44
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumber Daya Air Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi lainnya (Dinar et al., 2005). Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan, baik dalam lingkup atmosfir, litosfir dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik), pertanian, industri dan kegiatan ekonomi lainnya (Nittu, 2005). Air sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah administrasi. Aliran air selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal, juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara administratif dan atau politik berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pemanfaatan air sangat erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung-jawab semua wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut (Karyana, 2007). Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air berkelanjutan (Edwarsyah, 2008). Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan karena adanya masalah-masalah dalam manajemen sumber daya air (SDA). Masalah kelangkaan dan alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah menjadikan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan bahkan sumber konflik lintas wilayah (Saiki, 2004). Sumber daya air (SDA) mempunyai sifat mengalir dan dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk suatu sistem (Nuddin, 2007). Dengan demikian, pengelolaan SDA akan berdampak pada kondisi sumber daya lainnya dan sebaliknya. Pengelolaan SDA Terpadu mengisyaratkan pengelolaan SDA yang utuh dari hulu sampai hilir dengan basis daerah aliran sungai dalam satu pola pengelolaan SDA tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya (Sjarief, 2009). Oleh karena itu,

II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

  • Upload
    vudiep

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

11

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumber Daya Air

Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan

manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh

materi lainnya (Dinar et al., 2005). Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai

sistem kehidupan, baik dalam lingkup atmosfir, litosfir dan biosfir. Hampir semua

kebutuhan hidup manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga

(domestik), pertanian, industri dan kegiatan ekonomi lainnya (Nittu, 2005). Air

sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat

dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah

administrasi. Aliran air selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal,

juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara

administratif dan atau politik berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona

resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pemanfaatan air sangat erat,

sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi

tanggung-jawab semua wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut

(Karyana, 2007).

Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada

di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air

berkelanjutan (Edwarsyah, 2008). Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan

karena adanya masalah-masalah dalam manajemen sumber daya air (SDA).

Masalah kelangkaan dan alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah

menjadikan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser

menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan bahkan sumber konflik lintas

wilayah (Saiki, 2004). Sumber daya air (SDA) mempunyai sifat mengalir dan

dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk suatu

sistem (Nuddin, 2007). Dengan demikian, pengelolaan SDA akan berdampak

pada kondisi sumber daya lainnya dan sebaliknya. Pengelolaan SDA Terpadu

mengisyaratkan pengelolaan SDA yang utuh dari hulu sampai hilir dengan basis

daerah aliran sungai dalam satu pola pengelolaan SDA tanpa dipengaruhi oleh

batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya (Sjarief, 2009). Oleh karena itu,

Page 2: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

12

agar pengelolaan berbagai sumber daya tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi

masyarakat secara optimal, maka diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu

antar lembaga dan antar wilayah serta berkelanjutan.

Kompleksitas dan banyaknya pihak yang terlibat dan berkepntingan dalam

pengelolaan SDA dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah.

Gambar 3 Kompeksitas pengelolaan SDA

Sumber daya air alamiah berada di dalam wilayah hidrologis yang disebut

daerah aliran sungai (DAS). Ketersediaan SDA dalam setiap DAS sangat

dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan hidrogeologi setempat sehingga

mengakibatkan adanya DAS dengan ketersediaan air yang melimpah dan DAS

yang sangat kekurangan air. Sumber daya air memiliki tiga fungsi yaitu fungsi

sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Mereka tidak berdiri sendiri-sendiri akan

tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya

sehingga dapat dirumuskan bahwa SDA mempunyai fungsi sosial, lingkungan

hidup dan ekonomi. Hal ini konsisten dengan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya peningkatan

pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri yang memerlukan ketersediaan

air baku, mengurangi kemiskinan serta mengubah pola produksi dan konsumsi

kearah yang seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemenuhan

kebutuhan air minum masyarakat, peningkatan kualitas hidup dan kesehatan

lingkungan keairan. Dimensi lingkungan meliputi upaya pengurangan dan

Departemen PU

Departemen

Kehutanan

Swasta dan

Masyarakat

Stakeholders lain

Pemerintah Daerah

dan Pusat

Departemen ESDM

SUMBERDAYA

AIR

PERMUKAAN :

SUNGAI

SUMBERDAYA

LAHAN: Hutan

(Catchement

Area), Sawah

dan Industri

IRIGASI

Kebutuhan Pertanian

Lain

PLTA

Kebutuhan industri

Kebutuhan Air Baku

SUMBER AIR

MINUM

Eksploitasi Alih fungsi

Lahn untuk investasi

dan peningkatan PAD

Ket

erhu

bung

an

sum

berd

aya

air

dan

laha

n

Departemen PU

Departemen

Kehutanan

Swasta dan

Masyarakat

Stakeholders lain

Pemerintah Daerah

dan Pusat

Departemen ESDM

SUMBERDAYA

AIR

PERMUKAAN :

SUNGAI

SUMBERDAYA

LAHAN: Hutan

(Catchement

Area), Sawah

dan Industri

IRIGASI

Kebutuhan Pertanian

Lain

PLTA

Kebutuhan industri

Kebutuhan Air Baku

SUMBER AIR

MINUM

Eksploitasi Alih fungsi

Lahn untuk investasi

dan peningkatan PAD

Ket

erhu

bung

an

sum

berd

aya

air

dan

laha

n

Page 3: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

13

pencegahan terhadap polusi, pengolahan limbah serta konservasi. Pembangunan

dalam pengelolaan SDA yang ditopang oleh ketiga aspek tersebut harus bersinergi

satu sama lain. Guna mencapai ketiga aspek diatas maka strategi pembangunan

harus memenuhi persyaratan diantaranya sistem politik yang menjamin secara

efektif partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Sistem

ekonomi dan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan manfaat secara

berkesinambungan. Sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara

efektif terhadap permasalahan yang timbul karena ketidakharmonisan dalam

pelaksanaan pembangunan.

Sistem pengelolaan sumber daya air berkelanjutan (sustainable water

resources management systems) merupakan sistem pengelolaan SDA yang

didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan masyarakat (sosial

dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan tetap mempertahankan

kelestarian aspek ekologisnya (Pasandaran, Zuliasri dan Sugiharto, 2002).

Pembangunan di bidang SDA pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan

akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar mampu

berkehidupan yang sehat, bersih dan produktif (Burke, 2006). Pasokan air untuk

mendukung berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu

dijamin kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan

kualitasnya sesuai dengan yang dibutuhkan (Katiandagho, 2007).

Pola pengelolaan SDA merupakan kerangka dasar dalam merencanakan,

melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi SDA,

pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah

sungai. Pengelolaannya disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan

sumber daya air pada wilayah administrasi yang bersangkutan. Pola pengelolaan

SDA memuat tujuan dan dasar pertimbangannya, skenario kondisi wilayah sungai

pada masa yang akan datang, strategi pengelolaannya dan kebijakan operasional

untuk melaksanakan strategi pengelolaan SDA (Sjarief, 2009). Penyusunan pola

pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha,

baik koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun badan

usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya diberi peran

dalam penyusunan pola pengelolaan SDA, tetapi berperan juga dalam proses

Page 4: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

14

perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan serta

pengawasan atas pengelolaan SDA.

Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang

menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi

sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air

oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat

pokok-pokok program tersebut yang meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk

prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber

daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan

atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah (Sjarief, 2009).

Upaya mewujudkan asas keseimbangan dan asas keadilan dalam

pengelolaan SDA, dapat dilakukan dengan menyatukan beberapa DAS dalam

satu wilayah pengelolaan yang disebut wilayah sungai. Hal ini dilakukan agar

wilayah tersebut mampu mencukupi kebutuhan SDA bagi wilayahnya. Penyatuan

beberapa DAS kedalam wilayah sungai tetap mempertimbangkan efektivitas dan

efisiensi pengelolaannya. Namun demikian dalam perkembangannya pengelolaan

wilayah sungai semakin rumit dengan semakin banyaknya institusi yang terlibat

dalam dalam segmen-segmen yang terpisah mengikuti kewenangan

kementerian/lembaga yang membentuknya.

Secara umum, pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai dapat

dikelompokan pada tiga pendekatan yang menekankan pada: (1) Konservasi; (2)

Pengelolaan secara hidrologis; dan (3) Pengelolaan dalam perspektif otonomi

daerah. Menurut pendekatan yang pertama, pengelolaan sumber daya air

khususnya catchment area merupakan konservasi sumber daya hutan yang

bertujuan menciptakan kondisi hidrologis (tangkapan, pengaliran dan penggunaan

air sungai) yang optimal. Pengelolaan menurut sistem pertama ini melibatkan

berbagai kepentingan dan lintas pemerintahan, baik secara horizontal (antar

pemerintahan setingkat) maupun vertikal (antar tingkatan pemerintahan). Menurut

pendekatan kedua, pengelolaan DAS harus dikelola melalui pendekatan

hidrologis. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sistem sumber daya

air merupakan suatu sistem yang mencakup subsistem daerah tangkapan air

(catchment area), subsistem jaringan sarana-prasarana dan subsistem penggunaan

Page 5: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

15

air. Menurut pendekatan ketiga yaitu perspektif otonomi daerah, pengelolaan

DAS bertumpu pada batas-batas pemerintah otonom, baik provinsi maupun

kabupaten/kota. Pengelolaan DAS dengan persepektif ketiga ini menekankan

kewenangan pada pemerintah daerah sebagai pemerintah yang otonom untuk

mengelola urusan diluar urusan pemerintah pusat. Ketiga bentuk pengelolaan

DAS tersebut memiliki perbedaan dan membawa implikasi seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai

Pendekatan Letak Perbedaan Implikasi Teknis dan Organisasi

Konservasi Menekankan pemeliharaan

sumber daya hutan di hulu dan

sepanjang aliran sungai

Rehabilitasi di hulu dan sepanjang

DAS. Pengelolaan catchment area

menjadi kewenangan Kementerian

Kehutanan

Hidrologis Menekankan pengelolaan DAS

(river basin)

Pengelolaan secara utuh (intregated

water resources management)

menjadi kewenangan Kementerian

Pekerjaan Umum

Otonomi

Daerah

Menekankan kewenangan

pemerintah daerah tempat DAS

berada sesuai dengan batas-batas

administratif

Pengelolaan wilayah DAS menjadi

urusan pemerintah daerah.

Pengelolaan terbagi-bagi, tidak utuh

Selanjutnya secara global telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan

sumber daya air dari semula hanya mencakup sektor air (hydrocentric), yang

memandang air sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk

mendapatkan hasil yang maksimum, menjadi pengelolaan yang berwawasan

lingkungan. Pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan baru ini dikenal

sebagai pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources

management – IWRM). Pendekatan ini mendorong pengembangan dan

pengelolaan air, lahan dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk

memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil, dengan tetap

memelihara keberlanjutan ekosistem yang vital (Dublin principle).

Hooper (2003) mengidentifikasikan bahwa permasalahan yang dihadapi

oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan hidup

manusia dan lingkungan ternyata lebih merupakan krisis pengelolaan

(governance) dibandingkan dengan krisis air. Diperlukan adanya pengelolaan

yang efektif, memiliki kapasitas yang memadai, dan mampu menangani berbagai

tantangan permasalahan air. Water governance meletakkan IWRM pada

Page 6: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

16

pengelolaan daerah aliran atau wilayah sungai, dan peranserta masyarakat dan

pemangku kepentingan akan sumber daya air. Perubahan pengelolaan ini

menyiratkan perlunya kebijakan baru, strategi baru, peraturan serta kelembagaan

baru untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan prinsip

IWRM.

Selanjutnya Sjarief (2009) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air

adalah substansi yang kompleks dan padat konfik sehingga memerlukan

perubahan lembaga dan menata ulang peran para pemangku kepentingan

(stakeholders) dalam masyarakat. Pemangku kepentingan perlu mewujudkan

pengelolaan yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga perubahan

kinerja perlu dilakukan. Kemitraan dari semua pihak yang berkepentingan dan

kelompok yang terpengaruh adalah mekanisme yang perlu dalam proses

pengelolaan sumber daya air terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial, efisiensi

dan keberlanjutan.

1. People support what the help create, orang-orang akan mendukung apa

yang ikut yang mereka rumuskan.

2. When more people are heard fewer asset are wasted. Kalau lebih

banyak mendengar saran dan masukan, maka wasted akan menjadi

lebih sedikit.

Lembaga pengelola wilayah sungai atau bisa disebut river basin

organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan

sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya satu sungai

dikelola kedalam satu kesatuan sistim yang utuh dari hulu hingga muara yang

tidak dapat dipilah-pilah oleh batas administrasi pemerintahan. Sebagaimana

tertuang dalam Undang-undang No. 7 tentang Sumber Daya Air, bahwa air

mempunyai fungsi sosial, lingkungan maupun ekonomi. Oleh karena itu dalam

operasionalisasinya konsep IWRM harus dilaksanakan berdasarkan tiga pilar

utama yaitu berwawasasn lingkungan, berkeadilan sosial dan pendanaan yang

berkesinambungan dalam sistem pengelolaan yang terintegrasi, sebagaimana pada

Gambar 4.

Page 7: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

17

Gambar 4 Sistem pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

Dalam mewujudkan ketiga pilar tersebut diperlukan pembagian

kewenangan dan keterkaitan yang erat baik antara unit-unit pengelola yang

terlibat maupun koordinasi dan komunikasi antara unit pengelola dengan para

pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat. Oleh karena itu perlu

dibentuk wadah koordinasi yang efektif dengan menempatkan wakil-wakil dari

seluruh pemangku kepentingan. Sementara, pemerintah berperan menjembatani

program – progam pembangunan serta mensosialisasikan kebijakan atau peratuan

baru kepada pemda kabupaten/kota, serta memotivasi masyarakat untuk

berperanserta baik dalam pelaksanaan pembangunan prasarana maupun

pengelolaan sumber daya air.

Pengelolaan yang efektif tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa

dukungan pendanaan yang berkesinambungan sehingga peran pemerintah daerah

dan peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Bilamana kerjasama dan

koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan pengelola dapat

disinkronkan dan terintegrasi serta didukung dengan tersedianya tata cara yang

jelas dalam pengaturan kelembagaan, manajemen pelaksanaan pengelolaan serta

mekanisme pendanaannya maka dapat dicapai IWRM yang berkelanjutan,

terintegrasi dan holistik.

Aspek

Ekonomi

Pengelolaan

SDA yang Berkelanjutan

Aspek

Ekologi

Aspek Sosial

KELEMBAGAAN PENDANAAN

KEBIJAKAN

PENGELOLAAN

Ketersediaan Air baku

Kualitas Air Cost Recovery

Page 8: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

18

2.2 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Scott (2008) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang memberikan

kedamaian dalam kehidupan sosial dan memberikan dukungan bagi sistem sosial

dalam ruang dan waktunya. Scott (2008) menganalisisnya atas tiga elemen yang

disebut tiga pilar kelembagaan yaitu aturan, norma dan pengetahuan budaya.

Masing-masing pilar memiliki unsur dan konsekuensi yang berbeda.

Kelembagaan yang dikategorikan regulatif memiliki pengertian yang sama dengan

organisasi. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga

formal yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan seperti perusahaan

dan negara yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya

serta memiliki sanksi dan kewenangan yang diatur secara formal.

Pemahaman kelembagaan sebagai organisasi juga dikemukakan oleh North

dan Horton (1984). Mereka memandang organisasi sebagai kontinum dari

kelembagaan, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.

Institution adalah the rules of the games, organizations are the players. Horton

merumuskan bahwa institution do not have members, they have followers.

Sementara itu Tjondronegoro (1984) menyatakan kelembagaan berkembang

secara kontinum ke organisasi. Tjondronegoro membedakan kelembagaan dengan

organisasi. Lembaga berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan,

pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun,

berpegang pada norma dan bersifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sementara

organisasi lebih berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur,

pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi dan merupakan alat

dalam mencapai tujuan tertentu.

Kelembagaan menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) adalah suatu

himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefenisikan

hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage dan tanggung jawab.

Tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan adalah:

1) Batas kewenangan (jurisdiksi) adalah menyangkut masalah kewenangan dalam

menentukan harga output dan peranan dalam keberhasilan produksi;

2) Hak kepemilikan (property right) adalah mengandung makna sosial yang

berimplikasi ekonomi. Property right yang paling penting adalah faktor

Page 9: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

19

kepemilikan terhadap sumber daya seperti lahan, hasil produksi dan lain-lain.

Hak pemilikan yang lebih jelas akan adapat menentukan besarnya kekuatan

tawar terhadap suatu persoalan;

3) Aturan adalah representasi dalam masalah sistem atau prosedur mengenai

suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan

oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat

terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut (Anwar 2006).

Pengertian kelembagaan yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa

kelembagaan dimaknai oleh para penulisnya secara beragam. Pada intinya

kelembagaan diartikan sebagai seperangkat pengaturan formal dan non-formal

yang mengatur perilaku (behavioral rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya

koordinasi atau mengatur hubungan interaksi antar individu. Oleh karena itu,

kelembagaan memiliki: (1) aturan main (rules of the games); (2) organisasi yang

melaksanakan rules of the games atau sebagai the player of the games; (3) aturan

main yang telah mengalami keseimbangan (equilibrium rules of the games).

Perkembangan kelembagaan menuju organisasi menyebabkan organisasi menjadi

alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan untuk menggabungkan sumber daya

alam dan sumber daya manusia. Kelembagaan dalam bentuk organisasi tersebut

menuntut adanya efektivitas dan efisiensi yang dapat mengkoordinir berbagai

kegiatan yang kompleks secara terintegrasi.

Pengelolaan sumber daya air yang komplek dan menyangkut kepentingan

banyak sektor memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan

terstruktur. Ditinjau dari fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan

sumber daya air secara garis besar dapat dipilah secara sederhana atas lima unsur

yaitu:

a. Regulator atau pemerintah, yaitu institusi pengambil keputusan yang dalam

hal ini adalah para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan (misalnya

Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas terkait yang menjadi

subordinatnya);

b. Operator, yaitu institusi yang sehari-hari berfungsi untuk melaksanakan

pengelolaan air, sumber air dan prasarana yang ada dalam suatu Wilayah

Sungai (misalnya Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Pengelolaan Sumber

Page 10: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

20

daya air, Perum Jasa Tirta II ataupun Balai Pengelola DAS). Institusi ini

dibentuk oleh regulator dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator

dalam pelayanan sumber daya air kepada masyarakat;

c. Developer, yaitu institusi yang berfungsi melaksanakan pembangunan

prasarana dan sarana pengairan baik dari unsur pemerintah (misalnya Badan

Pelaksana Proyek, BUMN atau BUMD) maupun lembaga non pemerintah

(investor). Perannya terutama ketika terjadi ketidak seimbangan antara

permintaan dengan kemampuan menyediakan air, sehingga perlu

pembangunan prasarana misalnya bendungan, pengendali banjir atau jaringan

irigasi;

d. User atau penerima manfaat, yaitu mencakup seluruh unsur masyarakat baik

perorangan maupun kelompok yang mendapat manfaat langsung maupun tak

langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air;

e. Wadah koordinasi, yaitu wadah koordinasi yang berfungsi untuk menerima,

menyerap dan menyalurkan aspirasi dan keluhan semua unsur stakeholders.

Wadah ini bersifat perwakilan yang bertugas menyampaikan masukan kepada

regulator sekaligus menyiapkan resolusi dan rekomendasi penyelesaian

masalah-masalah sumber daya air. Keanggotaan badan ini tediri atas unsur

pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar

keterwakilan.

Sebagaimana diatur dalam pasal 86 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun

2004 tentang Sumber Daya Air, sebagai wadah koordinasi tersebut dibentuk

Dewan Sumber daya Air yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,

wilayah serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air

melalui proses koordinasi. Secara berjenjang Dewan SDA dibentuk pada tingkat

nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bilamana diperlukan pada tingkat wilayah

sungai.

Tugas Dewan SDA adalah: (a) menyusun dan merumuskan kebijakan serta

strategi pengelolaan sumber daya air; (b) memberikan pertimbangan untuk

penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (c) menyusun dan merumuskan

kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan

hidrogeologi; (d) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut

Page 11: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

21

penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta pengusulan perubahan

penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah.

Dewan Sumber daya Air menyelenggarakan fungsi koordinasi melalui: (a)

Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan dan pengintegrasian kebijakan

serta tercapainya kesepahaman antar sektor, antar wilayah dan antar pemilik

kepentingan; (b) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan; (c) Konsultasi

dengan pihak terkait guna pemberian pertimbangan untuk penetapan wilayah

sungai dan cekungan air tanah; (d) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak

lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (e) Konsultasi dengan

pihak terkait guna keterpaduan kebijakan sistem informasi hidrologi,

hidrometeorologi dan hidrogeologi; (f) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan

kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi.

Menurut Gany (2005) setelah lolosnya Undang-undang Nomor 7 Tahun

2004 tentang sumber daya air dari uji formil dan materiil Mahkamah Agung, perlu

segera diikuti dengan komitmen yaitu membentuk dan memfungsikan Dewan

Sumber Daya Air Nasional, wilayah sungai, propinsi dan kabupaten/kota untuk

memfasilitasi dialog konstruktif antara semua pihak terkait dalam pengelolaan

sumber daya air secara berkelanjutan melalui prinsip kemitraan yang sejajar.

Gany (2005) menyatakan bahwa perlunya penerapan pendekatan kemitraan

terpadu hulu, tengah dan hilir yang konsisten, pendataan terpadu dan transparan

dengan melibatkan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan

berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia,

kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan,

pendanaan yang memadai dan penegakan hukum yang konsisten.

Biaya pengelolaan sumber daya air telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan

nyata pengelolaan sumber daya air. Kebutuhan nyata adalah dana yang

dibutuhkan semata-mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air untuk

menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air. Biaya dimaksud mencakup tiga

aspek pengelolaan sumber daya air, yaitu konservasi sumber daya air,

pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Menurut pasal

77 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 jenis pembiayaan pengelolaan

sumber daya air meliputi:

Page 12: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

22

a. Biaya sistem informasi;

b. Biaya perencanaan;

c. Biaya pelaksanaan konstruksi termasuk di dalamnya biaya konservasi sumber

daya air;

d. Biaya operasi dan pemeliharaan (OP); dan

e. Biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat.

Sumber dana untuk setiap jenis biaya dapat berasal dari: (a) Anggaran

pemerintah; (b) Anggaran swasta; dan atau (c) Hasil penerimaan biaya jasa

pengelolaan sumber daya air.

2.3 River Basin Organization (RBO)

Aspek kelembagaan merupakan satu komponen penting dalam proses

pengelolaan wilayah sungai yang terpadu dan menyeluruh. Kelembagaan wilayah

sungai, kemudian secara internasional dikenal sebagai River Basin Organization

(RBO), telah menjadi unsur yang menentukan dalam mengimplementasikan

konsep pengelolaan sumber daya air.

2.3.1 Perkembangan RBO di Dunia

Beberapa jenis RBO telah berkembang di dunia yang masing-masing

mempunyai sejarah, fungsi, tanggung jawab dan kapasitas yang berbeda

(Blomquist, et al. 2005). Mostert (1998) membagi RBO dalam tiga kategori

berdasarkan batasan wilayah operasionalnya, yaitu: (a) model hidrologi; (b)

model administratif; dan (c) model koordinasi. RBO model hidrologi adalah

suatu RBO yang wilayah operasionalnya didasarkan pada batas-batas hidrologi

sehingga jenis RBO ini seringkali melewati batas-batas administratif yang ada

Oleh karena itu pengelolaan sungai dari wilayah hulu sampai dengan hilir

secara utuh menjadi wewenangnya (Alaert dan Le Moigne 2003). RBO model

administratif merupakan kebalikan dari model hidrologi (Japan bank 2008). Pada

saat RBO ini praktek pengelolaan air diselenggarakan oleh pemda kabupaten

maupun provinsi yang wilayahnya dilewati oleh sungai tersebut. Oleh karena itu

pengelolaan sungai menjadi terbagi-bagi (fragmented). RBO model koordinasi

adalah suatu RBO dengan kombinasi dari kedua model diatas. Pada model ini,

pengambilan keputusan terutama dalam menentukan perencanaan wilayah sungai

Page 13: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

23

yang strategis dilakukan secara model administrasi sedangkan pelaksanaannya

dilakukan secara model hidrologi.

Gambar 5 Model RBO berdasarkan batasan hidrologi

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa Inggris telah menerapkan RBO model

hidrologi. Setelah dibentuknya Nation Rivers Autority (NRA) yang awalnya

berfungsi mengelola catchment area. Namun sejak tahun 1996 NRA bergabung

dengan beberapa lembaga lingkungan dan berubah menjadi Environment Agency

(EA) yang merupakan lembaga semi independen dibawah Departemen

Lingkungan. EA memiliki tugas menjaga dan meningkatkan SDA segaligus

melindungi dari daya rusak air baik air sungai maupun air laut. EA juga memiliki

wewenang dalam perencanaan dan pengelolaan SDA, kualitas air,

penanggulangan banjir, perikanan, rekreasi, konservasi dan pelayaran laut.

Disamping itu, EA juga berwewenang dalam perencanaan penggunaan lahan atau

RTRW.

Portugal memiliki RBO model koordinasi dengan indikasi memiliki dua

lembaga pengelola air yaitu Institute For Water (INAG), lembaga sektoral dari

kementerian lingkungan dan sumber daya alam dan lima lembaga direktorat

lingkungan (DRARNs) pada kementerian yang sama. INAG bertanggungjawab

terhadap penetapan kebijakan dan perencanaan air nasional, plus perencanaan

wilayah sungai untuk empat wilayah sungai. Sedangkan DRARNs bertanggung

Page 14: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

24

jawab terhadap penerapan dan draf perencanaan sebelas wilayah sungai nasional.

DRARNs wajib menerapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh INAG. DRARNs

tidak hanya kompeten dalam pengelolaan badan sungai tetapi juga perencanaan

penggunaan lahan (land use).

Pengelolaan sumber daya air di Jerman dan Belanda dipengaruhi oleh

konsep pengelolaan wilayah sungai yang tidak menyeluruh. Pengelolaan wilayah

sungai pada kedua negara tersebut dilakukan oleh pemerintahan daerah yang

dilewati oleh sungai tersebut, sehingga RBO adalah model administratif.

Menurut Moelle, Waster dan Hirsh (2007) RBO dibedakan berdasarkan

fungsi, tugas dan tanggung jawab operasionalnya. RBO dibagi menjadi empat

kategori, yaitu: (i) Otoritas wilayah sungai; (ii) Komite wilayah sungai; (iii)

Dewan koordinasi wilayah sungai; dan (iv) Komisi internasional wilayah sungai.

Hooper (2006) membagi RBO berdasarkan pada kemampuan dan fungsi dalam

arti yang lebih luas. Ada sembilan jenis RBO menurut Hooper, yaitu: (i) Panitia

penasehat (advisory committee); (ii) Otoritas (authority); (iii) Asosiasi

(association); (iv) Komisi pengawas (commission); (v) Dewan (council); (vi)

Badan Hukum (corporation); (vii) Badan Peradilan (tribunal); (viii) Kepercayaan

(trust); dan ( ix) Federasi (federation). Seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.

Disamping beraneka ragamnya pengelolaan sumber daya air yang telah

dilakukan pada berbagai negara, namun masih dan akan senantias pengelolan

sumber daya air dihadapkan pada permasalahan meningkatnya jumlah penduduk

yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan air yang dibarengi dengan

meningkatnya aktifitas sosial ekonomi. Peningkatan kebutuhan air ini seringkali

tidak dapat terpenuhi karena terbatasanya pasokan air dan infrastruktur yang ada.

Disamping itu pengelolaan sumber daya air sering dihadapkan pada berbagai

permasalahan baik dari aspek kelembagaan, aspek kebijakan, aspek pendanaan

dan aspek pengelolaan sumber daya airnya sendiri seperti dalam perencanaan,

pelaksanaan dan operasi pemeliharaannya. Pendekatan dalam pengelolaan sumber

daya air dapat dilakukan dengan cara tradisional maupun pendekatan pengelolaan

secara terpadu.

Page 15: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

25

Tabel 3 Beberapa tipe RBO menurut Hooper

No Tipe Diskripsi

1 Panitia

Penasehat

(Advisory

Committee )

Lembaga formal atau non formal, dimana anggotanya bertanggung

jawab merencanakan kegiatan dan memberikan saran. Pada umumnya

mempunyai kekuatan hukum yang terbatas.

2 Otoritas

(Authority)

Lembaga kebijakan perencanaan pada pemerintahan tingkat pusat atau

daerah. RBO ini bisa menetapkan aturan atau memiliki otoritas untuk

menyetujui pengembangan di wilayahnya.

3 Asosiasi

(Association)

Suatu lembaga yang didirikan oleh individu atau kelompok dengan

berbagai latar belakang. Pada wilayah sungai lembaga ini mempunyai

bermacam-macam peran: tempat konsultasi, mendorong

pengembangan wilayah, pendidikan, menumbuhkan rasa memiliki

pada isu-isu pengelolaan SDA, fungsi pendidikan dan forum diskusi

4 Komisi

pengawas

(Commission)

Pada umumnya diberikan tugas untuk pertimbangan pengelolaan SDA.

Kewenanganya bervariasi meliputi evaluasi dan laporan,

menyelesaikan target dari kebijakan pemerintah atau kesepakatan

internasional. Komisi pengawas didirikan oleh suatu keputusan formal

dari pemerintah untuk mengatur wilayah dan SDA. Kadang-kadang,

komisi pengawas dapat juga mempunyai kewenangan untuk

melakukan pengaturan.

5 Dewan

(Council)

Suatu lembaga formal beranggotakan tenaga ahli, menteri, politikus,

dan warganegara yang bersama-sama berdiskusi berbagai hal di dalam

pengelolaan SDA. Dewan berbeda dengan Komisi. Walaupun

beranggotakan tenaga ahli, dewan secara khusus memiliki kewenangan

pengaturan disamping penasehat kepada pemerintah

6 Badan Hukum

( Corporation )

Kelembagaan yang didirikan oleh perundang-undangan, yang terdiri

dari suatu kelompok orang, pemegang saham atau anggota (perusahaan

bukan laba), untuk menciptakan suatu organisasi, yang kemudian

memusatkan pada sasaran hasil yang sudah direncanakan. Memiliki

wewenang yang diatur oleh undang-undang seperti untuk menggugat

dan digugat, memiliki, mengadakan karyawan atau simpan pinjam

modal.

7 Badan Peradilan

( Tribunal )

Suatu badan yang dibentuk melalui prosedur yang formal dengan

kewenangan hukum yang sah. Pengambilan keputusan bersifat

birokratis. Stakeholders secara formal terlibat melalui dengar

pendapat. Keputusan yang utama diambil oleh badan independen,

seperti keputusan harga air. Badan ini bertindak sebagai suatu

mahkamah luar biasa yang menguji permasalahan khusus.

8 Kepercayaan

( Trust )

Peraturan hukum digunakan untuk mengatur keuangan atau

kepemilikan barang (tanah) orang atau organisasi. Suatu bentuk

organisasi yang mengembangkan dan melaksanakan perencanaan

strategis. Mandatnya lebih merupakan “penyokong”. Program

koordinasi setempat, melalui MoU atau perjanjian lain, dapat menaikan

pajak (dana) setempat untuk program kerja dan memantau kepentingan

masyarakat

9 Federasi

(Federation)

Kerjasama beberapa organisasi dalam suatu sistem pemerintahan atau

antara daerah dengan pusat yang berperan membangun dan mengelola

wilayah sungai. Kerjasamanya meliputi pola pelaksanaan, biaya

kerjasama, MoU, program kerja dan kebijakan yang disepakati.

Sumber: Hooper (2006)

Pendekatan tradisional berorientasi hanya pada sektor sumber air saja

sehingga daerah aliran sungai dan air tanah digambarkan sebagai suatu sistim fisik

yang kompleks yang berkaitan dengan hidrologi dan karakteristik dari

Page 16: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

26

geomorphologi daerah aliran sungainya. Paradigma tradisional ini

mengasumsikan bahwa air merupakan sarana publik dikendalikan dan

pendistribusiannya disubsidi oleh pemerintah dan seringkali mengabaikan

keaneka-ragaman pemanfaatan dari wilayah sungai yang dapat berakibat buruk

pada pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan dari pengelolaan SDA.

Pada tahun-tahun belakangan ini ada perubahan dramatis didalam

pengelolaan sumber daya air sebagai hasil dari suatu paradigma baru. Pengelolaan

sumber daya air terpadu merupakan suatu sistim yang terintegrasi dengan

memperhatikan lahan, sumber dan lingkungannya. Pengelolaan sumber daya alam

ditentukan bagaimana pengelola memanfaatkan lahan dan sumber air untuk

sesuatu yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis bagi kesejahteraan

masyarakat.

Pendekatan ini menggambarkan suatu DAS sebagai suatu sistim dimana

sumber daya air akan dimanfaatkan dan dialokasikan lebih efektif ke pengguna

untuk pengembangan ekonomi. Telah banyak inovasi teknologi dan metodologi

yang diusahakan untuk dapat memadukan pendekatan ekologi dan ekosistim

dalam pengelolaan sumber daya air.

Paradigma baru mencoba menggambarkan wilayah sungai yang sangat luas

dan kompleks merupakan sistim ekologi yang terintegrasi serta mendorong

pemangku kepentingan untuk memperhatikan cakupan keterkaitan yang lebih luas

dari aspek sosial dan lingkungan dimana pengelolaan dilakukan dengan tujuan

sosial dan memfungsikan ekosistim yang ada. Pengelolaaan sumber daya air yang

terpadu ini akan mengintegrasikan berbagai sektor kepentingan dengan

pendekatan koordinasi untuk pengelolaan sumber daya air dari suatu daerah aliran

sungai dalam skala waktu dan ruang.

Meskipun pengelolaan terpadu telah mengkoordinasikan pengelolaan

dengan para pemangku kepentingan namun masih tetap dihadapkan pada

permasalahan klasik dari pengelolaan seperti perbedaan interpretasi tentang

kewenangan dan kepemilikan, konflik kepentingan, variasi dari tempat dan waktu

dalam penyediaan air, kerawanan terhadap bencana banjir dan kekeringan serta

kekurangan dalam pendanaan.

Page 17: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

27

2.3.2 RBO di Indonesia

Kelembagaan atau institusi pengelola sumber daya air untuk Wilayah

Sungai (WS) di Indonesia masih relatif baru yakni dimulai pada tahun 1995

(Kurniawan 2009). Pada awalnya pengertian pengelolaan SDA lebih berkonotasi

sempit yakni kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Berkenaan

dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pengertian

Pengelolaan Sumber daya air sudah mencakup pengertian yang lebih luas meliputi

perencanaan, pelaksanaan konstruksi serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka

konservasi-konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan

pengendalian daya rusak air (Gunalatika 2004).

Hingga akhir tahun 2008 di Indonesia telah terbentuk 59 UPTD Balai PSDA

yang tersebar di 15 Provinsi dan 30 UPT BBWS/BWS dan 2 BUMN pengelola

sumber daya air wilayah sungai, yakni Perum JasaTirta I (WS Brantas dan WS

Bengawan Solo) dan Perum Jasa Tirta II (WS Citarum). Oleh karena itu secara

keseluruhan telah ada 91 Pengelola SDAWS atau River Basin Organization

(RBO).

Menurut Sarwan (2009) secara garis besar, saat ini di Indonesia terdapat tiga

model institusi pengelola sumber daya air wilayah sungai atau biasa disebut River

Basin Organization (RBO), yakni: (a) RBO dengan O & M cost recovery di

dalamnya terdapat pengusahaan sumber daya air wilayah sungai (PJT I dan PJT

II); (b) RBO yang hanya melaksanakan O & P prasarana sumber daya air dengan

biaya APBD (59 UPTD di bawah Dinas PU provinsi); dan (c) RBO dengan

kegiatan lengkap mulai dari perencanaan, pengembangan dan O & P dengan biaya

APBN dan belum melaksanakan OM cost recovery (30 UPT/BWS/BBWS

dibawah Ditjen Sumber daya air, Kementerian Pekerjaan Umum).

a) Balai Besar/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS)

Berdasarkan Permen PU Nomor 11A/PRT/M/2006 wilayah sungai lintas

negara, lintas provinsi dan strategis nasional yang jumlahnya 69 buah merupakan

wewenang dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan

Umum Direktorat Jenderal Sumber daya air (Wright dan Sanjaya 2007). Ketika

melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah dalam hal ini Departemen PU

dengan persetujuan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara membentuk

Page 18: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

28

30 UPT BWS/BBWS yang terdiri 11 UPT BBWS dan 19 UPT BWS dengan

wilayah kerja meliputi 69 WS kewenangan pusat.

Wilayah kerja UPT BBWS/BWS menggunakan wilayah kerja

hidrologis/wilayah sungai. Namun dari 69 WS kewenangan pusat hanya ada 30

BWS/BBWS, sehingga satu BWS/BBWS umumnya mempunyai wilayah kerja

lebih dari 1 WS. Namun dilain pihak, terdapat 1 WS (Ciujung-Cidanau, Cidurian,

Ciliwung Cisadane dan Citarum) dengan 3 (tiga) UPT BBWS.

Pada awal tahun 2007 pembentukan unit pengelola SDAWS bergulir terus

dengan bertambahnya 30 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Wilayah Sungai

(BWS) dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pengelola SDAWS sebagai

organisasi struktural yang berada dibawah Direktorat Jenderal Sumber daya air.

Pembentukan 30 UPT BBWS/BWS tersebut merupakan konsekwensi logis dari

adanya kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan SDA sebagaimana diatur

dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pasal 14, 15, 16 dan

adanya sistem unified budget yang tidak dikenal lagi organisasi proyek (Sarwan,

2009). Pemerintah pusat mempunyai kewenangan melaksanakan pengelolaan

SDAWS pada wilayah sungai yang bersifat lintas negara, lintas provinsi dan

strategis nasional. Balai Besar Wilayah Sungai mempunyai fungsi sebagai berikut:

1) Menyusun pola dan rencana pengelolaan;

2) Menyusun rencana dan pelaksanaan penyuluhan kawasan lindung sumber air

pada wilayah sungai;

3) Melakukan pengelolaan SDA yang meliputi konservasi, pembangunan,

pendayagunaan dan pengendalian daya rusak;

4) Menyiapkan rekomendasi teknis dalam pemberian izin atas penyediaan,

peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA;

5) Melaksanakan OP, pengelolaan sistem hidrologi dan pemberdayaan

masyarakat.

b) Balai PSDA

Pada awalnya, Balai PSDA berbentuk satgas PSDA yang dibentuk di lima

WS pilot. Satgas ini dibentuk dengan SK Dirjen Pengairan, bukan merupakan unit

organik di bawah Ditjen Pengairan maupun Dinas PU Provinsi, namun bersifat

Page 19: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

29

sementara dan bertanggung jawab kepada kepala dinas PU pengairan provinsi.

Satgas PSDA ini cukup unik sebab yang membentuk adalah Dirjen Pengairan

(pusat) namun bertangggung jawab kepada kepala Dinas Provinsi (daerah) dan

SDM nya pun sebagian besar merupakan SDM campuran dari daerah dan PIPWS.

Hal ini dapat dipahami karena pada saat itu belum ada kejelasan wewenang

pengelolaan SDA sehingga muncul anggapan bahwa Dinas PU di daerah

berafiliasi ke Departemen Pekerjaan Umum.

Kemudian, pada tanggal 23 Oktober 1996 Menteri dalam Negeri

menerbitkan keputusan No. 179 Tahun 1996 tentang pedoman pembentukan dan

Tata Kerja Balai PSDA. Dengan Kepmen Mendagri tersebut disiapkan

pembentukan Balai PSDA sebanyak 30 buah di Pulau Jawa yakni Jawa Timur

tahun 1996 (9 Balai) disebut Balai PSAWS, tahun 1997 di Jawa Barat 6 Balai

PSDA, tahun 1999 di Jawa Tengah 7 Balai PSDA dan 2 Balai PSDA di DIY.

Pembentukan Balai PSDA termasuk lima organisasi Satgas PSDA sebagai pilot

untuk menjadi Balai PSDA. Fungsi Balai PSDA adalah:

1) Perumusan kebijakan operasional di bidang pengelolaan SDA;

2) Pembinaan pelaksanaan operasional di bidang SDA meliputi pembinaan

program, pembinaan konservasi dan pelestarian, pembinaan teknik, pembinaan

pelaksanaan operasi dan pemeliharaan serta pembinaan pemanfaatan;

3) Penyediaan fasilitas dan sistem investasi pengusahaan SDA;

4) Pemberian perijinan pemanfaatan air dan SDA serta pelaksanaan pelayanan

umum di bidang pengelolaan SDA;

5) Fasilitasi pelaksanaan pengelolaan SDA;

6) Pengawasan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan SDA;

7) Penyelenggaraan tugas-tugas ketatausahaan.

Tugas Balai PSDA lebih dititikberatkan pada pengelolaan WS dalam arti

sempit (yakni OP SDA) sebagaiman dituangkan dalam Kepmendagri diatas.

Melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pengertian pengelolaan SDA

menjadi sedemikian luas yakni upaya merencanakan, melaksanakan, memantau

dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan

sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Maka dalam merumuskan tugas

dan fungsi UPT BBWS/BWS mengikuti pengertian yang ada dalam Undang-

Page 20: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

30

undang Nomor 7 Tahun 2004. Tugas BWS/BBWS adalah melaksanakan

pengelolaan sumber daya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi,

serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi-konservasi sumber daya

air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.

Berkaitan dengan wilayah kerja antara UPTD/Balai PSDA yang saat ini

berjumlah 59 buah dan UPT (BWS/BBWS) yang saat ini berjumlah 31 buah,

separuh lebih mempunyai wilayah kerja yang saling overlaping. Hal tersebut

terjadi karena sebagian besar UPTD/Balai PSDA dibentuk mendasarkan

pembagian wilayah sungai sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 39 tahun

1989 sedangkan wilayah kerja UPT (BWS/BBWS) mendasarkan wilayah sungai

sebagimana diatur dalam Permen PU Nomor 11A Tahun 2006.

Pada saat penataan organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 41 Tahun 2007 dalam kenyataannya wilayah

kerja UPTD/Balai PSDA hampir tidak mengalami perubahan bahkan ada

kecenderungan jumlah UPTD bertambah banyak. Overlapping wilayah kerja

antara UPTD dengan UPT tersebut dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan sering

menimbulkan keraguan khususnya bagi rekan-rekan dari UPTD.

c) Model Perum Jasa Tirta (PJT I dan PJT II)

Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sejak 30 tahun

lalu dalam melaksanakan kegiatan O & P adalah keterbatasan dana. Keterbatasan

ini mengakibatkan penurunan fungsi prasarana pengairan karena mengurangi

umur teknis dan unjuk kerja bangunan tersebut. Akibatnya kemampuan mensuplai

air guna memenuhi tuntutan berbagai sektor pemanfaat (pertanian, domestik,

industri dan lingkungan) mengalami penurunan juga.

Guna menjawab persoalan di atas, digagas pendirian suatu badan usaha

yang memiliki tugas pokok mengelola wilayah sungai beserta prasarana pengairan

yang telah dibangun, sehingga pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai sektor

dapat tersedia secara akuntabel. Pada tanggal 4 November 1986, dalam rapat yang

dipimpin Menteri PU disepakati pembentukan suatu lembaga yang menangani

wilayah sungai Kali Brantas dengan nama Perum Jasa Tirta Brantas. Selanjutnya,

dalam PP Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perum Jasa Tirta dikukuhkan sebagai

sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang berkedudukan di Kota Malang.

Page 21: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

31

Pemerintah menerbitkan PP Nomor 93 Tahun 1999 (13 Oktober 1999) yang

mengatur kembali keberadaan Perum Jasa Tirta. Sesuai Pasal 2 Ayat (2) dari PP

tersebut, ditetapkan Perum jasa Tirta sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 5

Tahun 1990 diubah namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) JasaTirta I.

Pada 14 september 2000 terbit Kepres Nomor 129 tahun 2000 dengan menambah

wilayah kerjanya dengan Wilayah Sungai (WS) Bengawan Solo beserta 25 anak

sungainya.

PJT I diberi wewenang memungut iuran eksploitasi dan pemeliharaan (EP)

kepada para pengguna komersial dan hasil dana yang diperoleh digunakan untuk

membiayai kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Melalui

pendiriannya, PJT tersebut mulai diterapkan prinsip "pemanfaat membayar” (user

pay principle), meskipun hanya terbatas pada pemanfaat yang bersifat komersil

saja seperti penggunaan air baku untuk air minum, airbaku untuk industri dan air

baku untuk tenaga listrik.

Sebelum PJT I Brantas berdiri lebih dulu Perum Otorita Jatiluhur (POJ)

yang mengelola WS Citarum telah dibentuk dengan PP Nomor 20 Tahun 1970.

POJ merupakan peleburan dari berbagai institusi yang berada di wilayah Jatiluhur.

Institusi-institusi tersebut adalah Proyek Irigasi Jatiluhur (Dep. PU), Proyek

Pengairan Tersier Jatiluhur (Depdagri), PN Jatiluhur (Dep. Industri) dan Jawatan

Jawa Barat Balai Daerah Purwakarta (Propinsi Jawa Barat). Dapat dipahami

bahwa pada awal pendiriannya POJ memiliki wilayah kerja terbatas pada bagian

hilir (wilayah Jatiluhur) dengan tugas pokok OP jaringan irigasi Jatiluhur dan

pengelolaan tenaga listrik. Dengan demikian, POJ melaksanakan pelayanan umum

yang bersifat sosial dan sekaligus pengusahaan air yang bersifat komersial. POJ

memobilisasi dana iuran dari para penerima manfaat guna pembiayaan OP

prasarana SDA dan pelaksanaan usahanya.

PP tentang POJ ini mengalami beberapa kali penyesuaian dengan terbitnya

PP Nomor 35 Tahun 1980 dan disesuaikan lagi dengan PP Nomor 42 Tahun 1990.

Selanjutnya terbit PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum dan POJ

diubah dan disesuaikan dengan nama Perum Jasa Tirta II (PJT II) berdasarkan PP

Nomor 94 Tahun 1999.

Page 22: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

32

Berdasarkan konteks pengelolaan wilayah sungai, kenyataan dil apangan

menunjukkan bahwa peran PJT II berbeda dengan PJT I. Wilayah kerja PJT II

lebih terkonsentrasi pada pengelolaan bendungan Jatiluhur dan wilayah

pelayanannya di hilir, sedangkan di bagian tengah terdapat dua bendungan yaitu

Saguling dan Cirata yang dibangun dan dikelola oleh PLN untuk pembangkit

tenaga listrik. Demikian pula pada bagian hulu, dapat dikatakan kegiatan yang

dilakukan oleh PJT II sangat minimal.

2.4 Keterkaitan Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang

Air memerlukan ruang untuk berlangsungnya proses produksi air secara

alamiah yang disebut siklus hidrologi. Proses tersebut terjadi di ruang-ruang

atmosfir, daratan, dan lautan. Ruang untuk air ini sering berbenturan dengan

ruang untuk kepentingan manusia, misalnya tangkapan air di hulu yang

seharusnya merupakan hutan lindung telah dialih fungsi menjadi lahan budi

daya pertaniaan, permukiman, dan lain-lain. Daerah dataran banjir yang juga

merupakan ruang air telah menjadi daerah pertanian intensif yang kemudian

telah berkembang menjadi pusat-pusat permukiman penduduk di desa bahkan

di perkotaan. Bantaran sungai telah menjadi permukiman penduduk, dan

banyak ruang-ruang air lainya telah ditempati oleh manusia baik secara legal

maupun illegal (Kodoatie, 2009).

DAS sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah diartikan sebagai

permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks suatu unit

pengelolaan DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh

topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit/gunung

yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya

melalui saluran-saluran pengaliran ke satu titik (outlet), yang umumnya

berada di muara sungai atau danau. DAS dengan titik patokan berada di

sungai biasa dikategorikan sebagai Sub DAS.

DAS merupakan satu kesatuan unit sistem hidrologi, yaitu bahwa kuantitas

dan kualitas air di outlet merupakan satu titik kajian hasil air (water yield). Water

yield ini merupakan akumulasi aliran permukaan tanah (surface flow), aliran bawah

permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). Berdasarkan

prinsip kesatuan hidrologi ini maka sebenarnya batas DAS tidak hanya ditentukan

Page 23: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

33

oleh topografi, akan tetapi juga oleh struktur batuan yang menentukan pola aliran

ground water flow. Delineasi pola aliran ground water ditetapkan dan cenderung

bersifat dinamis, sehingga dengan pertimbangan praktis batas DAS hanya

ditentukan berdasarkan aliran permukaan. Mengacu pada sistem hidrologi, maka

ada keterkaitan yang jelas antara DAS bagian hulu dan hilir. Aktivitas yang

mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi bagian

tengah dan hilir.

Dilain pihak, manusia memerlukan ruang untuk menjalankan kehidupan dan

melaksanakan kegiatannya. Ruang tersebut harus diatur penggunaannya agar tidak

terjadi konflik ruang antar kegiatan yang dilakukan manusia, sektor, ataupun

daerah sehingga setiap proses kegiatan dapat dilakukan dengan hasil yang optimal

dan mencegah dampak negatif yang mungkin dapat terjadi. Upaya untuk menata

ruang yang digunakan oleh berbagai kegiatan manusia tersebut dikenal sebagai

“tata ruang”. Tata ruang telah menjadi suatu konsep dan berkembang menjadi

suatu disiplin ilmu yang menginduk kepada disiplin ilmu perencanaan wilayah.

Keterkaitan antara pengaturan wilayah sungai dan penataan ruang dapat dilihat

pada pasal 59 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA, yang

menyatakan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu

unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan atau penyempurnaan rencana

tata ruang wilayah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan

ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat

manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara

kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud dari struktur ruang dan pola

ruang.

Sering kali terjadi perbenturan antara penggunaan ruang untuk kepentingan

manusia dan tata ruang air yang telah menimbulkan gangguan dan kerusakan, baik

untuk kepentingan keberadaan air maupun untuk kehidupan manusia sendiri.

Ruang air yang paling penting yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik

dengan ruang manusia adalah ruang air yang ada di darat yang dalam konsep

pengelolaan air harus berbasis daerah aliran sungai (DAS). Upaya menata ruang

air untuk memberikan hasil dan dampak yang optimal harus dilakukan diruang air

Page 24: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

34

darat, secara spesifik di wilayah sungai. Upaya tersebut disebut “tata ruang air –

wilayah sungai”. Tata ruang air – wilayah sungai, dalam konteks konsep tata

ruang air, bertujuan terutama untuk “mengatur ruang air di wilayah sungai

sedemikian rupa untuk dapat memaksimalkan peresapan air ke dalam tanah,

sehingga meminimalkan air permukaan”. Rencana pengelolaan sumber daya air

wilayah sungai menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas kabupaten/kota

menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi

bersangkutan; rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi

menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang

bersangkutan (Kodoatie, 2009).

Selain sebagai masukan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah,

rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai juga digunakan sebagai

masukan untuk meninjau kembali rencana tata ruang wilayah dalam hal terjadi

perubahan-perubahan, baik pada rencana pengelolaan sumber daya air maupun

pada rencana tata ruang pada periode waktu tertentu. Perubahan yang dimaksud

merupakan tuntutan perkembangan kondisi dan situasi. Dengan demikian, antara

rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah terdapat

hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.

Menurut PP Nomor 42 tahun 2008, Pengelolaan sumber daya air

diselenggarakan dengan berlandaskan pada: (a) kebijakan pengelolaan sumber

daya air pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b) wilayah sungai

dan cekungan air tanah yang ditetapkan; dan (c) pola pengelolaan sumber daya air

yang berbasis wilayah sungai. Berdasarkan PP yang sama juga pola pengelolaan

sumber daya air dijabarkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air melalui

inventarisasi sumber daya air serta penyusunan dan penetapan rencana

pengelolaan sumber daya air. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan

rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan

kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan

pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi.

Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program konservasi sumber

daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air yang

Page 25: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

35

meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar

upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur

dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata

ruang wilayah.

Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

definisi penataan ruang sendiri adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang

wilayah dalam kaitannya untuk pengelolaan SDA yaitu untuk pemeliharaan

kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, pengembangan sumber

daya air, pencegahan bencana akibat daya rusak air.

Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu

kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,

menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke

laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di

laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Adapun pengertian umum wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan

sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau

kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Wilayah sungai

meliputi wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah

sungai strategis nasional.

Cakupan wilayah sungai (WS) dapat meliputi satu atau lebih DAS

kabupaten/kota, propinsi maupun nasional. Terdapat hubungan timbal balik antara

pengaturan wilayah sungai (WS kabupaten/kota, propinsi, nasional) dan penataan

ruang (RTRW kabupaten/kota, propinsi, nasional). Keduanya saling

mempengaruhi dan bersifat interaktif dalam pengembangan Kegiatan sosial-

ekonomi suatu wilayah yang optimal dan berkelanjutan.

Sistem DAS terdiri dari unsur bio-fisik yang bersifat alami dan unsur-unsur

non-biofisik. Unsur biofisik terdiri dari, vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik,

tanah, iklim dan air. Sedangkan unsur nonbiofisik adalah manusia dengan

berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap

politik, kelembagaan serta tatanan masyarakat itu sendiri. Adanya kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan sumberdaya alam di dalam sistem

Page 26: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

36

DAS semakin terarah, melalui penerapan teknik-teknik budidaya tanaman

pertanian, perkebunan, padang rumput, peternakan, atau kehutanan.

Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung di sistem DAS

dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan peningkatan

nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk pembangunan

waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan tenaga listrik,

sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Pengkajian dan studi

mengenai pengembangan DAS dan pemanfaatan sumber daya air sebaiknya

ditinjau dari kerangka umum pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS)

sebagai satuan hidrologi.

Oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan faktor-faktor

bio-fisik DAS yang mempengaruhi proses hidrologi, selain faktor curah hujan

sebagai masukan utama dalam proses hidrologi pada suatu DAS. Berdasarkan

uraian tersebut di atas dapat dikembangkan berbagai solusi pemecahan masalah

yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam dengan konsep

pendekatan ekosistem DAS.

Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan

sumberdaya alam di dalam sistem DAS semakin terarah, melalui penerapan

teknik-teknik budidaya tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput,

peternakan atau kehutanan. Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung

di sistem DAS dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan

peningkatan nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk

pembangunan waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan

tenaga listrik, sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Menurut

Prastowo (2009), konsep daya dukung lingkungan sebagaimana Gambar 6

berikut.

Page 27: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

37

Gambar 6 Konsep daya dukung lingkungan (Prastowo, 2009)

2.5 Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga

pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada

perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumberdaya yang efisien.

Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman

hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia.

Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem

sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa

kini dengan generasi mendatang.

Menurut Barbier (1987), tantangan pembangunan berkelanjutan adalah

menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan

sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan

harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem

pengelolaan aset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan

kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi

dan lingkungan/ekosistem serta ukuran keberhasilannya dapat dilihat dan

dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap

keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan

sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi

Lahan

Kemampuan Lahan Alami/Potensi

produktivits lahan

Penggunaan Lahan

Air

Air tertahan (stored water)

Tingkat Produktivitas

Lahan Aktual

Kelebihan Air Hujan

(excess rain water) Jumlah dan Kualitas air

tersedia +

Daya Dukung Lingkungan

Kebutuhan Manusia

Kualitas

Udara

Status Daya

Dukung Lingkungan

Kriteria Daya

Dukung Lingkungan

Page 28: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

38

terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap

kemandirian teknis (Nurmalina, 2007).

Terkait dengan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan, Nurmalina

(2007) mengungkapkan empat ciri-ciri spesifik terpenting lingkungan khususnya

sebagai agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan

(equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan

produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian

tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara

masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan

sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai

kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas

sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi lingkungan.

Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, pembangunan

berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek

lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk

menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,

kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,

dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United

Nation's conference on the human environment di Stockholm tahun 1972.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sehagai pembangunan yang dapat

memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan

datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Soegandy dan Hakim, 2007).

Komisi Bruntland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah

suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu

proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi

perkembangan teknologi dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa

depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum,

pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang

mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Page 29: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

39

Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik.

Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat.

Tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau

dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan

pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses

terhadap sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata dan sebagainya

sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana

karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu.

Berkenaan dengan hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati

secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar

berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan

ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus

mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi dan sosial.

Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak

berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya

dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan

kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Ketika

mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah

menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga

(Gambar 7).

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk

pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan

jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan

(Munasinghe, 1993). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan

pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan

kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.

Page 30: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

40

Gambar 7 Konsep pembangunan berkelanjutan

Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut

harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung

lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.

Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan

pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil

pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,

pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan

pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya

terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan

penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,

dan pengendalian lingkungan hidup (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009).

Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai

cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan

melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya

melalui proses penataan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah

upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk

sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,

kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pelestarian

lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan

EKOLOGI Sumber Daya Alam

Wilayah Perbatasan)

SOSIAL Keadilan

Pemerataan

Kesejahteraan

Nilai-nilai budaya

Partisipasi

Konsultasi

Page 31: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

41

daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, guna terjaganya kehidupan

berkualitas. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sedangkan sumberdaya

adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya

alam, baik hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan.

Menurut Senanayake (1991), membangun pengukuran kuantitatif untuk

keberlanjutan adalah prasyarat penting. Indikator keberlanjutan telah didefinisikan

sebagai indikator yang memberikan informasi secara langsung atau tidak langsung

mengenai viabilitas di masa datang dari berbagai level tujuan (sosial, ekonomi dan

ekologi). Walker dan Reuter (1996) menunjukkan bahwa indikator untuk menilai

keberlanjutan dibagi dalam dua tipe, yaitu: (1) indikator kondisi yang

mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi sistem relatif terhadap

kondisi yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan; dan (2) indikator trend

yang menggambarkan seluruh kecenderungan linier dari suatu keadaan

sumberdaya selama periode simulasi.

Penelitian keberlanjutan dilakukan oleh Ridwan (2006) yang menggunakan

enam dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologis, ekonomis, sosial budaya,

hukum, kelembagaan dan teknologi. Persamaan dengan penelitian ini adalah

menggunakan analisis MDS dan analisis finansial usaha, namun perbedaannya

terletak pada analisis lanjutan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

menggunakan analisis ekonometrika dan sistem dinamik pada usaha peternakan

sapi perah di kawasan pariwisata Kabupaten Bogor.

Penelitian keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan di wilayah

perbatasan Kalimantan Barat dilakukan Marhayudi (2006) dengan menggunakan

analisis MDS pada enam dimensi namun perbedaannya dilanjutkan dengan

analisis sistem dinamik dan perspektif. Demikian pula Thamrin (2009) meneliti

keberlanjutan di Kalimantan Barat dengan menggunakan MDS pada enam

dimensi yang sama, namun dengan tambahan analisis kesesuaian lahan, kelayakan

finansial dan prospektif.

Model adalah penyederhanaan dari dunia nyata. Kebijakan adalah

serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang

berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi

Page 32: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

42

tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para

pembuatnya (Dunn, 2003). Menurut Dunn (2003), kebijakan adalah peraturan

yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi

suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan), baik besaran maupun arahnya yang

melingkupi kehidupan masyarakat umum.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang

dengan benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan

perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan

dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sementara itu menurut

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, definisi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.

Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan

berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan

sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi. Hal ini meliputi intervensi

pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja

dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya.

Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi

yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.

2.6 Multi Dimensional Scaling (MDS)

MDS merupakan salah satu metode multy variate yang dapat menangani

data metrik (skala ordinal atau nominal). Metode ini juga dikenal sebagai salah

satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduce

space). Ordinasi sendiri merupakan proses plotting titik obyek di sepanjang

sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship)

atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Thamrin,

2009). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multi dimensi dapat

diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana. Metode ordinasi juga

Page 33: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

43

memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai

proyeksi yang dihasilkan. MDS juga merupakan teknik statistik yang mencoba

melakukan transformasi multi dimensi kedalam dimensi yang lebih rendah

(Thamrin, 2009). Menurut Marhayudi (2006), MDS adalah suatu kelas prosedur

untuk menyajikan persepsi secara spasial dengan menggunakan tayangan yang

dapat dilihat. Persepsi atau hubungan antara stimulus secara psikologis

ditunjukkan sebagai hubungan geografis antara titik-titik di dalam suatu ruang

multi dimensional. Sumbu dari peta spasial diasumsikan menunjukkan dasar

psikologis atau dimensi yang dipergunakan oleh responden, untuk membentuk

persepsi sebagai stimulus.

Teknik ordinasi dalam MDS didasarkan pada euclidian distance, yang

dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:

...........2

21

2

21

2

21 zzyyxxd ................................................(1)

Konfigurasi atau ordinasi suatu objek di dalam MDS selanjutnya diaproksimasi

dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal

ij sebagaimana persamaan berikut:

ijijd ...............................................................................................(2)

Metoda yang dipergunakan untuk meregresikan persamaan diatas adalah

metoda ALSCAL, yaitu metoda least squared bergantian yang didasarkan pada

akar dari euclidian distance (squared distance). Metoda ini mengoptimisasi jarak

kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk) dalam

tiga dimensi (i, j, k) dan ditulis dalam formula yang disebut s-stress sebagai

berikut:

m

k

i

ijk

i j

ijkijk

oj

od

mS

14

222

1 ........................................................................(3)

jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang dibobot atau ditulis dengan rumus:

21

2

jaia

r

a

kaijk xxWd

......................................................................................(4)

Aplikasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 34: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

44

(1) Desk study

Pada tahap ini dilakukan pencarian informasi yang terkait loksi penelitian

melalui berbagai saluran informasi seperti internet, lembaga penelitian,

perguruan tinggi dan lembaga pemerintah lainnya. Data sekunder dimaksud,

dipergunakan untuk mengisi kolom nilai bagi atribut-atribut yang telah

dipersiapkan untuk lokasi penelitian;

(2) Konsultasi ahli

Kolom nilai atribut yang tidak dapat diisi oleh informasi sekunder yang ada,

dikonsultasikan ke narasumber yang dianggap memiliki penguasaan

pengetahuan berkaitan dengan pertanyaan pada kolom atribut. Melalui

konsultasi ahli ini, juga dilakukan penggalian informasi berkaitan dengan

data sekunder yang telah ada, guna penyempurnaan informasi;

(3) Verifikasi lapang

Kegiatan ini dilakukan melalui kunjungan lapangan untuk memperkaya data

sekunder dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Disamping itu, dalam

kunjungan lapangan ini juga dilakukan wawancara/diskusi kepada berbagai

pihak, seperti:

1) Pejabat dinas terkait yang bertanggung jawab atas kegiatan perindustrian

dan perdagangan di lokasi, berkaitan dengan kebijakan lokal,

pengalaman lapang pejabat dan kegiatan di lokasi;

2) Pelaku yang terlibat di lokasi penelitian terpilih dan dibantu dengan

daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya;

(4) Tabulasi dan pengolahan data

Sebelum dilakukan tabulasi, seluruh data yang dikumpulkan didiskusikan

kembali untuk memperoleh jawaban final berkaitan dengan atribut yang

dipergunakan. Selanjutnya, hasil tabulasi dijadikan dijadikan bahan dasar

bagi tahapan entry data ke program;

(5) Interpretasi hasil

Ketika melakukan interpretasi hasil, setiap kegiatan diamati aspek-aspeknya

yang berkinerja baik, sedang atau buruk, sehingga dapat ditentukan

statusnya. Mengingat nilai indeks keberlanjutan pada lokasi penelitian

berada dalam selang 0 (bad) sampai 100 (good), maka untuk mempermudah

Page 35: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

45

penentuan status keberlanjutannya dilakukan pengelompokkan nilai indeks

dimaksud.

Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional

untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi

keberlanjutan, yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good)

dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks

keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kategori status keberlanjutan DAS Citarum

Nilai Indeks Kategori

0 -25

26 - 50

51 - 75

76 – 100

Sangat Buruk

Buruk

Baik

Sangat baik

Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat

divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Melalui proses

rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai

indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (sangat baik). Jika

sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama

dengan 50% (> 50%), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan

dinyatakan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% (< 50%).

Pada analisis Rap-Citarum, analisis ordinasi dilakukan untuk menentukan

ordinasi dan nilai stress. Setelah itu dilakukan penyusunan indeks dan status

keberlanjutan wilayah sungai Citarum, baik yang dikaji secara umum maupun

pada setiap dimensi. Kemudian diintegrasikan analisis sensitivitas (leverage

analysis) untuk menilai penyimpangan/anomali yang terjadi dan melihat atribut

atau peubah sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan.

Analisis leverage atau analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui

efek stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan saat dilakukannya ordinasi. Pada

M atribut, analisis leverage dilakukan M+1 kali perhitungan, yaitu 1 kali

perhitungan terhadap seluruh atribut (M atribut) dan M kali terhadap salah satu

atribut jika dihilangkan. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan

standardisasi atribut untuk menyamakan skala pada skor masing-masing atribut.

Page 36: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

46

Hasil analisis leverage ini menunjukkan persentase perubahan root mean square

masing-masing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut yang memiliki

persentase tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif/berpengaruh kuat

terhadap keberlanjutan (Iswari, 2008).

Berdasarkan analisis tersebut akan terdapat pengaruh error yang dapat

disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena

kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum

sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses

analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan input data atau ada data yang hilang

dan tingginya nilai stres (nilai stress dapat diterima jika nilainya <25%) (Iswari

2008). Guna mengevaluasi pengaruh error pada pendugaan nilai ordinasi

digunakan analisis monte carlo.

Menurut Gomes dan Helmsing (2007), analisis monte carlo dilakukan

pada tahapan terakhir dari analisis keberlanjutan yang dilakukan untuk menilai

ketidakpastian dalam multy dimensional scalling. Analisis monte carlo merupakan

metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek dari random error pada proses

pendugaan serta untuk mengestimasikan nilai yang sebenarnya.

Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari nilai s-stress yang dihitung

berdasarkan nilai s diatas dan R2. Nilai stres yang rendah menunjukkan good of

fit, demikian pula sebaliknya. Menurut Budiharsono (2005), model yang baik

ditunjukkan dengan nilai s < 0,25 dan nilai R2 yang baik, jika mendekati 1.

Apabila perbedaan (selisih antara hasil perhitungan MDS dengan hasil

perhitungan monte carlo tidak lebih dari satu, maka sistem yang dikaji sesuai

dengan kondisi nyata (Iswari, 2008).

2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Proses hierarki analitik (analytical hierarchy process - AHP)

dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada

tahun 1970 untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih

alternatif yang paling disukai (Saaty dalam Marimin, 2004). Pada saat

menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka

berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk

mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang

Page 37: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

47

kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan

keputusannya.

Prinsip kerja AHP adalah penyerderhanaan suatu persoalan kompleks yang

tidak terstruktur, strategis dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata

dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai

numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif

dibandingkan dengan variabel yang lain. Berdasarkan berbagai pertimbangan

tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki

prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.

AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan

keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami

oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Melalui AHP,

proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih

kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji

konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai

konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu

diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang.

Data dapat diperoleh dengan cara wawancara langsung dan pengisian

kuesioner. Oleh karena pendekatan AHP berbasis pada expertices judgement,

maka pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar

memahami permasalahan. Guna mengkuatitatifkan data kualitatif pada materi

wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 - 9 dalam penyusunan skala

kepentingan seperti pada Tabel 5.

Page 38: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

48

Tabel 5 Matriks perbandingan/komparasi berpasangan

Tingkat

Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh

yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting daripada elemen lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat

mendukung satu elemen dibanding

elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting

daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat

mendukung satu elemen dibanding

elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting

daripada elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat didukung dan

dominasi terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak iebih

penting daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang

satu terhadap elemen yang lain

memiliki tingkat penegasan tertinggi

yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai

pertimbangan yang berdekatan

Nilai diberikan bila ada dua kompromi

diantara dua pilihan.

Jika vektor pembobotan elemen - elemen kegiatan A1, A2, A3 dinyatakan

sebagai vektor W, dengan W = (W1,W2, W3), maka intensitas kepentingan elemen

kegiatan A1 dibandingkan dengan A2 dinyatakan sebagai perbandingan bobot

elemen A1 kegiatan A2 terhadap A2, yaitu W1/W2 = A12 Matriks perbandingan

berpasangan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Matriks perbandingan berpasangan

A1 A2 A3 ………… An

A1 W1/W1 W1/W2 W1/W3 ………… W1/Wn

A2 W2/W1 W2/W2 W2/W3 ………… W2/Wn

A3 W3/W1 W3/W2 W3/W3 ………… W3/Wn

… … … … ………… …

An Wn/W1 Wn/W2 Wn/W3 ………… Wn/Wn

Nilai Wi/Wj, dengan i, j = 1, 2, 3,.......n didapat dari partisipasi yaitu para

pengambil keputusan yang berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis.

Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (W1, W2, W3.......Wn) maka

diperoleh hubungan: A W = n W. Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh

nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut:

(A - nI) W = 0 ........................................................................................(5)

Keterangan: I = Matriks identitas

Page 39: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

49

a) Matriks Pendapat Individu

Formula matriks pendapat individu dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai

berikut:

Tabel 7 Formula matriks pendapat individu

C1 C2 ...................... Cn

C1 1 A12 ..................... A1n

C2 1/a12 1 ...................... A2n

.... .... .... ...................... ....

Cn 1/a1n 1/a2n ...................... 1

Dalam hal ini C1, C2, ..., Cn adalah set elemen pada satu tingkat

keputusan dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang

mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.

b) Menghitung akar ciri, untuk mendapatkan akar ciri: (A - n I) = 0

Dijelaskan dengan menggunakan matriks A:

0

100

010

001

1

1

1

3231

2321

1312

n

aa

aa

aa

0

00

00

00

1

1

1

3231

2321

1312

n

n

n

aa

aa

aa

Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri n1, n2, n3

c) Menghitung vektor ciri

Nilai vektor ciri merupakan bobot setiap elemen untuk

mensintesis Judgement dalam penentuan prioritas.

Vektor ciri (w) maka akar ciri (n) maka rumusnya:

(A-nI)w = 0 ;

dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, maka didapatkan n

maksimum = 2, maka perkaliannya sebagai berikut:

A-n I w = 0

0

100

010

001

2

1

1

1

3

2

1

3231

2321

1312

w

w

w

aa

aa

aa

Page 40: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

50

Maka diperoleh:

0

21

21

21

3

2

1

3231

2321

1312

w

w

w

aa

aa

aa

Pada akhir perhitungan diperoleh vektor ciri w1, w2, w3. Vektor ciri dapat

memberikan pilihan skenario yang paling optimal.

d) Perhitungan konsistensi

Perhitungan CI (consistency index) yang menyatakan penyimpangan

konsistensi dan concistency ratio (CR) untuk menentukan apakah

konsisten/tidak suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan.

Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi sebagai

berikut:

1

max

nCI

...........................................................................................(6)

Keterangan : λmaxπ = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks

Indeks konsistensi (CI) merupakan matriks acak/random dengan skala

penilaian 1-9 dan kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Perbandingan

antara CI dan RI untuk suatu matriks didefmisikan sebagai Ratio Konsistensi

(CR).

RI

CICR ....................................................................................................... (7)

Pengukuran Ratio Kosistensi (CR) dilakukan untuk mengetahui

konsistensi secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan. Nilai Rasio

Konsistensi (CR) adalah perbandingan antara Indeks Konsistensi (CI) dengan

Indeks Acak (RI), dimana nilai-nilai RI telah ditentukan.

e) Matriks pendapat gabungan

Matriks gabungan merupakan matriks baru yang elemen-elemennya

(gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang

nilai concistency ratio (CR) memenuhi syarat, dengan formula sebagai berikut:

mijij kag

k)(

1 .......................................................................................(8)

Keterangan: gij = rata-rata geometrik

m = jumlah responden

Page 41: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

51

aij = matriks individu

Keluaran hasil pengolahan data oleh perangkat lunak disintesis untuk

menentukan prioritas. Berdasarkan urutan prioritas tersebut maka alternatif yang

berada di prioritas teratas adalah yang dinilai paling efisien dan efektif yang

sebaiknya di terapkan.

2.8 Pendekatan Sistem

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan

terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan

(Manetsch & Park, 1979 dalam Eriyatno, 1999). Pendekatan sistem adalah

pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks

dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari sistem. Pendekatan sistem

menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan

terhadap tujuan sistem. Menurut Marimin (2005) pendekatan sistem adalah suatu

pendekatan analisa organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik

tolak analisa.

Metode ini merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai

dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan,

sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.

Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik,

yaitu: (1) kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis,

dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada

pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi

peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1998).

Pendekatan secara holistik yang berorientasi tujuan dapat dilakukan

menggunakan analisis sistem dinamik. Hal ini bisa dilakukan dengan memulai

berfikir sistemik tentang keadaan tersebut. Berfikir sistemik adalah adanya

kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan kejadian sebagai sebuah sistem

atau system approach (Muhammadi et al., 2001). Dalam analisis sistem dinamik,

gambaran keadaan sesungguhnya (real world) seperti ini bisa disimplifikasi dalam

sebuah model yang dapat disimulasikan, sehingga dapat dicari berbagai kombinasi

yang bisa memenuhi tujuan pengelolaan sumber daya air DAS Citarum secara

berkelanjutan.

Page 42: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

52

Senge (1990) menjelaskan bahwa system dynamics sebagai metodologi

dipahami melalui interaksi antar struktur yang terdiri atas struktur fisik, struktur

pengambilan keputusan dan struktur model. Struktur fisik yaitu aliran orang, barang,

produksi, uang dan limbah pencemar. Struktur pengambilan keputusan terdiri dari

aktor-aktor di dalam sistem, sedangkan struktur model dibangun melalui analisis

struktural berdasarkan pendekatan system thinking dan dimungkinkan mempunyai

titik kontak yang banyak dan saling interdependensi. Hubungan unsur-unsur yang

saling interdependensi itu merupakan hubungan sebab-akibat yang bersifat umpan

balik dan bukan hubungan sebab-akibat yang bersifat searah. Selanjutnya, Tasrif

(2006) menjelaskan bahwa struktur fisik maupun struktur pengambilan keputusan

yang telah disusun diyakini dibangun oleh unsur-unsur yang saling bergantung dan

membentuk suatu lingkar tertutup (feedback loop).

Sterman dan John (2000) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip pembuatan model

dinamik adalah (a) keadaan yang diinginkan dan keadaan yang terjadi harus secara

ekplisit dinyatakan dan dibedakan di dalam model; (b) struktur stok dan aliran dalam

kehidupan nyata harus dapat dipresentasikan di dalam model, (c) aliran-aliran yang

secara konseptual berlainan cirinya harus secara tegas dibedakan di dalam

menanganinya; (d) hanya informasi-informasi aktual yang tersedia untuk aktor-aktor

dalam sistem tersebut yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pemodelan; (e)

struktur pengambilan keputusan dari model harus berkaitan dengan tindakan

manajerial; (f) model harus tegar (robust) dalam kondisi ekstrim.

Tasrif (2006) juga menjelaskan bahwa model yang dibentuk haruslah menuhi

syarat-syarat sebagai berikut (a) Efek suatu intervensi, misal: suatu kebijakan dalam

bentuk perilaku yang merupakan suatu kejadian berikutnya, maka untuk melacak

unsur komponen waktu perlu “system dynamics”; (b) Mampu mensimulasikan

berbagai macam intervensi dan dapat memunculkan perilaku sistem, karena adanya

intervensi akan dapat dilakukan perubahan perubahan baik parameter maupun

struktur model; (c) Memungkinkan mensimulasikan suatu intervensi yang efeknya

dapat berbeda secara dramatik baik dalam jangka pendek dan jangka panjang sesuai

kompleksitas perilaku dinamik; (d) Perilaku sistem dapat merupakan perilaku yang

pernah dialami dan teramati, yaitu melalui data historis, ataupun perilaku yang belum

pernah teramati yang meliputi perilaku yang pernah dialami tetapi tidak teramati

maupun perilaku yang belum pernah dialami tetapi kemungkinan besar terjadi; (e)

Mampu menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat terjadi.

Page 43: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

53

Tangirala, dkk (2003) menyatakan bahwa metodologi “system dynamics”

merupakan konsep yang berdasarkan pada sistem berfikir, dimana terjadi interaksi

dinamik antara unsur-unsur dari suatu sistem untuk dipelajari dan diketahui

perilakunya sebagai suatu sistem yang menyeluruh. Tangirala, dkk (2003)

menjelaskan bahwa ide utama dalam pemodelan “system dynamics” adalah untuk

mengerti perilaku suatu sistem dengan menggunakan struktur matematika yang

sederhana. Dengan demikian, sistem dinamik dapat membantu para perencana

dalam hal-hal sebagai berikut: (a) menggambarkan suatu sistem; (b) mengerti

suatu sistem; (c) mengembangkan model secara kualitatif dan kuantitatif; (d)

mengidentfikasi perilaku umpan-balik dari suatu sistem; (e) mengembangkan

kendali kebijakan untuk pengelolaan sistem yang lebih baik.

2.8.1 Analisis Sistem Dinamik

Analisis sistem dinamik ini merupakan bagian dari pendekatan sistem yang

berasal dari pengembangan teori sistem. Berdasarkan adanya pemahaman tentang

kejadian sistemik tersebut, berikut ini ada lima langkah yang dapat ditempuh

untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu: i)

identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; ii) identifikasi kejadian yang

diinginkan; iii) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; iv)

identifikasi dinamika menutup kesenjangan; v) analisis kebijakan (Muhammadi et

al. 2001).

Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja

yang sistematis. Menurut Eriyatno (1999) metodologi sistem pada prinsipnya

melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa), meliputi: (1) analisa

kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi permasalahan, (4) pembentukan

alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial, dan politik, (6)

penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial).

Pendekatan sistem memiliki dua hal umum sebagai tandanya, yaitu (1)

dalam semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk

menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membentuk

keputusan secara rasional (Marimin, 2005). Salah satu dasar utama untuk

mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang

penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan

Page 44: II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya

54

pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik

kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam

sebuah model. Sistem yang diberi abstrak dan deskripsi yang disederhanakan

memudahkan penggunaan model untuk menentukan usaha-usaha penelitian atau

menguraikan garis besar suatu masalah untuk pengkajian yang lebih mendetail.

2.8.2 Verifikasi dan Validasi Model

Verifikasi model dilakukan sebagai proses uji sahih untuk mengetahui

berbagai kelemahan maupun kekurangan, serta identifikasi berbagai persoalan

yang harus diantisipasi dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan

(Eriyatno & Sofyar, 2007). Menurut Hartrisari (2007) kata verifikasi diartikan

sebagai menyatakan kebenaran, ketepatan atau kenyataan (to establish the truth,

accuracy or reality), sedangkan kata valid didefinisikan sebagai mendapatkan

hasil kesimpulan yang benar, berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah

ditetapkan.

Validitas adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan yang ditunjukkan

dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta (Muhammadi et al., 2001).

Sementara validasi model memiliki berbagai teknik untuk melaksanakannya.

Teknik-teknik validasi tersebut antara lain: (1) animation, (2) comparison to the

other models, (3) degeneration test, (4) event validity, (5) test extreme condition,

(6) face validity, (7) faxed values, (8) historical data validation, (9) historical

method, (10) internal validity, (11) multistage validity, (12) operational graphic,

(13) parameter variability-sensitivity analysis, (14) predictive validation, (15)

traces dan (16) turing test. Studi ini memanfaatkan face validity terhadap para

pakar guna memeriksa kesesuaian antara prilaku model dengan prilaku sistem

yang diwakilinya.