Upload
amanda-hall
View
15
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Critique of a Master's Thesis in Literary Studies at Universitas Gadjah Mada in Yogyakarta, Indonesia (bahasa Indonesia)
Citation preview
Tesis Esensi Puisi Bagi Iman Budhi Santosa: Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl oleh
Joko Santoso terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengulas beberapa poin dari gagasan filsuf
Edmund Husserl, biasanya dianggap sebagai pendiri aliran fenomenologi dalam filsafat kontinental.
Bagian kedua menganalisis berbagai sumber, terutama wawancara, dalam mencari 'esensi puisi' bagi
Iman Budhi Santosa, seorang penyair Yogyakarta. Anehnya, ketika sudah masuk ke bagian kedua,
terminologi Husserl serta rujukan kepada gagasannya sudah tidak terdapat lagi. Diskusi atas filsafat
Husserl di bagian pertama tidak mengandung kekeliruan besar, tetapi pendekatan fenomenologis
tetap tidak ada; penelitian yang dipersembahkan di bagian kedua merupakan kesarjanaan sastra
tradisional, yaitu, memakai ucapan dan riwayat hidup seorang penulis untuk mengkonstruksi
poeticsnya. Tidak ada pendekatan Husserlian di bagian kedua karena penulis tesis memilih objek
yang tidak sesuai dengan pendekatan itu; sebenarnya, 'esensi puisi bagi Iman Budhi Santosa'
merupakan objek yang tidak mungkin dicapai dengan fenomenologi Husserl. Pilihan Mas Joko yang
keliru berasal dari beberapa kesalahpahaman besar tentang gagasan Husserl, secara khusus terkait
konsep esensi dan reduksi transendental/fenomenologis. Analisinya atas rinci-rinci kecil Husserl
rata-rata benar, tetapi dia gagal menjalinnya secara menyeluruh, yaitu, pada tataran paragidma
filosofisnya.
Apabila kita ingin memahami gagasan Husserl, kita harus bermula dengan titik tolaknya. Misi
Husserl semula adalah memberikan landasan yang kokoh kepada ilmu pengetahuan. Dalam
pengantar Penyeledikan Logis, dia mencirikan ilmu fisika saat itu sebagai "fisika naif-positif [yang]
berjalan dengan teknik yang dilaksanakan secara naif" (Husserl 114). Fisika bersifat naif karena tidak
mempertimbangkan suatu filsafat yang menjembatani fakta empiris yang ditemukan melalui
eksperimentasi dengan logika sebagai suatu sistem yang terdiri dari kebenaran-kebenaran ideal
(Moran 103). Apa yang dibutuhkan adalah suatu 'ilmu tanpa pengandaian' yang tidak bergantung
kepada ilmu lain apapun untuk penemuannya. Ilmu itu bernama fenomenologi dan bermula dengan
kesadaran kita, atau lebih tepat, kesadaran saya. Hanya fenomenologi yang bisa menyelesaikan "teka-
teki besar yang ... timbul dari korelasi antara ada dengan kesadaran", yang mengajarkan kepada ilmu
lain "rumusan makna konsep dan dalil" (Husserl 114). Husserl sering memakai istilah esensi dan
intuisi, dan demikian banyak orang awam menafsirkannya sebagai seorang mistik atau penganut
Platon. Dia menolak pengandaian itu dengan keras: "filsafat bukan ilmu kebatinan yang bersifat
spekulatif dan tidak relevan melainkan radikalisasi terakhir atas ilmu pengetahuan yang rigorous
(ketat)" (ibid). Intuisi bagi Husserl bukan suatu pengetahuan gaib yang berasal dari koneksi batin
dengan objek melainkan pengetahuan yang kebenarannya nyata secara langsung; misalnya, saya
1
tahu secara intuitif bahwa 2 + 2 = 4 atau bahwa saya sedang duduk di depan meja di kamar kost saya
sedang mengetik tugas ini (Carr 10).
Suatu ilmu tanpa pengandaian harus bertolak dari subjektivitas saya sendiri. David Carr
menunjukkan betapa penting peran perspektif orang pertama tunggal bagi Husserl (Carr 75-77);
sejak Descartes, Husserl yang paling konsisten menggunakan kata ganti 'saya' dalam berfilsafat.
Kalau saya bermula dengan pengalaman saya sendiri, esensi apa yang bisa saya temukan? Jelas
bahwa bukan esensi objek yang selalu, setidaknya sebagai suatu keseluruhan, akan luput dari
pencerapan saya karena saya selalu mengalami objek dari satu perspektif tertentu. Kalau kita
memakai contoh persepsi visual, saya tidak bisa memandang laptop ini sekaligus dari depan dan dari
belakang. Salah satu dari arti 'transendental' dalam 'idealisme transendental' Husserl adalah justru
fakta ini, bahwa dunia saya selalu melampaui pencerapan saya; arti lain adalah subjektivitas atau ego
saya bersifat transendental sejauh kesadaran saya melampaui diri sendiri dalam keterarahan kepada
objek (106). Himbauan Husserl yang terkenal, zu den Sachen selbst, 'kembali kepada hal sendiri',
sering disalahpahami sebagai pengembalian kepada semacam empirisisme yang akan menangkap das
Ding an sich, hal atau benda itu sendiri. Sebenarnya, Sachen yang dirujuk Husserl, apa yang terberi
bagi saya secara intuitif, bukan benda melainkan struktur kesadaran saya sendiri sebagai
Bedeutungsintentionen, tujuan-terhadap-makna (Moran 108). 'Esensi' yang terungkap secara
fenomenologis bukan esensi meja atau esensi buku melainkan stuktur a priori subjektivitas saya (78).
Hanya dengan pelontaran struktur a priori ini bisa saya berjalan dari pengalaman saya kepada
kebenaran yang bersifat universal.
Teknik fenomenologis adalah reduksi, terutama reduksi transendental atau reduksi
fenomenologis, juga dikasih nama epoché. Reduksi ini bukan semacam proses intelektual seperti
dialektika atau dekonstruksi; dia merupakan proses aktif yang menyerupai meditasi. Dalam reduksi,
saya mengurungkan semua pengandaian saya tentang apa yang sedang saya alami. Pengurungan ini
mempunyai dua 'arah', yang terhadap objek (selalu ada objek karena kesadaran kita terarah secara
inheren; kesadaran selalu merupakan kesadaran-akan) dan yang terhadap subjek. Terhadap objek,
saya mengurungkan semua pengandaian dan kepastian saya tentang objek itu, termasuk identitas
objek itu (objek itu apa) dan adanya objek itu pada kenyataan (apa objek itu ada). Terhadap subjek,
yaitu, terhadap saya sendiri, saya mengurungkan keseluruhan 'ego empiris' saya, yaitu, kedirian
sehari-hari dengan semua perasaan, ingatan, dan sifat psikologisnya. Satu hal yang harus ditekankan
adalah bahwa pengurungan ini tidak merupakan penyangkalan; saya 'menunda' kepercayaan saya
terhadap dunia sementara sebagai praktis reflektif. (Cogan, tanpa halaman) Hanya dengan praktis ini
2
bisa saya bebas dari semua prasangka saya yang mengkonstitusikan 'sikap alamiah' sehari-hari saya.
Apa yang muncul dalam reduksi adalah ego transendental saya yang berbeda dengan ego empiris
(152). Ego transendental Husserl, seperti ego transendental Kant, merupakan kondisi niscaya untuk
pengalaman, tetapi ada perbedaan penting. Bagi Kant, ego transendental merupakan keniscayaan
logis: fakta bahwa pengalaman saya bersatu dan melangsung berarti ada suatu fakultas yang
menyintesakan representasi saya menjadi suatu persatuan (Carr 58). Konsepsi Husserl lebih luas lagi;
ego transendental mengkonstitusikan dunia bagi kita, tetapi Husserl bahkan mengatakan bahwa ego
transendentalnya akan terus bertahan sesudah dia meninggal (Moran 169).
Kita tidak perlu mempertimbangkan semua implikasi dari konsep semi-mistis ini; hal yang
penting adalah bahwa Husserl menetapkan suatu prosedur yang sangat jelas untuk mendapatkan
pengetahuan yang pasti: melakukan reduksi sebagai suatu praktek meditatif, kemudian menyadari
esensi sebagai tujuan-terhadap-makna, yaitu, suatu struktur dari subjektivitas saya sendiri, bukan
sebagai esensi suatu objek, apalagi das Ding an sich. Kalau reduksi dilakukan dengan tepat, apa yang
akan tersingkap merupakan suatu yang universal bagi semua subjek sejauh merupakan bagian a
priori dari kemampuan kita mempunyai pengalaman terlebih dahulu. Bagi Husserl, ada arus sangat
jelas yang mengalir dari pengalaman 'subjektif' saya dalam reduksi kepada esensi atau kebenaran
universal. Berdasarkan ringkasan ini, kita bisa menyatakan kekeliruan fatal Joko Santosa: pertama,
dia menganggap 'puisi' sebagai suatu yang esensinya dapat ditemukan melalui fenomenologi Huserl,
yaitu, melalui reduksi; kedua, seandainya kita mengakui kemungkinan hal pertama itu, dia
menganggap reduksi transendental sebagai suatu yang bisa dilakukan secara intelektual atau teoretis
i tanpa pelaksanaan praktis; ketiga, seandainya kita mengakui kemungkinan pelaksanaan reduksi
'secara teoretis' itu, dia tetap ingin memakai reduksinya, tidak untuk menemukan esensi puisi pada
umumnya berdasarkan intuisinya langsung tetapi sebagaimana dimengerti secara subjektif oleh
orang lain sebagamana diucapkan dalam wawancara, kendati sudah jelas bahwa fenomenologi,
khusunya fenomenologi Husserl, membatasi kita dengan pengalaman orang pertama tunggal. Joko
Santosa salah memahami gagasan Husserl secara sangat dasar, lalu tesisnya tercela sampai pada akar.
Tesis ini, seandainya berjudul Puisi menurut Iman Budi Santoso dan hanya tediri dari bagian
keduanya, akan merupakan sebuah kesarjanaan yang sederhana dan tepat. Ambisi yang terlalu tinggi
menyebabkan kegagalannya.
3
DAFTAR PUSTAKA
Carr, David. The Paradox of Subjectivity: the Self in the Transcendental Tradition. Oxford UP, 1999.
Cogan, John. "The Phenomenological Reduction". Internet Encyclopedia of Philosophy. Web. 12 Jan. 2015.
Husserl, Edmund. "from Introduction to the Logical Investigations". Continental Philosophy of Science. Ed. Gary Gutting. 113-115. Malden, MA: Blackwell, 2005.
Moran, Dermot. Introduction to Phenomenology. New York: Routledge, 2002.
Santoso, Joko. Esensi Puisi Bagi Iman Budi Santoso: Pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl. Program S2 Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. 2013.
4