan kelompok pekerja mebel. Pada kondisi belum ada implementasi K3, peran Komisi C DPRD Kab. Jepara sangat penting dalam rangka mengusulkan perda sebagai inisiatif perlindungan K3 bagi pekerja mebel melalui perlindungan ketenagakerjaan, dan upaya menstrukturkan tujuan kebijakan di tingkat lokal.

Secara mendasar masalah implementasi kebijakan K3 terkait dengan aspek sosial budaya masyarakat, kebijakan, kelembagaan dan politik. Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan K3 di industri mebel skala mikro dan kecil antara lain perilaku yang tidak mudah dikendalikan, kebijakan K3 yang

48

ada belum dapat menstrukturkan implementasi kebijakan, dan faktor di luar kebijakan itu sendiri seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat, dukungan publik, dan kurangnya komitmen dari pemilik/pengurus usaha.

Berdasarkan karakteristik masalah implementasi kebijakan K3 di Kabupaten Jepara, maka alternatif strategi implementasi kebijakan K3 di Jepara diantaranya meningkatkan kesadaran pekerja dan pemilik/pengurus usaha tentang kecelakaan dan penyakit akibat situasi dan kondisi tempat kerja; meningkatkan kapasitas Disosnakertransduk Provinsi Jawa Tengah dan/atau Dinsosnakertrans Kabupaten Jepara baik secara kualitas maupun kuantitas melalui pelatihan-pelatihan bagi tenaga ahli K3 agar dapat menjalankan fungsi pengawasan implementasi kebijakan K3 secara optimal; mendorong para pemilik/pengurus usaha melalui peran asosiasi dalam rangka mempromosikan dan mengarus-utamakan kepentingan K3 bagi perlindungan pekerja mebel skala mikro dan kecil di Jepara; dan mulai menyiapkan kebijakan daerah, misalnya dalam bentuk perda inisiatif yang akan menjadi dasar implementasi K3 dan penetapan instrumen pengelolaan pada industri mebel Jepara skala mikro dan kecil.

Pola implementasi K3 berdasarkan tipologi industri mebel skala mikro dan kecil di Jepara dapat mengadopsi strategi yang mudah untuk diterapkan, diantaranya adalah menyediakan akses dan menyebarluaskan informasi tentang perlindungan K3 melalui program siaran radio komunitas di Kabupaten Jepara, kegiatan pelatihan, dan membuat “safety game” sebagai media untuk penguatan naluri para pekerja ataupun pemilik/pengurus usaha mebel; masukkan unsur muatan lokal perlindungan K3 ke dalam bentuk pendidikan K3 di sekolah; otorisasi sebesar-besarnya di daerah dalam hal memegang kontrol secara bersama-sama atas implementasi perlindungan K3; pengelolaan yang partisipatif untuk konteks pengelolaan K3 oleh pemerintah, pengurus/pemilik usaha dan para pekerja/pengrajin mebel; dan pendekatan keberpihakan pada masyarakat lokal agar tidak sekedar terlibat sebagai objek melainkan subjek yang memiliki kapasitas dan otoritas sebagai pengambil keputusan dalam implementasi K3.

Saran

Fakta di Jepara menunjukkan bukti bahwa kondisi kerja yang bising sering ditemui dan dirasakan khususnya di lokasi sawmill, bengkel kerja mebel dan bengkel kerja finishing, namun data ataupun catatan tentang penyakit dan kecelakaan di tempat kerja tidak tersedia. Berdasarkan hal tersebut diperlukan telaah teknis untuk mengukur seberapa tinggi tingkat paparan kebisingan dan tingkat kelainan pendengaran yang diderita oleh para pekerja mebel sebagai akibat dari kebisingan di tempat kerjanya.

Kebutuhan dasar untuk implementasi K3 di tingkat Kabupaten Jepara mutlak memerlukan perda sebagai “payung hukum” yang mengatur pelaksanaan perlindungan K3 bagi industri-industri mebel skala mikro dan kecil. Selama tidak ada “payung hukum”, maka tidak ada dasar bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk dapat melaksanakan kegiatan pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum bagi perlindungan K3, dan selama tidak ada pengawasan maka upaya perlindungan K3 pada industri-industri mebel skala mikro dan kecil akan tetap lemah.

49

DAFTAR PUSTAKA

[AC] Alamo Colleges. 2011. SWOT Analysis Priorities Competitive Factor Analysis: Strategic Planning and Performance Excellence. Texas (USA): Alamo Colleges.

Alli BO. 2001. Fundamental Principles of Occupational Health and Safety. Geneva (CH): International Labour Organization (ILO).

Alwasilah AC. 2011. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta (ID): PT. Dunia Pustaka Jaya.

[BPS dan Bappeda] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara. 2011. Jepara Dalam Angka 2011. Jepara (ID): Badan Pusat Statistik dan BAPPEDA Kabupaten Jepara.

Bungin B. 2009. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group.

Cochran WG. 1991. Teknik Penarikan Sampel. Edisi Ketiga. Rudiansyah, Osman E.R., penerjemah. Jakarta (ID): Universitas Indonesia (UI-Press). Terjemahan dari: Sampling Techniques. Massachusetts (USA): John Wiley & Sons, Inc.

Creswell JW. 2012. Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. 4th ed. Boston (US): Pearson Education, Inc.

Creswell JW. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi Ketiga. Fawaid A, penerjemah. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Third Edition. California (US): Sage Publications.

Denzim NK, Lincoln YS. 2009. Handbook of Qualitative Research. Second Edition. Dariyatno, Fata BS, Abi, Rinaldi J, penerjemah. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Handbook of Qualitative Research.

Dey I. 2005. Qualitative Data Analysis: A User-Friendly Guide for Social Scientists. New York (US): Taylor & Francis e-Library.

Dunn WN. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): PT Hanindita Graya Widya.

Erickson PA. 1996. Practical Guide To Occupational Health and Safety. United State of America (US): Elsevier Science Academic Press.

Fauzi A. 2010. Perjalanan pengusaha dalam pengembangan industri permebelan Jepara. Di Dalam: Purnomo H, Irawati RH, Melati, editor. Menunggang Badai: Untaian Kehidupan, Tradisi dan Kreasi Aktor Mebel Jepara. CIFOR. Bogor (ID): hal 79–102.

Floyde A, Lawson G, Shalloe S, Eastgate R, D’Cruz M. 2013. The design and implementation of knowledge management systems and e-learning for improved occupational health and safety in small to medium sized enterprises. Safety Science (60): 69–76. doi:10.1016/j.ssci.2013.06.012.

50

Gandaseca S, Yoshimura T. 2001. Occupational safety, health and living conditions of forestry workers in Indonesia. J. For. Res 6 (4): 281–285.

Gulati M, Fredlich CA. 2008. Occupational lung disorders: general principle and approach. Di dalam: Fishman AP, editor. Pulmonary Diseases and Disorders Part 05–08. McGraw-Hill Co. New York (USA): hal 933–942.

Gustami SP. 2000. Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara, Kajian Estetika Melalui Pendekatan Multi Disiplin. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius.

Handayani W, Rudiarto I, Rahdriawan M. 2003. Kecenderungan dan prospek aktivitas mebel ukir/kayu Jepara dalam upaya implement pengembangan wilayah menuju otonomi daerah [laporan kegiatan]. Semarang (ID): Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Hermans LM, Thissen Wil AH. 2009. Actor analysis methods and their use for public policy analysts. European Journal of Operational Research (196): 808–818. doi: 10.1016/j.ejor.2008.03.040.

Hursthouse A, Allan F, Rowley L, Smith F. 2004. A pilot study of personal exposure to respirable and inhalable dust during the sanding and sawing of medium density fibreboard (MDF) and soft wood. International Journal of Environmental Health Research [Internet]. [diunduh 2012 Feb 19]; 14 (4). Tersedia pada: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0960312 0410001725667?journalCode=cije20.

[ILO] International Labour Organization. 2004. Memanfaatkan Bahan Kayu Berkualitas Secara Efektif [panduan praktis]. Jakarta (ID): Kantor Perburuhan Internasional.

[ILO] International Labour Organization. 1985. Occupational Health Services. Swiss (CH): Convention C161 Session of the International Labour Convention 71 Geneva.

[ILO] International Labour Organization. 1981. Occupational Safety and Health and the Working Environment. Swiss (CH): Convention C155 Session of the Conference 67 Geneva.

Irawati RH, Purnomo H, Shantiko B. 2013. Mengukir Fajar Perajin Mebel Berbisnis, Berserikat dan Meraih Sertifikat Legalitas Kayu. Bogor (ID): Centre for International Forestry Research (CIFOR).

Irawati RH, Purnomo H. 2012. Pelangi di Tanah Kartini: Kisah Aktor Mebel Jepara Bertahan dan Melangkah ke Depan. Bogor (ID): Centre for International Forestry Research (CIFOR).

[Kepres] Keputusan Presiden Republik Indonesia. 2003. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Jakarta (ID): Sekretariat Kabinet RI.

[Kemenakertran] Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 235/MEN/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Jakarta (ID): Kementran RI.

51

Kurniawan BK. 2010. Nyantrik ukir: pengalaman memahami dan memotivasi generasi muda dalam pelestarian budaya ukir di Jepara. Di Dalam: Purnomo H, Irawati RH, Melati, editor. Menunggang Badai: Untaian Kehidupan, Tradisi dan Kreasi Aktor Mebel Jepara. CIFOR. Bogor (ID): hal 103–127.

Kusumanegara S. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): Gava Media.

Lubis S. 2002. Kajian manajemen keselamatan dan kesehatan kerja industri pertambangan umum dalam rangka antisipasi era otonomi daerah studi kasus PT. Kaltim Prima Coal dan PT. INCO [tesis]. Jakarta (ID): Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Teknik Progran Studi Teknik Industri Universitas Indonesia.

Malau P. 2013. Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja Cetakan Pertama. Jakarta (ID): PT. SOFMEDIA.

Markkanen PK. 2004. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. Kertas Kerja 9. Philippines (PH): International Labour Organization. Subregional Office for South–East Asia and the Pacific.

Margono. 2010. Kisah seorang pengrajin kecil mebel Jepara. Di Dalam: Purnomo H, Irawati RH., Melati, editor. Menunggang Badai: Untaian Kehidupan, Tradisi dan Kreasi Aktor Mebel Jepara. CIFOR. Bogor (ID): hal 9–47.

Michael JH, Wiedenbeck JK. 2004. Safety in the wood products industry. Forest Product Journal 54(10): 8–17. ProQuest.

[Menaker] Menteri Tenaga Kerja. 1998. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indionesia Nomor 03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Jakarta (ID): Menaker RI

Niu S. 2010. Ergonomics and occupational safety and health: An ILO perspective. Applied Ergonomics 41:744–753. doi:10.1016/j.apergo.2010.03.004.

Nugroho R. 2011. Public Policy: Dinamika Kebijakan–Analisis Kebijakan–Manajemen Kebijakan. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.

Nurrochmat DR. 2010. Strategi Pengelolaan Hutan: Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.

Octarina A. 2004. Studi implementasi kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di PT. Tyfoundtex Solo Jawa Tengah [tesis]. Semarang (ID): Program Ilmu Administrasi Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Parlinah N. 2010. Rantai nilai (value chain) mebel kayu mahoni Jepara [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Patton MQ. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods. California (US): Sage Publications, Inc.

Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

52

Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi–Geografis. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 1970. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

[Permenaker] Peraturan Menteri Tenaga Kerja. 1998. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 03/MEN/98 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Jakarta (ID): Menaker RI.

Pulzl H, Treib O. 2007. Implementing Public Policy. Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods. Fischer, F., Miller, G.J., dan Sidney, M.S, editor. United States of America (US): Taylor & Francis Group, LLC.

Purnomo H, Irawati RH, Fauzan AU, Melati M. 2011. Scenario-based actions to upgrade small-scale furniture producers and their impacts on women in Central Java, Indonesia. International Forestry Review 13 (2): 152–162.

Ramli S. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja OHSAS 18001 Seri Manajemen K3 01. Djajaningrat H, editor. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

Ratnasingam J, Ioras F, Swan TT, Yoon CY, Thanasegaran G. 2011a. Determinations of occupational accidents in the woodworking sector: The case of the Malaysian wooden furniture industry. Journal of Applied Science 11 (3): 561–566. doi:10.3923/jas.2011.561.566.

Ratnasingam J, Ioras F, Abrudan IV. 2011b. An Evaluation of occupational accidents in the wooden furniture industry–A regional study in South East Asia. Safety Science 50: 1190–1195. doi:10.1016/j.ssci.2011.12.035.

Ratnasingam J, Natthondan V, Ioras F, McNulty T. 2010. Dust, noise and chemical solvents exposure of workers in the wooden furniture industry in south East Asia. Journal of Applied Science 10(14): 1413–1420. ISSN 1812-5654.

Roda JM, Cadene P, Guizol P, Santoso L, Fauzan AU. 2007. Atlas of Wooden Furniture Industri in Jepara, Indonesia. Montpellier (FR): French Agricultural Research Centre for International Development (CIRAD) and Bogor (ID): Centre for International Forestry Research (CIFOR).

53

Sabatier PA. 2007. The need for better theories. Di dalam: Sabatier, P.A., editor. Theories of the Policy Process. Westview Press. Colorado (USA). page 3-17.

Sabatier PA, Mazmanian D. 1980. The implementation of public policy: a framework of analysis. Policy Studies Journal 8(4): 535–651. doi: 10.1111/j.1541-0072.1980.tb01266.x.

Santoso P. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): Research Centre for Politics and Goverment Jurusan Politik dan Pemerintahan. Universitas Gajah Mada.

Schmeer K. 1999. Guidelines for Conducting A Stakeholder Analysis: Health Reform Tool Series. Bethesda, MD (USA): ABT Associates, Inc.

Siahaan TSP. 2002. Analisis terhadap implementasi undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja di PT. Garuda Indonesia dan Pertamina [tesis]. Jakarta (ID): Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Start D, Hovland I. 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook for Researcher. London (UK): Research and Policy in Development Programme, Overseas Development Institute.

Sujarot. 2010. Permasalahan kebijakan industri mebel mebel Jepara. Di Dalam: Irawati RH, Purnomo H, editor. Pelangi di Tanah Kartini: Kisah Aktor Mebel Jepara Bertahan dan Melangkah ke Depan. CIFOR. Bogor (ID): hal 99–120.

Suma’mur. 1977. Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Pekerjaan Kehutanan dan Industri Perkayuan. Jakarta (ID): Lembaga Nasional Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Pusat Bina Hiperkes dan Keselamatan Kerja) Bekerja sama dengan ILO.

Susilawaty S. 2007. Analisis kebijakan publik bidang keselamatan dan kesehatan kerja di Kota Tasikmalaya [tesis]. Semarang (ID): Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Tarigan Z. 2008. Analisis sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di pabrik kelapa sawit (PKS) Tanjung Medan PTPN V Provinsi Riau [tesis]. Medan (ID): Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Thorud S, Gjolstad M, Ellingsen DG, Molander P. 2005. Air formaldehyde and solvent concentrations during surface coating with acid-curing lacquers and paints in the woodworking and furniture industry. Journal of Environmental Monitoring [Internet]. [diunduh 2012 Feb 19]; Nomor 6. Tersedia pada: http://pubs.rsc.org/en/Content/ArticleLanding/2005/EM/b4188 87j.

Vedung E. 2010. Policy instruments: thypologies and theories. Di dalam : L Marie, Videc B, Rist R.C, Vedung E, editor. Carrot, Stick & Shermons Polivy Instrument & Their Evaluation. Transaction Publisher. New Jersey (USA). page 21-58.

Whitehead LW. 1982. Health effects of wood dust--relevance for an occupational standard. American Industrial Hygiene Associasion Journal [Internet]. [diunduh 2012 Feb 19]; 43(9): 674–678. Tersedia pada: http://www. ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/6756119.

54

Whysall Z, Haslam C, Haslam R. 2006. Implementing health and safety interventions in the workplace: An exploratory study. International Journal of Industrial Ergonomics 36: 809–818. doi: 10.1016/j.ergon.2006.06.007.

Winarno B. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus) Cetakan Pertama. Yogyakarta (ID): Center for Academic Publishing Service (CAPS).

Yani M. 2006. Keselamatan dan kesehatan kerja di sektor informal [Makalah]. Disampaikan pada Konvensi Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja “Evaluasi Perkembangan Budaya K3 dalam Mengatasi Permasalahan K3 Masa Depan", 11–13 Januari 2006. Jakarta (ID): Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, dan Japan Industrial Safety and Health Association (JISHA).

Yovi EY, Nurrochmat DR, Saleh MB. (2013). The policy implications of occupational safety and health for small and household furniture industries and small-scale log yards in Jepara district [Academic Paper]. Bogor (ID): Australian Center for International Agriculture Research CIFOR–Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University.

55

Lampiran 1 Karakteristik informan berdasarkan kriteria umum

 

No Nama Informan

Jenis Kelamin

Umur Pendidikan Pekerjaan Bidang Kerja Lama Kerja (Th)

1 Mulyono L 38 SLTP Kuli TPK 10

2 Jukasan L 45 SLTP Operator Gergaji Sawmill 25

3 Mahmud L 51 SD Kuli Sawmill 15

4 Wakir L 50 SLTP Operator Gergaji Sawmill 25

5 Sukir L 50 SD Operator Gergaji Sawmill 30

6 Santo L 45 SLTP Kuli TPK 10

7 Parman L 45 SD Operator Gergaji Sawmill 15

8 Togok L 45 SD Kuli TPK 25

9 Faidi

L 50 Tidak Tamat SD Kuli TPK

25

10 Yasin L 50 SLTA Pemilik Usaha TPK/Sawmill 15

11 Rina P 28 SLTA Staf TPK 1

12 Nurkholis L 51 D3 Pemilik Usaha TPK/Sawmill 10

13 Haji Asro L 52 SLTA Pemilik Usaha TPK/Sawmill 10

14 Haji Ma'un L 50 SLTA Pemilik Usaha TPK/Sawmill 10

15 Haji Mukhlasin

L 51 SLTA Pemilik Usaha TPK

3

16 Fathulminan L 32 S1 Pemilik Usaha TPK/Sawmill 15

17 Trisno L 49 SLTP Pemilik Usaha TPK/Sawmill 10

18 Haji Kusdi L 50 SLTA Pemilik Usaha TPK 15

19 Suprayitno L 52 SD Pemilik Usaha Mebel 20

20 Sunadi L 50 SLTP Pemilik Usaha Mebel 15

21 Zaikhan L 49 SLTA Pemilik Usaha Mebel 20

22 Ibu Sukhir P 40 SLTP Pemilik Usaha Mebel 7

23 Agus L 35 SLTA Pekerja Mebel 7

24 Bejo L 39 SD Pekerja Mebel 10

25 Nur Achmad L 39 SLTA Pekerja Mebel 18

26 Subandi L 45 S1 Pemilik Usaha Mebel 20

27 Margono L 47 SLTA Pemilik Usaha Mebel 20

28 Haji Muhammad

L 53 SLTP Pemilik Usaha Mebel

14

29 Haji M. Sirojudin

L 50 SD Pemilik Usaha Mebel

20

30 Abdul Latif L 44 S1 Pemilik Usaha Mebel 11

31 Sumardjo L 47 SLTA Pemilik Usaha Mebel 15

32 Ahmad Zainudin

L 35 S1 Pemilik Usaha Mebel

15

33 Buseri L 42 SLTA Pemilik Usaha Mebel 20

56

Lampiran 1 Lanjutan

No Nama Informan

Jenis Kelamin

Umur Pendidikan Pekerjaan Bidang Kerja Lama Kerja (Th)

34 Mulyadi L 40 SD Pemilik Usaha Mebel 15

35 Sukardi L 40 S1 Pemilik Usaha Mebel 11

36 Nurkholis L 34 S1 Pemilik Usaha Mebel 4

37 Rosidi L 35 SLTP Pekerja Mebel 15

38 Syafii L 40 SD Pekerja Mebel 20

39 Sugeng L 40 SD Pekerja Mebel 20

40 Karman L 38 SD Pekerja Mebel 10

41 Dani L 29 SLTP Pekerja Mebel 9

42 Sutrisno L 40 SD Pekerja Mebel 25

43 Agus L 32 SLTP Pengrajin Ukir Mebel 12

44 Mahfud L 35 SD Pekerja Mebel 10

45 Anas L 40 SLTP Pekerja Mebel 10

46 Sodikin L 54 SLTA Pekerja Mebel 30

47 Amin L 40 SD Pekerja Mebel 20

48 Sanimen L 60 SD Pemilik Usaha Mebel 10

49 Indarto L 60 SD Pemilik Usaha Mebel 20

50 Sutejo L 55 SLTA Pemilik Usaha Mebel 10

51 Syadad L 29 S1 Pemilik Usaha Mebel 8

52 Hermanto L 41 SD Pemilik Usaha Mebel 2

53 Hamdi L 40 SD Pemilik Usaha Mebel 7

54 Dahwan L 59 SD Pemilik Usaha Mebel 20

55 Haji Kosim L 51 SLTA Pemilik Usaha Mebel 35

56 Supriyanto L 45 SD Pekerja Mebel 25

57 Tojati L 45 D2 Pemilik Usaha Mebel 10

58 Mastur L 50 SLTA Pemilik Usaha Mebel 15

59 Sutaman L 51 SLTP Pemilik Usaha Mebel 12

60 Suyono L 50 SLTA Pemilik Usaha Mebel 10

61 Suprayitno L 32 SLTA Pemilik Usaha Mebel 8

62 Sudarno L 32 SLTA Pemilik Usaha Mebel 4

63 Khoiruddin L 29 SLTA Pekerja Mebel 4

64 Sutrisno L 41 SD Pekerja Mebel 20

65 Santoso L 37 SD Pekerja Mebel 17

66 Marzuki L 40 SLTP Pekerja Mebel 20

67 Tohiran L 40 SLTP Pekerja Mebel 20

68 Sarijan L 46 SD Pekerja Mebel 27

69 Kartono L 50 SD Pekerja Mebel 25

70 Abdul Hakim L 47 SD Pekerja Mebel 25

71 Tuken L 32 SD Pekerja Mebel 7

57

Lampiran 1 Lanjutan

No Nama Informan

Jenis Kelamin

Umur Pendidikan Pekerjaan Bidang Kerja Lama Kerja (Th)

72 Karmani L 48 SD Pekerja Mebel 25

73 Ali L 25 SD Pekerja Mebel 10

74 Sopi L 27 SLTA Pekerja Mebel 8

75 Nur Ali L 40 SLTA Pemilik Usaha Mebel 4

76 Atun P 32 SD Pekerja Finishing/Amplas 12

77 Siti Khotijah P 29 SD Pekerja Finishing/Amplas 10

78 Khasrini P 35 SD Pekerja Finishing/Amplas 10

79 Syarmini P 29 SD Pekerja Finishing/Amplas 2

80 Ratna P 26 SLTP Pekerja Finishing/Amplas 1

81 Alfifah P 23 SD Pekerja Finishing/Amplas 4

82 Parnah P 43 SD Pekerja Finishing/Amplas 11

83 Siti Mutiah P 36 SD Pekerja Finishing/Amplas 8

84 Sulastri P 28 SLTP Pekerja Finishing/Amplas 4

85 Julfariyah

P 42 Tidak Sekolah Pekerja Finishing/Amplas

20

86 Kaswati P 35 SD Pekerja Finishing/Amplas 5

87 Aini P 20 SD Pekerja Finishing/Amplas 1

88 Drs. H. Masunduri

L 66 S1 Ketua Komisi C DPRD Jepara

14

89 Muktiati P 40 S2 Pengawas Disosnakertrans 17

90 Drs. Mas'ud L 53 S2 Kepala Dinas Dinas Koperasi 26

91 Purwanto L 52 S2 Kepala Bidang Dinas Perindag 22

92 Adi Nugroho

L 50 S2

Kepala Bidang Ekonomi Bappeda

23

93 Lilik Supriyadi L 37 S1 Staf RHL Dinas Kehutanan 6

94 Syamsul Arifin

L 38 S2 Dosen Perguruan Tinggi

19

95 Jamhari L 41 S2 Koordinator FRK FRK 20

96 Anis Eko Hartanto

L 37 D3 Sekretaris Asmindo

8

97 Legiman Arya L Pengurus APKJ

98 Halimah

P 30 S1 Staf Kantor

PT. JES Internasional

5

99 Wawan L 48 S1 Personalia PT. Tipota 18

100 Mawardi L 42 S1 Personalia PT. Kambium 12

101 Fajar

L 36 S1 Staf Kantor

PT. Apa Kabar Furnitur

4

102 Muhammad L 54 SLTA Pengawas Lapang PT. Asri 20

103 Edi

L 42 S1 Manajer Produksi

PT. Eksotika Abadi

18

58

Lampiran 1 Lanjutan

No Nama Informan

Jenis Kelamin

Umur Pendidikan Pekerjaan Bidang Kerja Lama Kerja (Th)

104 Mulyono L 44 S1 Manajer CV. Sohodmi 20

105 Yuli

P 40 D3 Personalia

CV. Puncak Jaya Sejati

12

106 Wijadnoko

L 40 S1 Personalia

PT. Blosom Teak and Garden

18

107 Zety

P 27 S1 Personalia

PT. Raisha House Furnitur

3

108 Lury Wulansari

P 27 SLTA Keuangan

CV. Bryant Furnitur

4

109 Aris Pujiharti

P 38 S1 Personalia

PT. Maxim Indowood

12

110 Widi L 30 SLTA Staf Admin CV. Antiquekhan 7

111 Nina Triwijayanti

P 32 S1 Sekretaris

PT. Cipta Mandiri Furnitur

8

112 Trimaryati P 36 SLTA Staf Admin PT. Marleni 7

113 Margono L Pengurus APKJ

114 Fauzi L Pengurus Asmindo

59

Lampiran 2 Data jenis kecelakaan dan penyakit berdasarkan hasil wawancara

Tempat Kerja

Jenis Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja

Jumlah Kejadian per Tahun

Jumlah Hari Tidak Kerja

TPK (n=7)

Flu 3 15

Demam 3,3,1,1,1,1 15,6,4,2,3,5

Sesak nafas 1 5

Encok 50,1,1 50,2,2

Usus turun 1,1,1,1 5,4,1,5

Kuku kaki lepas 1,2 2

Jari putus/luka 1 20

Terjepit kayu/alat 12,1,1,1,1 12,20,4,5,5

Sawmill (n=5)

Flu 1 2

Demam 1,1 1,5

Encok 1,12 2,12

Demam Berdarah 1 15

Kuku tangan lepas 1 5

Jari putus/luka 1,1,1,1,1 30,20,60,60,20

Terjepit kayu 1,1 3,3

Gangguan pendengaran 1 Masih bisa bekerja

TPK & Sawmill (n=6)

Flu 3, 1,

Demam 4,1,1,1 2,5,1,5

Sesak nafas 1,1, 5,20

Encok 50, 50,

Usus turun 1, 5

Demam Berdasarh 1 20

Kuku tangan lepas 1,1 5,20

Kuku kaki lepas 1,1 5,3

Jari putus/luka 1,1,1 60,20,60

Terjepit kayu 1,1 2,10,

Gangguan pendengaran 1 Masih bisa bekerja Bengkel Kerja Mebel (APKJ n=22; Non APKJ n=35)

Flu 4,4,1,6,3,5,4,6,6,8,24,4,3,4,4

4,4,3,12,12,15,4,12,6,8,24,4,3,12,8

Demam 3,1,1,2,1,1,1,1,2,1,1,1,1,1,3,2,1,1,1,1,3,2,2,1,1

9,1,2,4,1,2,2,2,4,1,2,3,2,1,9,6,1,3,4,2.9,5,5,1,2

Batuk 1,3,2,1,3,1,2,1,1,3,4 2,9,6,5,9,2,6,3,3,6,8 Sesak nafas 1,3,1,1,1 2,6,3,2,3 Paru-paru 1 20 Tifus 1 15 Demam berdarah 1 20 Encok 12,50 12,50 Terkena gergaji 1,1,1,1,1,1,1,1,1,1,1 10,30,20,10,2,20,20,10,2

0,30,10 Terkena pahat/alat 1,1,1,1,1 5,10,10,5,5 Jari putus/luka 1,1,1,1,1 20,20,10,40,20 Lelah/letih 1,1,1,1,1,1,1,1,1,1,1,1,1 1,1,2,2,2,1,1,2,1,1,1,1,1 Gangguan pendengaran 1 Masih bisa bekerja

60

Lampiran 2 Lanjutan

Tempat Kerja

Jenis Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja

Jumlah Kejadian per Tahun

Jumlah Hari Tidak Kerja

Bengkel finishing mebel (APKJ n=6; Non APKJ n=6)

Flu 4,4,6,1,6,4 8,12,6,1,6,8

Batuk 3,4,1 6,8,2

Sesak nafas 1 1

Demam 1,1,1,1,1,1,1,3 3,4,3,1,3,2,2,12

Tifus 1,1 20,20

Lelah/letih 1,1 1,1

61

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1972 dari Bapak H.

Solahuddin (Alm) dan Ibu Hj. Siti Fatimah (Alm). Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Pada tahun 1999 penulis menikah dengan RA. Kushartati Budiningsih dan dikaruniai dua orang anak yaitu Farras Nawwaf Shiddiq dan Farhah Najihah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studi di sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan. Sejak tahun 1998 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai tenaga ahli senior bidang kehutanan di beberapa proyek kerjasama internasional, yakni mulai di Jambi (Proyek Norway), di Kalimantan Selatan dan Tengah (Proyek European Union), di Sumatera Selatan (Proyek European Union dan GTZ Germany), di Kalimantan Tengah dan Papua (Proyek UNODC), dan saat ini di Palembang (Proyek GIZ).

Pada tahun 2001 penulis telah menyusun publikasi proyek terkait Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001-96 khususnya untuk Tinjauan Lingkungan dan Daftar Aspek-aspek lingkungan di HPH PT. Dwimajaya Utama Kalimantan Tengah, dan Audit Lingkungan di HPH PT. Dwimajaya Utama Kalimantan Tengah. Pada tahun 2009, penulis berkesempatan menjadi bagian dari penulis paper dengan judul “Reducing emissions from deforestation and degradation in South Sumatra, Indonesia: a remote sensing supported feasibility study” telah dipresentasikan dalam Internasional Simposium ke 33 ISRE Kongres di Jerman. Pada tahun 2010, penulis menyusun Kerangka Acuan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Lalan, Kabupatem Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, prosiding penanganan kegiatan illegal logging di areal proyek REDD Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dan laporan penelitian tentang identifikasi akses pembalakan liar di hutan alam rawa gambut di KPHP Lalan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Selanjutnya, penulis menyusun dokumen negara untuk penilaian sertifikasi wajib Pengelolaan Hutan Lestari di HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Riau pada tahun 2005 dan di HPH PT. Barito Putera, Kalimantan Tengah pada tahun 2007.

Selama kuliah di sekolah Pascasarjana IPB, pada semester 3 tahun 2011, penulis mendapat kesempatan menjadi peserta program KKN International, yang merupakan program inisiatif Jepang–Indonesia dibawah SUIJI (Six Universities Initiative Japan Indonesia). Penulis mengikuti program short course di Ehime University, Ehime Prefecture Matsuyama City selama tiga bulan dari bulan Oktober–Desember 2011 dengan program kegiatan terdiri atas perkuliahan umum, praktek lapangan dan penguatan kapasitas mahasiswa dalam memahami sosial dan budaya masyarakat di Jepang. Selain itu, penulis adalah koordinator mahasiswa Indonesia untuk program KKN International tersebut, dan inisiator pembentukan Forum Alumni KKN SUIJI. Pada saat ini penulis aktif di proyek kerjasama Pemeirntah Indonesia dan Jerman di Provinsi Sumatera Selatan sebagai Senior Advisor untuk Community Based Forest Management (CBFM) dan Agroforestry.