8
Seminar Nasional Sains dan Teknologi (Senastek) IV, Bali, Indonesia 2017 KARAKTER STYLE ARSITEKTUR PURA KENTEL GUMI KLUNGKUNG I Dewa Gede Agung Diasana Putra 1) , I Made Adhika 1) Ida Bagus Wirawibawa Mantra 1) , Ngakan Ketut Acwin Dwijendra 1) , Kadek Agus Surya Darma 1) , Made Wina Satriya 1) 1 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Kampus Bukit Jimbaran, 80364 diasanaputra@unud.ac.id Abstract Characteristics of architecture can be seen from the proportion of the building and its ornaments. These features have colored the architectural styles in Indonesia including the traditional architecture in Klungkung. One of the architecture in Klungkung is Pura Kentel Gumi located in Tusan Village, Banjarangkan. According to old inscriptions, this temple relates to the important role of Mpu Kuturan in Bali in which the forms of the buildings still maintain their original form although it has undergone renovation. Therefore, the exploration of their architectural characteristic is essential that can be used as references to develop architectural style in Klungkung. This study used field works to measure the existing buildings, especially buildings that are still original or that have undergone restructure with appropriate conservation ways. The finding of this study is related to the proportion and ornaments of the building in which the characteristic can be utilized as an architectural model in Klungkung Bali. Key words: style, characteristic, architecture, model Abstrak Ciri khas sebuah karya arsitektur salah satunya dapat dilihat dari proporsi bentuk bangunan dan ornamen- ornamennya. Ciri ini akan telah memberikan warna bagi dunia kearsitekturan di Indonesia termasuk didalamnya arsitektur tradisional di Klungkung. Salah satu karya arsitektur khas Klungkung yang masih ada saat ini adalah Pura Kentel Gumi yang terletak di Desa Tusan, Banjarangkan. Menurut prasasti- prasasti yang ada, pura ini berkaitan dengan keberadaan Mpu Kuturan di Bali dimana bentuk bangunannya masih mempertahankan bentuk aslinya walaupun telah mengalami pemugaran. Karena itu, perlu digali potensi dan ciri-ciri arsitekturnya, sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan dalam mengembangkan karya arsitektur di Klungkung. Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi lapangan (pengukuran) terhadap bangunan -bangunan yang ada, terutama bangunan yang masih asli atau yang telah mengalami pemugaran dengan cara-cara konservasi yang tepat. Studi lapangan dilengkapi dengan wawancara untuk mendalami keberadaan obyek yang diteliti. Dengan teridentifikasinya karakter arsitektur ini diharapkan dapat dijadikan acuan/model pemanfaatan style arsitektur yang khas di Klungkung Bali. Kata kunci: style, khas, arsitektur, model 1. PENDAHULUAN Sebuah karya arsitektur seperti misalnya pura merupakan komponen untuk mengespresikan identitas khas sebuah masyarakat. Sebagai sebuah kerajaan utama di Bali pada abad ke 18-19, Klungkung tidak hanya merupakan pusat pemerintahan tetapi juga pusat kegiatan budaya dan ritual. Peran Klungkung yang penting di masa lalu telah menghasilkan berbagai karya budaya termasuk karya arsitektur (Agung 1991). Karya-karya budaya dan ritual termasuk arsitektur ini adalah sarana untuk mengekspresikan kuatnya pengaruh suatu kerajaan dan untuk mengekspresikan identitasnya yang khas (Geertz 1980; Nordholt 1986). Salah satu hasil karya di jaman kerajaan Klungkung adalah Pura Kentel Gumi yang berdiri dikaitkan dengan keberadaan Mpu Kuturan di Bali. Masih asllinya beberapa bagian bangunan dan pelaksanaan pemugaran yang sangat memperhatikan cara-caar konservasi yang benar, memungkinkan untuk digali karakteristiknya untuk dipakai sebagai acuan karya arsitektur khas Klungkung. Bagian-bagian tersebut adalah beupa candi bentar, kori agung dan ornament-ornamen pada beberapa pelinggih di dalam pura.

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1), I Made Adhika Ida Bagus

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Seminar Nasional Sains dan Teknologi (Senastek) IV, Bali, Indonesia 2017

KARAKTER STYLE ARSITEKTUR PURA KENTEL GUMI KLUNGKUNG

I Dewa Gede Agung Diasana Putra

1), I Made Adhika

1) Ida Bagus Wirawibawa Mantra

1),

Ngakan Ketut Acwin Dwijendra1)

, Kadek Agus Surya Darma1)

, Made Wina Satriya1)

1Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Kampus Bukit Jimbaran, 80364

[email protected]

Abstract

Characteristics of architecture can be seen from the proportion of the building and its ornaments. These

features have colored the architectural styles in Indonesia including the traditional architecture in

Klungkung. One of the architecture in Klungkung is Pura Kentel Gumi located in Tusan Village,

Banjarangkan. According to old inscriptions, this temple relates to the important role of Mpu Kuturan in

Bali in which the forms of the buildings still maintain their original form although it has undergone

renovation. Therefore, the exploration of their architectural characteristic is essential that can be used as

references to develop architectural style in Klungkung. This study used field works to measure the

existing buildings, especially buildings that are still original or that have undergone restructure with

appropriate conservation ways. The finding of this study is related to the proportion and ornaments of the

building in which the characteristic can be utilized as an architectural model in Klungkung Bali.

Key words: style, characteristic, architecture, model

Abstrak

Ciri khas sebuah karya arsitektur salah satunya dapat dilihat dari proporsi bentuk bangunan dan ornamen-

ornamennya. Ciri ini akan telah memberikan warna bagi dunia kearsitekturan di Indonesia termasuk

didalamnya arsitektur tradisional di Klungkung. Salah satu karya arsitektur khas Klungkung yang masih

ada saat ini adalah Pura Kentel Gumi yang terletak di Desa Tusan, Banjarangkan. Menurut prasasti-

prasasti yang ada, pura ini berkaitan dengan keberadaan Mpu Kuturan di Bali dimana bentuk

bangunannya masih mempertahankan bentuk aslinya walaupun telah mengalami pemugaran. Karena itu,

perlu digali potensi dan ciri-ciri arsitekturnya, sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan

dalam mengembangkan karya arsitektur di Klungkung. Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi

lapangan (pengukuran) terhadap bangunan -bangunan yang ada, terutama bangunan yang masih asli atau

yang telah mengalami pemugaran dengan cara-cara konservasi yang tepat. Studi lapangan dilengkapi

dengan wawancara untuk mendalami keberadaan obyek yang diteliti. Dengan teridentifikasinya karakter

arsitektur ini diharapkan dapat dijadikan acuan/model pemanfaatan style arsitektur yang khas di

Klungkung Bali.

Kata kunci: style, khas, arsitektur, model

1. PENDAHULUAN

Sebuah karya arsitektur seperti misalnya pura merupakan komponen untuk mengespresikan

identitas khas sebuah masyarakat. Sebagai sebuah kerajaan utama di Bali pada abad ke 18-19,

Klungkung tidak hanya merupakan pusat pemerintahan tetapi juga pusat kegiatan budaya dan

ritual. Peran Klungkung yang penting di masa lalu telah menghasilkan berbagai karya budaya

termasuk karya arsitektur (Agung 1991). Karya-karya budaya dan ritual termasuk arsitektur ini

adalah sarana untuk mengekspresikan kuatnya pengaruh suatu kerajaan dan untuk mengekspresikan

identitasnya yang khas (Geertz 1980; Nordholt 1986). Salah satu hasil karya di jaman kerajaan

Klungkung adalah Pura Kentel Gumi yang berdiri dikaitkan dengan keberadaan Mpu Kuturan di

Bali.

Masih asllinya beberapa bagian bangunan dan pelaksanaan pemugaran yang sangat memperhatikan

cara-caar konservasi yang benar, memungkinkan untuk digali karakteristiknya untuk dipakai

sebagai acuan karya arsitektur khas Klungkung. Bagian-bagian tersebut adalah beupa candi bentar,

kori agung dan ornament-ornamen pada beberapa pelinggih di dalam pura.

2

Mengacu pada persyaratan dari perundangan yang ada dan adanya potensi mulai seragamnya style

arsitektur tradisional Bali, maka perlu dilakukan penggalian karakter khas dari arsitektur tradisional

Klungkung sehingga dapat dipergunakan sebagai model dalam pengembangan karya arsitektur di

sekitar kawasan pura pada khususnya dan Klungkung pada umumnya, yang lebih jauh dapat

mempertahankan keragaman arsitektur di Bali dan sebagai daya tarik wisata.

2. METODE PENELITIAN

Untuk mengeksplorasi identitas arsitektur Pura Kentel Gumi, penelitian ini menggunakan metode

studi lapangan melalui pengukuran baik dengan theodolite maupun dengan meteran pada bangunan

-bangunan yang ada, terutama bangunan yang masih asli atau yang telah mengalami pemugaran

dengan cara-cara konservasi yang tepat. Studi lapangan dilengkapi dengan wawancara untuk

mendalami keberadaan obyek yang diteliti.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Idetitas Arsitektur dan Proporsi

Sejarah panjang budaya Bali dalam membentuk sebuah identitas budaya bali yang dipengaruhi oleh

kondisi perpolitik dan kekuasaan telah banyak distudi oleh berbagai peneliti seperti Geertz (1980),

Nordholt (1986) dan Agung (1991). Dalama hal ini masing-masing jaman telah berupaya

membentuk identitasnya sendiri untuk mengekspresikan batasan-batasan dan keunggulan masing-

masing jaman. Mereka mengekspresikan diri mereka dan menciptakan batasan-batasan dengan

kelompok lainnya. Dalam hal ini budaya dan tradisi yang merepleksikan rangkaian sejarah dan

pengalaman sebuah masyarakat dan kemudian mendesiminasikan budaya mereka kepada kelompok

mereka dapat dilihat sebagai sebuaha sumber daya untuk menciptakan batasan dengan kelompok

lainnya dan menciptakan identitas diri (Derek & Japha 1991; Hall 1990; Proshansky et al. 1983)

termasuk didalamnya identitas arsitektur. Identitas mengekspresikan sebuah kesamaan dari sebuah

tradisi dan budaya diantara angoota sebuah komunitas dan perbedaan dengan komunitas lainnya

(Brubaker & Cooper 2000). Anggota-anggota dari sebuah kelompok masyarakat mengekspresikan

identitas mereka melalui tradisi, kegiatan budaya dan style arsitektur yang berbeda dengan lainnya.

Ornament, proporsi bangunan dan element-elementnya, maupun bahan bangunan merupakan

komponen-komponen dari arsitektur tradisional yang berbeda dengan lainnya. Terdapat berbagai

perbedaan gaya arsitektur dari berbagai tempat di Bali seperti Bebadungan yang dominan

menggunakan batu bata merah dan gaya gegianyaran yang lebih memilih menggunakan kombinasi

antara batu bata merah dan batu padas (Putra, Lozanovska & Fuller 2013). Perbedaan material ini

akan mengekspresikan perbedaan karakter yang menunjukkan identitas dan menciptakan perbedaan

dengan bentuk lainnya. Karakter ini kemudian diwariskan lintas

generasi dan dipertahankan sebagai sebuah maha karya dari

sebuah komunitas (Shils 1971). Sebuah idenitas adalah sebuah

gagasan yang kuat dari sebuah bentuk homogenitas sebuah group dan

mengunjukkan sebuah status dari sebuah grup komunitas (Brubaker &

Cooper 2000). Selain ornament, proporsi, seperti telah

diungkapkan sebelumnya, juga merupakan sebuah cara untuk

mengungkapkan sebuah identitas.

Dalam ilmu arsitektur terdapat beberapa teori mengenai proporsi

yang telah dikembangkan sejalan dengan perkembangan sejarah.

Pada umumnya proporsi merupakan suatu sistem proporsi

Gambar 1 Proporsi Golden

Section

(Sumber : Ching 2000:286)

3

matematis yang berasal dari konsep Pythagoras yaitu “semua adalah angka” dan kepercayaan

bahwa hubungan angka – angka tertentu menghasilkan struktur alam yang harmonis (Ching 2000).

Salah satu hubungan ini yang telah digunakan sejak dahulu kala adalah proporsi yang dikenal

dengan “Golden Section” (Gambar 1). Orang Yunani dikenal sangat mengandalkan peran Golden

Section pada proporsi tubuh manusia. Mempercayai bahwa manusia dan kuil – kuilnya seharusnya

menjadi tatanan universal yang lebih tinggi, proporsi – proporsi tercermin dalam struktur kuil –

kuilnya. Golden Section dapat didefinisikan sebagai rasio antara dua bagian dari sebuah garis atau

dua buah ukuran suatu gambar bidang dimana bagian yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian

yang lebih besar adalah sama dengan perbandingan bagian yang besar terhadap keseluruhannya

(Ching 2000).

Sebuah segi empat yang sisi-sisinya memiliki proporsi berdasarkan Golden Section dikenal sebagai

“Segi Empat Emas” (Golden Rectangel). Jika sebuah bujur sangkar dibuat pada sisi yang lebih

pendek, bagian yang lain dari segi empat semula akan menjadi lebih kecil tetapi mirip dengan Segi

Empat Emas (Gambar 2). Selama perubahan bentuk ini, tiap-tiap bagian tampak serupa untuk

semua bagian lainnya maupun terhadap keseluruhan (Ching 2000).

Sementara itu pengertian proporsi dalam Arsitektur Tradisional Bali tidak jauh berbeda dengan

proporsi dalam ilmu arsitektur pada umumnya. Proporsi dalam arsitektur tradisional Bali

merupakan sebuah perbandingan jumlah dan ukuran yang masing- masing perbandingannya

terdapat makna yang sangat dipercaya memiliki pengaruh terhadap penghuni bangunan tersebut.

Untuk mendapatkan sebuah proporsi pada suatu perancangan bangunan misalnya penaataan

pekarangan rumah, dalam arsitektur tradisional Bali digunakan suatu perhitungan ukuran yang

sangat berpengaruh terhadap penghuninya. Dalam perhitungan tersebut tentunya tidak bisa lepas

dari ukuran atau dimensi Tradisional Bali yang menggunakan fisik manusia sebagai penghuni

bangunan.

Gambar 2 Segi empat emas (Golden Rectangle)

(Sumber : Ching 2000)

4

3.2. Lay Out dan Ornament Pura Kentel Gumi

Saat ini di Pura Agung Kentel Gumi terdapat 23 buah palinggih utama, 35 buah bale-bale, 13 buah

candi bentar, sebuah candi kurung, dan 5 buah palinggih khas yang hanya ada di Pura Agung

Kentel Gumi (Gambar 3).

- Palinggih-palinggih utama yang ada yaitu 3 buah padmasana, sebuah meru tumpang solas,

sebuah meru tumpang siya, sebuah meru tumpang pitu, sebuah meru tumpang lima, 2 meru

tumpang tiga, 2 buah meru tumpang dua, 9 buah gedong (meru tumpang satu), dan 4 buah

tugu.

- Bale-bale yang ada yaitu 4 buah pengaruman, 4 buah panggungan, 6 buah piyasan saka

nem, sebuah piyasan saka pat, sebuah menjangan saluang, sebuah bale kulkul, 2 buah bale

saka solas, 4 buah bale saka roras, 6 buah bale sakutus, 3 buah bale saka nem, sebuah bale

saka pat, sebuah jineng, dan sebuah wantilan.

- Lima palinggih khas yang ada yaitu terdiri dari palinggih Ratu Pancer Jagat, palinggih

Ratu Panji, palinggih Ratu Manik Galih, Palinggih Catur Muka, dan palinggih

Dasar/Basundari.

Gambar 3. Lay Out Pura Kentel Gumi

Kori Agung pura Kentel Gumi terbuat dari kombinasi antara bata merah dan batu padas. Pada

umumnya, batu bata sebagai struktur utama, sementara itu ornamentnya umumnya berbahan batu

padas. Bahan batu bata tanpa ukiran sementara batu padas yang menempel pada batu bata diukir

secara detail dengan motif tumbuhan dan binatang (Gambar 4).

Secara umum, kori agung terdiri dari kepala, terdiri dari tiga tingkat dan bentala pada bagian

atasnya; badan termasuk masing-masing satu buah lelengen, yang mengapit struktur kori utama.

Bagian tengah ini juga dilengkapi dengan pintu dan kuren dengan bahan kayu yang diukir, dimana

perealatan dan persembahan untuk upakara keluar masuk. Bagian paling bawah adalah bagian kaki

yang merupakan bagian dasar kori agung yang dilengkapi dengan ornament karang gajah berbahan

KETERANGAN :

A : Bencingah Pura

B : Jaba Sisi

C : Jaba Tengah (Madya

Mandala)

D : Jeroan Pura Agung Kentel

Gumi

E : Jeroan Pura Maspahit

F : Jeroan Pura Masceti

G : Pawaregan/Perantenan Suci

A B C

D E

F

G

U

5

batu padas. Pada bagian ini juga dilengkapi dengan 5 buah anak tangga (undak) berbahan batu bata

(Gambar 4).

Gambar 4. Bahan dan Ornament Kori Agung

Jenis motif ornament yang dipergunakan pada kori agung Pura Kentel Gumi adalah berupa pola

hias bentuk meander atau geometric umumnya berupa motif kakul dan sebagian kecil berupa

bentuk motif ilut, motif bias membah dan motif watu alang (Gambar 5).

Gambar 5. Ornament Motif Meander atau Geometric

Patra punggel dari

batu padas

Karang boma dari batu

padas

Karang goak dari batu

padas

Karang simbar dari

batu padas

Pintu dan ulap-ulap

dari kayu yang diukir

dan dicat emas

Karang gajah dari

batu padas

Bentala di pada

bagian atas dari batu

bata merah

Karang tapel dari batu

padas

Undag-undag dari

batu bata

Motif ilut

Motif kakul

Motif kakul

6

Sementara itu motif tumbuh-tumbuhan yang sering disebut patra, artinya daun (Sudara 1983)

merupakan motif yang dominan di kori agung ini. Motif ini terdari dari motif punggel, tunjungan,

bungan tuwung, genggong, dan punggel (Gambar 6).

Gambar 6. Ornament Motif Tumbuh-tumbuhan (Patra)

Ornament pada kori agung ini juga terdiri dari motif kekarangan yang terdiri dari karang mudra,

yang terdapat di puncak, karang asti yang terdapat pada bagian bawah, karang boma di atas pintu,

karang tapel, karang simbar maupun karang goak (Lihat Gambar 4).

Lebih lanjut proporsi kori agung ditunjukkan pada Gambar 7. Dilihat dari proporsinya, secara

umum tinggi kori agung adalah 9, 091 m dengan lebar 5,986, jika dibulatkan menjadi 9 m

berbanding 6 m. sehingga proporsinya adalah 3:2. Dilihat dari pembagian kepala-badan-kaki

bangunan, bagian kaki memiliki panjang 1, 29 m, badan 4,035 m dan kepala juga 4,028 m. Jika

dilihat proporsinya, maka bangunan ini memilik proporsi antara kepala-badan-kaki adalah 4:4:1.

Sementara itu lebar bagian badan dapat dilihat proporsi antara struktur utama (lelengen yang

mengapit pintu) dengan lelengen yang mengapit bagian utama. Ukuran keduannya adalah masing-

masing 1 m berbanding 1,4 m. Dilihat dari proporsinya adalah menjadi 5:7.

Patra bungan tuwung

Patra genggong

Patra tunjungan

Patra punggel

7

Gambar 7. Proporsi Bangunan Kori Agung

4. KESIMPULAN

Bangunan kori agung Pura Kentel Gumi terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu kepala, badan dan

kaki dimana masing-masing mempunyai bentuk ornament yang dikombinasikan antara bentuk

geometric, patra, maupun kekarangan. Dilihat dari proporsinya, bagian kepala: badan: kaki adalah

4:4:1 sementara proporsi antara bangunan utama dengan lelengen adalah 5:7.

Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih kepada LPPM dan Fakultas Teknik Universitas Udayana yang telah membiayai

penelitian ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan pada pemangku Pura Kentel Gumi yang

telah memberikan ijin dan informasi terkait dengan penelitian ini.

5. DAFTAR PUSTAKA

Agung, I.A.A.G. (1991) Bali in the 19th century, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Brubaker, R. & Cooper, F. (2000) „Beyond identity‟, Theory and Society, vol. 29, no. 1, pp. 1-47.

Ching, (2000) Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan, Jakarta: Erlangga.

Derek & Japha, V. (1991) „Identity through detail: an architecture and cultural aspiration in

Montagu, South Africa, 1850-1915‟, TDSR, vol. II, pp. 17-33.

8

Geertz, C. (1980) Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali, Pricenton University Press,

New Jersey.

Hall, S. (1990) „Cultural identity and diaspora‟, in J Rutherford (ed), Identity, community, culture

difference, Lawrence and Wishart, London, pp. 222-237

Nordholt, H.S. (1986) Bali: colonial conceptions and political change 1700-1940 from shifting

hierarchies to ‘fixed’ order, Erasmus, Rotterdam.

Proshansky, H.M. et al. (1983) „Place identity: physical world socialization of the self‟, Journal of

Environmental Psychology, vol. 3, pp. 57-83.

Putra, I.D.G.A.D., Lozanovska, M. & Fuller, R. (2013) „The transformation of the traditional

Balinese house for tourist facilities: managing a home-based enterprise and maintaining an

architectural identity‟, International Conference on Management and Business Science Malang

Indonesia, pp. 53-67.

Shils, E. (1971) „Tradition‟, Comparative Studies in Society and History, vol. 13, no. 2, Special

Issue on Tradition and Modernity, pp. 122-159.

Sudara, I. G. N. (1983) Ornamen Bali (Kumpulan Ragam Hias), Penerbit: Sekolah menengah Seni

Rupa Denpasar: Denpasar Bali.