Upload
doancong
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUTAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF LUMBUNG PANGAN
Oleh : Ir. Budi Susatijo
A. PENDAHULUAN
1. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih
memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya
melihat hutan sebagai sumber daya potensial saja, melainkan memang merupakan sumber
pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal
mereka.Bahkan ada sebagian masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan
memiliki nilai spiritual.
2. Sebagai sumber pangan, masyarakat sekitar hutan mengelola lahan dengan pola
perladangan (talun) untuk ditanami pohon serta pada lantai hutan ditanami dengan
tanaman pangan (palawija).
3. Sebagai sumber obat-obatan dan energi, masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuh-
tumbuhan liar yang hidup di hutan sebagai bahan obat-obatan dan bahan bakar. Bahan
obat ini mereka peroleh dengan cara pemungutan langsung dari alam baik dengan
kegiatan pengayaan maupun tanpa pengayaan.
4. Begitu pula dalam hal pemenuhan kebutuhan akan sandang, masyarakat sekitar hutan
memiliki teknologi sederhana yang cukup arif dalam memanfaatkan sumber daya hutan
sebagai bahan baku sandang.
5. Dalam perkembangan peradaban selanjutnya, masyarakat tradisional tidak lagi
menggantungkan sumber pangan, pakaian, dan obat-obatan dari hutan secara langsung.
Akan tetapi mereka menjadikan hutan sebagai sumber kegiatan ekonomi. Produk-produk
hasil hutan yang mereka peroleh tidak lagi berorientasi kepada kebutuhan konsumsi
mereka, melainkan juga diperdagangkan sebagai sumber mata pencaharian mereka.
6. Ada sebuah fenomena yang perlu dikoreksi bersama berkaitan dengan peran masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Aktivitas ekonomi masyarakat di dalam hutan yang sudah
merupakan kegiatan turun temurun dan menjadi sumber ketergantungan hidup selalu
dicap sebagai sesuatu yang negatif. Sebutan “liar” selalu dilekatkan kepada kelompok
masyarakat yang sudah terbiasa menggantungkan hidupnya dari mengelola lahan hutan
untuk tanaman pangan dengan berladang.
B. ISUE-ISUE FAKTUAL
a. Adanya kerawanan pangan yang terjadi (akhir-akhir ini) di beberapa daerah di Jawa Barat
b. Kelangkaan energi dan tingkat harga yang relatif mahal ( khususnya minyak tanah )
c. Adanya indikasi meningkatnya penggunaan kayu bakar dan apabila pemanfatannya
berlebihan dikhawatirkan akan berdampak negatif pada kelestarian sumber
d. Masih terdapatnya lahan-lahan produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal
C. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN
1. Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan
Pembangunan kehutanan di Indonesia selama ini ditengarai lebih berorientsi
kepada penerimaan sebesar-besarnya bagi negara dengan prinsip-prinsip kelestarian.
Kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sendiri sebagai “pemilik” relatif terabaikan
dengan digusurnya peran masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Adanya
fenomena bahwa masyarakat sekitar hutan yang selama ini identik dengan kemiskinan
tetap saja pada predikat semula, miskin, adalah bukti yang lebih kongkrit lagi.
Perkembangan tingkat pendidikan yang terjadi tidaklah menampakkan perbedaan yang
berarti antara ada dan tidak adanya kegiatan pengusahaan hutan.
Sebuah paradigma baru dalam pembangunan kehutanan Indonesia menapaki abad
ke-21 membuka harapan baru bagi masyarakat sekitar hutan. Asas pembangunan
kehutana yang berkeadilan dan berkelanjutan, meletakaan masyarakat sebagai subjek
dalam kegiatan pengelolaan hutan secara aktif dan intrasistem.
Orientasi pembangunan kehutanan tidak lagi dititik beratkan pada penerimaan
yang sebesar-besarnya bagi negara, melainkan juga sebagai sumber pendapatan
masyarakat melalui perannya baik secara individu maupun dalam bentuk koperasi.
Demikian pula pengelolaan sumber daya hutan di Jawa Barat kedepan, dituntut
untuk lebih memperhatikan keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi secara
seimbang, sebagai indikator pengelolaansumber daya hutan lestari (sustanable forest
management).
Hal ini disadari karena adanya pergeseran paradigma pengelolaan hutan dari
pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu (timber-based forest management) berbasis
negara (state-based) kepada pengelolaan ekosistem sumber daya hutan untuk
menghasilkan kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan (ecosystem-based forest
management) berbasis masyarakat (community-based).
Disamping itu, tuntutan adanya pergeseran paradigma dan tatakelola
pemerintahan yang baik (good governance) juga menjadi pemicu dan pendorong adanya
pergeeran sistem pengelolaan hutan dari yang sudah dipraktekan sebelum era reformasi
dan desentralisasi pemerintahan.
2. Revitalisasi Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan
Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) adalah komitmen dan
program Kabinet Indonesia Bersatu sebagai salah satu dari triple track strategy
pembangunan nasional yaitu : stabilitas ekonomi makro yang medukung pertumbuhan
ekonomi 6,5 persen per tahun ; pembenahan sektor riil, khususnya UMKM, untuk mampu
menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru ; dan
revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan rakyat
dari kemiskinan. Dengan ketiga strategi ini ditargetkan berkurangnya tingkat kemiskinan
dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan tingkat pengangguran turun dari
9,7% tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009.
RPPK merupakan kebijakan yang bersifat lintas sektoral dengan komitmen penuh
para pimpinan negara untuk membangun pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dengan
demikian, RPPK merupakan suatu momentum yang penting dalam merumuskan dan
melaksanakan usaha pembangunan pertanian secara lebih terarah, fokus dan
berkesinambungan.
Selama kurun waktu lima tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
diharapkan pertumbuhan sektor pertanian dapat mencapai 3,3% per tahun.
Tingkat pertumbuhan ini didukung oleh pertumbuhan sektor tanaman pangan 0,89
persen , hortikultura 3,38 persen, perkebunan 6,27 persen, dan peternakan 4,37 persen.
Khusus untuk sektor kehutanan, untuk mendukung pencapaian pertumbuhan
ekonomi, maka dilakukan kegiatan :
a. Penyiapan prakondisi bagi unit pengelolaan
b. Pembinaan kelembagaan usaha pemanfaatan huan alam
c. Pembinaan dan penertiban industri hasil hutan
d. Optimalisasi PNBP dan dana reboisasi
e. Pengembangan hutan tanaman
f. Pengembangan dan pemasaran serta pengendalian peredaran hasil hutan
g. Pengembangan hasil hutan non kayu
h. Perencanaan dan pengembangan hutan kemasyarakatan
i. Pengembangan usaha kehutanan rakyat
3. Amanat Presiden pada RAKERNAS DEPHUT Tahun 2008
Presiden SBY membuka Rkernas Departemen Kehutanan 2008 yang
diselenggarakan di Istana Negara pada Kamis tanggal 27 Maret 2008. Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) Departemen Kehutanan Tahun 2008 mengambil tema “
Membangun Kesepahaman dan Keterpaduan Langkah dalam Rangka Pembangunan
Sektor Kehutanan “ ini bertepatan dengan peringantan seperempat abad Dephut. Presiden
SBY mengajak masyarakat untuk merenungkan dalam hati dan pikiran tentang betapa
penting dan strategisnya sektor kehutanan. “ Hutan adalah sumber kehidupan. Sumber
daya hutan apabila dikelola dengan benar akan memberikan sumbangan bagi ekonomi
dan kesejahteraan rakyat.”
Dalam kesempatan tersebut Presiden SBY memberikan 9 (sembilan) instruksi dan
ajakan kepada jajaran kehutanan dan masyarakat luas. Instruksi dan ajakan tersebut
adalah :
a. Pembangunan sumber daya hutan yang memberikan manfaat nyata kepada negara dan
rakyat
b. Ekonomi Lingkungan
c. Kelestarian sumber air
d. Pencegahan banjir dan tanah longsor
e. Pencegahan kebakaran hutan
f. Pemberantasan kejahatan kehutanan
g. Good governance
h. Membantu Rakyat di dalam dan sekitar area hutan
i. Penghijauan
D. KETAHANAN PANGAN
Pangan merupakan sebuah kebutuhan utama bagi kehidupan manusia dan
ketersediaan pangan menjadi sebuah isu penting di negeri yang telah berswaswmbada pada
dekade lalu.
Beberapa kondisi negatif, khususnya terkait dengan pangan yang terjadi di Indonesia,
diantaranya :
1. Kerawanan pangan pernah dan sedang terjadi di berbagai wilayah.
2. Hilangnya budaya bertani di tingkat komunitas lokal yang terjadi akibat gesekan budaya
dan tekanan kebutuhan hidup.
3. Sistem ketahan pangan lokal yang selama ini menjadi sebuah penyangga sistem
berkehidupan, secara perlahan berganti dengan keinginan konsumtif.
Ketahanan pangan sebenarnya merupakan amanat UU No. 7 /1996 tentang Pangan,
yang diperkuat dengan PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Dijelaskan bahwa untuk
mewujudkan penyediaan pangan pemerintah harus: (a) mengembangkan sistem produksi
pangan yang berumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal; (b)
mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; (c) mengembangkan teknologi produksi
pangan ; (d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan, serta ; (e)
mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif.
Berdasarkan KEPPRES No. 132/2001, dibentuk Dewan Ketahanan Pangan yang
bertugas untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan di bidang ketahanan
pangan nasional, yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi,
dan keamanan pangan; serta melaksanakan evaluasi dan penegndalian pemantapan ketahanan
pangan nasional.
Lembaga koordinasi fungsional Dewan Ketahanan Pangan yang telah dibentuk di 30
provinsi berfungsi memfasilitasi pemerintah daerah agar memiliki kapasitas dalam
menangkap aspirasi masyarakat serta memfasilitasi masyarakat agar mampu
mengembangkan perannya secara maksimal dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Pada saat ini sangat diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat secara
lebih intensif, sinergis dan transparan sesuai dengan tanggung jawab da kemampuannya
masing-masing.
Pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota, seyogyanya harus dapat lebih tegas
untuk memahami tentang lahan produktif rakyat, yang selama ini menjadi sumber pangan
bagi komunitas lokal termasuk hingga di tingkat kecamatan dan kabupaten. Hal utama dan
penting dilakukan adalah untuk tetap mempertahankan keberadaan lahan produktif rakyat.
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka ketahanan pangan harusnya
sudah menjadi bagian yang penting di negeri ini. Semakin sempitnya lahan untuk bertani dan
berladang, hilangnya benih tanaman pangan lokal, harus menjadi fokus perhatian yang utama
serta menjadi hal yang apenting bagi pemerintah, juga bagi kelompok masyarakat lainnya.
Untuk tetap bisa melindungi dan membangkitkan kembali sistem ketahanan pangan
lokal, harus masuk dalam agenda penting dan uatama pembangunan, baik di tingkat provinsi
maupun di tingkat kabupaten dan ota.
Pemerintah Provinsi beserta pemerintah kabupaten – kota sudah saatnya harus
mengarahkan kerangka berpikirnya pada pemenuhan kebutuhan lokal, tidak sekedar
mengejar target angka pertumbuhan semata. Pemerintah juga harus melahirkan kebijakan
untuk melindungi kawasan produktif rakyat , utamanya lahan pertanian ( perladangan ), serta
lahan cadangan pangan dan kawasan budaya-religi lokal, supaya komunitas lokal akan tetap
mampu bertahan.
E. KONSEP HUTAN CADANGAN PANGAN
Pengembangan Hutan Cadangan Pangan menganut kaidh kelestarian dimana
pelaksanannya harus memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem, lengkap dengan
keaneka ragaman hayati yang dikandungnya.
Kegiatan yang dikembangkan tidak merombak hutan, namun diarahkan pada upaya
optimalisasi ruang melalui perbaikan struktur dan komposisi hutan.
Dengan demikian kegiatan yang dikembangakan adalah :
1. Pemanfaatan Lahan Bawah Tegakan Hutan
2. Intensifikasi Tumpangsari
3. Pengkayaan jenis.
Pengembangan Hutan Cadangan Pangan lebih diarahkan pada pengkayaan jenis, yaitu
kegiatan menanam pohon penghasil bahan pangan disamping tanaman pokok kehutanan,
sehingga areal hutan tersebut kaya dengan berbagai jenis tanaman, menghasilkan bahan
pangan. Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan dalam kegiatan gerakan hutan
cadangan pangan antara lain sukun, nangka, aren, dan jenis MPTS lainnya, sehingga
kegiatan usaha yang dapat dilakukan adalah pemungutan hasil hutan berupa buah.
Manfaat dari “Hutan Cadangan Pangan” adalah pelestarian hutan dapat dijaga ,
sumber-sumber air terpelihara, memunculkan sumber air baru, dan lahan kritis di sekitar
hutan pun lama-lama dihijaukan dan dijadikan hutan baru.
F. RENCANA AKSI
1. Agro-forestry
Disamping tanaman pokok kehutanan, juga dilakukan budidaya komoditi penghasil
bahan pangan sehingga areal hutan tersebut kaya dnegan berbagai jenis tanaman (sumber
karbohidrat)
2. Silvo-fishery
Disamping tanaman pokok kehutanan ( khususnya pada areal hutan mangrove) juga
dilakukan budidaya ikan serta komoditi pengairan lainnya sebagai sumber protein
hewani.
3. Silvo-pasture
Pemanfaatan hutan dengan penanaman dan pengkayaan rumput dan/ hijauan makanan
ternak sebagai upaya dalam rangka pemenuhan sumber protein hewani.
Diharapkan konsepsi ini dapat mempertumukan semua kepentingan tersebut
(kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumber daya hutan dan kelestarian fungsi hutan)
merupakan pendekatan yang diaharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam
kegiatan pengelolaan hutan.
Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola manajemen lahan hutan
yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan
hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis
maupun meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan scara ekologis mampu menjamin
kelestarian fungsi hutan.
G. SASARAN LOKASI
1. Lahan-lahan masyarakat
Pada lahan-lahan masyarakat yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, (tetap
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi), diharapkan masih dapat dioptimalkan untuk
pemenuhan cadangan pangan lokal.
2. Kawasan hutan
Pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi (dengan tetpa mengacu pada ketentuan
yang berlaku) masih dapat dimanfaatkan dengan tidak merusak serta merubah status dan
fungsinya.
H. PENYEDIAAN PANGAN PADA AREAL HUTAN
1. Pada kawasan hutan
Pada kawasan hutan yang dikelola oleh PERUM PERHUTANI, khususnya
melalui pola PHBM selama ini telah memberikan kontribusi dalam hal penyediaan
pangan (antara lain : beras, jagung, umbi-umbian, kedele dan hasil perikanan dari
empang parit di hutan mangrove).
PERUM PERHUTANI secara nasional, bahwa untuk cadangan pangan tahun
2008 menargetkan kontribusi sebanyak 2,6 juta ton, atau naik dari tahun sebelumnya
yaitu 1,4 juta ton.
PERUM PERHUTANI berkepentingan meningkatkan kemampuan menambah
cadangan pangan mengingat kondisi pangan nasinal tengah dalam masa kritis seperti
yang diperingantkan Badan Pangan Dunia (FAO).
Pada tahun 2007 dari luasan areal 201 ribu hektar, PERUM PERHUTANI bisa
memberikan kontribusi cadangan pangan 1,4 juta ton atau senilai Rp. 1,45 triliun dan
pada tahun 2008, melalui pla tumpang sari dengan luasan areal 430 ribu hektare yang
bisa menghasilkan tanaman pangan seperti kacang-kacangan,jagung dan ubi-ubian
sebanyak 2,6 juta ton.
2. Pada areal lahan masyarakat
Pemanfaatan lahan-lahan masyarakat ( hutan hak), sebenarnya sejak lama telah
dapat memberikan kontribusi dalama hal penyediaan pangan, hanya saja masih kesulitan
untuk menghimpun data besaran kontribusi dimaksud.
Kegiatan di sektor kehutanan Jawa Barat pada lahan-lahan masyarakat ini telah
diupayakan dengan berbagai kegiatan, diantaranya dalam bentuk : hutan rakyat/hutan
kemayarakatan, aneka usaha kehutanan yang dapat menghasilkan :
a. Tanaman pangan 9beras, jagung, umbi-umbian, kedele)
b. Buah-buahan dari hasil tanaman produktif/MPTS
c. Pakan ternak untuk mendukung usaha peternakan
d. Jamur dan madu
e. Produksi dari empang parit ( bandeng, udang, dll)
I. KOORDINASI DAN INTEGRASI PROGRAM
Peran aktif dan koordinasi yang sinergis bagi seluruh sektor dan bidang dalam
pemerintahan, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, sampai Pemerintah Desa beserta masyarakat, merupakan prasyarat utama
untuk mewujudkan keberhasilan program, khususnya dalam rangka mendukung ketahanan
pangan.
J. STRATEGI
1. Sosialisasi dan penyiapan pra-kondisi
Sosialisasi diperlukan agara diperoleh persamaan persepsi, khususnya dalam rangka
optimalisasi ketersediaan/ alternatif pilihan pangan bagi masyarakat.
2. Pendampingan dan penyuluhan
Diperlukan tenaga-tenaga teknis/ penyuluhan untuk mendorong motivasi masyarakat
dalam rangka pemenuhan pangan yang berkelanjutan untuk kehidupan keluarga di
pedesaan, khususnya masyarakat sekitar hutan.
3. Penyiapan/penguatan kelembagaan masyarakat
Penguatan kapasitas masyarakat desa untuk membuat kebijakan dan strategi penyediaan
pangan desa.
4. Pengelolaan sumber daya
Memetakan dan menata ulang sistem pengelolaan sumber daya desa seperti tanah, air dan
aset desa serta meningkatkan akses seluruh masyarakat desa; khususnya bagi keluarga-
keluarga miskin dan rawan pangan.
5. Pengembangan sistem pertanian berkelanjutan
Memperkuat pengetahuan dan praktek pertanian, agar dapat berkembang secara
berkelanjutan dengan aneka tanaman pangan lokal.
6. Pengembangan infrastruktur
Meningkatkan keswadayaan dan gotong royong warga desa dalam mengembangkan dan
memlihara infrastruktru yang mendukung sistem pangan desa seperti jalan, bangunan
lumbung, pasar desa, dan sebagainya.
7. Menjamin hak atas pangan bagi warga rawan pangan
Mengembangan sistem jaminan pangan bagi warga desa yang rawan pangan seperti
keluarga miskin, manula agar dapat memperoleh pangan dalam cukup, bergizi dan aman
sepanjang waktu.
8. Pengembangan sistem cadangan pangan desa
Mengembangkan sistem cadangan pangan yang dapat mejamin terpenuhinya pangan
seluruh warga desa dalam jumlah yang cukup dan sepanjang waktu, terutama untuk
mengantisipasi musim paceklik atau bencana alam lainnya baik melalui lmbung pangan
maupun budidaya tanaman cadangan pangan.
9. Mendorong pasar pangan lokal
Memprioritaskan pemasaran produksi pangan desa untuk pemenuhan kebutuhan pangan
desanya sendiri dan warga di sekitar desa melalui pengembanga pemasaran lokal baik
secara kolektiif maupun dengan melibatkan pedagang des serta kemungkinan untuk
menerapkan kebijakan kuota dan pajak untuk melinungi dan mendukung usaha tani desa.
Sumber : Majalah Surili
Vol.45/No.2/TH.2008