17
IMPETIGO BULOSA DAN IMPETIGO KRUSTOSA I. DEFINISI Impetigo adalah penyakit yang menular, dan infeksi piogenik superfisial pada kulit. Bakteri gram positif, yaitu Staphylococcus dan Group A beta-hemolytic streptococcus merupakan penyebab utama infeksi pada kulit dan jaringan lunak. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi yang berspektrum luas dari pioderma superfisial sampai infeksi jaringan lunak yang invasif tergantung organisme, lokasi anatomik dan faktor host. Terdapat dua tipe dari impetigo yaitu impetigo non-bulosa (impetigo kontagiosa) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa terjadi disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Di negara maju, impetigo non- bulosa sering terjadi disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan jarang terjadi karena Group A streptococcus. Namun, Group A streptococcus masih kekal sebagai penyebab tersering impetigo non-bulosa di negara berkembang. [1- 3] Impetigo bulosa dan impetigo non-bulosa (impetigo krustosa) berawal dari vesikel yang sangat tipis dan mempunyai atap yang hanya mengandung stratum korneum. 1

Impetigo Bulosa dan Krustosa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat kecik

Citation preview

IMPETIGO BULOSA DAN IMPETIGO KRUSTOSA

I. DEFINISI

Impetigo adalah penyakit yang menular, dan infeksi piogenik superfisial pada kulit. Bakteri gram positif, yaitu Staphylococcus dan Group A beta-hemolytic streptococcus merupakan penyebab utama infeksi pada kulit dan jaringan lunak. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi yang berspektrum luas dari pioderma superfisial sampai infeksi jaringan lunak yang invasif tergantung organisme, lokasi anatomik dan faktor host. Terdapat dua tipe dari impetigo yaitu impetigo non-bulosa (impetigo kontagiosa) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa terjadi disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Di negara maju, impetigo non-bulosa sering terjadi disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan jarang terjadi karena Group A streptococcus. Namun, Group A streptococcus masih kekal sebagai penyebab tersering impetigo non-bulosa di negara berkembang. [1-3]

Impetigo bulosa dan impetigo non-bulosa (impetigo krustosa) berawal dari vesikel yang sangat tipis dan mempunyai atap yang hanya mengandung stratum korneum. Vesikel pecah begitu cepat pada impetigo non-bulosa sehingga vesikel jarang terlihat Pada impetigo bulosa, epidermis terpisah tepat di bawah stratum granulosum dan membentuk lepuhan besar. Histologi ini mirip pada impetigo non-bulosa kecuali pembentukan lepuhan adalah ringan dan sementara. [1, 2]

II. EPIDEMIOLOGI

Dua puluh persen individu terus dijangkiti oleh Staphylococcus aureus, dan enam puluh persen dari orang sehat merupakan pembawa sifat infeksi Staphylococcus aureus. Hal ini menunjukkan Staphylococcus aureus merupakan sumber dari banyak infeksi. Infeksi kulit, terutama furunkulosis dan impetigo terjadi pada 28% pasien agammaglobulinemia. [3]

Infeksi primer lebih sering terjadi pada anak-anak. Infeksi sekunder dapat terjadi di semua usia. Impetigo bulosa dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Impetigo bulosa menular dengan cepat terutamanya pada bayi yang baru lahir, penyakit ini sebelumnya disebut pemfigus neonatorum, karena gambaran klinisnya yaitu lepuhan yang menyebar luas ke seluruh badan menyerupai pemfigus. [1, 4]

Di United Kingdom, insidens tahunan kejadian impetigo adalah 2.8% pada anak usia di atas empat tahun dan 1.6% kasus pada anak usia lima hingga 15 tahun. Impetigo non-bulosa (impetigo krustosa) menyumbang lebih dari 70 persen pioderma. Dalam sebuah studi mengenai impetigo bulosa, 51% pasien memiliki Staphylococcus aureus yang dibiakkan dari hidung atau tenggorokan, dan 79% dari kultur tesebut membiakkan strain yang sama dari kedua hidung dan telinga. [3, 5]

III. ETIOLOGI

Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab tersering pada impetigo, group A -hemolytic streptococcus (GAS) juga dapat menyebabkan impetigo. Agen penyebab impetigo bulosa adalah Staphylococcus aureus yang memproduksi Epidermolytic Toxin A (ETA) dan kemudiannya menghasilkan toksin eksfoliatif dan juga menyebabkan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS).[4]

Faktor predisposisi yang menyebabkan infeksi antara lain menurunnya daya tahan tubuh, cuaca yang panas dan lembap, serta ada penyakit kulit lain seperti skabies dan eksema. Kondisi dengan lingkungan padat, higienitas buruk, cuaca panas dan penyakit sebelumnya dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit ini.[5,6]

IV. PATOGENESIS

Pada impetigo bulosa, epidermis akan terpisah tepat di bawah stratum granulosum membentuk lepuhan besar. Netrofil bermigrasi melalui epidermis spongiotic ke dalam rongga bulla, yang mungkin juga mengandung bakteri. Sel akantolitik sesekali dapat dilihat, disebabkan kemunculan netrofil. Dermis atas terdapat infiltrasi netrofil dan limfosit. Bakteriofag kelompok II Staphylococcus aureus, terutama strain 77 dan 55 dapat menyebabkan terjadinya impetigo bulosa dan erupsi kulit lainnya. Hal ini karena timbulnya respon kutaneus terhadap toksin ekstraseluler eksfoliatif ("eksfoliatin") tipe A dan B yang dihasilkan oleh staphylococcus tersebut. [1, 3]

Gambar 1: Impetigo bulosa setelah bulla pecah. Lokasi: Regio

ekstremitas inferior. Effloresensi: Makula eritem, erosi [1]

Impetigo non-bulosa (impetigo krustosa) terjadi pada anak-anak dari segala usia serta pada orang dewasa. Pada kulit yang utuh biasanya resisten terhadap kolonisasi atau impegtinisasi, mungkin kerana tidak adanya reseptor fibronektin untuk asam techoic pada Staphylococcus aureus dan group A Streptococcus. Produksi bakteriosin yang diproduksi oleh kelompok Staphylococcus aureus tertentu dan sangat bakterisid untuk streptokokus grup A, mungkin bertanggungjawab untuk isolasi hanya Staphylococcus aureus dari beberapa lesi yang awalnya disebabkan oleh streptokokus. Urutan peristiwa yang menyebabkan impetigo non-bulosa adalah paparan terhadap agen infeksi, menular ke kulit normal yang terpapar, dan akhirnya terjadi infeksi kulit setelah trauma minor akibat menggaruk. Infeksi telah ditemukan pada permukaan kulit normal 2 minggu atau lebih sebelum munculnya lesi. [2, 3]

Gambar 2: Impetigo krustosa. Lokasi: Regio

fascialis. Effloresensi: Eritem, krusta [3]

V. GAMBARAN KLINIS

Pada impetigo bulosa, bulla lambat pecah dan menjadi lebih besar; pada umumnya berdiameter 1-2 cm namun kemungkinan ditemukan bulla yang sangat besar dan bertahan selama 2 atau 3 hari. Isinya terlihat jernih, kemudian tampak berawan dengan batas yang tegas dan tidak ada eritem di sekitarnya. Bulla menempati daerah superfisial, dan dalam waktu satu atau dua hari bulla akan pecah. Setelah pecah, akan tampak krusta yang tipis, datar dan berwarna coklat. Terjadi central healing dan perluasan pada tepi memberikan gambaran lesi sirsinar/anular. Meskipun sering mengenai daerah wajah, lesi dapat timbul secara luas di mana saja dan tidak teratur distribusinya, sering pada daerah yang terdapat penyakit kulit sebelumnya, terutama miliaria atau luka ringan seperti gigitan serangga. Membran mukosa mulut juga dapat terlibat. Umumnya, beberapa lesi muncul, tetapi dengan gambaran yang sangat variatif. Kebanyakan kasus kambuh dalam waktu beberapa minggu dan tidak meninggalkan bekas luka. Impetigo bulosa kurang menular dari impetigo non-bulosa, dan biasanya sporadik.[1, 3, 5]

Gambar 3 : Impetigo bulosa. Lokasi: Regio

aksilaris. Effloresensi: Bulla [5]

Dalam impetigo krustosa, lesi awal berupa vesikel yang berdinding sangat tipis pada dasar eritem. Cairan serum yang dikeluarkan mengering dan membentuk krusta yang berwarna kuning madu, yang biasanya lebih tebal dan kotor dari krusta yang disebabkan oleh streptokokus. Terjadi secara bertahap, tidak teratur, ekstensi perifer, tanpa central healing, dan pada lesi multipel yang biasanya muncul, dapat menyatu. Krusta akhirnya kering dan terpisah untuk meninggalkan eritema, yang memudar tanpa bekas luka. Tidak ada gejala konstitusional. Limfadenopati regional dapat muncul pada pasien dengan infeksi yang berkepanjangan, dan tidak diobati. Wajah, terutama di sekitar hidung dan mulut, dan anggota badan merupakan lokasi yang paling sering terkena, tetapi keterlibatan kulit kepala adalah sering dalam tinea kapitis, dan lesi dapat terjadi dimana saja di seluruh tubuh, terutama pada anak dengan dermatitis atopik atau skabies. Keterlibatan membran mukosa jarang terjadi. Jika tidak diobati, lesi akan membesar secara perlahan-lahan dan akan menular ke bagian lain dalam waktu beberapa minggu. Pada beberapa individu, lesi menghilang secara spontan; pada orang lain lesi akan meluas ke dermis dan membentuk ulkus. Pada kulit yang lebih gelap, lesi akan diikuti oleh hipopigmentasi atau hiperpigmentasi yang bersifat sementara.[1, 3, 5]

Gambar 4: Impetigo krustosa. Lokasi : Regio facialis,

Effloresensi: Eritem, krusta, erosi [5]

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis impetigo dapat ditegakkan dari pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan antara lain pewarnaan gram. Hasil pewarnaan gram yang akan didapatkan untuk kasus impetigo adalah bakteri gram positif, dalam bentuk rantai atau kluster berserta netrofil. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk melihat Staphylococcus aureus, Group A Streptococcus (terutamanya dari lesi lama). Antibiotik oral yang tidak mapan menjadi indikasi kepada infeksi MRSA. Pada pemeriksaan dermatopatologi, kokkus bakteri gram positif dapat ditemukan dalam cairan lepuhan, dan adanya erosi atau ulserasi.[4]

Secara histologis, lesi impetigo bulosa ditandai dengan munculnya pembentukan vesikel di daerah subkorneal atau granular, sesekali sel akantolitik akan muncul di sekitar lepuhan, spongiosis, edema dermis pars papilaris, dan infiltrat campuran limfosit dan netrofil sekitar pembuluh darah dari pleksus superfisial.[3]

VII. DIAGNOSIS BANDING

VII.1Walaupun diagnosis banding impetigo krustosa dan impetigo bulosa sangat banyak, sangat penting untuk dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis, diantaranya adalah:

VII.1.a Dermatitis Seboroik

Antara ciri-ciri khas dermatitis seboroik adalah: bercak yang berbatas tegas atau plak tipis, terbatas untuk periode-periode kehidupan ketika kelenjar sebasea aktif, yaitu beberapa bulan pertama kehidupan dan pasca pubertas. Predileksi pada daerah yang kaya kelenjar sebasea, misalnya kulit kepala, wajah dan telinga.[7]

VII.1.b Atopik Dermatitis

Ciri-ciri diagnostik pada penyakit ini adalah pruritus, morfologi dan distribusi lesi pada kulit yang tipikal, dermatitis kronik atau berulang, dan ada riwayat keluarga yang atopi. Pada bayi dan anak-anak, ada karakteristik pada pola keterlibatan wajah, leher dan kulit permukaan ekstensor. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, lesi kulit sering melibatkan likenifikasi dan biasanya terlokalisasi pada lipatan ekstremitas. [8]

VII.2 Diagnosis banding impetigo bulosa:

VII.2.a Pemfigus Vulgaris

Pada dasarnya semua pasien dengan pemfigus vulgaris terdapat erosi yang menyakitkan di mukosa mulut. Lebih dari setengah dari pasien juga terjadi lepuh yang lembek dan erosi kulit luas. Lesi membran mukosa biasanya hadir sebagai erosi yang menyakitkan.[9]

VII.2.b Erupsi Obat Exanthematous

Erupsi obat exanthematous atau morbilliform adalah yang paling umum efek samping obat yang mempengaruhi kulit. Penyakit ini sering disebut sebagai makulopapular atau, dalam kasus non-dermatologis, ruam obat. Yang terakhir ini adalah refleksi dari dominasi luar biasa dari erupsi exanthematous pada pasien rawat inap dengan reaksi obat kulit.[10]

VIII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan dengan topikal, pelepasan krusta, dan kebersihan yang baik adalah cukup untuk menyembuhkan impetigo dari yang paling ringan sampai sedang. Hasil yang baik dapat dicapai dengan salep mupirosin 2% (dioles pada lesi dua kali sehari dalam waktu tiga sampai lima hari) pada impetigo yang disebabkan oleh staphylococcal dan streptococcal. Salep retapamulin 1% dioles pada lesi dua kali sehari juga efektif untuk impetigo lokal dan sekunder. Asam fusidat yang diberi dua kali sehari adalah agen topikal juga efektif terhadap kedua staphylococcal dan streptococcal. Antibiotik sistemik diperlukan pada kasus impetigo yang luas. [1,3]

Karena beberapa kasus impetigo disertai staphylococcus, penisilin tidak memadai untuk pengobatan. Pengobatan antibiotik oral selama lima hingga 10 hari menginduksi penyembuhan cepat. Impetigo staphylococcus merespon cepat terhadap perawatan yang tepat. Pada orang dewasa dengan lesi yang luas atau bulosa, diklosaksillin (atau penicillinase-resistant semisintetik penisilin lainnnya), 250-500 mg per oral (PO) empat kali sehari (qid), atau eritromisin (pada pasien alergi penisilin), 250-500 mg per oral empat kali sehari, harus diberikan. Perawatan harus dilanjutkan selama 5-7 hari (10 hari jika Streptococcus diisolasi). Pemberian azitromisin oral (pada orang dewasa 500 mg pada hari pertama, 250 mg setiap hari pada 4 hari berikutnya) telah terbukti sama efektifnya seperti diklosaksillin untuk infeksi kulit pada orang dewasa dan anak-anak. [2,3]

Untuk impetigo yang disebabkan oleh erythromycin-resistant Staphylococcus aureus yang selalunya diisolasi dari lesi impetigo pada anak-anak, amoksisilin ditambah asam klavulanat [25 mg/kg/hari diberikan tiga kali sehari (tid)], sefaleksin (40-50 mg/kg/hari), sefaklor (20 mg/kg/hari tiga kali sehari), sefprozil (20 mg/kg sekali sehari), atau klindamisin (15 mg/kg/hari tid atau qid) diberikan selama 10 hari adalah terapi alternatif yang efektif. Dapat juga diberi rifampin 600 mg/hari diberi bersama diklosaksilin (untuk MSSA) atau diberi bersama trimetophrim-sulfamethoxazole (untuk MRSA) selama 10 hari. [3,11]

Jika impetigo merupakan satu penyakit endemik di kalangan anak-anak, langkah untuk mengurangi frekuensi penularan infeksi harus dilakukan. Ini termasuk menyediakan persediaan air dalam ruangan, mencuci tangan, mendistribusikan sumber daya medis dengan lebih efisien, memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai masalah kesehatan dan pengobatan di awal perjalanan penyakit. Dengan menerapkan kebiasaan mencuci tangan, prevalensi impetigo dapat menurun.[1]

IX. PROGNOSIS

Lesi impetigo yang tidak ditangani dengan baik akan menetap selama beberapa minggu. Lesi impetigo yang tidak diobati atau diabaikan dapat berkembang menjadi ektima. Dengan pengobatan yang memadai, resolusi dapat segera terjadi. [4]

DAFTAR PUSTAKA

1.Hay RJ, Adriaans B. Bacterial Infections. In: Burns T, Breachnath S, editors. Rooks Textbook of Dermatology. United States of America: Wiley-Blackwell; 2010. p. 30.14-16.

2.Habif TP. Bacterial Infections. In: Habif TP, editors. Clinical Dermatology: A Color Guide To Diagnosis and Therapy: Mosby; 2003. p. 267-72.

3.Craft N. Superficial Cutaneous Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Glodsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2012. p. 3025-33.

4.Wolff K, Johnson RA, Surmond D. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2007. p. 6-10.

5.Charles C, John G. Diagnosis and treatment of impetigo. Am Fam Physician 2007. 75: 859-64.

6.Rycroft RJG, Robertson SJ, Wakelin SH. A Colour Handbook Dermatology. United Kingdom: Manson Publishing; 2010. p. 206.

7.Fritsch PO, Redier N. Other Eczematous Eruptions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. United States of America: Mosby Elsevier; 2008. p.197-9.

8.Kang K, Polster AM, Nedorost ST, Stevens SR, Cooper KD. Atopic Dermatitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. United States of America: Mosby Elsevier; 2008. p.151-4.

9.Amagai M. Pemphigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. United States of America: Mosby Elsevier; 2008. p. 382.

10.Revus J, Valeyrie-Allanore L. Drug Reactions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. United States of America: Mosby Elsevier; 2008. p. 319.

11.James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases Of The Skin Clinical Dermatology. United States of America: Elsevier Saunders; 2006. p. 256.

9