20
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan dengan tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi memiliki berbagai acuan, salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama dan suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. 1 Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara yang bersangkutan untuk menyediakan barang-barang ekonomi kepada penduduknya. 2 Pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan ekonomi di Indonesia lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan ekonomi yang awalnya terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta, diharapkan strategi pembangunan tersebut akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects atau efek menetes ke bawah. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan tetesan ke 1 Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia:Beberapa masalah penting (Jakarta:Ghalia Indonesia,2001), h. 39. 2 Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga (Jakarta: Erlangga,2006), h. 99.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

  • Upload
    dodung

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses

multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur

sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping

penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan dengan tetap

mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari

pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pembangunan ekonomi memiliki berbagai acuan, salah satunya

adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

berkelanjutan merupakan kondisi utama dan suatu keharusan bagi kelangsungan

pembangunan ekonomi.1 Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai

kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara yang bersangkutan untuk

menyediakan barang-barang ekonomi kepada penduduknya.2

Pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana

pembangunan ekonomi di Indonesia lebih berorientasi kepada pertumbuhan

ekonomi yang tinggi. Pembangunan ekonomi yang awalnya terpusat di Jawa,

khususnya DKI Jakarta, diharapkan strategi pembangunan tersebut akan

menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects atau efek menetes

ke bawah. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan tetesan ke

1 Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia:Beberapa masalah penting (Jakarta:Ghalia

Indonesia,2001), h. 39. 2 Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga (Jakarta:

Erlangga,2006), h. 99.

Page 2: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

2

bawah bagi masyarakat secara menyeluruh. Kesejahteraan dan pemerataan akan

tercapai dengan sendirinya serta berjalan beriringan mengikuti pertumbuhan

ekonomi yang ada.

Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan pada wilayah dan sektor-

sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk

menghasilkan nilai tambah tinggi. Adanya strategi tersebut diharapkan

menghasilkan pembangunan yang mampu “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah

Indonesia lainnya. Akan tetapi strategi tersebut ternyata kurang berhasil

menciptakan kesejahteraan dan pemerataan seperti yang diharapkan. Oleh karena

itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai berubah agar tidak lagi hanya

berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada peningkatan pemerataan

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai terjadinya krisis ekonomi

Tahun 1997, sudah banyak dilasanakan program-program pemerintah yang

bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan

antar kelompok miskin dan kaya di tanah air.3

Berkaitan dengan masalah di atas, terdapat pertanyaan besar yang selama

pemerintahan orde baru hingga masa reformasi saat ini, walaupun pembangunan

ekonomi berjalan dengan baik dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang

relatif tinggi, mengapa kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan

tetap ada. Apakah Hipotesis Kuznets mengenai evolusi atau perubahan

kesenjangan pendapatan, dimana pada awal proses pembangunan, ketimpangan

pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan

industrialisasi, namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi

3 Tulus Tambunan, op. cit., h. 82-83.

Page 3: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

3

atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun, tidak berlaku untuk

kasus di Indonesia.

Salah satu cara untuk menganalisa tentang ketimpangan pendapatan adalah

indeks Gini. Indeks Gini merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk

mengukur ketimpangan pendapatan yang didasarkan pada kurva Lorenz. Nilai

indeks Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila nilainya 0 maka

menunjukkan kemerataan yang sempurna dan jika nilainya 1 maka menunjukkan

ketidakmerataan yang sempurna. Artinya, satu orang (atau satu kelompok

pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.4

Berdakan Tabel 1.1, nilai indeks Gini di Indonesia dalam lima tahun terahir

relatif cukup stabil. Pada tahun 2006 nilai indeks Gini adalah sebesar 0,36, tahun

2007 mengalami kenaikan menjadi 0,38, Tahun 2008 turun menjadi 0,37, dan di

Tahun 2009 dan 2010 masing-masing nilainya adalah 0,37 dan 0,38. Pada saat

yang sama Indonesia mencatat angka pertumbuhan yang mengesankan, kurang

lebih rata-rata 6 persen. Dari data di atas menunjukkan bahwa ketimpangan

distribusi pendapatan di Indonesia belum berkurang walaupun pertumbuhan

ekonomi relatif tinggi.

Berdasarkan Tabel 1.1, pada Tahun 2006, 40 persen masyarakat

berpengeluaran rendah memperoleh sebesar 21,42 persen dari total distribusi

pengeluaran nasional. Menurut ukuran yang digunakan Bank Dunia angka

tersebut menunjukkan kondisi relatif merata. Pada tahun 2007 menjadi 18,74

persen, tahun 2008 menjadi 18,72 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-

4 Ibid., h. 95

Page 4: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

4

masing distribusinya sebesar 18,96 dan 18,05 persen yang cenderung

menunjukkan makin kurang merata.

Tabel 1.1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini,

2006-2010

Daerah Tahun 40%

Berpengeluar-

an Rendah

40%

Berpengeluar-

an Sedang

20%

Berpengeluar-

an Tinggi

Indeks

Gini

Kota 2006 19,79 36,90 43,33 0,35

2007 19,08 37,13 43,80 0,37

2008 18,55 37,00 44,45 0,37

2009 18,49 36,58 44,93 0,37

1010 17,57 36,99 45,44 0,38

Desa 2006 23,42 39,04 37,53 0,28

2007 22,00 37,94 40,05 0,30

2008 22,06 38,58 39,36 0,30

2009 22,45 38,45 39,10 0,29

1010 20,98 38,78 40,24 0,32

Desa+

Kota

2006 21,42 37,65 41,26 0,36

2007 18,74 36,51 44,75 0,38

2008 18,72 36,43 44,86 0,37

2009 18,96 36,13 44,91 0,37

1010 18,05 36,48 45,47 0,38

Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2008.BPS. Hal 478

Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 469

Sedangkan 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi di Tahun 2006,

memperoleh 41,26 persen dari total distribusi pengeluaran nasional. Pada Tahun

2007 meningkat menjadi 44,75 persen, tahun 2008 kembali mengalami

peningkatan menjadi 44,86 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-masing

distribusinya sebesar 44,91 persen dan 45,47 persen. Jika dilihat dari data tersebut

Page 5: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

5

distribusi untuk 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi cenderung

mengalami peningkatan.

Walaupun bukan merupakan indikator yang bagus, kesejahteraan di suatu

wilayah dapat juga dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB per

kapita,5 laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan. Suatu wilayah yang

memiliki angka kemiskinan yang tinggi namun juga memiliki PDRB per kapita

dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula menunjukkan gejala bahwa

wilayah tersebut memiliki indeks ketimpangan yang cenderung tinggi. Tingkat

kemiskinan di suatu wilayah dapat dilihat dari jumlah persentase penduduk miskin

di wilayah tersebut.

Dengan beragamnya karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap

provinsi di Indonesia maka nilai PDRB, PDRB per kapita, dan angka kemiskinan

cukup bervariatif antar provinsi seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.2. Provinsi yang

memiliki nilai PDRB terbesar adalah DKI Jakarta yang merupakan ibu kota

negara sekaligus sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia,

sehingga nampak bahwa perekonomian cenderung terpusat di wilayah ini. Hal

tersebut menandakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di

wilayah ini cukup tinggi, karena PDRB per kapita merupakan besaran yang

digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah, tanpa

melihat pendapatan antar golongan dalam masyarakat.

5 Maksudnya, indikator tersebut kurang dapat menunjukkan kondisi kesejahteraan yang

sebenarnya. Bisa saja tingkat pendapatan di suatu wilayah tinggi namun sebagian besar(misalnya 50%) dari pendapatan total dinikmati hanya sebagian kecil (misal 20%) dari penduduknya. Dengan kata lain, selain indikator ini harus dilihat bagaimana distribusi pendapatan di wilayah tersebut. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarat:Ghalia Indonesia,2001, h.39.

Page 6: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

6

Tabel 1.2. PDRB , PDRB Per Kapita, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan

Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia,

2010

Provinsi 1 2 3 4

NAD 33.071,1 7.358,3 2,64 21,0

Sumatera Utara 118.640,9 9.138,7 6,35 11,3

Sumatera Barat 38.860,1 8.017,5 5,93 9,5

Riau 97.701,6 17.640,9 4,17 8,7

Jambi 17.465,2 5.648,0 7,33 8,3

Sumatera Selatan 63.735,9 8.554,7 5,43 15,5

Bengkulu 8.330,3 4.855,9 5,14 18,3

Lampung 38.305,2 5.034,6 5,75 18,9

Kep. Bangbel 10.866,8 8.883,2 5,85 6,5

Kep. Riau 41.083,2 24.466,5 7,21 8,1

DKI Jakarta 395.664,4 41.181,6 6,51 3,5

Jawa Barat 321.875,8 7.476,1 6,09 11,3

Jawa Tengah 186.995,4 5.774,6 5,84 16,6

DIY 21.042,2 6.086,5 4,87 16,8

Jawa Timur 342.280,7 9.133,1 6,68 15,3

Banten 88.393,7 7.177,0 5,94 7,2

Bali 28.880,6 7.133,9 5,83 4,9

Kalimantan Barat 30.292,3 6.890,9 5,35 9,0

Kalimantan Tengah 18.788,9 8.493,8 6,47 6,8

Kalimantan Selatan 30.674,1 8.458,1 5,58 5,2

Kalimantan Timur 110.57,8 31.121,7 4,95 7,7

Sulawesi Utara 18.371,2 8.090,9 7,12 9,1

Sulawesi Tengah 17.437,1 6.486,1 7,79 18,1

Sulawesi Selatan 51.197,0 6.371,9 8,18 11,6

Sulawesi Tenggara 12.226,3 5.218,2 8,19 17,1

Gorontalo 2.917,4 2.804,8 7,62 23,2

Sulawesi Barat 4.744,3 4.094,7 11,91 13,6

NTB 20.056,7 4.456,9 6,29 21,6

NTT 12.531,6 2.675,5 5,13 23,0

Maluku 4.251,3 2.772,3 6,47 17,7

Maluku Utara 3.035,1 2.768,1 7,96 9,4

Papua Barat 8.685,6 9.307,7 26,82 34,9

Papua 22.620,2 8.600,9 (2,65) 36,8

Indonesia 2.310.689,8 9.723,4 6,10 13,3 Sumber: Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS.Hal 172,

558, 562, dan hal 564.

Keterangan:

1: PDRB ADHK 2000 (miliar rupiah) 3: Laju Pertumbuhan Ekonomi

2: PDRB Per Kapita (ribu rupiah) 4: Persentase Kemiskinan

Page 7: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

7

Tabel 1.3. Jumlah Dana Simpanan Masyarakat per Provinsi (Rp 000), tahun

2008.

Provinsi Giro Tabungan Deposito Subtotal

NAD 7.259.531 6.036.217 5.000.677 18.296.425

Sumatera Utara 14.172.780 28.556.509 34.398.209 77.127.498

Sumatera Barat 3.823.352 6.270.497 4.040.365 14.134.214

Riau 11.111.516 12.870.351 7.738.126 31.719.993

Jambi 2.444.936 4.719.675 3.088.946 10.253.557

Sumatera Selat 5.311.963 11.156.291 10.073.584 26.541.838

Bengkulu 1.628.706 2.048.665 635.694 4.313.065

Lampung 2.143.227 6.498.216 5.027.459 13.668.902

Kep. Bangbel 2.361.119 3.384.293 1.790.783 7.536.195

Kep. Riau 5.583.102 5.546.692 3.556.590 14.686.384

DKI Jakarta 167.355.042 125.569.193 434.862.205 727.786.440

Jawa Barat 23.461.739 49.612.782 56.182.719 129.257.240

Jawa Tengah 10.602.944 36.419.377 32.808.822 79.831.143

DIY 2.515.570 8.293.985 6.073.816 16.883.371

Jawa Timur 28.336.825 57.121.604 70.309.728 155.768.157

Banten 6.534.400 13.153.274 13.025.309 32.712.983

Bali 5.783.679 12.425.928 9.107.437 27.317.044

Kal. Barat 3.673.965 8.044.610 4.833.105 16.551.680

Kal. Tengah 3.209.144 3.194.966 1.141.977 7.546.087

Kal. Selatan 4.304.509 7.578.511 3.354.327 15.237.347

Kal. Timur 11.664.486 14.598.200 11.360.109 37.622.795

Sulawesi Utara 1.272.577 3.854.309 2.853.617 7.980.503

Sulawesi Tengah 1.430.170 2.774.504 1.049.741 5.254.415

Sulawesi Selatan 4.486.995 13.343.965 8.135.207 25.966.167

Sulawesi Tengg 1.289.042 2.380.913 727.915 4.397.870

Gorontalo 203.067 923.567 576.570 1.703.204

Sulawesi Barat 485.616 801.744 67.789 1.355.149

NTB 1.337.029 3.504.828 1.179.148 6.021.005

NTT 2.407.249 3.576.483 1.724.908 7.708.640

Maluku 1.228.372 1.961.493 1.299.098 4.488.963

Maluku Utara 863.944 1.244.241 483.644 2.591.827

Papua Barat 1.802.344 1.797.330 847.044 4.446.718

Papua 6.021.707 4.965.088 3.940.950 14.927.745

Indonesia 346.110.647 464.228.301 741.295.618 1.551.634.566 Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.

Hal 529

Selanjutnya indikator yang dapat menggambarkan proses pembangunan

ekonomi yang terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta adalah kepemilikan dana

dan investasi. Semakin banyak perputaran uang di suatu wilayah dapat

menggambarkan potensi pembangunan di daerah tersebut. Dalam Tabel 1.3

Page 8: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

8

menunjukkan jumlah dana simpanan masyarakat di semua provinsi di Indonesia.

Dari total Rp 1.551.634.566.000 dana simpanan masyarakat di perbankan

Indonesia di bulan September 2008, penguasaan semua provinsi di Pulau Jawa

sebesar 73,6 persen, sedangkan penguasaan di DKI Jakarta hampir setengah dari

total semua yaitu 46,9 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya

ketimpangan distribusi simpanan masyarakat antara DKI Jakarta dengan wilayah-

wilayah lain di Indonesia.

Perdagangan luar negeri merupakan salah satu aspek penting dalam

perekonomian setiap negara. Dewasa ini tidak ada satu negara pun dimuka bumi

yang tidak melakukan hubungan dengan pihak luar. Begitu juga dengan

Indonesia. Perdagangan luar negeri menjadi semakin penting, bukan saja dalam

kaitan dengan haluan pembangunan yang berorientasi ke luar, yakni membidik

masyarakat di negara-negara lain sebagai pasar hasil-hasil produksi dalam negeri,

tapi juga berkaitan dengan pengadaan barang-barang modal untuk memacu

industri dalam negeri.6

Data ekspor dan impor selama ini masih menunjukkan dominasi DKI

Jakarta sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional. Seperti yang terlihat

pada nilai ekspor dan impor non-migas per provinsi pada Tabel 1.4. Dimana pada

tahun 2006 dan 2007 nilai ekpor non-migas DKI menempati urutan pertama yaitu

sebesar 29.034,40 dan 31.280,90 atau 36,48 dan 33,92 persen dari nilai total

ekspor nasional. Begitu juga dengan nilai impor non-migas DKI Jakarta pada

tahun yang sama senilai 25.442,90 dan 33.019,00 atau 60,43 dan 62,84 persen dari

nilai total impor non-migas nasional. Angka ekspor dan impor yang sedemikian

6 Dumairy. Perekonomian Indonesia (Jakarta: Erlangga,1996), h. 178.

Page 9: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

9

tinggi di DKI Jakarta tidak menunjukkan kepemilikan. Sehingga terjadinya

ketimpangan data ekspor dan impor karena lokasi pelaksanaan ekspor dan

impornya saja. Namun hal tersebut mengidikasikan bahwa infrastuktur untuk

mendukung kegiatan ekspor dan impor tersedia hanya di wilayah-wilayah tertentu

saja.

Tabel 1.4. Ekspor dan Impor Non-Migas per Provinsi ( dalam juta US$)

No. Provinsi Ekspor Impor

2006 2007 2006 2007

1 DKI jakarta 29.034,40 31.280,90 25.422,90 33.019,00

2 Riau 10.242,40 13.259,20 1.158,30 1.470,00

3 Jawa Timur 9.301,90 11.617,90 6.864,30 9.003,10

4 Sumatera Utara 5.523,90 7.082,90 1.331,20 1.829,30

5 Kalimantan Timur 4.657,30 4.856,80 1.195,20 835,40

6 Papua 3.826,90 3.495,10 664,00 632,20

7 Jawa Tengah 2.899,30 3.122,50 1.033,00 1.504,80

8 Sulawesi Selatan 1.874,00 2.771,30 322,80 356,80

9 Kalimantan Selatan 2.361,20 2.749,50 812,90 227,20

10 Sumatera Selatan 1.883,00 2.293,90 282,60 162,90

11 Lampung 1.525,70 1.540,60 331,50 419,30

12 Sumatera Barat 1.074,10 1.512,80 36,80 95,90

13 NTB 1.219,50 1.068,00 278,50 225,50

14 Bangka Belitung 900,70 1.013,80 21,50 18,00

15 Kalimantan Barat 620,70 728,80 72,50 81,60

16 Jambi 574,50 694,40 162,40 178,00

17 Sulawesi Utara 191,10 514,60 45,90 19,90

18 Maluku Utara 197,40 493,30 1,70 4,10

19 Sulawesi Tenggara 350,70 413,90 45,90 0,00

20 Banten 528,50 388,70 1.873,30 2.148,70

21 Jawa barat 240,70 324,00 68,80 156,90

22 Bali 289,60 287,70 27,80 81,60

23 Sulawesi Tengah 202,00 207,20 9,30 0,00

24 Kalimantan Teng 179,20 165,00 27,10 42,70

25 Bengkulu 80,30 85,00 0,70 3,00

26 NAD 11,00 63,60 29,10 29,60

27 Maluku 49,50 25,90 14,00 7,40

28 Gorontalo 14,70 21,20 0,00 5,10

29 NTT 3,80 3,30 12,00 20,10

30 DI Yogyakarta 4,40 2,50 1,40 0,10

Non-Migas 79.589,10 92.012,30 42.102,60 52.540,60

Sumber: Departemen Perdagangan (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi

Indonesia.2009. Hal 525-526

Page 10: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

10

Permasalahan seperti pertumbuhan ekonomi regional yang tidak merata,

terpusatnya segala aktivitas ekonomi, bertambahnya rumah tangga miskin, dan

pengangguran yang semakin meningkat merupakan tantangan yang harus dihadapi

pemerintah Indonesia maupun masyarakat itu sendiri sebagai pelaku ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan

yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta

yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya

disparitas/ketimpangan pembangunan DKI Jakarta dengan luar DKI Jakarta.

Berbagai penelitian dan kajian yang berdimensi regional, terutama

mengenai kualitas pembangunan regional dan distribusi sumber daya spasial, akan

selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara besar seperti Indonesia.

Terlebih setelah dipertegasnya pengakuan dan pelaksanaan pelimpahan otonomi

daerah dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 dan 25 tahun 1999

yang disempurnakan dengan Undang-Undang RI No. 33 tahun 2000 tentang

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang

mengunakan prinsip dasar yaitu fungsi pokok pelayanan publik dilaksanakan di

daerah, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber

penerimaan kepada daerah. Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan

daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang hubungan fiskal antar

pemerintah menjadi kerangka hukum untuk pengenalan desentralisasi fiskal di

Indonesia sedangkan Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintah daerah

serta Undang-Undang No.33/2004 tentang desentralisasi fiskal kemudian

mengubah dan memperkuat desentralisasi fiskal.

Page 11: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

11

Secara konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukanlah hal baru

di Indonesia. Kedua hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang RI No.5

tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun selama

pemerintahan orde baru kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum

dilaksanakan secara konsisten. Pemerintah pusat kurang serius dalam

mendelegasikan wewenang ke daerah. Bahkan pemerintah daerah merupakan

hasil dari sistem yang sentralistik dari pemerintah pusat. Sehingga kebijakan

otonomi pada pemerintahan orde baru kurang berperan dalam mengurangi

kesenjangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.7

Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan dapat

mempermudah pemerintah untuk mengetahui dan memahami kebutuhan

masyarakat. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan menjadi tujuan

utama, dapat lebih cepat tercapai. Bagi daerah, otonomi daerah dan desentralisasi

ini dimaksudkan untuk menentukan berapa uang yang digunakan pemerintah

daerah dalam pemberian pelayanan kepada mayarakat sehingga memberi

kewenangan yang lebih kepada daerah tersebut dalam pengelolaan dan

pembangunan wilayahnya.

Belum memadainya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah hanya

salah satu dari sekian banyak masalah dari otonomi daerah. Sejauh ini

pelaksanaan otonomi daerah masih menyisakan banyak persoalan yang harus

diatasi. Setidaknya ada beberapa masalah besar dan saling berkaitan dalam

pelaksanaan otonomi daerah. Antara lain semakin melebarnya ketimpangan

7 M. Ryaas Rasyid. Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan

Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Syamsuddin Haris, editor.(LIPI Press,2005), h. 4-5.

Page 12: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

12

tingkat kemajuan pembangunan, kesejahteraan, dan kemampuan keuangan antar

daerah. Selain itu masih minimnya kemampuan daerah dalam mengelola diri

sendiri juga merupakan masalah yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia.

Politisasi (otonomi daerah), terutama dalam kasus pemekaran wilayah yang

cenderung berlebihan hanya menyebabkan pemborosan uang negara. Demikian

pula maraknya korupsi di daerah, memunculkan fenomena “desentralisasi

korupsi”.8

Selain beberapa permasalahan tersebut, otonomi daerah juga memberikan

beberapa tanda-tanda adanya pemerataan pembangunan. Saat ini mulai muncul

tanda-tanda bahwa berbagai daerah yang pada masa lalu sangat pasif saat ini

mulai aktif. Bahkan tanda-tanda peningkatan infrastuktur daerah sudah mulai

terlihat pada gelombang pertama otonomi daerah.

Tabel 1.5.Perkembangan Sekilas Infrastruktur Daerah Pasca-Otonomi

Daerah (dalam persen)

Pulau 1996 1999 2002

PLN¹ SD² Aspal³ PLN¹ SD² Aspal³ PLN¹ SD² Aspal³

Sumatera 38,69 85,54 53,83 48,93 86,37 53,31 53,41 87,53 58,58

Jawa & Bali 64,42 99,34 77,06 78,98 99,40 74,85 77,73 99,32 72,55

Kalimantan 44,80 90,41 29,91 52,08 93,75 30,60 56,57 92,24 32,40

Sulawesi 39,38 96,86 54,79 49,98 93,70 54,41 51,71 95,59 59,20

Maluku,

Papua, dan

Nusa

Tenggara

29,25 91,53 43,81 37,08 89,86 41,21 36,63 88,34 41,33

Sumber: Usman (2007) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 523

Keterangan:

1) Jumlah rumah tangga pelanggan PLN dibagi jumlah rumah tangga;

8 Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah

Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesi (Jakarta:Pernada Media Grup, 2009), h. 484.

Page 13: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

13

2) Jumlah SD dibagi jumlah desa; dan

3) Jumlah desa beraspal dibagi jumlah desa.

Pada Tabel 1.5 memperlihatkan, untuk infrastuktur trasportasi (jalan raya

beraspal) di Sumatera misalnya, pada tahun 1999 sekitar 53,31 persen jalan-jalan

di desa sudah beraspal. Angka ini lebih rendah daripada data di tahun 1996 yang

sudah mencapai 53,83 persen. Namun di tahun 2002 persentasenya meningkat

menjadi 58,58 persen. Peningkatan persentase jalan beraspal di pelosok perdesaan

pada periode 1999-2001 juga terjadi di Kalimantan, dari 30,6 menjadi 32,4

persen, Sulawesi dari 54,41 menjadi 59,20 persen. Adapun di Jawa dan Bali, pada

periode yang sama justru terjadi penurunan persentase jalan beraspal di perdesaan,

yakni dari 74,85 menjadi 72,55 persen.

Penurunan infrastruktur listrik (persentase rumah tanggga pelanggan PLN)

juga terjadi penurunan di Jawa dan Bali selama periode 1999-2002 (78,98 menjadi

77,73 persen). Hal serupa juga dialami oleh Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara,

dari 37,08 menjadi 36,63 persen. Adapun daerah-daerah lainya (meliputi

mayoritas daerah) di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mengalami kenaikan

persentase rumah tangga pelanggan PLN sehingga kondisi infrastruktur listrik di

daerah ini mengalami perbaikan. Peningkatan yang paling signifikan terjadi di

Sumatera (48,93 menjadi 53,41 persen), di susul Kalimantan (52,08 sampai 56,57

persen), lalu Sulawesi (49,98 menjadi 51,71 persen).

Selain perbaikan infrastuktur di daerah, pembangunan daerah juga ditopang

oleh lebih meratanya kepemilikan dan peredaran uang di seluruh Indonesia. Pada

Gambar 1.1, menunjukkan di tahun 1997, 86,6 persen dari seluruh simpanan

(deposito) milik masyarakat di Indonesia ada di Pulau Jawa. Namun di Jawa pun

sebenarnya tidaklah merata karena sebagian besar terpusat di DKI Jakarta, yaitu

Page 14: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

14

sebesar 67,3 persen dan sisanya dibagi ke semua provinsi yang ada di Pulau Jawa.

Sumatera hanya sebesar 7,3 persen, dan yang paling menyedihkan seluruh

Indonesia bagian Timur hanya sebesar 6,2 persen. Kemudian tahun 2007, data

masyarakat di perbankan di Pulau Jawa turun menjadi 75,3 persen, walaupun DKI

Jakarta masih menguasai hampir setengah deposito masyarakat Indonesia.

Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.

Hal 528

Gambar 1.1. Distribusi Regional Simpanan Masyarakat di Perbankan.

Perubahan yang lebih signifikan terjadi pada penyaluran simpanan

masyarakat itu oleh perbankan sebagai kredit. Pada Gambar 1.2, menunjukkan

bahwa penyaluran kredit ke Sumatera dan Kawasan Indonesia Timur selama

periode 1999-2007 masing-masing naik lebih dari dua kali lipat. Dalam kurun

waktu yang sama, DKI Jakarta yang semula menguasai dua pertiga (68,2 persen)

alokasi kredit perbankan nasional turun proporsinya menjadi sekitar sepertiganya

(36,2 persen) dari kredit perbankan nasional, meskipun angka ini masih

menunjukkan dominasi DKI Jakarta.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

IndonesiaTimur

Jatim Jateng & DIY Jabar &Banten

Jakarta Sumatera

1997

2007

Page 15: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

15

Lonjakan kredit tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Banten yang mencapai

hampir tiga kali lipat. Namun provinsi lain di Jawa tengah, Jawa Timur, dan DIY

mengalami kenaikan kredit yang paling kecil. Secara keseluruhan pada tahun

2007, provinsi yang ada di Jawa masih menguasai 71,5 persen dari total kredit

perbankan nasional. Proporsi ini sebenarnya sudah berkurang dibanding pada

tahun 1997, sebelum otonomi daerah, ketika seluruh provinsi di Pulau Jawa

menunjukkan angka 86,6 persen dari total kredit perbankan nasional.

Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.

Hal 528

Gambar 1.2. Distribusi Regional Penyaluran Kredit Perbankan

Pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini memang banyak menimbulkan akses

negatif. Para pengusaha mengeluh karena banyak pungutan yang tidak memiliki

landasan yang kuat. Praktik korupsi yang hampir merata di seluruh daerah.

Sementara itu pelayanan publik justru cenderung memburuk dan pembangunan

infrastruktur dikesampingkan.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

IndonesiaTimur

Jatim Jateng & DIY Jabar &Banten

Jakarta Sumatra

1997

2007

Page 16: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

16

Meskipun demikian, banyaknya masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah

tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menyimpulkan bahwa otonomi

harus diakhiri. Dari segi gagasannya, otonomi daerah tetap lebih baik dari pada

sentralisme dan karenanya tetap layak diteruskan dan diperjuangkan.

Bagaimanapun, secara ideal otonomi daerah dapat berfungsi sebagai jangkar

pengaman untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan

yang efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.

Efektifitas pemerintahan antara lain diukur dari kemampuannya memenuhi

pelayanan masyarakat dan mendorong pendayagunaan seluruh potensi sumber

daya secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.9

Selain beberapa keterbatasan pada pelaksanaannya, otonomi daerah telah

menunjukkan hasil dan kemajuan yang cukup mengembirakan. Bahwa manfaat

selama ini masih kurang jika dibanding dengan mudaratnya, kembali lagi bahwa

otonomi daerah merupakan proses pembelajaran. Demi memperoleh pemahaman

yang fair dan berimbang, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk

melihat apa saja kemajuan dan manfaat yang selama ini sudah di capai dari

otonomi daerah. Dalam hal ini masalah ketimpangan menjadi pokok bahasan

dalam penelitian ini, mengingat salah satu indikator bahwa otonomi daerah

memberikan manfaat atau tidak, dapat diamati dari tingkat ketimpangan antar

wilayah. Mengingat ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap

tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah.

9 Faisal Basri, op. cit., h. 519-534.

Page 17: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

17

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu penyebab ketimpangan antar wilayah adalah pola pengembangan

yang dilaksanakan pemerintah orde baru yang bersifat sentralistik. Sifat

pemerintahan yang sentralistik yang terjadi selama ini disamping telah

menyebabkan terpuruknya perekonomian nasional juga menimbulkan

ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta.

Ketimpangan tersebut mengakibatkan semakin melebarnya kesenjangan antara

kaya dan miskin, ketimpangan antar wilayah dan ketimpangan antar sektor

ekonomi. Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam, rendahnya akses

pasar baik pasar regional, nasional maupun internasional, kapasitas sumberdaya

manusia, kelembagaan yang belum mendukung, infrastruktur yang kurang

memadai, dan pembangunan ekonomi yang terfokus di kota-kota besar juga

menyebahkan gap antar wilayah tersebut.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dimbangi oleh

pemerataan pendapatan antar daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi

ketimpangan yang dapat mengakibatkan masalah-masalah sosial, meskipun hal itu

bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor-faktor lainnya

yang tidak dapat dipisahkan seperti kehidupan sosial, politik, kebudayaan dan

sejarah. Contoh yang dapat di lihat di Indonesia, dimana ketimpangan pendapatan

menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang akhirnya

dapat menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang

memunculkan konflik vertikal.10

10

Tadjoeddin et al. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan konflik Vertikal di Indonesia (UNSFIR,2001), h. 7-8.

Page 18: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

18

Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang

Otonomi Daerah telah mengubah secara fundamental tata cara bernegara di

Indonesia. Kewenangan penuh pemerintah pusat hanya tersisa pada lima bidang

saja, yakni: pertahanan-keamanan, politik luar negeri, keuangan, agama, dan

kehakiman. Sisanya menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah. Saat ini

salah satu masalah utama otonomi daerah adalah kian tajamnya kesenjangan

antara daerah-daerah itu sendiri. Belum lagi praktek korupsi yang hampir merata

di seluruh daerah. Meskipun demikian, banyaknya masalah tentunya tidak

seharusnya kita berkesimpulan bahwa otonomi daerah tidak memberi manfaat dan

kemajuan bagi bangsa kita.

Berkaitan dengan masalah di atas muncul pertanyaan mengenai pola

pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang merupakan pusat perekonomian di

Indonesia, serta daerah-daerah lain di luar DKI Jakarta di masa otonomi daerah

maupun sebelum otonomi daerah. Apakah di masa otonomi daerah sekarang ini

ketimpangan di DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta sudah berkurang dan

apakah ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan berlaku.

Pada masa otonomi daerah ini seharusnya pemerintah daerah berlomba

meningkatkan perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan. Sehingga

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat diimbangi oleh pemerataan pendapatan

antar daerah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah:

Page 19: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

19

1. Bagaimana klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar DKI

Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi

daerah?

2. Bagaimana ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta

sebelum dan setelah otonomi daerah?

3. Bagaimanakah trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta

sebelum dan setelah otonomi daerah?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar

DKI Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi

daerah.

2. Menganalisis ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI

Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah.

3. Menganalisis trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta

sebelum dan setelah otonomi daerah.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi para akademisi, sebagai

proses pembelajaran bagi mahasiswa dalam meneliti

Page 20: I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - repository.ipb.ac.id I... · sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai ... tetap ada. Apakah

20

disparitas/ketimpangan antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta dan

referensi bagi penelitian lebih lanjut dan mendalam.

2. Berguna untuk mengevaluasi kegiatan pembangunan dan sebagai

rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah

disparitas/ketimpangan di Indonesia.