Upload
vokiet
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut
Menurut Aziz et.al., (1998), sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya
dikelompokkan berdasarkan taksonomi, yaitu ikan (pisces) dan non-ikan (moluska,
krustasea, holoturaeda, reptilia dan mamalia). Kelompok ikan berdasarkan
habitatnya dibagi menjadi 3 kelompok, yakni;
a) Ikan pelagis, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada di kolom air
terutama dekat permukaan;
b) Ikan demersal, yaitu ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada pada atau di
dekat dasar perairan;
c) Ikan karang, yaitu ikan kehidupannya terikat dengan perairan karang.
Menurut Undang Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang
dimaksud dengan :
a) Ikan merupakan segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
b) Sumberdaya ikan adalah semua jenis ikan.
c) Perikanan merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilakukan dalam suatu bisnis
perikanan.
d) Penangkapan ikan adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan.
e) Usaha penangkapan adalah semua usaha perorangan atau berbadan hukum untuk
menangkap ikan atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
7
Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan
dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries);
(2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries).
Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan pesisir. Perikanan pantai (coastal fisheries) ialah kegiatan
menangkap populasi hewan air (ikan, udang, kerang-kerangan) dan memanen tumbuhan
air (ganggang, rumput laut) yang hidup liar di perairan sekitar pantai. Masalah utama
yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap
yang disebabkan oleh : 1) eksploitasi berlebihan (overfishing) terhadap sumberdaya
perikanan; dan 2) degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan.
(Dahuri et.al., 2002).
2.2 Sumberdaya Ikan Pelagis
Menurut Nybakken (1988), ikan pelagis merupakan organisme yang mempunyai
kemampuan untuk bergerak sehingga mereka tidak tergantung pada arus laut atau
gerakan air yang disebabkan oleh angin. Menurut Gunarso dan Bahar (1990) ikan
pelagis merupakan ikan yang tidak terikat pada pantai atau perairan pantai sebagai
persyaratan hidupnya, dapat menyebar luas pada daerah-daerah dengan kondisi
lingkungan yang sesuai dalam usaha pencarian dan penemuan makanan. Ikan pelagis
merupakan ikan yang hidup atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai lapisan
tengah (mid layer). Pada daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan massa air
(upwelling) sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan pelagis
umumnya senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan
lainnya namum terdapat kecenderungan ikan pelagis bergerombol besarkan kelompok
ukurannya.
Daerah yang paling banyak diminati ikan pelagis yaitu daerah yang masih
mendapatkan cahaya matahari yang dikenal dengan daerah fotik, yaitu bagian dari
kawasan pelagik yang masih mendapatkan cahaya matahari. Suhu optimal bagi ikan
pelagis berkisar antara 28-30 °C. Perbatasan bawahnya adalah batas tembusnya cahaya
matahari dan kedalamannya bervariasi tergantung kejernihan air. Pada umumnya
perbatasan bawah terletak pada kedalaman 100-150 m (Nybakken, 1988).
8
Ikan pelagis pada umumnya mempunyai kebiasaan makan pada waktu matahari
terbit dan pada saat matahari terbenam. Secara umum kebanyakan ikan-ikan pelagis ke
permukaan sebelum matahari terbenam biasanya di perairan dangkal. Setelah matahari
terbenam mereka menyebar kedalam kolom air dan menuju lapisan yang lebih dalam
saat matahari terbit. Letak kedalaman dari kelompok ikan pelagis sangat tergantung dari
struktur suhu vertikal dengan pengertian ikan pelagis akan berenang sedikit lebih
kedalam pada waktu suhu permukaan meningkat dari biasanya (Laevastu dan Hayes,
1981). Lebih lanjut Laevastu dan Hayes (1981), menjelaskan bahwa migrasi vertical
diurnal dari ikan yang hidup di laut dibagi dalam 5 kelompok yaitu :
1. Spesies pelagis yang berada pada atas lapisan termoklin; mengadakan migrasi ke
lapisan permukaan pada saat matahari terbenam; tersebar pada layer diantara
permukaan dengan termoklin pada waktu malam hari; menyelam dan berada di atas
termoklin bersamaan dengan terbitnya matahari.
2. Spesies pelagis yang ada pada siang hari berada pada lapisan di bawah termoklin;
mengadakan migrasi dengan menembus lapisan termoklin ke lapisan permukaan
selama matahari terbenam; tersebar diantara permukaan dengan dasar pada waktu
malam hari, dengan jumlah waktu terbanyak pada malam hari di atas lapisan
termoklin; menembus lapisan termoklin menuju ke lapisan yang lebih dalam bila
matahari terbit.
3. Spesies pelagis yang pada siang hari berada pada lapisan di bawah termoklin;
mengadakan migrasi di bawah lapisan termoklin selama matahari terbenam; tersebar
diantara termoklin dengan dasar pada waktu malam hari; turun ke lapisan yang lebih
dalam selama matahri terbit.
4. Spesies demersal pada waktu siang hari berada di atas atau pada dasar perairan;
mengadakan migrasi dan tersebar di dalam massa air di bawah (dan kadang-kadang
di atas) termoklin pada saat matahari terbenam; menuju ke dasar pada saat matahari
terbenam; menuju ke dasar perairan pada saat matahari terbit.
5. Spesies yang tersebar di seluruh kolom perairan pada waktu siang hari tetapi akan
turun ke dasar selama malam hari.
Yami, B (1987) dalam Hermadi (2001) berpendapat bahwa kondisi perairan dapat
membantu gerombolan ikan untuk berkumpul terutama gerombolan ikan pelagis yang
9
terbentuk pada permukaan air, mungkin terdapat pada daerah yang kondisi perairannya
sebagai berikut:
1. Terjadi pertemuan massa air yang berbeda suhunya, kemudian bercampur dan
bersama-sama membentuk suhu permukaan dengan lapisan permukaan yang
dangkal.
2. Perairannya kaya akan sumber hara yang terbawa dari ke dalam air ke atas
permukaan melalui proses upwelling.
3. Perairan lokalnya mengalami proses peradukan yang terjadi di sekitar kepulauan,
semenanjung, lereng curam, dan bentuk topografi lainnya.
Penyebaran ikan pelagis secara horizontal banyak dipengaruhi oleh daratan,
sehingga ikan-ikan ditemukan pada daerah neritik yaitu daerah yang mencakup massa
air yang terletak di paparan benua. Daerah ini banyak mendapatkan makanan dari
daratan yang disukai oleh ikan-ikan pelagis, selain itu juga daerah ini tidak terlalu dalam
sehingga perairannya cenderung selalu hangat.
2.3 Migrasi dan Penyebaran Ikan Cakalang dan Tongkol
Ikan pelagis termasuk dalam kelompok ikan perenang cepat, beruaya cukup jauh dan
sifatnya bergerombol/mengelompok. Salah satu sifat ikan pelagis yaitu suka bergerombol
merupakan faktor penting bagi pemanfaatan usaha perikanan komersial. Adanya sifat suka
bergerombol ini, menyebabkan ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar (Gunarso, 1985).
Tingkah laku berkelompok pada ikan pelagis juga didasarkan atas jenis dan ukuran yang
berbeda pula, dimana hal ini akan mempengaruhi pola tingkah laku mengelompok pada
suatu gerombolan ikan (Laevastu dan Hayes, 1981).
Gunarso (1985) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan pelagis
membentuk kelompok/bergerombol, yaitu : a) sebagai perlindungan diri dari pemangsa
(predator), b) mencari dan menangkap mangsa untuk tujuan pemijahan, c) bertahan pada
musim dingin dan d) untuk melakukan ruaya dan pergerakan serta karena adanya
pengaruh faktor yang ada disekitarnya. Menurut Efendie (2002) ruaya merupakan satu
mata rantai daur hidup yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelum dan
sesudahnya. Ikan melakukan ruaya ke daerah-daerah dimana mereka menemukan kondisi
yang diperlukan oleh fase tertentu dari daur hidupnya. Ikan beruaya ada dalam habitat tadi
10
untuk tujuan tertentu seperti berpijah, mencari makan dan lain-lain.
Secara global penyebaran ikan cakalang dibagi menjadi dua batas area, yaitu : utara
dan selatan. Kedua batas area berubah secara musiman dan tahunan sebagai akibat dari
respon ikan cakalang terhadap perubahan musiman lingkungan. Batas-batas tersebut
biasanya bergerak menuju arah kutub pada saat musim panas (summer) dan musim
gugur (fall) pada saat perairan lintang tinggi mengalami pemanasan. Pada saat musim
lainnya, batas-batas area tersebut bergerak menuju arah khatulistiwa. Meskipun demikian,
batas utara dan selatan tidak mengalami pergeseran secara uniform satu sama lainnya dan
pergeseran batas-batas tersebut terjadi tidak secara bersamaan di seluruh samudera, karena
berbagai pengaruh arus-arus dingin dan panas diberbagai samudera (Matsumoto et.al.,
1984).
Selanjutnya Sumadiharga (1985) menyatakan bahwa sifat migrasi ikan cakalang ada
dua macam, yaitu migrasi pasif dan migrasi aktif. Migrasi pasif adalah migrasi yang
dilakukan ikan cakalang dalam suatu habitat tertentu sebagai akibat perubahan kondisi
lingkungan dalam habitat itu. Migrasi aktif adalah perpindahan dari suatu habitat ke
habitat lainnya karena perubahan fisiologi dan ekologis yang diperlukan ikan cakalang
tersebut. Sedangkan menurut FAO (1994) bahwa migrasi ikan cakalang berbeda untuk
suatu perairan dengan perairan lainnya. Di perairan Pasifik Barat, ikan cakalang akan
bermigrasi pada musim semi dan musim panas ke perairan yang terdapat arus ekuatorial
utara. Ada juga yang bermigrasi ke utara dan ke selatan dalam sistem arus Kuroshio yaitu
arus panas dengan arah ke utara Jepang. Menurut Karney (1978) penyebaran cakalang di
Samudera Pasifik terdapat di seluruh daerah tropis, sub tropis dengan batas garis lintang
40o tetapi kepadatan yang memungkinkan diadakan penangkapan dibatasi oleh isoterm
20 o C. Waldron (1963) yang diacu dalam Nursalam (1982) menyatakan bahwa ikan
cakalang masih terdapat pada 40o LS dengan suhu 15 o C, sedangkan penyebaran tropikal
terletak antara 30 o LU sampai 20 o LS, akan tetapi fishing ground terbesar berada
sepanjang katulistiwa 10 o LS dan 10 o LS.
Jenis tuna dan cakalang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis.
Penyebaran jenis-jenis tuna dan cakalang tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur
(longitude) tetapi dipengaruhi oleh perbedaan garis lintang (latitude). Di Samudera
Hindia dan Samudera Atlantik menyebar di antara 40ºLU dan 40ºLS (Collete dan
Nauen, 1983).
11
Yami, B (1987) menjelaskan bahwa ikan cakalang mulai memijah pada saat
berumur diperkirakan 1 tahun dengan menghasilkan kurang lebih 100.000 telur setiap
tahunnya dan bertambah sampai 2 juta telur setiap memijah. Telur-telur tersebut
menetas diperkirakan 4 hari setelah fertilisasi. Larvanya dapat ditemukan di seluruh
wilayah Samudra Hindia, Pasifik dan Atlantik. Setelah berumur 4 tahun atau lebih
cakalang kembali ke katulistiwa untuk memijah.
2.4 Deskripsi Ikan Cakalang dan Tongkol
Menurut Matsumoto et.al., (1981) secara taksonomi ikan cakalang termasuk
dalam kekerabatan sebagai berikut :
Phylum : Vertebrata Subphylum : Chraniata
Series : Pisces Superclass : Gnathostomata
Subclass : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub Ordo : Scombroidei Family : Scombridae
Sub Famili : Scombrinae Tribe : Thunnini
Genus : Katsuwonus Species : pelamis
Menurut Collette dan Nauen (1983) ikan cakalang termasuk kedalam family
Scobridae, bergenus Katsuwonus dan spesiesnya Katsuwonus pelamis. Ikan cakalang
biasa disebut juga skipjack tuna dan memilki ciri-ciri morfologi sebagai berikut :
1) Bentuk tubuh memanjang seperti bentuk cerutu dan agak membulat simetris, gigi
kecil-kecil runcing yang tersusun secara seri.
2) Pada helai insang pertama gill rackers sebanyak 53-63 helai.
3) Mempunyai dua sirip dorsal yang terpisah, sirip yang pertama mempunyai 14-16
jari-jari keras sedangkan sirip kedua diikuti dengan 7-9 finlets dan 7 finlets di
belakang sirip dubur.
4) Pada bagaian ekor terdapat 2 keel yang keras.
5) Badan tidak bersisik pada bagian dada dan garis sisi (Lateral line).
6) Bagian punggung berwarna biru kehitaman, bagian perut abu-abu dengan 4-6 garis
hitam yang membujur.
12
Menurut Wade diacu dalam Widana (1991) panjang ikan cakalang pada umur satu
tahun kurang lebih 37 cm, pada tahun kedua dapat mencapai 46 cm, pada tahun ketiga
55 cm, tahun keempat 64 cm, tahun kelima 72 cm, bahkan cakalang dapat mencapai
1 meter pada umur lebih 7 tahun dengan berat diperkirakan 25 kg. Pada umumnya ikan
cakalang yang tertangkap berukuran panjang 40-60 cm. Barkley e.t al., (FAO, 1994)
mengemukakan bahwa ikan cakalang yang berada pada permukaan perairan tropis
adalah cakalang yang kecil (kurang dari 4 kg). Sedangkan cakalang besar (lebih dari 6,5
kg) berhabitat di perbatasan termoklin dan beradaptasi dengan perairan sejuk.
Katsuwonus pelamis
Gambar 1. Ikan Cakalang
Hasil wawancara dengan petugas statistik perikanan PPN Palabuhanratu, ikan
tongkol yang tercatat pada data hasil produksi adalah merupakan campuran dari species
Auxis thazard dan Euthyunnus affinis, dimana masyarakat nelayan setempat lebih
mengenal dengan nama tongkol abu-abu dan tongkol komo. Dengan mempertimbangkan
belum tersedianya data produksi yang disajikan secara terpisah berdasarkan masing-
masing species tongkol tersebut, maka pengertian ikan tongkol dalam analisis selanjutnya
adalah merupakan campuran dari keduanya.
Menurut Saanin (1984), taksonomi ikan tongkol diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Subphylum: Vertebrata
Kelas: Pisces
Sub Kelas: Teleostei
Ordo: Percomorphi
Sub Ordo: Scombroidea Famili:
Scombridae
Genus : Auxis;
13
Species: Auxis thazard;
Genus : Euthynus
Species : Euthynnus affinis
Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (Auxis thazard) adalah : badan memanjang,
kaku, bulat seperti cerutu. Ikan ini memiliki dua sirip pungggung, yaitu sirip punggung
pertama berjari-jari keras 10 dan sirip punggung kedua berjari-jari keras 11, diikuti 6-9
jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-,jari lemah 14, diikuti 6-8 jari-jari
tambahan dan terdapat satu lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya.
Badan tanpa sisik,kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil
di bagian belakangnya. Pada dasar sirip ekornya, terdapat satu lunas kual yang diapit
dua lunas kecil. Ukuran dapat mencapai panjang 50 cm, tetapi umumnya antara 25-40
cm. Tubuh bagian atas berwarna hitam kebiruan serta berwarna putih dan perak dibagian
bawahnya. Selain itu pada jenis ini, terdapat ban-ban hitam yang menyerong dan
bergelombang, pada bagian atas garis rusuk. Tongkol ini tergolong ikan pelagis besar
dan perenang cepat dengan daerah penyebaran hampir terdapat di seluruh daerah pantai,
lepas pantai perairan Indonesia dan seluruh perairan Indo-Pasifik (Direktorat
Jenderal Perikanan 1979).
Auxis thazard
Euthynnus affinis
Gambar 2. Ikan Tongkol
14
Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (Euthynnus affinis) adalah : badan
memanjang, seperti cerutu atau terpedo. Ikan ini memiliki dua sirip punggung, yaitu
sirip punggung pertama berjari-jari keras 15 dan sirip punggung kedua berjari-jari lemah
13, diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-,jari lemah 14, diikuti 6-8
jari-jari tambahan dan terdapat dua lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip
perutnya. Badan tanpa sisik, kecuali pada bagian korselet dan bagian rusuknya. Pada
batang ekornya, terdapat satu lunas kuat yang diapit dua lunas kecil. Ukuran dapat
mencapai panjang 100 cm, tetapi umumnya antara 50-60 cm. Tubuh bagian atas
berwarna biru kehitaman serta berwarna putih dan perak dibagian bawahnya. Selain itu
pada jenis ini, terdapat ban-ban hitam yang menyerong dan bergelombang, pada
bagian atas garis rusuknya, serta noktah-noktah hitam diantara sirip dada dan perut.
2.5 Rumpon
Rumpon adalah suatu kontruksi bangunan yang dipasang di dalam air dengan
tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan
penangkapan ikan tersebut (Monintja dan Zulkarnain, 1995). Sedangkan menurut
Diniah, et.al., (2006) rumpon merupakan bangunan atau benda yang menyerupai
pepohonan yang dipasang atau ditanam di tengah laut yang berfungsi untuk
mendapatkan dan mengumpulkan kawanan ikan sebelum operasi penangkapan ikan
dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sudirman dan Mallawa,A (2000) rumpon biasa
juga disebut dengan fish agregation device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan
yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchable area. Ada
beberapa prediksi mengapa ikan senang berada disekitar rumpon : a) rumpon tempat
berkumpulnya planton dan ikan-ikan kecil lainnya sehingga mengundang ikan-ikan
yang lebih besar untuk tujuan feeding dan b) merupakan suatu tingkah laku dari
berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis-jenis tuna
dan cakalang). Dengan demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan
penangkapan.
Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun di negara-negara seperti
Philipina dan negara-negara Pasifik Barat. Penggunaan rumpon secara tradisional di
Indonesia telah lama dilakukan terutama oleh para nelayan di Mamuju, Sulawesi Barat
dan Jawa Timur, sedangkan penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada
15
tahun 1980 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (Monintja dan Zulkarnain, 1995
diacu dalam Sudirman dan Mallawa, A 2000).
Di Indonesia ada dua jenis rumpon, yaitu : a) rumpon laut dangkal, yang dipasang
pada kedalaman kurang dari 100 meter dan biasanya untuk perikanan pelagis kecil, dan
b) rumpon laut dalam, yang dipasang pada kedalaman lebih dari 600 meter (Monintja
dan Zulkarnain, 1995; Baskoro, M.S dan Effendy, A, 2005). Sedangkan menurut Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 51/Pkts/IK.250/I/1997, rumpon didefinisikan sebagai
alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut.
Berdasarkan tempat pemasangan dan pemanfaatan rumpon, dikatagorikan ada 3 jenis
rumpon, yaitu : a) rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut, b) rumpon perairan dangkal adalah
alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan
kedalam sampai 200 meter dan c) rumpon perairan dalam adalah alat bantu
penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut lebih dari 200
meter.
Menurut Simbolon, D (2006) rumpon berfungsi sebagai attraktor untuk menarik
perhatian ikan agar datang berkumpul dan lebih terkosentrasi di sekitar pemasangan
rumpon. Dengan keberadaan rumpon tersebut, maka dengan sendirinya telah terbentuk
daerah peangkapan ikan potensial. Lebih lanjut dijelaskan oleh Baskoro, M.S dan
Effendy, A (2005) atraktor merupakan salah satu komponen utama pada rumpon.
Atraktor berfungsi sebagai alat pemikat atau pengumpul ikan sesungguhnya. Ikan-ikan
yang terdapat di atraktor yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia jenis ikan pelagis. Adapun persyaratan umum dari atraktor, adalah :a)
mempunyai daya pemikat yang baik terhadap ikan, b) tahan lama, c) mempunyai bentuk
seperti posisi potongan vertikal, d) melindungi ikan-ikan kecil, e) bentuknya silinder
dengan posisi arah ke bawah, f) terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan murah.
Penggunaan rumpon yang tepat, akan mempersingkat waktu operasi, dapat
meningkatkan hasil tangkapan, penghematan bahan bakar minyak dan penghematan
umpan pada perikanan huhate (Monintja dan Zulkarnain, 1995). Namun dengan
semakin padatnya pemasangan rumpon, maka akan menyebabkan menurunnya hasil
tangkapan per satuan upaya, yang dimulai dengan tanda-tanda ukuran rata-rata ikan
yang tertangkap memperlihatkan kecendrungan mengecil di bandingkan tahun
16
sebelumnya (Monintja dan Zulkarnain, 1995; Diniah et. al. 2006).
Ikan–ikan yang berkumpul disekitar rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat
berlindung juga untuk makan dalam arti luas, tetapi tidak memakan daun-daun rumpon
tersebut. Ikan-ikan tertentu yang berada disekitar rumpon berenang pada sisi depan atau
belakang atraktor di lihat dari arah arus. Kadang-kadang mereka bergerak ke kiri dan ke
kanan tetapi selalu kembali ke tempat semula demikian juga terhadap arus (sifat ikan
umumnya berenang menentang arus) ( Subani 1986, diacu dalam Baskoro, M.S dan
Effendy, A, 2005).
Ada beberapa pendapat tentang keberadaan ikan di sekitar rumpon seperti yang
dikemukan oleh Samples dan Sproul (1985) sebagai berikut :
a) Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu;
b) Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu;
c) Rumpon sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan tertentu;
d) Rumpon sebagai titik acuan navigasi (reference point) bagi ikan-ikan tertentu yang
beruaya.
2.6 Pendugaan Produksi Perikanan
Menurut Gulland (1961) yang diacu dalam Tinungki (2005), pengelolaan
sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologi yaitu tangkapan
maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield /MSY) yang mengasumsikan setiap
spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi melebihi kapasitas
produksinya (surplus). Sehingga apabila surplus tersebut dipanen, maka stok akan
mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).
Menurut Gulland (1983) dalam Tinungki (2005), masalah dasar diilustrasikan
pada prinsip-prinsip yang disajikan pada Gambar 3, yang memperlihatkan perubahan
biomass menurut waktu, dalam suatu populasi ikan hipotetik pada berbagai sistem
pengaturan panen. Setelah panen diambil pada waktu A, dengan berjalannya
waktu biomass tumbuh kembali hingga tingkat equilibrium sepanjang kurva
berbentuk S dengan tipe yang dikenal para ahli biologi populasi. Bentuk yang
tepat, dari kurva yang berbentuk S tidaklah penting pada tahap ini, meskipun kurva
logistik yang biasa dipertimbangkan sering dianggap sesuai. Pada tingkat stok
17
rendah, tingkat pertumbuhan biomass meningkat dengan ukuran stok, namun
setelah mencapai maksimum, tingkat tersebut mulai berkurang lagi ketika daya
dukung yang digambarkan oleh batas atas biomass K (daya dukung lingkungan)
secara perlahan dicapai. Pada prakteknya baik tingkat pertumbuhan maupun daya
dukung lingkungan akan bervariasi dengan waktu.
Gambar 3. Biomass yang diplotkan terhadap waktu
(Gulland, 1983 dalam Tinungki, 2005)
Gambar 3 memperlihatkan regenerasi biomass yang terjadi pada tingkat yang
lebih lamban di sepanjang bagian atas kurva S setelah dipanen dalam jumlah yang
lebih sedikit diambil pada waktu B. Pada waktu C, diperlihatkan suatu contoh
serangkaian panen reguler biomass yang bergerak di antara tingkat-tingkat yang
ditunjukkan dengan garis titik-titik. Perlu dicatat bahwa system pengaturan panen C
mengeksploitasi bagian dari kurva S yang memberikan tingkat maksimum dari
regenerasi biomass. Setelah waktu D, panen terlalu sering diambil untuk pergantian
biomass dan akhirnya populasi berkurang hingga ke tingkat yang tidak dapat hidup
terus.
Gulland (1983) dalam Tinungki (2005) menyatakan K mewakili daya dukung
lingkungan dari sudut pandang ahli biologi. Strategi penangkapan ikan yang benar
18
adalah strategi yang memberikan tangkapan maksimum lestari (MSY) dari ikan,
sehingga sebagai pilihan adalah kurva C pada Gambar 3. Namun, kemudian para
pengelola perikanan kini harus mempertimbangkan lebih banyak faktor biologi,
ekonomi, dan sosial dalam menduga strategi penangkapan optimal untuk industri
perikanan. Bagaimanapun bila para ahli perikanan di masa lalu memang terlalu naif
dalam mempertimbangkan MSY tetap merupakan konsep yang bermanfaat. Hal
ini dikarenakan ada dua alasan:
a) Pengelolaan perikanan yang bertujuan terutama pada MSY memang masih terdapat
ketidakcukupan pada para pembuat keputusan, namun memaksimumkan hasil
tangkapan lestari jangka panjang masih menjadi tujuan pengelolaan bagi sejumlah
perikanan.
b) MSY harus merupakan satu faktor dalam setiap rencana pengelolaan, meskipun ada
kelemahanya. Setidaknya MSY menetapkan batas ukuran hasil tangkapan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga potensi sumberdaya
perikanan (Gulland, 1983 dalam Tinungki, 2005, Laevastu dan Favourite, 1988 dalam
Suyedi, 2001) yaitu :
1. Pendugaan secara langsung, pendugaan yang didasarkan pada penangkapan ikan
secara langsung dengan menggunakan alat tertentu seperti trawl survey, longline,
dan trap surveys, telur dan larva serta young fish survey.
2. Accoustic survey, survei yang menggunakan peralatan akustik. Dengan metode ini
dapat dilakukan pengamatan terhadap potensi ikan dalam areal yang lebih luas
namun terbatas.
3. Virtual population analysis (VPA), analisis yang didasarkan pada perhitungan
pendugaan fishing mortality. Metode ini digunakan bersama dengan cara
kelimpahan dari hasil analisis trawl survey atau survei akustik dan rangkaian CPUE.
4. Ecosystem simulation and multispecies models, metode yang digunakan melalui
pembentukan model yang dapat menirukan situasi ikan yang sebenarnya ketika hidup
di alam.
5. Surplus production model, metode yang didasarkan atas data produksi tahunan dan
penangkapan.
19
Model awal dan paling sederhana dalam dinamika populasi perikanan adalah model
surplus produksi (Fauzi, 2004). Model surplus produksi tergolong mudah dimengerti dan
didasari oleh pengertian matematika yang sederhana. Model surplus produksi
melalui penggunaan hasil tangkapan yang mengandung satu variabel data
sederhana (Yt dalam ton/tahun) sebagai peubah tak bebas dan upaya
penangkapan (Et, dalam trip/tahun) sebagai peubah bebas. Dari kedua data time
series ini dapat diperoleh tiga parameter melalui salah satu model suplus produksi
yaitu tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan (K), dan koefisien
penangkapan (q). Model surplus produksi memungkinkan dilakukan suatu analisis
bilamana hanya sedikit informasi, terutama mengenai hasil, kelimpahan stok, dan
upaya penangkapan ikan yang tersedia.
Syarat yang harus dipenuhi dalam menganalisis model surplus produksi
adalah (Gulland, 1983 dan Spare, 1989 diacu dalam Tinungki, 2005) :
1. Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap
relatif;
2. Distribusi ikan menyebar rata;
3. Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan
tangkap yang seragam.
Beberapa model surplus produksi diacu dalam Tinungki (2005) untuk
mengetahui parameter-parameter dari fungsi produksi antara lain : Schaefer (1954),
Gulland (1961), Pella-Tomlinson (1969), Fox (1970), Walter-Hilborn ;1976), Schnute
(1977), Clark-Yoshimoto-Polley (1992), dan Cushing (2001).
2.7. Model Statik Bioekonomi Gordon-Schaefer
Pengelolaan atau pengusahaan sumberdaya ikan, pada mulanya didasarkan pada
faktor biologis, dengan pendekatan tangkapan maksimum yang lestari Maximum
Sustainable Yield (MSY). Pengembangan model pengelolaan perikanan selanjutnya
dilakukan oleh Gordon (1954) yang kemudian membuat model bionomics Gordon-
Schaefer (1954). Model ini mengintroduksi parameter harga (p) dan biaya per unit
upaya (c) ke dalam model yang telah dikembangkan Schaefer (1954). Model Gordon-
Schaefer ini dikembangkan dengan beberapa asumsi (Fauzi, 2004) :
20
a) Harga per satuan output (p), diasumsikan konstan atau kurva permintaan
diasumsikan elastis sempurna.
b) Biaya per satuan upaya (c) diangggap konstan.
c) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species).
d) Struktur pasar bersifat kompetitif.
e) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen
dan lain sebagainya).
Pada dasarnya, model biologi-ekonomi (bionomics model) dikembangkan dari
hasil pemikiran Schaefer (1954) yang menyebutkan bahwa stok biomass antar waktu
secara alami sama dengan fungsi pertumbuhan ikan itu sendiri :
( )xftxx =∂∂
=.
...................................................................................................... (1)
Pertumbuhan alami tersebut akan terganggu jika dilakukan pemanfaatan yang secara
matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut:
( ) thxftxx −=∂∂
=.
............................................................................................... (2)
dimana th merupakan fungsi harvest yang dipengaruhi oleh q (koefisien alat tangkap),
tingkat upaya (E) dan biomass itu sendiri (x). Fungsi pertumbuhan yang biasanya
digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dikembangkan Schaefer, sehingga
persamaan (2) di atas dapat dinotasikan sebagai:
qExKxrx
tx
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −=
∂∂ 1 ......................................................................................... (3)
Persamaan (3) tersebut juga menunjukkan bahwa jika tidak ada upaya penangkapan,
maka stok ikan di alam akan sebanding dengan fungsi pertumbuhan dari ikan tersebut.
Fungsi manfaat ekonomi dari model bioekonomi ini dirumuskan melalui
persamaan berikut:
cEpqExcEphTCTR −=−=−=π .................................................................. (4)
Pada kondisi open access, keuntungan yang dapat diterima sama dengan nol atau
dengan kata lain bahwa penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC).
Sedangkan pada kondisi pemilik tunggal (sole owner) dapat diperoleh keuntungan
21
maksimal hanya jika .0=∂∂
xπ Keseimbangan statik model Gordon Schaefer dapat
ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Model Bioeconomis Gordon Schaefer
2.8 Model Dinamis Ekonomi Perikanan
Fauzi (2004) menyebutkan bahwa pengembangan model dinamis dari pengelolaan
sumberdaya ikan sudah dimulai sejak awal tahun 1970-an dan baru berkembang
sepenuhnya setelah publikasi artikel Clark dan Munro (1975). Clark dan Munro (1975)
dalam Fauzi (2004) menggunakan pendekatan kapital untuk memahami aspek
intertemporal dari pengelolaan sumberdaya ikan, dimana sumberdaya ikan dianggap
sebagai stok kapital dengan fitur tambahan bahwa stok ikan dapat tumbuh melalui
proses reproduksi alamiah .
Dalam model dinamis, sumberdaya ikan diasumsikan dikelola secara privat
(pemerintah maupun komunal atau individu) yang bertujuan memaksimumkan manfaat
ekonomi dari sumberdaya ikan tersebut. Secara matematis, menurut Fauzi (2004)
22
pengelolaan sumberdaya ikan dalam kontek dinamis, dalam bentuk fungsi diskrit dapat
ditulis sebagai:
),()1(
max00
tttt
ttt
t hxπρδ
ππ ∑∑∞
=
∞
=
=+
= , ........................................................(5)
dengan kendala:
( ) tttt hxFxx −=−+1 ………………………..................................……….(6)
Sedangkan dalam bentuk fungsi kontinyu ditulis sebagai :
( )( )∫∞
=
−=0
),(maxt
t dtethtx δππ , ...................................................................... (7)
dengan kendala:
( ) ( )
)9..(................................................................................)(0,0)(
)8...(................................................................................)(
max
.
hthtx
thtxFxtx
≤≤≥
−==∂∂
Pemecahan model diskrit dapat dilakukan dengan teknik Lagrangian, sementara
model kontinyu dilakukan dengan teknik Hamiltonian. Menurut Fauzi (2004), pada
prinsipnya pemecahan kedua versi dinamik di atas akan menghasilkan golden rule
untuk pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk :
δππ
=∂∂∂∂
+∂∂
hx
xF
// ...... ..................................... ……………………… (10)
( ) hxF = ...... ........................................................................................... (11)
dimana : δ adalah tingkat diskon yang diberikan untuk mengekstraksi sumberdaya ikan.
Solusi analisis dalam persamaan (10) tersebut di atas dapat menghasilkan tingkat
biomass optimum (x*), tingkat harvest optimum (h*) dan tingkat upaya optimum (E*)
sebagai berkut :
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −−−=
Kxrxpqxx
ch 21)((1* δ ...... ....................................................... (12)
23
⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢
⎣
⎡+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−++⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−+=
pqKrc
rpqKc
rpqKcKx δδδ 811
4
2* ......................... (13)
*
**
qxhE = ...... .......................................................................................... (14)
2.9. Analisis Dinamik Pengelolaan Perikanan
Menurut Fauzi (2002) dalam Fauzi dan Anna (2005), masuk dan keluarnya
effort pada industri perikanan tidak bersifat statis, ia akan bergerak dinamis mengikuti
perubahan-perubahan yang tejadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya.
Disinilah urgensi dari aspek analisa dinamik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan,
yaitu bagaimana kita mencoba menggambarkan dan memodelkan perilaku dari populasi
alamiah sumberdaya perikanan untuk mencapai pengelolaan yang optimal.
Holling (1973) dalam dalam Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa hampir
semua sistem alam mempunyai karakteristik berubah sepanjang waktu dan bahwa jika
manusai mencoba menstabilkan alam untuk kepentingannya, akan menyebabkan
kondisi stabil pada jangka pendek dan malapetaka pada jangka panjang. Menurut
Hilborn dan Walters (1992) beberapa konsep dasar dari analisis dinamik dan perikanan
adalah menyangkut stabilitas, siklus (ryclicity) dan ketahanan (resicience). Sistem
dikatakan stabil jika perturbasinya akan sampai pada ekulibrium. Hampir semua model
populasi dianggap stabil (jika ikan ditangkap, biomass akan menurun, namun jika
penangkapan berhenti maka stok akan kembali pada kondisi semula). Sistem siklik
tidak pernah berada dalam kondisi steady state yang benar, tetapi selalu berubah.
Ketahanan (resilience) adalah kemampuan dari sistem untuk menggunakan,
mendapatkan keuntungan dari mengekstraksi dan mengabsorpsi variasi alam.
Menurut Fauzi dan Anna (2005), secara matematis, ciri dasar dari model dinamik
adalah persamaan ODE (Ordinary Differential Equation) yang memiliki karakteristik :
• Variabel yang tak diketahui merupakan sebuah fungsi
• Persamaan ini menyangkut satu atau lebih turunan derivatif.
Bentuk paling sederhana dari persamaan ODE seperti tertulis pada persamaan
berikut :
24
( )tfxtx
==∂∂ .
……………………………………………………………(15)
yang kemudian dapat dipecahkan melalui integral biasa, dengan menggunakan
manipulasi aljabar
( )dttfx =∂ .............................................................................................(16)
sehingga dari persamaan tersebut diperoleh solusi dalam x yang merupakan solusi
dari persamaan ( )∫ += Cdttfx ……….…………………………..... (17)
dimana C adalah konstanta integral
Secara umum, menurut Fauzi dan Anna (2005) persamaan differensial biasa
dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu :
• Persamaan differensial dengan koefisien konstan (autonomous)
• Persamaan differensial dengan koefisien non konstan (non autonomous)
Konsep dinamik yang dijelaskan di atas melalui persamaan ODE adalah konsep
dinamis yang disebut single ODE, dimana variabel yang bergerak dinamis hanya satu
variabel (dalam contoh diatas adalah variabel x). Didalam analisis sumberdaya alam,
seperti halnya perikanan, variabel yang bergerak dinamis sering tidak hanya
menyangkut satu variabel, namun dapat saja beberapa variabel, misalnya saja effort,
penduduk, biomass bergerak dinamik. Contoh dari sistem dinamik seperti itu adalah
seperti persamaan dibawah ini :
dycxyty
byaxxtx
+==∂∂
+==∂∂
.
.
………………………………………………...............(18)
Persamaan di atas adalah tipikal persamaan sistem dinamik yang menggambarkan
keterkaitan antara variabel x dan y. Sistem dinamik diatas adalah juga merupakan
sistem dinamik yang linier yang ditunjukkan dengan konstanta a,b,c, dan d yang
berinteraksi secara linier terhadap x dan y. Solusi dari sistem dinamik diatas, baik
persamaan autonomus maupun non autonomous akan menghasilkan berbagai perilaku
yang mengarah pada equilibrium maupun ketidak seimbangan, tergantung dari
characteristic roots (λ1 dan λ2) dari persamaan diatas (eigenvalues). Besaran dari
characteristic roots ini menentukan sifat-sifat trajektori ke arah keseimbangan.