Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di antara faktor-faktor produksi, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tanah
menempati prioritas penting bagi manusia. Bagi Bangsa Indonesia hubungan
manusia dengan tanah merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi. Jika hal ini
tidak tersusun dengan baik, akan lahir kemiskinan bagi sebagian terbesar rakyat
Indonesia demikian pula akan terjadi ketidakadilan (BPN RI, 2007). Winoto
(2007) mengemukakan bahwa kemiskinan terutama disebabkan oleh lemahnya
akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik
termasuk yang terutama adalah tanah. Sementara Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia (2007) mengatakan akar utama persoalan
keagrariaan Indonesia adalah struktur ketidakadilan yang telah lama terbangun.
Telah terjadi konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah. Akses masyarakat
terhadap tanah – sebagai sumber kehidupan – masih lemah.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal sebagai UUPA, harusnya
disambut gembira oleh bangsa Indonesia, karena Negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA, menjamin setiap warga negara Indonesia, baik laki-
laki maupun perempuan untuk mendapatkan hak sama untuk akses sumber-
sumber agraria, mendapatkan manfaat dan hasilnya. Namun dalam
implementasinya ternyata bertolak belakang, karena hanya segelintir orang yang
dapat mengakses dan menikmati sumber-sumber agraria, sementara sebagian
2
besar lainnya hanya menjadi penonton. Tidak ada perlindungan bagi golongan
warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan
ekonominya sebagaimana dikehendaki dalam Penjelasan UUPA Bab II (6).
Sejarah peradaban manusia di masa lampau telah membuat sekelompok
kecil orang lebih beruntung dan menguasai begitu banyak sumber-sumber
ekonomi, termasuk tanah dan sumber-sumber daya agraria lainnya dan sebagian
besar orang lainnya hanya menguasai sebagian kecil, bahkan lebih banyak lagi
yang tidak menguasai sama sekali (Nirwana, 2003). Senada dengan pendapat
tersebut, Tjondronegoro (2001) mengatakan bahwa dahulu tanah dikuasai oleh
suku-suku bangsa (tribes/clans dan lain-lain) untuk wilayah perburuan, kemudian
untuk pertanian setelah mereka menetap. Di Indonesia ketika feodalisme muncul,
raja-raja menguasai tanah dalam batas wilayah kerajaannya. Petani yang tinggal di
wilayah itu menjadi sumber tenaga kerja untuk penghasil pangan.
Semua negara apapun sistemnya (kapitalis, sosialis atau populis)
berusaha mengatur hal penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk
memberikan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya,
walaupun setiap Negara memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan
tersebut. Kelahiran UUPA merupakan political will dari Negara atas kondisi
agraria Indonesia pada saat itu. Dan pemberlakuan UUPA tersebut dimaksud
sebagai arahan bagi pelaksanaan seluruh sektor agraria secara umum demi
kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat
Indonesia (bhumibhakti adhiguna) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
3
Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPRI RI) tanggal 09 Nopember 2001 telah dikeluarkan ketetapan
MPR RI Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Ketetapan ini merupakan momentum yang tepat bagi bangsa
Indonesia untuk menata ulang ketidakadilan sebagaimana dimaksud Winoto di
atas. Menurut Abdurrahman (2002) sesungguhnya, keluarnya TAP MPR RI
Nomor: IX//MPR/2001 adalah komitmen politik untuk memberikan dasar dan
arahan bagi pengelolaan tanah dan sumberdaya alam secara kesinambungan, adil
dan ramah lingkungan.
Dalam kaitan itu kemudian diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan yang memberi
amanat kepada BPN RI untuk menata-ulang kondisi pertanahan di Indonesia dan
kemudian ditegaskan kembali dengan keluarnya Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Sebagai
implementasi dari amanat tersebut di atas, BPN RI melaksanakan Program
Reforma Agraria Nasional di seluruh Indonesia.1 Untuk itu dalam menjalankan
tugasnya BPN RI telah menetapkan Sebelas Agenda yang saling menunjang dan
dilakukan secara serentak mulai dilaksanakan sejak tahun 2006 sebagai acuan
untuk melanjutkan cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu menuju masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa
1 Adapun tujuan Program Reforma Agraria Nasional sebagaimana yang dicantum dalam
Reforma Agraria (BPN RI, 2007): (a) Menata kembali ketimpangan struktural penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; (b) mengurangi kemiskinan; (c) menciptakan lapangan kerja; (d) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; (e) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (f) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan (g) meningkatkan ketahanan pangan.
4
Indonesia, dimana dalam salah satu Sebelas Agenda tersebut juga disinggung
masalah partisipasi, yaitu: Menangani masalah KKN serta meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;.2
Presiden Sukarno pada tahun 1960 pernah mengatakan dalam pidatonya
berjudul Djalan Revolusi Kita (DJAREK): ” Revolusi Indonesia tanpa landreform
adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa
batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi” (Sutarto, 2007). Sementara
Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan bahwa Pemerintah akan
melaksanakan program Reforma Agraria secara bertahap dan menegaskan bahwa:
”prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”. (Koran Tempo, 2007)
Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya ditopang oleh petani-petani
yang memiliki cukup lahan, baik sebagai petani subsisten maupun petani
penghasil komoditas untuk dapat menjamin keberlangsungan hidupnya dan
keluarga. Namun menurut Kepala BPN RI, ternyata yang menguasai tanah-tanah
(baik perorangan maupun badan hukum) di Indonesia tidak lebih dari 0,02% dari
jumlah penduduk dengan luas tanah yang mereka kuasai lebih dari 56% dari luas
wilayah Indonesia.
2 Sebelas Agenda BPN RI dimaksud adalah: (1) Membangun kepercayaan masyarakat pada
BPN RI (trust building) melalui dua dimensi: (a) pembenahan ke dalam; dan (b)pembenahan ke luar. (2) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikat secara menyeluruh di seluruh Indonesia; (3) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; (4) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air, dengan membentuk Tim Penanganan Masalah Pertanahan Pasca Gempa dan Tsunami terutama di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara; (5) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis, melalui langkah-langkah konkret; (6) Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan (SIMTANAS) dan sistem pengaman dokumen di seluruh Indonesia; (7) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; (8) Membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala nasional; (9) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang ditetapkan; (10) Menata kelembagaan BPN RI; dan (11) Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan
5
Sementara itu data kemiskinan di Indonesia pada 2006 telah mencapai
39,05 juta jiwa atau 17,75% dari total populasi penduduk Indonesia. Di kawasan
perdesaan angka kemiskinan mencapai 21,90%. Hal ini menunjukan kemiskinan
paling banyak diderita oleh penduduk perdesaan yang pada umumnya adalah
petani. Rakyat yang miskin ini sekitar 90% adalah pekerja. Kemiskinan yang
dialaminya terutama disebabkan oleh minim atau tiadanya akses mereka kepada
faktor-faktor produksi termasuk tanah (BPN RI, 2007).
Untuk mengurai kemiskinan sebagaimana disebutkan di atas, maka oleh
Pemerintah dilaksanakan Program Reforma Agraria Nasional di berbagai daerah.
Salah satu kegiatan implementasi Program Reforma Agraria Nasional adalah
pembagian tanah (land redistribution) seluas 9,25 juta hektar sangat disadari tidak
cukup, karenanya diperlukan program posta3 pembagian tanah sebagai tindak
lanjut, yang memberi kesempatan kepada petani untuk memperoleh bantuan dan
pendampingan, seperti bantuan modal, pemasaran, pelatihan, pemberian bibit,
aspek manajemen, teknologi dan sebagainya.
Menurut Long (1987) strategi untuk menyusun kembali struktur
sosiologi-ekonomi di kawasan-kawasan pedesaan adalah melalui reformasi tanah.
Bahkan dalam Deklarasi Pembaruan Agraria, Yogyakarta 1998, disebutkan
kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan
agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan,
3 Meminjam istilah Gunawan Wiradi, POSTA yang berarti “sesudah”, diambil dari kata
POST (Inggeris) atau dalam Latin modern POSTA. Lihat Gunawan Wiradi: Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria Posta Tap-MPR No.IX/2001. Dalam Jurnal Analisis Sosial Vo.7, No.3 Desember 2002.
6
peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari
pembangunan.
Terlepas dari pentingnya reforma agraria sebagai salah satu cara
mengatasi persoalan kemiskinan melakukannya, tidaklah mudah. Dari
pengalaman negara-negara yang melakukan reforma agraria memerlukan
kekuatan politik pemerintah yang solid, memerlukan informasi yang memadai
menyangkut persoalan dan potensi agraria itu sendiri, perkembangan sosial politik
yang menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan reforma
agraria, terlebih di era otonomi daerah ini, peran pemerintah daerah sangat
diharapkan untuk keberhasilan reforma agraria.
Karena Program Reforma Agraria Nasional merupakan agenda besar dan
mendasar untuk mengatasi kemiskinan yang mendera sebagian besar rakyat
Indonesia dan sebagai alat untuk membawa bangsa Indonesia menuju
kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan, sehingga tidak salah kalau
dikatakan bahwa Program Reforma Agraria Nasional adalah perwujudan dari
pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam implementasinya diperlukan
kerjasama antara berbagai pihak pemangku kepentingan (stakeholders) yang
terkoordinir dan bersatu. Selain itu juga perlu dikembangkan program-program
yang dapat memperbaiki sistem, skema dan supporting system.
Pengalaman menunjukkan bahwa inisiatif dari atas (top-down) ketika
menjalankan suatu program, seperti program transmigrasi dan Plasma Inti Rakyat
Perkebunan (PIR BUN) banyak yang tidak berhasil, karena tidak melibatkan
partisipasi subyek dalam program mulai dari perencanaan sampai dengan
7
evaluasi. Program-program tersebut hanya untuk mengejar target pembangunan
dan dijadikan proyek bagi kaum birokrat, sehingga ketika proyek berakhir, maka
ikut berakhir pula proyek yang telah dibuat dan subyek program kembali pada
kondisi kemiskinan.
Berdasarkan pengalaman, program Keluarga Berencana (KB) adalah
contoh keberhasilan dari program yang dijalankan pemerintah. Program tersebut
berhasil karena partisipasi dan keterlibatan subyek (akseptor) sangat tinggi, seperti
menentukan sendiri alat kontrasepsi yang sesuai dan partisipasi dari stakeholder
lainnya seperti tokoh agama. Walaupun pemerintah sekarang terkesan
”mengendor” dalam menjalankan program tersebut, tetapi masyarakat yang sudah
menyadari arti penting program tersebut tetap menjalankan programnya secara
swadaya dan tidak bergantung lagi kepada pemerintah.
Sekarang tinggal menentukan apakah Program Reforma Agraria
Nasional yang sedang dilaksanakan nasibnya akan sama dengan proyek
transmigrasi, PIR BUN atau program KB. Tentunya kesalahan masa lalu tidak
diulang yang menempatkan masyarakat sebagai obyek pembangunan dan harus
mengikuti apa yang telah digariskan oleh pemerintah, walau tidak relevan dengan
potensi dan kebutuhan pengembangan diri mereka. Sajogyo (1999) menyebutnya
dengan istilah ”malpraktek pembangunan” karena pemerintah menggunakan
pendekatan pembangunan yang bercirikan top-down, paternalistik, sentralistik,
mekanistik dan serba seragam dalam konteks komunitas kita yang sangat
beragam. Program Reforma Agraria Nasional bila diterapkan dengan tepat akan
menghasilkan suatu perubahan yang menjadi dasar untuk menuju partisipasi lebih
8
luas dari kaum miskin dalam pengambilan keputusan pada semua tingkatan,
terutama yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka (Faryadi, 2002).
Wilayah Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru yang dipilih sebagai
salah satu lokasi kegiatan implementasi Program Reforma Agraria Nasional di
Kalimantan Selatan, merupakan lokasi yang unik, karena di wilayah tersebut
dikenal sebagai wilayah pendulangan Intan tradisional dan penduduk di
Kecamatan Cempaka pada umumnya bekerja sebagai pendulang Intan sejak lama
secara turun temurun. Namun sebagai wilayah pendulangan Intan secara
tradisional dengan hasil kemilau permata, kemiskinan masih melekat pada diri dan
keluarga. Selain itu lahan yang melimpah dan dibiarkan telantar di Kecamatan
Cempaka, berpotensi dikembangkan untuk sektor agronomi
Selain itu wilayah Kecamatan Cempaka terletak dalam wilayah
perkotaan, karena hanya berjarak sekitar 10 Km dari pusat kota Banjarbaru yang
menjadi pusat pendidikan di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dan
direncanakan pada tahun-tahun mendatang sebagai ibukota Propinsi Kalimantan
Selatan dan Pusat Pemerintahan untuk menggantikan kota Banjarmasin. Karena
itu tidaklah berlebihan apabila riset implementasi Program Reforma Agraria
Nasional di wilayah tersebut menjadi menarik untuk dikaji dari segi sosial,
ekonomi, politik dan budaya.
1.2. Perumusan Masalah
Peran pemerintah yang masih dominan, khususnya dalam perencanaan
dan penyusunan program-program yang berhubungan langsung dengan
masyarakat yang kurang memperhatikan aspirasi dan kurang melibatkan peran
9
aktif masyarakat, juga dapat mengakibatkan ketergantungan masyarakat terhadap
intervensi pemerintah tetap tinggi dan tidak berlanjutnya program yang telah
dilaksanakan. Hal ini disebabkan kurangnya dukungan dan rasa memiliki terhadap
program tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalah
dirumuskan sebagai berikut:
a. Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi Program Reforma Agraria
Nasional di Kota Banjarbaru dari sudut pandang subyek, peneliti dan
stakeholders lainnya
b. Bagaimana prosedur dan tahap-tahap penyelenggaraan Program Reforma
Agraria Nasional di lokasi penelitian ?
c. Bagaimana bentuk peran stakeholders lainnya mendukung Program Reforma
Agraria Nasional untuk memperkuat partisipasi subyek Program Reforma
Agraria Nasional dalam implementasi Program Reforma Agraria Nasional di
Kota Banjarbaru ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah penelitian tersebut di atas, maka yang
menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam implementasi Program
Reforma Agraria Nasional di Kota Banjarbaru.
b. Mengidentifikasi dan menganalisis partisipasi subyek dan stakeholders
lainnya dalam prosedur dan tahap-tahap penyelenggaraan Program Reforma
Agraria Nasional di Kota Banjarbaru.
10
c. Mengidentifikasi dan menganalisis partisipasi stakeholders lainnya dalam
mendukung Program Reforma Agraria Nasional untuk memperkuat partisipasi
subyek dalam implementasi Program Reforma Agraria Nasional di Kota
Banjarbaru.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini
adalah:
a. Pada ranah akademis, secara teoritik dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi kepentingan pengembangan implementasi Program Reforma Agraria
Nasional di kemudian hari.
b. Sedangkan pada aras praksis hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan
masukan dan untuk menunjang pelaksanaan tugas bagi BPN RI dalam
melaksanakan program-program yang sejenis, baik untuk masa sekarang
maupun yang akan datang.
c. Adapun bagi penulis hal ini merupakan aplikasi dari ilmu yang telah di dapat
dari perkuliahan pada Program Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian
Bogor.
1.5. Ruang Lingkup
Materi penelitian ini difokuskan pada kegiatan Program Reforma Agraria
Nasional di Kelurahan Cempaka, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, yaitu
untuk mengidentifikasi dan menganalisis partisipasi subyek Program Reforma
Agraria Nasional dan stakeholders lainnya dalam implementasi Program Reforma
11
Agraria Nasional di Kota Banjarbaru. Obyek kajian meliputi subyek Program
Reforma Agraria Nasional, Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru, Pemerintah Kota
Banjarbaru, instansi terkait, mitra usaha, perbankan/lembaga keuangan dan tokoh
masyarakat.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB