Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, diabetes
melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin
atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah. Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan terjadi
peningkatan prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh
berdasarkan konsensus Perkeni tahun 2015 sebesar 10,9% dibandingkan
sebelumnya pada tahun 2013 yaitu sebesar 6,9%.
Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi diabetes menjadi DM tipe 1 dan tipe
2 (Rimbawan dan Siagian, 2004). DM Tipe 1 terjadi karena faktor genetik, yaitu
penderita diabetes tidak mewarisi DM Tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya DM Tipe I (Padila,
2012). DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabetes yang paling lazim dan berkaitan
dengan riwayat diabetes keluarga akibat pola makan, usia lanjut, obesitas,
perubahan pola makan, dan aktifitas fisik yang kurang. DM tipe 2 dicirikan oleh
resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel-β
pankreas (Willet dkk., 2002).
Selain karena alasan tersebut di atas, sebagian besar penderita diabetes
juga mengalami defisiensi mikronutrien seperti kromium dan magnesium.
5
Kekurangan magnesium intraseluler dapat menyebabkan penurunan fungsi tirosin
kinase pada reseptor insulin dan berhubungan dengan penurunan kemampuan
insulin untuk menstimulasi penyerapan glukosa pada jaringan yang sensitif
insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, dan bila
terjadi terus menerus dan kronis dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus
serta berkembangnya komplikasi makro dan mikrovaskular diabetes melitus
(Sales dan Pedrosa, 2006). Kromium bekerja sama dengan insulin dalam
memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel. Kekurangan kromium dalam tubuh
dapat menyebabkan gangguan toleransi terhadap glukosa, walaupun konsentrasi
insulin normal. Terapi nutrisi kromium (dalam bentuk kromium pikolinat yang
paling mudah diserap) yang dilakukan di Amerika dengan dosis 200 μg/hr untuk
orang dewasa sehat dan 400-1000 μg/hr untuk penderita diabetes melitus terbukti
dapat meningkatkan daya kerja insulin, menormalkan gula darah dan
meningkatkan kolesterol HDL (Atmosukarto dan Rahmawati, 2004).
Selain itu, penderita diabetes dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan-
makanan yang tinggi kromium dan magnesium sebagai makanan pendamping
nasi, sehingga asupan kromium dan magnesium harian dapat terpenuhi. Beberapa
makanan yang tinggi kromium, yaitu brokoli, wortel, daging sapi, ikan, ayam,
telur, apel, jeruk dan pisang (Anonim, 2001). Magnesium sendiri dapat diperoleh
dari sayuran hijau, kacang-kacangan dan olahannya (Maula, 2017).
B. Padi Varietas Ciherang
Padi merupakan bahan makanan penghasil beras yang sampai saat ini
masih menjadi bahan makanan pokok terpenting bagi sebagian besar penduduk
6
Indonesia. Upaya pemenuhan permintaan beras yang terus meningkat salah
satunya dengan penanaman padi varietas unggul seperti Ciherang. Ciherang
merupakan padi unggul karena lebih tahan bakteri hawar daun dibanding IR64,
memiliki potensi hasil yang tinggi yaitu sebesar 8,5 t/ha gabah kering giling dan
nasinya pulen sehingga banyak diminati oleh konsumen (Suprihatno dkk., 2010).
Beras varietas Ciherang memiliki kandungan amilosa sebesar 23,2% dan
konsistensi gel 77,5 mm termasuk beras beramilosa sedang. Beras beramilosa
sedang umumnya mempunyai tekstur nasi pulen yang digemari oleh konsumen
pada umumnya (Damardjati, 1995). Kandungan protein beras varietas Ciherang
10,3%, lemak 0,72%, dan karbohidrat 87,6% berat kering. Tiap 100 g beras
Ciherang mengandung energi 401, 9 kalori, vitamin B1 0,30 mg, vitamin B2 0,13
mg, vitamin B3 0,56 mg, vitamin B6 0,12 mg, asam folat 29,9 mikrogram, besi
4,6 ppm dan seng 23 ppm 64 (Anonim, 2008). Beras varietas Ciherang selain
mempunyai kandungan amilosa sedang (23,2%) juga memiliki indeks glikemik
yang rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Widowati dkk. (2010)
menunjukkan beras varietas Ciherang mempunyai nilai indeks glikemik rendah
yaitu 54,43.
C. Proses Pratanak
Pratanak merupakan sebuah proses yang dikembangkan untuk
meningkatkan kualitas beras yang terdiri dari perendaman, pengukusan dan
pengeringan gabah. Alasan utama pembuatan beras pratanak adalah mampu
menghasilkan rendemen penggilingan dan nilai gizi yang lebih tinggi serta dapat
mencegah kerusakan akibat jamur dan serangga (Elbert dkk., 2000 dalam
7
Sareepuang dkk., 2008). Selain itu, beras pratanak juga berkontribusi pada
peningkatan kesehatan.
Berdasarkan tinjauan yang dilakukan oleh Luh dan Mickus (1980) dalam
Sareepuang dkk. (2008), proses pratanak secara tradisional meliputi perendaman
gabah di dalam air pada suhu ruang dan diikuti dengan pengukusan atau
perebusan pada suhu 100˚C kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Akan
tetapi beberapa metode baru telah dikembangkan, seperti adanya proses
pendinginan gabah setelah pemasakan. Mengacu pada Yulianto dkk. (2015),
proses pembuatan beras pratanak secara umum meliputi sortasi, perendaman,
pemasakan, pendinginan, pengeringan dan penggilingan.
1. Sortasi
Sortasi adalah memisahkan produk yang sudah bersih menjadi bermacam-
macam mutu atas dasar sifat fisiknya. Dalam Yulianto dkk. (2015) sortasi
dilakukan untuk memisahkan gabah yang berkualitas baik (tenggelam) dengan
gabah yang berkualitas buruk (terapung) ketika gabah dicuci. Hal ini
dikarenakan gabah yang berkualitas buruk terseut dapat mengganggu penetrasi
air ke dalam butir gabah selama perendaman.
2. Perendaman
Perendaman adalah suatu proses hidrasi air ke dalam butiran beras melalui
proses difusi untuk mencapai kandungan air yang dibutuhkan untuk gelatinisasi
pati. Perendaman merupakan tahap paling kritis karena dapat memberikan
perubahan komposisi dan distribusi gizi dalam butiran beras (Mir dan Bosco,
2013 dalam Kale dkk., 2015).
8
Kale dkk. (2015) melaporkan bahwa suhu perendaman optimal untuk
gabah PB1121 adalah 65 ˚C selama 345 menit. Sementara Bhattacharya (1985)
dalam Sareepuang dkk. (2008) menyarankan perendaman gabah sebaiknya
dilakukan pada suhu 75 ˚C. Perbedaan varietas gabah yang diteliti
memungkinkan adanya perbedaan suhu dan lama waktu yang diperlukan dalam
perendaman. Menurut Susanti (1997), penyerapan air berbeda-beda untuk
setiap varietas beras. Kedua faktor ini juga menentukan kualitas dari nasi yang
ditanak dan kepulenan nasinya.
3. Pemasakan
Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm
sehingga struktur granula pati berbentuk sperti pasta akibat proses gelatinisasi.
Pemasakan dilakukan agar gelatinisasi pati dan sterilisasi yang homogen dari
gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi
dengan tekanan uap yang rendah (Akhyar, 2009).
4. Pendinginan
Proses pendinginan yang dilakukan pada gabah dapat mempengaruhi
kualitas beras pratanak yang dihasilkan. Selama proses pemasakan, pati akan
mengalami gelatinisasi yang ditandai dengan terjadinya penggelembungan
granula pati akibat banyaknya air yang masuk ke dalam sel granula pati.
Pendinginan yang dilakukan bertujuan untuk mendorong terjadinya
retrogradasi pati, yaitu penyusunan kembali struktur pati setelah tergelatinisasi.
Englyst and Cumming (1992) menyatakan pati yang teretrogradasi, struktur
kristal patinya berubah mengarah pada terbentuknya kristal baru yang tidak
9
larut. Gelatinisasi dan retrogradasi dapat mempengaruhi kecernaan pati di
dalam usus halus.
5. Pengeringan
Pengeringan gabah pada proses pratanak bertujuan untuk mengurangi
kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta
memaksimalkan hasil giling (Akhyar, 2009). Pengeringan dapat dilakukan
dengan menggunakan energi matahari secara langsung (sun drying) ataupun
menggunakan alat pengering yang telah ada. Pengeringan gabah hasil pratanak
dilakukan hingga mencapai kadar air 13-14% (Yulianto dkk., 2015).
6. Penggilingan
Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari bijinya dan
lapisan aleuron sebagian maupun keseluruhan, agar menghasilkan beras yang
putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah gabah dikupas kulitnya
dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian gabah dimasukkan ke dalam
alat penyosoh untuk menghilangkan lapisan aleuron yang menempel pada
beras (Damardjati, 1995).
D. Indeks Glikemik
Indeks glikemik didefinisikan sebagai nilai yang didapatkan dari
perbandingan kurva respon glukosa darah dari 50 g glukosa murni dengan jumlah
glukosa dalam bahan pangan acuan yang setara terhadap suatu subjek yang sama.
Sampel darah diambil pada waktu puasa dari interval 30 menit setelah 2 jam
mengkonsumsi karbohidrat. Luas area dibawah atau diatas kurva glukosa dihitung
dan ditunjukkan sebagai persentase luas area yang diperoleh setelah mengkon-
10
sumsi 50 g glukosa (Jenkins dkk., 1981). Kurva perubahan kadar glukosa darah
dapat dilihat pada Gambar 1. Perhitungan nilai indeks glikemik dilkukan dengan
menghitung luasan area di bawah kurva
Gambar 1. Kurva perubahan glukosa darah (Neithercott, 2014)
Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap
makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.
Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis
dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Sarwono, 2002).
Bahan pangan yang memiliki IG yang tinggi akan dengan cepat menaikkan
kadar glukosa darah, sedangkan bahan pangan yang memiliki IG rendah akan
lambat dalam menaikkan kadar glukosa darah. Berdasarkan respon IG-nya,
pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan ber IG rendah
dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang
nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70 (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Kad
ar g
ula
dar
ah (
mg/
dl)
Waktu (2 jam)
Glukosa
IG tinggi
IG rendah
11
Konsep IG menjelaskan bahwa tidak setiap karbohidrat bekerja dengan
cara yang sama. IG memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam
mengendalikan fluktuasi kadar gula darah (Widowati, 2008). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya IG suatu bahan pangan antara lain cara
pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa
dan amilopektin serta zat anti-gizi pangan (Sarwono, 2002).
Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa tingkat gelatinisasi pati
dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan karena proses gelatinisasi pati
yang terjadi saat pemasakan dapat menyebabkan granula pati mengembang.
Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah dicerna
karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang
lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini mengakibatkan
meningkatnya kadar gula darah dengan cepat. Ukuran partikel juga memengaruhi
indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan
menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam
tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat.
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) penelitian terhadap pangan yang
memiliki kadar amilosa tinggi memiliki respon gula darah yang rendah.
Sebaliknya, bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa,
respon gula darah lebih tinggi. Selain itu, beberapa zat anti-gizi akan tetap aktif
walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada biji-bijian dapat
menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan
menurun.
12
E. Pati Tahan Cerna
Pati dapat dibagi ke dalam 3 golongan berdasarkan daya cernanya oleh
enzim amilase, yaitu pati yang dicerna dengan cepat (rapidly digestible starch),
pati yang dicerna dengan lambat (slowly digestible starch), dan pati tahan cerna
(resistant starch) (Sajilata dkk., 2006). Pati tahan cerna (resistant starch atau RS)
didefinisikan sebagai fraksi pati atau produk degradasi pati yang tidak terabsorbsi
dalam usus halus individu yang sehat. Berdasarkan asal dan proses pengolahannya
pati tahan cerna diklasifikan menjadi 5 jenis, yaitu tipe RS1, 2, 3, 4, dan 5
(Zaragoza dkk., 2010). RS tipe 1 merupakan pati yang secara alamiah dan secara
fisik ada di dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan kaya pati, seperti
biji-bijian dan serealia. Jumlah RS1 dipengaruhi oleh proses pengolahan dan
dapat dikurangi atau dihilangkan melalui penggilingan. RS tipe 2 merupakan pati
yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase dan
umumnya granulanya berbentuk kristalin. Sumber RS2 antara lain pisang dan
kentang yang masih mentah, serta jenis pati jagung dengan kadar amilosa yang
tinggi. RS tipe 3 adalah pati teretrogradasi yang diperoleh melalui proses
pemanasan dan dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu rendah (4°C) maupun
pada suhu ruang sehingga mengalami retrogradasi atau penyusunan kembali
ikatan hidrogen antar amilosa rantai pendek. RS tipe 4 adalah pati termodifikasi
secara kimia seperti pati ester maupun pati ikatan silang (Zaragoza dkk., 2010).
Janelle dan Zheng (2004) dalam Suhartini (2013) melaporkan bahwa gugus
fungsional rantai polisakarida karbohidrat kulit pisang yang berupa gugus
hidroksil (-OH) dapat membentuk ikatan hidrogen dengan ion logam.
13
RS tipe 5 menurut Birt dkk. (2013) dapat terbentuk ketika pati
berinteraksi dengan lipid, sehingga amilosa membentuk kompleks heliks tunggal
dengan asam lemak dan lemak alkohol sehingga pati akan saling mengikat dan
sulit dihidrolisis oleh enzim amilase.
Semua jenis RS yang ada tersebut, RS3 yang paling banyak digunakan
sebagai bahan baku fungsional berbasis RS. RS tipe ini relatif tahan panas
dibandingkan RS tipe lainnya sehingga RS3 stabil selama proses pengolahan
pangan dan dapat mempertahankan karakteristik organoleptik ketika ditambahkan
pada makanan (Lehmann dkk. 2002). Kandungan RS3 dalam bahan pangan alami
umumnya rendah, oleh karena itu perlu ditingkatkan kadarnya melalui teknik
modifikasi.
RS3 dapat mencapai kolon tanpa mengalami perubahan dan berkontribusi
sebagai serat pangan. Keberadaan RS3 dalam usus halus dapat menurunkan
respons glikemik dan insulemik pada penderita diabetes dan penderita
hiperinsulemik (Okoniewska dan Witwer, 2007). RS3 juga berpotensi
memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson dkk., 2005). Wronkowska
dkk. (2006) melaporkan bahwa RS3 dapat difermentasi oleh bakteri probiotik
yang menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA)
seperti asam asetat, propionat, dan butirat. SCFA juga mampu menurunkan pH
usus, meningkatkan absorpsi kalsium, mengurangi penyerapan amonia dan amina
sehingga dapat mencegah tekanan darah tinggi (Toole dan Cooney 2008).
14
F. Fortifikasi
Fortifikasi adalah sebuah upaya yang disengaja dilakukan untuk
menambahkan mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam
makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan
bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan resiko minimal untuk kesehatan
(Anonim, 2006). Anderson (2008) dalam Yulianto dkk. (2015) melaporkan bahwa
penderita diabetes mengalami defisiensi kromium dan defisiensi magnesium.
Defisiensi mikronutrien tersebut dapat mendorong meningkatnya gula darah
karena kekurangan magnesium intraseluler dapat menurunkan kemampuan insulin
untuk menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif insulin (Sales dan
Pedrosa, 2006). Atmosukarto dan Rahmawati (2004) menyatakan kromium
bekerja sama dengan insulin dalam memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan fortifikasi mikronutrien agar mampu
memenuhi defisiensi tersebut.
Mikronutrien yang perlu difortifikasikan ke dalam beras pratanak untuk
mendukung pengendalian gula darah penderita diabetes antara lain:
1. Kromium
Saat ini kromium telah diakui sebagai nutrien esensial yang berfungsi
dalam proses metabolisme karbohidrat, lipid dan asam nukleat (Vincent, 2000)
sebab kromium mempunyai fungsi meningkatkan kerja biologis insulin (Mertz,
1998). Kromium ditetapkan sebagai zat gizi esensial pada tahun 1977, setelah
terbukti bahwa pasien di rumah sakit menunjukkan penurunan gula darah yang
signifikan setelah mengkonsumsi makanan parenteral dengan diberi kromium
15
(Anonim, 2001). Kromium banyak digunakan sebagai suplemen dan digunakan
dalam rentang dosis 50-200 ųg (Atmosukarto dan Rahmawati, 2004).
Bentuk yang paling umum dari kromium adalah kromium 3 (Cr trivalen)
dan kromium 6 (Cr hexavalen). Angka tersebut menunjukkan banyaknya
oksidasi pada senyawa kromium. Kromium trivalen adalah bentuk utama
dalam makanan seperti halnya yang digunakan oleh tubuh, sedangkan kromium
heksavalen biasanya digunakan sebagai sumber kromium untuk tujuan industri.
Kromium trivalen (kromium 3) merupakan bentuk yang paling stabil dan
paling aman, termasuk salah satu yang paling tidak toksik (Anderson, 1998).
Laju absorpsi Cr anorganik sangat rendah, yaitu sebesar 0,4-3% dari
dosis asupan harian. Sejumlah faktor yang dapat meningkatkan penyerapan
kromium adalah vitamin C, asam amino dan oksalat (sayur dan sereal),
sedangkan yang menghambat adalah fitat (kacang, sereal, sayur) dan gula
sederhana (Bowman, 1999). Sebanyak 28% studi pada periode 1982-1987
mencatat bahwa jika ada penambahan konsumsi gula (gula pasir dan gula
merah) akan menambah kebutuhan kromium karena terjadi penurunan
penyerapan kromium.
Menurut Angka Kecukupan Gizi Indonesia (AKG) kecukupan kromium
untuk pria sebesar 25-26 μg per orang per hari, sedangkan untuk wanita sebesar
19-30 μg per orang per hari (Anonim, 2012). Menurut Institute of Medicine
(2001) kromium ditemukan pada berbagai jenis makanan, namun sebagian
besar makanan yang mengandung kromium hanya menyumbang kurang dari 1-
2 μg per sajinya. Roussel dkk. (2007) menyatakan bahwa makanan berupa
16
beras hanya menyumbang asupan kromium sebesar 1,24 μg Cr/porsi.
Mengingat rendahnya kandungan Cr pada beras dan rendahnya absorpsi oleh
mukosa usus, maka upaya fortifikasi Cr ke dalam beras perlu dilakukan. Pada
penelitian sebelumnya, lama perendaman selama 2,5 jam dengan kadar CrCl3
7,47 mg/L menghasilkan beras dengan indeks glikemik 36,33 dan kadar total
Cr sebesar 0,56 mg/kg (Yulianto dkk., 2018).
Kromium pikolinat lebih sering digunakan karena daya absorbsinya lebih
baik jika dibandingkan dengan kromium (III) klorida, akan tetapi senyawa ini
sukar didapat dan harganya cukup mahal. Alasan lain yang lebih mendasar
adalah senyawa kromium (III) klorida sudah diteliti dapat menurunkan kadar
glukosa darah mencit secara signifikan (Dharma, 2010).
2. Magnesium
Magnesium memainkan peran yang penting di dalam metabolisme
karbohidrat. Zat ini mempengaruhi pelepasan dan aktivitas hormon-hormon
yang membantu mengendalikan kadar gula darah. Kadar Mg yang rendah di
dalam darah sering ditemukan pada penderita diabetes tipe 2 (Paolisso dkk.,
1992).
Kebutuhan magnesium pada bayi 40 – 70 mg/hari, anak-anak 50 – 250
mg/hari, orang dewasa 300 – 400 mg/hari, wanita hamil dan menyusui 450
mg/hari (Watts, 1997), sedangkan di Indonesia asupan magnesium pada
anak/bayi 30 – 118 mg/orang/hari, pria 148 – 348 mg/orang/ hari, wanita 155 –
330 mg/orang/hari (Anonim, 2012). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa
kecukupan magnesium orang Indonesia masih berada pada batas terendah.
17
G. Kayu Manis
Kayu manis (Cinnamomum burmani) merupakan tanaman penghasil
rempah-rempah yang dibudidayakan untuk diambil kulit kayunya. Kayu manis
termasuk ke dalam jenis rempah-rempah yang memiliki aroma khas, rasa pedas
dan manis yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia. Ervina dkk. (2016)
menyatakan bahwa hasil ekstraksi kulit batang Cinnamomum burmanii
mengandung senyawa antioksidan utama berupa polifenol (tanin, flavonoid) dan
minyak atsiri golongan fenol.
Kandungan yang ada di dalam kayu manis antara lain cinnamaldehyde,
cinnamyl acetat, cinnamyl alcohol, Cinnamtannin, MHCP (methylhydroxy-
chalcone polymer) dan flavonoid (Pham dkk., 2007). Komponen terbesar minyak
atsiri dari kulit kayu manis adalah sinamaldehid dan eugenol yang menentukan
kualitas minyaknya. Kadar komponen kimia kulit kayu manis sangat tergantung
pada daerah asalnya atau tempat penanamannya (Rismunandar, 1993).
Ngadiwiyana dkk. (2011) dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa
senyawa sinamaldehid hasil isolasi dari minyak kayu manis berpotensi sebagai
senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Sinamaldehid secara
signifikan menurunkan tingkat gula puasa, meningkatkan sensitifitas insulin dan
memperbaiki morfologi jaringan pankreas serta fungsi hati pada tikus db/db (tikus
termutasi secara genetik dengan kelainan reseptor leptin tidak berfungsi dengan
baik) (Guo dkk., 2017). Senyawa lain dari kayu manis yaitu Methylhidroxy
Calcone Polymer (MHCP) adalah flavonoid yang memiliki efek mirip insulin.
MHCP pada kayu manis mempunyai kerja seperti insulin yaitu mengaktivasi
18
sintesis glikogen, meningkatkan pengambilan glukosa, mengaktivasi insulin
reseptor kinase dan menghambat defosforilasi reseptor insulin (Tjahjani, 2014).
Khan dkk. (2003) melaporkan bahwa pemberian kayu manis sebanyak 1-6
g per hari dapat mengontrol kadar lipid dan gula darah pada penderita diabetes
tipe 2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Tjahjani dkk. (2014) menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak etanol kayu manis dosis 20,8 mg menurunkan glukosa
darah mencit.
H. Tingkat Kesukaan
Tingkat kesukaan adalah bagian dari uji organoleptik yang merupakan
cara untuk mengukur, menilai atau menguji mutu komoditas dengan
menggunakan kepekaan alat indera manusia, yaitu mata, hidung, mulut dan ujung
jari tangan. Uji organoleptik juga disebut pengukuran subyektif karena didasarkan
pada respon subyektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto, 1990). Rahayu
(1998), menjelaskan bahwa untuk melaksanakan penilaian organoleptik
diperlukan panel. Dalam penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik
atau kamoditi, panel bertindak sebagai instrument atau alat. Panel ini terdiri dari
orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan
kesan subyektif dan orang yang menjadi panel disebut panelis. Pada prinsipnya
terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembeda,uji deskripsi, dan uji afektif
(Pastiniasih, 2011).
Salah satu pengujian yang termasuk ke dalam uji afektif adalah uji
kesukaan. Menurut Sofiah dan Achyar (2008), uji kesukaan atau uji hedonik
dilakukan dengan cara panelis diminta memberi tanggapan secara pribadi terhadap
19
suatu produk berdasarkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tujuan uji
penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik
tertentu dapat diterima oleh masyarakat.
Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk
mengukur tingkat kesukaan terhadap suatu produk. Tingkat kesukaan ini disebut
skala hedonik misalnya sangat suka, suka ,agak suka, agak tidak suka, tidak suka,
dan lain – lain. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut
rentangan skala yang dikehendaki. Dalam analisis datanya, skala hedonik
ditransformasikan kedalam skala angka dengan angka menaik menurut tingkat
kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat kesukaan) (Anonim, 2006).
I. Hipotesis
Perlakuan suhu perendaman dan konsentrasi ekstrak kayu manis pada
beras pratanak yang difortifikasi dengan kromium dan magnesium diduga dapat
mempengaruhi kadar pati tahan cerna, fortifikan, nilai indeks glikemik dan tingkat
kesukaan beras pratanak yang dihasilkan.