Upload
doannhu
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
IMPLEMENTASI KAFᾹ ’AH DALAM PERSPEKTIF
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera
di DPW PKS Sulawesi Selatan)
TESIS
OLEH:
AHMAD NUH TAMANG
NIM 11780011
PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
ii
IMPLEMENTASI KAFᾹ ’AH DALAM PERSPEKTIF
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera
di DPW PKS Sulawesi Selatan)
Diajukan untuk mengikuti Ujian Tesis pada
Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhsiyah
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pada Semester Genap tahun Akademik 2013/2014
OLEH:
AHMAD NUH TAMANG
NIM 11780011
Pembimbing:
Dr. H. Fadil Sj. M.Ag. Dr. Hj. Umi Sumbulah, M. Ag
NIP.19651231 199203 1046 NIP. 19710826 199803 2 002
PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Tesis dengan judul ”Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahterah di DPW
PKS Sulawesi Selatan)”. telah diperiksa dan disetujui untuk diuji,
Batu, 20 April 2014
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Fadil Sj,M. Ag Dr. Hj. Umi Sumbulah, M. Ag
NIP. 19651231 199203 1 046 NIP. 19710826 199803 2 002
Mengetahui
Ketua Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Dr. H. Fadil Sj, M. Ag
NIP. 19651231 199203 1 046
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis dengan judul “Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai
Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera
di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, telah diuji dan dipertahankan didepan sidang
dewan penguji pada tanggal 24 April 2014.
Susunan Dewan Penguji Tanda Tangan
1. Dr. Zaenul Mahmudi, MA ( )
NIP. 19730603 199903 1 001 (Ketua)
2. Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, MA ( )
NIP. 0702085701 (Penguji Utama)
3. Dr. H. Fadil Sj, M.Ag ( )
NIP. 19651231 199203 1 046 (Penguji)
4. Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag ( )
NIP. 19710826 199803 2 002 (Sekretaris)
Mengetahui
Direktur PPs,
Prof. Dr. H. Muhaimin, MA
NIP. 19561211 198303 1 005
v
LEMBAR PERNYATAAN
ORIGINALITAS PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahmad.Nuh tamang
Nim : 11780011
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Alamat : Jl.Batara Bira, Kelurahan Pai, Baddoka Mas Blok C No 6
Makassar, Sulawesi Selatan
Judul Penelitian : Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahterah di DPW PKS
Sulawesi Selatan)”
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam hasil penelitian saya ini
tidak terdapat unsur-unsur penjiplakan karya penelitian atau karya ilmiah yang
pernah dilakukan atau dibuat oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip
dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat
unsur-unsur penjiplakan dan ada klaim dari pihak lain, maka saya bersedia untuk
diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa
paksaan dari siapapun.
Batu, 20 April 2014
Hormat saya,
Ahmad.Nuh Tamang
NIM: 11780011
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrohim
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. dimana
atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang dilimpahkan serta dengan
dibekali kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyusun sebuah tesis
dengan judul: “Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan Sejahtera
(PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi
Selatan)”, yang masih jauh dari kesempurnaan dan akan dijadikan persyaratan
untuk memperoleh gelar M.Hi (Magister Hukum Islam).
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, shahabat dan para pengikutnya,
yang telah membawa petunjuk kebenaran bagi seluruh umat manusia yaitu Ad-
Dinul Islam dan yang kita harapkan safa‟atnya di dunia dan di akhirat.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
membantu dalam pelaksanaan tugas akhir ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, dan para Pembantu Rektor.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A selaku Direktur Program Pascasarjana
UIN Maliki Malang, dan para Asisten Direktur atas segala layanan dan
fasilitas yang telah diberikan selama penulis menempuh studi.
3. Bapak Dr. H. Fadil, M.Ag selaku Ketua Program Studi al-Ahwal al-
Syakhsiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
4. Bapak Dr. H. Fadil, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing I, atas bimbingan,
saran, kritik, dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.
5. Ibu Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing II,. atas
bimbingan, saran, kritik, dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.
vii
6. Dosen penguji, baik penguji proposal maupun tesis yang telah memberikan
saran, kritik, masukan serta koreksi.
7. Semua Dosen dan staf TU program PascasarjanaUIN Maliki Malang yang
tidak mungkin disebutkan satu persatuyang telah banyak memberikan
wawasan keilmuan dan kemudahan-kemudahan selama menyelesaikan
program studi. Semoga Allah SWT melipat gandakan amal kebaikan kepada
beliau, Amin.
8. Kepada kedua Orang tuaku tercinta H. Muhammad Tamang dan Hj. Asni
Mappeare serta Kakak-kakakku yang senantiasa memberikan lautan kasih
sayang, motifasi dan do‟a dalam proses perjalanan studi ini. Semoga eksistensi
penulis sebagai anak shaleh dan Qurrata A‟yun dapat menjadi investasi amal
jariyah buat beliau didunia dan diakhirat. Aamiin Ya Rabbal „alamiin.
9. Istri tercinta Asmah Yetie.S.Kp Ns, yang senantiasa selalu memberi motivasi
dan doa‟nya dalam proses perjalanan studi ini.
10. Para elit Partai Keadilan Sejahtera DPW Sulawesi Selatan seperti : Bapak
Muh. Taslim,Amd, Bapak R. Irwan Waji, Bapak Jumadil Muhammad,.Ss, Ibu
Susy Smita.P, ST, Ibu Dwi Susilarsih, S.S, Ibu Ir. Ida Royani Rahim, S.Pdi
dan Ibu Linda, SPt yang telah bersedia diwawancarai oleh penulis, semoga
Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang lebih besar,
amin.
11. Para dewan asatidzah Ponpes Daruttauhid Malang, khususnya kepada guru
kami al-ustadz Toha Abdullah Abdun, al-ustadz Husein Abdullah Abdun dan
al-ustadz Sholeh Abdullah Abdun, , yang senantiasa selalu memberi motivasi
viii
dan doa‟nya dalam proses perjalanan studi ini.
12. Seluruh kawan seperjuanganku di Sekolah Pascasarjana Program al-Akhwal
al-Syakhsiyah UIN Maliki Malang angkatan 2011, terikasih atas kebersamaan
dan motivasi kalian semua.
13. Kepada semuanya yang telah membantu penulisan tesis ini yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan bantuan yang telah
mereka berikan selama penulisan ini berlangsung. Apabila terdapat
kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan tesis ini mohon dimaafkan.
Semoga tesis ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca
serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua.
Aamiin.
Penulis menyadari sepenuh dan seteguh hati bahwa penyelesaian tugas
akhir ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan kemampuan,
pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat
mengharap kritik dan saran rekonstruksi dari semua kalangan dan pihak untuk
kematangan dimasa yang akan datang.
Batu, 20 April 2014
Hormat saya,
Ahmad Nuh Tamang,Lc
ix
ABSTRAK
Tamang, Ahmad, Nuh,. 2014.“Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai
Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan
Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, Tesis. Prodi Studi Al-Ahwal
Al-Syakhsyiyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang. Dosen pembimbing: (1) Dr. H.Fadil Sj. (II) Dr.Hj. Umi Sumbulah
M. Ag.
Kata Kunci : Kafā‟ah, PKS, Implementasi
Kafā`ah merupakan Salah satu pertimbangan yang dianjurkan agama
Islam ketika hendak melangsungkan perkawinan. Kafā`ah sendiri dalam
perkawinan, merupakan “faktor lain” yang tidak digolongkan sebagai rukun
perkawinan, yang turut menunjang terciptanya kebahagiaan pasangan suami istri
dan menjamin perempuan dari kegagalan dalam berumah tangga. Pada praktiknya,
dalam suatu komunitas tertentu, kafā`ah sering kali diidentikkan dengan
penggolongan atau pengelompokan atas suatu komunitas esklusif. Dalam pra-riset
penelitian ini, peneliti mendapati sebuah fenomena bahwa para elit Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan perhatian secara penuh
terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh dengan sesama kader partai
mereka. Terkait perkawinan di kalangan kader PKS di Sulawesi selatan yang
memiliki kecenderungan menikah sesama kader.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan elit PKS di DPW
Sulsel tentang makna kafa‟ah dan bagaimana penerapannya di kalangan kader inti
partai tersebut. Jenis Penelitian ini adalah field research dengan pendekatan
kualitatif. pengumpulan data memakai metode wawancara dan dokumentasi.
Analisis dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pandangan sekufu tidaknya
seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada aspek ekonomi
serta latar belakang keluarga dan pemahamannya terhadap tarbiyah. Penerapan
kafa‟ah pada awal berdirinya partai ditandai dengan kecenderungan pernikahan
sesama kader. Pernikahan sesama kader ini tujuannya demi keberlangsungan misi
dakwah, pengokohan organisasi dan langkah awal untuk mencapai masyarakat
islami. Namun, ditemukan pula kader yang menikah dengan non kader PKS.
Tidak masalah jika ada kader menikah dengan non kader, asal tidak menghalangi
pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Kedua, Pernikahan sesama
kader membawa dampak positif berupa kesolidan khususnya di level kekuatan
mesin politik PKS sehingga membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada,
sedangkan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada
pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS.
x
مستخلص البحث دراسات وجهات نظر كبار , تطبيق الكفاءة يف منظور حزب العدالة والرفاىية , 2014,نوح, أمحد, متانج
, ث لليي ببعبة ااحوال البخخية . مسؤويل حزب العدالة و الرفاىية يف رللس إدارة احمللية بسلويسي جنوبيةالدكتور احلاج : ادلبرف ااول , كلية الدراسات العليا جبامعة موالنا مالك إبراىيم اإلسالمية احلكومية مبالنج
. ادلاجسترية, الدكتورة احلاجة أمي سنبلة: و ادلبرفة الثانية .ادلاجستري,فاضل
التطبيق, حزب العدالة و الرفاىية, الكفاءة: الكلمات الرئيسية وليست " امال آخرا"و من ادلعلوم أهنا تعترب , الكفاءة من النظريات ادلهلة يف تأسيس الزواج اإلسالمي
وجتلب سعادة الزوجني يف احلياة الزوجية وتضلن لللرأة من الفبل يف احلياة . لدة أو ركنا يف قد الزواج تدخل ادة يف ضلن ااتلق ادلنحخر .الزوجية حخل الباحث ابل . ويف الوااق اليومي أن الكفاءة يف رلتلق معني
البحث الظواىر بأن كبار مسؤويل حزب العدالة و الرفاىية يف سلويسي جنوبية أ طوا إىتلاما كامال ا ضائهم يف يف ىذه القضية حخلت بينهم اإلجتاىات يف تفضيل الزواج بعضهم . اختيار الزوج أو الزوجة من ضلن أ ضائهم
. بعضااذلدف يف ىذا البحث معرفة وجهات نظر كبار مسؤويل حزب العدالة و الرفاىية يف سالويسي جنوبية
إن ادلنهج ادلستخدم يف ىذا البحث ىو دراسة ميدانية مق . ن معع الكفاءة وكيفية تطبيقها بني أ ضاء احلزب واد متت التحاليل . كان أسلوب مجق البيانات يف ىذا البحث ادلقابالت اغراض البحث والوثائق. هنج نو ي
. باستخدام التخويري النو يةوجهات النظر ن كفءىم يف الزواج ينظر اليها من جانب الديين , ااوىل: النتائج من ىذا البحث ىي
تطبيق الكفاءة يف بداية تأسيس احلزب . وكذالك من اجلوانب االاتخادية و ظروف ائلية وفهلهم ن الرتبيةىدف الزواج فيلا بني أ ضاء احلزب ىى استدامة مهلة .يفضلون الزواج فيلا بينهم حىت إ تاد بينهم ىذا التطبيق
ولكن وجد بعض أ ضائهم متزوج مق غري . الد وي وتقوية ادلنظلة و اخلطوة ااوىل لتحقيق ااتلق اإلسالميأما اضية زواج أ ضاء احلزب مق غري أ ضائهم فال إشكال فيو ببرط دم منق زوجتو مباركة أنبطة . أ ضائهم
زواج أ ضاء احلزب بعضهم بعضا يؤثر تأثري اإلجيايب يف صالبة : الثانية. الد وية يف حزب العدالة و الرفاىية , ادلنظلة احلزبية وخخوصا لى مستوى اوة احملرك السياسية احلزبية مما يسا د لى الفوز يف االنتخابات احمللية
بينلا الزواج بغري ضو يسا د يف بيان ادلعلومات اخلاطئة ادلتعلقة زب العدالة و الرفاىية إىل أزواجهم الذين ليسوا . من ضلن أ ضائهم
xi
ABSTRACT
Tamang, Ahmad, Nuh. 2014. Implementation of Kafā'ah in Perspective
Prosperous Justice Party (PKS) (Study of Views of the Prosperous Justice
Party (PKS) Elites in DPW of PKS at South Sulawesi) Thesis. Prodi Study
of Al-Al-Syakhsyiyah ahwal State Islamic University Graduate School
(UIN) Malang. Supervisor: Dr.. H.Fadil Sj and Dr.Hj. Umi Sumbulah
M.Ag
Keywords: Kafaah, PKS, Implementation
Kafā`ah is one of consideration that Islam encouraged when they wanted
to establish a marriage. Kafa `ah in a marriage, is the "other factors" that are not
part of an essential principle of marriage, which contributed to the creation of
happiness of the couple and ensure women of failure in marriage. In practice, in
the community, Kafa `ah is often identified by the classification or grouping of the
exclusive community. In the pre-research of this study, researcher has founded a
phenomenon that elites Prosperous Justice Party (PKS) South Sulawesi gives
attention to their cadres to choose a mate in the fellow party cadres. Related the
marriage among PKS cadres in South Sulawesi who have a tendency to marry
fellow cadres.
The object of this study is determine the views of the elite of PKS in South
Sulawesi about the meaning pf kafa‟ah and how it is applied in the core of the
party cadres. This study is a type of field research with qualitative approach. The
collection of dates is interviews method and documentation method. The analysis
was done by using descriptive qualitative.
The results show that first, the equivalent view of whether someone other
than the views of the religious aspect also refers to family background and his
understanding tarbiyah. Application of kafa'ah at the beginning of the wedding
party is characterized by a tendency among cadres. Gay marriage is the goal cadre
proselytizing mission for the continuation, strengthening the organization and the
first step to achieving an Islamic society. However, it was also found that cadres
who married non PKS cadres. It does not matter if there are married to non-cadre
cadre, the condition does not preclude their partners participate in the
proselytizing activities of PKS. Second, cadres Gay marriage a positive impact on
the level of force solidity particular political machine that helped PKS award-
winning in the elections, while the non-cadre explains to his partner make their
surrogate information that is not true concerning about PKS.
xii
MOTTO
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21)
xiii
PERSEMBAHAN
Tesis ini khusus penulis dedikasikan kepada:
Ayahanda:
H.Muhammad Tamang
&
Ibunda:
Hj. Asni Mappeare
Semoga Allah SWT menjadikan penulisan tesis ini menjadi amal jariyah bagi
Penulis dan semua kebaikannya penulis persembahkan untuk mereka berdua.
Guru Kami :
Al-Magfūr lahu Murabbi Rūhina al-Mukarram
al-Ustadz Abdullah Awad Abdun
xiv
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................ i
Halaman Judul .................................................................................................... ii
Lembar Persetujuan ........................................................................................... iii
Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv
Lembar Pernyataan ........................................................................................... v
Kata Pengantar .................................................................................................. vi
Abstrak ............................................................................................................... ix
Motto .................................................................................................................... xii
Persembahan ...................................................................................................... xii
Daftar Isi .............................................................................................................. xiv
Transliterasi ......................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Konteks Penelitian .............................................................................. 1
B. Fokus Penelitian ................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
E. Originalitas Penelitian ........................................................................... 5
F. Definisi Istilah ...................................................................................... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 12
A. Kafā`ah dalam Hukum Islam .............................................................. 12
1. Makna Kafā’ah dalam Perkawinan Islam ........................................ 12
2. Kedudukan Kafā`ah dalam Perkawinan ........................................... 18
3. Kriteria Kafā`ah perspektif Fuqaha .................................................. 22
4. Orang yang Berhak Menentukan Kafā’ah ....................................... 30
5. Waktu berlakunya Kafā’ah ............................................................... 31
B. Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Terhadap
Konsep Al-Kafā’ah .................................................................................... 33
1. Tinjauan Normatif ........................................................................... 33
2. Tinjauan Historis Kontekstual Al-Kafā’ah ...................................... 36
C. Kontekstualisasi Ajaran Islam PKS : Fiqhul wahyi dan Fiqhul waqi‟ . 41
xv
D. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera ........................................ 45
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 57
A. Lokasi Penelitian ................................................................................. 57
B. Kehadiran Peneliti ............................................................................... 57
C. Jenis Penelitian .................................................................................... 58
D. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 58
E. Data dan Sumber Data ......................................................................... 59
F. Pengumpulan Data ............................................................................... 61
G. Analisis Data ....................................................................................... 62
H. Penegecekan Keabsahan Data .............................................................. 65
BAB IV PAPARAN DATA ............................................................................... 67
A. Setting Penelitian: PKS Sulawesi Selatan ........................................... 67
B. Paparan Data Tentang Makna dan Penerapan Kafā’ah Bagi Kader
PKS ....................................................................................................... 69
1. Makna Kafā`ah Menurut kader Inti PKS Sulsel .............................. 69
2. Penerapan Kafā`ah Bagi Kader PKS Sulsel ................................... 74
BAB V ANALISIS: MEMAHAMI MAKNA DAN PENERAPAN KAFA‟AH
DALAM PERSPEKTIF KADER PKS ................................................................. 89
A. Makna Kafā`ah Menurut Kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Sulsel ................................................................................................... 90
B. Penerapan Kafā`ah Perspektif Kader Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Sulsel ......................................................................................... 97
1. Pernikahan Dengan Kader (se-fikrah) ............................................ 97
2. Pernikahan Dengan Non Kader ...................................................... 101
3. Implikasi Pernikahan Dengan Sesama Kader dan Non Kader ....... 102
BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 105
A. Kesimpulan ............................................................................................ 105
B. RefleksiTeoritis ...................................................................................... 106
C. Rekomendasi Penelitian ......................................................................... 107
xvi
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 109
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Transliterasi
Translit yang digunakan dalam penulisan tesis ini berdasarkan pedoman
sebagai berikut:
Latin Arab Latin Arab
Dl ض Tidak
ditambahkan
ا
Th ط B ب
Dh ظ T ت
Koma menghadap ke
atas
ث Ts ع
Gh غ J ج
F ف H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dz ذ
M م R ر
xviii
N ن Z ز
W و S س
H ه Sy ش
Y ي
Sh ص
B. Vokal, Panjang, dan Diftong
Pada dasarnya, dalam setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan
latin vocal fathah ditulis dengan “a” kasrah dengan “i”, dhammah dengan “u”
sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut:
Vokal (a) panjang = â misal: قال menjadi : qâla
Vokal (i) panjang = î misal: قيل menjadi : qîla
Vokal (u) panjang = û misal: دون menjadi : dûna
Khusus bacaan ya’nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “I”,
melainkan tetap ditulis dengan “iy” supaya mampu menggambarkan ya’ nisbat
diakhirnya. Sama halnya dengan suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah
ditulis dengan “aw” dan “ay, sebagaimana contoh berikut:
Diftong (aw) = و misal = قول menjadi= qawlun
Diftong (ay) = ي misal = خير menjadi = khayrun
xix
C. Ta’Marbuthah
Ta‟ marbuthah ditransliterasikan dengan “t”, jika berada ditengah-tengah
kalimat, namun jika seandainya Ta‟ Marbuthah tersebut berada diakhir kalimat,
maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h”, misalnya لرسالة لللدرسةا
menjadi alrisalat li al-mudarrisah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Perkawinan merupakan langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang
membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam
merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka.
Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang tidak setara,
dikhwatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang
harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan.
Kafā‟ah merupakan salah satu pertimbangan yang dianjurkan agama Islam
ketika hendak melangsungkan perkawinan. Kafā`ah sendiri dalam
perkawinan, merupakan “faktor lain” yang tidak digolongkan sebagai rukun
perkawinan, yang turut menunjang terciptanya kebahagiaan pasangan suami
istri dan menjamin perempuan dari kegagalan dalam berumah tangga.1
Secara konvensional, tidak ada kewajiban secara tekstual pelaksanaan
kafā`ah dalam perkawinan Islam. Kafā‟ah dianjurkan menjelang pelaksanaan
perkawinan, namun tidak menentukan sah dan tidaknya perkawinan. maka
hendaknya pihak suami se-kufu‟ dengan istrinya pada saat dilangsungkannya
akad nikah, selama pihak istri dan walinya tidak bersepakat dalam keharusan
adanya kesetaraan.2
1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 97
2 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Akhwal al-Syaksiyah Fi al-Syariah al-Islamiyah, Ma
a‟ al-Isyarah Ila Muqabiliha Fi al-Syara‟I al-Ukhra, (Bairut : al-Maktabah al-Ilmiyah, 2003),
hlm.106
2
Kesetaraan yang dikandung dalam beberapa literatur diasumsikan
sebagai pertimbangan ideal dalam kelangsungan perkawinan. Hal ini, karena
ketimpangan yang terjadi dalam perkawinan, akan menimbulkan masalah
yang berkelanjutan dan besar kemungkinan menjadi sebuah awal sebuah
perceraian.
Literatur fiqih klasik menentukan standarisasi kafā`ah pada pihak
perempuan. Hal ini berangkat dari pemahaman konvensional yang
mengatakan bahwa status sosial pihak perempuan menjadi standarisasi
kafā`ah disebabkan posisinya sebagai obyek peminangan. Sehingga
memunculkan istilah dalam perkawinan “laki-laki yang tidak sekufu”, (jika
kurang status sosialnya) karena standarisasi kafā`ah terdapat pada
perempuan.3
Pada praktiknya, dalam suatu komunitas tertentu, kafā`ah sering kali
diidentikkan dengan penggolongan atau pengelompokan atas suatu komunitas
esklusif. Dalam pra-riset tesis ini, peneliti mendapati sebuah fenomena bahwa
para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan
perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh
dengan sesama kader partai mereka, sehingga bagi kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan hampir dipastikan tidak melakukan
perkawinan dengan laki-laki maupun perempuan di luar anggotanya. Bahkan
dalam mencari pasangan bagi kader-kadernya, Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) mempunyai biro jodoh yang terstruktur dengan rapi, dimana biro ini
3 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 141.
3
berfungsi menjodohkan antara ikhwān dan akhwāt PKS. Lembaga ini
bernama BKKBS atau Biro Kordinasi Keluarga Bahagia Sejahtera.4
Keterangan di atas, merupakan keterangan secara global. Terdapat fakta
bahwa para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan
memberikan perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam
memilih jodoh dengan sesama kader partai mereka, sehingga bagi kader
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan hampir dipastikan tidak
melakukan perkawinan kecuali diantara mereka ada kesatuan fikrah
(ideologi). Perkawinan se-fikrah ini pada praktiknya, dalam suatu pandangan
sering kali bertentangan dengan konsep egalitarianisme yang mengusung
kesetaraan dalam perkawinan. Prinsip egalitarian merupakan konsep
kesetaraan dalam Islam yang mempunyai landasan dalil yang kuat. Hal ini
dapat dilihat dalam firman-Nya yaitu:
5
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Berbicara mengenai perkawinan di kalangan kader PKS di Sulawesi
Selatan yang memiliki kecenderungan menikah sesama kader, memunculkan
4 Habib Nanang, Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul (UIN Jogjakarta, 2007) 5 QS. Al-Ḥujurāt: 13.
4
beberapa pertanyaan, apakah ikhwān atau akhwāt yang menikah sesama kader
merata dilakukan oleh semua jenjang keanggotaan PKS atau tidak, karena di
satu sisi, di internal kader PKS terdapat jenjang keanggotaan, seperti kader
pendukung, kader inti, ahli, purna dan seterusnya.6 Pertanyaan yang muncul
kemudian bagaimana peran murabbi/ah(Pembina) dalam proses mencarikan
pasangan bagi kader PKS di Sulawesi Selatan. Apakah sebatas
merekomendasikan atau ikut campur seperti halnya orang tua dari kader PKS
yang akan menikah. Dan jika kemudian seorang kader memilih menikah
dengan orang non kader PKS, apakah kader tersebut mendapat semacam
sanksi organisasi atau justru dibiarkan begitu saja.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menentukan
fokus penelitian sebagai berikut:
1. Apa makna kafā`ah bagi kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Sulawesi Selatan ?
2. Bagaimana penerapan kafā`ah bagi kader Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Sulawesi Selatan ?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana lazimnya sebuah karya tulis yang berorientasi terhadap
pengembangan keilmuan maka penelitian ini mempunyai tujuan penelitian,
adapaun penelitian ini adalah sebagai berikut:
6 Djony Edward, Efek Bola Salju PKS, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 19
5
1. Untuk mengetahui makna kafā`ah bagi kader inti Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan .
2. Untuk mengetahui penerapan kafā`ah bagi kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan.
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah
keilmuan serta mampu memberikan pemahaman hal yang baru pada
kader PKS seperti apa implementasi konsep kafā`ah di Dewan
Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Sulawesi Selatan.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refrensi bagi
peneliti-peneliti selanjutnya khusunya tentang konsep kafā`ah.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tersendiri
khususnya pada kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW
Sulawesi Selatan dan simpatisan PKS.
b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kajian
keilmuan bagi akademisi, khusunya bagi mahasiswa Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
E. Originalitas Penelitian
Topik penelitian kafā`ah dalam suatu komunitas keagamaan sudah
banyak yang mengkaji baik dalam bentuk tesis, skripsi maupun yang telah
6
dipublikasi ke dalam jurnal ilmiah, seperti yang peneliti jabarkan di bawah
ini:
1. Faisol Rizal.7 Penelitian yang dilakukan lebih difokuskan terhadap
pandangan kiai pesantren Kab. Jombang terhadap konsep kafā`ah dalam
Islam, serta penerapannya dalam keluarga pesantren Kab. Jombang. Dari
penelitian tersebut disimpulkan adanya dua varian dalam teori kafā`ah
yaitu teori berlandaskan teori pemilihan pasangan dan teori kafā`ah
berlandaskan fikih klasik. Adapun praksis kafā`ah di pesantren terdapat
tiga corak, yaitu kafā`ah berdasar ilmu pengetahuan, kafā`ah berdasar
nasab dan kafā`ah berdasar agama.
2. Putri Paramadina.8 Peneliti menyimpulkan bahwa kafā`ah yang terjadi
pada masyarakat Arab Al-Habsyi adalah suatu prinsip yang sudah
dipegang sejak leluhur mereka. Tinjaun hukum Islam terhadap hal ini
diperbolehkan asalkan merupakan adat („urf) yang tidak bertentangan
dengan kaidah Islam, implikasi yang terjadi dilapangan bahwa apabila
ada yang melanggar prinsip kafā`ah tersebut maka tidak secara langsung
akan mendapatkan sanksi moral dari keluarga sendiri.
3. Zulhamdani.9 Hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan
bahwa Ahmadiyah Qodian memandang kesamaan, kesederjatan tersebut
dalam hal kesamaan aqidah atau kerohanian yaitu kesamaan dalam satu
7 Faisol Rizal. Tesis. 2012. Dengan judul Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga Pesantren (Studi
Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang). Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyah
Progam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 8 Putri Paramadina, Kafa'ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab Al-Habsyi Di Kabupaten
Pemalang (IAIN Walisongo, 2010) 9 Zulhamdani, Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Ahmadiyah Qodian dan Lahore Perspektif
Ulama Syafi‟iyyah. (UIN Jogjakarta, 2010)
7
agama dan golongan (jama'ah). Dasar Hukum kafā`ah dalam hal sama-
sama satu jama'ah Ahmadiyah yaitu persyaratan secara organisatoris
dalam SK No. 009/SK/87, Tanggal 20 Februari 1898. Hak dan
wewenang dalam menentukan kafā`ah dalam perkawinan Ahmadiyah
Qodian adalah wali, perempuan calon pengantin, dan ada wewenang dari
Amir (pemimpin kerohanian) secara organisatoris. Sedangkan Kafā`ah
dalam pandangan Ahmadiyah Lahore hanya agama saja, sedangkan
nasab, pekerjaan dan status sosial hanyalah pelengkap yang sifatnya
kondisional. Hak dan wewenang dalam menentukan kafā`ah bagi
Ahmadiyah lahore adalah hak perempuan dan walinya. Tak lupa Zul
menyarankan, bahwa dalam mencari jodoh itu hendaknya jangan terjebak
oleh fanatisme terhadap suatu golongan saja. Sehingga hal itu akan
menimbulkan kekurangharmonisan ketika berinteraksi sosial di
masyarakat.
4. Sulhani Hermawan.10
Kesimpulan dari kajiannya adalah; prinsip
maslahat dan egalitarian haruslah ada dalam perkawinan. Dalam konteks
kafā`ah, nilai normatif mendukung kafā`ah. Sebaliknya, prinsip
egalitarian justu menolaknya. Simpulan lain berupa persepsi bahwa
kafā`ah merupakan formulasi ulama berdasar waktu dan lokus yang
spesifik. Hal ini menisyaratkan bahwa perubahan sosial juga berpengaruh
terhadap konsepsi kafā`ah. kesimpulan lain mengatakan bahwa kafā`ah
10
Sulhani Hermawan. Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan Prinsip
Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif Dan Historis Kontekstual
Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah (Surakarta; STAIN Surakarta) jurnal ilmiah.
8
dan egalitarianisme merupakan dua hal yang berbeda dalam
penerapannya.
Dilihat dari beberapa penelitian terdahulu, terdapat persamaan antara
penelitian yang dilakukan oleh Faisol Rizal, Putri Paramadina, Zulhamdani
dan Sulhaini Hermawan yaitu fokus penelitian pada hal kafā`ah, dan
mengenai perbedaannya penelitian yang akan peneliti tindak lanjuti yaitu
seputar Implementasi kafā`ah di Kalangan Kader Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di DPW Sulawesi Selatan.
Dari beberapa penelitian terdahulu penulis sistematisasikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 1.1 : Originalitas Penelitian
No Nama dan Judul Penelitian Fokus Penelitian
Hasil Penelitian
1 Faishol Rizal -
Implementasi Kafā`ah
Dalam Keluarga Pesantren
(Studi Penerapan Kafā`ah
Kiai Pesantren Kab.
Jombang)
Pandangan Kiai
pesantren Kab.
Jombang
Terhadap
Konsep Kafa‟ah
Ada dua varian
dalam teori kafā`ah
yaitu teori
berlandaskan teori
pemilihan pasangan
dan teori kafā`ah
berlandaskan fikih
klasik.
2 Putri Paramadina - Kafa'ah
Pada Tradisi Perkawinan
Masyarakat Arab Al-Habsyi
Di Kabupaten Pemalang.
Kafa‟ah pada
Masyarakat
Arab al-Habsyi
di Pemalang
Prinsip Kafa‟ah
merupakan suatu
prinsip yang sudah
dipegang sejak
turun temurun. Jika
ada yang
melanggar prinsip
kafā`ah tersebut
maka tidak secara
langsung akan
mendapatkan
sanksi moral dari
keluarga sendiri.
3 Zulhamdi - Konsep Kafā`ah Kafa‟ah Ahmadiyah Qodian
9
dalam Perkawinan
Ahmadiyah Qodian dan
Lahore Perspektif Ulama
Syafi‟iyyah.
Ahmadiyah
perspektif
Ulama
memandang
kesetaraan dalam
hal kesamaan
aqidah atau
kerohanian yaitu
kesamaan dalam
satu agama dan
golongan (jama'ah).
Sedangkan Kafā`ah
dalam pandangan
Ahmadiyah Lahore
hanya agama saja,
sedangkan nasab,
pekerjaan dan
status sosial
hanyalah pelengkap
yang sifatnya
kondisional.
4 Sulhani Hermawan -
Pertentangan Prinsip
Kemaslahatan Perkawinan
Dengan Prinsip Egalitarian
Dalam Hukum Perkawinan
Islam; Kajian Normatif Dan
Historis Kontekstual
Tentang Konsep Fiqh Al-
Kafā`ah
Kajian
Normatif Dan
Historis
Kontekstual
Tentang
Konsep Fiqh
Al-Kafā`ah
Dalam konteks
kafā`ah, nilai
normatif
mendukung
kafā`ah.
Sebaliknya, prinsip
egalitarian justu
menolaknya.
Simpulan lain
berupa persepsi
bahwa kafā`ah
merupakan
formulasi ulama
berdasar waktu dan
lokus yang spesifik.
Hal ini
menisyaratkan
bahwa perubahan
sosial juga
berpengaruh
terhadap konsepsi
kafā`ah.
5 Ahmad Nuh - Implementasi
Kafa‟ah di Kalangan Kader
Inti di DPW PKS Sulawesi
selatan
Konsep Kafaah
di Kalangan
Kader Inti PKS
Pertama,pandangan
sekufu tidaknya
seseorang selain
dilihat dari aspek
agamanya juga
mengacu pada latar
10
belakang keluarga
dan pemahamannya
terhadap tarbiyah.
Tidak masalah jika
ada kader menikah
dengan non kader,
asal tidak
menghalangi
pasangannya ikut
kegiatan-kegiatan
dakwah di PKS.
Kedua, Pernikahan
sesama kader
membawa dampak
positif berupa
kesolidan
khususnya di level
kekuatan mesin
politik PKS
sehingga membantu
pemenangan-
pemenangan dalam
pilkada, sedangkan
dengan non kader
membuat
binaannya
menjelaskan
kepada
pasangannya
informasi-informasi
yang tidak benar
yang menyangkut
PKS.
11
F. Definisi Istilah
1.Kafā‟ah : Kesamaan derajat (martabat); dapat diartikan dengan setaraf.11
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kata kafā`ah dengan
definisi kesetaraan dalam perkawinan.
2. Kader : Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seseorang bisa disebut kader
apabila rutin mengikuti pengajian pekanan dan aktif dalam
kegiatan-kegiatan PKS, dan terikat oleh sistem kaderisasi.12
3. Murabbi/ah : Pembina atau guru dakwah pada kelompok kecil. Murabbi/ah
melakukan tarbiyah melalui halaqah. Lawan kata murrabi adalah
muttarabbi, yakni anggota halaqah yang dibina oleh para
pembina/murabbi.13
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka.
2005) hlm. 608.Dalam perihal perkawinan , kafā‟ah diartikan dengan keseimbangan dan
kesetaraan. Lihat Ibnu Mandzūr, Lisānul „arab, Jilid V (Dār al-ma‟ārif : Tt) hlm 3892
ومنه الكفاءة يف النكاح وهو أن يكون الزوج مساويا للمرأة يف حسبها و دينها و , النظري واملساوي: الكفؤ .نسبها وبيتها وغري ذالك
12 Ernanto Joko, wawancara, Malang, 25 Maret 2013
13Tim Departemen Kaderisasi PKS, Manejemen Tarbiyah bagi Anggota Pemula (Bandung:
Syamil, 2003).
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kafā’ah Dalam Hukum Islam
1. Makna Kafā`ah dalam perkawinan Islam
Makna kafā`ah menurut etimologi adalah sama (al-mumāṡalah) dan setara
(al-musāwa), dikatakan, si fulan setara dengan si fulan, maksudnya sebanding.
Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw :
و او و د و يو ن و ن و ن و ن و ن و اور او الليو لل و الليو ل نيو لل و:و ن 1 (ر و مح و ود د) ملسل نوتتكفأودم ئه و
“Dari „Amru bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya berkata;
berkata Rasulullah SAW: Darah orang-orang Islam itu setara”(HR.
Aḥmad dan Abū Dāwud)
Maksud hadis ini adalah sebanding, maka darah orang yang rendah
derajatnya sama dengan darah orang yang tinggi derajatnya. Begitupun dalam
firman Allah SWT,
وايوكف و 2ح ملويك ن
“Tidak suatu pun yang sama dengan-Nya”
Maksud dari potongan ayat كفوا diatas adalah, tidak ada bandingannya. Secara
etimologi kafā`ah adalah sama, sesuai dan setara. Sehingga yang dimaksud
dengan kafā‟ah„ dalam perkawinan adalah kesamaan antara calon suami dan
1 Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 7, hlm. 388, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
2 QS. Al-IKhlaṣ : 4
2
calon isteri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama
dalam akhlak dan kekayaan.3
Kafā`ah merupakan salah satu kajian yang disyariatkan atau diatur dalam
perkawinan Islam, akan tetapi tidak ditemukan dalil yang jelas dan spesifik
tentang kafā`ah. Oleh karena itu, kafā`ah menjadi perbincangan mengenai
posisi kafā`ah dan kriterianya dalam perkawinan. Para ulama Imam Madzhab
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian kafā‟ah„ dalam perkawinan.
Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafā‟ah„ yang mereka gunakan.
Menurut ulama Hanafiyah, kafā‟ah„ adalah persamaan laki-laki dengan
perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan
harta.4 Dan menurut ulama Mālikiyyah, kafā‟ah„ adalah persamaan laki-laki
dengan perempuan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh
seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.5
Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah, kafā‟ah„ adalah persamaan suami
dengan isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama,
nasab, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan
seorang perempuan untuk melakukan khiyār terhadap suami. Dan menurut
ulama Hanābilah, kafā‟ah„ adalah persamaan suami dengan isteri dalam nilai
ketakwaan,pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.6 Dalam istilah fuqaha,
kafā`ah dapat diartikan :
ودف ن وال رويفو م نرومنص ةو و از ن ين مل ث لةو ين
3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, (kairo: dār al-Fath, 2000 M), hlm.93-94.
4 Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‟Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah, Juz 4(Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1999), hlm. 53. 5 Al-Jazīri, Kitab Al-Fiqh, hlm 56-57.
6 Wahbah, Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9, h. 6747
3
“Kesetaraan diantara suami- istri yang dapat menghilangkan rasa malu
dalam perkara-perkara yang khusus”.
Maksud dari perkara-perkara yang khusus dalam pengertian diatas
menurut mazhab Maliki, kesetaraan dalam agama dan haal yaitu keselamatan
dari cacat/aib yang membuatnya memiliki pilihan. Menurut mayoritas fuqaha
kesetaraan dalam agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Dan ditambahkan
oleh mazhab hanafiy dan mazhab hambaliy kesetaraan dalam kemakmuran dari
segi harta.7
Kata kufu` atau derivasinya yaitu kafā`ah dalam perkawinan mencakup
pengertian bahwa perempuan mempunyai sifat atau naluri yang sama dengan
laki-laki dalam banyak aspek. Kafā`ah mengandung arti sifat yang ditemui
dalam perempuan, yang sifat tersebut ikut diperhitungkan dalam perkawinan,
haruslah ada pada laki-laki yang mengawininya, karena wanita akan dirugikan
jika menikah dengan laki-laki yang tidak setara dengannya. Berbeda jika laki-
laki yang menikah dengan wanita yang statusnya berada dibawahnya.8
Meskipun masalah keseimbangan itu tidak diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan atau dalam Al-Qur‟an, akan tetapi masalah tersebut sangat penting
untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai
dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu ingin mewujudkan suatu keluarga
yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih sayang sehingga masalah
7 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid VII(Damaskus : Dār al-fikr, 1985), hlm
229. 8 Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi‟i, Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li Al-Muslimin Fi Al-Gharbi.
Beirut; Dar Ibn Hazm. hlm 330
4
keseimbangan dalam perkawinan ini perlu diperhatikan demi mewujudkan
tujuan perkawinan.9
Menurut Wahbah al-Zuhailiy Kafā`ah dianggap penting dalam perkawinan
karena ini menyangkut kelangsungan hidup antara pasangan suami istri. Yaitu
terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan dalam
kehidupan suami-istri sehingga dalam kacamata „urf pihak perempuan dan
walinya tidak dipermalukan dengan pernikahan tersebut.10
Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para fuqaha mengenai hal
kafā`ah, baik dalam bentuk buku, kitab, artikel, dan skripsi. Dalam Fiqh al-
Sunnah al-Sayyid Sābiq, dijelaskan bahwa kufu` dalam pernikahan memang
diperlukan, yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isteri, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat
kekayaan. Dia berpendapat bahwasannya antara laki-laki dan perempuan
sebanding.11
Dari definisi yang telah diterangkan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa kafā‟ah„ merupakan keseimbangan atau kesepadanan antara calon
suami dan isteri dalam hal-hal tertentu, yaitu agama, nasab, pekerjaan, merdeka
dan harta.
Dalam hadis juga disebutkan dalil kafā`ah dalam beberapa kriteria, yang
hendaknya diperhatikan menjelang perkawinan. Hadis tersebut berbunyi:
9 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, Soemiyati dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta:
Liberty, 1982) hlm 4. 10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 229-230. 11
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 94.
5
و انلبدو لل و الليو ل نيو لل و اوت ننكحو اندس ءولرن عوا ل و لسبه و و بوه ي ن ةو ن نوي كو ل و ا ينه وف انف نو ي وت تن و12(ر و ود د) ذ تو ا د
Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: wanita dinikahi karena empat,
yaitu harta,nasab, kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat
kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia. (HR. Abu Dāwud)
Hadis Nabi di atas menjelaskan bahwa terdapat hierarki pemilihan calon
pasangan perempuan ditinjau dari sisi tujuan pokok perkawinan yaitu:
a. Pemilihan istri dari segi kepemilikan harta. Tipikal ini berfungsi
pemenuhan kebutuhan material, yang membantu memecahkan kesulitan
hidup yang bersifat material.
b. Pemilihan istri berdasar pada nasabnya. Nasab merupakan pemilihan
kedua setelah kekayaan dalam hal memilih pasangan. Tipikal ini berguna
bagi seseorang yang mementingkan nasab, juga untuk meraih posisi, baik
untuk kemulyaan atau derajad tertentu.
c. Pemilihan istri berdasarkan kecantikan. Tipikal ini berdasar pada sifat
biologis kecantikan. Hal ini bertujuan untuk menjaga dari penyimpangan
dalam berumah tangga. Kecantikan diasumsikan sebagai faktor yang
memenuhi kebutuhan bersenang-senang, sehingga akan menjaga dari
penyimpangan. Akan tetapi, faktor kecantikan ini bukanlah faktor utama.
Hal ini berdasar hadis Nabi yang berbunyi:
و بن و الليو ن و ن و او اور او الليو لل و الليو ل نيو لل ولوت ز ل و ن ل لو وف س و من ل ل وي ندي ه لو لوت ز ل ه لولمن ن ه لو نن وف س وحسن نه ل اندس ءولسن
12
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 5, hlm. 426, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
6
ي و لمةوخ نم ءو ند ءوذ تودي و وت ز ل ه لو ل و ا د و اك ن وتطنغ ه ل نن13(ر و وم ي). فن و
“Dari Adullah bin Umar berkata: Berkata Rasulullah SAW Janganlah
engkau menikahi perempuan karena kecantikannya, barangkali
kecantikannya menjadi menolak, dan janganlah engkau menikahi
karena hartanya, barangkali hartanya menjadikan ia berlaku curang,
tetapi nikahilah karena agamanya, dan sungguh seorang budak
perempuan yang hitam legam yang beragama baik itu lebih
utama.(HR. Ibnu Mājah)
Pemilihan istri berdasar agamanya. Rasulullah memposisikan tipikal ini
sebagai tipikal utama dalam pemilihan pasangan. Hal ini karena faktor agama
merupakan faktor yang urgen. Faktor keagamaan merupakan faktor yang
unggul dalam pemilihan pasangan, melibihi faktor lainnya. Karena perempuan
yang berkualitas secara keagamaan, meski kurang cantik secara fisik, agama
merupakan hal yang patut dan perlu untuk dipertimbangkan.14
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan
menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara
yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun
Nabi Muhammad SAW sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan
pertimbangan dalam memilih pasangan.
Segolongan ulama ada yang memahami faktor agamalah yang dijadikan
pertimbangan karena didasarkan pada penekanan sabdanya : ”fadzfar bidzāti
13
Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mājah, juz 5, hlm. 457, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28 14
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, judul asli Nidzam Al-
Usrah Fi Al-Islam, alih bahasa Nur Khozin (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 41-48.
7
al-dīn”, segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama
kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan.15
2. Kedudukan Kafā`ah Dalam Perkawinan
Tidak disebutkan secara jelas tentang konsep kafā‟ah„ perkawinan dalam
al-Qur‟an membuat para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu
apakah kafā‟ah„ penting dalam sebuah perkawinan atau tidak.. Dalam
persyaratan kafā`ah dalam perkawinan, fuqaha terbagai dalam dua pendapat :
Pendapat pertama: Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafā‟ah„ tidak penting
dalam sebuah perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan
orang Islam yang lainnya adalah sama (sekufu‟). Semua orang Islam asalkan
dia tidak pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita
muslimah yang tidak pernah berzina.16
Berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-
Hujurat ayat 10 :
و و و17و
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara”.
Begitu juga dengan ats-Tsauri, Hasan al-Bashri, dan al-Khurkhi dari
mazhab Hanafi berpendapat bahwa sesungguhnya kafā`ah bukan suatu syarat.
Bukan syarat sahnya perkawinan serta bukan pula syarat kelaziman. Sehingga
perkawinan sah dan lazim tampa mempedulikan apakah si suami setara dengan
si istri maupun tidak.18
Adapun alasan mereka berdasarkan firman Allah Swt :
15
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid ,Jilid II
(Bairūt: Dār al-Jail, 1989) hlm. 34 16
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 94. 17
Al-hujarat :10 18
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 230.
8
و ووو 19
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu”
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam
hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya
kecuali dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan
penghargaan terhadap darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja.
Jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah
orang jelata, maka hukuman qishash tetap dijalankan. Jika kekufu‟an
diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam
perkawinan seharusnya tidak diterapkan.20
Dalil –dalil diatas terbantahkan, dengan argumen, bahwasanya manusia
sama dalam hak-hak dan kewajiban dan mereka tidak saling lebih utama
kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang berdasarkan nilai
keperibadian yang berlandaskan tradisi dan adat manusia, maka pasti manusia
saling memiliki perbedaan. Ada perbedaan dalam sisi rezeki dan kekayaan.
Sebagaimana firman Allah SWT :
وو و ووو 21
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam
hal rezki”
Adapun alasan mereka bahwa Jika kekufu‟an diterapkan dalam hukum
pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak
19
QS. Al-hujarat: 13 20
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 231. 21
QS an-Nahl: 71.
9
diterapkan, terbantahkan dengan alasan bahwa ini merupakan qias ma‟al faariq
karena kesetaraan dalam qishash dalam persoalan pidana untuk kemaslahatan
manusia dan untuk menghalangi orang yang mempunyai kehormatan berani
membunuh orang yang tidak setara dengannya. Sedangkan kesetaraan dalam
perkawinan untuk mewujudkan kebahagiaan suami istri, dan kemaslahatan
tersebut hanya bisa terwujud dengan disyariatkannya kesetaraan dalam
perkawinan.22
Pendapat kedua23
, yaitu pendapat mayoritas para Fuqaha, termasuk
diantara mereka adalah empat Imam mazhab, bahwa kafā`ah merupakan syarat
keladziman dalam sebuah perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan,24
Adapun dalil yang mereka pakai sebagai pijakan argument adalah :
1. Hadis rasulullah saw :
و و ن و بوط ا و نلور او الليو لل و الليو ل نيو لل و اوايوي و لي و ليد نو اصالةو ذ و تتن و ن زةو:وثالثولوتؤخ وه و لميو ذ و تن ذ وح تن
25(ر و ارتمذي)كفؤ
Dari „Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Rasulullah berkata kepadanya
:“wahai „Ali tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan; shalat jika
telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang, dan perempuan yang
belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya.”(riwayat
Tirmīdzi)
22
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 231-232. 23
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 232-233. 24
Maksud dari “syarat keladziman dalam sebuah perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan”
adalah nikah sah apabila tidak terdapat kafa‟ ah diantara keduanya, akan tetapi pihak yang
mempunyai wewenang dalam penentuan kafa‟ah mempunyai hak untuk menolak akad dan
meminta faskh, lihat Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi‟i, lihat Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li
Al-Muslimin Fi Al-Gharbi. hlm 332 25
Muhammad Bin „īsa, Sunan Tirmidzi, juz 4, hlm. 244, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
10
2. Pijakan argumen yang lain adalah dalil ma‟qul atau rasio. mereka
berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga sepasang suami isteri akan
bahagia dan harmonis jika ada kekufu‟an antara keduanya. kafā‟ah
diukur dari pihak perempuan bukan dari pihak laki-laki, karena biasanya
pihak perempuan yang mempunyai derajat tinggi akan merasa terhina
bila menikah dengan laki-laki yang berderajat rendah. Berbeda dengan
laki-laki, ia tidak akan merasa hina bila ia menikah dengan perempuan
yan berderajat rendah darinya.26
Apabila seorang perempuan yang berderajat tinggi menikah
dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya, berdasarkan adat
kebiasaan, si isteri akan merasa malu dan hina dan si suami seharusnya
menjadi kepala rumah tangga yang dihormati akan menjadi rendah dan
merasa kurang pantas berdiri sejajar dengan si isteri, dan pada akhirnya,
keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga yang merupakan tujuan
utama perkawinan tidak akan tercapai.27
Dikalangan ulama Hanafiyah terdapat perbedaan pendapat tentang
kedudukan kafā‟ah dalam perkawinan. Mereka mengatakan bahwa
kafā‟ah merupakan syarat lazim (kelangsungan) sebuah perkawinan.
Tetapi menurut ulama Hanafiyah muta‟akhirin, kafā‟ah menjadi syarat
sah perkawinan dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu :
a. Apabila seorang perempuan baligh berakal menikahkan dirinya sendiri
dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu‟ atau dalam perkawinan itu
26
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 233. 27
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 233.
11
terdapat unsur penipuan, maka dalam hal ini wali dari kelompok
ashabah seperti ayah dan kakek berhak untuk tidak menyetujui
perkawinan sebelum terjadinya akad.
b. Apabila seorang wanita yang tidak cakap bertindak hukum, seperti
anak kecil atau orang gila, dinikahkan oleh walinya selain ayah atau
kakek dengan orang yang tidak sekufu‟, maka aperkawinan itu fasiq
karena tugas wali terkait dengan kemaslahatan anak perempuan
tersebut, menikahkan anak perempuan itu dengan orang yang tidak
sekufu‟ dipandang tidak mengundang kemaslahatan sama sekali.
c. Apabila seorang ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu
buruk, menikahkan anak perempuan yang belum atau tidak cakap
bertindak hukum dengan seorang yang tidak sekufu‟ maka
pernikahannya menjadi batal.28
3. Kriteria Kafā`ah Perspektif Fuqaha’
1. Agama
Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama mempunyai perspektif
tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang dari perbuatan
keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-hukum agama. Agama
dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketidakfasikan. Dalam hal ini ulama
sepakat bahwa seorang laki-laki yang fasiq tidak sekufu‟ dengan perempuan
yang shalihah. Rasulullah SAW. bersabda :
28
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 235.
12
و ان زندو او و بوح ت و اور او الليو لل و الليو ل نيو لل و: ن وم ن و ذ و ءك نرنضو فس دو ا وي ور او نةويفو لن وفت ن ل وتك ن وت فن ت نض ننودينيو خلقيوفأننكح و لل
وت نض ننودينيو خلقيوفأننكح وثالثوم ل تو وم ن وك نوف يو او ذ و ءك ن .و الليو ننو29(ر و ارتم ذي)
”Dari Abu Hātim al-Muzani berkata; berkata Rasulullah SAW:Jika
datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka
kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian aka terjadi fitnah dan
kerusakan di atas bumi”, sahabatnya bertanya, ”ya Rasulullah, apabila di
atas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan ?” jawab beliau, ”Jika dating
kepada kamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, hendaknya
kawinkan ia” (Jawaban Rasulullah ini diulang sebanyak 3 kali)”.(HR.
Tirmīdzi)
Hadits di atas ditujukan kepada para wali agar mengawinkan perempuan-
perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak.
Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur,
tetapi memilih laki-laki yang berkedudukan tinggi atau keturunan mulia atau
yang berharta, maka dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan bagi
perempuan tersebut dan walinya. Dalam Al-Qur‟an surat As-Sajdah ayat 18,
Allah swt berfirman :
و و و وو ووو
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik?
mereka tidak sama”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang shaleh sama
(sekufu‟) dengan muslimah shalihah. Dan seorang muslim yang shaleh tidak
29
Tirmidzi, Al-Jami‟ As-Sahih Juz 3, h. 395
13
sama (sekufu‟) dengan seorang yang fasiq. Selanjutnya dalam Al-Qur‟an surat
al-Hujurat ayat 13 :
…..و و ووووو.……و“…..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.
Dari ayat al-Qur‟an di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan
manusia itu sama di hadapan Allah, yang satu dengan yang lain tidak ada
bedanya, sama-sama terbuat dari air mani. Kemudian Rasulullah susul ajaran
persamaan manusia itu dengan perintahnya kepada Abu Huzaifah untuk
menikahkan Salim dengan anak perempuan saudaranya yang bernama
Hindun binti Al-Walīd bin Utbah bin Rabi‟ah (bangsawan). Padahal Sālim itu
adalah hamba sahaya. Sudah dikemukakan lebih dahulu sebuah hadis : yang
artinya ”(wajiblah kamu memilih perempuan yang beragama).
2. Nasab
Jumhur ulama (Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Hanābilah) selain Mālikiyyah
berpendapat bahwa nasab merupakan salah satu hal yang paling penting dan
masuk dalam kafā‟ah, karena ada beberapa alasan mendasar yang
mengilhami mereka, seperti banyaknya orang Islam, khususnya orang muslim
arab yang sangat fanatik dalam menjaga keturunan dan golongan mereka.
Alasan mereka memasukkan nasab dalam kafā‟ah„ berdasarkan hadits Nabi
SAW. :
14
و ا بو اور او هللو ل و هللو ل يو لل :و و و ورضيو هللو نه و اف ءو ه و و ب و قب و ر و و مل يلو كف ءو ه و و ب و قب ن و كن
و30(ر و اب هقي). ر و و لوح ئكو وحجل م
”Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma berkata; berkata Rasulullah
Orang arab satu dengan lainnya sekufu‟. Satu kabilah sekufu‟ dengan
kabilah yang sama, satu kelompok sekufu‟ dengan kampung yag sama,
antara sesama laki-laki diantara sekufu‟ kecuali tukang jahit atau
bekam”. (HR. Al-Baihaqi).
Maksud dari hadits di atas adalah bahwa orang arab sepadan dengan orang
arab, orang arab tidak sekufu‟ dengan selain orang arab, kabilah yang satu
sekufu‟ dengan kabilahnya, bekas budak sekufu‟ dengan bekas budak. Jadi
seseorang yang dianggap sekufu‟ jika ia dari golongan yang sama.
Menurut ulama Hanafiyah, nasab (keturunan) dalam kafā‟ah hanya
dikhususkan pada orang-orang arab. Dengan demikian suami dengan isteri
harus sama kabilahnya. Jika seorang suami dari bangsa Quraisy, maka
nasabnya sebanding dengan perempuan yang berasal dari bangsa Quraisy.
Dari sini diketahui bahwa laki-laki selain bangsa arab tidak sebanding
dengan perempuan Quraisy dan perempuan arab. Orang arab yang bukan dari
kabilah Quraisy tidak sebanding dengan perempuan Quraisy. Adapun
menurut ulama Syafi‟iyah, orang arab sebanding dengan Quraisy lainnya
kecuali dari Bani Hasyim dan Muthalib karena tidak ada orang Quraisy yang
sebanding dengan mereka (Bani Hasyim dan Bani Muthalib). Dan yang
menjadi pertimbangan dalam hal nasab adalah bapak. Sedangkan ulama
30
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, juz 7, hlm. 134, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28
15
Hanafiyah berpendapat bahwa golongan Quraisy sebanding dengan Bani
Hasyim. Golongan Mālikiyyah berpendapat seperti yang dijelaskan dalam
kitab ”Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu” bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan
antara satu golongan dengan dengan golongan yang lain, bagi orang arab
maupun non-arab yang terpenting bagi golongan Mālikiyyah adalah
keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap Allah SWT.31
3. Merdeka
Yang dimaksud merdeka di sini adalah bukan budak (hamba sahaya).
Jumhur ulama selain Mālikiyyah memasukkan merdeka dalam kafā‟ah
berdasarkan Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 75 :
وو و و ووو و و و و و و و
وو وو وو و و32و“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang
yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan
sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
Adakah mereka itu sama?”
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh tuannya dan
dia tidak dapat melakukan sesuatu pun termasuk menafkahkan hartanya
sesuai dengan keinginannya kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang
merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa
menunggu perintah dari siapapun. Jadi, budak laki-laki tidak sekufu‟ dengan
31
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 243.; M. Baqir al-Hasbi, Fiqih Praktis,(Bandung: Mizan, 2005)
hlm. 49-50 32
QS:an-Nahl ayat 75
16
perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu‟
dengan perempuan yang merdeka sejak asalnya.33
Menurut mayoritas fuqaha yang terdiri dari Mazhab Hanafi, syafi‟i dan
Hambali, seorang budak walaupun status kemerdekaannya setengah tidak
sebanding dengan perempuan yang merdeka, meskipun dia adalah bekas
budak yang telah dimerdekakan, karena dia memiliki kekurangan akibat
perbudakan. Adapun mazhab Maliki tidak mensyaratkan kemerdekaan dalam
kafā‟ah.34
4. Harta
Yang dimaksud dengan harta adalah kemampuan seseorang (calon suami)
untuk memberikan mahar dan nafkah kepada isterinya. Menurut ulama
Hanafiyah dan Hanābilah, harta merupakan hal yang penting dalam
kehidupan rumah tangga sehingga harta dianggap penting untuk dimasukkan
dalam kriteria kafā‟ah„. Berdasarkan hadits Nabi SAW. :
و يو او اور او الليو لل و الليو ل نيو لل وو ن ن و و ين ةو ن و ا س بو هن و نلو حنهب نو ا نيوهذ و ان او و35(ر و مج ) . الذيويذن
”Dari Buraīdah dari ayahnya berkata: berkata Rasulullah SAW
Sesungguhnya kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang
mempunyai harta”. (HR. Ahmad).
Ulama Hanafiyah dan Hanābilah mengatakan bahwa yang dianggap
sekufu‟ adalah apabila seorang laki-laki sanggup membayar mahar dan nafkah
33
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 97. 34
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 242-243. 35
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, h. 423
17
kepada isterinya. Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau
salah satu diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu‟.36
Menurut Abu Yusuf (salah satu sahabat Abu Hanīfah) yang dianggap
sekufu‟ dalam harta adalah kesanggupan memberi nafkah bukan membayar
mahar. Sebab ukuran yang mudah dilakukan dan kemampuan seseorang
untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat dari keadaan bapaknya.37
Adapun ulama Mālikiyyah dan sebagian ulama Syafi‟iyah menentang
penggolongan harta dalam kriteria kafā‟ah„. Menurut mereka harta
merupakan sesuatu yang bisa hilang. Menurut Wahbah al-Zuhailiy pendapat
inilah yang paling benar dengan alasan bahwa, memasukkan harta dalam
ukuran kafā‟ah„ sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam untuk
tidak berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi SAW.38
5. Pekerjaan
Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah adanya mata pencaharian yang
dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga.39
Jumhur ulama
selain Mālikiyyah sepakat memasukkan pekerjaan dalam perangkat kafā‟ah
berdasarkan hadits Nabi SAW :
و ا بو اور او هللو ل و هللو ل يو لل :و و و ورضيو هللو نه و اف ءو ه و و ب و قب و ر و و مل يلو كف ءو ه و و ب و قب ن و كن
و40(ر و اب هقي). ر و و لوح ئكو وحجل م
36
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246. 37
H. M. Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, h. 79 38
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246. 39
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. 846 40
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, juz 7, hlm. 134, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28
18
”Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma berkata; berkata Rasulullah
Orang arab satu dengan lainnya sekufu‟. Satu kabilah sekufu‟ dengan
kabilah yang sama, satu kelompok sekufu‟ dengan kampung yag sama,
antara sesama laki-laki diantara sekufu‟ kecuali tukang jahit atau
bekam””. (HR. Al-Baihaqiy).
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai pekerjaan
terhormat sekufu‟ dengan orang yang mempunyai pekerjaan terhormat juga.
Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat tidak
sekufu‟ dengan seseorang yang pekerjaannya tukang bekam.
Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati
pekerjaan keluarga keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah,
penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga
perempuan sesuai dengan adat yang berlaku. Apabila menjahit menurut adat
lebih tinggi derajatnya dibanding menenun, maka penjahit itu tidak sebanding
dengan anak penenun, maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak
penenun. Menanggapi permasalahan ini golongan Mālikiyyah berpendapat
tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai
dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Mālikiyyah tidak
dimasukkan dalam kriteria kafā‟ah.41
Menurut Wahbah al-Zuhaily yang dijadikan landasan untuk
mengklasifikasikan yang dimaksud pekerjaan dalam hal ini adalah tradisi.
Nilai sebuah pekerjaan akan berbeda dengan berbeda tempat dan waktu. Bisa
jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu waktu akan tetapi bisa menjadi
41
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246-247.
19
mulia di waktu yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi dipandang
hina disebuah negeri dan dipandang tinggi dinegeri yang lain.42
6. Seimbang dari segi fisik atau tidak cacat
Murid-murid Syafi‟i dari riwayatnya Ibnu Nasir dari Mālik bahkan salah
satu syarat kufu‟ ini adalah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai
cacat jasmani yang menyolok itu tidak sekufu‟ dengan perempuan sehat dan
normal. Jika cacatnya pandangan lahiriyah, seperti buta, laki-laki yang seperti
ini tidak sekufu‟ dengan perempuan sehat, tetapi kurang disukai menurut
pandangan lahiriah, seperti buta, tangan buntung atau perawakannya jelek.
Dalam hal ini ada dua pendapat. Rauyāni berpendapat bahwa lelaki seperti ini
tidak kufu‟ dengan perempuan sehat, tetapi golongan Hanafi dan Hanbali
tidak menerima pendapat ini. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-mugnhi
berpendapat bahwa terhindar dari cacat tidak termasuk dalam syarat kufu‟,
tidak seorangpun menyalahi pendapat ini, yaitu kawinnya orang yang cacat
itu tidak batal. Akan tetapi hak pilihan (khiyār) terdapat pada istri bukan pada
walinya, yaitu hak untuk tidak membatalkan pernikahannya, karena kerugian
menyangkut akan dirinya. Wali boleh mencegah perkawinan apabila anak
gadisnya kawin dengan laki-laki yang berpenyakit kusta, gila, selain cacat-
cacat tersebut tidak dianggap sebagai ukuran kafā‟ah .43
4. Orang Yang Berhak Menentukan Kafā’ah
Para fuqaha sepakat bahwa yang berhak menentukan kafā‟ah adalah
seorang perempuan dan walinya, karena menurut mereka seorang perempuan
42
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247. 43
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99.; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.
20
dan walinya biasanya akan merasa terhina bila menikah dengan laki-laki yang
tidak sekufu‟. Sedangkan laki-laki yang terpandang tidak akan merasa terhina
bila menikah dengan perempuan yang status sosialnya lebih rendah darinya.
Dalam menentukan kafā‟ah„, antara wali dengan anak perempuan yang
akan menikah mempunyai hak yang sama. Apabila seorang wali mengawinkan
anaknya anak perempuan tersebut menganggap calon suaminya tidak sekufu‟
dengannya. Maka ia boleh mengajukan fasakh nikah. Begitu juga sebaliknya,
jika seorang anak perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu‟ dan
walinya tidak merestui, maka wali boleh mengajukan fasakh nikah.
Golongan Mālikiyyah berpendapat bahwa wali dapat merusak perkawinan
anak perempuannya selama belum didukhul(digauli) oleh suaminya. Jika antara
keduanya telah melakukan hubungan badan. Maka pernikahan tersebut tidak
dapat fasahk. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah, pernikahan
itu dapat difasahk sebelum anak perempuan itu hamil atau melahirkan.44
5. Waktu Berlakunya Kafā’ah
Waktu yang ditetapkan untuk menentukan apakah calon-calon mempelai
telah sekufu‟ atau belum, itu letaknya pada waktu akan dilaksanakan akad
nikah. Berlakunya kafā‟ah yaitu dinilai pada waktu terjadinya akad. Apabila
keduanya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad
karena syarat akan diteliti pada waktu akad. Sehingga tidak disyariatkan
keberlangsungan kesetaraan setalah akad, karena mempertahankan krateria-
krateria kafā‟ah dalam diri suami setelah akad sesuatu yang susah diwujudkan.
44
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99
21
Oleh karena itu ketika terwujud kesetaraan dalam perkawinan pada saat akad,
kemudian kreteria-kreteria kafā‟ah tidak terdapat dalam diri suami kecuali
Islam maka prkawinan keduanya tidak di fasakh.45
Oleh sebab itu apabila seseorang pada waktu akad mempunyai
pencaharian yang terhormat, mampu memberi nafkah atau orangnya sholeh,
kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasiq
terhadap perintah Allah SWT dan semuanya itu terjadi setelah dilangsungkan
perkawinan, maka akadnya tetap berlaku.
Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah
dilangsungkan pernikahan, maka hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam
menentukan kafā‟ah„ menyatakan pendapatnya tentang kedua mempelai pada
saat akad nikah. Dan sebaliknya persetujuan tentang kafā‟ah ini dicatat oleh
pihak-pihak yang berhak sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti
seandainya ada pihak yang akan menggugat di kemudian hari. Hal semacam ini
mengandung hikmah supaya perkawinan yang dilangsungkan itu betul-betul
diteliti terlebih dahulu dan seorang yang akan mau menikah harus mempunyai
niat yang sungguh-sungguh agar tidak ada penyesalan dalam pernikahan.
Dalam Fiqh al-Sunnah Sayyid Sābiq menjelaskan bahwa kufu‟ diukur
ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-
kekurangan, hal itu tidaklah mengganggu dan tidak dapat membatalkan
sedikitpun apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad
nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan
45
Muhammad Muhyiddin abdul Hamid, al-Akhwal al-Syaksiyah Fi al-Syariah al-Islamiyah, Ma
a‟ al-Isyarah Ila Muqabiliha Fi al-Syara‟I al-Ukhra, al-Maktabah al-Ilmiyah, Bairut, tt. hlm 106.
22
terhormat dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia seorang yang salah,
tetapi di kemudian hari ada perubahan, misalnya pekerjaannya kasar, atau tidak
mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada
Allah, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya. Memang masa itu
berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaannya dalam satu
sifat saja. Karena itulah istri harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan
bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertakwa kepada Allah merupakan
watak orang-orang yang besar.46
B. Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Terhadap
Konsep al-Kafā’ah
1. Tinjauan Normatif
Berdasarkan kategorisasi kemaslahatan yang bersifat ashliyyah dan
tabi‟ah, pensyariatan kafā‟ah digunakan untuk mewujudkan adanya
maqashid tabi‟ah. Hal ini karena tujuan kafā‟ah adalah untuk menciptakan
rumah tangga yang dipenuhi dengan sakinah, mawaddah wa rahmah,
menghilangkan adanya cela atau aib sosial, dan menghindarkan bahaya fisik
dan sosial yang mungkin timbul. Menurut para pendukungnya, baik dari
madzhab Hanafiyah,Mālikiyyah, Syafi‟iyah, maupun Hanābilah, kesepadanan
antara calon suami dengan calon istri dan keluarga calon istri secara sosial
dan keagamaan merupakan sebuah jalan yang harus ditempuh untuk
mewujudkan maqāshid yang dimaksudkan di atas. Sedangkan apabila ditinjau
dari pengaruh kekuatan mashlahah terhadap kepentingan umum, maka
konsep kafā‟ah dapat dikategorikan sebagai salah satu mukmilat al-hajiyah,
46
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99
23
karena bertujuan untuk mewujudkan mashlahah hajiyah yang berupa
menciptakan kelanggengan perkawinan, keharmonisan rumah tangga,
pembagian cinta, kasih sayang dan ketenangan. 47
Dari sudut pandang sandaran dalil secara langsung, konsep kafā‟ah
dibangun di atas dalil-dalil hadits. Maka, kemaslahatan yang ingin dicapai
melalui konsep ini adalah mashlahah mu‟tabarah dan bukan mashlahah
mulghah. Namun, hadits-hadits pendukung kafā‟ah, terutama yang bersifat
sosial adalah hadits-hadits yang berada dalam tingkatan dhanni al-wurud dan
dhanni al-dilalah, karena dinilai sebagai hadits dla‟if atau hasan li ghairih.48
Oleh karena itu, mashlahah dari pensyariatan kafā‟ah yang bersifat social
adalah mashlahah dhanniyyah. Sementara itu, konsep yang bersifat religious
didukung oleh hadits hasan dan hadits shahih, namun bukan hadits
mutawatir, sehingga dinilai memiliki kekuatan yang dhanni, dan kekuatan
mashlahah-nya bersifat dhanniyyah. Dengan demikian, kemaslahatan yang
ada di dalam konsep kafā‟ah dinilai sebagai mashlahah dhanniyyah.
Konsep al-kafā‟ah yang bersifat sosial mendapatkan pertentangan dari
beberapa ahli fiqh berdasarkan argumentasi kesetaraan hak asasi manusia,
terutama hak untuk mengikatkan diri di dalam ikatan perkawinan. Aturan ini
dinilai telah menegasikan prinsip egalitarian yang telah dibangun oleh Islam,
47
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dengan Prinsip Egalitarian
Dalam Hukum Perkawinan Islam”, http://sulhanihermawan.files.wordpress.com/2010/01/al
kafaah.pdf, diakses tanggal 10 september 2013. 48
Para ulama menilai hadits-hadits tentang al-kafa‟ah umumnya dla‟if. Ibn Humam, seorang
tokoh penting Hanafiyah, misalnya mengakui tentang hal itu. Namun, dia buru -buru
menambahkan bahwa meskipun dla‟if, karena ada berbagai jalur riwayat yang saling menguatkan,
maka tingkatannya naik menjadi hasan. Dan oleh karena itu, maka hadits tersebut bisa di jadikan
sebagai hujjah. Lihat, Ibn Humam al-Hanafi, Syarh Fath al- Qadir, jilid III, hlm. 292.
24
padahal prinsip egalitarian benar –benar didasarkan pada dalil yang kuat.
Oleh karenanya, konsep kafā‟ah terutama yang bersifat sosial, tidak bisa
menjadi sebuah aturan hukum. Hak untuk menilai status dan kesebandingan
seseorang adalah hak Allah semata dan bukan hak manusia.49
Selain argumentasi egalitarian secara umum, konsep kafā‟ah yang bersifat
sosial juga mendapatkan penolakan dari dalil khusus egalita rian tentang
perkawinan. Ada beberapa dalil hadits yang menceritakan tentang
penentangan Nabi Muhammad terhadap pertimbangan “status sosial”
seseorang untuk masuk ke dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalil-dalil
tersebut antara lain adalah hadits tentang per kawinan Fatimah Binti Qays,
Seorang perempuan dari bangsawan Quraisy yang cantik, dengan Zaid bin
Usāmah, seorang bekas budak, atas nasehat Nabi Muhammad SAW. Selain
itu, hadits tentang lamaran Bilal, seorang bekas budak non-Arab yang berkulit
hitam, pada seorang perempuan anshar yang cukup terpandang dan adanya
perintah Nabi Muhammad SAW untuk menerimanya, serta perkawinan Abu
Hindun, seorang tukang bekam, dengan perempuan Bani Bayadlah, yang
merupakan bangsawan Arab yang kaya atas perintah Nabi Muhammad
SAW.50
Berdasarkan prinsip egalitarian secara umum dan secara khusus di bidang
perkawinan, jelas bahwa ketidaksekufuan dalam hal keturunan, kekayaan, ras,
fisik, profesi, status kemerdekaan dari perbudakan dan hal -hal yang bersifat
sosial lainnya menurut Islam tidak bisa menjadi pertimbangan yang berarti
49
al-Dzahabi, al-Syari‟ah al-Islamiyyah…, hlm. 130-131. 50
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm.95.
25
dan bisa diabaikan. Lebih jauh lagi, tentu konsep kafā‟ah tidak bisa (tidak
perlu) menjadi sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.
Namun, konsep kafā‟ah yang bersifat moral keagamaan, agaknya tidak
mendapatkan pertentangan yang berarti dari para ulama fiqh, bahkan
didukung, berdasarkan argumentasi prinsip kemaslahatan perkawinan yang
dinilai tidak bertentangan dengan prinsip egalitarian dalam Islam.51
Meski demikian, semua konsep kafā‟ah, baik yang bersifat sosial maupun
moral keagamaan, dan baik yang sudah diatur di dalam fiqh maupun di dalam
aturan perundangan di beberapa negara Muslim, masih menyisakan
pertanyaan. Hal ini terjadi apabila dikaitkan dengan rumusan Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948. Konsep dan aturan
kafā‟ah dapat dinilai bertentangan dengan kesetaraan hak untuk menikah
yang ditetapkan sebagai hak absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Secara
jelas, pasal 16 ayat (1) UDHR menyatakan, “ Men and women of full age
without any limitation due to race, nationality, or religion, have the right to
marry and to find a family. They are entitled to equal rights as to marriage,
during marriage and its dissolution.”52
2. Tinjauan Historis Kontekstual al-Kafā’ah
Al-kafā‟ah memiliki kesejarahan panjang di dalam hukum perkawinan,
terutama apabila dikaitkan dengan operasional prinsip kemaslahatan
perkawinan dan prinsip egalitarian. Pembahasan kali ini akan dimulai dari
51
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 6 52
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 6
26
masa arab pra-Islam sampai pada masa berkembangnya madzhab-madzhab
fiqh Islam.
Pada masa arab pra-Islam, sebagaimana di tempat lain dan di masa yang
lain, terdapat gambaran ideal tentang calon pasangan hidup. Gambaran ideal
calon istri adalah perempuan terhormat dari keturunan yang baik (meski tidak
selalu harus kaya), baik budi, muda, perawan, subur (tidak mandul), cantik,
sopan, pintar, penuh kasih sayang, jujur, cakap, enerjik, produktif, lemah
lembut dan periang. Sedangkan gambaran ideal calon suami adalah laki-laki
muda dari keturunan luhur bangsa Arab, penyanyang, jujur, pandai bergaul,
menyenangkan, murah hati, berani, terhormat dan sosial. Calon suami yang
ideal harus memiliki status sosial yang sepadan dalam hal keturunan, kemul
iaan, dan kemasyhuran.53
Al-kafā‟ah kemudian menjadi tuntutan keharusan dan pertimbangan utama
dalam perkawinan, dan bahkan menjadi tradisi asli orang Arab. Poin yang
sering dipersyaratkan adalah keturunan, harta kekayaan, mahar dan hal -hal
sosial lainnya. Sistem aristokrasi, kebangsawanan, stratifikasi sosial dan
sebagainya merupakan pupuk bagi tumbuhnya sistem al-kafā‟ah, dengan
didasarkan pada kemaslahatan perkawinan, individual dan kolektif.54
Pada awal Islam, ternyata konsep al-kafā‟ah masih berlaku, meski
kemudian, menurut Ziadeh, ditentang secara kuat oleh al -Qur‟an dan Nabi
Muhammad. Islam berusaha menghapuskan konsep kafā‟ah yang bersifat
sosial dan menggantinya dengan konsep kafā‟ah yang bersifat moral
53
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 7 54
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 7
27
keagamaan, yaitu dalam bentuk kesalehan dalam keberagamaan dan
ketaqwaan. Hambatan sosial dibuka dan masyarakat dibiasakan untuk
memahami kesekufuan dalam keberagamaan, sehingga menjadi watak
masyarakat Islam. Sikap egalitarian Islam ini kemudian tumbuh di kalangan
masyarakat Madinah dan bahkan menjadi sebuah sunnah. Inilah agaknya
yang menyebabkan penduduk Madinah tidak terlalu mempersoalkan kafā‟ah
di dalam perkawinan. Seiring dengan itu menjadi bisa dipahami mengapa
Imam Malik tidak menyebut -nyebut kafā‟ah yang bersifat sosial di dalam al-
Muwaththa‟.55
Pada masa kemunculan madzhab fiqh, kafā‟ah menjadi sebuah ketentuan
yang khas di dalam madzhab fiqh lama yang ada di Kufah. Kafā‟ah menjadi
usaha untuk melindungi kepentingan wali di dalam perkawinan demi menjaga
nama baik keluarga. Hal ini karena perempuan dewasa yang berada di bawah
perwalian memiliki hak dan kebebasan mandiri untuk menikahkan dirinya
sendiri. Tokoh utama di balik hal ini adalah Nu‟man bin Tsabit Abu Hanifah
(wafat 150 H) yang merupakan pendiri madzhab Hanafiyah yang muncul di
Kufah.56
Meskipun Abu Hanifah memberikan hak dan kebebasan menikah bagi
perempuan yang dewasa, namun beliau juga memberikan keleluasaan kepada
wali nikah untuk mempertimbangkan dan menilai kesekufuan di dalam diri
calon suami. Selain itu Abu Hanifah juga memberikan penekanan untuk
55
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 7 56
Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidlah, al-Imam Abu Hanifah Nu‟man bin Tsabit al Tamimi
al-Kufi Faqih Ahl al-„Iraq wa Imam Ashhab al-Ra‟y, cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1992), hlm. 12.
28
menjadikan kafā‟ah sebagai salah satu syarat nikah, agar perempuan yang
akan diperistri dan walinya tidak jelek reputasinya gara-gara perkawinan
tersebut.57
Di Kūfah, Abu Hanīfah menemukan masyarakat yang sangat beragam dan
kompleks dengan kesadaran kelas yang tinggi, yang tidak dirasakan oleh
masyarakat Madinah. Di Kufah, kelompok-kelompok etnis bercampur-baur,
tradisi urbanisasi telah lama ada, Arab dan non-Arab berhadap-hadapan,
diferensiasi sosial benar -benar memiliki hasil. Menurut Ziadeh, ini
merupakan faktor penting dikembangkannya konsep kafā‟ah oleh madzhab
Hanafiyyah dan kemudian menyebar ke daerah lain serta diadopsi oleh
madzhab-madzhab lain dan ketentuan perundangan di beberapa negara
Islam.58
Tetapi, faktor Kufah dan Iraq yang kompleks bukan satu -satunya faktor
penting dikembangkannya kafā‟ah oleh Hanafiyah. Di Maroko, sebagaimana
di Kufah, masalah - masalah sosial, kesebandingan keluarga dan ekonomi
tetap bertahan dan dilestarikan, namun kesekufuan status sosial tidak menjadi
aturan hukum. Fakta lain, lingkungan Kufah agaknya tidak mempengaruhi
Sufyan al -Tsauri (wafat 161 H), seorang faqih Arab yang hidup di Kufah
semasa Abu Hanifah, beliau menolak konsep kafā‟ah yang bersifat sosial,
dengan argumentasi prinsip egalitarian. Mensikapi hal ini, Al-Sarakhsyi
menyatakan bahwa al-Tsauri menunjukkan kerendahan hatinya dan
menyamakan dirinya seperti orang non-Arab, sebaliknya Abu Hanifah, yang
57
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8 58
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8
29
asli Persia, mendudukkan orang Arab di atas non-Arab karena juga
menunjukkan kerendahan hatinya.59
Faktor penting lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah sistem
perkawinan Hanafiyah yang liberal (meski juga pengaruh dari lingkungan
yang liberal), yang berupa kebebasan menikah seorang perempuan dewasa
tanpa campur tangan wali. Al-kafā‟ah dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan keluarga perempuan secara sosial. Apabila calon suami tidak
sekufu, maka persetujuan wali menjadi mutlak adanya. Berbeda dengan
Mālikiyyah, yang menjadikan wali menjadi unsur penting di dalam sebuah
perkawinan, sehingga secara otomatis tidak memerlukan konsep al-kafā‟ah
yang bersifat sosial sebagai aturan hukum.60
Analisis ini bisa membantu menjelaskan juga mengapa al-Syāfi‟i hanya
membicarakan al-kafā‟ah dengan aturan umum dan para pengikut
madzhabnya melanjutkan pembicaraan secara lebih luas dan detail. Al-Syafi‟i
berargumen bahwa al-kafā‟ah lebih bertujuan untuk melindungi calon istri
dari akad nikah yang tidak “benar” daripada melindungi kepentingan wali
dari rasa malu akibat perkawinan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Dan kedua tujuan tersebut (bukan salah satu saja) merupakan basis utama
argumentasi kemaslahatan perkawinan dari konsep kafā‟ah.61
Kalau demikian, maka secara historis kontekstual, kafā‟ah muncul sebagai
tuntutan yang wajar, sebagai respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan
yang berkembang dan kemudian muncul sebagai aturan hukum, sebagai
59
Syamsuddin al-Sarakhsyi, Kitāb al-Mabsut (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, 1989), jilid , hlm. 22-23. 60
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8 61
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 9
30
akibat logis dari aturan hukum perkawinan lain yang sudah ditetapkan.
Pendek kata, argumentasi kemaslahatan perkawinan dan argumentasi
egalitarian diterapkan secara berbeda, karena perbedaan respon terhadap
situasi sosial kemasyarakatan dan logika hukum yang sudah ada.62
C. Kontekstualisasi Ajaran Islam PKS : Fiqhul Wahyi dan Fiqhul Waqi’
Sebagai rangkaian dari kemoderatan berfiqih dalam menghadapi tantangan
perubahan yang terjadi terus-menerus, PKS mengakui pentingnya kontekstualisasi
hukum Islam. Akan tetapi kontekstualisasi disini difahami dengan makna yang
khas. Kontekstualisasi tidak dimaknai sebagai perubahan atas hukum agama
karena kondisi dan tempat, tetapi kontekstualisasi diterapkan dalam rangka
implementasi hukum-hukum tersebut ditengah masyarakat. Yang berubah karena
konteks bukanlah hukumnya, melainkan cara menerapkannya.63
Menurut Anis Matta, PKS menyadari bahwa tantangan dakwah akan terus
berkembang, demikian juga situasi masyarakat serta masalah-masalah yang
mereka hadapi juga mengalami perkembangan. Oleh karena itu, PKS
berpandangan bahwa untuk tetap mempertahankan kemurnian islam serta
relevansinya pada segala zaman maka ijtihad yang berkesinambungan tidak bisa
ditawar-tawar lagi.64
Bagi PKS, Islam memberi ruangan yang luas bagi akal setiap muslim
untuk berijtihad. Ajaran Islam yang tidak terpengaruh dengan perubahan ruang
dan waktu, khususnya dengan masalah-masalah aqidah, dan masalah-masalah
62
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 10 63
M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS (Yogyakarta:LKiS,2009), hlm 175. 64
Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006), hlm.59.
31
ibadah dan hukum perdata (seperti hukum waris) pada umumnya telah dijelaskan
dengan sangat rinci dalam Al-Qur‟an dan as-Sunah. Sementara bagian bagian dari
ajaran islam yang terpengaruh oleh perubahan ruang dan waktu, khususnya dalam
bidang mu‟amalat, pada umumya dibahas dengan cara menetapkan beberapa
kaidah dasar tentang masalah tersebut, untuk kemudian diikuti proses ijtihad
dalam kerangka kaidah dasar itu, dengan memproses penetapan hukumnya lewat
persatuan ruang dan waktu.65
Hukum-hukum islam yang sangat terpengaruh dengan ruang dan waktu,
biasanya selalu dijelaskan dengan menyertakan alasan(illat), yang melandasi
pemberlakuan hukum tersebut. Oleh karena itu perubahan dapat terjadi karena
perubahan waktu dan ruang, namun tetap mengacu pada illat tersebut.66
Dalam konteks ijtihad ini, para mujtahid ini diharuskan memiliki dua
pengetahuan sekaligus : pertama Pengetahuan akan kehendak kehendak Allah
yang tercantum dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Kedua Pengetahuan tentang
realitas-realitas kehidupan masyarakat menusia. Jika yang pertama disebut fiqhul
wahyi(fiqh wahyu) maka yang kedua disebut dengan fiqhul waqi‟(fiqh realitas).
Fiqh wahyu adalah syarat pencapaian kebenaran, sedangkan fiqh realitas adalah
syarat pencapaian ketepatan. Oleh karena itu, pemahaman dan penguasan haruslah
dengan kadar kedalaman dan keluasan yang sama. Kedua fiqh ini masing-masing
memiliki strukturnya sendiri-sendiri. Untuk mempermudah mengetahui sturktur
fiqh wahyu, ilmu ini merujuk pad al-Quran dan as-Sunnah serta sirah
65
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.176. 66
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.60.
32
Nabawiyyah(sejarah Nabi) sebagai sumber utamanya, ilmu alatnya adalah bahasa
Arab, ilmu metodologinya adalah ushul fiqh dan qowaid al-fiqh, Ilmu bantu
tambahannya adalah tarikh(Sejarah), sedangkan out put-nya adalah fiqh.67
Disisi lain, fiqh realitas mempunyai wilayah yang sangat luas dan dinamis.
Ilmu induk dari fiqh realitas adalah semua ilmu yang membicarakan manusia atau
yang biasa kita sebut ilmu-ilmu humaniora, mulai dari ilmu sosiologi, politik,
ekonomi bisnis, antropoilogi, kedokteran dan seterusnya. Ilmu alatanya tentu saja
adalah bahasa-bahasa yang berlaku. Akan tetapi yang paling dinamis adalah
wilayah peristiwa-peristiwa kehidupan yang mengisi ruang dan waktu kehidupan
ummat manusia. Itulah beberapa fakta yang harus dipahami untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh dan akurat tentang konteks penerapan wahyu. Selain
keseluruhan ilmu itu, seorang mujtahid dakwah harus terlibat secara langsung
dalam kencah pergaulatan kehidupan.68
Tabiat ijtihad dakwah, seperti “mengharamkan” pemisahan antara kedua
fiqh itu (Fiqhul wahyu dan fiqhul waqi‟), sekarang ini biasa dikenal dengan
pendekatan tekstual dan kontekstual. Alasannya, hubungan antara keduanya
adalah hubungan saling tergantung, bukan hubungan saling melengkapi. Jika
seorang mujtahud dakwah hanya menguasai salah satunya, misalnya hanya fiqh
wahyu, maka kesalahan terbesar yang mungkin dia lakukan adalah mengeluarkan
fatwa yang benar pada muatanya namun tidak tepat pada konteksnya.
Demikian juga sebaliknya jika seorang mujtahid hanya menguasai fiqh realitas
67
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.60-61. 68
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.177.
33
saja maka kesalahan terbesar yang dialakukan adalah bahwa fatwa-fatwanya
cenderung tunduk dibawah tekanan realitas, tuntutan kepentingan sesaaat, terlalu
longgar atau terlalu keras, terlalu cair atau terlalu reaktif. Pemisahan antara kedua
fiqh ini adalah kelemahan ilmiah yang berakibat fatal bagi kelangsungan dakwah.
Institusi adalah simbol ketangguhan ilmiah dalam dakwah, sekaligus merupakan
mata air yang selalu memberikan energi yang mendinamisasi dakwah serta
memberinya ruang gerak yang luas.69
Terkait dengan kontekstualisasi islam, Abu Ridho mengatakan bahwa
kontekstualisasi tersebut terbatas pada aplikasi ajaran dan hukum-hukum Islam,
bukan sebagai pertimbangan dalam memproduk pemahaman ajaran islam atau
istimbath (Penggalian) hukum islam. Memahami konteks itu penting bagi PKS
agar pemikiran-pemikiran atau pemahaman-pemahaman Islam diaplikasi secara
konstekstual. Aplikasi yang konstekstual dalam perspektif PKS adalah memahami
ayat –ayat Al-quran kemudian diaplikasikan sesuai dengan konteks dan persoalan
kekinian, bukan dalam pengertian menjadikan konteks kekinian sebagai acuan
atau dalil melegitimasi dalil sesuatu yang telah ada.70
Oleh karena itu kaidah ushul fiqh yang berbunyi Al-hukmu yaduuru ma‟a
„Illatihi wujudan wa „Adaman (ketentuan hukum berubah bersama ada atau
tidaknya illat(sebab), dipahami oleh kalangan PKS-menurut Persepsi Abu Ridho-
hanya berlaku dari sisi Aplikasi bukan ketentuan hukum sendiri. Sebagai contoh
ketentuan bahwa yang mencuri dipotong tangan. Ketentuan ini tidak bisa berubah,
69
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.178. 70
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.179.
34
ada atau tidaknya illatnya. Akan tetapi apakah dalam rangka penerapan potong
tangan itu berlaku pada semua konteks dan keadaan, ini yang bisa berubah. Dalam
hal ini, Umar bin Khattab pernah tidak menerapkan potong tangan pada kasus-
kasus tertentu. Demikian yang dimaksud dengan kontektualisasi oleh PKS, yaitu
kontekstual dalam penerapan dari hukum-hukum itu sendiri.71
Dalam penerapan ajaran dan hukum Islam dikalangan PKS terdapat dua
macam ketentuan : Fiqh al-ahkam dan Fiqh ad-da‟wah. Fiqh al-ahkam berkaitan
dengan pemahaman atau hukum hukum tentang sesuatu yang harus dilakukan atau
harus ditinggalkan. Sedangkan Fiqh ad-da‟wah berkaitan dengan sesuatu yang
bisa dilakukan atau yang tidak dilakukan. Jika yang pertama berkaitan dengan
sesuatau yang tidak bisa ditawar maka yang kedua terkait dengan sesuatu yang
mungkin (atau tidak mungkin) untuk dilakukan atau diterapkan. Sebagai contoh :
Hukum potong tangan. ketentuan Potong tangan bagi PKS tidak bisa diubah, dan
itu merupakan wilayah fiqh al-ahkam. Akan tetapi dalam kehidupan sekarang
dimana yang berlaku bukan hukum Islam maka ketentuan itu belum bisa
diterapkan. Terkait dengan hal tersebut, PKS bisa menerima keadaan itu. Itulah
peran Fiqh ad-da‟wah.72
D. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai di Indonesia yang
berbasis kader. Oleh karena itu orang menyebutnya partai kader. Sebuah partai
dinamakan partai kader bila di dalamnya ada proses kaderisasi yang meliputi;
recruiting (perekrutan), maintenance (pemeliharaan dan pembinaan), developing
71
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.179-180. 72
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.63-64.
35
(pengembangan) bakat dan potensi kader. Proses kaderisasi di tubuh PKS terlihat
berjalan dengan baik semenjak didirikannya pada tahun 1998 pasca tumbangnya
rezim orde baru hingga sekarang. Maka tidaklah heran bila dari waktu ke waktu,
jumlah kadernya bertambah banyak seiring dengan meningkatnya popularitas
partai ini.
PKS menggunakan modus operandi Jamaah Tarbiyah untuk memperbesar
peluang mendapatkan kader baru.73
PKS memakai dua strategi dalam merekrut
kader. Yang pertama adalah pola rekrutmen individual (al-da'wah al-fardhiyyah),
atau bentuk pendekatan orang per orang, meliputi komunikasi personal secara
langsung. Calon kader yang akan direkrut diajak berpartisipasi dalam forum-
forum pembinaan rohani yang diorganisir PKS seperti usrah (keluarga), halaqah
(kelompok studi), liqa‟ (pertemuan mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam
(perkemahan), daurah (pelatihan intelektual) dan nadwah (seminar). Yang kedua
adalah pola rekrutmen institusional (al-da'wah al'amma). PKS berafiliasi dengan
berbagai organisasi sayap yang berstatus formal atau tidak formal, sehingga partai
dapat memanfaatkan institusi-institusi ini untuk meraup kader potensial.74
Tarbiyah merupakan Proses Membangun Habitus kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Proses tarbiyah bukan hanya tulang punggung proses kaderisasi
di PKS, namun lebih dari itu, ia adalah proses inti dalam pembentukan habitus
dakwah yang dimulai sejak awal Jemaah Tarbiyah berkiprah sebagai gerakan
73
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia. Jakarta: Teraju. http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera diakses tanggal
12 januari 2013. 74
Muhtadi, Burhanuddin (2012). Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta, Indonesia: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG)
36
keagamaan (religious movement). Walaupun kemudian Jemaah Tarbiyah memilih
mentransformasi dirinya menjadi PKS, konstruksi ”Partai Dakwah” yang sampai
saat ini belum dilepaskan menunjukkan bahwa habitus dakwah tersebut tetap
penting dan tidak dapat dikesampingkan, walaupun habitus politik kekuasaan pun
semakin menguat.75
Bagaimana Jemaah Tarbiyah/PKS memahami dakwah dalam konteks sebuah
gerakan keagamaan? Platform PKS memberikan rumusan sebagai berikut:
”Dakwah Islam pada hakekatnya merupakan aktifitas terencana untuk
mentransformasi individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyah ke arah
kehidupan yang mencerminkan semangat dan ajaran Islam. Proses
transformasi individu yakni pembentukan pribadi-pribadi muslim sejati
(shakhsiyyah islamiyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial.
Oleh karena itu pribadi-pribadi itu mesti memperkaya kualitas dirinya
untuk mengemban amanah dakwah (syakhsiyyah da‟iyyah), sehingga
mampu berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial” 76
Uraian di atas menunjukkan bahwa Jemaah Tarbiyah/PKS memahami dakwah
dalam dimensi perubahan mendasar, bukan saja di tataran individu, namun juga di
tingkat masyarakat, bahkan Negara.
Sebagai ”Partai Dakwah”, kekuatan kader adalah kekuatan utama,
sehingga dapat dipahami jika kaderisasi dengan tarbiyah sebagai
tulangpunggungnya dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Platform
PKS menegaskan sebagai berikut:
”Kekuatan utama Partai Dakwah adalah para kader dakwah itu sendiri.
Dakwah membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan,
kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi
75
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, desertasi, Depok Universitas
Indonesia 2011, hlm. 174 76
Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan Masyarakat Madani:
Edisi Gabungan Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK
Sejahtera. (2007) hlm.36
37
yang diembannya melalui suatu orkestra kepemimpinan yang cerdas,
tangguh dan amanah” 77
Tarbiyah nukhbawiyah (pendidikan dan pembinaan kader, selanjutnya
disebut tarbiyah) merupakan tulang punggung proses kaderisasi di Jemaah
Tarbiyah/PKS, di mana ia dipahami sebagai upaya untuk membangun sosok
syakhshiyyah islamiyyah (pribadi muslim yang memahami dan menjalankan
ajaran Islam secara kāffah, menyeluruh, integral), syakhshiyyah da‟iyah (pribadi
yang bekerja mendakwahkan Islam), syakhshiyyah ijtima‟iyyah (pribadi yang
memiliki kiprah nyata dalam bermasyarakat), dan syakshiyyah dauliyah (pribadi
yang mampu turut berperan dalam mengelola negara). Secara lebih spesifik,
dalam konteks persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi oleh Jemaah
Tarbiyah setelah menjadi partai, seorang informan memandang tarbiyah sebagai
sebuah mekanisme pendewasaan, di mana para kader diajak untuk membangun
cita-cita besar yang terkait dengan bangsa dan umat Islam secara keseluruhan,
sekaligus berlatih mengelola perasaan mereka ketika berhadapan dengan hal-hal
yang tidak disukai, perbedaan pendapat, ketidaksepahaman, dan ketidakpuasan,
sehingga berbagai gejolak yang timbul relatif lebih mudah untuk diatasi.78
Tarbiyah terdiri dari tarbiyah dzatiyah dan tarbiyah jama‟iyyah. Tarbiyah
dzatiyyah adalah proses pembinaan diri yang dilakukan oleh masing-masing
pribadi kader, misalnya dengan melakukan ibadah-ibadah ritual yang sunnah
(dianjurkan), seperti qiyamu lail (shalat malam), puasa sunnah, zikir, membaca Al
Qur-an, dan lain-lain. Tarbiyah jama‟iyyah adalah proses pembinaan yang
77
Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan , hlm.36. 78
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 174.
38
dilakukan oleh jemaah. Tarbiyah jama‟iyyah dilakukan bertingkat-tingkat
berdasarkan jenjang keanggotaan masing-masing kader.79
Menurut Bab III Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga PKS, partai ini
memiliki enam jenjang keanggotaan, yang terbagi ke dalam dua jenis
keanggotaan, yaitu Anggota Pendukung dan Anggota Inti. Anggota Pendukung
terdiri dari Anggota Pemula (Tamhidi) dan Anggota Muda (Muayyid). Sedangkan
Anggota Inti terdiri dari Anggota Madya (Muntasib), Anggota Dewasa
(Muntazhim), Anggota Ahli (‟Amil), dan Anggota Purna (Mutakhasis). Pertemuan
pekanan dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan maksimum 12 orang
adalah sarana tarbiyah yang utama. Untuk Anggota Pendukung kelompok tersebut
dinamakan halaqah yang dikelola oleh murabbi/ah, dan untuk Anggota Inti
dinamakan usrah yang dipimpin oleh naqib. Pengelola tarbiyah (murabbi/ah,
naqib) setidaknya berada satu tingkat di atas para peserta tarbiyah yang
dikelolanya. 80
Ketua Dewan Syariah PKS Surahman Hidayat mengungkapkan bahwa,
untuk menjamin kadernya militan, pengurus PKS mengharuskan setiap kader
intinya memiliki halaqoh atau pengajian beranggotakan 18-20 orang. Selain itu,
pengajian rutin juga harus dihadiri oleh para kader.81
Jika dicermati, terlihat salah satu karakter utama tarbiyah, yaitu tadarruj,
di mana pembebanan kepada para kader PKS dan pembangunan komitmen
dilakukan secara bertahap, mulai dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus,
79
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176. 80
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176 81
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/078460485/Hanya-PKS-dan-PDIP-yang-Murni-
Partai-Kader diakses tanggal 12 januari 2013.
39
dari yang mudah ke yang sulit, dari yang lebih penting ke yang penting, dan dari
hal-hal yang sudah disepakati ke hal-hal yang masih diperselisihkan di kalangan
kaum muslimin. Di jenjang-jenjang yang lebih awal para peserta diajak dan
diminta berkomitmen kepada ajaran Islam secara umum. Semakin tinggi
marhalah anggota yang bersangkutan komitmen tersebut dibuat semakin spesifik
kepada Jemaah Tarbiyah/PKS. Di samping itu, semakin tinggi jenjang
keanggotaan, semakin terintegrasi pula kehidupan kader ke dalam jemaah/partai.82
Definisi tiap jenjang keanggotaan, serta karakter dan tujuan tarbiyah pada
masing-masing jenjang terdapat pada tabel dibawah ini83
:
Tabel 2.1 : Jenjang Keanggotaan dan Tujuannya
Definisi Tujuan
Pemula (Tamhidi)
Seseorang yang
memiliki sifatsifat
terpuji,perangai
Islam asasi, tidak
terkotori oleh syirik
dan tidak memiliki
hubungan dengan
institusi yang
memusuhi Islam.
1.Memperkenalkan prinsip-prinsip umum Islam, baik
aqidah, syariah, maupun akhlaq.
2.Memunculkan lingkungan yang sesuai untuk
berkomitmen kepada prinsip-prinsip Islam.
3.Memperkokoh kecenderungan peserta untuk
berkomitmen kepada prinsip-prinsip Islam.
4.Mengembangkan sifat-sifat terpuji dan perangai Islam
asasi yang ada
pada peserta melalui kajian terhadap ilmu-ilmu marhalah
(bidang studi).
5.Membentuk berbagai kecenderungan dan orientasi-
orientasi positif menuju penyebarluasan fikrah (pola pikir)
Islam, dan memberikan perhatian kepada berbagai
82
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176-177. 83
Diolah dari buku Manhaj Tarbiyah (Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah, 2007), hlm 63-70.
40
problematika dunia Islam
6.Meneliti tingkat kredibilitas berbagai kecenderungan
dan orientasiorientasi positif yang dimiliki oleh peserta
tersebut.
Muda (Muayyid)
Seorang tamhidi
yang mendukung
fikrah, memiliki
perhatian untuk
menyebarluaskannya,
memiliki perhatian
terhadap
problematika
kaum muslimin
secara umum, dan
mempelajari
sebagian daripada
konsep-konsep
asasi dakwah.
1.Menguasai ilmu-ilmu dan nilai-nilai yang diambil dari
Qur-an, sunnah, dan sirah salafush shalih sesuai dengan
marhalah-nya.
2.Mengenal sejumlah besar tokoh-tokoh Islam, ulama, dan
mujahid yang berkhidmat untuk Islam.
3.Mengetahui urgensi dan keharusan beramal jama‟i
untuk berkhidmat demi Islam dan kaum muslimin.
4.Memiliki kemampuan untuk memilih jemaah yang dapat
mewujudkan pemahaman Islam yang benar.
5.Menghiasi diri dengan akhlaq Islam dan bertata krama
dengan adab-adabnya,baik lahir maupun batin.
6.Menanamkan perhatian untuk menyebarluaskan fikrah
Islam dan perhatian kepada berbagai problematika kaum
muslimin.
7. Menanamkan kebiasaan untuk indibath (disiplin) dan
tidak menyianyiakan waktu.
Madya (Mumtashib)
Seseorang yang
memenuhi segala
persyaratan muayyid
dan berada di dalam
barisan pada tangga
pertama keterikatan
di mana ia
melaksanakan
1.Memperkokoh pengetahuan peserta mengenai urgensi
dan kemestian komitmen ilmiah dan manajerial.
2.Memperhatikan berbagai hakikat dan nilai-nilai yang
ada dalam manhaj pada aspek pemahaman dan
penguasaan.
3.Membekali peserta dengan berbagai kemahiran yang
menjadi sasaran pada ilmu-ilmu marhalah, kegiatan-
kegiatannya, serta pelatihanpelatihannya.
41
berbagai tugas
dakwah yang
dibebankan
kepadanya dan
membela dakwah.
4.Mengembangkan berbagai orientasi dan kecenderungan
positif berupa perhatian, obsesi, semangat, dan
pengorbanan untuk dakwah.
5. Memikul tanggung jawab dan tugas kerja-kerja dakwah
yang dibebankan kepada peserta dengan memperhatikan
aspek ketelitian dan itqan (profesionalisme).
6. Berperan serta aktif dalam membentuk rumah tangga
dan masyarakat yang Islami.
7. Merealisasikan rukun-rukun dan adab-adab usrah.
Dewasa (Muntazhim)
Muntashib yang
melaksanakan
semua tugas dan
beban yang
diminta disertai
pengenalan
terhadap berbagai
keadaan gerakan
dakwah dan
sejarahnya, dan ia
merupakan batu
bata asasi di
dalamnya.
1.Memperkokoh berbagai kemahiran yang diperoleh pada
marhalah muntasib dan meningkatkan
fprofesionalismenya.
2.Memberikan perhatian terhadap berbagai hakikat, nilai,
dan kemahiran yang menjadi target pada ilmu-ilmu
marhalah serta pelatihanpelatihannya.
3.Memberikan berbagai kemahiran yang ditargetkan pada
marhalah ini dengan cara melaksanakan berbagai
kegiatan, dan ikut serta secara aktif dalam berbagai
pelatihan.
4.Berkorban secara maksimal dalam melaksanakan
berbagai tugas dan beban yang diminta darinya.
5.Istifadah (mengambil manfaat) berdasarkan
pemahaman, isti‟ab (penguasaan), analisis, dan
penggalian dari sejarah gerakan dakwah dan berbagai
kondisi yang dilaluinya.
6.Berkomitmen terhadap berbagai pedoman dan
keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai institusi
gerakan dakwah.
42
7.Bekerja dengan bersungguh-sungguh untuk
menyempurnakan berbagai unsur keteladanan pada diri
dan rumah tangganya.
Ahli (’Amil)
Seorang
muntazhimin yang
telah memiliki
keahlian dan
berjanji setia
untuk bekerja
sesuai dengan
nizham asasi
(pedoman
pokok) gerakan
dakwah, serta
mengerahkan
secara efektif
diri dan
hartanya.
1.Memperkokoh segala hal yang telah dipelajari pada
marhalah muntazim.
2.Memberikan perhatian terhadap berbagai hakikat, nilai,
dan kemahiran, berikut dalil-dalil syar‟i-nya.
3.Memberikan berbagai kemahiran yang ditargetkan pada
ilmu-ilmu dan kegiatan-kegiatan marhalah ini dengan
berbagai pelatihannya.
4.Berkomitmen dengan sempurna kepada sasaran nilai-
nilai marhalah yang berupa mazahir sulukiyah (tampilan
perilaku).
5.Mengembangkan berbagai kecenderungan dan orientasi
positif untuk hal-hal yang menjadi konsekuensi marhalah,
baik berupa beban, tanggung jawab, maupun
pengorbanan.
6.Menyiapkan dan memberikan keahlian untuk menjadi
da‟i yang teladan yang mencerminkan dakwah, baik pada
aspek pemikiran maupun pengamalan, baik pada dirinya
sendiri, maupun dalam rumah tangganya, dengan cara
merealisasikan rukun-rukun baiat dan segala hal yang
terkandung di dalamnya, yang berupa pokok-pokok,
maupun kewajiban-kewajiban.
7.Membantu peserta dengan segala hal yang memberinya
ruang penuh untuk berkontribusi, efektifitas pelaksanaan,
dan produktifitas.
8.Melatih dan memberikan keahlian kepada peserta, serta
membekalinya dengan berbagai kemahiran leadership dan
43
manajemen rabbani (yang berorientasi ketuhanan).
Purna (Mutakhasis/Mas’ulin)
Seorang ‟amil
yang memiliki
keahlian ilmiah
dan syar‟iyah
(syariat Islam),
dan kesiapan
untuk memimpin
serta melaksanakan
beban-beban
kepemimpinan itu.
1.Menghiasi peserta dengan sifat-sifat pemimpin yang
menjadi teladan, dan berbagai seni kepemimpinan yang
termaktub dalam risalah-risalah yang khusus untuk itu.
2.Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai tinggi dan
berpengaruh besar untuk berkhidmat kepada gerakan
dakwah dengan penuh keikhlasan dan totalitas.
3.Membekali diri dengan berbagai ilmu yang bermanfaat
dalam rangka menunaikan amal-amal yang dituntut oleh
syarikat untuk merealisasikan tujuan-tujuan gerakan
dakwah.
4.Membekali diri dengan berbagai hakikat, nilai, dan
kemahiran yang termaktub dalam manhaj marhalah
mutakhasis.
5.Mewakafkan kehidupan umum dan khususnya untuk
dakwah, dan menyiapkan rumah tangganya untuk itu
secara kontinyu dan berkesinambungan.
Halaqah merupakan sarana tarbiyah yang sangat penting, karena melalui
sarana inilah pembinaan para anggota pendukung dilakukan secara intensif untuk
mempersiapkan mereka menjadi Anggota Inti. Pertemuan halaqah biasanya
dilakukan satu pekan sekali, selama 2-4 jam, bertempat di rumah murabbi/ah atau
anggota halaqah, atau tempat-tempat lain, seperti mesjid/mushalla. Setiap
pertemuan halaqah dibuka oleh seorang anggota yang berperan sebagai mas‟ul
jalsah (pembawa acara) dengan menyebut nama Allah, bismillahirahmanirrahiim,
dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmatNya, khususnya
nikmat iman, Islam, dan ukhuwwah (persaudaraan). Setelah itu, para anggota
44
halaqah akan membaca Al Qur-an secara bergiliran, biasanya masing-masing satu
halaman, dilanjutkan dengan tadabbur (pembahasan) beberapa ayat Al Qur-an
yang sebelumnya dibaca, oleh murabbi/ah atau salah satu anggota halaqah yang
ditunjuk. Kemudian murabbi/ah akan menyampaikan kalimat-kalimat pembukaan
yang berisi motivasi, menggaris bawahi hal-hal penting dari pertemuan
sebelumnya, atau memberikan apresiasi atas prestasi kolektif maupun
individual.84
Murabbi/ah lalu melanjutkan dengan talaqqi madah (penyampaian
materi). Untuk jenjang tamhidi dan muayyid, salah satu materi pokok halaqah
adalah rasmul bayan (panah penjelasan), materi dasar-dasar keislaman yang
disajikan dalam bentuk bagan/skema. Rasmul bayan disusun oleh Ustadz Hilmi
Aminuddin sebagai ijtihad untuk mempermudah proses penyampaian materi,
sekaligus mempercepat perluasan dakwah. Materi-materi rasmul bayan terdiri
dari 99 bagan/skema yang dikelompokkan menjadi beberapa judul, yaitu ma‟na
asy syahadatain (makna dua kalimat syahadat), ma‟rifatullah (mengenal Allah),
ma‟rifaturrasul (mengenal rasul), ma‟rifatul Islam (mengenal Islam), ma‟rifatul
insan (mengenal manusia), mariatul Qur-an (mengenal Al Qur-an), al ghazwul
fikr (perang pemikiran), golongan syaitan (hizb asy syaithan), qadhiyyatud
da‟wah (problematika dakwah), al haqqu wal bathil (kebenaran dan kebatilan),
takwinul ummah (pembentukan umat), at tarbiyyatul Islamiyyah
(pendidikan/pembinaan Islam), dan fiqh ad da‟wah (pemahaman dakwah).
Materi-materi tarbiyah tersebut sebenarnya dapat disampaikan dengan berbagai
84
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 179.
45
cara dan sarana yang sesuai, namun skema/bagan materi dalam Bahasa Arab yang
dituliskan di whiteboard merupakan sarana yang lazim digunakan di banyak
halaqah. Berdasarkan skema/bagan tersebut murabbi/ah akan menyampaikan
materi dengan merujuk kepada ayat-ayat Al Qur-an, hadits Nabi, dan bahan-bahan
lain yang relevan, dan kemudian mutarrabbi akan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan.85
Dalam halaqah juga dialokasikan waktu untuk mutaba‟ah (evaluasi)
terhadap realisasi berbagai program dan tugas para anggota halaqah, termasuk
pelaksanaan ibadah harian mereka. Dengan demikian, mutaba‟ah ini merupakan
penghubung antara tarbiyah dzatiyah dengan tarbiyah jama‟iyyah. Di bagian
akhir, kadang-kadang ada peserta yang menyampaikan qadhayya yang kemudian
didiskusikan bersama. Sejauh mana kedekatan yang sudah terbangun dalam
sebuah halaqah akan menentukan sejauh mana para anggotanya terbuka untuk
menyampaikan persoalan-persoalan mereka dalam kelompok. Halaqah ditutup
dengan membaca hamdalah (pujian pada Allah, alhamdulillahi rabbil ‟alamin),
istighfar (permohonan ampun pada Allah), dan doa penutup majelis.86
Tarbiyah memiliki arti pembinaan atau pendidikan berbasis kelompok
kecil di bawah bimbingan seorang murabbi/ah yang dilakukan sebagai kegiatan
non formal yang merupakan posisi kunci bagi pengkaderan pks, tarbiyah
merupakan kegiatan inti dalam proses kaderisasi pks, keberhasilan tarbiyah
dilakukan oleh murabbi/ah akan menghasilkan kader yang sangat solid terhadap
partai.
85
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 179-180. 86
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 181.
1
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilakukan di Dewan
Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan.
Alasan mengapa memilih Sulawesi selatan karena peneliti dalam pra-riset
mendapati di sini ada kecenderungan kader PKS menikah sesama kader, akan
tetapi ada temuan dilapangan bahwa meski menikah sesama kader, jumlah
pertumbuhan kader PKS di provinsi ini bukannya stagnan, melainkan makin
pesat. Ditambah lagi saat ini Presiden PKS, Anis matta berasal dari Sulawesi
Selatan.
B. Kehadiran Peneliti
Untuk mendapatkan data-data yang valid dan obyektif tehadap apa yang
diteliti maka kehadiran peneliti dilapangan dalam penelitian kualitatif mutlak
diperlukan. Kehadiran peneliti sebagai pengamat langsung terhadap kegiatan-
kegiatan yang akan diteliti sangat menentukan hasil penelitian, maka dengan cara
penelitian lapangan sebagai pengamat penuh secara langsung pada lokasi
penelitian peneliti dapat menemukan dan mengumpulkan data secara langsung.
Jadi dalam penelitian ini, insrtumen penelitian adalah peneliti sendiri yang
sekaligus sebagai pengumpul data. Sedangkan instrument-instrumen yang lain
merupakan instrument pendukung atau instrumen pelengkap oleh karena itu
kehadiran peneliti dilapangan sangatlah diperlukan.
Adapun tujuan kehadiran peneliti dilapangan adalah untuk mengamati
secara langsung keadaan-keadaan atau kegiatan-kegiatan yang berlangsung,
2
fenomena-fenomena sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengamati langsung
apakah kejadian-kejadian tersebut akan berbeda jauh atau relevan dengan hasil-
hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara.
Dari jenisnya penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan),
dimana dalam penelitian ini nantinya akan menitikberatkan pada hasil
pengumpulan data yang peneliti peroleh dari lapangan atau subjek penelitian yang
peneliti tentukan.1
Penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan
secara langsung di mana objek yang diteliti yaitu kader Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh pandangan elit Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang implementasi konsep
kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah
dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader
lebih memilih mencari jodoh di luar PKS.
C. Pendekatan Penelitian
Jenis pendekatan penelitian ini adalah jenis pendekatan kualitatif.2 data
yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.3 Jadi
dalam penelitian ini penulis berusaha semaksimal mungkin mendeskripsikan suatu
gejala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa sekarang atau mengambil
masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada penelitian. Dilaksanakan
1 Ibid. Hlm. 26
2Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati, Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,1999), hlm. 3 3 Ibid, 6
3
dengan pendekatan konseptual dan analisis terhadap permasalahan yang diambil
dengan membandingkan data-data di lapangan dengan konsep-konsep baik dari
buku-buku, majalah-majalah, makalah, maupun dari sumber lain dengan kalimat
yang tersusun secara sistematis. Dengan metode tersebut akan diperoleh gambaran
secara mendalam mengenai peristiwa dan fakta yang ada.
D. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh.
Peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data, yaitu mewawancarai
informan untuk merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik
pertanyaan tertulis maupun lisan, selanjutnya peneliti menggunakan teknik
observasi, sumber datanya bisa berupa benda, gerak, atau proses sesuatu. Peneliti
juga menggunakan dokumentasi, yaitu dokumen-dokumen yang menjadi sumber
data, sedang isi catatan adalah objek penelitian atau variabel penelitian.4
Untuk mendukung kegiatan penelitian ini, dilakukan pengumpulan data
yang bersumber dari :
1. Data Primer
Data primer adalah data empirik diperoleh secara langsung informan kunci
dengan menggunakan wawancara langsung untuk mendapatkan data dari
kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk
memperoleh pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW
Sulawesi Selatan tentang implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran
serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan
4Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisis Revisi V.
Jakarta : Rineka Cipta. Hlm, 102.
4
pasangan kadernya dan implikasinya jika seorang kader lebih memilih
mencari jodoh di luar PKS. Peneliti akan terjun secara langsung melakukan
kunjungan dari rumah ke-rumah dari setiap subjek penelitian terpilih dengan
teknik observasi dan wawancara. Sumber data primer, yang terdiri dari
subyek penelitian yang terdiri dari beberapa elit Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di DPW Sulawesi Selatan. Berikut ini informan yang akan peneliti
wawancarai:
Tabel 3.1 : Informan dan Jabatannya
No Informan Jabatan
1 Muhammad.Taslim,Amd
Sekertaris Majelis Pertimbangan Wilayah
Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan
Sejahterah Sul-sel
2 Jumadil Muhammad,Ss Deputi thullabi DPW PKS Sulawesi selatan
3 Irwan Waji
Ketua Bidang Kaderisasi DPD PKS
Makasar
4 Susy Smita.P, ST
Ketua Bidang Perempuan DPW PKS
Sulawesi selatan
5 Dwi Susilarsih, S.Si
Ketua Bidang Perempuan DPD PKS
Makasar
6 Ir. Ida Royani Rahim,
S.Pdi
Angt. Bidang Kaderisasi DPD PKS
Makassar
7 Linda taslim,Spt Kader inti PKS
5
2. Data sekunder
Data sekunder ialah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya
oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan atau
publikasi lainnya.5 Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan
seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri.
Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini berupa jurnal-jurnal ilmiah atau buku-buku yang ditulis orang
non kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terkaitan dengan fokus
penelitian.
E. Pengumpulan Data
Untuk menentukan data yang diperlukan, maka perlu adanya prosedur atau
teknik pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai
data-data objektif, valid serta tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari
keadaan yang sebenarnya. Dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis
menggunakan teknik atau metode sebgai berikut:
1. Wawancara (interview)
Dalam penelitian ini Wawancara (interview) adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
5 Marzuki, Metodologi Riset (Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama, 2002), hlm. 56.
6
Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam
wawancara tersebut dapat dilakukan secara individu maupun dalam bentuk
kelompok, sehingga peneliti mendapatkan data informasi yang otentik.
Dalam penelitian ini nantinya peneliti akan mewawancarai elit Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh data
seputar masalah pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW
Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah,
dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah
dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader
lebih memilih mencari jodoh di luar kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
2. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah pengumpulan data melalui peninggalan
tertulis seperti arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan
untuk membaca atau mempelajari arsip, catatan atau dokumen yang berkaitan
dengan fokus penelitian. Seperti database kader Partai Keadilan Sejahtera
PKS Sulawesi Selatan.
F. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data-data yang telah diperoleh di lapangan, akan
diolah berdasarkan langkah-langkah sebagaimana berikut:
1. Editing
Peneliti melakukan penelitian kembali atas data-data yang telah diperoleh
dari lapangan, baik data primer maupun data sekunder yang berkaitan
7
pandangan elit atau pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW
Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah,
dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah
dalam memilihkan pasangan kadernya, terutama pada aspek kelengkapan
data, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data
yang lain, dengan tujuan apakah data-data pandangan elit Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan
implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan
murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan
apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar kader
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut sudah mencukupi untuk
memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum, dan untuk
mengurangi kesalahan serta kekurangan data dalam penelitian, dan berusaha
meningkatkan kualitas data penelitian.
2. Classifying
Peneliti melakukan pengelompokan seluruh data-data penelitian, baik data
yang diperoleh dari hasil observasi maupun data hasil wawancara (interview)
yang berkaitan dengan pandangan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di
DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep
kafā`ah, dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau
murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika
seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS, agar lebih mudah
dalam melakukan pembacaan dan penelaahan data sesuai dengan kebutuhan
8
yang diperlukan. Hal ini dilakukan karena para subjek penelitian penelitian
tentunya sangat berbeda-beda dalam memberikan informasi. Oleh karena itu,
peneliti mengumpulkan data-data yang telah diperoleh tersebut dan
selanjutnya memilih mana data yang akan dipakai sesuai dengan kebutuhan.
3. Verifying
Peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap data-data yang telah
diperoleh dan diklasifikasikan tersebut mengenai pandangan elit Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah
dan implementasi konsep kafā`ah dan bagaimana peran serta dan kewenangan
murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan
apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS,
agar akurasi data yang telah terkumpul itu dapat diterima dan diakui
kebenarannya oleh segenap pembaca. Dalam hal ini, peneliti menemui
kembali para subjek penelitian yang telah diwawancarai pada waktu pertama
kalinya, kemudian peneliti memberikan hasil wawancara untuk diperiksa dan
ditanggapi, apakah data-data tersebut sudah sesuai dengan apa yang telah
diinformasikan oleh mereka atau tidak.
4. Analysing
Peneliti melakukan analisis data-data penelitian dengan tujuan agar data
mentah yang telah diperoleh tersebut bisa lebih mudah untuk dipahami.
Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status
fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisah-pisahkan menurut
9
kategori untuk memperoleh kesimpulan, sehingga pada akhirnya dapat
diperoleh gambaran yang jelas mengenai implementasi kafā`ah di kalangan
kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Sulawesi Selatan.
5. Concluding
Langkah terakhir adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang
telah diolah untuk mendapatkan suatu jawaban.6 dimana peneliti sudah
menemukan jawaban-jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan. Peneliti
pada tahap ini membuat kesimpulan-kesimpulan penting yang kemudian
menghasilkan gambaran secara ringkas dan jelas.
G. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam proses pengecekan keabsahan data7 dalam penelitian ini
menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data tersebut bagi keperluan pengecekan atau sebagian
data pembandingan terhadap data dari sumber lainnya8.Jadi triangulasi dilakukan
dengan cara membandingkan dan mengecek suatu informasi yang diperoleh dari
informan yang satu ke informan lainnya.
Dalam memperoleh kevaliditasan data dengan teknik tringulasi dapat
dicapai dengan jalan:9
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
6 Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar
Baru Algasindo, 2000), hlm. 89. 7 Pengecekan keabsahan data sangat perlu dilakukan agar data yang dihasilkan dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pengecekan keabsahan data merupakan cara untuk
mengurangi kesalahan dalam proses perolehan data penelitian yang tentunya akan berpengaruh
terhadap hasil akhir suatu penelitian. Lihat: M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source
Book: Qualitative Data Analysis, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi,Jakarta: UI-
Press, 1992, hal. 330. 8 M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, hal. 330.
9 M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, hal. 330.
10
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
d. Membandingkan keadaan-keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendatang dan pandangan masyarakat
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
Pada intinya terkait dengan hal ini peneliti berusaha me-rechek hasil
penelitian dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode,
atau teori.Adapun yang peniliti lakukan adalah:10
a. Mengajukan berbagai macam pertanyaan
b. Mengeceknya dengan berbagai sumber data
10
Lexy.J.Moelong, Metodologi……., hal. 326
1
BAB IV
PAPARAN DATA TENTANG MAKNA DAN IMPLEMAENTASI
KAFA’AH KADER PKS SULAWESI SELATAN
A. Setting Penelitian: PKS Sulawesi Selatan
PKS Sulawesi Selatan di dunia maya bisa jadi kurang populer jika
dibandingkan dengan PKS Jawa Barat, PKS di Piyungan, Jogjakarta maupun PKS
Surabaya. Namun, pasca peristiwa dugaan menerima dana dari Fathonah,
tersangka kasus suap kuota impor daging dan isu Ketua KPK Abraham Samad
pernah menjadi caleg di PKS.1, nama DPW PKS Sulsel ramai jadi bahan
pembicaraan baik di media cetak maupun dunia maya.
Ilham Arief Sirajuddin yang merupakan Calon Gubernur Sulsel yang
diusung beberapa partai, termasuk PKS; mengaku ketika dipanggil KPK, ada
aliran uang dari Fathanah ke Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Sulsel.
Menurutnya, Fathanah merupakan salah satu tokoh besar di Sulsel. Ia kenal
dengan Fathanah juga sudah lama. Fathanah juga kerap berhubungan dengan
tokoh-tokoh PKS di Sulsel. Ia juga meminta Fathanah untuk menjembataninya
dengan tokoh-tokoh PKS tersebut. Namun ia membantah jika ada aliran uang
antara Fathanah ke rekening miliknya.2 Kasus Fathonah hingga kini masih
berjalan di pengadilan tipikor, Jakarta. Sedangkan isu Abraham, kata Ketua DPW
PKS Sulsel Akmal Pashluddin hanya tercatat masuk daftar calon sementara
(DCS). Pada Pemilu Legislatif 2009, nama Abraham sempat masuk dalam deretan
calon sementara, namun tidak lama kemudian dia mengundurkan diri. Masih
1 “Hidayat: Abraham Samad Pernah Jadi Caleg PKS 2004” detik.com, edisi 4 Februari 2013
2 “Wali Kota Makasar: Ahmad Fathanah Kirim Uang ke DPW PKS Sulsel” republika.co.id edisi
Senin 6 Mei 2013
2
menurut Akmal, Samad mengundurkan diri dari pencalonan legislative karena
tidak setuju dengan sistem suara terbanyak untuk penetapan calon.3
Keberadaan PKS di provinsi ini sudah ada sejak partai ini bernama Partai
Keadilan (PK). Ketua DPW yang pertama adalah Surya Darma yang menjabat
hanya setahun. Dilanjutkan Qayyim Munarka untuk periode 1999-2004 dan
Najamuddin Marahamid untuk periode 2004-2010. Sekarang ini PKS Sulsel
dipimpin oleh Akmal Pashluddin yang dipercaya pada periode 2010-2015.4
Dengan sistem kaderisasi yang bagus, PKS Sulsel mampu mengantarkan
kader terbaiknya seperti Tamsil Linrung, Andi Rakhmat dan Anis Matta
melenggang ke Jakarta. Andi Rakhmat saat ini menjadi anggota DPR di komisi
hukum sedangkan Anis Matta menduduki posisi puncak dalam PKS sebagai
Presiden partai. Anis menggantikan Luthfi Hasan yang terseret kasus kuota impor
daging.
Perkembangan PKS di Sulsel khususnya di kota Makasar cukup pesat.
Ditandai dengan dua hal: Pertama, menjamurnya institusi pendidikan Islam
seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Ma’had, Lembaga zakat dan
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Misalnya STAI al-Azhar yang dikelola oleh
salah seorang kader inti PKS di Makasar. Menurut Sekretaris Majlis
Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Sulsel, Muhammad Taslim, Meskipun
dikelola kader sendiri, tetapi STAI al-Azhar sifatnya independen dan tidak
dibawah naungan PKS.5 Kedua, Masifnya aksi kolektif yang dilakukan kader-
kader PKS di sana. Misalnya bakti sosial yang digelar tiap milad PKS, bulan
3 “Abraham Samad tak Pernah Jadi Caleg PKS” republika.co.id edisi 4 Februari 2013.
4 Lihat video “PKS sulsel dari masa ke masa” diunduh dari you tube tgl 25 Juli 2013.
5 Wawancara via telpon dengan Muhammad Taslim tgl 10 September 2013.
3
romadhan dan awal tahun baru hijriah. Bakti sosial ini didukung oleh banyaknya
kader wanita PKS yang berprofesi sebagai dokter dan perawat.
B. Paparan Data Tentang Makna dan Penerapan Kafā’ah Bagi Kader PKS
Tesis ini fokus utamanya pada dua rumusan masalah yaitu makna kafā`ah
bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan. Kemudian
Bagaimana penerapan kafā`ah bagi kader inti PKS Sulsel. Sekaligus akan
disertakan seperti apa dampak dari penerapan kafā`ah bagi kader maupun partai
sebagai institusi politik. Setelah berhasil mewawancarai sekitar tujuh informan
yang keseluruhannya kader inti di DPW PKS Sulsel, peneliti menjabarkan hasil
wawancara sesuai dengan rumusan masalah:
1. Makna Kafā`ah Menurut kader Inti PKS Sulsel
Secara umum, sebagaimana pengamatan penulis, terkait dengan hasil
wawancara yang penulis temukan di lapangan dengan beberapa kader inti
PKS Sulsel, bahwa dari ketujuh informan yang penulis wawancarai hanya
empat kader inti yang mengutarakan pemahaman mereka tentang makna
kafā’ah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa asumsi mereka tentang
makna kafā’ah terdapat empat macam, yaitu pertama; menjadikan Agama
sebagai kriteria dalam penenntuan kafā’ah, Kedua; Menjadikan ekonomi dan
background keluarga sebagai kriteria dalam penentuan kafā’ah, Ketiga;
menjadikan pendidikan sebagai kriteria kafā’ah dan yang keempat adalah
menjadikan tarbiyah sebagai kriteria dalam penentuan kafā’ah. Yang lebih
detailnya akan penulis deskripsikan sebagai berikut;
4
a. Menjadikan Agama Sebagai Kriteria Sekaligus Tolak Ukur Kafā’ah
Sebagaimana fakta yang penulis temukan di lapangan, bahwa
diantara para informan yang menyampaikan gagasan argumentasinya
tentang agama sebagai tolak ukur utama adalah Muhamad Taslim. Dalam
perspektif Taslim yang merupakan Sekertaris Majelis Pertimbangan
Wilayah (MPP) DPW PKS Sulsel tersebut memandang bahwa agama
merupakan titik tolak utama yang dipertimbangkan dalam sebuah
perkawian. Seperti yang dijelaskan Taslim dalam wawancaranya pada
tanggal 9 September 2013 di kediamanya:
“Kafā’ah dalam pemilihan pasangan merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga,
kalau kafā’ah cuma ada dalam suami saja atau sebaliknya bisa saja
kehidupan rumah tangga bisa pincang. Kriteria yang pertama adalah
agama, secara prinsip pernikahan merupakan tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya, meskipun anaknya juga mempunyai hak untuk
memilih, serta memberikan masukan kepada orang tuanya dalam
memilih pasangan.”6
Apa yang disampaikan oleh Taslim dalam wawancaranya dengan
penulis di atas tentu sangat selaras dengan ketentuan yang telah
disebutkan oleh Hadits dan pendapat fiqih klasik.
b. Menjadikan Ekonomi dan Background Keluarga Sebagai Kriteria
Kafā’ah
Argumentasi yang coba dibangun oleh Muhammad Taslim nampak
sangat berbeda dengan Kader inti lainnya yaitu Linda. Menurut Linda
sebagai kader inti PKS memandang bahwa kafā’ah yang terkait dengan
proses pemilihan pasangan perlu dilihat dari keadaaan ekonominya dan
aspek background keluarganya. Sebab ekonomi merupakan salah satu pilar
6 Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
5
dalam keluarga yang harus dipenuhi. Sebagaimana hasil wawancara kami
dengan Linda di kediamanya pada tanggal 12 september 2013. menurutnya
“Kafā’ah dalam proses pemilihan pasangan dilihat dari beberapa
aspek, yang pertama adalah latar belakang keluarga yang kedua
keadaan sosial ekonomi dan yang ketiga dari segi fikroh, yang
ketiga ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan
sesama kader.”7
Hal tersebut senada juga dengan apa yang diutarakan oleh Ida
Royani tentang argumentasi yang coba dibangun bahwa aspek background
keluarga (nashab) dalam perkawinan merupakan kriteria penting yang
tidak boleh diabaikan. Berikut wawancara yang telah penulis lakukan
dikediamanya;
“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini
sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut
nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya,
pendidikannya dan latarbelakang keluarganya8
Dari kedua argumentasi tersebut nampaknya Linda dan Ida Royani
lebih realistis dalam menyampaikan alasanya. Hal itu dikarenakan tadisi
masyarakat Bugis Makasar yang sampai hari ini masih berpegang teguh
tentang ekonomi dan nasab merupakan kriteria yang harus
dipertimbangkan dalam memilih pasangan.
c. Pendidikan Sebagai Kriteria Kafā’ah
Masih menurut Ida Royani bahwa selain alasan ekonomi yang
dijadikan sebagai tolak ukur dalam perkawinan, ternyata Pendidikan juga
menjadi tolak ukur ketidak kafā’ahan seseorang. Sebab Pendidikan di era
7 Linda, wawancara (Makassar ,12 September 2013)
8 Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
6
modern ini merupakan suatu tolak ukur dalam perkawinan yang tidak bisa
dihindari di tengah kebutuhan akan pendidikan yang begitu tinggi. Hal
tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh kader inti Ida Royani, bahwa
pemilihan kriteria pendidikan oleh Ida Royani dikarenakan binaannya
yang di dalam liqa sebagian besar berasal dari kader yang berpendidikan.
Sebagaimana hasil wawancara penelti;
“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini
sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut
nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya,
pendidikannya dan latarbelakang keluarganya. Jadi yang maju dulu
adalah pembinanya, makanya ikhwah dulu itu, ketika prosesnya
sudah sampai kesepakatan dengan orang tua akhwāt, baru
ikhwahnya memberitahu orang tuanya. Tapi si akhwātnya juga akan
mensosialisasikan kepada keluarganya, bahwa kondisi calon
suaminya seperti ini, jadi ketika murabbi datang meminta, tidak
akan terjadi debat yang panjang,”9
Alasan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kafā’ah merupakan
sebuah kewajaran kultural. Karena kultur masyarkat makassar merupakan
kultur pendidikan.
d. Tarbiyah Sebagai Kriteria Kafā’ah
Selain dua kriteria antara ekonomi dan pendidikan Ida royani juga
mengatakan, bahwa sekufu’ atau tidaknya seseorang dilihat dari
tarbiyahnya, dan latar belakang keluarga. Tarbiyah yang dimaksud disini
bukan “pendidikan” seperti yang dipahami orang diluar PKS, tetapi berapa
lama yang bersangkutan ikut tarbiyah sebagai wadah kaderisasi PKS;
dimana salah satu aktivitasnya pengajian pekanan (liqa’).
9 Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
7
“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini
sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut
nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya,
pendidikannya dan latarbelakang keluarganya. Jadi yang maju dulu
adalah pembinanya, makanya ikhwah dulu itu, ketika prosesnya
sudah sampai kesepakatan dengan orang tua akhwāt, baru
ikhwahnya memberitahu orang tuanya. Tapi si akhwātnya juga akan
mensosialisasikan kepada keluarganya, bahwa kondisi calon
suaminya seperti ini, jadi ketika murabbi datang meminta, tidak
akan terjadi debat yang panjang,”10
Dwi Susilarsih juga mengamini dengan apa yang disampaikan oleh
Ibu Ida Royani bahwa aspek tarbiyah sebagai kriteria utama dalam
memilih pasangan. Ini disebabkan misi dakwah sebagai prioritasnya.
“Dalam memilih pasangan dulu itu karena kita yakin ketsiqohan
dakwah kita bahwa pasangan kita mendukung juga kegiatan kita,
karena proritas utama kami adalah dakwah. Kriteria utama kami
adalah pemahamannya dalam tarbiyah (berada dalam lingkup kita),
bukan masalah pekerjaan.”11
Proses pemilihan pasangan dengan kriteria tarbiyah atau se-fikrah
juga diamini oleh kader inti yang lain seperti Linda. Sebagaimana hasil
wawacara yang penulis lakukan, sebagai berikut;
“Kafā’ah dalam proses pemilihan pasangan dilihat dari beberapa
aspek, yang pertama adalah latar belakang keluarga yang kedua
keadaan sosial ekonomi dan yang ketiga dari segi fikroh, yang
ketiga ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan
sesama kader.”12
Dari paparan data tentang makna kafaah para kader PKS Sulsel
yang sudah penulis sajikan dan deskripsikan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan yang telah penulis sistematisasian dalam bentuk tabel sebagai
berikut;
10
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013) 11
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 12
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013)
8
Tabel 4.1: Makna Kafā’ah bagi Kader Inti PKS Sulsel:
No Nama Informan Kriteria Kafā’ah
1 Taslim Agama sebagai kriteria utama
2 Linda
Background keluarga, keadaaan
ekonomi dan se-fikrah
3 Ida Royani
Tarbiyahnya, aspek pendidikan dan
latar belakang keluarga
4 Dwi Susilarsih
Pemahamannya dalam tarbiyah,
bukan masalah pekerjaan
2. Penerapan Kafā`ah Bagi Kader PKS Sulsel
Berdasar pengamatan peneliti terkait dengan Penerapan kafā`ah menurut
kader PKS Sulsel, dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan kafā`ah
tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Penerapan Pernikahan dengan
sesama kader (se-fikrah), pernikahan dengan non kader dan implikasi
pernikahan dengan kader dan non kader. Dapat penulis deskripsikan sebagai
beriikut;
a. Pernikahan Dengan Sesama Kader (se-fikrah)
Salah satu Asumsi yang beredar di luar PKS adalah terdapat
kecenderungan kader PKS menikah dengan sesama kader PKS. Peneliti
menanyakan fenomena tersebut kepada para informan. Sebagian informan
sepakat menilai dan punya pemahaman bahwa pernikahan sesama kader
itu bagian dari keberlangsungan misi dakwah, pengokohan organisasi,
9
supaya saling memahami peran masing-masing serta langkah awal untuk
mencapai masyarakat Islami. Seperti yang diutarakan pak Irwan. Beliau
menilai pernikahan sesama kader selain misi dakwah juga untuk strategi
pengokohan organisasi.
“Pernikahan sesama kader adalah bagian dari kelangsungan
dakwah dan bisa dipandang sebagai strategi dalam pengokohan,
karena organisasi ini harus ditunjang oleh keluarga yang kokoh
demi kelanjutannya.”13
Pandangan serupa dijelaskan dengan oleh pak Jumadil bahwa membangun
rumah tangga yang bermuatan misi dakwah salah satu jalan pintasnya
yaitu menikah sesama kader, meskipun kata beliau ada pilihan untuk
menikah dengan non kader. Hal tersebut sebagaimana hasil wawancara
yang telah penulis lakukan;
“Pemilihan pasangan dengan kriteria sesama kader (dalam artian
kafā’ah sesama kader) bisa dibilang sesuatu yang Awla atau
merupakan proritas, lebih kepada doktrin di awal, bahwa ada
baiknya membangun rumah tangga itu adalah membangun rumah
tangga dakwah. Sehingga jalan pintasnya adalah menikah dengan
kader yang sama-sama kader dakwah, meskipun pada faktanya
bukan menjadi pakem, karena disana ada ruang untuk menikah
diluar kader.”14
Jawaban yang cukup menarik juga diuraikan oleh ibu Susy Smita yang
kini menjabat Ketua bidang Perempuan (Bidpuan) di DPW PKS Sulsel.
Menurutnya menikah sesama kader merupakan langkah awal menuju
masyarakat Islam yang PKS idamkan. Sebagaimana hasil wawancara yang
telah penulis lakukan di lapngan;
13
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013). 14
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)
10
“Yang perlu digaris bawahi bahwa kenapa didalam PKS tetap
mengatur dalam artian mengarahkan kader menikah dengan kader
karena bagi kami itu merupakan langkah awal untuk mencapai
masyarakat islami. Adapun tahapan-tahapan untuk menciptakan
masyarakat islami dimulai dari, individu islami, membentuk
keluarga islami sehingga bisa berdampak terciptanya masyarakat
yang islami.”15
Dari beberapa jawaban yang diisampaikan oleh para Informan di
atas dapat penulis sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berikut;
Tabel 4.2: Pernikahan Sesama kader PKS di Sulsel:
No. Nama Informan Argumentasi
1 Irwan Misi dakwah juga untuk strategi
pengokohan organisasi
2 Jumadil Sebagai jalan pintas membangun
rumah tangga dakwah
3 Susy Smita Langkah awal menuju masyarakat
Islam
Namun dalam proses pencarian data ini, peneliti menemukan kader
inti yang lain ingin kader binaannya menikah dengan sesama kader.
Seperti Linda yang mendorong kadernya menikah dengan sesama kader
demi kepentingan dakwah. Sebagaimana hasil wawancara yangg penulis
lakukan di lapangan;
“Sebagai seorang murabbi/ah yang mempunyai binaan, pasti dia
akan mencarikan binaannya yang terbaik, dan diusahakan sefikrah
artinya sama dalam memandang dakwah itu pada visi dan misinya.
Saya mendorong sekali binaan-binaan saya menikah sesama kader,
alasannya untuk kepentingan dakwah, karena dalam dakwah itu
15
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
11
pasangan harus saling mendukung karena basic dalam dakwah itu
adalah keluarga.”16
Pandangan yang kurang lebih sama diutarakan juga oleh bapak
Irwan dan bapak Jumadil. Dalam perspektif Irwan menikah sesama kader
berfungsi untuk pengokohan dalam struktur oragnisasi PKS. Sebagaimana
hasil wawancara yang penulis lakukan di lapngan;
“Kami sebagai murabbi/ah sangat menganjurkan menikah sesama
kader, karena ada jaminan dalam pengokohan dalam struktur
organisasi ini”17
Jumadil pun juga berargumen kalau di internal PKS masih banyak kader
yang lebih baik buat apa mencari non kader. Di internal, tidak ada istilah
pacaran, jadi menurut bapak Jumadil, beliau menyerahkan sepenuhnya
kepada murabbinya ketika dulu menikah dengan istrinya. Sebagaimana
hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Jumadil;
“Kalau memang di internal kami ada yang lebih baik, ngapain
juga memilih diluar kader. Kita diinternal kader tidak ada pacaran
sehingga untuk memudahkan menuju akses tersebut dengan
menghubungi Pembina(murabbi), dan kami bisa merasa tenang dan
menjamin kalau dipilihkan oleh Pembina, dibandingkan pilihan
orang tua, karena mereka satu sisi yang kebetulan tidak sepaham
dengan kita.”18
b. Pernikahan Dengan Non Kader
Pernikahan sesama kader atau dengan non kader tentunya ada
peran seorang murabbi/ah. Namun sejauh mana peran para murabbi/ah
juga peneliti telusuri. Terkait hal ini para informan memberi dua model
jawaban. Pertama, dulu ketika era Partai keadilan, peran murabbi/ah
16
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013) 17
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013). 18
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)
12
dominan, tetapi sekarang tidak begitu dominan khususnya ketika ada kader
yang ingin menikah dengan non kader. Kedua, peran murabbi/ah yang
sifatnya kondisional. Seperti yang nanti diutarakan Taslim. Tidak masalah
seorang kader PKS khususnya para akhwatnya menikah dengan non kader
asal yang hanif. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Ida Royani dalam
wawancaranya.
“Dulu murabbi/ah yang dominan, orangtua memasrahkan kepada
murabbi/ah, tapi sekarang mungkin ada pergeseran nilai,
diantaranya ada beberapa akhwāt kemungkinan rasa malunya
sudah berkurang, dulu pada masa kami, rasa malu akhwāt-akhwāt
sangat tinggi, Jadi untuk saat ini kita sebagai Pembina, yang kita
pikirkan bagaimana akhwāt ini menikah, walaupun itu bukan
kader yang penting dia laki-laki yang hanif. Dan yang lebih
penting, dari awal harus ada perjanjian, bahwa suaminya ini
mengetahui kalau calon istrinya adalah kader PKS, sehingga tidak
ada pelarangan untuk mengikuti tarbiyah atau kegiatan-kegiatan
PKS setelah menikah,”19
Kader inti PKS lainnya seperti Susi Smita juga menegaskan bahwa peran
murabbi/ah hanya mengarahkan dan tidak memaksa. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Susi Smita dalam wawancara yang penulis lakukan di
kediamannya;
“murabbi/ah akan tetap berusaha untuk mengarahkan serta
membantu kader untuk menikah sesama kader sehingga ada
kesamaan fikroh, tetapi ini bukan merupakan paksaan atau harga
mati”20
Pada aras yang sama peran murabbi/ah dalam proses pernikahan seorang
kader menjadi kriteria yang harus dipertimbangkan, dalam kaitan ini Dwi
Susilarsih mengutarakan hal serupa, bahwa seorang murabbi/ah hanya
19
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013) 20
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
13
mengarahkan dan tidak ada paksaan harus menikah sesama kader karena
tergantung tingkat pemahaman kader dan juga faktor jodoh di tangan
Allah SWT. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan di
lapangan;
“Murabbi/ah sangat mendorong kadernya untuk menikah
sesama kader, tapi tidak serta merta ini berjalan mulus, kembali
kepada tingkat pemahaman kader tersebut. Ketika ada kader
menikah diluar kader bagi kami tidak menjadi masalah, karena
murabbi/ah cuma mengarahkan saja, dan yang kita pahami bahwa
jodoh itu Allah yang tentukan. Mungkin ini yang terbaik bagi
dia.”21
Kader inti PKS, Muhammad Taslim punya pandangan kondisional
alias moderat dibanding istrinya, Linda yang ingin binaannya menikah
sesama kader saja. Muhammad Taslim memiliki dua sudut pandang terkait
pernikahan sesama kader yang konteksnya memperkuat misi dakwah dan
menikah dengan non kader dengan misi ekspansi dakwah. Menikah
dengan sesama kader mengharuskan se-fikrah, sedangkan dengan non
kader asal punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam. Hal tersebut
sebagaimana Muhammad Taslim sampaikan dalam wawancaranya;
“Memperkuat dakwah dalam naungan sefikrah itu memang cara
yang baik tapi tergantung konteksnya, kalau memang konteksnya
ekspansi maka ini bukan menguatkan tapi memperluas dakwah.
Bagi saya kalau konteksnya perluasan, maka menikahkan dengan
non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada
resikonya, tapi orang yang berdakwah dengan resiko tinggi
pahalanya juga besar, dan di lapangan kita melihat banyak tokoh-
tokoh masyarakat yang mempunyai potensi dan dipandang justru
simpati dengan pks karena anaknya menikah dengan kader PKS.
Kalau saya yang pertama sebagai satu kategori sangat
menganjurkan, tentu pertama mencarikan pasangan diinternal yang
sefikrah yang sudah siap menikah, karena bagaimanapun juga
21
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
14
ketika saya mempunyai binaan laki-laki tentu saya carikan binaan
yang sudah terbina, karena banyak memang akhwāt yang belum
menikah, dan yang kedua jika tidak ada yang cocok bagi dia, maka
tidak masalah menikah dengan non kader, tapi dengan catatan
punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam”22
Para informan yang rata-rata sebagai murabbi/ah dan mempunyai
binaan mengatakan tidak masalah jika ada kader menikah dengan orang di
luar jamaah, asal tidak menghalangi pasangannya ikut kegiatan-kegiatan
dakwah di PKS. Seperti yang diutarakan oleh Linda , Dwi susilarsih dan
Susi Smita di lapangan;
Menurut Linda “Ada akhwāt menerima pinangan laki-laki yang
bukan kader itu dengan satu syarat tidak menghalanginya nanti
dalam kegiatan-kegiatan dakwah di tarbiyah PKS, walaupun nanti
dalam pelaksanaannya merupakan tanggungjawab istri untk
mentarbiyahkan suaminya, tapi kita juga memahami bahwa
hidayah itu dari Allah, jadi ini cuma upaya saja.”23
Menurut Dwi Sularsih “Binaan yang Menikah diluar kader
tidak jadi masalah yang penting dia hanif dan tidak
menghalanginya mengikuti kegiatan-kegiatan kepartaian misalnya,
bahkan lebih bagus lagi kalau dia bisa merekrut orang lain masuk
PKS.”24
Menurut Susi Smita “Ketika ada kader menikah dengan non
kader tidak menjadi masalah, dengan syarat pasangannya yang
bukan kader tidak menghalangi pasangannya dalam kegiatan-
kegiatan dakwah PKS. Kita menghindari hal-hal mendoktrin, dan
kader yang akan menikah dengan non kader tetap konsultasi
dengan murabbi/ahnya. Apalagi sekarang banyak akhwat yang
belum menikah.”25
Dari paparan data yang disampaikan oleh para informan di atas
dapat penuliis simpulkan dalam bentuk tabel sebagai berikut;
22
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013). 23
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013) 24
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 25
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
15
Tabel 4.3: jika ada kader menikah dengan orang di luar PKS:
No Nama Informan Argumentasi
1 Linda
Asal tidak melarang pasangannya aktif di
kegiatan tarbiyah/PKS
2 Dwi susilarsis
Yang penting Hanif dan tidak melarang
pasangan ikut kegiatan kepartaian
3 Susi asmiwati
Kader yang menikah dengan orang diluar PKS,
tetap berkonsultasi dengan muroobi. Meminta
pasangan yang bukan kader tidak melarang
untuk aktif di kegiatan partai
Apakah jika seorang kader PKS menikah dengan non kader akan
mendapatkan perlakuan khusus bahkan bisa juga kena sanksi oleh
murabbi/ahnya? Para informan dengan tegas tidak ada sanksi karena
menikah itu hak pribadi. Muhammad Taslim menjelaskan sebagai berikut:
“Sanksi tidak ada, karena kita memahami bahwa pada
prinsipnya itu kewajiban orang tua, kami cuma mengarahkan,
sehingga jika ada kader ingin menikah pasti kami kordinasikan
dulu dengan orang tuanya. Ketika orang tua menyerahkan kepada
anaknya, baru kami sebagai murabbi/ah mencarikan pasangan
untuk dia. Menikah itu hak pribadi dan kewajiban struktur cuma
mengarahkan.”26
Darimana anjuran menikahkan sesama kader ini, Apakah tertera di
AD/ART ataukah muncul dari murabbi/ah? Seorang informan menjawab
26
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
16
hal ini tidak ada di dalam AD/ART, melainkan inisiatif para murabbi/ah.
Seperti yang dikatakan oleh Dwi Susilarsih:
“Ini tidak ada dalam AD/ART, kemungkinan ini inisiatif-inisiatif
murabbi/ah untuk mencarikan yang terbaik buat binaannya karena
pengaruhnya nanti ke dakwah.”27
Hal senada jga diiungkapkan Irwan Waji dalam wawancaranya
dengan penulis di lapangan;
“Tidak ada AD/ART yang mengatur ini. Kita sebagai murabbi/ah
menganggap bahwa itu merupakan cara berpikir kita dalam melihat
perjuangan serta keterlibatan kita dalam organisasi ini”28
Bahkan Muhammad Taslim juga menyampaikan jawaban yang
sama dengan Dwi Sularsih dan Irwan Waji. Sebagaimana dalam
wawancaranya;
“Ini tidak ada di AD/ART, cuma pertimbangan kemaslahatan
saja.”29
Dari beberapa inisiatif para murabbi/ah sempat dulunya
memunculkan sebuah lajnah bernama tim munākahat. Namun keberadaan
lajnah tersebut sekarang sudah tidak ada lagi. Sebagaimana hasil
wawancara yang penulis lakukan di lapangan;
“Dulu memang ada lajnah munākahat di internal, tapi sekarang
sudah tidak ada, apalagi menikah itu urusan luas, apalagi saya kira
ini merupakan kebijakan global dalam jamā’ah yang adakalanya
meluas tapi bukan berubah ya, dan dituntut untuk berintraksi
dengan dunia luar secara terbuka, meskipun ajaran terbuka itu
sudah ada”30
27
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 28
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013). 29
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013). 30
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)
17
Dari beberapa uraian data yang disampaikan oleh para informan di
atas dapat peneliti sistematisasikan dalam benntuk tabel sebagai berikut;
Tabel 4.4: Anjuran menikah sesama kader, Aturan AD/ART atau Inisiatif
Murabbi/ah?
No Nama Informan Argumentasi
1 Dwi susilarsis
Tidak ada aturan khusus di
AD/ART, melainkan inisitif
murabbi/ah
2 Irwan Tidak ada aturan di AD/ART yang
mengatur ini
3 Muhammad. Taslim Tidak ada di AD/ART, Cuma
pertimbangan kemaslahatan saja
c. Implikasi Pernikahan Dengan Sesama Kader dan Non Kader
Sejatinya apa yang kita lakukan termasuk buah dari sebuah tradisi
akan membawa dampak bagi pelakunya. Dalam hal ini penerapan kafā’ah
di kalangan PKS Sulsel sedikit banyak ada dampaknya terutama bagi
kader dan organisasi. Diantaranya seperti yang dijelaskan oleh Linda;
“Dampaknya sangat berpengaruh signifikan, ketika ada masalah
politik dia bisa mengkomunikasikan dengan keluarga masing-
masing, sehingga bisa kerja sama yang baik karena sama-sama
memahami tugas sebagai kader. Suara PKS memang ada
pengaruhnya cuma tidak signifikan, tapi kita harus memahami
bahwa dakwah bukan hanya sampai dalam urusan politik saja, jadi
ketika dia bisa mengkomunikasikannya dengan yang bukan kader
atau eksternal berarti dia sudah menjalankan tugasnya sebagai
kader. Dukungan suami istri sangat mempengaruhi kerja-kerjanya
di masyarakat.”31
31
Linda, wawancara (Makassar ,12 September 2013)
18
Informan seperti Dwi Sularsih yang merupakan ketua Bidang Perempuan
Dewan Pengurus Daerah (DPD) kota Makassar mengatakan kepada
peneliti bahwa pernikahan sesama kader membawa efek kesolidan. Beliau
menuturkan:
“Dampak politik bisa lebih solid, dan kita bisa kuat di keluarga
masing-masing, sehingga ketika sama-sama kader ketika ada
masalah dikepartaian tidak membutuhkan waktu untuk menjelaskan
lagi..”32
Penerapan kafā’ah di kalangan kader inti membawa dampak bagi
kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS sehingga
membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada. Seperti yang
dijelaskan oleh Muhammad Taslim:
“Dampak politiknya solid, dari segi mobilisasi itu mudah, dalam
pemenangan-pemenangan pilkada atau legislatif mereka solid,
karena satu suara. Sedangkan dalam politik kan kita butuh suara.
Yang kedua mereka solid dalam bekerja, meskipun mereka bukan
caleg misalnya tapi dia rela bekerja untuk memenangkan kader
PKS. Dan yang bisa melakukan kerja-kerja yang tampa biaya
hanya kader-kader militan seperti ini.”33
Selain membawa dampak bagi kesolidan khususnya di level
kekuatan mesin politik PKS sehingga membantu pemenangan-
pemenangan dalam pilkada, juga bisa menjadi penyemangat bagi kader,
sehingga menjadi kader yang kuat dan tangguh karena dukungan dari
pasangannya, sebagaimana yang diutarakan Ida Royani:
“semangat dakwahnya menjadi kuat karena pasangannya
mendukung aktivitasnya di PKS. Itulah mengapa kami menikahkan
kader dengan kader”34
32
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 33
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013). 34
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
19
Kader inti Jumadil ketika peneliti wawancarai memberi jawaban bahwa
dampak pernikahan sesama kader atau nikah dengan di luar kader punya
efek kepada raihan suara dan produktifitas dakwah di PKS. Bagi beliau itu
sesuatu hal yang relatif.
“Kalau dikaitkan dengan suara, ini relatif ya, tidak bisa juga
dibilang kalau menikah di luar kader bisa berdampak positif,
begitupun sebaliknya menikah dengan sesama kader juga bisa
terkesan ekslusif, karena pada faktanya ada yang sesama kader jadi
produktif dakwahnya, tapi ada juga yang tidak berbuat apa-apa.”35
Dari beberapa uraian yang disampaikan oleh para informan di atas,
penulis telah berhasil sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berkut;
Tabel 4.5: Implikasi Pernikahan Dengan Kader :
No Nama Informan Implikasi
1 Linda
Dampak ke perolehan suara PKS
memang ada pengaruhnya cuma
tidak signifikan
2 Dwi Suliarsis
Pernikahan sesama kader membawa
efek kesolidan,
3 Taslim
Timbul kesolidan khususnya di
level kekuatan mesin politik PKS
sehingga membantu pemenangan-
pemenangan dalam pilkada
4 Jumadil
Menikah di luar kader bisa
berdampak positif, begitupun
sebaliknya menikah dengan sesama
kader juga bisa terkesan ekslusif.
5 Ida rohyani semangat dakwahnya menjadi kuat
karena pasangannya mendukung
35
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)
20
aktivitasnya di PKS. Itulah
mengapa kami menikahkan kader
dengan kader.
Informan seperti Dwi Sularsih mengatakan kepada peneliti bahwa
pernikahan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada
pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS.
“Seperti saya yang mempunyai binaan yang nikah bukan kader,
tentu dia harus menjelaskan lagi kepada pasangannya ketika ada
informasi yang kurang jelas karena kita juga tidak perlu menelan
mentah-mentah informasi-informasi tersebut. akan tetapi berbeda
ketika pasangan sesama kader.”36
Menurut Ida rohyani yang merupakan mantan tim munākahat kader PKS
Sulsel mempunyai jawaban sedikit berbeda dalam hal dampak pernikahan
dengan non kader. Dampak lebih dirasakan pada kalangan akhwat PKS
yang mana semangat dakwahnya berguguran karena pasangannya tidak
mendukung aktivitasnya di PKS.
“Pengalaman dilapangan ketika akhwāt menikah diluar kader,
semangatnya berguguran, alasan utamanya karena suami yang tidak
mendukung. Tapi kalau kader dengan kader itu akan saling
mendukung, itu memang tujuan awal kami kenapa menikahkan
kader dengan kader.”37
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Muhammad Taslim
yang merupakan kader inti PKS, punya pandangan kondisional tentang
pernikahan kader dengan non kader, yaitu jika konteksnya misi ekspansi
dakwah maka menikah dengan non kader merupakan salahsatu solusinya,
36
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 37
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
21
dengan syarat non kader tersebut mempunyai suatu kreteria-kreteria dasar
dalam Islam.
“Memperkuat dakwah dalam naungan sefikrah itu memang cara
yang baik tapi tergantung konteksnya, kalau memang konteksnya
ekspansi maka ini bukan menguatkan tapi memperluas dakwah.
Bagi saya kalau konteksnya perluasan, maka menikahkan dengan
non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada
resikonya, tapi orang yang berdakwah dengan resiko tinggi
pahalanya juga besar”38
Dari beberapa uraian yang disampaikan oleh para informan di atas,
penulis telah berhasil mensistematisasikan dalam bentk tabel sebagai
berikut;
Tabel 4.6: Dampak Pernikahan Dengan Non Kader :
No Nama Informan Implikasi
1 Dwi Suliarsis
Menikah dengan non kader
membuat binaannyamenjelaskan
kepada pasangannya informasi-
informasi yang tidak benar yang
menyangkut PKS
2 Ida rohyani
Dampak lebih dirasakan pada
kalangan akhwat PKS, jika
menikah dengan non kader,
semangat dakwahnya
berguguran karena pasangannya
tidak mendukung aktivitasnya di
PKS. Itulah mengapa kami
menikahkan kader dengan
kaderkader membuat binaannya
menjelaskan kepada
38
Muhammad Taslim, Wawancara ( Bone, 09 september 2013).
22
pasangannya informasi-
informasi yang tidak benar yang
menyangkut PKS
3 Muhammad Taslim
kalau memang konteksnya
ekspansi maka ini bukan
menguatkan tapi memperluas
dakwah. Bagi saya kalau
konteksnya perluasan, maka
menikahkan dengan non kader
merupakan salah satu cara yang
baik, meskipun ada resikonya,
tapi orang yang berdakwah
dengan resiko tinggi pahalanya
juga besar
1
BAB V
ANALISIS DATA
MEMAHAMI MAKNA DAN PENERAPAN KAFA’AH DALAM
PERSPEKTIF KADER PKS
A. Makna Kafā`ah Menurut Kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel
Berdasar hasil penelitian dari bab sebelumnya, Makna kafā`ah bagi kader
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa
asumsi mereka tentang makna kafā’ah terdapat empat macam, yaitu Agama
sebagai kriteria kafā’ah, Ekonomi dan background keluarga sebagai kriteria
kafā’ah, Pendidikan sebagai kriteria kafā’ah dan Tarbiyah sebagai kriteria
kafā’ah.
1. Agama Sebagai Kriteria Kafā’ah
Sebagaimana yang penulis ungkapkan di muka, bahwa makna kafā’ah
menurut Wahbah al-Zuhailiy merupakan kesetaraan dalam perkawinan di
antara suami- istri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara-
perkara yang khusus. Adapun maksud dari perkara-perkara yang khusus
dalam perspektif Mazhab Maliki dalam pengertian yang diungkapkan oleh
Wahbah al-Zuhaily tersebut merupakan kesetaraan dalam agama dan haal
yaitu keselamatan dari cacat/aib yang membuatnya memiliki pilihan.
Sementara menurut mayoritas Fuqaha kafaah dimaknai sebagai kesetaraan
agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Selain ketentuan di atas, mazhab
2
Hanafi dan mazhab Hambali menambahkan makna kesetaraan sebagai
kemakmuran dari segi harta.1
Pada aras yang sama, Muhammad Taslim sebagai sekertaris Majelis
pertimbangan wilayah DPW PKS Sulsel memaknai kafā’ah pada pengertian
kesetaraan agama. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang menganjurkan
untuk memprioritaskan agama sebagai titik tolak dalam memilih pasangan.
Rasulullah memposisikan tipikal ini sebagai tipikal utama dalam pemilihan
pasangan. Hal ini karena faktor agama merupakan faktor yang penting.
Dalam hadis juga disebutkan dalil kafā`ah dalam beberapa kriteria, yang
hendaknya diperhatikan menjelang perkawinan. Hadis tersebut berbunyi:
عن أب ىري رة عن النب صلى اللو عليو وسلم قال ت نكح النساء لربع لمالا ولسبها ين تربت ي اك و مالا ول ينها اا ر 2(رواه أبو داود)بذات ال
Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: wanita dinikahi karena empat,
yaitu harta,nasab, kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat
kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia. (HR. Abu Dāwud)
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan
menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara
yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun
Nabi Muhammad SAW, sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan
pertimbangan dalam memilih pasangan. didasarkan pada penekanan sabdanya
1 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus : Dār al-fikr, 1985), hlm 229.
2 Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 5, hlm. 426, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
3
: ”fadzfar bidzāti al-dīn”( Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka
kamu akan berbahagia).
Faktor kesetaraan agama merupakan faktor yang unggul dan utama dalam
pemilihan pasangan, melebihi faktor lainnya. Karena perempuan yang
berkualitas secara keagamaan, meski kurang cantik secara fisik, agama
merupakan hal yang patut dan perlu untuk dipertimbangkan.3
Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama fiqih mempunyai perspektif
tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang dari perbuatan
keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-hukum agama. Agama
dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketidak fasikan. Dalam hal ini ulama
sepakat bahwa seorang laki-laki yang fasiq tidak sekufu’ dengan perempuan
yang shalihah. Rasulullah Muhammad SAW. bersabda :
إذا جاءكم من قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم :عن أب حات المزن قال نة ف الرض و ساد قالوا يا رسول ت رضون دينو وخلقو أنكحوه إل ت علوا تكن ت . اللو وإن كان يو قال إذا جاءكم من ت رضون دينو وخلقو أنكحوه ث مرات
4(رواه الرتميذي)”Dari Abu Hātim al-Muzani berkata; berkata Rasulullah SAW:Jika
datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka
kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian aka terjadi fitnah dan
kerusakan di atas bumi”, sahabatnya bertanya, ”ya Rasulullah, apabila di
atas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan ?” jawab beliau, ”Jika dating
kepada kamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, hendaknya
kawinkan ia” (Jawaban Rasulullah ini diulang sebanyak 3
kali)”.(HR.Tirmīdzi)
3 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga.., hlm. 41-48.
4 Tirmidzi, Al-Jami’ As-Sahih Juz 3, h. 395
4
Hadits di atas memberikan signal kuat kepada para wali agar
mengawinkan perempuan-perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang
beragama dan berakhlak. Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan laki-
laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang berkedudukan tinggi
atau keturunan mulia atau yang berharta, maka dapat menimbulkan fitnah dan
kerusakan bagi perempuan tersebut dan walinya.
Masih menurut Muhammad Taslim Ayah dari keempat anak ini, bahwa
kriteria agama dalam kafā’ah bukan untuk mencari seorang istri saja tapi
berlaku juga pada seorang wanita yang akan mencari calon suami. Apa yang
dikonstruksikan oleh Taslim merupakan model dari pola kafā’ah yang ideal
yang penulis wawancarai.
2. Ekonomi dan Background Keluarga Sebagai Kriteria kafā’ah
Dalam persoalan kafā’ah, Linda memberi kriteria terkait dengan aspek
ekonomi. Boleh jadi aspek kesetaraan ekonomi dalam perspektif Linda
bertujuan untuk kebaikan si calon istri dan anaknya di masa depan. Hal
tersebut tentunya dilatar belakangi oleh biaya pernikahan yang cukup tinggi di
Sulsel. Seperti untuk melangsungkan lamaran, upacara pernikahan dan resepsi
sedikitnya diperlukan biaya 50 juta hingga 100 juta. Hal ini sudah menjadi
standarisasi yang sudah mentradisi yang memang sudah mengakar kuat dalam
sistem prilaku masyarakat Sulsel, sehingga PKS sendiri sebagai pengamat
gerakan islam sekaligus sebagai gerakan revival tidak berdaya untuk merubah
tradisi tersebut. Karena dalam konsepsi kader PKS Al ‘ādatu Muhakkamatun
5
merupakan sebuah kewajaran dalam hukum Islam dan sangat ditoleran dalam
pelaksanaanya .
Konsepsi kafa’ah ekonomi yang diutarakan oleh Linda menurut penulis
mempunyai bentuk kesamaan perspektif dengan mazhab Hanafiyah dan
Hanabilah yang mengharuskan keberadaan harta sebagai tolak ukur kafa’ah
dalam sebuah perkawinan. Dalam perspektif ke dua mazhab tersebut harta
merupakan kemampuan seseorang (calon suami) untuk memberikan mahar dan
nafkah kepada isterinya. Sehingga dalam perspektif mereka harta merupakan
hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga dan eksistensinya menjadi
sebuah condititio sinequonon untuk dimasukkan dalam kriteria kafā’ah‘. Hal
tersebut Berdasarkan hadits Nabi SAW. :
ن يا عن ب ري ة عن أبيو قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم إن أحساب أىل ال 5(رواه أمج ) .الذي يذىبون إليو ىذا المال
”Dari Buraīdah dari ayahnya berkata: berkata Rasulullah SAW
Sesungguhnya kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang
mempunyai harta”. (HR. Ahmad).
Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd yang mengutip pendapat Ulama
Hanafiyah dan Hanābilah mengatakan bahwa yang dianggap sekufu’ adalah
apabila seorang laki-laki sanggup membayar mahar dan nafkah kepada
isterinya. Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau salah satu
diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu’.6 Sehingga perkawinanya
5 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, h. 423
6 Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid , hlm. 34
6
harus direeksaminasi dengan tujuan supaya ada kesakinahan antara mereka
berdua dalam rumah tanggahnya.
Pada aras yang lain, ulama Mālikiyah dan sebagian ulama Syāfi’iyyah
menentang penggolongan harta dalam kriteria kafā’ah. Menurut mereka harta
merupakan sesuatu yang bisa hilang. Menurut Wahbah al-Zuhaily pendapat
inilah yang paling benar dengan alasan bahwa, memasukkan harta dalam
ukuran kafā’ah sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam untuk tidak
berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.7
Atau dalam perspektif mikro, Aspek kafa’ah ekonomi sebagaimana yang
diutarakan oleh Linda merupakan salahsatu kriteria kafā’ah seperti yang
diperspektifkan oleh para Fuqaha yaitu adanya pekerjaan bagi suami, Yang
mana maksud dari term pekerjaan tersebut merupakan adanya mata
pencaharian yang dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga.8
Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati
pekerjaan keluarga keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah,
penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga
perempuan sesuai dengan adat yang berlaku. Menanggapi permasalahan ini
golongan Mālikiyyah berpendapat tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan,
semua itu dapat berubah sesuai dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi
ulama Mālikiyyah tidak dimasukkan dalam kriteria kafā’ah.9
Menurut Wahbah al-Zuhaily, kafā’ah juga bisa dipahami dengan kafā’ah
seacara basic-background profesinya. latar belakang profesinya dijadikan
7 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246.
8 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. 846
9 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246-247.
7
landasan kafā’ah. Untuk mengklasifikasikan yang dimaksud pekerjaan dalam
hal ini adalah tradisi. Nilai sebuah pekerjaan akan berbeda dengan berbeda
tempat dan waktu. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu waktu akan
tetapi bisa menjadi mulia di waktu yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah
profesi dipandang hina disebuah negeri dan dipandang tinggi di negeri yang
lain.10
Apa yang menjadi perspektif ulama fiqih di atas sangat selaras dengan
pendapat kader PKS di Sulsel. Hal itu sebagaimana yang peneliti amati di
lapangan bahwa seorang murabbi/ah/ (Pembina) akan mempertimbangkan
pekerjaan atau profesi binaannya dalam memilihkan pasangan, dari daftar
riwayat hidup yang berisi kreteria pasangan yang diidamkan. Sebagai contoh
ketika binaan yang akan dipilihkan pasangan profesinya adalah dokter, maka
tugas murabbi/ahnya memilihkan yang yang tidak jauh dari profesi tersebut.
Sehingga apa yang diinginkan untuk membentuk keluarga dakwah yang
sakinah bisa terwujud. akan tetapi perlu diketahui bahwa pemilihan pasangan
yang seprofesi oleh kader PKS sesuatu yang sifatnya pengarahan saja, sehingga
memungkinkan kader PKS yang tidak seprofesi bisa saja dipasangkan, jika
tujuan perkawinan itu bisa terwujud.
3. Pendidikan Sebagai Kriteria Kafā’ah
Ida Royani yang merupakan anggota kaderisasi Dewan Pengurus Daerah
PKS kota Makassar menyertakan aspek pendidikan dalam kriteria kafā’ah.
Peneliti menduga, kriteria dari ibu Ida royani dikarenakan binaannya yang di
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.
8
dalam liqo yang sebagian besar berasal dari kalangan berpendidikan.
Pendidikan di era modern ini merupakan suatu tolak ukur dalam perkawinan
yang tidak bisa dihindari di tengah kebutuhan akan pendidikan yang begitu
tinggi. Sehingga alasan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kafā’ah
merupakan sebuah kewajaran kultural. Karena kultur masyarakat makassar
merupakan kultur pendidikan.
4. Tarbiyah Sebagai kriteria Kafā’ah
Ibu Dwi Susilarsi sebagai kader PKS militan, memberikan pemakanaanya
tentang konsepsi kafā’ah dengan kesetaraan secara ideologis-manhajiyah.
Dalam perspektifnya kafā’ah ideologis-manhajiyyah merupakan adanya
kesefahaman dalam manhaj Tarbiyah. Adapun yang dimaksud manhaj
tarbiyah yang dimaksud oleh Dwi Susilarsi sebagaimana terimplementasikan
dalam bentuk pengajian pekanan atau liqo yang dilakukan oleh PKS. Masih
dalam perspektifnya bahwa apabila orang tua pada masa kini umumnya
memandang status pekerjaan dalam memilih calon pendamping bagi anak
perempuannya, maka ibu Dwi memberi semacam kemudahan dengan tidak
mengacu pada status kemapanan dalam profesi si calon suami. Akan tetapi bila
melihat jawabannya ini, peneliti menyimpulkan jika tarbiyah dipakai sebagai
kriteria, maka Dwi memiliki kecenderungan untuk memilihkan kader
binaannya dalam liqo untuk menikah dengan kader..
Dari ketiga kader inti PKS yang peneliti wawancarai tersebut, menurut
pengamatan peneliti mereka mempunyai kesamaan cara pandang bahwa aspek
kafa’ah tarbiyah maupun se-fikrah merupakan prioritas utama. Dan tak
9
ketinggalan juga latar belakang keluarga menjadi kriteria selanjutnya dalam
tolak ukur kafa’ah.
B. Penerapan Kafā`ah Perspektif Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel
1. Pernikahan Dengan Kader (se-fikrah)
Dari berbagai konsepsi yang dikemukakan oleh para informan di atas,
pada aras yang lain peneliti menemukan sebagian informan seperti R. Irwan
Waji yang merupakan Ketua Kaderisasi DPD PKS kota Makasar, begitupun
dengan Jumadil dan Susy Smita memandang kader yang menikah dengan
sesama kader punya tujuan penting bagi PKS yakni misi dakwah. Dakwah
yang dimaksud PKS adalah dakwah rabbaniyah yang rahmatan lil’alamin,
yaitu dakwah yang membimbing manusia mengenal tuhannya dan dakwah
yang ditujukan kepada seluruh umat manusia dengan landasan-landasan
ideologis seperti as-syumuliyah, reformatif (al-islah), konsisten hingga
berorientasi masa depan.11
Dari sini peneliti pahami bahwa dalam membentuk bangunan keluarga
yang tentunya sakinah mawaddah wa rahmah, PKS inginnya membentuk
keluarga sebagai tim dakwah. Selain itu bermanfaat juga untuk pengokohan
organisasi. Seorang kader yang aktif di agenda-agenda atau kegiatan partai
butuh dukungan dan pengertian dari pasangannya. Pasangan yang tepat dalam
hal ini adalah kader PKS juga.
Pernikahan sesama kader ini tujuan lainnya adalah terbentuknya
Masyarakat Islami. Masyarakat islami ini dibutuhkan untuk menggapai misi
mihwar dauly yang merupakan bagian dari 4 orbit dakwah yang kini dijalankan
11
Lihat buku Manhaj tarbiyah 1433 H hal 37
10
PKS di Indonesia.12
Peneliti belum mengetahui apakah masyarakat Islami ini
ujung-unjungnya mengarah ke pembentukan negara islam atau tidak.
Pernikahan sesama kader tidak lepas dari peran para murabbi/ah. Peran
murabbi/ah dominan ketika awal pembentukan Partai keadilan (PK). Berarti
pada masa-masa tersebut kondisinya masih eksklusif. Bagi partai, di masa PK
terbentuk butuh pengokohan internal partai dimana jalan pintasnya dengan
pernikahan sesama kader. Informan seperti Jumadil pun berargumen kalau di
internal PKS masih banyak kader yang lebih baik buat apa mencari non kader.
Peneliti cukup paham atas jawaban Jumadil karena pengalaman beliau yang
menyerahkan sepenuhnya kepada Murabbinya ketika dulu menikah dengan
istrinya. Jadi adakalanya seorang murabbi/ah mengarahkan seorang binaannya
supaya menikah dengan sesama kader juga dipengaruhi oleh pengalaman
pribadinya.
Pernikahan se-fikrah dalam internal kader PKS menurut Muhammad
Taslim bisa dikondisikan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihanya.
Muhammad Taslim memiliki dua sudut pandang terkait pernikahan sesama
kader Pertama: memperkuat misi dakwah atau pengokohan, jadi ketika ada
binaan laki-laki yang siap menikah akan dicarikan akhwat yang sudah terbina,
seperti halnya batu bata yang sudah disiapkan dan hanya tinggal menata saja.
Yaitu kader-kader yang sudah dibekali ilmu keagamaan dalam bingkai
tarbiyahnya sudah ada, hanya tinggal menata untuk membangun mahligai
rumah tangga. Jadi konsep ajarannya adalah ketika berumahtangga dibangun
12
Tentang orbit dakwah PKS. Lihat MPP PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah
dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, (Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat Partai
Keadilan Sejahtera, 2008), hal 35
11
dengan visi dan misi yang sama maka keluarga yang diidam-idamkan yaitu
sakinah, mawaddah, warahmah akan lebih cepat terwujud. Lebih khusus lagi
adalah semangat dakwah yang tidak luntur karena motivasi dari pasangan
hidup yang sama. Kedua: misi ekspansi dakwah. Menikah dengan non kader
dengan syarat punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam.
Kembali kepada pernikahan sesama kader, kebiasaan seperti ini bukanlah
dari AD/ART partai, melainkan inisiatif dari para murabbi/ah dengan
pertimbangan maslahat. Maslahat-nya peneliti tafsirkan lebih kepada kader
dan struktur partai. Bagi kader maslahat-nya pada kelancaran dalam mengikuti
agenda-agenda partai, sedangkan untuk partai sendiri sisi maslahat-nya pada
kesolidan. Inisiatif dari para murabbi/ah di PKS Sulsel sempat memunculkan
sebuah lajnah bernama tim munākahat. Namun keberadaan lajnah tersebut
sekarang sudah tidak ada lagi. menurut Ida Royani untuk saat ini diserahkan
kepada murabbi/ah masing-masing kader.
Keberadaan lajnah atau semacam lembaga yang fungsinya sebagai wadah
bagi para murabbi/ah untuk menikahkan dengan sesama kader disetiap daerah
punya aneka macam nama. Seperti di PKS piyungan, Jogjakarta yang terdapat
Badan kordinasi keluarga Bahagia Sejahtera (BKKBS)13
dan di Malang
bernama unit keluarga sejahtera (UKS).
Dari penelusuran dilapangan peneliti temukan proses model perjodohan
sesama kader ini dimulai dengan memasukkan daftar riwayat hidup ke lembaga
tersebut. Selanjutnya akan dicarikan yang cocok dengan kriteria yang
13
Habib Nanang, Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul (UIN Jogjakarta, 2007)
12
diidamkan. Proses berikutnya adalah mempertemukan kedua belah pihak untuk
ta’aruf. Ta’aruf yang dimaksud adalah mempertemukan dua kader tersebut
dengan ditemani oleh murabbi atau orang yang dipercaya. Setelah ta’aruf yang
memakan waktu paling lama sebulan, dilangsungkan pernikahan.
Dalam internal kader PKS diketahui bahwa mereka memiliki jenjang
keanggotaan yang berbeda, yang perlu dicermati adalah pertimbangan
murabbi/ah dalam pemilihan pasangan untuk binaannya, selain pertimbangan
se-fikrah ada juga pertimbangan jenjang keanggotaan. Menurut Bab III Pasal 5
Anggaran Rumah Tangga PKS, partai ini memiliki enam jenjang keanggotaan,
yang terbagi ke dalam dua jenis keanggotaan, yaitu Anggota Pendukung dan
Anggota Inti. Anggota Pendukung terdiri dari Anggota Pemula (Tamhidi) dan
Anggota Muda (Muayyid). Sedangkan Anggota Inti terdiri dari Anggota Madya
(Muntasib), Anggota Dewasa (Muntazhim), Anggota Ahli (’Amil), dan
Anggota Purna (Mutakhasis).
Menurut Linda ketika ada akhwāt atau kader wanita yang sudah siap untuk
dilamar maka seorang murabbi/ah akan memberikan pertimbangan dengan
mengusahakan akhwāt tersebut menikah dengan ikhwan yang selevel
dengannya dalam perkaderan atau di atas jenjang akhwāt tersebut. Jika tidak
ada, maka murabbiah akan mengarahkan kepada ikhwan yang selevel
keanggotaannya pada jenjang anggota Muda (Muayyid).14
14
Linda, wawancara (via telepon 19 Maret 2014)
13
2. Pernikahan Dengan Non Kader
Dalam tahap ekspansi dakwah, peran murabbi/ah tidak lagi dominan.
Kader tidak harus menikah dengan sesama kader. Berarti para murabbi/ah ini
dalam perjalanan waktu telah mengalami sebuah “pergeseran” yang
dipengaruhi faktor eksternal seperti era keterbukaan dan semakin banyaknya
orang yang bergabung dengan PKS.
Di tahap ekspansi dakwah, menikah dengan non kader tidak masalah
dengan syarat dia hanif15
dan tidak melarang pasangannya untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan kepartaian seperti yang dijelaskan Ida royani sebagai mantan
devisi munakahat kader PKS Sulsel.
Dalam sudut pandang yang lain, Aco yang merupakan salah satu kader
ormas Islam yang bukan dari internal partai PKS yang menikah dengan akhwāt
kader PKS, bahwa walaupun secara pemahaman agama dia dan istrinya ada
sedikit benturan, akan tetapi dia selalu memahami bahwa inilah konskuensi
yang harus dihadapinya ketika menikah dengan kader PKS, yaitu tidak
menghambat atau melarang istrinya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan
kepartaian.16
Menikah dengan non kader jika konteksnya untuk ekspansi dakwah;
peneliti anggap ini merupakan pilihan rasional. Khususnya untuk menambah
perolehan suara maupun mengenalkan profil partai kepada keluarga dari
pasangan yang non kader PKS. Jika menikah dengan kader saja, maka partai
ini akan stagnan perkembangannya.
15
Maksud dari hanif menurut kader PKS adalah adanya kecendrungan pada kebaikan. 16
Aco , wawancara (Makassar, mesjid bait al-afiat, 12 desember 2013)
14
Aspek interest lain yang peneliti temukan dari konstruksi kafā’ah di kader
inti PKS Sulsel ini apabila ada binaannya yang menikah dengan non kader,
tetap harus dikonsultasikan dengan para murabbi/ah. Murabbi/ah fungsinya di
partai sebagai guru sekaligus orang tua. Boleh jadi murabbi/ah memberikan
pandangan-pandangan maupun motivasi untuk binaannya yang sudah mantap
memilih pasangan yang non kader. Selain itu, kader yang menikah dengan non
kader tidak ada sanksi maupun perlakuan khusus dari partai karena itu hak
pribadi.
3. Implikasi Pernikahan Dengan Kader dan Non Kader
Penerapan kafā’ah di kalangan PKS Sulsel sedikit banyak ada dampaknya
terutama bagi kader dan organisasi. Khusus kader terdapat dua dampak baik
positif maupun negatif. Positifnya jika menikah dengan sesama kader, tidak
akan terjadi salah paham maupun kendala ketika pasangannya aktif di kegiatan
PKS. Sisi negatifnya itu, pernikahan sesama kader kesannya bagi orang luar
PKS adalah ekslusif dan itu bertentangan dengan slogan keterbukaan partai
yang lama dideklarasikan sejak Mukernas Bali pada tahun 2008.
Pernikahan dengan non kader juga punya sisi positifnya yaitu pertambahan
raihan suara dan sekaligus untuk menjelaskan kepada pasangannya informasi-
informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS. Informasi yang dipandang
kurang akurat sering kali datang dari media mainstream yang kebanyakan
dimiliki petinggi Parpol. Sehingga konten beritanya menyudutkan dan tidak
berimbang. Sisi negatifnya menikah dengan non kader lebih dirasakan pada
kader perempuan. Resikonya setelah berumah tangga dengan non kader ada
15
dua: tidak boleh aktif di dalam kegiatan partai dan yang paling parah adalah
berpindah ke lain organisasi. Ini biasanya terjadi pada kader perempuan yang
menikah dengan kader organisasi Islam lain, seperti organisasi HTI.
Sebagaimana diketahui publik, di kehidupan sehari-hari, dua organisasi ini
bersaing keras dalam melebarkan pengaruhnya khususnya di kampus.
Bagi organisasi, penerapan kafā’ah di kalangan kader inti membawa
dampak bagi kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS
sehingga membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada. Dalam
mengarungi kancah perpolitikan nasonal, PKS sangat mengandalkan kekuatan
kadernya. Sebagai contoh sewaktu peneliti menyaksikan pilwali di Makassar,
kader-kader sangat militan dalam mempromosikan kandidat dari PKS baik
door to door maupun melalui bakti sosial berupa pengobatan gratis.
Sebelum pemilu 2014 para kader PKS gencar melakukan sosialisasi caleg
yang diusung oleh partai, seperti yang peneliti temukan di lapangan yaitu
adanya kegiatan yang biasa mereka sebut Direct Selling, silaturahmi ke rumah-
rumah warga untuk mengenalkan caleg PKS. Dalam aplikasinya kegiatan ini
juga melibatkan akhwāt- akhwāt atau kader wanita yang sudah menikah,
dengan tantangan yang begitu besar untuk merealisasikan kegiatan ini, yang
kadang menyita waktu. Tentu ketika akhwāt yang sudah menikah tersebut,
mendapatkan persetujuan, bahkan motivasi dari suami. Ini menjadi mudah
karena suami pun mempunyai visi dan misi yang sama atau se-fikrah.
Selain itu ketika kampanye terbuka di Stadion Gelora Bung Karno pada
16 Maret 2014, PKS mampu memadati stadion tersebut dengan bermodalkan
16
militansi para kadernya. Berbeda dengan partai lain yang tidak sanggup
mendatangkan ratusan ribuan kadernya untuk memadati stadion tersebut
1
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang peneliti lakukan tentang
implementasi konsep kafā’ah di kalangan kader inti PKS Sulsel. Maka peneliti
menyajikan dua kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Yang akan
penulis uraikan sebagai berikut:
1. Makna kafā’ah dalam perspektif Kader inti PKS dapat dilihat dari sekufu’
tidaknya seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada
kondisi ekonomi serta latar belakang keluarga, aspek pendidikan dan
pemahamannya terhadap tarbiyah. Tarbiyah yang dimaksud adalah manhaj
tarbiyah yang dimiliki PKS. Manhaj tarbiyah ini terimplementasikan dalam
bentuk pengajian pekanan/liqa’ beserta kurikulumnya.
2. Adapun Penerapan kafā’ah dalam perspektif kader PKS Sulsel pada awal
sejarah berdirinya memang ditandai dengan kafā’ah sesama kader tarbiyah.
Pernikahan sesama kader ini tujuannya demi keberlangsungan misi
dakwah, pengokohan organisasi dan langkah awal untuk mencapai
masyarakat islami. Akan tetapi ditemukan pula kader yang menikah dengan
non kader PKS. Hal tersebut tidak menjadi masalah jika ada kader yang
menikah dengan non kader. Dengan ketentuan tidak menghalangi
pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Pernikahan sesama
kader membawa dampak positif berupa soliditas partai, khususnya di level
2
kekuatan mesin politik PKS sehingga dapat membantu pemenangan-
pemenangan dalam pilkada, sedangkan dengan non kader membuat
binaannya menjelaskan kepada pasangannya informasi-informasi yang
tidak benar yang menyangkut PKS. Sisi negatifnya menikah dengan non
kader lebih dirasakan pada kader perempuan. Resikonya setelah berumah
tangga dengan non kader ada dua: pertama: tidak boleh aktif di dalam
kegiatan partai dan yang kedua berpindah ke organisasi Islam yang lain.
B. Refleksi Teoritis
Dalam sebuah kajian akademis, dinamika tesis anti tesis merupakan sebuah
kewajaran akademis yang tidak bisa dihindari. Sehingga dalam penelitian ini
perlu penulis sampaikan terkait refleksi teoritis konsepsi kafā’ah kader PKS
Sulsel dalam memaknai dan penerapanya. Hal ini penulis lakukan dalam
rangka memperkuat tesis kader inti PKS tentang kafā’ah bahkan meng-anti
tesis konsepsi tersebut
Adapun implikasi teoritis dari beberapa temuan penelitian yang penulis
uraikan di Bab lima, adalah sebagai berikut:
Pertama: temuan dalam penelitian ini memperkuat anggapan tentang konsepsi
kafā’ah kader PKS yang mengharuskan satu fikrah-tarbiyah. Sebab
sebagaimana yang penulis paparkan dalam analisis penelitian tesis ini, bahwa
hampir semua informan sepakat tentang konsepsi kafaah se-fikrah seperti yang
sudah banyak terjadi pada kader partai mereka. Adapun argumentasi yang
mereka bangun dalam mentradisikan kafā’ah se-fikrah-tarbiyah adalah untuk
3
masifitas dakwah mereka dalam rekruitmen kader dan soliditas kelompok
mereka.
Kedua: Pada aras yang lain, temuan dalam tesis ini juga berimplikasi teoritis
untuk mendekonstruksi ketentuan kafā’ah yang selama ini seolah-olah
diskaralkan dalam partai PKS. Akan tetapi setelah terjadi transformasi ideologi
partai PKS menjadi partai terbuka, maka kafā’ah yang menjadi konsepsi
pakem para elit kader PKS, sekarang konsepsi tersebut menjadi sesuatu yang
profan untuk dilakukan oleh para kader PKS. Hal ini sebagaimana temuan
penulis di lapangan bahwa dari beberapa informan banyak informan yang
berargumentasi bahwa kafā’ah se-fikrah menjadi alasan nomer dua setelah
adanya kafā’ah dalam persoalan agama, ekonomi, pendidikan dan backround
keluarga.
Ketiga: Dari segi implementasinya, konsepsi kafā’ah di PKS tidak diatur
secara organisatoris sebagaimana di kalangan Ahmadiyah. Bahkan seorang
kader yang menikah dengan non kader pun tidak akan mendapat sanksi sosial
seperti pada komunitas Arab. Akan tetapi ketika kader menikah dengan non
kader PKS, diberlakukan syarat asalkan tidak melarang pasangannya ikut
kegiatan-kegiatannya PKS. Dari sini bisa dikatakan kader PKS Sulsel
menerapkan “kafā’ah bersyarat”. Kafā’ah bersyarat ini membawa dampak
terhadap kesolidan dan raihan suara partai.
C. Rekomendasi Penelitian
1. Dari hasil penelitian ini diharapkan para Pembina di DPW PKS Sulsel
untuk mendorong binaannya khususnya (kader laki-laki) untuk menikah
4
dengan non kader. Karena dalam penelitian ini terbukti pernikahan dengan
non kader punya sisi positif untuk raihan suara partai dan pemenuhan
ambisi partai untuk menggapai posisi 3 besar di pemilu legislatif 2014.
2. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan bahwa Pengurus DPW PKS
seyogyanya berani mendekonstruksi tradisi kafā’ah secara ekonomi di
Makassar yang menelan biaya tinggi. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Nabi Muhammad SAW.
1
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān al-Karīm
Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, 2003. al-Ahwal al-Syakhshiyah fi al-
Syariat al-Islamiyah, Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyah
AD/ART PKS yang direvisi pasca Munas II di Jakarta pada Mei 2011
AD/ART PKS yang disahkan Musyawarah Majelis Syura III pada 26 November
2005
Al-Hasbi, M. Baqir,. 2005.Fiqih Praktis, Bandung: Mizan
Al-Jaziri, Abdur Rahman, 1999. Kitab Al-Fiqh ’Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah,
Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Al-Sarakhsyi, Syamsuddin, 1989. Kitab al-Mabsut Lebanon: Dar al-Ma’rifah
Al-Sarkhasyi, Syamsuddin, 1989. Kitab al-Mabsut. Lebanon: Dar al-Ma’rifah
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisi
Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta
As-Subki, Ali yusuf, 2010. Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,
judul asli Nidzam Al-Usrah Fi Al-Islam, alih bahasa Nur Khozin Jakarta:
Amzah
David Pearl, 1987. A Text Book on Muslim Personal Law, edisi II London: Croom
Helm
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta; Balai Pustaka.
Edward, Djoni, 2007 Efek Bola Salju PKS, Bandung: Harakatuna,
Ghazaly, Abd. Rahman, 2006. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana
2
Hermawan. Sulhani, Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan
Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif
Dan Historis Kontekstual Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah, Surakarta;
STAIN Surakarta
M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data
Analysis, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi,Jakarta: UI-
Press, 1992
Malik, Abi, 1996. Bada’i’ al-Shana’i’ fi Tartib al-Syara’i’, Beirut: Dar al-Fikr
Mandzūr, Ibnu,Tt. Lisānul ‘arab, Dār al-ma’ārif
Manhaj Tarbiyah 1433 H (Jakarta: Lembaga kajian manhaj tarbiyah)
Marzuki, 2002, Metodologi Riset Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama
Matta, Anis, 2007. Integrasi Politik dan Dakwah, Jakarta: Arah Press
Matta, Anis. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Jakarta: Fitrah Rabbani
Moleong, Lexy, 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
MPP PKS, 2008. Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah dasar dan
Platform Kebijakan Pembangunan PKS, Jakarta: Majelis Pertimbangan
Pusat Partai Keadilan Sejahtera
Muhammad ‘Uwaidlah, Kamil Muhammad, 1992. al-Imam Abu Hanifah Nu’man
bin Tsabit al Tamimi al-Kufi Faqih Ahl al-‘Iraq wa Imam Ashhab al-
Ra’y, cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihāyah al-
Muqtashid ,Jilid II (Bairūt: Dār al-Jail, 1989)
Muhtadi, Burhanuddin.2012. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta, Indonesia:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Munandar, Arief, 2011. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus
Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia
Pasca Pemilu 2004, desertasi, Depok Universitas Indonesia
3
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, 2002, Proposal Penelitian di Perguruan
Tinggi Bandung: Sinar Baru Algasindo
Nanang, Habib, 2007. Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, UIN Jogjakarta
Paramadina, Putri, 2010. Kafa'ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab Al-
Habsyi Di Kabupaten Pemalang, Semarang: IAIN Walisongo
Rahmat, M. Imdadun, 2009. Ideologi Politik PKS. Yogyakarta:LKiS
Rizal, Faisol, 2012. Dengan judul Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga
Pesantren: Studi Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang.
Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyah Progam Pascasarjana UIN
Malang
Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi’i, Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li Al-
Muslimin Fi Al-Gharbi. Beirut; Dar Ibn Hazm.
Sapto Waluyo, 2005. Kebangkitan politik Dakwah, Bandung: Syamil
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2000, kairo: dār al-Fath
Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Liberty
Syarifudin, Amir, 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana
Tim Departemen Kaderisasi PKS, 2003. Manejemen tarbiyah bagi Anggota
Pemula, Bandung: Syaamil
Wahbah al-Zuhaili, 1985, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus : Dār al-fikr
Zaidi, Nur Hasan (ed), 2007. Mereka Bicara PKS, Bandung: Fitrah Rabanni
Zulhamdani, 2010. Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Ahmadiyah Qodian dan
Lahore Perspektif Ulama Syafi’iyyah. UIN Jogjakarta
Elektronik
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud,, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
4
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 7, hlm. 388, al-Maktabah al-
Syamilah versi 3.28
Internet
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/078460485/.
republika.co.id edisi 4 Februari 2013.
detik.com, edisi 4 Februari 2013
republika.co.id edisi Senin 6 Mei 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera