20
PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP: SUATU SOLUSI PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH YANG BERBASIS KOMPETENSI 1 A. IKA RAHUTAMI 2 Abstract Globalization and decentralization are two issues that affect region’s management more complex. The consequences of those issues make the kabupaten/kota’s government can not depend on development subsidies. Beside that, kabupaten/kota’s government have to compete in the global trade. Core competency building is the best solution for facing those consequences, that can be bulid by creating synergy among government, business and communities. The synergy called the public private partnership. But, the main problems of public private partnership implementation in Jawa Tengah region are the low education level, heterogeneity of natural resources and weakness of business network. The first steps that can be designed for these problems are empowering the public private partnership and developing the region based on existing potency. GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH : SEBUAH PELUANG Globalisasi dan pemberlakuan otonomi daerah merupakan dua isu utama yang muncul dewasa ini telah memberikan konsekuensi yang semakin kompleks dalam pengelolaan suatu daerah. Globalisasi adalah suatu fenomena pergerakan arus informasi, teknologi, budaya dan ekonomi yang bergerak secara cepat - sesuai dengan mekanisme pasar - melewati batas negara/daerah (borderless country/region) sehingga menyebabkan perekonomian suatu negara/daerah 1 Dipresentasikan dalam Serial discussion Otonomi Daerah di Unika Soegijapranata, Agustus 2001. Telah dimuat di Jurnal Ekonomi 2 Dosen FE Unika Soegijapranata, peneliti di P3M FE Unika Soegijapranata. 1

Ika Rahutami Otonomi Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ika Rahutami Otonomi Daerah

PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP: SUATU SOLUSI PENYELENGGARAAN

OTONOMI DAERAH YANG BERBASIS KOMPETENSI1

A. IKA RAHUTAMI2

Abstract

Globalization and decentralization are two issues that affect region’s management more complex. The consequences of those issues make the kabupaten/kota’s government can not depend on development subsidies. Beside that, kabupaten/kota’s government have to compete in the global trade. Core competency building is the best solution for facing those consequences, that can be bulid by creating synergy among government, business and communities. The synergy called the public private partnership. But, the main problems of public private partnership implementation in Jawa Tengah region are the low education level, heterogeneity of natural resources and weakness of business network. The first steps that can be designed for these problems are empowering the public private partnership and developing the region based on existing potency.

GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH : SEBUAH PELUANG

Globalisasi dan pemberlakuan otonomi daerah merupakan dua isu

utama yang muncul dewasa ini telah memberikan konsekuensi yang semakin

kompleks dalam pengelolaan suatu daerah. Globalisasi adalah suatu

fenomena pergerakan arus informasi, teknologi, budaya dan ekonomi yang

bergerak secara cepat - sesuai dengan mekanisme pasar - melewati batas

negara/daerah (borderless country/region) sehingga menyebabkan

perekonomian suatu negara/daerah menjadi “fully integrated” dengan

ekonomi dunia. Konsekuensi dari berlakunya mekanisme pasar akibat

globalisasi adalah terjadinya persaingan baik dalam pasar domestik maupun

pasar internasional secara ketat baik dalam bentuk perdagangan

internasional, masuknya arus investasi dalam bentuk Foreign Direct

Investment (FDI) maupun penganekaragaman jenis portofolio di capital

market (www.worldbank.org) .

Sesuai dengan mekanisme pasar, maka kemampuan suatu daerah

untuk berkompetisi di pasar global menjadi sangat penting. Agar suatu

daerah dapat berkompetisi dengan daerah yang lain maka sebaiknya pola

1 Dipresentasikan dalam Serial discussion Otonomi Daerah di Unika Soegijapranata, Agustus 2001. Telah dimuat di Jurnal Ekonomi2 Dosen FE Unika Soegijapranata, peneliti di P3M FE Unika Soegijapranata.

1

Page 2: Ika Rahutami Otonomi Daerah

pembangunan didasarkan pada potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut

atau biasa disebut pembangunan yang didasarkan pada core-comptence.

Dengan konsep pembangunan yang berdasarkan pada kompetensi maka

suatu daerah akan terdeferensiasi dari daerah lain berdasarkan potensi yang

dimiliki. Pembangunan yang didasarkan pada kompetensi masing-masing

daerah akan menghasilkan sektor/produk unggulan yang mampu

berkompetisi di pasar global. Pemikiran ulang mengenai ruang lingkup dan

intensitas keterlibatan pemerintah tampaknya merupakan hal yang penting

untuk dilakukan dalam pembangunan yang berbasis kompetensi, mengingat

peran sentral pemerintah yang selama ini dilakukan telah menciptakan

"social waste" yang merugikan semua pihak baik masyarakat (sebagai

konsumen dan produsen) maupun pemerintah. Dalam era globalisasi

sekarang ini "social waste" harus dihilangkan karena menjadi "socially

undesirable” yang menurunkan daya saing suatu negara/daerah (Marzuki

Usman, 1997).

Dengan demikian perubahan fokus pemerintahan dari sentralistis

menjadi desentralistis merupakan suatu hal yang tidak dapat terelakkan.

Dengan menempatkan daerah dalam fokus pemerintahan yang desentralistis,

maka peluang pemberdayaan daerah baik secara sosial, ekonomi maupun

politik akan lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena sebenarnya pemerintah

daerahlah yang lebih mengerti akan kebutuhan, kapabilitas, potensi dan

faktor-faktor lain yang berkaitan dengan pembangunan dibandingkan dengan

pemerintah pusat.

Perubahan konsep pemerintahan dari sentralistis menjadi

desentralistis sejalan dengan konsep otonomi daerah yang diterapkan

dewasa ini. Otonomi daerah itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu

bentuk kebijakan desentralisasi pemerintahan dan fiskal. Desentralisasi

pemerintahan membawa implikasi suatu daerah diberi wewenang yang lebih

luas dalam proses perencanaan sampai dengan pengawasan atas

pembangunan yang terjadi di daerahnya. Sedangkan desentralisasi fiskal

lebih menitikberatkan pada kemampuan daerah dalam menciptakan dan

mengelola keuangannya. Efek utama dari desentralisasi fiskal adalah

peningkatan alokasi sumberdaya sehingga pada akhirnya akan

2

Page 3: Ika Rahutami Otonomi Daerah

meningkatkan efisiensi ekonomi. Peningkatan efisiensi ekonomi tersebut

dapat dilakukan dalam bentuk (Loehr and Manasan, 2001) :

1. Efisiensi produksi terhadap biaya produksi barang dan jasa. Terdapat tiga

hal penting dalam mencapai efisiensi produksi yaitu (a) biaya penyediaan

jasa lokal harus bersaing dengan biaya jasa standar, (b) perubahan

struktural dan (c) kapabilitas daerah

2. Efisiensi alokatif. Efisiensi alokatif menuntut keserasian antara

pengeluaran pemerintah dengan kebutuhan/preferensi masyarakat.

Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu (a) pemda harus dapat

mendeteksi permintaan masyarakat, (b) barang dan jasa yang disediakan

oleh unit pemda seharusnya dibiayai oleh pajak/retribusi daerah dan (c)

pembuat keputusan di pemda harus dapat diterima (accountable) oleh

konstituennya

3. Efisiensi fiskal. Terdapat tiga hal yang penting yaitu (a) pungutan pajak

daerah harus memberikan imbalan jasa bagi masyarakat, (b) sistem

finasial pemda harus mampu menciptakan stabilitas ekonomi makro.

Efisiensi dapat terwujud dengan asumsi dasar bahwa pemerintah daerah

dapat mengidentifikasi secara lebih tepat kebutuhan masyarakat dan

memobilisasi penggunaan sumberdaya lokal sehingga memiliki impak

yang lebih spesifik.

Pencapaian efisiensi ekonomi tersebut akan mengakibatkan daerah tersebut

mampu berkompetisi di pasar global serta mencapai kemandirian ekonomi.

Dengan demikian konsep otonomi daerah dapat dijadikan satu pijakan

bagi daerah dalam memasuki era globalisasi karena pelaksanaan otonomi

daerah akan menyebabkan daerah tersebut mampu (Awani Irewati, 2001):

1. Menciptakan kemandirian entitas publik lokal berdasar area geografi

2. Mewujudkan konsep citizen self government oleh warga di daerah sendiri

3. Menekan disparitas sosial ekonomi lewat penyebaran kegiatan ekonomi

yang tidak hanya berpusat pada kota tertentu saja.

PPP SUATU SOLUSI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI ERA

GLOBALISASI

Pertanyaan yang muncul dari keterkaitan antara otonomi daerah

dengan globalisasi adalah siapa yang akan menjadi pelaku dalam proses

pembangunan tersebut? Bila pemberlakuan otonomi daerah dalam era

3

Page 4: Ika Rahutami Otonomi Daerah

globalisasi menuntut suatu daerah kembali menata pembangunan

ekonominya agar memiliki core-competence sehingga daerah tersebut akan

mampu bertahan, berkembang dan bersaing dengan daerah lain maka

diperlukan sinergi antar segenap pelaku ekonomi. Suatu konsep yang dapat

digunakan adalah Public-Private Partnership (PPP).

Konsep PPP pertama kali muncul pada Juni 1998 di British Columbia.

Konsep PPP merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah dengan sektor

swasta dalam menyediakan jasa, fasilitas dan infrastruktur

(www.marh.gov.bc.ca). Karakteristik dari PPP adalah kemitraan yang

didalamnya terdapat sharing antara pemerintah dan swasta dalam bentuk

investasi,resiko, tanggung jawab dan reward. Kemitraan tersebut tidak

dibangun pada aturan dan pola tanggung jawab yang seragam, namun

biasanya bervariasi antara poyek yang satu dengan yang lain. Konsep PPP

dapat pula tidak hanya dipandang dari sisi public dan private sector saja.

Menurut UNDP pelaku PPP dapat dikembangkan menjadi 3 unsur yaitu

(Hardijanto, 2000):

1. Negara, berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang

kondusif.

2. Swasta, mendorong terciptanya lapangan kerja dan pendapatan

masyarakat.

3. Masyarakat, mewadahi interaksi sosial politik, memobilisasi kelompok

dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sosial

dan politik.

Konsep ini juga dikenal sebagai triangle synergi antara government, business

dan communities.

Penggunaan PPP dalam pelaksanaan otonomi daerah tidaklah

semudah konsepnya. Hal yang harus diingat adalah bahwa PPP sebenarnya

bukan merupakan solusi instant dalam mendeliver seluruh jasa

(www.marh.gov.bc.ca). Secara historis sinergi antara public dan private

sector bukan hal yang mudah, karena adanya perbedaan “nilai” di antara

keduanya. Konsep “empowerment dan customer focus” di swasta sulit

diserap oleh sektor publik dan sebaliknya kepentingan swasta terhadap profit

tidak selalu sejalan dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Penerapan

PPP harus memperhitungkan cost-benefit yang muncul. Penggunaan PPP

4

Page 5: Ika Rahutami Otonomi Daerah

akan memberi keuntungan berupa penghematan biaya, pembagian resiko,

peningkatan kualitas layanan atau pemeliharaan kualitas layanan,

peningkatan pendapatan, implementasi yang lebih efisien dan adanya

keuntungan ekonomis. Sedangkan resiko yang mungkin muncul adalah

hilangnya kontrol dari pemda, naiknya biaya, resiko politis, akuntabilitas yang

buruk, pengurangan kualitas atau efisiensi layanan, bias dalam proses seleksi

dan masalah tenaga kerja.

Walaupun pelaksanaan otonomi daerah dengan menggunakan konsep

PPP tidaklah mudah, bagaimanapun juga otonomi daerah dan globalisasi

haruslah dihadapi. Untuk itu penerapan PPP yang dibarengi dengan konsep

core –competence diharapkan dapat mereduksi resiko yang ada dan adanya

perbedaan nilai yang muncul antara pihak pemerintah dan swasta.

PERMASALAHAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI

JAWA TENGAH

Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten dan kota harus melihat

otonomi daerah dan arus globalisasi sebagai suatu peluang.

Permasalahannya adalah bagaimana kabupaten/kota di Jawa Tengah mampu

menggunakan peluang otonomi daerah dan globalisasi dalam membangunan

daerahnya. Bila kabupaten/kota di Jawa Tengah hendak menggunakan PPP

sebagai suatu strategi pelaksanaan otonomi daerah, maka sebelumnya perlu

dikaji karakteristik dasar dari ekonomi makro yang muncul di Jawa Tengah.

Kajian ini akan mengentengahkan beberapa karakteristik dasar ekonomi

makro di Jawa Tengah. Walaupun secara konseptual pelaksanaan otonomi

daerah terdapat pada kabupaten/kota, namun karakteristik dasar ekonomi

makro yang terjadi di tingkat propinsi secara rata-rata hampir selalu terjadi

pula di kabupaten/kota. Data ekonomi makro yang dipaparkan dalam kajian

ini juga menunjukkan fenomena yang tengah terjadi di kabupaten/kota.

Permasalahan makro yang muncul di Jawa Tengah antara lain :

5

Page 6: Ika Rahutami Otonomi Daerah

1. Ketergantungan pada dana bantuan pemerintah pusat dan

kekurangmampuan dalam penggalian PAD. Salah satu syarat untuk

menjalankan otonomi daerah adalah adanya kemandirian ekonomi dan

keuangan daerah. Sebaran data tahun 1996/1997-2000/2001 di Jawa

Tengah mengenai Pendapatan Asli Daearah (PAD), pajak daerah dan

bantuan pembangunan menunjukkan bahwa bantuan pembangunan lebih

besar dibandingkan dengan PAD. Pergerakan PAD dari tahun 1996/1997

sampai dengan 2000/2001 secara rata-rata menunjukkan peningkatan

sebesar 16,54%.

Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, BPS

Gambar 1. Fluktuasi PAD Dan Bantuan Pembangunan Jawa Tengah

1996/1197-2000/2001

Pada mengalami penurunan pada tahun anggaran 1997/1998-1998/1999

sebesar –32,96%. Penurunan ini disebabkan karena adanya krisi ekonomi

yang menimpa Indonesia sehingga selai PAD, penurunan juga terjadi pada

bantuan pemerintah darri pusat. PAD menunjukkan kenaikan yang cukup

besar pada tahun 1998/1999-2000/2001 berturut-turut sebesar 30,27%,

dan 58,74%. Pola pergerakan pajak daerah sejalan dengan pola

pergerakan PAD. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan PAD salah

6

Page 7: Ika Rahutami Otonomi Daerah

satunya ditentukan oleh besarnya nilai pajak daerah. Fenomena yang

menarik terjadi pada tahun 2000/2001 dimana PAD mampu melebihi

bantuan pembangunan (nilai PAD sebesar Rp 505.660.011,60 ribu

sedangkan nilai bantuan pembangunan sebesar Rp 454.021.605 ribu).

Kondisi ini menunjukkan kemandirian Jawa Tengah dalam hal keuangan

semakin membaik.

Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, BPS

Gambar 2. Komposisi PAD 1996/1997-2000/2001

PAD sebagai tulang punggung keaungan daerah dibentuk dari pajak

daerah, retribusi, laba daerah, penerimaan dinas dan penerimaan lain.

Dari tahun 1996/1997-2000/2001 pajak daerah merupakan unsur yang

dominan dalam pembentukan PAD. Pajak daerah memberikan kontribusi

sebesar rata-rata 80,24% setiap tahunnya. Pada tahun 2000/2001

proporsi pajak daerah dalam pembentukan PAD mengalami penurunan,

sehigga hanya menyumbang 77,56% dari seluruh PAD yang ada.

Penerimaan dinas merupakan penyumbang terkecil dalam pembentukan

PAD. Bahkan pada tahun 1999/2000 dan 2000/2001 penerimaan dinas

tidak memberikan kontribusinya (0%). Sebenarnya proses penggalian

7

Page 8: Ika Rahutami Otonomi Daerah

pajak sebagai sumber penerimaan daerah telah didukung dengan

dikeluarkannya UU No. 34/2000 yang merupakan revisi dari UU No.

18/1997. UU No. 34/2000 memungkinkan suatu daerah untuk

menciptakan pajak dan retribusi baru. Kondisi ini memiliki nilai positif

karena menciptakan potensi baru bagi PAD namun bila tidak diterapkan

secara bijaksana akan menciptakan disentif bagi investor, terutama bila

sebagian besar pungutan tadi dilakukan dalam proses produksi dan bukan

hasil produksi.

2. Budaya sektor swasta yang cenderung “one man show” dan kurang

terciptanya integrasi antar perusahaan kecil, menengah dan besar

maupun antar industri. Menurut klasifikasi, industri dapat dibedakan

menjadi 3 jenis industri yaitu Industri Logam Mesin Dan Kimia (ILMK),

Industri Aneka (IA) dan Industri Hasil Pertanian Dan Kehutanan (IHPK).

Sedangkan berdasarkan skala industri dipisahkan menjadi Industri Besar

dan Industri Kecil dan Menengah.

Sumber : Jawa Tengah dalam angka, BPS

Gambar 3. Komposisi Industri Besar Dan Industri Kecil Menengah

Jawa Tengah Tahun 2000

Kenyataan industrialisasi di Jawa Tengah menunjukkan bahwa secara

kuantitas Industri Kecil Menengah memiliki prosentase yang besar, namun

8

Page 9: Ika Rahutami Otonomi Daerah

prosentase permodalan dan nilai produksinya relatif kecil. Sedangkan

Industri Besar secara kuantitas tidaklah sebanyak Industri Kecil Menengah

namun memiliki nilai investasi yang tinggi. Dengan menggunakan data

tahun 2000 terlihat bahwa untuk IHPK, 73,60% produksi dan 86,45%

investasi dikuasai oleh industri besar sedangkan industri kecil menengah

lebih dominan dalam penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit usaha.

Industri kecil menengah IHPK menyerap 82,63% dari seluruh tenaga kerja

yang ada dengan jumlah unit usaha mencapai 99,93%. Fenomena yang

sama terjadi pula di Industri Aneka dan Industri Logam, mesin dan kimia.

Industri besar cenderung mendominasi nilai produksi dan investasi,

sedangkan industri kecil menengah cenderung dominan dalam

penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit usaha. Dari komposisi ini

sebenarnya Jawa Tengah harus memiliki strategi yang tepat untuk

mengembangkan sektor industri. Sehingga dominasi tersebut tidak

mematikan industri kecil menengah yang mampu menyerap tenaga kerja

sangat banyak. Permasalahan berikut yang perlu dicermati adalah apakah

industri tersebut mengolah sumber daya dari dalam daerah itu sendiri

atau hanya bertindak sebagai assembler dengan input diperoleh dari luar

daerah tersebut. Kondisi ini akan bersifat sangat heterogen antar daerah

karena tergantung pada SDA yang tersedia di daerah itu.

3. Heterogenitas sumber daya alam. Dalam UU 25/1999 terlihat bahwa

sumber daya alam merupakan salah satu unsur PAD yang potensial. SDA

meliputi unsur-unsur pertanian (tanaman, perkebunan, kehutanan,

peternakan dan perikanan) serta pertambangan. Dari data Jawa Tengah

dalam angka tampak bahwa tidak semua kabupaten/kota di Jawa Tengah

memiliki potensi dalam sektor pertanian dan pertambangan. Misalnya sub

sektor perkebunan kopi dan pala hanya terdapat di Kab. Semarang,

sedangkan cengkeh, kapok dan karet terdapat di Kab. Kendal, perikanan

banyak terdapat di Tegal, peternakan sapi perah terdapat di Kab. Boyolali

dan tambangan minyak bumi terdapat di Kab. Blora. Permasalahannya

adalah pengembangan daerah dengan menggunakan basis SDA haruslah

memperhatikan unsur nilai tambah (value added). Hal ini disebabkan

karena nilai tukar SDA relatif rendah dan tidak stabil. Dengan demikian

harus dipikirkan bagaimana potensi SDA tersebut mampu mendatangkan

9

Page 10: Ika Rahutami Otonomi Daerah

investasi yang pada gilirannya akan menciptakan potensi-potensi terkait

lainnya.

4. Kualitas sumber daya manusia. Salah satu faktor penentu kualitas SDM

adalah tingkat pendidikan. Pada tahun 2000 tingkat pendidikan

masyarakat kabupaten/kota di Jawa Tengah masih tidak memadai.

Sumber : Jawa Tengah dalam angka, BPS

Gambar 3. Komposisi Pendidikan Penduduk Jawa Tengah Tahun 2000

Jawa Tengah masih didominasi oleh penduduk yang hanya menamatkan

SD mencapai prosentase sebesar 35,98% sedangkan yang tidak tamat SD

sebesar 23,92%. Prosentase penduduk yang lulus SMA dan Universitas

hanya sebesar 11,52% dan 1,22%. Dengan komposisi tersebut maka

membawa implikasi terhadap kualitas tenaga kerja yang hanya masuk

dalam kategori unskilled labor. Kondisi ini menyebabkan lapangan kerja

yang dapat dimasuki pun hanya pekerjaan yang bersifat tradisional. Bila

unskilled labor tersebut masuk dalam sektor yang lebih modern maka

hanya akan menempati level pekerjaan yang rendah. Dengan asumsi

bahwa pendidikan akan mempengaruhi kemampuan, kinerja dan

produktivitas pekerjaan, maka dengan komposisi pendidikan seperti

tersebut di atas akan dibutuhkan kerja keras untuk melaksanakan

otonomi daerah dan memasuki dunia global.

5. Tuntutan untuk menjadikan suatu daerah terdeferensiasi dari daerah lain

serta mampu berkompetisi pada pasar global membutuhkan perubahan

budaya aparat pemerintahh. Budaya aparat pemerintah yang lebih

10

Page 11: Ika Rahutami Otonomi Daerah

bersifat sebagai perencana, pelaksana dan evaluator pembangunan yang

bersifat sentralistik harus berubah menjadi berjiwa enterpreneur, enabler

dan fasilitator.

LANGKAH AWAL PENATAAN JAWA TENGAH DALAM KERANGKA

OTONOMI DAERAH

Pemahaman atas karakteristik makro daerah dapat digunakan sebagai

langkah awal pelaksanaan otonomi daerah dengan menggunakan

pendekatan PPP. Tentu saja akan terdapat berbagai modifikasi pelaksanaan

pada masing-masing daerah sesuai dengan heterogenitas yang ada di daerah

tersebut. Bila tuntutan atas efisiensi penyelenggaraan pembangunan,

kemandirian keuangan, penyiapan sektor yang memiliki keunggulan

kompetitif, perubahan budaya pelaku pembangunan serta permasalahan

rendahnya kualitas sumber daya manusia, heterogenitas potensi sumber

daya alam serta kesenjangan antar industri akan diselesaikan dengan

menggunakan konsep PPP maka beban pelaksanaan otonomi daerah tidak

dapat diserahkan hanya pada salah satu komponen pembangunan saja.

Langkah awal penerapan PPP adalah pembenahan pada tiga

komponen pembangunan yaitu government, business dan communities. Hal

ini didasarkan pada pemikiran bahwa pembentukan budaya dan perilaku

aparat pemerintahan, swasta dan masyarakat menjadi dasar dari proses

berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan klarifikasi fungsi dan peran masing-

masing komponen pembangunan sesuai dengan kemampuan dan dinamika

yang dimilikinya (Ramdhansyah, 2001) . Fungsi dan peran yang dibentuk

adalah :

1. Pemerintah sebagai pemampu (enabler) diharapkan mampu

mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh kedua komponen

lainnya. Pemerintah bertindak sebagai pengatur (steering) arah

pembangunan, menetapkan kebijakan, menentukan sistem birokrasi,

prosedur dan menyiapkan infrastruktur yang dibutuhkan oleh kedua

komponen. Perubahan peran organisasional ini membutuhkan perbaikan

manajerial di sektor publik yang berorientasi pada pengembangan budaya

organisasi yang tidak terlalu birokratis. Budaya yang harus dikembangkan

berangkat dari nilai-nilai birokrasi tradisional ke kemampuan mengadopsi

11

Page 12: Ika Rahutami Otonomi Daerah

perubahan, fleksibilitas, kewirausahaan, orientasi terhadap hasil, efisiensi

dan produktivitas (Parker, Bradley, 2000).

2. Sektor swasta akan berperan sebagai roda ekonomi. Peran ini akan

berjalan dengan baik bila lingkungan dan kebijakan yang disediakan oleh

pemerintah bersifat kondusif sehingga memberi keleluasaaan sektor

swasta untuk bergerak secara ekonomis. Kondisi ini akan menciptakan

suatu mekanisme pasar yang bersih sehingga akan memacu

pertumbuhan sektor lain.

3. Sedangkan peran masyarakat yang selama ini sebagai obyek

pembangunan harus diubah menjadi subyek pembangunan melalui

pemberdayaan (empowerment) masyarakat mampu berpartisipasi dalam

proses pembangunan dan memiliki jiwa kewirausahaan.

Langkah kedua adalah pengembangan daerah yang berdasarkan pada

potensi masing-masing daerah dengan memperhatikan heterogenitas SDA,

kualitas SDM, dan struktur industri. Pada langkah kedua ini sinergi antara 3

komponen pembangunan diarahkan untuk melakukan pembangunan yang

berbasis kompetensi. Pada tahap ini pemerintah-swsata harus dapat

melihat/mengidentifikasi potensi daerahnya. Pemerintah akan memberikan

arah pembangunan yang jelas, menyediakan infrastruktur yang memadai,

sedangkan swasta-masyarakat akan bertindak sebagai penggerak

perekonomian. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini adalah :

1. Dilakukannya perbaikan kualitas SDM, melalui penyediaan pendidikan.

Rendahnya tingkat pendidikan ini akan sangat berpengaruh pada

kemampuan berkompetisi. Maka pemerintah perlu melakukan peran

sebagai penyedia layanan publik khususnya fasilitas pendidikan. Upaya

penyediaan pendidikan ini dapat pula dilakukan kerjasama dengan sektor

swasta. Pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan tentang

pendidikan misalnya melalui program wajib belajar yang diperluas.

2. Untuk daerah yang kaya akan SDA, hal yang harus diperhatikan adalah

pemanfaatan potensi SDA haruslah mampu menciptakan value added.

Adanya industri ayng memanfaatkan potensi SDA daerah itu sendiri akan

menciptakan multiplier effect bagi kesejahteraan dan bagi penggalian

PAD.

12

Page 13: Ika Rahutami Otonomi Daerah

3. Untuk daerah yang tidak memiliki potensi SDA maka pengembangan

ekonomi dapat diarahkan ke sektor perdagangan, jasa dan industri. Basis

kompetensi masih digunakan dalam proses ini, sehingga barang dan jasa

yang ditawarkan, jenis industri yang dikembangkan tetaplah

terdeferensiasi dari daerah lain karena perbedaan potensi daerah yang

ada.

4. Pemanfaatan SDA, pengembangan perdagangan, jasa dan industri perlu

memperhatikan unsur keterkaitan ke depan dan ke belakang antar sektor.

Peran pemerintahlah untuk menyiapkan kebijakan yang mendukung

keterkaitan tersebut, sedangkan swasta akan berperan untuk melakukan

sinergi antar perusahaan maupun antar industri agar tercipta struktur

ekonomi yang kokoh.

Dengan melakukan langkah kedua tersebut, maka pengembangan

daerah yang berbasis kompetensi melalui konsep PPP diharapkan akan

mampu menumbuhkan kemandirian ekonomi serta kemampuan berkompetisi

pada masing-masing kabupaten/kota. Dengan kemandirian ekonomi dan

kemampuan berkompetisi tersebut, maka dengan sendirinya sumber

penerimaan daerah (PAD) akan menjadi lebih luas sehingga akan mudah

dilakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi dalam penggalian sumber

penerimaan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

_______, A Process Of Organisational Change Has Accompanied Managerial Reforms In The Public Sector And Is Oriented Towards The Development Of A Post-Bureaucratic Organisational Culture, Emerald Abstract, www.emerald-library.com, didownload tanggal 20-07-2001

_______, Economic or Market Decentralization, www.market.worldbank.org, didownload tanggal 19-07-2001

_______, Potential Impacts Of Decentralization, www.impact.worldbank.org , didownload tanggal 19-07-2001

_______, Public And Private Values At Odds: Can Private Sector Values Be Transplanted Into Public Sector Institutions?, Emerald Abstract, www.emerald-library.com, didownload tanggal 20-07-2001

_______, Public Private Partnership, www.marh.gov.bc.ca , didownload tanggal 19-07-2001

________, Assesing Globalization, www.worldbank.org, didownload tanggal 19-07-2001

13

Page 14: Ika Rahutami Otonomi Daerah

Awani Irewati, Belajar Otonomi Dari Jepang, www.otoda.or.id, didownload tanggal 19-07-2001

Hardijanto (2000639582*1), Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance, www.kbw.go.id , didownload tanggal 17-06-2001

Larson P, (1997), Public Administration and Development, www.emerald-library.com, didownload tanggal 20-07-2001

Loehr, William, Manasan, Rosario, Briefing Note For Consulting Assistance on Economic Reform II Discussion Paper No. 38 Fiscal Decentralization and Economic Efficiency: Measurement and Evaluation, www.hiid.harvard.edu , didownload tanggal 15-06-2001.

Parker, Rachel, Bradley, Lisa, (2000 ), Organisational Culture In The Public Sector: Evidence From Six Organisations (abstract), Journal: International Journal of Public Sector Management Volume: 13 Number: 2 , www.emerald-library.com, didownload tanggal 20-07-2001

Siregar, Ramdhansyah, www.referensi.untuk.mu , didownload 19-07-2001.Usman, Marzuki, Meninjau Peran Pemerintah dalam Ekonomi Pasar ,

www.pacific.net.id, didownload tanggal 19-07-2001Wilkinson, David, (1997 ), Whole System Development - Rethinking

Public Service Management (abstrract), Journal: International Journal of Public Sector Management Volume: 10 Number: 7 , www.emerald-library.com , didownload tanggal 20-07-2001

14

Page 15: Ika Rahutami Otonomi Daerah

Curriculum Vitae

Nama : Angelina Ika RahutamiTempat/Tanggal Lahir : Yogyakarta, 22 Februari 1968Jenis Kelamin : PerempuanAlamat Rumah : Taman Bukit Hijau,

Jl. Mawar II/10, Semarang Telp. 024 613879

Pendidikan terakhir : S2 Fakultas Pasca Sarjana UGM, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial

Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, 1993-1995

Jabatan Akademis : Asisten Ahli (IIIB)Pekerjaan : Dosen Fakultas Ekonomi,

Unika Soegijapranata, Semarang

PENGALAMAN KERJA DALAM BIDANG PENELITIANHasil Penelitian1. 1997, Analisis Pengaruh Penanaman Modal Asing Terhadap

Arus Perdagangan di Indonesia, FE USAKTI.2. 1998, Keterkaitan antara Aktivitas Ekonomi, Kebijakan

Ekonomi Makro dan Inflasi di Indonesia 1980.01 - 1997.12 (Model Vector Autoregression), FE Unika Soegijapranata.

3. 1999, Analisis Kinerja Sektor Agribisnis di Jawa Tengah, (bersama Dwi Hayu Agustini), FE Unika Soegijapranata.

4. 1999, Dampak Bantuan Pembangunan Dati II Di Jawa Tengah, Kerjasama P3M FE Unika Soegijapranata Bappeda Tk I Jawa Tengah (Anggota).

5. 2000, Stress Kerja Karyawan BPR (Studi Kasus Perbarindo Semarang), (Bersama Agatha Ferijani), Fakultas Ekonomi, Unika Soegijapranata.

6. 2000, Kajian Sektor Unggulan di Jawa Tengah, FE Unika Soegijapranata.

7. 2000, Kajian Kesiapan Otonomi Daerah (antara Persepsi dan Indikator riil), (bersama Sem Karunia H), Bappeda Tk I Jawa Tengah.

8. 2000, Penentuan Dan Kajian Sektor Unggulan Di Jawa Tengah, FE Unika Soegijapranata.

9. 2001, Analisis Pengaruh Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Efisiensi Ekonomi Indonesia (1980.1-1999.4), Lembaga Penelitian Unika Soegijaparanata- Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia.

Karya Ilmiah Yang dipublikasikan

1. 1994, Jumlah Uang Beredar : Rule Atau Diskretion, Jurnal Ekonomi Bisnis Indonesia, FE UGM.

15

Page 16: Ika Rahutami Otonomi Daerah

2. 1996, Pengaruh Peningkatan Produksi Sektor Polutif Terhadap Kualitas Lingkungan di Indonesia, Analisis Input-Output, (bersama Sri Yani Kusumastuti), dalam Daya Saing Perekonomian Indonesia, menyongsong Era Pasar Bebas, MEP, FE USAkti.

3. 1997, Pengendalian Polusi di Indonesia, Media Ekonomi, FE USAKTI.

4. 2001, Struktur Ketenagakerjaan : Cermin Pemberdayaan Perempuankah? Seri Kajian Ilmiah Vol: 10 No. 1, Unika Soegijapranata.

5. 2001, Stress Kerja Karyawan BPR, Media Ekonomi, UKSW.

Karya Ilmiah yang tidak dipublikasikan1. 1991, Efektivitas Program Penanggalan (Deletion Program)

dalam Industri Otomotif di Indonesia, Skripsi S1, UGM.2. 1995, Pengaruh Perdagangan Internasional terhadap

Kualitas Lingkungan, Studi Kasus; Perdagangan Produk Kimia Indonesia - Jepang, Tesis S2, UGM.

3. 1997, Modul Teori ekonomi II (Ekonomi Makro), untuk kepentingan pengajaran di FE Universitas Trisakti Jakarta.

4. 1997, Modul Ekonomi Manajerial, untuk kepentingan pengajaran di FE Universitas Trisakti Jakarta.

5. 1998, Reorientasi Industrialisasi di Indonesia, Makalah Diskusi Intern FE Unika Soegijapranata.

6. 1999, Modul Teori Ekonomi, untuk kepentingan pengajaran di Fakultas Ekonomi, Unika Soegijapranata, Semarang.

7. 1999, Modul Pengantar Ekonomi, untuk kepentingan pengajaran di Program D3 Pajak Fakultas Ekonomi, Unika Soegijapranata.

Lain-lain1. 2000-2001, Staff ahli pembentukan rancangan perundang-

undangan keuangan daerah, Pemerintah daerah Tingkat I Jawa Tengah.

2. April 2001, Peserta Focus Group Discussion, reposisi Bappeda Tk I. Jawa Tengah.

3. Agustus 2001, Pembicara dalam Serial Discussion : Public-Private Partnership : Solusi dalam Otonomi daerah, Unika Soegijapranata

16