Upload
lenhan
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IDENTIFIKASI POLA DAN PROSES PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS
FRAGMENTASI DI WILAYAH PERI-URBAN KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN
OLEH:
MUHAMMAD AHMAD LANTA A156100081
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Pola dan Proses
Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah
Peri-Urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri
dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Desember 2012
MUHAMMAD AHMAD LANTA
NRP A156100081
ABSTRACT
MUHAMMAD AHMAD LANTA. Identification of Land Use Change Pattern and Processes Using Fragmentation Analysis in Peri-urban Area of Makassar of South Sulawesi Province. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Peri-urban area hosts resources and environment to support essential ecosystem functions for urban settlements. Growing number of urban residents trigger increasing need of land use conversion for settlements, industries, and businesses. Generally, population growth rate in peri-urban regions is higher than on urban, including in Makassar hading to a land use change vast and dynamic. Pattern and process of land use change in Peri-urban area of Makassar city were analyzed using transition and fragmentation analysis where as actor of the land use change was presented based on semi structured interview. The results of transition matrix analysis presented information regarding land use change pattern. Makassar experienced rapid land use change, for example from rice fields, ponds, and swamps were converted to upland crops and eventually converted to settlements, industries, and businesses. Rice fields to settlements or industries conversion process occurred through land draining and land filling. Land use change was usually preceded by transfer of land ownership. It frequently happened due to government policy and socio-economic condition of the society. Fragmentation analyses of land use were conducted on land use for settlements, industries, and businesses as the major land use pattern in urban areas. The results indicated that Peri-urban of Makassar were very dynamic, not only in spatial perspective but also in terms of complex processes. Fragmentation types such as core, edge, and patch contributed to urban sprawl. Fragmentation process of land use was characterized by perforated type. The decline of patch value could be interpreted as an indication of land agglomeration. Land use change occurred in Peri-urban of Makassar was done by landowners in a variety of ethnicity/race and education levels. It should be mentioned here that construction of public services by the government also contributed to this land use change and its fragmentation. Keywords: land use change, fragmentation analysis, peri-urban.
RINGKASAN MUHAMMAD AHMAD LANTA. Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Area Peri-urban merupakan daerah transisi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Wilayah yang berperan secara ekologis sebagai penyangga kawasan perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan yang tidak terkendali (sprawl) mengakibatkan kehancuran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air (Sancar et al. 2009). Fenomena sprawl di wilayah Peri-urban telah ditemukan oleh Martinuzzi et al. (2007) dan Zhao (2010). Dinamika penggunaan lahan sangat menarik dikaji di wilayah ini karena rentan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Martinuzzi et al. (2007) mengemumukan bahwa peran area perkotaan dalam sistem global mempengaruhi perubahan iklim dunia.
Di Indonesia, konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit menjadi isu utama perubahan penggunaan lahan hutan (Wicke et al. 2011). Isu perubahan penggunaan lahan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan area terbangun dengan mengkonversi lahan pertanian di wilayah perkotaan. Tokairin et al. (2010) menemukan adanya dampak peningkatan rata-rata suhu udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan.
Pertambahan jumlah penduduk perkotaan mendorong meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan untuk perumahan/permukiman, industri, dan bisnis. Laju pertambahan penduduk selama 10 tahun terakhir (2000-2010) di Kota Makassar sebesar 1,65% (BPS Kota Makassar 2010). Umumnya laju pertambahan penduduk kecamatan Peri-urban berada diatas laju pertambahan penduduk Kota Makassar. Perubahan penggunaan lahan menimbulkan dampak berupa fragmentasi penggunaan lahan. Analisis fragmentasi dapat dilakukan pada penutupan/penggunaan lahan perkotaan (Parent dan Hurd 2008). Analisis fragmentasi lanskap (Landscape Fragmentation Analysis yang disingkat LFA) mengidentifikasi empat tipe fragmentasi yaitu: Core, Patch, Edge, dan Perforated (Vogt et al. 2007). Kajian perubahan penggunaan lahan menggunakan analisis fragmentasi masih terbatas dilaporkan, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Fragmentasi penggunaan lahan, khususnya di wilayah perkotaan akan menyulitkan pengelolaan kawasan perkotaan. Penelitian ini mempelajari proses perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi dan mengidentifikasi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku dan tingkat pendidikan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi penggunaan lahan yang diturunkan dari data penginderaan jauh resolusi tinggi. Pola perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan matriks transisi. Analisis fragmentasi (LFA) digunakan dalam mengidentifikasi pola fragmentasi penggunaan lahan. Aktor perubahan penggunaan lahan ditelusuri dengan melakukan wawancara ke masyarakat dan pola pengambilan sampel yang digunakan adalah pola transek 8-arah dari pusat kota (deskriptif).
Perubahan penggunaan TPLK menjadi perumahan /permukiman pada periode 2001 ke 2007 maupun periode 2007 ke 2010 merupakan perubahan paling tinggi di wilayah penelitian diikuti lahan industri dan lahan bisnis. Pola konversi TPLB maupun empang/tambak menjadi perumahan/permukiman, industri, dan bisnis mempunyai karakter yang berbeda antara periode pertama dan periode kedua. Variasi perubahan penggunaan lahan pertanian juga terjadi
pada lahan TPLB dan Empang/tambak menjadi TPLK, walaupun memiliki kondisi cenderung menurun dari sisi luasan antara periode pertama dan periode kedua. Konversi lahan pertanian (TPLB, TPLK, dan Empang/tambak) menjadi lahan non pertanian (Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis) diketahui lebih tinggi pada periode pertama dibandingkan periode kedua.
Perubahan penggunaan lahan didahului oleh pengalihan kepemilikan lahan. Isu lapangan yang ditemukan adalah bahwa pengalihan kepemilikan lahan terjadi karena kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tingginya beban pajak lahan (tambak di sekitar jalan tol), kebutuhan uang tunai (menikahkan anak, renovasi rumah tinggal, dan biaya ibadah haji), dan pemilik lahan yang menetap di luar Sulawesi Selatan merupakan faktor utama pemicu alih kepemilikan lahan di wilayah penelitian.
Analisis fragmentasi penggunaan lahan dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis sebagai pola penggunaan lahan utama pada wilayah urban atau wilayah yang menuju ke struktur urban. Hasil LFA menunjukkan bahwa tipe fragmentasi core, patch, dan edge pada penggunaan lahan perumahan/permukiman mengalami peningkatan luasan pada dua periode pengamatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa Peri-urban Makassar merupakan wilayah yang sangat dinamis berubah, tidak hanya dari segi luasan tetapi juga dari proses yang kompleks. Peningkatan luasan ketiga tipe fragmentasi diartikan sebagai perkembangan perumahan/permukiman perkotaan yang sprawl. Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh peningkatan luas tipe perforated. Penurunan luasan tipe perforated menandakan konversi penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman telah sangat berkembang, dengan kemungkinan segera menuju ke tahap leveling off dengan laju perubahan yang semakin menurun karena tidak adanya lahan yang dikonversi. Tipe core industri mengalami pertambahan luasan yang menunjukkan bahwa kawasan industri tumbuh cukup pesat di wilayah studi. Peningkatan luasan tipe edge merupakan dampak meningkatnya luasan tipe core yang tidak tertata dengan baik, sedangkan peningkatan luasan tipe perforated menjadi indikasi pembangunan industri yang mengisolasi penggunaan lahan non industri. Pembentukan patch industri pada periode 2001-2007 dan penurunan luasan pada periode 2007-2010 menjadi indikasi adanya aglomerasi industri. Ketiga tipe fragmentasi penggunaan lahan bisnis mengalami peningkatan luasan yaitu core, patch, dan edge yang mengindikasikan berkembangnya area bisnis secara kurang tertata. Perbedaan mendasar dari dua penggunaan lahan sebelumnya adalah bahwa pembangunan area bisnis tidak mengisolasi penggunaan lahan non bisnis. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya tipe perforated pada analisis penggunaan lahan bisnis dari tahun 2001, 2007, dan tahun 2010.
Penelitian ini menunjukkan bahwa LFA mampu dimanfaatkan dalam mengkaji motif dan proses perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. Namun demikian, perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan analisis fragmentasi penggunaan lahan perlu didalami dengan menganalisis aktor perubahan penggunaan lahan, terutama berdasarkan etnis/suku dan tingkat pendidikan. Hasil survei lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) menyajikan distribusi responden yang memperlihatkan tidak adanya etnis/suku yang dominan dalam fragmentasi maupun konversi lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Peri-urban Kota Makassar dilakukan oleh pemilik lahan dengan tingkat pendidikan SD sampai S1, bahkan konversi lahan juga dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana pelayanan publik oleh pemerintah.
Kata kunci: perubahan penggunaan lahan, analisis fragmentasi, peri-urban.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI POLA DAN PROSES PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS FRAGMENTASI DI WILAYAH PERI-URBAN KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN
MUHAMMAD AHMAD LANTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar MAGISTER SAINS
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Judul Tesis : Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Pengunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-Urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Nama : Muhammad Ahmad Lanta NIM : A156100081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Si., M.Sc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 10 Desember 2012 Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc
PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
berjudul “ Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan
Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-urban Kota Makassar
Provinsi Sulawesi Selatan”. Kajian wilayah Peri-Urban sangat penting untuk
ditelaah, karena wilayah ini sangat rentan terhadap desakan perubahan
penggunaan lahan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penulisan tesis
ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta dorongannya
dalam menyelesaikan studi.
2. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M. Sc, sebagai ketua komisi pembimbing
yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan
nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Ir. Bambang Hendro Trisasongko, M.Si, M.Sc, sebagai anggota komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan,
dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Prof. Dr. Ir. Hazairin Zubair, MS, Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS, dan
Prof. Dr. Syafiuddin, M.Si, yang telah memberikan rekomendasi kepada
penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB Bogor.
5. Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf akademik di Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Sembah sujud kepada kedua orang tua Lanta Laisi dan St. Zubaedah atas
segala perhatiannya yang tak mungkin terbalaskan serta doa yang tak
pernah putus dipanjatkan. Kakak Ir. Jumardi Lanta, Sultan Lanta dan adik
Kusufiah Samzi Lanta atas segala kasih sayang dan dorongan semangatnya.
7. Rekan-rekan PWL tahun 2010 (Reguler dan Khusus) dan MBK tahun 2010,
terkhusus kepada Seniarwan, SP dan Muh. Munawir Syarif, SP atas
diskusinya terkait kajian spasial dan dorongan semangat selama menempuh
studi di IPB .
8. Ardiansyah, SP atas bantuan data citra satelit serta kesediaan berdiskusi
kepada penulis terkait Kawasan Perkotaan Mamminasata.
9. Muh. Fitrah Irawan, SP, Irwanto, SP, Muh. Amri, SP, Eko Pramana Hamdis,
SP, Atmadi Sawal, SP, dan adik-adik di Peduli Lingkungan Alam dan Tanah
(PLAT-UNHAS) atas bantuannya selama penulis penelitian di Makassar.
10. Rekan-rekan di esensi foundation atas fasilitasinya selama penulis penelitian
di Makassar.
11. drg. Syalmiah Launu, SKG atas dorongan semangat dan motivasinya selama
penulis menempuh studi di IPB
12. Rekan-rekan di Rumah Kost Gizi Abadi atas dorongan semangatnya.
13. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT.
memberkatinya. Amin.
Bogor, Desember 2012
Muhammad Ahmad Lanta
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sopeng Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 11
Januari 1981 dari Ayah yang bernama Lanta Laisi dan Ibu yang bernama St.
Zubaedah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Liliriaja Kabupaten Soppeng
dan melanjutkan pendidikan ke Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan
Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. Lulus program sarjana pada
tahun 2004. Bekerja di esensi foundation Makassar dari tahun 2004-2010.
Penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah
Pascasarjana IPB pada tahun 2010. Selama mengikuti program S2, makalah
penulis telah disajikan dalam Regional Workshop: Water, Land, and Southeast
Asia Food Sovereignty di Bogor pada tanggal 18 sampai 19 September 2012
dengan judul “Agricultural Land Conversion and Land Fragmentation Processes
in Peri-urban of Makasssar, Indonesia”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... vi
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .............................................................. 3 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................ 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan ............................................................ 5 2.2. Perubahan Penggunaan Lahan ........................................... 6 2.3. Analisis Fragmentasi Lanskap ............................................ 8 2.4. Fragmentasi Lahan Perkotaan ............................................ 9 2.5. Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah ...................... 9
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 11 3.2. Bahan dan Alat ................................................................... 11 3.3. Pelaksanan Penelitian .......................................................... 11
3.3.1 Pengumpulan Data .................................................... 11 3.3.2 Analisis Data .............................................................. 13
3.4. Diagram Alir Penelitian ....................................................... 20
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis dan Fisik Wilayah .................................... 21 4.2. Kondisi Demografi ............................................................... 23 4.3. Karakteristik Ekonomi .......................................................... 24 4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Wilayah ..................... 26 4.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah ....................................... 28
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010 ............... 31
5.1.1 Perubahan Penggunaan Lahan Periode 2001-2007 .. 35 5.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode 2007-2010 .. 37
5.2 Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan ................................. 41 5.3 Aktor Perubahan Penggunaan Lahan .................................. 47
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .......................................................................... 55 6.2 Saran ................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 57
LAMPIRAN .................................................................................... 61
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis , bentuk, dan sumber data penelitian ................................... 13
2. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar ..................................................................................... 14
3. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan .. 15
4. Luas wilayah, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan menurut kecamatan peri urban di Kota Makassar tahun 2010 ...... 21
5. Jarak ibukota kecamatan ke pusat Kota Makassar ....................... 22
6. Ketinggian tempat lima kecamatan peri urban di Kota Makassar Tahun 2007 ................................................................... 22
7. Jumlah penduduk (jiwa) kecamatan peri urban Kota Makassar dari tahun 2000 – 2010 .......................................................................... 24
8. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar .................... 26
9. Panjang jalan (km) dirinci menurut kondisi jalan di Kota Makassar 27
10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007 (ha) ................................................................................................ 35
11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010 (ha) ................................................................................................ 35
12. Luas (ha) tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan di wilayah peri urban Kota Makassar ................................................ 41
13. Luas (ha) tipe fragmentasi perforated pada penggunaan lahan utama di wilayah peri urban Kota Makassar ................................... 46
14. Aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar ................................................. 52
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Matriks transisi ............................................................................... 7
2. Peta lokasi penelitian di wilayah peri urban Kota Makassar .......... 12
3. Tipe fragmentasi perumahan/permukiman .................................... 17
4. Ilustrasi piksel 8 tetangga (a) dan 4 tetangga (b) ........................... 17
5. Bagan alir klasifikasi tipe fragmentasi (Diadopsi dari Parent and Hurd 2008) ..................................................................................... 19
6. Diagram alir penelitian perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar ............................................................. 20
7. Grafik pertumbuhan PDRB per sektor berdasarkan harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) ....................................................... 25
8. Tren pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) ................................................................... 25
9. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2001 ... 32
10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007 ... 33
11. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2010 ... 34
12. Empang/tambak yang dikelilingi Industri di Kecamatan Biringkanaya (kiri), Perumahan/Permukiman yang mengelilingi sawah (TPLB) di Kecamatan Manggala (tengah), dan Bisnis yang dikelilingi TPLK dari hasil penimbunan empang/tambak di Kecamatan Tamalate (kanan) ........................................................ 38
13. Hasil Konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi TPLK dan Perumahan/Permukiman di Kecamatan Rappocini (kiri) dan Proses Awal Konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi Perumahan/Permukiman di Kecamatan Tamalanrea (kanan) ........ 39
14. Perubahan tipe perforated perumahan/permukiman tahun 2001 dan 2007 menjadi tipe core perumahan/permukiman tahun 2010 ... 42
15. Perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala (kiri), Industri di Kecamatan Tamalanrea (tengah), dan Bisnis di Kecamatan Tamalate (kanan) ........................................................................... 47
16. Status responden terhadap lahan di titik wawancara ..................... 48
17. Peta titik responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar ............................. 50
18. Distribusi responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku ...................................................................................... 50
19. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar ............................................. 51
vi
20. Pabrik pengepakan di Kecamatan Tamalanrea (kiri atas), Pergudangan hasil bumi di Kecamatan Biringkanaya (kiri bawah), Trans Studio dan Mall GTC di Kecamatan Tamalate (tengah atas bawah), Kantor Camat Biringkanaya (kanan atas), dan Kantor Camat Tamalate (kanan bawah). .................................................... 52
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman 2010 .............................................................................................. 63
2. Peta fragmentasi penggunaan lahan industri 2010 ........................ 64
3. Peta fragmentasi penggunaan lahan bisnis 2010 ........................... 65
4. Identitas responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku, tingkat pendidikan, dan status terhadap lahan di wilayah peri urban Kota Makassar ................................................. 66
5. Curah hujan (mm) Stasiun Paotere BMG Wilayah IV Makassar ..... 68
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Area Peri-urban merupakan daerah transisi antara wilayah perkotaan dan
perdesaan. Wilayah yang berperan secara ekologis sebagai penyangga
kawasan perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan yang tidak terkendali
(sprawl) mengakibatkan kehancuran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air
(Sancar et al. 2009). Perkembangan kota yang tidak terkendali (sprawl) di
wilayah Peri-urban telah ditemukan oleh Martinuzzi et al. (2007) dan Zhao
(2010). Lebih lanjut Martinuzzi et al. (2007) mengungkapkan bahwa arah
perkembangan kota yang sprawl berada di wilayah periferi dan bergerak
menjauhi pusat kota. Dinamika penggunaan lahan sangat menarik dikaji di
wilayah ini karena rentan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Umumnya
konversi lahan pertanian di wilayah Peri-urban, yaitu wilayah dengan karakter
transisi sektor primer ke sektor sekunder dan sektor tersier. Martinuzzi et
al.(2007) mengemukakan bahwa peran area perkotaan dalam sistem global
mempengaruhi perubahan iklim dunia. Telaah perubahan penggunaan lahan
dari waktu ke waktu dapat mengungkapkan efek dan dampak dari
perkembangan kota di area Peri-urban (Huang et al. 2009).
Di Indonesia terdapat dua isu utama perubahan penggunaan lahan yaitu
konversi hutan (deforestation) dan konversi lahan pertanian (agricultural land
conversion). Konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan
kelapa sawit menjadi isu utama perubahan penggunaan lahan hutan.
Pengembangan area perkebunan dengan mengkonversi hutan telah ditemukan
oleh Wicke et al. (2011) di Indonesia dan Malaysia. Isu perubahan penggunaan
lahan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan area terbangun
dengan mengkonversi lahan pertanian di wilayah perkotaan. Perubahan
penggunaan lahan di wilayah perkotaan berdampak pada perubahan iklim mikro.
Tokairin et al. (2010) menemukan adanya dampak peningkatan rata-rata suhu
udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan.
Perubahan penggunaan lahan menimbulkan dampak berupa fragmentasi
penggunaan lahan. Arsyad dan Rustiadi (2008) menguraikan bahwa fragmentasi
fisik lahan dan kepemilikan lahan, mengakibatkan tingginya biaya produksi per
satuan unit lahan, sehingga menurunkan daya saing ekonomi karena tidak
tercapainya economics of scale. Perubahan penggunaan lahan didominasi oleh
2
pemenuhan kebutuhan manusia dibanding dampak dari bencana alam.
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada meningkatnya konsumsi lahan
sehingga mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.
Kajian fragmentasi penggunaan lahan telah dilakukan oleh Huang et al.
(2009) di Taipei-Taiwan. Delapan metrik lanskap dari Fragstat digunakan untuk
analisis spasial perubahan pola lanskap peri-urban di area Taipei-Taoyuan.
Hasil menunjukkan bahwa area terbangun di wilayah studi telah meningkat
sebesar 130% dari 466.32 km2 pada tahun 1971 menjadi 1071.43 km2 pada
tahun 2006. Lanskap di wilayah yang direncanakan non-perkotaan ditemukan
sangat terfragmentasi. Kajian yang dilakukan oleh Liu et al. (2011) menemukan
bahwa kebijakan yang berbeda akan merubah pola penggunaan lahan dan
lanskap.
Fragmentasi penggunaan lahan dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi,
sosial, dan kebijakan. Sancar et al. (2009) dan Huang et al. (2009) mengamati
perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Fragstat. Kajian
perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan
salah satunya adalah analisis fragmentasi. Beberapa pendekatan analisis
fragmentasi yaitu Patch Analysis, Fragstats (Fragmentation Statistic), dan
Analisis fragmentasi lanskap (Lanscape Fragmentation Analysis).
Analisis fragmentasi lanskap dapat dilakukan pada
penutupan/penggunaan lahan hutan, lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain
(Parent dan Hurd 2008). Pendekatan ini diduga mampu menemukan motif
perubahan penggunaan lahan dan proses fragmentasi lahan. Kajian perubahan
penggunaan lahan telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan. Tetapi
telaah perubahan penggunaan lahan menggunakan analisis fragmentasi masih
terbatas dilaporkan, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Umumnya kajian
perubahan penggunaan lahan dikaitkan dengan faktor-faktor penyebabnya
(Munibah 2008; Trisasongko et al. 2009; dan Liu et al. 2011). Berbeda dengan
studi terdahulu, kajian ini berupaya mengidentifikasi aktor-aktor perubahan
penggunaan lahan di Kota Makassar. Wilayah kajian terfokus pada lima
kecamatan di Kota Makassar (Peri-urban) yang berbatasan dengan kabupaten
lain dalam Kawasan Metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros,
Sungguminasa, Takalar).
3
1.2. Rumusan Masalah
Pertambahan jumlah penduduk perkotaan mendorong meningkatnya
kebutuhan penggunaan lahan perkotaan seperti permukiman, industri, dan
bisnis. Di Kota Makassar, laju pertambahan penduduk selama 10 tahun terakhir
(2000–2010) adalah sebesar 1,65% (BPS Kota Makassar, 2011). Umumnya laju
pertambahan penduduk kecamatan Peri-urban (Kecamatan yang berbatasan
dengan kabupaten tetangga Kota Makassar) berada diatas laju pertambahan
penduduk Kota Makassar. Pertambahan jumlah penduduk Peri-urban yang
tinggi mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan
penggunaan lahan diduga memberi dampak fragmentasi penggunaan lahan.
Fragmentasi penggunaan lahan, khususnya di wilayah perkotaan akan
menyulitkan pengelolaan kawasan perkotaan. Masalah yang muncul adalah
kemacetan lalu lintas, meningkatnya biaya infrastruktur, waktu perjalanan yang
lama, kualitas lingkungan yang menurun, dan masalah interaksi sosial (Habibi
dan Asadi 2011). Telaah fragmentasi penggunaan lahan secara multitemporal
dapat mengidentifikasi orientasi masyarakat dalam memanfaatkan lahan.
Kecenderungan masyarakat dan potensi sumberdaya lahan dapat menjadi dasar
perencanaan pengembangan wilayah maupun penyusunan kebijakan
perencanaan ruang.
Fenomena perkembangan wilayah perkotaan tidak lepas dari kebijakan
pengembangan wilayah seperti perencanaan pemanfaatan ruang. Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Selatan salah satunya memuat tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros,
Sungguminasa, Takalar). Kebijakan tersebut disahkan menjadi Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 tahun 2003 dan dikuatkan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional yang
menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional.
Terbitnya Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Mamminasata merupakan indikasi kuat dukungan
pemerintah pusat dalam mendukung pengembangan Kawasan Timur Indonesia.
Dampak dari kebijakan tata ruang nasional dan tata ruang provinsi menempatkan
Makassar sebagai Kota Inti dan Kota Satelit terdiri dari Kabupaten Maros,
Kabupaten Gowa (Sungguminasa), dan Kabupaten Takalar.
Sebagai Kota Inti, Makassar dituntut dapat menyediakan sarana-sarana
pelayanan bagi kawasan perkotaan di sekitarnya dan Kawasan Timur Indonesia.
4
Pemenuhan kebutuhan ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar
Nomor 26 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
2005 – 2015. Kebijakan tersebut memuat arah pengembangan Kota Makassar
yang menjadikan Wilayah Utara sebagai Kawasan Pengembangan Bandara
Terpadu, Industri Terpadu, Pendidikan Terpadu, dan Maritim Terpadu
(Kecamatan Biringkanaya), Wilayah Timur (Tamalanrea, Manggala, dan
Rappocini) dan Selatan (Tamalate) sebagai Kawasan Pengembangan
Pemukiman Terpadu. Areal yang dijadikan kawasan pengembangan terpadu
merupakan lahan pertanian dan rawa yang tersisa di Kota Makassar.
Uraian fenomena dan rumusan permasalahan diatas mendasari
tersusunnya pertanyaan penelitian yaitu : 1. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota
Makassar ?
2. Bagaimana proses perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota
Makassar ?
3. Bagaimana karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-
urban Kota Makassar ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempelajari perubahan penggunaan lahan dengan
menggunakan analisis fragmentasi dan mengidentifikasi aktor perubahan
penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan 2001 ke 2007 dan 2007 ke
2010 dengan menggunakan analisis matriks transisi,
2. Mengidentifikasi proses perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan
analisis fragmentasi (Landscape Fragmentation Analysis)
3. Mengetahui karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan berbasis
etnis/suku dan tingkat pendidikan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan
manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi
kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian
dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan
secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan
air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan
lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan dan
hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam
penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya
(Arsyad 2010). Salah satu data penting untuk perencanaan wilayah adalah data
penggunaan lahan (Preinzel dan Treitz 2004). Data ini memberikan gambaran
aktifitas manusia memanfaatkan sumberdaya lahan. Informasi penggunaan
lahan didapatkan dari survei lapangan, diturunkan dari data penginderaan jauh
atau kombinasi keduanya. Umumnya survei lapangan menghasilkan informasi
penggunaan lahan secara detail, cukup untuk membuat peta penggunaan lahan
detail. Namun survei komprehensif termasuk jarang digunakan karena biaya
yang mahal dan waktu yang lama. Saat ini keperluan survei lapangan dipenuhi
dari data penginderaan jauh dan mampu dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat.
Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 pasal 1 ayat 23, kawasan
perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Pasal 1 ayat 25 berbunyi kawasan perkotaan adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pasal 1
ayat 26 Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas
sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti
dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
6
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya
1.000.000 (satu juta) jiwa (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Sitorus (2010) menguraikan bahwa perancangan fisik suatu lingkungan
kehidupan harus berdasarkan tiga segi utama yaitu :
1. FOLK (Manusia)
Termasuk studi tentang masalah penduduk, kebutuhan sosial seperti tempat
ibadah, kesehatan, rekreasi, dan lain-lain.
2. Place (Ruang atau tempat)
Termasuk studi tentang mengenai lingkungan, pola fisik, iklim, geologi,
topografi, vegetasi, pola penggunaan lahan.
3. Work (Pekerjaan)
Termasuk latar belakang ekonomi dari suatu lingkungan tertentu, sumber-
sumber pekerjaan, pembiayaan, dan lain-lain.
Tiga segi utama tersebut, kemudian di Indonesia dikembangkan sebagai :
perumahan, karya (tempat bekerja), marga (jaringan jalan), suka (rekreasi dan
hiburan), penyempurna seperti pendidikan, peribadatan, puskesmas, poliklinik.
Dalam kenyataan pengelompokan dari apa yang dikatakan “kegiatan pelayanan”
yang mempunyai nilai sosial murni, tumpang tindih dengan kegiatan-kegiatan
yang bersifat politik, ekonomi, budaya, ataupun fisik. Oleh karena itu “pelayanan
sosial” tersebut umumnya dikategorikan sebagai berikut:
1. Pelayanan sosial yang bersifat kultural yang tercakup didalamnya : fasilitas
pendidikan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas hiburan
2. Pelayanan sosial yang bersifat fisik: perumahan, fasilitas kesehatan, pos
keamanan
3. Pelayanan sosial yang bersifat ekonomi: fasilitas pasar, pertokoan, transport
lokal dan regional
4. Pelayanan sosial yang bersifat politik: pusat pemerintahan.
2.2. Perubahan Penggunaan Lahan
Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu yang dipicu oleh
pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian
sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Permintaan terhadap
sumberdaya lahan ini menjadi faktor pendorong proses perubahan penggunaan
lahan, yang secara garis besar dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok utama, yaitu:
(1) deforestasi baik ke arah pertanian intensif maupun non pertanian, (2)
konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan (3) penelantaran lahan. Ketiga
7
kelompok utama perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan gambaran
permasalahan penggunaan lahan yang menurunkan konflik sosial, ekonomis,
kelembagaan dan politis (Saefulhakim et al. 2004).
Kajian perubahan penggunaan lahan sangat tergantung dari
pemanfaatan data spasial. Data tersebut dapat diturunkan dari peta penggunaan
lahan dan data penginderaan jauh. Umumnya kajian perubahan penggunaan
lahan menggunakan data penginderaan jauh resolusi rendah. Kajian perubahan
penggunaan lahan dalam skala yang lebih besar membutuhkan tingkat
kedetailan informasi yang lebih tinggi. Ketersediaan data citra penginderaan
jauh resolusi tinggi seperti Ikonos (1 m), Quick Bird (0,60 m), World View (0,50
m), dan Geo Eye (0,60 m) mempermudah kajian perubahan penggunaan lahan
skala detail sampai semi detail. Umumnya hambatan yang ditemukan adalah
akses data spasial yang mahal di lembaga penyedia data maupun instansi
pemerintah.
Perubahan penggunaan lahan dapat dijabarkan dengan berbagai
pendekatan. Kajian pustaka menyajikan informasi bahwa matriks transisi
merupakan salah satu alat analisis yang banyak dimanfaatkan untuk
menjelaskan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah.
Matriks transisis telah digunakan oleh Prenzel dan Treitz (2004) di Manado
Sulawesi Utara, mayoritas perubahan penggunaan lahan terjadi di pinggiran kota
(yaitu di pinggiran desa-kota). Tahun 1990, pada dasarnya tidak ada hutan hujan
primer di pinggiran Manado, daerahnya didominasi oleh perkebunan kelapa serta
lahan pertanian yang telah dibersihkan. Akibatnya, sebagian besar perubahan
yang diamati melibatkan konversi lahan untuk ekstraksi pertanian kelapa dan
built-up atau pre-built-up (yaitu tanah). Pola urbanisasi yang diamati terjadi pada
topografi permukaan tanah datar di daerah utara ke arah kota Paniki Bawah
(yaitu menuju bandara), timur menuju Bitung, dan selatan menuju Tomohon.
Perubahan yang terjadi berdekatan dengan rute akses utama. Matriks transisi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Tahun ke x+1
Tahun ke-x
Penggunaan Lahan a
Penggunaan Lahan b
Penggunaan lahan ke-z
Penggunaan Lahan a Penggunaan Lahan b Penggunaan Lahan ke-z
Gambar 1. Matriks transisi.
8
Dua informasi yang dapat diekstrak dari pendekatan matriks transisi.
Bagian pertama yang merupakan bagian yang ditandai (diagonal matriks)
memberikan gambaran bahwa tidak terjadi perubahan penggunan lahan wilayah
tersebut. Pada bagian lain (off-diagonal) memberikan informasi luasan
penggunaan lahan yang berubah pada tahun ke-x+1.
Matriks transisi cukup memberikan gambaran dinamika penggunaan
lahan yang terjadi di suatu wilayah. Kekuatannya terletak pada perubahan
penggunaan lahan tetapi tidak dapat memberikan gambaran motif perubahan
penggunaan lahan. Kajian perencanaan wilayah menggunakan analisis matriks
transisi perlu ditindaklanjuti dengan analisis fragmentasi. Perkembangan
perumahan/permukiman, industri, dan bisnis merupakan isu utama perubahan
penggunaan lahan di wilayah perkotaan. Di Kawasan Perkotaan Manado
Sulawesi Utara, lahan terbangun bertambah 158,8 ha dari tahun 1990 sampai
1999 dan peningkatan luasan berasal dari konversi padang rumput, kebun
campuran, dan lahan terbuka (Prenzel dan Treitz 2004).
2.3. Analisis Fragmentasi Lanskap
Analisis Fragmentasi Lanskap (Lanscape Fragmentation Analysis yang
disingkat LFA) merupakan salah satu alat analisis spasial yang berbasis
pengolahan morfologi citra dalam Sistem Informasi Geografis seperti di Arc View
dan Arc-GIS. Alat analisis ini telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi
fragmentasi hutan, tetapi dapat juga digunakan pada lahan semak, lahan
perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008). Vogt et al. (2007) melakukan
pemetaan pola spasial dengan pengolahan morfologi citra untuk mengidentifikasi
fragmentasi hutan di Taman Nasional Val Grande Italia Utara.
Pengolahan morfologi citra dalam proses analisis fragmentasi
penggunaan lahan menjadi kelebihan alat analisis ini. Presisi spasial dan
akurasi tematiknya yang tinggi sementara tetap mempertahankan kemampuan
label fitur pada tingkat piksel untuk setiap skala pengamatan, karena akurasi
yang lebih tinggi pada ringkasan statistik pemetaan tingkat piksel dan trend
analisis pada tingkat landskap juga akan lebih akurat (Vogt et al. 2007). Lebih
lanjut Vogt et al. (2007) menambahkan bahwa pendekatan morfologi citra dapat
menemukan lebih banyak aplikasi klasifikasi tingkat piksel dan pemetaan pola,
seperti identifikasi fragmentasi internal dan eksternal. Ada empat tipe
fragmentasi yang teridentifikasi yaitu Core, Patch, Edge, dan Perforated.
9
Hurd et al. (2006) mengidentifikasi terjadinya sprawl di wilayah
Connecticut dengan beberapa indikasi antara lain: Core hutan menurun dari
waktu ke waktu, karena kehilangan hutan dan konversi untuk kategori
fragmentasi hutan lainnya. Perforated hutan meningkat dari waktu ke waktu.
Edge hutan menurun, tetapi sedikit meningkat dalam kontribusi persennya.
Patch hutan juga meningkat dari waktu ke waktu, baik dari sisi luasan maupun
kontribusi persennya. Umumnya konversi hutan yang terjadi berada jauh dari
pusat perkotaan.
2.4. Fragmentasi Lahan Perkotaan
Fragmentasi perkotaan didefinisikan sebagai sebuah fenomena spasial
hasil tindakan memisahkan diri, terpecah dari, atau lepas dari struktur kota dan
sistem kota (Burgess 2007). Fenomena urban sprawl merupakan salah satu
bentuk fragmentasi penggunaan lahan perkotaan yang umumnya terjadi di
wilayah sub-urban. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa perluasan wilayah
urban ke wilayah pinggir kota berdampak pada meluasnya skala manajemen
wilayah urban secara riil. Di lain pihak, proses ini sering sebagai proses yang
kontradiktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi
lahan pertanian yang sangat produktif.
Perkembangan area terbangun yang tidak terkendali (urban sprawl)
terjadi di Delta Jeneberang Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Hasil
penelitian Useng et al. (2011) menemukan adanya peningkatan luas area
terbangun dan permukiman sebesar 18% (1999-2003) dan 34% (2003-2010).
Penggunaan lahan area terbangun dan permukiman dari 213,37 ha tahun 1999
meningkat menjadi 729,26 ha tahun 2010. Penggunaan lahan yang mengalami
desakan adalah lahan kering, sawah, dan tambak.
Fragmentasi lanskap biasanya disebabkan oleh berbagai kegiatan
manusia seperti urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan, serta elemen
lanskap seperti jalan, kereta api, dan sungai. Oleh karena itu, hubungan antara
fragmentasi lanskap dan faktor dampaknya harus diperkuat dengan indikator
kuantitatif (Gao dan Li 2011).
2.5. Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah
Terbitnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
merupakan revisi dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992. Penataan ruang
adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
10
pengendalian pemanfaatan ruang. Produk hukum dari Rencana Tata Ruang
Wilayah berhierarki mulai dari level nasional, provinsi, kabupaten/kota.
Rencana-rencana turunan dari RTRW seperti Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
dengan:(a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c)
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Departemen Pekerjaan Umum, 2007).
Wilayah Kota Makassar merupakan kawasan perkotaan inti Kawasan
Metropolitan Mamminasata. Penetapan kawasan perkotaan inti diatur melalui
beberapa peraturan baik nasional maupun provinsi. Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 2003 tentang RTRW Metropolitan Mamminasata.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No.26 Tahun 2008) menetapkan
Kawasan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan sudut
kepentingan ekonomi dan tahap pengembangan I (Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, 2003). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (Perda
No.9 Tahun 2009) menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Revitalisasi dan
percepatan pengembangan kota-kota pusat pertumbuhan provinsi untuk
revitalisasi kota-kota yang telah berfungsi dengan tahap pengembangan I – IV
(Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2009). Wujud dukungan pemerintah
pusat terkait pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata yaitu terbitnya
Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (2005-2015) telah
diterbitkan menjadi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2006 (Pemerintah Kota
Makassar, 2006). Tetapi Revisi Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang menjadi Undang-Undang No. 26 tahun 2007 berdampak pada
produk hukum yang hierarkinya berada dibawah Undang-Undang untuk
melakukan penyesuaian. Sampai saat ini (2012) revisi mengenai Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Makassar belum disahkan menjadi Peraturan Daerah Kota
Makassar.
11
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian merupakan wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan. Wilayah peri-urban adalah wilayah kecamatan yang
mengelilingi pusat kota dan berbatasan dengan kabupaten tetangga Kota
Makassar. Wilayah peri-urban di lokasi penelitian terdiri dari lima Kecamatan
yaitu Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala,
Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Tamalate (Gambar 2). Penelitian ini
dilakukan pada Bulan Maret - Agustus 2012. Pelaksanaan penelitian ini terdiri
dari: perencanaan penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, pengecekan
lapangan, analisis data, interpretasi hasil, dan penulisan.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat tulis yang digunakan berupa seperangkat komputer
dengan perangkat lunak Software Microsoft Word, Microsoft Excel, Arc-GIS versi
9.3, dan peralatan penunjang lain seperti alat tulis, kamera digital, Global
Positioning System (GPS) Garmin Oregon, dan kuesioner.
3.3. Pelaksanan Penelitian
3.3.1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan penduduk untuk
menggali informasi terkait proses terjadinya perubahan penggunaan lahan yang
berdampak pada fragmentasi penggunaan lahan. Data sekunder terdiri dari data
spasial dan data atribut. Data spasial berupa Peta Rupa Bumi Indonesia Kota
Makassar skala 1 : 50.000, Peta Administrasi Kota Makassar skala 1 : 25.000,
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015 skala 1 : 25.000,
Citra Satelit akuisisi tahun 2001, tahun 2007 (Ikonos), dan 2010 (Google Earth).
Data atribut berupa jumlah penduduk, laju pertambahan penduduk (2001-2010),
dan data PDRB Kota Makassar.
12
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di wilayah peri urban Kota Makassar
13
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1
Tabel 1. Jenis , bentuk, dan sumber data penelitian Jenis data Skala Bentuk Sumber data Peta Rupa Bumi Indonesia 1 : 50 000 Dijital Bakosurtanal Peta Administrasi 1 : 25 000 Dijital Bappeda Kota
Makassar Citra Satelit (Ikonos) akuisisi 12 Agustus 2001, 2 April 2007, dan 13 Juli 2010 (Google Earth)
1 m dan 0,6 m
Dijital JICA – Mamminasata dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan
Kota Makassar dalam Angka (2002,2007, 2010, 2011)
- Tabular BPS Kota Makassar
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan
- Tabular Wawancara
3.3.2. Analisis data
Klasifikasi penggunaan lahan
Citra satelit yang diperoleh telah terkoreksi geometri berdasarkan peta
Bakosurtanal sehingga dapat dilanjutkan dengan proses klasifikasi penggunaan
lahan. Metode klasifikasi visual didasarkan pada tiga hierarki klasifikasi
penutupan/penggunaan lahan yaitu primer, sekunder, dan tersier. Ketiga hierarki
klasifikasi diturunkan menjadi warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola,
bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer 1997), dan kedekatan
interpreter dengan objek (Munibah 2008). Teknik dijitasi secara on screen
digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan
lahan seperti Permukiman/Perumahan (PP), Lahan Industri (LI), Bisinis (B)
merupakan penggunaan lahan utama dalam analisis. Penggunaan lahan
mangrove dan tanaman kehutanan lainnya diklasifikasi menjadi Hutan (H).
Tambak dan Empang diklasifikasi sebagai penggunaan lahan Empang/Tambak
(ET). Sawah diklasifikasi menjadi Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB).
Klasifikasi Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) terdiri dari tegalan, kebun
campuran, tanah kosong. Taman, Lapangan, Jalan Utama, dan Pekuburan
diklasifikasi sebagai Penggunaan Lahan Lain (PLL). Tubuh Air (TA) terdiri dari
sungai, kanal, waduk, dan rawa. Generalisasi penutupan lahan menjadi
klasifikasi penggunaan lahan disajikan ada Tabel 2.
14
Tabel 2. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan wilayah peri-urban Kota Makassar
No Penutupan Lahan Klasifikasi Penggunaan Lahan
1 Sawah Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB)
2
Ladang Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK)
Kebun Campuran Lahan Kosong Area berumput
3
SPBU Pertamina
Bisnis (B)
Mini Market/Mall Pasar Tempat Rekreasi Hotel Terminal Angkutan Darat
4
Pabrik Pengolahan/Pengepakan
Industri (I) Pabrik Kapur Pergudangan Instalasi Gardu Listrik PLN
5
Perumahan/Permukiman
Perumahan/Permukiman (PP)
Rumah Ibadah Gedung Olah Raga Rumah / Toko (Ruko) Perkantoran Sekolah/Perguruan Tinggi
6 Mangrove Hutan (H) Jati/Tanaman Kehutanan
7 Tambak Empang/Tambak (ET) Empang
8
Rawa
Tubuh Air (TA) Sungai/Kanal Waduk Area Perairan
9
Jalan Utama
Penggunaan Lahan Lain (PLL)
Lapangan Terbuka ( Sepak Bola dan Golf) Area Pekuburan Taman Kota TPAS (Tempat Pembuangan Akhir Sampah)
15
Visualisasi penggunaan lahan pada sumber yang berbeda memberikan
karakteristik tampilan objek yang berbeda. Tampilan penggunaan lahan pada
wilayah penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan
No Penggunaan Lahan Citra Satelit Foto Lapangan 1 Tanaman Pangan
Lahan Basah (TPLB): Sawah
2 Tanaman Pangan
Lahan Kering (TPLK): Kebun/Ladang
3 Bisnis: SPBU Pertamina
4 Industri:
Industri Pengepakan
5 Perumahan/
Permukiman
6 Hutan
: Mangrove
7 Empang/
Tambak
8 Tubuh Air
: Sungai
9 Penggunaan Lahan
Lain : Jalan Utama
16
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan distribusi penggunaan lahan pada dua (atau lebih) data dapat
diidentifikasi dengan berbagai teknik. Teknik identifikasi yang umum digunakan
adalah membandingkan atribut data tersebut. Perubahan nilai pada atribut
tersebut umumnya luasan (ha) penggunaan lahan (Trisasongko et al. 2009).
Perubahan distribusi penggunaan lahan tahun 2001 ke tahun 2007 dan tahun
2007 ke tahun 2010 dianalisis menggunakan matriks transisi. Hasil analisis
matriks transisi menyajikan informasi pola perubahan penggunaan lahan.
Analisis Fragmentasi Penggunaan Lahan
Fragmentasi penggunaan lahan adalah proses perubahan penggunaan
lahan dari penggunaan homogen menjadi heterogen. Kecenderungan
perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun dan indikasi
perkembangan kota yang sprawl dapat diidentifikasi dengan analisis fragmentasi.
Salah satu alat analisis fragmentasi penggunaan lahan adalah Landscape
Fragmentation Analysis, yang dapat dijalankan di software Arc View maupun Arc
GIS (Vogt et al. 2007). Analisis fragmentasi mengidentifikasi empat tipe yaitu :
Core (inti), perforated (berlubang), edge (tepi), dan patch. Kajian fragmentasi
penggunaan lahan dapat dilakukan untuk berbagai tipe penutupan/penggunaan
lahan seperti hutan, lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan
Hurd 2008). Gambaran mengenai empat tipe fragmentasi penggunaan lahan
perumahan/permukiman disajikan pada Gambar 3.
Proses diferensiasi pada Model LFA menggunakan operasi logika dengan
dua pendekatan analisis piksel (picture element) yaitu 8 tetangga dan 4 tetangga
(Gambar 4). Proses analisis fragmentasi dimulai dari peta tematik dengan dua
atribut, misalnya perumahan/permukiman dan non perumahan/permukiman.
Ukuran batas ditentukan secara arbiter yaitu 25 meter. Core ditetapkan jika
piksel inti dan 8 tetangga adalah perumahan/permukiman, dan berada pada jarak
lebih besar 25 meter dari non perumahan/permukiman. Patch ditetapkan jika
piksel dan 4 tetangga (depan belakang, kiri kanan) perumahan/permukiman,
berada pada jarak lebih kecil sama dengan 25 meter dari non
perumahan/permukiman, dan tidak masuk dalam track piksel core. Edge
ditetapkan berada pada track piksel core perumahan/permukiman tetapi tidak
berdekatan dengan patch non perumahan/permukiman. Perforated ditetapkan
berada pada track piksel core perumahan/permukiman tetapi berdekatan dengan
17
patch non perumahan/permukiman. Analisis fragmentasi penggunaan lahan
perkotaan hanya dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman,
industri, dan bisnis. Bagan alir proses pemilahan tipe fragmentasi penggunaan
lahan perkotaan disajikan pada Gambar 5.
Gambar 3. Tipe fragmentasi perumahan/permukiman.
(a) (b)
Piksel inti Piksel tetangga
Gambar 4. Ilustrasi piksel 8 tetangga (a) dan 4 tetangga (b).
Area Core, misalnya pada perumahan/permukiman, memiliki piksel yang
dipertimbangkan tidak terdegradasi oleh “efek tepi”. Bagian tepi dalam
perumahan/permukiman yang lain dipertimbangkan sebagai Perforated,
selebihnya diklasifikasi sebagai Edge. Sementara itu, Patch adalah fragmen
kecil perumahan/permukiman yang sama sekali terdegradasi oleh “efek tepi”.
Proses analisis fragmentasi penggunaan lahan perkotaan untuk tiga titik
pengamatan dengan tahapan sebagai berikut:
18
1. Mengekstrak peta penggunaan lahan menjadi dua tema seperti peta
perumahan/permukiman (2), peta non perumahan/permukiman (1).
2. Mengkonversi format data vektor menjadi data raster (interval 10 m) dengan
pertimbangan ukuran rata-rata satu unit bangunan (10x10) m, ukuran file,
dan waktu pemrosesan data.
3. Menentukan edge width (lebar tepi), yaitu diasumsikan sebesar 25 m
4. Memasukkan peta penggunaan lahan (perumahan/permukiman) dua tema
(Perumahan/permukiman dengan kode 2 dan non perumahan/permukiman
dengan kode 1) pada Landscape Fragmentation Tools
5. Menghasilkan peta fragmentasi penggunaan lahan permukiman/permukiman.
6. Tahapan 1-5 dilakukan ulang untuk penggunaan lahan industri dan area
bisnis.
Hasil dari proses analisis fragmentasi penggunaan lahan memberikan
gambaran mengenai proporsi tipe fragmentasi penggunaan lahan pada tiga seri
pengamatan penggunaan lahan selama 10 tahun terakhir. Kecenderungan
perubahan luasan tipe fragmentasi memberikan gambaran motif perubahan
penggunaan lahan dan proses fragmentasi penggunaan lahan.
Analisis Deskriptif: Aktor Perubahan Penggunaan Lahan
Proses perubahan penggunaan lahan dikendalikan oleh manusia sebagai
aktornya. Aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota
Makassar ditelusuri dengan melakukan wawancara semi terstruktur ke
masyarakat. Pengambilan sampel dilakukan dengan pola transek 8 arah dari
pusat kota (Center of Business District). Metodologi transek telah digunakan
oleh Shrestha et al. (2012) untuk mendeksi fragmentasi sepanjang perkotaan-
perdesaan di Phoenix Metropolitan Area AS. Shrestha et al. (2012)
menggunakan ukuran blok transek dengan interval 15 km dan pusat piksel
digunakan untuk analisis fagmentasi. Namun pada penelitian ini, penentuan titik
sampel dilakukan secara purposive berdasarkan penggunaan lahan yang
melewati garis transek dari Center of Business District (CBD). Penentuan
sampel berbasis titik dilakukan dengan pertimbangan penggunaan lahan yang
heterogen di wilayah perkotaan. Jumlah responden yang menjadi sampel
pengamatan dan wawancara adalah sebanyak 72 titik. Informasi yang digali
adalah terkait status kepemilikan lahan, etnis/suku, dan tingkat pendidikan.
Variabel ini didasarkan pada fakta kualitatif bahwa status kepemilikan,
etnis/suku, dan tingkat pendidikan diduga mendorong terjadinya perubahan
19
penggunaan lahan. Pengambilan foto penggunaan lahan dilakukan bersamaan
dengan proses wawancara. Hasil wawancara dan pengamatan lapangan
diorganisir menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif mampu
memberikan informasi pendukung dalam menggambarkan identitas dan
kecenderungan aktor perubahan penggunaan lahan. Karakteristik aktor
perubahan penggunaan lahan yang diamati adalah etnis/suku dan tingkat
pendidikan.
Gambar 5. Bagan alir klasifikasi tipe fragmentasi penggunaan lahan (Diadopsi dari Parent dan Hurd 2008).
20
3.4. Diagram Alir Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, jenis, dan pendekatan analisis serta hasil
yang diharapkan, disusun diagram alir penelitian seperti disajikan pada Gambar
6
Gambar 6. Diagram alir penelitian perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar.
Paradigma Pengembangan Kota : 1. Pusat Pertumbuhan KTI 2. Pusat Permukiman 3. Pusat Industri dan Jasa 4. Kota Berkelanjutan
Kondisi Eksisting : 1. Pengembangan Sarana dan Prasarana 2. Pertambahan Jumlah Penduduk 3. Kebijakan Pemanfaatan Ruang 4. Fragmentasi Penggunaan Lahan
Analisis Permasalahan
Tahap Pengumpulan
Data
Tahap Analisis
Data
Interpretasi Citra Satelit dan Dijitasi Peta Penggunaan Lahan
Wawancara Aktor Perubahan Penggunaan Lahan : - Etnis/suku -Tingkat Pendidikan
Fragmentasi Penggunaan Lahan (2001, 2007, 2010)
Landscape Fragmentation Analisys Tools : - Core - Patch - Perforated - Edge
1. Permukiman/Perumahan 2. Lahan Industri 3. Lahan Bisnis
Proses Perubahan Penggunaan Lahan di Peri-urban Kota
Makassar
Tahap Interpretasi
Hasil
Matriks Transisi Penggunaan Lahan
(2001 dan 2007) dan Penggunaan Lahan
(2007 dan 2010)
Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Peta Penggunaan Lahan 2001
Peta Penggunaan Lahan 2010
Peta Penggunaan Lahan 2007
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografis dan Fisik Wilayah
Wilayah penelitian secara geografis terletak antara 5005’ – 5015’ Lintang
Selatan dan 119020’ – 119030’ Bujur Timur dengan ketinggian antara 0 sampai 25
meter dari permukaan laut (mdpl). Batas wilayah penelitian secara administrasi:
Sebelah Utara : Kecamatan Mandai dan Kecamatan Marusu (Kabupaten
Maros)
Sebelah Timur : Kecamatan Moncongloe (Kabupaten Maros) dan Kecamatan
Pattalassang, Kecamatan Somba Opu, kecamatan
Pallangga, dan Kecamatan Barombong (Kabupaten Gowa)
Sebelah Selatan : Kecamatan Galesong Utara (Kabupaten Takalar)
Sebelah Barat : Wilayah kecamatan lain di Kota Makassar dan Selat
Makassar.
Kota Makassar memiliki luas wilayah 177.75 km2 yang terdiri dari daratan
dan pulau-pulau. Wilayah Peri-urban Kota Makassar mencakup lima kecamatan
yang terdiri dari 39 kelurahan dengan luas 133,64 km2 atau 76,02% dari luas
Kota Makassar. Wilayah Kecamatan Biringkanaya memiliki wilayah yang paling
luas dan Kecamatan Rappocini dengan luas wilayah paling kecil. Perbandingan
luas kecamatan, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Luas wilayah, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan menurut kecamatan peri-urban di Kota Makassar Tahun 2010
No Kecamatan Luas (km2) Persentase luas kota (*)
Jumlah kelurahan
1 Tamalate 20,21 11,50 10 2 Rappocini 9,23 5,25 10 3 Manggala 24,14 13,73 6 4 Biringkanaya 48,22 27,43 7 5 Tamalanrea 31,84 18,11 6
Jumlah 133,64 76,02 39 Keterangan: (*) Dari luas Kota Makassar
Sumber: BPS (2011).
Ditinjau dari kondisi jarak dari Ibu Kota Kecamatan ke Lapangaan
Karebosi sebagai Pusat Kota Makassar, Kecamatan paling jauh adalah
Kecamatan Biringkanaya sejauh 12 km, Kecamatan paling dekat adalah
22
Kecamatan Makassar dengan jarak 0 km. Lima Kecamatan area penelitian
berada pada jarak antara 5 km–12 km dari pusat kota Makassar. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Jarak ibukota kecamatan ke pusat Kota Makassar
No Kecamatan Jarak (km)
1 Tamalate 5
2 Rappocini 7
3 Manggala 9
4 Biringkanaya 12
5 Tamalanrea 10
Sumber: BPS Kota Makassar (2011)
Ketinggian tempat di wilayah penelitian bervariasi mulai dari ketinggian
0-25 mdpl (meter dari permukaan laut). Ketinggian tempat menurut kecamatan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Ketinggian tempat lima kecamatan peri-urban di Kota Makassar
No Kecamatan Ketinggian tempat (mdpl)
1 Tamalate 1 – 6
2 Rappocini 2 – 6
3 Manggala 2 – 22
4 Biringkanaya 1 – 19
5 Tamalanrea 1 – 22
Sumber: BPN Kota Makassar (2008)
Topografi Kota Makassar umumnya datar dengan tingkat kemiringan
lereng 0-8%. Wilayah penelitian yang memiliki ketinggian diatas 10 mdpl hanya
ada di Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan
Manggala. 11 kecamatan lainnya berada dibawah ketinggian 10 mdpl.
Jenis tanah yang terdapat di Kota Makassar terdiri dari jenis tanah
Inceptisol dan Ultisol. Jenis tanah Inceptisol dominan berada di bagian barat dan
selatan Kota Makassar. Jenis tanah Ultisol dominan berada di sebelah utara
Kota Makassar. Bagian timur Kota Makassar jenis tanahnya merupakan
kombinasi dari kedua jenis tanah tersebut.
Wilayah Kota Makassar memiliki stasiun pengamatan iklim yaitu curah
hujan dan suhu udara di BMG IV Stasiun Maritim Paotere. Curah hujan rata-
23
rata tahunan selama kurung waktu dari 1997 – 2011 berkisar pada 3.083 mm.
Suhu rata-rata antara 250C sampai 330C. Tadjang (2001) menguraikan bahwa
sistem klasifikasi yang digunakan oleh Oldeman dalam menetapkan macam
bulan adalah curah hujan rata-rata bulanan selama periode paling sedikit 10
tahun. Kriteria tinggi curah hujan rata-rata yang digunakan Oldeman dalam
menentukan macam bulan adalah: (1) Bulan Kering (BK) adalah bulan dengan
curah hujan rata-rata <100 mm, (2) Bulan Lembab adalah bulan dengan curah
hujan rata-rata 100-200 mm, (3) Bulan Basah adalah bulan dengan curah hujan
rata-rata >200 mm. Berdasarkan kriteria macam bulan, periode Bulan Basah
terjadi pada Desember, Januari, Februari, Maret, dan April. Bulan Kering terjadi
pada Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Bulan Mei dan Nopember
merupakan Bulan Lembab di Kota Makassar. Menurut Oldemen Wilayah Kota
Makassar termasuk tipe iklim pertanian C3. Sedangkan menurut Schmid-
Ferguson, Kota Makassar termasuk wilayah dengan tipe hujan D (daerah sedang
dengan ciri vegetasi hutan musim).
4.2. Kondisi Demografi
Dari sisi demografi, jumlah penduduk Kota Makassar dalam kurun waktu
10 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini terbukti
oleh kenaikan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 226.686 jiwa dari
kondisi jumlah penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 1.112.688 jiwa.
Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 1.339.374 jiwa, lebih dari 50%-nya
berada di wilayah lima kecamatan perbatasan dengan kabupaten tetangga Kota
Makassar. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi penduduk di Kota Makassar
masih berorientasi ke pinggir atau menjauhi pusat pemerintahan. Fakta ini
diperkuat oleh pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah peri-urban berada
diatas rata-rata kota. Pertambahan penduduk Kota Makassar (2000-2010)
sebesar 1,65%. Wilayah Kecamatan yang pertambahan penduduknya diatas
rata-rata kota adalah Biringkanaya (5,45%), Manggala (3,90%), Tamalate
(2,50%), Tamalanrea (2,00%), kecuali Kecamatan Rappocini yang pertambahan
penduduknya berada dibawah rata-rata kota (1,50%). Kecamatan lainnya yang
berada di sekitar pusat kota yang mengalami pertambahan penduduk minus
dengan kata lain terjadi pengurangan jumlah penduduk yaitu Kecamatan
Mamajang (-0,30), Kecamatan Makassar (-0,15), Kecamatan Ujung Pandang (-
0,72), Kecamatan Wajo (-1,83), dan Kecamatan Boantoala (-0,87). Selebihnya
berada pada kisaran pertambahan pertambahan penduduk dari 0,3% sampai
24
1,2%. Fenomena pertambahan penduduk yang kurang merata di atas,
mengindikasikan adanya daya tarik yang lebih kuat di wilayah pinggiran kota.
Tabel 7. Jumlah penduduk (jiwa) kecamatan peri-urban Kota Makassar dari tahun 2000 - 2010
No Kecamatan 2000 2001 2004 2005 2006 2008 2010
1 Tamalate 130777 131871 143987 144458 148589 152197 170878
2 Rappocini 128637 128962 136128 136725 139491 142958 151091
3 Manggala 77443 79251 92411 92524 96632 99008 117075
4 Biringkanaya 96057 97951 118633 119818 125636 128731 167741
5 Tamalanrea 82641 83873 84247 84890 86987 89143 103192 Total 5 Kecamatan 515.555 521.908 575406 578.415 597.335 621.162 709.977
Total
MAKASSAR
1,112,688
1,130,384
1,179,024
1,193,434
1,223,540
1,253,656
1,339,374
Persentase Kota Makassar (%) 46,33 46,17 48,80 48,47 48,82 48,2 53,01
Sumber: BPS Kota Makassar (2012)
4.3. Karakteristik Ekonomi
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memberikan gambaran
kapasitas suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah untuk periode waktu
tertentu. Ada tiga sisi pendekatan dapat dipakai dalam melihat PDRB yaitu, sisi
produksi, sisi pengeluaran dan sisi pendapatan. Ketiganya memberikan
gambaran komposisi dan nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen
penggunaan, dan sumber pendapatan. Wilayah kabupaten/kota memiliki kondisi
geografis dengan berbagai potensi sumberdaya yang membuat masyarakatnya
dapat bertahan bahkan berkembang. Perbedaan struktur perekonomian tiap
wilayah ditentukan oleh potensi sumberdaya fisik, manusia, dan keuangan.
Secara garis besar, pertumbuhan PDRB Kota Makassar Tahun 2000-2009
menunjukan pertumbuhan positif. Untuk lebih jelasnya kondisi PDRB Kota
Makassar atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Gambar 7.
Tiga sektor utama yang menopang peningkatan nilai tambah di Kota
Makassar yaitu perdagangan/restoran/hotel, industri pengolahan, dan angkutan
dan komunikasi. Ketiga sektor utama ini cenderung bergerak naik dari tahun
2001 ke tahun 2009. Besarnya distribusi sektor tersier dan sekunder merupakan
indikasi Kota Makassar sebagai fungsi pengolahan dan distribusi terhadap area
di sekitarnya. Fakta ini juga didukung oleh jumlah hotel pada tahun 2001
sebesar 91 unit menjadi 188 unit pada tahun 2010. Peranan sektor primer
seperti pertanian dan pertambangan/penggalian relatif kecil dan cenderung
25
stagnan selama 10 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar
mencapai dua dijit (Gambar 8) pada saat pesta demokrasi berlangsung yaitu
2004 (Pemilihan Legislatif) dan 2008 (Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan).
Gambar 7. Grafik pertumbuhan PDRB per sektor berdasarkan harga konstan di Kota Makassar (2001-2009).
Gambar 8. Tren pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di Kota Makassar (2001-2009)
0.000
500.000
1000.000
1500.000
2000.000
2500.000
3000.000
3500.000
4000.000
4500.000
5000.000
(Mily
ar R
upia
h)
PDRB Per Sektor Atas Dasar Harga Konstan di Makassar (2001-2009)
Pertanian
Pertambangan/Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air
Bangunan
Perdagangan/Restoran/Hotel
Angkutan dan Komunikasi
Bank dan Lembaga Keuangan
Jasa-Jasa
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
(%) 7.30 7.14 8.60 10.17 7.16 8.09 8.11 10.52 9.20
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Pert
umbu
han
Ekon
omi (
%)
Tren Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Konstan di Kota Makassar (2001-2009)
26
4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Wilayah
Dalam penelitian ini, infrastruktur dibagi ke dalam tiga bagian, yakni
pendidikan, kesehatan dan infrastruktur umum. Infrastruktur umum terdiri dari
sarana transportasi dan jalan, prasarana dan sarana utilitas pemukiman dan
perumahan, telekomunikasi dan informasi, sumber daya air, ketenagalistrikan.
Infastruktur pendidikan pada tahun 2010 di Kota Makassar, jumlah
Sekolah Dasar sebanyak 452 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.033 orang
dan jumlah murid sebanyak 144.499 orang. Jumlah SLTP sebanyak 179 unit
dengan jumlah guru sebanyak 4.268 orang dan jumlah murid sebanyak 61.107
orang. Jumlah SLTA 116 unit dengan jumlah guru sebanyak 5.595 orang dan
jumlah murid sebanyak 35.567 orang (BPS, 2011).
Infastruktur kesehatan pada tahun 2010 di Kota Makassar terdapat 16
Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah Sakit
Swasta serta 1 Rumah Sakit khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun
2010, dari 119 unit puskesmas dapat di kategorikan menjadi 38 puskesmas, 44
puskesmas pembantu dan puskesmas keliling 37 buah. Di samping sarana
kesehatan, ada sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter
praktek sebanyak 1.108 orang dan bidan praktek sebanyak 117 orang (BPS,
2011).
Ketersediaan fasilitas jalan mendorong terjadinya interaksi antar kawasan
dalam suatu wilayah. Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh fasilitas
jalan sebagai media interaksi antar sektor dan antar perumahan ke tempat
bekerja. Panjang dan fungsi jalan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 8
Tabel 8. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar
No Fungsi Jalan Panjang (km) 1 Arteri 76,52 2 Kolektor 380,93 3 Lokal 1120,88 4 Inspeksi Kanal 15,13
Jumlah 1.593,46 Sumber: BPS (2010)
Kondisi sarana dan prasarana jalan di Kota Makassar terdiri dari jalan
arteri, kolektor, lokal, dan inspeksi kanal. Berdasarkan aspek panjang jalan,
jalan lokal mendominasi fungsi jalan di Kota Makassar. Jalan kolektor dan arteri
27
merupakan fungsi jalan terpanjang kedua dan ketiga. Terakhir fungsi jalan
inspeksi kanal yang terpendek. Gambaran fungsi jalan dengan panjang jalan
tidak cukup memberikan informasi wilayah dalam melayani interaksi
masyarakatnya. Kondisi kualitas jalan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 9
Tabel 9. Panjang jalan (km) dirinci menurut kondisi jalan di Kota Makassar
Tahun Kondisi Jalan
Baik Sedang Rusak Ringan Rusak Berat 2001 1070,97 292,70 206,48 23,31 2005 121,13 215,24 149,69 15,19 2010 772,69 264,04 238,15 318,58 Sumber: BPS (2010)
Sumber air bersih yang digunakan oleh masyarakat Kota Makassar pada
saat ini berasal dari sumur, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan sumur
bor. Berdasarkan data dari PDAM Kota Makassar sampai dengan akhir tahun
2009 jumlah pelanggan PDAM Kota Makassar sebanyak 146.687 pelanggan,
dengan jumlah total air yang disalurkan sepanjang tahun 2009 sebanyak
38.825.667 m3. Persentase volume air terbesar yang disalurkan oleh PDAM
adalah pelanggan rumah tangga, persentasenya mencapai 81% dari persentase
keseluruhan, sedangkan yang lainnya merupakan pemakaian pelanggan dalam
bidang Bisnis, Industri, Pemerintah, Sosial, dengan masing-masing
persentasenya sebesar 9%, 1%, 5%, 4%. Gerak pembangunan di Kota Makassar tidak terlepas dari dukungan
sarana dan prasarana energi listrik dalam upaya mendorong pertumbuhan
perekonomiaan dan pembangunan lainnya. Energi listrik ini dipergunakan untuk
keperluan domestic dan industri. Berdasarkan data dari BPS Kota Makassar,
satu kantor cabang, empat kantor rayon, dua kantor sub ranting, dan satu listrik
desa yang melayani kebutuhan energi masyarakat, khususnya Kota Makassar.
Tahun 2009 energi yang terjual sebanyak 1.172.533.660 Kwh dengan daya yang
tersambung sebesar 559.639.875 VA. Jumlah pelanggan sebanyak 241.396
buah.
Sarana telekomunikasi di Kota Makassar berdasarkan data tahun 2009,
jumlah sambungan telepon kategori pelanggan 198.867, kategori line in service
sebanyak 199.443, kategori connected line sebanyak 295.210 dan telah mampu
menjangkau semua kecamatan yang ada di Kota Makassar. Pelayanan jasa
oleh Pos dan Giro melalui PT. Pos Indonesia sebanyak 32 unit dengan klasifikasi
28
1 unit Kantor Pos dan Giro Kelas II, 4 unit Kantor Pos dan Giro Kelas VII, 24 unit
Kantor Pos dan Giro Kelas X, tiga unit Kantor pos dan Giro Pembantu. Selain itu
sarana telekomunikasi yang dapat diakses oleh masyarakat yaitu melalui
penyediaan layanan seluler oleh beberapa provider yang mengembangkan
investasinya di Kota Makasar. Hal ini dapat diketahui dengan beroperasinya
tower seluler yang tersebar di 14 kecamatan di Kota Makassar.
4.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah
Kebijakan Perencanaan Ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota
Makassar No 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Makassar (2005 - 2015). Perencanaan pemanfaatan ruang akan dibagi menjadi
13 kawasan pengembangan terpadu dan tujuh kawasan pengembangan khusus.
Ketigabelas kawasan pengembangan terpadu terdiri dari: 1. Kawasan Pusat
Kota, yang berada pada bagian tengah Barat dan Selatan Kota mencakup
wilayah Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung
Tanah dan Tamalate; 2. Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada
bagian tengah pusat dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Manggala,
Panakukang, Rappocini dan Tamalate; 3. Kawasan Pelabuhan Terpadu, yang
berada pada bagian tengah Barat dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan
Ujung Tanah dan Wajo; 4. Kawasan Bandara Terpadu, yang berada pada bagian
tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Biringkanaya dan
Tamalanrea; 5. Kawasan Maritim Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota,
mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea; 6. Kawasan Industri Terpadu, yang
berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan
Tamalanrea dan Biringkanaya; 7. Kawasan Pergudangan Terpadu, yang berada
pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea,
Biringkanaya dan Tallo; 8. Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada
pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Panakukang,
Tamalanrea dan Tallo; 9. Kawasan Penelitian Terpadu, yang berada pada
bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tallo; 10. Kawasan
Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah
Kecamatan Tamalate; 11. Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada
bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 12. Kawasan
Bisnis dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota,
mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 13. Kawasan Bisnis Global Terpadu,
29
yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan
Mariso.
Tujuh kawasan pengembangan khusus terdiri dari: 1. Kawasan Khusus
Pariwisata Maritim, yang berada pada kepulauan Spermonde Makassar,
mencakup wilayah Kecamatan Ujung Pandang dan Ujung Tanah; 2. Kawasan
Khusus Pengembangan Sungai Tallo, yang berada sepanjang koridor Sungai
Tallo; 3. Kawasan Khusus Pengembangan Sungai Jeneberang yang berada
sepanjang koridor Sungai Jeneberang; 4. Kawasan Khusus Pengendalian Pantai
Makassar, yang berada sepanjang ±35 km pesisir pantai Makassar; 5. Kawasan
Khusus Konservasi Budaya, yang letak dan posisinya tersebar di beberapa titik
dalam wilayah Kota Makassar; 6. Kawasan Khusus Pusat Energi dan Bahan
Bakar Terpadu, yang letaknya berada di bagian Utara Kota (muara Sungai Tallo),
mencakup wilayah Kecamatan Tallo; 7. Kawasan Khusus Tempat Pembuangan
dan Pemrosesan Sampah Terpadu, berada pada Kecamatan Manggala.
Wilayah Peri-Urban Kota Makassar termasuk dalam 10 kawasan
pengembangan terpadu yaitu: permukiman terpadu (Manggala, Rappocini,
Tamalate), kawasan bandara terpadu, industri terpadu, dan pergudangan
terpadu (Biringkanaya, Tamalanrea), kawasan maritim terpadu dan pendidikan
terpadu (Tamalanrea), kawasan budaya terpadu, olah raga terpadu, bisnis dan
pariwisata terpadu (Tamalate). Dan lima kawasan pengembangan khusus yaitu
kawasan khusus pengembangan sungai Tallo (Biringkanaya, Tamalanrea, dan
Manggala), kawasan khusus pengembangan sungai Jeneberang (Tamalate),
kawasan khusus pengendalian Pantai Makassar ( Biringkanaya, Tamalanrea,
dan Tamalate), kawasan khusus konservasi budaya (tersebar di beberapa titik
dalam wilayah Kota Makassar), kawasan khusus tempat pembuangan dan
pemrosesan sampah terpadu (Manggala).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Makassar (2009-2014) tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor
6 Tahun 2009. Penyusunan RPJMD bertujuan merumuskan kebijakan dan
program pembangunan dengan mengakomodir berbagai kepentingan dan
aspirasi segenap lapisan masyarakat, sehingga lebih memantapkan pencapaian
Visi Pemerintah Kota Makassar Tahun 2014, yakni "Makassar Menuju Kota Dunia Berlandas Kearifan Lokal". Kebijakan dan sasaran prioritas
pembangunan dititikberatkan pada aspek: Kebijakan Peningkatan Kualitas
Manusia, Pengembangan Tata Ruang dan Lingkungan, Penguatan Struktur
30
Ekonomi, Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik dan Bebas
Korupsi, Penegakan Hukum dan Hak Azasi Manusia.
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010
Hasil interpretasi data citra satelit 2001, 2007, dan 2010 memberikan
gambaran distribusi penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar.
Klasifikasi penggunaan lahan terdiri dari Hutan (H), Tanaman Pangan Lahan
Basah (TPLB), Tanaman Pangan Kering (TPLK), Empang/Tambak (ET),
Perumahan/permukiman (PP), Industri (I), Bisnis (B), Tubuh Air (TA), dan
Penggunaan Lahan Lain (PLL). Sebaran penggunaan lahan diwilayah Peri-
Urban Kota Makassar pada tahun 2001, 2007, dan 2010 disajikan secara
berturut-turut pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.
Penggunaan lahan perumahan/permukiman merupakan kelas gabungan
areal perumahan/permukiman, perkantoran, rumah/toko, gedung olah raga,
rumah ibadah, dan sekolah/perguruan tinggi. Pola permukiman yang terlihat
mengelompok yaitu terdapat pada wilayah Kecamatan Rappocini dan sebagian
Kecamatan Tamalate (sebelah utara Sungai Jeneberang). Pola
perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea, dan
Kecamatan Biringkanaya cenderung mengelompok mengikuti jalan tetapi
menyebar pada area yang jauh dari jalan utama dan pusat kota. Kecenderungan
pola perumahan/permukiman yang menyebar terdapat di Kecamatan Tamalate
(Tanjung Bunga dan Barombong).
Areal pertanian terdiri dari TPLB dan TPLK. TPLB merupakan kelas
penggunaan lahan sawah sedangkan TPLK adalah kelas gabungan penggunaan
lahan tegalan, kebun campuran, lahan kosong, dan area berumput. TPLB di
wilayah penelitian cenderung mengelompok di Kecamatan Manggala dan
Tamalate. Pola TPLB yang menyebar terdapat di kecamatan Tamalanrea dan
Kecamatan Biringkanaya. Pola TPLK yang cenderung menyebar diantara
penggunaan lahan perumahan/permukiman lebih banyak dijumpai di Kecamatan
Manggala, Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya. TPLB
umumnya ditanami padi pada musim hujan sedangkan pada musim kering
ditanami kangkung dan bayam. Produktifitas tanaman padi di wilayah penelitian
adalah sekitar 5 ton/ha. Penggunaan lahan TPLK umumnya ditanami ubi kayu,
pisang, dan mangga. Komoditi ubi kayu dan pisang diolah menjadi keripik atau
dijual langsung ke pasar terdekat. Ubi kayu dan pisang diolah dengan industri
berbasis rumah tangga dan umumnya terdapat di Kecamatan Biringkanaya.
32
Gambar 9. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2001
32
32
Gambar 10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007
33
33
Gambar 11. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2010
34
35
Perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan matriks transisi
(Tabel 10 dan Tabel 11). Hasil tabulasi silang dua data penggunaan lahan
menyajikan informasi bentuk-bentuk perubahan penggunaan lahan. Analisis
perubahan penggunaan lahan terdiri dari dua periode yaitu tahun 2001 ke tahun
2007 dan tahun 2007 ke tahun 2010.
Tabel 10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007 (dalam ha)
D
a
r
i
2
0
0
1
Ke 2007
Penggunaan
Lahan H TA ET TPLB TPLK PP I B PLL
Jumlah
(2001)
Hutan 121,5 0,8 0,7 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 123,1
Tubuh Air 0,5 1063,8 2,3 2,0 51,0 29,0 2,9 9,0 3,7 1164,3
Empang/
Tambak
1,2 2,1 1702,1 0,7 110,7 11,5 25,8 6,9 4,9 1865,9
TPLB 0,0 145,7 0,0 2479,3 247,3 66,4 99,8 0,1 14,2 3052,7
TPLK 0,4 7,6 0,9 0,0 2471,0 325,4 52,8 27,4 10,3 2895,9
PP 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3816,9 0,5 3,3 2,2 3822,9
Industri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 316,0 0,0 0,0 316,3
Bisins 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 57,2 0,0 57,2
Penggunaan
Lahan Lain
0,0 0,1 0,0 0,0 1,2 3,3 0,4 0,1 249,2 254,3
Jumlah (2007) 123,5 1220,1 1706,0 2482,0 2881,3 4252,9 498,2 104,0 284,5 13552,4
Keterangan: H= Hutan; TA= Tubuh Air; ET= Empang/Tambak; TPLB= Tanaman Pangan Lahan Basah; TPLK= Tanaman Pangan Lahan Kering; PP= Perumahan/Permukiman; I= Industri; B= Bisnis; PLL= Penggunaan Lahan Lain.
Tabel 11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010 (dalam ha)
D
a
r
i
2
0
0
7
Ke 2010
Penggunaan
Lahan H TA ET TPLB TPLK PP I B PLL
Jumlah
(2010)
Hutan 123,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 123,5
Tubuh Air 0,0 1201,0 0,0 0,0 13,2 3,3 1,9 0,8 0,0 1220,1
Empang/
Tambak
0,0 0,0 1661,4 0,0 27,9 0,7 2,4 13,7 0,0 1706,0
TPLB 0,0 0,0 0,0 2433,9 29,4 13,4 5,3 0,0 0,0 2482,0
TPLK 0,5 0,0 0,0 0,0 2679,6 108,5 78,4 7,3 7,0 2881,3
PP 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4252,9 0,0 0,0 0,0 4252,9
Industri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 498,2 0,0 0,0 498,2
Bisinis 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 104,0 0,0 104,0
Penggunaan
Lahan Lain
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3,8 0,0 0,0 280,7 284,5
Jumlah (2007) 124,0 1201,0 1661,4 2433,9 2750,1 4382,6 586,1 125,7 287,7 13552,4
5.1.1. Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2001-2007
Tahap pertama perubahan penggunaan lahan adalah dari tahun 2001 ke
tahun 2007. Pada periode ini, perubahan penggunaan lahan Tanaman Pangan
36
Lahan Kering (TPLK) menjadi permukiman/perumahaman merupakan perubahan
paling tinggi di wilayah penelitian diikuti oleh lahan industri dan lahan bisnis.
Pola perubahan penggunaan lahan pada Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB)
maupun empang/tambak mempunyai karakter yang sama yaitu terkonversi
menjadi permukiman/perumahan, industri, dan bisnis. Perubahan penggunaan
lahan TPLB menjadi industri lebih tinggi dibandingkan empang/tambak. Proses
ini diduga terjadi karena biaya konstruksi pembangunan industri lebih murah
pada lahan TPLB dibandingkan empang/tambak. Kebutuhan volume bahan
timbunan dan material pondasi lebih besar pada lahan empang/tambak
dibanding TPLB. Dari sisi akses, letak TPLB dominan lebih berdekatan dengan
jalan tol dibanding empang/tambak. Variasi perubahan penggunaan lahan
pertanian juga terjadi pada lahan TPLB menjadi TPLK. Empang/tambak juga
mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi TPLK.
Pengembangan perumahan/permukiman terjadi di seluruh wilayah
penelitian. Hasil survei lapangan menyajikan informasi perubahan penggunaan
lahan TPLK menjadi Kantor Camat Biringkanaya, Perumahan Griya Mulya Asri,
Gedung Olah Raga Sudiang di Kecamatan Biringkanaya. Pembangunan
Jembatan Barombong (Kecamatan Tamalate) yang melintasi Sungai Jeneberang
menjadi langkah menghubungkan wilayah Kabupaten Takalar dengan Kota
Makassar dan menjadi salah satu pusat konversi lahan. Pengembangan area
perumahan/permukiman Tanjung Bunga (Kec. Tamalate) tidak lepas dari arah
pengembangan Kota Makassar yang didukung oleh pengembang PT. GMTDC
(Gowa Makassar Tourism Development).
Dukungan pengembangan kawasan tidak hanya pada pembangunan
sarana perumahan/permukiman tetapi juga dalam bisnis berbasis pariwisata.
Bentuk dukungan pengembangan di sektor bisnis adalah pembangunan Mall
Grade Trade Center (GTC) dan Rekreasi Pantai Tanjung Bayam dan Tanjung
Merdeka. Pengembangan area bisnis yang terdapat di Kecamatan Biringkanaya
adalah pembangunan Pusat Niaga Daya, Terminal Regional Daya (Relokasi
Terminal Darat Panaikang). Di Kecamatan Tamalanrea, bentuk pengembangan
sektor bisnis yaitu pembangunan Mall Makassar Town Square (MTos) dan mini
market yang terdapat di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan. TPLK yang
dikonversi menjadi area pengembangan lahan industri terdapat di Kecamatan
Biringkanaya. Hal ini dapat dipahami karena sebagian wilayah Kecamatan
Biringkanaya termasuk Kawasan Industri Makassar (KIMA). Area kawasan
37
industri yang dikelola perusahaan pemerintah yaitu PT. KIMA. Perusahan
pemerintah dengan komposisi saham Pemerintah Pusat (60%), Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan (30%), dan Pemerintah Kota Makassar (10%). PT.
KIMA mengembangkan bisnis utama yaitu penjualan tanah kapling industri,
penyewaan Bangunan Pabrik Siap Pakai (BPSP), dan penyewaan gudang.
Pengembangan area industri berupa perusahaan pengepakan dan pergudangan
yang berada diluar wilayah KIMA terdapat di sepanjang Jalan Tol Ir. Sutami.
Pembangunan Perumahan Villa Mutiara Timur merupakan bentuk
perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi Perumahan/permukiman. Proses
ini dimulai dengan perubahan TPLB menjadi TPLK. Perubahan TLPB menjadi
TPLK di sekitar area Pembangunan Villa Mutiara Timur menjadi indikasi adanya
praktik pengeringan sawah. Isu lapangan yang ditemukan pada wilayah
kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea menyajikan informasi bahwa sawah
tidak dapat dikelola karena tidak ada sumber air untuk pengairan. Praktik
perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK di Kecamatan Tamalate,
Rappocini, dan Manggala mempunyai pola yang berbeda dibandingkan
Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea. Pembentukan TPLK
merupakan hasil penimbunan TPLB. Penimbunan tubuh air (Gambar 13 kiri) dan
empang/tambak (Gambar 12 kanan) dapat dijumpai di Kecamatan Rappocini
dan Tamalate.
Hasil analisis matriks transisi (Tabel 10) menyajikan informasi yang tidak
logis yaitu perubahan TPLB menjadi Tubuh air. Hal ini diduga karena TPLB
yang ditelantarkan sehingga permukaan badan sawah dan pematang tertutupi
oleh rumput. Selain warna/rona, TPLB diinterpretasi dari segi bentuk (kotak) dan
ukuran (lebar pematang sawah). Proses interpretasi obyek menjadi sulit karena
kondisi obyek yang tertutupi rumput dengan latar belakang air. Namun demikian,
hal tersebut dapat pula diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi obyek
untuk ekstraksi informasi penggunaan lahan dari data penginderaan jauh atau
kondisi tubuh air temporer pada saat perekaman citra.
5.1.2. Perubahan Penggunan Lahan Periode Tahun 2007-2010
Tahap kedua perubahan penggunaan lahan pada data penggunaan lahan
2007 dan penggunaan lahan 2010. Hasil analisis matriks transisi (Tabel 11)
menyajikan informasi bahwa tekanan perubahan penggunaan lahan TPLK
menjadi perumahan/permukiman merupakan tekanan yang paling tinggi, diikuti
oleh industri, dan bisnis. Pola perubahan penggunaan lahan mempunyai
38
karakter yang berbeda dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan
periode pertama. Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi
perumahan/permukiman lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan
empang/tambak. Penggunaan lahan empang/tambak menjadi bisnis diketahui
lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan TPLB. Namun demikian,
pada tahap ini tidak terjadi perubahan penggunaan lahan TLPB menjadi bisnis.
Penggunaan lahan TPLB dan empang/tambak mendapat tekanan menjadi
TPLK, walaupun memiliki kondisi cenderung menurun dari sisi luasan
dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan periode pertama.
Pola perubahan penggunaan lahan di wilayah studi dimulai dari konversi
TPLB, empang/tambak menjadi TPLK. Tahap akhir dari perubahan penggunaan
lahan dari TPLK adalah menjadi perumahan/permukiman, industri, dan bisnis
(Gambar 12). Matriks transisi menunjukkan adanya konversi TPLK menjadi area
bisnis yaitu SPBU Pertamina Pintu I & Pintu II Unhas, Pasar Sentral Bumi
Tamalanrea Permai di Kecamatan Tamalanrea. Pembangunan
perumahan/permukiman dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan
kebutuhan rumah untuk pekerja di Kawasan Industri Makassar (KIMA), pondokan
bagi mahasiswa dan pekerja sektor bisnis, serta kebutuhan perumahan bagi
masyarakat umum. Tekanan terhadap TPLK (kebun campuran dan tanah
terbuka) untuk pembangunan perumahan/permukiman juga diteliti oleh Preinz
dan Treitz (2004) di Kawasan Perkotaan Manado. Pembangunan
perumahan/permukiman dan industri dengan mengkonversi TPLK ditemukan
oleh Trisasongko (2009) di sekitar Jalur Tol Cikampek.
Gambar 12. Empang/tambak yang dikelilingi Industri di Kecamatan Biringkanaya (kiri), Perumahan/Permukiman yang mengelilingi sawah (TPLB) di Kecamatan Manggala (tengah), dan Bisnis yang dikelilingi TPLK dari hasil penimbunan empang/tambak di Kecamatan Tamalate (kanan).
39
Arahan RTRW Kota Makassar 2005-2015 mengalokasikan TPLB untuk
pengembangan permukiman terpadu. Perubahan penggunaan lahan TPLB
menjadi perumahan/permukiman dan industri terdapat di wilayah penelitian pada
periode ini, yang menunjukkan bahwa proses konversi telah berjalan dalam
waktu yang lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Proses konversi TPLB
menjadi perumahan/permukiman atau industri terjadi melalui proses antara yaitu
pengeringan atau penimbunan TPLB menjadi TPLK. Praktik konversi TPLB
menjadi perumahan/permukiman atau industri melanggar amanah Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Konversi lahan ini tidak hanya dijumpai pada sawah, tetapi juga
terjadi pada tambak yang dahulu banyak dijumpai di wilayah studi.
Pembangunan Trans Studio di Kecamatan Tamalate merupakan bentuk konversi
empang/tambak menjadi bisnis. Proses konversi empang/tambak menjadi bisnis
dimulai dari penimbunan lahan.
Umumnya penggunaan lahan tubuh air jarang terkonversi menjadi
penggunaan lahan pertanian atau non pertanian. Namun demikian, hal ini tidak
terjadi di Makassar. Desakan terhadap penggunaan lahan tubuh air terjadi di
wilayah penelitian baik untuk kepentingan pertanian maupun non pertanian.
Perubahan penggunaan lahan yang dominan pada tubuh air adalah menjadi
penggunaan lahan pertanian (Tanaman Pangan Lahan Kering) dan lahan non
pertanian (Perumahan/Permukiman). Konversi tubuh air pada periode 2001 ke
2007 diketahui lebih tinggi dibanding rentang waktu 2007 ke 2010. Hasil survei
lapangan (Gambar 13) menunjukkan bahwa bentuk tubuh air yang dikonversi
adalah rawa.
Gambar 13. Hasil konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi TPLK dan
Perumahan/Permukiman di Kecamatan Rappocini (kiri) dan proses awal konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi Perumahan/Permukiman di Kecamatan Tamalanrea (kanan).
Fenomena perubahan penggunaan lahan diduga terjadi karena adanya
perubahan nilai lahan dari aspek produktivitas penggunaan lahan dan
40
aksesibilitas. Pergeseran penggunaan lahan ke arah yang lebih produktif
didorong oleh tersedianya aksesibilitas dan dukungan kebijakan pemerintah.
Produktivitas industri, permintaan perumahan/permukiman, dan permintaan area
bisnis yang tinggi mendorong konversi lahan pertanian menjadi non pertanian.
Pertambahan penduduk Peri-urban dan arah kebijakan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar 2005-2015 menjadi faktor yang mendorong terjadinya
konversi lahan pertanian. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian Trisasongko et al.
(2009) di sepanjang tol Cikampek bahwa kebijakan perencanaan ruang ikut
mendorong konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Dampak konversi
lahan pertanian adalah fragmentasi lahan baik fisik maupun kepemilikan. Skala
usaha pertanian menjadi menurun yang berdampak pada menurunnya peluang
pendapatan masyarakat di sektor pertanian. Ruswandi et al. (2007) memperkuat
pernyataan tersebut bahwa konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan
meningkatkan peluang terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani.
Fenomena tersebut diidentifikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan
garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya peningkatan
pendapatan nonpertanian.
Pemenuhan kebutuhan manusia dan arah kebijakan pembangunan
mendorong proses perubahan penggunaan lahan. Pembangunan
perumahan/permukiman, industri, dan bisnis menjadi fokus utama dalam kajian
ini. Pemilihan ketiga penggunaan lahan didasarkan pada pertambahan jumlah
penduduk peri urban yang berada di atas rata-rata kota, besarnya peranan
sektor industri, dan sektor perdagangan/hotel/restoran. Pemenuhan kebutuhan
perumahan/permukiman masih mendominasi perubahan penggunaan lahan di
wilayah peri urban Kota Makassar. Penggunaan lahan perumahan/permukiman
seluas 3.822,9 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 4.382,6 ha pada tahun
2010. Permintaan lahan untuk industri berada di urutan kedua, diikuti
penggunaan lahan untuk bisnis. Penggunaan lahan industri seluas 316,3 ha
pada tahun 2001 meningkat menjadi 586.1 ha pada tahun 2010. Lahan bisnis
seluas 57,2 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 125,7 ha pada tahun 2010.
Perubahan penggunaan lahan didahului oleh pengalihan kepemilikan
lahan. Isu lapangan yang ditemukan adalah bahwa pengalihan kepemilikan
lahan terjadi karena kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Tingginya beban pajak lahan (tambak di sekitar jalan tol),
kebutuhan uang tunai (menikahkan anak, renovasi rumah tinggal, dan biaya
41
ibadah haji), dan pemilik lahan yang tinggal dan menetap di luar Sulawesi
Selatan merupakan faktor utama pemicu alih kepemilikan lahan di wilayah
penelitian. Hasil kajian Nurmani (2007) menemukan bahwa penggunaan lahan
berupa industri dan perdagangan & jasa memberikan pengaruh terhadap pajak
lahan. Dari aspek penggunaan lahan, terdapat perbedaan yang cukup besar
antara nilai land rent non pertanian dan pertanian. Nilai land rent dapat
dipertimbangkan sebagai dasar untuk menetapkan pajak lahan. Lebih lanjut
Nurmani (2007) mengemukakan bahwa land rent tinggi belum tentu diikuti
dengan pajak lahan yang tinggi.
5.2. Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan
Analisis fragmentasi penggunaan lahan perkotaan dilakukan pada
penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis sebagai pola
penggunaan lahan utama pada wilayah urban atau wilayah yang menuju ke
struktur urban. Pola aktivitas manusia dalam memanfaatkan ruang dapat
terindentifikasi dari analisis fragmentasi penggunaan lahan. Gambaran tipe
fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis
tersaji pada Tabel 12
Tabel 12. Luas (ha) tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan di wilayah peri urban Kota Makassar
No Penggunaan Lahan
Tipe Fragmentasi
Tahun Periode
2001 2007 2010 2001-2007 2007-2010
1 Perumahan/ Permukiman
Core 2437.3 2700.9 2782.0 + + Patch 82.5 102.8 107.0 + + Edge 1202.9 1295.6 1314.2 + + Perforated 138.9 153.6 147.3 + -
2 Industri
Core 181.2 286.7 360.0 + + Patch 2.4 4.1 2.0 + - Edge 135.3 206.5 218.7 + + Perforated 0.4 0.9 1.3 + +
3 Bisnis
Core 29.0 50.7 62.4 + +
Patch 2.7 4.3 5.1 + +
Edge 26.3 49.1 58.2 + +
Perforated 0.0 0.0 0.0 0 0 Keterangan : (+) Bertambah, ( - ) Berkurang, ( 0 ) Tetap.
Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Perumahan/Permukiman
Tabel 12 menunjukkan bahwa tiga tipe fragmentasi penggunaan lahan
perumahan/permukiman, yaitu core, patch, dan edge mengalami peningkatan
42
luasan pada dua periode pengamatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa peri urban
Makassar merupakan wilayah yang sangat dinamis berubah, tidak hanya dari
segi luasan tetapi juga dari proses yang kompleks. Peningkatan luasan ketiga
tipe fragmentasi diartikan sebagai perkembangan perumahan/permukiman
perkotaan yang sprawl. Hal ini sesuai pendapat Hurd et al. (2006) bahwa
indikasi sprawl adalah terjadinya peningkatan luasan tipe core yang didukung
oleh peningkatan luasan tipe patch. Urban sprawl adalah perkembangan area
periferi yang bergerak ke arah menjauhi pusat kota (Martinuzzi et al. 2007).
Tipe perforated mengalami peningkatan luasan pada periode pertama
tetapi terjadi penurunan luasan pada periode kedua. Peningkatan luasan tipe
perforated menjadi indikasi kuat mulai terjadinya isolasi lahan non
perumahan/permukiman oleh penggunaan lahan perumahan/permukiman.
Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh peningkatan luas tipe
perforated. Penurunan luasan tipe perforated menandakan konversi
penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman telah sangat berkembang,
dengan kemungkinan segera menuju ke tahap leveling off dengan laju
perubahan yang semakin menurun karena tidak adanya lahan yang dikonversi
(Gambar 14). Survei lapangan menguatkan fenomena tersebut bahwa
pembangunan perumahan/permukiman didahului dengan mengisolasi
penggunaan lahan non perumahan/permukiman.
Gambar 14. Perubahan tipe perforated perumahan/permukiman tahun 2001 (a) dan 2007 (b) menjadi tipe core perumahan/permukiman tahun 2010 (c).
Fenomena urban sprawl membawa dampak negatif khususnya dari aspek
mobilitas. Zhao (2010) mengungkapkan dua dampak negatifnya. Pertama:
meningkatnya kebutuhan untuk jarak perjalanan yang panjang antara pusat kota
dan area sub-urban. Kedua: menghasilkan masalah yang berhubungan dengan
penyediaan transportasi publik dan meningkatnya kebutuhan perjalanan oleh
kendaraan pribadi. Menurut Habibi dan Asadi (2011), beberapa faktor penting
a b c
43
penyebab urban sprawl adalah pertumbuhan penduduk dan pendapatan, harga
lahan dan akses penyediaan perumahan yang murah, beberapa pertimbangan
terkait sistem transportasi yang murah, pusat pelayanan baru untuk melayani
daerah pinggiran kota, infrastruktur, subsidi dan pelayanan publik. Poelmans et
al. (2009) menambahkan bahwa faktor yang penting menentukan pola urban
sprawl yaitu aksesibilitas dan interaksi dengan wilayah tetangga.
Kebijakan Pemerintah Kota Makassar yang terkait penataan ruang
tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar No. 6 Tahun 2006 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (2005-2015). Arahan
pengembangan Kawasan Permukiman Terpadu terdapat di Kecamatan
Manggala, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Tamalate. Perkembangan
perumahan/permukiman terjadi pada seluruh wilayah penelitian. Fenomena ini
dapat dijadikan indikasi adanya perbedaan perencanaan yang disusun oleh
pemerintah dengan orientasi masyarakat. Perbedaan kebijakan pemerintah
dengan orientasi masyarakat terkait arahan pemanfaatan ruang juga ditemukan
oleh Huang et al. (2009) di Taipei Taiwan. Peningkatan luas
perumahan/permukiman di Makassar tidak lepas dari pertambahan jumlah
penduduk. Jumlah penduduk keseluruhan di lima kecamatan pada tahun 2001
sebanyak 521.908 jiwa. Jumlah penduduk Makassar meningkat menjadi
597.335 jiwa pada tahun 2006 dan menjadi 709.977 jiwa pada tahun 2010.
Kecenderungan para migran memiliki rumah tinggal permanen di wilayah
perkotaan mendorong meningkatnya kebutuhan perumahan/permukiman. Nilai
yang dianut masyarakat migran akan meningkatnya kelas sosial adalah jika
memiliki rumah di perkotaan sehingga mendorong tingginya permintaan
perumahan/permukiman. Dari aspek ekonomi, investasi di sektor
perumahan/permukiman mempunyai risiko kerugian yang rendah. Nilai investasi
perumahan/permukiman mengalami kenaikan seiring perkembangan waktu.
Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Industri
Penggunaan lahan industri pada tiga seri pengamatan mengalami
pertambahan luasan untuk tiga tipe fragmentasi, yaitu core, edge, dan
perforated. Tipe core industri mengalami pertambahan luasan. Hal ini
menunjukkan bahwa kawasan industri tumbuh cukup pesat di wilayah studi.
Pola peningkatan luasan tipe core diikuti oleh tipe edge dan perforated.
Peningkatan luasan tipe edge merupakan dampak meningkatnya luasan tipe
core yang tidak tertata baik dalam satu kawasan khusus. Peningkatan luasan
44
tipe perforated menjadi indikasi pembangunan industri yang mengisolasi
penggunaan lahan non industri. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa
penggunaan lahan di sekitar industri adalah TPLB, TPLK, Tubuh Air (Rawa), dan
Empang/Tambak. Pembentukan patch-patch industri pada periode 2001-2007
dan penurunan luasan pada periode 2007-2010 menjadi indikasi adanya
aglomerasi industri. Menurut Rustiadi et al. (2009), aglomerasi disebabkan oleh
adanya kerjasama untuk memanfaatkan skala ekonomi atau untuk penghematan
biaya transportasi. Lin dan Ben (2009) menambahkan bahwa aglomerasi industri
menawarkan banyak keuntungan dan industri yang selaras dengan aglomerasi
akan menarik banyak perusahaan karena mampu mendapat manfaat ekonomi.
Aglomerasi industri ditemukan di sepanjang Jalan Tol Ir. Sutami, sebagai sarana
jalan tol yang menjadi akses utama dari luar Kota Makassar menuju Pusat Kota
Makassar, Pelabuhan Soekarno Hatta, dan Pusat Bisnis Panakukkang. Arahan
pemanfaatan ruang untuk Pengembangan Industri Terpadu dan Pergudangan
Terpadu terdapat di wilayah Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan
Tamalanrea. Pertambahan areal industri terdapat di lokasi yang sesuai dengan
RTRW Kota Makassar 2005-2015.
Pembangunan area industri yang cenderung meningkat tidak lepas dari
arahan pembangunan wilayah Kota Makassar. Sektor industri menjadi sektor
kedua dalam menopang PDRB Kota Makassar setelah sektor
perdagangan/restoran/hotel. Area industri tahun 2001 adalah seluas 319,16 ha
dan meningkat menjadi 498,15 ha pada tahun 2007. Pertambahan luas area
industri diiringi oleh meningkatnya PDRB Kota Makassar (harga konstan) dari Rp
1.198.574.000.000,- pada 2001 menjadi Rp 2.756.584.000.000,- pada tahun
2007. Area industri tahun 2007 meningkat dari 489,15 ha menjadi 582,00 ha
pada tahun 2010. Pertambahan luas area industri diiringi oleh meningkatnya
PDRB Kota Makassar (harga konstan) sebesar Rp 2.756.584.000.000,- pada
2007 menjadi Rp 3.134.152.000.000,- pada tahun 2010. Peranan sektor industri
pengolahan di Kota Makassar sebesar 20,74% dari PDRB Kota Makassar (BPS,
2011).
Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Bisnis
Perbedaan pola perubahan nilai tipe fragmentasi ditemukan pada
penggunaan lahan bisnis. Ketiga tipe fragmentasi mengalami peningkatan
luasan yaitu core, patch, dan edge. Peningkatan luasan tipe core dan tipe edge
menandakan bahwa terbentuknya core baru diikuti juga oleh terbentuknya tipe
45
edge. Kecenderungan yang sama terjadi pada tipe patch. Ketiga fenomena
peningkatan tipe fragmentasi bisnis mengindikasikan berkembangnya area bisnis
secara sprawl. Perbedaan mendasar dari dua penggunaan lahan sebelumnya
adalah bahwa pembangunan area bisnis tidak mengisolasi penggunaan lahan
non bisnis. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya tipe perforated pada
analisis fragmentasi penggunaan lahan bisnis dari tahun 2001, tahun 2007, dan
tahun 2010.
Wilayah Kecamatan Tamalate menjadi arahan pemanfaatan untuk
Pengembangan Kawasan Bisnis Global Terpadu, Kawasan Bisnis Pariwisata
Terpadu, dan Kawasan Bisnis Olah Raga Terpadu. Pembangunan Mall GTC,
Wisata Pantai (Akkarena, Tanjung Merdeka,Tanjung Bayam, dan Barombong),
dan Trans Studio adalah bentuk dukungan pemerintah dalam menciptakan daya
tarik sektor bisnis di Kota Makassar. Tetapi perkembangan area bisnis terjadi
secara tidak teratur di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan (Kecamatan
Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea). Peningkatan kualitas jalan sebagai
sarana aksesibilitas utama diduga mendorong berkembangnya area-area bisnis
di wilayah penelitian. Hal ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Poelmans dan Romapey (2009) dan Habibi dan Asadi (2012). Fenomena ini
berdampak pada bertambahnya waktu tempuh ke pusat kota akibat kemacetan.
Arus kendaraan yang mengalami kemacetan khususnya terjadi di depan
Makassar Town Square (MTos).
Penggunaan lahan bisnis terdiri dari pasar tradisional, pusat niaga, mini
market, mall, SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), hotel, dan tempat
rekreasi. Sektor bisnis merupakan wujud dari sektor perdagangan, hotel, dan
restoran. Sektor tersebut menjadi komponen utama dalam menopang
pertumbuhan ekonomi Kota Makassar. Peranan sektor perdagangan/hotel/dan
restoran dalam PDRB Kota Makassar adalah sebesar 28,71%. Pembangunan
mall dan mini market berkembang mengikuti jalan di wilayah Kecamatan
Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea, walaupun ruang fasilitas bisnis sudah
disediakan oleh pemerintah. Pembangunan Pusat Niaga Daya di Kecamatan
Biringkanaya dan Pasar Sentral BTP (Bumi Tamalanrea Permai) di Kecamatan
Tamalanrea merupakan bentuk penyediaan sarana bisnis oleh pemerintah Kota
Makassar. Fenomena ini memberikan gambaran lemahnya pengawasan
pemerintah terkait pengendalian pemanfaatan ruang.
46
Proses fragmentasi penggunaan lahan utama berdasarkan letak
administrasi di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 13. Tipe perforated untuk
penggunaan lahan perumahan/permukiman di wilayah studi mengalami
peningkatan luasan pada periode pertama tetapi terjadi penurunan luasan pada
periode kedua, kecuali Kecamatan Biringkanaya. Nilai perforated di Kecamatan
Biringkanaya mengalami peningkatan luasan baik periode pertama maupun
kedua. Peningkatan luasan tipe perforated mengindikasikan bahwa proses
fragmentasi lahan sangat intensif di Kecamatan Biringkanaya dibandingkan
empat kecamatan lainnya di wilayah studi. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya
perumahan baru di sekitar Gedung Olah Raga Sudiang dan Rumah Sakit
Sayang Rakyat. Tipe perforated untuk penggunaan lahan industri hanya
ditemukan di Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea. Dua
periode pengamatan menyajikan pola perubahan nilai luasan yang berbeda.
Proses fragmentasi lahan masih berlangsung di Kecamatan Biringkanaya
sedangkan di Kecamatan Tamalanrea baru mulai berkembang yang ditandai
oleh munculnya tipe perforated pada periode kedua. Tipe perforated
penggunaan lahan bisnis tidak ditemukan di lima kecamatan wilayah studi.
Tabel. 13. Luas (ha) tipe fragmentasi perforated pada penggunaan lahan utama di wilayah peri urban Kota Makassar
No Kecamatan Penggunaan Lahan Tahun Periode 2001 2007 2010 2001-2007 2007-2010
1 Biringkanaya Perumahan/Permukiman 5,8 8,2 8,3 + + Industri 0,4 0,9 0,9 + 0 Bisnis 0,0 0,0 0,0 0 0
2 Tamalanrea Perumahan/Permukiman 9,9 11,0 10,6 + - Industri 0,0 0,0 0,4 0 + Bisnis 0,0 0,0 0,0 0 0
3 Manggala Perumahan/Permukiman 13,1 15,3 13,1 + - Industri 0,0 0,0 0,0 0 0 Bisnis 0,0 0,0 0,0 0 0
4 Rappocini Perumahan/Permukiman 68,5 71,9 68,6 + - Industri 0,0 0,0 0,0 0 0 Bisnis 0,0 0,0 0,0 0 0
5 Tamalate Perumahan/Permukiman 41,5 47,2 45,6 + - Industri 0,0 0,0 0,0 0 0 Bisnis 0,0 0,0 0,0 0 0
Keterangan: (+) Bertambah, ( - ) Berkurang, ( 0 ) Tetap.
47
Perkembangan area perumahan/permukiman, industri, dan bisnis
(Gambar 15) seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam menyusun
perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
perkotaan. Dampak jangka panjang dari perkembangan kota yang tidak
terkendali adalah perubahan iklim mikro. Tokairin et al. (2010) menemukan
adanya peningkatan rata-rata suhu udara di Jakarta akibat perubahan
penggunaan lahan menjadi area terbangun menggunakan model meteorologi
mesoscale. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kenyamanan tinggal dalam
wilayah urban tersebut.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Landscape Fragmentation Analysis
(LFA) mampu dimanfaatkan dalam mengkaji proses fragmentasi dan perubahan
penggunaan lahan di wilayah studi. Namun demikian, perubahan penggunaan
lahan dengan pendekatan analisis fragmentasi penggunaan lahan perlu didalami
dengan menganalisis aktor perubahan penggunaan lahan, terutama berdasarkan
etnis/suku dan tingkat pendidikan.
5.3. Aktor Perubahan Penggunaan Lahan
Hasil survei lapangan dengan metode sampling transek 8 arah
menggunakan GPS (Global Positioning System) menyajikan distribusi responden
di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Lima jalur pengambilan sampel dari pusat
kota ditetapkan pada penelitian ini dengan total jumlah sampel adalah 72
responden. Responden terdiri dari pemilik lahan dan responden yang
mengetahui informasi penggunaan lahan yang dilewati oleh jalur pengambilan
sampel (Gambar 16). Jumlah titik pengambilan sampel yang melewati lima jalur
sebanyak 62 responden. Sepuluh responden lainnya terdiri dari lima responden
di kantor camat dan lima responden diambil secara acak diantara lima jalur
Gambar 15. Perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala (kiri), Industri di Kecamatan Tamalanrea (tengah), dan Bisnis di Kecamatan Tamalate (kanan).
48
pengambilan sampel. Perubahan penggunaan lahan terjadi atas kendali aktivitas
manusia menjadi pusat perhatian dalam bagian ini. Hubungan perubahan
penggunaan lahan dengan aktor perubahan penggunaan lahan ditelaah
menggunakan analisis deskriptif.
Gambar 16. Status responden terhadap lahan di titik wawancara.
Data ini menyajikan informasi status responden terhadap lahan di titik-titik
wawancara. Distribusi responden menyajikan informasi bahwa pemanfaatan
sumberdaya lahan di wilayah peri-urban sebagian dilakukan untuk aktifitas
pemiliknya sehari-hari dan sebagian lagi untuk kepentingan investasi. Dari 72
titik pengambilan sampel, terdapat 18 titik responden dengan status bukan
pemilik lahan yang berada pada penggunaan lahan pertanian.
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Berbasis Etnis/Suku
Etnis/suku yang diasumsikan berperan dalam perubahan penggunaan
lahan terlihat bersifat heterogen (Gambar 17). Pola distribusi sampel etnis/suku
cenderung mengelompok pada lokasi yang jauh dari pusat kota. Tingginya
keragaman etnis/suku dipicu oleh migrasi masyarakat luar Sulawesi ke Kota
Makassar. Pola distribusi sampel yang mengelompok menjadi indikasi
ketidaktergantungan suatu kelompok etnis/suku terhadap jarak ke pusat kota.
Namun demikian, dalam penelitian ini pola etnis/suku yang mengelompok di
wilayah peri urban Kota Makassar tidak dikuatkan oleh sampel di kecamatan
tetangga yang berbatasan dengan Kota Makassar, mengingat keterbatasan
ruang lingkup penelitian. Wilayah sampling hanya dilakukan pada lima
kecamatan di Kota Makassar.
Gambar 17 menyajikan informasi pola distribusi sampel di wilayah
penelitian. Kecenderungan sampel yang mengelompok terdapat pada wilayah
yang jauh dari pusat kota. Faktor etnis/suku yang masih cenderung berkelompok
adalah Makassar dan Tionghoa, serta fasilitas Milik Pemerintah. Etnis/suku yang
Pemilik Lahan 58%
Bukan Pemilik Lahan 42%
Status Responden
49
mengelompok secara spasial berada pada bagian Timur Laut, Tenggara, dan
Selatan. Kecenderungan untuk mengelompok bagi etnis/suku Makasar terdapat
pada arah transek arah Timur Laut dan Tenggara. Etnis/suku yang cenderung
mengelompok di arah selatan yaitu Tionghoa. Fenomena ini dapat dijadikan
indikasi adanya ekspansi penguasaan lahan oleh etnis/suku Tionghoa. Wilayah
ini merupakan kawasan pengembangan bisnis di Kota Makassar. Etnis/suku
yang lain terdistribusi pada lima jalur transek.
Informasi distribusi responden berdasarkan etnis suku secara proporsional
disajikan pada Gambar 18. Distribusi responden memperlihatkan tidak adanya
salah satu etnis/suku yang dominan dalam fragmentasi maupun konversi lahan.
Gambaran distribusi responden dapat dijadikan indikasi tingkat heterogenitas
masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan. Komposisi masyarakat yang
beragam menyajikan informasi terkait karakter masyarakat yang sifatnya terbuka.
Orientasi berbagai etnis/suku dapat digambarkan dari hubungan antara aktor dan
pola perubahan penggunaan lahan. Namun demikian kajian ini membatasi diri
pada kecenderungan aktor perubahan penggunaan lahan dengan identitas
etnis/suku. Distribusi aktor perubahan penggunaan lahan tersaji pada Gambar
19.
Gambar 19 menunjukkan bahwa semua etnis/suku berkontribusi dalam
perubahan penggunaan lahan. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan
menyajikan informasi bahwa tidak ada etnis/suku yang dominan melakukan
perubahan penggunaan lahan. Namun demikian, etnis/suku Tionghoa dan Bugis
cenderung memiliki kontribusi lebih tinggi dari sisi proporsi diikuti etnis/suku
Makassar, Non-Etnis/suku (Milik Pemerintah), dan etnis/suku lainnya seperti
Toraja dan dari luar Sulawesi. Kejadian sengketa lahan mempunyai proporsi
yang setara dengan etnis/sukToraja dan etnis/suku dari Luar Sulawesi. Hasil
wawancara di lapangan menemukan informasi bahwa sengketa lahan umumnya
terjadi antara sesama etnis/suku Makassar. Sengketa lahan muncul saat
etnis/suku lain, utamanya Tionghoa, bersedia membeli lahan tersebut. Titik lahan
sengketa cenderung terfokus pada wilayah dengan perubahan penggunaan
lahan empang/tambak menjadi TPLK. Kejadian sengketa lahan umumnya
terdapat di wilayah Kecamatan Tamalate, yang merupakan kawasan
pengembangan bisnis di Kota Makassar.
50
Gambar 17. Peta titik responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku
di wilayah peri urban Kota Makassar.
Gambar 18. Distribusi responden perubahan penggunaan lahan berbasis
etnis/suku.
Non-Etnis/suku (Pemerintah)
22%
Makassar 31% Bugis
15%
Toraja 4%
Tionghoa 20%
Bima 2%
Jawa 4% Batak
1%
Sengketa 1%
Etnis/suku Responden
51
Gambar 19. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan
berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar.
Perubahan penggunan lahan pada periode tahun 2001 ke tahun 2010
memperlihatkan bahwa semua etnis/suku berperan menjadi aktor perubahan
penggunaan lahan. Konversi penggunaan lahan pertanian menjadi non
pertanian dilakukan oleh berbagai etnis/suku yang bermukim di Kota Makassar.
Orientasi perubahan penggunaan lahan khususnya untuk kepentingan
perumahan/permukiman, industri, dan bisnis.
Tabel 14 menyajikan informasi kecenderungan etnis/suku melakukan
perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dominan terjadi
pada jalur 1, jalur 5, dan pengambilan sampel acak. Pembangunan sarana
industri umumnya dilakukan oleh etnis/suku Tionghoa pada jalur 1. Bentuk
sarana industri yang dibangun adalah pabrik pengepakan dan gudang hasil
bumi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebutuhan padat modal yang hanya
dimiliki oleh beberapa kalangan tertentu. Orientasi pengadaan sarana bisnis
ditemukan pada jalur 5. Etnis/suku dari Luar Sulawesi merupakan aktor yang
mendominasi perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan pembangunan
sarana bisnis. Bentuk sarana bisnis yang telah dibangun saat ini adalah Mall
GTC dan Trans Studio. Satu titik pada jalur ini menjadi lahan sengketa antara
sesame etnis/suku Makassar pada saat dilakukan survei lapangan. Lahan
sengketa tersebut merupakan konversi empang/tambak menjadi TPLK.
Perubahan penggunaan lahan juga dilakukan oleh pemerintah, yaitu untuk
penyediaan sarana pelayanan publik. Pembangunan Kantor Camat Biringkanaya
dan Kantor Camat Tamalate adalah beberapa contoh bentuk pengadaan sarana
Non-Etnis/suku(Pemerintah)
14%
Makassar 14%
Bugis 22%
Toraja 7%
Tionghoa 22%
Luar Sulawesi
14%
Sengketa 7% Aktor Perubahan Penggunaan Lahan
52
pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Visualisasi perubahan
penggunaan lahan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 20.
Tabel 14. Aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah Peri-urban Kota Makassar
Kode Sampel
Penggunaan Lahan 2001
Penggunaan Lahan 2007
Penggunaan Lahan 2010 Jalur Aktor
(Etnis/suku)
3 TPLK Industri Industri 1 Tionghoa
13 TPLB TPLB Perumahan/Permukiman 1 Makassar
14 TPLB TPLK TPLK 1 Tionghoa
16 TPLB Industri Industri 1 Tionghoa
26 TPLK Bisnis Bisnis 2 Bugis
46 Tubuh Air Bisnis Bisnis 4 Bugis
56 Empang/Tambak Empang/Tambak Bisnis 5 Luar Sulawesi 58 Empang/Tambak Bisnis Bisnis 5 Luar Sulawesi
59 Empang/Tambak TPLK TPLK 5 Sengketa (Makassar-Makassar)
61 TPLK Bisnis Bisnis 5 Makassar
63 TPLK Perumahan/Permukiman Perumahan/Permukiman Acak Non-etnis/suku (Pemerintah)
67 TPLK TPLK Perumahan/Permukiman Acak Non etnis/suku (Pemerintah)
68 TPLK Perumahan/Permukiman Perumahan/Permukiman Acak Toraja
71 TPLB TPLK Perumahan/Permukiman Acak Bugis
Gambar 20. Pabrik pengepakan di Kecamatan Tamalanrea (kiri atas), Pergudangan hasil bumi di Kecamatan Biringkanaya (kiri bawah), Trans Studio dan Mall GTC di Kecamatan Tamalate (tengah atas bawah), Kantor Camat Biringkanaya (kanan atas), dan Kantor Camat Tamalate (kanan bawah).
53
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Berbasis Tingkat Pendidikan
Penggalian informasi tentang tingkat pendidikan pemilik lahan di lapangan
pada umumnya menemui kendala akibat separuh responden yang ditemui bukan
merupakan pemilik lahan. Responden yang ditemui mempunyai informasi yang
terbatas mengenai tingkat pendidikan pemilik lahan. Aktor perubahan
penggunaan lahan yang penting adalah pemilik lahan. Keterkaitan aktor
perubahan penggunaan lahan berbasis tingkat pendidikan ditemukan dengan
cara menghubungkan perubahan penggunan lahan yang terjadi dengan
responden sebagai pemilik lahan di titik pengambilan sampel. Analisis deskriptif
menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pemilik lahan. Dinamika
perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah peri urban Kota Makassar
dilakukan oleh pemilik lahan dengan tingkat pendidikan SD sampai S1, bahkan
konversi lahan juga dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana
pelayanan publik oleh pemerintah (Lampiran 4). Dengan demikian, tidak
dijumpai pengaruh yang signifikan terhadap komponen tingkat pendidikan
tertentu.
Kajian terkait aktor perubahan penggunaan lahan sangat penting ditelaah
karena menjadi pengendali terjadinya konversi lahan. Penambahan arah transek
atau penggunaan metode sampling yang lain dapat dilakukan untuk lebih
menguatkan temuan aktor perubahan penggunaan lahan. Pendapatan rumah
tangga sebagai variabel yang diduga mengendalikan perubahan penggunaan
lahan juga dapat ditelaah sebagai identitas aktor perubahaan penggunaan lahan.
Hal ini didasari oleh pendapat Zhao (2010) bahwa salah satu yang menjadi faktor
perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan pendapatan. Proses
ekstraksi informasi sejarah perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini
menemui hambatan lapangan. Bentuk hambatan yang ditemukan adalah
responden yang bukan merupakan pemilik lahan sehingga mempunyai
keterbatasan informasi dan keragu-raguan dalam mengungkap sejarah
penggunaan lahan. Kesulitan esktraksi informasi umumnya ditemukan pada
wilayah pengembangan industri dan bisnis. Area industri dan bisnis merupakan
wilayah yang rentan terhadap terjadinya konflik lahan. Hal ini tidak lepas dari
tingginya harga tanah di kedua area tersebut.
55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Perubahan penggunaan lahan yang dominan pada periode 2001-2007
adalah konversi TPLK menjadi Perumahan/permukiman, Industri dan Bisnis.
Konversi TPLK menjadi Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis masih
mendominasi perubahan penggunaan lahan periode 2007-2010. Pola
perubahan penggunaan lahan yaitu dari TPLB, Empang/Tambak, Tubuh Air
(Rawa) menjadi TPLK, Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis.
Konversi TPLK menjadi perumahan/permukiman merupakan perubahan
penggunaan lahan terluas di wilayah penelitian.
2. Peningkatan luas tipe fragmentasi core, edge, dan patch menjadi indikasi
pengembangan area perumahan/permukiman dan bisnis yang tidak tertata
dengan baik. Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh
peningkatan luasan tipe perforated. Penurunan luas tipe perforated
menandakan konversi penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman
telah sangat berkembang, dengan kemungkinan segera menuju ke tahap
leveling off dengan laju perubahan yang semakin menurun karena tidak
adanya lahan yang dapat dikonversi. Penurunan luasan tipe fragmentasi
patch pada penggunaan lahan industri menjadi indikasi terjadinya
aglomerasi. Proses fragmentasi penggunaan lahan sangat intensif terjadi di
Kecamatan Biringkanaya dibandingkan dengan empat kecamatan lainnya di
wilayah studi.
3. Aktor perubahan penggunaan lahan TPLK dan TPLB menjadi
Perumahan/permukiman dilakukan oleh etnis/suku Makassar, Bugis, Toraja,
dan pembangunan kantor camat oleh pemerintah. Etnis/suku Tionghoa
umumnya melakukan perubahan penggunaan lahan dari TPLB dan TPLK
menjadi Industri. Pembangunan sarana Bisnis dengan mengkonversi
Empang/tambak, Tubuh Air (Rawa), dan TPLK dilakukan oleh aktor
perubahan penggunaan lahan dengan identitas etnis/suku Bugis, Makassar,
dan Luar Sulawesi. Perubahan penggunaan lahan dari TPLB menjadi TPLK
dilakukan oleh etnis/suku Bugis dan Tionghoa. Perubahan penggunaan
lahan dari TPLB menjadi Perumahan/permukiman dilakukan oleh aktor
dengan tingkat pendidikan SMP. Aktor dengan tingkat pendidikan S1 dan
kepentingan pemerintah melakukan perubahan penggunaan lahan dari TPLK
56
menjadi Perumahan/permukiman. Perubahan penggunaan lahan dari TPLK
dan Tubuh Air (rawa) menjadi Bisnis dilakukan oleh aktor dengan tingkat
pendidikan SD. Konversi TPLB menjadi TPLK dilakukan oleh aktor dengan
tingkat pendidikan SMA.
4. Landscape Fragmentation Analysis (LFA) mampu dimanfaatkan dalam
mengkaji proses fragmentasi dan perubahan penggunaan lahan di wilayah
studi.
6.2. Saran
1. Penelitian yang terkait model proyeksi fragmentasi penggunaan lahan
perkotaan dirasakan perlu dilakukan sebagai alat kajian dalam menyusun
peraturan zonasi dan pengendalian pemanfaatan ruang. 2. Kajian terkait aktor perubahan penggunaan lahan berbasis mata pencaharian
utama dan tingkat pendapatan rumah tangga dengan menambah arah
transek dari pusat kota atau menggunakan metode sampling yang lain di
Kawasan Metropolitan Mamminasata.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S, Rustiadi E. 2008. Penyelamatan tanah, air, dan lingkungan.
Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Arsyad S, 2010. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2002. Kota Makassar dalam Angka
2002. Makassar: BPS Kota Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2007. Kota Makassar dalam Angka
2007. Makassar: BPS Kota Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2010. Kota Makassar dalam Angka
2010. Makassar: BPS Kota Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2011. Kota Makassar dalam Angka
2011. Makassar: BPS Kota Makassar. Burgess R. 2007. Technological determinism and urban fragmentation: a critical
analysis. School of the Built Environment, Oxford Brookes University. [Dep.PU] Departemen Pekerjaan Umum 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun
2007, Tentang Penataan Ruang. Jakarta: Dep.P.U Gao J, Li S. 2011. Detecting spatially non-stationary and scale-dependent
relationships between urban landscape fragmentation and related factors using geographically weighted regression. Applied Geography 31: 292-302.
Habibi S, Asadi N. 2011. Causes, results and methods of controlling urban
sprawl. Procedia Engineering 21: 133 -141. Huang S-L, Wang S-H, Budd WW. 2009. Sprawl in Taipei’s peri-urban zone:
responses to spatial planning and implications for adapting global environment change. Landscape and Urban Planning 90: 20-32.
Hurd J, Parent J, Civco D. 2006. Forest fragmentation in Connecticut:
what do we know and where are we headed?. Center for Land use Education And Research (CLEAR) Department of Natural Resources Management & Engineering The University of Connecticut.
58
Lillesand MT, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, Penerjemah; Sutanto, Editor. Terjemahan dari Remote Sensing and Image Interpretation. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lin M-W, Ben T-M. 2009. Impact of government and industrial agglomeration on
industrial land prices: a Taiwanese case study. Habitat International 33: 412-418.
Liu M, Hu Y, Zhang W, Zhu J, Chen H, Xi F. 2011. Application of land-use
change model in guiding regional planning: a case study in Hun-Taizi river watershed, Northeast China. Chinese Geograpichal Science 21: 609-618.
Martinuzzi S, Gould WA, Gonzales OMR. 2007. Land development, land use,
and urban sprawl in Puerto Rico integrating remote sensing and population census data. Landscape and Urban Planning 79: 288-297.
Munibah K. 2008. Model spasial perubahan penggunaan lahan dan arahan
penggunaan lahan berwawasan lingkungan: studi kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nurmani NE. 2007. Keterkaitan pajak lahan dengan penggunaan lahan: studi
kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Parent J, Hurd J. 2008. An Improved Method for Classifying Forest
Fragmentation. Center for Land use Education And Research. Department of Natural Resources Management & Engineering The University of Connecticut.
[Pemprov] Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2003. Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Metropolitan Mamminasata. Makassar.
[Pemprov] Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2009. Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan 2009 - 2029. Makassar.
[Pemkot] Pemerintah Kota Makassar. 2006. Peraturan Daerah Kota Makassar
No. 6 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005 – 2015. Makassar.
[Pemkot] Pemerintah Kota Makassar. 2009. Peraturan Daerah Kota Makassar
No. 6 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Makassar 2009-2014. Makassar.
59
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden No.
55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar. Jakarta
Poelmans L, Romapey AV. 2009. Detecting and modelling spatial patterns of
urban sprawl in highly fragmented Areas: a case study in the Flanders-Brussels region. Landscape and Urban Planning 93: 10-19.
Prenzel B, Treitz P. 2004. Remote sensing change detection for a watershed in
North Sulawesi, Indonesia. Progress in Planning 61: 349-363.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Dampak konversi lahan pertanian
terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah: studi kasus di daerah Bandung Utara. Jurnal Agro Ekonomi 25: 207-219.
Saefulhakim S, Panuju DR, Rustiadi E, Suryaningtyas DT. 2003.
Pengembangan model sistem interaksi antar aktifitas sosial ekonomi dengan perubahan penggunaan lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sancar C, Turan SO, Kadiogullari AL. 2009. Land use-cover change processes
in urban fringe areas: Trabzon case study, Turkey. Scientific Research and Essay 4: 1454-1462.
Shrestha MK, York AB, Boone CG, Zhang S. 2012. Land fragmentation due to
rapid urbanization in the Phoenix Metropolitan Area: analyzing the spatiotemporal patterns and drivers. Applied Geography 32: 522-531.
Sitorus S.R.P. 2011. Penataan Ruang. Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tadjang HS. 2001. Klimatologi Dasar. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tokairin T, Sofyan A, Kitada T. 2010. Effect of land use changes on local meteorological conditions in Jakarta, Indonesia: toward the evaluation of the thermal environment of megacities in Asia. International Journal of Climatology 30: 1931-1941.
60
Trisasongko BH, Panuju DR, Iman LS, Harimurti, Ramly AF, Anjani V, Subroto H. 2009. Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Publikasi Teknis DATIN. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Useng D, Prawitosari T, Achmad M, Salengke. 2011. Urban sprawl on
Jeneberang delta of Makassar: a remote sensing and GIS perspective. International Seminar on Sustainable Urban Development (ISOSUD2011) Jakarta 24-27 July. 2011.
Vogt P, Riitters KH, Estreguil C, Kozak J, Wade TG, Wickham JD. 2007.
Mapping spatial patterns with morphological image processing. Landscape Ecology 22: 171-177.
Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Faaij A. 2011. Exploring land use changes
and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia. Land Use Policy 28: 193-206.
Xie D, Liu Y, Chen J. 2011. Mapping urban environmental noise: a land use
regression method. Environmental Science & Technology 45: 7358-7364. Zhao P. 2010. Suistainable urban expansion and transportation in a growing
megacity: consequences of urban sprawl for mobility on the urban fringe of Beijing. Habitat International 34: 236-243.
L A M P I R A N
63
Lampiran 1. Peta fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman 2010
64
Lampiran 2. Peta fragmentasi penggunaan lahan industri 2010
65
Lampiran 3. Peta fragmentasi penggunaan lahan bisnis 2010
66
Lampiran 4. Identitas responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku, tingkat pendidikan, dan status terhadap lahan di wilayah peri urban Kota Makassar
No.
Sampel Penggunaan Lahan 2001
Penggunaan Lahan 2007
Penggunaan Lahan 2010 Jalur Etnis/suku Tingkat
Pendidikan Status
1 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 1 Pemerintah Pemerintah P
2 Empang/Tambak Empang/Tambak Empang/Tambak 1 Tionghoa S1 BP
3 TPLK Industri Industri 1 Tionghoa S1 BP
4 PLL PLL PLL 1 Makassar TT SD BP
5 TPLK TPLK TPLK 1 Makassar SD P
6 TPLB TPLB TPLB 1 Tionghoa SMP BP
7 PP PP PP 1 Makassar TT SD P
8 Industri Industri Industri 1 Tionghoa SMA BP
9 PP PP PP 1 Pemerintah Pemerintah P
10 TPLB TPLB TPLB 1 Tionghoa TT SD BP
11 PP PP PP 1 Makassar S1 P
12 TPLK TPLK TPLK 1 Makassar TT SD P
13 TPLB TPLB PP 1 Makassar SMP P
14 TPLB TPLK TPLK 1 Tionghoa SD BP
15 TPLB TPLB TPLB 1 Makassar SD P
16 TPLB Industri Industri 1 Tionghoa SD BP
17 PP PP PP 1 Bima SD P
18 TPLK TPLK TPLK 1 Makassar SD P
19 TPLB TPLB TPLB 1 Makassar SMP P
20 Hutan Hutan Hutan 2 Pemerintah Pemerintah P
21 TPLK TPLK TPLK 2 Makassar TT SD BP
22 PP PP PP 2 Makassar SMA P
23 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 2 Toraja SMA P
24 TPLK TPLK TPLK 2 Pemerintah Pemerintah P
25 PP PP PP 2 Pemerintah Pemerintah P
26 TPLK Bisnis Bisnis 2 Bugis SMP BP
27 TPLB TPLB TPLB 2 Makassar TT SD BP
28 PP PP PP 2 Bugis D3 P
29 TPLK TPLK TPLK 2 Pemerintah Pemerintah P
30 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 2 Pemerintah Pemerintah P
31 TPLB TPLB TPLB 2 Makassar SMA P
32 TPLK TPLK TPLK 2 Makassar SMP P
33 PP PP PP 3 Bugis S1 P
34 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 3 Makassar SMA BP
35 PP PP PP 3 Bugis S3 P
36 PP PP PP 3 Toraja SMA BP
37 TPLK TPLK TPLK 3 Jawa S2 P
38 PP PP PP 3 Pemerintah Pemerintah P
39 TPLK TPLK TPLK 3 Jawa S1 BP
40 PP PP PP 3 Bugis SMA BP
41 TPLB TPLB TPLB 3 Bugis SD BP
67
Lanjutan Lampiran 4. 42 PP PP PP 3 Makassar SD BP
43 PP PP PP 3 Makassar S1 BP
44 TPLB TPLB TPLB 3 Makassar SD P
45 PLL PLL PLL 4 Pemerintah Pemerintah P
46 Tubuh Air Bisnis Bisnis 4 Bugis SD P
47 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 4 Pemerintah Pemerintah P
48 PP PP PP 4 Bugis SMA P
49 Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air 4 Pemerintah Pemerintah P
50 PP PP PP 4 Makassar SMA BP
51 TPLK TPLK TPLK 4 Tionghoa SMA BP
52 TPLK TPLK TPLK 4 Tionghoa SD BP
53 TPLB TPLB TPLB 4 Tionghoa SD BP
54 TPLK TPLK TPLK 4 Tionghoa SD BP
55 Empang/Tambak Empang/Tambal Empang/Tambak 5 Tionghoa SD BP
56 Empang/Tambak Empang/Tambak Bisnis 5 Batak SD BP
57 TPLK TPLK TPLK 5 Bugis SD BP
58 Empang Bisnis Bisnis 5 Jawa SD BP
59 Empang TPLK TPLK 5 Sengketa SMA BP
60 TPLK TPLK TPLK 5 Tionghoa SMA BP
61 TPLK Bisnis Bisnis 5 Makassar SD P
62 PP PP PP 3 Tionghoa S1 P
63 TPLK PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P
64 PP PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P
65 PP PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P
66 PP PP PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P
67 TPLK TPLK PP Kantor Camat Pemerintah Pemerintah P
68 TPLK PP PP Acak Toraja S1 P
69 PP PP PP Acak Bugis S2 P
70 TPLB TPLB TPLB Acak Makassar S1 P
71 TPLB TPLK PP Acak Bugis SMA P
72 TPLB TPLB TPLB Acak Makassar SMP BP Keterangan: TT SD: Tidak Tamat SD ; P: Pemilik Lahan; BP: Bukan Pemilik Lahan
68
Lampiran 5. Curah hujan (mm) Stasiun Paotere BMG Wilayah IV Makassar.
Tahun Bulan Tahunan SF Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des BB BK BL
1997 529 846 193 189 21 4 14 0 0 0 25 176 1997 5 7 0
1998 167 110 240 220 87 23 257 110 56 174 684 862 2990 9 2 1
1999 1277 994 433 580 140 76 31 6 12 126 225 836 4736 8 3 1
2000 823 778 1114 338 337 37 180 67 0 47 84 303 4108 7 3 2
2001 445 893 813 687 163 11 92 0 0 6 20 550 3680 6 5 1
2002 1042 813 435 617 139 87 31 2 0 0 2 97 3265 5 5 2
2003 492 695 534 157 110 147 5 15 0 7 20 104 2286 7 5 0
2004 928 618 690 624 54 59 33 0 0 0 24 129 3159 5 7 0
2005 531 718 235 200 139 6 2 35 0 0 165 225 2256 7 5 0
2006 398 587 649 353 265 26 137 1 0 0 0 20 2436 6 6 0
2007 694 486 283 197 36 130 4 3 0 16 215 869 2933 7 5 0
2008 639 721 559 440 145 56 50 9 0 2 46 188 2855 6 6 0
2009 922 738 196 71 48 35 41 0 0 15 17 474 2557 5 7 1
2010 873 429 279 230 144 124 100 57 231 223 238 760 3688 10 1 1
2011 562 529 595 386 162 8 1 0 0 40 183 827 3293 7 5 0 Rata-Rata 688 664 483 353 133 55 65 20 20 44 130 428 3,083 100 72
Bulan BB BB BB BB BL BK BK BK BK BK BL BB 6.667 4.8 72
SF : D : daerah sedang dengan ciri vegetasi musim
BB : 5
BB : > 200 mm
BB : >100 mm BL : 2
BL : 100 - 200 mm
BL :60-100 mm
BK : 5
BK : < 100 mm
BK : <60 mm Tipe Old : C3
68