Upload
ratiih-purnamawatii
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Ilmuwan Membentuk Sel-sel Saraf Baru – Langsung di Dalam Otak
"Temuan ini merupakan bukti pertama yang penting untuk kemungkinan
memprogram-ulang sel lain menjadi sel saraf di dalam otak."
Bidang terapi sel, yang bertujuan membentuk sel-sel baru dalam tubuh untuk menyembuhkan
penyakit, telah mencapai langkah penting dalam pengembangan menuju pengobatan baru.
Laporan terbaru dari para peneliti di Universitas Lund, Swedia, menunjukkan cara yang
mungkin untuk memprogram-ulang sel-sel lain menjadi sel-sel saraf, secara langsung di
dalam otak.
Dua tahun yang lalu, para peneliti Universitas Lund merupakan yang pertama di dunia yang
berhasil memprogram-ulang sel kulit manusia, yang dikenal sebagai fibroblast, menjadi sel
saraf penghasil dopamin – tanpa harus mengambil jalan memutar melalui tahap sel punca.
Kelompok riset ini kini melangkah jauh ke depan dan menunjukkan cara memprogram-ulang
sel kulit maupun sel-sel pendukung menjadi sel-sel saraf, secara langsung pada tempatnya di
dalam otak.
Para peneliti menggunakan gen yang dirancang untuk diaktifkan atau dinonaktifkan dengan
menggunakan obat. Gen ini dimasukkan ke dalam dua jenis sel manusia: sel fibroblas dan
glia, atau sel pendukung yang hadir di dalam otak secara alami. Setelah
mentransplantasikannya ke dalam sel-sel otak tikus, gen itu lantas diaktifkan dengan obat
khusus yang dicampur ke dalam minuman tikus. Sel-selnya kemudian mulai melakukan
transformasi menjadi sel-sel saraf.
Pada eksperimen terpisah, di mana gen serupa disuntikkan ke dalam otak tikus, para
penelitian juga berhasil memprogram-ulang sel-sel glia dari tikus itu sendiri menjadi sel-sel
saraf.
Pada akhirnya, teknik baru pemrograman-ulang secara langsung di dalam otak ini dapat
membuka kemungkinan baru untuk lebih efektif mengganti sel-sel otak yang sudah mati pada
penderita penyakit Parkinson.
Ilmuwan Menghidupkan Kembali Embrio Katak yang Telah Punah
Genom seekor katak Australia yang telah punah berhasil dihidupkan dan diaktifkan kembali
oleh tim ilmuwan dengan menggunakan teknologi kloning yang canggih untuk menanamkan
inti sel “mati” ke dalam telur spesies katak lain yang masih segar.
Katak aneh perut-pengeram, Rheobatrachus silus – yang secara unik menelan telur-telurnya
untuk dierami di dalam perutnya, lalu melahirkannya melalui mulut – diketahui telah punah
sejak tahun 1983.
Namun tim Lazarus Project telah mampu memulihkan inti sel dari jaringan-jaringan
yang dikumpulkan pada tahun 1970-an dan yang selama 40 tahun tetap berada dalam sebuah
pendingin konvensional. Proyek ini bertujuan untuk menghidupkan kembali katak tersebut.
Dalam percobaan yang dilakukan secara berulang-ulang selama lima tahun, para peneliti
menggunakan teknik laboratorium yang dikenal sebagai transfer nuklir sel somatik. Mereka
memilih telur segar dari jenis katak yang berkerabat jauh, Mixophyes fasciolatus, mematikan
inti telurnya dan menggantinya dengan inti mati dari katak punah. Beberapa sel telur di
dalamnya spontan mulai membelah dan bertumbuh ke tahap embrio awal berupa bola kecil
sel hidup.
Meski tak ada embrio yang mampu bertahan lebih dari beberapa hari, tes genetik menegaskan
bahwa sel-sel yang membelah tersebut mengandung bahan genetik dari katak punah.
Ilmuwan Merancang “Usus Hidup” pada Sebuah Chip
'Usus pada chip', yang merupakan perangkat silikon polimer
seukuran stik memori komputer ini, meniru fitur-fitur 3D usus yang
kompleks dalam format miniatur.
Para peneliti Institut Rekayasa Biologis Wyss di Universitas
Harvard telah menciptakan perangkat-mikro ‘usus pada chip‘ yang
dilapisi sel-sel hidup manusia, yang meniru struktur, fisiologi, dan mekanika usus manusia –
bahkan mendukung pertumbuhan mikroba hidup dalam ruang luminal-nya. Sebagai alternatif
yang lebih akurat untuk kultur sel konvensional dan model hewan, perangkat-mikro ini bisa
membantu para peneliti memperoleh wawasan baru tentang penyakit gangguan pencernaan,
seperti penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, sekaligus berguna untuk mengevaluasi keamanan
dan kemanjuran pengobatan yang dianggap potensial.
Hasil riset yang dipublikasikan secara online dalam jurnal Lab on Chip ini menjadi terobosan
Institut Wyss dalam teknologi “Organ-on-Chip” yang menggunakan teknik fabrikasi-mikro
untuk membangun tiruan organ hidup.
‘Usus pada chip‘, yang merupakan perangkat silikon polimer seukuran stik memori komputer
ini, meniru fitur-fitur 3D usus yang kompleks dalam format miniatur. Pada bagian dalam
ruang pusatnya, satu lapisan sel epitel usus manusia yang bertumbuh pada membran berpori,
menciptakan penghalang usus. Membran ini menempel pada dinding-dinding sisi yang
membentang dan mengendur dengan bantuan pengontrol vakum. Deformasi mekanik siklis
ini meniru gerakan peristaltik mirip-gelombang yang memindahkan makanan di sepanjang
saluran pencernaan. Rancangan ini juga merekapitulasi antarmuka jaringan-ke-jaringan usus,
memungkinkan cairan mengalir di atas dan di bawah lapisan sel usus, meniru lingkungan-
mikro luminal pada satu sisi perangkat dan aliran darah melewati pembuluh kapiler pada sisi
lainnya.
Selain itu, para peneliti juga mampu menumbuhkan dan mempertahankan kelangsungan
hidup mikroba usus pada permukaan sel-sel usus terkultur ini. Hal ini, dengan demikian,
berguna untuk mensimulasikan beberapa fitur-fitur fisiologis yang penting dalam memahami
berbagai penyakit. Kombinasi kemampuan ini bisa menjadi alat diagnostik in vitro yang
berharga untuk lebih memahami penyebab dan perkembangan berbagai macam gangguan
pencernaan, sekaligus membantu mengembangkan pengobatan terapi yang aman dan efektif.
‘Usus pada chip‘ juga bisa digunakan untuk menguji daya serap metabolisme dan oral
terhadap obat-obatan dan nutrisi.
Peneliti Menggunakan Printer 3-D untuk Membuat Material Mirip Tulang
Temuan utama dari makalah ini adalah bahwa penambahan silikon dan seng menggandakan
lebih dari dua kali lipat kekuatan dari bahan utama, kalsium fosfat.
Ini terlihat seperti tulang. Rasanya seperti tulang. Untuk sebagian besar,
ini bertindak seperti tulang.
Dan ini hanya dihasilkan dengan sebuah printer inkjet.
Para peneliti Washington State University (WSU) menggunakan printer 3-D untuk membuat
bahan dan struktur mirip-tulang yang dapat digunakan dalam prosedur ortopedi, perawatan
gigi dan pengobatan osteoporosis. Dipasangkan dengan tulang yang sebenarnya, material ini
bertindak sebagai perancah untuk tulang baru bertumbuh dan akhirnya larut tanpa ada efek
sakit.
Para penulis melaporkan keberhasilan dalam pengujian in vitro dalam jurnal Dental
Materials dan menyatakan bahwa mereka sudah melihat hasil yang menjanjikan dengan tes in
vivo pada tikus dan kelinci. Ada kemungkinan bahwa para dokter akan bisa menggunakan
pengganti jaringan tulang ini dalam beberapa tahun ke depan, kata Susmita Bose, penulis
pendamping dan profesor di Sekolah Teknik Mesin dan Material WSU.
Materi yang bertumbuh hasil dari upaya interdisipliner selama empat tahun ini melibatkan
ilmu kimia, material, biologi dan manufaktur. Temuan utama dari makalah ini adalah bahwa
penambahan silikon dan seng menggandakan lebih dari dua kali lipat kekuatan dari bahan
utama, kalsium fosfat.
Para peneliti – yang meliputi profesor teknik mekanik dan material, Amit Bandyopadhyay,
mahasiswa doktoral Gary Fielding dan asisten penelitian Solaiman Tarafder – juga
menghabiskan waktu selama satu tahun untuk mengoptimalkan printer 3-D ProMetal yang
tersedia secara komersial, yang dirancang untuk membuat benda logam.
Printer ini bekerja dengan semprot inkjet pengikat plastik di atas wadah bubuk pada lapisan
20 mikron, sekitar setengah lebar rambut manusia. Dengan mengikuti arahan komputer,
printer ini menciptakan saluran silinder seukuran penghapus pensil.
Setelah hanya seminggu dalam sebuah medium dengan sel-sel tulang manusia dewasa,
perancah ini telah mendukung jaringan sel-sel tulang baru.
Penelitian ini didanai sebesar 1,5 juta dolar dari National Institutes of Health.
Bakteri pada Gigi Manusia Purba Menyimpan Catatan Evolusi Penyakit
"Komposisi bakteri mulut berubah signifikan seiring masa bercocok tanam, dan terjadi lagi
sekitar 150 tahun lalu."
Bukan hanya bakteri yang berdampak pada evolusi kita, sebaliknya, kita pun memberi
dampak pada evolusi bakteri, demikian hasil dari studi terbaru berdasarkan DNA bakteri
yang mengapur pada gigi tengkorak manusia purba.
Catatan genetik purba mengungkapkan perubahan negatif pada bakteri mulut yang
disebabkan perubahan pola makan saat manusia mulai beralih bercocok tanam, dan
selanjutnya beralih pada makanan manufaktur di era Revolusi Industri.
Sebuah tim internasional, di bawah pimpinan Centre for Ancient DNA (ACAD) University of
Adelaide, tempat dilakukannya penelitian, telah menerbitkan hasil temuan ini dalam Nature
Genetics edisi 17 Februari. Anggota tim lainnya berasal dari Departemen Arkeologi di
University of Adelaide dan Institut Sanger Wellcome Trust di Cambridge, Inggris.
“Ini adalah catatan pertama tentang bagaimana evolusi kita selama 7500 tahun terakhir telah
berdampak pada bakteri yang kita bawa, beserta konsekuensi-konsekuensi kesehatan yang
penting,” kata Profesor Alan Cooper, Direktur ACAD, “Bakteri mulut manusia modern
cenderung tidak begitu beragam dibanding pada masyarakat di masa lalu, dan hal ini diduga
berkontribusi terhadap penyakit mulut kronis serta berbagai penyakit lainnya dalam gaya
hidup pasca-industri.”
Para peneliti mengekstrak DNA dari tartar (plak gigi yang mengapur) yang berasal dari 34
kerangka manusia prasejarah asal Eropa utara. Mreka menelusuri perubahan sifat-sifat bakteri
mulut dari para pemburu-pengumpul terakhir, berlanjut ke para petani awal hingga ke Zaman
Perunggu dan abad pertengahan.
“Plak gigi merupakan satu-satunya sumber yang mudah untuk memperoleh bakteri manusia
yang terawetkan,” kata pemimpin penulis Dr. Christina Adler dari University of Sydney,
“Analisis genetik pada plak dapat menciptakan catatan baru yang kuat tentang dampak dari
pola makan, perubahan kesehatan serta evolusi genom patogen mulut, jauh hingga ke masa
lalu.”
“Komposisi bakteri mulut berubah signifikan seiring masa bercocok tanam, dan terjadi lagi
sekitar 150 tahun lalu,” lanjut Profesor Cooper, “Dengan diperkenalkannya gula dan tepung
olahan dalam Revolusi Industri, kami dapat melihat keragaman dalam bakteri mulut kita
menurun secara drastis, memungkinkan didominasi oleh strain penyebab pelapukan. Mulut
manusia modern pada dasarnya berada dalam keadaan penyakit permanen.”
Dalam riset ini, Profesor Cooper bekerja sama dengan profesor arkeolog Keith Dobney dari
University of Aberdeen selama 17 tahun terakhir. “Saya telah menunjukkan bahwa endapan
tartar yang umumnya ditemukan pada gigi purba adalah bakteri dan makanan yang mengapur
menjadi padat, namun tak bisa mengidentifikasi spesies dari bakteri tersebut. DNA purba
merupakan jawaban yang jelas,” ungkap Dobney.