Upload
trandieu
View
234
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
IDENTIFIKASI JENIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU
BAGIAN LUNAS KAPAL NELAYAN TRADISIONAL
AFANDY BAYU NURCAHYO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Identifikasi Jenis Kayu
sebagai Bahan Baku Bagian Lunas Kapal Nelayan Tradisional” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Afandy Bayu Nurcahyo
NIM E24120078
ABSTRAK
AFANDY BAYU NURCAHYO. Identifikasi Jenis Kayu sebagai Bahan Baku
Bagian Lunas Kapal Nelayan Tradisional. Dibimbing oleh IMAM WAHYUDI.
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan tradisional,
ketersediaan sarana-prasarana pendukung kegiatan penangkapan ikan terutama
perkapalan perlu mendapat perhatian. Mengingat ukuran dan jenis kayu yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal semakin terbatas, maka
identifikasi jenis kayu yang biasa dipakai khususnya untuk dijadikan bagian lunas
perlu dilakukan dalam rangka menentukan jenis kayu penggantinya. Sampel yang
digunakan adalah tiga potong kayu bagian lunas kapal nelayan dari Pelabuhan
Perikanan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Identifikasi dilakukan secara makro
dan mikroskopis mengikuti prosedur baku, demikian pula pengukuran berat jenis
kayunya. Hasil penelitian kemudian dibandingkan dengan data pustaka yang
dirujuk. Dari penelitian yang dilakukan dipastikan bahwa jenis-jenis kayu yang
biasa dijadikan lunas kapal di Pelabuhan Perikanan Muncar adalah jati (Tectona
grandis), kempas (Koompassia malaccensis), dan ulin (Eusideroxylon zwageri).
Ketiga jenis kayu tersebut tercantum dalam Biro Klasifikasi Indonesia. Jenis
alternatif sebagai pengganti kayu-kayu tersebut diantaranya adalah gadog
(Bischoffia javanica), nyamplung (Calophyllum spp.), keruing (Dipterocarpus
spp.), simpur (Dillenia reticulata), cengal (Hopea sangal), laban(Vitex
pubescens), giso(Shorea guiso), renghas (Melanorrhoea spp.), keranji (Dialium
platysepalum), kolaka (Parinari corymbosa), bangkirai (Shorea laevis), dan
kesambi (Schleichera oleosa).
Kata Kunci: jati, kapal nelayan tradisional, kempas, lunas kapal, ulin.
ABSTRACT
AFANDY BAYU NURCAHYO. Wood Identification for the keel of the
traditional fisherman vessel. Under supervision IMAM WAHYUDI.
In order to improve the welfare of traditional fisherman, the infrastructure
especially the vessels or the boats have to be provided well. Since wood species
both number and size decreasing year by year, wood identification for the keel has
to be done in order to find out their alternatives. This is the main purpose of this
study. Three wood pieces of the keel from the traditional fishing vessels of fishing
harbour of Muncar Subdistrict, Banyuwangi District, East Java Provincewere used
as the sampel unit. Macro and microscopically of wood identification as well as
specific gravity measurement were conducted following the standard prosedure.
Data obtained was then compared to that of the references cited. Result showed
that the wood of teak (Tectona grandis), kempas (Koompassia malaccensis), and
ulin (Eusideroxylon zwageri) were use as the raw material for the keel. The all
species were listed on Indonesian Classification Birau. For the alternative, wood
species of gadog, nyamplung, keruing, simpur, cengal, laban, giso, renghas,
keranji, kolaka, bangkirai, and kesambi could be utilized for the future.
Keywords: keel, kempas, teak, traditional fisherman vessel, ulin.
IDENTIFIKASI JENIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU
BAGIAN LUNAS KAPAL NELAYAN TRADISIONAL
AFANDY BAYU NURCAHYO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai September 2016 ini adalah
identifikasi jenis kayu, dengan judul “Identifikasi Jenis Kayu sebagai Bahan Baku
Bagian Lunas Kapal Nelayan Tradisional”. Karya tulis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
selaku pembimbing, dan kepada Esti Prihatini, SSi. atas bantuannya selama
pengamatan di Laboratorium Sifat Dasar Kayu. Ungkapan yang sama juga penulis
sampaikan kepada ibu, adik tercinta dan seluruh keluarga, serta seluruh teman-
teman sekalian atas segala doa, semangat, dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Afandy Bayu Nurcahyo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1
LatarBelakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kapal Perikanan 2
Bagian-Bagian Kapal 2
Struktur Anatomi Kayu 3
Kayu untuk Lunas 4
BAHAN DAN METODE 4
Lokasi dan Waktu Penelitian 4
Alat 4
Bahan 4
ProsedurPenelitian dan Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Struktur Anatomi dan BJ Kayu 9
Identifikasi Jenis Kayu 10
Penentuan Jenis-Jenis Kayu Alternatif 12
SIMPULAN DAN SARAN 13
Simpulan 13
Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 13
LAMPIRAN 15
DAFTAR TABEL
1 Masa pakai kapal berdasarkan keawean kayu 4 2 Penggolongan susunan pembuluh 7 3 Penggolongan ukuran pembuluh 7 4 Penggolongan frekuensi pembuluh 7 5 Penggolongan lebar jari-jari 7 6 Penggolongan frekuensi jari-jari 8 7 Jenis-jenis kayu alternatif 12
DAFTAR GAMBAR
1 Bagian-bagian kapal perikanan 3 2Sampel uji 5 3 Pengukuran berat jenis kayu 5 4 Preparat mikrotom siap untuk diamati 8 5Tampilan makroskopis dan mikroskopis Sampel A 9
6Tampilan makroskopis dan mikroskopis Sampel B 10 7Tampilan makroskopis dan mikroskopis SampelC 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rata-rata diameter pori kayu jati, kempas, dan ulin. 15
2 Rata-rata frekuensi distribusi pori persatuan mm2. 15
3Rata-rata tinggi pori persatuan mm 16
4 Rata-rata lebar jari-jari. 17
5 Rata-rata frekuensi jari-jari persatuan mm 17
6 Hasil pengukuran berat jenis kayu. 17
1
PENDAHULUAN
LatarBelakang
Pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia perlu terus
dikembangkan mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km dan luas wilayah laut 5,8
juta km2
(Pusat Data, Statistik dan Informasi 2010). Salah satunya adalah melalui
perbaikandan penyediaan sarana-prasarana yang terkait dengan kegiatan
penangkapan ikan khususnya dari segi perkapalan (Kusumastanto 2001).
Tersedianya kapal penangkap ikan dalam jumlah dan kualitas yang memadai akan
memaksimalkan produksi yang akan berdampak pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat khususnya para nelayan tradisional.
Provinsi Jawa Timur memiliki sejumlah pelabuhan perikanansepertidi
Lamongan, Surabaya, Probolinggo, Bawean, dan Muncar. Menurut Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2010), Pelabuhan Muncar
adalah pelabuhan penghasil ikan terbesar setelah Bagansiapi-api di Provinsi Riau.
Aktivitas di pelabuhan ini berkontribusi positif bagi pendapatan daerah Kabupaten
Banyuwangi melalui kegiatan ekspor komoditi laut unggulan. Menurut Nur
(2013), diPelabuhan Muncar terdapat sekitar 1505 orang nelayan dengan 1328
armada kapal. Sebagian besar kapal tersebut terbuat dari kayu karena biaya
produksi dan perawatannyalebih murah daripada kapal fiber maupun logam, dan
diproduksi secara tradisional yakni hanya berdasarkan pada pengetahuan turun-
temurun.
Kapal perikanan sebetulnya mirip dengan kapal pada umumnya sehingga
sifat dan syarat-syarat yang diperlukan oleh suatu kapal juga dituntut harus
dipenuhi oleh kapal perikanan, namun dalam hal tertentu memiliki perbedaan
dibandingkan dengan kapal penumpang mau pun kapal barang (Wahyono 2011).
Kapal perikanan merupakan satu kesatuan utuh, karena antara satu bagian dengan
bagian yang lainnya saling menunjang. Salah satu bagian penting dari konstruksi
sebuah kapal perikanan yang terbuat dari kayu adalah bagian lunasnya. Lunas
kapal dapat dianggap sebagai tulang punggung kapal karena merupakan tempat
menempelnya kerangka lambung atau gading-gading. Beban yang diterima oleh
lunas tergantung dari ukuran dan berat muatan yang dibawa oleh kapal.
Kendala yang kerap dialami oleh para pembuat kapal nelayan tradisional
khususnya di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, adalah terbatasnya
bahan baku kayu berkualitas karena lunas yang baik harus terbuat dari kayu utuh
(solid) dengan panjang dan persyaratan tertentu.Untuk mengantisipasi masalah ini
terutama bila kayu-kayu yang selama ini digunakan semakin sulit diperoleh maka
perlu dilakukan kegiatan identifikasi atau pengenalan jenis-jenis kayu yang biasa
dijadikan lunas. Dengan mengetahui jenis kayu yang selama ini dapat dijadikan lunas, maka penetapan jenis kayu penggantinyaakan semakin mudah untuk ditentukan. Kegiatan ini akan berdampak pada ketersediaan kapal perikanan yang dibutuhkan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasijenis-jenis kayuyang biasa
dijadikan lunaskapal khususnya kapal nelayan tradisional di Kecamatan Muncar
berdasarkan kajian strukuranatomi dan berat jenisnya.
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang jenis-jenis
kayu yang biasa digunakan sebagai bahan baku bagian lunas kapal, sehingga
dapat dijadikan dasar penentuan jenis-jenis kayu alternatif di masa depan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kapal Perikanan
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal
perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan,
dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Menurut Fyson (1985), kapal perikanan
adalah kapal yang dibuat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan penangkapan
ikan, menyimpan ikan dan secara keseluruhan disesuaikan dengan fungsi rencana
operasi. Di Indonesia, pada umumnya kapal perikanan dibuat secara tradisional,
turun-temurun dan dengan memanfaatkan teknologiyang sederhana.
Menurut Iskandar dan Novita (2000), istilah tradisional pada kapal nelayan
lebih mengarah kepada metode atau cara yang digunakan pengrajin dalam
membangun konstruksi kapal buatannya, dimana metode yang digunakan
merupakan warisan dari para pendahulunya. Kapal yang telah dibuat dan teruji
kemampuannya menjadi acuan untuk pembuatan kapal selanjutnya sehingga
timbul tradisi pewarisan pengetahuan dan teknologi pembuatan kapal secara turun
temurun.
Sebuah kapal bukan hanya harus dibangun dengan baik, tetapi juga harus
mempunyai kekuatan dan stabilitas yang baik. Kekuatan kapal sangat ditentukan
oleh konstruksi-konstruksi yang berada pada kapal. Sistem konstruksi kapal yang
tidak memiliki sambungan akan menghasilkan beban konstruksi yang lebih
merata, sehingga kapal menjadi lebih kuat dan tegar. Sistem konstruksi yang
menggunakan sambungan akan menimbulkan kelemahan akibat lubang baut dan
mengurangi luas penampang (Pasaribu 1987).
Bagian-Bagian Kapal
Konstruksi kapal perikanan dan juga kapal pada umumnya terdiri dari
bagian-bagian dengan nama tersendiri berdasarkan fungsi atau kegunaannya.
Menurut Soekarsono (1994), bagian-bagian konstruksi kapal (Gambar 1) terdiri
dari:
a. Gading-Gading. Gading merupakan rangka atau tulang rusuk dari sebuah
kapal. Gading-gading harus kuat dan sambungannya harus minim atau tanpa
sambungan agar diperoleh kekuatan yang besar.
b. Linggi haluan. Linggi Haluan adalah suatu kerangka konstruksi kapal yang
membentuk bagian ujung haluan kapal.
c. Lunas. Lunas adalah bagian konstruksi utama pada alas kapal yang
membentang sepanjang garis tengah kapal dari depan sampai belakang. Lunas
merupakan tulang punggung kekuatan memanjang sebuah kapal. Lunas
berfungsi sebagai penyangga, karena bagian ini berhubungan dengan bagian
konstruksi lainnya.
d. Wrang. Wrang sering juga disebut sebagai gading dasar karena letaknya berada
di dasar badan kapal yang menghubungkan gading kiri dan gading kanan.
3
e. Lambung kapal. Lambung kapal berfungsi untuk mencegah air masuk ke badan
kapal, sehingga kapal mempunyai daya apung dan menambah kekuatan
memanjang kapal.
f. Geladak. Geladak merupakan penguat melintang konstruksi kapal yang
berfungsi menyangga lantai geladak dan sebagai palang pengikat yang
menghubungkan kedua sisi kapal.
g. Palka. Palka adalah bagian untuk menyimpan hasil tangkapan di atas kapal
sebelum didaratkan.
h. Ruang mesin. Ruang mesin merupakan tempat meletakkan mesin kapal sebagai
tenaga penggerak pada sebuah kapal.
i. Linggi buritan. Linggi buritan adalah suatu kerangka konstruksi kapal yang
membentuk bagian ujung buritan kapal.
Gambar 1. Bagian-bagian kapal perikanan tampak samping (atas) dan tampak atas
(bawah): (a) gading-gading, (b) linggi haluan, (c) lunas, (d) wrang, (e)
lambung, (f) geladak, (g) palka, (h) ruang mesin, dan (i) linggi buritan
Struktur Anatomi Kayu
Struktur anatomi suatu jenis kayu merupakan sifat yang objektif, yang
secara konstan terdapat di dalam kayu (Pandit dan Kurniawan 2008). Berdasarkan
cara pengamatannya struktur anatomi kayu terdiri dari struktur makroskopis,
mikroskopis dan submikroskopis. Struktur makroskopis adalah karakteristik kayu
yang dapat diamati dengan jelas tanpa menggunakan mikroskop,struktur
mikroskopis adalah karakteristik yang baru jelas diamati dengan bantuan
mikroskop cahaya, sedangkan struktur submikroskopis adalah ciri mikroskopis
yang baru jelas teramati dengan menggunakan mikroskop elektron. Ciri
makroskopis pada umumnya bersifat subjektif, dan tidak langsung berhubungan
dengan kekuatan kayu sehingga disebut juga ciri kasar; sedangkan ciri mikrokopis
dan submikroskopis bersifat objektif karena langsung berhubungan dengan
kekuatan kayu. Yang termasuk ciri makroskopis adalah lingkaran tumbuh, warna
kayu, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba, bau dan rasa, serta kekerasan;
sedangkan ciri mikroskopis dan submikroskopis meliputi macam, susunan,
penyebaran, isi, dan tanda-tanda khusus di dinding sel-sel penyusun kayu
terutama sel pembuluh (pori-pori), serat (jaringan dasar), parenkim aksial, dan
parenkim jari-jari.
4
Kayu untuk Lunas
Menurut Biro Klasifikasi Indonesia (1996), kayu yang digunakan untuk
bagian lunas minimal memiliki kerapatan 700 kg/m3 atau setara dengan berat jenis
sebesar 0,70 karena berperan penting dalam menyangga kekuatan memanjang
kapal. Menurut Pasaribu (1990), syarat teknis kayu yang dapat digunakan sebagai
bahan baku lunas kapal adalah tidak mudah pecah, dan tahan terhadap serangan
organisme laut. Lunas kapal termasuk konstruksi berat dan tidak terlindung serta
selalu berhubungan dengan air (Wahyono 2011). Selain membutuhkan kekuatan
yang baik, keawetan kayu juga dibutuhkan agar masa pakai kapal lebih lama
(Tabel 1).
Tabel 1. Masa pakai kapal berdasarkan keawetan kayu (Wahyono 2011)
Kriteria* Kelas Awet
I II III IV V 1 8 tahun 5 tahun 3 tahun Singkat
sekali
Singkat
sekali
2 20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa
tahun
Singkat
sekali
3 Tidak
terbatas
Tidak
terbatas
Lama 10 – 20 tahun Singkat
4 Tidak
Terbatas
Tidak
terbatas
Tidak
terbatas
Maksimum
20 tahun
Maksimum
20 tahun
5 Tidak Tidak Agak cepat Cepat sekali Cepat sekali
6 Tidak Tidak Tidak Cepat Cepat sekali Keterangan:
1. Kayu selalu berhubungan dengan air atau tanah lembap
2. Kayu dipengaruhi oleh iklim tetapi terlindung dari pengaruh air
3. Kayu di bawah atap dan tidak berhubungan dengan air atau tanah lembap
4. Kayu di bawah atap dan tidak berhubungan dengan air atau tanah lembap, tetapi dipelihara
dengan baik (dicat)
5. Kayu mengalami kerusakan akibat serangan rayap dan marine borer, namun dipelihara dengan
baik
6. Kayu mengalami kerusakan akibat serangan serangga dan marine borer, dan tidak dipelihara.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2016
di Laboratorium Sifat Dasar Kayu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, dan di
Laboratorium Tumbuhan, Puslitbang Hasil Hutan, Bogor.
Alat
Alat yang digunakan adalah mikrotom, lup perbesaran 10-20X, cutter,
gelas objek, gelas penutup, gelas ukur, gelas piala, waterbath, tabung film, oven,
pipet, kaliper, mikroskop, kamera mikrofoto, kamera dan gergaji.
Bahan
Bahan utama yang digunakan terdiri dari tiga potongan kecil kayu berbeda
jenis yang biasa dijadikan lunas kapal nelayan tradisional di Kecamatan Muncar,
Kabupaten Banyuwangi (Gambar 2). Menurut pembuat kapal, kayu tersebut
adalah jati (sampel A), merbau (sampel B), dan ulin (sampel C). Kayu jati
6
Pengamatan Struktur Anatomi
Struktur anatomi yang diamati meliputi ciri atau sifat makroskopis dan
mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan langsung terhadap contoh uji,
sedangkan pengamatan mikroskopis dilakukan melalui preparat (sediaan)
mikrotom yang dihasilkan.
a. Pengamatan ciri makroskopis
Ciri makroskopis yang meliputi warna, tekstur, kesan raba, corak,
kilap, dan arah serat kayu diamati maksimum menggunakan kaca pembesar
10-20X (Mandang dan Pandit 2002).
1. Warna. Pengamatan warna kayu dilakukan pada penampang radial dan
tangensial pada masing-masing contoh uji. Warna kayu disebabkan oleh
adanya zat ekstraktif dalam kayu (Tsoumis 1991).
2. Tekstur dan Kesan Raba. Pengamatan tekstur dan kesan raba juga diamati
pada bidang radial dan tangensial. Tekstur kayu mencirikan ukuran relatif
sel-sel dominan penyusun kayu. Tekstur kayu dikategorikan halus apabila
diameter tangensial pori-pori < 100 µm,dan dikatakan kasar apabila
diameter tangensial pori-porinya > 200 µm. Kayu dengan diameter
tangensial pori-pori 100-200 µm dikategorikan bertekstur sedang
(moderate). Kesan raba dinilai secara kualitatif: licin, licin berlilin,
berminyak, atau kesat (Wahyudi 2013).
3. Corak. Pengamatan corak kayu dilakukan pada bidang tangensial dan
radial. Corak kayu memberikan ciri khas untuk jenis kayu tertentu. Corak
kayu dipengaruhi oleh perbedaan warna jaringan dan perbedaan warna pada
kayu awal dan kayu akhir.
4. Kilap. Pengamatan kilap kayu dilakukan pada penampang radial dan
tangensial dengan memperhatikan adanya kesan memantulkan cahaya.
5. Arah Serat. Penentuan arah serat dilakukan dengan cara mengamati arah
orientasi longitudinal sel-sel dominan penyusun kayu terhadap sumbu
batang. Bila orientasinya sejajar dikatakan berserat lurus, sedangkan
apabila orientasinya membentuk sudut dikatakan berserat miring (Pandit
dan Ramdan 2002).
b. Pengamatan ciri mikroskopis
Pengamatan ciri mikroskopis dilakukan melalui preparat mikrotom
untuk setiap bidang penampang (lintang, radial, dan tangensial). Sifat
mikroskopis yang diamati adalah tanda-tanda khusus yang ada di dinding sel
pembuluh (pori-pori kayu), jari-jari, dan sel parenkim. Pengamatan pada sel
pembuluh meliputi penyebaran, pengelompokan, penggabungan, tipe bidang
perforasi, diameter, isi dan jumlah pori persatuan luas. Pada jari-jari meliputi
lebar (seri), tipe (ukuran), frekuensi, komposisi penyusun, dan dimensinya,
sedangkan pada sel parenkim meliputi tipe dan jumlah sel per untainya.
Penggolongan susunan, ukuran, dan frekuensi pori-pori, serta frekuensi dan
lebar jari-jari sebagaimana Tabel 2 – 6 (Mandang dan Pandit 2002).
7
Tabel 2. Penggolongan susunan pembuluh
No. Susunan Pembuluh Jumlah Pori Soliter (%)
1 Hampir seluruhnya soliter > 95
2 Sebagian besar soliter 81 – 95
3 Soliter dan berganda 66 – 80
4 Sebagian besar berganda 25 – 65
5 Hampir seluruhnya berganda < 25
Tabel 3. Penggolongan ukuran pembuluh
No. Ukuran Pembuluh Diameter Tangensial
(Mikron) 1 Luar biasa kecil < 20
2 Sangat kecil 20 – 50
3 Kecil 51 – 100
4 Agak kecil 101 – 200
5 Agak besar 201 – 300
6 Besar 301 – 400
7 Sangat besar > 400
Tabel 4 Penggolongan frekuensi pembuluh
No. Frekuensi Pembuluh Jumlah per mm2
1 Sangat jarang < 2
2 Jarang 2 – 5
3 Agak jarang 6 – 10
4 Agak banyak 11 – 20
5 Banyak 21 – 40
6 Sangat banyak > 40
Tabel 5. Penggolongan lebar jari-jari
No. Golongan Lebar (Mikron)
1 Sangat sempit < 15
2 Sempit 15 – 30
3 Agak sempit 31 – 50
4 Agak lebar 51 – 100
5 Lebar 101 – 200
6 Sangat lebar 201 – 400
7 Luar biasa lebar > 400
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Anatomi dan BJ Kayu
Sampel A
Ciri-ciri umum yang diperoleh setelah mengamati sampel A adalah: kayu
berwarna coklat tua (Gambar 5a), bertekstur kasar tidak merata, permukaan kayu
licin dan mengkilap, bercorak, berserat lurus, lingkaran tumbuhnya jelas, sebaran
pori tata lingkar (Gambar 5a), susunan pori sebagian besar soliter namun ada juga
yang berganda radial 2 – 3 sel atau lebih (Gambar 5b), bidang perforasinya
sederhana, pori berisi tilosis dan endapan putih kekuningan (Gambar 5a), diameter
pori berkisar (205.73±61.07) µm, dengan frekuensi (6.13±0.63) per mm2. Jari-jari
dominan multiseriet 3 – 4 seri, namun ada sebagian yang biseriet, hanya tersusun
atas sel baring (homoseluler) (Gambar 5c), lebarnya (55.73±8.57) µm, tinggi
(720.67±127.85) µm, dengan frekuensi (4.46±0.64) per mm (Gambar 5d).
Parenkimnya tipe paratrakeal selubung tipis (Gambar 5b), dan apotrakeal pita
tangensial panjang (Gambar 5a dan 5b), dengan panjang untaian 4 – 6 sel.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan diketahui bahwa rata-rata BJ kayu
sampel A kondisi kering udara adalah 0,70.
Sampel B
Ciri-ciri umum yang diperoleh pada sampel B adalah: kayu berwarna
coklat kemerahan (Gambar 6a), bertekstur kasar tidak merata, permukaan kayu
agak licin, agak mengkilap, bercorak, serat berpadu, lingkaran tumbuhnya tidak
jelas, sebaran pori tata baur (Gambar 6a), susunan pori sebagian besar soliter
namun ada juga yang berganda radial 2 sel atau lebih (Gambar 6b), bidang
perforasinya sederhana, pori berisi tilosis dan endapan putih (Gambar 6a),
diameter pori berkisar (249.6±46.37) µm, dengan frekuensi (4.07±1.03) per mm2.
Jari-jari dominan multiseriet 3 – 4 seri, namun ada sebagian yang biseriet,
tersusun atas sel baring dan sel tegak (heteroseluler) (Gambar 6c), lebarnya
(28.67±6.64) µm, tinggi (453,73±50,64) µm, dengan frekuensi (5.86±0.74) per
mm (Gambar 6d). Parenkimnya tipe paratrakeal sepihak hingga aliform tebal dan
apotrakeal pita tangensial pendek (Gambar 6a), dengan panjang untaian 5-8 sel.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan diketahui bahwa rata-rata BJ kayu
sampel B kondisi kering udara adalah 0,85.
Gambar 5. Tampilan makroskopis dan mikroskopis Sampel A: a) Penampang
lintang 40X, b) Penampang lintang 100X, c) Penampang radial 100X,
dan d) Penampang tangensial 100X
d c b a
11
(Koompassia malaccensis). Struktur anatomi dan nilai BJ kayu dari sampel C
sama dengan yang dimiliki oleh kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Hasil
perbandingan tersebut, diperkuat oleh persyaratan lunas sebagaimana Biro
Klasifikasi Indonesia (1996) yang menyatakan bahwa syarat minimal kayu untuk
lunas kapal harus memiliki kerapatan minimal 700 kg/m3. Khusus untuk sampel B
(kayu kempas), hasil penelitian berbeda dengan informasi yang diperoleh dari
nelayan (kayu merbau) sebagaimana Gambar 8.
Gambar 8. Struktur anatomi kayu merbau
Menurut Martawijayaet al. (2005); Ogata et al. (2008); Pandit dan
Kurniawan (2008), kayu jati memiliki karakteristik sebagai berikut: warna kayu
gubal putih keruh kekuningan, sedangkan terasnya kuning emas hingga coklat tua.
Kayu bertekstur kasar dan tidak rata, arah seratnya lurus hingga berpadu,
permukaan kayu licin dan berminyak sehingga tampak mengkilap, dan bercorak
akibat adanya lingkaran tumbuh yang jelas. Porinya dominan soliter, namun ada
beberapa yang bergabung 2 – 3 sel, serta berisi tilosis dan endapan putih agak
kuning sisa metabolisme tumbuhan. Bidang perforasinya sederhana. Diameter
pori berkisar antara 50 – 370 µm, dan frekuensi 3 – 6 per mm2. Jari-jari 2 seri atau
lebih, frekuensinya 4 -7 per mm, lebar 50 – 100 µm, dan hanya tersusun atas sel-
sel baring (homoseluler), dengan tinggi berkisar 500 – 1800 µm. Parenkimnya
tipe paratrakeal selubung tipis sebagian hingga selubung lengkap, dan tipe
apotrakeal pita tangensial pendek hingga panjang. Memiliki BJ rata-rata 0.67
(0.62 – 0.75) Kelas Kuat II dan Kelas Awet II (terhadap marine borer).
Karakteristik kayu kempasadalah sebagai berikut (Martawijaya et al.
1989; Ogata et al. 2008; Pandit dan Kurniawan 2008): kayu merah kecoklatan
hingga coklat gelap, bercorak akibat adanya perbedaan warna jaringan
parenkim,teksturnya kasar, seratnya lurus hingga berpadu, sedangkan permukaan
kayu agak mengkilap. Pori sebagian besar soliter, namun ada beberapa yang
bergabung 2 sel atau lebih, berisi tilosis dan endapan putih kekuningan. Bidang
perforasinya sederhana. Diameter tangensial pori berkisar antara 160 – 360 µm,
dan frekuensi 2 – 6 sel per mm2. Jari-jari heteroseluler dengan lebar berkisar 20 –
37 µm, tinggi 300 - 800 µm, frekuensinya sekitar 4 – 8 per mm, dominan
multiseriet antara 2 – 5 seri. Parenkim tipe paratrakeal selubung sepihak hingga
selubung lengkap, aliform, konfluen, dan tipe apotrakeal pita tangensial pendek.
Memiliki BJ rata-rata 0.95 (0.68 – 1.29), dengan Kelas Kuat I – II dan Kelas Awet
III – IV.
12
Menurut Martawijayaet al. (1989); Pandit dan Ramdan (2002);Ogata et al.
(2008), kayu ulinmemiliki ciri-ciri sebagai berikut: warnanya coklat kemerahan
hingga coklat gelap kebiruan, tidak bercorak,bertekstur halus hingga agak kasar,
mengkilap,dan berserat lurus hingga agak berpadu. Pori-pori tersusun soliter,
meski ada juga beberapa yang bergabung 2 – 3 sel, banyak berisi tilosis tebal
(sklerotik) dan endapan kuning, dengan diameter pori berkisar antara 100 – 240
µm dan frekuensi 5 – 10 sel per mm2. Bidang perforasinya sederhana. Jari-jari 2
seri atau lebih, dengan frekuensi 4 – 11 per mm, komposisinya homoseluler,
tinggi maksimum mencapai 2800 µm. Parenkimnya tipe paratrakeal selubung tipis
sebagian hingga alifrom dan konfluen, sedangkan tipe apotrakealnya pita
tangensial panjang. Memiliki BJ rata-rata 1.04 (0.83 – 1.19), dengan Kelas Kuat
danKelas Awet I (terhadap marine borer).
Penentuan Jenis-Jenis Kayu Alternatif
Untuk mengatasi kelangkaan bahan baku kayu untuk lunas yang dapat
menghambat keberlanjutan usaha pembuatan kapal ikan tradisional di masa depan
maka perlu dicari kayu-kayu pengganti. Penentuan jenis kayu alternatif selain
didasarkan pada kesamaan nilai berat jenis (BJ), kelas kuat (KK), kelas awet
(KA), ketetapan Biro Klasifikasi Indonesia (1996) dan ketersediaannya, maka
status jenis menurut regulasi (peraturan pemerintah, IUCN dan CITES) juga telah
dipertimbangkan.Berdasarkan hal tersebut maka jenis-jenis seperti gadog
(Bischoffia javanica), nyamplung (Calophyllum spp.), simpur (Dillenia
reticulata), dan cengal (Hopea sangal) dapat digunakan sebagai pengganti kayu
jati. Adapun kayu-kayu seperti laban (Vitex pubescens), giso (Shorea guiso),
renghas (Melanorrhoea spp.), dan keruing (Dipterocarpus spp.) berpotensi
menggantikan kayu kempas. Jenis-jenis kayu yang berpotensi sebagai pengganti
kayu ulin diantaranya adalah keranji (Dialium platysepalum), kolaka (Parinari
corymbosa), bangkirai(Shorea laevis), dan kesambi (Schleichera oleosa)(Tabel 7).
Tabel 7. Jenis-jenis kayu alternatif
Keterangan: * PKKI (1961); Martawijaya et al. (1989); Mandang et al. (2004); Martawijaya et al.
(2005); Damayanti dan Mandang (2007); Mandang et al. (2013).
** Terhadap marine borerMuslich dan Sumarni (2005)
Kayu Asal Kayu Alternatif Berat
Jenis*
Kelas
Kuat*
Kelas
Awet*
Jati
KK II
KA II**
1. Gadog 0.75 II III; III**
2. Nyamplung 0.69 II – III II;III**
3. Simpur 0.75 II – III IV; III**
4. Cengal 0.70 II – III II;III**
Kempas
KK I – II
KA III**
1. Laban 0.88 I – II II; I**
2. Giso 0.83 II II; III**
3. Renghas 0.87 I – II III; II**
4. Keruing 0.78 II II; III**
Ulin
KK I
KA I
1. Keranji 0.95 I III; I**
2. Kolaka 0.96 I II; III**
3. Bangkirai 0.99 I III; I**
4. Kesambi 1.01 1 III
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan sebagai lunas kapal oleh nelayan di
Pelabuhan Muncar adalah jati, kempas, dan ulin. Jenis kayu yang dapat
menggantikan peran ketiga jenis yang selama ini dijadikan lunas diantaranya
adalah gadog, nyamplung, keruing, simpur, cengal, laban, giso, renghas, keranji,
kolaka, bangkirai, dan kesambi.
Saran
Untuk memastikan jenis kayu yang dapat dijadikan lunas, penulis
merekomendasikan untuk melakukan identifikasi jenis terhadap bagian lunas pada
seluruh kapal perikanan yang ada dan tidak saja di pelabuhan ikan di Kecamatan
Muncar. Untuk lebih menjamin ketersediaan jenis pohon penghasil kayu yang
dibutuhkan, maka silvikultur jenis-jenis kayu pengganti yang diusulkan perlu
dikuasai. Khusus untuk kayu-kayu yang tidak tahan terhadap serangan marine
borer, perlu dilakukan proses pengawetan kayu.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Klasifikasi Indonesia. 1996. Buku Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi
Kapal Laut, Vol (4). Jakarta (ID) : Biro Klasifikasi Indonesia.
British Standard Institution. 1957. Method of Testing Small Clear Speciments of
Timber. Serial BS 373 : 1957.
Damayanti R, YI Mandang. 2007. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu Kurang
Dikenal. Bogor (ID): Puslitbang Hasil Hutan, Departemen Kehutanan.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi. 2010. Potensi sumberdaya
kelautan dan perikanan Kabupaten Banyuwangi. [Laporan]. Banyuwangi :
Dinas Perikanan dan Kelautan Banyuwangi.
Fyson J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. Farnham Surrey, England (GB) :
Fishing News Books.
IAWA. 2008. Ciri Mikroskopik Untuk Identifikasi Kayu Daun Lebar. Bogor (ID) :
Puslitbang Hasil Hutan.
Iskandar BH, Novita Y. 2000. Tingkat Teknologi Pembangunan Kapal Ikan Kayu
Tradisional di Indonesia. Jurnal Penelitian 8 (2) : 53-67.
Kusumastanto T. 2001. Pemberdayaan Sumberdaya Kelautan, Perikanan dan
Perhubungan Laut Dalam abad XXI. Bogor (ID) : Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian Bogor.
Mandang YI, Abdurohim S, Sutisna U. 2004. Atlas Kayu Jilid III. Bogor (ID) :
PUSTEKOLAH.
Mandang YI, Barly, Krisdianto, Abdurrohim S.2013. Atlas Kayu Jilid IV. Bogor
(ID) : PUSTEKOLAH.
Mandang YI, Pandit IKN. 2002. Pedoman Identifikasi Kayu di Lapangan. Bogor
(ID) : PROSEA Indonesia.
14
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas
Kayu Indonesia Jilid II. Bogor (ID) : Puslitbang Kehutanan.
Martwijaya A, I Kartasujana, K Kadir, SA Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia
Jilid I. Bogor (ID): CV Miranti.
Muslich M, Sumarni G.2005. Kelas keawetan 200 jenis kayu Indonesia
terhadappenggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(3) : 163-167.
Nur M. 2013. Potensi daerah tumbuhkan perekonomian masyarakat pesisir
banyuwangi [skripsi]. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.
Ogata K, Fujii T, Abe H, Baas P. 2008. Identification of the Timbers of Southeast
Asia and the Western Pacific. Jepang (JP) : Kaiseisha Press.
Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Struktur Kayu: Sifat Kayu Sebagai Bahan Baku
dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor (ID) : Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai
Bahan Baku. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pasaribu BP. 1987. Material Kayu Utuh dan Kayu Sambungan Untuk Konstruksi
Kapal Penangkap Ikan. Bogor (ID) : Fakultas Perikanan, Institut Pertanian
Bogor.
Pasaribu BP. 1990. Desain dan Konstruksi Kapal Penangkap Ikan Untuk
Perairan Laut Dalam di Perairan Timur Indonesia. Bogor (ID) : Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia. 1961. Tata Cara Perencanaan
Konstruksi Kayu Indonesia. SNI 03-6881-2022. Jakarta (ID) : Badan
Standar Nasional.
Pusat Data, Statistik dan Informasi. 2010. Data Pokok Kelautan dan Perikanan
Tahun 2009. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik.
Soekarsono NA. 1994. Pengantar Bangunan Kapal dan Ilmu
Kemaritiman.Jakarta (ID): Pamator Pressindo.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, and
Utilization. New York (US) : Van Nostrand Reinhold.
Undang-Undang Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan.
Wahyono A. 2011. Kapal Perikanan: Membangun Kapal Kayu. Semarang (ID) :
Dirjen Perikanan Tangkap.
Wahyudi I. 2013. Hubungan Struktur Anatomi Kayu dengan Sifat Kayu,
Kegunaan dan pengolahannya. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Wheeler EA, Baas P, Gasson PE. 1989. IAWA list of microscopic features for
hardwood identification. IAWA 10 (3) :219 – 332.
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 15 April 1994 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara pasangan Tulus Widodo(Alm. bapak) dan Siti
Cholifah(ibu). Pada tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 1 Genteng dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Tulis Seleksi Masuk IPB
(SNMPTN). Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor khususnya Bagian
Teknologi Peningkatan Mutu Kayu.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif berorganisasi, yaitu sebagai
anggota Himpunan Profesi Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) dan Kepala
Biro Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) organisasi mahasiswa
daerah Banyuwangi pada periode 2013-2015, serta menjadi anggota Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB Departemen
Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) periode 2013-2014. Selain itu
penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti Ketua Divisi Humas Semarak
Kehutanan 2014, Ketua Divisi Logstran Morning Call Festival 2014, Ketua Divisi
Logstran Kegiatan Penanaman 1000 Pohon BEM Fakultas Kehutanan IPB, Ketua
Pelaksana Kegiatan BEMBASTIC, Ketua Canvassing IPB Kabupaten
Banyuwangi, dan lain sebagainya.
Kegiatan praktek yang telah penulis laksanakan adalah Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) di Jalur Gunung Sawal-Pangandaran pada 2014, Praktek
Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)
Sukabumi Jawa Barat pada 2015, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT.
Inhutani II UMHT Tanah Grogot, Kalimantan Timur pada tahun 2016. Untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan
judul “Identifikasi Jenis Kayu sebagai Bahan Baku Bagian Lunas Kapal Nelayan
Tradisional”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS.