25
ICASERD WORKING PAPER No.43 PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA KEGIATAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

ICASERD WORKING PAPER No.43

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA KEGIATAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan

Maret 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 2: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

ICASERD WORKING PAPER No.43

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA KEGIATAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan

Maret 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono, dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]

No. Dok.044.43.3.04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 3: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

1

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PADA KEGIATAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN

Endang Lestari Hastuti dan Bambang Irawan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

Jl. A. Yani No.70 Bogor -16161

ABSTRAK Kemitraan lokal merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang sangat berperan di dalam kegiatan agribisnis, yang tumbuh secara otonom di dalam masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Kelembagaan ini dapat berfungsi dengan baik dan berkelanjutan, karena pihak-pihak yang bermitra memperoleh manfaat secara ekonomi maupun sosial. Meskipun demikian kelembagaan kemitraan yang ada pada umumnya belum mempunyai kaitan fungsional, dan masih berperan secara dispersal. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang dapat lebih menyempurnakan kelembagaan-kelembagaan kemitraan yang ada, tanpa harus menghilangkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam kelembagaan tersebut. Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan antara lain membentuk unit-unit agribisnis di sentra produksi sayuran dengan melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani produsen, membangun sarana penyimpanan yang efektif pada setiap unit agribisnis, dan membangun kaitan produksi yang bersifat saling melengkapi antara daerah sentra produksi sayuran. Kata kunci : kelembagaan, lokal, agribisnis.

PENDAHULUAN

Dewasa ini kelembagaan pada tingkat lokal atau pedesaan, mengalami tantangan

berat di bawah arus modernisasi dengan alih teknologi yang cepat. Desakan-desakan

tersebut telah mengkikis berbagai lembaga yang mempunyai fungsi sosial. Masuknya

ekonomi uang semakin merangsang hubungan komersial di daerah pedesaan,

sementara ekonomi dan kelembagaan lokal belum mampu dalam menerima hubungan

komersial tersebut (Tjondronegoro, 1999). Kelembagaan lokal yang ada pada umumnya

tidak mempunyai keterkaitan fungsional satu dengan yang lain. Misalnya lembaga

simpan pinjam di tingkat desa yang didukung oleh petani kecil, praktis tidak dapat

berkembang karena modal yang dihimpun bersama tidak dapat mencukupi untuk

mengikuti hubungan komersial. Organisasi yang ada tidak mampu memberikan jaminan

yang cukup berharga untuk dapat menarik kredit dari bank, karena masing-masing

anggota yang sebagian besar berlahan sempit tidak cukup bermodalkan tanah untuk

memperoleh jaminan dari manapun juga untuk mendapatkan pinjaman dana dari

lembaga formal. Demikian juga kelembagaan arisan yang banyak menggilir dana dalam

bentuk uang, relatif terbatas atau bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi rumah tangga.

Page 4: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

2

Dalam banyak kasus hancurnya hubungan patron-client yang sekonyong-

konyong mengakibatkan bertambahnya resiko petani kecil, yang terombang-ambing oleh

kekuatan pasar bebas yang sangat sulit untuk dibendung. Demikian pula di dalam

kelembagaan agribisnis, meskipun berbagai program kemitraan telah banyak

dikembangkan pada berbagai komoditas pertanian, namun sebagian besar kemitraan

yang diprogramkan oleh pemerintah tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik kecuali

pada sebagian komoditas perkebunan seperti PIR kelapa sawit.

Kegagalan-kegagalan pada program kemitraan pada intinya terjadi karena

kemitraan yang dikembangkan cenderung tidak dapat memberikan manfaat finansial

kepada salah satu atau keduanya. Padahal manfaat itu merupakan pertimbangan utama

bagi setiap pihak yang melakukan kemitraan.

Struktur agribsinis yang bersifat dispersal atau tersekat-sekat sangat tidak

kondusif untuk menciptakan sistem agribisnis berdaya saing tinggi yang mampu

merespon dinamika pasar secara efektif dan efisien. Hal ini karena pada struktur

agribisnis demikian tidak terjadi keterkaitan fungsional diantara para pelaku agribisnis

(Simatupang, 1999; Pranadji, 1999; dan Irawan, 2001). Oleh karena itu diperlukan

penataan struktur agribisnis dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas

pertanian. Simatupang (1997) berpendapat bahwa penataan tersebut haruslah mengarah

kepada pembentukan Unit Agribisnis Industrial. Sebagai langkah awal pragmatis

penataan struktur agribisnis tersebut dapat dilakukan dengan mengarahkan BUMN untuk

bertindak sebagai pelopor (Kasryno, 1997). Sedangkan karakteristik utama yang harus

ada pada setiap Unit Agribisnis adalah (Simatupang, 1997):

(1) Seluruh fungsi yang diperlukan untuk memproduksi, mengolah dan memasarkan

produk pertanian dapat dipenuhi. Dengan kata lain, setiap unit agribisnis haruslah

lengkap secara fungsional.

(2) Seluruh komponen atau pelaku agribisnis melaksanakan fungsinya secara

harmonis dan dalam satu kesatuan tindakan. Dengan kata lain kegiatan yang

dilakukan oleh setiap pelaku agribisnis harus saling terkait secara fungsional.

(3) Hubungan diantara seluruh pelaku agribisnis terjalin langsung melalui ikatan

institusional.

(4) Kelangsungan hidup dan perkembangan usaha pada masing-masing pelaku

agribisnis saling tergantung sama lain.

Page 5: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

3

(5) Setiap pelaku agribisnis saling membantu satu sama lain demi kepentingan

bersama.

Penataan struktur agribisnis yang mengarah kepada lima kondisi di atas

sebenarnya sudah diupayakan pemerintah melalui pengembangan berbagai program

kemitraan usaha diantara para pelaku agribisnis. Secara historis program kemitraan

tersebut sudah mulai diterapkan sejak tahun 80-an pada komoditas perkebunan melalui

program Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pada program PIR tersebut petani perkebunan

bekerjasama dengan perusahaan inti dalam mengembangkan komoditas perkebunan

yang digeluti. Dalam kerjasama tersebut perusahaan inti membangun pabrik pengolahan

komoditas perkebunan yang bahan bakunya dihasilkan dari kebun petani. Dengan kata

lain para petani berfungsi sebagai pemasok bahan baku sedangkan perusahaan inti

berfungsi sebagai pengolah dan penjual produk olahan yang dihasilkan. Dengan

mekanisme tersebut maka kemitraan yang dikembangkan tidak hanya berguna untuk

menciptakan kaitan fungsional antara petani dan perusahaan inti tetapi juga

meningkatkan nilai tambah komoditas perkebunan melalui proses pengolahan yang

dibangun oleh perusahaan inti. Kemitraan tersebut juga merupakan media untuk

mendorong pemerataan pendapatan (Erwidodo, et al., 1996).

Berbagai program kemitraan telah dikembangkan pada berbagai komoditas

pertanian. Tetapi sebagian besar kemitraan yang diprogramkan pemerintah tidak

menunjukkan kinerja yang baik kecuali pada sebagian komoditas perkebunan seperti

pada PIR kelapa sawit. Keberhasilan pada PIR perkebunan tersebut pada dasarnya

didorong oleh tiga faktor utama yaitu: (1) Usaha komoditas perkebunan memiliki

economic of scale sehingga pengembangan agribisnis dengan pola PIR yang mencakup

areal relatif luas mampu menekan ongkos produksi, dengan kata lain meningkatkan

keuntungan, (2) Pelaksanaan PIR perkebunan pada umumnya dilakukan pada lahan-

lahan transmigrasi yang baru dibangun sehingga dapat dirancang relatif mudah ukuran

usaha yang efisien dan menguntungkan perusahaan inti yang menjadi mitra petani, (3)

Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan petani karena pasar bahan

baku bagi industri pengolahan yang dibangunnya dapat dikuasai dan adanya pembagian

resiko antara perusahaan inti, petani dan pemerintah. Sedangkan bagi petani kemitraan

tersebut juga menguntungkan karena komoditas perkebunan yang dikembangkannya

menjadi memiliki jangkauan pasar lebih luas akibat dikembangkannya pabrik pengolahan

dan pasar produk yang dihasilkan petani lebih terjamin.

Page 6: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

4

Krisnamurthi (2001) berpendapat bahwa faktor ketiga itulah yang umumnya

menjadi daya tarik bagi perusahaan untuk melakukan kemitraan sehingga PIR

perkebunan dapat berjalan. Sedangkan pada program kemitraan lainnya seringkali

dijumpai kegagalan yang pada intinya terjadi karena kemitraan yang dikembangkan

cenderung merugikan atau tidak memberikan manfaat kepada salah satu pihak, petani

atau perusahaan mitranya. Padahal, manfaat yang dapat diperoleh justru merupakan

daya tarik utama bagi setiap pihak untuk melakukan kemitraan. Pada umumnya,

kontinyuitas pasokan petani kepada perusahaan mitra merupakan manfaat yang

diinginkan oleh perusahaan mitra sedangkan jaminan pasar baik dalam kuantitas

maupun harga merupakan manfaat utama yang diinginkan petani dalam melakukan

kemitraan.

Pengalaman menunjukkan bahwa kedua manfaat yang diinginkan oleh

perusahaan mitra dan petani seringkali semakin kecil sehingga kemitraan yang telah

dibangun tidak berkelanjutan. Pada umumnya hal ini terjadi karena adanya pelaku

agribisnis lain di luar kemitraan (pedagang lokal) yang berani membeli produksi petani

dengan harga lebih tinggi daripada harga yang disepakati dengan mitranya. Akibatnya

adalah petani cenderung menjual produksinya bukan kepada mitranya, melainkan

kepada pedagang lokal yang membeli dengan harga lebih tinggi. Bagi petani hal itu

merupakan pilihan yang rasional walaupun cenderung merugikan mitranya akibat

berkurangnya pasokan produksi petani kepada mitranya.

Fakta di atas mengungkapkan bahwa program kemitraan yang dibangun tanpa

melibatkan pelaku agribisnis lokal (pedagang lokal) sulit dipertahankan secara

berkelanjutan. Dalam konteks lebih luas, banyak pendapat mengungkapkan bahwa

kegiatan pembangunan agribisnis yang dilakukan tanpa memperhitungkan kelembagaan

yang sudah berkembang secara alami di pedesaan akan mengalami hambatan. Oleh

karena itu, dalam mendorong kemitraan di sektor agribisnis pemerintah tidak harus

mengubah atau memperkenalkan bentuk kelembagaan yang baru tetapi cukup dengan

melakukan pembenahan pada kelembagaan yang sudah berkembang, sesuai dengan

tujuan yang diinginkan (Hastuti, 1986). Hal ini karena bentuk-bentuk kerjasama usaha

antara petani dengan pihak lain sebenarnya sudah banyak yang berkembang di daerah

pedesaan dan dalam kerjasama tersebut secara umum sudah diperhitungkan pula

masalah pemerataan dan aspek keberlanjutan usaha bagi pihak-pihak yang bermitra

(Suradisastra, 1999; Hastuti, 1986).

Page 7: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

5

Kemitraan dengan pola PIR yang dikembangkan di daerah transmigrasi pada

dasarnya dapat pula diterapkan pada komoditas hortikultura walaupun tidak semudah

pada komoditas perkebunan. Hal ini karena komoditas hortikultura terutama sayuran

pada umumnya membutuh-kan kondisi agroklimat yang spesifik, kegiatan usahatani yang

intensif dan keragaman jenis hama penyakit yang relatif tinggi. Sifat demikian

menyebabkan komoditas sayuran relatif sulit dikembangkan dengan pola PIR yang

membutuhkan hamparan lahan relatif luas untuk mencapai ukuran usaha yang efisien

bagi pabrik pengolahan, akibat terkendala oleh kondisi lahan. Kemitraan dengan pola

PIR yang melibatkan lahan transmigrasi mungkin lebih sesuai untuk komoditas buah-

buahan yang relatif kurang intensif dalam penggunaan tenaga kerja dan memiliki daya

adaptasi yang lebih baik terhadap kondisi agroklimat dibandingkan komoditas sayuran.

Di daerah produksi sayuran pada umumnya sudah berkembang kerjasama usaha

antara petani dengan pedagang sayuran atau dengan pedagang sarana pertanian.

Hubungan kerjasama usaha tersebut pada umumnya tumbuh dan berkembang tanpa

melibatkan peran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama usaha antar pelaku

agribisnis akan tumbuh dengan sendirinya jika kedua belah pihak saling membutuhkan

dan kerjasama usaha yang dilakukan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

Mengikuti pemikiran Hastuti (1986) maka kerjasama usaha semacam inilah yang perlu

dibenahi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, bukan dengan mengintroduksikan pola

kerjasama yang baru. Sedangkan tujuan dari kemitraan yang dikembangkan haruslah

mengarah kepada terciptanya kaitan fungsional antar pelaku agribisnis serta mengurangi

permasalahan yang dihadapi dalam mendorong perkembangan komoditas yang

diusahakan. Pada agribisnis sayuran, Syukur (1995) dan Sudaryanto et al., (1992)

mengungkapkan bahwa pemasaran merupakan masalah yang menonjol, oleh karena itu

kemitraan yang dikembangkan seyogyanya mampu mengurangi permasalahan tersebut.

METODE PENELITIAN

Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian tentang agribisnis di beberapa daerah

di Jawa Tengah, Medan, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Keempat lokasi memiliki

karakteristik yang berbeda-beda, sebagaimana diuraikan pada Tabel.1.

Page 8: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

6

Tabel 1. Ciri-ciri Pokok Lokasi Penelitian pada Kegiatan Agribisnis Berbagai Komoditas Pertanian

Desa Kabupaten Topografi Aksesibilitas Pola tanam & komoditas dominan

1 Magelang Dataran Tinggi Jauh dari kota Padi – Palawija (cabai)

2 Karo Dataran Tinggi Jauh dari kota Palawija 3x, kentang & kol

3 Bandung Dataran Tinggi Jauh dari kota Palawija 3x, kentang & sayuran

4 Subang Dataran Rendah Jauh dari kota Padi (5x) dalam 2 tahun

5 Praya Barat Daya Dataran Rendah Jauh dari kota Padi – padi

6 Lombok Timur Dataran Tinggi Dekat kota Palawija (3x), cabai dan sayuran

Di dalam penelitian ini difokuskan pada aspek interaksi antar pelaku agribisnis,

yaitu antar pedagang input, petani produsen, pedagang output, dan pengolah hasil

produk pertanian. Selain itu juga dilakukan analisa manfaat dan kerugian petani dari

kelembagaan kemitraan yang dibentuk. Wawancara dilakukan dengan menggunakan

daftar pertanyaan yang terstruktur, disertai dengan informasi kualitatif dan kuantitatif, dan

pengamatan langsung di lokasi penelitian. Aspek utama penelitian adalah bagaimana

hubungan antara pelaku agribisnis baik yang bersifat ekonomi maupun sosial. Antara

lain bagaimana para pelaku agribisnis menjalin dan memelihara hubungan usaha, faktor-

faktor yang menjadi dasar pertimbangan, tingkat kontinuitas, sangsi/reward yang

diberikan, dan manfaat/kerugian finansial yang diperoleh oleh masing-masing pelaku

agribisnis.

BENTUK KEMITRAAN DI PEDESAAN

Kemitraan pada Komoditas Cabai di Magelang

Bentuk kemitraan yang terdapat di Magelang adalah kemitraan antara petani

dengan pedagang sarana produksi pertanian, dan pedagang hasil produksi. Berdasarkan

skala usaha dan luasnya jaringan kemitraan, terdapat tiga bentuk kemitraan yaitu:

1. Kemitraan antara petani dengan pedagang kecil.

2. Kemitraan antara petani dengan pedagang menengah

3. Kemitraan antara petani dengan pedagang besar

Page 9: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

7

Secara rinci bentuk-bentuk hubungan kemitraan pada kegiatan agribisnis cabai

dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kemitraan pada Kegiatan Agribisnis Cabai di Desa Penelitian di

Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Tahun 2001

Level pedagang

Volume usaha (kg)

Jumlah pinjaman (Rp.000)

Hubungan kemitraan

Jumlah mitra

(petani)

Jaringan kemitraan

Lokasi pemasaran

Kecil 20 – 80 100 – 300 Petani – Pedagang

Lebih kurang 50

Sedusun Talun, Muntilan, Yogya

Menengah 100 – 500 500 – 2000

Petani – pedagang

50 – 200 Sedesa Semarang, Ambarawa, Magelang, Temanggung, Ciamis

Besar 2000 - 8000

> 2000 Petani – ped. output – ped. input

Lebih kurang 800

Sekecamatan Jakarta Kramatjati

Pada hubungan antara petani dengan pedagang kecil, luas jaringan usaha hanya

mencakup kurang lebih antara satu pedagang output dengan 50 petani produsen, yang

berasal dari petani yang tinggal dalam satu desa. Di dalam bentuk kemitraan ini terdapat

tiga macam bentuk hubungan, yaitu hubungan ekonomi, perdagangan, dan sosial.

Hubungan ekonomi yang terjadi adalah dalam hal peminjaman uang untuk biaya

usahatani dan keperluan rumahtangga petani produsen. Jumlah uang yang dapat

dipinjam oleh petani mitra sekitar Rp 100.000 s/d Rp 300.000. Pada umumnya insiatif

untuk menjalin kemitraan berasal dari petani produsen, dengan cara memberikan

informasi mengenai kondisi usahatani, dan alamat petani. Jumlah uang yang dipinjamkan

pada awal kemitraan tidak langsung dalam jumlah besar, namun berkembang sesuai

dengan tingkat kepercayaan antar kedua belah pihak. Seperti diketahui bahwa di dalam

ekonomi rumahtangga petani tidak dapat dipisahkan dengan tegas antara biaya produksi

dan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dengan demikian mitra tidak dapat langsung

mengontrol penggunaan dana pinjaman tersebut. Yang terpenting bagi mitra adalah

uang dapat kembali sesuai dengan ketepatan waktu yang telah disepakati bersama.

Bentuk pinjaman ini pada umumnya dikembalikan dengan hasil produk pertanian. Seperti

diketahui bahwa budidaya cabai dapat dipanen sampai 15 kali per sekali tanam. Dengan

demikian besarnya pinjaman dapat diatur bersama antar kedua belah pihak yang

bermitra, dan dipotong sesuai dengan besar pinjaman. Selain dengan petani produsen,

Page 10: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

8

pedagang output/pedagang pengecer. Dari kasus yang ditemukan, pedagang desa

bermitra dengan 3 pedagang pengecer yang menjual kembali hasil dagangannya di

pasar Kranggan, Yogyakarta. Cara pembayaran dapat diatur pula sesuai dengan

kesepakatan bersama.

Pada kemitraan antara petani dengan pedagang menengah, luas jaringan usaha

kemitraan dapat mencapai 200 petani, dan besarnya pinjaman yang dapat diajukan oleh

petani dapat mencapai Rp 500.000 s/d Rp 2.000.000. Sedang pada kemitraan antara

petani dengan pedagang besar, luas jaringan usaha dapat mencapai dengan 800 petani,

dan jumlah uang yang dipinjam oleh petani dapat mencapai lebih dari Rp 2.000.000,-

Tingkat keterikatan antara pedagang dengan petani sangat tergantung pada

tingkat kemudahan mendapatkan modal usaha. Sebagai contoh seorang wanita tani

tidak mau melanjutkan bermitra dengan pedagang yang masih sedusun, karena tidak

dapat memperoleh pinjaman modal yang sesuai dengan kebutuhannya. Di lain pihak

untuk dapat berperan sebagai mitra yang sukses, sebagian besar dari para pelaku

kemitraan selalu dimulai dari volume usaha yang relatif kecil, dan tetap menjaga

hubungan baik dengan para mitranya secara ekonomi maupun sosial. Jaringan usaha

akan berkembang dengan sendirinya apabila terbukti dapat melakukan usaha dengan

baik dan benar. Yang terpenting harus dapat mempertahankan jaringan usaha yang telah

terbentuk, dengan cara menepati kesepakatan bersama yang telah dibuat.

Kemitraan pada Agribisnis Kentang

Sebagian besar bentuk kemitraan yang terdapat pada kegiatan agribisnis kentang

adalah antara petani dengan pedagang output. Bentuk-bentuk kemitraan yang ada dapat

dilihat pada Tabel 3.

Pola kemitraan yang terdapat pada agribisnis kentang sebagian besar adalah

kemitraan antara petani dengan pedagang output, yang sudah berjalan kurang lebih

selama 5 tahun. Sedang kemitraan antara petani dengan pedagang sarana produksi

pertanian relatif sedikit, dan baru berjalan kurang lebih selama 3 tahun terutama pada

musim kemarau. Para petani yang dapat menjalin kemitraan dengan pedagang output

pada umumnya petani luas yang menguasai lahan lebih dari 1 ha. Hal ini merupakan

salah satu syarat yang tidak tertulis, yang ditentukan oleh mitra dalam usahanya untuk

menjamin kelangsungan pasokan antara mitra (agen) dengan para toke (eksportir).

Page 11: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

9

Tabel 3. Bentuk-bentuk Kemitraan di Kabupaten Karo Sumatera Utara Tahun 2001

Level Pedagang

Volume Usaha

(kg)

Jumlah modal & pinjaman (Rp.000)

Tipe kemitraan

Jumlah mitra

Jang-kauan Mitra

Kecil// Agen

500-2.000 10.000-15.000

A (Petani – Agen –Toke)

10-20 dg lahan 1 Ha

Antar desa Brastagi Kabanjahe

Besar/ Pegudang

2.000-6.000

300.000 A (Petani – Pegudang – Toke

10-20 dg. Lahan >2 ha

Antar desa Brastagi Medan

Toke/Peng-eksport

>10.000 1.000.000 A (Agen – Pegudang – Toke peng-import

10-20 agen/ pegudang

Kecamatan dan Kabu-paten

Singapura Malaysia

Catatan: Data di tingkat toke masih dalam perkiraan Kesepakatan kemitraan antara agen/pegudang dengan petani diatur secara

otonom diantara mereka. Namun kelembagaan kemitraan ini telah berkembang dengan

sendirinya di dalam masyarakat atas dasar untuk memenuhi kebutuhan bersama tanpa

ada campur tangan dari pemerintah. Dengan demikian aturan yang berlakupun sesuai

dengan aturan yang berlaku di dalam masyarakat, yang akan dijatuhkan sangsi bagi para

pelanggarnya. Petani mitra dengan melakukan kemitraan dengan para agen/pegudang,

akan memperoleh manfaat mendapat pinjaman dalam bentuk sarana produksi, yaitu

pupuk, obat-obatan, dan jaminan pasar. Meskipun demikian petani mitra harus mau

berkorban dengan membayar harga saprotan lebih mahal, dan menjual produk dengan

harga lebih murah dari harga pasar. Untuk dapat dipercaya sebagai mitra harus melalui

proses seleksi yang cukup panjang, bersikap jujur, dan menepati kesepakatan yang

dibuat bersama. Apabila terjadi pelanggaran kesepakatan/norma, maka hubungan

kemitraan akan putus.

Kemitraan pada Agribisnis Kol/Kubis

Terdapat dua pola kemitraan pada agribisnis kol, yaitu kemitraan antara petani

dengan pedagang sarana produksi pertanian, dan kemitraan antara petani dengan

pedagang output. Kemitraan antara petani dengan pedagang input belum melembaga di

dalam masyarakat, karena baru terbentuk kurang lebih selama 2 tahun. Sedang

kemitraan antara petani dengan pedagang output telah berjalan kurang lebih selama

enam tahun. Bentuk-bentuk kemitraan yang terdapat pada agribisnis kol dapat dilihat

pada Tabel 4 berikut.

Page 12: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

10

Tabel 4. Bentuk-bentuk Kemitraan pada Agribisnis Kol di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Tahun 2001

No. Tingkat pedagang Volume usaha Permodalan (Rp.000)

Tipe & jumlah mitra Lokasi pemasaran

1. Petani dan pedagang input

Baru berjalan satu tahun

- - -

2. Renggek-renggek < 100 < 100 Tanpa mitra Pasar lokal 3. Pedagang pasar/

pajak 100 – 200 10 - 20 1 – 2 agen Pasar kabupaten

4. Pedagang pengumpul

1 – 10 ton Tanpa modal 1 agen Pasar dalam negeri

5. Agen kecil 10 – 40 ton 10.000 – 50.000 50 petani & toke Pasar dalam negeri & eksport

6. Agen besar > 100 ton 100.000 – 300.000

100 petani & toke

Eksport

7. Toke > 500 ton > 500.000 2 – 3 agen Eksport Motivasi utama pada kelembagaan kemitraan antara pedagang sarana produksi

pertanian dengan petani adalah untuk mengatasi kesulitan penyediaan input. Kemitraan

ini pada umumnya terjadi antara pedagang dan petani yang berlahan sempit yaitu kurang

dari satu hektar. Sedang kemitraan antara petani luas (lebih dari 1 ha) dengan pedagang

output diprakarsai oleh pedagang dalam upaya untuk memperoleh pasokan dagang

secara kontinyu. Namun demikian dari pihak petani pun mendapat manfaat yang cukup

besar, yaitu memperoleh jaminan biaya produksi dan jaminan pasar. Bagi keduanya

terdapat sangsi yang cukup berat, yaitu bagi pedagang output apabila tidak dapat

memberi bantuan saprodi tidak akan mendapat pasokan dagangan, sedang bagi petani

yang tidak mampu memberi pasokan sesuai kesepakatan tidak akan memperoleh

bantuan input. Seorang agen memberikan informasi bahwa untuk mendapat jaminan

pasokan dagang yang cukup, paling tidak harus mampu menjalin kemitraan dengan 50

petani produsen.

Kemitraan pada Agribisnis Sayuran

Pada agribisnis sayuran terdapat kemitraan antara pedagang output, pedagang

input, dan petani produsen, seperti tertera pada Tabel 5 berikut.

Di desa penelitian di Kabupaten Bandung terdapat beberapa pedagang sarana

produksi pertanian yang bermitra dengan petani, dengan cara memberikan pinjaman

dalam bentuk input seperti pupuk dan obat-obatan, dengan bunga 2 s/d 3 persen per

bulan. Namun bila pinjaman tersebut dibayar dalam jangka waktu kurang dari satu bulan,

tidak dikenakan bunga. Bagi petani untuk memperoleh kepercayaan sebagai mitra, harus

Page 13: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

11

Tabel 5. Pola Kemitraan pada Agribisnis Sayuran di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Lombok Timur, Tahun 2002

Jenis mitra Jumlah modal (Rp.000)

Jumlah mitra

(petani)

Jumlah pinjaman (Rp.000)

Tingkat bunga (%)

Pedagang sarana produksi pertanian

30.000 – 300.000 11 – 40 30 – 200 27 – 36

Saudagar/pedagang output

Bandung: 50.000 – 100.000 Lombok Timur: 500 – 100.000

10 - 20

250.000

< Rp 50 – Rp 100 dari harga

pasar

dapat membina hubungan kepercayaan terlebih dahulu. Bila hubungan kepercayaan

dilanggar, maka akan mendapat sangsi yang cukup berat, yaitu tidak akan mendapat

pinjaman untuk selamanya. Di lain pihak para pedagang saprotan berusaha pula untuk

membina hubungan sosial dengan para petani yang dipercaya, dengan memberikan

berbagai macam hadiah seperti barang elektronik, kaos, bingkisan hari raya, dan

sebagainya.

Selain dengan pedagang saprotan, petani di desa penelitian di Kabupaten

Bandung dan Kabupaten Lombok Timur juga bermitra dengan pedagang output/

saudagar. Di satu pihak para pedagang output mendapat manfaat berupa pasokan

dagang, sedang petani mendapat pinjaman dan jaminan pasar produksi. Meskipun

demikian petani harus menanggung resiko membayar bunga dan menjual output dengan

harga lebih rendah dari harga pasar.

Kemitraan pada Agribisnis Padi

Pada agribisnis padi baik di Kabupaten Subang maupun di Kabupaten Praya

Barat Daya, terdapat hubungan kemitraan antara pedagang saprotan, pelepas uang, dan

penggilingan padi. Selain itu juga kemitraan antara pedagang output dengan petani

produsen, dengan pola-pola kemitraan pada Tabel 6 berikut.

Di Kabupaten Praya Barat Daya para pedagang bermitra dengan petani dengan

tujuan utama untuk memperoleh pelanggan. Dalam hubungan ini pedagang tidak

menarik bunga, namun semata-mata supaya dagangannya laku. Di samping bermitra

dengan petani, terdapat pula pedagang saprotan yang bermitra secara vertikal dengan

pedagang pemasok dengan cara konsinyasi. Selain dengan pedagang saprotan,

terdapat pula petani yang bermitra dengan pengolah hasil/penggilingan padi atau dengan

Page 14: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

12

Tabel 6. Pola Kemitraan pada Agribisnis Padi di Desa Penelitian di Kabupaten Subang dan Kabupaten Praya Barat Daya, Tahun 2002

Jenis mitra Jumlah modal (Rp.000)

Jumlah mitra (Petani)

Jumlah pinjaman (Rp.000)

Tingkat bunga (%/tahun)

Pedagang sayuran

100 – 200 15 – 20 30 – 10.000 -

Pedagang output 2.000 – 3.000 20 100 - 250 - Pengolah hasil 3.750 25 100 – 300 24 Pelepas uang 5.000 20 250 – 1.500 42

pelepas uang, meskipun harus membayar bunga yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan

karena tidak dapat menjangkau lembaga pembiayaan formal, yang mensyaratkan

adanya agunan yang berupa sertifikat. Padahal sebagian besar petani, terutama petani

berlahan sempit tidak mampu mengurus pembuatan sertifikat karena biaya yang cukup

tinggi.

FREKUENSI PETANI MENURUT POLA KEMITRAAN

Di lokasi penelitian banyak dijumpai kemitraan yang dilakukan oleh pedagang dan

petani dalam kegiatan agribisnis komoditas hortikultura yang dikaji. Pedagang yang

terlibat dalam kemitraan tersebut dapat merupakan pedagang sarana produksi atau

pedagang sayuran. Kemitraan pedagang-petani tersebut merupakan bentuk

kelembagaan produksi yang tumbuh dengan sendirinya dan tidak ada campur tangan

pemerintah, baik dalam pembentukan kerjasama tersebut maupun dalam mekanisme

kerjanya. Tumbuhnya kemitraan tersebut pada dasarnya didorong oleh adanya saling

ketergantungan dan saling membutuhkan diantara pihak-pihak yang bermitra. Misalnya,

pedagang sarana produksi merasa perlu bermitra dengan petani untuk memperlancar

penjualan sarana produksi yang dipasarkannya. Sebaliknya, petani juga merasa perlu

bermitra dengan pedagang untuk mengatasi keterbatasan modal yang dimiliki dan

memperoleh jaminan pemasaran sayuran yang dihasilkannya jika petani bermitra dengan

pedagang sayuran.

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sekitar 35 persen petani untuk seluruh komoditas

yang dikaji melakukan kemitraan dengan pedagang sarana produksi atau pedagang

sayuran. Kemitraan pedagang-petani tersebut telah berlangsung cukup lama yaitu sekitar

5 tahun atau sekitar 10 kali musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan diantara

mereka saling menguntungkan sehingga kemitraan tersebut dapat berlangsung dalam

waktu yang cukup lama. Pada komoditas cabai pernah dikembangkan secara formal

Page 15: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

13

kemitraan antara petani dan PT. Indofood tetapi tidak berlangsung lama karena

mekanisme kerjasama yang dikembangkan cenderung merugikan petani. Pada

kemitraan tradisional yang berkembang dengan sendirinya, hubungan kerjasama yang

merugikan salah satu pihak jarang terjadi karena kedua belah pihak saling memahami

kebutuhan dan kesulitan masing-masing dan hubungan diantara mereka dilandasi

dengan kepercayaan yang kuat satu sama lain. Sebagai gambaran, jika petani

mengalami kegagalan panen maka pedagang tidak menuntut pelunasan hutang petani

dengan segera tetapi dapat dicicil pada musim-musim panen berikutnya. Begitu pula jika

petani membutuhkan uang untuk biaya pendidikan anaknya maka petani dapat menunda

pelunasan hutangnya pada musim panen berikutnya.

Baik pedagang sarana maupun pedagang sayuran meminjamkan modalnya

kepada petani sebagai salah satu bentuk dukungan yang diberikan pedagang kepada

petani dalam kerangka kemitraan diantara mereka. Berdasarkan hal tersebut banyak

pendapat mengungkapkan bahwa desakan modal usahatani merupakan faktor utama

yang mendorong petani melakukan kemitraan dengan pedagang. Dengan kata lain,

keterbatasan modal merupakan masalah utama yang dihadapi petani sehingga petani

membutuhkan dukungan modal dari pedagang atau melakukan kemitraan dengan

pedagang untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi dalam melakukan kegiatan

usahataninya.

Dalam kasus tertentu, pendapat di atas mungkin benar adanya. Tetapi

berdasarkan Tabel 7 desakan modal tampaknya bukan masalah utama yang dihadapi

petani sehingga mereka membutuhkan dukungan pedagang. Hal ini karena, jika

kebutuhan modal untuk pengadaan sarana produksi merupakan masalah utama petani

maka seharusnya lebih banyak petani yang bermitra dengan pedagang sarana untuk

membantu petani mengurangi permasalahan tersebut. Tetapi dalam Tabel 7 dapat

disimak bahwa jumlah petani yang bermitra dengan pedagang sarana justru lebih sedikit

dibandingkan petani yang bermitra dengan pedagang sayuran. Kemitraan dengan

pedagang sarana secara total dijumpai pada 10,4 persen petani atau antara 3,0 persen

hingga 20,0 persen petani menurut komoditas, sedangkan untuk kemitraan dengan

pedagang sayuran nilai proporsi tersebut sebesar 25,2 persen atau antara 25,9 persen

hingga 45,4 persen.

Page 16: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

14

Tabel 7. Jumlah Petani Menurut Pola Kemitraan dan Lama Pengalaman Bermitra Menurut Komoditas

Komoditas

Kemitraan dengan

pedagang sarana

produksi (Pola A)

Kemitraan dengan

pedagang sayur

(Pola B)

Tanpa kemitraan (Pola D)

Jumlah

Jumlah petani - Bawang merah - Cabai - Kentang - Kubis - Total

5 (12,5) 7 (20,0) 1 (3,0) 2 (7,4) 14 (10,4)

-

12 (34,3) 15 (45,4) 7 (25,9) 34 (25,2)

35 (87,5) 16 (45,7) 17 (51,5) 18 (66,7) 88 (65,2)

40 (100) 35 (100) 33 (100) 27 (100) 135 (100)

Rata-rata penga-laman bermitra (tahun) - Bawang merah - Cabai - Kentang - Kubis - Rata-rata

8,4 4,9 5,0 2,0 5,1

-

3,2 5,1 6,7 5,0

- - - - -

- - - - -

Keterangan : ( ) persentase terhadap jumlah responden untuk setiap komoditas Fakta di atas mengungkapkan bahwa petani lebih tertarik untuk bermitra dengan

pedagang sayuran daripada pedagang sarana produksi. Hal ini menunjukkan bahwa

dukungan pedagang sayuran yang diwujudkan melalui kemitraan diantara mereka lebih

dibutuhkan petani daripada dukungan pedagang sarana produksi. Dengan kata lain

dukungan pedagang untuk mengatasi masalah pemasaran produk yang dihasilkan petani

lebih dibutuhkan daripada dukungan untuk mengatasi masalah modal usahatani. Hal ini

karena melalui kemitraan dengan pedagang sayuran maka produksi petani sudah pasti

terjual. Pada komoditas sayuran yang cepat busuk dan memiliki fluktuasi harga tinggi

masalah jaminan pasar tersebut memang sangat dibutuhkan petani. Sedangkan dalam

pengadaan modal, petani sayuran secara umum cukup mampu. Hal ini dapat disimak

dalam bagian selanjutnya yang mengungkapkan bahwa modal usahatani yang dipinjam

dari pedagang relatif kecil dibandingkan total kebutuhan modal usahatani.

PEMILIKAN DAN PENGUASAAN LAHAN PETANI

Secara umum rumah tangga tani sayuran memiliki pendapatan lebih tinggi

dibandingkan petani padi dan sebagian besar dari pendapatan tersebut berasal dari

kegiatan usahatani yang dilakukannya. Penelitian Adnyana et al., (2000) misalnya

Page 17: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

15

mengungkapkan hal tersebut; Pendapatan rumah tangga ekivalen padi di daerah lahan

sawah sekitar 4,1 ton dan 3,8 ton per kapita untuk daerah Jawa dan luar Jawa,

sedangkan, di daerah lahan kering di luar tanaman perkebunan yang umumnya

merupakan daerah sayuran besarnya pendapatan rumah tangga tersebut masing-masing

4,3 ton dan 4,7 ton per kapita per tahun. Sementara, proporsi pendapatan yang berasal

dari kegiatan pertanian di daerah lahan kering tersebut sekitar 73,5 persen untuk Jawa

dan 66,9 persen untuk luar Jawa.

Hasil penelitian yang dikutip di atas mengungkapkan bahwa petani sayuran relatif

kaya dibandingkan petani padi dan ketergantungan pendapatan petani sayuran terhadap

hasil kegiatan usahataninya sangat tinggi. Oleh karena itu dapat dipahami jika dalam

penelitian tersebut ditemukan pula hubungan yang positif antara besarnya pendapatan

petani dengan luas lahan garapan yang dikuasai. Dengan kerangka berpikir yang sama

sering diinterpretasikan pula bahwa kemampuan modal petani pada akhirnya sangat

tergantung kepada luas lahan garapan yang dikuasai petani.

Tabel 8 memperlihatkan luas penguasaan lahan garapan petani responden.

Secara umum petani kentang dan kubis di Sumut memiliki lahan garapan lebih luas

daripada petani bawang merah dan cabai di Jateng akibat tekanan jumlah penduduk

terhadap lahan yang lebih berat di daerah Jawa. Dari Tabel 8 tersebut yang menarik

adalah tidak ada pola yang konsisten dalam penguasaan lahan garapan jika

diperbandingkan antara petani pelaku kemitraan dan petani non kemitraan. Rata-rata

penguasaan lahan pada petani bawang dan cabai sedikit lebih tinggi untuk petani non

kemitraan, sebaliknya, pada petani kentang dan kubis petani yang melakukan kemitraan

menguasai lahan garapan lebih luas daripada petani bebas.

Tabel 8. Rata-rata Luas Penguasaan Lahan Garapan Petani Menurut Komoditas pada Petani

Pelaku Kemitraan dan Petani Non Kemitraan (ha)

Komoditas Petani kemitraan Petani non kemitraan Bawang merah Cabai Kentang Kubis

0,58 0,52 1,86 1,87

0,73 0,59 1,66 1,73

Karena kemampuan modal petani secara umum berhubungan positif dengan luas

lahan petani, temuan tersebut di atas mengungkapkan bahwa petani yang melakukan

kemitraan dengan pedagang tidak selalu merupakan petani dengan kemampuan modal

Page 18: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

16

rendah, terutama untuk kasus kentang dan kubis. Dengan kata lain, desakan kebutuhan

modal petani tidak selalu merupakan faktor pendorong utama terjadinya kemitraan antara

petani dan pedagang. Secara implisit hal ini menunjukkan pula bahwa permodalan tidak

selalu merupakan masalah utama yang dihadapi petani karena dua hal yang saling

terkait yaitu: (1) Pada prinsipnya, petani melakukan kemitraan dengan pedagang dengan

tujuan agar mitranya tersebut (pedagang) dapat membantu petani mengatasi permasalah

utama yang tidak dapat diatasi oleh petani sendiri. Dengan kata lain, jika petani mampu

mengatasi semua permasalahannya sendiri maka petani tidak perlu melakukan

kemitraan dengan pedagang karena hal itu memberikan resiko kepada petani yang dapat

berupa harga jual sayuran lebih rendah daripada harga pasar; (2) Konsekuensi dari butir

(1) adalah, jika keterbatasan modal merupakan masalah utama petani maka petani yang

melakukan kemitraan seharusnya memiliki kemampuan modal (dicerminkan oleh luas

penguasaan lahan) lebih rendah dibandingkan petani non kemitraan. Namun seperti

diperlihatkan dalam Tabel 9 kemampuan modal petani yang bermitra dengan pedagang

justru lebih tinggi daripada petani non mitra, khususnya untuk komoditas kentang dan

kubis. Sedangkan untuk komoditas cabai dan bawang merah kemampuan modal petani

kemitraan sedikit lebih rendah dibandingkan petani non kemitraan.

Untuk memperjelas hubungan antara kemampuan modal petani (dicerminkan

oleh penguasaan lahan) dengan kemitraan yang dilakukan petani, dalam Tabel 9

diperlihatkan distribusi jumlah petani menurut kelompok luas penguasaan lahan. Dalam

tabel tersebut dapat disimak bahwa proporsi petani yang berkemampuan modal tinggi

(luas garapan di atas 1 hektar) cukup banyak yang melakukan kemitraan dengan

pedagang, secara total sekitar 36 persen petani contoh. Proporsi kelompok petani kaya

tersebut relatif sama untuk petani non pelaku kemitraan yaitu sekitar 37 persen petani

contoh. Artinya, secara agregat untuk seluruh petani sayuran yang dikaji kemampuan

modal petani pelaku kemitraan tidak berbeda dengan petani non kemitraan. Pada

komoditas cabai petani yang melakukan kemitraan memang cenderung merupakan

petani bermodal lemah tetapi pada komoditas kentang justru petani bermodal kuat yang

lebih banyak melakukan kemitraan dengan pedagang.

Page 19: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

17

Tabel 9. Jumlah Petani Responden Menurut Luas Penguasaan Lahan dan Pola Kemitraan

Luas penguasaan lahan (ha) Komoditas <0,25 0,25-0,49 0,50-0,99 1,00-1,99 >2,00

Bawang merah - Petani mitra - Petani non mitra Cabai - Petani mitra - Petani non mitra Kentang - Petani mitra - Petani non mitra Kubis - Petani mitra - Petani non mitra

1 6

9 4 - - - 1

- 6

3 4

1 2

1 5

3 14

6 5

3 6

3 -

1 6 - 3

7 4

1 5

- 3

1 -

4 4

3 6

Total - Petani mitra - Petani non mitra

10

(21,3) 11

(13,1)

5

(10,6) 17

(20,2)

15

(31,9) 25

(29,8)

9

(19,1) 18

(21,4)

8

(17,0) 13

(15,5)

Keterangan: ( ) persentase terhadap jumlah responden

IMBANGAN MANFAAT DAN KERUGIAN FINANSIAL PADA PETANI PELAKU KEMITRAAN

Seperti diungkapkan pada bagian sebelumnya, petani yang melakukan kemitraan

memperoleh manfaat dan kerugian secara finansial dari kemitraan yang dilakukannya

dengan pedagang. Secara finansial petani memperoleh manfaat akibat dukungan modal

yang diberikan oleh pedagang. Sedangkan kerugian finansial yang diperoleh petani

dapat berupa harga sarana produksi yang lebih mahal bagi petani yang bermitra dengan

pedagang sarana produksi atau harga sayuran yang lebih murah daripada harga pasar

bagi petani yang bermitra dengan pedagang sayur.

Permasalahannya adalah, bagaimana imbangan manfaat dan kerugian secara

finansial pada petani yang melakukan kemitraan dengan pedagang. Banyak pendapat

mengungkapkan bahwa hubungan kemitraan yang terjadi antara petani dan pedagang

seringkali merugikan petani karena posisi tawar petani yang lemah sehingga pedagang

dapat mengendalikan harga sesuai dengan keinginannya. Sedangkan modal yang

dipinjamkan pedagang kepada petani hanya dianggap sebagai pengikat agar petani

selalu berhubungan bisnis dengan pedagang bersangkutan dan tidak diperhitungkan

Page 20: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

18

sebagai faktor produktif yang dapat membantu usaha petani. Pendapat demikian

mungkin benar jika modal yang dipinjamkan pedagang sangat kecil dibandingkan

kebutuhan modal usahatani dan kemitraan tersebut terjadi di daerah dengan infrastruktur

ekonomi yang buruk dimana alternatif pemasaran yang dapat dilakukan petani sangat

terbatas.

Analisis berikut ini mengkaji manfaat dan kerugian finansial petani yang

melakukan kemitraan dengan pedagang. Dalam kajian tersebut modal yang dipinjamkan

pedagang tidak hanya dipandang sebagai faktor pengikat antara petani dan pedagang

tetapi diperhitungkan pula sebagai faktor input milik pedagang yang digunakan oleh

petani.

Salah satu metoda analisis yang dapat dipakai untuk mengevaluasi manfaat

finansial yang diperoleh petani dari suatu kemitraan adalah dengan pendekatan fungsi

produksi. Dengan pendekatan tersebut maka petani dan pedagang dianggap

memperoleh manfaat yang optimal jika masing-masing pihak memperoleh pangsa output

yang sebanding dengan kontribusi input yang dimilikinya terhadap total output yang

dihasilkan. Pendekatan fungsi produksi tersebut misalnya digunakan oleh Irawan et al.,

(1988) dalam mengevaluasi sistem bagi hasil yang berkembang di sektor perikanan.

Namun pendekatan tersebut sulit diterapkan dalam penelitian ini karena modal yang

dipinjamkan pedagang tidak dapat ditelusuri dengan jelas pengalokasiannya untuk

berbagai jenis input usahatani yang digunakan oleh petani.

Pada prinsipnya, petani maupun pedagang memperoleh manfaat finansial yang

optimal di dalam kemitraan jika masing-masing pihak memperoleh pangsa output yang

sebanding dengan pangsa input yang dimiliki terhadap total output yang dihasilkan. Jika

setiap faktor input diasumsikan memiliki produktivitas marginal yang homogen terhadap

total output maka kondisi tersebut tercapai manakala pangsa output yang diperoleh

masing-masing pihak dibandingkan dengan pangsa modal yang disertakan di dalam

kemitraan.

Misalkan dengan penggunaan modal usahatani sebesar Z petani akan

memperoleh penerimaan sebesar R = Q.P, dimana Q adalah kuantitas output dan P

adalah harga output pada harga pasar. Tetapi jika petani melakukan kemitraan dengan

pedagang sayuran maka harga output yang diterima petani lebih rendah dari harga

pasar. Sehingga penerimaan yang diperoleh petani kemitraan hanya sebesar R* yang

lebih kecil dari R karena harga yang diterima petani kemitraan (P*) lebih kecil dari harga

Page 21: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

19

pasar (P). Dengan kata lain kerugian finansial yang diperoleh petani kemitraan adalah

sebesar R – R* = Q (P-P*). Sedangkan pangsa output yang diperoleh petani terhadap

total output adalah sebesar SO = R*/R dimana SO adalah pangsa output yang diperoleh

petani.

Meskipun petani kemitraan memperoleh kerugian finansial akibat harga output

yang lebih rendah dari harga pasar tetapi mereka memperoleh manfaat dari pedagang

mitranya yang berupa pinjaman modal usahatani. Jika modal pinjaman yang diperoleh

petani dari pedagang adalah KK dan total modal yang digunakan adalah KT maka

pangsa total input yang dimiliki petani adalah SI = (KT-KP)/KT.

Dengan membandingkan nilai SO dan SI maka dapat dikaji apakah kemitraan

yang berlangsung memberikan manfaat atau kerugian bagi petani. Jika SI lebih besar

dari SO maka secara relatif petani dirugikan dalam kemitraan tersebut dan sebaliknya.

Tabel 10 memperlihatkan imbangan manfaat dan kerugian finansial petani yang

melakukan kemitraan dengan pedagang. Pada komoditas bawang merah petani

memperoleh manfaat lebih besar daripada kerugian finansial dalam nilai absolut tetapi

antara manfaat dan kerugian tidak berbeda signifikan dalam nilai relatif. Dengan

meminjam modal kepada pedagang sebesar 3,38 juta rupiah per hektar penerimaan

petani hanya berkurang sebesar 1,16 juta rupiah per hektar. Dengan kata lain manfaat

yang diperoleh petani dalam nilai absolut sekitar 65 persen dari besarnya nilai pinjaman

modal petani kepada pedagang. Begitu pula dalam nilai relatif petani bawang merah

memperoleh manfaat dan kerugian finansial yang hampir sama karena dengan kontribusi

modal usahatani sebesar 92,0 persen dari total kebutuhan modal usahatani, diperoleh

bagian penerimaan sebesar 91,9 persen. Dengan kata lain, kontribusi modal petani di

dalam kemitraan sebanding dengan kontribusi penerimaan yang diperolehnya.

Pada komoditas cabai petani yang melakukan kemitraan memperoleh

manfaat lebih besar daripada kerugian yang diperoleh, baik dalam nilai absolut maupun

nilai relatif. Sedangkan pada komoditas kentang petani dirugikan dalam nilai absolut

sekitar 19 persen dari modal yang dipinjamnya tetapi dalam nilai relatif petani

diuntungkan karena pangsa penerimaan petani lebih besar 1,40 persen daripada pangsa

modalnya. Tetapi pada komoditas kubis petani dirugikan secara absolut maupun secara

relatif. Hal ini karena kuantitas kubis yang dihasilkan petani per hektar lahan jauh lebih

tinggi dibandingkan usahatani komoditas lainnya sehingga kerugian petani.

Page 22: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

20

Tabel 10. Imbangan Manfaat dan Kerugian Finansial Petani yang Melakukan Kemitraan dengan Pedagang

Uraian Bawang merah Cabai Kentang Kubis

1. Pangsa modal petani (%) 92,0 91,6 89,7 89,8

2. Manfaat finansial petani (Rp.000/ha) 3379 1779 2370 2020

3. Pangsa penerimaan petani (%) 91,9 92,4 91,1 86,1

4. Kerugian finansial petani (Rp.000/ha) 1160 1481 2832 3262

5. Imbangan manfaat dan kerugian pe-tani: - Nilai absolut atau

(2)-(4)/(2) - Nilai relatif atau (3)-

(1)

0,65

-0,10

0,17

0,80

-0,19

1,40

-0,61

-3,70

yang terbentuk akibat harga jual lebih murah daripada harga pasar sangat tinggi secara

total. Pada usahatani kubis kuantitas output per hektar sekitar 31 ton sedangkan pada

komoditas bawang merah, cabai dan kentang masing-masing hanya sekitar 7,5 ton, 6,5

ton, dan 11 ton per hektar. Disamping itu, potongan harga kubis yang dilakukan oleh

pedagang terhadap petani mitranya relatif tinggi, sekitar 15 persen dari harga pasar.

Meskipun secara umum petani relatif diuntungkan dalam kemitraan yang berlaku

tetapi tidak berarti pedagang mengalami kerugian dari kemitraan tersebut. Hal ini karena

total keuntungan pedagang dalam periode tertentu lebih ditentukan oleh volume

perdagangan dan perputaran modal yang diinvestasikan daripada keuntungan per unit

produk yang diperdagangkan. Dengan melakukan kemitraan dengan petani maka

volume produk yang dipasarkan pedagang akan semakin besar. Begitu pula kontinyuitas

perdagangan relatif terjamin karena petani yang bermitra akan selalu menjual

produksinya atau membeli sarana produksi yang dibutuhkan kepada pedagang mitranya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dari beberapa hasil penelitian ditemukan kenyataan bahwa di desa-desa

penelitian telah terdapat kelembagaan kemitraan lokal yang cukup berfungsi, yaitu

kemitraan di antara para pelaku agribisnis setempat. Kelembagaan tersebut pada

umumnya tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat, karena sanggup memenuhi

Page 23: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

21

kebutuhan mereka. Di satu pihak para mitra memerlukan dukungan petani produsen

untuk kelangsungan usahanya, sedang di pihak petani mendapat manfaat finansial

karena memperoleh dana biaya produksi, sekaligus mendapat jaminan pasar bagi

produk yang dihasilkan.

Beberapa faktor yang menyebabkan kelembagaan lokal tersebut dapat berfungsi

dengan baik dan berkelanjutan (sustainable), adalah unsur saling mengenal, saling

percaya, saling dapat mengontrol, dan saling mendapat manfaat baik secara ekonomi

maupun sosial. Sangsi yang cukup berat apabila terjadi pelanggaran kesepakatan/norma

agribisnis tersebut. Nilai-nilai kejujuran dan rasa malu karena masih tetangga dekat

merupakan dasar terbinanya kemitraan yang berkelanjutan.

Ada kecenderungan bahwa kondisi mitra yang lebih mampu dapat membina

kelembagaan usaha yang lebih luas, dibandingkan mitra yang kurang mampu. Terdapat

mobilitas vertikal yang cukup besar bagi mitra yang dapat membina dan

mempertahankan jaringan kemitraan, baik secara teknis, ekonomi, maupun sosial.

Dengan demikian kelembagaan kemitraan ini cenderung terbentuk secara vertikal.

Beberapa kegiatan yang dilakukan di dalam kelembagaan kemitraan lokal

diantara para pelaku agribisnis adalah pinjaman dalam bentuk uang atau sarana

produksi pertanian, dan pemasaran output. Di beberapa lokasi penelitian seperti di

Magelang dengan komoditas dominan cabai, telah terjadi keterkaitan fungsional antar

pelaku agribisnis, di tingkat hulu dan hilir. Namun demikian posisi petani relatif masih

rendah, sehingga manfaat finansial yang diperoleh belum seimbang. Nampaknya cukup

banyak para pelaku agribisnis yang tidak mampu menjangkau kelembagaan pembiayaan

formal, sehingga terpaksa harus bermitra dengan para pemilik modal di tingkat lokal.

Sentuhan pembangunan yang diperlukan mungkin tidak harus mengubah jaringan

kelembagaan kemitraan lokal yang sudah ada, namun justru memperkuat faktor-faktor

kelembagaan yang masih lemah. Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang dapat

dilakukan antara lain:

(1) Membentuk unit-unit agribisnis di sentra produksi sayuran yang terintegrasi secara

fungsional dalam lembaga kemitraan lokal.

(2) Membangun sarana penyimpanan yang efektif dalam memperlambat proses

pembusukan sayuran pada setiap unit agribisnis.

Page 24: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

22

(3) Membangun kaitan produksi yang bersifat saling melengkapi antara daerah sentra

produksi sayuran. Dalam kaitan ini maka perlu dibangun suatu lembaga koordinasi

antar kabupaten produsen yang melaksana-kan fungsi perencanaan tersebut.

(4) Dalam rangka efisiensi pemanfaatan sumberdaya maka setiap kabupaten produsen

seyogyanya memfokuskan produksinya pada beberapa jenis sayuran unggulan.

Penetapan jenis sayuran unggulan di setiap kabupaten tersebut harus dilakukan

dengan kriteria dan metoda baku untuk menghindari kerancuan daerah-daerah yang

diutamakan untuk menghasilkan jenis sayuran yang akan dikembangkan. Pada

kabupaten-kabupaten dengan gugus sayuran unggulan sejenis dan daerah

konsumen yang sama, dibentuk lembaga koordinasi yang berfungsi melakukan

perencanaan produksi sesuai dengan kebutuhan permintaan di daerah konsumen

sasaran. Dengan demikian akan terbentuk kawasan-kawasan pasar sayuran dengan

kabupaten produsen dan kabupaten konsumen tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Irawan, Rozany Nurmanaf, Endang L. Hastuti, Chaerul Muslim, Yana Supriyatna, Valeriana Darwis. 2001. Studi Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Erwidodo. 1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian dalam Prosiding Agribisnis: Peluang dan Tantangan. Agribisnis Perkebunan, Peter-nakan dan Perikanan. P/SE, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Hastuti Endang Lestari. 1996. Bentuk-Bentuk Kerjasama Ekonomi. Studi Kasus di Desa Sukaambit, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Studi Dinamika Pedesaan. Survey Agro Ekonomi.

Mat Syukur. 1995. Kemitraan Usaha Sebagai Strategi Pemasaran Komoditas Perikanan dan Hortikultura. dalam Prosiding Agribisnis: Peluang dan Tantangan. Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. P/SE, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Pranadji T., 1999. Desentralisasi dan Percepatan Transformasi Agribisnis Secara Berkelanjutan. Perspektif, Rangkuman Hasil Kajian dan Arah Penelitian. dalam Dinamika Inovasi Ekonomi Kelembagaan Pertanian. Buku II P/SE. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Simatupang Pantjar. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. dalam Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku II P/SE. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Page 25: ICASERD WORKING PAPER No - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_43_2004.pdf · melibatkan pedagang input, kelompok tani, pedagang sayuran dan petani

23

Sudaryanto T,. Adreng Purwoto, A. Iswariyadi, Khairina M. Noekman, Yusmichad Yusdja, Limbong. 1992. Penelitian Agribisnis Hortikultura. Hasil Penelitian P/SE, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Suradisastra Kedi. 1999. Peran Pemerintah Dalam Pemacuan Industrialisasi Pertanian. dalam Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. P/SE, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Sosiologi Agraria. Laboratorium Sosiologi, Anthropology dan Kependudukan. Faperta IPB bekerjasama dengan Yayasan AKATIGA, Bandung.

Uphoff Nurman. 1986. Local Institutional Development.