Upload
imutoro
View
382
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
i
KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN SEKUNDER
DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
IMANUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Komunitas Burung di Bawah
pada Hutan Primer dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2009
Imanuddin NIM E351070041
iii
ABSTRACT
IMANUDDIN. Understorey Bird Community in Primary and Secondary Forest at Bukit Barisan Selatan National Park. Under direction of ANI MARDIASTUTI and YENI ARYATI MULYANI.
The aims of the study were to contrast diversity of understorey birds in secondary and primary forest and factors influenced it. Data collection was done in March-June 2009 at Tambling Wildlife Nature Conservation, a forest recreation concession at Bukit Barisan Selatan National Park. Mistnets were used and operated from 0600 a.m.-18.00 p.m. to capture birds which resulted 2304 meter mistnets hours operation. Arthropods were also collected using sweep net on the 96m transect. A total of 323 birds that belong to 50 species and 17 families were captured and marked. All of the captured birds were assigned into 10 guild categories. Overall bird diversity and species richness in primary forest were higher than those in secondary forest. However the number of birds captured in primary forest was lower than secondary forest. The number of captured bird increased by increase in canopy closure (r=0,63) and increase in the number of arthropod (r=0,46). In primary forest, 138 birds of 32 species and 12 families were captured while in the secondary forest the number of bird captured were 185 birds of 31 species and 15 families. However only the number of birds were significantly higher in secondary forest than primary forest (χ2 =26,83, df=1, P=0,00). The number of birds of Timaliidae and Picidae were decreased in secondary forest. Similar situation were observed for guild categories of Bark Gleaning Insectivore, Carnivore Insectivore and Tree Foliage Gleaning Insectivore. In primary forest, most of captured birds did not show edge avoidance tendency, while in secondary forest the number of Timaliidae tended to decrease by increasing distance from edge. Similar situation was also present on the guild category in which Tree Foliage Gleaning Insectivore tended to decrease by increasing distance from edge. Keywords: birds, guild category, primary forest, secondary forest
iv
RINGKASAN
IMANUDDIN. Komunitas Burung Di Bawah Tajuk pada Hutan Primer dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI, dan YENI ARYATI MULYANI.
Komposisi penyusun suatu komunitas burung sangat dipengaruhi oleh faktor spasial berupa tingkat suksesi, efek tepi dan kompleksitas vegetasi serta faktor temporal seperti kelimpahan pakan. Perubahan tingkat suksesi hutan merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi komunitas burung di alam. Secara teoritis hutan sekunder dipandang kurang memiliki nilai konservasi. Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan sekunder juga memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi. Hutan sekunder juga dipandang sebagai habitat alternatif selain hutan primer untuk konservasi keanekaragaman hayati di kawasan tropis.
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keanekaragaman spesies burung di bawah tajuk pada tipe hutan primer dan sekunder dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret – Juni 2009 di Tambling Wildlife Conservation Nature Conservation yang terletak pada zona pemanfaatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Penelitian dilakukan dengan menggunakan jaring kabut yang dioperasikan antara pukul 06.00-18.00 WIB selama 2-3 hari untuk memperoleh total waktu pengoperasian 24 jam di setiap anak plot. Jumlah total waktu pengoperasian jaring kabut yang dihasilkan ialah 2304 meter jam jaring kabut. Selain itu dilakukan pengumpulan data jumlah artropoda dan kondisi vegetasi untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap keanekaragaman dan kekayaan spesies.
Sebanyak 50 spesies yang berasal dari 17 famili, dengan jumlah individu sebanyak 323 individu berhasil ditangkap dan ditandai. Seluruh burung yang tertangkap adalah burung penetap yang 13 spesies di antaranya merupakan burung yang mendekati terancam punah. Berdasarkan kategori kelimpahan, sebanyak 62% spesies yang tertangkap termasuk ke dalam kategori jarang, 32% dengan kategori tidak umum dan 6% termasuk ke dalam kategori umum Komunitas burung di lokasi penelitian di dominasi oleh famili Nectariniidae. Pada kategori guild komunitas burung didominasi oleh kategori pemakan serangga dan nektar (IN) dalam hal jumlah individu, sedangkan dalam jumlah spesies didominasi oleh pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI). Tingginya kategori pemakan serangga dan nektar (IN) berkaitan dengan bersamaannya waktu penelitian dengan diawalinya musim bunga. Selain itu kondisi lokasi penelitian yang cukup lembab memungkinkan serangga berkembang dengan baik. Kategori guild IN yang mengandalkan dua sumberdaya pakan (serangga dan nektar) memungkinkan kategori ini untuk menyesuaikan kebutuhan pakan dengan kondisi ketersediaan pakan.
Kategori guild pemakan serangga dan nektar (IN) dan kategori pemakan buah di atas tajuk (TF), mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari daerah tepi. Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori CI dan TFGI yang mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi, namun kecenderungan ini secara statistik tidak berbeda secara nyata
v
Berdasarkan kategori guild, kelompok pemakan vertebrata lain dan serangga (CI) merupakan guild dengan relung paling lebar. Kategori guild ini tersusun dari spesies yang berasal dari famili Alcedinidae dan Picidae. Kelompok lain dengan relung yang lebar ialah burung pemakan serangga dan nektar (IN) dan burung pemakan serangga dan buah-buahan (IF). Faktor yang mempengaruhi lebar relung suatu spesies adalah kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dalam hal ini termasuk kemampuan adapatasi terhadap tipe makanan dan habitat. Burung yang termasuk ke dalam kategori guild campuran (IN, CI dan IF) merupakan burung yang didukung oleh dua tipe sumberdaya makan. Ketiga kategori guild ini mampu beradaptasi terhadap ketersediaan makan yang berfluktusi di dalam hutan dengan cara memanfaatkan dua tipe makanan yang berbeda.
Komunitas burung dihutan primer tersusun dari 32 spesies yang berasal dari 12 Famili dengan jumlah total individu sebanyak 138 individu. Spesies yang paling sering tertangkap adalah pijantung kecil Arachnothera longirostra yaitu sebanyak 30 individu (χ2=210,29; df=31; P=0,00). Namun dalam kategori famili, Timaliidae merupakan famili yang dominan (χ2=384,32; df=16; P=0,00). Sebanyak 17 spesies (53,13%) di hutan primer termasuk ke dalam kategori jarang, 13 spesies (40,62%) ke dalam kategori tidak umum, dan hanya 2 spesies (6,25%) yang masuk ke dalam kategori umum.
Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 8 guild yang merupakan pemakan serangga murni maupun campuran. Namun, secara spesifik komunitas burung di hutan primer di dominasi oleh kelompok pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) baik dalam jumlah spesies (χ2=18; df=9; P=0,04) maupun individu (χ2=122,43; df=9; P=0,00). Kelompok TFGI mencari makan dengan mengeksploitasi serangga yang hidup pada permukaan daun. Minimnya semak belukar dan penetrasi cahaya matahari yang tidak mencapai lantai hutan, mengakibatkan serangga lebih banyak aktif di dedaunan. Dari kategori guild yang ada, hanya TFGI yang berhasil dengan baik memanfaatkan kondisi ini
Jumlah spesies yang tertangkap menurun dengan bertambahnya jarak dari tepi tapi tidak berbeda nyata (χ2=0,95; df=2; P=0,62). Begitu pula halnya dengan jumlah individu yang tertangkap, pada jarak 0m lebih tinggi dibandingkan dengan titik lainnya, namun tidak berbeda secara nyata (χ2=1,63; df=2; P=0,44). Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu dan spesies yang tertangkap pada berbagai jarak dari tepi menunjukkan kehadiran jalan setapak tidak memberikan efek yang nyata bagi kanekaragaman spesies burung. Hal ini terjadi karena tidak adanya perubahan struktur vegetasi (kepadatan vegetasi, tutupan dan bukaan tajuk) maupun kelimpahan serangga yang nyata pada berbagai jarak dari tepi. Kondisi tajuk pohon yang tetap terhubung tidak mengakibatkan perubahan iklim mikro yang signifikan pada daerah tepi.
Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 185 individu burung yang berasal dari 31 spesies dan 15 famili. Pada tipe hutan ini pijantung kecil Arachnothera longirostra mendominasi dengan jumlah individu sebanyak 78 individu (χ2=412,04; df=30; P=0,00). Nectariniidae merupakan famili yang paling melimpah di hutan sekunder dengan jumlah 58 individu. Namun berdasarkan jumlah spesies, famili Pycnonotidae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak yaitu 5 spesies. Berdasarkan kriteria kelimpahan, sebanyak 18 spesies (58,06%) masuk ke dalam kategori jarang, 10 spesies (32,26%) tidak umum dan 3
vi
spesies (9,68%) dengan kategori umum. Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 10 kategori guild. Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN) merupakan kategori guild yang paling sering tertangkap (58 individu; 31,35%) (χ2=131,05; df=9, P=0,00). Namun berdasarkan jumlah spesies maka kategori pemakan serangga dan buah (IF) merupakan jumlah tertinggi (8 spesies; 22,58%) namun tidak berbeda nyata (χ2=11,26; df=9; P=0,26).
Tingginya jumlah famili Nectariniidae yang tertangkap berkaitan dengan hadirnya daerah perkebunan yang bersebelahan dengan hutan. Adanya perkebunan di sekitar hutan mampu menyediakan makanan yang melimpah bagi famili ini. Kehadiran kebun yang berdekatan dengan hutan, menyediakan pakan yang berlimpah bagi burung-burung dengan kategori IN dan IF. Komposisi burung anggota kategori IN dan IF merupakan burung-burung yang sangat umum di daerah perkebunan (misal: Pycnonotus simplex dan Dicaeum trigonostigma), hutan sekunder (misal: Pycnonotus erythropthalmus dan Pycnonotus melanicterus) dan burung generalis (misal: Arachnothera longirostra). Burung-burung yang merupakan penghuni areal perkebunan umumnya memanfaatkan bukaan-bukaan hutan (forest gap) yang kaya akan serangga sebagai tempat mencari makan.
Jumlah individu mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari tepi namun secara statistik tidak berbeda nyata (χ2=2,19; df=2; P=0,33). Kondisi serupa juga terjadi pada kategori spesies meskipun tidak berbeda secara nyata. Pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap di seluruh jarak dari tepi (18 individu (0m), 14 individu (200m) dan 48 individu (400m)). Berdasarkan kategori famili, Nectariniidae merupakan famili yang paling sering tertangkap pada seluruh jarak dari tepi (22 individu (0m), 19 individu (200m) dan 36 (400m)). Secara keseluruhan tidak ada spesies atau famili yang mengalami peningkatan atau penurunan seiring bertambahnya jarak dari tepi, kecuali Timaliidae. Hampir seluruh spesies yang tertangkap memberi respon netral terhadap kehadiran daerah tepi.
Kategori guild pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada kategori pemakan serangga dan vertebrata (CI) yang mengalami peningkatan dengan bertambahnya jarak dari tepi. Peningkatan jumlah inividu TFGI di daerah tepi dapat terjadi karena di hutan sekunder kategori guild ini disusun oleh spesies-spesies yang sangat adaptif terhadap perubahan habitat yaitu Trichastoma rostratum, Stachyris erythroptera, Macronous gularis dan Cacomantis sonneratii. Ketiga spesies ini juga memanfaatkan areal perkebunan sebagai habitat mencari makan.
Kata kunci: komunitas burung, kategori guild, hutan primer, hutan sekunder
vii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
viii
KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK PADA HUTAN PRIMER DAN HUTAN SEKUNDER
DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN
IMANUDDIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Dewi Malia Prawiradilaga M.Sc.
x
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Komunitas Burung di Bawah Tajuk pada Hutan Primer
dan Hutan Sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan
Nama Mahasiswa : Imanuddin
NIM : E 351070041
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti M.Sc.
Ketua Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc.
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Konservasi Biodiversitas Tropika
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 13 Oktober 2009 Tanggal Lulus:
xi
PRAKATA
Penulis mengucapkan terinakasih kepada Allah SWT yang memberikan
kekuatan bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih
ditujukan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti M.Sc.yang telah menjadi
pembimbing pertama dan Ibu Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani M.Sc. yang menjadi
pembimbing kedua dalam penelitian ini. Penghargaan yang tinggi juga diberikan
kepada Bapak Dr. Wilson Novarino yang memberikan pelatihan dan berbagi
pengalaman dalam penggunaaan jaring kabut secara gratis bagi penulis.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Sean Kelly dari Ideawild yang
mendonasikan peralatan pencincinan. Beberapa peralatan lain juga dipinjamkan
oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada Dr. Dewi Malia Prawiradilaga atas bantuannya. Sumber
bacaan dan literatur yang digunakan di dalam tesis ini diberikan secara cuma-
cuma oleh beberapa peneliti antara lain Colin R. Trainor (Charles Darwin
University), Dr. Leslie Ries (Northern Arizona University), Dr. Wilson Novarino
(Universitas Andalas Padang).
Selama kegiatan pengumpulan data penulis memperoleh bantuan yang
sangat berharga dari Bapak Daniel DK selaku manajer resort Tambling Wildlife
Nature Conservacy (TWNC). Beberapa staf TWNC juga memberi bantuan yang
sangat penting untuk penelitian ini yaitu: Elbertus Daniel, Icuk SL dan seluruh
anggota SGA yang bertugas di Tambling. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada Ibu Hana Lilies dari Artha Graha Peduli yang mengatur seluruh proses
kegiatan penelitian di lapangan. Penghargaan yang tinggi ditujukan kepada Bapak
Tommy Winata selaku pimpinan Artha Graha yang memberikan izin bagi penulis
untuk melakukan penelitian di areal TWNC.
Penghargaan yang tulus ditujukan kepada istriku Dian Ekawati dan anakku
tercinta Ghazira Filosofia atas kesetiaan dan kesabaran yang telah ditunjukkan
selama penulis berada jauh di lapangan dan ketika penulis melakukan penyusunan
tulisan. Semoga tesis ini menjadi pengobat atas kebersamaan kita yang hilang.
Imanuddin
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Garut pada tanggal 8 Oktober 1975 dari ayah
bernama Maman Utoro dan ibu Hasanah. Penulis merupakan anak ke-3 dari 6
bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai di Sekolah Dasar Negeri 01 Pagi
Cibubur, Jakarta Timur pada tahun 1982 dan diselesaikan pada tahun 1988. Pada
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah
Pertama 147. Selanjutnya pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan di
Sekolah Menengah Atas 99 Cibubur dan diselesaikan pada tahun 1994. Di tahun
yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa
Tingkat Persiapan Bersama. Setahun kemudian penulis diterima di Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pendidikan S1 ini
diselesaikan penulis pada tahun 1999.
Penulis selanjutnya bekerja pada beberapa LSM lokal dan internasional
yang berkaitan dengan konservasi. Pada tahun 2005 penulis memutuskan untuk
kembali bersekolah di Program Pasca Sarjana IPB. Sesuai dengan bidang
keahliannya penulis memilih Program Konservasi Biodiversitas dan mendalami
bidang konservasi burung dan habitatnya.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xix
I.PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
1.3. Hipotesis ..................................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5
2.1. Keanekaragaman Spesies ............................................................................ 5
2.2. Guild .......................................................................................................... 5
2.3. Keanekaragaman Spesies dan Faktor yang Mempengaruhi .......................... 6
2.4. Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies ......................................... 7
2.5. Fragmentasi dan Efek Tepi ......................................................................... 7
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................... 10
3.1. Letak ........................................................................................................ 10
3.2. Sejarah Kawasan ....................................................................................... 10
3.3. Keanekaragaman Hayati ........................................................................... 11
3.4. Iklim dan Topografi .................................................................................. 11
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 12
4.1. Lokasi dan Waktu ..................................................................................... 12
4.2. Bahan dan Alat ......................................................................................... 12
4.3. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 13
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 20
5.1. Hasil ........................................................................................................... 20
5.1.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian ................................................................. 20
5.1.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian ...................... 22
5.1.3. Jumlah Individu Burung dan Struktur Vegetasi ...................................... 24
5.1.4. Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian .......................................... 24
xiv
5.1.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda .................................. 26
5.1.6. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi ........ 27
5.1.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi .............................. 30
5.1.8. Lebar Relung ......................................................................................... 31
5.1.9. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Primer ............................ 32
5.1.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer .............................................. 33
5.1.11. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Primer ........................................................................................ 34
5.1.12. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak Tepi di Hutan Primer ......... 36
5.1.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder ...................... 38
5.1.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder .......................................... 39
5.1.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Sekunder .................................................................................... 40
5.1.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder
............................................................................................................. 43
5.2. Pembahasan............................................................................................... 45
5.2.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian ................................................................ 45
5.2.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian ...................... 45
5.2.3. Keanekaragaman Spesies dan Struktur Vegetasi ..................................... 48
5.2.4.Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian ........................................... 49
5.2.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda .................................. 50
5.2.6.Keanekaragaman Spesies Berdasarkan Jarak dari Tepi ............................ 52
5.2.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi .............................. 52
5.2.8. Lebar Relung ......................................................................................... 53
5.2.9. Keanekaragaman Famili dan Spesies di Hutan Primer ............................ 53
5.2.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer .............................................. 54
5.2.11.Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Primer ........................................................................................ 55
5.2.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer ... 56
5.2.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder ...................... 57
5.2.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder .......................................... 57
xv
5.2.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Sekunder .................................................................................... 58
5.2.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder
............................................................................................................. 59
5.2.17. Perbandingan Hutan Primer dan Sekunder ........................................... 60
5.2.17.1. Keanekaragaman Famili dan Spesies ................................................. 60
5.2.17.2. Kategori Guild .................................................................................. 63
5.2.17.3. Kesamaan Komunitas ........................................................................ 64
5.2.17.4. Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi ................................... 65
5.3. Implikasi Konservasi................................................................................. 67
VI. KESIMPULAN .......................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 71
LAMPIRAN ..................................................................................................... 77
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Parameter kondisi vegetasi di hutan sekunder dan primer .............................. 21
2 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies
burung di bawah tajuk di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .... 23
3 Jumlah individu dan spesies pada setiap guild ............................................... 26
4 Lebar relung berdasarkan kategori guild ........................................................ 32
5 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan primer........... 32
6 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan sekunder........ 38
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Respons organisme terhadap efek tepi (Ries et al. 2004). ................................. 8
2 Peta lokasi penelitian (Gaveaua et al. 2007). .................................................. 10
3 Lokasi plot-plot pengamatan (a,b,c = plot hutan primer; d,e,f = plot hutan
sekunder)....................................................................................................... 12
4 Peletakan plot pada bagian (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder. .............. 14
5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan pengukuran
dengan menggunakan canopy scope. ............................................................. 21
6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari tepi. 22
7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan spesies. .. 24
8 Hirarki kategori guild komunitas burung di kawasan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan. ............................................................................................. 25
9 Jumlah individu artropoda pada setiap jarak dari tepi. .................................... 27
10 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies
burung berdasarkan jarak dari tepi. ............................................................... 27
11 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi. ........................................ 28
12 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi. .............................. 29
13 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) guild pada
berbagai jarak dari tepi. ................................................................................. 30
14 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi. ........................... 31
15 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan famili di hutan primer. ....... 33
16 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan primer. ........................ 34
17 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies
burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. ....................................... 34
18 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan
primer. .......................................................................................................... 35
19 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. ............... 35
20 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer....... 36
21 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan guild berdasarkan
jarak dari tepi di hutan primer. ...................................................................... 37
22 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak tepi di hutan primer........... 37
xviii
23 Proporsi guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. ............................ 38
24 Jumlah spesies dan individu berdasarkan famili di hutan sekunder. ............... 39
25 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan sekunder. .................... 40
26 Jumlah individu dan spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. ... 40
27 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies
berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder................................................. 41
28 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. .. 42
29 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. ........... 43
30 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) guild
berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder................................................. 43
31 Kelimpahan individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan
sekunder. ....................................................................................................... 44
32 Proporsi kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. ........... 44
33 Proporsi jumlah famili di hutan primer dan sekunder. .................................... 61
34 Proporsi jumlah individu burung pada setiap guild. ....................................... 63
35 Jumlah spesies burung berdasarkan jarak dari tepi. ........................................ 65
36 Jumlah individu burung berdasarkan jarak dari tepi. ...................................... 66
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Status penyebaran, perlindungan dan kategori kelimpahan spesies burung di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .......................................................... 78
2 Spesies burung yang terlihat dan terdengar di lokasi penelitian tetapi tidak
tertangkap oleh jaring kabut .......................................................................... 81
3 Jumlah individu spesies burung pada hutan primer dan sekunder .................. 84
4 Jumlah seluruh spesies burung berdasarkan kategori guild ............................. 87
5 Hasil uji statistik terhadap jumlah guild di lokasi penelitian berdasarkan jarak
dari tepi ......................................................................................................... 88
6 Lebar relung dan jumlah individu masing-masing spesies pada setiap jarak dari
tepi (urutan terbesar hingga terkecil).............................................................. 89
7 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang tertangkap
berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer .................................................... 90
8 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang tertangkap
berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder................................................. 90
9 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu famili pada hutan primer dan
sekunder ........................................................................................................ 91
10 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu guild yang tertangkap pada hutan
primer dan sekunder ...................................................................................... 91
11 Spesies burung di hutan primer dan sekunder ................................................ 92
1
I.PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Komunitas burung merupakan kumpulan individu spesies yang hidup pada
waktu dan tempat yang sama (Wiens 1989). Komposisi penyusun suatu komunitas
burung sangat dipengaruhi oleh faktor spasial berupa tingkat suksesi, efek tepi dan
kompleksitas vegetasi serta faktor temporal seperti kelimpahan pakan (Begon et
al. 2006; Wiens 1989; Pianka 1983). Faktor-faktor tersebut juga saling berkaitan
dan mempengaruhi seiring dengan waktu.
Perubahan tingkat suksesi hutan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi komposisi komunitas burung. Wong (1986) melaporkan bahwa
hutan primer di Pasoh Malaysia menyediakan sumber pakan berupa buah dan
bunga yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan sekunder. Selain itu Wong
(1986) juga menemukan fakta bahwa hutan primer menyediakan pakan berupa
artropoda dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan hutan
sekunder.
Secara teoritis hutan sekunder dipandang kurang memiliki nilai konservasi.
Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan sekunder juga
memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi (Barlow et al. 2007;
Newmark 2006; Waltert et al. 2005; Wong 1986). Hutan sekunder juga dipandang
sebagai habitat alternatif untuk konservasi keanekaragaman hayati di kawasan
tropis (Sodhi et al. 2005a).
Terdapatnya fakta penurunan jumlah individu pada kategori guild (Wong
1986) dan famili (Lammertink 2004) di hutan sekunder memunculkan kembali
pertanyaan mengenai nilai penting hutan sekunder bagi konservasi
keanekaragaman hayati khususnya burung. Sayangnya penelitian yang berkaitan
dengan peran hutan sekunder bagi konservasi mengabaikan beberapa faktor
temporal seperti kelimpahan pakan (Waltert et al. 2005; Lammertink 2004) dan
faktor spasial seperti struktur vegetasi dan efek tepi (Wong 1986).
Kelimpahan sumberdaya pakan pada suatu habitat diketahui mempengaruhi
kelimpahan spesies satwa yang hidup di dalamnya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa fluktuasi populasi burung di suatu tempat disebabkan oleh
2
terjadinya fluktuasi sumberdaya pakan baik berupa bunga, buah maupun
artropoda (Sodhi 2002; Burke & Nol 1998). Sumberdaya pakan juga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi musim berbiak burung (Sodhi 2002;
Robinson 1998).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompleksitas vegetasi seperti
keanekaragaman spesies, kepadatan tajuk dan kepadatan pohon memberikan
pengaruh terhadap komposisi komunitas burung pada suatu habitat (Chettri et al.
2005; Anderson et al. 1983; Pearson 1975). Barlow et al. (2007) menemukan
fakta bahwa keanekaragaman spesies burung sangat berkorelasi dengan luas
bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan kanopi. Pada hutan dengan luas bidang
dasar yang tinggi dan kanopi yang rapat memiliki tingkat keanekaragaman spesies
burung yang tinggi.
Kehadiran efek tepi memberi pengaruh yang berbeda-beda pada spesies
burung tergantung pada guild (Canaday 1997; Thiollay 1997) dan preferensi
habitat (Austen et al. 2001; Thiollay 1997). Perubahan kondisi iklim mikro di
daerah tepi menyebabkan jenis-jenis burung yang hidup di bawah tajuk terutama
jenis pemakan serangga mengalami penurunan jumlah (Thiollay 1997).
Meskipun efek tepi merupakan isu yang cukup sering diungkapkan di
berbagai penelitian, hingga kini belum banyak penelitian yang menjelaskan secara
pasti berapa lebar daerah tepi menuju bagian dalam hutan (Newton 2007; Watson
et al. 2004; Beier et al. 2002; Austen et al. 2001) terutama sekali di daerah tropis
Asia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebar daerah tepi bersifat lokal,
tergantung taksa dan tipe habitat/non habitat yang berdampingan (Goosem 2007;
Sobrinho & Schoereder 2007; Watson et al. 2004; Keyser 2002; Schlaepfer &
Gavin 2001; Dale et al. 2000).
Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan salah satu
kawasan yang penting bagi konservasi burung di Sumatera bagian selatan
(Holmes & Rombang 2001). Sebanyak 425 spesies burung tercatat hidup di dalam
kawasan ini (Gaveaua et al. 2007). Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional,
wilayah Bukit Barisan Selatan mengalami tekanan berat akibat aktivitas
perambahan dan pembalakan liar. Akibatnya pada saat ini terdapat banyak bagian
kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan berupa hutan-hutan sekunder
3
yang merupakan bekas kegiatan perambahan. Di sisi lain areal hutan primer yang
tersisa juga terus mengalami tekanan yang diakibatkan oleh pembuatan jalan dan
perambahan.
Penggunaan jaring kabut dan penandaan merupakan salah satu metode
pengumpulan data keanekaragaman burung yang disarankan untuk digunakan di
daerah tropis terutama untuk burung-burung yang hidup di bawah tajuk yang
biasanya pemalu (Gibbons & Gregory 2006; Gregory et al. 2004; Bibby et al.
1998). Metode ini mampu menghilangkan bias kemampuan pengamat yang umum
terjadi pada metode lain. Penandaan pada burung juga memungkinkan
dilakukannya monitoring terhadap populasi. Meskipun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa ukuran mesh jaring kabut memiliki bias terhadap
ukuran dan bobot burung (Pardieck & Waide 1992). Pemilihan lokasi pemasangan
jaring kabut juga berpengaruh terhadap komposisi burung yang tertangkap
(Rahman 2002).
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk:
1. Membandingkan keanekaragaman spesies burung di bawah tajuk pada tipe
hutan primer dan sekunder.
2. Membandingkan keanekaragaman spesies burung di bawah tajuk dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu: jarak dari tepi, bukaan tajuk
(canopy openness), tutupan tajuk (canopy cover), kepadatan vegetasi dan
kelimpahan artropoda.
1.3.Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ialah:
1. Keanekaragaman spesies burung lebih rendah di hutan sekunder.
2. Keanekaragaman spesies burung lebih rendah dengan bertambahnya jarak
dari tepi hutan menuju bagian interior.
3. Keanekaragaman spesies burung lebih tinggi pada daerah dengan tingkat
bukaan tajuk yang tinggi.
4
4. Keanekaragaman spesies burung lebih tinggi pada daerah dengan tingkat
tutupan tajuk yang tinggi.
5. Keanekaragaman spesies burung lebih tinggi pada daerah dengan tingkat
kepadatan vegetasi yang tinggi.
6. Keanekaragaman spesies lebih tinggi pada daerah dengan kelimpahan
artropoda yang tinggi.
1.4.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan dalam
pengelolaan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam
mengidentifikasi tingkat gangguan habitat yang diakibatkan oleh aktivitas lain di
sekitar kawasan konservasi. Informasi ini sangat penting berkaitan dengan upaya
pencegahan dan pemulihan kerusakan habitat di sekitar dan di dalam kawasan.
Selain itu pemasangan cincin pada burung-burung yang tertangkap juga dapat
dijadikan data dasar dalam pengukuran tingkat survivorship burung-burung di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keanekaragaman Spesies Spesies merupakan unit terkecil ekologi yang paling mudah dikenal dan
dapat dibedakan satu sama lain (Meffe & Carrol 1994). Primack et al. (1998: 8)
menyatakan bahwa “spesies merupakan kumpulan individu yang secara
morfologi, fisiologi atau biokimia berbeda dari kelompok lain dalam hal ciri-ciri
tertentu”. Spesies juga merupakan individu yang memiliki komponen genetik
yang berbeda (Futuyma 1986).
Keanekaragaman spesies dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu
keanekaragaman alfa, beta dan gamma (Primack et al. 1998; Meffe & Carrol
1994; Wiens 1989; Pianka 1983). Keanekaragaman alfa dikenal sebagai
keanekaragaman titik atau sensus. Keanekaragaman beta merupakan ukuran
keanekaragaman antar lokasi dalam suatu wilayah geografis, sedangkan
keanekaragaman gamma merupakan keanekaragaman pada tingkat bentang alam.
Keanekaragaman spesies seringkali digunakan untuk mengetahui kestabilan
suatau komunitas (Ives 2007; Begon et al. 2006). Spesies yang beragam di dalam
komunitas akan membentuk suatu hubungan yang kompleks satu sama lain.
Hubungan yang kompleks ini mengakibatkan suatu komunitas akan lebih tahan
terhadap gangguan dibandingkan dengan komunitas dengan hubungan yang
sederhana. Oleh karena itu semakin tinggi keanekaragaman spesies akan
meningkatkan kestabilan suatu komunitas.
2.2. Guild
Guild adalah kelompok spesies yang menggunakan sumberdaya pada kelas
dan cara yang sama (Root 2001). Pengelompokan suatu spesies ke dalam guild
pada suatu komunitas, menurut Jaksić (1981) dalam Wiens (1989) secara umum
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu a priori dan a posteriori. Pendekatan a
priori dilakukan berdasarkan kriteria yang ditentukan secara subyektif sebelum
dilakukan pengambilan dan analisis data. Pendekatan a posteriori sebaliknya
dilakukan dengan mengelompokkan secara lebih obyektif berdasarkan hasil
analisis terhadap pengamatan yang dilakukan.
6
Pengelompokan guild dapat dilakukan berdasarkan perilaku makan,
makanan utama, tempat mencari makan, atau pemilihan tempat mencari makan
pada tingkatan vegetasi (Aleixo 1999, de Graaf & Wentworth 1986). Secara
umum pengelompokan suatu spesies ke dalam guild dilakukan berdasarkan
respons terhadap lingkungan atau lokasi, adaptasi terhadap pola hidup tertentu,
kondisi musim, penyebaran geografis, dan tipe makanan (Root 2001).
Informasi mengenai guild dapat digunakan dalam mengidentifikasi
perubahan di dalam ekosistem hutan (de-Iongh & van-Weerd 2006). Menurut
Root (2006) perubahan guild dalam suatu gradien lingkungan dapat diketahui
melalui hubungan antara faktor-faktor lingkungan terhadap kepadatan populasi,
laju reproduksi, dispersal, dan kemampuan menghindar dari predator. Selain itu
guild merupakan perwakilan dari aliran energi dan nutrisi di dalam lingkungan
hutan (de-Iongh & van-Weerd 2006).
2.3. Keanekaragaman Spesies dan Faktor yang Mempengaruhi
Jumlah spesies pada suatu habitat dipengaruhi oleh beraneka faktor
lingkungan yang saling mempengaruhi. Secara umum jumlah spesies akan
dipengaruhi oleh faktor temporal dan faktor spasial (Begon et al. 2006; Wiens
1989; Pianka 1983). Faktor temporal sangat berkaitan dengan sejarah geologi,
suksesi, musim dan variasi iklim sedangkan faktor spasial berupa kondisi habitat,
penyebaran tumbuhan dan kondisi geografis.
Faktor Spasial
Menurut Begon et al. (2006) tingkat produktivitas suatu wilayah berkaitan
dengan jumlah sumberdaya yang tersedia. Semakin produktif suatu area maka
jumlah spesies yang hidup pada lokasi tersebut semakin meningkat (Meffe &
Carroll 1994). Namun demikian peningkatan produktivitas juga memungkinkan
terjadinya penambahan individu per spesies dibandingkan dengan penambahan
spesies. Hal ini dimungkinkan apabila sumberdaya yang ada tidak memiliki
variasi yang banyak
Keheterogenan habitat memberikan kemungkinan bagi organisme dari
berbagai tingkatan untuk dapat hidup berdampingan (Begon et al. 2006). Habitat
yang heterogen akan lebih banyak menyediakan variasi habitat mikro dan iklim
7
mikro dibandingkan dengan habitat yang lebih sederhana. Kondisi ini akan
mampu menyediakan relung kehidupan bagi banyak spesies (Pianka 1983).
Faktor Temporal
Keanekaragaman spesies ditentukan oleh kestabilan iklim (Pianka 1983).
Iklim yang stabil mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi tidak cepat berubah
secara drastis. Menurut Begon et al. (2006) kestabilan iklim akan memberikan
kesempatan bagi spesies yang spesialis dalam memanfaatkan sumberdaya yang
ada secara optimal, selain itu iklim yang stabil memungkinkan spesies-spesies
yang hidup di suatu habitat dalam titik jenuh. Kondisi iklim yang stabil juga
memungkinkan terjadinya overlap relung ekologi yang lebih banyak.
2.4. Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies
Kompleksitas vegetasi merupakan salah satu faktor penentu
keanekaragaman spesies burung di suatu lokasi. Pada penelitiannya di hutan
Amazon, Barlow et al. (2007) menemukan fakta bahwa keanekaragaman spesies
burung sangat berkorelasi dengan luas bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan
kanopi. Pada daerah dengan luas bidang dasar yang besar dan kanopi yang rapat
memiliki tingkat keanekaragaman spesies burung yang lebih tinggi. Fakta yang
sama juga diperoleh oleh Raman (2006) pada penelitiannya terhadap komunitas
burung di India.
Keanekaragaman spesies tumbuhan juga merupakan faktor penting penentu
keanekaragaman spesies burung (Wong 1986, Anderson et al. 1983). Kondisi
habitat dengan tumbuhan yang beragam akan menyediakan sumberdaya berupa
tempat pakan yang berlimpah terutama bagi jenis burung pemakan buah, biji dan
bunga (Wong 1986). Kelimpahan sumberdaya pakan juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi waktu berbiak burung di alam (Sodhi 2002).
2.5. Fragmentasi dan Efek Tepi
Fragmentasi habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia diyakini
merupakan ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di muka bumi (Primack
et al. 1998; Meffe & Carrol 1994). Proses fragmentasi hutan memiliki kemiripan
dengan pembentukan sebuah pulau, namun sebagian besar fragmentasi lebih
disebabkan oleh perbuatan manusia (Opdam & Wiens 2002). Fragmentasi
8
memberi efek negatif bagi keanekaragaman hayati dalam bentuk pembentukan
pulau-pulau ekologi yang terpisah satu sama lain dengan luas yang semakin kecil
dari kondisi semula. Kondisi ini selanjutnya akan menimbulkan dampak berupa
hadirnya efek tepi (Primack et al. 1998, Watson et al. 2004).
Kehadiran efek tepi di dalam sebuah eksosistem hutan biasanya terjadi
dalam bentuk perubahan kondisi iklim mikro dan perubahan komposisi spesies
(Meffe & Carrol 1994), penurunan keanekaragaman tumbuhan, kelimpahan
spesies (Robinson 2001) dan kepadatan spesies (Sitompul et al. 2004),
meningkatnya pembukan habitat yang disukai oleh spesies dari luar hutan
(Thiollay 1999), meningkatnya predasi (Pangau-Adam et al. 2006), dan
menurunnya daya survival (Winter et al. 2000). Pada akhirnya fragmentasi akan
menyebabkan kepunahan lokal bagi spesies spesialis yang tidak adaptif terhadap
kondisi habitat yang baru (Meffe & Carrol 1994).
Namun demikian akibat kehadiran efek tepi tidak sepenuhnya merugikan,
kehadiran habitat tepi seringkali menciptakan habitat bagi spesies yang toleran
terhadap daerah terbuka (Lidicker-Jr & Koenig 1996). Oleh karena itu beberapa
ahli menyimpulkan bahwa efek tepi seringkali memberi dampak positif berupa
peningkatan jumlah spesies (Lidicker-Jr & Koenig 1996) (Gambar 1).
Gambar 1 Respons organisme terhadap efek tepi (Ries et al. 2004).
Lebar daerah tepi bersifat lokal dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi
lainnya (Watson et al. 2004; Canaday 1997) tergantung oleh tipe habitat yang
berdekatan dengan hutan (Goosem 2007; Keyser 2002) dan taksa (Sobrinho &
Schoereder 2007; Schlaepfer & Gavin 2001). Pada penelitiannya di hutan tropis
Amazon, Canaday (1997) melaporkan bahwa lebar daerah tepi berkisar antara
200m hingga 2km tergantung tipe habitat yang berada di sekitar hutan, sementara
9
Watson et al. (2004) memperkirakan hanya 300m. Pada penelitian yang lain
Keyser (2002) melaporkan bahwa efek tepi dapat dirasakan pada jarak 1m hingga
45 m ke bagian dalam hutan. Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh
Dale et al. (2000) terhadap komunitas burung di Uganda menunjukkan bahwa
tidak terdapat perubahan komposisi burung pada berbagai jarak dari daerah tepi.
Fragmentasi memberi dampak negatif pada proses penyerbukan tumbuhan
hutan. Kehadiran spesies pemangsa atau spesies invasif dan perubahan suhu
mikro dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kelimpahan satwa penyerbuk
(Murcia 1996). Selanjutnya, menurunnya jumlah satwa penyerbuk akan
menurunkan jumlah polen yang dikirimkan ke kepala putik.
Menurut Murcia (1996) fragmentasi juga akan mengakibatkan perubahan
jumlah dan kepadatan bunga. Pada tingkat tertentu jumlah dan kepadatan bunga
yang tersedia tidak mampu untuk mendukung kehidupan satwa yang berperan
sebagai polinator. Selanjutnya satwa polinator akan menurun jumlahnya atau
bahkan punah.
Terjadinya fragmentasi juga akan mempengaruhi struktur reproduksi
tumbuhan hutan (Murcia 1996). Tumbuhan hutan umumnya memiliki sistem
reproduksi yang beragam dan kompleks. Sistem reproduksi setiap tumbuhan
memiliki sensitivitas berbeda terhadap fragmentasi. Pada tumbuhan berumah dua
yang karakter individunya memiliki salah satu jenis kelamin, fragmentasi dapat
mengakibatkan terpisahnya individu jantan dan individu betina ke dalam fragmen
yang berbeda. Akibatnya penyerbukan sulit terjadi kecuali terdapat kemungkinan
polen jantan dapat diterbangkan atau berpindah menuju kepala putik yang
terdapat pada individu betina.
10
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Letak
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan luas 356.800 ha merupakan
taman nasional terluas ke-3 di pulau Sumatera. Secara geografis taman nasional
ini terletak pada 44º 29’ - 5º 57’ lintang selatan dan 103 º 24’ - 104 º 44’ bujur
timur. Kawasan konservasi ini terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Bengkulu
dan Provinsi Lampung yang membentang sejauh 185km dari utara ke selatan dan
sejauh 175km dari barat ke timur (Gaveaua et al. 2007). Di bagian tenggara
kawasan ini merupakan semenanjung sempit dengan lebar hanya 20km yang
membentang dari Tanjung Belimbing hingga ke Tanjung Cina.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian (Gaveaua et al. 2007).
3.2. Sejarah Kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan berdasarkan SK Menteri
Pertanian No.736/Mentan/X/1982, sebagai respon pemerintah RI terhadap
keputusan kongres taman nasional dunia di Bali pada tahun 1982 (Gaveaua et al.
2007). Meskipun demikian sejak masa kolonial Belanda, kawasan tersebut telah
ditetapkan sebagai areal konservasi yang meliputi kawasan Suaka Margasatwa
Sumatera Selatan 1 dengan luas 324,494 ha, Suaka Margasatwa Gunung Raya
dengan luas 47,782 ha dan hutan lindung dengan luas 256,620 ha (Gaveaua et al.
2007). Pada tahun 2004 UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai situs warisan
dunia (Gaveaua et al. 2007). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan
11
salah satu daerah penting bagi burung (Important Bird Area) di Pulau Sumatera
(Holmes & Rombang 2001).
Sebelum adanya penetapan sebagai taman nasional, kawasan ini telah
mengalami tekanan berupa perambahan hutan baik dalam bentuk perladangan atau
pembalakan liar (Gaveaua et al. 2007). Setelah tahun 1982 berangsur-angsur
kegiatan perladangan dan perambahan berhasil ditekan dan di beberapa lokasi
telah terjadi pemulihan kondisi hutan (Gaveaua et al. 2007).
3.3. Keanekaragaman Hayati
Taman Nasional Bukit Barisan memiliki 425 spesies burung (Gaveaua et al.
2007). Beberapa hewan mamalia yang terancam punah seperti harimau sumatera
Panthera tigris sumatrae, badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, gajah asia
Elephas maximus sumatrensis, beruang madu Ursus malayanus dan tapir Tapirus
indicus juga masih hidup di lokasi ini (O'Brien & Kinnaird 1996).
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga merupakan habitat berbagai
jenis tumbuhan langka seperti raflesia Rafflesia spp. dan bunga bangkai
Amorphophallus titanum. Bagian hutan primer di kawasan ini juga didominasi
oleh jenis pohon bernilai ekonomi tinggi seperti kruing Dipterocarpus sp. dan
meranti Shorea sp. Di bagian tenggara yang merupakan dataran rendah ditumbuhi
oleh jenis mangrove misalnya: pidada Sonneratia spp. dan nipah Nypa fruticans.
3.4. Iklim dan Topografi
Kawasan Taman Nasional bukit Barisan Selatan memiliki curah hujan yang
cukup tinggi yaitu antara 3000-4000 mm per tahun (Gaveaua et al. 2007).
Musim hujan berlangsung antara November hingga Mei dan musim kemarau
antara Juni hingga September.
Sebagian besar kawasan Taman Nasional bukit Barisan Selatan merupakan
daerah berbukit bukit terutama di bagian utara dengan ketinggian antara 0-1964
mdpl. Pada bagian selatan merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian
antara 0-100 mdpl.
12
IV. METODE PENELITIAN
4.1.Lokasi dan Waktu
Pengumpulan data di lakukan di dua resor kawasan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan yaitu Resor Belimbing untuk plot hutan primer dan Resor
Tampang untuk plot hutan sekunder (Gambar 3). Waktu pengumpulan data antara
tanggal 31 Maret – 18 Juni 2009 yang bertepatan dengan akhir musim penghujan
tahun 2009.
Gambar 3 Lokasi plot-plot pengamatan (a,b,c = plot hutan primer; d,e,f = plot hutan sekunder).
4.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah jaring kabut (panjang 12m, lebar
2,7m, 4 shelves, ø mesh 30,0mm) sebanyak 8 helai, perlengkapan pencincinan
(tang, timbangan digital, dan kaliper) dan cincin bernomor unik yang dikeluarkan
oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Burung yang tertangkap
diidentifikasi menggunakan buku panduan lapang burung-burung di kawasan
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (MacKinnon et al. 1997). Koordinat dan
ketinggian setiap plot ditentukan dengan Global Positioning System (GPS)
Oregon 300. Kegiatan penelitian didokumentasikan menggunakan kamera Canon
a b c
d
ef
13
Powershoot A400. Canopy scope digunakan untuk mengukur kepadatan tajuk dan
sweep net digunakan untuk mengumpulkan data jumlah serangga.
4.3.Metode Pengumpulan Data
4.3.1.Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai spesies burung di bawah tajuk
adalah seluruh burung yang beraktivitas pada ketinggian antara 0-300cm dari
permukaan tanah. Beberapa kelompok burung tidak dimasukkan ke dalam
analisis, yaitu kelompok burung nokturnal (misal: burung hantu, cabak dan paruh
kodok), burung pemangsa (misal: elang dan alap-alap), burung yang tidak
menghuni tajuk bawah (misal: walet dan layang-layang).
Burung-burung yang tertangkap dimasukkan ke dalam guild merujuk pada
Novarino et al. (2006), Lambert & Collar (2002), MacKinnon et al. (1997) dan
Wong (1986) yang terdiri dari TFGI (Tree Foliage Gleaning Insectivore):
pemakan serangga di bagian tajuk, BGI (Bark Gleaning Insectivore): pemakan
serangga di bagian dahan dan ranting pohon, FCI (Fly-catching Insectivore):
pemakan serangga sambil melayang, LGI (Litter Gleaning Insectivore): pemakan
serangga di serasah atau lantai hutan, SFGI (Shrub Foliage Gleaning Insectivore):
pemakan serangga di daerah semak, CI (Carnivore Insectivore): pemakan
vertebrata lain dan serangga, IF (Insectivore Frugivore): pemakan serangga dan
buah-buahan, IN (Insectivore Nectarivore): pemakan serangga dan nektar, TF
(Terestrial Frugivore): pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan, AF
(Arboreal Frugivore): pemakan buah di bagian tajuk. Pengelompokan spesies ke
dalam kategori guild dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara spesies dan
sumberdaya pakan yang mendukungnya.
4.3.2.Peletakan Plot
Plot pengamatan diletakkan pada tipe hutan primer dan sekunder yang
berbatasan dengan habitat non hutan (yaitu: hutan dan jalan). Pada setiap tipe
hutan diletakkan sebanyak 3 plot yang berfungsi sebagai ulangan. Di dalam satu
plot terdapat 3 anak plot yang masing-masing diletakkan berjarak 0m, 200m
dan400 m dari daerah tepi (Gambar 4). Plot hutan sekunder dengan hutan primer
terpisah kurang lebih 6km. Pemilihan lokasi plot dilakukan secara purposif
14
dengan pertimbangan struktur hutan, aksesibilitas, keamanan dan kemudahan
pengaturan logistik.
(a) (b)
Gambar 4 Peletakan plot pada bagian (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder. Keterangan: = plot = anak plot/jalur jaring kabut = jalan tanah = batas kebun dan hutan
Pada hutan primer plot dipilih pada lokasi hutan yang dipisahkan oleh jalan
tanah yang memiliki lebar 2-3m. Meskipun terpotong oleh jalan, seluruh tajuk
pohon masih terhubung satu sama lain. Jalan tersebut dibuka pada pertengahan
tahun 2008 dan tidak pernah digunakan untuk lalu lalang kendaraan bermotor.
Kehadiran jalan mengakibatkan terbentuknya daerah tepi yang bertipe drastis
(abrupt). Plot hutan primer terletak kurang lebih 12km dari permukiman dan
perkebunan penduduk.
Plot di hutan sekunder diletakkan pada hutan yang berbatasan langsung
dengan kebun campuran yaitu kebun kopi, lada dan coklat yang membentuk
daerah tepi dengan tipe halus (soft). Umur tanaman berkisar antara 5-7 tahun dan
dipelihara secara tradisional dengan input pestisida yang minim. Jarak dari
permukiman penduduk kurang lebih 2km. Hutan sekunder yang dipilih sebagai
lokasi penelitian merupakan hutan bekas perambahan yang dipulihkan kembali
sejak tahun 1982 setelah penetapan status taman nasional.
4.3.3.Keanekaragaman Burung
Data keanekaragaman burung dikumpulkan menggunakan jaring kabut
(Bibby et al. 1998) dengan metode catch per unit effort (Gibbons & Gregory
2006; Gregory et al. 2004). Pemasangan jaring kabut dilakukan pada setiap anak
kebun hutanhutanhutan
15
plot pengamatan yang telah ditentukan. Panjang setiap jalur jaring kabut ialah
96m yang terdiri dari 8 jaring kabut dengan panjang 12m yang dipasang
bersambungan.
Setiap jalur jaring kabut dioperasikan selama 2-3 hari pada setiap anak plot
untuk memperoleh total waktu pengoperasian sebanyak 24 jam. Pengoperasian
jaring kabut dilakukan antara pukul 06.00-18.00 WIB, sehingga total pengamatan
per jalur adalah 24 jam x 96m = 2304 meter jam jaring kabut. Setelah pukul
18.00 WIB jaring kabut digulung dan dibuka kembali pada pukul 06.00 WIB
untuk mencegah tertangkapnya kelelawar yang dapat merusak jaring. Apabila
pada saat pengoperasian jaring kabut, terjadi cuaca buruk (hujan) maka jaring
ditutup dan dioperasikan lagi setelah cuaca normal hingga mencapai waktu
pengoperasian 24 jam untuk setiap anak plot. Waktu awal pengoperasian jaring
kabut berbeda-beda antara satu titik dengan titik yang lain tergantung dengan
kondisi cuaca.
Setelah dioperasikan selama 24 jam pada satu anak plot, maka jaring kabut
dipindahkan ke anak plot lainnya. Jaring kabut diperiksa setiap 2 jam pada daerah
dengan vegetasi rapat dan setiap 1 jam pada dengan vegetasi jarang untuk
mengurangi resiko terjadinya kematian pada burung yang tertangkap. Setiap
individu yang tertangkap, dilepas dari jaring dan dimasukkan ke dalam kantung
kain untuk diidentifikasi spesies, jenis kelamin, kondisi perkembangbiakan, dan
kondisi bulu di stasiun pencincinan.
Burung diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan lapang burung-
burung di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (MacKinnon et al. 1997),
sedangkan tata nama famili dan spesies serta nomor urut burung merujuk pada
Sukmantoro et al. (2007). Burung yang teridentifikasi dipasangi cincin dari
alumunium alloy bernomor unik pada bagian tarsus. Pemasangan cincin bertujuan
untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda terhadap burung-burung yang
tertangkap.
Burung yang tertangkap segera dilepaskan setelah proses identifikasi, dan
pencincinan selesai, kecuali burung yang tertangkap menjelang malam hari.
Burung tersebut diinapkan di dalam kantung kain di stasiun pencincinan dan
16
dilepaskan keesokan hari di sekitar lokasi tertangkap. Hal ini untuk mencegah
terjadinya kekacauan orientasi apabila burung dilepaskan ketika malam hari.
4.3.4.Komponen Habitat
4.3.4.1.Komposisi Vegetasi
Data vegetasi dikumpulkan dengan menggunakan metode point-quarter
(Krebs 1999). Panjang transek pengamatan vegetasi adalah 100m yang
disesuaikan dengan panjang jaring kabut. Rumus yang digunakan untuk
mengukur kepadatan pohon ialah:
N = ∑
Keterangan:
N = nilai dugaan kepadatan pohon
n = jumlah plot contoh
xi = jarak terdekat pohon dari titik pusat plot
π = 3,14159
Tingkat pertumbuhan vegetasi di kelompokkan menjadi 4 yaitu :
1. Tumbuhan tingkat semai (seedling) dan tumbuhan bawah, yaitu tumbuhan
mulai berkecambah hingga tinggi 1,5m.
2. Tumbuhan tingkat pancang (sapling), yaitu tumbuhan dengan tinggi melebihi
1,5 m atau memiliki diameter kurang dari 10cm.
3. Tumbuhan tingkat tiang (pole), yaitu tumbuhan yang memiliki diameter 10-
20cm.
4. Tumbuhan tingkat pohon yaitu tumbuhan berkayu dengan diameter batang
lebih besar dari 20cm.
Data vegetasi yang dikumpulkan meliputi jumlah individu vegetasi pada
setiap fase pertumbuhan, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi
total.
4.3.4.2.Bukaan Tajuk
Bukaan tajuk (canopy openness) merupakan proporsi kubah langit yang
tertutup atau terhalangi oleh vegetasi ketika dilihat dari sebuah titik (Jennings et
al. 1999). Data bukaan tajuk dikumpulkan menggunakan canopy scope (Brown et
17
al. 2000). Menurut Newton (2007) canopy scope merupakan alat yang cukup
baik dalam mengukur bukaan tajuk pada hutan dengan vegetasi yang rapat, selain
itu canopy scope juga mudah dan murah dalam pengoperasiannya. Jumlah titik
pengamatan bukaan tajuk di setiap jalur jaring kabut adalah 8 untuk setiap luas
area 0,25 ha (Brown et al. 2000). Selanjutnya nilai yang diperoleh dari
pengamatan titik tersebut dirata-rata untuk memperoleh persentase bukaan tajuk
di setiap jalur.
4.3.4.3.Tutupan Tajuk
Tutupan tajuk (canopy cover) merupakan proporsi lantai hutan yang
tertutup oleh proyeksi tegak lurus tajuk pohon (Jennings et al. 1999). Tutupan
tajuk dihitung dengan metode line intercept (Newton 2007; Jennings et al. 1999).
Nilai tutupan tajuk adalah persentase panjang tajuk yang menyentuh garis transek
terhadap panjang transek. Pengukuran tutupan tajuk dilakukan terhadap vegetasi
dari setiap fase pertumbuhan kecuali tingkat semai di setiap jalur jaring kabut,
sehingga nilai penutupan tajuk pada sebuah jalur jaring kabut akan bernilai lebih
dari 100%.
4.3.5.Jumlah Individu Artropoda
Data individu artropoda dikumpulkan dengan sweep net menggunakan
metode catch per unit effort. Agar memudahkan standardisasi perhitungan maka
pengambilan data serangga dilakukan sebanyak 2 kali ayunan setiap 1 meter
dengan panjang transek 100m (Ozanne 2005) sepanjang jalur jaring kabut.
Pengambilan contoh dilakukan setelah embun hilang dari permukaan daun pada
pukul 08.00-10.00 WIB. Selanjutnya seluruh individu serangga yang tertangkap
dihitung jumlahnya dan diidentifikasi secara sekilas hingga tingkat ordo.
4.4.Analisis Data
4.4.1.Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies
Data keanekaragaman dan kemerataan spesies burung dihitung
menggunakan indeks Shannon, kekayaan spesies dihitung dengan indeks
Menhinick (Krebs 1999) yang rumusnya adalah sebagai berikut:
18
Indeks Shannon
H’ = – pipi ln.∑
= – ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛∑ Nn
Nn ii ln.
Kemerataan
J = max
'H
H = )ln(
'S
H = )ln()ln(
0
1
NN
Indeks Menhinick
DMn = S/√ N
Keterangan: H’ = indeks Shannon Pi = proporsi individu suatu spesies terhadap keseluruhan individu yang dijumpai N = jumlah individu total J = Kemerataan S = jumlah seluruh jenis.
4.4.2.Kelimpahan
Berdasarkan jumlah individu, spesies burung yang tertangkap
dikelompokkan ke dalam empat kelas kelimpahan (Fowler & Cohen 1986) yaitu:
Sering tertangkap : lebih dari 100 individu
Umum : 21-99 individu
Tidak umum : 5-20 individu
Jarang : 1-4 individu
4.4.3.Kesamaan Komunitas Burung
Indeks kesamaan spesies dihitung dengan menggunakan indeks Jaccard
(Krebs 1999). Hal ini untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi
spesies burung berdasarkan tipe hutan. Analisis juga dilakukan berdasarkan guild
makanan.
ISJ =
Keterangan:
a : jumlah spesies yang dijumpai pada kedua lokasi b : jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 1 c : jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 2
19
4.4.4.Lebar Relung
Analisis lebar relung dilakukan untuk mengelompokkan anggota komunitas
burung ke dalam kategori generalis dan spesialis berdasarkan habitat. Rumus yang
digunakan adalah indeks Levin (Krebs 1978).
Indeks Levin
Keterangan: B : Indeks lebar relung Levin Pi : Proporsi individu yang memanfaatkan suatu sumberdaya n : Jumlah sumberdaya yang mungkin tersedia
4.4.5.Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi
Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
keanekaragaman spesies dan jumlah individu yang tertangkap di setiap jalur jaring
kabut terhadap jarak dari daerah tepi. Uji Khi kuadrat dilakukan untuk
mengetahui adanya perbedaan antara jumlah individu burung yang tertangkap
berdasarkan guild dan spesies di setiap jalur jaring kabut terhadap jarak dari
daerah tepi.
4.4.6.Keanekaragaman Spesies dan Vegetasi
Uji korelasi Pearson (Fowler & Cohen 1986) dilakukan untuk mengetahui
keterkaitan antara persentase bukaan tajuk, tutupan tajuk dan kepadatan vegetasi
terhadap keanekaragaman spesies dan tingkat tangkapan.
4.4.7.Keanekaragaman Spesies dan Jumlah Artropoda
Uji korelasi Pearson (Fowler & Cohen 1986) dilakukan untuk mengetahui
tingkat keterkaitan jumlah artropoda terhadap keanekaragaman spesies dan guild.
2
1
j
Bp
=∑
20
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian
Komposisi vegetasi pada hutan primer di dominasi oleh jenis meranti
Shorea spp. dan kruing Dipterocarpus spp. yang seringkali menjadi pohon
emergent dengan tinggi mencapai 35m. Pohon-pohon di hutan primer umumnya
memiliki ketinggian antara 20-25m. Secara umum kondisi tajuk di hutan primer
memiliki penutupan yang tinggi (Tabel 1). Hal ini terjadi karena vegetasi yang
tumbuh membentuk strata tajuk yang lengkap. Padatnya penutupan tajuk dan
rendahnya intensitas cahaya yang mampu menembus hingga lantai hutan,
mengakibatkan sedikitnya jumlah tumbuhan bawah. Rendahnya intensitas cahaya
matahari juga mengakibatkan proses dekomposisi serasah menjadi lamban,
sehingga lantai hutan tertutupi oleh serasah yang tebal. Jenis jahe hutan Zingiber
spp. seringkali tumbuh pada daerah-daerah yang sedikit terbuka dan terkena sinar
matahari. Pembukaan jalan setapak mengakibatkan terbentuknya daerah tepi
dengan tipe yang tajam (abrupt). Pada bagian tepi ini biasanya ditumbuhi oleh
pisang hutan Musa spp. dan jahe hutan Zingiber spp.
Vegetasi pada hutan sekunder didominasi oleh spesies yang berasal dari
famili Euphorbiaceae (Macaranga spp. dan Mallotus spp.) dan famili Myrtaceae
(Eugenia spp. dan Syzigium spp.). Berbeda dengan hutan primer, di hutan
sekunder tidak memiliki pohon emergent. Ketinggian pohon umumnya antara 10-
20m. Di beberapa bagian terdapat banyak pohon tumbang atau tertutupi tumbuhan
merambat. Hutan sekunder juga memiliki penutupan tajuk yang rendah.
Rendahnya penutupan tajuk mengakibatkan cahaya matahari mampu menembus
lantai hutan yang memungkinkan pertumbuhan yang pesat dari tumbuhan bawah
dan semak belukar. Pada bagian lantai hutan juga masih banyak dijumpai sisa
batang-batang pohon bekas perambahan yang melapuk. Kehadiran daerah
perkebunan di sekitar hutan sekunder mengakibatkan terbentuknya daerah tepi
dengan tipe halus (soft).
Nilai rata-rata kepadatan vegetasi tingkat pohon di hutan primer lebih tinggi
dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=0,29; df=1;
P=0,58). Kepadatan vegetasi tingkat tiang di hutan primer lebih tinggi daripada
21
hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=1,65; df=1; P=0,19), sedangkan
kepadatan vegetasi tingkat pancang berbeda nyata (χ2=6,91; df=1; P=0,00).
Tabel 1 Parameter kondisi vegetasi di hutan sekunder dan primer
Hutan primer memiliki strata tajuk yang lebih lengkap dan ditumbuhi oleh
pepohonan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Oleh karena
itu hutan primer memiliki nilai bukaan tajuk (canopy openness) yang lebih
rendah dibandingkan dengan hutan sekunder dan berbeda secara nyata (χ2=9,52;
df=1; P=0,00) (Tabel 1). Nilai tutupan tajuk (canopy cover) di hutan primer lebih
tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=
0,69; df=1; P=0,41).
Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder menurun pada jarak 200m
dan kembali naik pada jarak 400m (Gambar 5). Namun, kondisi berbeda terjadi
pada nilai tutupan tajuk (canopy cover) di hutan sekunder yang meningkat pada
jarak 200m dan menurun kembali pada titik 400m (Gambar 6), sedangkan nilai
bukaan tajuk di hutan sekunder memiliki pola yang sama dengan hutan primer.
Gambar 5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan
pengukuran dengan menggunakan canopy scope.
No Parameter Tipe hutan
Primer Sekunder 1 Kepadatan pohon (batang/ha) 213,9 179,6 2 Kepadatan tiang (batang/ha) 358,8 257,8 3 Kepadatan pancang (batang/ha) 930,2 604,5 5 Bukaan tajuk (%) 6,2 13,2 4 Tutupan tajuk (%) 145,0 97,0
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
0 m 200 m 400 m
Pers
enta
se
Jarak tepi
Hutan Primer Hutan Sekunder
22
Gambar 6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari
tepi. 5.1.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian
Selama 2304 meter jam jaring kabut, ditangkap sebanyak 324 individu
burung yang berasal dari 51 spesies dan 18 famili (Lampiran 1). Seluruh burung
yang tertangkap adalah burung penetap yang 13 spesies di antaranya merupakan
burung yang mendekati terancam punah (BirdLife-International 2009). Sembilan
spesies burung yang tertangkap merupakan spesies yang dilindungi oleh peraturan
dan perundangan Republik Indonesia. Selain itu terdapat satu spesies yang telah
terdaftar pada Appendiks II CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yaitu paok pancawarna Pitta
guajana. Terdapat pula satu spesies nokturnal yaitu paruhkodok bintang
Batrachostomus stellatus (Famili Podargidae) yang berstatus mendekati terancam
punah. Spesies tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis karena penelitian ini
hanya membahas burung diurnal.
Terdapat pula 43 spesies burung dari 24 famili yang tidak berhasil ditangkap
namun teridentifikasi melalui visual dan suara (Lampiran 2). Spesies-spesies
tersebut sebagian besar tidak tertangkap karena memiliki bobot dan ukuran yang
besar, beraktivitas pada bagian atas tajuk hutan dan secara alami memiliki
kelimpahan yang rendah. Seluruh burung yang tidak tertangkap menggunakan
jaring kabut tidak dimasukkan ke dalam analisis.
23
Berdasarkan kategori kelimpahan, sebanyak 62% spesies yang tertangkap
termasuk ke dalam kategori jarang, 32% dengan kategori tidak umum dan 6%
termasuk ke dalam kategori umum (χ2=23,56, df=2, P=0,00). Sebanyak 8 spesies
dengan kelimpahan jarang termasuk dalam kategori mendekati terancam punah.
Di dalam kelas kelimpahan tidak umum sebanyak 4 spesies termasuk kategori
mendekati terancam punah dan satu spesies telah terdaftar di dalam Appendik II
CITES. Spesies dengan kategori umum terdiri dari pijantung kecil Arachnothera
longirostra (78 individu), burung udang punggung merah Ceyx rufidorsa (26
individu) dan cinenen merah Orthotomus sericeus (22 individu).
Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman spesies (H’), dapat disimpulkan
bahwa lokasi penelitian memiliki nilai keanekaragaman spesies yang sedang
(Tabel 2). Selain itu lokasi penelitian juga memiliki komposisi spesies burung
yang cukup merata.
Tabel 2 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies burung di bawah tajuk di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Indeks Nilai Menhinick (Mn) 2,78 Shannon (H') 3,18 Evennes (J’) 0,81
Komunitas burung di lokasi penelitian didominasi oleh famili Nectariniidae
(χ2=648,11; df=16; P=0) dengan jumlah individu sebanyak 95 individu (Gambar
7). Famili ini hanya tersusun dari 3 spesies yaitu pijantung kecil Arachnothera
longirostra, burung madu rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu
sepahraja Aetophyga siparaja (Lampiran 3). Ketiga spesies ini umumnya
beraktivitas pada strata tajuk tengah dan bawah.
Berdasarkan jumlah spesies, Timaliidae merupakan famili dengan jumlah
spesies yang paling sering tertangkap (χ2=54,72; df=16; P=0,00) yaitu sebanyak
13 spesies dengan jumlah total 80 individu. Berdasarkan spesies, pijantung kecil
Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap (χ2=
1022,05; df=49; P=0) yaitu sebanyak 78 individu.
24
Gambar 7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan
spesies.
5.1.3. Jumlah Individu Burung dan Struktur Vegetasi Jumlah individu burung yang tertangkap semakin menurun dengan
meningkatnya nilai kepadatan vegetasi pada tingkat pohon (korelasi Pearson,
r=0,36), begitu pula halnya dengan kepadatan vegetasi pada tingkat tiang
(r=0,71), tingkat pancang (r=0,25) dan tutupan tajuk (r=0,18). Pada sisi lain
jumlah individu burung yang tertangkap semakin meningkat dengan
bertambahnya nilai bukaan tajuk (r=0,63).
5.1.4. Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian Secara garis besar, komunitas burung di lokasi penelitian terbagi ke dalam 3
kategori guild yaitu terdiri dari dua guild murni dan satu guild campuran
(Gambar 8). Guild murni terdiri dari burung-burung pemakan seranggga dan
burung-burung pemakan buah. Kategori guild terbanyak adalah pemakan
serangga, yaitu sebanyak 5 sub kategori. Kategori guild dengan jumlah paling
sedikit ialah pemakan buah murni, yang terdiri dari dua sub kategori (Lampiran
4).
0 20 40 60 80 100
PhasianidaeColumbidae
CuculidaeTrogonidae
AlcedinididaePicidae
EurylaimidaePittidae
PycnonotidaeTurdidae
TimaliidaeSylviidae
PlatysteiridaeMonarchidae
DicaeidaeNectariniidae
Dicruridae
Jumlah
Fam
ili
Spesies
Individu
Gambar 8 Hirarki kategori guild komunitas burung di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Keterangan: TFGI: pemakan serangga di bagian tajuk, BGI: pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon, SFGI: pemakan serangga di daerah semak, LGI: pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, FCI: pemakan serangga sambil melayang, IN: pemakan serangga dan nektar, CI: pemakan vertebrata lain dan serangga, IF: pemakan serangga dan buah-buahan, AF: pemakan buah di bagian tajuk, TF: pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan.
26
Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN) merupakan
kelompok yang paling banyak tertangkap (χ2=225,56; df=9; P=0,00) dengan
jumlah total 95 individu (Tabel 3). Meskipun demikian kelompok ini hanya terdiri
dari 3 spesies saja yaitu pijantung kecil Arachnothera longirostra, burung madu
rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu sepahraja Aetophyga
siparaja (Lampiran 4). Berdasarkan jumlah spesies, kelompok pemakan serangga
di bagian tajuk (TFGI) merupakan guild yang paling dominan (χ2=21,2; df=9;
P=0,01).
Tabel 3 Jumlah individu dan spesies pada setiap guild
No Guild Kode guild
Jumlah individu
Jumlah spesies
A Pemakan Serangga 1 Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 62 11 2 Pemakan serangga di bagian dahan dan
ranting pohon BGI 10 3
3 Pemakan serangga di daerah semak SFGI 35 7 4 Pemakan serangga di serasah atau
lantai hutan LGI 26 4
5 Pemakan serangga sambil melayang FCI 18 5 B Pemakan buah 1 Pemakan buah di tajuk AF 4 1 2 Pemakan buah kecil yang berserakan di
lantai hutan TF 4 1
C Campuran 1 Pemakan serangga dan nektar IN 95 3 2 Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 42 5 3 Pemakan serangga dan buah-buahan IF 27 10 5.1.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda
Jumlah rata-rata artropoda yang tertangkap pada lokasi penelitian adalah
266 individu/100 ayunan. Sebagian besar artropoda yang tertangkap adalah ordo
Diptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hymenoptera (Formicidae) dan Arachnidae.
Jumlah individu artropoda yang tertangkap di hutan sekunder secara nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan hutan primer (χ2=5,76; df=1; P=0,01) (Gambar 9).
Jumlah artropoda yang tertangkap pada setiap jarak tepi tidak berbeda nyata baik
di hutan primer (uji H=0,36; df=2; P=0,84) maupun hutan sekunder (uji H=2,49;
df=2; P=0,29). Jumlah individu burung yang tertangkap mengalami peningkatan
dengan bertambahnya jumlah artropoda (r=0,44).
27
Gambar 9 Jumlah individu artropoda pada setiap jarak dari tepi.
5.1.6. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi
Nilai kekayaan spesies tertinggi terdapat pada jarak 0m dari tepi, dengan
jumlah spesies yang tertangkap sebanyak 34 spesies. Jumlah tersebut berkurang
menjadi 31 spesies dan kembali naik pada jarak 400m menjadi 34 spesies. Namun
demikian nilai keanekaragaman spesies burung menurun seiring bertambahnya
jarak dari tepi (Gambar 10).
Gambar 10 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’)
spesies burung berdasarkan jarak dari tepi.
Dari 17 famili yang tertangkap, Timaliidae mengalami penurunan jumlah
individu seiring bertambahnya jarak dari tepi sedangkan Nectariniidae mengalami
peningkatan (Gambar 11). Berdasarkan jumlah spesies, meskipun lebih banyak
burung yang tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi namun secara statistik
0
20
40
60
80
100
120
140
0m 200m 400m
Jum
lah
indi
vidu
Jarak tepi
Hutan primer Hutan sekunder
3.02 2.94 2.982.94 2.92 2.83
0.83 0.85 0.80
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
0m 200m 400m
Jarak tepi
Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)
28
tidak berbeda nyata (χ2=0,32; df=2; P=0,85). Berdasarkan jumlah individu, lebih
banyak burung yang tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi meski tidak
berbeda nyata (χ2=1,70; df=2; P=0,43).
Gambar 11 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi.
Secara umum tidak terdapat penurunan atau peningkatan jumlah individu
burung yang tertangkap dengan bertambahnya jarak dari daerah tepi. Meskipun
demikian tercatat beberapa spesises mengalami penurunan jumlah yang tidak
nyata seiring dengan bertambahnya jarak dari tepi seperti tepus merbah sampah
Stachyris erythroptera (χ2=2,24; df=2; P=0,32) (Gambar 12).
0 20 40 60
Phasianidae
Columbidae
Cuculidae
Trogonidae
Alcedinidae
Picidae
Eurylaimidae
Pittidae
Pycnonotidae
Turdidae
Timaliidae
Sylviidae
Platysteiridae
Monarchidae
Dicaeidae
Nectariniidae
Dicruridae
Jumlah
Fam
ili
400 m
200 m
0 m
29
Gambar 12 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi.
0 20 40 60
Rollulus rouloulChalcophaps indica
Cacomantis sonneratiiCacomantis sepulcralis
Surniculus lugubrisHarpactes diardii
Harpactes duvauceliiAlcedo meninting
Ceyx rufidorsaLacedo pulchella
Actenoides concretusSasia abnormisPicus mentalisPicus puniceus
Meiglyptes tukkiCymbirhynchus macrorhynchos
Pitta guajanaPycnonotus melanicterus
Pycnonotus eutilotusPycnonotus plumosus
Pycnonotus simplexPycnonotus brunneus
Pycnonotus erythrophtalmusCriniger phaeocephalus
Tricholestes criniger Enicurus leschenaulti
Pellorneum capistratumTrichastoma rostratum
Trichastoma bicolorMalacocincla malacense
Malacopteron affineMalacopteron cinereumMalacopteron magnumStachyris poliocephala
Stachyris maculataStachyris nigricollis
Stachyris erythropteraMacronous gularis
Macronous ptilosusOrthotomus atrogularis
Orthotomus sericeusOrthotomus ruficeps
Philentoma pyrhopterumHypothymis azurea
Dicaeum triginostigmaDicaeum cruentatum
Hypogramma hypogrammicumAethopyga siparaja
Arachnothera longirostraDicrurus paradiseus
400 m 200 m 0 m
30
5.1.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi
Sebanyak 9 kategori guild tertangkap pada jarak 0m dan 200m, sedangkan
pada jarak 400m tertangkap sebanyak 10 kategori guild meskipun secara statistik
tidak berbeda nyata (χ2=0,07; df=2; P=0,96). Nilai keanekaragaman dan kekayaan
guild tertinggi terdapat pada jarak 200m memiliki dari tepi (Gambar 13).
Gambar 13 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’)
guild pada berbagai jarak dari tepi.
Pemakan serangga dan nektar (IN) dan pemakan buah di atas tajuk (TF),
mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari daerah tepi (Gambar 14).
Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori BGI dan TFGI yang mengalami
penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi, namun secara statistik tidak
berbeda nyata (Lampiran 5). Dari seluruh kategori guild, pemakan serangga dan
nekatar (IN) lebih menyukai daerah yang jauh dari tepi, sedangkan pemakan
serangga sambil melayang (FCI) lebih sering tertangkap pada daerah pertengahan
(200m dari tepi). Sebagian besar guild yang tertangkap tidak memiliki
kecenderungan penurunan atau peningkatan jumlah dengan bertambahnya jarak
dari tepi.
0.800.98 0.98
2.07 2.10 2.09
0.94 0.95 0.91
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
0m 200m 400m
Jarak tepi
Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)
31
Gambar 14 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi.
5.1.8. Lebar Relung
Dari seluruh spesies yang tertangkap hanya terdapat 3 spesies dengan relung
yang sangat lebar yaitu burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa, tepus
merbah-sampah Stachyris erythroptera dan pijantung kecil Arachnothera
longirostra, masing-masing bernilai 0,94; 0,89 dan 0,88 (Lampiran 6). Sebanyak
19 spesies merupakan spesies dengan lebar relung yang sempit (0,00). Namun
secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan lebar relung yang nyata di antara
spesies (χ2=37,17; df=49; P=0,89).
Berdasarkan kategori guild, kelompok pemakan vertebrata lain dan serangga
(CI) merupakan guild dengan relung paling lebar (Tabel 4). Kategori guild ini
tersusun dari spesies yang berasal dari famili Alcedinidae dan Picidae.
Kelompok lain dengan relung yang lebar ialah burung pemakan serangga dan
nektar (IN) dan burung pemakan serangga dan buah-buahan (IF). Sedangkan
kelompok pemakan buah di bagian tajuk (AF) merupakan guild dengan relung
paling sempit. Kelompok ini hanya terdiri dari satu spesies saja yaitu sempur
hujan sungai Cymbirhynchus macrorhynchos. Meskipun demikian tidak terdapat
perbedaan lebar relung yang nyata di antara kategori guild (χ2=1,13; df=9;
P=0,99).
05
101520253035404550
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
Indi
vidu
Guild
0 m 200 m 400 m
32
Tabel 4 Lebar relung berdasarkan kategori guild
No Kategori guild Kode guild
Lebar relung B Ba
1. Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 4,83 0,77 2. Pemakan serangga di bagian dahan dan
ranting pohon BGI 3,90 0,58
3. Pemakan serangga di daerah semak SFGI 4,13 0,63 4. Pemakan serangga di serasah atau lantai
hutan LGI 4,95 0,79
5. Pemakan serangga sambil melayang FCI 3,65 0,53 6. Pemakan buah di tajuk AF 1,60 0,12 7. Pemakan buah kecil yang berserakan di lantai
hutan TF 2,78 0,36
8. Pemakan serangga dan nektar IN 5,31 0,86 9. Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 5,39 0,88
10. Pemakan serangga dan buah-buahan IF 5,24 0,85
5.1.9. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Primer
Secara umum keanekaragaman spesies burung-burung di bawah tajuk di
hutan primer tidak terlalu tinggi. Namun dalam hal kemerataan spesies, komunitas
burung di hutan primer memiliki kemerataan spesies yang cukup tinggi (Tabel 5).
Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 32 spesies yang berasal dari 12
Famili dengan jumlah total individu sebanyak 138 individu. Spesies yang paling
sering tertangkap adalah pijantung kecil Arachnothera longirostra yaitu sebanyak
30 individu (χ2=210,29; df=31; P=0,00) dan terdapat 8 spesies yang hanya
tertangkap sekali saja (Lampiran 3).
Tabel 5 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan primer
Indeks Nilai Shannon (H') 3,00 Kemerataan (J) 0,87
Berdasarkan kategori kelimpahan sebanyak 17 spesies (53,13%) termasuk
ke dalam kategori jarang, 13 spesies (40,62%) ke dalam kategori tidak umum, dan
hanya 2 spesies (6,25%) yang masuk ke dalam kategori umum (χ2=11,31; df=2,
P=0,00). Jenis yang termasuk ke dalam kategori umum yaitu pijantung kecil
Arachnothera longirostra (30 individu) dan udang punggung-merah Ceyx
33
rufidorsa (12 individu) (Lampiran 3). Sebanyak 12 spesies yang tertangkap di
hutan primer termasuk ke dalam kriteria spesies yang mendekati terancam punah.
Pada kategori famili, Timaliidae merupakan famili yang dominan
(χ2=384,32; df=16; P=0,00). Jumlah anggota famili ini yang tertangkap sebanyak
49 individu yang berasal dari 12 spesies (Gambar 15). Di sisi lain terdapat famili
dengan jumlah individu paling sedikit yaitu Phasianidae dan Dicruridae dengan
jumlah masing-masing sebanyak 1 individu.
Gambar 15 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan famili di hutan primer.
5.1.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer
Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 8 guild yang merupakan
pemakan serangga murni maupun campuran. Namun, secara spesifik komunitas
burung di hutan primer di dominasi oleh kelompok pemakan serangga di bagian
tajuk (TFGI) (Gambar 16) baik dalam jumlah spesies (χ2=18, df=9, P=0,04)
maupun individu (χ2=122,43; df=9; P=0,00). Dari seluruh kategori guild yang
terdapat di lokasi penelitian, sebanyak dua kategori guild tidak berhasil ditangkap
di hutan primer yaitu kategori burung pemakan buah di tajuk (AF) dan pemakan
buah yang berserakan di lantai hutan (TF).
0 20 40 60
PhasianidaeColumbidae
CuculidaeTrogonidae
AlcedinididaePicidae
EurylaimidaePittidae
PycnonotidaeTurdidae
TimaliidaeSylviidae
PlatysteiridaeMonarchidae
DicaeidaeNectariniidae
Dicruridae
Jumlah
Fam
ili
IndividuSpesies
34
Gambar 16 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan primer.
5.1.11. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Primer
Nilai kekayaan spesies yang tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi,
begitu pula halnya dengan tingkat kemerataan spesies (Gambar 17). Jumlah
spesies yang tertangkap tidak mengalami kecenderungan penurunan jumlah yang
nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi (χ2=0,95; df=2; P=0,62) (Gambar 18).
Begitu pula halnya dengan jumlah individu yang tertangkap tidak terdapat
perbedaan jumlah yang nyata berdasarkan jarak dari tepi (χ2=1,63; df=2; P=0,44)
meskipun terdapat fakta penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak
tepi.
Gambar 17 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan
(J’) spesies burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.
0
10
20
30
40
50
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
Jum
lah
Guild
Individu Spesies
2.89
2.362.74
1.862.21
1.46
0.60 0.800.50
0.000.501.001.502.002.503.003.504.00
0m 200m 400m
Jarak tepi
Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)
35
Gambar 18 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan jarak dari tepi di
hutan primer.
Berdasarkan famili, tidak terdapat kecenderungan peningkatan atau
penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak dari tepi (Gambar 19).
Begitu pula halnya pada spesies, tidak terdapat spesies yang mengalami
peningkatan atau penurunan jumlah individu secara linear dengan bertambahnya
jarak tepi (Gambar 20).
Gambar 19 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.
2215 18
58
46 48
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 m 200 m 400 m
Jum
lah
Jarak tepi
Spesies Individu
0 5 10 15 20 25
PhasianidaeCuculidae
TrogonidaeAlcedinidae
PicidaePittidae
PycnonotidaeTurdidae
TimaliidaePlatysteiridaeNectariniidae
Dicruridae
Individu
400 m 200 m 0 m
36
Gambar 20 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan
primer. 5.1.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan
Primer
Kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 400m dari tepi dan terendah
pada jarak 0m dari tepi (Gambar 21). Jumlah guild yang tertangkap pada jarak 0m
dan 200m masing-masing 7 guild dan pada jarak 400m sebanyak 8 guild. Kategori
guild yang tidak terdapat pada jarak 0m adalah pemakan serangga sambil
melayang (FCI) sedangkan pada jarak 200m adalah pemakan serangga di daerah
semak.
0 5 10 15 20 25
Rollulus rouloulCacomantis sepulcralis
Surniculus lugubrisHarpactes duvaucelii
Ceyx rufidorsaActenoides concretus
Sasia abnormisPicus mentalisPicus puniceus
Meiglyptes tukkiPitta guajana
Pycnonotus eutilotusPycnonotus brunneusTricholestes criniger
Criniger phaeocephalusEnicurus leschenaulti
Pellorneum capistratumTrichastoma rostratum
Trichastoma bicolorMalacocincla malacense
Malacopteron affineMalacopteron cinereumMalacopteron magnumStachyris poliocephala
Stachyris maculataStachyris nigricollis
Stachyris erythropteraMacronous ptilosus
Philentoma pyrhopterumHypogramma hypogrammicum
Arachnothera longirostraDicrurus paradiseus
Jumlah
Spes
ies
400 m 200 m 0 m
37
Gambar 21 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan guild
berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.
Berdasarkan jumlah individu, kategori guild yang paling sering tertangkap
pada jarak 0m adalah pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) yaitu sebanyak 18
individu, sedangkan pada jarak 200m didominasi oleh pemakan serangga dan
nektar (19 individu), pada jarak 400m didominasi oleh IN dan TFGI masing-
masing 13 individu (Gambar 22). Dari 8 kategori guild yang tertangkap hanya
pemakan serangga di semak (SFGI) yang mengalami penurunan jumlah secara
nyata seiring bertambahnya jarak dari tepi (Lampiran 7).
Gambar 22 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan
primer.
Berdasarkan kategori guild, terdapat asosiasi antara guild dengan jarak dari
tepi (χ2=24,71; df=14; P=0,03). Pemakan serangga di serasah dan lantai hutan
0.92 1.07 1.15
1.751.58
1.81
0.90 0.81 0.93
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
0m 200m 400m
Jarak tepi
Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)
02468
101214161820
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
indi
vidu
Guild
0 m 200 m 400 m
38
(LGI) lebih sering tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi (Gambar 23).
Kondisi sebaliknya terjadi pada pemakan serangga di bagian semak (SFGI) dan
pemakan serangga di bagian ranting dan dahan (BGI) yang lebih sering
menggunakan daerah pada jarak 0m sebagai tempat beraktivitas.
Gambar 23 Proporsi guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.
5.1.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder
Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 185 individu burung
yang berasal dari 31 spesies dan 15 famili. Berbeda dengan hutan primer
keanekaragaman spesies burung di hutan sekunder termasuk rendah, namun
memiliki kemerataan yang tinggi (Tabel 6). Pada tipe hutan ini pijantung kecil
Arachnothera longirostra mendominasi dengan jumlah individu sebanyak 78
individu (χ2=412,04; df=30; P=0,00).
Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan sekunder
Indeks Nilai
Shannon (H') 2,79 Kemerataan (J) 0,81
Berdasarkan kriteria kelimpahan, sebanyak 18 spesies (58,06%) masuk ke
dalam kategori jarang, 10 spesies (32,26%) tidak umum dan 3 spesies (9,68%)
dengan kategori umum. Sebanyak tiga spesies yang tertangkap di hutan sekunder
termasuk ke dalam kategori mendekati terancam punah yaitu Actenoides
concretus, Trichastoma rostratum dan Harpactes diardii.
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
Pers
enta
se
Guild
400m
200m
0m
39
Nectariniidae merupakan famili dengan jumlah individu yang paling
melimpah di hutan sekunder (58 individu, Gambar 24). Berdasarkan jumlah
spesies, famili Pycnonotidae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak
(5 spesies). Famili lain yang memiliki jumlah individu dan spesies cukup banyak
adalah Timaliidae yang terdiri dari 4 spesies dan 31 individu. Keempat anggota
famili Timaliidae yang tertangkap di hutan sekunder (Stachyris erythroptera,
Macronous gularis, Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum)
merupakan spesies-spesies yang mampu beradaptasi terhadap pembukaan hutan.
Terdapat pula 3 famili yang hanya tertangkap dengan jumlah satu individu yaitu
Cuculidae, Platysteiridae dan Monarchidae (Lampiran 3).
Gambar 24 Jumlah spesies dan individu berdasarkan famili di hutan sekunder.
5.1.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder
Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 10 kategori guild
(Gambar 25). Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN)
merupakan kategori guild yang paling sering tertangkap (58 individu; 31,35%)
(χ2=31,05; df=9; P=0,00). Namun berdasarkan jumlah spesies maka kategori
pemakan serangga dan buah (IF) merupakan jumlah tertinggi (8 spesies; 22,58%)
namun tidak berbeda nyata (χ2=11,26; df=9; P=0,26).
0 10 20 30 40 50 60
PhasianidaeColumbidae
CuculidaeTrogonidae
AlcedinididaePicidae
EurylaimidaePittidae
PycnonotidaeTurdidae
TimaliidaeSylviidae
PlatysteiridaeMonarchidae
DicaeidaeNectariniidae
Dicruridae
Jumlah individu
Jumlah spesies
40
Gambar 25 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan sekunder.
5.1.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Sekunder
Jumlah individu tidak mengalami peningkatan yang nyata dengan
bertambahnya jarak dari tepi (χ2=2,19; df=2; P=0,33) (Gambar 26). Begitu pula
halnya pada jumlah spesies yang tertangkap, tidak mengalami peningkatan yang
nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi. Nilai keanekaragaman spesies
tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi (Gambar 27).
Gambar 26 Jumlah individu dan spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.
0
10
20
30
40
50
60
70
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
Jum
lah
Guild
Individu Spesies
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0m 200m 400m
Jum
lah
Jarak tepi
Individu Spesies
41
Gambar 27 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan
(J’) spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.
Sebagian besar spesies yang tertangkap tidak mengalami peningkatan atau
penurunan jumlah individu yang linear dengan bertambahnya jarak dari tepi.
Pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering
tertangkap di seluruh jarak dari tepi. Selain itu terdapat pula spesies yang
mengalami peningkatan secara tidak nyata jumlah individu seiring bertambahnya
jarak dari tepi (misal: Lacedo pulchella, Hypogramma hypogrammicum). Kondisi
sebaliknya terjadi pada Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum yang
mengalami penurunan jumlah yang tidak nyata dengan bertambahnya jarak dari
tepi (Gambar 28).
2.412.60
2.322.56 2.73
2.43
0.85 0.90 0.80
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
0 m 200 m 400 m
Jarak tepi
Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)
42
Gambar 28 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan
sekunder.
Berdasarkan kategori famili, Nectariniidae merupakan famili yang paling
sering tertangkap pada seluruh jarak dari tepi (Gambar 29). Dari seluruh famili
yang tertangkap hanya Timaliidae yang mengalami penurunan jumlah individu
yang nyata dengan bertambahnya jarak tepi (χ2=6,41; df=2; P=0,04).
0 5 10 15 20 25 30
Chalcophaps indicaCacomantis sonneratii
Harpactes diardiiAlcedo meninting
Ceyx rufidorsaLacedo pulchella
Actenoides concretusSasia abnormisPicus mentalis
Cymbirhynchus macrorhynchosPitta guajana
Pycnonotus melanicterusPycnonotus plumosus
Pycnonotus simplexPycnonotus erythrophtalmus
Criniger phaeocephalusEnicurus leschenaulti
Pellorneum capistratumTrichastoma rostratumStachyris erythroptera
Macronous gularisOrthotomus atrogularis
Orthotomus sericeusOrthotomus ruficeps
Hypothymis azureaDicaeum triginostigma
Dicaeum cruentatumHypogramma hypogrammicum
Aethopyga siparajaArachnothera longirostra
Dicrurus paradiseus
400 m
200 m
0 m
43
Gambar 29 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.
5.1.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan
Sekunder
Nilai kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 200m dari daerah tepi
(Gambar 30). Meskipun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jumlah
guild yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi yaitu masing-masing 9 guild.
Gambar 30 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan
(J’) guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.
1.08 1.120.99
1.52 1.56 1.56
0.69 0.71 0.71
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
0 m 200 m 400 m
Jarak tepi
Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)
0 10 20 30 40
ColumbidaeCuculidae
TrogonidaeAlcedinidae
PicidaeEurylaimidae
PittidaePycnonotidae
TurdidaeTimaliideSylviidae
MonarchidaeDicaeidae
NectariniidaeDicruridae
Individu
Fam
ili
400 m 200 m 0 m
44
Kategori guild pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami
penurunan seiring bertambahnya jarak dari tepi dan secara statistik berbeda nyata
(Gambar 31, Lampiran 8). Namun kondisi sebaliknya terjadi pada kategori
pemakan serangga dan vertebrata (CI) yang mengalami peningkatan dengan
bertambahnya jarak dari tepi.
Gambar 31 Kelimpahan individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.
Terdapat asosiasi antara kategori guild dengan jarak dari tepi di hutan
sekunder (χ2=53,00; df=18; P=0,00). Kategori pemakan serangga di batang dan
dahan (BGI) lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi. Sedangkan
kategori pemakan serangga di serasah dan lantai hutan (LGI) dan pemakan
serangga di bagian tajuk lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi
(Gambar 32).
Gambar 32 Proporsi kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.
05
10152025303540
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
Indi
vidu
Guild
0 m 200 m 400 m
0102030405060708090
100
TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF
Pers
enta
se
Guild
400m
200m
0m
45
5.2. Pembahasan
5.2.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian
Sebagian besar hutan yang menjadi lokasi penelitian secara historis
merupakan areal hutan yang mengalami degradasi akibat pembalakan liar sebelum
ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 1992. Sebagian besar areal
yang dekat dengan permukiman secara nyata memiliki kondisi yang berbeda
dibandingkan dengan areal hutan yang jauh dari permukiman. Hal ini dapat
terlihat pada parameter vegetasi yang terdapat pada hutan primer dan hutan
sekunder.
Meskipun tidak terdapat data awal yang menggambarkan kondisi hutan
pasca pembalakan liar di dalam kawasan taman nasional, kondisi kepadatan
pohon di hutan primer dan hutan sekunder yang tidak berbeda nyata menunjukkan
terjadinya pemulihan hutan sekunder. Meskipun demikian terdapat faktor nyata
yang membedakan antara hutan primer dan sekunder, yaitu rendahnya nilai
tutupan tajuk di hutan sekunder. Tidak lengkapnya struktur tajuk di hutan
sekunder mengakibatkan nilai tutupan tajuk menjadi rendah. Di sisi lain hasil
pengukuran bukaan tajuk menunjukkan hutan sekunder lebih terbuka dibanding
hutan primer.
5.2.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian
Tingkat kekayaan spesies burung di bawah tajuk di lokasi penelitian
termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh
Novarino (2008) di wilayah Sipisang, Sumatera yang hanya memperoleh nilai
sebesar 2,42. Meskipun demikian dari segi keanekaragaman spesies hasil yang
diperoleh Novarino (2008) lebih tinggi yaitu 3,77. Perbedaan ini dapat terjadi
sebagai akibat perbedaan jumlah waktu pengoperasian jaring kabut. Pada
penelitian tersebut jaring kabut dioperasikan selama 51.120 jaring jam kabut.
Waktu pengoperasian jaring kabut yang lebih lama mengakibatkan lebih banyak
spesies yang tertangkap. Jika dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan
oleh Waltert et al. (2005) di Sulawesi dengan waktu pengoperasian jaring kabut
yang lebih lama yaitu 3400 jam jaring kabut, keanekaragaman spesies di Taman
Nasional Bukit Barisan (TNBBS) terlihat lebih tinggi. Perbedaan nilai indeks
tersebut selain disebabkan oleh perbedaan lama waktu pengoperasian jaring kabut,
46
juga karena secara alami TNBBS memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi.
Menurut Novarino (2008), faktor yang mempengaruhi besaran indeks
keanekaragaman spesies di suatu lokasi antara lain: lamanya usaha penangkapan,
cara peletakan jaring kabut, kondisi vegetasi dan kekayaan jumlah spesies burung
pada masing-masing lokasi. Menurut Magurran (1988) perbedaan ukuran sampel
akan berpengaruh terhadap besaran indeks, yaitu semakin besar sampel yang
digunakan akan cenderung memiliki indeks yang tinggi.
Dominasi jumlah individu famili Nectariniidae di lokasi penelitian terjadi
karena penelitian dilaksanakan pada awal musim berbunga tumbuh-tumbuhan di
hutan. Famili Nectariniidae tersusun oleh spesies-spesies yang memanfaatkan
nektar sebagai sumber pakan. Dominasi famili Nectariniidae di dalam hutan juga
dijumpai oleh Sodhi et al. (2005b) pada penelitiannya di daerah Linggoasri,
Jawa Tengah. Jumlah pakan yang berlimpah berupa nektar memberikan
kesempatan bagi famili burung ini untuk meningkatkan populasinya. Menurut
Novarino (2008) dominasi Nectariniidae pada suatu habitat berkaitan dengan pola
daerah sebaran famili ini yang luas. Nectariniidae merupakan burung yang sangat
umum pada daerah permukiman, perkebunan dan hutan (MacKinnon et al. 1997).
Tingginya jumlah individu Nectariniidae yang tertangkap juga dapat
disebabkan oleh pertambahan jumlah individu baru pada akhir musim berbiak.
Novarino (2008), melaporkan bahwa individu-individu baru lebih banyak
tertangkap pada akhir musim penghujan. Pada waktu tersebut burung-burung
dewasa yang tertangkap juga umumnya memiliki brood patch yang merupakan
indikasi adanya aktivitas berbiak.
Di sisi lain, famili Timaliidae merupakan famili dengan jumlah spesies yang
paling banyak tertangkap. Timaliidae merupakan spesies yang beraktivitas pada
bagian strata tajuk bawah dan lantai hutan. Famili ini merupakan kelompok murni
pemakan serangga yang umumnya hidup di bagian bawah tajuk. Banyaknya
jumlah spesies ini juga menunjukkan ketersediaan artropoda yang melimpah pada
bagian lantai hutan. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Wong (1986) di hutan
Dipeterokarpa Malaysia. Kondisi hutan yang yang memiliki tingkat penutupan
tajuk yang tinggi merupakan habitat yang ideal bagi Timaliidae. Anggota famili
47
ini merupakan spesies-spesies yang sangat sensitif terhadap gangguan berupa
pembukaan tajuk (Novarino 2008).
Penggunaan jaring kabut meskipun cukup efektif untuk mempelajari
kehidupan burung-burung semak yang pemalu, namun di sisi lain juga memiliki
bias. Alat ini terbukti tidak sepenuhnya efektif untuk menangkap beberapa spesies
yang cukup sering terlihat beraktivitas di hutan seperti tangkar kambing
Platysmurus leucopterus, pelatuk pangkas Blythipicus rubiginosus, dan sempur
hujan-darat Eurylaimus ochromalus (Lampiran 2). Burung-burung yang memiliki
tungkai pendek seperti angota famili Trogonidae biasanya sulit terjaring atau
mampu melepaskan diri setelah menabrak jaring. Pada beberapa kasus burung
yang tertangkap juga mampu untuk melepaskan diri dari jaring terutama sekali
yang berukuran besar seperti delimukan zamrud Chalcophaps indica (121g).
Ukuran jaring yang digunakan dalam penelitian ini ialah 30mm, dan sebagian
besar burung yang tertangkap memiliki bobot kurang dari 50g. Menurut Pardieck
dan Waide (1992) burung dengan bobot lebih dari 50g lebih mudah tertangkap
jika menggunakan jaring dengan ukuran mesh 36 mm, sedangkan burung dengan
bobot kurang dari 50g lebih mudah ditangkap menggunakan jaring dengan ukuran
mesh 30 mm. Studi lainnya juga melaporkan bahwa ukuran mesh jaring kabut
bias terhadap bobot dan ukuran tubuh (Lövei et al. 2001).
Pada daerah yang terbuka, penggunaan jaring juga rawan terhadap bias.
Jaring kabut yang tersinari oleh matahari menjadi lebih terlihat dan mudah
dikenali oleh burung. Akibatnya beberapa burung cenderung menghindar dari
lokasi pemasangan jaring kabut. Kondisi tersebut sangat sulit dihindari terutama
apabila pemasangan dilakukan tepat di bawah tajuk yang terbuka.
Burung-burung penghuni tajuk yang tidak pernah turun ke bawah juga akan
luput dari jaring kabut. Beberapa spesies yang tidak tertangkap jaring umumnya
adalah burung penghuni tajuk salah satunya adalah Treron capellei. Spesies ini
sering terlihat bertengger pada puncak tajuk pohon baik sendiri maupun
berkelompok dan sangat mudah diidentifikasi melalui suara yang sering
dikeluarkannya. Punai besar termasuk ke dalam spesies dengan kategori rentan
terhadap kepunahan (BirdLife-International 2009).
48
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2002), menunjukkan bahwa
pemasangan jaring kabut pada bagian tajuk atas dan di bagian bawah tajuk
menghasilkan tingkat similaritas spesies yang rendah. Jaring kabut yang dipasang
pada bagian tajuk atas lebih sering menangkap burung yang hanya aktif di tajuk
atas seperti Cuculidae, Capitonidae, Eurylaimidae, Campephagidae,
Chloropseidae, Dicruridae dan Oriolidae. sedangkan jaring yang dipasang pada
bagian bawah hutan menangkap spesies-spesies yang hidup di bawah tajuk. Fakta
ini menunjukkan bahwa pemasangan jaring kabut pada bagian bawah tajuk
memiliki tingkat efektifitas penangkapan yang berbeda terhadap famili burung
tertentu.
Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan juga merupakan salah satu habitat
beberapa burung hutan yang bermigrasi (O'Brien & Kinnaird 1996). Namun pada
penelitian ini tidak satu pun burung hutan bermigrasi yang berhasil ditangkap. Hal
ini karena pengumpulan data dilakukan pada akhir musim migrasi burung. Namun
demikian di Sipisang Sumatera Barat, Novarino (2008) melaporkan bahwa burung
bermigrasi masih dapat dijumpai meskipun penelitian dilakukan di akhir musim
migrasi burung. Letak lokasi penelitian yang berbeda merupakan salah satu
penyebab perbedaan hasil tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Novarino
(2008) berlokasi pada bagian utara pulau Sumatera yang secara teoritis lebih dekat
dengan daerah asal burung-burung hutan yang bermigrasi. Rentang waktu
penelitian yang lama juga memungkinkan lebih banyak burung migrasi
tertangkap.
5.2.3. Keanekaragaman Spesies dan Struktur Vegetasi
Korelasi negatif antara jumlah individu dan tingkat kepadatan pohon
menggambarkan bahwa komposisi burung di lokasi penelitian lebih didominasi
oleh burung yang menyukai daerah tepi dan daerah terbuka (Novarino et al.
2002). Hasil penelitian ini berbeda dengan kesimpulan yang diperoleh oleh
Chettri (2005) pada penelitian yang dilakukan di Sikkim, India. Dalam
penelitiannya yang dilakukan di sepanjang jalan setapak di jalur pendakian
diperoleh fakta bahwa kepadatan burung berkorelasi positif terhadap tingkat
kepadatan pohon. Perbedaan ini dapat terjadi karena sebagian besar burung di
Sikkim merupakan jenis burung penghuni hutan yang sangat sensitif terhadap
49
perubahan habitat. Selain itu perbedaan hasil ini juga disebabkan oleh adanya
perbedaan metode yang digunakan. Dalam penelitian tersebut Chettri (2005),
menggunakan metode penghitungan titik yang memungkinkanya untuk
mendeteksi seluruh spesies burung dari seluruh strata tajuk.
Meskipun terjadi peningkatan jumlah individu dengan menurunnya
kepadatan vegetasi, kondisi ini harus disikapi dengan hati-hati. Hal ini disebabkan
pada tingkatan tertentu kepadatan vegetasi yang rendah juga mengakibatkan
penurunan jumlah individu dan spesies di dalam hutan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penurunan kepadatan vegetasi sebagai akibat dari aktivitas
pembalakan hutan mengakibatkan penurunan jumlah spesies dan individu burung-
burung di dalam hutan (Thiollay 1999; 1997)
Peningkatan bukaan tajuk juga mengakibatkan peningkatan jumlah individu
yang menyukai daerah terbuka. Tajuk yang terbuka memicu peningkatan
pertumbuhan tumbuhan bawah yang menjadi habitat bagi burung-burung
penghuni semak yang tidak sensitif terhadap gangguan, seperti ciungair koreng
Macronous gularis. Dari 50 spesies burung yang tertangkap di lokasi penelitian,
hanya sebanyak 19 spesies yang merupakan murni penghuni hutan primer,
sedangkan sisanya merupakan burung penghuni hutan sekunder murni atau yang
bersifat oportunis (memanfaatkan dua tipe hutan). Fuller (2000) melaporkan
bahwa kehadiran gap di dalam hutan mempengaruhi kelimpahan burung yang
hidup di dalam hutan. Dalam penelitian tersebut Fuller (2000) menjumpai lebih
banyak burung pada gap hutan dibanding hutan tanpa gap.
Di sisi lain peningkatan bukaan tajuk dan penurunan tutupan tajuk juga
dapat mengakibatkan penurunan jumlah spesies terutama spesies yang sensitive
terhadap gangguan. Hal ini terlihat pada famili Timaliidae yang mengalami
penurunan jumlah spesies pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan
primer. Dari total 12 spesies anggota famili Timaliidae yang tertangkap di hutan
primer hanya 3 spesies saja yang berhasil ditangkap di hutan sekunder.
5.2.4.Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian
Tingginya kategori pemakan serangga dan nektar (IN) berkaitan dengan
bersamaannya waktu penelitian dengan awal musim bunga. Selain itu kondisi
50
lokasi penelitian yang cukup lembab memungkinkan serangga berkembang
dengan baik karena banyaknya pucuk-pucuk daun muda yang merupakan pakan
kelompok serangga. Kategori guild IN yang mengandalkan dua sumberdaya
pakan (serangga dan nektar) memungkinkan kategori ini untuk menyesuaikan
kebutuhan pakan dengan kondisi ketersediaan pakan. Hasil ini tidak berbeda jauh
dengan Novarino (2008) pada penelitiannya di Sipisang Sumatera Barat.
Banyaknya anggota TFGI yang tertangkap menunjukkan bahwa pada bagian
tajuk merupakan daerah dengan kelimpahan artropoda yang tinggi. Sinar matahari
yang melimpah di bagian tajuk akan meningkatkan produktivitas pertumbuhan
pohon. Kondisi ini mengakibatkan lebih banyak serangga yang hidup pada bagian
tersebut dibandingkan dengan bagian lainnya. Hasil tersebut berbeda dengan hasil
yang diperoleh Wong (1986), dimana TFGI merupakan guild yang berada pada
urutan ke 2 setelah SFGI.
Meskipun pada penelitian ini tidak dilakukan pengumpulan kelimpahan
biji/buah vegetasi di bawah tajuk, banyaknya jumlah spesies dan individu burung
dapat mewakili gambaran ketersediaan pakan di lokasi penelitian. Komposisi
guild penyusun burung di lokasi penelitian yang di dominasi oleh pemakan
serangga baik fakultatif maupun obligat menunjukkan bahwa pada bagian bawah
tajuk, sumberdaya yang sangat umum tersedia adalah artropoda dan serangga.
Wong (1986) menyatakan bahwa jumlah individu di dalam sebuah guild
menggambarkan ketersediaan sumberdaya yang mendukungnya, sedangkan
jumlah spesies menggambarkan sejauh mana sumberdaya dapat dibagi dengan
baik. Oleh karena itu semakin banyak kategori guild di dalam suatu hutan
menunjukkan banyaknya ketersediaan sumberdaya yang mendukung kehidupan
burung di dalamnya.
5.2.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda
Tingginya kelimpahan artropoda pada hutan sekunder dibanding hutan
primer disebabkan oleh rendahnya tingkat penutupan tajuk dan tingginya bukaan
tajuk pada hutan sekunder. Kondisi tersebut memungkinkan untuk
berkembangnya tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sumberdaya pakan
artropoda. Nummelin dan Zilihona (2004) melaporkan hasil penelitian yang
51
dilakukannya di Uganda bahwa kelimpahan individu artropoda pada hutan yang
mengalami suksesi setelah pembalakan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan
yang belum terganggu. Di sisi lain penelitian yang dilakukan Uehara-Prado et al.
(2009) juga melaporkan bahwa dalam hal keanekaragaman spesies, hutan yang
tidak terganggu memiliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dibanding
hutan yang mengalami pembalakan. Meskipun demikian pada penelitian tersebut
tidak diperoleh data mengenai perubahan kondisi tajuk di lokasi penelitian. Hutan
yang mengalami pembalakan pada umumnya mengalami peningkatan bukaan
tajuk dan penurunan luas bidang dasar tumbuhan (Thiollay 1997).
Kehadiran areal perkebunan di sekitar hutan juga memungkinkan
penambahan individu yang berasal dari kebun ke dalam hutan. Meskipun
demikian penambahan individu yang terjadi dapat saja terjadi akibat adanya
spesies bukan asli yang berasal dari areal perkebunan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Uehara-Prado et al. (2009) pada hutan yang mengalami gangguan
akibat aktivitas manusia menunjukkan bahwa penambahan individu pada hutan
terganggu lebih disebabkan oleh kehadiran spesies bukan asli.
Sebagian besar spesies penyusun komunitas burung di lokasi penelitian
merupakan spesies pemakan serangga, kondisi ini mengakibatkan burung
cenderung untuk berkumpul pada daerah yang memiliki kelimpahan serangga
yang tinggi. Kondisi ini terlihat dari tingginya nilai korelasi antara jumlah
individu burung terhadap populasi artropoda. Meskipun demikian peningkatan
jumlah artropoda tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies yang tertangkap.
Keberadaan individu burung di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan sumberdaya pakan (Blake & Loiselle 1991; Wong 1986). Jenis-jenis
burung pemakan serangga akan mengeksploitasi daerah-daerah yang memiliki
kelimpahan serangga cukup tinggi, maka tak heran komposisi burung pemakan
serangga lebih banyak tertangkap pada hutan sekunder yang berbatasan dengan
perkebunan. Menurut Wong (1986), besarnya jumlah individu pada suatu guild
berkorelasi dengan sumberdaya yang dibutuhkan oleh guild tersebut.
52
5.2.6.Keanekaragaman Spesies Berdasarkan Jarak dari Tepi
Meratanya kelimpahan burung yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi
menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya pendukung kehidupan burung
tersebar merata pada seluruh titik pengamatan. Hal ini terjadi karena tingkat
gangguan yang pada lokasi penelitian masih dalam tingkat rendah hingga
menengah. Menurut Meffe & Carrol (1994), gangguan dengan tingkatan rendah
hingga menengah pada suatu ekosistem akan meningkatkan kekayaan spesies
yang hidup di dalamnya.
Tipe daerah tepi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan bagian hutan juga
mengakibatkan tidak adanya fluktuasi sumberdaya yang drastis. Akibatnya
spesies-spesies burung yang hidup di dalam hutan tidak mengalami
kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah dengan bertambahnya jarak
tepi (Ries et al. 2004). Penelitian yang dilakukkan oleh (Berry 2001)
menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah individu di daerah tepi semata-mata
disebabkan oleh adanya peluang yang lebih besar dalam memperoleh pakan
dibandingkan oleh adanya perubahan struktur vegetasi dan iklim mikro.
5.2.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi
Tingginya nilai indeks keanekaragaman guild pada jarak 400m,
menggambarkan bahwa burung-burung di lokasi penelitian memberi respon
negatif terhadap kehadiran habitat yang mengalami modifikasi. Secara umum
kategori guild murni (pemakan serangga) mengalami peningkatan pada daerah
tepi. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya peningkatan jumlah serangga
pada titik tersebut. Kondisi ini ini berbeda halnya pada kategori guild campuran
(IN dan CI) yang tidak terlalu mengandalkan serangga sebagai sumberdaya
makan.
Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu di setiap jarak
tepi menggambarkan bahwa efek tepi tidak terlihat nyata pada lokasi penelitian.
Kondisi serupa juga dilaporkan oleh Berry (2001) pada penelitiannya di negara
bagian Victoria, Australia. Peningkatan jumlah individu yang terjadi lebih
disebabkan peningkatan kesempatan untuk memperoleh makanan yang lebih besar
pada daerah tepi karena adanya pertemuan dua tipe habitat yang berbeda.
53
5.2.8. Lebar Relung
Faktor yang mempengaruhi lebar relung suatu spesies adalah kemampuan
adaptasi terhadap kondisi lingkungan dalam hal ini termasuk kemampuan adaptasi
terhadap tipe makanan dan habitat. Berdasarkan tipe sumberdaya makan, burung
udang punggung-merah mampu mengeksploitasi sumberdaya yang cukup
beragam. Burung ini merupakan tipe pemakan vertebrata dan serangga yang
populasinya cukup melimpah di hutan. Keragaman sumberdaya pendukung suatu
spesies akan menentukan kemampuan burung tersebut dalam mengganti suatu
sumberdaya yang jumlahnya terbatas dengan jumlah yang lebih melimpah.
Spesies tepus merbah-sampah, meskipun merupakan pemakan serangga
murni, agaknya mampu beradaptasi terhadap segala kondisi lingkungan.
Meskipun hanya didukung oleh satu tipe sumberdaya makanan, namun burung ini
memiliki variasi habitat yang beragam. Burung ini selain memanfaatkan hutan
primer dan sekunder juga sering teramati menggunakan areal perkebunan sebagai
tempat mencari makan. Hal serupa juga terjadi pada pijantung kecil yang mampu
mengeksploitasi semua tipe habitat yang ada. Suplai bunga yang berfluktuatif di
hutan memaksa spesies ini untuk mengeksploitasi seluruh tipe habitat. Selain di
hutan, burung ini juga dijumpai di areal perkebunan dan terbuka lainnya.
Burung yang termasuk ke dalam kategori guild campuran (IN, CI dan IF)
merupakan burung yang didukung oleh dua tipe sumberdaya makan. Ketiga
kategori guild ini mampu beradaptasi terhadap ketersediaan makan yang
berfluktusi di dalam hutan dengan cara memanfaatkan dua tipe makanan yang
berbeda. Craig & Beal (2001) menyatakan bahwa ukuran lebar relung suatu
spesies dipengaruhi oleh cara menggunakan sumberdaya pendukung. Burung
yang bersifat generalis akan memiliki relung yang lebar karena mampu
memanfaatkan spektrum sumberdaya yang luas.
5.2.9. Keanekaragaman Famili dan Spesies di Hutan Primer
Tingginya jumlah individu dan spesies Timaliidae yang tertangkap di hutan
primer berkaitan dengan perilaku mencari makan spesies ini di dalam hutan.
Sebagian besar anggota Timaliidae merupakan spesies yang hidup pada semak
dan tumbuhan bawah (MacKinnon et al. 1997). Selain itu kebiasaan burung ini
54
yang bergerak di dalam kelompok mengakibatkan seringnya individu famili ini
tertangkap.
Sedikitnya jumlah Phasianidae yang tertangkap berkaitan dengan perilaku
burung ini dalam mencari makan. Puyuh sengayan merupakan jenis burung yang
beraktivitas dengan cara berjalan mengendap-endap di lantai hutan. Sehingga
burung ini sulit tertangkap karena jaring yang dipasang pada ketinggian minimum
20cm. Selain itu ukuran tubuh famili Phasianidae yang besar menjadikannya sulit
untuk tertangkap. Begitu pula halnya dengan srigunting batu Dicrurus paradiseus
yang sangat mengandalkan bukaan hutan sebagai tempat mencari makan. Oleh
karena itu pada hutan-hutan yang rapat spesies ini mengalami kesulitan untuk
mencari makan dengan cara menyambar mangsa dari tenggerannya.
Tingginya keanekaragaman spesies di hutan primer disebabkan oleh
beberapa faktor terkait yaitu tingginya kepadatan vegetasi, strata tajuk yang
mempengaruhi tingkat bukaan dan tutupan tajuk. Vegetasi hutan primer yang
relatif padat memberikan kesempatan bagi burung-burung yang sensitif terhadap
gangguan, untuk berkembang dan hidup dengan nyaman. Vegetasi hutan yang
rapat juga memungkinkan tumbuhnya aneka liana yang menyediakan habitat
mikro bagi artropoda yang pada akhirnya menyediakan pakan bagi komunitas
burung. Di sisi lain hadirnya bukaan tajuk pada hutan primer juga memberikan
kesempatan bagi burung yang menyukai daerah terbuka untuk hidup. Hadirnya
bukaan tajuk memberikan kesempatan bagi vegetasi yang tertekan untuk
berkembang. Kondisi ini akan menguntungkan bagi aneka burung yang hidup
dengan memanfaatkan semak dan tumbuhan bawah. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies burung di suatu hutan berkaitan
dengan tingkat kepadatan pohon (Chettri et al. 2005), volume vegetasi (Mills et
al. 1991) dan kompleksitas stuktur tajuk (Pearson 1975).
5.2.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer
Kelompok TFGI mencari makan dengan mengeksploitasi serangga yang
hidup pada permukaan daun. Minimnya semak belukar dan penetrasi cahaya
matahari yang tidak mencapai lantai hutan, mengakibatkan serangga lebih banyak
aktiv di dedaunan. Dari kategori guild yang ada, hanya TFGI yang berhasil
dengan baik memanfaatkan kondisi ini.
55
Kategori pemakan serangga di batang dan dahan (BGI) merupakan guild
dengan jumlah individu paling sedikit tertangkap. Meskipun demikian salah satu
anggota guild ini yaitu caladi badok Meiglyptes tukki merupakan jenis yang cukup
cukup sering terlihat dan terdengar suaranya, namun sayangnya jenis ini tidak
terlalu sering tertangkap.
Meskipun pada hutan primer kategori pemakan buah di bagian tajuk (AF)
dan pemakan buah yang berserakan di lantai hutan (TF) tidak berhasil ditangkap,
kenyataannya kategori ini dapat dengan mudah dijumpai di hutan primer.
Ketiadaan kategori ini lebih disebabkan burung-burung dengan kategori AF lebih
sering mencari makan pada bagian tajuk-tajuk pohon dan sangat jarang turun
hingga ke bawah tajuk.
Kategori guild hutan primer yang disusun oleh kelompok pemakan serangga
murni maupun campuran merupakan fenomena yang umum di beberapa lokasi
(Novarino 2008; Wong 1986). Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya
pakan yang lebih didominasi serangga dibandingkan dengan buah atau nektar.
Wong (1986) juga menambahkan bahwa kelimpahan serangga lebih stabil
dibandingkan dengan kelimpahan buah dan nektar, sehingga populasi burung
pemakan serangga relatif lebih stabil dibandingkan dengan pemakan buah atau
nektar.
5.2.11.Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Primer
Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu dan spesies
yang tertangkap pada berbagai jarak dari tepi menunjukkan kehadiran jalan
setapak tidak memberikan efek yang nyata bagi keanekaragaman spesies burung.
Hal ini terjadi karena tidak adanya perubahan yang nyata terhadap struktur
vegetasi (kepadatan vegetasi, tutupan dan bukaan tajuk) maupun kelimpahan
serangga pada berbagai jarak dari tepi. Kondisi tajuk pohon yang tetap terhubung
juga tidak mengakibatkan perubahan iklim mikro yang signifikan pada daerah
tepi. Oleh karena itu pembangunan jalan di dalam hutan, sepanjang tidak
mengakibatkan terputusnya tajuk dan keutuhan hutan hanya memberi dampak
yang kecil bagi keanekaragaman spesies burung yang hidup di dalamnya.
56
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Goosem (2007) mengenai
dampak negatif kehadiran jalan pada hutan hujan tropika. Hasil penelitian yang
dilakukannya menunjukkan bahwa kehadiran jalan dapar mengakibatkan
peningkatan laju kematian, predasi dan meningkatnya kepadatan individu pada
daerah tepi. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena adanya perbedaan bentuk
dan intensitas penggunaan jalan. Penelitian yang dilakukan oleh Goosem (2007)
terfokus pada hutan yang terfragmentasi oleh kehadiran jalan raya yang bersifat
memutus keutuhan tajuk pohon. Kehadiran jalan raya juga mengakibatkan
perubahan iklim mikro yang nyata pada bagian hutan yang berdampingan
langsung dengan jalan raya.
5.2.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan
Primer
Penurunan jumlah SFGI yang tertangkap pada bagian dalam hutan
disebabkan oleh berkurangnya semak-semak yang menjadi habitat bagi kategori
guild ini. Penutupan tajuk yang meningkat pada jarak 400m dari daerah tepi
(Gambar 5) mengakibatkan berkurangnya semak dan tumbuhan bawah yang
hidup di lantai hutan. Di sisi lain, semak dan tumbuhan bawah merupakan habitat
bagi kategori guild SFGI. Kondisi berbeda terjadi pada LGI yang meningkat
pada jarak 400m. Kondisi tajuk yang tertutup meningkatkan volume serasah di
lantai hutan yang tidak terdekomposisi. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
jumlah artropoda yang hidup di lantai hutan yang dibutuhkan bagi kategori guild
LGI.
Perbedaan respon kategori guild terhadap kehadiran daerah tepi sangat
tergantung pada tingkat sensitivitas terhadap gangguan (Dale et al. 2000),
preferensi habitat dan makanan yang mendukungnya (Gates & Giffen 1991). Pada
penelitiannya di hutan yang ditebang di Uganda, Dale et al. (2000) melaporkan
bahwa kepadatan vegetasi dan penutupan tajuk tidak memberi pengaruh terhadap
tingkat kepadatan spesies di daerah tepi. Hal serupa juga dilaporkan oleh Berry
(2001) yang menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah individu pada derah tepi
lebih disebabkan tersedianya kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh
makanan pada daerah tersebut.
57
5.2.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder
Famili dan spesies yang tertangkap di hutan sekunder merupakan burung-
burung yang menyukai daerah terbuka seperti famili Sylviidae yang terdiri dari
Orthotomus ruficeps, O.atrogularis dan O. sericeus. Hal ini terkait dengan
struktur vegetasi hutan sekunder yang lebih terbuka. Germaine et al. (1997)
melaporkan bahwa kehadiran bukaan tajuk pada hutan akan meningkatkan
keanekaragaman spesies dan peningkatan jumlah individu, selain itu juga akan
mengakibatkan kehadiran spesies yang menyukai daerah terbuka dan tepi.
Tingginya famili Nectariniidae yang tertangkap berkaitan dengan hadirnya daerah
perkebunan yang bersebelahan dengan hutan. Adanya perkebunan di sekitar hutan
mampu menyediakan makanan yang melimpah bagi famili ini. Anggota famili
Nectariniidae seringkali teramati terbang mengunjungi daerah perkebunan.
Rendahnya individu famili Dicaeidae yang tertangkap berkaitan dengan
kebiasaan anggota famili ini yang menggunakan tajuk tengah dan atas hutan
sekunder sebagai tempat mencari makan. Semua anggota famili ini tertangkap
pada shelf teratas jaring kabut. Selain itu waktu penangkapan burung yang terjadi
pada siang hari menunjukkan bahwa famili ini pada siang hari menggunakan
strata hutan yang rendah untuk menghindari panas matahari. Selain itu makanan
utama famili ini yang berupa nektar, menyebabkan mereka sangat jarang turun
hingga ke bagian bawah tajuk.
5.2.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder
Komposisi burung anggota kategori IN dan IF merupakan burung-burung
yang sangat umum di daerah perkebunan (misal: Pycnonotus simplex dan
Dicaeum trigonostigma), hutan sekunder (misal: Pycnonotus erythropthalmus dan
P. melanicterus) dan burung generalis (misal: Arachnothera longirostra). Burung-
burung yang merupakan penghuni areal perkebunan umumnya memanfaatkan
bukaan-bukaan hutan (forest gap) yang kaya akan serangga sebagai tempat
mencari makan.
Sedikitnya jumlah guild AF yang tertangkap berkaitan dengan perilaku
burung ini yang lebih sering mengeksploitasi tajuk menengah ke atas di
bandingkan tajuk bawah. Pada bagian tajuk menengah ke atas lebih banyak
58
tersedia makanan berupa buah-buahan yang diperlukan. Akibatnya burung-burung
tersebut sangat jarang turun ke bagian bawah tajuk. Hal serupa juga dilaporkan
oleh Novarino et al. (2002) pada penelitiannya di hutan sekunder Sipisang,
Sumatera Barat.
Kasus yang berbeda terjadi pada guild TF yang memanfaatkan buah-buahan
yang berserakan di lantai hutan sebagai makanan. Meskipun burung ini
menggunakan daerah di bawah tajuk sebagai tempat mencari makan, bobot dan
ukurannya yang besar mengakibatkan kelompok ini dengan mudah melepaskan
diri dari jaring kabut karena bobot. Faktor lain yang juga berpengaruh pada
rendahnya jumlah TF yang tertangkap adalah kelimpahannya yang rendah secara
alami (Novarino 2008; Wong 1986).
Selain itu kategori TF umumnya tertangkap pada jaring kabut yang
dioperasikan berdekatan dengan sungai. Pada musim kemarau guild TF
penyebaran burung ini sangat terbatas pada daerah-daerah yang memiliki aliran
sungai. Oleh karena itu burung ini sangat jarang tertangkap pada plot-plot yang
terletak jauh dari sungai.
5.2.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di
Hutan Sekunder
Tingginya jumlah Nectariniidae yang tertangkap di hutan sekunder
berkaitan dengan kehadiran areal perkebunan yang berdampingan dengan hutan.
Kondisi ini mengakibatkan melimpahnya pakan berupa nektar yang tersedia di
areal perkebunan. Kondisi tersebut dapat terlihat dari melimpahnya Nectariniidae
pada seluruh jarak dari tepi.
Waktu penelitian yang dilakukan bertepatan dengan akhir musim penghujan
dan awal musim berbunga tumbuhan hutan juga merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan melimpahnya famili Nectariniidae di hutan sekunder. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Novarino (2008) di Sipisang diperoleh fakta
bahwa terdapat peningkatan jumlah individu spesies pemakan nektar di akhir
mudim penghujan. Tingginya jumlah Nectariniidae yang tertangkap di hutan
sekunder juga dilaporkan pada penelitian lain baik di Sumatera (Novarino 2008)
dan Jawa (Sodhi et al. 2005b). Fakta ini juga berkaitan dengan penyebaran famili
59
Nectariniidae yang luas dan umum pada banyak tipe habitat (MacKinnon et al.
1997).
Pada tingkat spesies, kehadiran areal perkebunan juga menyediakan pakan
yang melimpah bagi pijantung kecil Arachnothera longirostra yang
mengakibatkan spesies ini sangat melimpah pada seluruh jarak dari tepi. Kondisi
daerah tepi yang tidak terlalu jauh berbeda dan merupakan pertemuan dua buah
sumberdaya pakan mengakibatkan peningkatan kelimpahan spesies di lokasi
tersebut. Ries et al. (2004), menyatakan bahwa pada daerah yang merupakan
pertemuan dua buah habitat memiliki kemungkinan terjadinya peningkatan
kelimpahan spesies dan individu pada lokasi yang menjadi pertemuan atau juga
tidak terjadi peningkatan maupun penurunan kelimpahan.
Penurunan jumlah individu famili Timaliidae yang tertangkap pada jarak 0m
dari daerah tepi memberi dugaan hadirnya efek tepi pada hutan sekunder. Hasil
serupa juga diperoleh pada penelitian yang dilakukan Dale et al. (2000) di
Uganda. Pada penelitian tersebut Dale et al. (2000) melaporkan adanya penurunan
jumlah individu burung di daerah tepi. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa
efek tepi juga sangat mungkin terjadi pada hutan sekunder. Sebelumnya efek tepi
diyakini hanya terjadi pada hutan primer saja.
5.2.16.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan
Sekunder
Dari seluruh kategori guild, kategori pemakan serangga dan nektar (IN) dan
pemakan serangga sambil melayang (FCI) mengalami peningkatan seiring
bertambahnya jarak dari tepi. Berkurangnya jumlah kategori IN yang tertangkap
pada daerah yang berdekatan dengan perkebunan merupakan sebuah fenomena
yang masih belum dipahami. Pada kondisi normal kategori ini akan berkumpul
pada daerah dimana sumberdaya makanan berupa nektar dan serangga melimpah
(Novarino 2008). Kategori FCI tersusun dari spesies yang merupakan penghuni
hutan sekunder, beberapa di antaranya merupakan spesies yang tidak terlalu
adaptif terhadap perubahan habitat seperti Hypotimis azurea dan Harpactes
diardii. Spesies-spesies tersebut lebih cenderung untuk menghindar dari habitat
yang mengalami modifikasi dalam hal ini areal perkebunan.
60
Peningkatan jumlah inividu TFGI di daerah tepi dapat terjadi karena di
hutan sekunder kategori guild ini disusun oleh spesies-spesies yang sangat adaptif
terhadap perubahan habitat yaitu Trichastoma rostratum, Stachyris erythroptera,
Macronous gularis dan Cacomantis sonneratii. Ketiga spesies ini juga
memanfaatkan areal perkebunan sebagai habitat mencari makan.
5.2.17. Perbandingan Hutan Primer dan Sekunder
5.2.17.1. Keanekaragaman Famili dan Spesies
Tingkat kekayaan dan keanekaragaman spesies di hutan sekunder lebih
rendah dibandingkan dengan hutan primer. Namun demikian hutan sekunder
memiliki tingkat dominansi yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan penurunan
jumlah spesies anggota suatu famili di hutan sekunder mengalami kompensasi
berupa peningkatan jumlah individu (misal Timaliidae dan Pycnonotidae).
Akibatnya pada hutan sekunder terjadi dominansi beberapa spesies yang
umumnya adaptif terhadap daerah terbuka.
Jumlah famili yang tertangkap di hutan primer dan hutan sekunder secara
statistik tidak berbeda nyata (χ2=0,142; df=1; P=0,71). Di antara 17 famili yang
tertangkap terdapat 2 famili yang mengalami penurunan jumlah individu pada
hutan sekunder yaitu Picidae dan Timaliidae (Lampiran 9). Penurunan jumlah
individu Picidae yang tertangkap berkaitan dengan perilaku famili ini yang
mencari makan pada batang dan pohon. Kepadatan pohon di hutan sekunder yang
lebih rendah dibandingkan hutan primer mengakibatkan burung-burung familii
Picidae kesulitan untuk mencari makanan berupa serangga. Penurunan kepadatan
populasi famili Picidae pada hutan sekunder juga dilaporkan oleh Lammertink
(2004) pada penelitiannya di hutan dataran rendah Kalimantan yang terdegradasi.
Lambert & Collar (2002) juga telah mengidentifikasi beberapa anggota famili
Picidae sebagai spesies yang rawan terhadap fragmentasi dan pembalakan.
Penurunan jumlah famili Timaliidae (spesies dan individu) di hutan
sekunder diduga berkaitan dengan rendahnya bukaan tajuk dan tutupan tajuk di
hutan sekunder. Sebagian besar anggota famili Timaliidae memanfaatkan daerah
tajuk sebagai habitat mencari makan. Tutupan tajuk yang rendah dan bukaan yang
tinggi akan menyulitkan burung ini dalam mencari makan. Beberapa spesies
61
anggota Timaliidae yang sensitif terhadap fragmentasi hutan dan pembalakan
menghilang dari hutan sekunder. Namun spesies-spesies yang adaptif terhadap
fragmentasi dan pembalakan meningkat jumlahnya seperti Macronous gularis.
Penurunan jumlah famili Timaliidae pada hutan sekunder juga dilaporkan oleh
Wong (1986) pada penelitiannya di hutan dipterokarpa Malaysia.
Dari seluruh famili yang tertangkap Phasianidae dan Platyseiridae hanya
dijumpai di hutan primer, sedangkan Columbidae, Sylviidae, Eurylaimidae,
Monarchidae dan Dicaeidae hanya tertangkap di hutan sekunder (Gambar 33).
Secara keseluruhan terdapat asosiasi antara tipe hutan dengan famili burung yang
hidup di dalamnya (χ2=56,42; df=16; P=0,00).
Gambar 33 Proporsi jumlah famili di hutan primer dan sekunder.
Keterangan: Phas:Phasianidae, Colu:Columbidae, Cucu:Cuculidae, Trog:Trogonidae, Alc:Alcedidnidae, Pic:Picidae, Eur:Eurylaimidae, Pitt:Pittidae, Pyc:Pycnonotidae, Tur:Turdidae, Tim:Timaliidae, Syl:Sylviidae, Plat:Platysteiridae, Mona:Monarchidae, Dic:Dicaeidae, Nec:Nectariniidae, Dica:Dicaeidae, Dicr:Dicruridae
Jumlah spesies yang tertangkap pada hutan primer tidak memiliki perbedaan
yang nyata dengan hutan sekunder (χ2=0,016; df=1; P=0,899). Fakta ini
menunjukkan bahwa hutan sekunder memiliki nilai penting yang sama penting
dengan hutan primer dalam pelestarian keanekaragaman spesies burung. Hasil ini
tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Waltert (2004) di Sulawesi
dan Newmark (2006) di Tanzania pada komunitas burung di hutan primer dan
sekunder. Komunitas burung yang tertangkap di hutan primer di dominasi oleh
burung yang menyukai daerah tengah hutan dan daerah tepi. Adapun komunitas
0102030405060708090
100
Phas
Col
u
Cuc
u
Trog Alc Pic
Eur
Pitt
Pyc
Tur
Tim Syl
Plat
Mon
a
Dic
Nec Dic
Pers
en
FamiliHutan Sekunder Hutan Primer
62
burung yang tertangkap di hutan sekunder merupakan perpaduan antara spesies
yang menghuni daerah tengah hutan, burung daerah tepi dan burung daerah
terbuka (Novarino et al. 2002).
Secara keseluruhan keanekaragaman spesies (H’) dan kemerataan spesies
(E) di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Pada hutan
sekunder memiliki nilai kemerataan spesies yang lebih rendah dibandingkan
dengan hutan primer. Kehadiran areal perkebunan di tepi hutan sekunder
mengakibatkan peningkatan populasi spesies-spesies yang menyukai daerah
terbuka.
Jika dilakukan perbandingan berdasarkan jumlah individu, hutan sekunder
memiliki jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer
(χ2 =26,83; df=1; P=0,00). Tingginya individu yang tertangkap di hutan sekunder
dapat dimungkinkan karena adanya penambahan individu yang berasal dari famili
Sylviidae, Eurylaimidae dan Dicaeidae yang menyukai daerah terbuka. Lokasi
hutan sekunder yang berdekatan dengan perkebunan mengakibatkan penambahan
individu dan spesies yang berasal dari kebun (Novarino et al. 2002). Kondisi
hutan yang terbuka juga mengkibatkan hadirnya spesies-spesies yang menyukai
daerah terbuka (Germaine et al. 1997).
Pada hutan primer secara umum memiliki jumlah individu yang lebih
merata dibandingkan pada hutan sekunder. Pada tipe hutan ini hanya dua spesies
yang memiliki kelimpahan tinggi yaitu burung pijantung kecil Arachnothera
longirostra (21,74%) dan burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa (8,70%)
(Lampiran 3).
Pada hutan sekunder burung pijantung kecil Arachnothera longirostra,
cinenen merah Orthotomus sericeus dan burung udang punggung-merah Ceyx
rufidorsa mendominasi dengan jumlah masing-masing 25,95%, 11,89% dan
7,57%. Hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh Novarino et al.
(2002) pada penelitiannya di Sipisang Sumatera Barat. Meskipun demikian pada
penelitian tersebut cinenen merah bukan termasuk spesies dengan jumlah yang
melimpah.
63
5.2.17.2. Kategori Guild
Jika dilakukan perbandingan berdasarkan kategori guild antara hutan primer
dan sekunder, terdapat 2 kategori guild yang mengalami penurunan jumlah
individu di hutan sekunder (BGI dan TFGI), namun hanya TFGI yang secara
statistik mengalami penurunan nyata (Lampiran 10). Adapun kategori guild
lainnya mengalami peningkatan jumlah individu secara nyata (AF, FCI, IF, IN,
LGI dan SFGI).
Berdasarkan proporsi jumlah individu, kelompok burung pemakan serangga
di bagian tajuk (TFGI) merupakan kelompok yang berasosiasi dengan hutan
primer (Gambar 34). Kelompok TFGI terdiri dari spesies yang berasal dari famili
Timaliidae dan Cuculidae. Famili Timaliidae merupakan famili dengan jumlah
spesies dan individu terbanyak di hutan primer dan sekunder. Kategori lainnya
yang memiliki proporsi tinggi di hutan primer adalah kategori pemakan serangga
di bagian dahan dan ranting pohon (BGI). Meskipun demikian jumlah kelompok
BGI yang tertangkap relatif sedikit (10 individu).
Gambar 34 Proporsi jumlah individu burung pada setiap guild.
Pada hutan sekunder kelompok pemakan buah di bagian tajuk (AF) dan
pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan (TF) memiliki proporsi
jumlah yang tinggi (100%). Kelompok AF diwakili oleh sempur-hujan sungai
Cymbirhynchus macrorhynchos dan TF diwakili oleh delimukan zamrud
Chalcophaps indica. Meskipun demikian kedua jenis ini merupakan spesies
dengan kelas kelimpahan jarang dan hanya tertangkap di hutan sekunder.
0102030405060708090
100
LGI TFGI FCI CI BGI IF SFGI IN AF TF
Pers
en
GuildHutan Sekunder Hutan Primer
64
Kategori guild lainnya yang memiliki proporsi cukup besar di hutan
sekunder adalah pemakan serangga dan nektar (IN). Anggota kelompok ini adalah
famili Nectarniidae yang terdiri dari tiga spesies yaitu pijantung kecil
Arachnothera longirostra, burung madu-rimba Hypogramma hypogrammicum
dan burung madu sepah-raja Aetopyga siparaja (Lampiran 3). Secara keseluruhan
terdapat hubungan yang nyata antara kategori guild dengan tipe hutan (χ2=24,36;
df=9; P=0,00).
5.2.17.3. Kesamaan Komunitas
Dari seluruh spesies yang tertangkap, sebanyak 19 spesies (38%) hanya
tertangkap di hutan primer dan sebanyak 18 spesies (36%) hanya di hutan
sekunder, sedangkan sisanya sebanyak 13 spesies (26%) tertangkap di dua tipe
hutan (Lampiran 11). Oleh karena itu kedua tipe hutan memiliki tingkat
similaritas spesies burung yang sangat rendah (Sj=0,26).
Rendahnya tingkat similaritas spesies disebabkan oleh perbedaan komposisi
dan struktur vegetasi yang terdapat di hutan primer dan sekunder. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa struktur dan komposisi vegetasi mempengaruhi
tingkat keanekaragaman spesies burung (Chettri et al. 2005; Davidar et al. 2001;
Anderson et al. 1983; Pearson 1975).
Pada hutan primer yang memiliki kepadatan dan penutupan tajuk yang
tinggi lebih banyak dihuni oleh spesies yang menyukai vegetasi rapat. Kondisi
sebaliknya terjadi pada hutan sekunder yang memiliki kepadatan dan penutupan
tajuk yang rendah. Burung-burung yang hidup pada hutan sekunder umumnya
burung yang adaptif terhadap pembukaan tajuk dan menyukai daerah terbuka.
Kehadiran burung dari areal perkebunan juga menambah jumlah spesies yang ada
di hutan sekunder. Sebagian besar spesies-spesies tersebut merupakan burung
yang hanya hidup di daerah terbuka seperti anggota famili Sylviidae (Orthotomus
ruficeps dan O. atrogularis) dan famili Pycnonotidae (Pycnonotus simplex).
Meskipun demikian jika dilakukan pengelompokkan berdasarkan kategori
guild maka kedua hutan memiliki tingkat similaritas yang tinggi (Sj=0,80). Hal ini
terjadi semata-mata karena berkumpulnya spesies-spesies dengan famili yang
berbeda namun memiliki kesamaan sumberdaya pendukung (misal: Stachyris
65
poliocephala (Famili Timaliidae) dan Orthotomus sericeus (Famili Sylviidae)).
Similaritas guild yang tinggi antara hutan primer dan sekunder juga menunjukkan
bahwa kedua tipe hutan mampu mendukung kehidupan burung dengan
karakteristik sumberdaya pakan yang sama.
5.2.17.4. Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi
Pada kedua tipe hutan jumlah spesies burung yang tertangkap mengalami
penurunan pada jarak 200m dan meningkat kembali pada jarak 400m (Gambar
35). Kondisi serupa juga terjadi berdasarkan jumlah individu yang tertangkap
(Gambar 36). Manu et al. (2007) melaporkan bahwa burung-burung di Afrika
Barat mengalami penurunan jumlah spesies dengan bertambahnya jarak dari tepi.
Gambar 35 Jumlah spesies burung berdasarkan jarak dari tepi.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0m 200m 400m
Jum
lah
spes
eis
Jarak tepi
Hutan Primer Hutan Sekunder
66
Gambar 36 Jumlah individu burung berdasarkan jarak dari tepi.
Tingginya jumlah individu yang tertangkap pada jarak 0m berkaitan dengan
tersedianya dua tipe habitat yang berbeda. Kondisi hutan primer yang terbelah
oleh adanya jalan mengakibatkan tersedianya habitat baru bagi beberapa spesies
yang menyukai dengan daerah terbuka. Begitu pula halnya dengan hutan sekunder
yang berdekatan dengan kebun, mengakibatkan beberapa spesies yang menghuni
kebun dapat dijumpai di hutan sekunder.
Pada daerah tepi di hutan sekunder dapat dijumpai beberapa spesies yang
merupakan tipikal spesies daerah terbuka seperti cinenen merah Orthotomus
sericeus dan merbah belukar Pycnonotus plumosus. Sementara di hutan primer
beberapa burung yang menyukai hutan terbukan seperti burung udang pungung
merah Ceyx rufidorsa dan tepus merbah sampah Stachyris erythroptera
menambah populasi burung di daerah tepi. Menurut Murcia (1995) persinggungan
dua tipe habitat yang berbeda mengakibatkan tersedianya lebih banyak
sumberdaya yang dibutuhkan oleh satwa untuk hidup.
Kelompok burung pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) dan burung
pemakan serangga dan nektar (IN) mendominasi di setiap jarak dari tepi pada
hutan primer. Namun kondisi yang berbeda terjadi pada hutan sekunder, yaitu
kelompok pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami penurunan
jumlah secara drastis pada jarak 400m.
0102030405060708090
100
0m 200m 400m
Jum
lah
indi
vidu
Jarak tepi
Hutan Primer Hutan Sekunder
67
Secara keseluruhan baik pada hutan primer maupun sekunder, kelompok
guild yang murni memanfaatkan serangga sebagai pakan mengalami penurunan
jumlah individu dengan bertambahnya jarak tepi. Menurut Ries et al. (2004)
tingginya populasi burung pada bagian tepi dapat terjadi karena adanya
pengumpulan sumberdaya baik pakan maupun kondisi habitat. Hasil yang berbeda
diperoleh Canaday (1997) pada penelitiannya di hutan Amazon, Amerika Selatan
yang menunjukkan terjadinya penurunan jumlah individu burung dengan
bertambahnya jarak dari tepi. Perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh perbedaan
bentuk daerah tepi yang terbentuk sebagai akibat perbedaan tipe habitat yang
berdampingan dengan hutan. Tipe daerah tepi yang drastis mengakibatkan spesies
burung cenderung mengalami penurunan pada daerah tepi (Canaday 1997).
5.3. Implikasi Konservasi
Secara keseluruhan lokasi penelitian memiliki nilai konservasi yang cukup
penting, hal ini terlihat dari adanya beberapa spesies burung yang mendekati
terancam punah dan dilindungi oleh perundang-undangan pemerintah RI.
Kemiripan tingkat keanekaragaman spesies burung yang tertangkap di hutan
sekunder dan hutan primer merupakan fenomena ekologi yang menarik dan telah
dijumpai pada beberapa penelitian di lokasi lain (Barlow et al. 2007; Newmark
2006; Sodhi et al. 2005a; Thiollay 1999). Kondisi ini menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies burung dapat kembali menuju ke kondisi semula pada
hutan-hutan yang mengalami pemulihan akibat kegiatan pembalakan. Selain itu
tingginya keanekaragaman spesies di hutan sekunder menunjukkan bahwa hutan
sekunder memiliki nilai konservasi yang tinggi sepanjang dikelola dengan baik
(Sodhi et al. 2005a).
Beberapa burung yang merupakan penghuni hutan primer, dalam
kenyataannya mampu beradaptasi terhadap gangguan hutan. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh kehadiran spesies-spesies yang merupakan spesialis hutan
primer di dalam hutan sekunder (misal: Actenoides concretus, Trichastoma
rostratum). Burung-burung tersebut mengkoloni hutan sekunder yang dari segi
sumberdaya relatif lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan hutan primer.
68
Penurunan jumlah famili Timaliidae dan Picidae pada hutan sekunder
menunjukkan pentingnya hutan primer yang tak terganggu bagi kedua famili
tersebut. Fakta tersebut dapat dijadikan indikator mengenai kondisi suatu hutan.
Penurunan kualitas hutan primer dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan
populasi anggota Timaliidae yang enam di antaranya telah masuk ke dalam
kategori mendekati terancam punah. Begitu pula halnya dengan Picidae, anggota
famili ini sangat tergantung pada hutan dalam kondis baik sebagai habitat
(Lammertink 2004), sehingga gangguan terhadap hutan primer dapat
mengakibatkan penurunan populasinya di alam. Selain itu secara keseluruhan
anggota famili ini termasuk burung dengan kategori kelimpahan jarang dan tidak
umum.
Banyaknya burung-burung berstatus mendekati terancam punah yang
tertangkap juga merupakan indikasi pentingnya kawasan TNBBS dalam upaya
pelestarian burung. Namun kondisi hutan dataran rendah yang sebagian besar
terdegradasi oleh kehadiran tumbuhan mantangan Alixia exilis, dapat
mengakibatkan penurunan kualitas hutan di masa mendatang. Kondisi tersebut
akan berujung pada penurunan populasi spesies burung yang sensitif terhadap
fragmentasi.
69
VI. KESIMPULAN
Keanekaragaman spesies burung penghuni tajuk bagian bawah di hutan
primer sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Komposisi
spesies berdasarkan kategori guild di hutan primer dan sekunder memiliki tingkat
kemiripan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hutan sekunder dan primer
mendukung kehidupan spesies-spesies burung dengan kebutuhan sumberdaya
pakan yang serupa. Hal tersebut menggambarkan nilai penting hutan sekunder
bagi konservasi keanekaragaman spesies burung secara umum.
Burung-burung pemakan serangga juga mengalami penurunan jumlah
spesies dan individu pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan primer. Hal
ini terjadi pada kategori pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI), pemakan
serangga di bagian batang dan dahan (BGI), pemakan serangga di bagian lantai
hutan dan serasah (LGI) meskipun dua kelompok terakhir secara statistik tidak
berbeda nyata.
Secara keseluruhan burung yang tertangkap tidak menunjukkan respons
peningkatan atau penurunan jumlah individu maupun spesies dengan
bertambahnya jarak tepi. Meskipun demikian terdapat kasus penurunan jumlah
individu kategori TFGI dan famili Timaliidae dengan bertambahnya jarak tepi
pada hutan sekunder. Fenomena ini sangat menarik karena selama ini kehadiran
efek tepi diyakini hanya dijumpai pada hutan primer.
Penurunan kepadatan vegetasi pada seluruh tingkat pertumbuhan
mengakibatkan peningkatan jumlah individu spesies-spesies yang hidup pada
daerah terbuka. Di sisi lain penurunan kepadatan vegetasi mengakibatkan
penurunan tingkat keanekaragaman spesies. Beberapa spesies yang sensitif
terhadap gangguan mengalami penurunan bahkan menghilang pada hutan
sekunder.
Peningkatan bukaan tajuk mengakibatkan peningkatan jumlah individu
spesies-spesies burung yang menyukai daerah terbuka. Hal ini terlihat dari
tingginya nilai dominansi pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan
primer. Di sisi lain peningkatan bukaan tajuk juga mengakibatkan penurunan
70
jumlah spesies pada famili Timaliidae. Hal ini menunjukkan bahwa anggota
famili tersebut merupakan spesies yang sensitif terhadap gangguan hutan.
Ketersediaan sumberdaya pakan berupa artropoda tidak mempengaruhi
tingkat keanekaragaman spesies burung, namun meningkatkan jumlah individu
spesies. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah individu burung yang tertangkap
pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan primer.
71
DAFTAR PUSTAKA
Anderson BW, Ohmart RD, Rice J. 1983. Avian and Vegetation Community
Structure and Their Seasonal Relationships in the Lower Colorado River Valley. Condor 85:392-405.
Austen MJW, Francis CM, Burke DM, Bradstreet MSW. 2001. Landscape Context and Fragmentation Effect on Forest Birds in Southern Ontario. Condor 103:701-714.
Barlow J, Mestrec LAM, Gardnera TA, Peresa CA. 2007. The Value of Primary, Secondary and Plantation Forests for Amazonian Birds. Biological Conservation 136:212-231.
Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individual to Ecosystem. Fourth edition. Malden: Blackwell Publishing.
Beier P, van-Driellen M, Kankam BO. 2002. Avifaunal Collapse in West African Forest Fragment. Conservation Biology 6:1097-1111.
Berry L. 2001. Edge Effects on the Distribution and Abundance in a Southern Victorian Forest. Wildlife Research 28:239-245.
Bibby C, Jones M, Marsden S. 1998. Expedition Field Techniques: Bird Survey. London: the Expedition Advisory Centre Royal Geographical Society.
BirdLife-International.2009.The Checklist of the Birds of the World, with Conservation Status and Taxonomic Sources. http://www.birdlife.org/datazone/species/downloads/BirdLife_Checklist_Version_2.[23 Juli 2009].
Blake JG, Loiselle BA. 1991. Variation in Resource Abundance Affect Capture Rates of Birds in Three Lowland Habitats in Costa Rica. Auk 108:114-130.
Brown N, Jennings S, Wheeler P, Nabe-Nielsen J. 2000. An Improved Method for the Rapid Assessment of Forest Understorey Light Environments. Journal of Applied Ecology 37:1044-1053.
Burke DM, Nol E. 1998. Influence of Food Abundance, Nest-Site Habitat and
Forest Fragmentation on Breeding Ovenbirds. Auk 115:96-104.
Canaday C. 1997. Loss of Insectivorous Birds Along a Gradient of Human Impact in Amazonia. Biological Conservation 77:63-77.
Chettri N, Deb DC, Sharma E, Jackson R. 2005. The Relationship between Bird Communities and Habitat: A Study Along a Trekking Corridor in the Sikkim Himalaya. Mountain Research and Development 25 235-243.
72
Craig RJ, Beal KG. 2001. Microhabitat Partitioning among Small Passerines in a Pacific Island Bird Community. Wilson Bulletin 113:317-326.
Dale S, Mork K, Solvang R, Plumptre AJ. 2000. Edge Effects on the Understory Bird Community in a Logged Forest in Uganda. Conservation Biology 14:265-276.
Davidar P, Yoganand K, Ganesh T. 2001. Distribution of Forest Birds in the Andaman Islands: Importance of Key Habitats. Journal of Biogeography 28:663-671.
de-Iongh HH, van-Weerd M. 2006. The Use of Avian Guilds for the Monitoring of Tropical Forest Disturbance by Logging. Wageningen: Tropenbos International.
Fowler J, Cohen L. 1986. Statistic for Ornithologist. Second edition. Hertfordshire: British Trust for Ornithologist.
Fuller RJ. 2000. Influence of Treefall Gaps on Distribution of Breeding Bird within Interior Old-Growth Stands in Bialowieza Forest, Poland. Condor 102:267-274.
Futuyma DJ. 1986. Evolutionary Biology. Second edition. Sunderland: Sinauer Associates Inc.
Gaveaua DLA, Wandono H, Setiabudi F. 2007. Three Decades of Deforestation in Southwest Sumatra: Have Protected Areas Halted Forest Loss and Logging, and Promoted Re-Growth? Biological Conservation 134:495-504.
Germaine SS, Vessey SH, Capen DE. 1997. Effects of Small Forest Openings on the Breeding Bird Community in a Vermont Hardwood Forest. Condor 99:708-718.
Gibbons DW, Gregory RD. 2006. Birds. Di dalam: Sutherland WJ, editor. Ecological Census Techniques: A Handbook. Second edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Goosem M. 2007. Fragmentation Impacts Caused by Roads through Rainforests. Current Science 93:1587-1595.
Gregory RD, Gibbons DW, Donald PF. 2004. Bird Census and Survey Techniques. Di dalam: Sutherland WJ, Newton I, Green RE, editor. Bird Ecology and Conservation; a Handbook of Techniques. Oxford: Oxford University Press.
Holmes D, Rombang WM. 2001. Daerah Penting Bagi Burung: Sumatera. PKA/BirdLife International-Indonesia Programme, Bogor.
73
Ives AR. 2007. Diversity and Stability in Ecological Communities. Di dalam: May RM, McLean AR, editor. Theoretical Ecology. Oxford: Oxford University Press.
Jennings SB, Brown ND, Sheil D. 1999. Assesing Forest Canopies and Understorey Illumination:Canopy Closure, Canopy Cover and Other Measures. Forestry 72:59-73.
Keyser AJ. 2002. Nest Predation in Fragmented Forest: Landscape Matrix by Distance from Edge Interaction. Wilson Bulletin 114:186-191.
Krebs CJ. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second edition. New York: Harper & Row Publisher.
Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. New York: Harper & Row.
Lambert FR, Collar NJ. 2002. The Future for Sundaic Lowland Forest Birds: Long-Term Effects of Commercial Logging and Fragmentation. Forktail 18:127-146.
Lammertink M. 2004. A Multiple-Site Comparison of Woodpecker Communities in Bornean Lowland and Hill Forests. Conservation Biology 18:746-757.
Lidicker-Jr WZ, Koenig WD. 1996. Responses of Terestrial Vertebrates to Habitat Edges and Corridor Di dalam: McCullough DR, editor. Metapopulations and Wildlife Conservation. Washington DC: Island Press.
Lövei GL, Csörgõ T, Miklay G. 2001. Capture Efficiency of Small Birds by Mist Nets. Ornis Hungarica 11:19-25.
MacKinnon J, Phillips K, van-Balen B. 1997. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. 1 edition. Princeton: Princeton University Press.
Manu S, Peach W, Cresswell W. 2007. The Effects of Edge, Fragment Size and Degree of Isolation on Avian Species Richness in Highly Fragmented Forest in West Africa. Ibis 149:287-297.
Meffe GK, Carrol CR. 1994. Principles of Conservation Biology. Sunderland: Sinnauer Associates, Inc.
Mills GS, Dunning JB, Jr., Bates JM. 1991. The Relationship between Breeding Bird Density and Vegetation Volume. Wilson Bulletin 103:468-479.
Murcia C. 1995. Edge Effect in Fragmented Forest:Implication for Conservation. Trend in Ecology and Evolution 10:58-62.
74
Murcia C. 1996. Forest Fragmentation and the Pollination of Neotropical Plants. Di dalam: Schelhas J, Greenberg R, editor. Forest Patches in Tropical Landscapes. Washington DC: Island Press.
Newmark WD. 2006. A 16-Year Study of Forest Disturbance and Understory Bird Community Structure and Composition in Tanzania. Conservation Biology 20:122-134.
Newton AC. 2007. Forest Ecology and Conservation: A Handbook of Techniques. New York: Oxford University Press
Novarino W. 2008. Dinamika Jangka Panjang Komunitas Burung Strata Bawah Di Sipisang, Sumatera Barat [Disertasi Doktoral ]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Novarino W, Noske R, Salsabila A, Jarulis. 2006. A Mist-Netting Study of Birds in Lunang Freshwater Swamp Forest, West Sumatra. Kukila 13:48-63.
Novarino W, Salsabila A, Jarulis. 2002. Struktur Komunitas Burung Lapisan Bawah Pada Daerah Pinggiran Hutan Sekunder Dataran Rendah Sumatera Barat. Zoo Indonesia 29:1-10.
Nummelin M, Zilihona IJE. 2004. Spatial Variation of Arthropod Communities in Virgin and Managed Sites in the Kibale Forest, Western Uganda. Forest Ecology and Management 195:107-114.
O'Brien TG, Kinnaird MF. 1996. Birds and Mammals of the Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Oryx 30:207-217.
Opdam P, Wiens JA. 2002. Fragmentation, Habitat Loss and Landscape Management. Di dalam: Norris K, Pain DJ, editor. Conserving Bird Biodiversity: General Principles and Their Application. Cambridge: Cambridge University Press.
Ozanne CMP. 2005. Sampling Methods for Forest Understory Vegetation. Leather SR, editor. Malden: Blackwell Publishing.
Pardieck K, Waide RB. 1992. Mesh Size as a Factor in Avian Community Studies Using Mist Nets. Journal of Field Ornithology 63:250-255.
Pearson DL. 1975. The Relation of Foliage Complexity to Ecological Diversity of Three Amazonian Bird Communities. Condor 77:453-466.
Pianka ER. 1983. Evolutionary Ecology. Third edition. New York: Harper & Row.
Primack BR, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
75
Rahman MA. 2002. Using Mist-Nets on Canopy Walkways in Malaysia to Study Canopy Avifauna. Raffles Bulletin of Zoology 50:499-506.
Ries L, Jr. RJF, Battin J, Sisk TD. 2004. Ecological Responses to Habitat Edges: Mechanisms, Models, and Variability Explained. Annual Review of Ecology and Evololutionary System 35:491-522.
Robinson SK. 1998. Another Threat Posed by Forest Fragmentation:Reduced Food Supply. Auk 115:1-3.
Root RB. 2001. Guild. Di dalam: Levin SA, editor. Encyclopedia of Biodiversity. New York: Academic Press.
Schlaepfer MA, Gavin TA. 2001. Edge Effect on Lizards and Frogs in Tropical Forest Fragment. Conservation Biology 15:1079-1090.
Sobrinho TG, Schoereder JH. 2007. Edge and Shape Effects on Ant (Hymenoptera: Formicidae) Species Richness and Composition in Forest Fragments. Biodiversity Conservation 16:1459-1470.
Sodhi NS. 2002. The Effects of Food-Supply on Southeast Asian Forest Birds. Ornithology Science 1:89-93.
Sodhi NS, Koh LP, Prawiradilaga DM, Darjono, Tinulele I, Putra DD, Tan THT. 2005a. Land Use and Conservation Value for Forest Birds in Central Sulawesi (Indonesia). Biological Conservation 122:547-558.
Sodhi NS, Soh MCK, Prawiradilaga DM, Darjono, Brook BW. 2005b. Persistence of Lowland Rainforest Birds in a Recently Logged Area in Central Java. Bird Conservation International 15:173-191.
Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor: Indonesian Ornithologists’ Union.
Thiollay JM. 1997. Disturbance, Selective Logging and Bird Diversity:A Neotropical Forest Study. Biodiversity and Conservation 6:1155-1173.
Thiollay JM. 1999. Responses of an Avian Community to Rain Forest Degradation. Biodiversity and Conservation 8:513-534.
Uehara-Prado M, Fernandes JdO, Bello AdM, Machado G, Santos AJ, Vaz-de-Mello FZ, Freitas AVL. 2009. Selecting Terrestrial Arthropods as Indicators of Small-Scale Disturbance: A First Approach in the Brazilian Atlantic Forest. Biological Conservation 142:1220-1228.
Waltert M, Mardiastuti A, Muhlenberg M. 2004. Effects of Land Use on Bird Species Richness in Sulawesi, Indonesia. Conservation Biology 18:1339-1346.
76
Waltert M, Mardiastuti A, Muhlenberg M. 2005. Effects of Deforestation and Forest Modification on Understorey Birds in Central Sulawesi, Indonesia. Bird Conservation International 15:257-273.
Watson JEM, Whittaker RJ, Dawson TP. 2004. Habitat Structure and Proximity to Forest Edge Affect the Abundance and Distribution of Forest-Dependent Birds in Tropical Coastal Forests of Southeastern Madagascar. Biological Conservation 120:311-327.
Wiens JA. 1989. The Ecology of Bird Communities.Volume1. Foundation and Patterns. Cambridge: Cambridge University Press.
Winter M, Johnson DH, Faaborg J. 2000. Evidence for Edge Effect on Multiplelevel in Tallgrass Prairie. Condor 102:256-266.
Wong M. 1986. Trophic Organization of Birds in Malaysian Dipterocarp Forest. Auk 103:100 -116.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Status penyebaran, perlindungan dan kategori kelimpahan spesies burung di Tambling Wildlife Nature Conservacy, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies* Penyebaran Status
Konservasi Kategori Kelimpahan
1 Phasianidae 1. Rollulus rouloul Puyuh sengayan Crested Partridge 191 Penetap NT jarang
2 Columbidae 2. Chalcophaps indica Delimukan zamrud Emerald Dove 417 Penetap jarang 3 Cuculidae 3. Cacomantis sonneratii Wiwik lurik Banded Bay Cuckoo 525 Penetap jarang 4. Cacomantis sepulcralis Wiwik uncuing Rusty-breasted Cuckoo 526 Penetap jarang 5. Surniculus lugubris Kedasi hitam Asian-Drongo Cuckoo 545 Penetap jarang 4 Podargidae 6.Batrachostomus stellatus Paruhkodok bintang Gould’s Frogmouth 620 Penetap NT jarang
5 Trogonidae 7. Harpactes diardii Luntur diard Diard's Trogon 671 Penetap NT, Dilindungi jarang
8. Harpactes duvaucelii Luntur putri Scarlet-rumped Trogon 673 Penetap NT, Dilindungi jarang
6 Alcedinididae 9. Alcedo meninting Rajaudang meninting Blue-eared Kingfisher 678 Penetap Dilindungi jarang 10. Ceyx rufidorsa Udang punggung-merah Rufous-backed Kingfisher 685 Penetap Dilindungi umum 11. Lacedo pulchella Cekakak batu Banded Kingfisher 689 Penetap Dilindungi tidak umum 12. Actenoides concretus Cekakakhutan melayu Rufous-collared Kingfisher 713 Penetap NT jarang 7 Picidae 13. Sasia abnormis Tukik tikus Rufous Piculet 764 Penetap tidak umum
14. Picus mentalis Pelatuk kumis-kelabu Checker-troathed Woodpeker 769 Penetap jarang
15. Picus puniceus Pelatuk sayap-merah Crimson-winged Woodpecker 771 Penetap jarang
16. Meiglyptes tukki Caladi badok Buff-necked Woodpecker 775 Penetap NT tidak umum 8 Eurylaimidae 17. Cymbirhynchus macrorhynchos Sempurhujan sungai Black-and-red Broadbill 789 Penetap jarang
9 Pittidae 18. Pitta guajana Paok pancawarna Banded Pitta 799 Penetap Appendiks II CITES tidak umum
10 Pycnonotidae 19. Pycnonotus melanicterus Cucak kuning Black-crested Bulbul 887 Penetap jarang
79
No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies* Penyebaran Status
Konservasi Kategori Kelimpahan
20. Pycnonotus eutilotus Cucak rumbai-tungging Puff-backed Bulbul 891 Penetap NT jarang 21. Pycnonotus plumosus Merbah belukar Olive-winged Bulbul 895 Penetap tidak umum 22. Pycnonotus simplex Merbah corok-corok Cream-vented Bulbul 896 Penetap jarang 23. Pycnonotus brunneus Merbah mata-merah Asian Red-eyed Bulbul 897 Penetap jarang 24. Pycnonotus erythrophtalmus Merbah kacamata Spectacled Bulbul 898 Penetap jarang 25. Criniger phaeocephalus Empuloh irang Yellow-bellied Bulbul 903 Penetap jarang 26. Tricholestes criniger Brinji rambut-tunggir Hairy-backed Bulbul 906 Penetap tidak umum 11 Turdidae 27. Enicurus leschenaulti Meninting besar White-crowned Forktail 927 Penetap jarang 12 Timaliidae 28. Pellorneum capistratum Pelanduk topi-hitam Black-capped Babbler 966 Penetap tidak umum 29. Trichastoma rostratum Pelanduk dada-putih White-chested Babbler 969 Penetap tidak umum 30. Trichastoma bicolor Pelanduk merah Ferruginous Babbler 970 Penetap NT tidak umum 31. Malacocincla malacense Pelanduk ekor-pendek Short-tailed Babbler 972 Penetap jarang 32. Malacopteron affine Asi topi-jelaga Sooty-capped Babbler 977 Penetap NT tidak umum 33. Malacopteron cinereum Asi topi-sisik Scally-crowned Babbler 978 Penetap jarang 34. Malacopteron magnum Asi besar Rufous-crowned Babbler 979 Penetap NT jarang 35. Stachyris poliocephala Tepus kepala-kelabu Grey-headed Babbler 997 Penetap jarang 36. Stachyris maculata Tepus tunggir-merah Chestnut-rumped Babbler 999 Penetap NT tidak umum 37. Stachyris nigricollis Tepus kaban Black-throated Babbler 1001 Penetap NT jarang 38. Stachyris erythroptera Tepus merbah-sampah Chestnut-winged Babbler 1003 Penetap tidak umum 39. Macronous gularis Ciungair coreng Striped Tit-Babbler 1006 Penetap tidak umum 40. Macronous ptilosus Ciungair pongpong Fluffy-backed Tit-Babbler 1007 Penetap NT jarang 13 Sylviidae 41. Orthotomus atrogularis Cinenen belukar Dark-necked Tailorbird 1053 Penetap jarang 42. Orthotomus sericeus Cinenen merah Ruffous-tailed Tailorbird 1054 Penetap umum
80
No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies* Penyebaran Status
Konservasi Kategori Kelimpahan
43. Orthotomus ruficeps Cinenen kelabu Ashy Tailorbird 1055 Penetap jarang
14 Platysteiridae 44. Philentoma pyrhopterum Philentoma sayap-merah Rufous-winged Philentoma 1144 Penetap tidak umum
15 Monarchidae 45. Hypothymis azurea Kehicap ranting Black-naped Monarch 1148 Penetap jarang
16 Dicaeidae 46. Dicaeum trigonostigma Cabai bunga-api Orange-bellied Flowepecker
1288 Penetap jarang
47. Dicaeum cruentatum Cabai merah Scarlet-backed Flowerpecker 1302 Penetap jarang
17 Nectariniidae 48. Hypogramma hypogrammicum Burungmadu rimba Purple-naped Sunbird 1310 Penetap Dilindungi tidak umum 49. Aethopyga siparaja Burungmadu sepahraja Crimson Sunbird 1319 Penetap Dilindungi jarang 50. Arachnothera longirostra Pijantung kecil Little Spiderhunter 1322 Penetap Dilindungi umum
18 Dicruridae 51. Dicrurus paradiseus Srigunting batu Greater Racquet-tailed Drongo 1531 Penetap tidak umum
Keterangan :
*) = Sukmantoro et al. 2007
NT = Near Threatened, mendekati terancam punah
Dilindungi = Dilindungi oleh peraturan pemerintah Republik Indonesia
81
Lampiran 2 Spesies burung yang terlihat dan terdengar di lokasi penelitian tetapi tidak tertangkap oleh jaring kabut
No Famili Nama Latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies
Teknik Identifikasi
Status* Keterangan
1 Ardeidae 1 Ixobrychus flavicollis Bambangan hitam Black Bittern 61 Visual B,C
2 Accipitridae 2 Spilornis cheela Elangular bido Crested Serpent Eagle 89 Visual 2,3 A,B
3 Spizaetus cirrhatus Elang brontok Changeable Hawk-eagle 128 Visual 2,3 A,B
3 Phasianidae 4 Gallus gallus Ayam hutan merah Red junglefowl 196 Suara B
5 Argusianus argus Kuau raja Great Argus 200 Suara 1,2,3 B
4 Columbidae 6 Treron capellei Punai besar Large Green Pigeon 339 Visual A
7 Treron vernans Punai gading Pink necked Green Pigeon 348 Visual A
8 Ducula aenea Pergam hijau Green Imperial Pigeon 377 Visual A
5 Cuculidae 9 Cuculus micropterus Kangkok india Indian Cuckoo 519 Suara A
10 Cuculus saturatus lepidus Kangkok ranting Oriental cuckoo 521 Suara A
11 Rhinortha chlorophaeus Kadalan selaya Raffless's Malkoha 554 Visual B
12 Centropus sinensis Bubut besar Greater Coucal 567 Visual B
13 Centropus bengalensis Bubut alang-alang Lesser Coucal 569 Visual B
6 Strigidae 14 Otus lempiji Celepuk reban Collared scops owl 594 Suara 3 D
7 Caprimulgidae 15 Eurostopodus temminckii Taktarau melayu Malaysian-eared Nightjar 635 Suara D
8 Hemiprocnidae 16 Hemiprocne comata Tepekong rangkang Whiskered treeswift 667 Visual A
9 Alcedinidae 17 Alcedo atthis Raja udang erasia Common Kingfisher 677 Visual 2 C
18 Halcyon smyrnensis Cekakak belukar White-throated Kingfisher 697 Visual 2 C
19 Halcyon chloris Cekakak sungai Collared Kingfisher 709 Visual 2 C
10 Meropidae 20 Merops viridis Kirik-kirik biru Blue throated Bee eater 726 Visual A
82
No Famili Nama Latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies
Teknik Identifikasi
Status* Keterangan
11 Bucerotidae 21 Rhyticeros undulatus Julang emas Whreated hornbill 738 Visual 2 A,B
22 Anthracoceros albirostris Kangkareng perut utih Oriental Pied Hornbill 742 Visual 2 A,B
23 Buceros rhinoceros Enggang cula Rhinoceros Hornbill 743 Visual 2 A,B
24 Rhinoplax vigil Rangkong gading Helmeted hornbill 745 Visual 2 A,B
12 Capitonidae 25 Megalaima chrysopogon Takur gedang Gold whiskered Barbet 749 Suara A
26 Megalaima australis Takur tenggeret Blue-eared Barbet 757 Suara A
27 Megalaima haemacephala Takur ungkut-ungkut Coppersmith Barbet 760 Suara A
13 Picidae 28 Blythipicus rubiginosus Pelatuk pangkas Maroon Woodpecker 785 Visual C
14 Eurylaimidae 29 Eurylaimus ochromalus Sempur hujan-darat Black-and-Yellow Broadbill 791 Suara 1 C
30 Calyptomena viridis Madi hijau-kecil Green broadbill 794 Suara 1 C
15 Hirundinidae 31 Hirundo tahitica Layang-layang batu Pacific swallow 815 Visual A
16 Chloropseidae 32 Chloropsis cochinchinensis Cica daun sayap biru Blue winged Leafbird 879 Visual A
17 Turdidae 33 Copsychus saularis Kucica kampung Oriental Magpie-Robin 920 Visual E
34 Prinia familiaris Perenjak jawa Bar winged Prinia 1048 Visual E
18 Sylviidae 35 Prinia flaviventris Perenjak rawa Yellow bellied Prinia 1049 Visual E
19 Dicaeidae 36 Dicaeum cruentatum Cabai merah Scarlet backed flower pecker 1302 Visual A
20 Nectariniidae 37 Cinnyris jugularis Burung madu sriganti Olive backed Sunird 1314 Visual A
21 Estrildidae 38 Lonchura leucogastroides Bondol jawa White headed Munia 1452 Visual E
39 Aplonis panayensis Perling kumbang Asian Glossy Starling 1485 Visual A
22 Sturnidae 40 Gracula religiosa Tiong emas Hill Myna 1503 Visual 1,2,3 A
23 Oriolidae 41 Oriolus xanthonotus Kepodang hutan Dark-throated oriole 1513 Visual A
24 Corvidae 42 Platysmurus leucopterus Tangkar kambing Black Magpie 1583 Visual A,B
83
No Famili Nama Latin Nama Indonesia Nama Inggris No spesies
Teknik Identifikasi
Status* Keterangan
43 Corvus macrorhynchos Gagak kampung Large-billed Crow 1597 Visual A,B
Keterangan :
Status : Status perlindungan
1) NT = Near Threatened, mendekati terancam punah
2) Dilindungi = Dilindungi oleh peraturan pemerintah Republik Indonesia
3) Appendiks II CITES
A) Penghuni tajuk atas
B) Bobot besar
C) Kelimpahan jarang
D) Nokturnal
E) Tidak diketahui
84
Lampiran 3 Jumlah individu spesies burung pada hutan primer dan sekunder
No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No Spesies
Jumlah individu Hutan Primer
Hutan Sekunder
1 Phasianidae 1. Rollulus rouloul Puyuh sengayan Crested Partridge 191 1 0
2 Columbidae 2. Chalcophaps indica Delimukan zamrud Emerald Dove 417 0 4
3 Cuculidae 3. Cacomantis sonneratii Wiwik lurik Banded Bay Cuckoo 525 0 1
4. Cacomantis sepulcralis Wiwik uncuing Rusty-breasted Cuckoo 526 1 0
5. Surniculus lugubris Kedasi hitam Asian-Drongo Cuckoo 545 1 0
4 Trogonidae 6. Harpactes diardii Luntur diard Diard's Trogon 671 0 2 7. Harpactes duvaucelii Luntur putri Scarlet-rumped Trogon 673 2 0
5 Alcedinididae 8. Alcedo meninting Rajaudang meninting Blue-eared Kingfisher 678 0 2
9. Ceyx rufidorsa Udang punggung-merah Rufous-backed Kingfisher 685 12 14
10. Lacedo pulchella Cekakak batu Banded Kingfisher 689 0 5
11. Actenoides concretus Cekakakhutan melayu Rufous-collared Kingfisher 713 2 1
6 Picidae 12. Sasia abnormis Tukik tikus Rufous Piculet 764 3 3 13. Picus mentalis Pelatuk kumis-kelabu Checker-troathed Woodpeker 769 1 3
14. Picus puniceus Pelatuk sayap-merah Crimson-winged Woodpecker 771 1 0
15. Meiglyptes tukki Caladi badok Buff-necked Woodpecker 775 5 0
7 Eurylaimidae 16. Cymbirhynchus macrorhynchos Sempurhujan sungai Black-and-red Broadbill 789 0 4
8 Pittidae 17. Pitta guajana Paok pancawarna Banded Pitta 799 3 7
9 Pycnonotidae 18. Pycnonotus melanicterus Cucak kuning Black-crested Bulbul 887 0 4 19. Pycnonotus eutilotus Cucak rumbai-tungging Puff-backed Bulbul 891 2 0
20. Pycnonotus plumosus Merbah belukar Olive-winged Bulbul 895 0 6
85
No Famili Nama latin Nama Indonesia Nama Inggris No Spesies
Jumlah individu
Hutan Primer
Hutan Sekunder
21. Pycnonotus simplex Merbah corok-corok Cream-vented Bulbul 896 0 1
22. Pycnonotus brunneus Merbah mata-merah Asian Red-eyed Bulbul 897 1 0
23. Pycnonotus erythrophtalmus Merbah kacamata Spectacled Bulbul 898 0 1
24. Criniger phaeocephalus Empuloh irang Yellow-bellied Bulbul 903 2 1
25. Tricholestes criniger Brinji rambut-tunggir Hairy-backed Bulbul 906 6 0
10 Turdidae 26. Enicurus leschenaulti Meninting besar White-crowned Forktail 927 3 1
11 Timaliidae 27. Pellorneum capistratum Pelanduk topi-hitam Black-capped Babbler 966 2 9
28. Trichastoma rostratum Pelanduk dada-putih White-chested Babbler 969 3 9
29. Trichastoma bicolor Pelanduk merah Ferruginous Babbler 970 6 0
30. Malacocincla malacense Pelanduk ekor-pendek Short-tailed Babbler 972 4 0
31. Malacopteron affine Asi topi-jelaga Sooty-capped Babbler 977 8 0
32. Malacopteron cinereum Asi topi-sisik Scally-crowned Babbler 978 3 0
33. Malacopteron magnum Asi besar Rufous-crowned Babbler 979 2 0
34. Stachyris poliocephala Tepus kepala-kelabu Grey-headed Babbler 997 1 0
35. Stachyris maculata Tepus tunggir-merah Chestnut-rumped Babbler 999 8 0
36. Stachyris nigricollis Tepus kaban Black-throated Babbler 1001 1 0
37. Stachyris erythroptera Tepus merbah-sampah Chestnut-winged Babbler 1003 7 7
38. Macronous gularis Ciungair coreng Striped Tit-Babbler 1006 0 6
39. Macronous ptilosus Ciungair pongpong Fluffy-backed Tit-Babbler 1007 4 0
12 Sylviidae 40. Orthotomus atrogularis Cinenen belukar Dark-necked Tailorbird 1053 0 2
41. Orthotomus sericeus Cinenen merah Ruffous-tailed Tailorbird 1054 0 22
86
42. Orthotomus ruficeps Cinenen kelabu Ashy Tailorbird 1055 0 1
13 Platysteiridae 43. Philentoma pyrhopterum Philentoma sayap-merah Rufous-winged Philentoma 1144 5 0
14 Monarchidae 44. Hypothymis azurea Kehicap ranting Black-naped Monarch 1148 0 1
15 Dicaeidae 45. Dicaeum trigonostigma Cabai bunga-api Orange-bellied Flowepecker 1288 0 2
46. Dicaeum cruentatum Cabai merah Scarlet-backed Flowerpecker 1302 0 1
16 Nectariniidae 47. Hypogramma hypogrammicum Burungmadu rimba Purple-naped Sunbird 1310 7 9 48. Aethopyga siparaja Burungmadu sepahraja Crimson Sunbird 1319 0 1
49. Arachnothera longirostra Pijantung kecil Little Spiderhunter 1322 30 48
17 Dicruridae 50. Dicrurus paradiseus Srigunting batu Greater Racquet-tailed Drongo 1531 1 7
Jumlah 138 185
87
Lampiran 4 Jumlah seluruh spesies burung berdasarkan kategori guild
No Guild Nama Spesies No spesies
Jumlah individu PersenHutan
PrimerHutan
Sekunder 1 TFGI 1 Cacomantis sonneratii 525 0 1
19,20
2 Cacomantis sepulcralis 527 1 0 3 Surniculus lugubris 545 1 0 4 Trichastoma rostratum 969 3 9 5 Trichastoma bicolor 970 6 0 6 Malacopteron affine 977 8 0 7 Malacopteron cinereum 978 3 0 8 Malacopteron magnum 979 2 0 9 Stachyris maculata 999 8 0 10 Stachyris erythroptera 1003 7 7 11 Macronous gularis 1006 0 6 2 BGI 12 Picus mentalis 769 1 3
3,10 13 Picus puniceus 771 1 0 14 Meiglyptes tukki 776 5 0 3 SFGI 15 Enicurus leschenaulti 927 3 1
10,84
16 Stachyris poliocephala 997 1 0 17 Stachyris nigricollis 1001 1 0 18 Macronous ptilosus 1007 4 0 19 Orthotomus atrogularis 1053 0 2 20 Orthotomus sericeus 1054 0 22 21 Orthotomus ruficeps 1055 0 1 4 LGI 22 Rollulus rouloul 191 1 0
8,05 23 Pitta guajana 799 3 7 24 Pellorneum capistratum 966 2 9 25 Malacocincla malacense 972 4 0 5 FCI 26 Harpactes diardii 671 0 2
5,57 27 Harpactes duvaucelii 673 2 0 28 Philentoma pyrhopterum 1144 5 0 29 Hypothymis azurea 1148 0 1 30 Dicrurus paradiseus 1531 1 7 6 AF 31 Cymbirhynchus
macrorhynchos 789 0 4 1,24
7 TF 32 Chalcophaps indica 417 0 4 1,24 8 IN 33 Hypogramma
hypogrammicum 1310 7 9
29,41 34 Aethopyga siparaja 1319 0 1 35 Arachnothera longirostra 1322 30 48 9 CI 36 Alcedo meninting 678 0 2 13,00 37 Ceyx rufidorsa 685 12 14
88
No Guild Nama Spesies No spesies
Jumlah individu PersenHutan
PrimerHutan
Sekunder 38 Lacedo pulchella 689 0 5 39 Actenoides concretus 713 2 1 40 Sasia abnormis 764 3 3 10 IF 41 Pycnonotus melanicterus 887 0 4
8,36
42 Pycnonotus eutilotus 891 2 0 43 Pycnonotus plumosus 895 0 6 44 Pycnonotus simplex 896 0 1 45 Pycnonotus brunneus 897 1 0 46 Pycnonotus
erythrophtalmus 898 0 1
47 Criniger phaeocephalus 903 2 1 48 Tricholestes criniger 906 6 0 49 Dicaeum triginostigma 1288 0 2 50 Dicaeum cruentatum 1302 0 1
Lampiran 5 Hasil uji statistik terhadap jumlah guild di lokasi penelitian
berdasarkan jarak dari tepi
No Jarak dari Tepi Uji statistik Guild 0 m 200 m 400 m χ2 df P
1 TFGI 29 19 14 5,65 2 0,06 2 BGI 6 2 16 13,00 2 0,00 3 SFGI 16 6 14 4,67 2 0,10 4 LGI 12 6 12 2,40 2 0,30 5 FCI 0 12 3 15,60 2 0,00 6 AF 1 0 3 3,50 2 0,17 7 TF 1 2 2 0,40 2 0,82 8 IN 37 38 49 2,15 2 0,34 9 CI 16 14 11 0,93 2 0,63 10 IF 9 12 6 2,00 2 0,37
89
Lampiran 6 Lebar relung dan jumlah individu masing-masing spesies pada setiap jarak dari tepi (urutan terbesar hingga terkecil)
No Spesies Hutan primer Hutan sekunder
relung0m 200m 400m 0m 200m 400m 1 Ceyx rufidorsa 6 3 4 6 5 6 0,94 2 Stachyris erythroptera 3 2 2 3 3 1 0,89 3 Arachnothera longirostra 14 12 13 18 14 28 0,88 4 Sasia abnormis 1 1 1 1 0 2 0,70 5 Pitta guajana 2 0 1 3 2 4 0,65 6 Hypogramma
hypogrammicum 2 7 0 3 5 7 0,65
7 Trichastoma rostratum 3 0 0 5 4 2 0,53 8 Pycnonotus plumosus 0 0 0 2 2 2 0,40 9 Pellorneum capistratum 0 0 2 6 2 2 0,40 10 Orthotomus sericeus 0 0 0 8 6 10 0,38 11 Chalcophaps indica 0 0 0 1 2 2 0,36 12 Malacocincla malacense 1 2 2 0 0 0 0,36 13 Lacedo pulchella 0 0 0 1 2 2 0,36 14 Actenoides concretus 0 0 2 1 1 0 0,33 15 Enicurus leschenaulti 2 0 1 0 1 0 0,33 16 Picus mentalis 1 0 0 2 1 0 0,33 17 Meiglyptes tukki 2 1 3 0 0 0 0,31 18 Trichastoma bicolor 2 1 3 0 0 0 0,31 19 Malacopteron affine 1 4 3 0 0 0 0,29 20 Dicrurus paradiseus 0 1 0 0 5 2 0,23 21 Aethopyga siparaja 0 0 0 1 0 1 0,20 22 Harpactes duvaucelii 0 1 1 0 0 0 0,20 23 Harpactes diardii 0 0 0 0 1 1 0,20 24 Malacopteron magnum 0 1 1 0 0 0 0,20 25 Stachyris maculata 4 0 4 0 0 0 0,20 26 Tricholestes criniger 1 4 1 0 0 0 0,20 27 Macronous gularis 0 0 0 3 3 0 0,20 28 Pycnonotus melanicterus 0 0 0 0 2 2 0,20 29 Philentoma pyrhopterum 0 3 2 0 0 0 0,18 30 Criniger phaeocephalus 0 2 0 0 1 0 0,16 31 Cymbirhynchus
macrorhynchos 0 0 0 1 0 3 0,12
32 Alcedo meninting 0 0 0 0 2 0 0,00 33 Cacomantis sonneratii 0 0 0 0 0 1 0,00 34 Cacomantis sepulcralis 1 0 0 0 0 0 0,00 35 Dicaeum cruentatum 0 0 0 0 0 1 0,00 36 Dicaeum triginostigma 0 0 0 2 0 0 0,00 37 Hypothymis azurea 0 0 0 0 0 1 0,00 38 Macronous ptilosus 4 0 0 0 0 0 0,00
90
No Spesies Hutan primer Hutan sekunder
relung0m 200m 400m 0m 200m 400m 39 Malacopteron cinereum 3 0 0 0 0 0 0,00 40 Picus puniceus 1 0 0 0 0 0 0,00 41 Pycnonotus brunneus 1 0 0 0 0 0 0,00 42 Pycnonotus eutilotus 2 0 0 0 0 0 0,00 43 Rollulus rouloul 0 0 1 0 0 0 0,00 44 Stachyris nigricollis 1 0 0 0 0 0 0,00 45 Stachyris poliocephala 0 0 1 0 0 0 0,00 46 Surniculus lugubris 0 1 0 0 0 0 0,00 47 Orthotomus ruficeps 0 0 0 1 0 0 0,00 48 Orthotomus atrogularis 0 0 0 0 0 2 0,00 49 Pycnonotus
erythrophtalmus 0 0 0 0 1 0 0,00
50 Pycnonotus simplex 0 0 0 1 0 0 0,00 Lampiran 7 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang
tertangkap berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer
No Guild
Jarak dari tepi Uji statistik 0 m 200 m 400 m χ2 df P
1 TFGI 18 9 13 3,05 2 0,22 2 BGI 4 1 3 1,75 2 0,42 3 SFGI 7 0 2 8,67 2 0,01 4 LGI 3 2 6 2,36 2 0,31 5 FCI 0 5 3 4,75 2 0,09 6 IN 15 19 13 1,19 2 0,55 7 IF 4 6 1 3,45 2 0,18 8 CI 7 4 7 1,00 2 0,61 Lampiran 8 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu kategori guild yang
tertangkap berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder
No Jumlah Individu Uji statistik Guild 0 m 200 m 400 m χ2 df P
1 TFGI 11 10 1 8,27 2,00 0,02 2 BGI 2 1 0 2,00 2,00 0,37 3 SFGI 9 6 12 2,00 2,00 0,37 4 LGI 9 4 6 2,00 2,00 0,37 5 FCI 0 7 4 6,73 2,00 0,03 6 AF 1 0 3 3,50 2,00 0,17 7 TF 1 2 2 0,40 2,00 0,82 8 IN 22 19 36 6,42 2,00 0,04 9 CI 9 10 13 0,81 2,00 0,67 10 IF 5 6 5 0,13 2,00 0,94
91
Lampiran 9 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu famili pada hutan primer dan sekunder
No Famili Jumlah individu Uji statistik
Hutan primer
Hutan sekunder χ2 df P
1 Phasianidae 1 0 1,00 1 0,32 2 Columbidae 0 4 4,00 1 0,05 3 Cuculidae 2 1 0,33 1 0,56 4 Trogonidae 2 2 0,00 1 1,00 5 Alcedinididae 14 22 1,78 1 0,18 6 Picidae 10 6 9,14 1 0,00 7 Eurylaimidae 0 4 4,00 1 0,05 8 Pittidae 3 7 1,60 1 0,21 9 Pycnonotidae 11 13 0,17 1 0,68
10 Turdidae 3 1 1,00 1 0,32 11 Timaliidae 49 31 4,05 1 0,04 12 Sylviidae 0 25 25,00 1 0,00 13 Platysteiridae 5 0 5,00 1 0,03 14 Monarchidae 0 1 1,00 1 0,32 15 Dicaeidae 0 3 3,00 1 0,08 16 Nectariniidae 37 58 4,64 1 0,03 17 Dicruridae 1 7 4,50 1 0,03
Lampiran 10 Hasil uji statistik terhadap jumlah individu guild yang tertangkap
pada hutan primer dan sekunder
No Guild Jumlah Individu Uji statistik
Hutan primer Hutan sekunder χ2 df P 1 TFGI 39 23 4,13 1 0,04 2 BGI 7 3 1,60 1 0,21 3 SFGI 9 26 8,26 1 0,00 4 LGI 10 16 1,38 1 0,24 5 FCI 8 10 0,22 1 0,64 6 AF 0 4 4,00 1 0,05 7 TF 0 4 4,00 1 0,05 8 IN 37 58 4,64 1 0,03 9 CI 17 25 1,52 1 0,22 10 IF 11 16 0,93 1 0,34
92
Lampiran 11 Spesies burung di hutan primer dan sekunder
No Famili Spesies Tipe Hutan
Primer Sekunder 1 Phasianidae Rollulus rouloul 1 02 Columbidae Chalcophaps indica 0 13 Cuculidae Cacomantis sonneratii 0 14 Cuculidae Cacomantis sepulcralis 1 05 Cuculidae Surniculus lugubris 1 06 Trogonidae Harpactes diardii 0 17 Trogonidae Harpactes duvaucelii 1 08 Alcedinidae Alcedo meninting 0 19 Alcedinidae Ceyx rufidorsa 1 110 Alcedinidae Lacedo pulchella 0 111 Alcedinidae Actenoides concretus 1 112 Picidae Sasia abnormis 1 113 Picidae Picus mentalis 1 114 Picidae Picus puniceus 1 015 Picidae Meiglyptes tukki 1 016 Eurylaimidae Cymbirhynchus macrorhynchos 0 117 Pittidae Pitta guajana 1 118 Pycnonotidae Pycnonotus melanicterus 0 119 Pycnonotidae Pycnonotus eutilotus 1 020 Pycnonotidae Pycnonotus plumosus 0 121 Pycnonotidae Pycnonotus simplex 0 122 Pycnonotidae Pycnonotus brunneus 1 023 Pycnonotidae Pycnonotus erythrophtalmus 0 124 Pycnonotidae Criniger phaeocephalus 1 125 Pycnonotidae Tricholestes criniger 1 026 Turdidae Enicurus leschenaulti 1 127 Timaliidae Pellorneum capistratum 1 128 Timaliidae Trichastoma rostratum 1 129 Timaliidae Trichastoma bicolor 1 030 Timaliidae Malacocincla malacense 1 031 Timaliidae Malacopteron affine 1 032 Timaliidae Malacopteron cinereum 1 033 Timaliidae Malacopteron magnum 1 034 Timaliidae Stachyris poliocephala 1 035 Timaliidae Stachyris maculata 1 036 Timaliidae Stachyris nigricollis 1 037 Timaliidae Stachyris erythroptera 1 138 Timaliidae Macronous gularis 0 139 Timaliidae Macronous ptilosus 1 040 Sylviidae Orthotomus atrogularis 0 141 Sylviidae Orthotomus sericeus 0 142 Sylviidae Orthotomus ruficeps 0 143 Platysteiridae Philentoma pyrhopterum 1 0
93
No Famili Spesies Tipe Hutan
Primer Sekunder 44 Monarchidae Hypothymis azurea 0 145 Dicaeidae Dicaeum triginostigma 0 146 Dicaeidae Dicaeum cruentatum 0 147 Nectariniidae Hypogramma hypogrammicum 1 148 Nectariniidae Aethopyga siparaja 0 149 Nectariniidae Arachnothera longirostra 1 150 Dicruridae Dicrurus paradiseus 1 1Keterangan: 1= ada 0= tidak ada