Upload
a-rianti-rhasinta-ar
View
31
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hygiene pangan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Daging merupakan salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan
sumber protein hewani dengan kandungan gizi yang cukup lengkap. Sama halnya
dengan bahan pangan hewani lainnya seperti, susu, telur dan lain-lain, daging
bersifat mudah rusak akibat proses mikrobiologis, kimia dan fisik bila tidak
ditangani dengan baik. Dengan demikian dalam proses pemotongan sampai
pengolahan perlu diperhatikan supaya menghasilkan daging yang berkualitas.
Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun
atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang
berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan
kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak disembelih dan tidak ada
lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak lagi
berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai
dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel).
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai
terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar
perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pasca rigor. Kesalahan
penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan
mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark
firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold
shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari
jika pengetahuan tentang mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor
daging dapat diterapkan dengan baik pada penanganan pascapanen ternak. Secara
ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk
dan dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi
Hygiene pangan Page 1
lebih ekstensibel dan mebrikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat
prarigor.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses rigor mortis itu terjadi pada ternak?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi waktuterbentuknya rigor
mortis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses-proses dalam rigor mortis
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi waktu
terbentuknya rigor mortis.
Hygiene pangan Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber Energi Otot
Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat
yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak
menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot.
Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat
(aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan
digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak
untuk bergerak atau beraktivitas. Dengan demikian otot strip (otot skelet=rangka
tubuh) disebut sebagai alat pergerakan tubuh atau sebagai eneriy mekanik. Karena
otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) maka disebut juga sebagai energi
kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa
hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut
sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas
kontraksi tidak tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP
yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot
sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau
melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob)
kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk
3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil
perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan
Hygiene pangan Page 3
masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan
atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam
mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron
dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan
menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah
menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37
mol ATP.
Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk
kontraksi, memompa ionCa2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan
Na dan K.
Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
sangat tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak
disembelih. Kondisi ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih
dan terutama pada kondisi stress atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat
terbentuknya rigor mortis.
gambar1. produksi ATP melalui tiga jalur
Hygiene pangan Page 4
2.2 Rigor Mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia
terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat
menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga
proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada
saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh
enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH
daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya
rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu
yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak
bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
2.2.1 Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor
mortis dan fase pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan
fase cepat seperti terlihat pada gambar 2.
Pada gambar 2 terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses
rigor mortis pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a
memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang berlangsung sempurna; fase
penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu yang
dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b
Hygiene pangan Page 5
memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami
kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor
mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat
cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang sudah
sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c)
menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada
jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi maka makin
cepat terbentuknya rigor mortis
gambar2. proses rigor mortis kelinci (a.normal, b.kelelahan, c.energi sangat terkuras
2.2.2 Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan
miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot)
dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka
pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung
secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua
miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang
serat) akan memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas
Hygiene pangan Page 6
(tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer
memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai
ATP habis dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang
mayat) dan tidak ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak
daging karena akan sangat terasa alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis
mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi.
Kekakuan ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja
sejumlah enzim pencerna protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih
berkontraksi) didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut
sebagai cold shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan
mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat
dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk
dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada
fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease
(CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna
protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik
dipompa pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah
rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah
rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhir yang normal
(pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor mortis terbentuk
memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam
pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor,
dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH
Hygiene pangan Page 7
asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun,
sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik
isoelektrik mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar
(mudah terurai). Hal ini bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami
stress sangat berat menjelang disembelih dan akibatnya proses rigor mortis
berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir
normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.
2.2.3 Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan
tergantung pada:
1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor
mortis lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada
kasus PSE (pale soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang
membutuhkan waktu 24 jam pada kondisi rigor mortis sempurna.
Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama 24 jam pada ternak
dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum disembelih dan
suhu ruangan sekitar 15°C.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu
berbeda dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau
tidak cukup istirahat sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang
lebih cepat untuk instalasi rigor mortis dibanding dengan sapi yang cukup
istirahat dan tidak stress pada saat menjelang disembelih.
3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun
otot yakni serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat
pada ternak yang tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding
dengan serat merah. Pada otot dengan serat merah yang lebih banyak
Hygiene pangan Page 8
memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan aktivitas ATP ase yang lebih
rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian pada otot merah
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor mortis.
Maturasi (aging) Pada Daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama
penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan
dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah
rib dan loin.
Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein
miofibriler oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging,
khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan
utnuk pematangan daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi
waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang
cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi
dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat
menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts)
sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan
proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut.
Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk
maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2
hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik
diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna
protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses
pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya
calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok
cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam
mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh
Hygiene pangan Page 9
enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan
keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti
berikut:
Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan
khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952).
Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk
hari kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai
hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)
Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada
suhu 4º C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan
17 hari (Moran dan Smith (1929)
Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan
(pemeliharaan tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 %
selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari
ketiga (Abustam, 1995)
Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding
dengan sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)
Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler
meningkat.
Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen
intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen
tersolubilisasi. Peningkatan ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial
dan kolagen intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).
Jenis Aging
Ada dua jenis aging pada karkas/daging
Hygiene pangan Page 10
dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa
ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0–
1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5
m/det, selama 21 – 28 hari
wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu
0-1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan
keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup (wet aging).
Faktor Pembatas Aging
Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan
mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan
pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat
pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan
keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan
kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan
aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang
pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan
karkas yang berlebihan
Efektivitas Aging
Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable
pascamerta yang mempengaruhi keempukan daging
Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya
mengalami pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya
pengempukannya terjadi secara perlahan
Hygiene pangan Page 11
Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi
pada umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup
dimana frgagmentasi jaringan ikat tidak cukup selama aging
Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi
daging sapi 3 – 90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi
28 hari, nilai tambahnya sedikit terhadap perbaikan palatabilitas dan
mungkin merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba yang tidak
diinginkan dan perubahan flavor
Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang
diperlukan untuk aging tidak terlalu lama.
Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler
tinggi, jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye
of the round (semitendinosus0 yang merupakan otot kurang empuk dimana
fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih
banyak.
Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima
konsumen melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian
perbaikan besar dalam keempukan dicapai melalui metoda pemasakan
yang tepat daripada melalui aging.
Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya
keempukan), namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan,
pengolahan dan persiapan, semuanya berperan penting dalam pemenuhan
akhir dari kesukaan konsumen.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging
adalah pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan
ruangan penyimpanan pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk
pengadaan dan pemeliharaan ruangan tsb.
Hygiene pangan Page 12
Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya
yang lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara
mulai melakukan aging yang tidak terlalu lama 2-6 hari pascamerta.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat
terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3.Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme
menyebabkan bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar
kehilangan berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan
pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan
diskolorasi. Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan
dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang
dipertimbangkan pada produk.
Hygiene pangan Page 13
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana
sejumlah perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan
proses terbentuknya rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor.
Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah melalui perubahan-
perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa
proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang
akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis
dan dilanjutakn dengan proses aging untuk memperbaiki tingkat
keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama
proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut
yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan
keempukan.
Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh
sebelum ternak disembelih dan penanganan pascapanen yang tidak tepat
dapat mengakibatkan kelainan mutu pada daging seperti DFD, DCB, PSE,
cold shortening dan thaw rigor.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi
karena jenis ternak, individu ternak dan jenis serat.
Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan
pada kondisi pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan
memecahkan protein spesifik otot menjadi fragmen-fragmen yang lebih
kecil dan akibatnya daging menjadi empuk terutama daerah loin dan rib.
Jika aging pascamerta besar peranannya terhadap perubahan-perubahan
protein miofibriler, maka pada protein jaringan ikat (kolagen) hampir tak
berarti.
Hygiene pangan Page 14
Ada perubahan solubilitas dan ikatan silang kolagen (peningkatan
thermolabil) dan yang lainnya menyatakan tidak ada perubahan pada
jaringan ikat intramuskuler selama maturasi
Effektivitas maturasi, dari segi ekonomi dapat dipertimbangkan untuk
menurunkan lama maturasi dari 7-10 hari menjadi 2-6 hari
Hygiene pangan Page 15