Upload
lykhuong
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Jamur Tiram
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006) jamur merupakan
tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Jamur sudah dikenal oleh masyarakat
sejak dulu dan tumbuh liar di hutan-hutan pada musim hujan dikarenakan
kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan jamur dapat tumbuh dengan baik.
Jamur tiram merupakan salah satu dari sekian jenis jamur kayu yang bisa
dikonsumsi. Dinamakan jamur tiram karena bentuk tudung jamur ini sepintas
menyerupai cangkang tiram. Orang Inggris pun menyebut jamur ini dengan nama
osyster mushroom yang berarti jamur tiram. Jamur tiram sudah cukup dikenal di
masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Menurut catatan
sejarah, jamur tiram sudah dibudidayakan di Cina sejak 1.000 tahun silam.
Sementara di Indonesia, jamur tiram mulai dibudidayakan pada tahun 1980 di
Wonosobo. Varietas yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus), meskipun varietas jamur tiram yang lain ada akan
tetapi pembudidayaannya kurang popular (Rahmat dan Nurhidayat, 2011)
Menutut Rahmat dan Nurhidayat (2011) jamur tiram terdiri dari beberapa
varietas, diantaranya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram abu-abu
(Pleurotus cystidius), jamur tiram merah (Flabellatus), dan jamur tiram coklat
(Pleurotus umbellatus) atau dikenal juga sebagai jamur tiram raja karena
bentuknya yang besar.
Kingdom : Mycetea
Divisio : Amastigomycotae
Phylum : Basidiomycotae
Kelas : Hymenomycetes
Ordo : Agaricales
Family : Agraricaeae
Genus : Pleurotus
Spesies : Pleurotus sp.
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), jamur tiram merupakan
jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan karena memiliki produktivitas
yang relatif tinggi. Dari seribu gram substrat kering, 50-70 persen jamur segar
11
dapat dihasilkan bahkan saat ini sudah dapat ditingkatkan hingga 120-150 persen.
Jamur tiram memiliki rasa yang lezat dan kandungan gizi yang cukup tinggi.
Menurut Suriawiria (2001), jamur tiram yang banyak dibudidayakan
antara lain :
1. Jamur tiram putih (pleurotus ostreatus), dikenal pula dengan nama shimeji
white (varietas florida), warna tudungnya putih susu sampai putih kekuningan
dengan lebar 3-14 centimeter.
2. Jamur tiram abu-abu, dikenal dengan nama shimeji grey (varietas sajor salju),
warna tudungnya abu kecoklatan sampai kuning kehitaman dengan lebar 6-14
centimeter.
3. Jamur tiram coklat, dikenal pula dengan nama jamur abalone (varietas
cystidious), warna tudungnya keputihan atau sedikit keabu-abuan sampai abu-
abu kecoklatan dengan lebar 5-12 centimeter.
4. Jamur tiram merah/pink, dikenal pula dengan nama shakura (varietas
flabellatus), tudungnya berwarna kemerahan.
Dilihat dari aspek kesehatan, jamur tiram merupakan bahan pangan bergizi
berkhasiat obat yang lebih murah dibandingkan obat modern. Beberapa khasiat
jamur tiram putih yaitu sebagai anti kolestrol, mencegah kanker, mengurangi
risiko cacat kelahiran dan cacat otak pada anak, serta banyak mengandung vitamin
C dan sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis tubuh.
2.2 Perkembangan Jamur Tiram Putih di Indonesia
Jamur tiram merupakan jenis sayuran yang dapat dijadikan sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Budidaya jamur
tiram memanfaatkan limbah industri penggergajian kayu sehingga dampaknya
dapat dirasakan oleh rakyat. Usaha ini dianggap potensial dalam rangka
memperbaiki tingkat ekonomi rakyat karena dengan modal relatif kecil dan
dapat dikerjakan dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Menurut
Martawijaya dan Nurjayadi (2009), permintaan jamur tiram bukan saja datang dari
pasar domestik, namun juga dari permintaan ekspor ke berbagai negara.
Kesempatan inilah yang membuka peluang bisnis budidaya jamur tiram dan
olahan yang berbahan baku jamur tiram.
12
Dewasa ini kecenderungan minat masyarakat terhadap sayuran terus
meningkat, akibat dari pola hidup sehat yang telah menjadi gaya hidup
masyarakat. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan bisnis jamur tiram, di
mana sebagai tanaman sayuran berpotensi untuk dikembangkan dan
mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Jamur tiram merupakan sumber
makanan yang bergizi tinggi dan dapat menjadi bahan pangan alternatif yang
disukai oleh semua lapisan masyarakat.
Jamur tiram merupakan jenis jamur kayu yang memiliki kandungan nutrisi
lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Jamur tiram
mengandung protein, lemak, fosfor, besi, thiamin dan riboflavin lebih tinggi
dibandingkan jenis jamur lain (Djarijah, 2001). Kandungan asam amino pada
jamur tiram mengidentifikasikan bahwa tingginya nilai gizi yang terkandung di
dalam jamur tiram. Hal ini menjadi salah satu daya tarik untuk masuk ke dalam
bisnis jamur tiram yang mengakibatkan tumbuhnya industri jamur tiram.
Indonesia selama ini hanya mampu memasok jamur sebesar 0,9 persen
dari pasar jamur dunia. Angka tersebut kecil jika dibanding dengan China yang
memasok 33,2 persen pasar jamur dunia. Dalam pengembangan usaha,
ketidakberdayaan industri jamur nasional disebabkan berbagai hal seperti
produsen benih yang terbatas, tidak adanya standarisasi dan jaminan kualitas bibit,
belum adanya standarisasi proses produksi, serta penanganan pascapanen yang
sederhana. Selain itu, terbatasnya permodalan petani, bank yang belum
mendukung dan prosedur yang berbelit mengakibatkan penjualan jamur dikuasai
oleh tengkulak (Departemen Pertanian, 2010).
2.3 Kriteria Tempat Budidaya Jamur Tiram
Seperti halnya bidang agribisnis lainnnya, membangun usaha budidaya
jamur tiram erat kaitannya dengan kondisi alam. Terlebih lagi aspek budidaya,
pengaruh alama sangat nyata sekali. Menurut Redaksi Agromedia (2011) secara
aspek agroklimatologi atau iklim lingkungan, beberapa aspek yang paling
berpengaruh dalam budidaya jamur yaitu temperatur udara.
Setiap jenis jamur membutuhkan besar suhu yang bervariasi, tergantung
pada fase pertumbuhannya. Karena itu, agar pertumbuhan jamur optimal, suhu
13
udara lingkungan budidaya jamur harus diatur sedemikian rupa, sehingga
mencapai kondisi ideal. Besarnya suhu atau temperature udara pada suatu tempat
erat kaitannya dengan ketinggian (elevasi) lokasi tersebut dari permukaann laut.
Seperti yang terlah diketahui secara umum, lokasi yang mempunyai ketinggian
rendah mempunyai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat yang lebih
tinggi, misalnya pegunungan.
Besarnya temperature akan menurun ketika tempat semakin tinggi. Untuk
lokasi budidaya jamur yang berada di dataran rendah temperature bisa diatur
sedemikian rupa. Pengaturan temperature udara dapat dilakukan dengan dengan
penyemprotan kabut air, penyediaan ventilasi udara dan meninggikan rangka
bangunan kumbung. Jadi ketika suhu udara terlampau tinggi, bisa dilakukan
penyemprotan kabut air dan membuka seluruh jendela ventilasi kumbung, selain
itu dengan meninggikan rangka kumbung akan menyebabkan sirkulasi udara
dalam kumbung menjadi lancar dan kelembapan udara dalam ruangan budidaya
menjadi lebih lembab (Redaksi Agromedia, 2011)
2.4 Rangka Bangunan Kumbung
Tempat atau bangunan budidaya jamur lebih dikenal dengan nama
kumbung. Bagian yang paling berperan dalam bangunan kumbung ini yaitu
rangka bangunan dimana rangka bangunan ini akan mempengaruhi biaya investasi
yang dikeluarkan, menurut Redaksi Agromedia (2011) rangka bangunan kumbung
bisa terbuat dari bambu dan kayu. Rangka bangunan yang dipilih akan
mempengaruhi umur usaha budidaya jamur sehingga perlu diperhatikan keawetan
atau daya tahan rangka yang akan digunakan.
2.4.1 Keawetan Bambu
Menurut Sulistyowati (1996), walau memiliki banyak sifat
menguntungkan, bambu rentan terhadap kerusakan. Proses kerusakan
mempengaruhi keawetan bambu. Penyebab kerusakan bambu ada 2 yaitu:
perusak biologis dan non-biologis. Perusak biologis yang sering menyerang
bambu adalah jamur, rayap, kumbang bubuk dan mikroorganisme laut. Jamur
menyebabkan kerusakan seperti : pengotoran, pelapukan dan perubahan warna.
14
Kerusakan bambu karena serangan kumbang bubuk biasanya terjadi setelah
batang bambu ditebang. Kumbang ini hidup dalam jaringan serat bambu untuk
mendapatkan patinya.
Penyebab kerusakan non-biologis yang terpenting adalah air. Kadar air
yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam metode pengawetan bambu apapun adalah
pengeringan. Penggunaan bambu yang benar-benar kering (kadar airnya tepat)
dalam setiap metode pengawetan akan menghasilkan tingkat keawetan yang lebih
baik dibanding penggunaan bambu yang masih basah (kadar air tinggi).
Keawetan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan lingkungan.
Bambu tanpa perlakuan pengawetan, apabila dibiarkan bersentuhan secara
langsung dengan tanah dan tidak terlindung dari cuaca, hanya mempunyai umur
pakai sekitar 1 - 3 tahun. Bambu yang terlindung dari gangguan cuaca, umur
pakainya dapat bertahan antara 4 - 7 tahun atau lebih. Dalam lingkungan yang
ideal rangka (konstruksi) bambu dapat tahan selama 10 - 15 tahun. Jika
berinteraksi dengan air laut, bambu cepat hancur oleh serangan mikroorganisme
laut dalam waktu kurang dari satu tahun.
Keawetan bambu dipengaruhi juga oleh : kondisi fisik bambu, bagian
ruas, spesis dan kandungan pati. Bambu yang telah dibelah lebih cepat rusak
dibanding bambu yang masih utuh (belum dibelah). Ruas bambu bagian bawah
mempunyai ketahanan rata-rata yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau
bagian atasnya. Bagian sebelah dalam ruas biasanya lebih dulu terserang
(serangga atau jamur) daripada bagian luar. Keawetan alamiah bambu
bervariasi antara satu spesies dengan spesies lain. Variasi ini berkaitan dengan
ketahanan spesis terhadap serangan rayap atau kumbang. Bambu yang kandungan
patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk.
Keawetan alamiah bambu relatif lebih rendah dibanding kayu. Artinya,
umur pakai struktur bambu relatif lebih pendek dibanding struktur kayu. Cara
memperpanjang umur pakai bambu yaitu melalui pengawetan dan penerapan
metode konstruksi tertentu. Metode ini bertujuan meminimalisir laju serangan
jamur dan serangga. Meletakan tonggak bambu pada dinding batu atau semen
merupakan cara sederhana yang lebih baik ketimbang membenamkan bambu
15
secara langsung ke dalam tanah. Pada konstruksi rumah bambu, sangat
dianjurkan membuat pondasi dari beton atau batu. Pelapisan bambu dengan bahan
penahan air dapat mengurangi serangan jamur.
2.4.2 Keawetan Kayu
Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaian. Kayu dikatakan awet
apabila mempunyai umur pakai lama dan mampu menahan berbagai faktor
perusak kayu. Dengan kata lain keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis
kayu terhadap faktor-faktor perusak dari luar kayu itu (Dumanauw, 1990 dalam
Zibua, 2008). Nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya, karena
bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu tersebut, penggunaan sebagai bahan
bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah.
Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor
karakteristik kayu dan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat
ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), dan
kecepatan tempat tumbuh. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat dimana
kayu tersebut dipakai, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, kelembaban
udara dan lain-lainnya.
Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu khususnya yang
bersentuhan dengan laut disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat
ekstraktif dalam kayu berfungsi sebagai racun bagi perusak-perusak kayu,
sehingga perusak tersebut tidak bisa masuk dan tinggal dalam kayu tersebut
(Panshin dan de Zeeuw, 1980 dalam Zibua, 2008).
Menurut Martawijaya et al, (1995), keawetan alami ialah ketahanan kayu
terhadap serangan dari unsur-unsur perusak kayu dari luar: jamur, rayap, bubuk,
cacing laut dan mahkluk lainnya yang diukur dengan jangka waktu tahunan.
Keawetan kayu tersebut disebabkan oleh adanya suatu zat di dalam kayu (zat
ekstraktif) yang merupakan sebagai unsur racun bagi perusak-perusak kayu,
sehingga perusak tersebut tidak sampai masuk dan tinggal di dalamnya serta
merusak kayu. Ada lima penggolongan kelas awet kayu yaitu sebagai berikut:
16
1. Kelas awet I
Lama pemakaian kelas awet I dapat mencapai 25 tahun. Jenis-jenis kayu yang
termasuk dalam kelas ini adalah jati, ulin, sawo kecik, merbau, tanjung,
sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil.
2. Kelas awet II
Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet II yaitu waru, kapur, bungur,
cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan sonokembang.
Umur pemakaian dari kelas ini yaitu antara 15-25 tahun.
3. Kelas awet III
Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet III yaitu ampupu, bakau, kempas,
kruing, mahoni, matoa, merbau, meranti merah, meranti putih, pinang, dan pulai.
Umur pakai jenis kayu kelas ini mencapai 10-15 tahun.
4. Kelas awet IV
Jenis kayu ini termasuk kurang awet, umur pakainya antara 5 – 10 tahun.
Kayu yang termasuk kelas awet ini yaitu agates, bayur, durian, sengon, kemenyan,
kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang laki.
5. Kelas awet V
Kayu–kayu yang termasuk kelas awet V tergolong kayu yang tidak awet
karena umur pakainya hanya kurang dari 5 tahun. Contoh kayu yang masuk dalam
kelas ini adalah jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan
marabung.
Fakta menunjukkan lingkungan Indonesia merupakan daerah tropis.
Negeri ini mempunyai kehangatan, kelembaban dan bahan organik dalam tanah
yang tinggi, di bawah kondisi tersebut perkembangan organisme khususnya
organisme perusak kayu sangat baik. Hal tersebut tercermin dari apa yang disebut
sebagai negara mega biodeversity, dimana Indonesia mempunyai 1.000.000 jenis
serangga, 250.000 jenis jamur dan 200 jenis rayap. Kenyataan lain menunjukan
bahwa 80 - 85 persen kayu-kayu Indonesia mempunyai keawetan yang rendah,
atau dengan perkayaan kayu-kayu Indonesia mudah diserang oleh organisme
perusak kayu (Muchlis, 2005).
17
Tabel 9. Kelas Awet Kayu
No. Keadaan Kelas Awet
I II III IV V
1 Selalu berhubungan
dengan tanah lembab.
8 tahun 5 tahun
3 tahun
Sangat
Pendek
Sangat
pendek
2 Hanya dipengaruhi
cuaca, tetapi dijaga
supaya tidak terendam
air dan kekurangan
udara.
20 tahun
15 tahun 10 tahun
Beberapa
tahun
Sangat
pendek
3 Di bawah atap, tidak
berhubungan dengan
tanah lembab dan
tidak kekurangan
udara.
Tidak
terbatas
Tidak
terbatas
Sangat
lama
Beberapa
tahun
Pendek
4 Seperti diatas tetapi
dipelihara dengan baik
dan di cat dengan
teratur
Tidak
terbatas
Tidak
terbatas
Tidak
terbatas
20 tahun
20 tahun
5 Serangan rayap tanah. Tidak Jarang Cepat
Sangat
cepat
Sangat
cepat
6 Serangan bubuk kayu
kering.
Tidak Tidak Hampir
tidak
Tidak
berarti
Sangat
cepat Sumber : Oey Djoen Seng, 1964 dalam Zibua, 2008
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai jamur tiram putih sampai saat ini sudah banyak
dilakukan, penelitian tersebut baik dari segi budidaya maupun ekonominya.
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terdiri dari : analisis
usahatani dan pendapatan jamur tiram putih, analisis risiko produksi jamur tiram
putih, serta analisis kelayakan usahatani jamur tiram putih.
2.5.1 Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram Putih
Usahatani dapat diartikan kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam,
kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Dalam
usahatani, pelaku usaha harus memperhatikan proses produksi dan saluran
pemasaran yang yang dapat memberikan informasi dalam peningkatan produksi
dan pendapatan. Pentingnya untuk memperhatikan usahatani dari segi produksi
dimanfaatkan oleh Sari (2008) untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi usahatani jamur tiram putih di Kelompok Tani Kaliwung
Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
18
Berdasarkan analisis yang dilakukan, faktor-faktor produksi yang berpengaruh
langsung terhadap produksi jamur tiram putih yaitu faktor produksi serbuk kayu,
bekatul, kapur, plastik, dan cincin paralon.
Connie (2008), melakukan penelitian yang berhubungan dengan proses
produksi dengan melihat titik impas yang nantinya bertujuan untuk melihat
pendapatan usahatani jamur tiram putih. Penelitian yang berjudul “Analisis
Pendapatan dan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih pada Perusahaan Trisno
Insan Mandiri Mushroom (TIMMUSH) Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat” membandingkan alat yang digunakan dalam
proses sterilisasi berupa kompor semawar ke kayu bakar. Hasil analisis titik impas
baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian dilakukan menunjukkan
bahwa pergantian alat sterilisasi dari kompor semawar ke kayu bakar membuat
volume minimum penjualan jamur tiram putih menjadi lebih rendah dibandingkan
menggunakan kompor semawar. Alat sterilisasi kayu bakar memberikan
pendapatan atas biaya tunai lebih besar dibandingkan kompor semawar, selain itu
penggunaan kayu bakar juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan dan kenaikan
harga minyak tanah.
Pentingnya menganalisis saluran tataniaga pemasaran bertujuan untuk
membandingkan saluran tataniaga mana yang memberikan pendapatan yang lebih
besar, hal ini diperkuat oleh Sitanggang (2008) yang menganalisis usahatani dan
tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Kecamatan Tamansari
Kabupaten Bogor, dimana di perusahaan tersebut terdapat tiga saluran tataniaga
jamur tiram putih, saluran I dan saluran II jamur yang dihasilkan petani dijual di
wilayah Bogor, sedangkan saluran III dijual di wilayah luar Bogor. Dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui bahwa R/C atas biaya total lebih besar pada
saluran III dibandingkan dengan saluran I dan II.
Ginting (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh risiko dalam
kegiatan budidaya jamur tiram putih yang dapat berpengaruh terhadap pendapatan
dan alternatif strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi risiko produksi yang
terjadi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor
menunjukan bahwa Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32 yang
bersumber dari perubahan cuaca, serangan hama dan penyakit, ketersediaan
19
tenaga kerja terampil, dan teknologi pengukusan yang digunakan. Strategi yang
diperlukan untuk penanganan risiko adalah strategi preventif, yaitu strategi yang
bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang
dapat dilakukan yaitu, pertama meningkatkan kualitas perawatan dengan
meningkatkan intensitas penyiraman, membersihkan area yang dijadikan
kumbung untuk mencegah datangnya hama dan penyalit, mengembangkan
sumberdaya manusia dengan mengikuti pelatihan maupun penyuluhan mengenai
jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan
penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam.
2.5.2 Penelitian Mengenai Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih
Studi kelayakan bisnis merupakan kegiatan untuk menilai besarnya
manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha dan dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai
apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan
atau mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan.
Dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait studi kelayakan usaha
budidaya jamur tiram putih terkait permasalahan yang dihadapi yaitu menganalisis
aspek non finansial, dan finansial dengan membandingkan berbagai macam
skenario yang sudah dijalankan, serta analisis sensitivitas menggunakan switching
value. Penlitian Masruri (2010) berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram
Putih (Studi Kasus: Yayasan Paguyuban Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor) membandingkan skenario berupa membuat baglog
sendiri atau membeli baglog untuk budidaya. Nasution (2010) dalam
penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Jamur Tiram
Putih (Kasus Perusahaan X di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan,
Bogor, Jawa Barat)" membandingkan tiga skenario proses sterilisasi
menggunakan kayu bakar atau gas, dan perkembangan usaha menggunakan modal
pinjaman. Herbowo (2011) menganalisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur
Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Desa Tugu Selatan, Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dengan ketiga skenario yaitu menjual
baglog jamur tiram putih, membeli baglog jamur tiram putih, dan menjual baglog
20
dan jamur tiram putih segar. Selain itu, dalam ketiga penelitian dilakukan juga
analisis switching value usaha budidaya jamur tiram putih jika terjadi penurunan
harga jamur tiram putih dan peningkatan biaya variabel.
Penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution
(2010) dan Herbowo (2011), memperoleh hasil penelitian usaha budidaya jamur
tiram putih layak dilakukan meskipun ada perbandingan dalam hasil perhitungan
kriteria investasi skenario mana yang lebih layak untuk diusahakan. Analisis
switching value yang dilakukan pada skenario-skenario tersebut diperoleh dua
parameter yang menyatakan penurunan harga produk lebih sensitif dibandingkan
kenaikan harga variabel.
Penelitian terdahulu juga memberikan informasi mengenai produktivitas
antar pelaku usaha di beberapa daerah mengingat budidaya jamur tiram memiliki
syarat tumbuh. Perbandingan produktivitas berdasarkan tempat budidaya dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Produktivitas Jamur Tiram Putih di Beberapa Tempat Penelitian
Nama Tempat Penelitian Keadaan Lokasi Penelitian Produktivitas
per baglog (kg)
Sari Kelompok Tani Kaliwung
Kalimuncar Desa Tugu
Utara, Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor
1200 meter di atas permukaan
laut, suhu rata-rata 26 derajat
celcius, dan curah hujan 2400
mm per tahun
0,17
Sitanggang Kecamatan Tamansari
Kabupaten Bogor, Jawa
Barat
700 meter diatas permukaan
laut, dengan suhu rata-rata 25
sampai 30 derajat celcius
0,37
Connie Perusahaan Trisno Insan
Mandiri Mushroom
(TIMMUSH) Desa Cibuntu,
Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa
Barat
600 meter di atas permukaan
laut, suhu rata-rata 28 derajat
celcius dan kelembaban 70
persen
0,5
Ginting Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor
1200 meter di atas permukaan
laut, suhu rata-rata 26 derajat
celcius dan curah hujan 2400
mm per tahun
0,5
Masruri Yayasan Paguyuban Ikhlas,
Desa Cibening, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor
750 sampai 1.050 meter di
atas permukaan laut, dengan
suhu 25 sampai 30 derajat
celcius
0,725
Nasution Perusahaan X di Desa
Cibitung Kulon, Kecamatan
Pamijahan, Bogor, Jawa
Barat
500 meter diatas permukaan
laut, dengan rata-rata curah
hujan 3.890 mm per tahun
0,5
Herbowo Desa Tugu Utara, Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bogor
1200 meter di atas permukaan
laut, suhu rata-rata 26 derajat
celcius, dan curah hujan 2400
mm per tahun
0,5
21
Berdasarkan penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa pada
umumnya jamur tiram putih layak untuk dijalankan namun pada setiap skenario
usaha yang dijalankan memberikan penerimaan yang berbeda. Penelitian ini
menganalisis aspek-aspek non finansial dan finansial membandingkan tiga
skenario yaitu sebelum pengembangan usaha (skenario I), dan setelah
pengembangan usaha baik menggunakan rangka bambu (skenario II) maupun
dengan rangka kayu (skenario III). Perbandingan sebelum pengembangan usaha
dan setelah pengembangan usaha juga dianalisis incremental net benefitnya, serta
berdasarkan pengalaman pelaku usaha penelitian ini menganalisis sensitivitas
yang sudah ditentukan persentase penurunan harga produk dan kenaikan variabel
produksinya.
Dari penelitian yang dilakukan Sari (2008), Sitanggang (2008) dan Connie
(2008) penulis menggunakan informasi mengenai usahatani dan pendapatan.
Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Masruri (2010), Nasution (2010)
dan Herbowo (2011) penulis menggunakan konsep dan informasi mengenai
kelayakan usaha yang dianalisis secara finansial maupun non finansial serta
skenario yang dilakukan. Penelitian Ginting (2009) dijadikan bahan untuk
memperoleh informasi mengenai sumber risiko pada usaha jamur tiram putih serta
tindakan preventif yang dapat dilakukan. Semua hasil penelitian terdahulu akan
digunakan sebagai pembanding penelitian ini. Dengan mengetahui kelayakan
usaha jamur tiram putih pada berbagai skenario, diharapkan akan memberikan
informasi apakah perlu adanya pengembangan usaha dan alternatif pengembangan
yang lebih menguntungkan.