Upload
lambao
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1,C 009-016 https://doi.org/10.32315/sem.1.c009
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 009
Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti
ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7
Identifikasi Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur
Tradisional Nusa Tenggara Barat
Erlina Laksmiani Wahjutami
Sejarah, Kritik dan Perancangan Arsitektur, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Merdeka Malang
Korespondensi: [email protected]
Abstrak
Geometri membicarakan sifat dari bentuk-bentuk dalam ruang atau, wujud permukaan, atau isi.
Pembahasan tentang geometri selalu terkait garis, bidang dan ruang. Permasalahannya, geometri
merupakan pemahaman pemikiran arsitektur Barat (dikaji terhadap teori Crowe), bukan pada
pengetahuan masyarakat tradisional. Pada kenyataannya, geometri jelas terlihat pada bentuk
arsitektur tradisonal Nusa Tenggara Barat (NTB). Cara berpikir masyarakat setempat yang mendasari
bentuk arsitekturnya menjadi kajian utama penelitian. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi
geometri yang mendasari bentuk arsitektur tradisional Nusa Tenggara Barat, yang ditelaah
berdasarkan teori Crowe. Pengumpulan data melalui teknik survei, observasi lapangan dan
pengumpulan arsip-arsip terhadap 4 rumah tinggal tradisional di NTB. Analisis data dilakukan
dengan pengujian teori Crowe terhadap arsitektur tradisional NTB. Geometri dari arsitektur
tradisional NTB dikaji berdasarkan susunan bangunan dan tektonikanya. Ditemukan bahwa geometri
arsitektur tradisional NTB bersesuaian dengan teori Crowe. Sifat konstruksi, cara berkonstruksi, sifat
bahan bangunan yang dipakai menjadi penentu aspek geometrinya. Geometri menjadi unsur
penyusun bentuk arsitektur tradisional NTB.
Kata-kunci : arsitektur tradisonal NTB, susunan bangunan, tektonika, teori geometri Crowe
Pendahuluan
Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terbagi menjadi dua pulau yaitu Lombok dan Sumbawa
(Kebudayaan D. P., 1996). Meskipun terpisah jarak yang tidak terpaut jauh, dengan kondisi iklim dan
geografis yang relatif tidak berbeda, bentuk arsitektur tradisional pada kedua pulau tersebut jelas
berbeda (Kebudayaan D. P., 1991). Arsitektur tradisional Lombok berdiri di atas pondasi umpak
dengan lantai rumah langsung di atas tanah (Umar, 1988), sedangkan arsitektur tradisional
Sumbawa berdiri di atas pondasi umpak untuk mendukung tiang-tiang konstruksi rumah panggung
(Budihartono, 1985), (Prijotomo, 1984).
Pada saat melihat bentuk arsitektur tradisional, secara tidak langsung akan terpikirkan pula
geometrinya. Diskusi mengenai geometri menjadi menarik karena masyarakat tradisional tidak
pernah mendapatkan pengetahuan geometri secara formal. Maka menjadi pentinglah untuk
menelusuri asal usul terjadinya geometri yang menjadi dasar bentuk arsitektur tradisionalnya karena
hal inilah yang menjadikan bentuk-bentuk bangunannya menjadi berbeda. Adanya perbedaan
bentuk bangunan berarti sekaligus menunjukkan perbedaan geometrinya.
Menurut (Klassen, 1990), untuk mewujudkan totalitas bentuk arsitektural diperlukan tahapan making
“membuat”, experiencing “mengalami” dan understanding “memahami”, yang masing-masing
merupakan bagian dari proses. Landasan teori yang dipakai pada penelitian ini adalah kajian
Telaah Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat
C 010 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
geometri menurut Norman Crowe. Menurut (Crowe, 1997), sumber-sumber alami untuk geometri
arsitektur yang pertama bersifat fisik berupa susunan bangunannya, misal: bahan bangunan yang
diterapkan pada kondisi konstruksi yang benar serta rasional. Sumber alami kedua bersifat
perseptual, yang merupakan pemahaman persepsi manusia dalam konteks badan dan lingkungannya,
yang masing-masing bersifat spesifik tergantung pada daerahnya. Pada penelitian ini bahasan fisik
yang menjadi syarat pertama, menjadi penekanannya.
Susunan bangunan identik dengan penentuan sistem konstruksi bangunan yang dibarengi dengan
pemilihan bahan serta melibatkan proses pengerjaannya. Sistem konstruksi bangunan yang benar
akan melihat dan belajar dari keadaan alam di sekitarnya. Pemilihan bahan akan lebih efisien apabila
mengambil dari potensi setempat. Proses perangkaian yang logis dari konstruksi dan bahan melewati
proses trial and error, yang akhirnya akan menjadi tektonika bangunan. Ketiga komponen tersebut
dengan melibatkan kreatifitas perancang, akan menghasilkan geometri. Geometri akan menjadi
dasar bentuk bangunan.
Geometri adalah pemahaman yang ada pada pengetahuan Barat bukan pada pengetahuan
masyarakat tradisional. Kenyataannya, geometri jelas terpancarkan pada bentuk arsitektur
tradisional NTB. Untuk itu perlu ditelusuri landasan-landasan berpikir masyarakat setempat yang
berupa cara-cara, norma-norma atau pandangan-pandangan mereka yang mendasari bentuk
arsitektur tradisional NTB. Ketidak sepahaman tersebutlah yang menjadi permasalahan penelitian ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi geometri yang mendasari bentuk arsitektur
tradisional Nusa Tenggara Barat, yang ditelaah berdasarkan teori Crowe.
Metode
Paradigma penelitian yang dipakai adalah post-positivism dimana hubungan antara peneliti dengan
obyek yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan dan bersifat interaktif. Metode penelitian adalah kualitatif
dimana landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di
lapangan. Sifat penelitian deskriptif karena penelitian berupaya untuk menghasilkan gambaran yang
akurat terhadap obyek kajian arsitektur tradisional NTB. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan
menjelaskan dan memahami objek yang diteliti secara khusus sebagai sebuah ‘kasus’. Untuk
keperluan tersebut, peneliti melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh yang terkait dengan
bangunan yang diteliti antara lain: tokoh budaya setempat, tukang tradisional, maupun pemilik
bangunan untuk mendapatkan gambaran yang paripurna terhadap obyek arsitektur tradisional NTB
yang diteliti.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui teknik survei dengan wawancara terstruktur (Moleong, 1994)
terhadap pemilik bangunan maupun pakar budaya setempat yang sekaligus berperan sebagai ahli
bangunan yang mampu menjelaskan proses konstruksinya secara rinci. Proses konstruksi dikaji baik
secara fisik maupun non fisik. Pengamatan bangunan yang di teliti di lapangan menjadi bagian dari
observasi untuk melengkapi data survei. Setiap detil konstruksi yang menunjang tektonika diamati
secara mendalam. Pengumpulan arsip-arsip yang berhubungan dengan penelitian dilakukan dengan
kompilasi data peta, foto, buku, hasil-hasil penelitian terdahulu untuk mempertajam proses analisis.
Obyek pengamatan adalah rumah tinggal di Nusa Tenggara Barat yang meliputi rumah tinggal
Sasak-Sade dan Sasak-Segenter di Lombok; rumah tinggal Samawa-Tepas di Sumbawa Besar; dan
rumah tinggal Sambori Lama di Dompu. Dua rumah merupakan representasi arsitektur tradisional
Lombok dan dua lainnya representasi arsitektur tradisional Sumbawa. Setiap rumah tinggal diteliti
dasar geometrinya untuk kemudian ditentukan sebagai dasar bentuknya. Detil konstruksi, bahan
Erlina Laksmiani Wahjutami
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 0011
bangunan dan proses konstruksinya dikaji untuk bisa ditemukan tektonikanya. Tektonika akan
menunjukkan kebenaran susunan bangunan dan bentuknya, yang tergambar pada geometrinya.
Telaah Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat
C 012 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Metode Analisis Data
Proses analisis pertama kali dilakukan dengan melihat batasan-batasan yang ada pada teori Crowe
antara lain tentang pemahamannya terhadap: geometri, susunan bangunan dan tektonikanya.
Selanjutnya batasan-batasan ini dilihat dari kacamata pandang arsitektur tradisional NTB yang
meliputi: rumah tinggal tradisional di desa Sade dan Segenter sebagai bagian dari masyarakat Sasak
di pulau Lombok; rumah tinggal tradisional di desa Tepas sebagai bagian dari masyarakat Samawa,
Sumbawa; dan rumah tinggal tradisional di desa Sambori Lama sebagai bagian dari masyarakat
Mbojo di Dompu, Sumbawa.
Analisis terhadap komponen arsitekturnya meliputi: bentuk bangunan untuk melihat geometrinya
secara umum. Pemakaian bahan bangunan, sistem struktur dan konstruksi beserta proses
konstruksinya untuk melihat susunan bangunan serta tektonikanya. Geometri itu sendiri merupakan
bagian-bagian yang dikomposisikan dengan cara-cara tertentu untuk mendapatkan sebuah kesatuan,
yaitu sebuah bentuk. Cara yang umum untuk mengkomposisikan geometri menjadi sebuah bentuk
adalah dengan melihatnya sebagai bagian-bagian dari kepala-badan-kaki atau pondasi-dinding-atap.
Analisis dan Interpretasi
Analisis pertama merupakan analisis geometri sebagai sebuah komposisi kepala-badan-kaki secara 2
dan 3 dimensi (tabel 1). Geometri bisa menunjukkan wujud (shape) yang dua dimensional maupun
bentuk (form) yang tiga dimensional. Secara umum geometri yang terlihat pada arsitektur tradisional
NTB sangat sederhana. Wujud dan bentuk dasar sedikit mengalami bentuk penambahan atau
pengurangan sehingga terlihat bentuk dan wujud aslinya. Wujud geometri yang umum terlihat
adalah segitiga dan empat persegi panjang, sedangkan bentuk geometrinya adalah balok dan limas
segitiga perisai atau pelana.
Tabel 1. Analisis geometri dua dimensi dan tiga dimensi pada arsitektur tradisional NTB
Erlina Laksmiani Wahjutami
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 013
Secara umum bentuk bangunan pada arsitektur tradisional NTB sangat ditentukan oleh bidang
atapnya yang lebih dominan dibandingkan dengan dindingnya (tabel 2). Rumah tinggal Sade dan
Segenter mempunyai bidang atap yang menjorok ke bawah sampai menutup hampir separuh
dindingnya. Pada rumah tinggal Tepas bidang atap dan bidang dinding hampir seimbang, dominasi
atap kurang kuat. Sebaliknya. Rumah Sambori Lama mempunyai bidang atap yang sekaligus
menjadi bidang dindingnya. Komposisi kepala-badan-kaki kurang sempurna karena yang terlihat
hanya kepala dan kaki dengan beban yang berat pada atapnya.
Menurut (Santosa, 1997), bentuk hunian tradisional tropis lembap didominasi oleh konstruksi atap,
dinding bukan merupakan elemen bangunan yang penting. Atap merupakan bagian dari bangunan
yang menerima radiasi langsung paling lama. Oleh karena itu prinsip memperluas bidang atap
merupakan upaya untuk memperkecil satuan panas yang diterima oleh bidang atap. Pembentukan
sudut kemiringan atap juga merupakan upaya yang sama. Pada pertimbangan aliran angin, bentuk
atap yang memuncak mampu menghasilkan akselerasi aliran angin untuk penghapusan akumulasi
udara panas di dalam ruang disertai dengan optimasi bukaan pada bidang vertikal. Maka bisa
dipahami bila bentuk atap pada sebagian besar arsitektur tradisional NTB menjadi bagian yang lebih
dominan daripada dindingnya. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur tradisional NTB mampu
memecahkan permasalahan iklim mikronya dengan teknologi yang tepat.
Secara umum struktur yang dipakai pada semua arsitektur tradisional NTB adalah struktur rangka.
Pada bangunannya akan selalu terlihat hubungan antara komponen-komponen struktur yang
horisontal (balok) dengan yang vertikal (kolom) membentuk satu kesatuan yang kokoh dan kaku
mula dari kaki sampai dengan kepala bangunan. Bahan penutup atap, dinding dan lantai selalu
dipasang terakhir pada saat struktur rangka selesai diberdirikan (tabel 3).
Konstruksi dipisahkan menjadi 3 bagian yang mendasar yaitu konstruksi pondasi, dinding dan atap.
Perbedaan mendasar pada konstruksi pondasinya adalah pada kaki bangunannya. Rumah Sade dan
Segenter langsung berdiri di atas tanah, walaupun di Sade bangunan berdiri di atas bataran. Rumah
Tepas dan Sambori Lama memakai konstruksi rumah panggung. Pondasinya didirikan di atas umpak.
(Sumber: sketsa peneliti)
Tabel 2. Perbandingan Bentuk Bangunan pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat
Bentuk Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat
Sasak-Sade
(dokumentasi pribadi) Sasak-Segenter
(dokumentasi pribadi) Samawa-Tepas
(Budihartono, 1985) Sambori Lama-Dompu
(Kebudayaan D. P., 1991)
Telaah Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat
C 014 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Pada saat tiang diberdirikan di bawahnya selalu diberi umpak. Ini berlaku pada semua rumah tinggal
yang menunjukkan kesadaran bahwa tiang tidak akan mudah lapuk karena kelembapan tanah atau
karena dimakan rayap. Rumah Sade dan Segenter hubungan kolom baloknya sederhana. Di Tepas
kolom-balok dihubungkan dengan sistem pen dan pasak. Di Sambori Lama hubungan kolom-balok
dengan cara menumpang, menggapit, menusuk dan dipaku dengan pasak.
Untuk struktur rangka dinding dan atap biasa dipakai bahan kayu dan bambu. Bahan kayu
tergantung dari masing-masing potensi daerahnya. Bahan penutup dinding dipakai anyaman bambu
atau papan. Bahan penutup atap berupa rumbia/alang-alang. Bahan penutup lantai ada yang berupa
tanah, campuran tanah dan kotoran sapi yang dipadatkan (Sade), atau papan kayu. Bahan dasar
pondasi biasa dipakai batu kali atau batu gunung. Sebagai bahan penguat struktur – seperti pasak –
dipakai kayu, tali, dan hampir tidak ada pemakaian paku. Untuk bahan perapi tepi-tepi bangunan
dipakai bahan kayu atau bambu.
Menurut (Lippsmeier, 1980), alang-alang/rumbia menguntungkan untuk iklim panas lembap karena
tahan terhadap hujan, pengudaraannya baik untuk bahan atap maupun dinding dan tidak menyerap
panas. Bambu permukaannya sangat tahan terhadap air, pengudaraannya baik sebagai bahan
dinding maupun atap walaupun sedikit menyerap panas. Kayu memiliki ketahanan yang tinggi
terhadap pengaruh iklim walaupun dimungkinkan penguraian sel-sel kayu oleh air, panas, angin,
udara dan cahaya. Dengan perawatan yang baik serta penggunaan yang tepat, sangat tahan
terhadap hujan. Kemampuan pengisolasian panas sedang. Penyerapan panas kecil dan tahan
terhadap angin serta angin r
Dari pemilihan bahan bangunannya terlihat adanya kesadaran dari masyarakat untuk menggunakan
bahan alami yang ada di sekitar lingkungannya. Secara turun temurun bahan-bahan tersebut terus
dipakai melalui proses trial and error dan sudah teruji kekuatannya ditinjau dari struktur dan
konstruksinya serta ketangguhan dan keawetannya terhadap iklim.
Proses konstruksi yang berlaku umum di arsitektur tradisional NTB pada prinsipnya pertama kali
adalah penyelesaian kerangka bangunannya dulu baru kemudian dimulai tahap pengisian kerangka
bangunan. Pada tahap fisik, kegiatan pertama adalah mendirikan tiang-tiang utama yang kemudian
diletakkan di atas umpak. Selanjutnya dikakukan dengan balok horisontal. Hubungan kolom-balok ini
merupakan tempat untuk berdirinya rangka atap. Ini berlaku di sade dan Segenter.
Pada rumah Tepas yang berupa rumah panggung, konstruksi jelas terbagi menjadi 3 yaitu konstruksi
kepala-badan-kaki. Karena pembagian ini, balok pengaku menjadi ada dua yaitu pada bagian bawah
di atas tiang yang berdiri di atas tanah dan di bagian atas pada tiang yang menjadi rangka dinding.
Kelebihan yang lain adalah, konstruksi atap yang cukup berat bisa dirangkai terlebih dahulu (bersifat
sementara) sebelum pekerjaan pemasangan kolom-balok ini. Hal ini dimungkinkan karena konstruksi
atap merupakan kontruksi yang terpisah. Setelah konstruksi kaki dan badan siap berdiri, konstruksi
atap tinggal dipasang dan disetel secara permanen.
Rumah Sambori Lama walaupun berupa rumah panggung, atap sekaligus menjadi dinding rumah
tinggalnya. Penyelesaian konstruksi atap sekaligus sebagai penyelesaian konstruksi dindingnya. Ada
pemasangan elemen lampu karena rumah tinggal ini sekaligus menjadi lumbung sehingga harus
dijaga dari kemungkinan masuknya tikus. Setelah rangka struktur ini berdiri barulah dimulai tahap
pemasangan penutup lantai, dinding dan atap.Dari teknik perangkaian struktur konstruksi penyusun
bangunan ditunjang dengan bahan bangunan alami sebagai elemen pengisinya, tektonika bangunan
akan terlihat dengan sendirinya.
Erlina Laksmiani Wahjutami
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 015
Tabel 3. Perbandingan konstruksi, proses konstruksi serta tektonika padaarsitektur tradisional NTB
Telaah Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat
C 016 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
(Sumber: sketsa peneliti, foto: dokumentasi pribadi, (Budihartono, 1985))
Erlina Laksmiani Wahjutami
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 017
Kesimpulan
Dari hasil identifikasi geometri pada rumah tradsisional NTB ditemukan bahwa segitiga dan persegi
panjang merupakan geometri penyusun dua dimensinya. Geometri penyusun tiga dimensinya berupa
balok dan limas segitiga perisai dan pelana. Geometri-geometri ini merupakan penyusun utama
bentuk arsitekturnya walaupun ada sedikit perbedaan di antaranya.
Dengan unsur-unsur konstruksi yang berbeda-beda istilahnya pada masing-masing bentuk
arsitekturnya, terlihat bahwa keempat bangunan yang diteliti dikerjakan dengan teknik yang benar
dan memenuhi azas-azas struktur dan sangat memperhatikan pemakaian bahan bangunan alami
yang tepat dan mudah didapatkan di lingkungan sekitarnya serta sudah teruji keawetannya terhadap
iklim setempat. Proses konstruksi secara fisik hampir sama di mana semua dimulai dari bagian kaki –
badan dan diakhiri dengan penutup atap. Kecuali pada arsitektur Samawa, perakitan bagian kepala
dimulai terlebih dahulu. Setelah penyetelan atap selesai baru dimulai penyusunan kaki dan badan.
Proses konstruksi yang bersifat non fisik berbeda-beda didasarkan pada masing-masing budayanya.
Kebenaran cara penyusunan geometrinya sekaligus juga memperlihatkan keindahan tektonikanya.
Geometri akan muncul – sebagai bagian-bagian – yang akan mendasari bentuk arsitektur sebagai
sebuah kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur pembentuk geometri dari arsitektur tradisional Nusa Tenggara Barat yang dipakai untuk
pengujian teori Crowe bersesuaian sebagai sebagai suatu dasar bentuk arsitektural. Pada variabel
susunan bangunan dan tektonikanya bisa dibuktikan bahwa teori Crowe benar.
Daftar Pustaka
Budihartono, S. (1985). Aspek Bangunan Tradisional Masyarakat Samawa di Kabupaten Sumbawa. Surabaya: ITS. Crowe, N. (1997). Nature and The Idea of a Man-made World. Cambridge: MIT Press. Kebudayaan, D.P. (1991). Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat.
Kebudayaan, D.P. (1996). Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukunya di Daerah Nusa Tenggara Barat.
Klassen, W. (1990). Architecture and Philosophy. Cebu City: University of San Carlos.
Lippsmeier, G. (1980). Tropenbau Building in The Tropics (2 ed.). (S. Nasution, Penerj.) Munchen, Germany. Mangunwijaya, Y. (1995). Wastu Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moleong, L..J. (1994). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Prijotomo, J. (1984). Penelitian Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat. Surabaya: ITS.
Rapoport, A. (1969). House, Form and Culture. London: Prentice Hall Inc. Santosa, M. (1997). Arsitektur tradisional tropis lembab. Sebuah referensi untuk pengembangan arsitektur di
Indonesia. Bunga rampai Arsitektur ITS . Schodek, D. L. (1980). Structures. London: Prentice-Hall Inc.
Suryabrata, S. (1994). Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Umar, M. H. (1988). Sekilas Rumah Tradisional Sasak di Lombok. Waterson, R. (1990). The Living House. New York: Oxford University Press.