16
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan terjadi peningkatan prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh berdasarkan konsensus Perkeni tahun 2015 sebesar 10,9% dibandingkan sebelumnya pada tahun 2013 yaitu sebesar 6,9%. Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi diabetes menjadi DM tipe 1 dan tipe 2 (Rimbawan dan Siagian, 2004). DM Tipe 1 terjadi karena faktor genetik, yaitu penderita diabetes tidak mewarisi DM Tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya DM Tipe I (Padila, 2012). DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabetes yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga akibat pola makan, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan, dan aktifitas fisik yang kurang. DM tipe 2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas (Willet dkk., 2002). Selain karena alasan tersebut di atas, sebagian besar penderita diabetes juga mengalami defisiensi mikronutrien seperti kromium dan magnesium.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, diabetes

melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin

atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,

saraf, dan pembuluh darah. Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan terjadi

peningkatan prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh

berdasarkan konsensus Perkeni tahun 2015 sebesar 10,9% dibandingkan

sebelumnya pada tahun 2013 yaitu sebesar 6,9%.

Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes

Mellitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi diabetes menjadi DM tipe 1 dan tipe

2 (Rimbawan dan Siagian, 2004). DM Tipe 1 terjadi karena faktor genetik, yaitu

penderita diabetes tidak mewarisi DM Tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu

predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya DM Tipe I (Padila,

2012). DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabetes yang paling lazim dan berkaitan

dengan riwayat diabetes keluarga akibat pola makan, usia lanjut, obesitas,

perubahan pola makan, dan aktifitas fisik yang kurang. DM tipe 2 dicirikan oleh

resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel-β

pankreas (Willet dkk., 2002).

Selain karena alasan tersebut di atas, sebagian besar penderita diabetes

juga mengalami defisiensi mikronutrien seperti kromium dan magnesium.

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

5

Kekurangan magnesium intraseluler dapat menyebabkan penurunan fungsi tirosin

kinase pada reseptor insulin dan berhubungan dengan penurunan kemampuan

insulin untuk menstimulasi penyerapan glukosa pada jaringan yang sensitif

insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, dan bila

terjadi terus menerus dan kronis dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus

serta berkembangnya komplikasi makro dan mikrovaskular diabetes melitus

(Sales dan Pedrosa, 2006). Kromium bekerja sama dengan insulin dalam

memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel. Kekurangan kromium dalam tubuh

dapat menyebabkan gangguan toleransi terhadap glukosa, walaupun konsentrasi

insulin normal. Terapi nutrisi kromium (dalam bentuk kromium pikolinat yang

paling mudah diserap) yang dilakukan di Amerika dengan dosis 200 μg/hr untuk

orang dewasa sehat dan 400-1000 μg/hr untuk penderita diabetes melitus terbukti

dapat meningkatkan daya kerja insulin, menormalkan gula darah dan

meningkatkan kolesterol HDL (Atmosukarto dan Rahmawati, 2004).

Selain itu, penderita diabetes dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan-

makanan yang tinggi kromium dan magnesium sebagai makanan pendamping

nasi, sehingga asupan kromium dan magnesium harian dapat terpenuhi. Beberapa

makanan yang tinggi kromium, yaitu brokoli, wortel, daging sapi, ikan, ayam,

telur, apel, jeruk dan pisang (Anonim, 2001). Magnesium sendiri dapat diperoleh

dari sayuran hijau, kacang-kacangan dan olahannya (Maula, 2017).

B. Padi Varietas Ciherang

Padi merupakan bahan makanan penghasil beras yang sampai saat ini

masih menjadi bahan makanan pokok terpenting bagi sebagian besar penduduk

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

6

Indonesia. Upaya pemenuhan permintaan beras yang terus meningkat salah

satunya dengan penanaman padi varietas unggul seperti Ciherang. Ciherang

merupakan padi unggul karena lebih tahan bakteri hawar daun dibanding IR64,

memiliki potensi hasil yang tinggi yaitu sebesar 8,5 t/ha gabah kering giling dan

nasinya pulen sehingga banyak diminati oleh konsumen (Suprihatno dkk., 2010).

Beras varietas Ciherang memiliki kandungan amilosa sebesar 23,2% dan

konsistensi gel 77,5 mm termasuk beras beramilosa sedang. Beras beramilosa

sedang umumnya mempunyai tekstur nasi pulen yang digemari oleh konsumen

pada umumnya (Damardjati, 1995). Kandungan protein beras varietas Ciherang

10,3%, lemak 0,72%, dan karbohidrat 87,6% berat kering. Tiap 100 g beras

Ciherang mengandung energi 401, 9 kalori, vitamin B1 0,30 mg, vitamin B2 0,13

mg, vitamin B3 0,56 mg, vitamin B6 0,12 mg, asam folat 29,9 mikrogram, besi

4,6 ppm dan seng 23 ppm 64 (Anonim, 2008). Beras varietas Ciherang selain

mempunyai kandungan amilosa sedang (23,2%) juga memiliki indeks glikemik

yang rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Widowati dkk. (2010)

menunjukkan beras varietas Ciherang mempunyai nilai indeks glikemik rendah

yaitu 54,43.

C. Proses Pratanak

Pratanak merupakan sebuah proses yang dikembangkan untuk

meningkatkan kualitas beras yang terdiri dari perendaman, pengukusan dan

pengeringan gabah. Alasan utama pembuatan beras pratanak adalah mampu

menghasilkan rendemen penggilingan dan nilai gizi yang lebih tinggi serta dapat

mencegah kerusakan akibat jamur dan serangga (Elbert dkk., 2000 dalam

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

7

Sareepuang dkk., 2008). Selain itu, beras pratanak juga berkontribusi pada

peningkatan kesehatan.

Berdasarkan tinjauan yang dilakukan oleh Luh dan Mickus (1980) dalam

Sareepuang dkk. (2008), proses pratanak secara tradisional meliputi perendaman

gabah di dalam air pada suhu ruang dan diikuti dengan pengukusan atau

perebusan pada suhu 100˚C kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Akan

tetapi beberapa metode baru telah dikembangkan, seperti adanya proses

pendinginan gabah setelah pemasakan. Mengacu pada Yulianto dkk. (2015),

proses pembuatan beras pratanak secara umum meliputi sortasi, perendaman,

pemasakan, pendinginan, pengeringan dan penggilingan.

1. Sortasi

Sortasi adalah memisahkan produk yang sudah bersih menjadi bermacam-

macam mutu atas dasar sifat fisiknya. Dalam Yulianto dkk. (2015) sortasi

dilakukan untuk memisahkan gabah yang berkualitas baik (tenggelam) dengan

gabah yang berkualitas buruk (terapung) ketika gabah dicuci. Hal ini

dikarenakan gabah yang berkualitas buruk terseut dapat mengganggu penetrasi

air ke dalam butir gabah selama perendaman.

2. Perendaman

Perendaman adalah suatu proses hidrasi air ke dalam butiran beras melalui

proses difusi untuk mencapai kandungan air yang dibutuhkan untuk gelatinisasi

pati. Perendaman merupakan tahap paling kritis karena dapat memberikan

perubahan komposisi dan distribusi gizi dalam butiran beras (Mir dan Bosco,

2013 dalam Kale dkk., 2015).

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

8

Kale dkk. (2015) melaporkan bahwa suhu perendaman optimal untuk

gabah PB1121 adalah 65 ˚C selama 345 menit. Sementara Bhattacharya (1985)

dalam Sareepuang dkk. (2008) menyarankan perendaman gabah sebaiknya

dilakukan pada suhu 75 ˚C. Perbedaan varietas gabah yang diteliti

memungkinkan adanya perbedaan suhu dan lama waktu yang diperlukan dalam

perendaman. Menurut Susanti (1997), penyerapan air berbeda-beda untuk

setiap varietas beras. Kedua faktor ini juga menentukan kualitas dari nasi yang

ditanak dan kepulenan nasinya.

3. Pemasakan

Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm

sehingga struktur granula pati berbentuk sperti pasta akibat proses gelatinisasi.

Pemasakan dilakukan agar gelatinisasi pati dan sterilisasi yang homogen dari

gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi

dengan tekanan uap yang rendah (Akhyar, 2009).

4. Pendinginan

Proses pendinginan yang dilakukan pada gabah dapat mempengaruhi

kualitas beras pratanak yang dihasilkan. Selama proses pemasakan, pati akan

mengalami gelatinisasi yang ditandai dengan terjadinya penggelembungan

granula pati akibat banyaknya air yang masuk ke dalam sel granula pati.

Pendinginan yang dilakukan bertujuan untuk mendorong terjadinya

retrogradasi pati, yaitu penyusunan kembali struktur pati setelah tergelatinisasi.

Englyst and Cumming (1992) menyatakan pati yang teretrogradasi, struktur

kristal patinya berubah mengarah pada terbentuknya kristal baru yang tidak

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

9

larut. Gelatinisasi dan retrogradasi dapat mempengaruhi kecernaan pati di

dalam usus halus.

5. Pengeringan

Pengeringan gabah pada proses pratanak bertujuan untuk mengurangi

kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta

memaksimalkan hasil giling (Akhyar, 2009). Pengeringan dapat dilakukan

dengan menggunakan energi matahari secara langsung (sun drying) ataupun

menggunakan alat pengering yang telah ada. Pengeringan gabah hasil pratanak

dilakukan hingga mencapai kadar air 13-14% (Yulianto dkk., 2015).

6. Penggilingan

Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari bijinya dan

lapisan aleuron sebagian maupun keseluruhan, agar menghasilkan beras yang

putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah gabah dikupas kulitnya

dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian gabah dimasukkan ke dalam

alat penyosoh untuk menghilangkan lapisan aleuron yang menempel pada

beras (Damardjati, 1995).

D. Indeks Glikemik

Indeks glikemik didefinisikan sebagai nilai yang didapatkan dari

perbandingan kurva respon glukosa darah dari 50 g glukosa murni dengan jumlah

glukosa dalam bahan pangan acuan yang setara terhadap suatu subjek yang sama.

Sampel darah diambil pada waktu puasa dari interval 30 menit setelah 2 jam

mengkonsumsi karbohidrat. Luas area dibawah atau diatas kurva glukosa dihitung

dan ditunjukkan sebagai persentase luas area yang diperoleh setelah mengkon-

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

10

sumsi 50 g glukosa (Jenkins dkk., 1981). Kurva perubahan kadar glukosa darah

dapat dilihat pada Gambar 1. Perhitungan nilai indeks glikemik dilkukan dengan

menghitung luasan area di bawah kurva

Gambar 1. Kurva perubahan glukosa darah (Neithercott, 2014)

Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap

makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.

Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis

dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Sarwono, 2002).

Bahan pangan yang memiliki IG yang tinggi akan dengan cepat menaikkan

kadar glukosa darah, sedangkan bahan pangan yang memiliki IG rendah akan

lambat dalam menaikkan kadar glukosa darah. Berdasarkan respon IG-nya,

pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan ber IG rendah

dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang

nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70 (Rimbawan dan

Siagian, 2004).

Kad

ar g

ula

dar

ah (

mg/

dl)

Waktu (2 jam)

Glukosa

IG tinggi

IG rendah

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

11

Konsep IG menjelaskan bahwa tidak setiap karbohidrat bekerja dengan

cara yang sama. IG memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam

mengendalikan fluktuasi kadar gula darah (Widowati, 2008). Faktor-faktor yang

mempengaruhi tinggi rendahnya IG suatu bahan pangan antara lain cara

pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa

dan amilopektin serta zat anti-gizi pangan (Sarwono, 2002).

Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa tingkat gelatinisasi pati

dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan karena proses gelatinisasi pati

yang terjadi saat pemasakan dapat menyebabkan granula pati mengembang.

Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah dicerna

karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang

lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini mengakibatkan

meningkatnya kadar gula darah dengan cepat. Ukuran partikel juga memengaruhi

indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan

menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam

tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat.

Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) penelitian terhadap pangan yang

memiliki kadar amilosa tinggi memiliki respon gula darah yang rendah.

Sebaliknya, bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa,

respon gula darah lebih tinggi. Selain itu, beberapa zat anti-gizi akan tetap aktif

walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada biji-bijian dapat

menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan

menurun.

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

12

E. Pati Tahan Cerna

Pati dapat dibagi ke dalam 3 golongan berdasarkan daya cernanya oleh

enzim amilase, yaitu pati yang dicerna dengan cepat (rapidly digestible starch),

pati yang dicerna dengan lambat (slowly digestible starch), dan pati tahan cerna

(resistant starch) (Sajilata dkk., 2006). Pati tahan cerna (resistant starch atau RS)

didefinisikan sebagai fraksi pati atau produk degradasi pati yang tidak terabsorbsi

dalam usus halus individu yang sehat. Berdasarkan asal dan proses pengolahannya

pati tahan cerna diklasifikan menjadi 5 jenis, yaitu tipe RS1, 2, 3, 4, dan 5

(Zaragoza dkk., 2010). RS tipe 1 merupakan pati yang secara alamiah dan secara

fisik ada di dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan kaya pati, seperti

biji-bijian dan serealia. Jumlah RS1 dipengaruhi oleh proses pengolahan dan

dapat dikurangi atau dihilangkan melalui penggilingan. RS tipe 2 merupakan pati

yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase dan

umumnya granulanya berbentuk kristalin. Sumber RS2 antara lain pisang dan

kentang yang masih mentah, serta jenis pati jagung dengan kadar amilosa yang

tinggi. RS tipe 3 adalah pati teretrogradasi yang diperoleh melalui proses

pemanasan dan dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu rendah (4°C) maupun

pada suhu ruang sehingga mengalami retrogradasi atau penyusunan kembali

ikatan hidrogen antar amilosa rantai pendek. RS tipe 4 adalah pati termodifikasi

secara kimia seperti pati ester maupun pati ikatan silang (Zaragoza dkk., 2010).

Janelle dan Zheng (2004) dalam Suhartini (2013) melaporkan bahwa gugus

fungsional rantai polisakarida karbohidrat kulit pisang yang berupa gugus

hidroksil (-OH) dapat membentuk ikatan hidrogen dengan ion logam.

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

13

RS tipe 5 menurut Birt dkk. (2013) dapat terbentuk ketika pati

berinteraksi dengan lipid, sehingga amilosa membentuk kompleks heliks tunggal

dengan asam lemak dan lemak alkohol sehingga pati akan saling mengikat dan

sulit dihidrolisis oleh enzim amilase.

Semua jenis RS yang ada tersebut, RS3 yang paling banyak digunakan

sebagai bahan baku fungsional berbasis RS. RS tipe ini relatif tahan panas

dibandingkan RS tipe lainnya sehingga RS3 stabil selama proses pengolahan

pangan dan dapat mempertahankan karakteristik organoleptik ketika ditambahkan

pada makanan (Lehmann dkk. 2002). Kandungan RS3 dalam bahan pangan alami

umumnya rendah, oleh karena itu perlu ditingkatkan kadarnya melalui teknik

modifikasi.

RS3 dapat mencapai kolon tanpa mengalami perubahan dan berkontribusi

sebagai serat pangan. Keberadaan RS3 dalam usus halus dapat menurunkan

respons glikemik dan insulemik pada penderita diabetes dan penderita

hiperinsulemik (Okoniewska dan Witwer, 2007). RS3 juga berpotensi

memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson dkk., 2005). Wronkowska

dkk. (2006) melaporkan bahwa RS3 dapat difermentasi oleh bakteri probiotik

yang menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA)

seperti asam asetat, propionat, dan butirat. SCFA juga mampu menurunkan pH

usus, meningkatkan absorpsi kalsium, mengurangi penyerapan amonia dan amina

sehingga dapat mencegah tekanan darah tinggi (Toole dan Cooney 2008).

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

14

F. Fortifikasi

Fortifikasi adalah sebuah upaya yang disengaja dilakukan untuk

menambahkan mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam

makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan

bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan resiko minimal untuk kesehatan

(Anonim, 2006). Anderson (2008) dalam Yulianto dkk. (2015) melaporkan bahwa

penderita diabetes mengalami defisiensi kromium dan defisiensi magnesium.

Defisiensi mikronutrien tersebut dapat mendorong meningkatnya gula darah

karena kekurangan magnesium intraseluler dapat menurunkan kemampuan insulin

untuk menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif insulin (Sales dan

Pedrosa, 2006). Atmosukarto dan Rahmawati (2004) menyatakan kromium

bekerja sama dengan insulin dalam memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel.

Berdasarkan hal tersebut diperlukan fortifikasi mikronutrien agar mampu

memenuhi defisiensi tersebut.

Mikronutrien yang perlu difortifikasikan ke dalam beras pratanak untuk

mendukung pengendalian gula darah penderita diabetes antara lain:

1. Kromium

Saat ini kromium telah diakui sebagai nutrien esensial yang berfungsi

dalam proses metabolisme karbohidrat, lipid dan asam nukleat (Vincent, 2000)

sebab kromium mempunyai fungsi meningkatkan kerja biologis insulin (Mertz,

1998). Kromium ditetapkan sebagai zat gizi esensial pada tahun 1977, setelah

terbukti bahwa pasien di rumah sakit menunjukkan penurunan gula darah yang

signifikan setelah mengkonsumsi makanan parenteral dengan diberi kromium

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

15

(Anonim, 2001). Kromium banyak digunakan sebagai suplemen dan digunakan

dalam rentang dosis 50-200 ųg (Atmosukarto dan Rahmawati, 2004).

Bentuk yang paling umum dari kromium adalah kromium 3 (Cr trivalen)

dan kromium 6 (Cr hexavalen). Angka tersebut menunjukkan banyaknya

oksidasi pada senyawa kromium. Kromium trivalen adalah bentuk utama

dalam makanan seperti halnya yang digunakan oleh tubuh, sedangkan kromium

heksavalen biasanya digunakan sebagai sumber kromium untuk tujuan industri.

Kromium trivalen (kromium 3) merupakan bentuk yang paling stabil dan

paling aman, termasuk salah satu yang paling tidak toksik (Anderson, 1998).

Laju absorpsi Cr anorganik sangat rendah, yaitu sebesar 0,4-3% dari

dosis asupan harian. Sejumlah faktor yang dapat meningkatkan penyerapan

kromium adalah vitamin C, asam amino dan oksalat (sayur dan sereal),

sedangkan yang menghambat adalah fitat (kacang, sereal, sayur) dan gula

sederhana (Bowman, 1999). Sebanyak 28% studi pada periode 1982-1987

mencatat bahwa jika ada penambahan konsumsi gula (gula pasir dan gula

merah) akan menambah kebutuhan kromium karena terjadi penurunan

penyerapan kromium.

Menurut Angka Kecukupan Gizi Indonesia (AKG) kecukupan kromium

untuk pria sebesar 25-26 μg per orang per hari, sedangkan untuk wanita sebesar

19-30 μg per orang per hari (Anonim, 2012). Menurut Institute of Medicine

(2001) kromium ditemukan pada berbagai jenis makanan, namun sebagian

besar makanan yang mengandung kromium hanya menyumbang kurang dari 1-

2 μg per sajinya. Roussel dkk. (2007) menyatakan bahwa makanan berupa

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

16

beras hanya menyumbang asupan kromium sebesar 1,24 μg Cr/porsi.

Mengingat rendahnya kandungan Cr pada beras dan rendahnya absorpsi oleh

mukosa usus, maka upaya fortifikasi Cr ke dalam beras perlu dilakukan. Pada

penelitian sebelumnya, lama perendaman selama 2,5 jam dengan kadar CrCl3

7,47 mg/L menghasilkan beras dengan indeks glikemik 36,33 dan kadar total

Cr sebesar 0,56 mg/kg (Yulianto dkk., 2018).

Kromium pikolinat lebih sering digunakan karena daya absorbsinya lebih

baik jika dibandingkan dengan kromium (III) klorida, akan tetapi senyawa ini

sukar didapat dan harganya cukup mahal. Alasan lain yang lebih mendasar

adalah senyawa kromium (III) klorida sudah diteliti dapat menurunkan kadar

glukosa darah mencit secara signifikan (Dharma, 2010).

2. Magnesium

Magnesium memainkan peran yang penting di dalam metabolisme

karbohidrat. Zat ini mempengaruhi pelepasan dan aktivitas hormon-hormon

yang membantu mengendalikan kadar gula darah. Kadar Mg yang rendah di

dalam darah sering ditemukan pada penderita diabetes tipe 2 (Paolisso dkk.,

1992).

Kebutuhan magnesium pada bayi 40 – 70 mg/hari, anak-anak 50 – 250

mg/hari, orang dewasa 300 – 400 mg/hari, wanita hamil dan menyusui 450

mg/hari (Watts, 1997), sedangkan di Indonesia asupan magnesium pada

anak/bayi 30 – 118 mg/orang/hari, pria 148 – 348 mg/orang/ hari, wanita 155 –

330 mg/orang/hari (Anonim, 2012). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa

kecukupan magnesium orang Indonesia masih berada pada batas terendah.

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

17

G. Kayu Manis

Kayu manis (Cinnamomum burmani) merupakan tanaman penghasil

rempah-rempah yang dibudidayakan untuk diambil kulit kayunya. Kayu manis

termasuk ke dalam jenis rempah-rempah yang memiliki aroma khas, rasa pedas

dan manis yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia. Ervina dkk. (2016)

menyatakan bahwa hasil ekstraksi kulit batang Cinnamomum burmanii

mengandung senyawa antioksidan utama berupa polifenol (tanin, flavonoid) dan

minyak atsiri golongan fenol.

Kandungan yang ada di dalam kayu manis antara lain cinnamaldehyde,

cinnamyl acetat, cinnamyl alcohol, Cinnamtannin, MHCP (methylhydroxy-

chalcone polymer) dan flavonoid (Pham dkk., 2007). Komponen terbesar minyak

atsiri dari kulit kayu manis adalah sinamaldehid dan eugenol yang menentukan

kualitas minyaknya. Kadar komponen kimia kulit kayu manis sangat tergantung

pada daerah asalnya atau tempat penanamannya (Rismunandar, 1993).

Ngadiwiyana dkk. (2011) dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa

senyawa sinamaldehid hasil isolasi dari minyak kayu manis berpotensi sebagai

senyawa penghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Sinamaldehid secara

signifikan menurunkan tingkat gula puasa, meningkatkan sensitifitas insulin dan

memperbaiki morfologi jaringan pankreas serta fungsi hati pada tikus db/db (tikus

termutasi secara genetik dengan kelainan reseptor leptin tidak berfungsi dengan

baik) (Guo dkk., 2017). Senyawa lain dari kayu manis yaitu Methylhidroxy

Calcone Polymer (MHCP) adalah flavonoid yang memiliki efek mirip insulin.

MHCP pada kayu manis mempunyai kerja seperti insulin yaitu mengaktivasi

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

18

sintesis glikogen, meningkatkan pengambilan glukosa, mengaktivasi insulin

reseptor kinase dan menghambat defosforilasi reseptor insulin (Tjahjani, 2014).

Khan dkk. (2003) melaporkan bahwa pemberian kayu manis sebanyak 1-6

g per hari dapat mengontrol kadar lipid dan gula darah pada penderita diabetes

tipe 2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Tjahjani dkk. (2014) menunjukkan

bahwa pemberian ekstrak etanol kayu manis dosis 20,8 mg menurunkan glukosa

darah mencit.

H. Tingkat Kesukaan

Tingkat kesukaan adalah bagian dari uji organoleptik yang merupakan

cara untuk mengukur, menilai atau menguji mutu komoditas dengan

menggunakan kepekaan alat indera manusia, yaitu mata, hidung, mulut dan ujung

jari tangan. Uji organoleptik juga disebut pengukuran subyektif karena didasarkan

pada respon subyektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto, 1990). Rahayu

(1998), menjelaskan bahwa untuk melaksanakan penilaian organoleptik

diperlukan panel. Dalam penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik

atau kamoditi, panel bertindak sebagai instrument atau alat. Panel ini terdiri dari

orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan

kesan subyektif dan orang yang menjadi panel disebut panelis. Pada prinsipnya

terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembeda,uji deskripsi, dan uji afektif

(Pastiniasih, 2011).

Salah satu pengujian yang termasuk ke dalam uji afektif adalah uji

kesukaan. Menurut Sofiah dan Achyar (2008), uji kesukaan atau uji hedonik

dilakukan dengan cara panelis diminta memberi tanggapan secara pribadi terhadap

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellituseprints.mercubuana-yogya.ac.id/5213/3/BAB II.pdf · Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas)

19

suatu produk berdasarkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tujuan uji

penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik

tertentu dapat diterima oleh masyarakat.

Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk

mengukur tingkat kesukaan terhadap suatu produk. Tingkat kesukaan ini disebut

skala hedonik misalnya sangat suka, suka ,agak suka, agak tidak suka, tidak suka,

dan lain – lain. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut

rentangan skala yang dikehendaki. Dalam analisis datanya, skala hedonik

ditransformasikan kedalam skala angka dengan angka menaik menurut tingkat

kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat kesukaan) (Anonim, 2006).

I. Hipotesis

Perlakuan suhu perendaman dan konsentrasi ekstrak kayu manis pada

beras pratanak yang difortifikasi dengan kromium dan magnesium diduga dapat

mempengaruhi kadar pati tahan cerna, fortifikan, nilai indeks glikemik dan tingkat

kesukaan beras pratanak yang dihasilkan.