Upload
trannhi
View
260
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 CURD DAN TAHU
Curd adalah hasil penggumpalan protein melalui penambahan bahan penggumpal (koagulan).
Proses pembentukan curd dibutuhkan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan seperti dalam
proses pembuatan tahu. Proses pembuatan tahu dimulai dengan pengekstrakkan protein dari kacang
kedelai sehingga didapatkan sari kedelai (susu kedelai). Kemudian protein kedelai digumpalkan
dengan penambahan koagulan. Pembentukan curd kedelai ini terjadi melalui pemanfaatan sifat
fungsional yang terdapat pada protein, yaitu gelasi protein. Menurut Zayas (1997), gel dari protein
kedelai ini memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai matriks dan menahan air, lemak, polisakarida,
flavor dan komponen lainnya. Kemampuan protein dalam membentuk gel serta proses pembentukan
curd adalah proses penting untuk menghasilkan produk berbasis protein.
3.1.1 Gelasi Protein
Menurut Zayas (1997), kapasitas pembentukan gel protein pangan adalah atribut fungsional
penting dalam pembuatan pangan. Kapasitas pembentukan gel merupakan standar yang umum
digunakan untuk mengevaluasi protein bahan pangan. Karakteristik mutu dari banyak pangan,
khususnya sifat tekstur dan juiciness ditentukan melalui kapasitas pembentukan gel protein. Gel dapat
bervariasi nyata dalam sifat reologinya seperti kekohesivitasan, kekerasan, kelengketan, dan daya
adesif. Gel protein memiliki sifat yang unik yaitu bersifat seperti bahan padat, tapi pada saat yang
sama memiliki banyak karakteristik dari cairan. Untuk menghasilkan sifat tekstur tertentu, protein—
melalui fenomena gelasi protein—sering digunakan.
Menurut Schmidt (1981) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi adalah fenomena agregasi
protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-solven sangat seimbang sehingga jaringan atau
matriks tersier terbentuk. Gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen
polipeptida yang berinteraksi pada titik tertentuk untuk membentuk jaringan cross-linked tiga dimensi.
Gel dengan stabilitas dan kekuatan yang tinggi dapat terbentuk sebagai hasil dari cross-linking yang
memberikan fluiditas, elastisitas dan sifat mengalir dari gel. Pengurangan jumlah cross-links akan
menurunkan kekerasan gel. Pembentukan gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan
hidrofobik, gaya Van der Walls, dan ikatan kovalen disulfida. Penurunan jumlah dari cross-link akan
mengurangi kekerasan gel (Zayas, 1997). Wang dan Damodaran (1990) yang dikutip oleh Zayas
(1997) melaporkan bahwa ukuran dan bentuk polipteptida dalam matriks gel juga akan mempengaruhi
kekuatan dari gel.
Menurut Kinsella (1979) yang dikutip oleh Zayas (1997), gelasi adalah sifat hidrasi, struktural,
tekstural dan reologi dari protein. Foegeding (1989) yang dikutip oleh Zayas (1997) menggambarkan
gel sebagai sesuatu yang mengandung struktur unit terhubung dengan fase liquid di seluruh matriks
tiga dimensinya. Kemampuan pembentukan gel dari protein mempengaruhi funsional lainnya seperti
daya ikat air dan pengikatan lemak (Zayas, 1997). Sifat protein untuk membentuk gel dan menahan
sejumlah gula, flavor, dan bahan pangan lainnya secara signifikan dalam matriks tiga dimensi telah
digunakan secara luas dalam proses pangan dan dalam pengembangan produk pangan baru (Kinsella,
1997 dikutip oleh Zayas, 1997).
4
Protein berberat molekul tinggi dan persentase amino yang tinggi dengan gugus hidrofobik
cenderung membangun jaringan yang kuat dalam sistem gel. Keberadaan asam amino hidrofobik juga
mempengaruhi perubahan protein selama pemanasan. Peningkatan jumlah gugus -SH dan -SS- selama
denaturasi dapat memperkuat jaringan intermolekul. Berat molekul minimum kristis bagi
pembentukan gel adalah 23000 (Zayas, 1997).
Gambar 1. Mekanisme gelasi dari tahu yang terkoagulasi oleh CaSO4. (O) merupakan molekul
protein. (●) merupakan area hidrofobik. Diadaptasi dari Kohyama et al. (1995).
Dalam pembentukan gel, transisi dari bentuk asli menjadi bagian yang terdenaturasi merupakan
precursor penting terhadap interaksi-interaksi protein. Derajat denaturasi protein yang penting dalam
pembentukan gel masih merupakan perdebatan. Jaringan gel dapat terbentuk setelah denaturasi protein
parsial dan molekul protein di-fixed-kan dalam bagian terdenaturasi parsial (Zayas, 1997).
Felix (1988) menyatakan bahwa gelasi protein menyediakan integritas mekanis ke banyak
matriks pangan dengan membentuk jaringan molekular yang memberikan sifat-sifat seperti padatan.
Gelasi ini dapat mempengaruhi sifat kinestetik, struktural, tekstural, dan reologi. Pada konsentrasi
tinggi (20%), sebagian besar dispersi protein menunjukkan fenomena ini; juga konsentrasi rendah,
Protein alami (●) Area hidrofobik
tertanam dalam molekul protein
Langkah pertama: Pemanasan (97oC)
Permukaan hidrofobik
Protein terdenaturasi Area hidrofobik
terekspos di permukaan
Agregasi area hidrofobik
Agregat bermuatan negatif
Ion Ca2+ (Koagulan)
Langkah kedua Ion Ca
2+ menetralisir agregat
bermuatan negatif untuk memfasilitasi interaksi
hidrofobik
Gelasi
Jaringan gel
“String of beads”
5
atau molekul protein yang merupakan dimensi molekular kecil dengan sedikit kecenderungan untuk
interaksi intermolekular, akan mengurangi sifat seperti bahan padat tersebut. Protein kedelai
mempunyai banyak sifat fungsional yang sudah dipelajari secara luas. Sifat-sifat fungsional protein
tersebut antara lain kemampuan untuk larut, kemudahan terdenaturasi oleh panas, pengemulsian,
kemampuan menghasilkan busa, kemampuan membentuk gel, kemampuan menahan air (Water
Holding Capacity), sifat reologi, kemampuan membentuk tekstur, dan kemampuan mempengaruhi
karakteristik tekstur (Liu et al., 2008).
Contoh mekanisme pembentukan gel oleh protein dapat dilihat pada Gambar 1, pembentukan
gel kedelai ini juga dibantu oleh adanya koagulan. Awalnya protein yang memiliki area hidrofobik
yang tertanam di dalam molekul protein dipanaskan hingga 97oC. Hal ini menyebabkan protein
terdenaturasi sehingga protein terbuka, dan area hidrofobik terekspos di permukaan. Protein-protein
terdenaturasi tersebut kemudian saling beragregasi diakibatkan area hidrofobik dari protein-protein
tersebut saling mendekat dan bergabung. Sebagai akibatnya agregat protein menjadi bermuatan
negatif. Koagulan kemudian ditambahkan, dalam hal ini koagulan CaSO4, sehingga ion Ca2+ dari
koagulan akan menetralisir muatan negatif dari agregat protein dan memfasilitasi terjadinya interaksi
hidrofobik. Akhirnya terjadilah gelasi yang ditunjukan dengan terbentuknya jaringan gel yang
tersusun dari string of beads.
Gambar 2. Pembentukan struktur jaringan protein dengan adanya perubahan konsentrasi, pH, atau
kekuatan ion protein. Diadaptasi dari Hegg (1982) dan Oakenfull et al. (1997).
Menurut Yasir (2005), pembentukan gel protein sangat dipengaruhi oleh kondisi dari
pembentukan itu sendiri. Gel dapat menjadi lebih kasar jika pH mendekati titik isoelektrik protein dan
juga ketika kekuatan ion protein ditingkatkan. Dalam kasus protein globular, perubahan konsentrasi,
pH, dan kekuatan ion protein, akan menyebabkan struktur jaringan berubah dan secara tidak langsung
akan berkontribusi terhadap kekuatan gel, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.
Banyak penelitian yang menghubungkan antara sifat gelasi protein dengan keberadaan 7S (β-
conglycinin) dan 11S (glycinin)—yang merupakan kandungan mayoritas dari protein globulin kedelai.
Kandungan protein 11S dan rasio protein 11S/7S telah dilaporkan memiliki korelasi positif dengan
kekerasan gel tahu pada basis sistem protein terpurifikasi (Kang et al., 1991; Murphy et al., 1997;
Saio et al., 1969 yang dikutip oleh Mujoo, 2003). Utsumi dan Kinsella (1985) yang dikutip oleh
Mujoo (2003) menemukan bahwa protein 7S membentuk gel yang jauh lebih keras dibandingkan
dengan protein 11S. Selain itu terdapat sedikit korelasi antara rasio protein 11S/7S dengan mutu tahu
Konsentrasi protein
Kekuatan ion
Tinggi
Dekat pI
Tinggi
Rendah
Jauh dari pI
Rendah
Larutan Larutan Gel opak Gel transparan Gel turbid (keruh)
Rendah Kekuatan gel (Tinggi)
Rendah
6
(Skurray et al., 1980; Taira, 1990 yang dikutip oleh Mujoo, 2003). Berbeda dengan pendapat Utsumi
dan Kinsella (1985) sebelumnya, Corredig (2006) justru menemukan bahwa gel yang dihasilkan oleh
protein 11S (glycinin) yang sudah terisolasi jauh lebih keras dibandingkan dengan gel yang dihasilkan
oleh protein 7S (β-conglycinin), dan struktur jaringan yang terbentuk berbeda, tergantung dengan
komposisi proteinnya. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Blazek (2008) yang menyatakan bahwa
glycinin berkontribusi besar terhadap peningkatan kekerasan, sementara itu β-conglycinin justru
memiliki pengaruh yang kuat terhadap keelastisitasan gel protein kedelai.
3.1.2 Tahu
Menurut Liu (2008), tahu merupakan produk berbasis kedelai yang airnya terekstrak dan garam
atau asamnya terendap dalam bentuk curd, menyerupai keju putih halus atau yogurt yang sangat keras.
Sederhananya, tahu merupakan protein kedelai yang digumpalkan melalui penambahan suatu bahan
penggumpal. Tahu merupakan pangan yang serbaguna dan bergizi yang terbuat dari curd kedelai
(Obatolu, 2007). Dibandingkan dengan daging atau keju, tahu memiliki kalori yang lebih rendah
karena rasio protein/lemaknya yang lebih tinggi. Tahu juga bebas kolesterol, bebas laktosa, dan
jumlah lemak jenuhnya lebih sedikit (Liu, 2008).
Pemanfaatan protein kedelai yang pertama kali adalah di Asia Timur, Protein tersebut
dimanfaatkan sebagai makanan dalam bentuk tahu gel. Gel dari kedelai atau yang biasa disebut
dengan tahu memiliki kapasitas untuk bertindak sebagai matriks dan menahan air, lemak,
polisakarida, flavor dan bahan komponen lainnya. Sifat karaktersitik dari gel protein kedelai ini
adalah kemampuan menahan proteinnya atau Water Holding Capacity (WHC) yang tinggi
dibandingkan dengan gel dari susu atau gel lainnya (Zayas, 1997).
Tahu merupakan pangan yang diproduksi melalui pemanfaatan sifat gelasi protein kedelai.
Kedelai yang akan dioleh diekstrak proteinnya menjadi susu kedelai lalu digumpalkan menggunakan
koagulan. Oboh (2006) menyatakan bahwa tahu dihasilkan dengan cara mengkoagulasikan susu
kedelai panas baik dengan garam (CaCl2 atau CaSO4) atau asam (glukono-δ-lakton). Pengkoagulasian
ini akan menghasilkan gel protein yang dapat menjerat air, lemak, dan komponen lainnya dalam
matriks curd yang terbentuk. Curd yang terbentuk kemudian ditekan hingga membentuk kubus padat
(Cao dan Chan, 1997; Cao dan Chang, 1999 yang dikutip oleh Oboh, 2006).
Hasil dan mutu dari tahu dipengaruhi oleh varietas kedelai, kualitas kedelai (tergantung dengan
pertumbuhan dan kondisis penyimpanan), dan kondisi proses. Proses koagulasi merupakan tahap yang
paling penting dalam pembuatan tahu dan paling sulit dikontrol karena ketergantungannya terhadap
kompleks hubungan intern dari variabel-variabel berikut: kimiawi kedelai; suhu pemasakan susu
kedelai; volume, kandungan padatan dan pH; tipe, jumlah, konsentrasi dan metode penambahan dan
pencampuran koagulan; serta suhu dan waktu koagulasi (Cai dan Chang, 1998).
Untuk tahu tradisional yang biasanya dijual di Indonesia, proses pembuatannya pada dasarnya
terdiri atas dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Sebagai zat
penggumpal secara tradisional biasanya digunakan biang, yaitu cairan yang keluar pada waktu
pengepresan dan sudah diasamkan semalam. Sebagai pengganti, dapat digunakan air jeruk, cuka,
larutan asam laktat, larutan CaCl2 atau CaSO4. Pada pembuatan tahu cina biasanya digunakan sioko
yang mengandung CaSO4 dan garam. Selain protein, zat-zat lain yang terdapat dalam kedelai juga
terbawa ke dalam endapan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen protein dan mutu
tahu, yaitu cara penggilingan, pemilihan bahan baku, bahan penggumpal, dan keadaan sanitasi proses
pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi secara panas menghasilkan rendemen
lebih banyak (Purwaningsih, 2007).
7
Proses pembuatan tahu pada dapat dimulai dengan memilih kedelai yang berkualitas baik lalu
di bersihkan kotorannya. Setelah itu kedelai direndam dalam air bersih selama 8-12 jam (lebih baik
jika menggunakan air mengalir). Perendaman dimaksudkan untuk melunakkan struktrur selularnya
sehingga mudah digiling dan memberikan disperse dan suspense bahan padat kedelai yang lebih baik
pada waktu ekstraksi (penggilingan). Proses perendaman juga akan mengurangi oligosakarida
penyebab flatulensi menjadi sekitar 30%. Perendaman dapat mempermudah pengupasan kulit kedelai,
tetapi perendamannya yang terlalu lama dapat mengurangi total padatan (Purwaningsih, 2007).
Menurut Subardjo et al. (1987) perendaman yang terlalu lama akan menyebabkan terjadinya
pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai, sedangkan perendaman
yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit pecah saat penggilingan.
Kedelai yang sudah direndam kemudian dikupas dan dilakukan penggilingan dengan
penambahan air antara 8-10 kali berat kedelai. Penggunaan air panas 80-100oC dapat menonaktifkan
enzim lipoksigenase penyebab bau langu serta memperbanyak rendemen. Bubur kedelai selanjutnya
disaring dan filtratnya dimasak. Pemasakan ini bertujuan untuk mengurangi bau langu, menonaktifkan
tripsin inhibitor (antitripsin), meningkatkan daya cerna, mempermudah ekstraksi, penggumpalan
protein, serta menambah keawetan produk (Purwaningsih, 2007). Menurut Liu et al. (2004),
pemanasan optimal dalam pembuatan susu kedelai dilakukan selama 3-10 menit setelah mendidih
yang tujuannya untuk mengekstrak protein kedelai dan mendenaturasi protein serta memudahkan
proses koagulasi. Penggumpalan selanjutnya dilakukan dengan penambahan batu tahu atau biang.
Dalam hal ini harus diperhatikan kecepatan penambahannya. Gumpalan (curd) protein kedelai
selanjutnya dicetak, diperas (dipres) dan dipotong (Purwaningsih, 2007).
Penambahan koagulan ke dalam filtrat dilakukan pada suhu yang tepat, sesuai dengan jenis
koagulan yang digunakan. Setelah curd terbentuk, curd dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam
wadah cetakan, kemudian ditekan perlahan untuk membuang kelebihan air dan terbentuk padatan
tahu. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (2001), untuk mendapatkan hasil dengan jumlah yang tinggi
(misal untuk menghasilkan tahu soft) kebanyakan produsen melakukan penekanan ringan awal sekitar
2-4 gm/cm2 (0.026-0.052 psi) untuk kira-kira 5 menit, kemudian penekanan dan tutup dihilangkan dan
tarik kain ke seluruh sisi untuk meningkatkan pengurasan air, dan pada akhirnya dilakukan penekanan
kuat sekitar 20-100 gm/cm2 (0.26-1.32 psi) untuk kira-kira 20 hingga 30 menit.
Menurut Obatolu (2007), hasil dan kualitas tahu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mutu
dan varietas kedelai, jumlah pengadukan, koagulan yang digunakan, dan besar dan lama penekanan
curd. Selain itu, koagulasi susu kedelai sangat mengandalkan hubungan intern antara tipe kedelai,
suhu pemasakannya, volume, kandungan padatan, pH, tipe dan jumlah koagulan, serta waktu
koagulasi. Semua faktor itu akan mempengaruhi profil tekstur curd yang dihasilkan pada produk akhir
seperti kekerasan. Kekerasan tahu dapat bervariasi dari lunak ke keras dengan kandungan air sekitar
70-90% dan kandungan protein sekitar 5-16%, dan hal itu tergantung dari jenis dan jumlah koagulan,
pengadukan selama koagulasi serta penekanan yang diaplikasikan terhadap curd (DeMan et al, 1986
yang dikutip Blazek, 2008).
Obatolu (2007) menyatakan bahwa tahu lunak digolongkan melalui rasa yang lunak dan tekstur
yang halus dengan kadar air berkisar antara 84-90%. Kekerasan kemungkinan dikarenakan oleh
kepadatan dan kerapatan struktur dari tahu. Tahu yang keras memiliki struktur yang lebih padat
karena molekul proteinnya sangat dekat akibat hilangnya kandungan air selama tahap koagulasi.
Sehingga dapat diasosiasikan bahwa rendahnya kemampuan menahan air (Water Holding Capacity)
akan menyebabkan tahu memiliki kekerasan yang tinggi, sehingga tahu memiliki tekstur yang padat
dan penampakan yang kasar. Sebaliknya, tingginya kemampuan struktur tahu dalam menahan air akan
8
menyebabkan tahu memiliki kekerasan yang rendah, sehingga tahu memiliki tekstur yang lembut dan
penampakan yang halus.
3.2 KOAGULASI DAN KOAGULAN
Tahap koagulasi protein (pengendapan protein) merupakan salah satu tahapan penting dalam
pembuatan produk pangan berbasis curd. Koagulasi adalah proses perubahan bentuk dari susu cair
menjadi padatan berbentuk gel. Menurut Meng et al. (2002), koagulasi adalah interaksi acak molekul-
molekul protein yang mengakibatkan terbentuknya agregat protein baik yang memiliki sifat larut
maupun yang tidak larut. Koagulasi protein dilakukan biasanya dilakukan dengan bantuan koagulan
sebagai penggumpal protein. Secara tidak langsung proses koagulasi protein yang mempengaruhi
struktur curd yang dihasilkan, dapat menentukan mutu tekstur produk akhir. Terdapat tiga jenis
koagulan yang biasa digunakan untuk menghasilkan curd, yaitu garam, asam, dan enzim.
Dalam pembuatan tahu, proses penggumpalan merupakan tahapan proses paling menentukan
bagi sifat-sifat fisik dan organoleptik tahu. Menurut Blazek (2008), proses koagulasi merupakan tahap
yang tersulit karena ketergantungannya terhadap hubungan intern yang rumit dari berbagai variabel.
Peningkatan suhu koagulasi akan meningkatkan kekerasan seiring dengan peningkatan tingkat
pengadukan langsung setelah penambahan koagulan (Saio, 1979 yang dikutip oleh Blazek, 2008).
Selain itu, menurut Johnson dan Wilson (1984), jumlah koagulan yang dibutuhkan dalam
pengkoagulasian tahu tergantung pada kadar padatan yang terdapat dalam susu kedelai yang
dihasilkan.
Poysa dan Woodrow (2004) melaporkan bahwa penggunaan koagulan yang berbeda akan
menghasilkan tahu dengan sifat tekstur dan flavor yang berbeda. Lebih jauh lagi, Beddows dan Wong
(1987) menyatakan bahwa kalsium sulfat yang merupakan koagulan yang biasanya dipakai dalam
pembuatan tahu, akan membantu memudahkan protein dalam susu kedelai untuk beragregasi. Kalsium
sulfat yang bereaksi dengan protein akan menciptakan ikatan silang antar polimer protein. Kombinasi
antara panas dengan mekanisme kerja kalsium tersebut akan membentuk struktur tahu. Mutu produk
akhir tahu dipengaruhi oleh pH, konsentrasi koagulan, dan kecepatan pengadukan selama proses.
Koagulasi protein susu kedelai terjadi pada pH 4.1-4.6, dan dari koagulasi tersebut akan
dihasilkan curd yang mengandung protein yang sebagian besar terdiri atas globulin (Karsono, 2010).
Menurut Shurtleff dan Aoyogi (1984), penambahan koagulan sebaiknya diaplikasikan saat susu
kedelai telah mencapai suhu antara 70-90oC, tapi hal ini tergantung dari jenis koagulan yang dipakai.
Koagulasi ini akan menghasilkan hasil samping yang umumnya mengandung albumin, protease,
pepton, nitrogen yang bukan dari protein, gula, antitrypsin, urease, lipoksidase, serta enzim-enzim lain
dan bahan lain yang ikut terlarut dalam air (Smith, 1958).
Shurtleff dan Aoyogi (2001) menyatakan bahwa di dunia terdapat empat tipe koagulan atau
penggumpal dasar yang digunakan untuk membuat tahu, yaitu: 1) koagulan tipe garam klorida atau
nigari; 2) koagulan tipe sulfat; 3) Glukono delta lakton (GDL atau lakton); dan 4) koagulan tipe
asam. Tipe koagulan atau bahan penggumpal untuk pembuatan tahu yang umum digunakan dapat
dilihat pada Tabel 1. Untuk penggumpal tahu tipe garam, kation metal (yang bermuatan positif) dalam
garam (seperti Mg2+ atau Ca2+) bereaksi dengan bermacam protein dalam susu kedelai dan mengendap
dengan minyak membentuk curd. Pemakaian koagulan tipe garam dapat menyebabkan terjadinya
koagulasi protein pada pH di atas titik isoelektrik protein globulin kedelai (Wolf dan Cowan, 1971).
Contoh-contoh koagulan yang biasa dipakai beserta tipe tahu dan suhu koagulasinya dapat dilihat
pada Tabel2.
9
Tabel 1. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan
Golongan Jenis yang umum digunakan
Garam klorida (nigari)
Garam sulfat
Lakton
Asam
nigari alami, MgCl2.6H2O, air laut, CaCl2,
CaCl2.2H2O
CaSO4.2H2O dan MgSO4.7H2O
C6H10O6 (glukono-δ-lakton)/GDL
Asam laktat, sari buah jeruk, asam asetat,
cuka (larutan asam asetat 4%)
Sumber : Shurtleff dan Aoyogi (1984)
Tabel 2. Jenis koagulan yang biasa dipakai untuk beberapa tipe tahu beserta suhu koagulasinya
Tipe Tahu Koagulan Suhu Koagulasi
Regular atau Firm Tipe Nigari1
Kalsium sulfat
Lakton (GDL)
Sari lemon
Vinegar
70-85oC
70-75oC
90oC
80-90oC
80-90oC
Tahu Silken
Tipe Nigari
Kalsium sulfat
65-68oC
70oC
Tahu silken dalam bungkus Lakton
Kalsium sulfat
85oC2
90oC2
Keterangan : (1) Termasuk nigari alami, magnesium klorida dan kalsium klorida. (2) Koagulan ditambahkan
pada susu kedelai dingin kemudian dipanaskan hingga 85oC atau 90oC.
Sumber : Shurtleff dan Aoyogi (2001)
Nigari alami atau juga dikenal dengan ―bittern‖, diekstrak dari air laut dengan menghilangkan
hampir atau semua garam meja (NaCl) dan air. Campuran mineral laut alami mengandung utamanya
magnesium klorida dan semua garam lain dan sisa-sisa mineral dalam air laut. Koagulan tipe nigari
mampu menghasilkan tahu yang paling enak, mengingat aroma dan flavor manisnya yang sangat
halus. Nigari dibandingkan dengan kalsium sulfat dan lakton memiliki kekurangan, yaitu nigari harus
ditambahkan perlahan, beberapa kali ke dalam susu kedelai. Penggumpalan menggunakan nigari
membutuhkan waktu yang lama. Selain itu dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan dalam
menggunakan koagulan ini. Kekurangan lainnya adalah tahu yang dihasilkan tidaklah terlalu lembut
dan halus (Shurtleff dan Aoyogi, 2001).
Koagulan tipe sulfat merupakan koagulan yang sudah digunakan secara luas di dunia. Jenis
yang paling umum adalah kalsium sulfat (garam gypsum) dan magnesium sulfat (garam Epsom).
Koagulan-koagulan ini sangat tepat bagi metode produksi masal modern walaupun koagulan ini
terdispersi dengan lambat dalam air untuk membentuk larutan koloid yang memiliki waktu reaksi
koagulasi yang lambat. Namun penggunaan koagulan ini cukup mudah, bahkan bagi orang yang tidak
terlatih (Shurtleff dan Aoyogi, 2001). Selain itu menurut Obatolu (2007) semakin lambat aksi
pengkoagulasian oleh koagulan, semakin baik rendemen tahu yang dihasilkan dibandingkan dengan
koagulan yang cepat aksi pengkoagulasiannya.
10
Koagulan tipe lakton atau GDL, merupakan koagulan nomor dua yang digunakan secara luas
sebagai koagulan tahu di Jepang. Hasil dari pengkoagulasian protein menggunakan koagulan ini
adalah tahu sutra (silken tofu). Ketika lakton dicampurkan dengan susu kedelai dan dipanaskan, lakton
akan memproduksi asam glukonat yang mengkoagulasi protein susu kedelai untuk membentuk tahu
sutra, dan proses ini hampir mirip dengan proses yang terjadi pada asam, yang diproduksi oleh
mikroba starter, yang digunakan pada saat pembuatan yogurt (Shurtleff dan Aoyogi, 2001).
Mekanisme gelasi protein oleh koagulan CaSO4 dan GDL dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Mekanisme gelasi protein oleh koagulan CaSO4 dan GDL. (Kohyama et al., 1995)
Koagulan tipe asam yang sering digunakan dalam pengendapan protein kedelai adalah asam
laktat (seperti yang dihasilkan secara alami oleh Lactobacillus). Asam laktat memberikan flavor yang
jauh lebih baik dibandingkan dengan lakton dan menghasilkan struktur molekul yang lebih kecil juga.
Asam asetat bahkan memberikan performa yang lebih baik dibandingkan dengan asam laktat, karena
dapat mengkoagulasikan protein sebanyak 67.8% dari total protein, ketika pH diturunkan menjadi 4.5,
di mana asam laktat hanya mampu mengkoagulasikan 55% dari total protein kedelai. Asam lainnya
yang aman untuk pangan seperti asam sulfurat, hidroklorat, fosforat, sitrat, malat atau tartarat dapat
juga digunakan secara komersial dalam pengendapan curd konsentrat protein kedelai (Shurtleff dan
Aoyogi, 2001).
Berbagai sari buah jeruk (khususnya sari lemon) dapat bekerja sama baiknya dengan koagulan
alami, dan koagulan ini mungkin merupakan yang terbaik bagi Negara tropis di mana harganya tidak
terlalu mahal dan tersedia secara local, walaupun dibandingkan dengan nigari dan kalsium sulfat
rendemen tahunya lebih rendah, tekstur sedikit rapuh, dan flavornya sedikit asam. Di Indonesia whey
tahu yang telah dibiarkan terfermentasi selama semalam (diinokulasikan dengan sedikit whey
terfermentasi dari hari sebelumnya) hingga menjadi asam juga dapat digunakan sebagai koagulan
yang gratis dan mudah dibuat lagi dan juga mampu menghasilkan tahu dengan mutu yang bagus. Di
Thailand dan Burma, sari buah beri yang pahit dari pohon tertentu dikatakan dapat digunakan juga
sebagai koagulan (Shurtleff dan Aoyogi, 2001).
Struktur awal
Protein
Protein
terdenaturasi
Pemanasan
(Tahap Pertama)
(Tahap Kedua) Agregasi
Struktur
Jaringan
Gel
Gel
11
3.3 TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN
Elektroforesis merupakan suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu zat melalui migrasi
partikel bermuatan atau ion-ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik. Menurut Nielsen
(2010) elektroforesis adalah migrasi molekul bermuatan dalam suatu larutan melalui suatu medan
listrik. Migrasi partikel ini tergantung dengan viskositas larutan, ukuran dan muatan partikel, dan yang
paling penting adalah voltase yang digunakan (Pomeranz dan Meloan, 1994). Selain itu Rybicky dan
Purves (1996) juga menyatakan bahwa tingkat migrasi partikel bermuatan tergantung dari kekuatan
medan, muatan total, ukuran, bentuk dan kekuatan ion partikel, viskositas, dan suhu medium di mana
molekul bergerak.
Menurut Copeland (1994), metode elektroforesis telah digunakan secara luas dalam
penganalisisan protein untuk mencari tingkat kemurnian, berat molekul, dan terkadang titik
isoelektrik. Teknik elektroforesis juga sering digunakan untuk mengetahui komposisi produk pangan.
Sebagai contoh, perbedaan dalam komposisi protein dari konsentrat protein kedelai dan konsentrat
protein whey yang dihasilkan melalui teknik separasi yang berbeda, dapat dideteksi (Nielsen, 2010).
Banyak molekul biologis, seperti asam amino, peptida, protein, nukleotida dan asam nukleat,
yang memiliki grup yang dapat berionisasi pada pH berapapun yang digunakan, yang terdapat dalam
larutan baik sebagai kation (+) maupun anion (-). Di bawah pengaruh medan listrik, partikel
bermuatan ini akan bermigrasi baik ke katoda maupun ke anoda, tergantung dengan muatan alaminya
(Wilson dan Walker, 2000). Menurut Nielsen (2010), besarnya muatan dan voltase yang digunakan
akan menentukan berapa jauh sebuah protein akan bermigrasi dalam suatu medan listrik. Namun
terdapat juga gaya gesek yang menghambat pergerakan dari molekul bermuatan ini. Gaya gesek ini
ditimbulkan oleh ukuran hidrodinamik dari molekul, bentuk molekul, ukuran pori-pori medium di
mana elektroforesis dilakukan, dan viskositas dari buffer (Wilson dan Walker, 2000).
Tipe elektroforesis yang paling umum dilakukan untuk protein adalah elektroforesis zonal, di
mana protein dipisahkan dari campuran yang kompleks menjadi pita-pita melalui migrasi dalam buffer
encer dalam matriks polimer padat yang disebut gel. Gel poliakrilamid adalah matriks yang paling
umum digunakan untuk elektroforesis protein, walaupun matriks-matriks lainnya seperti pati dan
agarosa mungkin digunakan. Matriks gel dibentuk sebagai slab diantara dua papan gelas (Nielsen,
2010).
Matriks gel poliakrilamid dibentuk melalui polimerisasi akrilamid dan sejumlah kecil (biasanya
5% atau kurang) dari cross-linking reagent, N, N‘-metilenbisakrilamid, dengan kehadiran katalis,
tetrametiletilendiamin (TEMED), dan sebuah sumber radikal bebas, amonium persulfat (Nielsen,
2010). Mekanisme pembentukan gel adalah polimerisasi adisi vinil dan dikatalis oleh sistem radikal
bebas yang terbentuk dari ammonium persulfat (inisiator) dan TEMED (katalis). TEMED
menyebabkan pembentukkan radikal bebas dari persulfat dan berturut-turut mengkatalisis
polimerisasi. Oksigen, pengikat radikal,dapat mengganggu polimerisasi, sehingga penghilangan gas
yang tepat untuk menghilangkan oksigen terlarut dari larutan akrilamid sangatlah penting bagi
pembentukan gel. Setelah akrilamid aktif terbentuk, akrilamid aktif akan bereaksi dengan akrilamid
lain untuk membentuk rantai polimer panjang. Gel kemudian terbentuk sebagai hasil dari polimerisasi
ini dengan struktur berbentuk jala. Jumlah akrilamid dan ikatan silang dari akrilamid yang digunakan
akan menentukan ukuran pori serta ukuran jala dari gel (Garfin, 1990).
Pemisahan protein dapat dilakukan dengan cara elektroforesis native, yaitu protein dipisahkan
menurut bentuk alaminya berdasarkan muatan, ukuran, dan bentuk molekul. Namun pemisahan
protein yang biasanya digunakan adalah melalui elektroforesis denaturasi. Teknik ini dilakukan
dengan menggunakan media poliakrilamid dan protein yang akan dipisahkan terlebih dahulu
12
didenaturasikan. Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) dengan detergen anionik, sodium
dodecyl sulfate (SDS), digunakan untuk memisahkan subunit protein menurut ukurannya. Protein
disolubilisasi dan dipisahkan menjadi subunit-subunit dalam suatu buffer yang mengandung SDS dan
reducing agent. Reducing agent, seperti mercaptoethanol atau ditiotreitol, digunakan untuk
mengurangi ikatan disulfida yang terdapat pada suatu subunit protein atau di antara subunit-subunit
protein. Protein akan mengikat SDS, yang akan membuatnya menjadi bermuatan negatif, dan
kemudian dipisahkan berdasarkan ukurannya sendiri (Nielsen, 2010).
SDS akan melapisi protein yang telah terdenaturasi. Pada bentuk terdenaturasi, kebanyakan
protein mengikat SDS dalam rasio berat yang konstan, sehingga protein berakhir dengan memiliki
densitas bermuatan yang sama. Di bawah kondisi seperti ini, tingkat migrasi protein dalam medan
listrik tidak lagi tergantung pada muatan yang melekat pada molekul, tetap lebih ditentukan semata-
mata oleh ukuran molekul (sebagai contoh, protein yang lebih besar akan lebih sangat terhambat
dalam migrasi dalam gel polimer dibandingkan dengan protein yang lebih kecil). Skema dari alat
SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 4. Sampel protein akan diinjeksikan melalui sumur pada ujung
atas gel yang kontak, melalui kolam buffer, dengan katoda. Bagian bawah gel juga terhubung dengan
anoda. Ketika arus listrik diaplikasikan, protein yang terlapis oleh SDS akan bermigrasi ke bagian
bawah gel, di bawah pengaruh medan listrik yang diberikan (Copeland, 1994). Kompleks SDS-protein
yang lebih besar akan memiliki mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompleks SDS-
protein yang lebih kecil.
Gambar 4. Skema alat SDS-PAGE (Jage, 2008)
Menurut Boyer (1993), gel yang dibentuk dari polimerisasi akrilamid memiliki beberapa
kelebihan positif dalam elektroforesis: 1) memiliki kemampuan pemisahan yang tinggi bagi protein
dan asam nukleat yang berukuran kecil hingga sedang (kira-kira hingga 1 × 106 dalton); 2) dapat
menerima ukuran sampel yang relative besar; 3) memiliki interaksi yang minimal antara molekul yang
bermigrasi dengan matriks; 4) memiliki matriks yang fisiknya stabil. Elektroforesis melalui gel
poliakrilamid dapat meningkatkan resolusi komponen sampel disebabkan oleh separasinya yang
berdasarkan penyaringan molekul dan mobilitas elektroforesis.
Resolusi berat molekul yang dicapai melalui SDS-PAGE sebagian tergantung pada ukuran pori
dari gel polimer. Dengan demikian persentase akrilamid yang digunakan dalam preparasi gel perlu
untuk diperhatikan. Persentase akrilamid yang digunakan akan tergantung pada kisaran berat molekul
sesuai dengan sampel yang akan dipisahkan. Tabel 3 menunjukkan persentase akrilamid yang dapat
13
digunakan untuk fraksinasi protein yang memiliki kisaran berat molekul yang berbeda-beda
(Copeland, 1994).
Tabel 3. Persentase akrilamid yang digunakan untuk pemisahan molekul protein dengan kisaran
berat molekul tertentu.
Kisaran Berat Molekul Protein Persentase Akrilamid
200,000-60,000
120,000-30,000
75,000-18,000
60,000-15,000
45,000-12,000
5.0%
7.5%
10.0%
12.5%
15.0%
Sumber : Copeland (1994)
Menurut Copeland (1994), gel elektroforesis atau sistem buffer dapat berupa homogen
(continous) atau multifase (discontinuous). Sistem homogen mengandung ion buffer dan pH dalam
preparasi sampel, buffer elektorda, dan gel yang sama. Dalam sistem buffer multiphase, stacking gel
yang berbeda komposisi pH dan/atau komposisi buffer, digunakan untuk mengkonsentrasi dan
menajamkan unsur pokok sampel sebelum masuk ke resolving gel (separating gel). Buffer yang
digunakan untuk menyiapkan dua lapisan gel tersebut memiliki pH dan kekuatan ion yang berbeda.
Stacking gel memiliki konsentrasi akrilamid yang lebih rendah, sehingga ukuran porinya jauh lebih
besar.
Pembuatan separating gel dan stacking gel menggunakan buffer dan konsentrasi akrilamid
yang berbeda. Pada separating gel atau resolving gel digunakan buffer dengan pH 8-9 dengan
konsentrasi akrilamid yang tinggi (7.5%) yang membuatnya memiliki ukuran pori yang kecil,
sedangkan pada stacking gel digunakan buffer dengan pH 6.9 dengan konsentrasi akrilamid yang lebih
rendah (2-3%) yang membuatnya memiliki ukuran pori yang besar. Dengan demikian, akan dihasilkan
pembentukkan pita-pita sampel yang sangat baik pada stacking gel dan resolusi komponen sampel
yang terbentuk pada resolving gel juga sangat tinggi (Boyer, 1993).
3.4 TEKSTUR
Tekstur adalah salah satu sifat yang sangat menentukan dalam produk pangan. Umumnya para
produsen pangan menghasilkan produk dengan tekstur, flavor, dan penampakan yang sesuai dengan
keinginan konsumen atau dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Menurut deMan (1999), warna,
flavor, dan tekstur merupakan atribut-atribut penting dalam kualitas pangan. Hal ini membuat
pengetahuan mengenai penyebab terbentuknya tekstur tertentu menjadi sangat penting untuk diketahui
oleh para pelaku industri pangan.
Tekstur dipengaruhi oleh sifat fisik dan fisikokimia di antara produk-produk pangan. Bourne
(2002) menyatakan bahwa perbedaan tekstur yang disukai diturunkan dari kompleksitas organ-organ
pengunyahan manusia. Terdapat tiga tipe gigi yang berbeda, dan masing-masing memberikan fungsi
yang berbeda-beda. Rahang dapat digerakkan dalam tiga tingkatan tergantung dari sifat alami
makanan. Lidah memainkan peranan aktif dalam pengunyahan, dan untuk pangan lembut seperti es
krim dan yogurt, lidah merupakan alat utama dalam membentuk bentuk makanan yang mampu
14
ditelan, di mana lidah hanya melakukan kerja yang sedikit. Saliva memainkan peranan utama dalam
penyiapan makanan sebelum penelanan.
Menurut deMan (1999), tekstur dapat didefinisikan sebagai cara di mana unsur pokok dan
elemen-elemen struktur yang bermacam-macam disusun dan digabung ke dalam mikro- dan
makrostruktur, dan manifestasi eksternal struktur ini berkenaan dengan aliran dan deformasi. Tekstur
juga didefinisikan sebagai manifestasi sensori dari struktur pangan dan cara di mana struktur ini
bereaksi untuk menerima gaya, indera spesifik termasuk penglihatan, kinestetik, dan pendengaran
(Szczesniak, 1990 yang dikutip oleh Bourne, 2002). Berdasarkan ISO tahun 1992 yang dikutip oleh
Bourne (2002), tekstur adalah semua atribut mekanis (permukaan dan geometris) dari produk pangan
yang dapat dijelaskan melalui alat mekanis, sentuhan, reseptor visual dan pendengaran.
Szczesniak (1963) yang dikutip oleh Rosenthal (1999), karakteristik tekstur dapat dibagi ke
dalam tiga kelas utama, yaitu: 1) karaktersitik mekanis, yaitu yang berhubungan dengan reaksi pangan
terhadap tekanan, yang meliputi parameter primer (kekerasan, kohesivitas, viskositas, elastisitas, daya
adesif) dan parameter sekunder (daya kunyah, gumminess); 2) karakteristik geometris, yaitu yang
berhubungan dengan ukuran, bentuk dan orientasi partikel dalam pangan—seperti, powdery, gritty,
lumpy, flaky, fibrous, cellular, aerated, dan crystalline; 3) karakteristik lainnya—yaitu yang
berhubungan dengan persepsi atas kadar air dan lemak dalam pangan seperti, kering, basah, dan
berminyak.
Menurut Scott-Blair (1958) yang dikutip oleh Rosenthal (1999), teknik instrumental untuk
mengukur tekstur pangan dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1) pengukuran empiris,
yaitu metode untuk mengukur atribut mekanis produk dengan menggabungkan beberapa prinsip
percobaan seperti penetrasi, pemotongan, penekanan, dan lain-lain; 2) pengukuran imitative, yaitu
metode yang sengaja didesain dengan meniru proses pengunyahan dalam mulut manusia seperti
Texture Profile Analysis (TPA); 3) pengukuran fundamental, yaitu metode untuk mengukur atribut
reologi atau fisik.
Pengukuran imitatif dilakukan untuk meniru pengunyahan yang biasa terjadi dalam mulut
manusia. Alat ini dibuat khusus untuk mengukur stress dan/atau strain selama rangkaian pengujian.
Dulu pengujian seperti ini banyak sekali dilakukan, beberapa di antaranya menggunakan gigi-gigi
manusia palsu yang saling bergerak, untuk meniru pergerakan dari rahang manusia. Sementara itu ada
beberapa indra yang dibuat dengan alat yang memiliki geometri yang mirip dengan mulut manusia,
untuk mendapatkan data yang sangat tergantung pada faktor-faktor seperti tipe dan posisi sensori serta
gerakan rahang. Akan tetapi beberapa modifikasi kecil pada alat, seperti penggantian gigi-gigi palsu
dengan plunger pada area cross-section, sehingga stress yang tepat dapat diaplikasikan, dan hal ini
akan membuat alat menghasilkan data yang sangat berguna bagi aplikasi komparatif seperti quality
assurance (Rosenthal, 1999).
Pengukuran imitatif yang dapat mewakili semua imajinasi dari banyak ahli teknologi pangan
karena pengukurannya yang dapat menyediakan nilai tekstur pangan yang terstandarisasi adalah
Texture Profile Analysis (TPA), yang dalam General Foods di pertengahan tahun 1960. Dalam sebuah
paper, Szczesniak (1963) dan koleganya menegaskan bermacam-macam istilah yang berhubungan
dengan tekstur, yang dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan standar-standar sensori yang telah dibuat
oleh Szczesniak dan koleganya, alat dengan gaya deformasi yang kompresif dikembangkan.
Berdasarkan pada alat yang mendeformasi pangan melalui gerakan yang menyerupai rahang manusia,
General Foods Texturometer menggunakan alat semacam plunger yang berujung pipih yang akan
kontak langsung dengan sampel makanan guna mengukur tekstur pangan tersebut (Friedman,
Whitney, dan Szczesniak, 1963 yang dikutip oleh Rosenthal, 1999).
15
Siklus dua gigitan digunakan, dan stress yang terdapat pada sampel makanan diukur ketika
sampel ditekan. Setelah ―gigitan pertama‖ beban dihilangkan dari sampel dan dibiarkan untuk istirahat
sebentar. Ketika plunger ditarik menjauh dari permukaan sampel, setiap ketenggangan yang
diakibatkan oleh stickiness (kelengketan) akan diobservasi. Alat kemudian menekan sampel untuk
kedua kalinya (Gigitan kedua) yang diikuti dengan pengistirahatan yang kedua. Ketahanan pangan
selama deformasi dimonitor melalui siklus dua gigitan ini (Rosenthal, 1999). Kurva TPA stress-strain
yang ideal ditunjukkan pada Gambar 5.
Dalam usaha untuk menghubungkan definisi tekstur sensorial telah dijelaskan pada Tabel 4,
sebuah fungsi matematika diatribusikan ke setiap hal dalam basis data kurva stress-strain yang
didapatkan dari teksturometer. Hal ini dicapai melalui ―eksperimen dan pertimbangan yang teliti atas
variabel dependen penting‖ (Friedman et al., 1963, p.393). Ilustrasi mengenai bagaimana pengukuran
instrumental ini ditentukan telah ditampilkan dalam Tabel 4. Sebagai contoh, kekohesivitasan
didefinisikan sebagai rasio dari tenaga yang dibutuhkan untuk menekan sampel pada gigitan kedua
dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menekan sampel pada gigitan pertama.
Lebih jelasnya, kekohesivitasan ditentukan dengan cara menghitung rasio dari area di bawah
dua puncak kurva yang sama dengan dua kali gigitan dalam mulut manusia. Bukti bahwa alat yang
digunakan sesuai dengan panel sensori, dicapai dengan mengkorelasikan penilaian sensori yang telah
dilakukan dengan output dari teksturometer. Garis atau kurva yang paling tepat kemudian dicocokkan
dengan data (Szczesniak et al., 1963 yang dikutip oleh Rosenthal, 1999).
Sudah jelas bahwa pengembangan dari TPA telah memberikan kontribusi yang sangat berharga
bagi pengukuran nilai tekstur pangan. Bagaimanapun, kehati-hatian tetap harus dilakukan dalam
menerima hasil bagi tujuan-tujuan lain selain evaluasi komparatif. Tekniknya jelas sekali merupakan
tiruan dari apa yang terjadi di dalam mulut. Tapi harus dicatat bahwa cukup selain perbedaan-
perbedaan, yang teridentifikasi lebih awal, antara pengujian dengan alat dan oleh manusia (seperti
kontrol suhu, saliva), hubungan antara beberapa karakteristik sensori yang dimaksudkan untuk diukur
melalui TPA tidaklah linier (Rosenthal, 1999). Sebagai contoh, menurut Szczesniak et al (1963) yang
dikutip Rosenthal (1999), saat tingkat kekerasan sensori berada pada 1 dan 2 terdapat sekitar 10 unit
teksturometer, sedangkan saat tingkat kekerasan sensori berada pada 8 dan 9 terdapat sekitar 70 unit
teksturometer.
Gambar 5. Aspek-aspek kurva texture profile analysis (Rosenthal, 1999)
Gigitan pertama
Gigitan kedua
Waktu
16
Kelebihan lain dari TPA sebagaimana diukur dengan teksturometer adalah bahwa alat tersebut
memiliki aksi berayun hasil dari konstruksi pivotal (analog dengan sendi temporomandibular).
Wilayah kontak antara bidang horizontal sampel dan plunger berujung pipih akan bervariasi, awalnya
menjadi kecil dulu dan kemudian dengan cepat meningkat hingga semuanya kontak dengan sampel
makanan.
Meskipun terdapat kekurangan-kekurangan seperti ini, besarnya ketersediaan mesin pengujian
kompresif gaya deformasi lainnya di pasar telah mendorong penggunaan metode TPA untuk
pengujian komparatif dibandingkan dengan menggunakan alat lainnya. Sebagai contoh, Bourne
(1996) mengganti mesin pengujian Instron Universal dan menggunakan TPA untuk membandingkan
tingkat kematangan buah pear yang berbeda-beda (Rosenthal, 1999).
Selama TPA terbatas pada pengujian komparatif, beberapa dari kekurangan ini tidaklah
menjadi masalah, tapi jika pekerja mengabaikan poin seperti ini dan memperlakukan analog
instrumental atas istilah-istilah sensori ini sebagai nilai absolut, maka basisnya dapat beresiko.
Szczesniak dan Hall (1975) mengenali potensi ini sebagai penyalahgunaan dan menyatakan bahwa
―penggunaan teksturometer yang tepat masih lebih seperti seni karena operatornya harus
menggunakan pemikiran yang tidak mampu dilakukan oleh alat tersebut‖ (Rosenthal, 1999).
Szczesniak (1975) menggunakan TPA untuk menguji gel gelatin dan gel karagenan. Sehingga
beberapa hal yang biasa terdapat di antara gel-gel percobaan, dapat dimasukkan ke dalam tingkat
kekuatan gel yang sama seperti yang telah diukur dengan menggunakan Bloom Gelometer. Ketika
kekuatan Bloom sama, perbedaan kekerasan dan daya adesif dalam TPA menjadi jelas. Aspek menarik
dari studi mereka adalah bahwa pengukuran TPA dilakukan pada kisaran suhu tertentu. Hasil dari
penganekaragam suhu pengujian dari 10oC hingga 20oC yaitu penurunan yang dramatis pada
kekerasan gel gelatin, agaknya disebabkan oleh pelelehan. Sebaliknya gel karagenan, yang tidak
meleleh, hanya menunjukkan pengurangan yang sedikit pada kekerasannya. Tingkat kekohesivan dari
gel karagenan dan gel gelatin tampak hampir tak dapat dibedakan satu sama lain dan susah berubah di
sepanjang gradien suhu (Rosenthal, 1999).
Henry, Katz, Pilgrim, dan May (1971) yang dikutip Rosenthal (1999) melakukan TPA pada
makanan berjenis semisolid (seperti gel gelatin). Di samping karakteristik yang diidentifikasikan di
Tabel 4, mereka menentukan lima variabel lagi, yang berhubungan dengan sifat material selama
upstroke ketika plunger ditarik menjauh dari sampel. Di samping pengujian instrumental, mereka juga
melakukan evaluasi sensori pada makanan.
Penggunaan analisis korelasi di setiap atribut memperkenankan identifikasi terhadap empat
faktor yang bertanggungjawab atas 95% perbedaan sensori. Masing-masing faktor berkolerasi baik
dengan atribut-atribut spesifik. Sebagai contoh, 33% dari perbedaan sensori dijelaskan oleh faktor
yang didasarkan pada ―stringy dan sticky‖. Regresi berlipat kemudian diimplementasikan kepada
keempat faktor sensori dan setiap pengukuran instrumental. Telah ditemukan bahwa faktor-faktor
sensori dapat dijelaskan hanya dengan menggunakan delapan pengukuran instrumental, dan menurut
mereka, dalam kasus pangan semisolid, banyak data yang didapat dari TPA yang justru berlebih
(Rosenthal, 1999).
17
Tabel 4. Parameter-parameter yang diukur oleh analisis profil tekstur
Parameter Definisi Sensorial Definisi Instrumetal
Kekerasan
Gaya yang dibutuhkan untuk
menekan produk pangan di antara geraham
Elastisitas
Besaran di mana sebuah
produk pangan kembali ke
ukuran aslinya ketika beban
dihilangkan
Siklus= Kontak kedua – Kontak pertama
Elastisitas = Siklus untuk material inelastik
- Siklus untuk pangan
Daya adesif
Energi yang dibutuhkan untuk
menarik pangan menjauh dari permukaan
Daya kohesif
Kekuatan ikatan internal yang
membangun pangan
Kerapuhan
Gaya yang membuat material
remuk
Daya kunyah
Energi yang dibutuhkan untuk
mengunyah pangan padat
hingga siap untuk ditelan
= Kekerasan x Daya Kohesif x Elastisitas
Kelengketan
Energi yang dibutuhkan untuk
menghancurkan pangan semi
padat sehingga mudah untuk
ditelan
= Kekerasan x Daya Kohesif
Sumber : Rosenthal (1999)
Daya Kohesif = B/A
Kerapuhan
Kekerasan