Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pemasaran
Pemasaran didefinisikan secara luas, dan beberapa ahli dibawah ini
mengemukakan menurut pandangan mereka masing-masing. Kotler dan Amstrong
(2008: 5) mengartikan pemasaran adalah proses dimana perusahaan menciptakan
nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan tujuan untuk
menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya.
Menurut American Marketing Association (AMA) dalam Kotler dan Keller (2009:
5) pemasaran adalah suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, dan memberikan nilai kepada pelanggan dan
untuk mengelola hubungan pelanggan dengan dua cara yang menguntungkan
organisasi dan pemangku kepentingan.
Saladin (2003: 1) mendefinisikan pemasaran merupakan suatu sistem total dari
kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga,
mempromosikan dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan
keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan.
13
2.2 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen menjadi suatu yang penting dalam sebuah pemasaran produk
dan jasa, sebab dengan mengetahui perilaku konsumen, kita bisa menentukan
strategi apa yang akan kita terapkan. Mengetahui perilaku konsumen adalah
modal awal dalam menetapkan strategi pemasaran produk dan jasa, dengan
mengetahui perilaku konsumen maka dapat dengan mudah memasarkan dan
menjual produk dan jasa yang kita tawarkan.
Pemahaman tentang konsumen dan proses konsumsi akan menghasilkan sejumlah
manfaat, yang diantaranya adalah kemampuan untuk membantu para manajer
dalam mengambil keputusan (Mowen & Minor, 2002: 23). Menurut Engel (2005)
dalam Saputra (2009: 14) yang mengatakan bahwa “perilaku konsumen
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang langsung dalam mendapatkan,
mengkonsumsi serta menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan
yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut”.
Perilaku konsumen didefinisikan sebagai “perilaku yang konsumen tunjukkan
dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan
produk dan jasa yang mereka harapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka”
(Kanuk & Schiffsman, 2010: 23). Menurut Kotler & Amstrong (2001: 172), “ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen”. Antara lain:
1. Faktor budaya:
a. Budaya (culture)
Budaya adalah hal paling dasar yang membentuk keinginan dan perilaku
seseorang. Setiap kelompok masyarakat memiliki sebuah budaya, dan budaya
tersebut memberikan pengaruh pada perilaku pembelian yang berbeda-beda.
14
b. Kelas sosial (social class)
Kelas sosial adalah pembagian masyarakat yang memiliki kesamaan nilai
ketertarikan, dan perilaku. Kelas sosial atau tingkatan masyarakat
menunjukkan penggunaan produk, dan merek yang berbeda-beda di banyak
tingkatan masyarakat, misalnya saja seperti pakaian, peralatan rumah tangga,
dan aktifitas sehari-hari.
2. Faktor sosial (social factor):
a. Kelompok referensi (reference group)
Kelompok referensi adalah semua kelompok yang memiliki pengaruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seseorang. Kelompok yang
mempunyai pengaruh secara langsung disebut juga membership group.
b. Keluarga (family)
Keluarga adalah kelompok sosial yang paling penting dalam suatu masyarakat.
Anggota keluarga sering kali menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam
mempengaruhi perilaku seseorang.
c. Peran dan status (role and status)
Kedudukan seseorang dalam setiap kelompok masyarakat dapat dijelaskan
dalam pengertian peran dan status. Dalam hubungannya dengan perilaku
pembelian, seseorang sering memilih produk yang menyatakan peranan dan
status mereka dalam masyarakat.
3. Faktor personal (personal factors):
a. Umur dan tahap siklus hidup (age and stage in the life cycle)
Seseorang akan membeli bermacam-macam barang dan jasa seumur hidupnya,
dan tentunya macam-macam barang dan jasa tersebut dipengaruhi oleh umur
orang tersebut.
b. Pekerjaan dan ekonomi (occupation and economic)
Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola konsumsi. Pemasar dapat
mengidentifikasi kelompok yang berhubungan dengan pekerjaan yang
mempunyai minat yang hampir sama terhadap produk dan jasa.
15
c. Kepribadian dan konsep diri (personality and self concept)
Setiap orang memiliki karakter individu yang akan mempengaruhi perilaku
pembeliannya. Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologis yang unik
dan menimbulkan tanggapan relatif konstan terhadap lingkungan.
d. Gaya hidup dan nilai (lifestyle and values)
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang diekspresikan melalui aktivitas,
kesenggangan, dan pola mereka, sehingga gaya hidup ini merupakan potret
interaksi seseorang dengan lingkungan.
4. Faktor psikologis (psychological factors):
a. Motivasi (motivation)
Motivasi adalah dorongan dalam diri seseorang yang menghasilkan suatu
tindakan. Dorongan ini dihasilkan dari hasrat yang ada didalam diri seseorang
yang muncul karena adanya kebutuhan yang belum terpenuhi.
b. Persepsi (perception)
Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi
sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan.
c. Pembelajaran (learning)
Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku
tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap
situasi tertentu, pembelajaran meliputi perubahan-perubahan pada diri
seseorang yang berkembang dari pengalaman.
d. Keyakinan dan perilasaku (beliefs and attitudes)
Keyakinan adalah suatu pemikiran deskriptif yang diyakini oleh seseorang
terhadap suatu hal. Kepercayaan terhadap suatu produk akan mempengaruhi
pendapat seseorang untuk membeli produk tersebut. Sikap juga sama
pentingnya dengan kepercayaan karena tingkah laku akan menunjukkan apakah
konsumen menyukai suatu produk atau tidak.
16
Berbagai model atau perilaku konsumen berasal dari ilmu keperilakuan (behavior
sciences). Upaya-upaya untuk memprediksi perilaku konsumen secara lebih
akurat terus-menerus dilakukan oleh para ahli melalui penelitian-penelitian yang
telah banyak dilakukan. Berbagai faktor yang dianggap berpengaruh terhadap
perilaku konsumen dijadikan sebagai variabel-variabel penelitian dalam upaya
memprediksi perilaku tersebut. Pentingnya prediksi perilaku konsumen ini karena
dengan mengetahui perilaku konsumen para pemasar dapat membuat antisipasi
yang menguntungkan bagi kegiatan pemasaran.
Para ahli ilmu keperilakuan telah mengidentifikasi beberapa prediktor perilaku
konsumen, diantaranya yang dianggap sebagai prediktor utama perilaku
konsumen yaitu sikap (attitude) konsumen. Tidak semua sikap konsumen
berhubungan dengan tindakan atau perilakunya, karena latar belakang
pembentukan sikap-sikap tersebut yang berbeda. Sikap-sikap yang dibentuk
melalui pengalaman langsung akan lebih dekat mengarah keperilaku, dari pada
sikap-sikap yang dibentuk berdasarkan opini orang lain. Pentingnya prediksi
perilaku konsumen ini karena dengan mengetahui perilaku konsumen para
pemasar dapat membuat antisipasi yang menguntungkan bagi kegiatan pemasaran
(Mowen & Minor, 2002: 131).
2.3 Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action)
Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Martin
Fishbein dan Ajzen dalam Jogiyanto (2007: 25). Dengan adanya kenyataan bahwa
sikap tidak cukup sebagai prediktor perilaku, maka Fishbein dan Ajzen
17
mengeksplorasi secara lebih mendalam cara-cara untuk memprediksi perilaku dan
outcomes. Sikap tidak menentukan perilaku secara langsung, melainkan sikap
mempengaruhi behavioral intention (niat berperilaku) sebagai antecedent
langsung dari perilaku.
Menurut Ajzen dan Fishbein (2005: 117), sikap terhadap perilaku tertentu
didasarkan pada sekumpulan pasangan keyakinan evaluasi (belief-evaluation).
Ajzen dan Fishbein berasumsi bahwa individu biasanya cukup rasional dan
menggunakan informasi yang tersedia bagi mereka secara sistematis. Manusia
menyadari implikasi tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.
Teori ini dianggap berhasil memecahkan permasalahan-permasalahan besar dalam
teori sikap dan prediksi perilaku, karena teori ini mengikutsertakan peran
pengaruh sosial khususnya persepsi kesetujuan atau ketidaksetujuan orang lain
(Regis, 1990 dalam Saputra, 2009: 16). Teori Tindakan Beralasan tidak hanya
menekankan pada rasionalitas perilaku seseorang tetapi juga bahwa tindakan yang
ditargetkan berada dalam kontrol kesadaran orang tersebut.
2.4 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)
Teori Perilaku Terencana merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori
perilaku beralasan. Icek Ajzen mengembangkan teori ini, Ajzen menambahkan
sebuah konstruk yang belum ada di teori perilaku beralasan. Konstruk ini disebut
dengan persepsi kontrol perilaku (perceived behavior control). Konstruk persepsi
kontrol perilaku ditambahkan dalam teori ini untuk mengontrol perilaku
18
individual yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-
keterbatasan dari kekurangan sumber daya yang digunakan untuk melakukan
perilakunya. (Chau dan Hu 2002, dalam Jogiyanto, 2007: 61)
Ajzen (1975) dalam Jogiyanto (2007: 61) mengajukan Teori Perilaku Terencana
sebagai alat prediktor perilaku ketika individu tidak memiliki kontrol kemauan
sendiri secara penuh. Dengan demikian, Teori perilaku terencana
memperhitungkan bahwa tidak semua perilaku berada dibawah kontrol kemauan
individu itu sendiri. Individu dikatakan memiliki kontrol penuh ketika tidak ada
halangan apapun dalam mengadopsi suatu perilaku tertentu. Sebaliknya,
kemungkinan adanya kontrol yang kurang penuh jika adopsi suatu perilaku
kurang memiliki kesempatan-kesempatan, yaitu seperti sumber daya atau keahlian
yang memadai (Ajzen, 1988 dalam Jogiyanto 2007: 61).
Teori Perilaku Terencana adalah teori yang meramalkan pertimbangan perilaku
karena perilaku dapat dipertimbangkan dan direncanakan. Peach et. al. (2006) dan
Wellington et. al. (2006) dalam Nuary (2010: 22) menyatakan bahwa teori
perilaku terencana memiliki keunggulan dibandingkan teori keperilakuan yang
lain, karena teori perilaku terencana merupakan teori perilaku yang dapat
mengidentifikasikan keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu
yang akan terjadi dari hasil perilaku, sehingga membedakan antara perilaku
seseorang yang berkehendak dan yang tidak berkehendak.
Ajzen (2002) dalam Nuary (2010: 22) mengemukakan bahwa teori perilaku
terencana telah muncul sebagai salah satu dari kerangka kerja yang paling
19
berpengaruh dan konsep yang populer pada penelitian dibidang kemanusiaan.
Menurut teori ini, perilaku manusia dipandu oleh 3 jenis pertimbangan:
a. Kepercayaan mengenai kemungkinan akibat atau tanggapan lain dari perilaku
(Kepercayaan Perilaku).
b. Kepercayaan mengenai harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk
menyetujui harapan-harapan yang dimiliki berdasarkan kepercayaan normatif.
c. Kepercayaan mengenai kehadiran faktor-faktor yang mungkin lebih jauh
melintang dari perilaku (Kepercayan Pengendalian).
Dengan kata lain, Teori Perilaku Sikap Terencana merupakan teori pengembangan
dari Teori Tindakan Beralasan. Sejalan dengan hal tersebut, Cravens (2006: 37)
menyebutkan bahwa Teori Perilaku Terencana diturunkan dari Teori Tindakan
Beralasan, dengan perbedaannya yaitu ditambahkannya variabel Persepsi
Terhadap Kontrol Perilaku. Dibawah ini Teori Perilaku Terencana digambarkan
dalam bentuk diagram yang memuat secara lengkap ketiga variabel tersebut,
yaitu:
Sumber: Ajzen, 1991
Gambar 2.1 : Model Theory Of Planned Behavior
20
Dari gambar 2.1, Jogiyanto (2007: 62-63) mengungkapkan teori perilaku
terencana mempunyai dua fitur sebagai berikut:
1. Teori ini mengasumsikan bahwa persepsi kontrol perilaku mempunyai
implikasi motivasional terhadap minat-minat. Orang-orang yang percaya
bahwa mereka tidak mempunyai sumber daya yang ada atau tidak
mempunyai kesempatan-kesempatan untuk melakukan perilaku tertentu
mungkin tidak akan membentuk niat-niat untuk melakukannya perilaku
yang kuat walaupun mereka mempunyai sikap-sikap yang positif terhadap
perilakunya. Dengan demikian diharapkan terjadi hubungan antara
persepsi perilaku kontrol dengan niat yang tidak di mediasi oleh sikapdan
norma subjektif. Di model ini ditunjukkan dengan panah yang
menghubungkan persepsi perilaku kontrol (perceived behavior control) ke
niat (intention).
2. Teori ini memungkinkan hubungan langsung antara persepsi kontrol
perilaku (perceived behavior control) dengan perilaku (Behavior). Di
banyak contoh, kinerja dari suatu perilaku tergantung tidak hanya pada
motivasi untuk melakukannya tetapi juga kontrol yang cukup terhadap
perilaku yang dilakukan. Dengan demikian, persepsi kontrol perilaku
dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung lewat niat, dan juga
dapat memprediksi perilaku secara langsung. Dimodel, hubungan
langsung ini ditunjukkan dengan panah yang menghubungkan persepsi
perilaku kontrol (perceived behavior control) langsung ke perilaku
(behavior).
Dalam teori perilaku terencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan
individu adalah intensi atau niat untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen,
1991: 181). Niat diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi
perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau
seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku.
Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu
21
perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku
tersebut. Niat untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika
perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu
memiliki pilihan untuk memutuskan perilaku tertentu atau tidak sama sekali
(Ajzen, 1991: 182). Menurut Teori Perilaku Terencana, diantara keyakinan yang
akhirnya menentukan niat dan tindakan adalah sejumlah keyakinan tentang ada
atau tidak adanya sumber-sumber dan peluang yang diperlukan. Keyakinan ini
sebagian didasarkan pada pengalaman masa lalu dan perilakunya (Ajzen, 1991:
182).
Teori Perilaku Terencana memiliki 3 variabel independen. Pertama adalah sikap
terhadap perilaku dimana seseorang melakukan penilaian atas sesuatu yang
menguntungkan dan tidak menguntungkan untuk dirinya. Kedua adalah faktor
sosial disebut norma subyektif hal tersebut mengacu pada tekanan sosial yang
dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Ketiga Persepsi
Kontrol Perilaku adalah tingkat persepsi pengendalian perilaku mengacu pada
persepsi kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku, dan diasumsikan untuk
mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai antisipasi hambatan dan rintangan
(Ajzen, 1988 dalam Jogiyanto, 2007: 63-64).
2.4.1 Sikap (Attitude)
Sikap (attitude) adalah evaluasi kepercayaan atau perasaan positif atau negatif
dari seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. Jogiyanto
(2007: 36) mendefinisikan sikap sebagai jumlah dari afeksi (perasaan) yang
22
dirasakan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek atau perilaku.
Sikap yang dimaksud termasuk perasaan tentang sesuatu yang ingin dicapai dari
perilaku yang dia lakukan. Menurut Ajzen (1980) dalam Jogiyanto 2007: 37)
sikap memiliki suatu efek langsung pada niat berperilaku serta terkait dengan
norma subjektif dan persepsi kontrol pribadi.
Sikap merupakan pernyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai objek, orang,
atau peristiwa (Robin, 1998 dalam Saputra, 2009: 23). Jadi sikap berarti suatu
keadaan jiwa (mental) dan keadaan neural (pikiran) yang dipersiapkan untuk
memberikan tanggapan terhadap suatu objek, yang diorganisir melalui
pengalaman serta pengaruh secara langsung dan atau secara tidak langsung. Sikap
biasanya memainkan peran utama dalam membentuk perilaku. Sikap juga
dipandang sebagai keseluruhan evaluasi (Engel, 1995 dalam Saputra, 2009: 23).
Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Dalam memutuskan
merek apa yang akan dibeli, atau toko mana untuk dijadikan langganan,
konsumen secara khas memilih merek atau toko yang dievaluasi secara paling
menguntungkan. Sikap mewakili perasaan senang atau tidak senang seseorang
terhadap suatu obyek (Ajzen dan Fishbein 2005: 94)
Ajzen dan Fishbein (2005: 95) berpendapat bahwa ada dua kelompok dalam
pembentukan sikap yaitu:
1. Behavioral belief adalah keyakinan-keyakinan yang dimiliki seseorang
terhadap perilaku dan merupakan keyakinan yang akan mendorong
terbentuknya sikap.
23
2. Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi positif atau negatif
individu terhadap perilaku tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang
dimilikinya.
2.4.2 Norma Subjektif (Subjective Norm)
Norma Subyektif (subjective norm) adalah persepsi atau pandangan seseorang
terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi minat
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan
(Jogiyanto, 2007: 42). Norma subjektif juga diasumsikan sebagai suatu fungsi dari
beliefs yang secara spesifik seseorang setuju atau tidak setuju untuk menampilkan
suatu perilaku. Kepercayaan-kepercayaan yang termasuk dalam norma-norma
subjektif disebut juga kepercayaan normatif (normative beliefs) (Ajzen, 1991:
195)
Seorang individu akan berniat menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia
mempersepsi bahwa orang-orang lain yang penting berfikir bahwa ia seharusnya
melakukan hal itu. Orang lain yang penting tersebut bisa keluarga, pasangan,
sahabat dan sebagainya. Hal ini diketahui dengan cara menanyai responden untuk
menilai apakah orang-orang lain yang penting tadi cenderung akan setuju atau
tidak setuju jika ia menampilkan perilaku yang dimaksud (Achmat, 2010 diakses
pada 19 Juli 2015).
Norma subjektif (subjective norm) adalah persepsi atau pandangan seseorang
terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi niat
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Norma subjektif
24
merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan individu dimana satu atau
lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara, teman sejawat) menyetujui perilaku
tertentu dan memotivasi individu tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen, 1991:
198).
Menurut Fishbein dan Azjen (2005: 122), norma subjektif secara umum
mempunyai dua komponen, yaitu:
1. Normative beliefs (Keyakinan Norma).
Persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya yang
menjadi acuan untuk menampilkan perilaku atau tidak. Keyakinan yang
berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan
berpengaruh bagi individu atau tokoh panutan tersebut apakah subjek harus
melakukan atau tidak suatu perilaku tertentu.
2. Motivation to comply (motivasi untuk memenuhi).
Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut. Norma subjektif dapat
dilihat sebagai dinamika antara dorongan-dorongan yang dipersepsikan
individu dari orang-orang disekitarnya dengan motivasi untuk mengikuti
pandangan mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau tidak
melakukan tingkah laku tersebut.
2.4.3 Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavior Control)
Grizzell (2003) dalam Nuary (2010: 25) menyebutkan bahwa persepsi kontrol
perilaku hampir sama dengan konsep self efficacy, yaitu persepsi orang untuk
kemampuannya pada saat melakukan tindakan atau perilaku. Kontrol perilaku
25
menurut Ajzen (2005: 128) mengacu pada persepsi-persepsi seseorang akan
kemampuannya untuk menampilkan perilaku tertentu. Dengan kata lain kontrol
perilaku menunjuk kepada sejauh mana seseorang merasa bahwa menampilkan
atau tidak menampilkan perilaku tertentu berada di bawah kontrol individu yang
bersangkutan. Kontrol perilaku ditentukan oleh sejumlah keyakinan tentang
hadirnya faktor-faktor yang dapat memudahkan atau mempersulit terlaksananya
perilaku yang ditampilkan. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,
baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar.
Perilaku akan bergantung pada interaksi antara sikap, keyakinan, dan niat
berperilaku. Niat berperilaku seseorang juga akan dipengaruhi oleh kontrol
keperilakuan yang dirasakan. Kontrol keperilakuan yang dirasakan merupakan
kondisi di mana orang percaya bahwa suatu tindakan itu mudah atau sulit
dilakukan, mencakup juga pengalaman masa lalu di samping rintangan-rintangan
yang ada yang dipertimbangkan oleh orang tersebut (Tjahjono, 2005: 6).
Teori perilaku terencana mengasumsikan bahwa persepsi kontrol perilaku
memiliki implikasi motivasional terhadap niat (Achmat, 2010 diakses pada 19 Juli
2015). Orang-orang yang percaya bahwa mereka tidak memiliki sumber daya
yang ada dan kesempatan untuk melakukan perilaku tertentu mungkin tidak akan
membentuk niat-niat perilaku yang kuat untuk melakukannya meskipun mereka
memiliki sikap yang positif terhadap perilakunya dan percaya bahwa orang lain
akan menyetujui seandainya mereka melakukan perilaku tersebut. Persepsi
26
terhadap kontrol perilaku yang telah berubah akan memengaruhi perilaku yang
ditampilkan sehingga tidak sama lagi dengan yang diniatkan.
2.5 Niat (Intention)
Dalam teori perilaku terencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan
individu adalah niat untuk menampilkan perilaku tertentu. Niat diasumsikan
sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan
indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang
dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Ajzen (1991: 184) mendefinisikan
niat sebagai bagian dari diri seseorang dalam kemungkinan dimensi subjektif yang
melibatkan hubungan antara dirinya dengan tindakan. Niat berperilaku merupakan
perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk
menampilkan suatu tindakan tertentu.
Sebagai aturan umum, semakin keras niat seseorang untuk terlibat dalam suatu
perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku
tersebut. Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika
perilaku tersebut ada dibawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu
memiliki pilihan untuk memutuskan perilaku tertentu atau tidak sama sekali. Oleh
karena itu, menurut teori perilaku terencana, niat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu
sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku (Karl Max dalam Ajzen,
2005: 117).
27
2.6 Keputusan Pembelian
Keputusan pembelian merupakan sebuah proses saat seorang konsumen
memutuskan akan membeli sebuah produk atau tidak, setelah melalui tahap-tahap
pertimbangan dan penyelesaian masalah ketika akan membeli sebuah produk.
Keputusan pembelian adalah pengambilan keputusan oleh konsumen untuk
melakukan pembelian suatu produk diawali oleh adanya kesadaran atau niatan
atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan.
Sedangkan pengertian keputusan pembelian menurut Schiffman (2010: 547)
adalah pemilihan dari dua atau lebih alternatif pilihan keputusan pembelian,
artinya bahwa dalam membuat keputusan, haruslah tersedia beberapa alternatif
pilihan. Keputusan untuk membeli dapat mengarah kepada bagaimana proses
dalam pengambilan keputusan tersebut itu dilakukan. Keputusan pembelian
merupakan keputusan konsumen untuk membeli suatu produk setelah sebelumnya
memikirkan tentang layak tidaknya membeli produk itu dengan
mempertimbangkan informasi-informasi yang ia ketahui dengan realitas tentang
produk itu setelah ia menyaksikannya.
Semenjak tahun 1970-an dan sampai awal tahun 1980-an, para peneliti
memandang konsumen sebagai pengambil keputusan. Salah satu keputusan
penting yang diambil konsumen dan harus mendapat perhatian yang besar dari
para produsen adalah keputusan pembelian konsumen. Keputusan pembelian
konsumen menurut Berman dan Evans (1998) meliputi keputusan untuk
menentukan apakah akan membeli, apa yang dibeli, dimana, kapan, dari siapa,
dan frekuensi membeli barang atau jasa.
28
Kotler & Keller (2009: 184) mengungkapkan bahwa keputusan pembelian
merupakan tahap pengambilan keputusan pembelian dimana konsumen benar-
benar membeli produk/jasa. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan
keputusan pembelian merupakan suatu tahapan setelah konsumen benar-benar
melakukan pembelian. Simamora (2001: 67) bahwa dalam keputusan membeli
terdapat 5 peran yaitu:
1. Pemrakarsa (initiator)
Adalah orang yang pertama kali menyarankan membeli suatu produk atau
jasa tertentu.
2. Pemberi pengaruh (influencer)
Adalah orang yang nasihatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan
akhir.
3. Pengambil keputusan (decider)
Adalah orang yang sangat menentukan sebagian atau keseluruhan keputusan
pembelian, apakah membeli, apa yang dibeli, kapan hendak membeli, dengan
cara bagaiman membeli, dan diman akan membeli.
4. Pembeli (buyer)
Adalah orang yang melakukan pembelian nyata.
5. Pemakai (user)
Adalah orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa.
Sedangkan menurut Kotler dan Amstrong (2001: 222-227) pengambilan
keputusan melalui lima tahap, yaitu:
Gambar 2.2 : Tahap-tahap Keputusan Pembelian
Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Pasca
Pembelian
29
Bagan tahap-tahap proses pengambilan keputusan diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Pengenalan Masalah
Proses membeli dimulai dengan pengenalan kebutuhan dimana pembeli
mengenali adanya masalah atau kebutuhan. Proses ini ditujukan untuk
mengetahui adanya kebutuhan dan keinginan yang belum terpenuhi. Jika
suatu kebutuhan diketahui, maka konsumen akan memahami adanya
kebutuhan yang segera dipenuhi atau masih ditunda pemenuhannya.
2. Pencarian Informasi
Tahap ini adalah tahap proses pengambilan keputusan pembeli dimana
konsumen telah tertarik untuk mencari informasi. Pencarian informasi dapat
bersifat aktif atau pasif. Pencarian informasi yang bersifat aktif dapat berupa
kunjungan terhadap beberapa toko untuk membuat perbandingan harga dan
kualitas produk, sedangkan pencarian informasi pasif hanya dengan membaca
iklan di majalah atau surat kabar tanpa mempunyai tujuan khusus tentang
gambaran produk yang diinginkan.
3. Evaluasi Berbagai Alternatif
Yaitu tahap dalam proses pengambilan keputusan pembeli dimana konsumen
menggunakan informasi untuk mengevaluasi produk-produk atau merek-
merek mana saja yang masuk ke dalam daftar alternatif pembelian. Meliputi
dua tahap yaitu menetapkan tujuan pembelian dan menilai serta mengadakan
seleksi terhadap alternatif pembelian berdasarkan tujuan pembelian.
4. Keputusan Pembelian
Tahapan dalam proses pengambilan keputusan pembelian dimana konsumen
benar-benar membeli produk. Keputusan untuk membeli yang diambil oleh
pembeli sebenarnya merupakan kesimpulan dari sejumlah keputusan,
misalnya: keputusan tentang jenis produk, bentuk produk, jumlah produkdan
sebagainya. Apabila produk yang dihasilkan pemasar sesuai dengan apa yang
diharapkan konsumen untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan, maka
produk tersebut mampu menarik minat untuk membeli.
30
5. Perilaku Pasca Pembelian
Setelah melakukan pembelian produk, konsumen akan mengalami suatu
tingkat kepuasan atau ketidakpuasan. Konsumen akan melakukan tindakan
setelah kegiatan membeli dalam hal penggunaan produk tersebut sehingga
harus diperhatikan oleh pemasar bahwa tugas pemasaran tidak berakhir ketika
produk sudah dibeli tetapi terus sampai pada periode setelah pembelian. Bila
konsumen dapat dipuaskan maka pembelian berikutnya akan membeli merek
tersebut lagi dan lagi.
Dalam memilih untuk membeli atau tidak suatu jenis produk, konsumen
mempertimbangkan faktor-faktor seperti bentuk, daya tahan, keunikan, nilai,
kemudahan penggunaan, dan lain sebagainya yang ada pada suatu barang.
Konsumen tentu memiliki keputusan sendiri dalam memilih dan menggunkan
barang dan jasa. Untuk itu pemasar perlu mempelajari bagaimana konsumen
mengambil keputusan dalam membeli suatu produk.
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Referensi Penelitian Terdahulu
No Peneliti Tahun Judul Kesimpulan
1 Istiana et
al,
2007 Pengaruh Sikap,
Norma Subjektif dan
Kontrol Keperilakuan
terhadap niat dan
perilaku membeli
Produk susu Ultra
High Temperature.
Hasil dari studi mengidentifikasikan
bahwa norma subjektif dan kontrol
keperilakuan berpengaruh terhadap
niat beli namun sikap tidak
berpengaruh terhadap niat beli
tersebut. Niat untuk membeli
berpengaruh signifikan terhadap
perilaku membeli
susu UHT . Selanjutnya, variabel
kontrol keperilakuan juga
berpengaruh langsung terhadap
perilaku membeli.
31
Tabel 2.1 Referensi Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
2 Mas’ud 2012 Pengaruh Sikap,
Norma-Norma
Subyektif dan
Kontrol Perilaku
yang Dipersepsikan
Nasabah Bank
Terhadap Keinginan
Untuk Menggunakan
Automatic Teller
Machine (Atm) Bank
BCA.
Sikap kategori baik atau signifikan
terhadap nasabah ATM. Hasil
penelitian analisis nilai norma
subjektif kategori sangat baik
terhadap nasabah untuk
menggunakan ATM. Kontrol
Perilaku yang Dipersepsikan
kategori sangat baik terhadap
nasabah bank Sedangkan,
Keinginan untuk menggunakan
ATM ada dalam kategori ingin
menggunakan ATM di waktu yang
akan datang.
3 Ernawati 2010 Pengaruh sikap,
norma subyektif,
kontrol perilau yang
dipersepsikan, dan
sunset policy
terhadap kepatuhan
wajib pajak dengan
niat sebagai variabel
intervening.
Hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa sikap dan
kontrol perilaku yang dipersepsikan
berpengaruh terhadap niat
kepatuhan pajak. Norma subjektif
dan sunset policy tidak berpengaruh
terhadap niat kepatuhan pajak. Hasil
studi juga menunjukkan bahwa
kontrol perilaku yang dipersepsikan
berpengaruh langsung terhadap
kepatuhan pajak. Hasil pengujian
terakhir adalah niat berpengaruh
terhadap kepatuhan pajak.
4 Rohmawati 2013 Pengaruh sikap,
Norma-norma
Subyektif dan
Kontrol Perilaku
Persepsian, Perspsi
Resiko, Persepsi
Kebermanfaatan
Terhadap Niat
Penggunaan Kartu
Kredit.
Sikap tidak berpengaruh terhadap
niat penggunaan kartu kredit,
sedangkan kontrol perilaku tidak
berpengaruh terhadap niat
penggunaan kartu kredit, persepsian
resiko berpengaruh terhadap
penggunaan kartu kredit, persepsi
kebermanfaatan bepengaruh
terhadap kegunaan kartu kredit.
5 Burhanudin 2007 Theory Of Planned
Behavior: Aplikasi
pada niat konsumen
untuk berlangganan
surat kabar harian
kedaulatan rakyat di
Desa Donotirto,
kecamatan kretek
kabupaten Bantul.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sikap terhadap perilaku,
norma subyektif, dan kontrol
keperilakuan yang dirasakan baik
secara individual maupun bersama-
sama berpengaruh terhadap niat
konsumen untuk berlangganan SKH
Kedaulatan Rakyat di desa
Donotirto, kecamatan Kretek,
kabupaten Bantul.
32
2.8 Kerangka Teori
Perilaku konsumen akan selalu berubah-ubah sesuai dengan pengaruh sosial
budaya yang semakin meluas, latar belakang sosial budaya yang semakin
mendesak selera kebutuhan konsumen semakin meningkat. Handphone menjadi
kebutuhan manusia yang sangat penting. Peneliti melakukan riset tentang
pungujian Teori Perilaku Terencana dalam keputusan pembelian produk karena
ingin mengetahui seberapa besar sikap perilaku, norma subjektif dan persepsi
kontrol perilaku dalam keputusan pembelian pada produk iPhone. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya smartphone yang lebih murah, tetapi banyak konsumen
memutuskan untuk memilih dan membeli iPhone.
Model penelitian ini adalah bentuk yang direplikasi dari hipotesis yang di buat
berdasarkan penelitian yang akan dilakukan. Model dalam kajian ini menjelaskan
tentang Teori perilaku terencana yang didasarkan pada model Theory of Planned
Behavior yang dikembangkan oleh Ajzen. Maka model penelitian yang diajukan
sebagai berikut:
Gambar 2.3: Model Penelitian
Sikap
Keputusan
Pembelian
Niat Norma
Subjektif
Persepsi
Kontrol
Peilaku
33
Sikap merupakan antecedent pertama dari niat. Sikap adalah suatu perasaan yang
bersifat umum mengenai suka atau ketidaksukaan terhadap objek atau tindakan
(Ajzen, 1998 dalam Setyorini, 2013: 19). Bila seseorang mempersepsi bahwa
akibat dari melakukan suatu perilaku adalah positif, maka ia akan memiliki suatu
sikap positif terhadap perilaku itu. Sebaliknya juga demikian, bila ia mempersepsi
bahwa akibat dari melakukan suatu perilaku adalah negatif, maka ia akan
memiliki sikap negatif terhadap perilaku itu.
Norma subjektif (Subjective Norm) merupakan antecedent kedua dari niat. Norma
merupakan konvensi sosial yang meregulasi kehidupan manusia, termasuk
hukum-hukum secara eksplisit dan standar-standar budaya secara implisit (Wade
& Travis, 1996 dalam Setyorini, 2013: 20). Bila orang lain yang berpengaruh
terhadap diri individu (relevant others) berpandangan bahwa perilaku tersebut
sebagai positif dan individu termotivasi untuk memenuhi harapan orang yang
dianggapnya penting, maka suatu norma subjektif yang positif akan terbentuk.
Bila orang lain yang dianggap berpengaruh oleh individu memandang bahwa
perilaku tersebut sebagai hal negatif, serta individu ingin memenuhi harapan
orang tersebut, maka akan terbentuk norma subjektif yang negatif bagi individu.
Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavior Control) individu termasuk
keyakinan kontrol (control belief) dan pencapaian faktor kontrol (access to the
control factor). Persepsi ini dapat merefleksikan pengalaman masa lampau,
antisipasi keadaan di masa yang akan datang, dan sikap terhadap norma yang
berpengaruh yang mengelilingi individu. Faktor-faktor inetrnal adalah seperti
34
informasi, emosi, dan lain-lain. Sedangkan faktor-faktor eksternal adalah faktor
situasi atau faktor lingkungan.
Niat seseorang untuk membentuk suatu perilaku terhadap suatu objek merupakan
suatu kombinasi sikap (attitude) dan norma subjektif (subjective norm) sebagai
antecedent intention to buy. Niat dan harapan berperilaku tertentu di refleksikan
dalam komponen ini, yang juga merefleksikan suatu predisposisi untuk bertindak.
Komponen keperilakuan bukan merupakan perilaku aktual, melainkan masih
berbentuk sebagai suatu niatan untuk berperilaku.
Keputusan pembelian adalah pemilihan dari dua atau lebih alternatif pilihan
keputusan pembelian, artinya bahwa dalam membuat keputusan, haruslah tersedia
beberapa alternatif pilihan. Keputusan untuk membeli dapat mengarah kepada
bagaimana proses dalam pengambilan keputusan tersebut itu dilakukan.
Keputusan pembelian merupakan keputusan konsumen untuk membeli suatu
produk setelah sebelumnya memikirkan tentang layak tidaknya membeli produk
itu dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang ia ketahui dengan
realitas tentang produk itu setelah ia menyaksikannya.
2.9 Keterkaitan Antar Variabel
2.9.1 Hubungan Sikap Terhadap Niat Berperilaku
Sikap adalah ide yang berkaitan dengan emosi yang mendorong dilakukannya
tindakan-tindakan tertentu dalam situasi sosial. Secara tegas menyatakan bahwa
predisposisi itu diperoleh dari proses belajar. Ramdhani (2008: 14) menyatakan
35
bahwa ide yang merupakan predisposisi tersebut berkaitan dengan emosi.
Menurut Assael (2002) niat berperilaku timbul dan terbentuk setelah seseorang
melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap sesuatu merek dan akan melakukan
pembelian terhadap merek yang dapat memberikan tingkat paling tinggi dari
kepuasan yang diharapkan. Hubungan keduanya yaitu timbul karena sikap
merupakan ide yang berkaitan dengan emosi langsung di kembangkan melalui
suatu niat yang timbul dari diri sendiri. Ajzen dalam Jogiyanto (2007: 37)
menyatakan bahwa sikap dengan komponen lengkap akan terjadi hubungan yang
kuat terhadap niat.
2.9.2 Hubungan Norma Subjektif Terhadap Niat Berperilaku
Norma Subjektif (subjective norm) adalah persepsi atau pandangan seseorang
terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi minat
untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan
(Jogiyanto, 2007: 42). Niat berperilaku seorang individu dalam milih produk
merupakan masalah yang sangat kompleks namun harus tetap menjadi perhatian
pemasar, niat berperilaku untuk membeli dapat muncul sebagai akibat dari adanya
stimulus (rangsangan) yang ditawarkan oleh perusahaan masing-masing stimulus
tersebut dirancang untuk menghasilkan tindakan pembelian dari konsumen.
Keterkaitan keduanya terletak dimana konsumen mendapatkan pengaruh dari
orang lain yang mempengaruhi dirinya untuk menimbulkan niat dalam membeli
suatu produk.
36
2.9.3 Hubungan Persepsi Kontrol Perilaku Terhadap Niat Berperilaku
Ajzen (2005: 129) Secara spesifik, dalam teori perilaku terencana, persepsi
tentang kontrol perilaku (perceived behavioral control) didefinisikan sebagai
persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan suatu
perilaku. Persepsi kontrol perilaku ditentukan oleh kombinasi antara belief
individu mengenai faktor pendukung atau penghambat untuk melakukan suatu
perilaku (control beliefs), dengan kekuatan perasaan individu akan setiap faktor
pendukung ataupun penghambat tersebut (perceived power control). Secara
umum, semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor
penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu akan
cenderung mempersepsikan diri mudah untuk melakukan perilaku tersebut;
sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan sedikit faktor pendukung dan
banyak faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu
akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk melakukan perilaku tersebut
(Ajzen, 2005: 97). Sedangkan niat berperilaku timbul dan terbentuk setelah
seseorang melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap sesuatu merek dan akan
melakukan pembelian terhadap merek yang dapat memberikan tingkat paling
tinggi dari kepuasan yang diharapkan. Hubungan keduanya yaitu jika individu
merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit penghambat untuk melakukan
suatu perilaku, maka niat untuk membeli akan timbul.
37
2.9.4 Hubungan Sikap Dalam Keputusan Pembelian Melalui Niat
Berperilaku
Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku, dalam memutuskan
merek apa yang akan dibeli, atau toko mana yang akan dijadikan langganan,
konsumen secara khas memilih merek atau toko yang dievaluasi agar
menguntungkan. Niat untuk menggunakan kembali dan membentuk perilaku
untuk menggunakan suatu barang atau jasa dapat tercapai apabila konsumen telah
membentuk sikap yang positif terhadap suatu barang atau jasa, Ajzen dan
Fishbein (2005: 95). Keduanya mempunyai hubungan kuat antara sikap dengan
keputusan pembelian melalui niat berperilaku.
2.9.5 Hubungan Norma Subjektif Dalam Keputusan Pembelian Melalui
Niat Berperilaku
Ajzen (2005: 114) memaparkan norma subjektif merupakan fungsi yang
didasarkan oleh belief yang disebut sebagai normative beliefs, yaitu belief
mengenai kesetujuan dan atau ketidak setujuan seseorang maupun kelompok yang
penting bagi individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs). Norma
subyektif merupakan suatu faktor yang menentukan apakah suatu produk layak
untuk dipilih atau tidak dipilih karena konsumen harus memperhatikan hal-hal
sekitar lingkungan. Ajzen dalam jogiyanto (2007: 92) menyatakan bahwa norma
subjektif berhubungan dengan perspektif normatif, yaitu pandangan seseorang
terhadap tekanan sosial yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak
melakukan keputusan pembelian yang sedang dipertimbangkan.
38
2.9.6 Hubungan Persepsi Kontrol Perilaku Dalam Keputusan Pembelian
Melalui Niat Berperilaku
Persepsi kontrol perilaku yang memengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung (melalui niat) terhadap perilaku. Ajzen (2005: 129) berasumsi bahwa
persepsi kontrol perilaku mempunyai implikasi motivasional pada niat. Individu
yang percaya bahwa jika tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk
menampilkan tingkah laku tertentu cenderung tidak membentuk intensi yang kuat
untuk melakukannya, walaupun memiliki sikap yang positif dan percaya bahwa
orang lain akan mendukung tingkah lakunya. Dengan kata lain, semakin besar
persepsi mengenai kesempatan dan sumber daya yang dimiliki, serta semakin
kecil tantangan hambatan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar niat
berperilaku yang akan mempengaruhi perilaku tersebut.
2.9.7 Hubungan Persepsi Kontrol Perilaku Dalam Keputusan Pembelian
Pengaruh langsung dapat terjadi jika terdapat actual control diluar kehendak
individu sehingga memengaruhi perilaku. Semakin positif sikap terhadap perilaku
dan norma subjektif, semakin besar kontrol seseorang, sehingga semakin kuat niat
beli seseorang untuk memunculkan keputusan dalam membeli. Akhirnya, sesuai
dengan kondisi pengendalian yang nyata di lapangan (actual behavioral control)
niat tersebut akan diwujudkan jika kesempatan itu muncul. Sebaliknya, perilaku
yang dimunculkan bisa jadi bertentangan dengan niat berperilaku individu
tersebut. Hal tersebut terjadi karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan
memunculkan keputusan beli yang telah diniatkan sehingga dengan cepat akan
memengaruhi persepsi kontrol perilaku individu tersebut. Persepsi kontrol
39
perilaku yang telah berubah akan memengaruhi keputusan pembelian yang
ditampilkan sehingga tidak sama lagi dengan yang diniatkan. Ajzen dalam
Jogiyanto (2007: 44) menyatakan bahwa kontrol perilaku merefleksikan
pengalaman masa lalu dan juga mengantisipasi halangan-halangan yang ada dan
semakin menarik sikap dan norma subjektif, semakin besar kontrol perilaku maka
semakin kuat niat berperilaku seseorang untuk melakukan perilaku yang
dipertimbangkan dan berhasil membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku yang
berpengaruh positif terhadap perilaku secara langsung.
2.9.8 Hubungan Niat Berperilaku Dalam Keputusan Pembelian
Keputusan Pembelian adalah proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan
aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau mengatur
barang dan jasa. Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
keputusan pembelian menyoroti perilaku baik individu maupun rumah tangga,
perilaku membeli di pengaruhi faktor dari mediasi yaitu niat menyangkut suatu
proses pengambilan keputusan sebelum pembelian. Niat dipengaruhi dari sikap,
norma subyektif, kontrol perilaku untuk melakukan suatu tindakan beli. Dalam
teori perilaku terencana, perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena
adanya intensi atau niat untuk berperilaku. Sementara itu, munculnya niat
berperilaku selain ditentukan oleh sikap dan norma subjektif, juga ditentukan oleh
kontrol perilaku yang dipersepsikan. Ketiga komponen ini berinteraksi dan
menjadi indikator bagi niat (minat) yang pada gilirannya menentukan apakah
perilaku tertentu akan dilakukan atau tidak. Jadi, niat (minat) dalam penelitian ini
merupakan variabel mediasi atau variabel intervening, yaitu variabel yang
40
memengaruhi hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel
dependen menjadi hubungan yang tidak langsung (Indriantoro dan Supomo, 2002:
26).
2.10 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara atau dugaan yang masih harus dicari
kebenarannya dengan melakukan pengujian. Hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
H1 : Diduga terdapat pengaruh sikap terhadap niat berperilaku dalam keputusan
pembelian iPhone.
H2 : Diduga terdapat pengaruh norma subjektif terhadap niat berperilaku dalam
keputusan pembelian iPhone.
H3 : Diduga terdapat pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat
berperilaku dalam keputusan pembelian iPhone.
H4 : Diduga terdapat pengaruh sikap dalam keputusan pembelian iPhone
melalui niat berperilaku.
H5 : Diduga terdapat pengaruh norma subjektif dalam keputusan pembelian
iPhone melalui niat berperilaku.
H6 : Diduga terdapat pengaruh persepsi kontrol perilaku dalam keputusan
pembelian iPhone melalui niat berperilaku.
H7 : Diduga terdapat pengaruh antara persepsi kontrol perilaku terhadap
keputusan pembelian iPhone.
H8 : Diduga terdapat pengaruh antara niat berperilaku terhadap keputusan
pembelian iPhone.