Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORANPENELITIANMADYA DOSEN TAHUN 2016
AKREDITASI PESANTREN: Kajian Empirik atas
Kebijakan Kebutuhan Pengembangan dan Peningkatan
Kualitas Pesantren di Salatiga dan Kabupaten Semarang
Oleh
Benny Ridwan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dan
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
IAIN SALATIGA
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………….....................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN …………………....................
NOTA PEMBIMBING ............................................................. ...................
ABSTRAK ................................................................................. ...................
KATA PENGANTAR ............................................................... ...................
DAFTAR ISI .............................................................................. ...................
DAFTAR GAMBAR ................................................................. ...................
i
Ii
iii
iv
v
vi
vii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah …………….........……………... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………… 5
C. Tujuan Penelitian ….........................……………………… 5
D. Manfaat Penelitian…………………..…………………… 5
E. Keaslian Penelitian……………………………………… 6
F. Tinjauan Pustaka ………………………………………… 9
G. Landasan Teori...................................................................... 12
H. Metode Penelitian................................................................. 14
1. Materi Penelitian …………………………………......... 14
2. Cara/Alat Penelitian .................................…………… 15
3. Jalan Penelitian................................................................ 15
4. Analisis Data .................................................................... 17
I. Hasil yang akan dicapai ………………………………… 18
BAB II AKREDITASI LEMBAGA PENDIDIKAN PESANTREN 20
A. Pentingnya Akreditasi................................... …………….. 20
B. Dasar Hukum
Akreditasi............……………………..........
21
C. Tujuan
Akreditasi.................................................................
25
D. Manfaat Akreditasi.............................................................. 26
E. Akreditasi adalah Jaminan Mutu Pendidikan Pondok
Pesantren
28
BAB III PANDANGAN-PANDANGAN PEMERINTAH DAN
MASYARAKATTERHADAP UPAYA AKREDITASI
PESANTREN
......................................................................................
36
A. Pandangan Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Pesantren............
36
B. Relasi Etis Kiai – Santri .......................................................... 42
C. Pandangan Masyarakat Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Pengembangan Dan Peningkatan Kualitas Pesantren............
45
BAB IV PERUMUSAN FORMAT AKREDITASI PESANTREN ............ 57
A. Standar Isi [kurikulum] 58
B. Standar Proses 60
C. Standar Kompetensi Lulusan 62
D. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan [ustadz] 63
E. Standar Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan 63
F. Standar Pengelolaan Ma‟had atau asrama 64
G. Standar Penelitian 65
H. Standar Penilaian 68
I. Standar Pembiayaan 68
J. Standar Pengabdian Kepada Masyarakat 69
BAB VI PENUTUP ................................................................................. 72
A. Kesimpulan ……………………………………………….
B. Saran
....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................
LAMPIRAN
....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR
.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islamdi Indonesia
tidak bisa dipandang sebelah mata.Kehadiran pesantren menempati posisi yang
sangat strategis dalam kehidupan masyarakat.Itulah sebabnya, posisi dan
keberadaan pesantren mendapatkan tempat yang penting karena dianggap mampu
memberi pengaruh bagi kehidupan sebagian besar lapisan masyarakat.Keberadaan
dan penyebaran pesantren di wilayah Indonesia terus bermunculan dan mengalami
peningkatan jumlah. Pada awal abad ke-21, selain terdapat pesantren-pesantren
yang telah bertebaran sebelumnya sejak abad ke-19, di wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi hinggaPapua juga banyak bermunculan dan berdiri
pesantren-pesantren baru yang tentu saja akan menambah khazanah perbendaharaan
pesantren. 1
Berbicara masalah perkembangan pesantren Indonesia sama halnya
mengurai bagaimana perkembangan bangsa Indonesia. Perkembangan pesantren di
Indonesia identik dengan wacana perjuangan Indonesia menjadi sebuah negara. Hal
ini tidak bisa dipungkiri jika melihat peranan yang telah diemban oleh pesantren
sebagai wadah pembentukan karakter dari anak bangsa. Pesantren juga memiliki
keunikan yang luar biasa, betapapun derasnya arus zaman menggerus dunia,
beberapa pesantren masih tetap eksis dalam menyuarakan suara Ilahi, syiar Islam,
dakwah kultural, pemberdayaan ekonomi di masyarakat. Dikatakan unik, karena
pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini
menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman
dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan
sejarahnya, pesantren telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta
1Baca lebih lanjut dalam Haidar Putra Daulay, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren,
Sekolah, Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001) dan bandingkan dengan buku Haidar Putra
Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2009) hlm 45-54. Dalam kedua buku itu disebutkan bahwa sesuai dengan gencarnya
pembaruan pemikiran Islam yang dicanangkan oleh para pembaharu muslim diberbagai negara
sampai juga gaung pembaruan itu di Indonesia. Dalam hal ini ide-ide pembaruan pendidikan di
Indonesia mulai muncul diawal abad ke XX, disebabkan banyaknya orang yang tidak puas dengan
sistem pendidikan yang berlaku saat itu.Karenanya ada beberapa sisi yang perlu diperbaharui, yakni
dari segi isi (materi), metode, sistem, dan manajemen.
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap
masyarakat.
Sayangnya pamor pesantren semakin pudar oleh wacana radikalisme yang
berkembang saat ini. Pesantren dicurigai dan diidentikkan sebagai sarang teroris;
yang menghalalkan cara untuk mewujudkan idealisme dari cita-cita negara Islam
yang mereka usung. Di sisi lain desakan kepada pesantren untuk tidak menutup diri
terhadap perubahan dan kemajuan teknologi globalisasi, karena keengganan
pesantren untuk menyesuaikan dengan perubahan sebenarnya dengan sendirinya
telah memposisikan pesantren sebagai lingkungan yang terisolir dari pergaulan dan
pada akhirnya akan ditinggalkan kebanyakan orang, karena sudah tidak lagi sesuai
atau tidak dapat mengakomodasi keadaan zaman. Dengan demikian secara tak
langsung pesantren telah ikut juga menciptakan permasalahan dalam era
globalisasi, yaitu perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal dari orang lain dan
kalangan tertentu dalam masyarakat, akibat tidak dapat mengikuti dan tidak dapat
menyesuaikan dengan perubahan itu. Selanjutnya, pertumbuhan masyarakat
pengangguran, masyarakat miskin, kaum marginal atau pinggiran di kota-kota
besar, seharusnya menyadarkan pesantren. Mengingat keberpihakan pesantren
terhadap kaum pinggiran, atau pedesaan yang ekonominya berada pada posisi
menengah ke bawah atau kelompok mustad‟afin yang juga rentan akan dihinggapi
inferioritas, mental keterbelakangan, dan nir spirit untuk maju, sehingga dalam hal
ini pesantren tentu lebih mempunyai kesempatan untuk memberdayakan dan
mengangkat kaum tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan pesantren untuk dapat berkembang dan
menjadi alternatif bagi pendidikan Islam masa depan, sangat tergantung pada dunia
pesantren itu sendiri, dan faktor-faktor (dukungan) dari luar. Faktor dari dalam
tersebut antara lain adalah; kepemimpinan pesantren, sikap keluarga pemilik
pesantren, sikap dan pandangan para kiai, ustadz dan santri, serta ada tidaknya
kemampuan santri untuk berorganisasi secara maju.Sedangkan faktor luar yang
turut mempengaruhi dapat disebutkan misalnya; respon masyarakat terhadap
pesantren, bantuan pemerintah atau lembaga-lembaga modern lainnya seperti
perguruan tinggi, partisipasi masyarakat serta penelitian dan kajian agama yang
datangnya dari luar untuk meningkatkan kualitas dan mempromosikan keberadaan
suatu pesantren.2
Tuntutan sebagian masyarakat akan akreditasi pesantren semakin tinggi dan
mendapat momentumnya saat ini. Akreditasi adalah pengakuan formal yang
diberikan oleh badan akreditasi terhadap kompetensi suatu lembaga atau organisasi
dalam melakukan kegiatan penilaian kesesuaian tertentu di bidang pendidikan dan
manajemen kelembagaan. Akreditasi juga untuk membantu memenuhi kualitas
organisasi pendidikan kepesantrenan guna terpenuhinya persyaratan peraturan dan
persyaratan yang relevan. Sementara itu juga akreditasi pesantren diarahkan dapat
2Ahmad Robihan, Pendidikan Pesantren Dalam Menghadapi Era Globalisasi, (Wonosobo:
Pascasarjana Universitas Sains Al-Qur'an [Unsiq], 2011), hlm. 3-6 dalam http://ahmadrobihan.-
blogspot.co.id/2011-/11/pendidikan-pesantren-dalam-menghadapi.html, diakses tanggal 17 April
2016. Lebih lanjut dalam tulisan ini disebutkan bahwa perubahan yang dimaksud disini bukan
berarti pesantren merombak total ataupun membuang jauh-jauh sistem yang selama ini telah menjadi
ciri khasnya. Penerimaan pesantren terhadap berbagai perubahan juga disertai dengan
mempertahankan dan tetap memberikan tempat terhadap nilai-nilai lama, karena perubahan bukan
berarti harus menghilangkan atau menggusur nilai-nilai lama. Perubahan justru akan semakin
memperkaya sekaligus mendukung upaya transmisi khazanah pengetahuan Islam tradisional dan
melebarkan jangkauan pelayanan pesantren terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Apa yang
dilakukan pesantren dalam perubahan dirinya merupakan salah satu bentuk modernisasi pesantren,
baik sebagai lembaga pendidikan maupun sebagai lembaga sosial.
meningkatkan kepuasan pengguna [baca: masyarakat dan pemerintah] dan
peningkatan berkelanjutan dalam upaya pencapaian kinerjanya.
Sama halnya lembaga pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi,
sesungguhnya akreditasi merupakan suatu pengakuan publik atau pengakuan pihak
luar terhadap lembaga pesantren yang bersangkutan. Pengakuan ini tentu
menggunakan kriteria tertentu dan bertujuan untuk memberikan garansi kepada
masyarakat bahwa pesantren bersangkutan pantas menyelenggarakan proses belajar
mengajar. Dan ada jaminan pula output yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat, pemerintah atau bahkan dunia kerja.
Dalam proses upaya akreditasi pesantren, penelitian ini menjadi penting
untuk mendengar, menelaah, dan membawa aspirasi dunia pesantren agar posisi
pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan mau tak mau harus turut pula
ambil bagian, memposisikan diri dan membuktikan sebagai lembaga yang juga
mampu mengakomodasi tuntutan di era globalisasi, yaitu menciptakan manusia
yang tidak hanya bertakwa tetapi juga berilmu, memiliki SDM tinggi plus
berakhlakul karimah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan-pandangan para ulama, kyai, ustadz, santri,
kelompok masyarakat, dan pemerintah [dalam hal ini kementerian agama]
terhadap upaya akreditasi pesantren?
2. Bagaimana merumuskan format Akreditasi Pesantren sebagai bagian dalam
pemenuhan kebutuhan pengembangan dan peningkatan kualitas pesantren di
Salatiga dan kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut.
1. Untuk menjabarkan dan menjelaskan pandangan-pandangan para ulama, kyai,
ustadz, santri, kelompok masyarakat, dan pemerintah [dalam hal ini kementerian
agama] terhadap upaya akreditasi pesantren.
2. Untuk menemukan dan mendeskripsikan format akreditasi pesantren sebagai
kebijakan pemenuhan kebutuhan pengembangan dan peningkatan kualitas
pesantren di Salatiga dan kabupaten Semarang.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan ciri khas objek forma dan materia penelitian, maka penelitian
ini diprediksikan sangat bermanfaat.
1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu untuk memperluas dan mengembangkan lingkup
kajian ilmu multidisipliner dan interdisipliner yaitu filsafat pendidikan, sosial
budaya, dan islamic studies, terutama dalam upaya kajian kepesantrenan.
2. Merupakan input positif bagi pengembangan penelitian „discovery‟ yang berupaya
untuk melakukan penelitian tidak hanya membuktikan teori, melainkan menemukan
suatu nilai-nilai universal baru secara empirik dan pola manajemen kelembagaan
pesantren. Di samping itu dapat merumuskan pemikiran-pemikiran Islam baru yang
memiliki tingkat relevansi dengan perubahan dan perkembangan sosial keagamaan
di era modern.
3. Meningkatkan peran serta Fakultas dan Jurusan dalam pemberdayaan pesantren
melalui penerapan ilmu Ushuluddin Adab, dan Humaniora bagi terwujudnya
masyarakat yang damai dan bermartabat serta mengembangkan jaringan kerja sama
dengan berbagai pihak terutama lembaga pesantren untuk meningkatkan
pelaksanaan tridharma Perguruan Tinggi, dalam bidang Ushuluddin Adab, dan
Humaniora.
E. Keaslian Penelitian
Salatiga merupakan sebuah kota otonom di Provinsi Jawa Tengah, dengan
luas wilayah 56,78 km2 dan jumlah penduduknya 181.193jiwa (tahun 2014),
3 saat
ini memiliki 30 pondok pesantren yang tersebar di empat kecamatan:4
No Ponpes Alamat Kec
1 PP. Agro Nur El Falah Jl Dipomanggolo Sidorejo
2 PP. Al Hasan Banyu Putih Rt. 03/01 Sidorejo
3http://salatigakota.bps.go.id/webbeta/frontend/linkTabelStatis/view/id/64 diakses pada 10
April 2016.
4http://info-kotakita.blogspot.co.id/2014/06/daftar-ponpes-di-kota-salatiga.html diakses
pada tanggal 10 April 2016.
3 PP. Hidayatullah Dliko Indah Gang 17 No.236B Sidorejo
4 PP. Nurul Asna Pulutan Sidorejo Salatiga Sidorejo
5 PP. Pancasila Blotongan Sidorejo
6 PP. Raden Paku Ainul Taqien Grogol Blotangan RT01/ RE 07 Sidorejo
7 PP. Raudlatul Huda Jl. Baru Bancaan Rt. 04/05 Sidorejo
8 PP. Salafiyah Pulutan Lor Rt. 01/02 Sidorejo
9 PP. Salafiyah Blontongan Rt. 03/07 Sidorejo
10 PP. Al Hijrah Jl. Tritis SAri Tingkir
11 PP. Al Ishlah Tingkir Lor RT. 02/01 Tingkir
12 PP. Al Yasin Kali Bening Tingkir
13 PP. Asta'in Tingkir Lor Rt. 09/04 Tingkir
14 PP. Darul Muhajirin Tingkir Lor Rt. 04/04 Tingkir
15 PP. Darussalam Canden Tingkir
16 PP. Hidayatul Mubtadiin Jl. Raden Fatah No. 20 Tingkir
17 PP. Ittihadul Asna Kumplit RT 02 / 01 Tingkir
18 PP. Masyitoh Dayaan Rt. 03 Tingkir
19 PP. Nazzalal Furqon Tingkir Tengah Tingkir
20 PP. Putri Masyithoh Jl. KH. Asy'ari Tingkir
21 PP. Rodhotut Ta`alum Canden Tingkir
22 PP. Sabilun Naja Canden 08 Kutowinangun Tingkir
23 PP. Al Azhar Jl. soekarno Hatta 39 Argomulyo
24 PP. Al Huda Jl. Argo Tunggal Argomulyo
25 PP. An Nida Jl. Jenderal Sudirman No. 239 Argomulyo
26 PP. Darul Qur'an Nobo Tengah Argomulyo
27 PP. Mutiara Hati Beriman Ngaglik Ledok Argomulyo
28 PP. Sunan Giri Jl. Argo Wilis 15-16 Krasak Argomulyo
29 PP. Al Falah Jl. Bima No. 02 Dukuh Rt. 02/0 Sidomukti
30 PP. Al Ghufron Winong Rt.01/01 Sidomukti
Kelangsungan hidup dan eksistensi Pesantren di Salatiga dan beberapa
pesantren di Kabupaten Semarang yang berdekatan dengan Salatiga memang
mendapat tantangan yang luar biasa, mengingat letak geografis sebagai kota transit
pariwisata, pendidikan, dan olah raga di Jawa Tengah. Sebagai suatu wilayah
administratif kota, tuntutan untuk menciptakan Salatiga menjadi kota yang
bermartabat melalui pembangunan, berdampak serius terhadap kelangsungan
Pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Penetrasi budaya asing melalui
modernisasi yang sangat kuat tersebut kurang diimbangi dengan revitalisasi atau
bahkan pelestarian melalui kajian-kajian ilmiah kepesantrenan. Atas dasar studi
eksploratif tentang lembaga pendidikan pesantren di Salatiga dan Kabupaten
Semarang khususnya yang berkaitan dengan Akreditasi pesantren, kebijakan
pemenuhan kebutuhan pengembangan dan peningkatan kualitas, manajemen
kelembagaan pesantren, kompetensi santri, daya serap alumni pesantren belum
banyak dilakukan penelitiannya. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting
dilaksanakan.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang dilakukan oleh Sujari5 menyebutkan bahwa dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional
merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan
pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif
(attitude) maupun psikomotorik (skill), (2) Bahwa visi dan misi pendidikan pondok
pesantren tradisional dalam persepktif pendidikan islam Indonesia adalah :
Pertama, menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua,
pola relasi kiai dengan santri tidak sekedar bersifat lahiriyah, tetapi juga bersifat
batiniyah.Ketiga, pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi
5Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren TradisonalDalam Persepktif Pendidikan Islam
Indonesia, (Jember: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember, 2007) hlm. 1-4.
ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama, juga
dimaksudkan menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented
development, Institution development dan Self reliance and sustainability. (3)
Bahwa kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional saat ini tidak sekedar
fokus pada kita kitab klasik (baca: ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin
banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan pondok
pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer. (4) Bahwa dari sisi managemen
kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional saat ini telah
terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepemimpinan yang sentralistik, hirarkis
dan cenderung single fighter berubah menjadi model managemen kolektif kolegial
dan model yayasan.
Sementara itu penelitian Andik Wahyun Muqoyyidin yang dipublikasikan
dalam Ibda, Jurnal kebudayaan Islam Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 20146
menyebutkan bahwa
sebagailembagapendidikanyangmemilikikarakteristiktipikal,pesantren memiliki
tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-
lembagalain.Apabiladiamatidalamkonteksaktivitas
pendidikannya,pesantrenlebihbanyakmemfokuskanpadatafaqquh fi al-din, yaitu
pendalaman pengalaman, perluasan pengetahuan dan penguasaan khazanah
ajaran agama Islam. Sebagai lembaga tafaqquh fi al-
din,lembagainimengkajidanmengembangkanilmu-ilmu keislaman(al-„ulm al-
6Andik Wahyun Muqoyyidin, Kitab Kuning Dan Tradisi Riset Pesantren Di Nusantara,
(Purwokerto: Ibda Jurnal kebudayaan Islam ISSN : 1693 – 6736, Vol. 12, No. 2, Juli - Desember
2014), hlm. 119-136.
syar‟iyyah). Pengajaran di lembaga yang ditanganioleh para ulama dan kyai ini
bertumpu pada bahan pelajaran yang termuat dalam kitab-kitab yang sudah baku
dalam dunia Islam dengan tradisi dan disiplin yang sudah berjalan
berkesinambungan selama berabad-abad. Pengajaran telah berhasil
membentuk masyarakat bermoral dan beradab dengan tingkatkecerdasan
yang berbeda-beda, mulai dari santri sampai kepadakiai dan ustadz,danmujtahid.
Walaupun hal inimungkin tidak begitu disadari selama ini, namun bagaimanapun
juga, terdapatdiferensiasi yang mendasar antara manifestasi keilmuan di pesantren
danmanifestasi keilmuandilembaga-
lembagapendidikanIslamlainnyadiseluruhduniaIslam.
Selanjutnya penelitian yang dihasilkan oleh HamamBurhanuddin7
menjelaskan bahwa seiring denganperkembanganzamanpesantrensekarang
inisudahmengalami perkembangan pesat, proses perubahan hingga dewasa ini
lembaga tersebut telah memberi kontribusi penting dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan baik yang
masih bertahan sistem pendidikan tradisionalnya maupun yang sudah mengalami
perubahan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari
waktu ke waktu pesantren semakin tumbuh dan berkembang kuantitas maupun
kualitasnya. Tidak sedikit dari masyarakat yang masih menaruh perhatian besar
terhadap pesantren sebagai pendidikan alternatif. Terlebih lagi dengan berbagai
inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi corak
7Baca lebih lanjut dalam HamamBurhanuddin, Post-Tradisionalisme
Pesantren;MengukuhkanTradisi PesantrenSebagaiBasisTransformasi DiEraModern, (Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamiyah Karya
Pembangunan, AL MURABBI, ISSN 2406-775XVol.01No.01 Juli-Desember 2014), hlm. 16-32.
pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin kompetitif untuk menawarkan
pendidikan ke khayalak masyarakat. Meski sudah melakukan inovasi pendidikan
sampai saat ini pendidikan pesantren tidak kehilangan karakteristiknya yang unik
yang membedakan dirinya dengan model pendidikan umum yang diformulasikan
dalam bentuk sekolahan. Perkembangan tersebut tidak bisa lepas dari kajian
intelektual dari masing-masing pendiri pesantren untuk bisa mensinergikan
denganperkembangan modern.
Jika penelitian Sujari menjelaskan bahwa pendidikan pondok pesantren
diarahkan pada alternatif bagi People centered development, Value oriented
development, Institution development dan Self reliance and sustainability,
kemudian penelitian Andik Wahyun Muqoyyidin meletakkan pesantren sebagai
lembaga yang melakukan pendalaman pengalaman, perluasan pengetahuan
dan penguasaan khazanah ajaran agama Islam, dan penelitian
HamamBurhanuddin menyebutkan bahwa pesantrenbisa
mensinergikandenganperkembangan modern, maka penelitian ini berupaya untuk
menjelaskan betapa pentingnya akreditasi pesantren agar dapat melakukan
pemenuhan kebutuhan pengembangan dan peningkatan kualitas pesantren serta
mendapat pengakuan publik, memperjelas kompetensi santri dan alumni,
pencapaian kinerja, serta dapat menangkis stigma bahwa pesantren sebagai sarang
radikalisme dan dapat membantah sebagai lingkungan yang terisolir.
G. Landasan Teori
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.8Pesantren dalam perjalanan sejarah kebangsaan memiliki kontribusi yang
sangat besar, terutama dalam mempersiapkan generasi bangsa dalam pendidikan
dan pengkajian ilmu-ilmu agama.Mengingat perkembangan pesantren yang sangat
pesat akhir ini secara teoritik Ridwan Natsir dalam Babun mengelompokkan
pesantren menjadi 5 yaitu : [1] Pesantren salaf, yang di dalamnya terdapat sistem
pendidikan salaf (wetonan dan sorogan) dan sistem klasikal. [2] Pesantren semi
berkembang, yaitu pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf
(wetonan dan sorogan) dan sistem madrasah swasta dengan kurikulum 90 % agama
dan 10 % umum. [3] Pesantren berkembang, yaitu pondok pesantren seperti semi
berkembang hanya saja lebih variatif yakni 70 % agama dan 30 % umum . [4]
Pesantren moderen, seperti pesantren berkembang yang lebih lengkap dengan
lembaga pendidikan sampai perguruan tinggi dan dilengkapi dengan takhassus
bahasa arab dan bahasa inggris. [5] Pesantren ideal, pesantren sebagaimana
8 Ainur Rofieq, Profil Umum Beberapa Aspek Pendidikan Formal yang diselenggarakan
Pesantren se-KaresidenanMalang, dalam Mendongkrak Mutu Pendidikan (Malang: FKIP
Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hlm. 267. Baca juga dalam Moh. Toriqul Chaer,
Menggagas Format Idealisme Pendidikan Pesantren, dalam https://www-
.academia.edu/21554724/MENGGAGAS_FORMAT_IDEALISME_PESAN-TREN diakses pada
14 April 2016.Disamping itu kebanyakan pesantren sebagai komunitas belajar keagamaan sangat
erat berhubungan dengan lingkungan sekitar yang seringkali menjadi wadah pelaksanaannya.Dalam
komunitas pedesaan tradisional kehidupan keagamaan merupakan suatu bagian terpadu dari
kenyataan atau keberadaan sehari-hari dan tidak dianggap sebagai sektor terpisah.Begitu pula
tempat-tempat upacara keagamaan sekaligus merupakan pusat kehidupan pedesaan, sedangkan
pimpinan keagamaan juga merupakan sesepuh yang diakui lingkungannya, yang nasehat-nasehat
dan petunjuk mereka diperhatikan oleh masyarakat.Hal inilah yang menunjukkan pesantren sebagai
lembaga yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam Jawa, dan yang
paling memegang peranan penting bagi penyebaran agama Islam sampai pelosok-pelosok Jawa.Dari
lembaga pesantren juga kita dapat mengetahui asal- usul sejumlah manuskrip tentang sistem
pendidikan Islam di Jawa dan di Indonesia.Karena itu untuk dapat betul-betul memahami sistem
pendidikan baik formal maupun non- formal dinegara Indonesia tidaklah salah bila kita mulai
mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut.
pesantren moderen hanya saja lembaga pendidikannya lebih lengkap dalam bidang
keterampilan yang meliputi teknik, perikanan, pertanian, perbankkan dan lainnya
yang benar-benar memperhatikan kualitas dengan tidak menggeser ciri khas
pesantren.9
Teori yang dikembangkan oleh Mastuhu dan Zamaksyari Dhofier10
, juga
oleh Abuddin Nata11
menyebutkan bahwa pesantren merupakan bagian dari
infrastruktur masyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan
komunitas masyarakat untuk memiliki idealisme, kemampuan intelektual, dan
perilaku mulia guna menata dan membangun karakter bangsa yang sempurna.
Hal ini dapat dilihat dari peran strategis pesantren yang dikembangkan melalui
kultur internal pendidikan pesantren. Bersamaan dengan perkembangan dunia
global, pesantren juga dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tak
terelakkan. Sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ini, pesantren harus
memberikan respon yang mutualitas karena pesantren tidak dapat melepaskan diri
dari kondisi-kondisi perubahan tersebut.
H. Metode Penelitian
1. Materi Penelitian
9 Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat,(Surabaya:IMTIYAS,2011), hlm. 19.
10
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ,(Jakarta:INIS,1994), hlm. 55-56.
Bandingkan dengan Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren,(Jakarta:LP3ES,1994), hlm. 41-42.
11Abudin Nata,SejarahPerkembangandanPertumbuhanLembaga-Lembaga P endidikan
Islam di Indonesia,(Jakarta:PT.Grasindo,2001).
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dan dipadukan dengan informasi
dari informan baik secara langsung ataupun melalui diskusi. Penelitian ini juga
diperkuat dengan kepustakaan dari hasil tulisan seperti makalah, jurnal, majalah
ilmiah serta naskah ceramah yang berkaitan dengan dunia kepesantrenan. Oleh
karena itu bahan-bahan penelitian primer adalah observasi, informasi hasil
wawancara, refleksi, ungkapan, dan tindakan dari beberapa informan maupun
dialog dengan para tokoh yang dianggap memiliki kredibilitas. Penelitian ini juga
diperkuat dengan data sekunder berupa kajian buku, naskah-naskah, dokumen-
dokumen, tulisan-tulisan yang berkaitan dunia kepesantrenan. Lokasi penelitian
adalah Kota Salatiga12
dan di sekitar Kabupaten Semarang.
2. Cara/Alat Penelitian
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa penelitian ini adalah penelitian
lapangan bersifat kualitatif. Objek penelitian adalah tentang nilai yang terkandung
dalam sistem budaya. Oleh karena itu pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara mendalam dan juga diperkuat dengan studi dokumentasi.
Mengingat perlu dan pentingnya dunia pesantren diabadikan melalui gambar-
gambar, atau dokumen-dokumen, maka digunakan alat seperti kamera atau alat
perekam lainnya, agar didapatkan hasil yang maksimal. Cara penelitian dilakukan
dengan peneliti langsung melakukan pengumpulan data, dan mengingat penelitian
12Pemilihan lokasi juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tipologi pesantren,
Pesantren Salafiyah (tradisional) dan Khalafiyah (Modern), keunikan pesantren, dan kesesuaian
dengan topik yang dipilih. Penelitian ini juga dilakukan di sekitar Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang, dengan pertimbangan bahwa dukungan masyarakat terhadap pesantren masih tinggi dan
persebaran pesantren ditemukan secara merata.
bersifat kualitatif maka teknik penelitian dilakukan dengan pengumpulan data pada
sumber-sumber data, dan peneliti langsung melakukan analisis.
3. Jalan Penelitian
a. Tahap Pengumpulan Data
Sebelum melakukan penelitian, peneliti merinci sumber-sumber data, serta
menentukan lokasi pengumpulan data. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah
Salatiga dan Kabupaten Semarang. Pengumpulan data dilakukan pada sumber-
sumber data berupa data pustaka, informasi lembaga pesantren, organisasi sosial
keagamaan dan kemasyarakatan, kementerian agama serta lembaga-lembaga
lainnya yang memiliki hubungan dengan pengguna alumni pesantren. Oleh karena
penelitian ini penelitian kualitatif, maka pada tahap pengumpulan data peneliti
sekaligus melakukan analisis dengan metode verstehen, untuk memahami makna
data. Adapun proses pengumpulan data dilakukan dengan (a) mencatat data pada
kartu data secara paraphrase, mencatat dan menangkap keseluruhan inti sari data
kemudian mencatat pada kartu data, dengan menggunakan kalimat yang disusun
oleh peneliti sendiri. (b) Mencatat data secara quotasi, yaitu mencatat data dari
sumber data secara langsung dan secara persis. (c) Mencatat data secara sinoptik,
yaitu mencatat data dari sumber data dengan membuat ikhtisar atau summary.
Setelah melakukan pengumpulan data kemudian dilakukan
pengorganisasian dan pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut.
(1) Reduksi data, yaitu data dalam penelitian kualitatif berupa data-data verbal, dalam
suatu uraian yang panjang dan lebar. Data yang berupa data verbal kemudian
diseleksi dan direduksi tanpa mengubah esensi maknanya, serta ditentukan
maknanya sesuai dengan ciri-ciri objek penelitian. 13
(2) Klasifikasi data, yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian dilakukan
klasifikasi data. Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan berdasarkan
objek formal penelitian.
(3) Display data, tahap berikutnya kemudian mengorganisasikan data-data penelitian
tersebut sesuai dengan peta penelitian. Display data dapat juga dilakukan dengan
membuat networks atau skematisasi yang berkaitan dengan konteks data tersebut.
Tahap berikutnya adalah melakukan analisis data. 14
b. Tahap Analisis Data
Setelah pengumpulan data kemudian dilakukan analisis data dengan unsur
metode sebagai berikut.
(1) Metode interpretasi, yaitu proses analisis dilakukan dengan melakukan
interpretasi yaitu meliputi menerangkan, mengungkapkan maupun menerjemahkan.
Penerapan metode interpretasi dilakukan dengan mengintrodusir faktor dari luar,
artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam hubungannya dengan
13 Matthew B Milles and Huberman, Michael A. Qualitative Data Analysis. (London: Sage
Publication, 1984).
14
Menurut Sugiyono penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum memasuki
lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan
digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat
sementara di lapangan. Baca lebih lanjut dalam Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif
dan R & D. (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 336. Bandingkan juga dalam buku Matthew B Milles
and Huberman, Michael A. Qualitative Data Analysis. (London: Sage Publication, 1984).
faktor-faktor dari luar objek. lnterpretasi menjadi penting manakala digunakan
untuk memahami hakikat persoalan. Di dalam objek yang dikaji, dibaca, ditangkap
arti, nilai, dan maksud yang jauh terkandung di dalamnya. Sesungguhnya
interpretasi merupakan upaya yang sangat penting untuk menyingkap kebenaran.15
(2) Metode heuristika, yaitu metode untuk menemukan suatu pemikiran atau jalan
baru.16
Penelitian ini tidak menentukan hal yang sangat praktis akan tetapi selalu
mencari visi baru atau pemahaman baru untuk menempuh terjadinya pembaharuan
ilmiah. Oleh sebab itu metode ini digunakan untuk meneliti sebaik mungkin sistem
pembenaran yang menuju pada suatu reconstructed logic (idealisasi),sehingga
penelitian harus kembali kepada asumsi-asumsi dasar dengan latar belakang
ideologis, sosiologis, kerangka berfikir historis dan budaya. Dalam hubungan
dengan penelitian tentang Akreditasi Pesantren: Kajian Empirik atas Kebijakan
Kebutuhan Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Pesantren di Salatiga dan
Kabupaten Semarang, diterapkan metode heuristika dalam rangka untuk
menemukan inovasi baru secara kritis tentang pola dan format Akreditasi
Pesantren, dari hasil penelitian tersebut.
15Dalam analisis data pada penelitian kualitatif terdapat juga langkah menginterpretasi data.
Interpretasi data menurut L. R. Gay adalah suatu usaha yang dilakukan untuk menemukan arti atau
jawaban dari data. Dapat dibaca pada L. R. Gay, Educational Research: Competencies for Analysis
and Application, Fifth Edition (United States of America: Florida International University, 1996),
hlm. 458-459. Baca juga interpretasi data menurut Moleong dalam Moleong Lexy J. Metode
Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998, hlm. 197-207. Bandingkan juga dalam
Robert C Bogdan, Biklen, Knopp Sari. Qualitative Research For Education; An Introduction to
Theory and Methods, Boston & London, Allyn and Bacon, 1982. Baca juga pada Kaelan, Metode
Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm 76-77. Bandingkan juga
dengan Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), hlm. 41
16
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, hlm 95-96. Bandingkan dengan
Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, hlm. 51-52.
I. Hasil yang Akan Dicapai
Penelitian ini adalah penelitian lapangan, kualitatif, oleh karena itu tingkat
epistemologis yang akan dicapai dalam penelitian ini bukan hanya pada tingkat
fenomena sosial budaya, pendidikan, keagamaan, manajemen kelembagaan tentang
Akreditasi Pesantren yang berguna untuk pengembangan dan peningkatan kualitas
pesantren, melainan juga untuk mengungkap dan memperluas serta
mengembangkan lingkup kajian interdisipliner dan multidisipliner yaitu filsafat
pendidikan, sosial budaya, dan islamic studies, terutama dalam upaya kajian
kepesantrenan dan nilai-nilai local wisdom suatu masyarakat Islam Indonesia. Oleh
karena itu secara aksiologis hasil yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengungkap, mendeskripsikan secara filosofis dan sosiologis pentingnya
akreditasi pesantren yang berguna untuk pengembangan dan peningkatan kualitas
pesantren. Kemudian hasil penelitian tentang hal tersebut secara heuristis
direfleksikan dan dikembangkan relevansinya dalam hubungannya dengan
revitalisasi nilai-nilai dasar filsafat pendidikan Islam, islamicstudies dan Islam
Keindonesiaan.
BABII
AKREDITASI LEMBAGA PENDIDIKAN
A. Pentingnya Akreditasi
Akreditasi adalah pengakuan formal yang diberikan oleh badan akreditasi
terhadap kompetensi suatu lembaga atau organisasi dalam melakukan kegiatan
penilaian kesesuaian tertentu.17
Akreditasi juga merupakanproses evaluasi dan
penilaian mutu institusi atau program studi yang dilakukan oleh suatu tim pakar
sejawat (tim asesor) berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan, atas
pengarahan suatu badan atau lembaga akreditasi mandiri di luar institusi atau
program studi yang bersangkutan; hasil akreditasi merupakan pengakuan bahwa
suatu institusi atau program studi telah memenuhi standar mutu yang telah
ditetapkan itu, sehingga layak untuk menyelenggarakan program-programnya.
Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian yang dilakukan oleh
pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang. untuk menentukan
kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan
non-formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan., berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan, sebagai bentuk akuntabilitas publik yang dilakukan dilakukan
secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan
instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional
Pendidikan.Akreditasi sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan
17http://www.kan.or.id/?page_id=2959&lang=id diakses pada tanggal 12 Oktober 2016.
evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi)18
untuk menentukan kelayakan dan
kinerja sekolah.
Suatu hal yang menjadi rasional atau alasan kebijakan akreditasi sekolah di
Indonesia adalah bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang
bermutu. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, maka setiap
satuan/program pendidikan harus memenuhi atau melampaui standar yang
dilakukan melalui kegiatan akreditasi terhadap kelayakan setiap satuan/program
pendidikan.Untuk melaksanakan akreditasi sekolah/ madrasah Pemerintah
membentuk Badan Akreditasi Nasional-Sekolah /Madrasah (BAN S/M).
B. Dasar Hukum Akreditasi
Sekolah merupakan suatu lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat
menerima dan memberi pelajaran.19
Sebuah sekolah akan bermutu jika terdapat
pengakuan dan penilaian dari beberapa pihak yang berwenang yang disebut
akreditasi sekolah/madrasah. Pemerintah melakukan akreditasi untuk menilai
kelayakan program atau satuan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan nasional secara bertahap, terencana dan terukur sesuai Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB XVI Bagian
Kedua Pasal 60 tentang Akreditasi. Pemerintah menetapkan Badan Akreditasi
Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dengan Peraturan Mendiknas Nomor 29
18Visitasi adalah kunjungan ke sekolah/madrasah yang dilakukan oleh asesor untuk
melakukan klarifikasi, verifikasi, dan validasi data serta informasi yang telah disampaikan oleh
sekolah/madrasah melalui pengisian instrumen akreditasi.Baca lebih lanjut dalam
https://akhmadsudrajat.wordpress.com-/2009/07/22/sekilas-tentang-visitasi-dalam-kegiatan-
akreditasi-sekolah/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2016.
19
http://kbbi.web.id/sekolah diakses tanggal 15 Oktober 2016.
Tahun 2005. BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan
program atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur
formal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Sebagai institusi yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Mendiknas, BAN-S/M bertugas
merumuskan kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan dan
melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah. Dalam melaksanakan akreditasi
sekolah/madrasah, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Provinsi
Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) yang dibentuk oleh Gubernur.
Dasar hukum lebih lengkapnya sebagaimana yang tertera di bawah ini:
a. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 60 yang berbunyi :
1. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang
dan jenis pendidikan.
2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh
Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk
akuntabilitas publik.
3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
4. Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
b. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 86 & 87 yang berbunyi :
Pasal 86:
1. Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan
untuk menentukan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan
2. Kewenangan akreditasi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat pula
dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh pemerintah
untuk melakukan akreditasi
3. Akreditasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) sebagai
bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan
komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu
pada standar Nasional Pendidikan.
Pasal 87:
1. Akreditasi oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat (1)
dilaksanakan oleh:
a. BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan pendidikan
jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah;
b. BAN-PT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang
pendidikan tinggi; dan
c. BAN-PNF terhadap program dan/atau satuan pendidikan jalur
nonformal.
2. Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1),
BAN-S/M dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh
Gubernur.
3. Badan akreditasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada Menteri.
4. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya badan akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri.
5. Ketentuan mengenai badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan akreditasi adalah pengakuan dan penilaian terhadap suatu lembaga
pendidikan tentang kelayakan dan kinerja suatu lembaga pendidikan yang
dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS)/ Badan Akreditasi
Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) yang kemudian hasilnya berbentuk
pengakuan peringkat kelayakan. Akreditasi ini dilakukan dengan membandingkan
keadaan sekolah yang sebenarnya dengan kriteria standar yang telah ditetapkan.
Sekolah akan mendapatkan status “terakreditasi” jika keadaan sekolah yang
sebenarnya telah memenuhi kriteria standar yang telah ditetapkan. Sebaliknya,
sekolah tidak dapat “terakreditasi” jika keadaan sekolah yang sebenarnya tidak
memenuhi kriteria standar yang telah ditetapkan. Dengan demikian, hasil dari
akreditasi adalah pengakuan “terakreditasi” atau “tidak terakreditasi”. Bagi sekolah
yang terakreditasi diklasifikasi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1. A (Amat Baik) dengan nilai antara 86-100;
2. B (Baik) dengan nilai antara 71-85;
3. C (Cukup) dengan nilai antara 56-70.
Jika nilai tersebut kurang dari 56 maka sekolah tersebut tidak layak untuk
mendapatkan pengakuan “terakreditasi”. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
pihak sekolah mengenai masa berlaku akreditasi yang telah diperolehnya, antara
lain:
1. Peringkat akreditasi berlaku selama 4 tahun terhitung sejak ditetapkannya
peringkat akreditasi,
2. Sekolah wajib mengajukan permohonan reakreditasi yaitu 6 bulan sebelum
masa akreditasi berakhir,
3. Sekolah yang meghendaki reakreditasi bisa mengajukan permohonan
sekurang-kurangnya 1 atau 2 tahun setelah penetapan akreditasi,
4. Sekolah yang masa akreditasinya telah berakhir dan sudah mengajukan
permohonan reakreditasi namun belum ditindak lanjuti maka sekolah
tersebut masih menggunakan peringkat akreditasi terdahulu,
5. Sekolah yang masa akreditasnya berakhir dan menolak untuk reakreditasi
maka peringkat akreditasi yang terdahulu sudah tidak berlaku.
C. Tujuan Akreditasi
Berdasarkan Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002,
akreditasi sekolah mempunyai tujuan, yaitu: (1) memperolah gambaran kinerja
sekolah sebagai alat pembinaan, pengembangan, dan peningkatan mutu; (2)
menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam penyelenggaraan pelayanan
pendidikan. Tujuan akreditasi tersebut berarti bahwa hasil akreditasi itu:
1. Memberikan gambaran tingkat kinerja sekolah yang dijadikan sebagai alat
pembinaan, pengembangan dan peningkatan sekolah baik dari segi mutu,
efektivitas, efisiensi, produktivitas dan inovasinya.
2. Memberikan jaminan kepada publik bahwa sekolah tersebut telah
diakreditasi dan menyediakan layanan pendidikan yang memenuhi standar
akreditasi nasional.
3. Memberikan layanan kepada publik bahwa siswa mendapatkan pelayanan
yang baik dan sesuai dengan persyaratan standar nasional.
D. Manfaat Akreditasi
Hasil akreditasi suatu lembaga pendidikan mempunyai beberapa manfaat
bagi beberapa kelompok kepentingan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Sekolah
Manfaat bagi sekolah adalah sebagai acuan dalam upaya meningkatkan
mutu pendidikan dan rencana pengembangan sekolah. Lebih lanjut dari hal tersebut
adalah sebagai bahan masukan untuk pemberdayaan dan pengembangan kinerja
warga sekolah. Manfaat lain yang dapat diperoleh adalah sebagai pendorong
motivasi peningkatan kualitas sekolah secara gradual. Selain sebagai sekolah yang
berkualitas, sekolah yang terakreditasi ini juga mendapatkan dukungan dari
pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta dalam hal moral, dana, tenaga dan
profesionalisme.20
KepalaSekolah/Madrasah
Manfaat akreditasi bagi kepala sekolah adalah menjadi bahan informasi
untuk pemetaan indikator keberhasilan kinerja warga sekolah termasuk kinerja
kepala sekolah selama 1 periode (4 tahun). Pada sisi lain juga sebagai bahan
masukan untuk penyusunan anggaran pendapatan dan belanja sekolah.
Gurudan tenaga kependidikan
Tampak jelas manfaat akreditasi bagi kelompok guru dan tenaga
kependidikan adalah sebagai dorongan untuk selalu meningkatkan diri dari bekerja
keras untuk memberi layanan yang terbaik bagi siswanya.
Masyarakat (wali murid)
Informasi yang akurat untuk menyatakan kualitas pendidikan yang
ditawarkan oleh setiap sekolah. Bukti bahwa mereka menerima pendidikan yang
berkualitas tinggi, sehingga siswa mempunyai kepercayaan terhadap dirinya bahwa
ia mampu masuk dan bersekolah di lembaga pendidikan yang terakreditasi
nasional.
Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama
Menjadi acuan dalam rangka pembinaan dan pengembangan/peningkatan
kualitas pendidikan di daerah masing-masing. Bahan informasi penting untuk
20http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/tujuan-dan-manfaat-akreditasi-suatu-lembaga-
pendidikan/ diakses pada tanggal 15 Oktober 2016.
penyusunan anggaran pendidikan secara umum, dan khususnya anggaran
pendidikan yang terkait dengan rencana biaya operasional Badan Akreditasi
Sekolah di tingkat Dinas dan Kementerian Agama
Pemerintah
Sebagai bahan masukan untuk pengembangan sistem akreditasi sekolah di
masa mendatang dan alat pengendalian kualitas pelayanan pendidikan bagi
masyarakat yang bersifat nasional. Sumber informasi tentang tingkat kualitas
layanan pendidikan yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk pembinaan,
pengembangan, dan peningkatan kinerja pendidikan secara makro. Bahan informasi
penting untuk penyusunan anggaran pendidikan secara umum di tingkat nasional,
dan khususnya program dan penganggaran pendidikan yang terkait dengan
peningkatan mutu.
E. Akreditasi adalah Jaminan Mutu Pendidikan Pondok Pesantren
Penulis berpendapat bahwa pemenuhan standar dilaksanakan berdasarkan
peta mutu pendidikan keagamaan.Peta ini dikembangkan dari evaluasi diri satuan
pendidikan [setingkat ponpes] yang telah direviu oleh Tim Audit Mutu Internal
masing-masing pondok pesantren. Data dikelola dalam sistem informasi mutu
pendidikan oleh direktorat pesantren melalui kantorKementerian Agama di tingkat
provinsi dan di tingkat Kabupaten Kota. Peta mutu menjadi dasar pengembangan
rencana kerja yang dilakukan olehpembina, penyelenggara, serta pelaksana satuan
pendidikan di pondok pesantren tersebut. Tentang hal tersebut dapat dilihat pada
bagan di bawah ini.
Proses pemenuhan standar diukur tingkat ketercapaiannya untuk melihat
keefektivan pelaksanaan. Pengukuran pencapaian standar dilakukan secara:
internal oleh Tim Evaluasi Mutu Internal, dan eksternal oleh BAPP [Badan
Akreditasi Pondok Pesantren] yang mendapat pengakuan Menteri Agama. Hasil
pengukuran dianalisis sebagai pijakan pengembangan standar. Pengembangan
tersebut berupa rumusan koreksiatas komponen dan indikator Standar pondok
pesantren. Rumusan koreksi digunakan oleh BAPP [Badan Akreditasi Pondok
Pesantren] untuk melakukan pengembangan standar. Selanjutnya proses akreditasi
di pondok pesantren dapat dimulai dari akreditasi sukarela menjadi wajib, dari
akreditasi program menjadi akreditasi pondok pesantren secara keseluruhan.Ijazah
diberikan kepada santri sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan
Formulasi Kebijakan
(Plan)
Implementasi (Do)
Monitoring dan Evaluasi (Check)
Rekomendasi (Action)
oleh pondok yang terakreditasi. Begitu juga sertifikat kompetensi diberikan oleh
pondok pesantren sebagai penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada
para santri selaku peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh pondok yang terakreditasi. Bandingkan dengan bagan di
bawah ini.
Bagi pesantren yang menyelenggarakan satuan atau program pendidikan
dengan sistem yang sudah berjalan selama ini tentu tidak menghadapi masalah yang
signifikan. Namun, bagi pesantren yang tetap ingin menyelenggarakan ilmu agama
murni atau tetap tidak mau ikut sepenuhnya kurikulum Nasional, peluangnya
terdapat di dua model berikut ini:
1) Apa pun satuan dan program pendidikan yang diselenggarakannya akan di
hitung oleh hukum positif sebagai bukan lembaga pendidikan formal melalui proses
standarisasi dan akreditasi. Jika pesantren semacam ini mengeluarkan ijazah, maka
ijazah nya tentu bukan ijazah yang berstatus terakreditasi. Pesantren yang
BELUM MENCAPAI SNP/
STANDAR
MEMENUHI SNP/
MANDIRI
MELAMPAUI SNP/
SP-BI SP-
BERKEUNGGULAN LOKAL
menyelenggarakan pendidikan formal tanpa akreditasi, maka pesantren tetap seperti
sedia kala, akan besar bersama penerimaan masyarakat. Dengan mengecualikan
santri diusia 7-15 tahun karena wajib bagi mereka mengikuti program wajar Diknas
9 tahun.
2) Jika pendidikan yang dikembangkan pesantren tidak memenuhi kriteria
standar nasional pendidikan dan tidak melampau proses akreditasi, akan tetapi
pesantren tersebut mampu menciptakan keluaran pendidikan yang kualitas
kompetensinya memadai. Maka peluang pengakuan pesantren,masih bisa
ditempuh,melalui proses pengakuan akreditasi yang dilakuatkan oleh Kementerian
pendidikan nasional dan KementerianAgama. Pengakuan setara pendidikan formal
yang akan diperoleh pesantren ini masihjauh lebih memungkinkan dari pengakuan
Negara atas penyetaraan yang diperuntukkan pada peserta didik pendidikan non
formal dan informal.
Pada sisi lain kaum santri pada umumnya kini sudah mendengar bahwa UU
Sisdiknas, telah mengadopsi model pesantren sebagai bagian integral dalam sistem
pendidikan nasional. Ini bisa dimaknai angin segar bagi model pendidikan yang
merasa terpinggirkan seperti pesantren selama ini.Setelah kita mengetahui apa dan
bagaimana kita harus menyikapi hal-hal yang menyangkut sistem pendidikan
pesantren, kini kita harus berpikir kembali untuk terus mengembangkan dan
memperbaharui sistem pendidikan pesantren kita agar tidak ketinggalan dan
membukitikan bahwa kaum muslim juga mampu menjadi cendekia dalam bidang
ilmu pendidikan. Karena bagaimanapun pesantren adalah satu-satunya lembaga
pendidikan agama Islam yang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh lembaga
pendidikan lain, selain itu peran pesantren dalam sejarah Indonesia sangat
berpengaruh, sehingga eksistensi dan kiprahnya harus terus dijaga.
Fenomena mutahir yang dapat diamati adalah bahwa pesantren [tidak
tertutup kemungkinan di wilayah Salatiga dan Kab. Semarang, dan sekitarnya] terus
mengembangkan ekspansinya hingga batas yang boleh disebut strategis, misalnya :
1. Secara fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenomenal,
sehingga tidak tepat lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan lembaga yang
berfasilitas seadanya, kumuh, sesak dan tidak higinis, tetapi seiring dengan
perkembangan ekonomi umat Islam, saat ini tidak sulit mencari pesantren
yang memiliki gedung megah dan mentereng.
2. Begitu juga dengan domainnya, ia tidak saja sebagai rural based institution,
tetapi juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari
kemunculan sejumlah pesantren kota, pesantren pembangunan, pesantren
mahasiswa, pesantren tehnologi, pesantren gender, pesantren industri,
pesantren lingkungan, pesantren nara pidana yang notabene berdomisili
dikota-kota dan di metropolitan.
3. Selain itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan Islam
khas Jawa, tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dsb.
4. Sistem pengasramaan yang di pesantren dikenal dengan istilah santri
mukim, saat ini ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan
unggulan dengan istilah boarding school atau boarding system.
Di lingkungan Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa model yang
sesungguhnya meniru model pesantren, seperti : Pondok pesantren Hj Nuriyah
Sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren Kampus di UIN Malang, dan
banyak contoh contoh lain.Tidak sedikit Pesantren yang secara cemerlang berhasil
memberdayakan masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan,
tetapi juga bidang ekonomi, teknologi dan ekologi.Beberapa Pesantren telah
berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya menjadi desa swakarya dan
menjadi desa swasembada. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren tersebut
mendirikan “Biro Pengabdian Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat
penghargaan.
Kurikulum pendidikan di pesantren saat ini tidak sekedar fokus pada kita
kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata
pelajaran dan keterampilan umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak
populer, beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang
berada dibawah naungan dan supervisi Dinas Pendidikan [DIKNAS]. Pesantren
salafiyah telah memperolehpenyetaraan melalui SKB 2 Menteri (Menag dan
Mendiknas) No : 1/U/KB/2000 dan No. MA/86/2000, tertanggal 30 Maret 2000
yng memberi kesempatan kepada pesantren salafiyah untuk ikut menyelenggarakan
pendidikan dasar sebagai upaya mempercepat pelaksanaan program wajib belajar
dengan persyratan tambahan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan
IPA dalam kurikulumnya.Dengan demikian SKB ini memiliki implikasi yang
sangat besar untuk mempertahankan eksistensi pendidikan pesantren.
Dewasa ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di
dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal sistem dan
kelembagaan pesantren telah dimodernisasi, serta disesuaikan dengan tuntutan
pembangunan, terutama dalam aspek-aspek kelembagaan sehingga secara otomatis
akan mempengaruhi ketetapan kurikulum.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan
seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan
dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan.Pesantren dalam aspek
kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak
pendidikannya yang bermacam-macam.Pesantren yang mengadopsi sistem
madrasah atau sekolah yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum
madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe
sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT
dalam lingkungannya. Seperti Pesantren Al Falah Grogol Dukuh Salatiga21
, yang di
dalamnya telah berkembang tidak hanya madrasah, namun sekolah umum, yang
dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Maka
dari pada itu kurikulum pondok pesantren tradisional statusnya cuma sebagai
lembaga pendidikan non formal yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik.
Meliputi: nahwu, sorrof, balaghoh, tauhid, tafsir, hadis, mantik, tasawwuf, bahasa
21 Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al-Falah ( PPTI) berdiri pada tahun 1986 oleh Bapak
KH. Muhammad Zoemri RWS bersama isteri tercinta yaitu Ibu Nyai Hj Latifah Zoemri yang
sekaligus sebagai pengasuh sampai sekarang. Pon-pes tersebut berdiri diatas tanah wakaf yang
mendapat dorongan dan dukungan dari masyarakat sekitar dan pemerintah kota setempat. KH. M.
Zoemri RWS pada awalnya menampung para santri di rumah (ndalem) beliau pengasuh karena
memang belum ada local untuk mereka, namun Alhamdulillah dengan semangat beliau bersama
masyarakat sekitar wujudlah satu gedung pon-pes dua lantai (lantai satu untuk Aula dan tempat
jamaah para santri, sedang lantai dua untuk asrama santri dengan 4 kamar dan 1 kantor) pada tahun
1990. ejak itulah dengan Rahmat Allah SWT, PPTI Al Falah berkembang agak pesat dengan 5 lokal
2 dan 3 lantai untuk 30 kamar 3 aula dan 2 kantor serta kamar mandi dan tempat wudlu. Seiring
dengan berkembangnya zaman PPTI Al-Falah dituntut pula untuk menampung aspirasi dari
masyarakat, dan berdirilah Sekolah Menengah Kejuruan pada tahun 2005 yang sampai sekarang
masih dalam taraf pembangunan dan perkembangan. http://alfalahsala3.blogspot.co.id/ diakses pada
bulan Desember 2016.
arab, fiqih, ushul fiqh dan akhlak. Dengan demikian pelaksanaan kurikulum
pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau
masalah yang dibahas dalam kitab.Jadi ada tingkat awal, menengah, dan lanjutan.
Senada dengan Al Falah, Pondok pesantren Al Madinah juga memiliki
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Aliyah. Sejak awal berdiri, Sekolah
Islam Al-Madinah menawarkan sistem pendidikan dan pengajaran yang berbeda
darisekolah-sekolah lainnya, yaitu:Menerapkan pola pendidikan yang integral,
memadukan antara aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Dengan pola
pendidikan yang terintegrasi, diharapkan anak didik nantinya menjadi manusia
yang kecerdasan akalnya selaras dengan hati nurani dan tuntunan agama.
Sistem pendidikan dilaksanakan secara ilmiah, alamiah, dan Islami yang didukung
konsep “Joyfull Learning” (konsep pembelajaran yang menyenangkan bagi anak
didik).Sehingga kegiatan belajar di sekolah bukanlah suatu rutinitas menjemukan
bagi anak didik.22
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-
lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.Umumnya, kenaikan tingkat
22Proses pembelajaran menggunakan pendekatan teori Multiple Intelligences, teori ini
memandang setiap anak didik mempunyai keunikan-keunikan tersendiri (penilaian/evaluasi lebih
ditekankan secara individual). Konsep pendidikan mengacu kepada tuntunan agama untuk
membentengi anak didik dari pemikiran-pemikiran liberalisme dan pluralisme, mengingat
pemikiran-pemikiran seperti ini secara nyata telah menyebar disegala aspek kehidupan masyarakat,
termasuk lingkungan pendidikan Islam. Ponpes Al-Madinah mengarahkan santrinya menjadi
generasi Qur‟ani sehingga kurikulumnya dirancang untuk membekali santri tahfidz dan tafhim Al
Qur‟an. Kurikulum tersebut terdiri: Bahasa Arab. Pembekalan ilmu alat/bahasa Qur‟an, sehingga
santri mempunyai dasar untuk memahami Al-Quran. Tahfidz Al Qur‟an Target Tahfidz Al Qur‟an,
santri dikelompokkan menjadi 3 kelompok; Kelompok Pertama; minimal hafal 10 juz, selama di
pesantren. Kelompok Kedua; minimal hafal 20 juz Kelompok Ketiga; wajib hafal Al Qu‟ran Tafhim
Al Qur‟an Menggunakan metode belajar terjemah Lafdhiyah, maksudnya memahami Al Qur‟an
dengan pendekatan memahami kata-kata Al Qur‟an, target minimal menguasai/menterjemahkan juz
30,1, 2 & 3.https://almadinahsalatiga.wordpress.com/about/ peneliti juga melakukan observasi pada
bulan Agustus September 2016.
seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan
tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.Apabila seorang santri telah
mengusai satu kitab atau beberpa kitab dan telah lulus ujian yang diuji oleh
Kiainya, maka ia berpindah kepada kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya.
Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi
berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah
sampai paling tinggi.Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas,
pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu atau bidang-
bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat
menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan
pendidikan sebuah pesantren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok.
BAB III
PANDANGAN-PANDANGAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
TERHADAP UPAYA AKREDITASI PESANTREN
C. Pandangan Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan
Dan Peningkatan Kualitas Pesantren
Kepala Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan
Kementerian Agama, Abdul Jamil menyebutkan, jumlah santri pondok pesantren di
33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok
pesantren.23
Ponpes telah melahirkan tokoh-tokoh Islam yang sukses, sehingga
menjadi teladan bagi semua, para alumni ponpes diharapkan terus mengembangkan
Ponpes di Indonesia. Pada sisi lain pendidikan di ponpes telah diakui dalam
peraturan perundang-undangan. Lebih jauh Abdul Jamil menjelaskan bahwa tidak
perlu dibeda-bedakan antara pendidikan di ponpes dam sekloah umum, karena
memiliki tujuan yang sama yakni bagaimana menciptakan kader pemimpin masa
depan bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur. Kalau dilihat prospek
kedepan pendidikan di ponpes memimiliki peluang besar untuk mengembangkan
23"Jumlah tersebut terus bertambahnya setiap tahunnya.Ini merupakan sebuah kemajuan
yang patut dibanggakan," katanya seusai pembukaan Musabaqah Fahmi Kubtubit Turats (Mufakat)
di Pondok Pesantren (Ponpes) Nahdlatul Wathan Poncor, Lombok Timur, Selasa (19/7).Ia
mengatakan, mutu pendidikan di lingkungan ponpes juga cukup baik. Sebagian ponpes masih
menerapkan pendidikan tradisional, namun banyak juga sudah modern, sehingga tidak kalah
bersaing dengan pendidikan yang ada di sekolah.Menurut dia, pendidikan di lingkungan ponpes
sebagai salah satu ujung tombak dari terselenggaranya pendidikan agama Islam yang baik dan benar
sesuai dengan tuntutan agama Islam yang tertuang dalam kitab suci Alquran dan Hadist Nabi
SAW.Baca lebih jauh pada http://www.republika.co.id/kanal/khazanah/dunia-islam diakses pada 19
Juli 2016.
pendidikannya dengan membuka berbagai program pendidikan yang diminati
banyak orang. Ponpes tidak hanya bertumpu saja pada pendidikan agama.
Sementara itu Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin berharap agar
tahun 2016 ini dan tahun-tahun berikutnya menjadi tahun emas bagi Pondok
Pesantren.24
Apa yang disampaikan Menag bukanlah sebuah utopis. Hal itu dapat
diwujudkan jika upaya untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
keagamaan dilakukan secara terus-menerus dan sungguh-sungguh. Para santri telah
mewarnai berbagai kampus ternama di negeri ini. Program beasiswa santri
berprestasi serta kerjasama yang dilakukan dengan kampus-kampus seperti UGM,
ITB Unair, ITS, UIN dan perguruan tinggi lain, melahirkan banyak prestasi yang
berhasil ditorehkan oleh para santri, dimana hal tersebut sebelumnya tidak pernah
terduga. Lebih lanjut dari program itu, lanjut Menag, lahirlah santri-santri yang
menguasai disiplin ilmu IT, Dokter, Ekonom, Arsitek, dan lainnya yang selama ini
belum pernah dimiliki. Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003dan
Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Keagamaan, juga telah menempatkan ponpes pada pusaran pendidikan nasional.
Model regulasi yang telah memberikan ruang gerak dan penghargaan yang luar
biasa terhadap keberadaan Ponpes ini harus dijadikan momentum kebangkitan
Pondok pesantren.
24Hal tersebut disampaikan Menag saat meresmikan gedung baru Al-Azhar dan peletakkan
batu pertama pembangunan asrama Wali Songo di Pondok Pesantren Moderen Baitussalam, yang
berlokasi di daerah candi Prambanan.Baca lebih lanjut pada
http://pendis.kemenag.go.id/DITJENISLAM diakses pada 9 Agustus 2016.
Sepanjang tahun 2014 lalu, data menyebutkan telah ditandatangani dua
regulasi terkait Ponpes, pertama PMA No 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan
Keagamaan Islam, dan yang kedua PMA No 18 tahun 2014 tentang Satuan
Pendidikan Muadalah.25
Kementerian Agama menilai bahwa hal tersebut merupakan bukti dan
jaminan keberpihakan pemerintah. Dengan demikian akan meneguhkan posisi dan
eksistensi Ponpes. Sejak orde reformasi hingga kini perhatian pemerintah terhadap
ponpes terus meningkat. Selain keberhasilan yang datang dari luar, keberhasilan
yang diciptakan Ponpes dengan memainkan perannya sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, lembaga dakwah dan lembaga sosial kemasyarakatan bukanlah sekedar
konsensi tasawuf, juga sebuah kebenaran yang sangat mudah dicarikan dasar
argumentasinya. Mengapa? Karena ponpes selalu hadir disetiap momen penting
dalam perjalan bangsa. Ponpes telah berhasil mencetak generasi-generasi unggul
yang berkomitmen mendedikasikan dirinya untuk kemajuan bangsa yang dilandasi
oleh jiwa yang ikhlas dalam berjuang dan beramal. Letak sejarah perjalan
kehidupan pesantren setidaknya telah menghantarkan lembaga pendidikan
keagamaan khas bangsa Indonesia pada tiga peran besar, yaitu perannya sebagai
lembaga pendidikan keagamaan, peran sebagai lembaga dakwah dan perannya
sebagai lembaga sosial kemasyarakatan.
Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, peran kependidikan pesantren
tidak berhenti pada kajian-kajian keagamaan saja tetapi juga berkembang hingga
memasuki wilayah kesadaran sosial terkait isu-isu kekinian yang universal.
25http://pendis.kemenag.go.id/DITJENISLAM diakses pada 18 Agustus 2016.
Pesantren tidak hanya berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan dan hal-
hal yang “melangit” saja. Tetapi juga kurikulumnya menyentuh persoalan-
persoalan aktual kemasyarakatan yang membumi.
Selanjutnya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan26
bahwa minat masyarakat untuk mempercayakan anak-anaknya pada lembaga
pendidikan pesantren sangat tinggi. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari peningkatan
jumlah pondok pesantren di Indonesia. Selain mendapat jaminan dididik
pengetahuannya, pesantren juga melangsungkan pendidikan karakter. Situasi
pesntren yang seperti itu, memberikan keuntungan tersendiri bagi peserta didik.
Sebab, selain sebagai tempat diseminasi pengetahuan, pesantren juga menjadi
komunitas belajar para santri bersama rekan-rekannya, sekaligus tempat belajar
berinteraksi untuk hidup bersama, menerima perbedaan, dan menjadi manusia
Indonesia seutuhnya. Pada sisi lain menurut Menag, manusia Indonesia ketika lahir
sejatinya “bukanlah” orang Indonesia, melainkan masih mewakili daerah dan
sukunya. Namun, setelah berinteraksi dengan orang lainya, memahami perbedaan,
maka barulah ia menjadi manusia Indonesia. Keuntungan lainnya, pendidikan di
pesantren mengajarkan Nasionaliame. Sejarah mencatat bahwa pesantren
merupakan tempat mengajarkan Islam moderat. Ajaran tersebut bahkan masih
dipertahankan hingga sekarang sehingga, dalam jiwa-jiwa santri tertanam rasa cinta
26 Disampaikan pada acara Bincang Nasional Pemberdayaan Lembaga Pesantren dalam
Rangka Peningkatan Kemandirian Ekonomi Serta Mendorong Pengembangan Ekonomi dan
Keuangan Syariah di kantor Bank Indonesia Surabaya, Rabu (5/11/2016). Baca lebih lanjut dalam
http://ditpdpontren.kemenag.go.id/berita-/mengapa-harus-pilih-pendidikan-pesantren-ini-
jawabannya/ diakses pada 12 Maret 2016.
dan aksi bela negara. Jika ada pesantren yang mengajarkan radikalisme, itu pastinya
patut diduga pesantren yang tidak kompeten.
Pesantren merupakan produk asli Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan,
pesantren memiliki ciri khas kelembagaan yang tidak dimiliki oleh lembaga
pendidikan lain yang ada di negara manapun selain Indonesia. Memperhatikan hal
tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memetakan tiga trilogi
pesantren sebagai bekal pengembangan potensi ekonominya. Ada tiga hal yakni
dari segi pola pendidikan, aspek keagamaan, dan aspek sosialnya. Khusus untuk
aspek sosial, potensi pesantren dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Sebab,
santri di pesantren, selain belajar keagamaan juga telah terbiasa dididik mandiri
sekaligus terbiasa bersinggungan dengan manusia lainnya yang beragam dalam
kehidupan sehari-hari. Pemerintah harus sigap dan secara sinergi menyiapkan
kesetaraan regulasi, kesetaraan program, dan kesetaraan anggaran, agar pesantren
tidak melulu ketinggalan dengan lembaga negara lainnya. Hal ini penting. Sebab
pesantren menjadi salah satu bagian terbesar yang menyangkut dengan kepentingan
masyarakat. Faktanya, minat masyarakat untuk menempuh pendidikan di pesantren
semakin menguat. Data saat ini menunjukan setidaknya ada 3.004.807 anak yang
tercatat sebagai santri mukim (79,93%). Sisanya, sebanyak 754.391 untuk santri
non mukim.
Pada tahun 2015 Kementerian Agama juga melakukan upaya pemenuhan
kebutuhan pengembangan dan peningkatan kualitas pesantren melalui program
pesantren bahari. Untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal, pinggiran
dan kepulauankhususnya daerah pesisir, peran pesantren menjadi sentral dalam
membantumempercepat pembangunan tersebut. Pondok pesantren bahari
merupakansalah satu motor penggerak percepatan industrialisasi kelautan
danperikanan melalui berbagai kegiatan usaha yang dilakukannya.Peran strategis
pondok pesantren yang diharapkan perannya menjadi mitrapemerintah dalam
pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Karena pondokpesantren pada umumnya lahir
dan berbasis di daerah-daerah pedesaan yangmasyarakatnya masih memegang
teguh sikap gotong royong dan kekeluargaan.Keberadaan pondok pesantren di
masyarakat mempunyai peran yang sangatstrategis dalam pendidikan, yang sangat
mengakar di masyarakat menjadikekuatan tersendiri dalam membangkitkan
semangat masyarakat untukmencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih
sejahtera.Di samping berfungsi dan berperan sebagai agen pemberdayaan
masyarakatuntuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, pondok
pesantrendiharapkan juga mampu memberdayakan diri agar mandiri, terutama
dalamaktivitas ekonomi. Oleh karena itu, dalam mentransformasikan
potensipondok pesantren sebagai agen pemberdayaan umat, diperlukan
upayastrategis untuk menghasilkan santri-santri yang handal, peka terhadaparus
globalisasi, modernisasi serta masalah sosial budaya yang ada ditengah-tengah
umat, selain ahli dalam agama.Sebagai langkah pertama dalam implementasi
Program PEP Tahun 2015 dengandimasukkan dalam agenda nasional tahunan
Program SAIL. Pada tahun 2015akan dilaksanakan Sail Tomini yang akan
berlangsung di Kabupaten ParigiMoutong, Sulawesi Tengah. Salah satu bidang dari
20 program pada SAILTomini 2015 adalah program Pemberdayaan Ekonomi Umat
melalui PondokPesantren (PEP) yang difokuskan pada pondok pesantren
bahari/kelautan,di mana Kementerian Agama RI menjadi salah satu penaggung
jawab programtersebut.27
D. Relasi Etis Kiai – Santri
Jika melihat makna dari akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan
program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka
program program pengembangan akhlak akhlak al-karimah dan penguasaan ilmu
agama menjadi penting untuk dinilai pada sebuah pesantren. Penilaian28
ini juga
tidak lepas dari hubungan dan relasi kiai dan santri yang terbangun di dalam sebuah
pesantren dari generasi ke generasi. Di kalangan masyarakat santri, figur kiai,
secara umum kerap dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan
merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, „alim, menguasai ilmu
agama (/tafaqquh fi al-din/) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang
patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu‟ kiai
akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan
masyarakat. 29
Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kiai akan berkurang seiring
dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu‟ pada dirinya,
sehingga tampak tak berwibawa lagi dihadapan umatnya. Konsepsi kewibawaan ini
27 Baca lebih lanjut dalam http://ditpdpontren.kemenag.go.id/wp-content/uploads/2015/-
02/IMG_1812.jpg diakses pada 15 Mei 2016
28
Pada konteks penilaian proses pemenuhan standar diukur tingkat ketercapaiannya untuk
melihat keefektivan pelaksanaan sebuah program. Pengukuran pencapaian standar dilakukan secara
internal oleh Tim Evaluasi Mutu Internal, dan secara eksternal oleh BAPP Badan Akreditasi Pondok
Pesantren atau Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang mendapat pengakuan Menteri Agama, dan
penilaian juga menyasar kepada penilaian hasil belajar.
29
Syamsul Hadi Thubany, Relasi Etis Kiai – Santri, dalam http://ditpdpontren.kemenag-
.go.id/opini/relasi-etis-kiai-santri/ diakses pada tanggal 17 Nopember 2016.
telah mendifinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang oleh
budayawan Mohamad Sobari disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional. Ciri
pertamanya adalah, penggunaan kekuasaan pribadi yang dihimpun melalui peranan
masa lampau dari seseorang sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-
nilai, dan status unggul dari mereka yang memiliki hubungan ketergantungan yang
mapan dengan orang tersebut. Adapun indikasi yang lain, bahwa sumber-sumber
kewibawaan tradisional tersebut terletak pada posisinya menjadi sesepuh (orang
yang dituakan), sebagai sosok ayah, orang yang dapat dipercaya, orang yang
dihargai, berkedudukan resmi, memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama, dan
posisinya sebagai pemangku lembaga agama (pesantren). Derajat kewibawaan-
kharismatik ini dalam bentuk penghormatan serta ketaatan massa yang bersifat total
dan, bahkan ada ciri /taqlid/ buta, sehingga terhadap penilaian suatu perkara
tertentu tak lagi perlu ada pertanyaan, gugatan atau diperdebatkan secara kritis.
Hal ini diperoleh kiai atas konsekuensi logis dari segi penguasaan yang
mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama juga diimbangi oleh pancaran budi pekerti
mulia, penampakan /akhlak al-karimah /yang menyebabkan kiai, di mata umatnya,
dipandang bukan semata teladan ilmu, melainkan juga sebagai teladan laku: suatu
elemen keteladanan yang bersifat sangat fundamental. Unsur berkah keteladanan
yang membawa implikasi pada kecintaan, dan kepatuhan atau ketaatan mutlak
kepada sang pemimpin kharismatik sehingga dianggap memiliki karomah.Oleh
karenanya, secara otomatis pada dirinya dinilai sebagai orang berotoritas. Adalah
bukti nyata bahwa fenomena kewibawaan spiritual kharismatik ternyata telah
melintas batas rasionalitas. Apapun yang dikatakan orang, masa bodoh! Demikian
adalah prinsip yang dipegang kuat-kuat di kalangan santri tradisonal meskipun
kadang kala ia telah berada di luar habitatnya.
M. Sholeh Mubin salah seorang Kasi di Kantor Kementerian Agama Kota
Salatiga menyebutkan bahwa aspek-aspek komitmen religius yang kuat itu
meliputi, aspek keyakinan (the belief dimension), ritual peribadatan beserta aurad-
dzikirnya (religious practice: ritual and devotion), pengalaman keagamaan (the
experience dimension), pengalaman batiniah/rohaniah (spiritual dimension),
pengetahuan agamanya maupun kosekuensi-konsekuensi amaliah seorang Muslim
yang terbentuk secara baik. Maka tidak mengherankan dengan potensi dan
kompetensi tersebut kalau seorang kiai pesantren menduduki posisi puncak yang
kukuh dalam struktur sosial terutama dalam lingkaran komunitas pesantren.
Sholeh Mubin menyebutkan bahwa;
“Atas dasar inilah maka kemudian muncul pola hubungan patron-klien antara kiai
dan santri yang bersifat unik serta menarik diamati. Sebagai ilustrasi, menurut
keyakinan santri, mencium tangan Kiai merupakan berkah dan dinilai ibadah,
meski orang-orang yang berpandangan puritan mengejeknya sebagai “kultus”
individu, dan karena itu syirik. Mereka tetap tak peduli, sebab mereka beranggapan
tidak mencium “tangan” yang sebenarnya, karena perbuatan tersebut sedang
memberikan penghormatan yang dalam kepada suatu otoritas, yaitu kiai.” 30
Dengan demikian, predikat nilai ke-Kiai-an yang berotoritas dan
menyandang kewibawaan spiritual kharismatik bukanlah sangat bergantung pada
garis keturunan atau karena dari faktor/nasabiah, /melainkan harus pula ditempuh
dengan cara-cara yang rasional, karena tergantung kepada derajat kealiman juga
diimbangi oleh teladan perilaku berbudi (akhlak al-karimah). Dalam arti, secara
teoritik dan formal bahwa seorang pengasuh pesantren memang harus memiliki
30Wawancara tanggal 3 Januari 2017.
kompetensi yang memadai dan telah pula memiliki /religious commitment/ yang
kuat. Yaitu penampilan sosok pribadi yang integratif antara ilmu dan amaliahnya.
E. Pandangan MasyarakatTerhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan
Dan Peningkatan Kualitas Pesantren
Kalau kita melihat secara historis Pesantrenjika disandingkan
denganlembagapendidikanyangpernah muncul di Indonesiamerupakan
sistempendidikan tertuasaat ini dan dianggap sebagaiprodukbudaya
Indonesiayangindigenous.31
Pesantren bukansemata-
matasebagaisebuahinstitusipendidikansaja.Sejak kemunculannya,
pesantrenmunculsebagaisebuahinstitusiyangtelahberakarkuat didalam masyarakat
Indonesia.Pesantrenmerupakanprodukdarisistempendidikan
pribumiyangmemilikiakarsejarah,budayadansosialdiIndonesia.Olehkarena
itu,pesantren merepresentasikanpendidikanyangunik yangmensintesakan
dimensisosial,budayadan agama. Akar dan sintesisini kemudian
mempengaruhifungsipesantrenbaiksecarainternal maupuneksternal.
Pesantrenmunculsebagaisebuahkomunitaskehidupanyangmemiliki
kemampuanuntukterlibatdalamaktivitas-aktivitas kreatifyangmenggunakan
pendidikanalternatif yangmenggabungkanpendidikandan pengajarandengan
pembangunankomunitas.
HamamBurhanuddin menyebutkan bahwa perlu mengkaji kembali
tentangfungsi sosial pesantren dengan menimbang ulangperanan dan
31Masyhud,Sulthon dan Moh. Khusnurdilo,Manajemen PondokPesantren,(Jakarta:
DivaPustaka,2003), hlm. 1.
dinamikapesantrendalammasyarakat Indonesiamodern, dimanadinamikamodernitas
mempengaruhikeberadaanpesantrensecara fundamentalsehingga mengakibatkan
munculnyaproblemidentitaskultural pesantren.Probleminidapat dianggap sebagai
konsekuensidanimplikasilogis
ketikaberhubungandenganmodernitasyangmemilikikeharusanyang
mempengaruhisecarakhususfungsisosialdan budayayang didasariatas
kewajibankeagamaan.32
Zulfa Machasin selaku tokoh pendidikan di Salatiga dalam pandangannya
menyebutkan bahwa pesantren harus melakukan terobosan, inovasi, kreativitas
dalam mengahadapi perubahan era modern dan globalisasi.
“Pesantren harus lebih banyak yatafakkaru karena yatazakkaru nya sudah sangat
baik. Modernitas sendirimembawaperubahan-perubahan dalambanyak aspek
kehidupan, khususnyainstitusiagamasepertipesantrenitusendiri.Akhir-akhirini,
usaha untuk mereformulasi peranan ideal pesantren di tengah masyarakat
Indonesiadapat menjadi semacamusahakultural. Inikarenasecarahistoris,
pesantrenidentikdengan ”sekolahrakyat”dan ”sekolahkehidupan” khususnyadi
wilayahpedesaandiIndonesia.”33
Lebih jauh Zulfa menyebutkan bahwapesantrendanmodernitas bukan
tidaksesuai tetapi dapat bekerjasamauntukkondisi negara yanglebih baik. Sementara
yanglainberargumenbahwaperananpasti pesantrenmasihmenjadi perdebatan. Sejauh
mana juga pesantrensebagaiinstitusiagama Islam dapat mengukuhkantradisi dan
menjadikannyasebagaibasis transformasidi zaman modern.Dalamkapasitas apa
pesantrendapat memerankanfungsi-fungsisosialbudaya dalamkomunitassantri
ditengah-tengah modernitasmasyarakat Indonesia.
32HamamBurhanuddin, Post-Tradisionalisme Pesantren;MengukuhkanTradisi
PesantrenSebagaiBasisTransformasi DiEraModern, dalam Jurnal Murabi, Vol.01No.01, Juli-
Desember 2014, ISSN 2406-775X, hlm. 1.
33Wawancara tanggal 17 September 2016, dan wawancara kedua 5 Oktober 2016.
Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren sekarang ini sudah
mengalamiperkembanganpesat, prosesperubahanhingga dewasainilembaga
tersebuttelah memberi kontribusi penting dalampenyelenggaraan pendidikan
nasional.Keberadaanpesantrensebagailembagapendidikanbaikyang masih
bertahansistempendidikantradisionalnya maupunyangsudah mengalami perubahan
memiliki pengaruh besar dalamkehidupan masyarakat Indonesia.Dari waktuke
waktupesantrensemakintumbuhdanberkembangkuantitas maupun kualitasnya.
Tidaksedikit dari masyarakat yangmasih menaruh perhatian besar
terhadappesantrensebagaipendidikanalternatif.
Terlebihlagidenganberbagaiinovasisistempendidikanyangdikembangkan pesantren
dengan mengadopsi corakpendidikan umum,menjadikan pesantren
semakinkompetitifuntuk menawarkanpendidikanke khayalak masyarakat.
Ahmad Wadudi jelas mempercayakan pendidikan putrinya di Pesantren,
dia menjelaskan bahwa:
“Pesantren mampu berkiprah dalam masyarakat pada masanya, karena ilmu yang
ditimba sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat, selain itu adanya
keikhlasan dari kyai dan keberkahan dari kyai yang dulu memang sangat manjur.
Walau metode yang digunakan itu dikatakan kuno, akan tetapi hasilnya cukup
berkualitas. Serta menghasilkan santri yang bersifat akhlakul karimah dan berpijak
teguh pada Al-qur‟an dan As-sunnah. Pendidikan pesantren baik salaf ataupun
khalaf bagus untuk pembentukan moral anak bangsa kita kedepan. Tapi harus juga
diimbangi dengan ketrampilan, kreatifitas dan juga pengetahuan dari
mereka.Kekhasan pesantren salaf yang paling menonjol adalah kebutuhan akan
ta‟limu ulum addin (pembelajaran ilmu-ilmu keagamaan).”34
34Wawancara tanggal 11 November 2016 di wilayah RT 4 RW 14 Cabean Mangunsari
Salatiga. Ahmad Wadudi dalam pernyataan berikutnya mengatakan “kelebihan-kelebihan dari
pesantren antara lain: Ketakdziman seorang santri terhadap kyainya begitu kental, Tempat mencetak
kader-kader islam yang berakhlakul karimah dan mumpuni terhadap kajian-kajian agama seperti
ilmu fiqh, tasawuf ataupun ilmu alat, Sebagai tempat sentral belajar ilmu agama, Tempat pendidikan
yang tak mengenal strata social dan yang terpenting juga mengajarkan semangat kehidupan
demokrasi, bekerja sama, persaudaraan, persamaan, percaya diri dan keberanian hidup.
Meski sudahmelakukaninovasi pendidikansampaisaat inipendidikan
pesantrentidak kehilangan karakteristiknyayangunikyangmembedakan
dirinyadengan model pendidikanumumyangdiformulasikandalambentuksekolahan.
Perkembangantersebuttidakbisalepasdarikajianintelektualdarimasing-masing
pendiri pesantren untuk bisa mensinergikan dengan perkembangan modern.
Sama halnya Ahmad Wadudi, Nurhasanah juga menyebutkan bahwa pesantren
adalah tempat sekolah lanjutan putranya setingkat SMP dalam menimba ilmu.
Nurhasanah menandaskan bahwa:
“Karena dalam pesantren modern telah melakukan perubahan terhadap kurikulum,
metode dalam melakukan proses pembelajaran seperti perubahan dalam:System
pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi system klasikal yang kemudian
disebut sebagai madrasah.Diberikannya pengetahuan umum disamping masih
mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab.Bertambahnya komponen
pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan masyarakat sekitar.Diberikannya ijazah bagi santri yang telah
menyelesaikan studinya di pesantren, yang terkadang ijazah tersebut disesuaikan
dengan ijazah negeri.”35
Pesantrenmemilikisatukonsepyangmencakupsemuagambaranpenting dari
modelpendidikan.Modelinidiformulasikan atas dasarrisetempirik,yaitu
aspekvisionerdalamtujuanpesantren. Tujuanpesantrensecaramendasaradalah
untukmembangun danmengembangkankepribadianmuslimyangtatakepada Tuhan
dalam kondisiberimandan bertakwa. Ketaatan ini, selanjutnya akan
memancarkankewajibanmoraluntuk menyebarkanajarandanspiritIslamdiantara
manusia.Seorangsantribertujuanuntukmenjadi muslimyangbenar dengan
menjagaorientasihidupnya kepadayangsucidenganmenekankansikap normatif dan
35Wawancara tanggal 10 Agustus 2016 di wilayah RT 4 RW 14 Cabean Mangunsari
Salatiga.Setidak-tidaknya ada 7 orang seperti Nurhasanah di sekitar Salatiga yang memilih
pendidikan pesantren modern bagi putra-putrinya untuk melanjutkan ke tingkat SMP.
ideal atas dasar fikih. Selanjutnya,dalamimplementasi-implementasi sikap
idealistikdalamkehidupan harian,santri harus menjauhi godaan-godaan material,
sikap-sikapdantendensikeduniawian.
Usahauntukmengukuhkantradisimenjadikeharusanyangperlu dipertahankan
karenamelihat perkembangan zaman,ciri tradisiyangperlu pertahankan ialah
pengajaran kitab kuning, kontrol sosialdan pembentukan pribadi
muslimyangparipurnayanglebihmenekankan aspekmoral,pentingnya
pendidikanmoralinilahyangmenjadi corakkarakterpesantrensebagaiaset
filterisasiterhadaparusmodernisasi yanglebihmengedepankanaspek
materialismedanhedonisme(hidupbermewah-mewahan).Satuhal yangsering
dilupakan dalampesantrenyakniadanyausahauntukhidup mandiridan sederhana,
kesederhanaan inilah yangakan menghantarkan setiap santri untuk selalu
mensyukurikenikmatanyangtelah diberikan dantidak mementingkan
kehidupanduniasemata.Sehinggamenghantarkan keselarasanhidupantaradunia
danakherat.
Muhammad Hanief [Gus Hanief] selaku pihak yang mengelola pondok
pesantren Edi Mancoro Gedangan Kabupaten Semarang menyebutkan bahwa;
Keberadaan modelpendidikanpesantrentradisional yangmasihbanyak terdapat
diberbagaidaerahpelosoktanahair. Bukanberarti modelpendidikan
pesantrensemacaminitidakrelevanlagi untukkonteksperkembangansosialsaat
sekarangini. Tetapijustru keberadaanpesantrenpuresalafiiniperlu mendapatkan
perhatiandanpenanganan yangserius dariberbagaipihakterutamapemerintah
daerah.Amanah Undang-UndangSistemPendidikanNasionalNo.20/2003jelas- jelas
memasukkanpesantrensebagaisalahsatusubsistemdarisistempendidikan nasional,
sebuah perhatian danpengakuan yangsudah selayaknyaditerima
komunitaspesantren.Karenabagaimanapunpesantrenmerupakan khazanah
budayayangmemainkanperanpenting dalamsetiapprosesperubahansosialsejak
awalberdirinya lembagaini. Tanpa perandan partisipasi pesantren dapat
dikatakanproses pembangunandaerahakanmengalamikegagalan.36
Disampingitujuga,adabeberapahalperludikukuhkan dalampendidikan
pesantrendalamtengah
kehidupanmodernitas,menurutpenulispengukuhantradisipesantrenmencakup 2 hal
yang tradisi keagamaan dan tradisi keilmuan:
1.Tradisi Keagamaan
Kehidupan modern acapkali keringnilai-nilai spiritual, bahkan ada gejala
mereduksikanmaknahiduphanyasebatas padahal-halyangbersifatkebendaan,
yangmendorongsuburnyasikaphidup serbamaterialistis,konsumeristis,bahkan
hedonistis,serta mengabaikan hal-hal yangbersifat transendental.Untukmengatasi
kecenderungan tersebut,makapemupukan nilai-nilai spiritual dan penguatan etos
keagamaan menjadi sangatpentingartinyaagarsemangatkemodernan tidak
menjauhkan masyarakat dariagamasehinggatujuan menghalalkancara dan tidak
dilandaskanpada moral,makameneguhkansikapberagamaharusterus-menerus
diupayakan. Dalamhalini,pesantrenbisamemberikankontribusipositifdalam mengisi
danmemperkuatnilai-nilaispiritual danetikadalamkehidupanmodern.
2.Tradisi Keilmuan
DalamtradisiIslametoskeilmuanitudikembangkansejalan dengan
penguatanetoskeagamaan.Kesadaran untukmengembangkanetoskeilmuanini
bersumberpadapenghayatanterhadapnilai-nilai agama.Sebab ajaran Islamtegas
mengatakanbahwa membangunmasyarakatyangberilmupengetahuanitu
36Wawancara tanggal 12 Oktober 2016.
merupakanbagian dari kewajiban agama.Masadepanpesantrensangat dipengaruhi
oleh kemampuan untukbersaing.Dan kemampuan untukbersaing hanyadapat
tumbuhdansinambungjikabersumberpadaSDM yangberkualitas, yakni yangberilmu
dan mampu mengembangkan serta mengamalkan ilmu. Apabila penguasaan ilmu
pengetahuan itu merupakan pencerminandari kehidupan budaya
moderndansekaligusamanat keagamaan, maka tradisi pesantrenyang
menanamkanetos keilmuankepadaparasantriharus dihidupkan
kembali,dantentunyadengan membukadirikepadailmupengetahuan,teknologi,
danpolakehidupanmodern.
Disamping itu juga, menurut penulis perlu dikembangkan juga mengenai
mutu pendidikan diperlukan beberapa pendekatan yakni pendekatan bidang studi
ilmu (disiplin ilmu), pendekatan interdisipliner ini berdasarkan atas pemikiran
bahwa masalah- masalah dalam kehidupan tidak hanya melibatkan satu disiplin
akan tetapi memerlukan berbagai ilmu secara interdisipliner. Pendekatan broad-
field yakni usaha untuk mengintegrasikan disiplin ilmu atau mata pelajaran yang
saling berkaitan agar santri memahami pengetahuan tidak berada dalam vakum
kehampaan, tetapi merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-
hari.Pendekatan rekonstruksionisme yakni memfokuskan pendidikan pada masalah-
masalah penting atau isu-isu yang berkembang yang dihadapi dalam masyarakat,
seperti kemiskinan, korupsi, keadilan sosial, interdependensi global. Sedangkan
untuk menghadapi modernitas perlu disiapkan pembenahan dan pembentukan
karakter santri dengan memberikan pemberian skill (keterampilan) agar bisa hidup
mandiri, hal ini bisa dilakukan dengan memberikan motivasi secara intrinsik
maupun ekstrinsik pada santri diantaranya :
1. Pembekalan Berwirausaha
Dalam sejarah perkembangannya pesantren telah menumbuhkan semangat
kewirausahaan kepada para santri yang kemudian menjadi pengusaha-pengusaha
pribumi pada masa ekonomi dikuasai oleh penjajah dan golongan asing, seperti
keturunan Cina. Dari kalangan mereka ini lahir kelas profesional yang memelopori
pergerakan Islam dan pergerakan kebangsaan. Etos kewirausahaan itu terbentuk
dengan merujuk pada Islam sebagai sumbernya. Ajaran Islam mengandung
pandangan-pandangan yang bisa memotivasi umat untuk mengembangkan
kewirausahaan.
Al-Quran dan Hadist mengandung banyak doktrin ajaran untuk melakukan
kegiatan ekonomi. Untuk jangka waktu yang panjang dalam sejarah, para pedagang
muslim melakukan syiar agama dengan sekaligus berdagang. Di Indonesia suku-
suku yang kuat tradisi keagamaannya, justru kuat pula tradisi perdagangannya.
Suku-suku Banjar, Minangkabau, Makasar, dan Bugis, adalah suku-suku yang kuat
pemahaman dan pengamalan keagamaannya dan juga dikenal sebagai niagawan
yang piawai. Demikian pula pengusaha-pengusaha industri kretek, batik, dan
kerajinan perak di beberapa daerah di Jawa, berasal dari keluarga-keluarga yang
menghayati dan menerapkan secara lebih sungguh-sungguh ajaran dan nilai-nilai
agama Islam dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Tentunya karena sumber inspirasinya ada, yaitu ajaran agama yang mendasar,
dan tradisinya juga ada, maka menghidupkan kembali dan menghangatkan jiwa
dan semangat kewirausahaan ini, bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit.
Tantangan yang dihadapi di masa depan adalah membangun wirausaha bangsa
sendiri, terutama dari kalangan umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa
Indonesia membutuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing
baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal.
Tatanan dunia usaha masih berat ke atas, artinya lapisan pengusaha besar
yang jumlahnya sedikit, menguasai aset produktif yang besar, dan lapisan usaha
kecil yang besar jumlahnya amat lemah kedudukannya. Lapisan usaha menengah
masih kecil sekali dan belum kuat peranannya. Padahal struktur dunia usaha yang
kukuh menghendaki lapisan usaha menengah yang kuatsebagai tulang
punggungnya, saling menyangga dengan lapisan usaha kecil yang kuat, dan usaha
besar yang mempunyai rasa tanggungjawab dan solidaritas sosial yang besar pula.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi
lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri itu. Sebenarnya
yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa
lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan pada tantangan masa
depan.
2. Membentuk Sikap Kemandirian
Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri. Apalagi suasana
persaingan yang sangat menonjol dalam zaman modern ini memaksa setiap orang
untuk memiliki kompetensi tertentu agar bisa bersaing dan dengan demikian dapat
hidup secara bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya pribadi-pribadi
yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat yang makin sarat
dengan persaingan. Sistem pengajaran pesantren yang menggunakan metode
belajar sorogan (belajar secara individual mengenai bidang-bidang ilmu keagamaan
tertentu), tanpa disadari dapat memupuk sikap dan watak kemandirian para santri.
Tradisi ini meskipun terkesan “kuno” di tengah-tengah sistem
persekolahan modern, sebenarnya ada sisi positifnya dari sudut penglihatan itu.
Kemandirian kembali kepada sikap budaya. Pesantren memiliki posisi yang
strategis karena keterkaitannya yang erat dengan masyarakatnya, dan dengan
demikian dapat menjadi andalan dalam membentuk nilai-nilai yang dikehendaki
dalam kebudayaan bangsa.
3. Mengukuhkan Wawasan Kebangsaan
Proses modernisasi, telah menghantarkan umat manusia sampai pada sebuah
tahapan kehidupan baru, yaitu era globalisasi. Interaksi antarbangsa yang
melampaui batas-batas wilayah negara memungkinkan terjadinya perjumpaan
nilai-nilai budaya baru, yang dibawa oleh setiap bangsa. Pergaulan antarbangsa
yang terbuka itu merupakan wahana bagi masuknya nilai budaya asing, yang jelas
banyak positifnya tetapi ada juga yang tidak sejalan dengan nilai budaya dan jati
diri bangsa Indonesia sendiri.
Untuk menjaga ketahanan budaya bangsa dan negara, perlupeneguhan
serta memantapkan wawasan kebangsaan. Peneguhan dan pemantapan wawasan
kebangsaan ini, selain untuk menghadapi tantangan era globalisasi, juga agar
keutuhan sebagai bangsa tetap terpelihara dan terjaga dengan baik. Pembangunan
hanya dapat berjalan dengan baik dalam suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan, dalam semangat persatuan dan kesatuan. Bangsa yang
terpecah-belah dan tidak bisa rukun, tidak mungkin dapat membangun dirinya dan
menyejahterakan rakyatnya.
Realitas bangsa Indonesia yang bersifat sangat majemuk, baik dari
segi agama, etnis, bahasa, budaya, maupun adat istiadat ini, membutuhkan
perekat yang kuat agar tidak terancam disintegrasi. meyakini bahwa yang bisa
menjadi kekuatan perekat itu adalah wawasan kebangsaan, yang menurut bahasa
pesantren disebut ukhuwwah wathoniyah. Dengan wawasan kebangsaan atau
ukhuwwah wathoniah memandang masyarakat Indonesia sebagai sebuah kesatuan
sosial, ekonomi, dan politik yang utuh, meskipun memiliki keragaman agama,
etnis, bahasa, budaya dan adat-istiadat. Penanaman nilai ukhuwwah wathoniyah di
lingkungan pondok pesantren sejak awal merupakan perisai yang kuat untuk
mempertahankan keutuhan bangsa. ini merupakan salah satu kontribusi terpenting
dan amat berharga dari pesantren dalam membangun bangsa yang utuh dan bersatu.
4. Solidaritas Masyarakat Bawah (grass root)
Unsur pokok persatuan dan kesatuan suatu bangsa adalah solidaritas sosial.
Bangsa yang lemah solidaritas sosialnya akan mudah retak persatuan dan
kesatuannya. Wujud solidaritas sosial adalah kepedulian pada kesenjangan yang
ada dalam masyarakat dan upaya untuk turut mengatasinya. Kesenjangan yang
makin melebar, dapat melahirkan kecemburuan sosial dan dapat mengganggu
integritas bangsa. Faktor yang paling dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan
bangsa, bukanlah lagi primordialisme, seperti agama dan suku, karena itu sudah
lama terlewati, melainkan persoalan kesenjangan ekonomi. Adalah suatu kenyataan
bahwa pesantren pada umumnya berada di lingkungan masyarakat yang tertinggal.
Karena memang dari segi jumlahnya, masyarakat yang miskin dan tertinggal
sebagai besar adalah umat Islam. Dengan demikian, masalah kemiskinan dan
kesenjangan merupakan realitas kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pesantren
dapat menjadi wahana dalam upaya mengatasi ketertinggalan yang menjadi
penyebab dari ketimpangan dan kemiskinan. Kerjasama harus dikembangkan
antara pemerintah dan pesantren untuk menggerakkan ekonomi masyarakat di
sekitar pesantren dengan menyadari betapa srategisnya kedudukan pesantren di
masyarakat. Demikian pula, harus dikembangkan pola kemitraan yang efektif
antara dunia usaha dan pesantren untuk mengembangkan keterkaitan (linkages)
yang menguntungkan kedua belah pihak.
BAB IV
PERUMUSAN FORMAT AKREDITASI PESANTREN
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan bahwa Akreditasi Pondok
Pesantren dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan
pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikannya.Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh
Pemerintah [dalam hal ini Kementerian Agama] dan/atau lembaga mandiri yang
berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Tujuan dari Akreditasi pondok
pesantren adalah :
1. Dapat mengetahui kinerja tiap ustadz di Pondok pesantren melalui instrumen
evaluasi mandiri internal dan evaluasi eksternal : promisi dan rotasi.
2. Dapat mengukur apresiasi pada pimpinan formal Pondok pesantren dan
kepala Ma‟had, semakin tinggi nilai akreditasi semikin dapat diapresiasi
lebih baik.
3. Sebagai Key Performance Indicators dalam menilai kemajuan pondok
pesantren
4. Borang atau instrumen akreditasi dapat dikaitkan juga dengan penggajian
ustadz, karyawan dan pimpinan pondok pesantren.
5. Menjadi patokan keberhasilan pondok pesantren
Berikut adalah contoh beberapa standar yang dapat dijadikan acuan untuk
penyusunan borang akreditasi pondok pesantren:
A. Standar Isi[kurikulum]
B. Standar Proses[proses KBM]
C. Standar Kompetensi Lulusan
D. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan[ustadz]
E. Standar Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
F. Standar Pengelolaan Ma‟had atau asrama
G. Standar Pembiayaan
H. Standar Penilaian
I. Standar Penelitian
J. Standar Pengabdian Kepada Masyarakat
A. Standar Isi [kurikulum]
Kebutuhan mengembangkan kurikulum yang sangat strategis dalam
lingkungan pesantren bukan hanya untuk menjawab tantangan eksternal, namun
juga untuk mengoptimalkan potensi, melipatgandakan peran, dan
memperteguh posisinya sebagai kekuatan transformatif bangsa. Melaluikhazanah
khas (genuine)dunia pesantren yang disebut nomenklatur khas kitab kuning, para
kiai mampu menggerakkan bahkan menentukanlajuperubahanzaman.Para kiai
dengankreatifmenyelamidan mendalami gerak kehidupan yang dipahatkan
dalam karya-karya tulis yang mengagumkan. Pada konteks inilah, pesantren
sendiri sebenarnya sangat mungkinmenjadiresearch-university.Halinikarena
pertama,pesantrenbukanlah semata institusi tingkat dasar dan menengah, namun
juga tinggi, yang terlihat dalampotensisumberdaya, jaringan, khasanah, dan
kelembagaan.Literatur yang dikaji pesantren, dalam semua disiplinnya, banyak
yang diakui sebagai world-class.Pesantrenadalahkampung-peradaban
yangmenyimpan aneka pengetahuan, jejak masa lampau, potensi masa depan,
yang tidak mungkin diabaikan dalam kerangka keindonesiaan, bahkan dataran
mondial.Transformasipesantrenmenjadiinstitusirisetstrategistanpakehilanganruhnya
.
Prinsip pengembangan kurikulum pesantren secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni prinsip umum, yang meliputi prinsip relevansi,
prinsip fleksibilitas, prinsip kontinuitas, prinsip praktis, prinsip efektifitas dan
prinsip efisiensi. Sedangkan prinsip khusus mencakup prinsip yang berkenaan
dengan tujuan Pendidikan pesantren, prinsip yang berkenaan dengan pemilihan isi
pendidikan pesantren , prinsip yang berkenaan dengan metode dan strategi proses
pembelajaran pendidikan pesantren, prinsip yang berkenaan dengan alat evalusi dan
penilaian pendidikan pesantren. Pengembangan kurikulum Pendidikan pesantren
yang terus menerus menyangkut seluruh komponennya merupakan sesuatu yang
mutlak untuk dilakukan, agar ia tidak kehilangan relevansi dengan kebutuhan riil
yang dihadapi komunitas pendidikan Islam yang kecenderungannya terus
mengalami proses dinamika transformatif.
B. Standar Proses
Secara umum, pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran
agama Islam dengan cara non klasikal, di mana seorang kiai mengajar santrinya
berdasarkan kitab-kitab yang berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama besar
pada abad pertengahan (abad XII – XVI M). Kitab-kitab tersebut, baik kitab matan,
syarah, maupun hasyiyah adalah kitab-kitab mu‟tabarah dalam lingkungan
Pesantren. Kitab-kitab tersebut, misalnya, Taqrib atau Fathul al-Qarib, Safinat al-
Najjah, Sullam al-Tawfiq, al-Sittin Mas‟alah, Minhaj al-Qawim, al-Hawasyi al-
Madaniyat, al-Iqna‟, dan Fath al-Muin. Setelah kitab tersebut baru dilanjutkan
dengan kitab fikih lanjutan, baik yang berupa pendalaman materi ibadah ubudiyah
maupun materi yang lain. Di bidang tauhid, kitab-kitab kuning yang dipelajari di
pondok pesantren umumnya adalah pemikiran Asy‟ariyah yang berisi antara lain
sifat wajib, mustahil, dan ja‟iz Allah. Judul kitab tersebut antara lain al-Aqa„id al-
Subra, „Aqidah al-Syamsyiah, Matn al-Jawharat, Matn al- Bajuri, dan al-Kharidat
al-Baliyat.37
Karenanya, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
memerankan dirinya sebagai media dalam pentransmisian ilmu-ilmu keagamaan
melalui pengkajian kitab-kitab turats. Sebuah tradisi yang telah berlangsung lama
di dunia pesantren. Penguasaan kitab-kitab turats menjadi sangat penting bagi
santri, karena ia menjadi identitas kesantrian. Menurut Hefni, standar kualitas
seorang santri diukur dari tingkat pemahaman dan penguasa- annya akan kitab-
kitab turats/kuning tersebut. Pesantren dan kitab kuning sudah menjadi dua sisi
mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Bahwa munculnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam
tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab- kitab klasik yang ditulis
berabad-abad lalu. Dengan kata lain, tradisi, baik tradisi pemikiran maupun pelaku
yang berkembang di pesantren, tak lain merupakan implementasi ajaran-ajaran
yang terkandung dalam kitab-kitab klasik. Dalam pandangan Bruinessen, pesantren
telah sukses membangun tradisi agung (great tradition) dalam pengajaran agama
Islam berbasis kitab-kitab klasik yang populer dengan sebutan kitab kuning. Tradisi
yang dikembangkan pesantren memiliki keunikan dan perbedaan jika dibandingkan
dengan tradisi dari entitas Islam lainnya di Indonesia seperti kaum “reformis” atau
37Hefni, Moh. 2011. “Runtuhnya Hegemoni Negara dalam Menentukan
KurikulumPesantren”dalamJurnalKARSA,Jurnal Sosial dan Budaya
KeislamanedisiVol.IXI,No.1,April2011, hlm. 1
“modernis”. Keunikan pesantren tentu terlihat pada kegigihannya merawat tradisi
keilmuan klasik yang nyaris diabaikan oleh kaum modernis.38
Proses mempelajari kitab-kitab klasik tersebut biasanya menggunakan
sistemwetondansoroganataulebihdikenaldengan„sorogan‟dan„bandongan‟.
Wetonadalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baikdalam
menentukantempat,waktumaupunfokusbahasannya(kitabnya). Adapun
soroganmerupakanpengajianyangdiajukanolehseseorangataupunkelompok
santrikepadakiainyauntukdiajarkankitabtertentu. Pengajiansistemsoroganini
biasanya ditujukan kepada para santri yang prestasi belajarnya cukup baik dan
yang berminat akan suatu bahasan khusus sebagai bekal mempersiapkan
dirisebagaipeneruskiainya. Namun dalam era kontemporer ini merupakan sebuah
tuntutan bagi pesantren untukmembahasdan mengkajimateri-
materiyangbersifattransformatifseperti gender, hermeneutika, fiqh al-mar‟ah (fiqh
perempuan), pluralisme, HAM dan sebagainya. Definisi santri sekarang ini
murni santri, tetapi juga berpredikat mahasiswa, sehingga kajian-kajian Islam
yang bersifat transformatif juga merambah ke pesantren. Secara otomatis,
pesantren tidak hanya memperkuat dalam bidang fiqh, tasawuf, dan nahwu,
tetapi mengembangkan materi kajian Islamtransformatif.
C. Standar KompetensiLulusan
Esensi peran strategis pesantren ada dua yang paling penting, yaitu
mencetak kader ulama yang mendalami ilmu agama dan pada saat yang sama
38Bruinessen,Martinvan.1999.KitabKuning,PesantrendanTarekat, Tradisi-
TradisiIslamdiIndonesia.Bandung:Mizan, hlm. 20-25.
mengetahui, terampil, dan peduli terhadap persoalan keummatan. Pesantren adalah
tempat untuk mencetak kader “faqih fi „ulum al-din dan faqih fi masalih al-
ummah”. Dengan peran semacam ini, dimungkinkan pesantren terlibat maksimal
dalam membangun bangsa. Melalui pesantren, para santri belajar ilmu-ilmu agama
dan ilmu sosial yang dibutuhkan masyarakat.
Mencermati peran strategis pesantren di Indonesia seperti tersebut di atas,
diharapkan dapat mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah menyinari
dunia dengan ilmunya. Saat itu, Islam menjadi pusat peradaban di mana di
tempat lain sedang mengalami kegelapan. Kemajuan ini diperoleh karena
perhatian serius Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, di samping
tetapmempertahankan ilmuagama.
D. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan [ustadz]
Agar bisa mencapai cita-citanya,para ustadz dan ustadzah pesantren dituntut
untuk membuka diri dan niscaya memiliki wawasan global.Segala program yang
dilaksanakan di pesantren ini harus disesuaikan dengan standar kualitas nasional
atau bahkan internasional dan membidik entitas global.Melalui proses continues
quality improvement, pesantren secara bertahap akan meneguhkan diri sebagai
institusi berkelas dunia di segala sektor. Mulai dari standar pengelolaan manajemen
sumber daya manusia, sistem dan proses pendidikan, kualitas riset, hingga
pengabdian kepada masyarakat. Pencapaian-pencapaian ini akan mengantar
pesantren pada sebuah kondisi ideal. Dalam setiap langkah pesantren harus
mendasarkan diri kepada basis nilai dan tradisi yang berorientasi pada ketauhidan
dan keber pihakan pada nilai-nilai kerakyatan, yang dalam bahasa teologi disebut
dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin.Islam rahmatan lil alamin adalah way
of thinking sekaligus way of life bagi seluruh sivitas akademika pesantren.
E. Standar Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Peningkatan kualitas Sarana dan Prasarana harus dilakukan terus-menerus
dalam organisasi pesantren tersebut.Perbaikan kualitas di antaranya ditandai
dengan efektivitas ruang, laboratorium, asrama, cafetaria, perpustakaan, ruang
workshop dan lain-lain, efisiensi, dan peningkatan daya guna manfaat untuk
masyarakat.Dari harikeharipesantrenharusselalu menempatkandirinyasebagai
satuorganisasiyangberkualitasdarisektorpendidikan,yangmengabdikandiri
padakepentinganagamadanbangsa.Sebagai sebuah organisasi pesantrenharus
sehat dan akuntabel.Pesantrenadalah institusi pendidikan yang didirikan di
tengah atmosfer kerakyatan, yang berarti harus dimaknai sebagai milik rakyat
secara hakiki.Oleh sebab itu segalanya harus digunakan secara efisien dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik dalam hal keuangan,
pemanfaatansumberdaya,asetdansebagainya.Elemen yang menjadi prasyarat
pesantrenagar juga bisa terus maju adalah peningkatan kesejahteraan warga
yang ada di dalamnya.Kesejahteraandisini
melingkupikesejahteraanmaterialmaupunspiritual.Dengan adanya usaha
peningkatan kesejahteraan diharapkan pesantren bisa menjadi tumpuan masa
depan bagi warga yang ada di dalamnya. Berproses
dalampesantrenmerupakansebuahkebanggaan sosial bagiparapegiatnya.
F. Standar Pengelolaan Ma’had atau asrama
Sehari-hari diselenggarakan bentuk asrama yang merupakan
komunitastersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau
beberapaorang ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah
para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan
keagamaan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat
kegiatan belajar mengajarserta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri,
selama 24 jam. Masa kemasa mereka hidup kolektif antara kyai, ustadz, santri dan
para pengasuh pesantrenlainnya sebagai satu keluarga besar
Di pesantren, terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan
dalam satu tempat yang sama. Hal itu dimaksudkan selain menjadikan suasana
tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kiai dapat
memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah
diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para
santri. Selain itu, pola pengasramaan memungkinkan santri melatih kemampuan
bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun
pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Penulis menilai dan melihat
bahwa terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, asrama dan masjid
misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada
fungsi ekonomi [kopontren: koperasi pondok pesantren dan mini market], pusat
pengkaderan, public service[klinik, warnet], dll. Dengan refungsionalisasi tersebut,
pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya,
seperti: transmisi ilmu-ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi
ulama, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada
masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat pengembangan
pembangunan yang berorientasi pada nilai (Value oriented development),
Pembangunan lembaga (Institution development) dan kemandirian (Self reliance
and sustainability).
G. Standar Penelitian
Intelektualisme pesantren pernah memiliki tradisi riset yang cukup kuat.
Kitab-kitab karya ulama Nusantara pernah beredar dan menjadi rujukan penting di
Jazirah Arabia. Selain dalam bentuk kitab, juga lahir babad-babad, serat-serat
raksasa, local wisdom, living history, yang beraneka tema dan ekspresinya. Akan
tetapi, penting digarisbawahi bahwa karya-karya Nusantara tersebut tidak mungkin
lahir tanpa riset yang mendalam, tekun, dan panjang. Bangunan- bangunan masjid
yang sangat estetik juga tidak mungkin lahir tanpa riset terlebih dahulu.39
Karena itu, untuk menopang perjuangan, dalam bidang pengetahuan,
pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, kebudayaan, secara lebih optimal dan
transformatif, pesantren harus mentradisikan kembali kekuatan riset yang telah
39
Baca lebih lanjut dalam AndikWahyunMuqoyyidin, KitabKuningDanTradisiRiset
PesantrenDiNusantara, dalam Ibda Jurnal Kebudayaan Islam, Vol.12,No.2,Juli-Desember2014, hlm.
1-3.
lama hilang. Menurut Mustafied dkk40
dengan riset, maka semua aktivisme
pesantren akan berbasis pada data dan hasil riset yang valid. Kebutuhan
mengembangkan riset strategis dalam lingkungan pesantren bukan hanya untuk
menjawab tantangan eksternal, namun juga untuk mengoptimalkan potensi,
melipatgandakan peran, dan memperteguh posisinya sebagai kekuatan transformatif
bangsa.
Karena watak utamanya adalah lembaga pendidikan Islam, maka pe- santren
dengan sendirinya memiliki tradisi keilmuan tersendiri. Tradisi ini mengalami
perkembangan dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah
dari waktu ke waktu. Walau demikian, masih dapat di- telusuri beberapa hal inti
yang tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren, sejak datangnya Islam ke
Indonesia hingga saat ini. Kesemuanya itu menunjuk ke sebuah asal-usul yang
bersifat historis sekaligus merupakan pendorong utama.
Untuk menuju ke sana, tidak ada jalan lain bagi pesantren selain
mengembangkan tradisi kajian dan riset strategis untuk kepentingan kemuliaan
Islam dan kedaulatan bangsa yang sejati. Dengan menjadi institusi yang kuat tradisi
kajian dan risetnya, pesantren akan memberikan kontribusi besar dalam men jawab
berbagai persoalan kekinian dan masa depan. Absennya dunia riset dalam institusi
pesantren menjadikannya sebatas teaching university, yang “pergerakannya”
cenderung terpengaruh trend eksternal yang ada. Padahal dulu pesantren adalah
great tradition, sebuah tradisi besar. Sebagai entitas tradisi besar, pesantren
40Mustafied dkk, Muhammad. 2013. “Menuju Pesantren-Riset: Paradigma, Orientasi
Ideologi, Nilai, dan Strategi” dalam Mlangi edisi Vol. 1, No. 2, Juli-September 2013, hlm. 2-4.
menggerakkan peradaban, dus sebagai pusat pengembangan ilmu, teknologi,
pendidikan, dan peradaban Nusantara.
Oleh karenanya, instrumen standar riset menjadi penting untuk membangun
tradisi riset di institusi pesantren. Mengapa? Karena, tantangan zaman semakin
kompleks dan berlapis-lapis. Tanpa tradisi riset transformatif, pesantren akan
berada di arus pinggiran, dan minimalis dalam memberikan kontribusinya untuk
menegakkan kemuliaan Islam dan kedaulatan bangsa. Dengan riset, pesantren akan
lebih berpeluang memandu jalannya sejarah negeri ini, menuju tercapainya tujuan-
tujuan nasional. Selanjutnya dengan instrumen riset, pesantren akan lebih mampu
mengolah kekayaan intelektualnya sehingga bisa mengkontribusikan pemikiran
transformatif terhadap berbagai kebuntuan-kebuntuan epistemis dan struktural
problem politik, ekonomi, hukum, budaya, hingga pendidikan di negeri ini.
Pesantren memiliki warisan khazanah intelektual yang sangat kaya, yang
merangkum pengalaman dan akumulasi pengetahuan berabad-abad. Tradisi tersebut
hanya akan menjadi monumen sejarah, barang antik, atau jimat belaka, jika
pembacaan terhadapnya sekadar semata, tidak melalui riset yang mendalam.
H. Standar Penilaian
Standar evaluasi berisi penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan
bersifat menyeluruh terhadap bahan atau program pengajaran yang dimaksudkan
sebagai feedback terhadap tujuan, materi, metode, sarana, dalam rangka membina
dan mengembangkan kurikulum lebih lanjut. Bila disebut pendidikan Islam, maka
orientasinya adalah sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami yang teori-teorinya
disusun berdasarkan Al-Qur‟an Hadits. Sedangkan pendidikan agama Islam adalah
nama kegiatan atau aktivitas dalam mendidikkan agama Islam. Jadi standar evaluasi
akan menyasar kurikulum Pendidikan pesantren berupa bahan-bahan pendidikan
agama Islam di pesantren dan berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang
dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada santri dalam rangka mencapai
tujuan Pendidikan Agama Islam. Kurikulum Pendidikan pesantren merupakan alat
untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam. Adapun lingkup materi
pendidikan pesantren adalah: Al-Qur‟an dan Hadits, Keimanan, akhlak, Fiqh/ibadah
dan sejarah, dengan kata lain, cakupan Pendidikan pesasntren adanya keserasian,
keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri,
sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
I. Standar Pembiayaan
Untuk mewujudkan pesantren yang maju bermutu dan diakui dibutuhkan
sejumlah prasyarat. Pesantren harus menjadi organisasi yang otonom. Otonomi,
baik dalam bidang finansial maupun dalam akademik. Makna-makna otonomi di
sini adalah adanya keleluasaan pengelola untuk mengatur keuangan dalam
menjalankan program akademik (riset, pengabdian, pembelajaran) secara
transparan dan bertanggung jawab. Makna lainnya adalah terhindar dari intervensi
pihak eksternal yang mematikan mimbar akademik. Untuk bisa mencapai cita-
citanya pesantren yang unggul harus memiliki, mempertahankan, dan menjaga
martabatnya, terutama di bidang akademik. Martabat akademik yang dimaksud
berkaitan dengan reputasi keunggulan pesantren yang mewarisi khasanah
pendidikan Islam berabad-abad. Yakni reputasi dalam riset yang unggul, reputasi
proses pendidikan yang unggul, dan reputasi pengabdian masyarakat yang unggul.
Reputasi akademik ini adalah salah satu unsur strategis dalam mencapai martabat
yang tinggi. Untuk sampai pada taraf itu pesantren harus memiliki sistem
pendanaan yang baik, akuntabel dan berkesinambungan.
J. Standar Pengabdian Kepada Masyarakat
Pengembangan masyarakat, dalam kaitannya dengan hal ini, sebenarnya
pesantren haruslah bisa menjadi agen perubahan sosial (agent of social change),
dalam artian pesantren haruslah bisa mengubah tatanan sosial dan degradasi moral
di Indonesia. Sehingga dengan hal tersebut paling tidak dapat memberikan
pencerahan pada bangsa yang moral dan perilakunya semakinterperosok ini akibat
goncangan narkoba, pergaulan bebas, serta westernisasi tanpa adanya penyaringan
yang memadai. Selain itu, pesantren juga seharusnya mampu mengembangkan
sumber daya kemasyarakatan serta memajukan potensi ekonomi kreatif masyarakat
yang ada. Semua itu bertujuan agar masyarakat bisa menjadi lebih maju dengan
adanya peranan pesantren tersebut, tetapi perubahan haruslah dimulai dari diri
pesantren sendiri secara intern. Sebab tidak mungkin sesuatu yang tidak maju bisa
memajukan sesuatu hal yang lain.
Dalam kaitannya dengan pengembangan masyarakat, pesantren seharusnya
juga peka terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di Nusantara ini, semisal
Bencana banjir, tsunami, dan erupsi merapi misalkan. Paling tidak dari kalangan
akademisi pesantren mempunyai rasa empati dan tidak hanya sekedar simpati.
Sehingga bukan hanya menjadi saksi pasif yang hanya bisa berdoa saja, tetapi lebih
dari itu, ia menjadi saksi yang bergerak aktif dalam membantu saudara-saudaranya
yang sedang menderita itu.
Pengembangan pengetahuan dan teknologi, juga mutlak diperlukan dalam
era kontemporer ini. Sebab ilmu pengetahuan sudah bergerak semakin maju dan
teknologi sudah semakin canggih. Sehingga tidak mungkin seseorang yang berada
di atas muka bumi meniscayakan hal ini, termasuk pesantren. Jika pesantren hanya
berorientasi pada aspek-spek yang bersifat ukhrawi dan meniadakan aspek-aspek
duniawi. Maka pesantren hanya akan dicap sebagai sumber kekolotan di
masyarakat. Santri di masa sekarang sudah sewajarnya meninggalkan kesan kitab
kuning an sich, tanpa didukung pengetahuan teknologi yang mumpuni. Kerugian
yang lain juga adalah santri tidak akan bisa berkompetisi di tingkat nasional atau
internasional. Ketika aspek di atas haruslah dipenuhi dan dimaksimalkan oleh
pesantren jika benar-benar ingin eksis di dunia kontemporer. Dengan berbekal
unsur fundamental tadi pesantren di era sekarang tersebut, maka pesantren akan
semakin menemukan jati diri yang sebenarnya, mendapat perhatian lebih dari
masyarakat, serta dapat menjadi basis kemajuan bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam.
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan
hati hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren --menurut Azyumardi
Azra.-- jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan
penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya
pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya
pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat
pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian
lingkungan hidup, pusat emansipasi kaum wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi
masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu
mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman. Terutama
adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa
trasformasi terhadap pondok pesantren. Dalam hal ini pondok pesantren bukan
berarti telah hilang kekhasannya. Pendidikan pondok pesantren baik modern dan
tradisional merupakan suatu wadah untuk mengembangkan pola pendidikan yang
seluruh aturan mainnya tergantung kepada sosok figur seorang kiai, baik
kurikulum, metode dan pengajarannya. Sedangkan penerapan nilai-nilainya tidak
pernah mengalami pergeseran, meskipun terjadi perubahan pengetahuan dan
teknologi. Berdasarkan pada uraian pada bab-bab sebelumnya maka penelitian ini
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tuntutan sebagian para ulama, kyai, ustadz, santri, kelompok masyarakat, dan
pemerintah [dalam hal ini kementerian agama] akan akreditasi pesantren
semakin tinggi dan mendapat momentumnya saat ini. Akreditasi adalah
pengakuan formal yang diberikan oleh badan akreditasi terhadap kompetensi
suatu lembaga atau organisasi dalam melakukan kegiatan penilaian kesesuaian
tertentu di bidang pendidikan dan manajemen kelembagaan. Akreditasi juga
untuk membantu memenuhi mutu kualitas organisasi pendidikan kepesantrenan
guna terpenuhinya persyaratan peraturan dan persyaratan yang relevan.
Akreditasi pesantren juga diarahkan dapat meningkatkan kepuasan pengguna
[baca: masyarakat dan pemerintah] dan peningkatan berkelanjutan dalam upaya
pencapaian kinerjanya.
2. Rumusan format Akreditasi Pesantren sebagai bagian dalam pemenuhan
kebutuhan pengembangan dan peningkatan kualitas terdiri dari berbagai
standar, standar Isi [kurikulum], Proses [proses KBM], Kompetensi Lulusan,
Pendidik dan Tenaga Kependidikan [ustadz], Ketersediaan Sarana dan
Prasarana Pendidikan, Pengelolaan Ma‟had atau asrama, Pembiayaan,
Penilaian, Penelitian, dan Standar Pengabdian Kepada Masyarakat.
B. Saran
1. Peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting
dalam menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak
sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan
ketidak jujuran, maka keberadaannya perlu mendapat dukungan yang
lebih serius dari semua pihak.
2. Aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal
kelahirannya mampu berkembang positif di masyarakat bahkan
mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi teologis tetapi juga
sosial sebagai lokomotif utama dalam pencerahan masyarakat, maka
tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang patut
dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
3. Mengkaji tentang akreditasi pesantren diperlukan dengan
menimbangulang peranan dan dinamika pesantren dalam masyarakat
Indonesia modern,dimana dinamika modernitas mempengaruhi
keberadaan pesantren secarafundamental sehingga mengakibatkan
munculnya problem identitas kulturalpesantren. Problem ini dapat
dianggap sebagai konsekuensi dan implikasi logisketika berhubungan
dengan modernitas yang memiliki keharusan yangmempengaruhi secara
khusus fungsi sosial dan budaya yang didasari ataskewajiban
keagamaan.
4. Modernitas sendiri membawa perubahan-perubahan dalam banyak
aspekkehidupan, khususnya institusi agama seperti pesantren itu sendiri.
Akhir-akhir ini,usaha untuk mereformulasi peranan ideal pesantren di
tengah masyarakatIndonesia dapat menjadi semacam usaha kultural. Ini
karena secara historis,pesantren identik dengan ”sekolah rakyat” dan
”sekolah kehidupan” khususnya diwilayah pedesaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata,SejarahPerkembangandanPertumbuhanLembaga-Lembaga
P endidikan Islam di Indonesia,(Jakarta:PT.Grasindo,2001).
Ahmad Robihan, Pendidikan Pesantren Dalam Menghadapi Era Globalisasi,
(Wonosobo: Pascasarjana Universitas Sains Al-Qur'an [Unsiq], 2011),
http://ahmadrobihan.-blogspot.co.id/2011-/11/pendidikan-pesantren-dalam-
menghadapi.html,
Ainur Rofieq, Profil Umum Beberapa Aspek Pendidikan Formal yang
diselenggarakan Pesantren se-KaresidenanMalang, dalam Mendongkrak
Mutu Pendidikan (Malang: FKIP Universitas Muhammadiyah Malang,
2004)
Andik Wahyun Muqoyyidin, Kitab Kuning Dan Tradisi Riset Pesantren Di
Nusantara, (Purwokerto: Ibda Jurnal kebudayaan Islam ISSN : 1693 – 6736,
Vol. 12, No. 2, Juli - Desember 2014)
Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat,(Surabaya:IMTIYAS,2011), hlm. 19.
Fadhilah,Amir,.“StrukturdanPolaKepemimpinanKyaidalamPesantren
diJawa”dalamHunafa,JurnalStudiaIslamikaedisiVol.8,No.1,Juni 2011.
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)
HamamBurhanuddin, Post-Tradisionalisme Pesantren;MengukuhkanTradisi
PesantrenSebagaiBasisTransformasi DiEraModern, (Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat (LP2M), Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
Islamiyah Karya Pembangunan, AL MURABBI, ISSN 2406-
775XVol.01No.01 Juli-Desember 2014)
Haningsih,Sri.“PeranStrategis Pesantren,MadrasahdanSekolahIslam
diIndonesia”dalamel-Tarbawi,JurnalPendidikanIslamedisiVol.1, No.1,2008.
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma,
2005)
L. R. Gay, Educational Research: Competencies for Analysis and Application, Fifth
Edition (United States of America: Florida International University, 1996)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ,(Jakarta:INIS,1994)
Matthew B Milles and Huberman, Michael A. Qualitative Data Analysis. (London:
Sage Publication, 1984).
Moh. Toriqul Chaer, Menggagas Format Idealisme Pendidikan Pesantren, dalam
https://www-
.academia.edu/21554724/MENGGAGAS_FORMAT_IDEALISME_PESA
NTREN
Moleong Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1998)
Mustafied dkk,Muhammad,. “MenujuPesantren-Riset: Paradigma,
OrientasiIdeologi,Nilai,danStrategi”dalamMlangiedisiVol.1,No.2, Juli-
September 2013.
Robert C Bogdan, Biklen, Knopp Sari. Qualitative Research For Education; An
Introduction to Theory and Methods, (Boston & London, Allyn and Bacon,
1982).
Said, HasaniAhmad. “Meneguhkan Kembali Tradisi Pesantren di
Nusantara”dalamJurnalIbda‟edisiVol.9,No.2,Juli-Desember2011.
Solichin, Mohammad Muchlis,. “Rekonstruksi Pendidikan Pesantren
sebagaiCharacterBuilding MenghadapiTantanganKehidupanModern”
dalamJurnalKARSA,JurnalSosialdanBudayaKeislamanedisiVol.
20,No.1,2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. (Bandung:
Alfabeta, 2007)
Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren TradisonalDalam Persepktif Pendidikan
Islam Indonesia, (Jember: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember,
2007)
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren,(Jakarta:LP3ES,1994)