27
Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”, Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125. 99 Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat Hizkia Y. S. Polimpung Alumnus Pogram Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga Abstract This article is an effort to reconsider the Third World’s position in contemporary international relations, that is globalization. The writer believe that the position has the connection with the Third World’s past in the age of Western Coloniali sm. Therefore, this article tries to track back the tragedy. Regarding the theoretical -lack of previous theories, the writer tries to find a new frame of analysis to reconstruct the very tragedy. Lacanian Psychoanalysis offers a decent one. By applying Lacanian Psychoanalysis, the writer found that Colonialism is an implantation of Inferiority Complex in the colonized’s head. I conclude this was the factor that obstructs a true anti-colonialism resistance. Keywords: Colonialism, Lacanian Psychoanalysis, Inferiority Complex. Pendahuluan Hubungan internasional kontemporer ditandai oleh hubungan -hubungan yang kompleks antara aktor-aktornya. Robert O. Keohanne dan Joseph Nye Jr. menyebutnya “Kompleks Interdependensia” ( Complex Interdependence ) –suatu kesalingtergantungan di segala aspek: ekonomi, militer, politik, sosial, budaya, di antara, tidak hanya negara -bangsa, tapi juga aktor -aktor lainnya, seperti organisasi internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), perusahaan multinasional, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya (Keohane dan Nye 1977, 23). Sebaliknya, teoritisi-teoritisi strukturalis Hubungan Internasional (HI) berpendapat bahwa dialektika hubungan internasional adalah dependensia (ketergantungan), dan buka nnya interdependens ia (kesalingtergantungan), dimana negara-negara industrialis di Utara mengeksploitasi nega ra-negara

Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Embed Size (px)

DESCRIPTION

This article is an effort to reconsider the Third World’s position incontemporary international relations, that is globalization. The writerbelieve that the position has the connection with the Third World’s pastin the age of Western Coloniali sm. Therefore, this article tries to trackback the tragedy. Regarding the theoretical -lack of previous theories, thewriter tries to find a new frame of analysis to reconstruct the verytragedy. Lacanian Psychoanalysis offers a decent one. By applyingLacanian Psychoanalysis, the writer found that Colonialism is animplantation of Inferiority Complex in the colonized’s head. I concludethis was the factor that obstructs a true anti-colonialism resistance.

Citation preview

Page 1: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

99

Ilusi Dekolonisasi:Psikoanalisis Lacanian dan

Rekonstruksi Kolonialisme Barat

Hizkia Y. S. Polimpung

Alumnus Pogram Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Abstract

This article is an effort to reconsider the Third World’s position incontemporary international relations, that is globalization. The writerbelieve that the position has the connection with the Third World’s pastin the age of Western Coloniali sm. Therefore, this article tries to trackback the tragedy. Regarding the theoretical -lack of previous theories, thewriter tries to find a new frame of analysis to reconstruct the verytragedy. Lacanian Psychoanalysis offers a decent one. By applyingLacanian Psychoanalysis, the writer found that Colonialism is animplantation of Inferiority Complex in the colonized’s head. I concludethis was the factor that obstructs a true anti-colonialism resistance.

Keywords: Colonialism, Lacanian Psychoanalysis, Inferiority Complex.

Pendahuluan

Hubungan internasional kontemporer ditandai oleh hubungan -hubungan yangkompleks antara aktor-aktornya. Robert O. Keohanne dan Joseph Nye Jr.menyebutnya “Kompleks Interdependensia” ( Complex Interdependence ) –suatukesalingtergantungan di segala aspek: ekonomi, militer, politik, sosial, budaya, diantara, tidak hanya negara -bangsa, tapi juga aktor -aktor lainnya, sepertiorganisasi internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), perusahaanmultinasional, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya (Keohane dan Nye1977, 23). Sebaliknya, teoritisi-teoritisi strukturalis Hubungan Internasional (HI)berpendapat bahwa dialektika hubungan internasional adalah dependensia(ketergantungan), dan buka nnya interdependensia (kesalingtergantungan),dimana negara-negara industrialis di Utara mengeksploitasi nega ra-negara

Page 2: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

100

berkembang di Selatan (Munoz 1981). Masih banyak teoritisi -teoritisi lainnya,selain dua kubu yang dibahas sebelumnya, yang berusaha meneropong hubunganinternasional kontemporer dengan teropongnya masing -masing. Namundemikian, di tengah perbedaan pendapat tersebut, ada setidaknya dua hal yangmenjadi pijakan teoritis bersama ( common theoretical ground ). Pertama, adanyasemacam asumsi (jika bukan aksioma) bahwa konteks hubungan internasionalkontemporer adalah apa yang disebut globalisasi. Kedua, suatu anggapanmengenai posisi negara-negara berkembang/Dunia Ketiga (DIII)/eks koloni yangserba “nomor dua” dibandingkan negara -negara maju.

Artikel ini tidak berpartisipasi dalam perdebatan mengenai seperti apa hubunganinternasional kontemporer tersebut. Artikel ini justru berambisi untukmempertanyakan kedua pijakan teoritis bersama tersebut. Namun demikian,untuk menegaskan di awal, penulis mengambil p osisi sebagai warga “negara ekskoloni” dalam memenuhi ambisi tersebut. Oleh karena itu , dalam artikel ini,penulis berusaha memahami posisi negara-negara eks koloni dalam hubunganinternasional kontemporer dan globalisasi saat ini.

Ada beberapa hal yang menjadi “karakteristik” negara -negara eks koloni, atauyang disebut juga sebagai negara DIII, terutama dalam kaitannya denganglobalisasi. Pertama, kondisi DIII yang dianggap terbelakang atau terpuruk disemua aspek kehidupan. Negara DIII sering diasosiasikan dengan instabilitaspolitik, penumpukan hutang, kemiskinan struktural, dan lain -lain yang negatif jikadibanding dengan negara -negara maju. Kedua, kenyataan bahwa banyak negaraDIII yang serba menyesuaikan diri dengan negara-negara maju. Penyesuaian -penyesuaian ini terjadi pada: mulai sistem politik, ekonomi, sosial, ilmupengetahuan, teknologi, b ahkan sampai model pakaian dalam.

Memang ada beberapa orang yang tetap mempertahankan sistem -sistemtradisional, tapi tetap saja sia -sia. Budaya-budaya tradisional yang berusahadipertahankan, dengan segera mendapat label ‘etnik’ yang marjina l secarakonotatif (Loomba 2003). Sistem-sistem feodalisme pun tetap harus memakai”kedok” demokrasi. Komodifikasi -komodifikasi di bawah bendera k apitalisme punsegera merambah kehidupan sosial. Warisan -warisan tradisional telah menjadisesuatu yang antik, sesuatu yang sepantasnya dimuseumkan, sesuatu yang kolot,sesuatu yang tidak efisien, sesuatu yang bahkan harus ditinggalkan, demi nama‘modernisasi’.

Untuk memahami posisi “nomor dua” negara DIII dalam globalisasi, akan sangatmembantu apabila terlebih dahulu dapat dilacak sejak kapan produk -produkbudaya DIII dianggap marginal. Cara yang pertama mungkin untuk dilakukanadalah membuka kembali ar sip-arsip/rekaman-rekaman sejarah kelampenjajahan Barat di DIII antara abad ke-15 dan abad ke-20 atau yang lazim

Page 3: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

101

disebut kolonialisme1. Hal ini dikarenakan masa-masa pascakolonialismemerupakan masa dimana telah terjadi modernisasi dan westernisasi di negara -negara bekas jajahan, menggantikan budaya tradisionalnya . Dengan demikian,pertanyaan umum yang dapat diajukan adalah: apa yang “sebenarnya” terjadipada masa kolonialisme.

Problematika Teori dan Analisis Terdahulu

Telah banyak karya ditelorkan demi memahami kolonialisme , bahkan tidak sedikityang menawarkan program -program pembebasan bagi masyarak at negara DIII.Namun, kenyataan justru tidak berbanding lurus dengan banyaknya karyatersebut. Sampai saat ini, masyarakat DIII masih mengeluhkan “praktik -praktikkolonial”. Maraknya teorisasi tentang kolonialisme, dan belakangan kolonialismekontemporer, ternyata tidak semakin meredakan jeritan rakyat Dunia Ketiga.Sampai sini terbukti bahwa t eori-teori tersebut ternyata kurang mampumemahami realita yang ada . Dengan kata lain, teori-teori tersebut berjarak denganrealita, atau lebih sinisnya, elitis.

Karena itu, artikel ini akan mulai memahami DIII dengan terlebih dahulumerefleksikan teori-teori tersebut dan berusaha menemukan kekurangan -kekurangan teoritisnya. Mengingat banyaknya teori yang berusaha menganalisisfenomena kolonialisme ini, tidak semuanya dibahas pada artikel ini. H anyabeberapa saja yang dianggap representatif yang dibahas , seperti teori darikalangan “empirisis”, marxis (dan suksesornya), historisisme baru & historisismekritis, dan yang belakangan muncul sekaligus akan mendapat perhatian lebih padaartikel ini, poskolonialisme. Tidak berhenti di situ, kekurangan-kekurangantersebut akan menjadi rambu bagi penyusunan kerangka analisis baru yang lebihkomprehensif.

Empirisis

Teori pertama adalah yang berasal dari kalangan “empirisis”. Buah pemikirankalangan ini adalah yang paling konvensional, rigid, spesifik, dan faktual , baikdalam hal geografis, maupun artefak sejarah. Hal ini wajar karena para pemikirtersebut hanya memperhatikan faktor-faktor yang tangible saja, sementara faktor-faktor yang intangible kurang diperhatikan, bahkan (sengaja) diabaikan.Kolonialisme, dengan demikian dilihat dari hubungan sosio -politik-administratif

1 Selain ‘Kolonialisme’, ada banyak sebutan lain untuk mengabstraksikan peristiwa penjajahanini seperti: ‘Imperialisme’ , ‘Dominasi’, ‘Deteritorialisasi’, dan sebagainya, namun pada kontekspenggunaannya, istilah -istilah itu serasa memiliki makna yang tidak jauh berbeda, oleh karena ituuntuk menghindari kebingungan penggunaan istilah, artikel ini akan menggunakan ‘Kolonial isme’untuk merujuk penjajahan.

Page 4: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

102

yang dibingkai dalam kerangka pembagian “ hegemonic metropolitan centre and asubordinate periphery” (Yew 2002a, 2). Variabel-variabel analisisnya antara lain:penyelenggaraan pemerintahan kolonial, penempatan markas/pos militer -administratif di tanah kolonial, perjanjian kapitulasi dengan pribumi, alat-alatperang, sumber daya alam, dan hal -hal lain yang dapat terkuantifikasi. Pengabaianfaktor-faktor intangible menyebabkan analisis kelompok ini tidak peka terhadaphal-hal dominatif yang sifatnya tidak terlihat (intangible).

Marxis

Teori kedua adalah yang berasal dari kelompok marxis, seperti Hobson (1902), 2

Lenin (1916), Nkrumah (1965), dan neomarxis seperti Wallerstein. Para teoritisiini menekankan aspek ekonomi dalam analisisnya. Menurut mereka, kolonialismemerupakan salah satu tahap dalam perkembangan sistem ekonomi liberal -kapitalis. Ekonomi merupakan unsur determinan yang harus diberi porsiperhatian lebih dalam menganalisis faktor -faktor yang men-drive kolonialisme.Lebih rinci, perhatian kaum m arxis ini biasanya seputar ( over) produksi,akumulasi kapital, hubungan antar kelas (borjuis-proletar), dan eksploitasi.Sejarah, bagi mereka, merupakan petualang an kaum borjuis (penjajah) untukmempertahankan status quo atas kaum proletar (jajahan) (Yew 2002a, 4).Penekanan kelompok ini yang terlalu berlebihan terhadap faktor ekonomi dengandemikian membuat mereka buta terhadap faktor-faktor nonekonomi yang jugabersifat dominatif seperti budaya, agama, ideologi, dll.

Historisis

Teori berikutnya berasal dari kelompok historisisme. Dalam kelompok ini,setidaknya terdapat dua kubu: historisisme baru (HB) dan historisisme kritis(HK). HB, seperti namanya, memperbaharui h istorisisme “lama” yang dalamartikel ini penulis golongkan ke dalam kelompok “empirisis”. Kelompok HBberanggapan adalah tidak cukup untuk berhenti sampai pada penemuan-penemuan bukti sejarah. Bukti-bukti tersebut perlu dikaitkan dengan rea litassosial yang ada di luarnya, atau dengan kata lain di -kontekstualisasi-kan. Hal ini,menurut mereka, akan mampu melihat keadaan “yang sebenarnya terjadi” di masalalu tersebut. Kelompok ini umumn ya menggunakan metode analisishermeneutika untuk “membaca” masa lalu (Sutrisno 2007). Meski demikian,kontekstualisasi semacam ini seb enarnya kurang begitu banyak memberikan

2 Hobson sebenarnya adalah seorang ekonom non -Marxis, bahkan sering digolongkan sebagaiseorang Liberalis. (misal: lih. Griffiths, 2001) Lenin memberikan sebutan yang agak moderat (secaraMarxis), yaitu sosial-liberal. (lih Lenin, 1916: Bab VIII, par. 10) Karyanya, Imperialism: A Study(1902), menginspirasikan Lenin untuk menteorikan imperialisme sebagai tingkat tertinggiKapitalisme. Pendekatannya yang serba ekonomi membuat penulis mengikutk annya dalamkelompok Marxis. Pengelompokan semata -mata hanya dibuat untuk mempermudah pemetaan.

Page 5: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

103

penjelasan; singkatnya, mengenali bentuk dan relasi kekuasaan di masa lalu tidaksecara niscaya memberikan pemahaman kepada kita bagaimana berlangsungnyakolonisasi dan ketidakadilan di masa kini, dan kalaupun hal in i bisa memberikanpemahaman tentang penindasan dan ketidakadilan di masa kini, pengetahuan initidak niscaya memberikan perbaikan (Bracher 2005, 13).

Kubu HK melangkah lebih jauh. Selain meng ontekstualisasi bukti-bukti sejarahdengan realitas sosial ya ng ada, kelompok ini tidak mau begitu saja menerimabukti-bukti tersebut sebagai sesuatu yang terberi ( given) dan ahistoris. Bagimereka, bukti-bukti tersebut merupakan hasil konstruksi, dan konstruktornyaadalah selalu kelas penguasa. Penguasa melakukanny a dengan apa yang merekasebut hegemoni, yaitu suatu dominasi ideologis-politis yang dilakukan oleh suatuoknum (dalam hal ini negara dan para kapitalis) tanpa menggunakan cara -carakonvensional (fisik-militeristik), akan tetapi dengan car a-cara yang lebih halus,seperti ide, produk budaya, ajaran agama, dan in stitusi pendidikan (Gramsci 1971;Pozzolini 2006; Piliang 2005).

Namun demikian, kelompok ini masih tetap mengulang “kesa lahan” yangdilakukan kelompok marxis, pendahulu mereka. Walaupun telah memasukanvariabel-variabel nonekonomis ke dalam analisisnya, pemahaman merekaterhadap kolonialisme (dan objek analisis apapun) masih saja bermuara padadominasi ekonomis. Dengan kata lain, bagi kelompok ini, segala bentuk dominasi(termasuk hegemoni) merupakan sarana untuk mendapat keuntungan secaraekonomis, dan bukan yang lain. Analisis-analisis demikian telah mereduksi aspek -aspek kehidupan manusia semata -mata hanya aspek ekonomi.

Poskolonialis

Banyak pemikir yang tidak puas dengan analisis -analisis di atas, salah satunyaadalah Edward Said. Said lantas menggunakan metode genealogi dan a rkeologiyang diperkenalkan oleh Michel Foucault dan Friedrich Nietzsche untukmenyingkapkan dominasi -dominasi –selain ekonomis tentunya– yang dilakukanpenjajah Barat. Lewat karya seminalnya, Orientalisme (1996), Said memaparkanbahwa kolonialisme bukanlah sekedar misi Barat mengejar 3G ( gold, glory, dangospel) – sebagaimana dipahami dan diajarkan di sekolah -sekolah padaumumnya, tetapi lebih merupakan suatu misi pengukuhan superioritas identitasBarat lewat penaklukan apa yang disebutnya, mengikut Foucault, epistéme orang-orang Timur. Penaklukan itu tidak dilakuk an secara fisik, tapi ia dilakukan dengancara ‘representasi’ lewat ‘pengetahuan’ . Pengetahuan inilah yang disebut denganorientalisme. Dalam orientalisme, Barat (sang orientalis) berbicara “atas nama”Timur tentang karakteristik, budaya, kebiasaan, dan ad at Timur.

Page 6: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

104

Tidak puas dengan hanya menggenealogi orientalisme, Said lalu men-dekonstruksi wacana yang diusung secar a diam-diam oleh seluruh karyaorientalisme. Dengan menggunakan metode d ekonstruksi Jacques Derrida, Saidmenyingkapkan dominasi dalam ‘oposisi biner’ yang banyak dijumpai di karya-karya orientalisme seperti: Bar at-Timur, beradab-biadab, bermoral-amoral,beragama-pagan. Yang pertama dianggap baik , sementara lawannya, yangterakhir, dianggap jelek. Menurut Said, oposisi biner semacam ini sengajadikonstruksi Barat, bukan untuk mengadabkan kaum terjajah, tapi justru untukmenekankan superioritas Barat atas jajahannya. Jadi, bisa disimpulkan bahwapara orientalis telah salah dalam melakukan representasi bagi k aum terjajahdalam karya-karya orientalisme mereka. Celakanya, orientalisme telah terlanjurmenjadi semacam “mitos”, yang seakan -akan tidak perlu dipertanyakan lagibenar-salahnya.

Orientalisme inilah yang berikutnya dijadikan “senjata” Barat dalammembombardir identitas Timur, yaitu dengan memfungsikannya –mengajarkannya kepada pelajar-pelajar Timur. Alhasil, orientalisme menjadiwacana superioritas identitas kebuday aan yang menjadi dambaan orang -orangTimur. Orientalisme merasuk ke sem ua ilmu: filsafat, politik, sosiologi,humaniora, sastra, ekonomi, psikologi, sejarah , dan kedokteran. Sejakorientalisme inilah, menurut para pemikir, tonggak disiplin ilmu yang baru telahdipancangkan, yaitu poskolonialisme (Gandhi 1996; Loomba 2003).

Namun demikian, Said hanya sedikit memperhatikan unsur -unsur subyektivitaskaum terjajah, bahkan mereduksinya ke kesadaran (rasio) dan direduksi lagi keciri-ciri epistemologis yang didapat secara kognitif. Bagi Said, penjajahlah yangmenyuntikan kesadaran palsu dengan memaksakan o rientalisme kepada kaumterjajah. Hasilnya, watak, mental, dan kepribadian subyektif kaum terjajah akan“sesuai” dengan yang tertera di naskah -naskah orientalisme. Misrepresentasidalam naskah-naskah orientalisme menyebabkan kaum terjajah (konsumenutamanya) memperoleh kesadaran palsu tentang dirinya (dan juga Barat) dandunianya (dan dunia Barat).

Di sinilah letak keprihatinan penulis, yaitu pertama, Said (sang intelek) 3

mengganggap kaum terjajah sebagai semata -mata “sekawanan” individu yangserta merta menerima saja karya -karya orientalisme dan bertingkahberdasarkannya. Sejak dari asumsinya, Said sendiri telah merendahkan kaumterjajah –kaumnya. Said memperlakukan kaum terjajah seolah -olah merekahanyalah sekawanan individu ya ng tidak mungkin bisa berpikir kritis.Keprihatinan berikutnya, me lanjutkan yang pertama, Said gagal memahami

3 Untuk diketahui, Edward Said menerbitkan buku berjudul Representations of the Intellectual:The Reith Lectures (1994), yang menyoroti peran intelektual (yang seharusnya) dalam kehidupan.

Page 7: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

105

unsur-unsur subyektif kaum terjajah dalam proses penerimaan dan prosesinternalisasi karya orientalisme oleh kaum terjajah.

Dengan demikian, usaha Said untuk “membongkar mitos misrepresentasi” justrutelah melakukan misrepresentasi terhadap unsur -unsur subyektif kaum terjajahdalam menerima bahkan menginternalisasi naskah orientalisme. Hal ini fatalkarena Said telah mengabaikan kemungkinan -kemungkinan resistensi yangdilakukan kaum terjajah terhadap karya orientalisme, pikirnya kaum terjajah tidakakan mungkin bisa melakukan resistensi, titik . Jika demikian, sudah pasti teorinyatentang kolonialisme menjadi kurang akurat dan tidak akan mampu mewakiliaspirasi-aspirasi subyektif terdalam kaum te rjajah. Kegagalan dalammerepresentasikan kaum terjajah sudah tentu berbuntut pula pada kegagalanmenawarkan suatu format pembebasan yang cocok bagi kaum terjajah.

***

Dari teori-teori dan analisis-analisis yang telah dibahas, seolah -olah semuanyaingin menunjukan betapa kuatnya cengkraman kolonialisme sehingga menutuphampir semua kemungkinan resistensi kaum terjajah (dan akhirnya D III). Kaumempirisis menunjukan keunggulan tekno logi dan persenjataan penjajah yangnampaknya tidak akan bisa ditandingi kaum terjajah. Para teoritisi m arxismengklaim sistem ekonomi dunia adalah kapitalisme, dan dialektika hubunganinternasional di dalamnya adalah dominatif dengan negara industialis maju diUtara mengeksploitasi negara berkembang di Selatan. Para historisis pun tak maumengakui motif-motif lain selain ekonomi dalam kolonialisme. Para poskolonialisseperti Said pun membuktikan betapa ilmu pengetahuan telah menjadi alatdominasi kolonial yang sukses.

Ini semua merupakan preseden buruk bagi premis Foucault, “kekuasaan selalumelahirkan anti kekuasaan” (Foucault 1997; Adian 2002; Haryatmoko 2002).Kolonialisme tampaknya tidak benar-benar melahirkan “anti-nya”. Karena itu,artikel ini akan berusaha mencari tahu apa yang “sebenarnya” dilakukan Baratkepada jajahannya pada masa kolonialisme sehingga menutup semuakemungkinan resistensi. Untuk sampai kepada jawaban itu, lintasan yang akandilalui artikel ini adalah: pertama, mencari tahu dimana sebenarnya lokuspenjajahan yang paling hakiki, dan bagaimana kaum penjajah melakukan itu;kedua, mencari tahu apakah ada upaya resistensi penjajahan –dalam artinya yangpaling hakiki. Hal ini berguna untuk melakukan evaluasi k eberhasilan upayaresistensi tersebut –jika memang berhasil, dan mendiagnosis kegagalannya –jikamemang gagal.

Page 8: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

106

Kerangka Analisis Baru dan Sumbangan Psikoanalisis

Dari sini, suatu kerangka analisis baru dapat dibuat untuk menjawabpermasalahan utama yang diajukan dalam artikel ini : apa “sebenarnya” yangdilakukan para penjajah pada masa kolonialisme sehingga menutup segalakemungkinan resistensi. Problematika analisis-analisis terdahulu yang telahdiinventarisir di atas, selanjutnya akan menjadi rambu -rambu bagi kerangka barutersebut, dalam arti: jangan sampai kerangka analisis yang baru terperosok padalubang yang sama. Dengan demikian , dapat dirumuskan bahwa kerangka analisisyang baru tersebut adalah suatu kerang ka analisis yang: pertama, mampumengakomodasi unsur-unsur subyektif kaum terjajah dalam hubungannya denganwacana-wacana dominatif Barat ( orientalisme misalnya). Kedua, mampu melacaksetiap usaha resistensi (dan lokusnya) yang pernah ada walaupun itu akhi rnyadirepresi oleh penjajah. Dan berikutnya yang ketiga, mampu memberikansumbangsih pada perubahan: pembebasan dari belenggu kolonialisme.

Psikoanalisis Jacques Lacan (1977) menawarkan kerangka analisis yang mampumemenuhi kriteria yang baru saja dibua t. Psikoanalisis Lacanian (PL) mampumenginventarisir, bahkan memetakan, unsur -unsur subyektif berikut mekanisme -mekanismenya yang kebanyakan beroperasi dalam al am bawah sadar, secaramendetil (Bowie 2006; Adian 200 5; Sarup 2004; Ritzer 2005; Bracher 2005 ;Eagleton 2006). Dengan demikian, PL dapat memberikan pemahaman memadaibagi setiap pertimbangan -pertimbangan yang dilakukan secara tak sada r dalamproses internalisasi, dan resistensi tentunya. Visi P L pun merupakan pembebasanhasrat tak sadar dari repres i-represi kesadaran.4 Hal ini merupakan berita baikkarena PL memiliki visi yang serupa dengan visi dari kerangka analisis yang barudibuat.

Alasan lain yang mendukung kompatibilitas P L untuk mencandra fenomenakolonialisme adalah pemahamannya tentang pertumbuhan subyek dari bayisampai menjadi subyek dewasa yang berbu daya, yang bisa disandingkan denganproses pendewasaan, pengadaban, dan modernisasi manusia dan peradaban kaumterjajah oleh para penjajah pada masa kolonialisme. Yang pertama disebut dengankompleks odipus (œdipus complex), sedangkan yang kedua, dengan demikiandapat disebut sebagai kompleks koloni ( colony complex). Terkait prosespendewasaan, JLacan berpendapat bahwa formasi subyek/ego selalu melibatkanunsur ketidaksadaran (hasrat), bahkan sebenarnya justru ketidaksadara nlah yangmembentuk ego (Lacan 1977). Oleh karena itu, adalah sangat berguna apabila

4 Hal ini sekaligus menjadi alasan utama penulis untuk memilih Psikoanalisis Lacanian alih-alihPsikoanalisis Sigmund Freud. Untuk diketahui, visi Psikoanalisis Freudian adalah memperkuatkontrol kesadaran, atau yang disebutnya Ego, atas ketidak sadaran, atau Id. Ini tersirat dalamungkapannya dalam bahasa Jerman “ Wo Es War, Soll Ich Werden ”, artinya: “dimana ada Id, di situada sang Ego (Aku yang sadar)”. (lih. Bertens, 2006; Adian, 2005)

Page 9: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

107

memahami kolonialisme dengan memberikan perhatian lebih, bahkan utama,pada mekanisme ketidaksadaran. S alah satu cara yang mungkin dilakukan olehpenjajah untuk mendominasi jajahannya, dalam kaitannya denganketidaksadaran, adalah melalui dominasi via diskursus (wacana) dan/atau praktikdiskursif.

Diskursus, atau wacana, singkatnya merupakan himpunan gagasan yang terdiridari pernyataan-pernyataan seputar segala sesuatu tentang suatu hal. Diskursustidak selamanya virtual, dal am arti kehadirannya tidak t ampak, namun efeknyanyata. Ia bisa termanifestasikan d alam suatu benda atau aktifitas. Diskursus akanmendapatkan materialisasinya pada “praktik dis kursif” (discursive practice), yangartinya akan menjadi suatu praktik yang tidak hanya bertujuan menimbulkandampak fisik, namun juga dampak epistemik, psikis, dan kesadaran. Untukmenjadi dominatif, menurut Slavoj Žižek, diskursus dan praktik diskursif h arusmemuat “kerinduan mendasar” tiap individu (1999, 184). Hal inilah yangmembuat individu mau mengidentifikasikan diri terhadap suatu diskursus. Jadi,suatu diskursus akan menimbulkan sentimen atau afeksi dalam diri subyek, yangakan membuat sang subyek tersebut berdecak kagum. Berikutnya “kerinduanmendasar” itu akan memotivasi hasrat tak sadarnya untuk meniru ataumengidentifikasi diri dengan diskursus tadi. Kemampuan suatu diskursus untukmemuat “kerinduan dasar” yang berikutnya akan menarik individu-individu untukmengidentifikasi diri dengannya disebut Louis Althusser sebagai interpelasi(Althusser 2007, 206). Sementara, “kerinduan mendasar” manusia, menurutLacan, adalah yang disebutnya “kenyamanan narsistik”, yaitu kenyamanan yangdidapat subyek dari lingkungannya karena memiliki atau menjadi sesu atu.Kenyamanan ini bisa berupa diakui, diperhatikan, diterima, bahkan di cintai oranglain di sekitarnya. Semakin kuat faktor interpleatif suatu diskursus, semakinmembuat sang subyek merasa nyaman secara narsistik .

***

Dengan berpedoman pada kerangka analisis ini, maka untuk melewati lintasanpembahasan yang telah ditentukan sebelumnya di atas, artikel ini pertama-tamaakan merekonstruksi (mereka ulang) kolonialisme sebagai kompleks koloni,artinya tragedi (karena tragis) kolonialisme akan ditulis ulang dengan memasukanunsur-unsur ketidaksadaran yang ada dalam kompleks odipus PL. Berikutnya,pembahasan akan dilanjutkan dengan mencari tahu “hasil” dari kompleks kolonitadi. Hasil di sini yang dimaksudkan adalah hasil yang memang “diharapkan” olehpenjajah, dan juga residu dari proses tersebut. Dari pembahasan -pembahasan ini,niscaya didapat suatu pemahaman yang lebih komprehensif mengenai “apa” yangsebenarnya dilakukan oleh Barat, ap a/dimana sasarannya, dan bagaimana mereka

Page 10: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

108

melakukannya. Barulah pada akhirnya upaya resistensi akan dievaluasi: apakahtelah “benar-benar” dilakukan atau belum.

Kompleks Koloni

Tragedi kompleks odipus yang merupakan proses pendewasaan subyek adalahanalogi yang tepat untuk memahami proses “pendewasaan” kaum terjajah alaKolonialisme Barat. Hasil akhir yang diharapkan dari Kompleks Odipus adalahkedewasaan, sementara hasil akhir yang diharapkan (tentunya oleh sang Barat)dari Kompleks Koloni adalah keberadaban yang berkiblat pada Barat. LayaknyaKompleks Odipus, Kompleks Koloni juga melalui tahap -tahap odipalisasi(kolonisasi). Proses odipalisasi terbagi dalam dua fase yaitu fase pra -odipal danfase odipal, dengan demikian proses kolonisasi pun terbagi ke dalam dua faseyaitu fase pra-kolonial dan fase kolonial.

Fase Pra-Kolonial

Pada fase pra-(kolonial/odipal), seperti bayi, kaum pribumi (calon jajahan) beradapada kondisi yang relatif serba berkecukupan. Bayi mendapat kepuasan,kenyamanan, dan kecukupan dari ibunya . Begitu pula dengan kaum pribumi yangserba tercukupi oleh alam. Kaum pribumi terbiasa dengan kehidupan yang serbaparokhial (local-minded): makan untuk hari ini dan besok saja, ha nya mengetahuilingkungan sekitar dia tinggal saja, hidupnya pun dicurahkan hanya untukbertahan hidup dalam alam. M enurut Tunde Obadina (2000, 24), gagasan-gagasan untuk mengubah jalan hidup adalah asing bagi mereka. Ide kemajuanatau progresivitas adalah “alien” bagi mereka. Kondisi state of nature, yaitukondisi saat penduduk pribumi hanya mengenal alam yang liar dan berusahauntuk selalu beradaptasi dengannya (dan bukan menaklukannya) inilah yangmenjadi karakteristik fase pra -kolonial.

Masa-masa indah ini terpecahkan saat kehadiran sang ayah dalam kemarahannyamembuyarkan impian sang bayi (pribumi) untuk tetap bersatu dengan ibunya(alam). Dalam konteks kolonialisme, sang ayah tersebut adalah Barat, parapenjajah. Sang ayah tersebut hendak memisahkan sang anak dari ibunya, dengandua tujuan: untuk “mengamankan” sang ibu dari sang anak dan memperkenalkansang anak kepada realitas kehidupan . Bagi ayah, kehadiran sang anak“mengganggu” keintiman h ubungannya dengan sang i bu. Oleh karena itu satu -satunya jalan adalah mengkastrasi/m emisahkan sang anak dari ibunya. Dalihnyaadalah memperkenalkan sang anak kepada kebudayaan. Lagipula, syaratseseorang untuk berbudaya adalah berhasil mengatasi ketergantungannya denganibunya (alam). Wajar apabila sang ayah, yang berniat mendewasakan anaknya,harus terlebih dahulu menyapih sang anak dari ibunya.

Page 11: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

109

Begitu pula dengan para penjajah, mereka berusaha mengalienasi pribumi dari ibualamnya. Para penjajah, mula -mula melihat alam di luar Eropa (daerah asalnya)sebagai sesosok wanita yang masih “perawan”. Jiwa petualang Eropa, untukmembuktikan kejantanan na rsistik mereka, mendorong mereka untuk mencari“gadis-gadis untuk digauli”. Tanah -tanah di luar Eropa menarik bagi orang Eropakarena kondisinya yang masih liar, belum diolah, belum ditaklukan, sebagaimanayang telah mereka lakukan di tanah airnya. Personi fikasi tanah jajahan sebagaisesosok wanita tersirat jelas dalam puisi “Lo ve’s Progress” karya John Donne:

Hidung (seperti Meridian pertama) terbujurBukan di antara Timur dengan Barat,Tetapi diantara dua matahari:Membiarkan pipi, setengah bulatan kemer ahanDi kedua sisi, dan kemudian mengarahkan kitaKe pulau-pulau keberuntungan,Bukan Kepulauan Kanari yang jauh,Tetapi Ambrosiall, bibir -bibirnya yang mengembang... dan Hellespont yang lurus di antaranyaPuncak-puncak Sestos dan Abydos susu -susunya ...Dan berlayar ke Indianya, di sana terletakPusar Atlantiknya yang cantik ...

(Loomba 2003, 94-95)

Penaklukan tanah jajahan bukan tanpa halangan. Sang anak alam (pribumi) tentutidak ingin melepaskan keintimannya dengan ibu alam yang senantiasa memberikehidupan baginya. Oleh karena itu, dalam kemarahannya (meminjam metaforaSigmund Freud dan Jacques Lacan), sang ayah atau para penjajah melakukantindakan-tindakan “pengondisian” secara paksa untuk memisahkan sang anak dariibunya. Setidaknya ada tiga macam peng ondisian tersebut, yaitu penghancuranbudaya setempat, politik adu domba ( devide et impera), dan interterpelasi hasrat.Pengondisian yang pertama adalah dengan cara penghancuran budaya dan sistemsosial setempat, seperti yang dialami Frantz Fanon di Algeria dan Aljazair :

Situasi kolonial memberhentikan kebudayaan kolonial di hampir semua bidang... Kebudayaan nasional di bawah dominasi kolonial adalah kebudayaan yangdiperebutkan yang kehancurann ya diupayakan secara sistematis ... setelah seabadatau dua abad berlalu terjadilah penipisan budaya nasional ... Negasi ataskebudayaan pribumi, p enghinaan terhadap, manifestasi apapun darikebudayaan, apakah aktif atau emosional...

(Fanon 2000, 253-255)

Kehadiran penjajah ini menghasilkan respon ambigu dari kaum pribumi, yaitureseptif dan resisten. Yang pertama umumnya dilakukan oleh mereka yang “maucari aman saja”, sementara yang terakhir umumnya dilakukan oleh mereka yang

Page 12: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

110

gigih mempertahankan alamnya. Respon ambigu inilah yang dimanfaatkan olehpenjajah untuk melakukan pengondisian yang kedua, yaitu politik adu domba(devide et impera). Antara pribumi yang reseptif dan menolak, dipiculah suatupermusuhan. Hal ini efektif untuk memperlemah dan mengurangi resistensipribumi, dan dengan demikian mengakselerasi penundukan . Jean-Paul Sartremenceritakan:

...mereka (pribumi, pen.) bahkan saling bantai. Suku -suku yang berbedabertarung satu sama lain karena mereka tidak dapat menghadapi musuh yangsebenarnya (penjajah, pen.) –dan seperti yang mungkin anda duga, kebijakankolonial akan terus menghidupkan pertentanga n mereka.

(Sartre 2000, xxii)

Sementara, pengondisian ketiga, yaitu interpelasi hasrat , dilakukan pada fasekolonial.

Fase Kolonial

Pada fase ini, Barat telah memegang kontrol tanah jajahan, mengambilnya daripara pribumi. Pada fase ini juga eksploitasi sumber daya alam dan manusia(sebagai budak), dan misi mulia pengadaban ( divine civilizing mission ) kaumterjajah dimulai. Fase ini tidak lagi menekankan pada penggunaan senjata sebagaialat penaklukan, walau tidak meninggalkannya s ama sekali, namun lebih kepadastrategi diskursif yang dilakukan oleh penjajah, dalam rangka membentukmentalitas dan identitas kaum terjajah. Pada fase kolonial, kaum terjajah,layaknya bayi dalam fase odipal, mengalami dua hal penting, yaitu prosesidentifikasi aktif dan proses pengadaban.

Fase Kolonial: Identifikasi Aktif

Saat kaum terjajah telah benar -benar teralienasi dari alam dan kontekskulturalnya, ia mulai menyadari bahwa ternyata dirinya tidaklah menyatu denganalam; alam adalah “yang lain” dari dirinya. Kaum terjajah menyadari ternyataterdapat jurang yang memisahkan dir inya dengan sumber kepuasannya, jurangyang diciptakan oleh para penjajah. Keterpisahan ini mengakibatkan kesedihanyang mendalam bagi kaum terjajah.

Di tengah-tengah rundungan kesedihan akibat keterpisahan ini, kaum terjajahmasih dapat mengidentifikasi oknum “yang lain” lainnya, yaitu sang penjajah. Saatinilah ia mendapatkan konsepsi tentang “yang lain” yang utuh , otonom, integral,dan ideal. Namun, ia belumlah memiliki konsepsi mengenai dirinya sendiri,sampai ia mengalami proses identifikasi pada apa yang disebut Lacan sebagai fasecermin.

Page 13: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

111

Kaum terjajah mengalami fase cermin atau proses identifikasi diri secara aktif saatmereka mencerap atau menginternaliasikan atribut -atribut dari suatu citra (yangberada) di luar tubuhnya –yaitu citra “yang lain”– ke dalam dirinya. Identifikasiberakar dari kerinduan atau hasrat untuk memiliki identitas. Hasrat inimerupakan semacam kompensasi atas ketidakmampuan subyek, dalam hal inikaum terjajah, untuk kembali bersatu dengan sang ibu alam. Identitasmemberikan perasaan utuh kepada subyek, perasaan yang didambakan olehsubyek setelah ia dipisahkan dari keutuhan bersama sang ibu. Selain itu, denganidentitas yang fix, subyek mendapatkan kenyamanan narsi stiknya.

Instrumen terpenting dalam proses identifikasi adalah cermin. Cermin di sinibukan hanya berarti suatu benda spekular yang memancark an atau memantulkansuatu citra. Ia dapat berarti segala sesuatu yang mampu menampilkan sebuahcitra diri ideal dan utuh. Dengan pendefinisian seperti ini, maka cermin bisaberarti sebuah diskursus, sebuah gambar, sebuah deskripsi verbal, dan semuayang berkomunikasi langsung dengan subyek ata u menginterpelasi ataumemanggil subyek: “hei kamu di sana , kemarilah, berkacalah padaku !”, sembarimemperlihatkan suatu keutuhan diri ideal kepada yang dipanggilnya .

Demikian pula dengan proses pembentukan identitas kaum terjajah sebagaikesatuan subyek yang utuh, mereka melihat diri mereka dalam cermin , lalumempersepsi bayangan mereka sebagai dirinya : “hei, itu aku!”. Dengan kata lain,diri mereka adalah bayangan mer eka. Fenomena ini disebut Lacan sebagaimispersepsi (meconnaissance), dan hal inilah yang membuatnya menyimpulkanbahwa subyek adalah ilusi. Hal ini diperparah oleh orang lain, dalam hal inipenjajah, yang menunjuk bayangan tersebut sembari berkata, “ya, i tulah kamu!”.Penjajah telah menjamin alienasi kaum terjajah dari dirinya sendiri denganmemispersepsi bayangannya sebagai dirinya.

Cermin ini bukanlah cermin biasa, ia adalah cermin yang khusus disediakan olehkaum penjajah. Meminjam sebutan Karl Marx, cermin ini adalah cermin cameraobscura. Bayangan yang terdapat pada cermin camera obscura saat kaum terjajahbecermin adalah seluruh hasil identifikasi narsistik para penjajah (Barat) terhadapdiri mereka dan jajahannya, yaitu identifikasi yang telah melalui mekanismepembedaan manicheistik (oposisi biner): kulit putih -kulit berwarna, beradab -biadab, modern-dekaden, dst.5, dimana yang pertama merupakan ciri -ciri Baratpenjajah yang dengan demikian secara narsistik dianggap lebih unggul dari yangterakhir, yang merupakan ciri -ciri kaum terjajah.

5 Untuk memperoleh informasi lebih jauh mengenai pembedaan manicheistik (oposisi biner)ini, lihat Orientalisme karya Edward Said (1996). Di situ Said membongkar sangat banyakpembedaan-pembedaan manicheistik seperti ini.

Page 14: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

112

Hal inilah yang menyebabkan Shannon Winnubst menyimpulkan bahwa cerminyang dipakai oleh Barat adalah cermin yang rasis, karena melalui cermin tersebut“[kaum terjajah] attempts to gather himself into a ‘whole body’, but can seehimself only as he is seen by the white racist world” (2004: 39). Barat penjajahmemandang rupa para jaja hannya, yang berbeda dari dirinya, secara narsistik:perbedaan itu dianggap sebagai suatu penyimpangan atau abnormalitas. PatriciaJ. Williams menuliskan: “[kaum terjajah,] in a white society are conditioned frominfancy to see in themselves only what others [para penjajah], who despise them,see” (Winnubst 2004, 39). Pandangan-pandangan merendahkan ( despising)inilah yang menentukan posisi kaum terjajah saat be cermin, yaitu pada posisiinferior. Dengan demikian , fase cermin yang dialami oleh kaum terjajahmembuahkan apa yang disebut Alfred Adler, salah satu kolega Sigmund Freud,sebagai kompleks inferioritas ( inferiority complex), yaitu perasaan dimanaseseorang merasa inferior/rendah diri saat melihat orang lain yang dianggap“ideal”.

John M. Hobson (2004, 8), cucu dari John Atkinson Hobson –perintis studikolonialisme modern, merangkumkan seluruh identifikasi rasis ini: “Barat yangdinamis” versus “Timur yang stagnan (unchanging)”. Pembedaan ini diberinyalabel sebagai “teori Peter Pan tentang Timur” (lihat Tabel 1).6

Tabel 1Konstruksi Timur oleh Barat

The Dynamic West The Unchanging East

Inventive, ingenious, proactiveRationalScientificDisciplined, ordered, self -controlled,

sane, sensibleMind-orientedPaternal, independent, functionalFree, democratic, tolerant, honestCivilisedMorally and economically progressive

Imitative, ignorant, passiveIrrationalSuperstitious, ritualisticLazy, chaotic/erratic, spontaneous,

insane, emotionalBody-oriented, exotic and alluringChild-like, dependent, dysfunctionalEnslaved, despotic, intolerant, corruptSavage/barbaricMorally regressive and economically

stagnant

6 Peter Pan merupakan tokoh dongeng yang diceritakan berasal dari “ the Neverland”, suatunegeri dimana penduduknya adalah anak -anak yang tidak akan pernah dewasa.

Page 15: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

113

Pembedaan-pembedaan inilah yang dipakai oleh Barat sebagai cermin bagi kaumterjajah untuk mengidentifikasikan dirinya. Dengan kata lain , cermin itu adalahsang penjajah itu sendiri; citra ideal yang muncul dalam camera obscura yangrasis tak lain tak bukan adalah orang Barat itu sendiri. Namun, apa boleh buat,hasrat kaum terjajah akan identitas sudah tak tertahankan sehingga identitasapapun yang diberikan oleh penjajah diterimanya, seperti kata Fanon:

But just as I reached th e other side, I stumbled, and the movements, theattitudes, the glances of the other fixed me there, in the sense in which a chemicalsolutions is fixed by a dye. I was indignant; I demanded an explanation. Nothinghappened. I burst apart. Now the fragments have been put together again byanother self.

(Fanon 1986, 109; cetak miring penekanan dari penulis)

Setelah puluhan (bahkan Indonesia mengalami ratusan tahun) “memandangi”cermin rasis kaum penjajah , maka tertanamlah di benak kaum terjajah bahwadirinya adalah makhluk hina dan tak beradab. ini adalah gejala -gejala kompleksinferioritas. Kesaksian Frantz Fanon saat seorang anak kulit putih (Perancis)memanggilnya “negro” atau “nigger”, memberikan gambaran vulgar tentangkompleks inferioritas ini:

Mama, see the Negro! I’m Frightened!’ Frightened! Frightened! Now they werebeginning to affraid of me ... I discovered my blackness, my ethniccharacteristics; and i was battered down by tom -toms, cannibalism, intellectualdeficiency, fetichism, racial defects, slave -ships, and above all else, above all:‘Sho’ good eatin’’... ‘Look at the nigger! ... mama, a Negro! ... Hell, he’s gettingmad...’ ... what else could it be for me but an amputation, an excisi on, ahemorrhage that spattered my whole body with black blood?

(Fanon 1986, 112; cetak miring penekanan dari penulis)

Kompleks inferioritas yang bekerja dalam diri Fanon seakan -akan mendesaknyauntuk mengamputasi, menguliti, bahkan memutihkan lumuran “darah hitam” dikulitnya. Sungguh trenyuh.

Perasaan ini (kompleks inferioritas) menjadi semacam “tanah subur” bagimasuknya kebudayaan-kebudayaan Barat. Hal ini dikarenakan kaum terjajahingin menutupi perasaan inferiornya dengan pernak -pernik kebudayaan Barat,simbol keadaban. R. A. Kartini, seorang pejuang Indonesia, merupakan contohyang “baik”,

...melalui persilangan, baik tanaman maupun hewan berbagai jenis, maka kitadapat memperoleh spesies tanaman yang lebih baik ... bukankah hal yang serupaberlaku juga bagi moralitas manusia? Kalau sifat -sifat positif peradaban Baratdipadukan dengan kebaikan budaya Jawa, bukankah ‘moralitas yang lebih ti nggi’merupakan hasil logisnya?

Page 16: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

114

(Gouda 2007, 157)

Fase Kolonial : Pengadaban

Pada fase ini, kebudayaan-kebudayaan Barat mulai ditanamkan, menggantikanbudaya-budaya tradisional pribumi yang telah “disepakati” (oleh penjajah -jajahan) sebagai budaya dekaden. Kesepakatan ini tidak terjadi begitu saja,tentunya ada serangkaian “drama berdarah ” yang mendahuluinya. Kompleksinferioritas yang telah tercangkok di benak kaum terjajah semakin mengakselerasipenanaman budaya barat ini, pikir mereka dengan berbudaya seperti Barat,perasaan rendah diri mereka dapat tertutupi.

Setidaknya, terdapat tiga manifestasi kebudayaan Barat yang dapat dihimpunartikel ini, yaitu bahasa, pengetahuan, dan sistem sosial. Pemberian bahasa Baratsebagai “alternatif yang kedengaran lebih beradab” bagi bahasa-bahasa asli kaumterjajah, merupakan salah satu instrumen penjajahan yang berdampak signifikan.Saat kaum terjajah mendapatkan identitas tentang dirinya, harus dicatat bahwaidentitas itu masih berada pada tataran imajiner (abstrak), ia m asih sebuahkonsepsi, imajinasi. Barulah pada saat kaum terjajah mengakuisisi budaya danbahasa Barat, identitas itu mendapatkan nama-nama, atau yang disebut Lacansebagai penanda utama ( master signifier)7, seperti “negro/nigger”, “pribumi”,“kanibal”, “biadab”, “primitif”, “koloni”, “inlander”, dan lain -lain. Lacan menyebutsemuanya sebagai atas-nama-ayah (the-name-of-father).

Pada fase ini juga terjadi fenomena posstrukturalisme, yaitu saat penanda utamatadi terus-menerus tergelincir dalam rantai penandaan ( chain of signification)8,artinya penanda-penanda tersebut tidak akan pernah sampai kepada petanda(makna) yang pasti. Sebag ai contoh, penanda utam a “negro”. Bila seseorangmenyandang penanda u tama “negro”, maka ia akan diasosiasikan denganpenanda-penanda seperti “biadab”, “primitif”, “biadab”, “hiperseksual”, “tenagakuda”, “bodoh”, “hitam”, “bau”, “buas”, dan lain sebagainya. Dan sudah tentu,

7 Di sini Lacan mengadopsi terminology Strukturalisme Linguistik Ferdinand de Saussure. DeSaussure berpendapat bahwa bahasa terstruktur kedalam penanda ( signifier) dan petanda(signified), hubungan keduanya adalah relasi negatif: sebuah penanda menjadi penanda itu s endirikarena ia bukan penanda yang lainnya. Contoh, kata ‘kucing’ yang dieja ‘k -u-c-i-n-g’ adalah penanda,sementara petandanya adalah citraan apapun yang muncul dalam benak saat kata ‘kucing’dipikirkan; secara sederhana petanda merupakan makna dari pena nda. Relasi negatifnya adalah:‘kucing’ menjadi kucing karena ia bukan ‘kuda’ atau ‘anjing’ atau yang lainnya.

8 Rantai penandaan (chain of signification) merupakan ketiadaan / kekurangan ( lack) suatumakna (petanda) stabil bagi suatu kata (penanda). Penanda satu merupakan petanda bagi penandayang lainnya, dan begitu seterusnya. Contoh termudah adalah kamus. Saat mencari suatu kata, kataitu akan dijelaskan dengan kata-kata yang lainnya. Dan kata -kata yang lainnya akan dijelaskan pulaoleh kata-kata yang lainnya lagi, dan seterusnya.

Page 17: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

115

penanda-penanda ini, dalam kebudayaan Barat merupakan penanda yangberkonotasi negatif atau dengan kata lain, kebalikan dari penanda -penanda yangdiasosiasikan kepada Barat (“modern”, “beradab”, “sopan”, “cerdas”, dst.).

Selanjutnya, pengetahuan. Pengetahuan, dalam hal ini o rientalisme, jugamerupakan produk kebudayaan Barat yang ingin ditanamkan dal am benak kaumjajahan. Melalui orientalisme, Barat penjajah ingin memberikan landasan ilmiahatas semua hasil identifikasi mereka atas jajahan nya. Hal ini digunakannya untukmenghegemoni kesadaran kaum terjajah. Diskusi lebih lanjut mengenai hal initelah dilakukan dengan sangat baik oleh Said dalam Orientalism-nya.

Produk berikutnya adalah sistem sosial. Barat mengganti seluruh tatanankehidupan kaum terjajah dengan tatanan baru ala B arat. Liberalismemenggantikan feodalisme, i ndividualisme menggantikan komunalisme, pasarbebas menggantikan sistem ekonomi tradisional, tradisi -tradisi yang dianggapkuno, dekaden, bahkan anti humanis pun dilarang dan digantikan “tradisi-tradisi”yang lebih modern seperti thanksgiving, toast, dst. Diskusi lebih lanjut mengenaihal ini telah dilakukan dengan sangat baik oleh teoritisi marxis dan historisis.

***

Akhirnya, setelah melalui proses kompleks koloni yang panjang dan berdarah(tentunya), lahirlah subyek koloni yang telah lahir -baru (new born), penulis lebihsuka menyebutnya subyek Barat jadi -jadian (were-West)9 karena subyek yangbaru ini masih memiliki tubuh non -Barat, namun perilaku, pemikiran, gayabicara, bahkan pakaian dalamnya telah berubah menjadi bergaya Barat.

Layaknya kompleks odipus, kompleks koloni memisahkan subyek kaum terjajahdengan ibu alamnya. Keterpisahan ini menyebabkan perasaan kehilangan dalamdiri kaum terjajah: ada “sesuatu” yang kurang dalam diri kaum terjajah.Kehilangan itu menyisakan sebuah lubang menganga dalam diri subyek kaumterjajah. “Sesuatu” yang dapat menutup lubang inilah ya ng oleh Lacan disebutsebagai obyek a10. Obyek a merupakan obyek hasrat yang ketidakhadirannyajustru terus memproduksi hasrat pada diri kaum terjajah (terhadap obyek a itusendiri). Segala daya upaya kaum terjajah diarahkan untuk mendapatkan objek aini, karena hanya dengan demikianlah kepenuhan, kepuasan, dan keutuhan kaumterjajah bisa kembali terpuaskan.

9 Diadaptasi dari werewolf, serigala jadi-jadian.10 a disini merupakan singkatan bagi kata dari bahasa Perancis, ‘ autre’, atau ‘yang lain’. Lacan

mengatakan bahwa hasrat selalu merupakan hasrat akan ‘yang lain’. ‘yang lain’ ini bisa berupabenda, orang, citra, bahkan sesuatu yang bahkan belum jelas, seperti ‘cinta’ misalnya.

Page 18: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

116

Namun demikian, upaya pencarian obyek a yang terutama, yaitu ibu alam, adalahmustahil. Kebudayaan melarang hal demikian; syarat untuk masuk dalam suatukeberadaban dalam kebudayaan adalah dengan memisahkan diri dariketergantungan dengan alam, bahkan berbalik menaklu kkannya. Demikianlahhasrat terhadap ibu alam menjadi hasrat terlarang. Kompensasinya, subyek kaumterjajah akan berusaha menutup lubangnya (akibat kehilangan obyek a) dengansegala sesuatu yang dipersepsinya sebagai obyek a, segala sesuatu yang menjaminkenyamanan, kepuasan, dan ke utuhan eksitensialnya. Dengan kata lain, subyekkaum terjajah tidak tahu pa sti apa yang harus dihasratinya. A kibatnya, iamencampuradukkan hasratnya dengan hasrat orang lain. Hal ini sesuai denganhipotesis yang diajukan René Girard terkait hasrat, yakni bahwa hasrat padahakikatnya adalah mimetis. Obyek a menggerakkan orang untuk menghasratisesuatu, bukan karena sesuatu itu, tetapi karena orang lain mendapat kepuasankarena memiliki atau melakukan sesuatu itu ( Sindhunata 2006, 288).

Resistensi dan Dekolonisasi

Hasrat-hasrat yang telah muncul, sebagaimana telah di bahas sebelumnya, sepertihasrat akan identitas dan produk -produk budaya yang dapat memberikanperasaan sebagai seorang yang “beradab” , akan terus menerus muncul, terusmenerus bereproduksi. Tidak ada yang tahu sampai kapan ha srat tersebut akanberhenti bereproduksi. Yang pasti, kaum terjajah akan terus berusaha memenuhihasrat-hasratnya. Terhadap sebuah identitas, kaum terjajah akan sen antiasamenginginkan identitas Barat, sehingga mereka akan meniru setiap hal -hal yangdiasosiasikan dengan identitas barat, seperti, “beragama Kristen”, “sopan”,“cerdas”, dst.

Terhadap sebuah keberadaban, kaum terjajah akan senantiasa mengakuis isisemua produk-produk budaya Barat yang mampu memberikan perasaan sebagaiorang yang beradab. Dengan kata lain, semua yang diingini Barat, juga akandiingin kaum terjajah. Seperti kata Fanon:

Pandangan pribumi yang tertuju pada kota pemukim adalah pandangan penu hnafsu dan keinginan, pandangan yang penuh cemburu; pandangan inimengekspresikan impiannya untuk memiliki -memiliki apa saja: untuk duduk dimea pemukim, tidur di kamar tidur pemukim, bersama istrinya jika mungkin …mereka ingin mengambil alih tempat itu.

(Fanon 2000, 7-8, 34)

Barat penjajah tentu tidak akan membiarkan dirinya “benar -benar” disamai olehjajahannya. Alhasil, segala cara digunakan untuk “menghambat” pengejaranhasrat tersebut. Kaum terjajah dibohongi, dipermainkan, diperalat, bahkan diadudomba, diperkosa, dan dibunuhi. Perlakuan-perlakuan biadab –istilah ini asli dari

Page 19: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

117

penulis– kaum penjajah terhadap kaum terjajah ini, sampai pada taraf tertentu(pada titik nadir) membuat kaum terjajah sadar, lalu bangkit dan berbalikmelawan. Mereka merasa telah dibohongi oleh para penjajah mereka yang tadinyamereka kira akan menjadikan mereka lebih beradab. Namun , yang mereka dapatiadalah perendahan, penyiksaan, penggusuran, dan bahkan eliminasi sistematisterhadap kaum mereka. Sikap -sikap “tak tahu diri” kaum penjajah inilah yangmenurut Fanon dan Césaire memicu kaum terjajah untuk membalas dendamkepada para penjajah mereka (Fanon 2000, 130-131; Césaire 1993, 172).

Berdasarkan pesan yang tersirat da lam seruan Deleuze dan Guattari: “Therevolutionary is the first to have the right to say: ‘Oedipus? Never heard of it’”(Deleuze dan Guattari 1984 , 96), saat kemarahan kaum terjajah telah sampaiubun-ubun, revolusi adalah kata pertama yang akan terucap. Kaum terjajah akanmelupakan semua pros es-proses pengadabannya (o dipalisasi/modernisasi),mereka tidak peduli apakah tind akannya itu beradab atau bia dab, yang merekatahu hanyalah balas dendam. Bagi para kaum terjajah yang sedang kesurupan(trance) ini, tidak ada kompromi lagi: pemberontakan harus dilakukan.

Seperti desperado11, perbedaan jauh faktor persenjataan tidak menahan merekauntuk berontak. Mereka melihat bahwa satu -satunya pembebasan bagi dirimereka hanyalah melalui pemberontakan dengan segala cara, dan cara kekerasanmerupakan “langkah yang pertama dan utama” (Fanon, 2000: 35). Bagi Fanon,dan rekan-rekan seperjuangannya, kolonialisme adalah kekerasan dalam kondisialamiahnya. Karena itu, ia hanya akan menyerah ketika berhadapan dengankekerasan yang lebih besar. Kemampuan dan terutama keberanian untukmengabaikan faktor-faktor persenjataan ini bukan sesuatu yang datang tiba -tiba,namun lebih merupakan akumulasi kecemburuan dan rasa sakit akibat tidak bisamendapatkan hal yang dihasrati, yang kemudian “mengkristal” ke dalam suatusemangat resistensi kolonial.

Ujung-ujungnya, kaum penjajah ti dak mampu lagi mempertahankan koloni -kolonimereka. Inilah gejala-gejala awal kaum penjajah hendak meninggalkan koloni -koloninya. Puncaknya, saat Perang Dunia II berakhir, desakan dari PBB dan keduahegemon politik internasional saat itu, Amerika Serikat d an Uni Sovyet, berhasilmembuat kaum penjajah memberikan kemerdekaan kepada koloni mer eka, inilahyang lazim disebut dekolonisasi.

Pasca-Dekolonisasi dan Nasionalisme

Peran nasionalisme dalam revolusi kemerdekaan kaum terjajah bisa dikatakancukup signifikan. Salah satu sentimen pendorong dari gerakan -gerakan tersebut,

11 Orang yang nekat karena sudah putus asa.

Page 20: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

118

selain dari berbagai kenikmatan hasrat yang dijanjikan oleh kondisi merdeka,adalah nasionalisme, yaitu suatu sentimen k olektif yang menjadi unsur perekatsuatu populasi kaum terjajah, yang umumnya berasal dari kelompok -kelompokyang berbeda-beda. Nasionalisme ini, diyakini menjadi unsur utama dalamrevolusi kemerdekaan, bahkan sampai masa pasca dekolonisasi (dengan demikianpascakolonialisme) sekarang ini, isu nasionalisme masih didengung-dengungkanuntuk memperkuat negara dari serangan kolonialisme baru Barat(neokolonialisme) –eksploitasi ekonomi (Nkrumah 1966).

Pada perkembangan awalnya, nasionalisme dipandang sebagai pemberian Tuhan,atau yang disebut Fred Halliday sebagai nasionalisme perenialis (Halliday 2004,449). Namun demikian, pada perkembangan berikutnya, konsep nasionalismesemacam ini kurang dapat menjelaskan fenomena -fenomena dimana nasionalismeitu dipakai untuk tujuan -tujuan politik.12 Hal ini menyebabkan para ahli mencari -cari konsep nasionalisme lainnya. Konsep nasionalisme kontemporer yang populerdipakai adalah konsep dari Benedict Anderson.

...nasionalitas...sama halnya dengan nasionalisme, adalah artefak-artefak budaya(sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis) jenis khusus ... merupakanpenyulingan spontan atas ‘persilangan’ berbagai kekuatan historis; namun, sekalitelah tercipta, artefak-artefak itu menjadi ‘modular’, dapat ditanamkan, denganberbagai derajat kesadaran -diri, ke berbagai bentangan sosial yang luas, untukmelebur dan dileburkan dengan se rangkaian tata politis dan ideologi yang luaspula.

(Anderson 2001, 6)

Dengan psikoanalisis lacanian, ternyata dapat disingkapkan suatu modedominatif dalam gagasan ini . Saat masyarakat bekas jajahan/negara DIII barumelepaskan diri dari penjajahnya, mereka berada pada kondisi kegalauan akan“identitas” nasional. Kegalauan ini membuat mereka mencari -cari cermin untukmengidentifikasikan diri. Di sinilah Barat memberikan cermin identitas nasional(nasionalitas) kepada DIII melalui gagasan Anderson. Anderson, dengan konsep“komunitas terbayang”-nya, merupakan konsep yang menarik bagi Dunia Ketiga,karena konsep ini memberikan keleluasaan bagi DIII untuk membayangkansendiri “mau seperti apa bangsanya nanti”. Gagasan ini mampu mengubah“perasaan kabur” yang terdapat di antara para rakyat DIII menjadi solidaritasdengan sebuah bangsa yang terdefinisikan secara gamblang, seolah bangsa itutergambar nyata melalui aks i “sulap” bersama (Gouda 2007, 15). Solidaritas ininantinya akan menumbuhkan integritas dalam sebuah negara –suatu identitasnasional yang utuh.

12 Bahkan Indonesia sendiri melakukan “Nasionalisme agresif” saat menginvasi Timor -Timurpada malam Natal tahun 1975.

Page 21: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

119

Kata “modular” dalam definisi nasionalisme Anderson semakin memperkuatgagasan ini dalam menginterpelasi DIII . Modularitas atau fleksibilitas i ni lagi-lagimemberi keleluasaan bagi DIII untuk tidak mengekor pada konsep ‘bangsa’ alaEropa. Ini, secara kontekstual zaman, sangat penting, karena saat itu PerangDingin membuat negara-negara DIII memilih bersikap netral. 13 Dalam kacamatanetralisme, konsep nasionalisme dari Eropa (blok Barat) ini terselamatkan olehkata “modular” dalam definisi Anderson; modularitas membuat nasionalismedapat disesuaikan dengan konteks kultur di dalam negeri Dunia Ketiga. Jadilahpemimpin-pemimpin Dunia Ketiga mengklaim bahwa nasionalisme hasilpembayangannya adalah murni kreasi sendiri, tanpa campur tangan salah satudari kedua blok yang bertempur saat itu.

Saat berbicara tentang bangsa, Anderson merujuk pada suatu prinsip -prinsippolitis: “komunitas politis”. Anderson memperjelas unsur politis tersebut denganmemberikan penekanan pada unsur batas -batas negara (boundary) dankedaulatan: “sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligusberkedaulatan”. Dari sini terlihat bahwa yang dimaksudnya adalah suatu “negara -bangsa modern Westphalia” 14 yang memiliki batas-batas yang jelas dan kedaulatanteritorial. Artinya, dalam sistem gagasan tentang nasionalisme, tersembunyipenanda utama (S1) ‘negara bangsa modern Westphalia’. Maka , adalah tidak benarapabila kata “bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas” bermaksud untukmemberi keleluasaan Dunia Ketiga untuk membayangkan secara inter subyektif.

Dengan demikian, penulis memodikasi gagasan ‘bangsa’ dengan menampilkanpenanda utamanya –agar tidak ada kebohongan yang tersembunyi. Jadi , bilaAnderson menyatakan bahw a “bangsa merupakan suatu komunitas terbayang”,maka sesungguhnya dia ingin mengatakan ini: “negara-bangsa merupakan satu-satunya cara untuk membayangkan suatu komunitas”. Jelas sudah bahwa gagasannasionalisme yang dibawa Anderson dan Gellner menampik kemungkinan adanya“bayangan-bayangan” lain tentang “bangsa” (seperti khilafah, monarki, bahkananarki), seraya “menguniversalkan bentuk negara -bangsa sebagai bentukkomunitas politik yang paling diperlukan (desirable)” (Chakrabarty 1992, 19).Habis sudah kaum terjajah, “bahkan i majinasi-imajinasi kami harus tetap dijajahselamanya ... Sejarah tampaknya telah menetapkan bahwa kami di duniapascakolonial hanya akan menjadi konsu men abadi modernitas.” (Chaterjee,dikutip dari Loomba 2003 , 245).

13 Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok merupakan manifesto dari tekad netralismeDunia Ketiga.

14 Negara-bangsa modern lahir pada 1648, saat perjanjian Westphalia disepakati, yaitumembentuk Negara berdaulat dan memisahkan kehidupan politiknya dengan gereja dan dengannegara lainnya. Hubungan dengan negara lain terjadi di perbatasan dalam tritunggal hubunganinternasional modern: perdagangan, diplomasi, dan / atau perang.

Page 22: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

120

Ilusi Dekolonisasi

Berbagai pembahasan analitis dari beberapa diskursus di atas membuktikanbahwa kolonialisme merupakan legenda persebaran ide “super ioritas Barat”.Narsisisme dan rasisme berkedok h umanisme dan modernisme berdampak amatsignifikan terhadap mode penjajahan p ribumi atau koloni. Penyingkirankebudayaan, penyiksaan, penghinaan, dan segala bentuk dehumanisasi yangdilakukan oleh para penjajah terhadap jaja hannya terbukti menimbulkan lukayang tidak akan pernah bisa disembuhkan –sekalipun itu dengan dekolonisasi.Editorial The Spectator di London menyadari hal ini,

Ada sesuatu dalam diri ..(Barat).. yang menyakiti ras -ras berkulit gelap, dan kitabertanya-tanya apakah itu. Konon, yang dimaksudkan adalah kekejaman mereka,tetapi mereka tidak lebih kejam dari para pemimpin lokal, dan sifat itu jelas tidakmembutuhkan efisiensi. Kita menduga, yang dimaksud adalah rasa atau sifatyang mendorong mereka memperlakukan orang -orang berkulit gelap selayaknyahewan. Kadang-kadang penuh kebaikan, kadang penuh kekejaman, tetap i selaludengan penghinaan yang tak pernah berubah. Bagaimana rasa itu muncul? ...Rasa itu menunjukan dominannya beberapa ide.

(Gouda 2007,18)

Rasa sakit yang dialami kaum terjajah, sebagaimana dimaksud oleh The Spectatorinilah yang telah disebutkan s ebelumnya sebagai kompleks inferioritas (inferioritycomplex). Perasaan inferioritas inilah, yang terbukti dalam pembahasan padaartikel ini, melanggengkan kolonialisme. Dengan demikian, dapat disimpulkanbahwa kolonisasi merupakan proses penanaman kompleks inferioritas terhadapkoloni.

Penanaman ini dilakukan lewat praktik diskursif, jadi tidak hanya mengandalkanpersenjataan mutakhir. Praktik diskursif kolonial mampu menginterpelasi hasratterdalam kaum kolonial –hasrat yang muncul setelah mereka dipisahkan secarapaksa oleh para penjajah dari konteks alamiah mereka. Saat kaum terjajahmenghasrati keutuhan identitas, penjajah memberikan identitas rasis; saat kaumterjajah menghasrati pengetahuan tentan g dirinya, penjajah memberikanorientalisme yang misrepresentatif; saat kaum terjajah menghasrati atributperadaban Barat, penjajah memberikan barang -barang sisa mereka. Beberapaabad penjajahan membuat kompleks inferioritas ini “mendarah daging” danmenjadi –meminjam Roland Barthes (1972)– mitos.

Selalu ada perlawanan dalam setiap praktik kekuasaan; k ekuasaan selalumelahirkan antikekuasaan; demikianlah premis Foucault tentang kekuasaan.Artikel ini mengafirmasi premis demikian: kolonialisme pun melahirkan anti-kolonialisme. Bila di awal dikatakan bahwa mekanisme kolonialisme menutup

Page 23: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

121

semua usaha resistensi, maka bisa disimpulkan di sini bahwa pandangan itu tidaksepenuhnya benar. Jika ditanya: “adakah usaha-usaha resistensi?”, makajawabannya: “ada!”. Tetapi apabila keefektifan yang dipertanyakan, makajawabannya: “tidak ada!”.

Artikel ini mencoba memahami setidaknya dua bentuk resistensi yang telahdilakukan oleh kaum terjajah. 15 Perlawanan fisik, dan perlawanan dalam bentuknasionalisme. Pada perlawanan fisik, kaum penjajah setidaknya berhasil didesakmeninggalkan tanah jajahannya. Namun demikian, ini tidak berarti “benar -benar”membuat penjajah meninggalkan jajahannya: para penjajah masih “bersemayam”di otak para jajahannya. Sindrom kompleks inferioritas masih tetap menjangkitikaum terjajah, sehingga seluruh hasrat kaum terjajah tetap tertuju pada hasratpara bekas penjajah mereka, bahkan untuk menjadi seperti para bekas penjajahmereka. Barat masih menjadi model, prototipe, atau blue-print, bagi“perkembangan” para bekas jajahan. Hal inilah yang membuat Barat bisa tetapmelakukan kolonialisme tanpa hadir secara langsung di tanah jajahan.

Berikutnya, perlawanan dalam bentuk nasionalisme pun terbukti tidak efektif.Nasionalisme yang diadopsi oleh para intelektual dan pemimpin negara DuniaKetiga –bekas jajahan, merupakan salah satu produk kebudayaan Barat, atau yangdalam bahasa Jacques Lacan, atas-nama-ayah (the-name-of-father) atau hukumAyah (father’s law) –simbol kekuasan patriarkal-regulatif dari ayah odipus.Nasionalisme, merupakan suatu diskursus dari Barat, yang tentunya (secaranarsistik dan rasis) menyiratkan gagasan -gagasan superioritas Barat. Hasilnya,sebagaimana telah dibuktikan, semakin memperpanjang komples inferi oritasDunia Ketiga.

Akhirnya, selama hasrat Dunia Ketiga tetap dimediasi oleh Barat, dan selamaDunia Ketiga tidak mampu menyembuhkan penyakit kompleks inferioritasnya,maka dekolonisasi hanyalah suatu ilusi. Suatu ilusi bukanlah tidak nyata,sebagaimana dikatakan Baudrillard: “For illusion is not the opposite of reality, butanother more subtle reality which enwraps the former kind in the sign of itsdisappearance.” (Baudrillard, “Photographies”) . Ilusi adalah kenyataan senyata-nyatanya. Demikian pula dekolonisasi, ia adalah suatu ilusi: suatu ilusi bahwakolonialisme telah berakhir dan digantikan dengan complex interdependence .Kolonialisme dalam esensi awalnya –penanaman kompleks inferioritas– belumberakhir, hanya saja kini ia tidak kasat mata ( disappear).

“My Final Prayer: O my body, make of me always a man who questions! ”Frantz Fanon, “Black Skin, White Mask”, (1986, 232)

15 Simpulan ini tidak berpretensi menyimpulkan bahwa hanya terdapat dua bentuk perlawanandari kaum terjajah. Perlawanan -perlawanan lain bisa jadi ada, namun luput dari pandangan penulis.

Page 24: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

122

Daftar Pustaka

Buku dan Artikel dalam Buku

Adian, D. G., 2002. Menabur Kuasa Menuai Wacana . Basis, 1 (2), hlm. 42-49.

________, 2005. Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis -Struktural Jacques Lacan:Refleksi atas Ketegangan antara Has rat Memiliki dan Hasrat Menjadi . dalamM. Bracher, n.d. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial:Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis (terj. G. Admiranto). Yogyakarta &Bandung: Jalasutra.

Anderson, B., 2001. Imagined Communities: Komunitas -Komunitas Terbayang(terj. O. I. Naomi). Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar. (Naskah orisinilterbit tahun 1983).

Althusser, L., 1971. Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. dalam Darmawan ed.,2007. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi . Yogyakarta: Resist Book.

Bowie, M., 1979. Jacques Lacan. dalam J. Sturrock ed., 2004. Strukturalisme Post-Strukturalisme: dari Levi -Strauss ke Derrida (terj. M. Nahar). Surabaya:Jawa Pos Press.

Bracher, M., 2005. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: PengantarKritik-Budaya Psikoanalisis (terj. G. Admiranto). Yogyakarta & Bandung:Jalasutra. (Naskah orisinil terbit tahun 1997) .

Césaire, A., 1972. From Discourse on Colonialism . dalam P. Williams dan L.Chrisman ed., 1993. Colonial Discourse and Postcolonial Theory . London:Hertfordshir Wheatsheaf.

Eagleton, T., 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif , edisi kedua(terj. H. Widyawati dan E. Setyarini) . Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.(Naskah orisinil terbit tahun 1996) .

Fanon, F., 1986. Black Skin, White Masks (terj. C. L. Markmann). London: PlutoPress. (Naskah orisinil terbit tahun 1952) .

------------, 2000. Bumi Berantakan (terj. A. Asnawi). Jakarta: TepLOK Press.(Naskah orisinil terbit tahun 1963) .

Page 25: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

123

Foucault, M., 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan (terj. R. S. Hidayat).Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. (Naskah orisinil terbit tahun 1976) .

Gandhi, L., 1998. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat ,cetakan kedua (terj. Y. Wahyutri & N. Hamidah). Yogyakarta: Qalam. (Naskahorisinil terbit tahun 1998) .

Gouda, F., 2007. Dutch Culture Overseas: Pra ktik Kolonial di Hindia Belanda ,1900-1942 (terj. J. Soegiarto & S. R. Rusdiarti). Jakarta: PT Serambi IlmuSemesta. (Naskah orisinil terbit tah un 1995).

Gramsci, A., 1971. Selections from the Prison Notebooks (terj. Q. Hoare dan G. N.Smith). New York: International Publishers.

Hobson, J. A., 1965. Imperialism: A Study . Ann Arbor: University of MichiganPress. (Pertama kali terbit tahun 1902) .

Hobson, J. M., 2004. The Eastern Origin of Western Civilisation . Cambridge:Cambridge University Press.

Keohane, R. O., dan Joseph S. Nye eds., 1977. Power and Interdependence: WorldPolitics in Transition . Boston: Little, Brown.

Lacan, J., 1977. Écrits: A Selection (terj. A. Sheridan Penerj.). London: TavistockPublications.

Loomba, A., 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj. H. Hadikusumo).Yogyakarta: Bentang Budaya. (Naskah orisinil terbit pada tahun 2000) .

Munoz, H. ed., 1981. From Dependency to Development: Strategies to OvercomeUnderdevelopment and Inequality . Colorado: Westview Press.

Nkrumah, K., 1966. Neo-Colonialism: The Last Stage of Imperialism . New York:International Publishers. (Pertama kali terbit pada tahun 1965) .

Obadina, T., 2000. The Myth of Neo-Colonialism. Africa Economic Analysis.

Ritzer, G., 2005. Teori Sosial Postmodern , cetakan ketiga (terj. M. Taufik).Yogyakarta: Kreasi Wacana. (Naskah orisinil terbit tahun 1997) .

Sarup, M., 2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme, Sebuah PengantarKritis, cetakan kedua (terj. M. A. Hidayat). Yogyakarta: Penerbit Jendela.(Naskah orisinil terbit tahun 1993) .

Page 26: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

124

Said, Edward, 1996. Orientalisme, cetakan ketiga (terj. A. Hikmat). Bandung:Pustaka. (Naskah orisinil terbi t tahun 1978).

Sartre, Jean Paul, 1963. Kata Pengantar. dalam F. Fanon, 2000. Bumi Berantakan(terj. A. Asnawi). Jakarta: TepLOK Press.

Sindhunata, 2006. Kambing Hitam: Teori René Girard . Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.

Piliang, Y. A., 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas .Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Pozzolini, A., 2006. Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci (terj. Darmawan). Yogyakarta:Resist Book.

Majalah dan Surat Kabar

Haryatmoko, 2002. Kekuasaan Melahirkan Anti -Kekuasaan. Basis, 1 (2), hlm. 8-21.

Sutrisno, M., 2007. Kajian Humaniora Itu Penting! Kompas, 22 September.

Artikel dalam Jurnal Online

Baudrillard, J., n.d. Photographies. European Graduate School Faculty , [online]dalam http://www.egs.edu/faculty/baudrillard/baudrillard -photographies.html [diakses 28 Juli 2007].

Chakrabarty, D., 1992. Postcoloniality and the Artifice of History: Who Speaks for"Indian" Pasts?. Representations [online] Winter, 37, hlm. 1-26. dalamhttp://links.jstor.org/sici?sic i=0734-6018%28199224%290%3A37%3 C1%3APATAOH%3E2.0.CO%3B2 -W [diakses 2 Desember 2007].

Winnubst, S., 2004. Is the Mirror Racist? Interrogating the Space of Whiteness .Philosophy & Social Criticism , [online] 30 (1), hlm. 25-50, dalamhttp://psc.sagepub.com/cgi/content/abstract/30/1/25 [diakses 22 Oktober2007].

Page 27: Ilusi Dekolonisasi - Hizkia Yosie Polimpung [Global & Strategis, 2008]

Hizkia Y. S. Polimpung, “Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat ”,Global & Strategis , Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008, 98-125.

125

Artikel Online

Lenin, V. I., 1916. Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. Marxist InternetArchive, http://www.marxists.org/arc hive/lenin/works/1916/imp -hsc/index.htm [diakses 10 Oktober 2007].

Yew, L., 2002. Four Views of Imperialism and th e Transformation of its Meaning .dalam http://www.scholars.nus.edu.sg/post/poldiscourse/ neocolonialism1.html [diakses 23 Oktober 2007].