318

HUKUM PERUNDANG

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUKUM PERUNDANG
Page 2: HUKUM PERUNDANG

HUKUM PERUNDANG - UNDANGAN

Tim Penyusun :

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.

I Nengah Suantra, S.H., M.H.

Made Nurmawati, S.H., M.H.

Dr. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.

Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.

Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.

Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.

PROGAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

2018

Page 3: HUKUM PERUNDANG

Judul: Hukum Perundang-undangan

ISBN: 978-602-5891-18-2

Penyusun:

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.Hum.

I Nengah Suantra, S.H., M.H.

Made Nurmawati, S.H., M.H.

Dr. Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.

Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.

Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.

Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.

Editor: Fungky

Design Cover: Haqi

Cetakan Pertama, Oktober 2018

Diterbitkan Oleh:

Uwais Inspirasi Indonesia

Ds. Sidoarjo, Kec. Pulung, Kab. Ponorogo

Email: [email protected]

Telp: 0352-571 892

WA: 0895-2366-1093/0823-3033-5859

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta,

sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113 (1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana

dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta

melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat

(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak

melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat

(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).

Page 4: HUKUM PERUNDANG

iii

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan

Yang Maha Esa, atas anugrah dan karunia-NYA telah dipublikasikan

dan diterbitkan Buku Hukum Perundang-undangan, sebagai Buku

Ajar untuk Mata Kuliah Hukum Perundang-undangan pada Fakultas

Hukum Universitas Udayana. Kami menyambut baik terbitnya Buku

Ajar ini, semoga buku ini bermanfaat tidak hanya bagi para

mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana, namun juga

dipergunakan sebagai bahan referensi bagi para peneliti, maupun

praktisi yang menekuni perkembangan Hukum Perundang-undangan.

Dengan terbitnya Buku Ajar Hukum Perundang-undangan

ini, maka bertambah pula koleksi buku yang disusun oleh para dosen

dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, perkembangan tersebut

tentu sangat menggembirakan dan kami menyambut dengan baik.

Buku ini memuat kajian-kajian secara komprehensif berkaitan dengan

Hukum Perundang-undangan dalam perspektif norma hukum dalam

peraturan perundang-undangan, sumber kewenangan perundang-

undangan, sejarah perundang-undangan, dasar-dasar pembentukan

peraturan perundang-undangan, jenis dan materi muatan peraturan

perundang-undangan, serta proses pembuatan peraturan perundang-

undangan.

Akhirnya, terimakasih kepada para penulis buku ajar ini, dan

juga terima kasih kepada Unit Penjaminan Mutu Fakultas Hukum

Universitas Udayana yang telah mengkoordinasikan penulisan buku

ajar dalam tahun anggaran 2017. Semoga Tuhan Yang Maha Esa

membalas segala jerih payah dalam usaha menyusun buku ajar ini.

Page 5: HUKUM PERUNDANG

iv

Kami mengucapkan selamat atas telah terbitnya Buku Ajar

Hukum Perundang-undangan ini semoga bermanfaat, baik secara

teoritis maupun praktis. Semoga para penulis terus berkarya dan

melahirkan ciptaan-ciptaan buku lainnya untuk menambah khasanah

ilmu pengetahuan hukum.

Denpasar, 15 Juli 2018

Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.Hum.

NIP. 19650221 199003 1 005

Page 6: HUKUM PERUNDANG

v

PRAKATA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang

Hyang Widi Wasa, atas berkat dan anugerah-Nya, pada akhirnya

Buku Ajar Hukum Perundang-undangan dapat diselesaikan. Buku ini

disusun sebagai bahan referensi dalam proses pembelajaran Hukum

Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Buku

Ajar Hukum Perundang-undangan membahas perundang-undangan

dalam perspektif norma hukum dalam peraturan perundang-

undangan, sumber kewenangan perundang-undangan, sejarah

perundang-undangan, dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-

undangan, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan,

serta proses pembuatan peraturan perundang-undangan mendapat

ruang dalam buku sederhana ini.

Diharapkan keberadaan buku ini bermanfaat bagi

perkembangan khasanah hukum di bidang Hukum Perundang-

undangan, khususnya bagi mahasiswa yang menempuh Mata Kuliah

Hukum Perundang-undangan, para peneliti serta para pengajar

Hukum Perundang-undangan.

Buku ini masih sangat sederhana, tentunya diharapkan saran-

saran dalam rangka penyempurnaannya. Buku ini berhasil terbit

selain atas kerja keras Tim Penyusun, juga mendapat dukungan baik

moril maupun material dari Dekan Fakultas Hukum Universitas

Udayana serta Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Udayana tahun 2017, untuk itu disampaikan terima kasih.

Denpasar, 15 Juli 2018

Tim Penyusun

Page 7: HUKUM PERUNDANG

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dari Ilmu Perundang-undangan ke

Hukum Perundang-undangan --------------------------- 19

Gambar 2. Pengertian Hukum Perundang-undangan ------------ 25

Gambar 3. Cakupan Perundang-Undangan ------------------------ 30

Gambar 4. Obyek Kajian Hukum Perundang-undangan -------- 35

Gambar 5. Pilihan Metode Kajian Hukum

Perundang-undangan ------------------------------------- 49

Gambar 6. Tata susunan norma hukum:

perbandingan tata susuan norma hukum

menurut Hans Nawiasky dan

UU No.12 Tahun 2011 ----------------------------------- 161

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat

dalam Black s Law Dictionary --------------------------- 97

Tabel 2. Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut

R.J.H.M. Huisman --------------------------------------------- 110

Tabel 3. Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut

Philipus M. Hadjon ------------------------------------------- 111

Tabel 4. Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan ----------------------- 112

Tabel 5. Perbandingan Jenis Peraturan

Perundang-undangan menurut :TAP MPRS

XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000,

UU 10/2004 dan UU 12/2011 ------------------------------- 192

Tabel 6. Konsep batal demi hukum dan dapat

Dibatalkan ------------------------------------------------------- 196

Tabel 7. Konsep dibatalkan dan dapat dibatalkan ------------------ 197

Page 8: HUKUM PERUNDANG

vii

DAFTAR KOTAK

Kotak 1. Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Perundang-undangan -------- 56

Kotak 2. Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek Hak Uji Materiil Tapi dalam perkara lain, pernah

dinyatakan sebagai objek HUM karena isinya

bersifat regeling. -------------------------------------------- 58

Kotak 3. Asas Kesesuaian antara Jenis, Hirarki, dan

Materi Muatan ----------------------------------------------- 194

Kotak 4. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk

yang Tepat --------------------------------------------------- 195

Kotak 5. Materi Muatan yang Harus Diatur dengan

Undang-Undang --------------------------------------------- 222

Kotak 6. Materi Muatan Pengaturan Lebih Lanjut

Mengenai Ketentuan UUD 1945 ------------------------ 224

Page 9: HUKUM PERUNDANG

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………....... iii

PRAKATA ………….…………………………………............... v

DAFTAR GAMBAR ...……………………………………......... vi

DAFTAR TABEL ...……………………………………….......... vi

DAFTAR KOTAK ...………………………………………........ vii

DAFTAR ISI ………………………………………………......... viii

IDENTITAS MATA KULIAH ……………………………......... 1

DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN.………………....... 1

CAPAIAN PEMBELAJARAN ……………………………......... 1

MANFAAT MATA KULIAH …………………………….......... 2

PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH .………........ 2

ORGANISASI MATERI ………………………………….......... 2

METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES

PEMBELAJARAN …………………………………………........

4

TUGAS – TUGAS ………………..………………………......... 5

UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN .……………………............. 5

BAHAN BACAAN …………………………………….............. 7

JADWAL PERKULIAHAN ………………………………......... 9

PERTEMUAN I KULIAH KESATU : PEMAHAMAN DASAR

HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN .………........................

12

1.1. Pendahuluan ………………………………........... 1.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …....... 1.3. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-

Undangan Ke Hukum Perundang-Undangan..….....

1.4. Hukum Perundang-Undangan: Pengaturan dan

Disiplin Ilmu Hukum ……………......................... 1.5. Perundang-Undangan: Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dan Peraturan Perundang-

Undangan ...............................................................

1.6. Obyek Kajian Hukum Perundang - undangan ........

1.7. Metode kajian hukum perundang-undangan............

12

12

13

19

26

30

35

Page 10: HUKUM PERUNDANG

ix

1.8. Penutup.....................................................................

1.9. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ………………

49

51

PERTEMUAN II TUTORIAL I: PEMAHAMAN DASAR

HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN ………………….........

56

2.1. Pendahuluan ………………………………………. 2.2. Penyajian Materi ………………………………….. 2.3. Penutup ……..…………………………………….. 2.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ….………….

56

56

60

61

PERTEMUAN III KULIAH KEDUA: NORMA HUKUM

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN .........

62

3.1. Pendahuluan …………………..…………………

3.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .……

3.3. Pengertian Norma Hukum ……………………….. 3.4. Asas Hukum, Norma Hukum dan Aturan Hukum..

3.5. Jenis Norma Hukum …………………………….. 3.6. Sifat Norma Hukum ……………………………..

3.7. Struktur Norma Hukum Dalam Hukum …………

3.8. Metode Perumusan Norma Hukum Dalam Aturan

Hukum ………………………………………….. 3.9. Penutup …………………….................................. 3.10. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan ……...............

62

62

63

64

69

74

75

79

82

83

PERTEMUAN IV TUTORIAL II: NORMA HUKUM DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ...........................

85

4.1. Pendahuluan ……………………………….......... 4.2. Penyajian Materi …………………………………

4.3. Penutup …………………………......................... 4.4. Bahan Bacaan ……………………………………

85

85

86

87

PERTEMUAN V KULIAH KETIGA: SUMBER

KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN …………….

89

5.1. Pendahuluan ………………………………........ 5.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .…

5.3. Pengertian sumber kewenangan ………………. 5.4. Kewenangan Atribusi dan Delegasi ……………

89

89

89

94

Page 11: HUKUM PERUNDANG

x

5.5. Perbedaan sumber kewenangan Perundang -

undangan dengan sumber kewenangan

pemerintahan ….................................................

5.6. Penutup ……………………………………….. 5.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan …………

106

118

119

PERTEMUAN VI TUTORIAL III: SUMBER KEWENANGAN

PERUNDANG-UNDANGAN ……........................................

122

6.1. Pendahuluan ……………………………………

6.2. Penyajian Materi ………………………………. 6.3. Penutup ………………………………………... 6.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan.......……….

122

122

123

123

PERTEMUAN VII KULIAH KEEMPAT: SEJARAH

PERUNDANG-UNDANGAN

124

7.1. Pendahuluan ……………………………………

7.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …. 7.3. Periode Kolonial ………………………………. 7.4. Periode awal Berlakunya UUD 1945 …………. 7.5. Periode Berlakunya Konstitusi RIS ………….. 7.6. Periode Berlakunya UUDS 1950 ………………

7.7. Era Demokrasi Terpimpin ……………………. 7.8. Era Demokrasi Pancasila …….......................... 7.9. Periode Reformasi ……………………………. 7.10. Penutup …………………………..................... 7.11. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan …………..

124

124

125

125

129

130

130

131

138

153

154

PERTEMUAN VIII UJIAN TENGAH SEMESTER …........ 156

PERTEMUAN IX TUTORIAL IV: SEJARAH PERUNDANG-

UNDANGAN …...................................................................... 157

9.1. Pendahuluan ………........................................... 9.2. Penyajian Materi ……………………………….

9.3. Penutup ……………........................................... 9.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan …................

157

157

157

158

Page 12: HUKUM PERUNDANG

xi

PERTEMUAN X KULIAH KELIMA: DASAR DASAR

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN ………………………………………………........

159

10.1. Pendahuluan …………............................................ 10.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian …......

10.3. Kedudukan Pancasila dalam Peraturan Perundang-

undangan …………………………........................ 10.4. Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-

undangan …………................................................ 10.5. Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-

undangan ……………………………………….....

10.6. Penutup ………………………………………........ 10.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan …………….....

159

159

159

161

164

169

171

PERTEMUAN XI TUTORIAL V: DASAR DASAR

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN ………………………………………………........

172

11.1. Pendahuluan ……………………………………....

11.2. Penyajian Materi ………………………………..... 11.3. Penutup ……………………….............................. 11.4. Bahan Bacaan …………………………………......

172

172

174

174

PERTEMUAN XII KULIAH KEENAM: JENIS, FUNGSI DAN

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN ………………………………...............................

175

12.1. Pendahuluan ………………………….................. 12.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian .........

12.3. Jenis Peraturan Perundang-undangan ……….........

12.4. Fungsi Peraturan Perundang-undangan...................

12.5. Materi muatan Peraturan Perundang- undangan......

12.6. Penutup ……………………………………............

12.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan …………........

175

176

177

204

215

237

239

PERTEMUAN XIII TUTORIAL VI: JENIS, FUNGSI DAN

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN ………………………………………………........

241

Page 13: HUKUM PERUNDANG

xii

13.1. Pendahuluan ……………………………………....... 13.2. Penyajian Materi ………………………………........ 13.3. Penutup ………………………………………….......

13.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ……………......

241

241

242

242

PERTEMUAN XIV KULIAH KETUJUH: PROSES

PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN....

243

14.1. Pendahuluan ……………………………………....... 14.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian ….........

14.3. Proses Pembuatan Undang-Undang ……………...... 14.4. Proses Pembuatan Perppu, PP dan Perpres ……....... 14.5. Proses Pembentukan Perda ……………………........ 14.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan

Perundang-undangan …………............................... 14.7. Penutup …………………………………………......

14.8. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan …………….......

244

244

244

286

289

297

299

300

PERTEMUAN XV TUTORIAL VII: PROSES PEMBUATAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.............................

302

15.1. Pendahuluan …………………………………........ 15.2. Penyajian Materi ………………………………......

15.3. Penutup ………………………………………........

15.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan ………..........

302

302

303

304

PERTEMUAN XVI UJIAN AKHIR SEMESTER ….................. 305

Page 14: HUKUM PERUNDANG

1

IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Perundang-Undangan

Kode Mata KuIiah : BII 4233

SKS : 2 SKS

Status Mata Kuliah : Wajib Fakultas

Tim Pengajar : Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja,S.H., M.Hum.

I Nengah Suantra, S.H., M.H.

Made Nurmawati,S.H., M.H.

Dr. Ni Luh Gede Astariyani,S.H., M.H.

Ni Made Ari Yuliartini Griadhi,S.H., M.H.

Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.

Edward Thomas Lamury Hadjon, S.H., LL.M.

DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN

Hukum Perundang-undangan merupakan mata kuliah yang

mengkaji aspek-aspek teoritis perundang-undangan, selain itu pula

substansi mata kuliah ini juga mengkaji aspek-aspek hukum dari

perundang-undangan berkaitan dengan pengertian, norma hukum

peraturan perundang-undangan (jenis, sifat, struktur norma hukum

dan metode dalam merumuskan norma hukum). Hal lainnya yang

dikaji adalah menyangkut sumber kewenangan perundang-undangan.

Dari mana sumber kewenangan itu berasal merupakan hal yang

penting bagi sah/tidaknya peraturan tersebut. Sebagai sebuah Negara

Hukum, setiap tindakan pemerintah ataupun rakyat harus berdasarkan

kepada peraturan, maka substansi perkuliahan ini juga mencakup

dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-undangan,

jenis/materi, proses pembentukan serta pengawasan atau pengujian

peraturan perundang-undangan.

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Melalui pemahaman terhadap mata kuliah Hukum

Page 15: HUKUM PERUNDANG

2

Perundang-undangan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami

teori, asas, kaidah hukum pembentukan peraturan

perundangundangan baik menyangkut perumusan norma hukum,

proses pembentukan maupun pengawasannya.

MANFAAT MATA KULIAH

Hukum Perundang-undangan merupakan mata kuliah yang

bersifat teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain

dalam kelompok mata kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Tata

Negara, khususnya substansi Hukum Perundang-undangan. Karena

itu, Hukum Perundang-undangan selain memberikan manfaat teoritis

bagi mahasiswa, yakni mahasiswa dapat memahami seluk-beluk

istilah, pengertian dan asas-asas terkait dengan Hukum Perundang-

undangan; mahasiswa juga memperoleh manfaat praktis yaitu proses

pembentukan peraturan perundang-undangan dan pengujian.

PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH

Mata kuliah Hukum Perundang-undangan merupakan mata

kuliah wajib institusional yang ditawarkan pada semester 3.

Berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor :

980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman Pendidikan Fakultas

Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan Rektor

Universitas Udayana Nomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang

Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, mata

kuliah Hukum Perundang-undangan dipersyarati dengan mata kuliah

Hukum Tata Negara.

ORGANISASI MATERI

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub

pokok bahasan, yang dapat digambarkan secara sistematis, sebagai

berikut:

Page 16: HUKUM PERUNDANG

3

I. Pendahuluan

a. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-Undangan Ke

Hukum Perundang-Undangan.

b. Hukum Perundang-Undangan: Pengaturan dan Disiplin Ilmu

Hukum.

c. Perundang-Undangan: Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan dan Peraturan Perundang-Undangan.

d. Obyek Kajian Hukum Perundang-Undangan.

e. Metode Kajian Hukum Perundang-Undangan.

II. Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan

a. Pengertian norma hukum

b. Asas hukum,norma hukum dan aturan hukum

c. Jenis norma hukum

d. Sifat norma hukum

e. Struktur norma hukum dalam aturan hukum

f. Metode perumusan norma hukum dalam aturan hukum

III. Sumber Kewenangan Perundang-Undangan

a. Pengertian sumber kewenangan

b. Kewenangan Atribusi dan Delegasi

c. Perbedaan sumber kewenangan Perundang-undangan dengan

sumber kewenangan pemerintahan.

IV. Sejarah Perundang-undangan

a. Periode Kolonial

b. Periode Awal Berlakunya UUD 1945

c. Periode Berlakunya Konstitusi RIS

d. Periode Berlakunya UUDS 1950

e. Periode Demokrasi Terpimpin

f. Periode Demokrasi Pancasila

g. Periode Reformasi

Page 17: HUKUM PERUNDANG

4

V. Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

a. Kedudukan Pancasila dalam Peraturan Perundang-undangan

b. Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan

c. Asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan

VI. Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

a. Jenis Peraturan Perundang-undangan Pusat dan Daerah

b. Fungsi Peraturan Perundang-undangan

c. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

VII. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

a. Proses pembuatan Undang - Undang

b. Proses Pembuatan Perppu, PP dan Perpres

c. Proses Pembentukan Perda

d. Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan

Perundang-undangan

METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES

PEMBELAJARAN

Metode perkuliahan yang digunakan yaitu metode Problem

Based Learning. Mahasiswa belajar (learning) menggunakan masalah

sebagai basis pembelajaran. Dosen bukan mengajar (teaching), tetapi

memfasilitasi mahasiswa belajar.

Pelaksanaan perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial.

Perkuliahan dilakukan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah

sebanyak 6 (enam) kali, untuk memberikan orientasi materi

perkuliahan per-pokok bahasan. Sedangkan tutorial dilaksanakan

sebanyak 6 (enam) kali. Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik,

dilakukan dengan penilaian terhadap tugas-tugas, ujian tengah

semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Dengan demikan,

keseluruhan tatap muka pertemuan berjumlah 14 kali.

Page 18: HUKUM PERUNDANG

5

Perkuliahan Pokok-pokok Bahasan dan sub-sub pokok

bahasan dipaparkan dengan alat bantu papan tulis, power point slide,

dan penyiapan bahan bacaan tertentu yang dipandang sulit diakses

oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study)

sebelum mengikuti perkuliahan dengan mencari bahan materi,

membaca, dan memahami pokok-pokok bahasan yang akan

dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Buku Ajar.

Perkuliahan dilakukan dengan proses pembelajaran dua arah, yakni

pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi.Mahasiswa mengerjakan

tugas-tugas, baik discussion task, study task, maupun problem task

sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan sesuai dengan

petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas. Kemudian

presentasi dan berdiskusi di kelas tutorial.

TUGAS-TUGAS

Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan

mempersiapkan tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar.

Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar

perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas yang harus

dipresentasikan. Tugas-tugas dalam tutorial terdiri dari study task,

discussion task, dan problem task.

UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN

Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay

dalam masa tengah semester dan akhir semester. Ujian tengah

semester (UTS) dapat diberikan pada saat tutorial atas materi

perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan menggunakan

nilai tutorial 1, 2, dan 3 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan ujian

akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3, 4 dan 5

dan tutorial 4, 5 dan 6 yang dilakukan pada pertemuan ke-14. Ujian

dapat dilakukan secara lisan jika memenuhi persyaratan pelaksanaan

ujian lisan yang ditentukan dalam Peraturan Akademik Fakultas

Page 19: HUKUM PERUNDANG

6

Hukum Universitas Udayana.

Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills.

Penilaian hard skill dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan

UAS. Penilaian soft skill meliputi penilaian atas kehadiran, keaktifan,

kemampuan presentasi, penguasaan materi, argumentasi, disiplin,

etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap muka

selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai

tutorial yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA)

diperhitungkan menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman

Pendidikan FH UNUD 2013, yaitu

(UTS + TT ) + 2 (UAS)

2

NA =

3

Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan

rincian dan kesetaraan sebagai berikut :

Skala Nilai Penguasaan

Kompetensi

Keterangan dengan skala nilai

Huruf Angk

a

0-10 0-100

A

B+

B

C+

C

D+

D

E

4

3,5

3

2,5

2

1,5

1

0

Istimewa

Sangat Baik

Baik

Cukup Baik

Cukup

Kurang Cukup

Kurang

Sangat Kurang

8,0-10,0

7,1-7,9

6,5-7,0

6,0-6,4

5,5-5,9

5,0-5,4

4,0-4,9

0,0-3,9

80-100

71-79

65-70

60-64

55-59

50-54

40-49

0-39

Page 20: HUKUM PERUNDANG

7

BAHAN BACAAN

Peraturan Perundang-Undangan Terkait

Republik Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, UUDNRI Tahun 1945.

_______,Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, UU No.12 Tahun 2011. (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor

5234 ).

_______, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No.

23 tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5587).

_______,Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No.065/PUU-ll/2004

Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

_______,Peraturan Presiden No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang- Undang, Rancangan

Perppu, Rancangan PP dan Rancangan Perpres.

_______,Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2014 teantang

Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Literatur Terkait

Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel)

Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005.

Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang

di Indonesia, Jakarta: Konpress, 2014.

Bagir Manan, dasar-dasarPeraturan Perundang-undangan

Indonesia, IndoHillCo, Jakarta, 1992.

Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia DalamPenyelenggaraan Pemerintahan Negara,

Disertasi Doktor,Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990,

Hukum Perundang-undangan, Bagaian HTN, 2009.

Page 21: HUKUM PERUNDANG

8

I Gede Panca Astawa dan Na‟a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu

Perundang-undangan, Alumni, Bandung, 2008.

Jimly Assidiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta,

2006.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu PerundangUndangan1: Jenis,

Fungsi danMateri Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,

2007.

________________________,Ilmu Perundang-undangan 2: Proses

dan Teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,

2007.

I.C.Van Der Viles, Buku Pegangan Perancangan Peraturan

Perundang-undangan Terjemahan, Dirjen Perundang-

Undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2005.

Supardan Madeong dan Zudan Arif Fakrulloh, Legal Drafting

berporos Hukum Humanis Partisipatoris, Perca, Jakarta, 2005.

Hamzah Halimdan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis

Menyusun danMerancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian

Teoritis dan Praktis disertai manual) –Konsepsi Teoritis

Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2009.

Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-

Undangan,Mandar Maju, Bandung, 1998.

Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang dimiliki Hakim dalam

Sistem Hukum Indonesia, Taja Grafindo Persada, Jakarta,

2005.

Page 22: HUKUM PERUNDANG

9

JADWAL PERKULIAHAN

NO PERTEMUAN KEGIATAN TOPIK

1 Pertemuan I Perkuliahan I Pendahuluan

a. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu

Perundang-Undangan Ke

Hukum Perundang-Undangan.

b. Hukum Perundang-Undangan:

Pengaturan dan Disiplin Ilmu

Hukum.

c. Perundang-Undangan:

Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dan

Peraturan Perundang-

Undangan.

d. Obyek Kajian Hukum

Perundang-Undangan.

e. Metode kajian hukum

perundang-undangan.

2

Pertemuan II

Tutorial I Pemahaman Dasar Hukum

Perundang-Undangan

3 Pertemuan III Perkuliahan II Norma Hukum Dalam Peraturan

Perundang-Undangan

a. Pengertian Norma Hukum

b. Asas Hukum, Norma Hukum

dan Aturan Hukum

c. Jenis Norma Hukum

d. Sifat Norma Hukum

e. Struktur Norma Hukum Dalam

Aturan Hukum

f. Metode Perumusan Norma

Hukum Dalam Aturan Hukum.

4 Pertemuan IV Tutorial II Pemahaman Norma Hukum

5 Pertemuan V Perkuliahan III Sumber Kewenangan Perundang-

undangan

a. Sumber kewenangan.

b. Kewenangan atribusi dan

kewenangan delegasi.

c. Perbedaan sumber kewenangan

Page 23: HUKUM PERUNDANG

10

perundang-undangan dengan

sumber kewenangan

pemerintahan.

6 Pertemuan VI Tutorial III Sumber kewenangan Perundang-

undangan

7 Pertemuan VII Perkuliahan IV Sejarah Perundang-undangan

a. Periode Kolonial

b. Periode Awal Berlakunya UUD

1945

c. Periode Berlakunya Konstitusi

RIS

d. Periode Berlakunya UUDS

1950

e. Periode Berlakunya UUD 1945

Era Demokrasi Terpimpin

f. Periode Berlakunya UUD 1945

Era Demokrasi Pancasila

g. Periode Berlakunya UUD 1945

hasil perubahan.

8 Pertemuan VIII UTS Substansi Perkuliahan I- IV

9 Pertemuan IX Tutorial IV Sejarah Perundang-undangan

10 Pertemuan X Perkuliahan V Dasar-Dasar Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

a. Kedudukan Pancasila dalam

Peraturan Perundang-undangan

b. Landasan Keberlakuan

Peraturan Perundang-undangan

c. Asas-asas Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

11 Pertemuan XI Tutorial V Dasar-Dasar, Pembentukan

Peraturan Perundang-undanga

12 Pertemuan XII Perkuliahan VI Jenis, Fungsi dan Materi Muatan

Peraturan Perundang-Undangan

a. Jenis Peraturan Perundang-

undangan

b. Fungsi Peraturan Perundang-

undangan

c. Materi Muatan Peraturan

Perundang undangan

13 Pertemuan XIII Tutorial VI Jenis, Fungsi dan Materi Muatan

Page 24: HUKUM PERUNDANG

11

Peraturan Perundang-Undangan:

14 Pertemuan XIV Perkuliahan VII Proses Pembuatan Peraturan

Perundang-Undangan

a. Proses Pembuatan UU;

b. Proses Pembuatan Perppu, PP

Dan Perpres;

c. Proses Pembuatan Perda; Dan

d. Bentuk Dan Mekanisme

Partisipasi Masyarakat Dalam

Pembuatan Peraturan Perundang-

Undangan, Terutama Dalam

Pembuatan UU Dan Perda.

15 Pertemuan XV Tutorial VII Proses Pembuatan Peraturan

Perundangundangan

16 Pertemuan XVI UAS Substansi Perkuliahan V, VI, dan

VII

Page 25: HUKUM PERUNDANG

12

PERTEMUAN I :

KULIAH KESATU

PEMAHAMAN DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

1.1. Pendahuluan

Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,

Mahasiswa diajak mempelajari perihal pemahaman dasar Hukum

Perundang-undangan, meliputi (1) nama mata kuliah: dari ilmu

perundang-undangan ke hukum perundang-undangan; (2) hukum

perundang-undangan: pengaturan dan disiplin ilmu hukum; (3)

perundang-undangan: pembentukan peraturan perundang-undangan

dan peraturan perundang-undangan; (4) obyek kajian hukum

perundang-undangan; dan (5) metode kajian hukum perundang-

undangan.

Penguasaan pemahaman dasar Hukum Perundang-undangan

ini menjadi landasan dalam memahami materi pembelajaran pada

pertemuan-pertemuan berikutnya.

1.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi pembelajaran

ini, Mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman mengenai dasar-

dasar Hukum Perundang-undangan.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi pembelajaran

tersebut, Mahasiswa mampu:

a. menjelaskan perubahan nama mata kuliah dari ilmu perundang-

undangan ke hukum perundang-undangan;

b. menguraikan pengertian hukum perundang-undangan yang

meliputi aspek pengaturan dan aspek disiplin ilmu hukum;

c. menguraikan pengertianperundang-undangan yang meliputi

aspek pembentukan peraturan perundang-undangan dan aspek

peraturan perundang-undangan;

d. menjelaskan ruang lingkup obyek kajian hukum perundang-

undangan; dan

Page 26: HUKUM PERUNDANG

13

e. menjelaskan ragam metode kajian hukum perundang-undangan.

1.3. Nama Mata Kuliah: Dari Ilmu Perundang-undangan ke

Hukum Perundang-Undangan

Mata Kuliah ini sebelumnya berjudul Ilmu Perundang-

undangan. Ilmu perundang-undangan (science of legislation atau

wetgevingswetenschap) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft), bagian lainnya

adalah Teori Perundang-undangan.

Pemahaman yang memadai mengenai Ilmu Perundang-

undangan dan Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan dapat

diperoleh dari berbagai tulisan A. Hamid S. Attamimi. Berikutnya

kutipan dari tulisan dimaksud, yang untuk memudahkan memahami

dirinci sebagai berikut:

1. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (terjemahan

Geselzgebungs­wissenschaft) merupakan ilmu baru,

dikembangkan terutama di negara­negara yang berbahasa

Jerman. Negeri Belanda dan negara-negara lain sekitarnya

menerima manfaatnya.

2. Sebagai ilmu baru, tentu saja orang masih mempersoalkan

penanganan disiplinernya, kesesuaian metodologinya,

kecermatan terminologinya, dan lain-lainnya. Orang juga masih

mempersoalkan apakah ia ilmu yang monodisipliner yuridis,

multidisipliner, ataukah interdispliner.

3. Di antara para pelopor Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,

Burkhardt Krems (Grundfragen den Gesetzbungslehre, 1979)

dan Werner Maihofer (Gesetzgebungswissenschaft 1981) yang

paling jelas mengemukakan wawasannya tentang kedudukan

ilmu tersebut dan bagian­ bagiannya.

4. Krems membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan

(Geselzgebungswissenschaft) ke dalam Teori Perundang-

undangan (Geselzgebungstheorie) dan Ilmu Perundang-

Page 27: HUKUM PERUNDANG

14

undangan (Gesetzgebungslehre). Yang pertama berorientasi

kepada mencari kejelasan dan kejernihan pengertian-pengertian

(erklarungsorientiert) dan yang kedua berorientasi kepada

melakukan perbuatan (handlungsorientiert); yang pertama

bersifat kognitif dan yang kedua normatif.

5. Maihofer membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan

(Gesetzgebungswissenschaft) ke dalam Penelitian Kenyataan

Hukum (Rechtstatsachenforschung) yang meneliti undang-

undang, pembentukan undang-undang, dan pembentuk

undang­undang dalam kenyataan sehari-hari, dan Ilmu

Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre), yang merupakan

bagian politik hukum yang didasarkan pada pengalaman hukum

serta merupakan petunjuk dalam pembentukan hukum.

6. Menurut W.G. van der Velden (De ontwikkeling van de

wetgevingswetenschap, diss. 1988), hanya Krems dan Maihofer

yang membagi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ke dalam

bagian-bagian yang disebutnya empirische dan normatieve

wetgevingswetenschap. Keduanya mengembangkan tema dan

arah penelitian yang dapat dikatakan sama. Krems, membagi lagi

IImu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre) ke dalam

Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren), Metode

Perundang-undangan (Gesetzgebungsmethode), dan Teknik

Perundang­undangan (Gesetzgebungstechnik). Sedangkan

Maihofer membagi lagi Ilmu Perundang-undangan

(Gesetzgebungslehre) ke dalam Teknik Perundang-undangan

(Teehnik der Gesetszgebung), Metodik Perundang­undangan

(Methodik der Gesetzgebung), dengan tambahan Taktik

Perundang-undangan (Taktik der Gesetzgebung), dan Analitik

Perundang­undangan (Analitik der Gesetzgebung).1

1 A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Ilmu Pegetahuan

Perundang­undangan (Gesetzgebungswissenchaft) dan Pengembangan

Pengajarannya di Fakultas Hukum”, Makaiah dalam Diskusi Mengenai Kemungkinan Masuknya Ilmu Perundang-undangan Dalam Kurikulum

Page 28: HUKUM PERUNDANG

15

Paparan tersebut menunjukkan pemahaman bahwa Ilmu

Perundang-undang merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan. Terdapat bagian-bagian yang empirs dan

normatif dalam Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Khususnya

Ilmu Perundang-undangan, ia merupakan bagian politik hukum yang

didasarkan pada pengalaman hukum serta merupakan petunjuk dalam

pembentukan hukum.

Sekaligus menegaskan bahwa Ilmu Perundang-undangan

sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan tidaklah

bersifat monodisipliner. Hal ini tampak dalam kutipan berikut:2

1. Krems mendefinisikan IImu Pengetahuan Perundang-undangan

dengan ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang

pembentukan hukum negara.

2. la menyatukan berbagai segi pengetahuan yang ada dan

menggunakannya bagi suatu jangkauan obyeknya yang khusus.

3. Dalam hubungannya dengan IImu Pengetahuan Hukum, IImu

Politik, dan Sosiologi, IImu Pengetahuan Perundang-undangan

dari satu sudut lebih sempit dan dari sudut lain lebih luas: lebih

sempit dilihat dari obyek penelitiannya (hanya pembentukan

peraturan negara) dan lebih luas di­ lihat dari permasalahannya,

paradigmanya, dan metodanya.

4. Beberapa materi perkuliahan pada fakultas hukum yang akan

terkait dengan materi kuliah IImu Pengetahuan Perundang-

undangan ialah antara lain, di bidang teori hukum ialah Pengantar

Fakultas Hukum pada Pertemuan Dekan-dekan Fakultas Hukum Negeri

Se·Indonesia di Bawah Konsorsium Ilmu Hukum, Jakarta, 20-21 Oktober

1989, dimuat dalam Hukum dan Pembangunan, Februari 1990, ( selanjutnya

disingkat A. Hamid S. Attamimi I) hlm. 4-5. Cermati juga Maria Farida

Indrati Soeprapto, 2002, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan

Pembentukannya, cetakankelima,Yogyakarta:Kanisius,hlm. 2-3. 2 Ibid., hlm. 5.

Page 29: HUKUM PERUNDANG

16

IImu Hukum,3 di bidang teori kenegaraan ialah Ilmu Negara, di

bidang dogmatika hukum ialah Pengantar Tata Hukum Indonesia,

Asas-asas Hukum Tata Negara, Asas-asas Hukum Administrasi

Negara, Lembaga Kepresidenan, Lembaga Perwakilan Rakyat,

Hukum Tata Usaha dan Birokrasi Negara, dan Hukum

Administrasi Daerah, dan di bidang ilmu-ilmu penunjang lainnya

ialah Sosiologi Hukum (sebaiknya Sosiologi Perundang-

undangan)4, Politik Hukum (apabila sudah ada, sebaiknya Politik

Perundang-undangan),5 dan Filsafat Hukum.

6

A. Hamid S. Attamimi mengemukakan juga metode

3 Untuk strata 2 Program Studi Ilmu Hukum terdapat mata kuliah

berjudul Teori Hukum, antara lain dapat dicermati JJ.H. Bruggink, 2011,

Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum,

terjemahan B. Arief Sidharta, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, hlm.

87-118, 119-140, 141-158 (Bab V Aturan Hukum dan Kaidah Hukum, Bab

VI Asas Hukum dan Sistem Hukum, Bab VII Keberlakuan Kaidah Hukum),

materi yang berkaitan dengan pembentukan isi peraturan perundang-

undangan. 4 Pengenalan awal sosiologi perundang-undangan antara lain dalam

Soerjono Soekanto, “Masalah-masalah Di Sekitar Perundang-undangan

(Suatu Tinjauan menurut Sosiologi Hukum), dalam Majalah FH UI, Nomor

(?) Tahun (?), hlm. 27-34, dan Jufrina Rizal, Sosiologi Perundang-undangan

dan Pemanfaatannya dalam Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun

XXXIII, Juli-September 2003, hlm. 413-427. 5 Dapat dipelajari antara lain Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum

Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta:

Konstitusi Press, juga dalam H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik

Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm. 164-192 (Bab 6 Politik

Perundang-undangan Indonesia). 6 Antara lain dapat dipahami dari Theo Huijbers, 1995, Filsafat

Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 139-147 (Bab 12 Keahlian

Sarjana Hukum, yang membahas kesenian hukum dan pembentukan

hukum). Juga di dalam Franz Magnis-Suseno, 2016, Etika Politik Hukum:

Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama, hlm. 82-104 (Bab IV Apa Itu Hukum, yang

membahas kekhasan norma hukum dan kepastian hukum serta keadilan),

144-154 (Bab VI Nilai-nilai Dasar dalam Hukum , yang mesti dilindungi

produk legislatif).

Page 30: HUKUM PERUNDANG

17

pengajaran Ilmu Perundang-undangan. Menurutnya, karena IImu

Perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan,

dalam hal ini melakukan pembentukan peraturan

perundang­undangan, termasuk di dalamnya proses perancangan dan

penyusunannya berdasarkan teknik dan metode yang menunjang,

maka metoda pengajaran Ilmu Perundang-undangan selain

merupakan kegiatan tatap muka, diskusi , dan seminar, juga

merupakan latihan-Iatihan, baik bagian demi bagian maupun

keseluruhan berbagai jenis peraturanperundang-undangan.7

Pengajaran mata kuliah IImu Perundang-undangan dengan

bagian-bagiannya yakni proses, teknik, dan metoda perundang-

undangan, menurut A. Hamid S. Attamimi, bertujuan agar para

mahasiswa dapat mengetahui antara lain:

a. berbagai norma hukum, jenisnya, dan karakteristiknya serta tata

susunannya, yang penting bagi pemahaman hakekatperaturan

perundang-undangan; dapat mengetahui berbagai jenis peraturan

perundang-undangan dan fungsinya masing-masing;

b. bentuk luar (kenvorm) dari berbagai jenis peraturan perundang-

undangan;

c. tahap-tahap proses pembentukan suatu Undang­ undang, Peraturan

Pemerintah, dan peraturan peru\ldang-undangan lainnya;

d. cara menyusun dan merancang suatu peraturan perundang-

undangan, apa bagian-bagian esensial peraturan perundang-

undangan, dan bagaimana sistematika pembagian batang

tubuhnya;

e. ragam bahasa dan ungkapan yang digunakan dalam peraturan

perundang-undangan.8

Perkembangan pengajaran mata kuliah Ilmu Perundang-

undangan, setidaknya di Fakultas Hukum Universitas Udayana

menekankan pada aspek hukum pembentukan peraturan perundang-

7A. Hamid S. Attamimi I, op.cit., hlm. 6.

8A. Hamid S. Attamimi I, op.cit., hlm. 7

Page 31: HUKUM PERUNDANG

18

undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(selanjutnya disebut UU No.10/2004), kemudian Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (selanjutnya disebut UU No.12/2011), dengan tidak

meninggalkan esensi dari Ilmu Perundang-undangan yakni perihal

pembentukan peraturan perundang-undangan yang mencakup

pembentukan isi dan bentuknya.

Di bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan

perundang-undangan negara, menurut Burkhardt Krems, bermakna

pembentukan peraturan yang meliputi:

a. isi peraturan;

b. bentuk dan susunan peraturan;

c. metode pembentukan peraturan; dan

d. prosedur dan proses pembentukan peraturan.9

Ringkasnya, pembentukan peraturan perundang-undangan

pada dasarnya meliputi pembentukan isi dan bentuk. Aspek bentuk

menyangkut bentuk dan susunan, metode, prosedur dan proses

pembentukannya.

Berdasarkan kondisi tersebut, yakni penekanan pada aspek

hukum pembentukan peraturan perundang-undangan dan dengan

tetap memperhatikan aspek isi dan bentuk tersebut, maka kuliah Ilmu

Perundang-undangan diganti namanya menjadi Hukum Perundang-

undangan, dalam pengertian Hukum tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Uraian tersebut diringkas dalam gambar

berikut:

9A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi

Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Bersifat Pengaturan dalam

Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas

Pascasarjana Universitas Indonesia, (selanjutnya disingkat A. Hamid S.

Atamimi II ), hlm. 300.

Page 32: HUKUM PERUNDANG

19

Gambar 1. Dari Ilmu Perundang-undangan ke Hukum

Perundang-undangan

1.4. Hukum Perundang-undangan: Pengaturan dan Disiplin

Ilmu Hukum

Istilah Hukum Perundang-undangan ditemukan dalam tulisan

A. Hamid S. Attamimi dan Maria Farida. A. Hamid S. Attamimi, di

dalam disertasi doktornya, pada bagian manfaat penelitian menulis:

“....diharapkan dapat memberikan manfaat.... pada ilmu pengetahuan

dan hukum di bidang perundang-undangan

(Gesetzgebungswissenschaft) dan Gesetzgebungsrecht).”10 Pada

bagian lain, ia menulis:

…dewasa ini dikehendaki perhatian yang khusus terhadap

pembentukan peraturan perundang-undangan negara. Maka di masa

mendatang, mengenai tempat perundang-undangan tersebut

sebaiknya dapat dikembangkan lebih jauh di atas suatu bidang saja,

yaitu ilmu interdisipliner tersendiri di bawah bimbingan ilmu hukum,

yaitu ilmu yang diusulkan dengan nama Ilmu Pengetahuan Bidang

Perundang-undangan,sebagai terjemahan Gesetzgebungswissenschaft,

wetgevingswetwnschap, Science of Legislation.11

10

Ibid., hlm. 43. 11

A. Hamid S. Attamimi II, op.cit., hlm. 298.

Page 33: HUKUM PERUNDANG

20

Jadi ada istilah Ilmu pengetahuan bidang perundang-

undangan (Gesetzgebungswissenschaft, wetgevingswetwnschap,

Science of Legislation) dan hukum di bidang perundang-undangan

(Gesetzgebungsrecht). Selain itu, ada juga istilah hukum tentang

peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari Hukum Tata

Pengaturan, sebagaimana dikemukakan A. Hamid S. Attamimi dalam

Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.12

Penjelasan tentang pengertian Hukum Perundang-undangan

tidak ditemukan dalam disertasi tersebut. Selanjutnya perlu

menyimak penggunaan istilah Hukum Perundang-undangan di dalam

tulisan Maria Farida, dkk., yakni:13

Hukum perundang-undangan sebagai disiplin ilmu

pengetahuan hukum belum banyak dipelajari orang sebagai sebuah

ilmu sehingga belum banyak dipahami oleh masyarakat luas. Bidang

perundang-undangan tidak banyak diminati karena tidak berkorelasi

langsung dengan praktek hukum secara luas.

Laporan Kompendium tersebut juga tidak menyertakan

penjelasan tentang pengertian Hukum Perundang-undangan.

Pemahaman yang diperoleh bahwa Hukum Perundang-undangan

merupakan disiplin ilmu pengetahuan hukum. Namun, tidak juga

dijelaskan Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu

pengetahuan hukum itu sama atau tidak dengan Ilmu Perundang-

undangan.

Buku ini mencermati penggunaan istilah Hukum Perundang-

undangan dalam dua pengertian. Pertama, istilah Hukum Perundang-

12

A. Hamid S. Attamimi, 1993, ”Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan)”, Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, Depok: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, (selanjutnya disingkat A. Hamid S. Atamimi III). 13

Maria Farida, dkk, 2008, Laporan Kompendium Bidang Hukum

Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (selanjutnya disingkat

Maria Farida I), hlm. 8.

Page 34: HUKUM PERUNDANG

21

undangan digunakan dalam dalam pengertian pengaturan. Kedua,

istilah Hukum Perundang-undangan digunakan dalam pengertian

disiplin ilmu hukum, atau dalam ungkapan Maria Farida, dkk.,

Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu pengetahuan

hukum.

Hukum Perundang-undangan sebagai pengaturan dapat

dicermati dalam dua pengertian, yakni Hukum Perundang-undangan

sebagai produk pengaturan dan Hukum Perundang-undangan sebagai

instrumen pengaturan.

Hukum Perundang-undangan dalam pengertian produk

pengaturan, tampak dalam pendapat Bagir Manan, yang juga

menggunakan istilah Hukum Perundang-undangan dan memberikan

pengertian. Hukum perundang-undangan merupakan salah bentuk

dari hukum dalam suatu negara. Ia menulis:14

Hukum dalam suatu negara dapat menjelma dalam berbagai

bentuk dan wujud, yaitu:

1. Hukum Perundang-undangan;

2. Hukum Yurisprudensi;

3. Hukum Adat;

4. Hukum Kebiasaan.

Penggolongan hukum di atas didasarkan kepada bentuk, cara

terbentuk, dan pembentukannya, ungkap Bagir Manan.15

Mengenai

hukum perundang-undangan, ia memberikan pengertian, ”Hukum perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan

cara-cara tertentu, oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan

dalam bentuk tertulis.”16 Disebut hukum perundang-undangan,

menurut Bagir Manan, karena dibuat atau dibentuk dan ditetapkan

oleh badan yang menjalankan fungsi perundang-undangan

14

Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi

Suatu Negara, Bandung : Mandar Maju, (selanjutnya disingkat Bagir Manan

I), hlm. 17. 15

Ibid. 16

Ibid.

Page 35: HUKUM PERUNDANG

22

(legislasi).17

Tampaknya, hukum perundang-undangan dalam perspektif

Bagir Manan mewujud ke dalam apa yang disebut sebagai peraturan

perundang-undangan. Ia menulis:18

Hukum dalam suatu negara dapat menjelma dalam berbagai

wujud, antara lain dalam bentuk Hukum Tertulis berupa

peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan

adalah setiap putusan yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan

oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai

(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang

berlaku.

Bagir Manan, dalam bukunya yang lain menulis, bahwa yang

dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah undang-

undang dalam arti materiil. Menurutnya, undang-undang dalam arti

materiil adalah setiap keputusan tertulis yang yang dikeluarkan oleh

pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat

atau mengikat secara umum.19

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hukum perundang-

undangan adalah hukum tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang

bersifat atau mengikat secara umum yang dibentuk dengan cara-cara

tertentu oleh pejabat yang berwenang menjalankan fungsi perundang-

undangan atau fungsi legislasi.

Ringkasnya, hukum perundang-undangan merupakan produk

pengaturan. Ada produk pengaturan lainnya, hukum yurisprudensi

17

Ibid. 18

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peraturan Perundang-

undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit CV.

Armico, hlm. 3. 19

Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia,

Jakarta: Ind-Hill.Co, (Selanjutnya disingkat Bagir Manan II), hlm. 3. Selain

itu terdapat undang-undang dalam arti formal, yakni keputusan tertulis

sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif

yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.

Lihat Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar..., Ibid., hlm. 4.

Page 36: HUKUM PERUNDANG

23

yakni hukum yang terbentuk melalui putusan hakim atau pengadilan,

hukum adat yakni hukum tumbuh dan dipertahankan dalam

persekutuan masyarakat hukum adat, dan hukum kebiasaan yakni

hukum yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan

kehidupan dalam masyarakat.20

Berikutnya Hukum Perundang-undangan dalam pengertian

instrumen pengaturan dapat dicermati sebagai hukum yang mengatur

sesuatu hal, seperti penggunaan istilah Hukum Tata Pengaturan yakni

hukum tentang peraturan perundang-undangan dan peraturan

kebijakan.21

Pola ini ditemukakan juga dalam penggunaan istilah,

seperti, Hukum Ekonomi, Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata

Negara.22

Hukum Perundang-undangan, selain digunakan dalam

pengertian pengaturan (baik sebagai produk maupun instrumen

pengaturan), digunakan juga sebagai bidang kajian ilmu hukum, atau

20

Bagir Manan memahami hukum yurisprudensi, hukum adat, dan

hukum kebiasaan sebagai berikut:

1. Hukum Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk melalui

putusan hakim atau pengadilan. Yurisprudensi diakui sebagai

hukum dalam arti konkrit.

2. Hukum Adat adalah hukum asli bangsa Indonesia, tidak tertulis

yang tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan masyarakat

hukum adat. Hukum adat diakui sebagai salah satu bentuk hukum

yang berlaku. Karena mengikat bukan saja terhadap anggota

persekutuan masyarakat hukum adat, melainkan mengikat pula

badan peradilan atau administrasi negara yang bertugas

menerapkannya dalam situasi konkrit.

3. Hukum Kebiasaan adalah hukum tidak tertulis, yang ketaatanya

semata-mata bersifat sukarela atas dasar perasaan moral dan etika.

Bagir Manan I, loc.cit. 21

A. Hamid S. Attamimi III, loc.cit. 22

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum

Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,

hlm. 29, mendefinisikan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan

hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antar alat

perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan

warga negara dan hak-hak asasinya.

Page 37: HUKUM PERUNDANG

24

dalam ungkapan Maria Farida, dkk., Hukum Perundang-undangan

sebagai disiplin ilmu pengetahuan hukum.23

Sebagai bidang kajian ilmu hukum, Hukum Perundang-

undangan adalah disiplin ilmu hukum yang mempelajari hukum

tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang meliputi

pembentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan (yang

mencakup bentuk dan susunan, metode, prosedur dan proses

pembentukannya).24

Termasuk yang dipelajari dari aspek isi adalah pembentukan

norma hukum dalam peraturan peraturan perundang-undangan. Ini

seturut dengan pandangan A. Hamid S. Attamimi, yang merujuk pada

D.W.P. Ruiter, mengemukakan pembentukan peraturan perundang-

undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum

yang berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas.25

Selain itu yang dipelajari dari aspek isi adalah materi muatan dan

permusannya sebagai norma hukum ke dalam aturan hukum

(peraturan perundang-undangan).

Termasuk yang dipelajari dari aspek bentuk adalah juga

lembaga atau pejabat yang berwenang membentuk peraturan

perundang-undangan, khususnya sumber kewenangan perundang-

undangan.

Sebagian dari materi pembelajaran Hukum Perundang-

undangan tersebut yang menyangkut aspek teknik perundang-

undangan telah disediakan mata kuliah tersendiri yakni Perancangan

Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Hukum Perundang-

undangan sebagai bidang ilmu hukum dapat dimengerti sebagai

bidang ilmu hukum atau disiplin ilmu hukum yang melakukan kajian

23

Maria Farida I, loc.cit. 24

Beranjak dari pendapat Burkhardt Krems tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan, terkutip dalam A. Hamid S. Attamimi II,

1990, op.cit., hlm. 317. 25

A. Hamid S. Attamimi II, op.cit., hlm. 314.

Page 38: HUKUM PERUNDANG

25

tentang pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut diuraikan dalam Obyek dan Metode Kajian. Ringkasnya,

uraian mengenai hukum perundang-undangan tersebut di atas

digunakan dalam dua pengertian yakni hukum perundang-undangan

dalam pengertian pengaturan dan hukum perundang-undangan dalam

pengertian disiplin ilmu hukum, tampak jelas dalam gambar berikut:

Gambar 2. Pengertian Hukum Perundang-undangan

1.5. Perundang-undangan: Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-

Undangan

Istilah Perundang-undangan merupakan terminologi hukum

yang terkait dengan istilah dalam bahasa Belanda wetgeving. Menurut

Hukum Perundang -

undangan

Hukum Perundang –

undangan dalam

pengertian

Pengaturan

Hukum Perundang –

undangan dalam

pengertian Disiplin

Ilmu Hukum

Hukum Perundang –

undangan dalam

pengertian Produk

Pengaturan

Hukum Perundang-

undangan dalam

pengertian

Instrumen

Pengaturan

Page 39: HUKUM PERUNDANG

26

A. Hamid S. Attamimi,26

yang mengutip dari Kamus Hukum

Fockema Andreae, wetgeving adalah (a) perbuatan membentuk

peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut

tata cara yang ditentukan; dan (b) keseluruhan peraturan-peraturan

negara tingkat pusat dan tingkat daerah. Pengertian di dalam huruf

(b) inilah disebut Peraturan Perundang-undangan.

Dengan perkataan lain, wetgeving atau perundang-undangan

mempunyai dua pengertian, dari segi proses, perundang-undangan

adalah perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat

pusat atau tingkat daerah, dan dari segi produk, perundang-undangan

adalah keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan

tingkat daerah.

Pembentukan peraturan perundang-undangan, mengutip

kembali pandangan A. Hamid S. Attamimi, yang merujuk pada

D.W.P. Ruiter, pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma

hukum yang berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang

luas.27

Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan

menurut Kamus Hukum Fockema Andreae dikaitkan dengan

pandangan A. Hamid S. Attamimi tersebut, maka pembentukan

peraturan perundang-undangan adalah perbuatan membentuk

peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut

tata cara yang ditentukan yang memuat norma-norma hukum yang

berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas.

Secara otentik, pembentukan peraturan perundang-undangan

adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup

26

A. Hamid S. Attamimi, 1979, “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, dalam Hukum dan Pembangunan, Vol. 9 No. 3 Tahun 1979, hlm. 281-292. A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, dalam BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1

s/d 20 Juni 1981, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman, hlm. 59-78. (selanjutnya disingkat A. Hamid S. Attamimi IV). 27

A. Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 314.

Page 40: HUKUM PERUNDANG

27

tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan (Pasal 1 angka 1 UU No. 12/2011).

Definisi ini menonjol unsur tahapan pembentukan, sedangkan aspek

pembentukan isinya tidak tampak dalam Pasal 1 angka 1 UU

12/2011. Namun, dikaitkan dengan pengertian peraturan perundang-

undangan dalam Pasal 1 angka 2 UU No.12/2011, diperoleh

pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari

aspek bentuk maupun aspek isinya.

Jadi, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah

pembuatan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah

ditetapkan, yakni tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,

pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Telah dikemukakan pada uaian di atas, dari segi produk,

perundang-undangan adalah keseluruhan peraturan-peraturan negara

tingkat pusat dan tingkat daerah, dan inilah disebut Peraturan

Perundang-undangan, yang terkait dengan kata dasar undang-undang.

Ilmu Hukum membedakan antara undang-undang dalam arti

materiil (wet in materiele zin) dan undang-undang dalam arti formal

(wet in formele zin). Dalam arti formal, undang-undang adalah

keputusan tertulis yang ditetapkan oleh pemerintah bersama parlemen

sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam UUD.28

Dalam arti

materiil, undang-undang adalah setiap keputusan tertulis yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah

laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud

dengan peraturan perundang-undangan.29

Peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis

yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga atau Pejabat

Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai

28

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta:

Konstitusi Press, hlm. 34-35. 29

Bagir Manan II, loc.cit.

Page 41: HUKUM PERUNDANG

28

dengan tata cara yang berlaku.30

Jadi, peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan

tertulis yang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau

mengikat secara umum yang dibentuk oleh lembaga atau pejabat

negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai

dengan tata cara yang berlaku.

Secara otentik peraturan perundang-undangan adalah

peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara

umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat

yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan (Pasal 1

angka 2 UU No.12/2011).

Mengenai keputusan tertulis atau putusan tertulis dan

peraturan tertulis, penting menyimak pengertian keputusan atau

putusan. Kata keputusan dalam peristilahan ketatnegaraan dan tata

pemerintahan Indonesia sama dengan kata besluit dalam

ketatanegaraan dan tata pemerintahan Belanda dan Hindia Belanda.

Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,

kata besluit berarti keputusan, istilah umum untuk pernyataan

kehendak dari instansi pemerintah dan pembuat perundang-undangan.

Berdasarkan uraian ini, A. Hamid S. Attamimi mengemukakan istilah

keputusan dalam bidang ketatanegaraan dan tata pemerintahan

merupakan pernyataan kehendak yang masih bersifat netral, dapat

berisi peraturan (regeling) dan dapat pula berisi penetapan

(beschikking).31

Uraian tersebut menunjukkan, pengertian otentik peraturan

perundang-undangan tidak menggunakan istilah keputusan atau

putusan yang merupakan pernyataan kehendak yang masih bersifat

netral, akan tetapi langsung menggunakan istilah peraturan (regeling)

yang merupakan spesies dari genus bernama keputusan (besluit).

Mengenai muatan norma hukum yang mengikat secara

umum, secara teoritik berkesesuaian dengan pandangan D.W.P. Ruiter

30

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, loc.cit. 31

A.Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 225-226.

Page 42: HUKUM PERUNDANG

29

bahwa peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur: (a)

norma hukum (rechtsnormen); (b) berlaku ke luar (naar buiten

werken); dan (c) bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in

ruime zin).32

Berdasarkan pengertian peraturan perundang-undangan, baik

secara teoritik maupun otentik, maka unsur-unsur yang terkandung

dalam pengertian peraturan perundang-undangan adalah:

1. Bentuknya, yakni peraturan tertulis, untuk membedakan dengan

peraturan yang tidak tertulis.

2. Pembentuknya, ialah lembaga negara atau pejabat yang

berwenang di bidang perundang-undangan, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah.

3. Isinya, ialah norma hukum mengikat secara umum.

Dimaksud dengan ”yang berwenang di bidang perundang-

undangan” adalah baik berwenang secara atribusi maupun berwenang secara delegasi. Teori perundang-undangan membedakan sumber

kewenangan perundang-undangan atas atribusi kewenangan

perundang-undangan dan delegasi kewenangan perundangundangan.

Adapun norma hukum yang mengikat secara umum

berkenaan dengan norma hukum yang terkandung di dalamnya, yakni

norma hukum bersifat umum dalam arti luas dan berlaku ke luar.

Norma hukum yang bersifat umum, dari segi subyeknya adalah

norma hukum yang dialamatkan (ditujukan) kepada setiap orang atau

orang-orang bukan tertentu, dan dari segi obyeknya adalah norma

hukum mengenai peristiwa yang terjadi berulang atau peristiwa yang

bukan tertentu.

Uraian tentang sumber kewenangan dan norma hukum

peraturan perundang-undangan lebih lanjut dikemukakan dalam bab

tersendiri. Sebelum lanjut pada tematik lainnya, perlu diringkas

uraian tersebut di atas, dari sisi aktivitas, perundang-undangan

32

A.Hamid S. Attamimi II, op.cit, hlm. 314.

Page 43: HUKUM PERUNDANG

30

bermakna aktivitas atau kegiatan membentuk peraturan negara atau

pembentukan peraturan perundang-undangan, dan dari sisi produk

atau hasil kegiatan membentuk peraturan negara, yang disebut

peraturan perundang-undangan. Secara ringkas diungkapkan dalam

gambar berikut:

Gambar 3. Cakupan Perundang-Undangan

1.6. Obyek Kajian Hukum Perundang-Undangan

Sebelum membicarakan obyek kajian hukum perundang-

undangan perlu memahami terlebih dulu tentang proses hukum, yang

dengan demikian dapat menempatkan hukum perundang-undangan

dalam proses hukum itu. Hal ini akan berpengaruh pada obyek kajian

dan juga metode kajian.

Proses hukum, menurut Satjipto Rahardjo, adalah perjalanan

yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengatur

mengatur masyarakat atau kehidupan bersama. Jadi, bukan tentang

jalannya suatu proses peradilan. Proses hukum diawali dengan

pembuatan hukm, yang pada dasarnya adalah pembuatan peraturan

perundang-undangan. Berikutnya penegakan hukum, baik yang

dijalankan oleh eksekutif secara aktif, maupun oleh pengadilan secara

pasif, 33

Dengan perkataan lain, proses hukum meliputi pembuatan

33

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti,

hlm. 175-183.

Perundang-undangan

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

Peraturan Perundang-undangan

Page 44: HUKUM PERUNDANG

31

hukum (oleh lembaga atau pejabat yang berwenang di bidang

perundang-undangan), pelaksanaan hukum (oleh eksekutif dan

birokrasi pada eksekutif), dan penerapan hukum atau peradilan (oleh

pengadilan). Hukum perundang-undangan terletak pada pembuatan

hukum.

Dari segi pembelajaran hukum, ada tiga fase yang dipelajari

oleh pembelajar hukum, yakni (1) pembuatan hukum; (2) aturan

hukum (hasil pembuatan hukum), dan pelaksanaan hukum (baik oleh

eksekutif beserta birokrasinya, maupun oleh pengadilan). Obyek

kajian Hukum Perundang-undangan adalah pada fase pembuatan

hukum. Sekalipun demikian tidak dapat diabaikan dua fase lainnya.

Aturan hukum, juga penting dipelajari, yang aturan hukum tentang

pembuatan hukum. Pelaksanaan hukum juga perlu dipelajari, dalam

hubungannya pembuatan hukum untuk menanggulangi pelaksanaan

hukum yang tidak efektif.

Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, Hukum Perundang-

undangan sebagai bidang ilmu hukum pada dasarnya melakukan

kajian mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan,

terlingkup di dalamnya peraturan perundang-undangan tentang

pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan.

Obyek tersebut dikaji dari aspek hukum pembentukan

peraturan perundang-undangan. Aspek hukum itu tidak saja

menyangkut asas dan kaidah hukum pembentukan peraturan

perundang-undangan, tapi meliputi pula lembaga dan proses untuk

mewujudkan asas dan kaidah hukum pembentukan peraturan

perundang-undangan menjadi kenyataan.

Karakter obyek kajian Hukum Perundang-undangan tersebut

sejalan dengan perkembangan pengertian hukum, yang tidak

membatasi pada perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi juga pada aspek lainnya,

seperti lembaga atau struktur hukum dan proses atau budaya hukum.

Dalam konteks pembelajaran ilmu hukum, yang dipelajari bukan saja

mempelajari perangkat kaidah dan asas-asas hukum, tapi mempelajari

Page 45: HUKUM PERUNDANG

32

juga lembaga atau struktur hukum dan proses atau budaya hukum.

Pengertian hukum yang memadai, menurut Mochtar

Kusumaatmaja, seharusnya tidak hanya memandang hukum itu

sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup

lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk

mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.34

Pengertian hukum tersebut memuat tiga unsur. Pertama,

perangkat kaidah dan asas-asas. Pengertian hukum sebagai suatu

perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia

dalam masyarakat, merupakan pengertian tradisional dari hukum.

Kaidah hukum merupakan patokan berperilaku yang mempunyai

akibat hukum. Asas-asas hukum merupakan pemikiran yang

melandasi kaidah hukum.

Kedua, lembaga (institutions). Istilah ”lembaga” atau lembaga hukum (legal institution) mempunyai dua makna, yakni: (1)

Himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku mengenai

kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.35

Termasuk dalam pengertian

ini adalah lembaga perkawinan, lembaga pengangkatan anak.

Lembaga perkawinan dapat dimaknai sebagai himpunan nilai-nilai,

kaidah-kaidah dan pola perilaku mengenai perkawinan; dan (2)

lembaga dalam pengertian struktur, mengacu pada Lawrence M.

Friedman, yang merupakan salah satu dasar atau elemen nyata dari

sistem hukum. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya

yang menjaga agar proses berjalan dalam batas-batasnya.36

Makna ”lembaga” dalam pengertian hukum dari Mochtar Kusumaatmaja diinterpretasi sebagai lembaga dalam pengertian

34

Mochtar Kusumaatmaja, 1986, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan

Hukum Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dean Kriminologi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hlm. 15. 35

Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian

Hukum, Malang : UMM Press, hlm. 8. 36

Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science

Perspective, New York : Russel Sage Foundation, hlm. 14.

Page 46: HUKUM PERUNDANG

33

struktur hukum, seperti lembaga penegak hukum; kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan. Interpretasi ini didasarkan pada rangkaian

anak kalimat berikutnya, ”dan proses (processes) yang diperlukan

untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”. Jadi, yang diperlukan dalam proses mewujudkan hukum itu dalam kenyataan

adalah lembaga penegak hukum. Bukan lembaga dalam pengertian

himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku, karena ini

terwadahi dalam unsur yang pertama yakni suatu perangkat kaidah

dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat.

Ketiga, proses (processes). Menunjuk pada tahapan

melakukan suatu perbuatan. Proses hukum menunjuk pada tahapan

perbuatan mewujudkan hukum dalam kenyataan, yakni proses

mewujudkan asas dan kaidah hukum oleh lembaga penegak hukum di

dalam kehidupan nyata.

Dari sudut pengertian hukum mutakhir tersebut, maka

Hukum Perundang-undangan mempelajari:

a. Perangkat kaidah dan asas-asas mengenai pembentukan

peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan.

b. Lembaga yang mempunyai dan menjalankan kewenangan

berdasarkan hukum untuk membentuk peraturan perundang-

undangan, seperti DPR, Presiden, dan DPD dalam pembentukan

undang-undang.

c. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti

tahapan perencanaan, permusan, pembahasan,

pengesahan/penetapan, dan pengundangan.

Lebih rinci obyek kajian hukum perundang-undangan

tersebut diamati dari ruang lingkup pengertian pembentukan

peraturan perundang-undangan, yakni:

1. Kegiatan pembentukan isi peraturan perundang-undangan,

meliputi materi muatan dan penormaan atau perumusan materi

Page 47: HUKUM PERUNDANG

34

muatan menjadi norma hukum yang dituangkan dalam aturan

hukum berwujud pasal, jika diperlukan dalam wujud ayat-ayat.

2. Kegiatan yang menyangkut pemenuhan bentuk peraturan

perundang-undangan, termasuk di dalamnya metoda pembentukan

peraturan perundang-undangan, dan proses serta prosedur

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, diperlukan pula pengetahuan tentang teori hukum

atau ajaran hukum tentang pembentukan peraturan perundang-

undangan, dan pengetahuan tentang praktik atau pengalaman

pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi, perspektif yang

diperlukan dalam pembelajaran Hukum Perundang-undangan adalah

hukum, teori, dan pengalaman.

Gambar 4. Obyek Kajian Hukum Perundang-undangan

Page 48: HUKUM PERUNDANG

35

1.7. Metode Kajian Hukum Perundang-Undangan

Seturut dengan obyek kajian hukum perundang-undangan

tersebut diperlukan metode kajian Hukum Perundang-undangan.

Kerangka analisis kajiannya adalah berdasarkan hukum, teori atau

ajaran hukum, praktik atau pengalaman pembentukan peraturan

perundang-undangan, menyangkut pembentukan isi dan pemenuhan

bentuk peraturan perundang-undangan.

Hukum Perundang-undangan merupakan disiplin ilmu

hukum, sehingga metode yang digunakan dalam ilmu hukum dapat

digunakan dalam penelitian hukum perundang-undangan.

Dewasa ini dikenal dua macam metode penelitian hukum,

yakni metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Kemudian

berkembang variasi dari keduanya, satu diantaranya adalah metode

sosio-legal (sociolegal). Ada juga menggunakan metode penelitian

normatif berorientasi empirik hukum.

Penjelasan bersifat umum mengenai kedua metode tersebut

terdapat dalam Lampiran I UU No.12/2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Lampiran I itu tentang Teknik

Penyusunan Naskah Akademik. Menyangkut metode penelitian,

Lampiran I menentukan:

1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang

menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan

Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak,

atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil

pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat

dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion),

dan rapat dengar pendapat.

2. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang

diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap

Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan

dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner

untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang

Page 49: HUKUM PERUNDANG

36

berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang

diteliti.

Buku Pedoman FHUNUD mengemukakan, metode yuridis-

normatif adalah studi terhadap problem norma, yang bersaranakan

pendekatan, antara lain, pendekatan peraturan perundang-

undangan/pendekatan formal (the statute law approach), pendekatan

kasus (the case approach), pendekatan analitis dan konseptual

(analitical and conseptual approach), pendekatan filosofis,

pendekatan perbandingan (lihat Buku Pedoman FHUNUD). Adapun

metode yuridis-empiris, studi terhadap problem pelaksanaan norma

(lihat juga Buku Pedoman FHUNUD). Misalnya, problem

pelaksanaan norma hukum pembentukan peraturan perundang-

undangan.

Pembentuk UU, melalui Lampiran I UU No.12/2011,

menyamakan metode yuridis empiris dengan metode sosiolegal. Ada

sudut pandang lain, yang tidak menyamakan metode yuridis empiris

dengan metode sosiolegal. Sebelum pengenalan metode sosio-legal,

perlu diberikan komentar, bahwa kedua metode penelitian itu

―metode yuridis normatif dan yuridis empirik―metode penelitian terhadap fase kedua dan ketiga dari proses hukum , yakni fase aturan

hukum yang merupakan hasil pembuatan hukum dan fase

pelaksanaan aturan hukum. Oleh karena itu penggunaan kedua

metode dalam pembelajaran dan penelitian Hukum Perundang-

undangan haruslah dilakukan dengan cermat, sehingga tidak

menisbikan hakekat Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin

ilmu hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,

yang berada pada fase pembuatan hukum.

Berdasarkan kondisi yang demikin, penting

mempertimbangkan metode selain kedua metode itu, misalnya

metode sosio-legal. Menurut Lampiran I UU No.12/2011,

sebagaimana telah dikutip di atas, metode sosio-legal merupakan

sebutan lain dari metode yuridis empirik. Pendapat lain menyatakan

metode sosio-legal adalah hibrida metode yuridis normatif dan

Page 50: HUKUM PERUNDANG

37

metode yuridis empirik.

Banakar dan Travers menegaskan sosiolegal sebagai

“interdisciplinary studies of law”. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa ini adalah studi hukum dengan pendekatan interdisipliner,

bukan studi ilmu sosial tentang hukum.37

Kata “sosio” dalam sosiolegal merepresentasi keterkaitan antar konteks di mana hukum

berada. Peneliti sosiolegal menggunakan teori sosial untuk tujuan

analisis, tidak sedang bertujuan memberi perhatian pada sosiologi

atau ilmu sosial lain, melainkan hukum dan studi hukum.38

Studi sosiolegal memiliki karakteristik. Pertama, studi

sosiolegal melakukan studi tekstual, pasal-pasal dalam peraturan

perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal

dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum

(termasuk kelompok terpinggirkan). Juga studi tentang putusan

hakim, mengkaji kasus-kasus persidangan berdasarkan teks putusan

hakim maupun data lapangan. Kedua, studi sosiolegal

mengembangkan berbagai metode “baru” hasil perkawinan antara metode hukum dengan ilmu sosial, sepertistudi kasus untuk meneliti

budaya hukum, studi yang berfokus pada penggunaan teks dan

analisis diskursus untuk mengkaji bekerjanya ombudsman, dan

37

Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, “Bernegara hukum dan

berbagi kuasa dalam urusan agrarian di Indonesia: Sebuah Pengantar”, dalam Safitri dan Tristam Moeliono, (eds.), Hukum Agraria dan Masyarakat

Di Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan Alam, Dan Ruang Di Masa

Kolonial Dan Desentralisasi, Jakarta: HuMa; Van Vollenhoven Institute,

KITLV-Jakarta, hlm. 31. 38

Sulistyowati Irianto, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal

dan implikasi metodelogisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (eds.), Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Penerbit Pustaka Larasan, (selanjutnya

disingkat Susistyowati Irianto I), hlm. 3. Lihat juga Sulistyowati Irianto,

2009, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodelogisnya”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian Hukum:

Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, (selanjutya

disingkat Sulistyowati Irianto II), hlm. 175.

Page 51: HUKUM PERUNDANG

38

etnografi sosiolegal.39

Metode penelitian sosiolegal merupakan kombinasi antara

metode penelitian hukum doktriner dan metode penelitian hukum

empirik (yang meminjam metode ilmu sosial), maka yang perlu

dilakukan peneliti adalah studi dokumen, yang disertai dengan studi

lapangan. Studi dokumen melakukan identifikasi dan analisis

terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait tema

riset. Studi lapangan melakukan identifikasi bagaimana hukum

bekerja dan berimplikasi terhadap hubungan-hubungan di antara

subjek dengan banyak pihak, dan mendapatkan data empirik tentang

pengalaman subjek berkenaan dengan tematik riset.40

Jadi, dalam penelitian sosio-legal terdapat unsur penelitian

hukum doktriner, atau disebut juga penelitian hukum normatif.41

Oleh

karena, diperlukan penguasaan metode penelitian hukum normatif,

terutama tentang makna normatif.

Normatif adalah sebuah konsep filsafat tentang nilai. Ia

menunjuk kepada keutamaan nilai (summum bonum) tertentu. Konsep

normatif menunjuk pada hakikat hukum sebagai kaidah atau norma,

bukan sekedar aturan formal. Suatu aturan disebut normatif, jika

dalam dirinya terdapat summum bonum yang secara akal sehat

diterima sebagai sesuatu yang patut.42

Kaidah atau norma adalah

39

Sulistyowati Irianto I, op.cit, hlm. 5-6. Lihat juga Sulistyowati

Irianto II, op.cit., hlm. 177-178. 40

Sulistyawati Irianto, 2009, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif

Sosiolegal”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (eds), Metode Penelitian

Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

(selanjutnya disingkat Sulistyawati Irianto III),hlm. 308-309. 41

Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Hukum: Konsep dan Metode,

Malang: Setara Press, hlm. 75-88. Lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto,

2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta:

HuMa, hlm. 147-160. 42

Benard L. Tanya; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2006,

Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

Surabaya: CV. Kita, hlm. 187-188.

Page 52: HUKUM PERUNDANG

39

makna spiritual, sebagai basis spiritual dari aturan.43

Ia adalah nilai

yang tertuang dalam aturan.44

Seturut dengan itu, Bruggink menyatakan bahwa pandangan

normatif memandang hukum dan moral tidak dipisahkan, yang

berbeda dengan pandangan positivistik memandang adanya

pemisahan antara hukum dan moral. Jika orang hendak mengolah

(mempelajari) hukum secara ilmiah, maka hukum itu pertama-tama

harus dipisahkan dari moral. Kita sudah melihat, ungkap Bruggink,

bahwa Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre-nya telah memilih

pendekatan yang demikian itu. 45

Menurut Kelsen, orang harus mendekati hukum pada struktur

formalnya, bahwa suatu kaidah hukum atau norma hukum baru

memiliki keberlakuan manakala tiap kaidah hukum harus diderivasi

dari sistem hukum, tanpa memperhatikan isi kaidah hukum itu.

Keberlakuan ini disebut keberlakunan normatif atau formal kaidah

hukum. Tampaknya, disebut keberlakuan normatif dalam pengertian

bertumpu pada kaidah hukum (rechtsnorm), tetapi pada tempat

kaidah hukum itu di dalam sistem hukum, maka keberlakuan ini

disebut juga keberlakuan formal. 46

Artinya, hukum dilepaskan dari

moral, dan karena itu memang tepat disebut pendekatan formal

mengelola (mempelajari) hukum daripada pendekatan normatif.

Posisi keterpisahan atau ketidakterpisahan antara hukum dan

moral dijelaskan oleh Stanley L. Paulson, yang membuat skema

untuk menggambarkan posisi Kelsen di antara tesis-tesis yang

bertumpu pada isu hubungan antara hukum dan moral serta isu

hubungan antara hukum dan fakta:

43

Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, hlm. 122. 44

Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum: Sebuah

Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 11. 45

JJ.H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-

Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.

186-189. 46

Ibid., hlm. 150-151.

Page 53: HUKUM PERUNDANG

40

Hukum

dan fakta

Hukum

dan moralitas

Tesis normativitas

(keterpisahan

hukum dan fakta)

Tesis reduktif

(ketakterpisahan

hukum dan fakta)

Tesis moralitas

(ketakterpisahan

hukum dan

moralitas)

Teori Hukum Alam

Tesis separabilitas

(keterpisahan hukum

dan moralitas)

Teori Murni

Hukum-Kelsen

Teori Hukum

Empiris-Positivis

Skema tersebut menggambarkan tesis-tesis yang dianut oleh

masing-masing teori hukum, yakni:

1. Teori Hukum Alam menggabungkan tesis moralitas dan tesis

normativitas. Artinya, memandang adanya ketidakterpisahan

hukum dan moralitas serta keterpisahan hukum dan fakta.

2. Teori Hukum Empiris-Positivis menggabungkan tesis separabilitas

dan tesis reduktif. Artinya, memandang adanya keterpisahan

hukum dan moralitas serta ketidakterpisahan hukum dan fakta

3. Teori Murni Hukum-Kelsen menggabungkan tesis separabilitas

dan tesis normativitas. Artinya, memandang adanya keterpisahan

hukum dan moralitas serta keterpisahan hukum dan fakta.47

Tesis moralitas tentang ketakterpisahan hukum dan moralitas

tersebut sejalan dengan pandangan normatif yang dianut Bruggink,

47

Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, terjemahan,

Bandung: Penerbit Nusa Media, hlm. 10-11. Hans Kelsen, 1992,

Introduction to the Problems of Legal Theori, A Translation of the First

Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by:

Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, with an Introduction by

Stanley L. Paulson, Oxford: Clarendon Press, hlm. xxv-xxvi. Lihat juga

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 9-10.

Page 54: HUKUM PERUNDANG

41

yang memandang hukum dan moral tidak terpisahkan.48

Sejalan juga

dengan paham yang dianut oleh Mohammad Koesnoe mengenai Ilmu

Hukum Positif sebagai Ilmu yang berorientasi kepada nilai, yang

ingin memahami dan berakhir pada kesimpulan yang berisi

pengetahuan tentang arti sesungguhnya suatu ketentuan hukum positif

yang sesuai dengan kemauan tata hukum, bahkan berusaha untuk

sesuai dengan citahukum (rechtsidee) tata hukum yang bersangkutan. 49

Metode Yuridis-Normatif semestinya dipahami dalam

pengertian yang tidak membatasi pada aspek struktur formal aturan

hukum, tapi meliputi hakikat hukum sebagai kaidah atau norma, yang

mengandung nilai sesuai citahukum dari tata hukum Indonesia.

Penggunaan metode penelitian hukum normatif memerlukan

sejumlah perangkat, seperti penguasaan perumusan masalah,

penalaran, dan interpretasi:

1. Penguasaan perumusan masalah, dapat disimak contoh isu

hukum berikut: a. apakah bentuk penormaan yang dituangkan

dalam suatu ketentuan hukum positif telah sesuai atau

merefleksikan prinsip-prinsip hukum yang bermaksud

menciptakan keadilan; b. apakah ada prinsip hukum baru sebagai

refleksi dari nilai-nilai hukum yang ada?; c. apakah gagasan

mengenai pengaturan tentang suatu perbuatan tertentu dilandasi

oleh prinsip hukum, teori hukum, atau filsafat hukum?;50

d.

Ideologi apakah yang ada di balik pembentukan peraturan

perundang-undangan atau dalam pasal-pasal/ayat-ayatnya?; dan

e. Politik hukum apakah terdapat dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan atau dalam pasal-pasal/ayat-ayatnya?51

48

JJ.H. Bruggink, op.cit., hlm. 189. 49

Mohammad Koesnoe, 2010, Dasar dan Metode Ilmu Hukum

Positif, Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 67. 50

Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 48. 51

Gede Marhaendra Wija Atmaja,2017, “Metodelogi Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik”, makalah dipersiapkan untuk

Page 55: HUKUM PERUNDANG

42

2. Kegiatan ilmiah hukum meliputi menginvetarisasi,

menginterpretasi, mengsistematisasi, mengevaluasi. aturan-

aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari empat

jenis kegiatan itu, yang menjadi intinya adalah

menginterpretasi dan mengsistematisasi aturan-aturan hukum.

Menginterpretasi adalah upaya menemukan makna dari aturan

hukum itu, artinya mendistilasi atau menarik keluar dan

menampilkannya ke permukaan kaidah hukum atau makna

hukum yang tercantum atau tersembunyi di dalam aturan hukum

yang bersangkutan. Mensistematissi hukum berarti menampilkan

ke permukaan serta menumbuhkembangkan sistem hukum yang

(sudah) ada di dalam kesadaran hukum masyarakat atau

membangun sebuah sistem hukum berdasarkan apa yang sudah

ada. Mensistematisasi juga berarti bahwa setiap hasil interpretasi

terhadap aturan-aturan hukum ditempatkan (diintegrasikan) ke

dalam sistem hukum yang sudah ada.52

3. Metode yang digunakan menginterpretasi aturan hukum untuk

menemukan kaidah hukum, dalam studi ilmu hukum sudah lama

dikembangkan berbagai metode interpretasi yang mencakup

metode gramatikal, historikal, sistematikal, teleological, dan

sosiologikal. Kemudian interpretasi secara hermeneutical, bahwa

semua metode perlu dilibatkan secara proporsional dalam kaitan

Kegiatan Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Di Daerah

Tahun Anggaran 2017 diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Hukum

dan HAM Bali, Denpasar, hlm. 14. 52

Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto

& Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., hlm. 145-146. B. Arief Sidharta,

2017, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya pengembangan Ilmu Hukum Sistematik

yang responsif terhadap perubahan masyarakat, Bandung: Unpar Press,

hlm. 135-136. Buku ini menyediakan satu sub-bab untuk penelitian hukum

normatif, yakni Bab VIII Ciri Khas Keilmuan Ilmu Hukum, E. Penelitian

Hukum Normatif, pada hlm. 129-143.

Page 56: HUKUM PERUNDANG

43

antara metode yang satu dengan metode yang lainnya setiap kali

menginterpretasi.53

4. Dalam kepustakaan hukum juga dikenal prinsip contextualism

dalam menginterpretasi, yakni: (1) Asas Noscitur A Sociis. Suatu

hal diketahui dari himpunannya, artinya suatu kata harus

diartikan dalam rangkaiannya; (2) Asas Ejusdem Generis. Sesuai

genusnya, artinya satu kata dibatasi maknanya secara khusus

dalam kelompoknya; dan (3) Asas Exlusio Alterius. Satu konsep

digunakan untuk satu hal, belum tentu berlaku untuk hal lain.54

5. Penelitian Hukum Normatif memerlukan penalaran hukum. Tiga

acuan dasar berpenalaran hukum. Pertama, Positivitas. Demi

terjaminnya kepastian hukum dan prediktabilitas, maka proses

penalaran hukum harus selalu berdasarkan dan dalam kerangka

tata hukum yang berlaku. Kedua, Koherensi. Agar dapat dipatuhi

dan diterapkan sedemikian sehingga tujuan pembentukannya

dapat terwujud, maka dalam tata hukum tidak boleh ada

inkonsistensi dan kontradiksi internal. Terdapat sejumlah asas

hukum mencegah dan menanggulangi problem tersebut, seperti:

asas lex superior, lex posterior, lex specialis.55

Ketiga, Keadilan.

Hukum dimaksudkan unjtuk mewujudkan pengaturan hubungan

53

Ibid., hlm. 136. 54

Phlipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi

Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 26, yang merujuk

pada McLeod. Lihat juga Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 005/PUU-

IV/2006 dalam perkara permohonanPengujian Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian

Undang undangRepublik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakimanterhadap Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia

Tahun 1945, hlm. 160-162. 55

Tentang asas preferensi hukum lihat Bagir Manan, 2004, Hukum

Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 56-

61. Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta:

Kencana, hlm. 99-101.

Page 57: HUKUM PERUNDANG

44

antar-manusia yang tepat, artinya yang dapat diterima atau

akseptabel oleh para pihak dan juga oleh masyarakat.56

6. Sejumlah asas logika diperlukan dalam penalaran hukum.

Pertama, Asas eksklusi. Asas yang dengannya Ilmu Hukum

mengandaikan sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem

hukum, dan dengan itu mengindentifikasi sistem hukum tersebut.

Kedua, asas sub-sumsi. Asas yang dengannya Ilmu Hukum

menetapkan hubungan hierarki di antara aturan-aturan hukum

berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi dan yang lebih

rendah. Ketiga, asas derogasi. Asas yang digunakan untuk

menolak sebuah aturan hukum, atau bagian dari sebuah aturan,

karena berkonflik dengan aturan lain yang berasal dari sumber

legislatif yang lebih tinggi. Keempat, asas non-kontradiksi. Asas

yang digunakan untuk menolak pemaparan sistem hukum yang

di dalamnya dapat diafirmasi eksistensi sebuah kewajiban dan

pada saat yang sama juga non-eksistensi sebuah kewajiban yang

mengkover situasi-situasi yang sama pada kejadian ang sama

(perbuatan yang diwajibkan oleh sebuah aturan hukum justru

dilarang oleh aturan hukum lain dalam waktu yang bersamaan).57

7. Penelitian hukum normatif mengenal sejumlah pendekatan,

yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan

analisis (analytical approach), pendekatan perbandingan

(comparative approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan

56

Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum ...”, dalam

Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., Ibid, hlm. 144-

145, merujuk pada Visser‟t Hooft. B. Arief Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... ,

Ibid., hlm. 133-135, merujuk pada Visser‟t Hooft. 57

Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum ...”, dalam

Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode Penelitian ..., Ibid, hlm. 147-

148, merujuk pada JW Harris. B. Arief Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... ,

Ibid., hlm. 140-141, merujuk pada JW Harris.

Page 58: HUKUM PERUNDANG

45

pendekatan kasus (case approach).58

Penjelasan ringkasnya

sebagai berikut:

(1) Pendekatan perundang-undangan memerlukan pemahaman

antara lain mengenai jenis hierarki peraturan perundang-

undangan (baik hierarki struktural maupun fungsional), ratio

legis suatu aturan hukum, asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, dan asas preferensi.

(2) Pendekatan konseptual bertumpu memerlukan pemahaman

konsep yuridik, meliputi: konsep yuridik relevan, yang

merupakan komponen aturan hukum (khususnya konsep yang

digunakan untuk memaparkan situasi fakta dalam kaitannya

dengan ketentuan undang-undang, misalnya konsep benda dan

konsep mengambil) dan konsep yuridik asli yakni konsep

konstruktif dan sistematikal yang digunakan untuk memahami

sebuah aturan hukum atau sistem aturan hukum, misalnya

konsep hak, kewajiban, peristiwa hukum, perbuatan hukum, dan

hubungan hukum.59

(3) Pendekatan perbandingan, yakni membandingkan suatu kaidah

hukum, pranata hukum, atau lembaga hukum dari suatu sistem

hukum dengan sistem hukum lainnya.

(4) Pendekatan historis, diperlukan pemahaman mengenai (1)

sejarah perkembangan kaidah hukum, pranata hukum atau

lembaga hukum; dan (2) sejarah pembentukan suatu peraturan

perundang-undangan, antara lain melalui pembacaan risalah

pembahasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.

(5) Pendekatan filsafat, antara lain mencari landasan filosofis suatu

kaidah hukum, aliran filsafat yang melandasi lahirnya suatu

58

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian ..., op.cit., hlm. 93. 59

Tentang konsep yuridisk lihat Bernard Arief Sidharta, 2009,

“Penelitian Hukum ...”, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds),

Metode Penelitian ..., Ibid., hlm. 148, merujuk pada Radbruch. B. Arief

Sidharta, 2017, Ilmu Hukum ... , Ibid., hlm. 141-142, merujuk pada

Radbruch.

Page 59: HUKUM PERUNDANG

46

kaidah hukum, atau nilai yang terkandung dalam suatu kaidah

hukum.

(6) Pendekatan kasus, penggunaan pendekatan ini memerlukan

pemahaman tentang kasus baik dalam arti kasus yang bersifat

sengketa yang penyelesaiannya tertuang dalam putusan

pengadilan maupun kasus yang bersifat non-sengketa, seperti

kasus pembentukan pembentukan peraturan daerah.

Kembali pada metode sosio-legal, yang salah satu anasirnya

adalah metode penelitian hukum normatif, dan anasir lainnya adalah

pemanfaatan pendekatan ilmu-ilmu sosial untuk menyelesaikan atau

membahas persoalan hukum. Setelah dikemukakan beberapa prinsip

metode penelitian hukum normatif, berikutnya dikemukakan

kemungkinan pemanfaatan pendekatan ilmu-ilmu sosial.

Kurikulum fakultas hukum telah menyediakan pendekatan

tersebut, antara lain tersedia dalam mata kuliah Hukum dan

Kebijakan Publik. Proses kebijakan publik pada dasarnya meliputi

formulasi kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan

evaluasi kebijakan publik.

Berkaitan dengan Hukum Perundang-undangan, yang pada

hekekatnya adalah disiplin ilmu hukum tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan, maka formulasi kebijakan publik atau

perumusan kebijakan publik dapat digunakan sebagai pendekatan

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tahapan

perumusan kebijakan publik meliputi: (1) perumusan masalah; (2)

agenda kebijakan; (3) pemilihan alternatif kebijakan untuk

memecahkan masalah; dan (4) penetapan kebijakan publik.60

Metode dalam Hukum Tata Negara

Metode yang dikenal dalam studi Hukum Tata negara dapat

60

Budi Winarno, 2011, Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi

Kasus, Yogyakarta: CAPS, hlm. 122-126. Lihat pula M. Irfan Islamy, 2012,

Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, hlm. 5.1-5.32.

Page 60: HUKUM PERUNDANG

47

pula dipinjam dalam pembelajaran dan penelitian Hukum Perundang-

undangan. Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara yang klasik telah

diperkenalkan metode kajian Hukum Tata Negara, yang meliputi:

1. Metode Juridis Dogmatis/juridis formal, menyandarkan

penyelidikan pada dogmatis, semata-mata pada undang-

undang. 61

2. Metode Historis Juridis, melengkapi penyelidikan dengan

konteks historis.62

3. Metode historis sistematis, melengkapi metode historis yuridis

dengan analisis secara sistematis.63

4. Metode Juridis Fungsional, melengkapi dengan konteks

sosiologikal, dengan memahami aspek-aspek sosiologis dan

politis.64

Soepomo telah mengingat bahwa mempelajari hukum tata

negara tidak cukup dari bunyi pasal-pasalnya saja. Memahami makna

sebuah pasal tidaklah cukup hanya dengan mempelajari teksnya saja,

tetapi juga konteks yang melatari lahirnya teks bahkan dengan

pemikiran-pemikran yang berkembang pada saat teks itu dibaca,

dikemukakan pada tahun 1945, tepat tanggal 15 Juli, dalam Sidang

Kedua BPUPKI tanggal 1945 dengan acara “Pembahasan Rancangan Undang-undang Dasar.

65 Pandangan Soepomo itu kemudian tertuang

61

Djoko Sutono, 1982, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al

Rasid, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 21. Abu Daud Busroh dan H.

Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia

Indonesia, hlm. 35-36. 62

Djoko Sutono, 1982, Hukum ..., hlm. 22. Abu Daud Busroh dan

H. Abubakar Busro, 1983, Asas-asas ..., hlm. 34-35. 63

Dalam I Gede Yusa, et.al., 2016, Hukum Tata Negara: Pasca

Perubahan UUD NRI 1945, Malang : Setara Press, hlm. 15-16. 64

Djoko Sutono, 1982, Hukum ..., hlm. 23-24. 65

Terkutip dalam Saafroedin Bahar, et.al., (eds.), Risalah Sidang

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-

22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, hlm.

Page 61: HUKUM PERUNDANG

48

dalam Penjelasan Umum UUD 1945 (sebelum perubahan) tepatnya

pada angka I. Undang-Undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.

Uraian yang agak panjang-lebar tentang metode kajian

Hukum Perundang-undangan penting dilakukan seturut dengan

karakter bawaan dari lahirnya Ilmu Perundang-undangan, yang

menjadi basis Hukum Perundang-undangan, yakni sebagai disiplin

ilmu hukum yang interdisipliner. Maknanya, Hukum Perundang-

undangan sebagai disiplin ilmu hukum merupakan medan pertemuan

beragam pendekatan. Perlu mengingat sejenak komentar A. Hamid S.

Attamimi, bahwa Krems mendefinisikan Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan sebagai ilmu pengetahuan yang interdisipliner

tentang pembentukan hukum negara. Ia menyatukan berbagai segi

pengetahuan yang ada dan menggunakannya bagi suatu jangkauan

obyeknya yang khusus.66

Satu bagian dari Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan adalah Ilmu Perundang-undangan, sehingga

memiliki pula karakter interdisipliner.

Berdasarkan seluruh uraian mengenai metode kajian Hukum

Perundang-undangan, tersedia pilihan metode yang dapat diringkas

dalam gambar berikut:

Gambar 5. Pilihan Metode Kajian Hukum Perundang-undangan

264.

66A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Ilmu Pengetahuan ...”, Ibid., hlm. 5.

Page 62: HUKUM PERUNDANG

49

1.8. Penutup

Resume

Awalnya mata kuliah ini bernama Ilmu Perundang-undangan,

merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,

berorientasi kepada melakukan perbuatan membentuk peraturan

negara atau membentuk peraturan perundang-undangan.Ilmu

Perundang-undangan sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan tidaklah bersifat monodisipliner, melainkan

interdisipliner.

Kemudian berganti nama menjadi Hukum Perundang-

undangan dengan alasan pembelajaran materi kuliah Ilmu Perundang-

undangan dilakukan dalam kerangka hukum, menyangkut asas dan

kaidah hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, lembaga

dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah hukum pembentukan

peraturan perundang-undangan menjadi kenyataan.

Jadi, Hukum Perundang-undangan mempelajari: (1)

Perangkat kaidah dan asas-asas mengenai pembentukan peraturan

perundang-undangan, seperti Undang-Undang tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan; (2) Lembaga yang mempunyai dan

menjalankan kewenangan berdasarkan hukum untuk membentuk

peraturan perundang-undangan, seperti DPR, Presiden, dan DPD

dalam pembentukan undang-undang; dan (3) Proses pembentukan

peraturan perundang-undangan, seperti tahapan perencanaan,

permusan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan.

Lebih rinci obyek kajian hukum perundang-undangan

tersebut diamati dari ruang lingkup pengertian pembentukan

peraturan perundang-undangan, yakni: (1) Kegiatan pembentukan isi

peraturan perundang-undangan, meliputi materi muatan dan

penormaan atau perumusan materi muatan menjadi norma hukum

yang dituangkan dalam aturan hukum berwujud pasal, jika diperlukan

dalam wujud ayat-ayat; (2) Kegiatan yang menyangkut pemenuhan

bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk antara lain proses

serta prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.

Page 63: HUKUM PERUNDANG

50

Hukum Perundang-undangan yang berawal dari Ilmu

Perundang-undangan, karakter bawaannya adalah disiplin ilmu yang

intersipliner, oleh karena itu disiplin ilmu hukum ini terbuka bagi

berbagai pendekatan, tidak saja pendekatan ilmu hukum (metode

penelitian yuridis normatif), tapi juga pendekatan ilmu sosial (metode

penelitian sosio-legal) sebagai metode dalam mendekati obyek

hukum perundang-undangan.

Latihan

Sebagai akhir dari bagian Penutup, disediakan soal latihan

bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian

pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,

sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Perundang-undangan?

2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perundang-undangan

sebagai disiplin ilmu hukum?

3. Apa makna Hukum Perundang-undangan sebagai disiplin ilmu

hukum yang bersifat interdisipliner?

4. Apa yang menjadi obyek Hukum Perundang-undangan sebagai

disiplin ilmu hukum?

5. Dimanakah posisi Hukum Perundang-undangan dalam fase

proses hukum yang meliputi pembuatan hukum, hukum sebagai

produk pembuatan hukum, dan pelaksanaan hukum?

1.9. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan

Abdurrahman, Muslan, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian

Hukum, Malang: UMM Press.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa‟at, 2012, Teori Hans Kelsen

Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta:

Konstitusi Press.

Page 64: HUKUM PERUNDANG

51

Attamimi, A. Hamid S., 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan),

Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, Depok: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

―――, 1990, Ilmu Pengetahuan Perundang­undangan

(Gesetzgebungswissenchaft) dan Pengembangan

Pengajarannya Di Fakultas Hukum, Makalah dalam Diskusi

Mengenai Kemungkinan Masuknya Ilmu Perundang-undangan

Dalam Kurikulum Fakultas Hukum pada Pertemuan Dekan-

dekan Fakultas Hukum Negeri Se·Indonesia Di Bawah

Konsorsium Ilmu Hukum, Jakarta, 20-21 Oktober 1989, dimuat

dalam Hukum dan Pembangunan, Februari 1990, hlm. 4-5.

―――, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia

dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi

Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Bersifat

Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV),

Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas

Indonesia.

―――, 1982, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,

dalam BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga

Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1

s/d 20 Juni 1981, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman.

―――, 1979, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,

dalam Hukum dan Pembangunan, Vol 9 No 3 Tahun 1979,

hlm. 281-292.

Atmaja, Gede Marhaendra Wija 2017, Metodelogi Penelitian Hukum

dalam Penyusunan Naskah Akademik, makalah dipersiapkan

untuk Kegiatan Pembinaan Perancang Peraturan Perundang-

Undangan Di Daerah Tahun Anggaran 2017 diselenggarakan

Page 65: HUKUM PERUNDANG

52

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali,

Denpasar.

Bahar, Saafroedin, et.al., (Eds.), 1995, Risalah Sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2, Jakarta:

Sekretariat Negara RI.

Bruggink, JJ.H., 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-

Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, terjemahan B. Arief

Sidharta, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.

Busroh, Abu Daud dan H. Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum

Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Farida, Maria, dkk, 2008, Laporan Kompendium Bidang Hukum

Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Social Science

Perspective, New York: Russel Sage Foundation.

Hadjon, Phlipus M. dan Tatiek Sri Jatmiati, 2005, Argumentasi

Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Irianto, Sulistyowati, 2012, Memperkenalkan kajian sosio-legal dan

implikasi metodelogisnya, dalam Adriaan W. Bedner, dkk

(Eds.), Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Penerbit Pustaka

Larasan.

―――, 2009, Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi

metodelogisnya, dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds),

Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Page 66: HUKUM PERUNDANG

53

―――, 2009, Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal,

dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, (Eds), Metode

Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, Malang: Bayumedia Publishing.

Islamy, M. Irfan, 2012, Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit

Universitas Terbuka.

Koesnoe, Mohammad, 2010, Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif,

Surabaya: Airlangga University Press.

Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum

Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata

Negara FH UI.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Hukum, Masyarakat dan

Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian

Hukum dean Kriminologi Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran.

Kelsen, Hans, 2008, Pengantar Teori Hukum, terjemahan, Bandung:

Penerbit Nusa Media.

―――, 1992, Introduction to the Problems of Legal Theori, A

Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or

Pure Theory of Law, Translated by: Bonnie Litschewski

Paulson and Stanley L. Paulson, with an Introduction by

Stanley L. Paulson, Oxford: Clarendon Press.

Latif, H. Abdul dan H. Hasbi Ali, 2014, Politik Hukum, Jakarta:

Penerbit Sinar Grafika.

Magnis-Suseno, Franz, 2016, Etika Politik Hukum: Prinsip-prinsip

Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama

Page 67: HUKUM PERUNDANG

54

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam

perkara permohonanPengujian Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentangKomisi Yudisial dan

Pengujian Undang undangRepublik Indonesia Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakimanterhadap Undang-Undang

Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.

Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik),

Yogyakarta: FH UII Press.Manan, Bagir, 1992, Dasar-dasar

Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.co.

―――, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu

Negara, Bandung: Mandar Maju.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1987, Peraturan Perundang-

undangan dalamPembinaan Hukum Nasional, Bandung:

Penherbit CV Armico.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.

Mertokusumo, Sudikono, 1996, Penemuan Hukum: Sebuah

Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

―――, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adtya Bakti.

Rizal, Jufrina, 2003, Sosiologi Perundang-undangan dan

Pemanfaatannya, dalam Hukum dan Pembangunan Nomor 3

Tahun XXXIII, Juli-September 2003, hlm. 413-427.

Safitri dan Tristam Moeliono, 2010, Bernegara hukum dan berbagi

kuasa dalam urusan agrarian di Indonesia: Sebuah pengantar,

dalam Safitri dan Tristam Moeliono, (Eds.), Hukum Agraria

dan Masyarakat Di Indonesia: Studi tentang tanah, kekayaan

alam, dan ruang di masa colonial dan desentralisasi, Jakarta:

HuMa; Van Vollenhoven Institute, kitlv-Jakarta.

Page 68: HUKUM PERUNDANG

55

Siahaan, Pataniari, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-

Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Konstitusi

Press.

Sidharta, B. Arief, 2017, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya

pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang responsif

terhadap perubahan masyarakat, Bandung: Unpar Press.

―――, 2009, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian

Filosofikal dan Dogmatikal, dalam Sulistyowati Irianto &

Shidarta, (Eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan

Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia..

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2002, Ilmu Perundang-undangan:

Dasar-dasar dan Pembentukannya,

cetakankelima,Yogyakarta:Kanisius.

Soekanto, Soerjono, Tahun (?), “Masalah-masalah Di Sekitar

Perundang-undangan (Suatu Tinjauan menurut Sosiologi

Hukum), dalam Majalah FH UI, Nomor (?), hlm. 27-34.

Sutono, Djoko, 1982, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al

Rasid, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tanya, Bernard L.; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2006,

Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, Surabaya: CV Kita.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2013, Hukum: Kosep dan Metode,

Malang: Setara Press.

―――, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya, Jakarta: HuMa.

Winarno, Budi, 2011, Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi

Kasus, Yogyakarta: Caps.

Yusa, I Gede, et.al., 2016, Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan

UUD NRI 1945, Malang: Setara Press.

Page 69: HUKUM PERUNDANG

56

PERTEMUAN II :

TUTORIAL I

PEMAHAMAN DASAR HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

2.1. Pendahuluan

Mahasiswa dalam Pertemuan II dan Tutorial Kesatu ini

mendiskusikan materi-materi berkenaan dengan Pemahaman Dasar

Hukum Perundang-undangan, meliputi: (1) nama mata kuliah: dari

ilmu perundang-undangan ke hukum perundang-undangan; (2)

hukum perundang-undangan: pengaturan dan disiplin ilmu hukum;

(3) perundang-undangan: pembentukan peraturan perundang-

undangan dan peraturan perundang-undangan; (4) obyek kajian

hukum perundang-undangan; dan (5) metode kajian hukum

perundang-undangan.

Materi-materi Tutorial Kesatu merupakan pendalaman atas

materi-materi Kuliah Kesatu, yang berfungsi sebagai landasan-

pijakan untuk memahami materi-materi pembelajaran pada

pertemuan-pertemuan berikutnya, baik kuliah maupun tutorial.

Karena itu, dalam tutorial ini Mahasiswa mendiskusikan dengan

sungguh-sungguh mengenai isu yang terdapat dalam penyajian materi

Study Task dan Problem Task.

2.2. Penyajian Materi: Study Task dan Problem Task

2.2.1. Study Task

Materi study task mengenai pengertian pembentukan

peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan

disajikan dalam kotak berikut:

Kotak 1.

PENGERTIAN PEMBENTUKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Page 70: HUKUM PERUNDANG

57

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-

Undang ini disahkan dan diundakan di Jakarta pada tanggal 12

Agustus 2011, serta mulai berlaku pada tanggal diundangkan

(Pasal 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).

Pembentuk Undang-Undang mendefinisikan Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan

Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011).

Berikutnya pembentuk Undang-Undang mendefinisikan

Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk

atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-

undangan.

Definisi tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan terlihat menampilkan tahapan pembentukan (aspek

pemenuhan bentuk) saja, apakah memang demikian, dan

bagaimana dengan aspek pembentukan isinya? Demikian juga

dengan definisi tentang Peraturan Perundang-undangan

mengemuka persoalan, antara lain, apa yang dimaksud dengan

“norma hukum yang mengikat secara umum”, apa yang dimaksud dengan “yang berwenang” dalam anak kalimat “dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang”, serta apa arti “perundang-undangan” dalam peristilahan “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” dan “Peraturan Perundang-undangan”?

Hal tersebut menunjukkan, untuk mendapatkan pemahaman

yang lebih memadai tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Perundang-undangan, tidak cukup secara

Page 71: HUKUM PERUNDANG

58

otentik saja sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan Umum

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tapi perlu pula

mendapatkan pemahaman secara teoritik perihal Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-

undangan.

Tugas Mahasiswa adalah melakukan studi atas isu

sebagaimana dikemukakan dalam kotak di atas. Perlu dikemukakan

kata kunci sebagai arahan studi, yakni: perundang-undangan, hukum

perundang-undangan.

2.2.2. Problem Task

Materi problem task berkenaan dengan pengertian peraturan

perundang-undangan disajikan dalam kotak berikut:

Kotak 2.

Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek Hak Uji Materiil Tapi dalam perkara lain, pernah dinyatakan sebagai objek HUM

karena isinya bersifat regeling.

(hukumonline.com, Senin, 17 April 2017)

Majelis hakim agung beranggotakan H Yulius, Yosran dan

Irfan Fachruddin menyatakan Surat Edaran (SE) bukanlah objek

hak uji materiil (HUM). Karena itu, majelis menolak permohonan

yang diajukan seorang warga Nganjuk Jawa Timur terhadap Surat

Edaran Bupati Nganjuk No. 140/153/411.010/2015 tentang

Penghentian Sementara Pengisian Perangkat Desa.

Sebelum masuk ke substansi permohonan majelis terlebih

dahulu menjawab pertanyaan apakah objek permohonan

merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

Undang. Sebab, kewenangan Mahkamah Agung hanya menguji

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31

ayat (1) UU Mahkamah Agung juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan

Page 72: HUKUM PERUNDANG

59

Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Berdasarkan kriteria bentuk luar (kenvorm) atau rumusan

perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-

undangan sesuai Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE yang menjadi

objek HUM tidak memenuhi kriteria „peraturan perundang-

undangan‟. (Baca juga: Surat Edaran, „Kerikil‟ dalam Perundang-

Undangan).

Sebagaimana tertuang dalam putusan No. 48P/HUM/2016

yang salinannya sudah dipublikasikan Mahkamah Agung, majelis

menilai SE objek HUM hanya masuk kriteria keputusan

administrasi negara yang bersifat umum dengan bentuk atau

karakteristik yang addressat-nya tidak ditujukan kepada semua

orang, melainkan hanya ditujukan kepada camat se-Kabupaten

Nganjuk. “Sehingga tidak tepat dikategorikan sebagai regeling dalam arti peraturan perundang-undangan”. (Baca juga: Keberlakuan SE Kapolri Hate Speech dan Dampak

Hukumnya).

Oleh karena objek HUM (Surat Edaran Bupati Nganjuk)

bukan merupakan peraturan perundang-undangan maka, menurut

majelis, Mahkamah Agung tidak berwenang untuk mengujinya.

Konsekuensinya, „permohonan keberatan hak uji materiil dari

Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima‟. Putusan ini diambil dan dibacakan ada 24 Januari 2017.

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, sebenarnya tak

selamanya pengujian terhadap SE ditolak Mahkamah Agung.

Pelaku kekuasaan kehakiman ini, lewat putusan No.

23P/HUM/2009, membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi

No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral

dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009.

Menurut majelis yang mengadili dan memutus perkara ini,

walaupun SE tidak termasuk dalam peraturan perundang-

undangan, tetapi berdasarkan Penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun

Page 73: HUKUM PERUNDANG

60

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE

dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan

yang sah, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-

undangan.

Pertimbangan yang hampir sama bisa dibaca dalam putusan

MA No. 3P/HUM/2010. Di sini, ada surat biasa yang menurut

majelis hakim berisi peraturan (regeling), sehingga layak menjadi

objek permohonan hak uji materiil sesuai Peraturan Mahkamah

Agung (Perma) mengenai Hak Uji Materiil.

Sumber:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f4255c

93fc1/putusan-ma--surat-edaran-bukan-objek-hak-

uji-materiil<diunduh 26-08-2017>

Tugas Mahasiswa adalah melakukan studi atas isu

sebagaimana dikemukakan dalam kotak di atas, yakni pendapat

Mahkamah Agung tentang pengertian peraturan perundang-

undangan.

Perlu dikemukakan kata kunci sebagai arahan studi, yakni:

norma hukum yang mengikat secara umum, dibentuk atau ditetapkan

oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.

2.3. Penutup

Sajian problem task tersebut menyajikan problem mengenai

karakter hukum surat edaran, tepatnya surat edaran itu merupakan

peraturan perundang-undangan atau bukan peraturan perundang-

undangan. Dengan perkataan lain, apakah yang dimaksud dengan

peraturan perundang-undangan menurut perspektif Mahkamah Agung

(dalam kasus-kasus yang disebutkan itu) sehingga berpendapat Surat

Edaran (SE) sebagai peraturan perundang-undangan atau bukan

peraturan perundang-undangan?

Page 74: HUKUM PERUNDANG

61

Pada akhir tutorial, Mahasiswa wajib membuat laporan

kegiatan tutorial, yang memaparkan secara rinci pemimpin diskusi

(discussion leader), pencatat (note taker), yang aktif berpendapat atau

berkomentar, dan hasil diskusi, serta alokasi waktu tutorial. Laporan

tutorial wajib dikumpulkan pada saat berakhirnya seluruh kegiatan

tutorial.

2.4. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan

Hukumonline, Putusan MA: „Surat Edaran‟ Bukan Objek Hak Uji Materiil Tapi dalam perkara lain, pernah dinyatakan sebagai

objek HUM karena isinya bersifat regeling.

(hukumonline.com, Senin, 17 April 2017)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58f4255c93fc1/put

usan-ma--surat-edaran-bukan-objek-hak-uji-materiil (diunduh

26-08-2017)

Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Page 75: HUKUM PERUNDANG

62

PERTEMUAN III :

PERKULIAHAN KEDUA

NORMA HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

3.1. Pendahuluan

Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,

mahasiswa diajak mempelajari mengenai pengertian norma hukum,

asas hukum, norma hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum,

sifat norma hukum, struktur norma hukum ke dalam aturan hukum,

dan metode perumusan norma ke dalam aturan hukum. Setelah

mempelajari dan mendiskusikan materi ini mahasiswa diharapkan

memahami pengertian norma hukum, asas hukum, norma hukum dan

aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum, struktur

norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode perumusan norma

ke dalam aturan hukum. Materi perkuliahan pada pertemuan ketiga

ini sangat penting sebagai landasan untuk memahami kajian

pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

3.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian

Capaian pembelajaran yang ingin diwujudkan dengan

perkuliahan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan

adalah mahasiswa memahami pengertian norma hukum, asas hukum,

norma hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma

hukum, struktur norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode

perumusan norma ke dalam aturan hukum.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa mampu:

a. Menjelaskan pengertian norma hukum, asas norma, norma

hukum dan aturan hukum;

b. Menguraikan jenis-jenis norma hukum dan sifat norma;

Page 76: HUKUM PERUNDANG

63

c. Memahami dan mengaplikasikan struktur norma hukum ke

dalam aturan hukum dan metode perumusan norma hukum ke

dalam aturan hukum.

3.3. Pengertian Norma Hukum

Istilah norma yang berasal dari bahasa Latin nomos yang

berarti nilai, dalam bahasa Arab disebut qo’idah, kaidah atau kaedah,

dan dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan pedoman, patokan

atau aturan. Norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi

seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat,

jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.67

Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik

dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran

atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang

bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk

mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan

norma perintah untuk melakukan atau perintah tidak melakukan

sesuatu.68

Suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi,

dimana dalamnya mengandung apa yang harus dilakukan, das

sollen/ought to be/ought to do. Apa yang harus dilakukan dapat

berupa perintah maupun larangan.69

Menurut Amiroeddin Sjarif,

norma atau kaidah adalah suatu patokan atau standar yang didasarkan

kepada ukuran nilai-nilai tertentu. Norma Hukum adalah suatu

patokan yang didasarkan kepada ukuran nilai-nilai baik atau buruk

yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat:

67

Maria Farida Indrati Soeprapto,2007, Ilmu Perundang-Undangan,

Yogyakarta : Kanisius, hlm.18. 68

Jimly Asshiddiqie, 2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta :

RajaGrafindo Persada, hlm. 1. 69

Rachmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, hlm.32.

Page 77: HUKUM PERUNDANG

64

a. Suruhan (impare), yaitu apa yang harus dilakukan orang;

b. Larangan (prohibire), yaitu apa yang tidak boleh dilakukan

orang70

Sebagaimana telah disampaikan, selain norma digunakan

juga istilah kaidah. Istilah ini antara lain digunakan oleh Sudikno

Mertokusumo yang berkata: “Kaidah hukum lazimnya diartikan

sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu

seyogyanya berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar

kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi. Kaidah pada

hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan obyektif

mengenai penilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak

dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan.71

3.4. Asas Hukum, Norma Hukum dan Aturan Hukum

Asas hukum merupakan tiang utama bagi pembentukan

peraturan perundang-undangan, dimana “asas” adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat sebagai basic truth, sebab melalui asas

hukum pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam

hukum, dan menjadi sumber menghidupi nilai-nilai etis, moral dan

sosial masyarakatnya.72

Asas-asas hukum (rechtsbeginselen) adalah

dasar-dasar yang menjadi sumber pandangan hidup, kesadaran, cita-

cita hukum dari masyarakat. Telah diungkapkan oleh Paul Scholten

yang mengatakan bahwa sebuah asas hukum (rechtsbeginsel)

bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel).73

Untuk dapat dikatakan

sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum

70

Budiman N.P.D. Sinaga, 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-

Undangan, Yogyakarta : UII Press, hlm. 8. 71

Ibid., hlm. 9. 72

Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, hlm. 29,dikutip dari Tim Lab.

Fakultas Hukum UMM, Praktek Ilmu Perundang-undangan, UMM Press,

Malang, 2006, hlm. 13. 73

Ibid.,hlm. 30.

Page 78: HUKUM PERUNDANG

65

sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak.

Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan

subsumsi atau pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin,

karena untuk itu terlebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret.

Dengan perkataan lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum

tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten

mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahuan

hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum

positif.74

Thomas Aquino (1225-1274) dalam konsepsi mengenai

hukum alam membagi asas-asas hukum itu menjadi dua jenis, sebagai

berikut:75

a. Prinsipia prima atau asas-asas umum, yaitu asas-asas yang

langsung dimiliki manusia sejak kelahiran

b. Prinsipia secundaria, yaitu asas-asas yang dijabarkan dari asas-

asas yang dijabarkan dari asas-asas umum yang tidak berlaku

mutlak dan dapat berubah karena pengaruh ruang dan waktu.

Tentang asas hukum, dapat dikemukakan beberapa pendapat

sebagaimana disampaikan Sudikno Mertokusumo. Bellefroid

berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang

dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak

dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum

umum ini merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu

masyarakat. Sedangkan van Eikema Hommes berkata bahwa asas

hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang

kongkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau

petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum

praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata

lain asas hukum ialah dasar-dasar atau petujuk arah dalam

pembentukan hukum positif.76

74

Ibid. 75

Budiman N.P.D. Sinaga, op.cit., hlm. 14. 76

Ibid.,hlm. 15.

Page 79: HUKUM PERUNDANG

66

Lain lagi pendapat van der Velder yang mengatakan bahwa

asas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan

sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai

pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau

lebih yang menentukan situasi bernilai yang harus direalisasikan.

Menurut Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan

yang diisyarakatkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum,

merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasan sebagai

pembawaan yang umum tetapi tidak boleh tidak harus ada. Dari

beberapa pendapat itu, Sudikno Mertokusumo berkesimpulan bahwa

asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit melainkan merupakan

pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang

setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan positif dan dapat dikemukakan dengan

mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit

tersebut.77

Asas hukum tersebut merupakan jantungnya peraturan

hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi

lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum ini lazimnya disebut

sebagai dasar/alasan bagi lahirnya suatu peraturan hukum atau

merupakan ratio legis dari peraturan hukum, sebagai dasar pemikiran

yang mendaasari suatu peraturan hukum. Asas hukum mengandung

nilai-nilai dan tuntutan etis, dan karena mengandung tuntutan etis,

maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan

hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.78

Berkaitan dengan norma hukum, dikatakan norma hukum

berbeda dengan asas hukum karena sifatnmya yang mengatur.

Sebagaimana diketahui, norma adalah aturan, pola, atau standar yang

perlu diikuti. Hans Kelsen dalam Bukunya berjudul “Allgemeine

Theorie der Normen” menyebutkan fungsi norma hukum ialah

77

Ibid.,hlm. 16-17. 78

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya

Bakti, hlm.45.

Page 80: HUKUM PERUNDANG

67

memerintah (gebieten), melarang (verbieten), menguasakan

(ermachtigen), membolehkan (erlauben) dan menyimpang dari

ketentuan (derogieren). 79

Maka sehubungan dengan sifat dan

fungsinya yang berbeda tersebut, asas hukum dan norma hukum

memberikan pengaruh yang berlainan terhadap perundang-undangan.

Dalam suatu sistem norma hukum dalam pembentukan norma suatu

undang-undang misalnya harus sejalan dan searah dengan norma

aturan dasar, dan begitu juga norma aturan dasar harus sejalan dan

searah dengan norma fundamental.80

Dengan demikian, pembentukan norma hukum yang berada

dalam suatu sistem norma hukum yang utuh, maka fungsi asas hukum

menjadi terdesak ke belakang oleh norma hukum meskipun tidak

hilang sama sekali. Lain halnya pada pembentukan norma hukum

yang berada dalam lingkup kebijakan (policy) yang tidak terikat. Di

sana asas hukum menjadi penting dalam memberikan bimbingan dan

pedoman pada pembentukan norma hukum.Secara umum, norma atau

kaidah dapat dibedakan antara norma etika dan norma hukum. 81

Norma etika meliputi norma susila, norma agama dan norma

kesusilaan, yang lahir dari dalam diri manusia sendiri, yaitu berupa

hasrat untuk hidup pantas, untuk hidup sepatutnya. Walaupun

demikian, tidak jarang norma etika merupakan norma yang dating

dari luar diri manusia, misalnya dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu

norma agama. Kadang-kadang norma itu lahir karena adanya

hubungan manusia dengan manusia, karena hidup manusia

mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi hidup pribadi dan dimensi

hidup antar pribadi. Kedua dimensi inilah yang melahirkan hukum

79

Soimin, op.cit., hlm.,30. 80

Ibid. 81

A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi

Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam

Kurun Waktu PELITA I- PELITA IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta, hlm.304.

Page 81: HUKUM PERUNDANG

68

sebagai sarana membangun dan memperkokoh peradaban.82

Berdasarkan hal tersebut diatas maka keseluruhan norma

digolongkan menjadi antara lain norma agama, norma kesusilaan,

norma kesopanan, norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.

Norma Agama merupakan aturan hidup manusia yang berisi perintah

dan larangan yang berasal dari Tuhan. Pelanggaran terhadap norma

agama akan mendapat hukuman dari Tuhan berupa siksa yang akan

diterima di akhirat. Norma kesusilaan merupakan aturan yang

didasarkan pada hati nurani atau ahlak manusia yang merupakan

nilai-nilai moral yang mengikat manusia. Norma kesopanan

merupakan aturan yang berpangkal pada tingkah laku di masyarakat.

Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering

disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan

bersifat khusus dan regional dan hanya berlaku bagi segolongan

masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan

masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan

masyarakat tertentu mungkin menjadi berbeda bagi masyarakat lain.

Norma hukum merupakan aturan yang dibuat oleh pejabat atau

lembaga negara baik tertulis maupun tidak tertulis.83

Berbeda dengan norma-norma yang lainnya, norma hukum

(legal norm, rechtnormen) mengatur secara nyata internal kehidupan

pribadi (internal life) dalam berperadaban dan humanis dan juga

mengatur hubungan antar pribadi dalam proses sosial, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung. Sebab norma hukum

ditujukan untuk kebahagiaan pribadi sekaligus kedamaian hidup

bersama baik melalui keamanan dan ketertiban maupun dalam

memperbaharui perilaku. Agar lebih jelas apa itu pengertian norma

hukum, dapat dipetik pendapat Sudikno Mertokusumo, yang

82

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, 2012, Dinamika Hukum

Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Bandung : Alumni, hlm. 23. 83

Rachmat Trijono, op.cit., hlm. 51.

Page 82: HUKUM PERUNDANG

69

menyatakan:84

“kaidah hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya

berprilaku, bersikap di dalam masyarakat agar kepentingannya dan

kepentingan orang lain terlindungi”. Menurut Hans Kelsen, hukum merupakan sistem norma yang

dinamik karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-

lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenaang membentuknya

sehingga dalam hal ini tidak dilihat daari segi isi norma tetapi dari

segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum adalah sah apabila

dibuat oleh Lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya

dan berdasarkan norma yang tertinggi sehingga norma yang lebih

rendah dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan hukum itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki.

Aturan hukum merupakan konkritisasi dari suatu norma

hukum. Menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto,

aturan hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,

yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan

masyarakat, dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan

pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan yaitu

hukuman tertentu.

3.5. Jenis Norma Hukum

Jenis-jenis norma hukum bisa dibedakan atas beberapa sudut

pandang, yaitu:

NO SUDUT PANDANG JENIS

1 Addressat 1. Umum

2. Individual

Umum Abstrak

Umum Kongkret

Individual Abstrak

Individual Kongkret

2 Hal yang diatur 1. Abstrak

2. Kongkret

3 Daya Berlaku 1. Einmahlig

2. Dauerhaftig

84

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 25.

Page 83: HUKUM PERUNDANG

70

4 Bentuk isi 1. Tunggal

2. Berpasangan

5 Sifat 1. Regeling

2. Beschikking

6 Sistem 1. Nomostatic

2. Nomodynamics

Penjelasan:

1. Dari segi alamat yang dituju (addressat)

Norma hukum apabila dilihat dari segi alamat yang dituju (

addressat ), atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau

diperuntukkan, maka norma hukum dapat dibedakan antara norma

hukum umum dan norma hukum individual.

Norma Hukum Umum adalah norma hukum yang ditujukan

untuk banyak orang (addressat nya umum) dan tidak tertentu. Umum

disini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua

orang, semua warga negara, untuk semua wilayah. Norma hukum

umum ini sering dirumuskan dengan kata-kata: “ Barang siapa..”, atau “ Setiap orang...”, ataupun “ Setiap Warga Negara...” dan sebagainya.

Norma Hukum Individual adalah norma hukum yang

ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang, atau

banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang

individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:

“Nasarudin yang bertempat tinggal di Jalan Flamboyan no. 1 Jakarta....” dll.

2. Dari segi hal yang diatur

Norma hukum apabila dilihat dari hal yang diatur atau

perbuatannya/tingkah lakunya, norma hukum dapat dibedakan antara

norma hukum yang abstrak dan norma hukum konkret.

Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang

melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasannya dalam

arti tidak konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan suatu

Page 84: HUKUM PERUNDANG

71

perbuatan itu secara abstrak, misalnya disebutkan dengan kata

mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya.

Norma Hukum Konkret adalah suatu norma hukum yang

melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (Konkret). Norma

hukum konkret ini biasanya dirumuskan sebagai berikut:

“....membunuh si unyil dengan sebuah parang...‟. Dari sifat-sifat norma hukum yang umum-individual dan

norma hukum yang abstrak-konkret, dapat diperoleh 4 kombinasi dari

paduan norma-norma tersebut, yaitu:

Norma hukum umum-abstrak: suatu norma hukum yang

ditujukan umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak.

Contohnya: Setiap orang dilarang membunuh sesamanya; setiap

warga negara dilarang mencuri.

Norma hukum umum-konkret : suatu norma hukum yang

ditujukanumum dan perbuatannya sudah tertentu (konkret).

Contohnya: Setiap orang dilarang membunuh si budi dengan

sebuah parang; Setiap orang dilarang menebang pohon dipinggir

jalan nangka.

Norma hukum individual-abstrak; suatu norma hukum yang

ditujukan untuk seseorang atau nama-namanya sudah tertentu

dan perbuatanya bersifat abstrak. Contohnya: Si Badu yang

bertempat tinggal di jalan nangka dilarang mencuri, dll.

Norma hukum individual-konkret : suatu norma hukum yang

ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan

perbuatannya bersifat konkret.

Contohnya: si agus yang bertempat tinggal dijalan nangka no.9 diberi

izin membangun rumah dijalan nangka juga.

3. Dari segi kekuatan berlakunya norma

Norma hukum apabila dilihat dari segi daya berlakunya

sebuah norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum yang

berlaku sekali-selesai (einmahlig ) dan norma hukum yang berlaku

terus menerus ( dauerhaftig ).

Page 85: HUKUM PERUNDANG

72

Norma hukum yang bersifat einmahlig adalah norma hukum

yang berlaku hanya satu kali saja dan setelah itu selesai jadi sifatnya

hanya menetapkan saja sehingga dengan adanya penetapan ini norma

hukum tersebut selesai, contohnya: penetapan bagi seseorang untuk

membangun rumah.

Norma Hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig)

adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi

dapat berlaku kapan saja secara terus menerus, sampai peraturan

tersebut dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru. Contohnya

adalah ketentuan yang terdapat didalam peraturan perundang-

undangan. Norma hukum yang termasuk kedalam suatu peraturan

perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat umum-

abstrak dan berlaku terus menerus sedangkan norma hukum yang

bersifat individual-konkret dan sekali selesai merupakan suatu

keputusan yang bersifat penetapan (besschikking).

4. Dari segi isi

Norma hukum apabila dilihat dari segi isi dapat berwujud

suatu norma tunggal dan dapat juga norma hukum berpasangan yang

terdiri dari norma primer dan norma sekunder.

Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang

berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi

isinya hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana kita harus

bertindak atau bertingkah laku. Contohnya: “ Hendaknya kita berperikemanusiaan”.

Norma hukum yang berpasangan terdiri dari norma hukum

primer dan norma hukum sekunder. Norma hukum Primer adalah

suatu norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana cara kita

harus berperilaku di dalam masyarakat. Norma hukum primer ini

biasanya disebut das sollen atau disebut dengan istilah hendaknya,

dan biasanya dirumuskan dengan kalimat : „Hendaknya engkau tidak mencuri‟. Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi

tata cara penanggulangannya apabila suatu norma hukum primer itu

Page 86: HUKUM PERUNDANG

73

tidak dipenuhi. Norma hukum ini mengandung sanksi-sanksi bagi

seseorang yang tidak memenuhi ketentuan dalam normaa hukum

primer. Norma hukum ini merupakan das sollen juga, biasanya

dirumuskan dengan kalimat: „...apabila engkau mencuri dihukum‟. Di dalam suatu peraturan, perumusan norma hukum primer

dan norma hukum sekunder biasanya dirumuskan dalam suatu

ketentuan secara berhimpitan sehingga sulit untuk membedakan mana

norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Biasanya norma

berhimpitan ini dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan

dengan kalimat sebagi berikut: “ Barangsiapa mencuri dihukum”85

5. Dari Segi Sifatnya

Norma hukum dilihat segi sifatnya dapat dibedakan antara

regeling dan beschiking. Regeling adalah norma hukum yang bersifat

umum, abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan beschikking

adalah norma hukum yang bersifat individual, kongkrit dan sekali

selesai.

6. Dari segi sistemnya

Norma hukum dilihat dari segi sistemnya dapat dibedakan

menjadi sistem norma hukum yang statik (nomostatics) dan sistem

norma yang dinamik (nomodynamics).

Sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sistem yang

melihat pada “isi” norma. Menurut sistem norma yang statik, suatu

norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau

norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum.

Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma umum tersebut

diartikan bahwa, dari norma umum itu di rinci menjadi norma-norma

yang khusus dari segi “isi”nya. Contoh dari sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sebagai berikut: Dari suatu norma umum yang

menyatakan “Hendaknya engkau menghormati orang tua” dapat di

85

Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit.,hlm. 26-35.

Page 87: HUKUM PERUNDANG

74

tarik/di rinci menjadi norma-norma khusus seperti kewajiban

membantu orang tua kalau ia dalah kesusahan, atau kewajiban

merawatnya kalau orang tua itu sedang sakit dan sebagainya.

Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah sistem

yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara

“pembentukannya” atau “penghapusannya”. Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan

hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber

dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

sampai akhirnya “regressus”ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang di sebut dengan norma dasar (grundnorm) yang tidak

dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau darimana asalnya.

Norma dasar atau sering disebut dengan “grundnorm”, “basic norm” atau “fundamental norm” ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara “presupposed”, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Dikatakan bahwa

norma dasar ini berlakunya bersumber dan tidak berdasar pada norma

yang lebih tinggi lagi, Karena apabila norma dasar itu berlakunya

masih bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lain

maka norma tersebut bukan merupakan norma yang tertinggi.86

3.6. Sifat Norma Hukum

Norma Hukum tersebut mempunyai beberapa sifat yg

membedakannya dengan norma lainnya yang ada di masyarakat,

antara lain:

1. Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa

norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri. Contoh

dalam hal pembayaran pajak, dimana kewajiban itu daatangnya

86

Ibid.,hlm. 20-22.

Page 88: HUKUM PERUNDANG

75

bukan dari diri kita sendiri tetapi dari negara sehingga kita harus

memenuhi kewajiban tersebut, senang atau tidak senang.

2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana

ataupun sanksi pemaksa secara fisik. Contohnya bila seseorang

melanggar norma hukum, misalnya menghilangkan nyawa orang

lain maka ia akan dituntut dan dipidana.

3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu

dilaksanakan oleh aparat negara.87

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, sifat

kaedah hukum, antara lain:

a. Imperatif, yaitu berupa perintah yang secara apriori harus ditaati,

baik berupa suruhan maupun larangan;

b. Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib

dipatuhi.88

3.7. Struktur Norma Hukum Dalam Aturan Hukum

Dalam membahas mengenai struktur norma maka perlu

memahami teori dari Benyamin Akzin, dimana dikemukakan bahwa

pembentuakn norma-norma hukum publik tersebut berbeda dengan

pembentukan norma-norma hukum privat karena bila dilihat pada

struktur norma maka hukum publik berada diatas hukum privat.

Norma hukum publik pembentukannya harus dilakukan secara lebih

berhati-hati sebab norma hukum publik ini harus dapat memenuhi

kehendak serta keinginan masyarakat. Berbeda halnya dengan norma-

norma hukum Privat yang biasanya selalu sesuai dengan

kehendak/keinginan masyarakat dengan perjanjian-perjanjian yang

bersifat perdata.

Hans Kelsen mengemukakan teori jenjang norma hukum

(stufentheorie) , bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarkhi (tata susunan) dalam arti suatu

87

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, op.cit., hlm. 25. 88

Ibid.

Page 89: HUKUM PERUNDANG

76

norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku dan

bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya

sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan

bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar ( groundnorm). 89

Hans Nawiasky salah satu murid daari Hans Kelsen

mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam

kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya

Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan Teori

Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu

berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah

berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi.

Norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada

norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma tertinggi yang

disebut norma dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain

norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari

suatu negara itu juga berkelompok-kelompok.

Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum

dalam suatu negara itu menjadi 4 kelompok besar yang terdiri atas:

Kelompok I Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

Kelompok II Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)

Kelompok III Formell Gesetz ( Undang-Undang formal )

Kelompok IV Verordnung & Autonome Satzung ( aturan pelaksana &

aturan otonom )

1. Staatsfundamentalnorm ( Norma Fundamental Negara )

Merupakan norma tertinggi dalam suatu negara yang tidak

dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi pre-

supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam

suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat

89

Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit., hlm. 133.

Page 90: HUKUM PERUNDANG

77

bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Norma yang

merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-

Undang Dasar suatu negara, termasuk norma pengubahnya.

2. Staatsgrundgesetz ( aturan dasar/pokok negara)

Merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan

merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar

sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai

norma sekunder. Merupakan landasan bagi pembentukan UU.

Biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara

dipuncak pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan

antara lembaga-lembaga tinggi/tertinggi negara serta diatur

hubungan antara negara dan warga negara. Di Negara Indonesia,

aturan dasar/pokok negara ini tertuang dalam Batang Tubuh

UUD RI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR, serta Hukum Dasar

tidak tertulis yang sering disebut Konvensi Ketatanegaraan.

3. Formell Gesetz ( Undang-Undang formal )

Norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan

norma hukum yang lebih konkrit dan terinci serta sudah dapat

langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma hukum disini

tidak hanya berupa norma yang bersifat tunggal tapi sudah dapat

dilekati oleh norma sekunder disamping norma primernya

sehingga dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat

sanksi.

4. Verordnung & Autonome Satzung ( Aturan pelaksana & aturan

otonom )

Merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-

undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan

dalam Undang-Undang, dimana peraturan pelaksana bersumber

Page 91: HUKUM PERUNDANG

78

dari kewenangan delegasi sedangkan peraturan otonom

bersumber dari kewenangan atribusi.90

Menurut D.W.P Ruiter dalam kepustakaan di eropa

kontinental yang dimaksud peraturan perundang-undangan

mengandung 3 (tiga) unsur :91

1. Norma hukum ( rechtsnorm)

2. Berlaku ke luar (rechtnorm)

3. Bersifat Umum Dalam Arti Luas ( Algemeenheid In Ruime Zin )

Ketiga norma tersebut diuraikan sebagai berikut :

Ad 1. Norma hukum

Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat

berupa :

a. Perintah ( gebod)

b. Larangan (verbod)

c. Pengizinan ( toestemming)

d. Pembebasan ( vrijstelling)

Ad.2 : Norma berlaku ke luar

Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan

tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka

yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya

ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesama maupun

antara rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar

bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang

sebenarnya dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu

norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut

”berlaku ke luar”.

90

Ibid., hlm. 27-35. 91

A Hamid S Attamimi, op.cit., hlm. 314.

Page 92: HUKUM PERUNDANG

79

Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas

Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum

(algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari

addressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada ”setiap orang” atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang

diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang idak tertentu

atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.

Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung

unsur-unsur berikut :

1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut

operator norma.

2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut

subyek norma.

3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma.

4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma.

Contoh :

Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.

Penjelasan :

Setiap orang : subyek norma

Wajib : operator norma

Membayar pajak : obyek norma

Pada akhir tahun : kondisi norma

3.8. Metode Perumusan Norma Hukum Dalam Aturan

Hukum

Menurut Pasal 1 angka 1 UU NO.12/2011Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan

“Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah pembuatan

Peraturan Perundang-Undangan yang mencakup tahapan

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,

dan pengundangan”. Hal ini berarti, setelah dilaluinya proses tersebut

Page 93: HUKUM PERUNDANG

80

maka produk dalam bentuk peraturan perundang-undangan sudah

memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pada dasarnya, Peraturan

perundang-undangan berisi norma hukum atau kaidah hukum dan

disisi lain pembuatan peraturan tersebut hakikatnya merupakan

perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum.

Norma hukum dibedakan atas norma hukum primer atau

norma perilaku, yang lazimnya disebut norma hukum, dan norma

hukum sekunder atau meta norma. Penggolongan Norma hukum

perilaku yang paling umum adalah sebagai berikut:92

a. Perintah, adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;

b. Larangan, adalah kewajian umum untuk tidak melakukan sesuatu;

c. Dispensasi, adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan

sesuatu yang secara umum diperintahkan;

d. Izin, adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang

secara umum dilarang.

Norma hukum itulah yang lazimnya terdapat dalam peraturan

perundang-undangan. Disamping kaidah perilaku terdapat

sekelompok norma yang menentukan sesuatu berkenaan dengan

norma perilaku itu sendiri. Inilah yang disebut meta norma, yang

umum terdapat dalam peraturan perundang-undangan antara lain:

a. Norma kewenangan, yang menetapkan oleh siapa dan dengan

melalui prosedur yang mana norma perilaku ditetapkan, dan

bagaimana suatu norma perilaku harus diterapkan jika dalam

suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelaskan.

b. Norma definisi atau penentuan pengertian.

c. Norma sanksi yakni apa yang harus dikenakan jika norma

perintah atau larangan dilanggar.

d. Norma peralihan, yang mempertemukan aturan hukum yang

baru dengan peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang terjadi

sebelum ditetapkannya aturan hukum yang baru.

92

Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,

Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm.100-101.

Page 94: HUKUM PERUNDANG

81

Berkenaan dengan aturan hukum yang terdiri atas norma

hukum primer dan norma sekunder dapat muncul berbagai variasi.

Pertama, norma primer dan norma seknder dapat dirumuskan secara

terpisah. Kedua, norma primer dan norma sekunder dapat dirumuskan

secara dipertautkan.

Perumusan norma perilaku menggunakan bentuk kata

kerja, yang cukup sering ditemukan adalah:

a. Norma perintah, dinyatakan dengan bantuan kata

“mengharuskan”, “harus”, “berkewajiban”,”wajib”. b. Norma larangan, dinyatakan dengan bantuan kata “tidak boleh”

atau “dilarang”

c. Norma izin, dinyatakan dengan bantuan kata “boleh”, “mempunyai hak untuk”, “dapat”, atau “berwenang”.

d. Norma dispensasi, dinyatakan dengan bantuan kata”tidak berkewajiban untuk” atau “tidak terikat untuk”.

Selain itu, informasi tentang apa yang menurut hukum boleh

atau tidak boleh dilakukan, sering digunakan kalimat-kalimat dalam

modus indikatif, yang sesungguhnya memiliki ati normatif.93

Dengan demikian suatu aturan hukum berisi norma hukum.

Sebagaimana juga dikemukakan Bongenaar, bahwa tiap-tiap aturan,

siapa pun juga yang membuatnya, seharusnya merupakan atau

memuat norma, memerintah sesuatu. Selanjutnya dikemukakan,

bahwa suatu aturan tidak pernah merupakan pernyataan mengenai

fakta-fakta saja.94

Kaitan perumusan norma hukum dengan pembuatan

peraturan perundang-undangan yakni pembuatan peraturan

perundang-undangan merupakan perumusan norma hukum ke dalam

93

Ibid., hlm. 112-116. 94

Karel E.M. Bongenaar, 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa Aspek Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-undangan”, dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Januari-April, Surabaya :

Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hlm. 561-624.

Page 95: HUKUM PERUNDANG

82

aturan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S.

Attamimi, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan pada

hakekatnya pembentukan noma-norma hukum yang berlaku ke luar

dan yang bersifat umum dalam arti luas95

. Oleh karena itu, agar

peraturan perundang-undangan mempunyai keberlakuan yuridis,

tentunya prinsip lainnya tidak dapat diabaikan, seperti prinsip hierarki

norma hukum, asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik, asas yang terkandung dalam materi muatan peraturan

perundang-undangan. Dalam Pasal 64 UU NO.12/2011disebutkan

bahwa:

(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan

dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan

Perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-

undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam

Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Undang-Undang ini.

(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

3.9. Penutup

Resume

Paparan materi di atas menunjukkan bahwa, terdapat

beberapa peristilahan yang digunakan untuk mata kuliah ini antara

lain Norma, Kaidah, Pedoman, Patokan dan Aturan dimana

keseluruhan istilah tersebut dapat diartikan sebagai segala ukuran

yang digunakan seseorang dalam bertingkah laku ataupun bertindak

di dalam masyarakat. Di Indonesia dikenal beberapa jenis norma

yaitu: Norma Agama, Norma Kesopanan, Norma Kesusilaan dan

Norma Hukum.

95

A Hamid S Attamimi, op.cit., hlm. 314.

Page 96: HUKUM PERUNDANG

83

Selain itu, didiskripsikan juga mengenai Asas hukum tersebut

merupakan jantungnya peraturan hukum. Asas hukum merupakan

landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.

Latihan

Sebagai akhir dari bagian penutup maka, disediakan soal

latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan, untuk mengetahui capaian

pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan

sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan Norma, Norma Hukum dan

Aturan Hukum?

b. Apakah Norma Hukum sama dengan norma-norma lainnya?

c. Bagaimanakah kaitan antara struktur norma dan struktur

lembaga?

d. Rumuskanlah contoh masing-masing jenis norma hukum yang

ada!

3.10. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan :

A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

(Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang

Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I- PELITA

IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta.

Assidiqie, Jimly,2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi

Press.

Astawa, I Gede Panca dan Na'a Suprin, 2008Dinamika Hukum dan

llmu Perundang-undangan, Bandung : Alumni.

Bongenaar, Karel E.M., 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa Aspk Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-

undangan”, dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII,

Januari-April, Surabaya : Fakultas Hukum Universitas

Airlangga.

Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,

Page 97: HUKUM PERUNDANG

84

Bandung : Citra Aditya Bakti.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Sinaga,Budiman N.P.D., 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-

Undangan, Yogyakarta : UII Press.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, llmu Perundang-Undangan 1:

Jenis, Fungsl dan MateriMuatan, Yogyakarta : Penerbit

Kanisius.

Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press,.

Trijono, Rachmat, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-

undangan, Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Yang Baik- GagasanPembentukan Undang-Undang

Berkelanjutan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 98: HUKUM PERUNDANG

85

PERTEMUAN IV :

TUTORIAL II

NORMA HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

4.1. Pendahuluan

Dalam pertemuan keempat ini, mahasiswa berdiskusi

mengenai pengertian norma hukum, asas hukum, norma hukum dan

aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum, struktur

norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode perumusan norma

ke dalam aturan hukum. Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa

diharapkan memahami pengertian norma hukum, asas hukum, norma

hukum dan aturan hukum, jenis norma hukum, sifat norma hukum,

struktur norma hukum ke dalam aturan hukum, dan metode

perumusan norma ke dalam aturan hukum. Materi tutorial kedua ini

sangat penting sebagai landasan untuk memahami bahan kajian

pembelanjaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu

dalam tutorial ini mahasiswa harus mendiskusikan materi-materi

tersebut diatas yang terdapat dalam penyajian materi Study Task.

4.2. Penyajian Materi: Study Task dan Problem Task

4.2.1. Study Task

Berkaitan dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen

mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum yang dikenal

dengan Stufentheorie dimana dikemukakan bahwa norma hukum

tersebut berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki

(tata susunan). Lain halnya menurut Adolf Merkl yang

mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua

wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Perkembangan selanjutnya

dilakukan oleh Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu

berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara

Page 99: HUKUM PERUNDANG

86

juga berkelompok-kelompok. Kelompok tersebut selalu ada

walaupun istilahnya berbeda-beda. Demikian pula berkaitan dengan

istilah yang digunakan untuk menyebut norma hukum yang tertinggi

yakni Staatsfundamentalnorm, Staatsgrundnorm, Grundnorm, Norma

Pertama, Pokok Kaidah Fundamentil Negara dan Norma

Fundamental Negara, Melihat uraian tersebut tentunya bisa terlihat

adanya perbedaan dan persamaan antara teori-teori tersebut dan dapat

dilihat cerminan dari hierarki norma hukum tersebut dengan sistem

norma hukum yang berlaku di Indonesia.

4.2.2. Problem Task

Anda adalah seorang anggota DPR yang akan menyusun

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kewarganegaraan, yakni

RUU yang mengatur tentang siapa itu Warga Negara Indonesia,

bagaimana cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan cara

kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Dari keseluruhan jenis norma

hukum yang ada tidak semua dapat dipakai untuk merumuskan norma

kedalam aturan hukum yang berupa pasal-pasal dalam RUU

Kewarganegaraan tersebut. Tugas saudara sebagai anggota DPR

dalam menyusun RUU tersebut wajib merumuskan norma mengenai

siapa WNI, cara memperoleh dan cara kehilangan Kewarganegaraan

Indonesia.

4.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas

dideskripsikan adanya berbagai teori berkaitan dengan teori tentang

jenjang norma dan berbagai istilah yang digunakan. Selain itu

dipaparkan pengelompokkan jenis norma hukum yang ada serta

mampu mencari perbedaan dan persamaan antara teori-teori tersebut

dan dapat dilihat cerminan dari hierarki norma hukum tersebut

dengan sistem norma hukum yang berlaku di Indonesia. Sedangkan

dalam Problem Task mahasiswa harus berusaha merumuskan jenis

Page 100: HUKUM PERUNDANG

87

norma ke dalam aturan hukum.

Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan

kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan

dalam tutorial tersebut, yaitu siapa pemimpin diskusi (discussion

leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu

selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat

berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

4.4. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan

A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

(Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang

Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PELITA I- PELITA

IV), Disertasi Doktor UI, Jakarta.

Assidiqie, Jimly, 2014, Perihal Undang-Undang, Jakarta :

Konstitusi Press.

Bongenaar, Karel E.M., 1992,” Aturan adalah Norma: Beberapa Aspk Mengenai Sifat Normatif dari Peraturan Perundang-

undangan”, dalam Yuridika, Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Januari-April, Surabaya : Fakultas Hukum Universitas

Airlangga.

J.J.H, Bruggink, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan,

Bandung : Citra Aditya Bakti.

Panca Astawa, 2008, I Gede dan Na'a Suprin, Dinamika Hukum dan

llmu Perundang-undangan, Bandung : Alumni.

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya

Bakti.

Sinaga,Budiman N.P.D., 2005, Ilmu Pengetahuan Perundang-

Undangan, Yogyakarta : UII Press.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, llmu Perundang-Undangan 1:

Jenis, Fungsl dan MateriMuatan, Yogyakarta : Penerbit

Kanisius.

Page 101: HUKUM PERUNDANG

88

Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Negara Di Indonesia, Yogyakarta : UII Press,.

Trijono, Rachmat, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-

undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Yang Baik- GagasanPembentukan Undang-Undang

Berkelanjutan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Page 102: HUKUM PERUNDANG

89

PERTEMUAN V :

PERKULIAHAN KETIGA

SUMBER KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN

5.1. Pendahuluan

Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,

mahasiswa diajak mempelajari mengenai sumber kewenangan

peraturan perundang-undangan, ruang lingkup sumber kewenangan

peraturan perundang-undangan yang meliputi pengertian sumber

kewenangan, kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan

perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan sumber

kewenangan pemerintahan. Setelah mempelajari dan mendiskusikan

materi ini, mahasiswa diharapkan memahami pengertian sumber

kewenangan, mampu membedakan kewenangan atribusi, dan

kewenangan delegasi serta dapat memahami perbedaan sumber

kewenangan perundang-undangan dengan sumber kewenangan

pemerintahan

5.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa memahami pengertian sumber kewenangan, kewenangan

atribusi, kewenangan delegasi dan perbedaan sumber kewenangan

perundang-undangan dengan sumber kewenangan pemerintahan.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa mampu: menjelaskan:

a. Sumber kewenangan.

b. Kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi.

c. Perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan

sumber kewenangan pemerintahan.

5.3. Pengertian Sumber Kewenangan

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu

konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi

Page 103: HUKUM PERUNDANG

90

negara.96

Tanpa wewenang badan atau pejabat tata usaha negara tidak

dapat melaksanakan aktivitas atau kegiatan pemerintahan atau

administrasi negara, oleh karena itu pada bagian ini akan menjelaskan

tentang pengertian wewenang, dan sumber wewenang.

Dalam memberikan penjelasan mengenai pengertian

wewenang ini menggunakan pendapat-pendapat dari beberapa

pendapat sarjana yang memberikan pendapat tentang pengertian

wewenang. Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut ; Pertama,

Indroharto memberikan pengertian wewenang dalam arti yuridis

dengan mengatakan bahwa wewenang adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum. Biasanya pengertian wewenang diartikan dalam

arti luas yang lebih bersifat umum yaitu wewenang untuk berbuat

sesuatu.97

Lebih lanjut Indroharto melihat wewenang itu sebagai

kemampuan atau kecakapan atau kesanggupan, dimana kecakapan

atau kesanggupan itu hanya ada atau diberikan oleh peraturan

perundang-undangan. Kemampuan atau kecakapan yang diberikan

oleh peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan akibat

hukum. Kedua, akibat hukum diartikan oleh Abdul Kadir Muhammad

sebagai akibat yang ditimbulkan oleh hukum berupa hak dan

kewajiban.98

Contoh : adanya berbagai produk hukum yang dibuat

oleh badan atau pejabat tata usaha negara dari yang bersifat mengatur

sampai dengan yang bersifat kongkrit. Ketiga P.Nicolai

mendefinisikan wewenang dilihat dari substansi asas legalitas dengan

mengatkan bahwa bevoegdheid is Het Vermogen tot het verrichten

96

Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (

bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, hlm.

90. 97

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara Buku I (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha

Negara), Sinar Harapan Jakarta, hlm. 68. 98

Abdul Kadir Muhammad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra

Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 51.

Page 104: HUKUM PERUNDANG

91

van bepaalde rechtshandelingen.99

(Kemampuan untuk melakukan

tinadakan-tindakan hukum tertentu ). Disini P.Nicolai memandang

atau menilai wewenang itu sebagai suatu kemampuan yang diberikan

oleh hukum. Keempat, H.D. Stout, mengatakan bahwa Bevoegdheid

is een begrip wit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden

omschreven als het geheel van regels dat betrekkingen heft op de

verkrijging en uitofening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door

publiek rectelijke rechtssubjecten in het bestuurs rechtelijke

rechtsverker.100

(terjemahan bebas : wewenang adalah pengertian

yang berasal dari hukum organisasai pemerintahan, yang dapat

dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan

perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh

subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik ). Kelima,

Jadi Stout melihat wewenang itu sebagai tindakan yang dilakukan

dalam hukum organisasi pemerintahan. Keenam, Juanda memberikan

definisi wewenang dipandang dari segi hubungan kewenangan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah dengan

mengatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan

sesuatu tindakan hukum publik.101

Misalnya wewenang menerbitkan

izin dari badan atau pejabat tata usaha negara,disini juanda melihat

wewenang sebagai kekuasaan. Ketujuh, Prajudi Atmosudirdjo

memberikan pengertian wewenang dilihat dari segi kompetensi suatu

badan administrasi, dengan mengatakan bahwa wewenang adalah

kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum public.102

Jadi

wewenang hanya meliputi atau hanya mengenai sesuatu onderdil

tertentu saja.

Berdasarkan pengertian-pengertian sebagaimana

99

P.Nicolai, 1994, Bestuursrechat, Amsterdam, hlm. 4. 100

HD. Stout, 1994, De Betekenissen Van der Wet, WEJ. Tjeenk

Willink, Zwolle, hlm. 102. 101

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah ,Alumni, Bandung,

hlm. 265. 102

Prajudi Atmosudirdjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hlm. 76.

Page 105: HUKUM PERUNDANG

92

dikemukakan di atas, Indroharto, P.Nikolai dan H.D.Stout

memandang wewenang sebagai kemampuan sedangkan Juanda dan

Prajudi Atmosudirdjo memandang wewenang sebagai kekuasaan.

Wewenang dalam penerapannya sering disamakan dengan

kewenangan terdapat perbedaaan yang nyata. Perbedaan tersebut

nampak dalam pendapat dibawah ini :

1. Menurut F.A.M. Stroink dan J.E.Steenbeek, mengatakan bahwa

Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-

en administratief recht.103

(Terjemahan bebas : kewenangan

sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum

administrasi negara).

2. P.Nicolai memberikan definisi kewenangan adalah :

Het Vermogen tot het verrichten van bepaalde

rechtshandelingen ( handeingen die op rechtsgevolgen onstaan

of teniet gaan ) Een recht houdt in de ( rechtens gegeven )

vrijheid om een bepaalde feitelijke handelingen te verrichten van

een handeling door een ander. Een plict impliceert een

veerplictig om een bepaalde handeling te verrichten of na

laten.104

(Terjemahan bebas : kewenangan adalah kemampuan untuk

melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan

yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup

mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak

berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan

tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan

tindakan tertentu, sedangkan kewajiban menuntut keharusan

untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu )

3. Prajudi Atmosudirdjo memberikan definisi kewenangan sebagai

kekuasaan formal, yaitu kekuasaan terhadap segolongan orang-

orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang

103

Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Raja

Grafindo Persada, h. 71-72. 104

P.Nicolai, loc.cit.

Page 106: HUKUM PERUNDANG

93

pemerintahan tertentu. Kekuasaan ( authority gezag ) dan di

dalam kewenangan terdapat beberapa wewenang, sedangkan

wewenang(competence, bevoegdheid ) hanya meliputi salah satu

dari kewenangan tersebut.105

Jadi kewenangan lebih luas dari

wewenang dalam kewenangan ada kekuasaan dalam

kewenangan lahirlah wewenang.

Berdasarkan pengertian kewenangan sebagaimana

dikemukakan diatas, dapatlah dikatakan kewenangan meliputi hak

dan kewajiban, sedangkan wewenang hanya meliputi hak saja, atau

dengan kata lain kewenangan lebih luas daripada wewenang.

Mengenai perbedaan wewenang dengan kekuasaan ini, dipertegas

oleh Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak

untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus

berarti hak dan kewajiban.106

Pendapat senada dikemukakan

P.Nikolai, bahwa kewenangan adalah :Kemampuan untuk melakukan

tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan

untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul

dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan

atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain

untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat

keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan

tertentu.107

Prajudi Atmosudirjo memberikan penjelasan tentang

perbedaan antara wewenang dengan kekusaaan tersebut, dengan

mengatakan bahwa kekusaaan sama dengan kewenangan, yang

meliputi beberapa kewenangan di bidang pemerintahan misalnya

kekuasaan legislative dan kekuasaan eksekutif, sedangkan wewenang

105

Prajudi Atmosudirdjo, loc.cit. 106

Bagir Manan, 2000, Wewenang Provins, Kabupaten dan Kota

dalam rangka otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas

Hukum Unpad Bandung, 13 Mei 2000, h. 1-2. 107

Ridwan HR, op.cit., 101-102.

Page 107: HUKUM PERUNDANG

94

hanya meliputi salah satu urusan pemerintah atau meliputi wewenang

eksekutif saja.108

Firmansyah Arifin menyatakan wewenang

merupakan wujud nyata dari kekuasaan, sementara itu kekuasaan

adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain

sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai

dengan dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.109

Dari beberapa pendapat diatas terdapat beberapa perbedaan

antara lain Bagir Manan dan Firmansyah Arifin menyatakan bahwa

kekuasaan hanya meliputi hak saja, sedangkan Prajudi Atmosudirjo

dan P.Nikolai menyatakan bahwa kekuasaan meliputi hak dan

kewajiban. Selain itu Bagir Manan mengatakan bahwa wewenang

meliputi hak dan kewajiban (lebih luas) dari pada kekuasaan yang

hanya meliputi hak saja, sedangkan oleh Prajudi Atmosudirjo

dikatakan bahwa wewenang lebih sempit daripada kekuasaan.

5.4. Kewenangan Atribusi dan Kewenangan Delegasi

Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan pembentukan peraturan perundang-undangan

dibedakan sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi,

Bagir Manan dan I.C. van der Vlies terdiri atas kewenangan atribusi

dan kewenangan delegasi.

Cara memperoleh kewenang dalampembentukan peraturan

perundang-undangan menurut A Hamid S Attamimi dibedakan atas

kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi. Pemahaman terkait

dengan kewenangan tersebut antara lain :

1. Kewenangan atribusi adalah pencitaan kewenangan (baru) oleh

konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk wet yang diberikan

kepada suatu organ negara, baik yang sudahada ataupun yang

dibentuk baru untuk itu.

108

Prajudi Atmosudirjo, op.cit. 109

Firmansyah Arifin, 2005, Lembaga Negara Dan Sengketa

Kewenangan Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional

dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, h. 16.

Page 108: HUKUM PERUNDANG

95

2. Kewenangan delegasi adalah penyerahan kewenangan untuk

membentuk peraturan perundang-undangan dari delegans (

pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi) kepada

delegataris ( yang menerima delegasi ) atas tanggung jawab

sendiri.110

Atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan

dibedakan atas :

1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU (dalam arti formal)

memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan

tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang membuat /

membentuk peraturan perundang-undangan.

2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai

wewenang atributif (wewenang secara mandiri membuat

peraturan perundang-undangan) menyerahkan kepada badan

lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-

undangan atas tanggung jawab sendiri.111

Pemahaman akan pengertian atribusi dan delegasi menurut

I.C. van der Vlies adalah sebagai berikut :

1. Atribusi adalah penciptaaan kewenangan dan pemberiannya

kepada suatu organ.

2. Delegasi dipahami orang sebagai pelimpahan suatu kewenangan

sehingga pihak yang mendapatkan kewenangan (delegataris)

akan melaksanakannya dengan tanggung jawab sendiri.112

110

A Hamid S Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor

Universitas Indonesia, h. 347. 111

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah

Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni, h. 209-210. 112

I.C. Van der Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan

Perundang-undangan (Handboek Wetgeving), Direktorat Jenderal

Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

RI, h. 78-79.

Page 109: HUKUM PERUNDANG

96

Menurut kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-

Indonesia, kata atribusi (Belanda = attributie) mengandung arti :

Pembagian kekuasaan; dalam kata attributtie van rechtsmacht :

pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie

/ kompetensi mutlak ), sebagai lawan dari distributie van rechtsmacht

.Juga membagikan suatu perkara kepada kekuasaan yudikatif atau

kekuasaan eksekutif. Conflicten van attributie, konflik pembagian

kekuasaan.113

Sedangkan kata delegasi ( Belanda = delegatie ) mengandung

arti :

Penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang

lebih rendah : penyerahan lebih tinggi kepada yang rendah :

penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain

dengan atau berdasarkan kekuatan hukum, misalnya Dewan

Perwakilan Daerah Kota Praja memerintahkan kepada Majelis

Walikota dan pembantu Walikota untuk mengadakan peraturan-

peraturan tertentu.114

Berikutnya Mandat ( Belanda = Mandat) mengandung arti:

Mandat pada umumnya : Opdravht, perintah; - imperatief mandaat.

Di dalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving)

maupun kuasa penuh (volmach ).115

Dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan

memuat unsur-unsur :

1. Penciptaan wewenang ( baru ) untuk membuat peraturan

perundang-undangan ;

113

MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin

St.Batoeh, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda, Bandung

: Bina Cipta, h. 36. 114

Ibid, h. 91, 286. 115

Ibid.

Page 110: HUKUM PERUNDANG

97

2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-undang

Dasar atau pembentuk Undang-Undang kepada suatu lembaga ;

3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggungjawab atas

pelaksanaan wewenang tersebut.

Tabel 1.

Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat dalam Black s Law Dictionary

116

Bryan A. Garner, 2009, Black s Law Dictionary ( Ninth Edition) , Thomson Reuters Registered In US Patent And Trademark Office, Printed in

the United States of America, h.1 48. 117

Ibid, h. 491. 118

Ibid, h. 1047.

Atribusi Delegasi Mandat

attribution rights

constitute one aspect of

the moral rights

recognized primarily in

civil law countries.116

(terjemahan bebas :

Pengaturan tentang

atribusi adalah

pemberian kewenangan

oleh konstitusi dalam

dalam bentuk

kewenangan asli

dalamnegara yang

menganut sistem hukum

civil law)

Constitutional law. The

principle (based on the

separation-of-power

concept) limiting

congress s ability to transfer its legislative power

to another governmental

branch, eps. the executive

branch. delegtion is

permitted only if congress

prescribes an intelligible

principle to guide an

executive agency in making

policy117

( terjemahan bebas : Konsep

inti dalam delegasi adalah

pelimpahan kekuasaan dari

legisltaif kepada eksekutif

membentuk peraturan

perundang-undangan

An order

from an

appellate

court

directing a

lower court

to take a

specified

action.118

(terjemahan

bebas :

pemberian

perintah dari

atasan

kepada

bawahan

untuk

melakukan

suatu

tindakan

Page 111: HUKUM PERUNDANG

98

Dari pengertian atribusi, delegasi dan mandat menurut A.

Hamid S. Attamimi, Bagir Manan, I.C. Van Der Vlies dalam Kamus

Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia dan Black s Law Dictionarydapat ditarik kesimpulan bahwa pada atribusi

diciptakan suatu wewenang, pada delegasi diserahkan suatu

wewenang sedangkan pada mandat tidak ada penciptaan ataupun

penyerahan wewenang.

Dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan pengertian atribusi terkait dengan pembentukan peraturan

perundang-undangan memuat unsur-unsur:

1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan

perundang-undangan;

2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-undang

Dasar atau pembentuk undang-undang kepada suatu lembaga ;

3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas

pelaksanaan wewenang tersebut.

Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan

perundang-undangan memuat unsur-unsur berikut ini:

1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-

undangan ;

2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif

(delegans) kepada lembaga lainnya ( delegataris) ;

3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung

jawaban atas pelaksanaan wewenang tersebut.

misalnya : eksekutif hanya

berhak untuk melaksanakan

kewenangan delegasi

apabila legislatif

melimpahkan kewenangan

delegasi agar eksekutif dapat

melaksanakan kewenangan

delegasi)

tertentu)

Page 112: HUKUM PERUNDANG

99

Antara atribusi dan delegasi terdapat persamaaan dan

perbedaan. Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang

bertanggungjawaban atas pelaksanaan wewenang itu. Perbedaannya

sebagai berikut :

1. Pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi, sedangkan

dalam atribusi tidak ada yang mendahului ;

2. Pada atribusi terjadi pembentukan wewenang sedangkan pada

delegasi terjadi penyerahan wewenang.

Kekuasaan untuk membuat aturan dalam kehidupan

bernegara dikonstruksikan berasal dari rakyat yang berdaulat yang

dilembagakan dalam organisasi negara di lembaga legislatif sebagai

lembaga perwakilan rakyat misalnya kekuasaan membentuk undang-

undang merupakan kekuasaan negara yang dipegang oleh badan

legislatif.119

Sedangkan cabang kekuasaan pemerintahan negara

sebagai organ pelaksana atau eksekutif hanya menjalankan peraturan-

peraturan yang ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu

cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak

yang menegakkan peraturan-peraturan itu melalui proses peradilan.

Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya

dituangkan dalam undang-undang dasar atau hukum yang tertinggi di

bawah undang-undang dasar ada undang-undang sebagai bentuk

peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun karena materi yang

diatur dalam undang-undang itu hanya terbatas pada soal-soal umum,

diperlukan pula bentuk-bentuk peraturan yang lebih rendah sebagai

peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan. Lagi pula

sebagai produk lembaga politik seringkali undang-undang hanya

dapat menampung materi-materi kebijakan yang bersifat umum.

119

Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan

Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana

Universitas Airlangga, Surabaya, h. 1.

Page 113: HUKUM PERUNDANG

100

Forum legislatif bukanlah forum teknis melainkan forum politik,

A.V.Dicey menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;

The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no

small measure to futile endeavoursof Parliament to work out the

details of large legislative changes… the substance no less than the form of law would,it is probable, be a good deal improved if the

executive government of England could, ike that of France , by

means of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force of

law, work out the detailed application of the general principles

embodied in the acts of the legislature [(1898),1959,pp52-53].120

(terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan bertele-

telenya Undang-undang di Inggris adalah dikarenakan tidak adanya

ukuran untuk melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen untuk

menyelesaikan pekerjaan perubahan legislative yang besar secara

terperinci… persoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal

tersebut memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan

yang baik apabila pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di

Prancis, yang diartikan sebagai dekrit, peraturan, atau proklamasi

yang memiliki tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian

penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam undang-

undang dari badan pembuat undang-undang . [(1898),1959,pp52-53].)

Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan

mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan

legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut

itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana haruslah

dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang akan

dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative delegation of

rule making power.121

Berdasarkan prinsip pendelegasian ini norma

hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk

tanpa di dasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan

perundang-undangan. Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat

120

Hilaire Barnett, op.cit, hlm. 485. 121

Jimly Asshiddiqie II, op.cit, hlm. 215.

Page 114: HUKUM PERUNDANG

101

sebagai berikut :

1. delegasi harus difinitif, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu;

2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada

ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan

hirarkhi kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

4. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan

wewenang tersebut;

5. peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans

memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan

wewenang tersebut.122

Dalam kaitannya dengan kewenangan delegasi Jimly

Asshiddiqie proses pemberian kewenangan oleh pembentuk undang-

undang kepada pelaksana undang-undang untuk mengatur hal-hal

tertentu lebih lanjut dalam bentuk peraturan pelaksana yang lebih

rendah inilah yang disebut proses pendelegasian wewenang legislasi

(legislative delegation of rule making).123

H.W.R.Wade dalam

bukunya Administrative Law, pembentuk undang-undang berwenang

mendelegasikan pengaturan lebih lanjut secara terperinci dengan

menyediakan pedoman yang merupakan dasar pengaturan yang

permanen, ”Parliament is obliged to delegate very extensive law-

making power over matters of detail and to content itself with

122

I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance

Dalam Legislasi Daerah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap

Dalam Bidang Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana,

hlm. 26. 123

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi

Press Jakarta, hlm. 147.

Page 115: HUKUM PERUNDANG

102

providing a framework of more or less permanent statutes”.124

Hilaire Barnett dalam bukunya Constitutional And

Administrative Law, produk hukum delegasi peraturan perundang-

undangan (delegated legislation) di Inggris dibentuk oleh :

a.) Ministers, in the form of rules and regulations which

supplement the provisions of an act of Parliement ;

(Menteri-menteri, dalam bentuk peraturan menteri

sebagaimana tambahan ketentuannya berasal dari undang-

undang parlemen);

b.) Local authorities, in the form by laws to regulate their

locality according to particular localized needs ;

(Pejabat lokal, dalam bentuk peraturan tingkat daerah untuk

mengatur kebutuhan masyarakat local);

c.) Public bodies, in the form of rules and regulations. Such

bodies include the British airways authority (section 9 of the

airport authorities act 1975); British Railways Board

(section 67 of the transport act 1962 ); and the Nature

Conservancy Council (section 37 of the Wildlife and

Countryside Act1981 ) ;

(Badan-badan umum, dalam bentuk peraturan badan hukum

publik.Badan semacam ini termasuk kewenangan

(berdasarkan section 9 dari Undang-Undang Kewenangan

Airport 1975 ) Dewan Pengurus Sistem Perkereta –apian

Inggris (berdasarkan section 67 Undang-Undang Transport

1962 ) ;danPerhimpunan Konservasi Alam( berdasarkan

section 37 dari Undang-Undang Margasatwa dan Daerah

Pedalaman 1981 );

d.) Judges, in the form of rules of court made under the authority

of section 75 of the Supreme Court Act 1981 ;

(Hakim-hakim dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung

yang dibuat di bawah kewenangan dari bagiam 75 tentang

124

H.W.R.Wade, 1982, Administrative Law, Fifth Edition ELBS

English Language Book Society oxford University Press, hlm. 733.

Page 116: HUKUM PERUNDANG

103

Undang-Undang pengadilan tinggi);

e.) Government departments, in the from of codes of practice,

circulars and guidance. These do not contain legal rules, but

have a substantive effect on the manner in which the legal

rules operate ;

(Departemen-departemen Pemerintahan, dalam bentuk

peraturan-peraturan dalam praktek, perpputaran atau sirkulasi

dan panduannya dalam hal ini, tidak terkandung peraturan

legal, tetapi memiliki efek substantif pada sikap / perbuatan

di dalam pelaksanaan peraturan legal);

f.) House of Common, in the form resolutions of the house. The

provisional collection of texas act 1968 makes possible the

lawfull imposition and collection of taxation between the

budget speech and the enactment of the finance bill in

july/August. Whereas normal resolutions of the hause do not

have the force of law, Resolutions enabling the impositions

and collections of taxation-being authorised by statute have

legal effect. 125

(Badan perwakilan Rakyat dalam bentuk keputusan-

keputusan / resolusi dari badan perwakilan rakyat .Undang-

Undang Sementara Pemungutan Pajak 1968 membuat

kemungkinan pembebanan yang sah menurut hukum dan

pemungutan pajak diantara Rancangan Undang-Undang

Keuangan di bulan Juli / Agustus. Dimana Peraturan Badan

perwakilan tidak memiliki tekanan hukum, peraturan-

pertauran memungkinkan pembebanan yang sah menurut

hukum dan pemungutan pajak disetujui oleh undang-undang

memiliki efek legal).

Menurut P.P.Craig dalam bukunya yang berjudul

Administrative Law, regulasi merupakan salah satu bentuk dari

125

Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Administrative Law,

Fourth Edition Cavendish Publishing, hlm. 484-485.

Page 117: HUKUM PERUNDANG

104

delegasi peraturan perundang-undangan di samping apa yang disebut

“There is a bewildering variety of terminology through which to

express delegated legislation Orders in Council, rules, regulations,

bylaws dan direction”.126 P.P.Craig menyatakan regulasi dan

peraturan dipergunakan dalam situasi yang sangat beragam untuk

menunjukkan kekuasaan subordinasi pembentukan hukum,

”Regulations and rules are ued in a wide variety of situations to

denote subordinate law-making power”127. Pada prinsipnya P.P.Craig

menyatakan pembentukan regulasi biasanya kekuasaan berada di

tangan menteri, tetapi untuk regulasi dan peraturan atau perintah

dapat juga dikeluarkan oleh perwakilan pemerintah dan badan yang

berwenang di daerah “The Power will be normally be conferred upon

a minister of the crown, but regulations, rules or orders may also be

passed by agencies and local authorities”.128

Dalam kaitannya dengan delegasi A.Hamid S.Attamimi

mengemukakan syarat-syarat pendelegasian, dengan contoh delegasi

pengaturan dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah, yang

diringkas sebagai berikut :

1. Asas delegasi yang tidak dibenarkan dan delegasi yang

diharapkan. Hal-hal dalam garis besar atau dalam pokok-

pokok dan mengenai perwujudan dasar dari asas negara

berdasar atas hukum, tidak dibenarkan didelegasikan atau

pengaturannya harus dilakukan oleh undang-undang

sendiri ;

2. Asas delegates non potest delegari ( delegate potestas

non potest delegari) berarti penerima delegasi tidak

berwenang mendelegasikan lagi tanpa mendapat

persetujuan pemberi delegasi;

3. Asas “Menjalankan” Undang-Undang .Delegasi suatu

126

P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell,

hlm. 246. 127

Ibid, hlm. 247 128

Ibid

Page 118: HUKUM PERUNDANG

105

undang-undang kepada peraturan pemerintah adalah

terbatas, yaitu hanya untuk maksud “menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” tersebut saja ;

4. Pendelegasian dari undang-undang yang menyerahkan

sepenuhnya kepada Peraturan Pemerintah untuk

mengatur tanpa pembentukan norma dalam Undang-

Undang sendiri disebut “delegasi blanko”, adalah tidak dapat dibenarkan.

129

Misalnya peraturan pelaksana dibentuk tidak atas perintah

Undang-undang atau Peraturan Daerah, maka Peraturan pelaksana

tersebut tidak dapat dibentuk. Demikian pula dengan bentuk-bentuk

peraturan yang lain, jika tidak didasarkan atas perintah peraturan

yang lebih tinggi maka peraturan itu dapat dianggap tidak memiliki

dasar yang meligitasikan pembentukannya. Dengan demikian

kewenangan lembaga pelaksana untuk membentuk peraturan

pelaksana undang-undang sebagai ketentuan mengenai pendelegasian

kewenangan mengatur dari pembentuk undang-undang kepada

lembaga pelaksana undang-undang atau kepada pemerintah.

Pendelegasian kewenangan untuk mengatur harus menyebut

dengan tegas mengenai ruang lingkup materi yang hendak diatur dan

jenis peraturan perundang-undangan tempat penuangan materi yang

didelegasikan pengaturannya lebih lanjut. Kewenangan untuk

menetapkan peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang

dan Perda sebagai primary legislation memang diperintahkan atau

diberi kewenangan untuk itu. Jika materi yang didelegasikan sebagian

sudah diatur pokok-pokoknya dalam peraturan perundang-undangan

yang mendelegasaikan, materi tersebut harus diatur hanya dalam

peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan dan tidak boleh

di delegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah. Dapat disimpulkan syarat dalam pendelegasian

129

A.Hamid.S.Attamimi, op.cit., hlm. 348-351.

Page 119: HUKUM PERUNDANG

106

kewenangan mengatur adalah :

1. Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga

pelaksana yang diberi delegasi kewenangan dan bentuk

pengaturan pelaksana untuk menuangkan materi

pengaturan yang didelegasikan ;

2. Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan

pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang

didelegasikan ;

3. Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian

kewenangan dari undang-undang atau lembaga

pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima

delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan

yang mendapat delegasi.

5.5. Perbedaan Sumber Kewenangan Perundang-undangan

dengan Sumber Kewenangan Pemerintahan.

Menurut H.D.Van Wijk dan Willem Konijnenbelt terdapat

tiga model sumber kewenangan yaitu :

1) Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wet

gever aan een bestuurorgaan ; (atribusi adalah pemberian

wewenang pemerintah dari suatu organ pemerintah oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintah );

2) Delegatie : overdracht van bevoegdheid van het ene

bestuurorgaan een ander; (delegasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada

organ pemerintahan yang lain;

3) Mandaat zijn bevoegdheid namens hem uittoefenen door een

ander.130

(Terjemahan bebas : mandat terjadi ketika organ

pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ

lain atas namanya).

130

H.D.Van Wijk & Wilhem Konijnenbelt, 1994, Hoofd Strukken

Van Administratife Recht, Uitgeverij Lemma BV-Utrecht, hlm. 129.

Page 120: HUKUM PERUNDANG

107

Dalam kaitannya dengan sumber kewenangan Philipus M.

Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara utama

yaitu a) atribusi ; b) delegasi dan mandat.131

Dalam bidang eksekutif

selain dikenal atribusi dan delegasi juga dikenal mandat yang

ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.

Namun dikaitkan dengan gugatan ke pengadilan tata usaha negara,

mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat

tidak bisa menjadi tergugat di pengadilan tata usaha negara.132

Indroharto menjelaskan, bahwa pada mandat tidak terjadi

pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lainya.

Yang terjadi pada mandat adalah wewenang pemerintahan

dilaksanakan oleh mandataris (penerima mandat) atas nama dan

tanggung jawab mandans (pemberi mandat). Dicontohkan oleh

Indroharto hubungan intern antara Menteri dengan Dierjen, dimana

menteri menugaskan kepada Dirjen (mandataris) untuk atas nama

Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta

mengeluarkan Keputusan Tata Usaha tertentu.” Juridis keluar tetap menterilah yang berwenang karena sebagai Pejabat Tata Usaha

Negara yang bertanggungjawab.133

Dengan demikian mandat yang dikenal di bidang

pemerintahan dan tidak di bidang perundang-undangan, dapat

dirumuskan sebagai penugasan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara kepada bawahannya untuk melaksanakan wewenang

pemerintahan dengan tanggungjawab dan tanggung gugat tetap pada

yang menugaskan. Terkait dengan sumber kewenangan dalam

pandangan Philipus M Hadjon dari segi cara memperoleh kewenang

atas dua cara utama yaitu a) atribusi ; b) delegasi dan kadang-kadang

131

Philipus M.Hadjon I, op.cit, hlm. 91. 132

A.Hamid.S.Attamimi, Peranan...op.cit., hlm.90-96. 133

Indroharto, loc.cit.

Page 121: HUKUM PERUNDANG

108

mandat dapat dipahami bahwa :134

Sumber kewenangan menurut Philipus M. Hadjon adalah

sebagai berikut :

1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan (

Pasal 1 angka 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya :

wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara

yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan)

2. Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang

ada.

3. Mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau

pengalihtangan kewenangan.135

Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan pembentukan peraturan perundang-undangan

dibedakan sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi,

Bagir Manan dan I.C. van Der Vlies terdiri atas kewenangan atribusi

dan kewenangan delegasi.136

Cara memperoleh kewenang menurut

A. Hamid S. Attamimi dibedakan atas kewenangan atribusi dan

kewenangan delegasi. Pemahaman terkait dengan kewenangan

tersebut antara lain :

1. Kewenangan atribusi adalah pencitaan kewenangan (baru) oleh

konstitusi/gronwet atau oleh pembentuk wet yang diberikan

kepada suatu organ negara, baik yang sudahada ataupun yang

dibentuk baru untuk itu.

134

Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (

bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, op.cit,

hlm. 91. 135

Philipus M.Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara,

Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta, hlm. 130-131. 136

Bagir Manan, Wewenang Provinsi..., op.cit., hlm. 206-214,

A.Hamid.S. Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap

Universitas Indonesia hlm. 347-352, I.C. van der Vlies, op.cit, hlm. 78-79.

Page 122: HUKUM PERUNDANG

109

2. Kewenangan delegasi adalah penyerahan kewenangan untuk

membentuk peraturan perundang-undangan dari delegans (

pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi) kepada

delegataris ( yang menerima delegasi ) atas tanggung jawab

sendiri.137

Atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan

dibedakan atas :

1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU ( dalam arti formal )

memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan

tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang membuat /

membentuk peraturan perundang-undangan.

2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai

wewenang atributif ( wewenang secara mandiri membuat

peraturan perundang-undangan) menyerahkan kepada badan

lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-

undangan atas tanggung jawab sendiri.138

Pemahaman akan pengertian atribusi dan delegasi menurut

I.C. van der Vlies sebagai berikut : Atribusi adalah penciptaaan

kewenangan dan pemberiannya kepada suatu organ, sedangkan

delegasi dipahami orang sebagai pelimpahan suatu kewenangan

sehingga pihak yang mendapatkan kewenangan (delegataris) akan

melaksanakannya dengan tanggung jawab sendiri.139

Dalam bidang eksekutif selain dikenal atribusi dan delegasi

juga dikenal mandat yang ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk

memperoleh wewenang. Perbedaan delegasi dan mandat dijelaskan

secara berturut-turut oleh R.J.H.M. Huisman dan Philipus M. Hadjon

sebagai berikut :

137

A. Hamid S. Attamimi , Peranan…op.cit., h. 347. 138

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah

Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, h.209-210. 139

I.C. van Der Vlies, op.cit., hlm. 78-79.

Page 123: HUKUM PERUNDANG

110

Tabel 2.

Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut R.J.H.M. Huisman

Delegasi

Mandat

1. overdracht van bevoegdheid

( pelimpahan wewenang ).

1. opdracht tot uitoveoning ( perintah

untuk melaksanakan ).

2.bevoegheid kan door het

oorspronkelijk bevoegde

organ niet incidenteel

uitgoefend worden.

(kewenangan tidak dapat

dijalankan secara incidental

oleh organ yang memiliki

wewenang asli).

2. bevoegheid kan door mandaat gever

nog incidenteel uitgoefend worden

(kewenangan dapat sewaktu-waktu

dilaksanakan oleh mandans).

3.overgang van verant

woordelijkheid (terjadi

peralihan tanggungjawab).

3. behooud van verantwoordelijkheid

(tidak terjadi peralihan

tanggungjawab).

4.wettelijke basis vereist (

harus berdasarkan undang-

undang).

4.geen wettelijke basis vereist (tidak

harus berdasarkan undang-

undang).140

Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi

dan mandat bahwa delegasi, merupakan pelimpahan wewenang

(overdracht van bevoegdheid); kewenangan tidak dapat dijalankan

secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli

(bevoegdheid kan door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet

incidenteel uitgoefend worden); terjadi peralihan tanggung jawab

(overgang van verantwoordelijkheid); harus berdasarkan UU

(wetelijk basis vereist); harus tertulis (moet schriftelijk). Sedangkan

Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk melaksanakan

(opdracht tot uitvoering) kewenangan dapat sewaktu-waktu

dilaksanakan oleh mandans (bevoeghdheid kan door mandaatgever

140

R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng,

Kobra Amsterdam, hlm. 7.

Page 124: HUKUM PERUNDANG

111

nog incidenteel uitgeofend worden) tidak terjadi peralihan tanggung

jawab (behooud van verantwoordelijkheid) tidak harus berdasarkan

UU (geen wetelijke basis vereist) dapat tertulis dan dapat pula secara

lisan.

Tabel 3.

Perbedaan Mandat dan Delegasi menurut Philipus M. Hadjon141

Hal Delegasi Mandat

1. prosedur

pelimpahan.

1. dari satu organ

pemerintahan kepada

organ lain : dengan

peraturan perundang-

undangan.

1. dalam hubungan rutin

atasan bawahan ; hal

biasa, kecuali

dilarang secara tegas.

2.tanggung jawab

dan tanggung

gugat.

2. tanggungjawab dan

tanggung gugat

beralih kepada

delegataris.

2.tetap pada pemberi

mandat.

3.kemungkinan si

pemberi

menggunakan

wewenang itu

lagi.

3. tidak dapat

menggunakan

wewenang itu lagi,

kecuali setelah ada

pencabutan dengan

berpegang pada asas

“ contrarius actus”.

3.setiap saat saat dapat

menggunakan sendiri

wewenang yang

dilimpahkan itu.

141

Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi

Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, makalah yang disampaikan

pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair, Surabaya, tanggal 10 Oktober

1994, hlm. 8.

Page 125: HUKUM PERUNDANG

112

Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi

dan mandat sebagai berikut : 1) Dari prosedur ; dalam delegasi

terjadi dari satu organ pemerintahan kepada organ lain : dengan

peraturan perundang-undangan, sedangkan mandat terjadi dalam

hubungan rutin atasan bawahan ; hal biasa, kecuali dilarang secara

tegas. 2) Dari tanggung jawab dan tanggung gugat ; dalam delegasi

tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris

sedangkan dalam mandat tetap pada pemberi mandat. 3) Dari

kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi; dalam

delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah

ada pencabutan dengan berpegang pada asas “ contrarius actus”

sedangkan dalam mandat setiap saat dapat menggunakan sendiri

wewenang yang dilimpahkan itu.

Pengaturan secara otentik terkait dengan atribusi, delegasi

dan mandat diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UUAP)

Masing-masing memiliki perbedaan karakter antara lain:

Tabel 4.

Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan

Atribusi Delegasi Mandat

Atribusi adalah

pemberian

Kewenangan

kepada Badan

dan/atau Pejabat

Pemerintahan oleh

Undang-Undang

Dasar Negara

Republik Indonesia

Tahun 1945 atau

Undang-Undang.

Delegasi adalah pelimpahan

Kewenangan dari Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan

yang lebih tinggi kepada Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan

yang lebih rendah dengan

tanggung jawab dan tanggung

gugat beralih sepenuhnya

kepada penerima delegasi.

(Dalam Pasal 1 angka 23)

Mandat adalah

pelimpahan

Kewenangan

dari Badan

dan/atau Pejabat

Pemerintahan

yang lebih

tinggi kepada

Badan dan/atau

Pejabat

Pemerintahan

Page 126: HUKUM PERUNDANG

113

(Dalam Pasal 1

angka 22)

yang lebih

rendah dengan

tanggung jawab

dan tanggung

gugat tetap

berada pada

pemberi

mandat. (Dalam

Pasal 1 angka

24)

Berdasarkan tabel di atas terdapat perbedaan atribusi,

delegasi dan mandat. Atribusi merupakan pemberian kewenangan

kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.

Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat

pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan

tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.

Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan

tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

Dalam Naskah akademik Undang-Undang Administrasi

Pemerintah menunjukkan adanya dasar kewenangan pejabat dengan

menekankan pada adanya implikasi yuridis yaitu terkait dengan

tanggung jawab, tanggung gugat dan kompetensi wewenang

pemerintahan dapat dibedakan kedudukannya menjadi:

a. Original legislator, yaitu MPR sebagai penyusun konstitusi,

Pemerintah bersama-sama DPR dalam penyusunan UU dan

Pemerintah Daerah bersama DPRD dalam menyusun Peraturan

Daerah.

b. Delegated legislator, yaitu misalnya Presiden yang berdasar

ketentuan suatu UU memiliki wewenang mengeluarkan

Page 127: HUKUM PERUNDANG

114

Peraluran Pemeruntah sebagai jabaran UU yang di dalamnya

terdapat penciptaan kewenangan bagi instansi administrasi

negara yang ada dibawahnya, berbeda dalam atribusi, delegasi

sebagai suatu sumber kewenangan, merupakan pelimpahan

wewenang dari suatu instarisi atau pejabat administrasi negara

yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara

atributif kepada instansi atau pejabat administrasi negara yang

lain.

c. Selain kedua bentuk diatas, ada satu bentuk lagi yang juga

dikenal dalam administrasi negara yang terkait dengan

pendistribusian wewenang yaitu mandat. Dalam mandat, suatu

wewenang pemerintahan dilaksanakan oleh seorang mandataris

atas nama dan tanggungjawab dari si pemberi mandat.142

Bertolak dari perbedaan delegasi dan mandat sebagaimana

dipaparkan tersebut oleh Philipus M. Hadjon, R.J.H.M. Huisman

dan ketentuan dalam UUAP dapat dikemukakan perbandingan

sebagai berikut : pendapat Philipus M Hadjon melihat perbedaan

delegasi dan mandat dari prosedur pelimpahan, tanggung jawab dan

tanggung gugat dan kemungkinan pemberi menggunakan wewenang

itu lagi, sedangkan R.J.H.M. Huisman melihat dari sudut pandang

teoritis terkait dengan pelimpahan dan peralihan tanggung jawab.

UUAP membedakan atribusi, delegasi dan mandat dengan

melihat pada sumber kewenangan, tanggung jawab dan tanggung

gugat. Pemaknaan atas pendapat tersebut diatas nampak adanya

perbedaan karakter dalam sumber kewenangan dalam pembentukan

peraturan perundang-undandan dan sumber kewenangan pemerintah.

Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan terdiri atas atribusi dan delegasi sedangkan pada wewenang

pemerintahan terdiri atas atribusi, delegasi dan mandat. Wewenang

pemerintahan lebih menekankan pada aspek tanggung gugat dan

142

Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik

Undang-Undang Administrasi Pemerintah, 2013, Jakarta, hlm. 30.

Page 128: HUKUM PERUNDANG

115

tanggung jawab sebagai implikasi dari pelaksanaan kewenangan.

Seturut dengan itu Indroharto juga memberikan pemahaman bahwa

pemberian atribusi dan delegasi yang menyangkut wewenang

pembuatan peraturan berlaku ketentuan yang berbeda dengan

wewenang pemerintahan.143

Berdasarkan UUAP, pengertian Atribusi, Delegasi, dan

Mandat diatur dalam Pasal 1 angka 22 sampai dengan angka 24.

Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang; (23). Delegasi adalah

pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih

sepenuhnya kepada penerima delegasi; (24). Mandat adalah

pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada

pada pemberi mandat. Yang selanjutnya diatur Lebih jelas diatur

diatur :

1. Dalam Pasal 12 ayat :

143

Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara Buku I ( Beberapa Pengertian Dasar Hukum

Tata Usaha Negara), Jakarta: Sinar Harapan, h. 68. Perlu juga dipahami

pendapat Suwoto Mulyosudarmo, terkait dengan pembagian beban tanggung

jawab bentuknya ditentukan oleh cara-cara kekuasaan itu diperoleh

(bevoegdheidverkrijging) dibedakan menjadi dua macam yaitu kekuasaan

yang bersifat atributif dan kekuasaan yang bersifat derivatif. Atributif adalah

pembentukan kekuasaan dari kekuasaan yang belum ada menjadi ada.

derivatif (afgeleid) kekuasaan yang diderivasi kepada pihak lain. Dalam

kaitannya dengan siapa yang dianggap sah membentuk kekuasaan dan siapa

yang sah melimpahkan kekuasaan serta bagaimana bentung

pertanggungjawaban dapat dilaksanakan. Bentuk dari derivative ini adalah

delegatsi dan mandat. Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan

Kajian teoritis dan Yuridis terhadap pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia,

hlm. 39-41

Page 129: HUKUM PERUNDANG

116

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh

Wewenang melalui Atribusi apabila: a.diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan/atau undang-undang; b.merupakan Wewenang

baru atau sebelumnya tidak ada; dan c.Atribusi diberikan

kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh

Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan

berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

bersangkutan ;

(3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali

diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.

2. Dalam Pasal 13 ayat:

(1) Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh

Wewenang melalui Delegasi apabila: a. diberikan oleh

Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau

Peraturan Daerah; dan c. merupakan Wewenang

pelimpahan atau sebelumnya telah ada.

(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut,

kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-

undangan.

(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan

menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh

Wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan

Page 130: HUKUM PERUNDANG

117

dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan: a.

dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang

dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan

itu sendiri; dan c. paling banyak diberikan kepada Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.

(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan

Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah

diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi

menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan

pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik

kembali Wewenang yang telah didelegasikan.

(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh

Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan

berada pada penerima Delegasi.

3. Pasal 14 ayat :

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat

apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan

tugas rutin.

(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana

harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif

yang berhalangan sementara; dan b. pelaksana tugas yang

melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang

berhalangan tetap.

(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan

Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain

yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 131: HUKUM PERUNDANG

118

(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima

Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.

5.6. Penutup

Resume.

Dalam suatu negara hukum yang demokratis sangat

diperlukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan yang mampu memberikan keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan

Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan

Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan

perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai

pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan

dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat

semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-

undangan. Pentingnya pengaturan tersebut harus dibarengi juga

pemahaman akan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

dimulai dari dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-

undangan.

Latihan.

Sebagai akhir dari bagian penutup maka disediakan soal bagi

mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian pembelajaran.

Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan sebagai berikut:

a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan "wewenang" dan

"kewenangan". Dengan cara bagaimana kewenangan

tersebut dapat diperoleh?

b. Apa bedanya sumber kewenangan perundang-undangan

dan sumber kewenangan pemerintahan. Bagiamanakah

Page 132: HUKUM PERUNDANG

119

cara memahami suatu peraturan perundang-undangan

dibentuk berdasarkan kewenangan atribusi dan

kewenangan delegasi?

5.7. Bahan Bacaan/Rujukan Pengayaan

Abdul Kadir Muhamad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra

Aditya Bahakti, Bandung.

A Hamid S Attamimi , 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor

Universitas Indonesia.

__________________, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Kebijakan, PidatoPurna Bakti Guru

Besar Tetap Universitas Indonesia

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum

Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung.

Bagir Manan, 2000, Wewenang Provins, Kabupaten dan Kota dalam

rangka otonomi Daerah, Makalah pada seminar nasional,

Fakultas Hukum Unpad Bandung.

Bryan A. Garner, 2009, Black s Law Dictionary ( Ninth Edition) , Thomson Reuters Registered In Us Patent And Trademark

Office, Printed in the United States of America

Firmansyah Arifin, 2005, lembaga Negara Dan Sengketa

Kewenangan Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum

Nasional dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

HD.Stout, 1994, De Betekenissen Van der Wet, WEJ.Tjeenk Willink,

Zwolle, h 102.

H.W.R.Wade, 1982, Adminittratif Law, Fifth Edition ELBS English

Language Book Society oxford University Press,

Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Administrative Law, Fourth

Edition Cavendish Publishing.

H.D.Van Wijk & Wilhem Konijnenbelt, 1994, Hoofd Strukken Van

Administratife Recht, Uitgeverij Lemma BV-Utrecht.

Page 133: HUKUM PERUNDANG

120

Indroharto, Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang

Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I ( Beberapa

Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), Sinar Harapan

Jakarta.

I.C. Van Der Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan

Perundang-undangan (Handboek Wetgeving), Direktorat

Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia RI.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara Buku I (Beberapa Pengertian Dasar

Hukum Tata Usaha Negara ), Sinar Harapan Jakarta.

I Gusti Ngurah Wairocana, 2008, Implementasi Good Governance

Dalam Legislasi Daerah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar tetap Dalam Bidang Hukum Administrasi Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press

Jakarta.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah ,Alumni, Bandung.

Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik

Undang-Undang Administrasi Pemerintah.

Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan

Membentuk Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia Pasca perubahan UUD 1945, Disertasi

Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin

St.Batoeh, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea

Belanda, Bina Cipta, Bandung.

Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi

Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, makalah yang

disampaikan pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair,

Surabaya

Page 134: HUKUM PERUNDANG

121

Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (

bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari

1998.

P.Nicolai, 1994, Bestuursrechat, Amsterdam.

Prajudi Atmosudirdjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Galia

Indonesia, Jakarta.

P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell.

Philipus M.Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (

bestuuurbevoegheid ) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari

1998.

Philipus M Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara,

Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo

Persada.

R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng,

Kobra Amsterdam.

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian teoritis

dan Yuridis terhadap pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta.

Page 135: HUKUM PERUNDANG

122

PERTEMUAN VI :

TUTORIAL III

SUMBER KEWENANGAN PERUNDANG-UNDANGAN

6.1. Pendahuluan

Dalam pertemuan keenam ini, mahasiswa berdiskusi

mengenai sumber kewenangan perundang-undangan. Setelah

melakukan tutorial ini, mahasiswa diharapkan memahami sumber

kewenangan, kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan

perbedaan sumber kewenangan perundang-undangan dengan sumber

kewenangan pemerintahan. Materi tutorial ketiga ini sangat penting

sebagai landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada

pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini

mahasiswa harus mendiskusikan mengenai makna berbagai

peristilahan dan ruang lingkup pembentukan peraturan perundang-

undangan yang terdapat dalam penyajian materi.

6.2. Penyajian Materi: Study Task

Dalam suatu negara hukum yang demokratis sangat

diperlukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan yang mampu memberikan keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan

Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan

Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan

perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai

pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan

dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat

semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-

undangan. Pentingnya pengaturan tersebut harus dibarengi juga

pemahaman akan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

Page 136: HUKUM PERUNDANG

123

dimulai dari dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-

undangan. Jelaskan apa yang dimaksud dengan "wewenang" dan

"kewenangan". Dengan cara bagaimana kewenangan tersebut dapat

diperoleh? Apa bedanya sumber kewenangan perundang-undangan

dan sumber kewenangan pemerintahan. Bagiamanakah cara

memahami suatu peraturan perundang-undangan dibentuk

berdasarkan kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi?

6.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas

dideskripsikan sumber kewenangan, kewenangan atribusi,

kewenangan delegasi dan perbedaan sumber kewenangan perundang-

undangan dengan sumber kewenangan pemerintahan. Namun makna

dari beberapa istilah tersebut tidak dinyatakan, karena harus

diketemukan oleh mahasiswa di dalam kegiatan tutorial. Selain itu,

dinarasikan juga adanya aspek-aspek yang terdapat dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan. Terhadap hal itu,

mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan aspek-aspek tersebut.

Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan

kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan

dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion

leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu

selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat

berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

6.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Lihat Bahan Bacaan pada Pertemuan V perkuliahan III

Page 137: HUKUM PERUNDANG

124

PERTEMUAN VII :

KULIAH KEEMPAT

SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN

7.1. Pendahuluan

Mengawali pertemuan pembelajaran mata kuliah ini,

mahasiswa diajak mempelajari mengenai Sejarah Perundang-

undangan yang meliputi Periode Kolonial, Periode Awal Berlakunya

UUD 1945, Periode Berlakunya Konstitusi RIS, Periode Berlakunya

UUDS 1950, Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi

Terpimpin, Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila,

Periode Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan. Setelah mempelajari

dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa diharapkan memahami

Sejarah Perundang-undangan di Indonesia. Materi perkuliahan pada

pertemuan kesatu ini sangat penting sebagai landasan untuk

memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan

selanjutnya.

7.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa memahami Sejarah Perundang-undangan dari Periode

Kolonial sampai Periode berlakunya UUDNRI 1945 setelah

perubahan.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa mampu:

a. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode Kolonial

b. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode Awal

Berlakunya UUD 1945

c. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode

Berlakunya Konstitusi RIS

d. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode

Berlakunya UUDS 1950

Page 138: HUKUM PERUNDANG

125

e. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode

Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Terpimpin

f. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode

Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila

g. Menjelaskan Sejarah Perundang-undangan Periode

Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan.

7.3. Periode Kolonial

Pada masa kolonial Belanda ada berbagai bentuk peraturan

perundangan yang berlaku di Wilayah Hindia Belanda baik yang

dibentuk di Negeri Belanda sendiri maupun yang dibentuk oleh

Pemerintah Hindia Belanda yaitu :

1. Wet (sama dengan undang-undang)

2. Algemene Maatregel van Bestuur ( Peraturan Pemerintah)

3. Ordonansi (dibuat oleh Pemeerintah Hindia Belanda dan

Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda)

4. Verordening (dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda sendiri)

7.4. Periode Awal Berlakunya UUD 1945

UUD 1945 tidak memuat ketentuan tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Pada tanggal 10 Oktober 1945,

dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang

Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah (selanjutnya disebut PP 1/1945). PP 1/1945 memuat

ketentuan sebagai berikut:

1. Segala Undang-Undang dan Peraturan Presiden diumumkan

oleh Presiden dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara

(Pasal 1).

2. Untuk sementara waktu pengumuman dilakukan dengan

menempelkan Undang-Undang atau Peraturan Presiden itu di

papan pengumuman di muka Gedung Komite Nasional Pusat

(Pasal 2).

Page 139: HUKUM PERUNDANG

126

3. Djikalau perlu, supaja penduduk selekas mungkin

mengetahuinja maka pengumuman itu disiarkan dengan

perantara surat kabar, radio atau penjiaran lainnja (Pasal 3).

4. Undang-Undang dan Peraturan Presiden mulai berlaku pada

hari diumumkan, ketjuali djika dalam Undang Undang atau

Peraturan Presiden itu ditetapkan lain (Pasal 4).

Catatan: kutipan tersebut masih menggunakan ejaan lama.

Berdasarkan ketentuan tersebut dan judul PP 1/1945, maka

PP 1/1945 mengatur pengumuman dan mulai berlakunya Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah, tidak mengatur soal pembentukan

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.

Pada saat yang sama, 10 Oktober 1945, dikeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Badan-Badan

dan Peraturan Pemerintah Dulu ([selanjutnya disebut PP 2/1945). PP

2/1945 memuat ketentuan:

1. Segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan jang

ada sampai berdirinja Negara Republik Indonesia pada

tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan jang baru

menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal sadja

tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut

(Pasal 1).

2. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945

(Pasal 2).

(Catatan: kutipan tersebut masih menggunakan ejaan lama.)

Pada 16 Oktober 1945, dikeluarkan Maklumat Wakil

Presiden No. X (tertanggal 16 Oktober 1945). Maklumat ini

memutuskan:

1. Bahwa KNP, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi

kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar

daripada Haluan Negara, serta

Page 140: HUKUM PERUNDANG

127

2. Menyetujui bahwa pekerjaan KNP sehari-hari berhubung

dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh BP yang dipilih

diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNP.

Selain ada bentuk Maklumat Wakil Presiden, dalam praktiknya

terdapat pula Maklumat Pemerintah, seperti Maklumat Pemerintah

tanggal 14 Nopember, yang berisi penggeseran sistem pemerintahan dari

dari presidensiil ke parlementer.

Penjelasan Maklumat Wakil Presiden No. X (tertanggal 20

Oktober 1945) memuat penjelasan bahwa menurut putusan ini maka BP

berkewajiban dan berhak:

a. Turut menetapkan garis-garis besar daripada Haluan

Negara. Ini berarti, bahwa BP, bekerjasama dengan

Presiden, menetapkan garis-garis besar daripada Haluan

Negara.

b. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden, Undang-

Undang yang boleh mengenai segala macam urusan

Pemerintahan.

Berdasarkan paparan tersebut, selain UUD, maka ada

peraturan perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Maklumat Pemerintah, dan

Maklumat Presiden. Saat itu, untuk “garis-garis besar daripada haluan

Negara” belum jelas bentuk hukumnya. Barulah setelah Dekrit Presiden mendapatkan bentuk hukum berupa Ketetapan MPRS, dan

kemudian Ketetapan MPR. Paparan tersebut juga menjunjukkan

belum adanya peraturan yang mengatur pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Pada saat terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat

(RIS), maka Negara Republik Indonesia merupakan negara bagian

dari Negara RIS. Pada saat itu, tepatnya pada tanggal 2 Pebruari 1950

di Yogyakarta oleh Presiden Republik Indonesia (Pemangku Jabatan

Sementara) Assaat dengan persetujuan Badan Pekerja Komite

Nasional Pusat menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia

Page 141: HUKUM PERUNDANG

128

Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan Yang

Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (selanjutnya disebut UU 1/1950).

UU 1/1950 mencabut Peraturan Pemerintah No. 1 tertanggal 10

Oktober 1945 (PP 1/1945).

UU 1/1950 di dalamnya mengatur tentang:

1. Bab I Jenis. Bab ini memuat ketentuan:

(1) Djenis Peraturan-Peraturan Pemerintah Pusat ialah:

a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang.

b. Peraturan Pemerintah.

c. Peraturan Menteri (Pasal 1).

(2) Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah

Pusat ialah menurut urutannya pada pasal 1 (Pasal 2).

2. Bab II Pembentukan Undang-Undang. Bab ini memuat:

(1) Memajukan RUU (Pasal 3 dan Pasal 6).

(2) Memperbincangkan RUU (Pasal 4).

(3) Putusan pesetujuan tentang RUU (Pasal 5 dan Pasal

7).

(4) Pengundangan (Pasal 8)

3. Persetujuan DPR (setuju atau tidak setuju) atas Peraturan

Pemerintah Pengganti UU (Pasal 9).

4. Bab III Pengundangan dan Pengumuman Peraturan-

Peraturan Pemerintah Pusat. Bab ini memuat formulir

pengumuman UU (Pasal 11), formulir pengundangan PP

(Pasal 12), dan formulir pengundangan Peraturan Menteri

(Pasal 13).

5. Bab IV Berlakunya Peraturan-Peraturan Pemerintah Pusat.

Bab ini memuat ketentuan:

(1) Semua Peraturan-Peratuan Pemerintah Pusat mulai

berlaku untuk seluruh daerah Negara Republik

Indonesia, kecuali jika dalam Peraturan-Peraturan itu

ditetapkan lain.

Page 142: HUKUM PERUNDANG

129

(2) Semua Peraturan-Peratuan Pemerintah Pusat mulai

berlaku pada hari diundangkannya, kecuali jika dalam

Peraturan-Peraturan itu ditetapkan hari lain (Pasal

14).

Paparan di atas menunjukkan UU 1/1950 telah mengatur

tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari

pengajuan rancangan, pembahasan, persetujuan (pengesahan), dan

pengundangan, termasuk mulai berlakunya. Juga mengatur tentang

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, sekalipun sebatas

peraturan-peraturan tingkat pusat.

7.5. Periode Berlakunya Konstitusi RIS (27 Agustus 1949-17

Agustus 1950)

Pasal 143 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi

RIS) memuat ketentuan sebagai berikut:

(1) UU federal mengadakan aturan-aturan tentang

mengeluarkan, mengumumkan, dan mulai berlakunya UU

federal dan peraturan-peraturan pemerintah.

(2) Pengumuman, terjadi menurut bentuk UU, adalah syarat

tunggal untuk kekuatan mengikat.

Menindaklanjuti ketentuan tersebut, pada 17 Januari 1950

dikeluarkan Undang-Undang Darurat RIS Nomor 2 Tahun 1950

tentang Penerbitan Lembaran Negara RIS dan Berita Negara RIS

tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan Mulai Berlakunya UU

Federal dan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut UU Drt. RIS

2/1950). Pasal 3 UU Drt. RIS 2/1950 memuat ketentuan:

1. Dalam selembar Lembaran Negara tersendiri dimuat

sebagai pengumuman tiap-tiap undang-undang federal dan

tiap-tiap peraturan Pemerintah.

2. Dalam Berita Negara dimuat peraturan mengenai hal-hal

yang dengan undang-undang federal atau dengan

Page 143: HUKUM PERUNDANG

130

peraturan Pemerintah diserahkan kepada alat perlengkapan

Republik Indonesia Serikat lain, dan juga surat-surat lain

yang harus ataupun dianggap perlu atau berguna disiarkan

dalam Berita Negara.

Paparan tersebut juga menjunjukkan belum adanya peraturan

yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan.

7.6. Periode Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli

1959)

Pasal 100 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

(UUDS 1950) memuat ketentuan:

1. UU mengadakan aturan-aturan tentang membentuk,

mengundangkan, dan mulai berlakunya UU dan peraturan-

peraturan pemerintah.

2. Pengundangan, terjadi dalam bentukmenurut UU, adalah

syarat tunggal untuk kekuatan mengikat.

Ketentuan ayat (1) Pasal 100 UUDS 1950, selama berlakunya

UUD tsb., belum dapat dilaksanakan, yaitu membentuk UU tentang

membentuk, mengundangkan, dan mulai berlakunya UU dan

peraturan-peraturan pemerintah.Berdasarkan aturan peralihan Pasal

142 UUDS 1950, UU Federal Nomor 2 Tahun 1950 masih tetap

berlaku. Namun, ini hanya soal mengundangkan dan mulai

berlakunya saja.

7.7. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Terpimpin

(5 Juli 1959- 1966)

Kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang.

Surat Presiden kepada Ketua DPR Nomor 2262/HK/1959,

tertanggal 20 Agustus 1959, dikeluarkan jenis-jenis peraturan selain

Page 144: HUKUM PERUNDANG

131

yang telah disebutkan dalam UUD 1945, yakni:

1. Penetapan Presiden.

2. Peraturan Presiden.

a. Peraturan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1)

UUD 1945; dan

b. Peraturan Presiden untuk melaksanakan Penetapan

Presiden.

3. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Peraturan

Presiden.

4. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri.

Menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Presiden menetapkan

peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang

sebagaimana mestinya. Artinya: (1) Peraturan Pemerintah merupakan

jenis peraturan yang disebutkan dalam UUD 1945; dan (2) Peraturan

Pemerintah itu untuk menjalankan undang-undang sebagaimana

mestinya. Dengan demikian, ada ketidaksesuaian antara Peraturan

Pemerintah yang ada dalam UUD 1945 dengan Peraturan Pemerintah

yang ada dalam Surat Presiden kepada Ketua DPR Nomor

2262/HK/1959.

Paparan tersebut juga menunjukkan belum adanya peraturan

yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan.

7.8. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila

(1966-1998)

Peralihan kekuasaan kepresidenan berdasarkan Supersemar.

Dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang.

Peraturan di bawah UUD 1945 yang mengatur soal peraturan

perundang-undangan adalah:

1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Republik Indonesia No.XX/MPRS/1966 tentang

Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum

Page 145: HUKUM PERUNDANG

132

Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan

Republik Indonesia (selanjutnya disebut Tap MPRS

XX/1966).

2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

1970 tentang Tata-Tjara Mempersiapkan Rantjangan

Undang-Undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia (selanjutnya disebut Inpres 15/1970).

Pertama, Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 ditetapkan

dengan dasar pertimbangan dan dasar hukum sebagai berikut:

Menimbang: a. Bahwa tuntutan suara hati nurani Rakyat

mengenai pelaksanaan Undang-Undang

Dasar 1945 secara murni dan konsekuen

adalah tuntutan Rakyat, pemegang

kedaulatan dalam negara

b. Bahwa untuk terwujudnya kepastian

dan keserasian hukum, serta kesatuan tafsiran

dan pengertian mengenai Pancasila dan

pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945

perlu adanya perincian dan penegasan

mengenai sumber tertib hukum dan tata

urutan peraturan perundangan Republik

Indonesia.

c. Bahwa Memorandum DPR-GR tertanggal 9

Juni 1966, yang telah diterima secara bulat

oleh DPR-GR, memuat perincian dan

penegasan termaksud sebagai hasil

peninjauan kembali dan penyempurnaan dan

Memorandum MPRS tanggal 12 Mei 1961

No. 1168/U/MPRS/61 mengenai "Penentuan

Tata Urutan Perundang-undangan Republik

Indonesia".

Mengingat: 1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2);

Page 146: HUKUM PERUNDANG

133

2. Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 tanggal

21 Juni 1966;

3. Keputusan MPRS No 1/MPRS/1966 pasal 1

dan pasal 27.

Mendengar: Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari

tanggal 20 Juni 1966 sampai dengan 5 Juli

1966.

Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, yang ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 5 Juli 1966, memutuskan sebagai berikut:

1. Menerima baik isi Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni

1966, khusus mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik

Indonesia (Pasal 1).

2. Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesia tersebut pada pasal 1 berlaku

bagi pelaksanaan Undang- Undang-Dasar 1945 secara murni

dan konsekuen (Pasal 2).

3. Isi Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966

sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dilampirkan pada

Ketetapan ini (Pasal 3).

Mengenai “Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia” dalam Lampiran disebutkan:

1. Pancasila: Sumber dari segala sumber hukum.

2. Sumber dari tertib hukum sesuatu Negara atau yang biasa

disebut sebagai"sumber dari segala sumber hukum" adalah

pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-

cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari

Rakyat Negara yang bersangkutan.

3. Sumber dari tertib hukum Republik Indonesia adalah

pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-

cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa,

Page 147: HUKUM PERUNDANG

134

peri-kemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan

mondial, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan

Negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan

dan keagamaan sebagai pengejawantahan daripada Budi

Nurani Manusia.

4. Pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-

cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak

dari bangsa Indonesia itu pada 18 Agustus 1945 telah

dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan

Kemerdekaan atas nama Rakyat Indonesia, menjadi Dasar

Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila:

KetuhananYang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan

beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

dan Keadilan Sosial.

Mengenai “Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik

Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945” dalam Lampiran

disebutkan bahwa:

1. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia

menurut Undang-Undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:

­ Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,

­ Ketetapan MPR,

­ Undang-undang,

­ PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang,

­ Peraturan Pemerintah,

­ Keputusan Presiden,

­ Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:

­ Peraturan Menteri,

­ Instruksi Menteri,

­ Dan lain-lainnya.

2. Sesuai dengan sistim konstitusi seperti yang dijelaskan

dalam Penjelasana utentik Undang-Undang Dasar 1945,

Page 148: HUKUM PERUNDANG

135

bentuk peraturan-perundangan yang tertinggi, yang menjadi

dasar dan sumber bagi semua peraturan-perundangan

bawahan dalam Negara.

3. Sesuai pula dengan prinsip Negara hukum, maka setiap

peraturan perundangan harusber dasar dan bersumber dengan

tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih

tinggi tingkatnya.

Selanjutnya dalam Lampiran Tap MPRS No. XX/MPRS/1966

dijelaskan masing-masing bentuk peraturan perundang-undangan,

yakni:

1. Undang-Undang Dasar.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal

Undang- Undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang

tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan

Ketetapan MPR, Undang- undang atau KeputusanPresiden.

2. Ketetapan MPR

a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam

bidang legislatif dilaksanakan dengan Undang-undang.

b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam

bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

3. Undang-undang.

a). Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-

Undang Dasar atau Ketetapan MPR.

b). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden

berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai

pengganti Undang- undang.

(1) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam

persidangan yang berikut.

(2) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan

Pemerintah itu harus dicabut.

Page 149: HUKUM PERUNDANG

136

4. Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan

umum untuk melaksanakan Undang-undang.

5. Keputusan Presiden.

Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat

khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan

ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan,

Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan

Pemerintah.

6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya.

Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:

Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya,

harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada

peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Kedua, Inpres 15/1970, ditetapkan di Djakarta pada tanggal 29

Agustus 1970, berdasarkan pertimbangan (Menimbang), bahwa untuk

mentjiptakan tertib hukum dan peningkatan koordinasi, integrasi dan

sinkronisasi penjelenggaraan tugas Pemerintahan, dianggap perlu

meniadakan tata-tjara mempersiapkan Rantjangan Undang-

undangdan Rantjangan Peraturan Pemerintah. Adapun dasar hukum

(Mengingat) ditetapkan Inpres 15/1970 adalah: 1. Pasal 4 ajat (1) dan

pasal 17 Undang-undang Dasar 1945; dan 2. Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 183 tahun 1968.

Inpres 15/1970 menginstruksikan kepada : 1. Semua Menteri,

2. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen.Untuk

memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut dibawah ini sebagai

pedoman dalam pelaksanaan tugas mempersiapkan Rantjangan

Undang-undang dan Rantjangan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah:

1. Masing-masing Departemen dan Lembaga dapat

mengambil prakarsa untuk mempersiapkan Rantjangan

Undang-undang danRantjangan Peraturan Pemerintah,

Page 150: HUKUM PERUNDANG

137

sepandjang jang menjangkut bidang tugasnja (Pasal 1 ayat

(1)).

2. Prakarsa tersebut dengan pendjelasan pokok-pokok materi

sertaurgensinja supaja terlebih dulu dilaporkan kepada

Presiden sebelumdilaksanakan persiapan-persiapan

penjusunannja (Pasal 1 ayat (2)).

3. Dengan persetudjuan Presiden, Menteri jang

bersangkutanmelakukan langkah-langkah seperlunja untuk

menjusun Rantjangan Undang-undang/Rantjangan

Peraturan Pemerintah jang penjusunannja dapat

diselenggarakan dengan mengadakan suatu Panitya (Pasal

2 ayat (1)).

4. Panitya tersebut ajat (1) Pasal ini dapat berbentuk suatu

Panitya Interdepartemen atau suatu Panitya intern di

lingkungan Departemen/Lembaga jang bersangkutan,

sesuai dengan petundjuk Presiden (Pasal 2 ayat (2)).

5. Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan

Pemerintahsebagai hatsil Panitya tersebut pada Pasal 2

Instruksi Presiden ini,sebelum diadjukan kepada Presiden,

harus disampaikan/diedarkanterlebih dahulu kepada :

1.Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah jang erat

hubungannja dengan materi jang diatur dalam Rantjangan

jangbersangkutan, untuk mendapat tanggapan dan

pertimbangan. 2.Menteri Kehakiman untuk memperoleh

tanggapan seperlunjadari segi hukum. 3.Sekretaris Kabinet

untuk persiapan penjelesaian Rantjangan tersebut

selandjutnja (Pasal 3 ayat (1)).

6. Tanggapan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada

ajat (1) Pasal ini dalam waktu jang sesingkat-singkatnja

harus disampaikan oleh para Menteri dan Pimpinan

Lembaga Pemerintah kepada Departemen/Lembaga jang

menjiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan

Peratupan Pemerintah jang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2)).

Page 151: HUKUM PERUNDANG

138

7. Untuk mengolah tanggapan dan pertimbangan jang

diadjukan oleh masing-masing Departemen dan Lembaga

Pemerintah tersebut ajat (2) Pasal 3 Instruksi Presiden ini,

Departemen/Lembaga Pemerintah jang menjiapkan

Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan Peraturan

Pemerintah tersebut dapat mengadakan pertemuan-

pertemuan konsultasi, dan koordinasi dengan Departemen

dan Lembaga Pemerintah jangbersangkutan (Pasal 4).

8. Hatsil terachir sebagai kebulatan pendapat atas materi

sesuatu Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan

Peraturan Pemerintah, disampaikan kepada Presiden

disertai pendjelasan-pendjelasan oleh Menteri/Pimpinan

Lembaga jang bersangkutan, tentang pokok-pokok materi

dari Rantjangan serta proses penggarapannja (Pasal 5).

9. Bentuk suatu Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan

Peraturan Pemerintah adalah sebagai tertjantum dalam

Lampiran I dan II Instruksi Presiden ini (Pasal 6).

10. Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal

ditetapkannja (29 Agustus 1970) (Pasal 7).

Catatan: kutipan ketentuan-ketentuan tersebut masih

mengunakan ejaan lama.

Inpres 15/1970 hanya mengatur sebagian kecil soal

pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni menyangkut

“mempersiapkan Rantjangan Undang-undang dan Rantjangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia”, atau penyusunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah.

Jadi, tidak mencakup perencanaan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangannya.

7.9. Periode Berlakunya UUD 1945 Hasil Perubahan (Era

Reformasi)

Pasal 22 A UUD 1945 UUD 1945 menentukan “Ketentuan

Page 152: HUKUM PERUNDANG

139

lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur

dengan undang-undang.”Ini merupakan hasil perubahan kedua pada tahun 2000. Undang-undang yang dimaksud kemudian ditetapkan

pada tahun 2004, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perndang-undangan

(selanjutnya disebut UU 10/2004).

Sebelum UU 10/2004, terdapat beberapa peraturan mengenai

peraturan perundang-undangan, sesuai dengan tahun penetapannya

adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188

Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut Keppres

188/1998), ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 1998.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

1999 Tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang

undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan

Keputusan Presiden (selanjutnya disebut Keppres 144/

1999), ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999.

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

(selanjutnya disebut Tap MPR III/2000), ditetapkan pada

tanggal 18 Agustus 2000.

UU 10/2004 kemudian diganti dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011),

yang diundangkan pada 12 Agustus 2011. Pasal 102 UU

NO.12/2011menentukan pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara

Page 153: HUKUM PERUNDANG

140

Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

Pertama, Keppres 188/1998 ditetapkan pada tanggal 29

Oktober 1998. Dasar pertimbangan ditetapkannya Keppres 188/1998

adalah bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dalam

penyelenggaraan tugas pemerintahan pada umumnya dan peningkatan

hasil guna dalam penyimpan Rancangan Undang-undang pada

khususnya, dipandang perlu menyempurnakan kembali tata cara

mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Racangan Peraturan

Pemerintah sebagaimana diarahkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1

Tahun 1970. Dasar hukum ditetapkannya Keppres 188/1998 adalah

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.

Keppres 188/1998 memuat ketentuan mengenai pembentukan

peraturan perundang-undangan, yakni:

1. Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang (Bab I;

Pasal 1-Pasal 8).

2. Panitia Antar Departemen dan Lembaga (Bab II Pasal 9-

Pasal 12).

3. Konsultasi Rancangan Undang-Undang (Bab III; Pasal

13-Pasal 18).

4. Penyampaian Rancangan Undang-Undang Kepada Dewan

Perwakilan Rakyat (Bab IV Pasal 19-Pasal 20).

5. Tata Cara Pembahasan Rancangan Undang-Undang Yang

Disusun dan Disampaikan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat

(Bab V; Pasal 21-Pasal 25).

6. Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Undang-

Undang (Bab VI; Pasal 26).

Kedua, Keppres 144/ 1999 ditetapkan pada tanggal 19 Mei

1999. Dasar pertimbangan ditetapkannya Keppres 144/ 1999 adalah

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 Keppres 188/1998,

sedangkan dasar hukum penetapannya adalah Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945.

Page 154: HUKUM PERUNDANG

141

Keppres 144/ 1999 memuat ketentuan mengenai pembentukan

peraturan perundang-undangan, yakni:

1. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan adalah

sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan

Presiden ini (Pasal 1).

2. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, berlaku untuk

penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat

dan tingkat daerah (Pasal 2).

3. Bentuk Rancangan Undang-Undang adalah sebagaimana

tercantum dalam Lampiran II Keputusan Presiden ini (ayat

(1) Pasal 3).

4. Bentuk Rancangan Undang-Undang sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) meliputi:a. Rancangan Undang-

undang;b. Rancangan Undang-undang Penetapan;c.

Rancangan Undang-undang Pengesahan;d. Rancangan

Undang-undang Perubahan; dan Rancangan Undang-

undang Pencabutan (ayat (2) Pasal 3).

5. Bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah adalah

sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan

Presiden ini (Pasal 4).

6. Bentuk Rancangan Keputusan Presiden adalah

sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan

Presiden ini (Pasal 5).

7. Bentuk rancangan peraturan perundang-undangan dibawah

Keputusan Presiden, mutatis mutandis dengan bentuk

Rancangan Keputusan Presiden Tersebut (Pasal 6).

8. Bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan

Presiden dan peraturan dibawahnya, sama dengan bentuk

rancangan untuk masing-masing jenis peraturan

Page 155: HUKUM PERUNDANG

142

perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam

lampiran Keputusan Presiden ini (Pasal 7).

Ketiga, Tap MPR III/ 2000. Ada beberapa dasar

pertimbangan penetapannya, yakni:

a. bahwa dari pengalaman perjalanan sejarah bangsa dan

dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan,

maka bangsa Indonesia telah sampai kepada kesimpulan

bahwa dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara,

supremasi hukumharuslah dilaksanakan dengan sungguh-

sungguh;

b. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

berdasarkan atas hukum perlu mempertegas sumber hukum

yang merupakan pedoman bagi penyusunan Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia;

c. bahwa untuk dapat mewujudkan supremasi hukum

perluadanya aturan hukum yang merupakan peraturan

perundang-undangan yang mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan

tata urutannya;

d. bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi

daerah perlu menempatkan peraturan daerah dalam tata

urutan peraturan perundang-undangan;

e. bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata

Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia

berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966

menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak dapat

lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-

undangan;

Adapun dasar hukum penetapannya antara lain adalah: 1. Pasal

1 ayat (2), Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945;dan 2.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Page 156: HUKUM PERUNDANG

143

Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang berupa

Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Republik Indonesia.

Tap MPR III/ 2000 memuat ketentuan mengenai peraturan

perundang-undangan, yakni:

1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk

penyusunan peraturan perundang-undangan (ayat (1) Pasal

1 ).

2. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak

tertulis (ayat (2) Pasal 1).

3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila

sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang MahaEsa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,

dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat

Indonesia, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945

(ayat (3) Pasal 1).

4. Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan

pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.

Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik

Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(Perppu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah (Pasal 2 ).

Page 157: HUKUM PERUNDANG

144

5. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar

tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis

besar hukum dalam penyelenggaraan negara (ayat (1) Pasal

3).

6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan

Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang

ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan

Rakyat (ayat (2) Pasal 3).

7. Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang

Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia (ayat (3) Pasal 3).

8. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh

Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,

dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peraturan pemerintah

pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. b.

Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak

peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan

tidak mengadakan perubahan. c. Jika ditolak Dewan

Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti

undang-undang tersebut harus dicabut (ayat (4) Pasal 3 ).

9. Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk

melaksanakan perintah undang-undang (ayat (5)Pasal 3).

10. Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh

Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa

pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan

administrasi pemerintahan (ayat (6) Pasal 3).

11. Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan

aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus

dari daerah yang bersangkutan. a. Peraturan daerah propinsi

dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi

Page 158: HUKUM PERUNDANG

145

bersama dengan gubernur. b. Peraturan daerah

kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota. c.

Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara

pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh

peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan (ayat

(7) Pasal 3).

12. Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan

ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi

(ayat (1) Pasal 4).

13. Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, Badan

Pemeriksa Keuangan, menteri, Bank Indonesia, badan,

lembaga, atau komisi yang setingkat yangdibentuk oleh

Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan

yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-

undangan ini (ayat (2) Pasal 4 ).

14. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ayat (1) Pasal

5).

15. Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan

perundang-undangan dibawah undang-undang. Pengujian

dimaksud bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa

melalui proses peradilan kasasi. Keputusan Mahkamah

Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud bersifat

mengikat (ayat (2) - ayat (4) Pasal 5).

16. Tata cara pembuatan undang-undang, peraturan

pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan

perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta

pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih

lanjut dengan undang-undang (Pasal 6).

Page 159: HUKUM PERUNDANG

146

17. Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan

Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan

yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi

(Pasal 7).

Keempat, UU 10/2004. Ada beberapa dasar pertimbangan

ditetapkannya undang-undang ini, yakni:

a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan

merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan

hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila

didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan

standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang

membuat peraturan perundang-undangan;

b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan

kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-

undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara

yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan

mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;

c. bahwa selama ini ketentuanyang berkaitan dengan

pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat

dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah

tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik

Indonesia;

Adapun dasar hukum ditetapkannya UU 10/2004 adalah Pasal

Page 160: HUKUM PERUNDANG

147

20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UU 10/2004 memberikan pengertian Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-

undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,

teknikpenyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,

pengundangan, dan penyebarluasan (Pasal 1 angka 1). UU 10/2004

selain mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, juga mengatur mengenai prinsip-prinsip pembentukan

peraturan perundang-undangan, serta jenis, hierarki, dan materi

muatan peraturan perundang-undangan, yakni:

1. Bab I memuat prinsip Pancasila merupakan sumber dari

segala sumber hukum (Pasal 2) dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal

3).

2. BAB II memuat Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan Yang Baik (Pasal 5 dan Pasal 6).

3. BAB II memuat Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan (Pasal 7).

4. Bab III memuat Materi Muatan (Pasal 8).

Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan diatur

mulai dari Bab IV dan bab-bab berikutnya, yakni:

1. Bab IV Perencanaan Penyusunan Undang-Undan.

2. Bab V Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

1. Bagian Kesatu Persiapan Pembentukan Undang-

Undang

2. Bagian Kedua Persiapan Pembentukan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, dan Peraturan Presiden.

3. Bagian Ketiga Persiapan Pembentukan Peraturan

Daerah.

Page 161: HUKUM PERUNDANG

148

3. Bab VI Pembahasan Dan Pengesahan Rancangan Undang-

Undang.

1. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-

undang di Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Bagian Kedua Pengesahan.

4. Bab VII Pembahasan dan Pengesahan Rancangan

Peraturan Daerah.

1. Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan

Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Bagian KeduaPenetapan.

5. Bab VIII Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-

Undangan.

6. Bab IX Pengundangan Dan Penyebarluasan.

1. Bagian KesatuPengundangan.

2. Bagian KeduaPenyebarluasan

7. Bab X Partisipasi Masyarakat.

Pada saat UU 10/2004 mulai berlaku sejumlah undang-undang

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yakni:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan

Bentuk Peraturan yang Dikeluarkanoleh Pemerintah Pusat;

b. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat

tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia

Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan

tentang Mengeluarkan, Mengumumkan,dan Mulai

Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan

Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran

Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur

dalam Undang-Undang ini; dan

c. Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya

telah diatur dalam Undang-Undang ini.

Page 162: HUKUM PERUNDANG

149

Pada masa berlakunya UU 10/2004 terdapat sejumlah

Peraturan Presiden, Peraturan Menteri berkenaan dengan

pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni:

1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61

Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan Dan

Pengelolaan Program Legislasi Nasional.

2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun

2005 TentangTata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah, Dan Rancangan Peraturan Presiden.

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2007 TentangPengesahan, Pengundangan, Dan

Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.

4. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor M.Hh 01.Pp.01.01 Tahun

2008 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademi

Rancangan Peraturan Perundang-Undangan.

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun

2006Tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006

Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun

2006Tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006

Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme

Penyusunan Peraturan Desa.

Kelima, UU 12/2011. Ada beberapa dasar pertimbangan

undang-undang ini yakni:

a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara

hukum, negara berkewajiban melaksanakan

pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara

Page 163: HUKUM PERUNDANG

150

terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem

hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan

kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas

peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat

peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-

undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode

yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua

lembaga yang berwenang membentuk peraturan

perundang-undangan;

c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung

perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

sehingga perlu diganti.

Adapun dasar hukum pembentukan UU NO.12/2011adalah

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

UU NO.12/2011memberikan pengertian Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan

Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan. Selain mengatur pembentukan peraturan perundang-

undangan, juga mengatur:

1. Prinsip bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber

hukum negara (Bab I, Pasal 2) dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Bab

I, Pasal 3).

Page 164: HUKUM PERUNDANG

151

2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Bab

II).

3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-

Undangan (Bab III).

Adapun pembentukan peraturan perundang-undangan

mendapat pengaturan yang lebih rinci dalam Bab IV dan bab-bab

berikutnya, yakni:

1. Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan, meliputi 6

bagian: Perencanaan Undang-Undang; Perencanaan

Peraturan Pemerintah; Perencanaan Peraturan

Presiden;Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi;

Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; dan

Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya(Bab

IV).

2. Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, meliputi 6

bagian: Penyusunan Undang-Undang;Penyusunan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Penyusunan Peraturan Pemerintah; Penyusunan Peraturan

Presiden; Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi; dan

Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Bab V).

3. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (Bab

VI).

4. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang,

meliputi 2 bagian:Pembahasan Rancangan Undang-

Undang danPengesahan Rancangan Undang-Undang (Bab

VII).

5. Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah

Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, meliputi 4

bagian:Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah

Provinsi;Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota;Penetapan Rancangan Peraturan Daerah

Page 165: HUKUM PERUNDANG

152

Provinsi; danPenetapan Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota (Bab VIII).

6. Pengundangan (Bab IX).

7. Penyebarluasan (dalam UU 10/2004 dimasukkan sebagai

salah satu tahapan pembentukan peraturan perundang-

undangan, namun dalam UU NO.12/2011tidaklah

demikian), meliputi 3 bagian:Penyebarluasan Prolegnas,

Rancangan Undang-Undang,dan Undang-

Undang;Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi atauPeraturan Daerah Kabupaten/Kota,

dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota; dan Naskah yang Disebarluaskan (Bab

X)

8. BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT.

Selain itu dalam UU NO.12/2011diatur juga mengenai

perancang, peneliti, dan tenaga ahli dalam setiap tahapan

pembentukan peraturan perundang-undangan (Bab XII Ketentuan

Lain-Lain), yakni:

1. Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan

Perundang-undangan (Pasal 98).

2. Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan, tahapan

pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi,

dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan

peneliti dan tenaga ahli (Pasal 99).

Pada masa ini, Menteri Dalam Negeri menetapkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah (PMDN 1/2014). PMDN 1/2014 juga

mencabut dan menyatakan tidak berlaku:

1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001

tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah yang

Page 166: HUKUM PERUNDANG

153

mengatur mengenai Peraturan dan Keputusan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah; dan

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Pasal 115

PMDN 1/2014).

7.10. Penutup

Resume.

Sejarah perkembangan pengaturan pembentukan peraturan

perundang-undangan menunjukkan sejumlah perbedaan, yakni:

1. Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan

berbeda antara yang dirumuskan dalam UU 10/2004 dan

UU 12/2011, diantaranya dalam UU 10/2004 memasukkan

penyebarluasan sebagai bagian dari pembentukan peraturan

perundang-undangan, sedangkan dalam UU

NO.12/2011tidak memasukkan sebagai bagian dari

pembentukan peraturan perundang-undangan, sekalipun

tetap mengaturnya.

2. Tidak setiap peraturan mengenai peraturan perundang-

undangan mengatur tenang pembentukan peraturan

perundang-undangan, atau jika mengaturnya tidak

selengkap UU 10/2004 dan UU 12/2011.

3. Dari berbagai peraturan dalam periode-periode tersebut

menunjukan perbedaan dalam menentukan jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan.

Latihan.

Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal

latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian

pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,

sebagai berikut:

Bagimanakah Sejarah Perundang-undangan pada :

a. Periode Kolonial

Page 167: HUKUM PERUNDANG

154

b. Periode Awal Berlakunya UUD 1945

c. Periode Berlakunya Konstitusi RIS

d. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi

Terpimpin

e. Periode Berlakunya UUD 1945 Era Demokrasi Pancasila

f. Periode Berlakunya UUD 1945 hasil perubahan.

7.11. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman

dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan

Pemerintah

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Badan-Badan

dan Peraturan Pemerintah Dulu.

Maklumat Wakil Presiden No. X (tertanggal 16 Oktober 1945).

Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1950 tentang

Jenis dan Bentuk Peraturan Yang Dikeluarkan oleh

Pemerintah Pusat

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS)

Undang-Undang Darurat RIS Nomor 2 Tahun 1950 tentang

Penerbitan. Lembaran Negara RIS dan Berita Negara RIS

tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan Mulai

Berlakunya UU Federal dan Peraturan Pemerintah .

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950)

Surat Presiden kepada Ketua DPR Nomor 2262/HK/1959, tertanggal

20 Agustus 1959.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik

Indonesia No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR

Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata

Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang

Tata-Tjara Mempersiapkan Rantjangan Undang-Undang dan

Rantjangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.

Page 168: HUKUM PERUNDANG

155

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perndang-undangan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998

tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang, ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 1998.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999

Tentang Tehnik Penyusunan Peraturan Perundang undangan

dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden,

ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-Undangan, ditetapkan pada

tanggal 18 Agustus 2000.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang

diundangkan pada 12 Agustus 2011

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah (PMDN 1/2014).

Page 169: HUKUM PERUNDANG

156

PERTEMUAN VIII

UJIAN TENGAH SEMESTER

Page 170: HUKUM PERUNDANG

157

PERTEMUAN IX :

TUTORIAL IV

SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN

9.1. Pendahuluan

Dalam pertemuan kesembilan ini, mahasiswa berdiskusi

mengenai Sejarah perundang-undangan. Setelah melakukan tutorial

ini, mahasiswa diharapkan memahami sejarah Perundang-undangan

di Indonesia. Materi tutorial kesatu ini sangat penting sebagai

landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada

pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini

mahasiswa harus mendiskusikan mengenai sejarah perundang-

undangan yang terdapat dalam penyajian materi: Study Task.

9.2. Penyajian Materi: Study Task

Sejarah Perundang-undangan di Indonesia mengalami

perkembangan dari Periode Kolonial sampai Periode berlakunya

UUD 1945 hasil perubahan. Tidak setiap peraturan mengenai

peraturan perundang-undangan mengatur tentang pembentukan

peraturan perundang-undangan, atau jika mengaturnya tidak

selengkap UU 10/2004 dan UU 12/2011. Dari sejarah perundang-

undangan tersebut menunjukan perbedaan dalam menentukan jenis

dan hierarki peraturan perundang-undangan. Inventarisir Jenis dan

hierarkhi peraturan perundang-undangan menurut periodenya.

9.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Study Task tersebut di atas

dideskripsikan mengenai sejarah perundang-undangan.Terhadap hal

itu, mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan sejarah perundang-

undangan tersebut.

Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan

kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan

dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion

Page 171: HUKUM PERUNDANG

158

leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu

selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat

berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

9.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Lihat Bahan Bacaan pada Pertemuan VIII Perkuliahan IV

Page 172: HUKUM PERUNDANG

159

PERTEMUAN X :

PERKULIAHAN KELIMA

DASAR-DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN

PERUNDANG UNDANGAN

10.1. Pendahuluan

Dalam Bab ini pembelajaran utama adalah mengenai dasar-

dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, mahasiswa diajak

mempelajari mengenai landasan keberlakuan peraturan perundang-

undangan dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan. Materi ini berhubungan dengan pembentukan norma-

norma dalam peraturan perundang-undangan. Setelah mempelajari

dan mendiskusikan materi ini mahasiswa diharapkan memahami apa

saja dasar-dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi

ini sangat penting sebagai landasan utama dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan.

10.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini

mahasiswa diharapkan memahami apa saja dasar-dasar pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa mampu menjelaskan:

a. Landasan keberlakuan Peraturan Perundang-undangan;

b. Menguraikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan;

c. Memahami dan mengaplikasikan asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan.

10.3. Kedudukan Pancasila dalam Peraturan Perundang-

undangan

Dalam Pasal 2 UU NO.12/2011 ditentukan bahwa Pancasila

adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam pengertian

Page 173: HUKUM PERUNDANG

160

semua sumber hukum yang ada di Negara Indonesia harus bersumber

atau dijiwai oleh Pancasila atau dengan kata lain Pancasila

merupakan sumber hukum Materiil yang menentukan isi dari

Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Keterkaitan antar dasar negara dan konsitusi tampak pada

gagasan dasar, cita-cita, dan tujuan negara yang tertuang dalam

mukadimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar suatu negara.

Pembukaan memuat asas kerohanian negara, asas politik negara, asas

tujuan negara, serta menjadi dasar hukum daripada undang-undang.

Pancasila dengan batang tubuh merupakan wujud yuridis

konstitusional tentang sesuatu yang telah dirumuskan dalam

pembukaan. Terdapat rumusan Pancasila yang telah dirumuskan

dalam pembukaan UUDNRI Tahun 1945. Rumusan Pancasila dalam

Pembukaan UUDNRI tahun 1945 tersebut sangat jelas kedudukannya

sebagai sumber hukum tata negara.

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara merupakan

sumber hukum dasar bagi penyusunan perundangan negara. UUD

1945 adalah peraturan perundangan teringgi negara Indonesia yang

bersumberkan pada Pancasila.

Menurut Philipus M. Hadjon, Pancasila sebagai sumber

hukum adalah:144

1. Sumber Hukum secara langsung UUD 1945;

2. Sumber Hukum secara tidak langsung Peraturan

PerUUan Indonesia (artinya melalui tahapan hirarki

tata susunan norma hukum.

Pancasila merupakan “Grundnorm” ketika menggunakan

teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tentang lapisan norma hukum.

Untuk jelasnya dijabarkan dalam gambar berikut:

144

Philipus M. Hadjon, Perlindugan Hukum Bagi Rakyat di

Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dalam Lingkungan

Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Surabaya:

Peradaban: Edisi Khusus, 2007, hlm.58.

Page 174: HUKUM PERUNDANG

161

Gambar 6. Tata susunan norma hukum : perbandingan

tata susuan norma hukum menurut Hans

Nawiasky dan UU No.12 Tahun 2011

Dalam tata susunan yang seperti itu, Pancasila dijabarkan

pertama kali di dalam UUD 1945 dan selanjutnya dijabarkan ke

dalam peraturan perundang-undangan yag menurut hirarki peraturan

perundang-undangan kita, dimulai dengan Undang-Undang disusul

dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan

Pelaksanaan Bawahan lainnya. Dengan demikian jika dibalik, isi dari

peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang Dasar tidak

boleh bertentangan dengan Pancasila yang merupakan

”Grundnorm”.145

10.4. Landasan Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan

Suatu Peraturan dikatakan baik dan berlaku secara umum

apabila telah mengindahkan landasan-landasan bagi keberadaan dan

kekuatannya. Peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk di

negara Republik Indonesia harus berlandaskan kepada landasan

filosofis, sosiologis dan landasan yuridis.

Pandangan ahli yang memberikan argumentasinya terhadap

145

Ibid, hlm. 59.

Page 175: HUKUM PERUNDANG

162

hal ini antara lain M.Solly Lubis sebagaimana dikutip oleh Gde

Panjta Astawa, landasan pembuatan peraturan perundang-undangan,

yakni:

1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau idée yang

menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan

kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau

draft peraturan negara. Misalnya Pancasila menjadi dasar

filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat

suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.

2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi

dasar hukum (rechstground) bagi pembuatan suatu

peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis

bagi pembuatan Undang-Undang organic selanjutnya UU

tersebut menjadi landasan yuridis bagi pembuatan

Peraturan Pemerintah, ataupun Perda.

3. Landasan Politis, ialah garis kebijakan politik yang

menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan

pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.146

Landasan keberlakuan peraturan perundang-undangan

tersurat pula di dalam Lampiran II UU 12/2011, ditentukan bahwa

dalam setiap suatu rancangan peraturan perundang-undangan harus

termuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.147

1. Landasan Filosofis

Merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang

146

Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum & Ilmu Perundang-

undangan di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2008, hlm. 78. 147

Anotasi Pedoman 19 Lampiran II UU 12/2011, Pokok pikiran

pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan

yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang

penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan

yuridis.

Page 176: HUKUM PERUNDANG

163

menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan ide kedalam

suatu rancangan/draft peraturan perundang-undangan. Bagi

bangsa Indonesia dasar filosofis itu adalah Pancasila.148

Suatu

peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah

mengandung nilai-nilai yang bersumber pada pandangan

filosofis Pancasila:

a. Nilai-nilai religius Bangsa Indonesia yang terangkum

dalam sila pertama Pancasila;

b. Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan

terhadap harkat dan martabat kemanusiaan terangkum

dalam sila kedua Pancasila;

c. Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh terangkum

dalam sila ketiga Pancasila;

d. Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat terangkum

dalam sila keempat Pancasila;

e. Nilai-nilai keadilan baik individu maupun social

terangkum dalam sila kelima Pancasila.

2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri

atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan

masyarakat yang mendorong perlunya peraturan dibentuk.

Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris

mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat

dan negara.

3. Landasan Yuridis

Landasan Yuridis merupakan ketentuan hukum yang

menjadi sumber/ dasar hukum untuk membuat atau

148

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis

Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan

Praktis Disertai Manual) Konsep Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,

Jakarta : Kencana, 2010, hlm.12.

Page 177: HUKUM PERUNDANG

164

merancang suatu peraturan perundang-undangan. Landasan

yuridis dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Landasan Yuridis Formal, yaitu landasan yang

memberikan kewenangan bagi instansi/pejabat tertentu

untuk membuat peraturan tertentu.

b. Landasan Yuridis Materiil, yaitu landasan yang

memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal

tertentu.

10.5. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Disamping landasan peraturan perundang-undangan, patut

dipahami pula asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan. Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai asas

yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan, antara lain I.C. van der Vlies dan Hamid S.Attamimi.

Dalam bukunya berjudul Het wetsbergip en beginselen van

berhoorlijke regelgeving, I.C. van der Vlies membagi asas-asas dalam

pembentukan peraturan-peraturan yang patut (beginselen van

behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang

material. Asas-asas formal meliputi:149

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van dudlijke doesteling),

yaitu mencakup tiga hal, yakni mengenai ketepatan letak

peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan

umum pemerintahan, tujuan khusus yang akan dibentuk, dan

tujuan dari bagian-bagian yang akan dibentuk tersebut;

2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste

organ), hal ini untuk menegaskan kejelasan organ yang

menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut;

149

I.C. van der Vlies sebagaimana dikutip dari Hamid S.Attamimi,

Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden

yang Berfungsi Pengaturan dalam kurun Waktu Pelita I- Pelita IV ,

Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm.

336.

Page 178: HUKUM PERUNDANG

165

3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakeliijkheids beginsel)

merupakan prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif

maupu relevansi dibentuknya peraturan untuk menyelesaikan

problema pemerintahan;

4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid),

yaitu perturan yang dibuat seharusnya dapat ditegakkan

secara efektif;

5. Asas konsensus (het beginsel van consensus), yaitu

kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan

menanggung akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan

secara konsekuen. Hal itu mengingat pembentukan peraturan

perundang-undangan sebagai langkah awal untuk mencapai

tujuan-tujuan yang „disepakati bersama‟ oleh pemerintah dan rakyat.

Asas- asas yang material meliputi:150

1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel

van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek) artinya

setiap peraturan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat;

2. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechtsgelijkheidsbeginsel) hal ini untuk mencegah praktik

ketidakadilan dalam meperoleh pelayanan hukum;

3. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel), artinya

peraturan yang dibuat mengandung aspek konsistensi

walaupun diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang

berbeda;

4. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual

(het beginsel van de individuele rechtsbedeling), asas ini

bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-

hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menyangkut

kepentingan individual.

150

Ibid, hlm. 340.

Page 179: HUKUM PERUNDANG

166

Menurut A. Hamid S. Attamimi, dalam pembentukan

peraturan-undangan Indonesia, sebagaimana di negara lain, terdapat

dua asas hukum yang perlu diperhatikan, yaitu asas hukum umum

yang khusus memberikan pedoman dan bimbingan bagi

“pembentukan” isi peraturan, dan asas hukum lainnya yang

memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan peraturan ke

dalam bentuk dan susunannya, bagi metoda pembentukannya, dan

bagi proses serta prosedur pembentukannya. Asas hukum yang

terakhir ini dapat disebut asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang patut.151

Asas-asas tersebut secara berurutan dapat disusun sebagai

berikut:152

a. Cita Hukum Indonesia yang tidak lain adalah Pancasila

(Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee),

yang berlaku sebagai “bintang pemandu”); b. Asas Negara Berdasar Hukum yang menempatkan

Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas

berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts),

dan asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang

menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas

penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan;

c. Asas-asas lainnya.

Mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan

material, maka A. Hamid S Attamimi cenderung untuk membagi

asas-asas tersebut ke dalam:

a. Asas-asas formal, dengan perincian:

(1) asas tujuan yang jelas;

151

A. Hamid S Attamimi seperti dikutip Bayu Dwi Anggono, 2014,

Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, Jakarta:

Konpress, hlm. 26. 152

Maria Farida Indrati S., 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-

Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm.197.

Page 180: HUKUM PERUNDANG

167

(2) asas perlunya pengaturan;

(3) asas organ/lembaga yang tepat;

(4) asas materi muatan yang tepat;

(5) asas dapatnya dilaksanakan; dan

(6) asas dapatnya dikenali.

b. Asas-asas material, dengan perincian:

(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma

Fundamental Negara;

(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar

Atas Hukum;

(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan

Berdasar Sistem Konstitusi.

Apabila kita melihat ke dalam Pasal 5 UU 12/2011,

disebutkan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

baik haruslah didasarkan pada asas-asas pembentukan perundang-

undangan yang baik, yaitu:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Dalam penjelasan Pasal 5 UU 12/2011, disebutkan bahwa:

a. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang

hendak dicapai.

b. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis

Page 181: HUKUM PERUNDANG

168

Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh

lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan

Perundang-undangan yang berwenang.

c. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus

benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat

sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan.

d. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-

undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara

filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan

Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau

isttilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,

pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat

transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruuh

lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

Page 182: HUKUM PERUNDANG

169

luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

10.6. Penutup

Resume.

Paparan di atas menunjukkan bahwa, terdapat tiga landasan

utama berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, yaitu

landasan filosfis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis pada

intinya setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk haruslah

memuat nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah hidup Bangsa

Indonesia yaitu nilai-nilai filsafat Pancasila. Sedangkan landasan

sosiologis adalah fakta-fakta yang ada pada masyarakat, yang

mengarahkan mengapa masyarakat membutuhkan suatu peraturan

untuk dibentuk. Kemudian yang terakhir adalah landasan yuridis,

yaitu ketentuan hukum yang menjadi sumber/ dasar hukum untuk

membuat atau merancang suatu peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya menurut beberapa ahli yaitu I.C van der Vlies

dan A Hamid S. Attamimi, mengemukakan bahwa terdapat asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut yang harus

dipenuhi dalam setiap pembentukan suatu peraturan perundanga-

undangan.

I.C van der Vlies memaparkan secara berurutan dimulai dari

asas formal, yaitu:

1. asas tujuan yang jelas;

2. asas organ/lembaga yang tepat;

3. asas perlunya pengaturan;

4. asas dapat dilaksanakan;

5. asas consensus.

Sedangkan asas-asas material meliputi:

1. asas terminologi dan sistematika yang benar

2. asas perlakuan yang sama dalam hukum

3. asas kepastian hukum

Page 183: HUKUM PERUNDANG

170

4. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan

individual

A. Hamid S. Attamimi membagi Asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang patut tersebut secara berurutan

dapat disusun sebagai berikut:

a. Cita Hukum Indonesia;

b. Asas Negara Berdasar Hukum dan asas Pemerintahan

Berdasar Sistem Konstitusi

c. Asas-asas lainnya (yang meliputi asas formal dan

asas material).

Latihan.

Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal

latihan bagi mahasiswa agar dikerjakan untuk mengetahui capaian

pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas latihan,

sebagai berikut:

a. Apa tujuan mempelajari dasar dasar pembentukan

peraturan perundang-undangan?

b. Apa fungsi dari landasan keberlakuan peraturan

perundang-undangan?

c. Asas-asas formal apa saja yang harus dipenuhi dalam

pembentukan peraturan perundangn-undangan?

d. Apa yang dimaksud dengan asas kepastian hukum yang

disebutkan oleh I.C van der Vlies sebagai salah satu asas

material dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan, apa fungsinya?

e. Apakah asas formal dan asas material mutlak harus

terpenuhi semua unsur-unsurnya dalam proses

penyusunan/pembentukan peraturan perundang-

undangan?

Page 184: HUKUM PERUNDANG

171

10.7. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:

Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang

Berfungsi Pengaturan dalam kurun Waktu Pelita I- Pelita IV ,

Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas

Indonesia, 1990.

Anggono, Bayu Dwi, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-

Undang di Indonesia, Jakarta: Konpress.

Hadjon, Philipus M., Perlindugan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,

Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dalam Lingkungan

Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi,

Surabaya: Peradaban: Edisi Khusus, 2007.

Halim, Hamsah dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis

Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian

Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsep Teoritis Menuju

Artikulasi Empiris, Jakarta:Kencana , 2010.

Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

berjudul “TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN”

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-

Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Page 185: HUKUM PERUNDANG

172

PERTEMUAN XI :

TUTORIAL V

DASAR DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN

PERUNDANG UNDANGAN

11.1 Pendahuluan

Dalam pertemuan kesebelas ini, mahasiswa berdiskusi

mengenai materi (study task) Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa

diharapkan memahami Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Materi tutorial kelima ini sangat penting

sebagai landasan untuk memahami bahan kajian pembelajaran pada

pertemuan-pertemuan selanjutnya.

11.2. Penyajian Materi : Study Task

JPP, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator

Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) telah

mengumumkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas

Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan.

Perppu Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tersebut diumumkan

langsung oleh Menko Polhukam Wiranto didampingi Menteri

Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Kantor Kemenko

Polhukam, Rabu (12/7/2017) kemarin.

Lalu apa saja landasan diterbitkannya Perppu Ormas tersebut?

Berdasarkan data yang diterima JPP, setidaknya disebutkan ada tiga

landasan penerbitan Perppu Ormas oleh Pemerintah, yakni landasan

filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Page 186: HUKUM PERUNDANG

173

Pertama adalah landasan filosofis. Dijelaskan bahwa hak dan

kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat

merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga

negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, and bernegara

yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

berdasarkan Pancasila.

Eksistensi keberadaan Ormas sebagai wadah berserikat dan

berkumpul adalah perwujudan kesadaran dan tanggungjawab kolektif

warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, di mana

Ormas merupakan potensi masyarakat secara kolektif yang harus

dikelola, sehingga tetap menjadi energi positif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Untuk itu, negara berkewajiban mengakui keberadaannya,

memberikan perlindungan dalam aktifitasnya, dan menjamin

keberlangsungan hidup Ormas.

Pada sisi lain, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap

warga negara baik secara individu maupun kolektif, berkewajiban

untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain. Dalam konteks itu,

negara berkewajiban dan harus mampu mengelola dan mengatur

keseimbangan, keharmonisan, dan keselarasan antara hak dan

kebebasan individu dengan hak dan kebebasan kolektif warga negara.

Pengaturan tersebut dimaksudkan semata-mata untuk menjamin

pengakuan serta penghargaan atas hak dan kebebasan orang lain,

serta pemenuhan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-

nilai sosial budaya, agama, keamanan, ketenteraman, dan ketertiban

umum untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Page 187: HUKUM PERUNDANG

174

Sumber: https://jpp.go.id/42-polkam/308089-tiga-landasan-utama-

penerbitan-perppu-ormas

Tugas Mahasiswa adalah melakukan studi atas isu

sebagaimana dikemukakan dalam permasalahan di atas. Perlu

dikemukakan kata kunci sebagai arahan studi, yakni: landasan

filosofis, yuridis dan sosiologis.

11.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas

dideskripsikan mengenai Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Terhadap hal itu, mahasiswa berdiskusi untuk

menguraikan Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan tersebut. Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor

laporan kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh

kegiatan dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa yang aktif berdiskusi dan

menjawab pertanyaan yang tersaji dalam problem task tersebut.

Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat berakhirnya waktu

seluruh kegiatan tutorial.

11.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Lihat Bahan Bacaan pada Pertemuan X Kuliah Kelima

Page 188: HUKUM PERUNDANG

175

PERTEMUAN XII :

PERKULIAHAN KEENAM

JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

12.1. Pendahuluan

Mengawali pertemuan ke-6 pembelajaran mata kuliah ini,

mahasiswa diajak mempelajari mengenai jenis, fungsi dan materi

muatan dari peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat

maupun daerah.Untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan

yang baik melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang

dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar,

maka diperlukan pula ketentuan yang pasti, baku, dan standar tentang

jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Menurut A.

Hamid S. Attamimi pembentukan peraturan peraturan perundang-

undangan adalah pembentukan norma hukum yang berlaku keluar

dan mengikat secara umum yang dituangkan dalam jenis-jenis

peraturan perundang-undangan sesuai hierarkinya.153

Untuk dapat

menuangkan norma hukum tersebut dalam berbagai jenis peraturan

perundang-undangan, penting memperhatikan materi muatannya.

Pentingnya pemahaman dan ketentuan tentang jenis, hierarki, dan

materi muatan peraturan perundang-undangan ditunjukkan pula

dengan adanya salah satu asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki,

dan materi muatan”.154 Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian

antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar

153

A.Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Dalam penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu

studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan

dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV, untuk memperoleh gelar Doktor

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia,

Jakarta. 154

Pasal 5 huruf c UU 12/2011.

Page 189: HUKUM PERUNDANG

176

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan

hierarki Peraturan Perundang-undangan. Hal lainnya yang perlu

untuk dipahami pula oleh mahasiswa adalah terkait fungsi dari

peraturan perundang-undangan. Secara umum, peraturan perundang-

undangan fungsinya adalah mengatur sesuatu materi tertentu untuk

memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Selain

fungsi umum tersebut, setiap peraturan perundang-undangan juga

memiliki fungsi khusus sesuai dengan jenis peraturan perundang-

undangan tersebut.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa diharapkan memahami jenis, fungsi dan materi muatan

peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Undang-Undang

Dasar (UUD), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP

MPR), Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan

Presiden (Perpres), Peratudan Daerah (Perda) Propinsi dan Peraturan

Daerah (perda) Kabupaten. Materi perkuliahan pada pertemuan ini

sangat penting sebagai landasan untuk memahami bahan kajian

pembelajaran pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.

12.2. Capaian Pembelajaran & Indikator Capaian

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa memahami jenis, fungsi dan materi muatan peraturan

perundang-undangan.

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa mampu:

a. Memahami jenis peraturan perundang-undangan di tingkat

pusat.

b. Memahami jenis peraturan perundang-undangan di Daerah.

c. Memahami fungsi dari peraturan perundang-undangan

d. Mamahami materi muatan peraturan perundang-undangan di

tingkat pusat.

Page 190: HUKUM PERUNDANG

177

e. Memahami materi muatan peraturan perundang-undangan di

tdaerah

12.3. Jenis Peraturan Perundang-undangan

Dalam berbagai literatur yang ada, terdapat berbagai

penyebutan berkaitan dengan “jenis” peraturan perundang-undangan,

dimana ada yang memakai nomenklatur “jenis” ada juga yang memakai nomenklatur “bentuk”. Arti jenis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online berarti: (1) yang mempunyai ciri (sifat,

keturunan, dan sebagainya) yang khusus; macam: (2)

mutu.155

Sedangkan arti kata bentuk berarti: 1 lengkung;

lentur; 2 bangun; gambaran; 3 rupa; wujud; 4 sistem; susunan

(pemerintahan, perserikatan, dan sebagainya):; 5 wujud yang

ditampilkan (tampak): ; 6 acuan atau susunan kalimat; 7 kata

penggolong bagi benda yang berkeluk (cincin, gelang, dan

sebagainya).156

Dari pengertian tersebut maka jelas bahwa terdapat

perbedaan antara pengertian “jenis” dan “bentuk”. Bentuk lebih menekankan kepada wujud lahiriah, sedangkan jenis lebih kepada

macam atau ragam dari sesuatu yang mempunya sifat-sifat yang

sama. Terkait dengan berbagai macam peraturan perundang-

undangan seperti UUD, TAP MPR, UU dan sebagainya, maka lebih

tepat memakai nomenklatur “jenis” Peraturan Perundang-undangan.

Sedangkan pengunaan nomenklatur ”bentuk” lahiriah (konverm),

maka menunjuk pada: Judul, Pembukaan, konsideran, batang tubuh,

penutup dan penjelasan.157

Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan sangat

penting dalam perancangan atau penyusunan peraturan perundang-

155

http://kbbi.kata.web.id/jenis/ 156

http://kbbi.web.id/bentuk 157

Dalam Lampiran II UU 12/2011 pada Bab IV menggunakan istilah

Bentuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang berisi kerangka

peraturan perundang-undangan memuat:Judul, Pembukaan, Batang Tubuh ,

Penutup, Penjelasan (jika diperlukan) dan Lampiran (jika diperlukan).

Page 191: HUKUM PERUNDANG

178

undangan, karena:

Pertama: setiap pembentukkan peraturan perundang-undangan harus

mempunyai landasan atau dasar yuridis yang jelas, dan apabila tidak

terdapat landasan tersebut maka batal demi hukum atau dapat

dibatalkan.

Kedua: hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau

yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang akan

dibentuk dapat dijadikan landasan atau dasar yuridis.

Ketiga: pembentukkan peraturan perundang-undangan berlaku

prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau

yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-

undangan sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini mengandung:

1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada

hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-

undangan sederajat atau yang lebih tinggi.

2) Peraturan perundang-undangan yang sederajat

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-

undangan yang dianggap terbaru dan yang lama telah

dikesampingkan (lex posterior derogat priori).

3) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

4) Peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-

bidang umum yang diatur oleh peraturan yang sederajat,

maka berlaku peraturan perundang-undangan yang

mengatur bidang khusus tersebut (lex specialis derogat

lex generalis).

Keempat: pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan perundang-

undangan untuk menciptakan suatu sistem peraturan peraundang-

undangan yang tertib sebagai salah satu unsur perundang-undangan

yang baik.

Page 192: HUKUM PERUNDANG

179

Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dikenal

ada berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit

dalam UUD Tahun 1945 hanya menyebutkan jenis peraturan

perundang-undangan yaitu: UU, Perppu, dan PP, sedangkan peraturan

lainnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan

praktek ketatanegaraan Indonesia. Berikut jenis peraturan perundang-

undangan di Indonesia berdasarkan sejarahnya:

Masa Hindia Belanda.

Belanda datang ke Indonesia pada Tahun 1596, dimana

hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum tidak tertulis

(Hukum Adat). Namun dengan masuknya Belanda ke Indonesia dan

mendirikan perserikatan dagang yang dikenal dengan nama

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maka terjadi perubahan

terkait hukum yang ada. Masuknya VOC akibat diberikannya

hak octrooi kepada VOC oleh Staten Generaal, yaitu badan federatif

tertinggi negara-negara Belanda, hal ini berdampak pada terjadinya

dualisme hukum yakni adanya Hukum Adat dan Hukum yang dibuat

oleh pemerintah Belanda. Hukum Belanda adalah hukum yang

diberlakukan bagi orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat

dagang VOC, yang pada awalnya berlaku bagi kapal-kapal VOC.

Hukum tersebut terutama berupa hukum disiplin (tucht recht). Namun

pada akhirnya hukum Belanda juga diberlakukan kepada pribumi

dalam beberapa hal. Menurut Utrecht, hukum Belanda yang berlaku

di daerah kekuasaan VOC terdiri dari :158

1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia)

2. Hukum Belanda yang kuno

3. Asas-asas hukum Romawi

Pada masa ini peraturan yang tertinggi adalah perintah dari

158

E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.

Universitas, Bandung,dikutip dari https://e-

kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-masa-voc.html

Page 193: HUKUM PERUNDANG

180

Raja Belanda, kemudian yang ada dibawahnya adalah “Heeren

Zewentie” yaitu peraturan yang dibuat di plakat-plakat buatan VOC

untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu penanganan secara

khusus. Pada masa Gubernur Jenderal Van Diemen (1636-1646)

meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari Hof Van

Justitie (setingkat MA) untuk mengumpulkan dan

menyusun plakaat yang telah diterbitkan. Pada Tahun 1642, “Heeren

Zewentie” berhasil dihimpun (dikodifikasi), kemudian diumumkan

dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi). Statuta tersebut

berlaku sebagai hukum positif dan memiliki kekuatan berlaku yang

sama sebagaimana peraturan lain yang telah ada. Mengenai

pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada orang pribumi

maupun orang pendatang. Kemudian pada Tahun 1766 dihasilkan

kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara.159

Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda berdasarkan

Pasal 36 Netherland Gronwet 1814, menentukan bahwa “Raja yang berdaulat punya kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan

harta milik negara di daerah-daerah lain....”. Dalam melaksanakan kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat umum yang biasa

disebut dengan“Algemene Verordering” (peraturan pusat) atau “Koninklijk Besluit” (besluit raja=keputusan/penetapan) yang berlaku dibidang eksekutif untuk daerah jajahan dan “Aglemene Maatregel

van Bestuur”(AmvB) yang berlaku untuk pemerintah Belanda. Peraturan ini dibuat oleh raja (kroon) bersama dengan parlemen

Belanda (staten general). 160

Setelah adanya kodifikasi pada tanggal 1 Oktober 1838,

Komisi Undang-undang untuk Hindia Belanda membuat peraturan

yaitu : Algemene Bapalingen van Wetgeving (AB) (stb.1847.No.23)

atau ketentuan umum tentang perundang-undangan. Selain peraturan

tersebut dihasilkan pula beberapa kodifikasi yaitu :

159

Ibid. 160

http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang_u

ndangan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf

Page 194: HUKUM PERUNDANG

181

a. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan

organisasi pengadilan;

b. Burgerlijke Wetboek (BW) Kitab Undang-undang Hukum

Sipil;

c. Wetboek van Kophandel (WvK) KUHD

d. Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) peraturan

tentang Acara Perdata.

e. Inlandsch Reglement (IR) yaitu reglement bumi putera

(peraturan tentang acara perdata yang berlaku untuk Bumi

Putera), belakangan peraturan ini berubah menjadi HIR

(Herzeine Inlandsch Reglement). 161

Selanjutnya antara Tahun 1855-1926 terjadi perubahan

Grondwet di negeri Belanda, dari monarki konstitusional menjadi

monarki konstusional parlemen. Dari perubahan tersebut membuat

kekuasaan raja atas daerah jajahan menadi sedikit terkurangi. Bentuk

undang-undang (wet) pada waktu ini dinamakan Regerings Reglement

(RR) diundangkan mulai tanggal 1 Januari 1854 stb.1854 No.2) yang

mengatur tentang kebijakan pemerintah di Hindia Belanda. Kemudian

pada tahun 1918 dibentuk sebuah “Volksraad” (wakil rakyat) untuk ikut serta dalam pembuatan undang-undang. Pada Tahun 1922 terjadi

perubahan grondwet di negeri Belanda. Grondwet tersebut kemudian

diberi nama “Indische Staatregeling” (stb.1925, Nomor 415) yang memberi kekuasaan kepada daerah jajahannya untuk membuat

peraturan sendiri. Dengan demikian Jenis Peraturan pada masa

Hindia Belanda yang dibentuk antara lain:162

1. Reglement op het beleid der Regering van Nederlands Indies

yang disingkat dengan Regering Reglement (RR), dan

kemudian berubah menjadi Wet op the Staatsinrichting van

Netherlands Indie (IS) dianggap sebagai Undang-Undang

Dasar]

161

Ibid. 162

Rahmat Trijono, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan

Perundang-undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, hlm. 54.

Page 195: HUKUM PERUNDANG

182

2. Ordonantie Gouvernour Genneral adalah peraturan setingkat

UU yang terdiri dari 2 jenis yaitu:

a. Ordonansi yang dibuat oleh Gubernur Jendral dengan

persetujuan Voolksraad, yang mengatur mengenai pokok-

pokok persoalan menyangkut Nederland Indie; dan

b. Ordonansi yang ditentukan dalam Grondwet atau Wet

yaitu:

1) Regeringsverordening (R.V) setingkat Peraturan

Pemerintah, adalah peraturan untuk melaksanakan

wetten, AMVB dan ordonansi dan dapat

mencantumkan ketentuan pidana;

2) Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah)

merupakan peraturan untuk mengatur hal-hal yang

bersifat administratif, dan tidak dapat mencantumkan

ketentuan pidana.

3. AMVB dan Wetten, yang dibuat oleh Raja ( Kroon) bersama

dengan parlemen Belanda (Staten General).

Masa Pendudukan Jepang.

Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan pada masa

berkuasanya Jepang jenis peraturan perundang-undangan yang ada

adalah:163

1. Osamu seirei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh

Seikosikikan (pemerintah sipil);

2. Osamu Kanrei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh

Kepala Staf (Gunseikan ).

Peaturan tersebut diudangkan dalam Lembaran Negara yang disebut

Kanpo.

Masa Kemerdekaan.

163

Ibid., hlm. 58.

Page 196: HUKUM PERUNDANG

183

Masa ini terbagi dalam beberapa periode yakni masa setelah

kemerdekaan tanggal 17 Agustus Tahun 1945 yaitu berlakunya UUD

Tahun 1945, masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat

(KRIS), Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dan Masa

Reformasi (UUD Tahun 1945 Pasca amandemen) .

Masa berlakunya UUD Tahun 1945.

Pada masa awal kemerdekaan dan berlakunya UUD Tahun

1945, jenis peraturan perundang-undangan yang ada masih belum

tersusun karena situasi dan kondisi masa itu, misalnya adalah kadang-

kadang berbentuk nota-nota dinas, maklumat, surat-surat edaran dan

lain sebagainya diperlakukan sebagai peraturan yang seakan mengikat

secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat

yang isinya membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP) yang saat itu berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi

maklumat itu dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai

Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945. Dalam UUD Tahun

1945 jenis peraturan yang ada adalah: Undang-Undang yang diatur

dalam Pasal 5 ayat (1), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat 2) dan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) yang

diatur dalam Pasal 22 ayat (1). Namun dalam prakteknya dikeluarkan

juga beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yaitu:

Penetapan Presiden (Penpres), Peraturan Presiden (Perpres),

Penetapan Pemerintah, Maklumat Presiden dan Maklumat Wakil

Predsiden.

Masa berlakunya KRIS Tahun 1949.

Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27

Desember 1949, bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut adalah

Undang-Undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan

Pemerintah. UU Federal adalah merupakan UU yang dibuat oleh

Page 197: HUKUM PERUNDANG

184

pemerintah federal. Undang-Undang Darurat;164

adalah UU yang

dikeluarkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan federal

yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan

segera. Peraturan ini mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federal.

Peraturan Pemerintah165

, adalah peraturan untuk menjalankan

ketentuan UU yang ditetapkan oleh Pemerintah.Peraturan ini dapat

memuat ancaman hukuman atas pelanggaran aturan-aturannya.

Berdasarkan Pasal 127 KRIS terdapat 3 macam Undang-Undang

Federal yaitu:

1. UU yang dibentuk pemerintah bersama dengan DPR dan

Senat yang mengatur tentang daerah bagian dan bagiannya,

hubungan antara RIS dengan daerah bagiannya;166

2. Undang-undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama

dengan DPR; 167

dan

3. Undang –Undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama

dengan DPR dan Senat, khusus mengenai Perubahan

KRIS.168

Pada saat berlakunya KRIS, dikeluarkan UU No.1 Tahun

1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Pusat, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia

Yogyakarta yang merupakan negara bagian dari RIS. UU ini

dikeluarkan oleh Negara RI di Jogyakarta (negara bagian), sedangkan

untuk RIS (pemerintah federal) berlaku UU Drt 2-1950. Jenis

peraturan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang tersebut adalah:

a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang,

b. Peraturan Pemerintah,

c. Peraturan Menteri.

164

Pasal 139 KRIS 165

Pasal 141 KRIS 166

Pasal 127a KRIS 167

Pasal 127b KRIS 168

Pasal 190 KRIS

Page 198: HUKUM PERUNDANG

185

Masa berlakunya UUDS Tahun 1950.

Dengan berlakunya UUDS tanggal 17 Agustus Tahun 1950,

jenis peraturan perundang-undangan yang ada adalah:

a. Undang-Undang (Pasal 89);

b. Undang-Undang Darurat (Pasal 196 )

c. Peraturan Pemerintah (Pasal 98 )

Selain peraturan tersebut diatas, terdapat peraturan lainnya yakni:

a. Peraturan Menteri

b. Keputusan Menteri; dan

c. Peraturan Tingkat Daerah

Masa berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959, maka

Bangsa Indonesia kembali kepada UUD Tahun 1945. Karena itu jenis

peraturan perundang-undangan adalah apa yang tertuang didalam

UUD Tahun 1945, dan apa yang tertuang dalam Surat Presiden

kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)

No. 2262/HK/59 tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya

dijelaskan lebih lanjut dengan Surat Presiden No. 3639/HK/59

tanggal 26 November 1959. Dengan demikian “bentuk-bentuk” peraturan-peraturan Negara setelah UUD adalah:

1. Undang-Undang;

2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

Penyebutan jenis-jenis tersebut dalam Undang-Undang

Dasar bersifat enunsiatif, dalam arti tidak menutup kemungkinan

untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang lebih rinci sesuai dengan

kebutuhan. Karena itu berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959

tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping

bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di atas,

dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu:

Page 199: HUKUM PERUNDANG

186

1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli

1959 tentang Kembali Kepada UUD Tahun 1945.

2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk

melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang

dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun1945.

3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan

Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan

Pemerintah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD

Tahun 1945.

4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan

atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.

5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh

kementerian-kementerian negara atau Departemen-

Departemen pemerintahan, masing-masing untuk mengatur

sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan

pengangkatan-pengangkatan.

Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan

antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam

praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan

Presiden dan Peraturan Presiden. banyak materi yang seharusnya

diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun

Peraturan Presiden.

Masa Orde Baru.

Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Lama, pada Tahun

1966, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No. XIX/MPRS/1966

tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar

Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang tidak

sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan

Page 200: HUKUM PERUNDANG

187

Perundangan Republik Indonesia. TAP MPRS tersebut dimaksudkan

untuk menata dan mendudukkan secara konstitusional jenis dan

bentuk peraturan perundang-undangan yang banyak “menyimpang” dari UUD Tahun 1945.

Dalam Lampiran II Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966,

ditentukan bentuk peraturan dengan tata urutan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar.

2. Ketetapan MPR.

3. Undang-Undang/Perppu.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Keputusan Presiden.

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan

Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.

Jenis peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam

TAP MPRS tersebut banyak mengandung kelemahan , salah satu

contoh adalah tidak diaturnya secara tegas jenis peraturan tingkat

daerah khususnya Peraturan Daerah (Perda), sehingga terkesan

kurang dihormatinya Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang

bersifat pengaturan (regeling) sebagai bagian dari sistem peraturan

perundang-undangan nasional.

Masa Reformasi – sekarang.

Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru, MPR

menetapkan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti

TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan)

peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 2 TAP MPR

No.III/MPR/2000 adalah:

1. UUD 1945;

2. Ketetapan (TAP) MPR;

3. Undang-Undang (UU);

4. PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);

Page 201: HUKUM PERUNDANG

188

5. PeraturanPemerintah (PP);

6. KeputusanPresiden (Keppres); dan

7. Peraturan Daerah (Perda).

Selanjutnya dalam Pasal 3 ditentukan bahwa:

(1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis

Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar

hukum dalam penyelenggaraan negara.

(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan

Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang

ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan

Rakyat.

(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang

Dasar 1945 serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia.

(4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh

Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus

diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan

yang berikut;

b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak

peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan

tidak mengadakan perubahan;

c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan

pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus

dicabut.

(5) Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk

melaksanakan perintah undang-undang.

(6) Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh

Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa

Page 202: HUKUM PERUNDANG

189

pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi

pemerintahan.

(7) Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan

aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari

daerah yang bersangkutan:

a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah propinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan

perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama

bupati/walikota;

c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara

pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh

peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

TAP MPR No. III/2000 tidak berlaku lama, selanjutnya pada

Tahun 2004 dikeluarkanlah UU 10/2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 ditentukan :

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai

berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e

meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan

rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan

perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama

Page 203: HUKUM PERUNDANG

190

bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan

perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala

desa atau nama lainnya.

Berdasarkan hirarki pada Pasal 7 tersebut, maka dalam UU

10/2004 dikenal dan diakui secara formal satu jenis peraturan baru

yakni Peraturan Desa (Perdes) yang kedudukannya berada dibawah

Perda Kabupaten. Jenis peraturan perundang-undangan selain yang

ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, dikenal juga jenis lainnya

yang mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Pasal 7 ayat ( 4)

yang menyebutkan bahwa: Jenis Peraturan Perundang-undangan

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya

dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan

oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam

Penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut disebutkan bahwa jenis Peraturan

Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,

peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah,

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau

pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

UU 10/2004 kemudian dirubah kembali dengan UU

NO.12/2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .

Perubahan terhadap UU 10/2004 dilakukan karena Undang-Undang

ini banyak mengandung kelemahan-kelemahan yaitu antara lain:169

a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir

169

Penjelasan Umum UU 12/2011.

Page 204: HUKUM PERUNDANG

191

sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;

b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;

c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan

perkembangan atau kebutuhan hukum dalam

Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan

d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap

bab sesuai dengan sistematika.

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan jenis

dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dari uraian tersebut maka sama halnya dengan UU 10/2004,

dalam UU ini juga diakui jenis peraturan perundang-undangan

lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yang

menentukan bahwa: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,

Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat

yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah

Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan ini

mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh

peraturan yang lebih tinggi.

Page 205: HUKUM PERUNDANG

192

Ketentuan tersebut mengindikasikan terdapat 2 jenis

peraturan perundang-undangan yakni peraturan perundang-undangan

didalam hierarchi dan diluar hierarchi yang diatur dalam Pasal 7 dan

Pasal 8 UU 12/2011. Jenis peraturan perundang-undangan

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU NO.12/2011dapat

disebut sebagai Jenis Peraturan Perundang-undangan Di Dalam

Hierarki, untuk membedakan dengan jenis peraturan perundang-

undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011, yang dapat

disebut Jenis Peraturan Perundang-undangan di Luar Hierarki.

Berikut tabel jenis Peraturan Perundang-undangan menurut

TAP MPRS XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000, UU 10/2004

dan UU 12/2011.

Tabel 5.

Perbandingan Jenis Peraturan Perundang-undangan menurut:

TAP MPRS XX/MPRS/1966, TAP MPR III/MPR/2000, UU

10/2004 dan UU 12/2011.

No. TAP MPRS

XX/MPRS/1966

TAP MPR

III/MPR/20

00

UU

10/2004

UU 12/2011

1 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945

2 Ketetapan MPR Ketetapan

MPR

UU/Perppu Ketetapan MPR

3 UU/Perppu UU PP UU/Perppu

4 PP Perppu Perpres PP

5 Keppres PP Perda

Propinsi

Perpres

6 Peraturan

pelaksanaan lainnya

seperti Peraturan

Menteri, Instruksi

Menteri, dan lain-

lain.

Keppres Perda

Kabupaten

Perda Propinsi

7 - Perda Perdes Perda Kabupaten

Sumber : Penulis

Page 206: HUKUM PERUNDANG

193

Kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-undangan

tersebut diatas adalah sesuai dengan hierarkinya (Pasal 7 ayat 2 UU

12/2011). Yang dimaksud dengan “hierarki” menurut Penjelasan pasal tersebut adalah: penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-

undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-

undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan demikian dari pemaparan tersebut diatas adanya

kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”, adalah sebagai salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik (Pasal 5 huruf c UU 12/2011), menunjukkan pentingnya

pemahaman dan ketentuan tentang jenis, hierarki, dan materi muatan

peraturan perundang-undangan. Asas ini dapat dicermati dalam Kotak

berikut.

170

A Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan....., op.cit., hlm. 345-

346.

KOTAK 3.

ASAS KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI

MUATAN

PASAL 5 PENJELASAN

PASAL 5

ANOTASI

Dalam membentuk

Peraturan Perundang-

undangan harus

dilakukan

berdasarkan

pada asas

Pembentukan

peraturan Perundang-

undangan yang baik,

yang meliputi:

…......................

Huruf c

Yang dimaksud dengan

“asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan

materi muatan” adalah bahwa dalam

Pembentukan

Peraturan Perundang-

undangan harus benar-

benar memperhatikan

materi muatan yang

tepat sesuai dengan

A. Hamid S.

Attamimi170

mengetengahkan

Asas-asas

Pembentukan

Peraturan Perundang-

unangan Yang Patut,

yang dibagi ke dalam

Asas-asas formal dan

Asas-asas material.

Asas yang keempat

dari Asas-asas formal

Page 207: HUKUM PERUNDANG

194

A

A

Asas “materi muatan yang tepat” itu oleh A. Hamid S. Attamimi diturunkan dari asas “organ/lembaga yang tepat”, yang oleh karena itu ia sebut juga sebagai asas “organ/lembaga dan materi muatan yang tepat” .171

Saat memberikan komentar tentang asas

“organ/lembaga yang tepat” dari van der Vlies, A. Hamid S. Attamimi mengemukakan:

172

“Berbeda dengan di Negeri Belanda di Republik Indonesia mengenai organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan dengan

materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan.

Menurut hemat penulis, materi muatan peraturan perundang-

undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-

masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan

perundang-undangan bersangkutan. Atau dapat juga

sebaliknya, kewenangan masing-masing organ/lembaga

tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-

undangan yang dibentuknya”.

UU NO.12/2011mengatur asas organ/lembaga yang tepat

dalam Pasal 5 huruf b, yakni asas “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat”. Asas tersebut berikut artinya dapat disimak dalam Kotak berikut:

171

Ibid. 172

Ibid.

c. kesesuaian antara

jenis, hierarki,

dan materi

muatan;

…...........

jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-

undangan.

itu adalah “asas materi muatan yang

tepat”.

Page 208: HUKUM PERUNDANG

195

Pemahaman yang dapat diperoleh dari uraian tersebut diatas

adalah bahwa apabila Peraturan Perundang-undangan yang dibuat

oleh lembaga negara atau pejabat berisi materi muatan yang tidak

tepat, maka itu masuk kategori Peraturan Perundang-undangan yang

dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang, dan

oleh karena itu dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Apa arti “dapat dibatalkan”?; Apa arti “batal demi hukum”? Dalam hukum administrasi, suatu keputusan tidak sah akan berakibat

batal keputusan tersebut. Dibedakan tigas jenis pembatalan suatu

ketetapan tidak sah, yakni batal karena hukum, batal, dan dapat

dibatalkan.173

Rinciannya dalam tabel berikut:

Tabel 6.

Konsep batal demi hukum dan dapat dibatalkan

KONSEP ISI KONSEP

Batal demi Hukum

(nietigheid van

rechtswegw)

Keputusan yang batal demi hukum adalah suatu

ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat

suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya

173

Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi

Fotografi.

KOTAK 4.

ASAS KELEMBAGAAN ATAU PEJABAT PEMBENTUK YANG TEPAT

PASAL 5 PENJELASAN PASAL 5

Dalam membentuk Peraturan

Perundang-undangan harus

dilakukan berdasarkan pada asas

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik,

yang meliputi:

…...................... b. kelembagaan atau pejabat

pembentuk yang tepat;

…...........

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-

undangan harus dibuat oleh lembaga

negara atau pejabat Pembentuk Peraturan

Perundang-undangan yang berwenang.

Peraturan Perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum

apabila dibuat oleh lembaga negara atau

pejabat yang tidak berwenang.

Page 209: HUKUM PERUNDANG

196

bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan

keputusan pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara yang berwenang menyatakan

batalnya ketetapan tersebut.

Jadi ketetapan batal sejak dikeluarkan, bagi hukum

dianggap tidak ada tanpa diperlukan suatu

keputusan hakim atau suatu keputusan badan

pemerintah lain yang berkompeten untuk

menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.

Batal (nietigheid) Ketetapan batal merupakan suatu tindakan atau

perbuatan hukum yang dilakukan yang berakibat suatu

perbuatan dianggap tidak pernah ada.

Dapat Dibatalkan

(nietigheidbaar)

Keputusan dapat dibatalkan yaitu suatu keputusan

dapat dinyatakan batal setelah adanya pembatalan

oleh hakim atau instansi yang berwenang

membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut.

Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat

hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai

dikeluarkan keputusan pembatalan (ex-nunc)

kecuali undang-undang menentukan lain.

UUAP mengenal dua jenis pembatalan keputusan, yaitu

dibatalkan dan dapat dibatalkan. Rinciannya dalam tabel berikut:

Tabel 7.

Konsep dibatalkan dan dapat dibatalkan

KONSEP ISI KONSEP

Dibatalkan

Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat

Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b.

Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau

c. atas Putusan Pengadilan.

Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan

dibatalkan: a. tidak mengikat sejak Keputusan

dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan segala

akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak

pernah ada.

Dapat Dibatalkan Keputusan pembatalan dilakukan oleh: a. Pejabat

Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; b.

Page 210: HUKUM PERUNDANG

197

Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau c.

atas Putusan Pengadilan.

Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan dapat

dibatalkan: a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan

atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan

berakhir setelah ada pembatalan.

Terkait dengan pernyataan “Peraturan Perundang-undangan

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh

lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang” bermakna: Pertama, Peraturan Perundang-undangan dapat dibatalkan

adalah Peraturan Perundang-undangan dinyatakan batal setelah

adanya keputusan pembatalan oleh hakim atau instansi yang

berwenang membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi

bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan

oleh Peraturan Perundang-undangan dianggap sah sampai

dikeluarkan keputusan pembatalan (ex-nunc).

Kedua, Peraturan Perundang-undangan yang batal demi hukum

adalah Peraturan Perundang-undangan yang akibat hukumnya baik

sebagian maupun seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa

diperlukan keputusan pembatalan oleh hakim atau instansi yang

berwenang membatalkan. Jadi Peraturan Perundang-undangan batal

sejak dikeluarkan, bagi hukum dianggap tidak ada tanpa diperlukan

suatu keputusan hakim atau instansi yang berkompeten untuk

menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.

Persoalannya, siapa yang pada akhirnya menentukan

Peraturan Perundang-undangan batal demi hukum, akan menjadi

problem hukum tersendiri. Oleh karena itu dapat dipahami dalam

UUAP tidak dikenal keputusan batal demi hukum.

Untuk mendapat kejelasan tentang jenis-jenis peraturan

perundang-undangan pada uraian selanjutnya dijelaskan jenis-jenis

peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal

7 ayat (1) UU 12/2011:

Page 211: HUKUM PERUNDANG

198

a. Undang-Undang Dasar

Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang

mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam hierarchi peraturan

perundang-undangan adalah UUD Tahun 1945. Hal tersebut telah

diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Dengan

kedudukan yang tertinggi itu berarti bahwa peraturan yang berada

dibawahnya harus berdasar atau bersumber pada UUD Tahun 1945.

Dalam Pasal 3 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan :Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Yang dimaksud

dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.174

Menurut A.Hamid S Attamimi, UUD Tahun 1945 tidak tepat

disebut sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan

dengan mengatakan bahwa: UUD Tahun 1945 dan Ketetapan MPR

tidak tepat masuk dalam jenis peraturan perundang-undangan karena

termasuk dalam aturan dasar. Sedangkan yang termasuk peraturan

perundang-undangan adalah undang-undang/perppu, Pertauran

Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan

Lembaga Pemerintah Non Departemen, Keputusan Direktur Jendral

Departemen, keputusan kepala badan negara diluar jajaran

pemerintah yang dibentuk dengan Undang-Undang, Peraturan Daerah

Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Keputusan

Gubernur Kepala Daerah , Keputusan Bupati/Wali Kotamadya

Kepala Daerah Tingkat II.175

Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3

ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa; MPR

berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

174

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 12/2011. 175

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden .....op.cit.,

hlm. 58.

Page 212: HUKUM PERUNDANG

199

b. Ketetapan MPR

Ketetapan MPR adalah Putusan Majelis Permusyawaratan

Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam

sidang-sidang MPR.176

Sedangkan yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU NO.12/2011adalah

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003

tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,

tanggal 7 Agustus 2003.177

c. Undang-Undang (UU) / Perppu

Jenis peraturan perundang-undangan yang ketiga menurut

UU NO.12/2011adalah Undang-Undang (UU). Landasan Hukum UU

diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI

Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa : yang memegang kekuasaan

untuk membentuk Undang-Undang adalah DPR. Selanjutnya dalam

Pasal 1 angka 3 UU NO.12/2011menyebutkan: Undang-Undang

adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Dengan demikian maka dalam pembentukan UU lembaga

legislatif memepunyai peranan yang sangat menentukan keabsahan

dan kekuatan mengikat UU itu untuk umum. 178

Menurut para ahli

hukum antara lain P.J.P.Tak179

dalam bukunya Rechtsvorming in

Netherland pengertian UU dibagi menjadi: UU dalam arti materiil

176

Lihat Pasal 3 ayat (2) Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 177

Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011. 178

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal ........., op cit, hlm. 32-33. 179

HAS. Natabaya, 2008, Sistem Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press, hlm.11.

Page 213: HUKUM PERUNDANG

200

(wet materiele zin) dan UU dalam arti formal (wet formele zin). UU

dalam arti formil adalah apabila pemerintah bersama dengan

parlemen mengambil keputusan – maksudnya untuk membuat UU-

sesuai dengan prosedur . Sedangkan UU dalam arti materiil adalah

jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk

peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang

isinya mengikat masyarakat secara umum. Dengan kata lain UU

dalam arti Materiil melihat UU dari segi isi, materi dan dan

substansinya, sedangkan UU dalam arti formil dilihat dari segi bentuk

dan pembentukannya. Pembedaan tersebut hanya dilihat dari segi

penekanannya yaitu sudut penglihatan, yaitu undang-undang yang

dilihat dari segi materinya dan undang-undang yang dilhihat dari segi

bentuknya.180

Sedangkan arti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu) dalam angka 4 pasal 1 UU NO.12/2011 disebutkan

bahwa: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam

hal ihwal kegentingan yang memaksa. Perppu ditetapkan tanpa

terlebih dahulu meminta persetujuan bersama Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan dalam hal ikhwal

kegentingan memaksa. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR

pada sidang berikutnya untuk dapat berubah menjadi UU. Bila tidak

maka Perppu tersebut harus dicabut.

d. Peraturan Pemerintah (PP)

Dasar hukum PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945

yang menyebutkan : Presiden menetapkan peraturan pemerintah

untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Yang

dimaksud dengan Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-

undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-

Undang sebagaimana mestinya (Pasal 1 angka 5) UU 12/2011.

180

Ibid., hlm. 34-35.

Page 214: HUKUM PERUNDANG

201

Dengan demikian maka tidak akan ada PP jika tidak ada UU yang

menjadi induknya.

Menurut A Hamid S Attamimi, karakteristik dari PP

adalah:181

1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang

menjadi induknya;

2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU

yangbersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;

3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi

ketentuan UU yang bersngkutan;

4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan

tidak memintanya secara tegas;

5. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan

peraturan dan penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-

mata.

e. Peraturan Presiden (Perpres).

Peraturan Presiden adalah salah satu jenis peraturan

perundang-undang yang baru ditentukan dengan tegas dalam UU

10/2004. Sebelum keluarnya UU 10/2004 dalam hirarki PPU dikenal

istilah Keputusan Presiden (Keppres) yang mempunyai sifat

mengatur. Setelah keluarnya UU 10/2004, istilah keputusan kemudian

diganti dengan istilah “Peraturan”, hal ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas bentuk peraturan apakah berupa “regelings” (pengaturan) ataukah “beschiking” (penetapan). Kedua bentuk tersebut mempunyai sifat yang berbeda yaitu; jika berbentuk

pengaturan maka bersifat deuerhaftig yakni berlaku terus menerus,

dan jika bentuknya adalah “keputusan” maka sifatnya adalah einmalig yaitu sekali selesai.

Dasar hukum Perpres terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD

Tahun 1945 yang menentukan bahwa: Presiden Republik Indonesia

181

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-Undangan

–Dasar-dasar Pemebentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 99.

Page 215: HUKUM PERUNDANG

202

memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar.

Dalam rangka melaksanakan kekuasaan pemerintahan tersebutlah,

presiden dapat mengeluarkan Perpres. Yang dimaksud dengan

Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan

pemerintahan (Pasal 1 angka 6, UU 12/2011).

Rumusan tersebut jelas menegaskan bahwa kewenangan

untuk membentuk Perpres adalah ditangan Presiden, dan

pembentukan Perpres dilakukan dalam rangka pelaksanaan

pemerintahan oleh presiden.

Dari segi wewenang Perpres dapat dibedakan:

1. Perpres sebagai pelaksanaan kewenangan dari presiden baik

presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Disini Presiden mempunyai kewenangan secara mandiri untuk

membuat Perpres yang tidak tetap batas lingkupnya. Kewenangan

disini merupakan kewenangan atributif yang diberikan

berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945. Perpres mandiri

ini adalah konsekwensi dari kedudukan presiden sebagai

penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, dimana kekuasaan

dan tanggung jawab ada ditangan Presiden (cocentration of power

and responsibility upon the President).

2. Perpres dapat juga dibentuk karena delegasi (delegated

legislation), sebagai peraturan delegasi untuk melaksanakan

perintah UUD, UU maupun PP.182

f. Peraturan Daerah Provinsi

Dalam UUDNRI Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6) ditentukan

bahwa: pemerintahan daerah berhak untuk menetapkan Peraturan

Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi

dan tugas pembantuan. Perda terbagi menjadi Perda Propinsi dan

182

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 68.

Page 216: HUKUM PERUNDANG

203

Perda Kabupaten. Yang dimaksud dengan Perda Propinsi adalah

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama

Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU 12/2011). Termasuk dalam Peraturan

Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi

(Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

(Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f) UU 12/2011.

g. Peraturan Daerah Kabupaten,

Adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan

persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal 1 angka 8). Termasuk

dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku

di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh (Penjelasan Pasal 7 ayat (1)

Huruf g).

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.80

Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dalam

Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi atau

nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau nama

lainnya, yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama

kepala daerah.

12.4. Fungsi Peraturan Perundang-undangan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti Fungsi : 1.jabatan

(pekerjaan) yg dilakukan: 2.faal (kerja suatu bagian

tubuh): 3.Mat besaran yg berhubungan, jika besaran yg satu berubah,

besaran yg lain juga berubah; 4. kegunaan suatu hal; 5. Ling peran

sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti

nomina berfungsi sbg subjek).183

Terkait peraturan perundang-

183

http://kbbi.co.id/arti-kata/fungsi

Page 217: HUKUM PERUNDANG

204

undangan maka fungsi peraturan perundang-undangan dapat diartikan

sebagai kegunaan peraturan perundang-undangan secara umum dan

secara khusus sesuai dengan jenisnya. Atau dapat dikatakan bahwa

peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan

(beleids instrument), yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga

yang berwenang yang memiliki kegunaan atau fungsi-fungsi tertentu.

Ada perbedaan antara fungsi hukum dan fungsi peraturan

perundang-undangan. Fungsi hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari

setiap sumber hukum, sedangkan fungsi peraturan perundang-

undangan adalah fungsi dari salah satu sumber hukum, yaitu

peraturan perundang-undangan itu sendiri.184

Robert Baldwin dan Martin Cave, sebagaimana di kutip oleh

Ismail Hasani dan Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH, mengemukakan

bahwa peraturan perundang undangan memiliki fungsi :185

a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber

daya;

b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan

komunitas atau lingkunganya;

c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan

antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau

affirmative action kepada kelompok marginal);

d. Mencegah kelangkaan sumber daya publik dari eksploitasi

jangka pendek;

e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta

keadilan sosial, perluasan akses dan redtribusi sumber

daya,;dan

f. Memeperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sector

ekonomi.

184

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, op.cit, hlm.

60-65. 185

Ismail Hasani & A. Gani Abdullah, 2006, Pengantar Ilmu

Perundang-Undangan, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah, hlm. 33.

Page 218: HUKUM PERUNDANG

205

Sedangkan fungsi peraturan perundang-undangan menurut

Bagir Manan dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu fungsi

internal dan fungsi eksternal.186

Adapun fungsi internal dan fungsi eksternal tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut :

1. Fungsi Internal.

Fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-

undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-

undangan) terhadap sistem kaidah hukum. Secara internal,

peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan

hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme

hukum, dan fungsi kepastian hukum:187

a. Penciptaan hukum (rechtschepping)

Adapun yang dimaksud dengan penciptaan hukum adalah

penciptaan yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku

umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui

putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai

praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan

perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau

lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum.

Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-

ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam

pembentukan hukum.

Salah satu cara utama penciptaan hukum di Indonesia

adalah melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Atau

dengan kata lain bahwa peraturan perundang-undangan

merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian

peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum

nasional karena:

186

Bagir Manan, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia, Bandung :Alumni,hlm. 47. 187

Ibid., hlm. 17-20.

Page 219: HUKUM PERUNDANG

206

1. Sistem hukum Indonesia – sebagai akibat sistem hukum

Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum

kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum

tertulis (geschrevenrecht, written law).

2. Politik pembangunan hukum nasional mengutamakan

penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai

Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum

yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Hal ini antara lain

karena pembangunan hukum nasional yang

menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai

instrument dapat disusun secara berencana (dapat

direncanakan).

b. Fungsi Pembaharuan Hukum

Artinya bahwa peraturan perundang-undangan

merupakan instrumen dalam pembaharuan hukum (law reform)

dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum

yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan

perundang-undangan dapat direncanakan melalui program

legislasi baik nasional maupun daerah , sehingga pembaharuan

hukum dapat pula direncakan. Pembaharuan tidak hanya

dilakukan terhadap hukum yang sudah ada tetapi dapat juga pula

dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi,

Hukum kebiasaan atau hukum adat.

Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-

undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan

perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda.

Termasuk pula adalah memperbaharui peraturan perundang-

undangan yang dibuat setelah kemerdekaan yang sudah tidak

sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Terhadap hukum kebiasaan atau hukum adat, peraturan

perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau

hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang

Page 220: HUKUM PERUNDANG

207

ada. Pemanfaatan peraturan perundang-undangan sebagai

instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat

bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang

disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.188

c. Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum

Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem

hukum, yaitu: sistem hukum Eropa kontinental (Barat), sistem

hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem

hukum nasional”.189 Hal ini menunjukkan adanya pluralisme

hukum di Indonesia.190

Menurut Erman Rajagukguk bahwa

kendala terberat adanya pluralisme hukum adalah dalam

mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia menurut guru

besar tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan

pemberantasan korupsi sampai saat ini pun oleh Erman diakui

sangat sulit karena dalam penegakannya banyak

mempertimbangkan faktor politik.191

Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut

tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum,

terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang

dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.

Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam

rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut

188

Bagir Manan, Sleten, 1993, Perundang-undangan Indonesia,

Makalah, Jakarta, hlm. 6. 189

Bagir Manan, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum

Nasional, Makalah, Jakarta, hlm. 6. 190

Pluralisme hukum menurut Erman Rajagukguk dalam Kongres

Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006)

diartikan sebagai sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem

hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus

diakui sebagai sebuah realitas masyarakat. 191

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-

hukum-harus-diakui

Page 221: HUKUM PERUNDANG

208

sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama

lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung

pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda

antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan

dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian fungsi peraturan perundang-undangan

adalah mengintegrasikan berbagai (pluralisme) peraturan yang

ada. Pemahaman akan pluralisme hukum menurut The

Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Prof. Anne

Griffith mengatakan perlu diberikan pemahaman tersebut kepada

pengambil kebijakan, ahli hukum, antropolog, sosiolog dan

ilmuwan sosial lainnya.192

d. Fungsi kepastian hukum

Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty)

merupakan asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling)

dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Adanya

peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian

hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasan, hukum adat,

atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian

hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata

diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written)

yakni selain harus memenuhi syarat-syarat formal, juga harus

memenuhi syarat-syarat lain, yaitu: Jelas dalam perumusannya

(unambiguous), Konsisten dalam perumusannya baik secara intern

maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna

bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus

terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya,

kebakuan susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, adalah

adanya hubungan “harmonisasi” antara berbagai peraturan perundang-undangan.

192

Ibid.

Page 222: HUKUM PERUNDANG

209

Selain itu adalah memperhatikan penggunaan bahasa

yang tepat dan mudah dimengerti. Bahasa peraturan perundang-

undangan haruslah bahasa yang umum dipergunakan masyarakat.

Tetapi ini tidak berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa

hukum baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan

tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian

dan upaya menjamin kepastian hukum Melupakan syarat-syarat

di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih

tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat,

atau hukum yurisprudensi.

2. Fungsi Eksternal.

Fungsi eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-

undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat

disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan,

fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini

dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau

hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih

diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai

pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat

dibedakan:193

1. Fungsi perubahan, yaitu fungsi hukum sebagai sarana

pembaharuan (law as a tool of social engineering). Peraturan

perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk

mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial,

maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.

2. Fungsi stabilisasi, Peraturan perundang-undangan dapat pula

berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan

di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah

193

Bagir Manan, Beberapa masalah..............., op.cit., hlm. 21-22.

Page 223: HUKUM PERUNDANG

210

kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas

masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan

ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara

perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan

pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi

menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.

3. Fungsi kemudahan, Peraturan perundang-undangan dapat

pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai

kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang

berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan

pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan,

struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan

kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak

selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta

membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam

penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan

seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain

seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi,

ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

Selain fungsi-fungsi tersebut, terkait dengan adanya beberapa

jenis peraturan perundang-undangan, maka masing-masing peraturan

perundang-undangan tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu. Secara

khusus fungsi peraturan perundang-undangan dirinci sebagai berikut:

1. Fungsi UUD Tahun 1945.

Pasal 3 ayat (1) UU NO.12/2011menyebutkan bahwa:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Dengan demikian sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi norma-

norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh

semua komponen masyarakat. UUD merupakan hukum dasar, yaitu

hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 juga

Page 224: HUKUM PERUNDANG

211

merupakan sumber hukum tertulis dan memiliki kedudukan yang

tertinggi dalam hierarchi peraturan perundang-undangan sebagaimana

yang ditetukan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Artinya bahwa

setiap produk hukum dibawahnya seperti Tap MPR, Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda ataupun setiap

tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan

bersumber pada peraturan yang lebih tinggi yakni UUD Tahun 1945.

Dalam kedudukan yang demikian itu, maka UUD Tahun

1945 mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD

Tahun 1945 mengontrol apakah peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. UUD 1945 juga berperan sebagai pengatur

bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan.

Selain itu UUD 1945 juga berfungsi sebagai penentu dan pelindung

hak dan kewajiban negara, aparat negara, dan warga negara.

2. Fungsi Ketetapan MPR

Fungsi Ketetapan MPR adalah sebagai landasan hukum bagi

produk hukum yang ada di bawahnya, selama ketetapan MPR itu

masih dinyatakan berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2

dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7

Agustus 2003.

3. Fungsi Undang-Undang dan Perppu

Ada beberapa Fungsi Undang-Undang yaitu:

1. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang

Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;

2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya

dalam Batang Tubuh UUD 1945;

Page 225: HUKUM PERUNDANG

212

3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-

tegas menyebutnya;

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(PERPPU) pada dasarnya sama dengan fungsi dari undang-undang.

Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang

dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR dalam keadaan

normal sedangkan PERPPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya

adalah Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal,

sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat

dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

adalah:

1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;

2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya

dalam Batang Tubuh UUD 1945;

3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-

tegas menyebutnya.

4. Fungsi Peraturan Pemerintah

Landasan formal konstitusional Peraturan Pemerintah adalah

Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Fungsi PP adalah :

1. pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang

tegas-tegas menyebutnya;

2. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain

dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak tegas-

tegas menyebutnya.

5. Fungsi Peraturan Presiden

Secara umum Fungsi Peraturan Presiden (regeling) adalah,

sebagai berikut :

Page 226: HUKUM PERUNDANG

213

1. menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka

penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (sesuai Pasal 4

ayat 1 UUD 1945);

2. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam

Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya;

3. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain

dalam Peraturan Pemerintah meskipun tidak tegas-tegas

menyebutkannya.

6. Fungsi Peraturan Daerah

Perda terbagi menjadi Perda Provinsi dan Perda Kabupaten.

Fungsi Peraturan Daerah adalah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah dan tugas pembantuan dan menjabarkan lebih lanjut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana diatur

dalam Pasal 236 ayat (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah

(sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan).

Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan

hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan

Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Sebagai penampung kekhususan dan

keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah,

namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai alat

pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah. Sedangkan

menurut Kepala pusat penyuluhan hukum Badan Pembinaan Hukum

Nasional, Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu:194

a) sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi

194

https://saepudinonline.wordpress.com/2013/05/01/fungsi-perda-

dalam-peraturan-perundang-undangan/

Page 227: HUKUM PERUNDANG

214

daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

b) merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah

tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan

dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

c) sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta

penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam

pengaturannya tetap dalam koridor Negara kesatuan Republik

indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945.

d) sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan

daerah.

12.5. Materi Muatan

Istilah “materi muatan peraturan perundangan” diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang disampaikan secara lisan dalam

Lokakarya mengenai Pengembangan Ilmu Hukum, di Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22 Pebruari 1979. Naskahnya

diselesaikan sesudahnya, dimuat dalam Majalah Hukum dan

Pembangunan, Nomor 3 Tahun 1979.195

A.Hamid S Attamimi secara

tidak langsung mengartikan materi muatan peraturan perundang-

undangan sebagai materi yang harus dimuat dalam masing-masing

jenis peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 13 UU

NO.12/2011disebutkan bahwa : Materi Muatan Peraturan Perundang-

195

A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga

Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1 s/d 20 Juni

1981, Diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman, Jakarta, ,hlm. 282-292.

Page 228: HUKUM PERUNDANG

215

undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-

undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan

Perundang-undangan. Dengan demikian apa yang merupakan materi

suatu peraturan perundang-undangan adalah berbeda-beda tergantung

jenis, fungsi dan materinya. Dalam menyusun materi muatan

peraturan perundang-undangan ada beberapa asas yang harus

dipenuhi yaitu:196

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Dalam Penjelasan UU 12/2011, disebutkan arti dari asas-asas

tersebut adalah :

a. “Asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundanganharus berfungsi memberikan pelindungan

untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

b. “Asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan

dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat

setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. “Asas kebangsaan” adalah bahwasetiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa

Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

196 Pasal 6 UU 12/2011.

Page 229: HUKUM PERUNDANG

216

d. “Asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah

untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. “Asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan

bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

f. “Asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman

penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta

budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara.

g. “Asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara.

h. “Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan

berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial.

i. “Asas ketertiban dan kepastianhukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

j. “Asas keseimbangan, keserasian,dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara

kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan

negara.

Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain

Page 230: HUKUM PERUNDANG

217

sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

197

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada

hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana,

dan asas praduga tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,

antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan

itikad baik.

Materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan

dapat dijabarkan sebagai berikut:

12.5.1. Materi Muatan Undang-Undang Dasar

Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD) adalah

merupakan hukum dasar negara. Atau the basic of the national legal

order/ Sebagai the basic of the national legal order maka UUD atau

konstitusi akan menjadi sumber bagi pembentukan peraturan

perundang-undangan yang ada dibawahnya. Perbedaan antara UUD

dengan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya , salah

satunya adalah dari segi materi muatan. Menurut K.C.Wheare198

UUD adalah suatu dokumen hukum, sehingga akan merupakan :

a. Pernyataan pilihan (a short of manifesto);

b. Pengakuan dan keyakinan ( a consession of faith);

c. Pernyataan mengenai cita-cita bangsa/negara (a

statement of ideals);

d. Piagam negara ( a charter of the land).

Karena itu menurut K.C.Wheare bahwa UUD sebagai suatu

aturan hukum mengatur/ berisi aturan-aturan negara yang mengatur

197

Lihat Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 198

K.C.Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,

hlm. 32.

Page 231: HUKUM PERUNDANG

218

tentang :199

1. Susunan (structure) pemerintahan, yakni legislatif, eksekutif

dan yudikatif;

2. Hubungan timbal balik (mutual relation) antara alat-alat

perlengkapan negara;

3. Hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan

masyarakat (community), agar hak –hak masyarakat dan

warga negara tidak dilanggar;

4. The quarantes of citizen.

Sedangkan menurut Struycken, Materi UUD berisi:200

1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan;

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,

baik untuk waktu sekarang maupun yang akan datang;

4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan

ketatanegaraan hendak dipimpin.

Menurut Sri Sumantri Martosoewignyo , Materi muatan

konstitusi setidaknya berisi tiga hal pokok yaitu: 201

1. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan Warga

Negara;

2. Ditetapkannya susunan ketatanegraan suatu negara yang

bersifat fundamental; dan

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan

yang bersifat fundamental.

Sedangkan materi muatan konstitusi menurut Mr. J.G

Steenbeekseperti yang dikutip oleh Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan

199

Ibid. 200

I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 95. 201

Dalam H.R.Soemantri Martosoewignyo, 2006, Prosedur dan

Sistem Perubahan Konstitusi ( Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD

1945), Bandung, Alumni, hlm. 2.

Page 232: HUKUM PERUNDANG

219

N‟imatul Huda, mulai dari Jaminan Hak Asasi Manusia dan hak warga negaranya, susunan dasar ketatanegaraan negara yang

bersangkutan, dan susunan dasar pembagian dan pembatasan tugas

ketatanegaraa telah mengalami perubahan mendasar.202

Terkait materi UUD Tahun 1945 apa yang merupakan materi

mutan UUD Tahun 1945 tidak diatur dalam UU 12/2011. Hal ini

dapat dipahami karena kedudukan dari UU NO.12/2011adalah lebih

rendah dibandingkan dengan UUD, sehingga UU NO.12/2011tidak

mengatur materi muatan UUD. Materi UUD Tahun 1945, dapat

dilihat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 yaitu: Pembukaan dan

Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4

Alinea, yang di dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari

Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20

Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal (Pasal 1 sampai

dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2

pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam

amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD

1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu

kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-bagian yang

satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Secara garis besar materi

yang termuat dalam Batang Tubuh UUD Tahun 1945 adalah sebagai

berikut:

1. Bentuk dan Kedaulatan

2. MPR (Pasal 2-3)

3. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Pasal 4- Pasal 16)

4. Kementrian Negara (Pasal 17)

5. Pemerintahan Daerah (Pasal 18)

6. DPR (Pasal 19 – 22B)

7. DPD (Pasal 22C)

8. Pemilihan Umum (Pasal 22 E)

9. Hal Keuangan (Pasal 23 – 23 D)

202

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan N‟imatul Huda, 2003, Teori dan

Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 16.

Page 233: HUKUM PERUNDANG

220

10. BPK (Pasal 23E

11. Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 – 25)

12. Wilayah Negara (Pasal 25A)

13. Warga Negara dan Penduduk (Pasal 26 – 28)

14. HAM (Pasal 28A -28J)

15. Agama (Pasal 29)

16. Pertahanan dan Keamanan Negara (Pasal 30)

17. Pendidikan dan Kebudayaan ( Pasal 31-32)

18. Perekonomian dan Kesejahtraan Sosial (Pasal 33- 34)

19. Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu

Kebangsaan (Pasal 35 -36);

20. Perubahan UUD.

Selain hal tersebut UUD Tahun 1945 juga memuat 3 pasal

tentang Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.

12.5.2. Materi Muatan Ketetapan MPR

Dalam UU NO.12/2011tidak termuat materi muatan

Ketetapan MPR. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b, hanya

menyebutkan bahwa: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003

tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,

tanggal 7 Agustus 2003. Dengan demikian yang menjadi materi

Ketetapan MPR yang masih diakui adalah materi ketetapan MPRS

dan Ketetapan MPR yang masih berlaku, sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003. Berikut ini

Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih tetap berlaku dan tidak

dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah:

Page 234: HUKUM PERUNDANG

221

1. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran

Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai

Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara

Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan

Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau

Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme,

Leninisme; dan

2. Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik

Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;

Berdasarkan Uraian di atas, makna Ketetapan MPR adalah

ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi dari tugas,

kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945. Adapun

Kedudukan Ketetapan MPR dalam sistem hukum nasional adalah

sebagai salah satu sumber hukum nasional.

12.5.3. Materi Muatan Undang-Undang

Dalam Pasal 10 UU NO.12/2011menyebutkan:

(1) Materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-

Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau

Presiden.

Ketentuan tersebut diatas dapat dijabarkan dalam bentuk tabel

berikut:

Page 235: HUKUM PERUNDANG

222

KOTAK 5.

MATERI MUATAN YANG HARUS DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG

PASAL 10 PENJELASAN

PASAL 10

ANOTASI

(1) Materi muatan yang

harus diatur dengan

Undang-Undang berisi:

a. pengaturan lebih

lanjut mengenai

ketentuan Undang-

Undang Dasar

Negara Republik

Indonesia Tahun

1945;

b. perintah suatu

Undang-Undang

untuk diatur dengan

Undang-Undang;

c. pengesahan

perjanjian

internasional

tertentu;

a. tindak lanjut atas

putusan Mahkamah

Konstitusi;

dan/atau

-

-

Ayat (1)

.........

Huruf c

Yang dimaksud

dengan “perjanjian internasional

tertentu” adalah perjanjian

internasional yang

menimbulkan akibat

yang luas dan

mendasar bagi

kehidupan rakyat

yang terkait dengan

beban keuangan

negara dan/atau

perjanjian tersebut

mengharuskan

perubahan atau

pembentukan

Undang-Undang

dengan persetujuan

DPR.

Huruf d Yang

-

Pasal 10 ayat (1)

huruf b tidak

sesuai dengan

asas lex posteriori

derogat lex

priori. Di sisi lain

ketentuan itu

menunjukkan

pendelegasian

kewenangan

mengatur dari

undang-undang

kepada undang-

undang lainnya.

-

Page 236: HUKUM PERUNDANG

223

e. pemenuhan

kebutuhan hukum

dalam masyarakat.

dimaksud dengan

”tindak lanjut atas putusan Mahkamah

Konstitusi” terkait dengan putusan

Mahkamah Konstitusi

mengenai pengujian

Undang-Undang

terhadap Undang-

Undang Dasar

Negara Republik

Indonesia Tahun

1945.

Materi muatan yang

dibuat, terkait dengan

ayat, pasal, dan/atau

bagian Undang-

Undang yang secara

tegas dinyatakan

dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi

bertentangan dengan

Undang-Undang

Dasar Negara

Republik Indonesia

Tahun 1945.

-

-

(2) Tindak lanjut atas

putusan Mahkamah

Konstitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

huruf d dilakukan oleh

DPR atau Presiden.

Ayat (2)

Tindak lanjut atas

putusan Mahkamah

Konstitusi

dimaksudkan untuk

mencegah terjadinya

kekosongan hukum.

-

Salah satu materi muatan Undang-Undang adalah “perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang”. Hal ini tidak sesuai dengan asas preferensi, bahwa undang-undang yang

Page 237: HUKUM PERUNDANG

224

berlaku belakangan menyampingkan undang-undang yang berlaku

terdahulu (lex posteriori derogat lex priori), dan bukannya undang-

undang terdahulu menentukan materi muatan undang-undang yang

kemudian dibentuk.

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang

berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat dalam

sejumlah pasal UUD 1945 dengan penanda “dengan undang-undang” atau “dalam ndang-undang”. Secara lebih terperinci materi muatan yang harus diatur dengan UU dapat dilihat dalam tabel berikut:

No

KOTAK 6.

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI KETENTUAN UUD

1945 1

2

3

4

Pasal 2 (1)UUD 1945:

Majelis Permusyawaratan Rakyat

terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota

Dewan Perwakilan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum

dan diatur lebih lanjut dengan

undang-undang.

Pasal 6 (2) UUD 1945:

Syarat-syarat untuk menjadi

Presiden dan Wakil Presiden

diatur lebih lanjut dengan

undang-undang.

Pasal 6A (5) UUD 1945:

Tata cara pelaksanaan pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden

lebih lanjut diatur dalam

undang-undang.

ANOTASI

Rumusan diatur dengan

undang-undang bermakna hal

yang diatur dalam ketentuan itu

harus dirumuskan dalam sebuah

undang-undang yang khusus

diterbitkan untuk kepentingan itu

(Majelis Permusyawaratan

Rakyat 2013).

lihat anotasi 1

Rumusan diatur dalam undang-

undang bermakna hal yang

diatur dalam ketentuan itu dapat

menjadi materi suatu atau

beberapa undang-undang yang

tidak khusus diterbitkan untuk

kepentingan itu (Majelis

Permusyawaratan Rakyat 2013).

Page 238: HUKUM PERUNDANG

225

5

6

7

8

9

10

Pasal (3) UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut tentang

perjanjian internasional diatur

dengan undang-undang.

Pasal 12 UUD 1945:

Presiden menyatakan keadaan

bahaya. Syarat-syarat dan

akibatnya keadaan bahaya

ditetapkan dengan undang-

undang.

Pasal 15 UUD 1945:

Presiden memberi gelar, tanda

jasa, dan lain-lain tanda

kehormatan yang diatur dengan

undang-undang.

Pasal 16UUD 1945:

Presiden membentuk suatu dewan

pertimbangan yang bertugas

memberikan nasihat dan

pertimbangan kepada Presiden,

yang selanjutnya diatur dalam

undang-undang.

Pasal (4) UUD 1945:

Pembentukan, pengubahan, dan

pembubaran kementerian negara

diatur dalam undang-undang.

Pasal 18 (1) UUD 1945:

Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten

dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu

mempunyai pemerintahan daerah,

yang diatur dengan undang-

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

Page 239: HUKUM PERUNDANG

226

11

12

13

14

15

16

undang.

Pasal 18 (7) UUD 1945:

Susunan dan tata cara

penyelenggaraan pemerintahan

daerah diatur dalam undang-

undang.

Pasal 18A (1) UUD 1945:

Hubungan wewenang antara

pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah provinsi,

kabupaten, dan kota, atau antara

provinsi dan kabupaten dan kota,

diatur dengan undang-undang

dengan memperhatikan

kekhususan dan keragaman

daerah.

Pasal 18B (1) UUD 1945:

Negara mengakui dan

menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat

istimewa yang diatur

dengan undang-undang .

Pasal 18B (2) UUD 1945:

Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang.

Pasal 19 (2) UUD 1945:

Susunan Dewan Perwakilan

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

Page 240: HUKUM PERUNDANG

227

17

18

19

20

21

22

23

24

25

Rakyat diatur dengan undang-

undang.

Pasal 20A (4) UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut tentang

hak Dewan Perwakilan Rakyat

dan hak anggota Dewan

Perwakilan Rakyat diatur dalam

undang-undang.

Pasal 22A UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut tentang

tata cara pembentukan undang-

undang diatur dengan undang-

undang.

Pasal 22B UUD 1945:

Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dapat diberhentikan dari

jabatannya, yang syarat-syarat

dan tata caranya diatur dalam

undang-undang.

Pasal 22C (4) UUD 1945:

Susunan dan kedudukan Dewan

Perwakilan Daerah diatur dengan

undang-undang.

Pasal 22D (4) UUD 1945:

Anggota Dewan Perwakilan

Daerah dapat diberhentikan dari

jabatannya, yang syarat-syarat

dan tata caranya diatur dalam

undang-undang.

Pasal 22E (6) UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut

tentang pemilihan umum

diatur dengan undang-

undang .

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

Page 241: HUKUM PERUNDANG

228

26

27

28

29

30

31

32

33

Pasal 23A UUD 1945:

Pajak dan pungutan lain yang

bersifat memaksa untuk keperluan

negara diatur dengan undang-

undang.

Pasal 23B UUD 1945:

Macam dan harga mata uang

ditetapkan dengan undang-

undang.

Pasal 23C UUD 1945:

Hal-hal lain mengenai keuangan

negara diatur dengan undang-

undang.

Pasal 23D UUD 1945:

Negara memiliki suatu bank

sentral yang susunan, kedudukan,

kewenangan, tanggung jawab,

dan independensinya diatur

dengan undang-undang.

Pasal 23E (3) UUD 1945:

Hasil pemeriksaan tersebut

ditindaklanjuti oleh lembaga

perwakilan dan/atau badan sesuai

dengan undang-undang.

Pasal 23G (2) UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut mengenai

Badan Pemeriksa Keuangan

diatur dengan undang-undang.

Pasal 24 (3) UUD 1945:

Badan-badan lain yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dalam undang-

undang.

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

lihat anotasi 1

Page 242: HUKUM PERUNDANG

229

34

35

36

37

38

Pasal 24A (5) UUD 1945:

Susunan, kedudukan,

keanggotaan, dan hukum acara

Mahkamah Agung serta badan

peradilan di bawahnya diatur

dengan undang-undang.

Pasal 24B (4) UUD 1945:

Susunan, kedudukan, dan

keanggotaan Komisi Yudisial

diatur dengan undang-undang.

Pasal 24C (6) UUD 1945:

Pengangkatan dan pemberhentian

hakim konstitusi, hukum acara

serta ketentuan lainnya tentang

Mahkamah Konstitusi diatur

dengan undang- undang.

Pasal 25 UUD 1945:

Syarat-syarat untuk menjadi dan

untuk diperhentikan sebagai

hakim ditetapkan dengan

undang-undang.

Pasal 25A UUD 1945:

Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah sebuah negara

kepulauan yang berciri Nusantara

dengan wilayah yang batas-batas

dan hak-haknya ditetapkan

dengan undang-undang.

Pasal 26 (1) UUD 1945:

Yang menjadi warga negara ialah

orang-orang bangsa Indonesia asli

dan orang-orang bangsa lain yang

disahkan dengan undang-

undang sebagai warga negara.

lihat anotasi 1

lihat anotasi 2

lihat anotasi 2

lihat anotasi 2

lihat anotasi 1

Page 243: HUKUM PERUNDANG

230

39

40

41

Pasal 26 (3) UUD 1945:

Hal-hal mengenai warga negara

dan penduduk diatur dengan

undang- undang.

Pasal 28 UUD 1945:

Kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan dan

sebagainya ditetapkan dengan

undang-undang.

Pasal 28J (2) UUD 1945:

Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan dengan undang-

undang dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan

serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil

sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat

demokratis.

Pasal 30 (5) UUD 1945:

Susunan dan kedudukan Tentara

Nasional Indonesia, Kepolisian

Negara Republik Indonesia,

hubungan kewenangan Tentara

Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik

Indonesia di dalam menjalankan

tugasnya, syarat-syarat

keikutsertaan warga negara dalam

usaha pertahanan dan keamanan

Page 244: HUKUM PERUNDANG

231

negara, serta hal-hal yang terkait

dengan pertahanan dan keamanan

diatur dengan undang-undang.

Pasal 31 (3) UUD 1945

Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional, yang

meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia

dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, yang diatur

dengan undang-undang.

Pasal 33 (5) UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut mengenai

pelaksanaan pasal ini diatur

dalam undang-undang.

Pasal 34 (4) UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut mengenai

pelaksanaan pasal ini diatur

dalam undang-undang.

Pasal 36C UUD 1945:

Ketentuan lebih lanjut mengenai

Bendera, Bahasa, dan Lambang

Negara, serta Lagu Kebangsaan

diatur dengan undang-undang.

Sumber: Penulis

12.5.4. Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu)

Dalam KRIS dan UUDS Tahun 1950 Perppu disebut dengan

istilah UU Darurat.203

Istilah UU Darurat ini menggambarkan

203

Lihat Pasal 139 KRIS, dan Pasal 96 UUDS.

Page 245: HUKUM PERUNDANG

232

pengertiannya sebagai emergency law (emergency legislation).204

Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan diatur

dalam Pasal 22 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa: (1) dalam hal

ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan

Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2)

Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak

mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

Selanjutnya

Dengan demikian dari rumusan pasal tersebut ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan dari segi kedudukan dan keberadaan

Perppu:205

1. bahwa dilihat dari segi jenis/bentuknya Perppu adalah

Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945, Namun dalam

keadaan yang memaksa peraturan pemerintah itu, dari

segi materinya dapat memuata ketentuan-ketentuan yang

sama dengan UU;

2. Dalam UUD Tahun 1945 tidak ada istilah resmi terkait

Perppu, sehinggadapat ditafsirkan bahwa istilah perppu

dapat diganti dengan UU Darurat misalnya;

3. Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden apabila ada

kegentingan yang memaksa, yang tidak boleh dicampur

adukkan dengan pengertian keadaan bahaya. Dalam

pengertian “kegentingan yang memaksa” terkandung sifat darurat atau emergency yang memberi dasar

kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu.

Emergency itu sendiri timbul dari penilaian subyektif

204

Jimly Assidiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah

Perubahan keempat, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara,Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, hlm.29 205

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 63, lihat juga

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi

Press, hlm. 80-87.

Page 246: HUKUM PERUNDANG

233

Presiden belaka mengenai tuntutan keadaan mendesak

untuk bertindak cepat dan tepat mengatasi keadaan

tersebut (noodverordeningsrecht).

4. Pada dasarnya Perppu sederajat dengan atau memiliki

kekuatan yang sama dengan UU, DPR harus aktif

mengawasi baik dalam penetapan maupun pengawasan

Perppu;

5. Perppu bersifat sementara.

Hal lainnya juga yang membedakan Perppu dan UU menurut

Bagir Manan adalah mengenai sifat pengaturan kedua produk hukum

tersebut. Jika UU adalah merupakan produk tindakan pengaturan

kenegaraan , sedangkan Perppu merupakan tindakan produk

pengaturan yang bersifat pemerintahan.206

Namun pendapat tersebut

menurut Jimly Assidiqie tidaklah tepat karena banyak juga UU yang

dibentuk berkaitan dengan kepentingan pemerintahan dan karena itu

dapat dikatakan sebagai tindakan pemerintahan. Misalnya,

pembentukan UU tentang pemekaran suatu kabupaten atau provinsi

tertentu jelas berkaitan dengan pemerintahan.207

Selanjutnya dalam Pasal 11 UU NO.12/2011menyebutkan

bahwa Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Dengan

demikian apa yang menjadi materi muatan Perppu adalah sama

dengan materi muatan UU sebagaimana telah disebutkan diatas.

12.5.5. Materi Muatan Peraturan Pemerintah

Dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan :

Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan

undang-undang sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut

menegaskan bahwa PP hanya dapat ditetapkan oleh Presiden jika ada

UU induknya. Kewenangan Presiden untuk menetapkan PP adalah

206

Ibid., hlm. 83. 207

Ibid.

Page 247: HUKUM PERUNDANG

234

merupakan salah satu wujud dari fungsi Presiden sebagai kepala

pemerintahan, yakni kepala kekuasaan eksekutif dalam negara,

sehingga dalam rangka menjalankan UU , Presiden mempunyai

kekuasaan untuk menetapkan PP ( pouvoir reglementair).

Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 12 UU 12/ 2011 yang

menentukan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi

untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan

demikian maka PP berisi pengaturan lebih lanjut dari UU. J.A.H

Logemann mengatakan: Dit is een zeer ruime bevoegheid, maar het

moet uitvoering blijven, geen aan vulling ( ini adalah suatu

kewenangan yang sangat luas, tetapi ia (PP) harus tetap sebagai

pelaksana belaka, tidak ada penambahan).208

Terkait materi yang memuat sanksi pidana, atau pemaksa,

bila UU tidak mencantumkannya maka dalam PP tidak boleh

mencantumkan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.

12.5.6. Materi Muatan Peraturan Presiden

Pasal 13 UU NO.12/2011menyebutkan bahwa materi muatan

Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-

Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau

materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan

pemerintahan.

12.5.7. Materi Muatan Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan

Daerah Kabupaten

Dalam Pasal 14 UU NO.12/2011 disebutkan bahwa Materi

muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi

khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi.

208

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‟a, op.cit., hlm. 66.

Page 248: HUKUM PERUNDANG

235

Sedangkan dalam Pasal 236 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa: Untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah

membentuk Perda. Selanjutnya dalam Pasal 236 ayat (3) ditentukan

bahwa: Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi

muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas

Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Dalam ayat (4) : Selain materi muatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun khusus untuk materi yang terkait dengan ketentuan

pidana, Pasal 15 UU 12 /2011 menentukan:

(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat

dalam:

a. Undang-Undang;

b. Peraturan Daerah Provinsi; atau

c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6

(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah).

(3)Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur

dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Selain rumusan dalam UU NO.12/2011penjabaran lebih

lanjut tentang materi muatan Perda Propinsi dan Perda Kabupaten

diatur lebih lanjut dalam Permendagri Nomor 80 Tahun 2015. Dalam

Pasal 4 ayat (2) Permendagri No.80 Tahun 2015 menentukan bahwa

materi muatan Perda adalah:

a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;

Page 249: HUKUM PERUNDANG

236

dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan bahwa selain materi

muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perda dapat memuat

materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Selanjutnya dalam Pasal 5 ditentukan bahwa Perda

provinsi memuat materi muatan untuk mengatur:

a. kewenangan provinsi;

b. kewenangan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota

dalam satu provinsi;

c. kewenangan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota

dalam satu provinsi;

d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas

daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan/atau

e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien

apabila dilakukan oleh daerah provinsi.

Perda kabupaten/kota memuat materi muatan untuk mengatur:

a. kewenangan kabupaten/kota;

b. kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota;

c. kewenangan yang penggunanya dalam daerah

kabupaten/kota;

d. kewenangan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya

dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau

e. kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien

apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.

Selain materi tersebut, dalam Pasal 5 Permendagri Nomor 80

Tahun 2015 disebutkan bahwa ada materi lain yang dapat dimuat

dalam Perda yaitu:

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya

paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian

Page 250: HUKUM PERUNDANG

237

kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6

(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat

mengembalikan pada keadaan semula dan sanksi administratif.

(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan;

d. penghentian tetap kegiatan;

e. pencabutan sementara izin;

f. pencabutan tetap izin;

g. denda administratif; dan/atau

h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

12.6. Penutup

Resume.

Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia,

mulai jaman penjajahan Belanda hingga pasca reformasi terdapat

berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam UU

NO.12/2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangn

disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) jenis dan hierarci peraturan

perundang-undangan terdiri dari: UUD Tahun 1945, Ketetapan MPR,

UU/Perppu, PP, Perpres , Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. Selain

peraturan perundang-undangan yang terdapat didalam hierarchi juga

terdapat peraturan perundang-undangan diluar hierachi sebagaimana

yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.

Page 251: HUKUM PERUNDANG

238

Fungsi dari peraturan perundang-undangan secara umum

terbagi menjadi 2 yakni fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi

internal adalah: fungsi penciptaan hukum, fungsi pembahuaruan

hukum, fungsi integrasi pluralisme sistem hukum dan fungsi

kepastian hukum. Sedangkan fungsi eksternal meliputi: fungsi untuk

melakukan perubahan, fungsi stabilitas dan fungsi kemudahan. Selain

fungsi tersebut masing-masing peraturan perundang-undangan juga

mempunya fungsi khusus sesuai dengan jenis peraturan perundang-

undangan tersebut.

Materi peraturan perundang-undangan berbeda-beda sesuai

dengan jenis peraturan perundang-undangan. Apa yang

merupakan materi muatan UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Propinsi

dan Perda Kabupaten telah diatur dalam UU 12/2011.

Latihan

1. Dalam UU NO.12/2011dikenal jenis peraturan perundang-

undangan di dalam hierarki dan diluar hierarki. Bagaimana

kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan diluar hierarki

tsb?

2. Jelaskan dan berikan contoh apa fungsi internal dari peraturan

perundang-undangan?

3. Jelaskan apa yang menjadi materi muatan Perda Provinsi?

12.7. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Asshiddiqie, Jimly,2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah

Perubahan keempat, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata

Negara,Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

----------- , Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press,2006

Attamimi, A.Hamid S,Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam penyelenggaraaan Pemerintahan Negara,

Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang

berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita

Page 252: HUKUM PERUNDANG

239

IV,untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990,

hlm.289. dalam I Gde Pantja Astawa, dan Suprin

Na‟a,Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di

Indonesia, 2008, Alumni,Bandung,

Attamimi, A. Hamid S. 1982, “Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan”, BPHN, Himpunan Bahan Penataran Latihan

Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan

Tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, Diterbitkan oleh Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,

Jakarta,

Utrecht, E, 1986, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi

Fotografi.

HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,

Jakarta, Konstitusi Press, 2008.

Indrati Soeprapto, Maria Farida , Ilmu Perundang-Undangan –Dasar-

dasar emebntukannya, Kanisius, Jogyakarta, 1998/

Manan, Bagir, Sleten, Perundang-undangan Indonesia, Makalah,

Jakarta, 1993.

Manan, Bagir , Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional,

Makalah, Jakarta, 1994,

Martosoewignyo, H.R.Soemantri , Prosedur dan Sistem Perubahan

Konstitusi ( Sebelum dan Sesudah Perubahn UUD 1945),

Bandung, Alumni, 2006.

Rajagukguk, Erman, dalam Kongres Internasional ke-15 Mengenai

Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia Depok, Kamis (29 Juni Tahun 2006)

diartikan sebagai sebagai situasi dimana terdapat dua atau

lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan

sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas

masyarakat.

Utrecht. E. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.

Universitas, Bandung,dikutip dari https://e-

Page 253: HUKUM PERUNDANG

240

kampushukum.co.id/2016/05/tata-hukum-di-indonesia-pada-

masa-voc.html

Trijono, Rahmat, 2013. Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-

undangan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta,

Wheare, K.C. 1975, Modern Constitution, Oxford University Press,

Oxford.

Internet

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15089/pluralisme-

hukum-harus-di

http://kbbi.kata.web.id/jenis/

http://kbbi.web.id/bentuk

http://www.bphn.go.id/data/documents/ae_peraturan_perundang_und

angan_peninggalan_kolonial_belanda.pdf

Page 254: HUKUM PERUNDANG

241

PERTEMUAN XIII :

TUTORIAL VI

JENIS, FUNGSI DAN MATERI MUATAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

13.1. Pendahuluan.

Dalam pertemuan kedua ini, mahasiswa berdiskusi mengenai

Peraturan Desa (Perdes). Setelah melakukan tutorial ini, mahasiswa

diharapkan memahami salah satu jenis peraturan perundang-

undangan yakni perdes, terkait kedudukan,fungsi dan materi

muatannya. Materi tutorial ini sangat penting sebagai landasan untuk

memahami bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan

selanjutnya. Karena itu, dalam tutorial ini mahasiswa harus

mendiskusikan mengenai Perdes yang terdapat dalam penyajian

materi Problem Task.

13.2. Penyajian Materi: Problem Task.

Peraturan Desa

Sebelum berlakunya UU NO.12/2011tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yakni dalam UU 10/2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal satu jenis

peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal

7 ayat (1) yakni Peraturan Desa (Perdes). Berdasarkan Pasal 1 angka

8 Peraturan Desa /peraturan yang setingkat adalah Peraturan

Perundangundangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau

nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Dari

segi hierarchinya kedudukan Perdes adalah berada dibawah Perda

Kabupaten. Namun setelah UU 10/2004 diganti dengan UU

NO.12/2011Peraturan Desa tidak lagi ada dalam hierarchi peraturan

perundang-undangan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pasal

7 ayat (1) UU 12/2011. Namun dalam Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa muncul kembali pengaturan Perdes.

Page 255: HUKUM PERUNDANG

242

Pertanyaan:

1. Bagaimana kedudukan Perdes dalam sistem hukum

perundang-undangan Indonesia setelah berlakunya UU

12/2011?

2. Apa Fungsi dari Perdes?

3. Apa yang menjadi materi muatan Perdes?

13.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Problem Task tersebut di atas

dideskripsikan adanya jenis-jenis peraturan perundang-undangan

yang diatur dalam UU NO.12/2011, dimana Perdes tidak disebut

dengan jelas dan tegas didalam hierarchi peraturan perundang-

undangan.

Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan

kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan

dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa pemimpin diskusi (discussion

leader) dan pencatat (note taker), siapa yang aktif, dan alokasi waktu

selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan pada saat

berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

13.4. Bahan bacaan/ Rujukan Pengayaan

Lihat bahan bacaan pada perkuliahan diatas.

Page 256: HUKUM PERUNDANG

243

PERTEMUAN XIV :

PERKULIAHAN KETUJUH

PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

14.1. Pendahuluan

Pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan

kegiatan membentuk peraturan perundang-undangan yang melalui

tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan. Peraturan perundang-undangan

memiliki cakupan sangat luas karena banyak jenisnya. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, jenis

peraturan perundang-undangan terdiri dari: UUD 1945; Tap MPR

(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat); UU/Perppu (Peraturan

Pemerintah Pengganti UU); PP (Peraturan Pemerintah); Perpres

(Peraturan Presiden); Perda Provinsi (Peraturan Daerah Provinsi); dan

Perda Kabupaten/Kota. Selain itu, juga termasuk jenis peraturan

perundang-unangan yaitu peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR

(Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MA

(Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan

Pemeriksa Keuangan), KY (Komisi Yudisial), BI (Bank Indonesia),

Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi

(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi), Gubernur, DPRD

Kabupaten/Kota (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota), Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Tetapi, hal itu sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Karena itu, proses pembuatan peraturan perundang-undangan

meliputi proses pembuatan seluruh jenis peraturan perundang-

undangan tersebut. Namun dalam buku ajar ini dideskripsikan proses

pembuatan UU, PP, Perpres, dan pembuatan Perda serta partisipasi

Page 257: HUKUM PERUNDANG

244

masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah

berakhirnya perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami

mengenai proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan Perda serta

mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan tersebut. Materi perkuliahan ini sangat penting

bagi bahan kajian pembelajaran pada pertemuan-pertemuan

selanjutnya yaitu pengawasan dan pengujian peraturan perundang-

undangan karena proses pembuatan merupakan bagian dari lungkup

pengawasan.

14.2. Capaian pembelajaran & Indikator Capaian

Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini,

mahasiswa mmemahami proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan

proses pembuatan Perda serta mekanisme penyampaian partisipasi

masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan

tersebut.

Capaian pembelajaran tersebut akan dievaluasi menggunakan

indikator capaian, yaitu mahasiswa mampu:

a. menjelaskan proses pembuatan UU dan menuangkan proses

tersebut ke dalam bentuk bagan alir;

b. menjelaskan proses pembuatan PP dan Perpres dan membuat

ilustrasi dalam bentuk bagan proses pembuatan PP, dan

Perpres;

c. menjelaskan proses pembuatan Perda dan menuangkan

proses tersebut ke dalam bentuk bagan alir; dan

d. menguraikan bentuk dan mekanisme partisipasi masyarakat

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, terutama

dalam pembuatan UU dan Perda.

14.3. Proses Pembuatan Undang-Undang

Pasal 1 angka 1 UU NO.12/2011menentukan bahwa proses

pembuatan peraturan perundang-undangan terdiri dari 5 (lima)

Page 258: HUKUM PERUNDANG

245

tahapan, yaitu: perencanaan; penyusunan; pembahasan; pengesahan

atau penetapan; dan pengundangan. Dalam pembuatan UU (Undang-

Undang), sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 21, dan

Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 (Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945), prakarsa pembuatan tersebut dapat

datangnya dari pihak Presiden, anggota DPR atau dari DPD. Pasal 5

ayat (1) dengan tegas menentukan bahwa Presiden berhak

mengajukan RUU (Rancangan UU) kepada DPR. Pasal 21

menentukan bahwa anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.

Pasal 22D ayat (1) menentukan bahwa DPD dapat mengajukan

kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah.

14.3.1. Tahap Perencanaan dan Penyusunan RUU.

Perencanaan penyusunan UU ditentukan dalam Pasal 16

sampai dengan Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011, dan Pasal 3 sampai

dengan Pasal 26 Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. Perencanaan RUU meliputi

kegiatan:

a. penyusunan NA (Naskah Akademik);

b. penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional) jangka

menengah;

c. penyusunan Prolegnas prioritas tahunan;

d. perencanaan penyusunan RUU kumulatif terbuka; dan

e. perencanaan penyusunan RUU di luar Prolegnas.

14.3.2. Penyusunan Prolegnas.

Langkah awal dalam hal akan membentuk UU yaitu

penyusunan Prolegnas, bukan penyusunan NA. Penyusunan NA baru

Page 259: HUKUM PERUNDANG

246

dilakukan jika RUU yang akan disusun tercantum di dalam

Prolegnas. Di dalam Prolegnas itulah dilakukan perencanaan

penyusunan UU. Di situ terdapat daftar RUU yang akan disusun dan

ditetapkan skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka

mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas terdiri dari Prolegnas

yang ditetapkan untuk jangka menengah dan Prolegnas untuk

prioritas tahunan.

Pasal 20 ayat (1) UU 12/ 2011 menentukan bahwa

penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.

Selain itu, penyusunan Prolegnas juga dilakukan oleh DPD. Hal itu

sesuai dengan Putusan MK No. 92/PPU-X/2012 Perkara Pengujian

UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU

MD3) dan UU 12/2011.209

Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR

dikoordinasikan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan

mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD,

dan/atau masyarakat.210

Ketentuan mengenai tata cara penyusunan

Prolegnas diatur di dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2016

tentang Tata Cara Penusunan Program Legislasi Nasional

DPD berwewenang menyusun Prolegnas mengenai

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan, dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber

daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan

keuangan pusat dan daerah bersama DPR dan pemerintah.

Penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh Panitia Perancang

Undang-Undang, selanjutnya diusulkan kepada DPR dan Pemerintah.

Tata cara dan mekanisme penyususnan Prolegnas oleh DPD terdapat

209

Putusan MK No. 92/PPU-X/2012 menetapkan bahwa Pasal 20 ayat

(1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

sepanjang tidak dimaknai “penyusunan Program Legislasi Nasional dilakukan oleh DPR, DPD, dan pemerintah.”

210 Pasal 22 huruf d dan Pasal 65 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014

tentang Tata Tertib.

Page 260: HUKUM PERUNDANG

247

dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah

dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan ditetapkan

dalam rapat paripurna DPR. Hasil penyusunan Prolegnas disepakati

menjadi Prolegnas jangka menengah dan Prolegnas prioritas tahunan

setelah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Ketentuan penyusunan

Prolegnas di lingkungan pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden

Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Prolegnas adalah instrumen perencanaan program

pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan

sistematis. Dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar RUU

yang akan disusun berdasarkan pada211

:

a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. perintah Undang-Undang lainnya;

d. sistem perencanaan pembangunan nasional;

e. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f. rencana pembangunan jangka menengah;

g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;dan

h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b diterangkan bahwa

yang dimaksud dengan “Ketetapan MPR” adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR-RI Nomor: I/MPR/2003

211

Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 11 ayat (2) Perpres No. 87

Tahun 2014, Pasal 109 ayat (8) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014, dan Pasal

112 ayat (5) Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014.

Page 261: HUKUM PERUNDANG

248

tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,

tanggal 7 Agustus 2003.

Prolegnas memuat program pembentukan UU berupa daftar

RUU yang akan disusun, yang meliputi: judul RUU; materi yang

diatur; dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan

lainnya. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan

perundang-undangan lainnya merupakan keterangan mengenai

konsepsi RUU yang terdiri dari: latar belakang dan tujuan

penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah

pengaturan. Materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan

dituangkan dalam NA.212

Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan

berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU. Penyusunan dan

penetapan Prolegnas jangka menengah (jangka waktu 5 tahun)

dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR. Prolegnas untuk jangka

menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan

penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Penyusunan

dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan

Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum

penetapan RUU tentang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara)213

.

Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri

atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan

MK; c. APBN; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e.

penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

212

Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 87

Tahun 2014. 213

Pasal 20 UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 12 ayat (2) Perpres No. 87

Tahun 2014.

Page 262: HUKUM PERUNDANG

249

Undang214

. Dalam Penjelasan Pasal 23 Ayat (1) huruf a ditegaskan

bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas

dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan

perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan

DPR. Dalam keadaan tertentu, DPR, Presiden atau DPD dapat

mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau

bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi

nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh

Badan Legislasi DPR, Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia dan Panitia Perancang UU.

RUU yang diajukan di luar Prolegnas tersebut disertai

konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:

a. urgensi dan tujuan penyusunan;

b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan

d. jangkauan dan arah pengaturan.

Penyusunan Prolegnas antara DPR, Pemerintah, dan DPD

dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan Legislasi. Hasil

penyusunan Prolegnas yang disepakati menjadi Prolegnas,

selanjutnya dilaporkan oleh Badan Legislasi dalam rapat paripurna

DPR untuk ditetapkan dengan Keputusan DPR. Prolegnas yang sudah

ditetapkan tersebut disampaikan untuk disebarluaskan oleh: a. Badan

Legislasi DPR kepada anggota, Fraksi, komisi, dan masyarakat; b.

Pimpinan DPR kepada pimpinan DPD; dan c. Menteri Hukum dan

214

Pasal 23 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Pasal 22 ayat (2) Perpres

No. 87 Tahun 2014, Pasal 111 ayat (3) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014,

dan Pasal 117 ayat (1) Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014.

Page 263: HUKUM PERUNDANG

250

Hak Asasi Manusia kepada instansi Pemerintah dan masyarakat.

Penyebarluasan Prolegnas kepada masyarakat dilakukan melalui

media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.

Mekanisme penyusunan Prolegnas diilustraikan dengan

diagram alir di bawah ini.

PEMERINTAH

Usulan Kementerian

dan/atau

Lembaga Non-

Kementerian.

Dikoordinasikan oleh

Menkum dan HAM

DPR

Usulan Fraksi,

Komisi, Anggota,

dan/atau

Masyarakat.

Dikoordinasikan oleh

Badan Legislasi

DPD

Usulan Anggota

dan/atau

Masyarakat.

Dikoordinasikan oleh

Panitia Perancang

UU

DIKOORDINASIKAN OLEH DPR MELALUI BADAN

LEGISLASI

RAPAT PARIPURNA

DPR

PROLEGNAS(Ditetapkan dengan

Keputusan DPR)

PENYEBARLUASAN

PROLEGNAS

Page 264: HUKUM PERUNDANG

251

14.3.3. Penyusunan Naskah Akademik

Penyusunan NA (Naskah Akademik)215

dilakukan oleh

Pemrakarsa ialah dari pihak pemerintah, anggota DPR, atau dari DPD

dengan mengikuti ketentuan yang sudah baku sebagaimana tercantum

dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 yang merupakan bagian

tidak terpisahkan dari UU ini. Penyusunan NA di lingkungan

pemerintah dinyatakan di dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres No. 87

Tahun 2014 bahwa penyusunan NA merupakan salah satu kegiatan

dalam perencanaan penyusunan RUU. Penyusunan NA RUU

dilakukan oleh pemrakarsa berkoordinasi dengan Menteri. Menteri

melakukan penyelarasan NA yang diterima dari pemrakarsa.

Penyelarasan dilakukan terhadap sistematika dan materi muatan

dalam rapat penyelarasan dengan mengikutsertakanpemangku

kepentingan. Menteri menyampaikan NA yang sudah selesai

diselaraskan tersebut kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan

hasil penyelarasan. NA beserta dengan surat keterangan peyelarasan

dari menteri harus dilampirkan pada daftar RUU dalam Prolegnas

jangka menengah untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas prioritas

tahunan. Demikian pula dalam hal pemrakarsa mengusulkan kepada

menteri untuk menyusun RUU yang termasuk dalam kumulatif

terbuka. Kewajiban tersebut tidak berlaku terhadap penyusunan RUU

mengenai RAPBN dan penetapan atau pencabutan Perppu.

Penyusunan NA di lingkungan DPR-RI selain mengikuti

ketentuan teknis di dalam Lampiran I UU 12/2011, ada pula

ketentuan di dalam Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib. Dalam Pasal 109 ayat (9) ditentukan bahwa penyusunan dan

215

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian

hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah

tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai

solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Pasal 1

angka 11 UU No. 12 Tahun 2011)

Page 265: HUKUM PERUNDANG

252

penetapan Prolegnas prioritas tahunan memperhatikan pelaksanaan

prolegnas tahun sebelumnya, tersusunnya naskah RUU, dan/atau

tersusunnya NA. NA juga merupakan konsepsi pengaturan RUU yang

diajukan di luar Prolegnas.216

Selanjutnya, dalam Pasal 115 ditentukan bahwa anggota,

komisi, atau gabungan komisi dalam mempersiapkan RUU terlebih

dahulu menyusun NA mengenai materi yang akan diatur dalam RUU

tersebut. Penyusunan RUU tentang APBN, penetapan Perppu menjadi

UU, pengesahan perjanjian interasional atau RUU perubahan yang

terbatas mengubah beberapa materi dapat disertai dengan NA.

Artinya bahwa dalam penyusunan RUU tersebut tidak wajib disertai

dengan NA. NA suatu RUU dilengkapi dengan lampiran draf awal

RUU dimaksud.

Penyusunan NA di lingkungan DPD-RI ditegaskan di dalam

Peraturan DPD-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib bahwa

penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan dilakukan

dengan memperhatikan pelaksanaan prolegnas tahun sebelumnya,

tersusunnya NA dan/atau tersusunya naskah RUU.217

Kemudian Pasal

121 menegaskan pula bahwa Komite atau Panitia Perancang UU

dalam mempersiapkan RUU terlebih dahulu menyusun NA mengenai

materi RUU tersebut. Dalam menyusun draf NA dilakukan rangkaian

kegiatan akademis seperti mempelajari fenomena sendiri melalui

studi pendahuluan, pendalaman, studi empirik, atau studi referensi

pada Negara lain.

Proses atau mekanisme dalam penyusunan NA di lingkungan

Pemerintah, DPR dan DPD bersifat baku karena harus mengikuti dan

sesuai dengan landasan hukumnya, yaitu Perpres No. 87 tahun 2014

untuk lingkungan Pemerintah, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014, dan

Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 masing-masing untuk penyusunan

216

Pasal 111 ayat (1) dan (2) Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014

tentang Tata Tertib. 217

Pasal 112 ayat (6) Peraturan DPD-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib.

Page 266: HUKUM PERUNDANG

253

NA di lingkungan DPR-RI dan DPD-RI. Selain itu, juga harus sesuai

dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011. Dengan demikian tidak

ada standar proses penyusunan NA yang bersifat umum, yang dapat

diikuti oleh setiap pihak yang akan menyusun NA.

Dalam kaitan itu B. Hestu Cipto Handoyo mengemukakan

ada 2 (dua) cara dalam proses penyusunan NA yang biasanya diikuti,

yaitu: pertama, mendahulukan penjaringan aspirasi; kedua,

mendahulukan menyusun NA218

. Dalam hal proses penyusunan NA

mengikuti cara yang pertama, maka lebih dahulu dilakukan

penjaringan aspirasi melalui seminar, lokakarya, focus group decision

(FGD) maupun expert meeting forum. Setelah itu dilakukan diskusi

internal Tim penyusun NA untuk memformulasikan masukan yang

diperoleh dalam penjaringan aspirasi guna disusun menjadi draf awal

NA. Langkah berikutnya yaitu melakukan diskusi publik yang diikuti

oleh para stakeholders untuk mendapatkan masukan terhadap draf

awal NA dan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan

disusun. Diskusi publik itu ditindaklanjuti dengan diskusi internal

Tim penyusun NA untuk memformulasikan masukan yang diperoleh

dalam diskusi publik. Jika pertemuan-pertemuan untuk

penyempurnaan draf awal NA sudah dipandang cukup, maka

dilakukan finalisasi NA. Kemudian, NA final ini diajukan kepada

pihak pemrakarsa: Pemerintah, DPR, atau DPD untuk mendapatkan

tanggapan. Tanggapan tersebut diakomodasikan untuk

penyempurnaan NA final, terutama penyesuaian dengan sistematika

yang ditentukan dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011. Tahap

paling akhir yaitu uji sahih NA dan rancangan peraturan perundang-

undangan melalui forum penjaringan aspirasi tersebut di atas.

Proses penyusunan NA menggunakan model kedua

merupakan kebalikan dari cara pertama. Dalam hal ini draf awal NA

yang disusun lebih dahulu, selanjutnya baru dilakukan penjaringan

218

B. Hestu Cipto Handoyo; 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan

Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, hlm. 201-

205.

Page 267: HUKUM PERUNDANG

254

aspirasi atas draf awal NA tersebut. Untuk itu, Tim Penyusun lebih

dahulu melakukan inventarisasi permasalahan dan mengumpulkan

bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun draft awal NA.

Setelah draf awal NA tersusun, maka Tim melakukan berbagai

pertemuan untuk menyempurnakan, sebagaimana langkah-langkah

pada proses penyusunan NA cara yang pertama.

Sementara itu, Sirajudin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain

menintrodusir suatu model penyusunan NA yang berbasis pada

agenda ROCCIPI219

, yaitu proses penyusunan NA melalui metode

partisipatif. Proses penyusunan NA partisipatif tersebut

dideskripsikan dengan diagram alir, sebagai berikut220

.

219

ROCCIPI merupakan identifikasi 7 (tujuh) faktor yang acap kali

menimbulkan masalah atas keberlakuan peraturan perundang-undangan.

Ketujuh factor tersebut diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: faktor subyektif

yang terdiri dari Interest dan Ideology; dan faktor obyektif meliputi Rule,

Opportunity, Capacity, Communication, dan Process. Lihat Sirajuddin dkk;

2015, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, hlm.

188. 220

Diadaptasi dari Sirajuddin dkk, Ibid. hlm. 190.

TAHAP PERSIAPAN:

Pembentukan Tim Penyusun NA,

Pengumpulan data dan informasi,

Penyusunan agenda, dan pembagian

tugas serta persiapan-persiapan teknis

TAHAP PPELAKSANAAN

PENYUSUNAN NA:

Penyusunan sistematika draf NA,

penyusunan draf awal NA

DISKUSI PUBLIK:

Menginformasikan draf NA,

menghimpun masukan-masukan dari

berbagai pihak

EVALUASI DRAF NA:

Mengininventarisasi masukan-

masukan, mengakomodir masukan-

masukan yang bermanfaat ke dalam

draf NA

FINALISASI/PENETAPAN

DRAF NA

MENGAJUKAN NA KEPADA

PEMRAKARSA:

Menyampaikan NA kepada Pemerintah, DPR

atau DPD sebagai bahan masukan atau

pertimbangan dalam pembahasan rancangan

peraturan perundang-undangan.

Page 268: HUKUM PERUNDANG

255

14.3.4. Penyusunan RUU yang berasal dari Presiden.

Pasal 47 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa RUU

yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan

LPNK (lembaga pemerintah nonkementerian) sesuai dengan lingkup

tugas dan tanggung jawabnya. Artinya bahwa walaupun hak untuk

mengajukan RUU menjadi domain Presiden, namun tidaklah Presiden

yang menyiapkan, melainkan Menteri yang terkait. Misalnya Presiden

merencanakan akan menyusun RUU mengenai pendidikan tinggi,

maka ditugaskan kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan

Tinggi untuk menyiapkan RUU tersebut. Hal itu sesuai dengan

ketentuan Pasal 17 bahwa menteri-menteri membantu Presiden dalam

bidang urusan tertentu pemerintahan. Selain Menteri, pimpinan

LPNK juga dapat menyiapkan RUU. Misalnya Badan Keamanan

Laut Republik Indonesia (Bakamla), salah satu dari LPNK yang ada

saat ini221

dapat sebagai pemrakarsa untuk menyusun RUU di

bidangnya.

Dalam menyusun RUU, menteri atau pimpinan LPNK

membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.

RUU tersebut dilakukan pengharmonisan, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia.

RUU dari Presiden diajukan kepada pimpinan DPR dengan

surat Presiden yang berisi penunjukan menteri yang ditugasi

mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan bersama DPR.

Pembahasan mulai dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60

(enam puluh) hari terhitung sejak surat presiden diterima. Untuk

keperluan pembahasan tersebut, menteri atau pimpinan LPNK

pemrakarsa memperbanyak naskah RUU dalam jumlah yang

diperlukan. Apabila dalam satu masa sidang, DPR dan Presiden

221 Saat ini terdapat tidak kurang dari 31 LPNK. Lihat:

https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemerintah_Nonkementerian ,

http://www.markijar.com/2016/06/lembaga-pemerintahan-kementrian-dan-

non.html.

Page 269: HUKUM PERUNDANG

256

menyampaikan RUU mengenai materi yang sama, maka yang dibahas

yaitu RUU yang disampaikan oleh DPR. RUU yang diajukan oleh

Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.222

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RUU diatur

dengan Peraturan Presiden223

.

Dalam Perpres No. 87 Tahun 2014 terdapat ketentuan

mengenai penyusunan RUU daftar kumulatif terbuka dan penyusunan

RUU di luar Prolegnas. RUU yang termuat di dalam daftar kumulatif

terbuka terdiri atas:

a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi

dan/atau Kabupaten/Kota; dan

e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang.

Namun, tidak setiap RUU yang disebutkan di dalam daftar

kumulatif terbuka tersebut serta merta dapat disusun oleh pemrakarsa.

Sebab di antaranya terdapat RUU yang penysunannya memerlukan

izin dari Presiden terlebih dahulu, yaitu RUU mengenai pengesahan

perjanjian internasional tertentu; dan pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. Artinya

bahwa jika pemrakarsa hendak menyusun salah satu dari kedua jenis

RUU tersebut, maka harus mengajukan permohonan izin kepada

Presiden terlebih dahulu. Permohonan izin tersebut disertai dengan

penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU, yang meliputi:

urgensi dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan;

222 Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011.

223Pasal 47 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011.

Page 270: HUKUM PERUNDANG

257

pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan

serta arah pengaturan224

.

Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 Perpres No. 87 Tahun 2014

menentukan tata cara mempersiapkan RUU dari pihak Presiden.

Penyusunan RUU diawali dengan pembentukan Panitia

antarkementerian dan/atau antarnonkementerian oleh Pemrakarsa

sebelum RUU ditetapkan dalam daftar Prolegnas prioritas tahunan.

Keanggotaan Panitia terdiri dari kementerian yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang hukum Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia); kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian

dan/atau lembaga lain yang terkait dengan substansi yang diatur

dalam RUU; dan perancang peraturan perundang-undangan yang

berasal dari instansi Pemrakarsa. Selain itu, dalam kepanitiaan juga

dapat mengikutsertakan ahli hukum, praktisi, atau akademisi yang

menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi RUU. Panitia

dipimpin seorang ketua yang ditunjuk oleh Pemrakarsa. Kepala biro

hukum atau kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di

bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga Pemrakarsa,

secara fungsional bertindak sebagai sekretaris panitia. Sekretaris

panitia bertugas dan bertanggung jawab melakukan penyiapan naskah

RUU, NA, dan materi pendukung lainnya sebagai bahan pembahasan

panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.

Kegiatan penyusunan RUU meliputi penyiapan, pengolahan,

dan perumusan. Hal itu dilakukan oleh biro hukum atau satuan kerja

yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-

undangan pada instansi Pemrakarsa. Hasil penyusunan RUU tersebut,

disampaikan kepada panitia untuk dilakukan pembahasan. Anggota

panitia memberi masukan terhadap RUU sesuai dengan lingkup tugas

masing-masing. Anggota panitia wajib menyampaikan laporan

kepada dan/atau meminta arahan dari menteri/pimpinan lembaga

pemerintah nonkementerian, atau pimpinan lembaga terkait masing-

224

Pasal 22 Perpres No. 87 Tahun 2014.

Page 271: HUKUM PERUNDANG

258

masing mengenai perkembangan penyusunan RUU dan/atau

permasalahan yang dihadapi. Ketua panitia melaporkan

perkembangan penyusunan RUU dan/atau permasalahan yang

dihadapi kepada Pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau

arahan. Selanjutnya menyampaikan kepada Pemrakarsa hasil

perumusan akhir RUU yang sudah mendapatkan paraf persetujuan

seluruh anggota Panitia dan disertai dengan penjelasan atau

keterangan secukupnya.

Tahapan berikutnya yaitu Menteri melakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Hal

itu dimaksudkan untuk menyelaraskan RUU dengan: Pancasila, UUD

NRI Tahun 1945, dan UU lain serta penyelarasan teknik penyusunan

peraturan perundang-undangan; dan menghasilkan kesepakatan

terhadap substansi yang diatur dalam RUU.

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan dilakukan

dalam suatu rapat oleh Menteri dengan melibatkan wakil dari

Pemrakarsa, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian,

dan/atau lembaga lain terkait serta dapat mengikutsertakan peneliti

dan tenaga ahli termasuk dari lingkungan perguruan tinggi untuk

dimintakan pendapat yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan

dalam mengambil keputusan.

RUU yang telah disepakati tersebut disampaikan kepada

menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau

pimpinan lembaga terkait untuk mendapatkan paraf persetujuan pada

setiap lembar naskah RUU. Kemudian, Menteri menyampaikan

kepada Pemrakarsa hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi RUU yang telah mendapatkan paraf persetujuan

tersebut untuk disampaikan kepada Presiden. Dalam hal Presiden

berpendapat bahwa RUU masih mengandung permasalahan, maka

ditugaskan kepada Pemrakarsa dan Menteri untuk mengoordinasikan

kembali penyempurnaan RUU tersebut. RUU yang telah

disempurnakan itu disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Presiden

dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

Page 272: HUKUM PERUNDANG

259

tanggal diterimanya penugasan dengan tembusan kepada Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU

diatur dengan Peraturan Menteri.

Pemrakarsa menyampaikan usul penyusunan RUU yang

termasuk dalam daftar kumulatif kumulatif terbuka kepada Menteri.

Usulan tersebut harus melampirkan kesiapan teknis yang meliputi:

NA; surat keterangan penyelarasan NA dari Menteri; RUU; surat

keterangan telah selesainya pelaksanaan rapat panitia antar

kementerian dan/atau antar non-kementerian dari Pemrakarsa; dan

surat keterangan telah selesainya pengharmonisasian, pembulatan,

dan pemantapan konsepsi Ruu dari Menteri. Namun khusus untuk

penyusunan RUU mentgenai APBN dan penetapan/pencabutan

Perppu tidak perlu melampirkan NA dan surat keterangan

penyelarasan NA dari Menteri.

Penyusunan RUU di luar Prolegnas dilakukan oleh Presiden

untuk untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan

bencana alam; dan/atau keadaan tertentu lainnya yang memastikan

adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama

oleh Baleg dan Menteri. Pemrakarsa yang akan menyusun RUU di

luar Prolegnas terlebih dahulu harus mengajukan permohonan izin

prakarsa kepada Presiden. Permohonan izin tersebut disertai

penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU, yang meliputi:

urgensi dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan;

pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan

serta arah pengaturan.

Pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas apabila

sudah mendapatkan izin dari Presiden. RUU dimaksud disampaikan

kepada Menteri dengan melampirkan dokumen kesiapan teknis yang

meliputi:

a. izin prakarsa dari Presiden;

b. Naskah Akademik;

Page 273: HUKUM PERUNDANG

260

c. surat keterangan penyelarasan Naskah Akademik dari

Menteri;

d. Rancangan Undang-Undang;

e. surat keterangan telah selesai pelaksanaan rapat panitia

antarkementerian atau antarnonkementerian dari Pemrakarsa;

dan

f. surat keterangan telah selesai pengharmonisasian, pembulatan

dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dari

Menteri.

Selanjutnya, Menteri mengajukan usul RUU di luar

Prolegnas tersebut kepada Pimpinan DPR melalui Baleg untuk

dimuat dalam Prolegnas prioritas tahunan. Ketentuan mengenai tata

cara mempersiapkan RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

sampai dengan Pasal 54 seperti telah dideskripsikan di atas berlaku

secara mutatis mutandis terhadap penyusunan RUU Kumulatif

Terbuka dan RUU di Luar Prolegnas di Lingkungan Pemerintah.225

Proses penyusunan RUU dari Presiden yang dideskripsikan di

atas, diilustrasikan dengan diagram alir sebagai berikut226

.

225

Pasal 56 Perpres No. 87 Tahun 2014. 226

Diadaptasi dari Sirajuddin dkk, Op. Cit., hlm. 150.

Perguruan Tinggi/pihak ketiga

lainnya

PROLEGNAS Menyusun NA

Pembentukan

PANITIA

antarkementerian

KEGIATAN TEKNIS

PERANCANGAN di

departemen/LPNK

PERMEMINTAAN

PENDAPAT/

PERTIMBANGAN:

Menkumham,

Menteri, LPNK, dan

stakeholders

HARMONISASI:

Pejabat teknis yg menguasai

permasalahan substansi, ahli

hukum dari kementerian/

LPNK pemrakarsa,

kementerian terkait

PENGAJUAN RUU

kepada

menteri/pimpinan LPNK

pemrakarsa untuk

harmonisasi konsepsi

dan teknik penyusunan

ADA PERMASALAHAN:

- Harmonisasi kembali

- Diajukan kepada

Presiden untuk

diputuskan dan

reformulasi RUU

TIDAK ADA

PERMASALAHAN Diajukan ke DPR untuk

dibahas bersama (paling

lambat 60 hari sejak surat

Presiden diterima

RUU diajukan kepada

PRESIDEN

Page 274: HUKUM PERUNDANG

261

14.3.5. Penyusunan RUU yang berasal dari Anggota DPR.

RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,

gabungan komisi, atau Badan Legislasi DPR, atau DPD227

. RUU

dapat diajukan oleh 1 (satu) orang anggota atau lebih dan didukung

oleh anggota lain dengan membubuhkan tanda tangan. RUU yang

diajukan oleh komisi atau gabungan komisi ditetapkan terlebih

dahulu dalam rapat komisi atau rapat gabungan komisi. RUU disusun

berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan. Ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara mempersiapkan RUU diatur dalam Peraturan DPR

No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, dan Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib.

Anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi atau Badan

Legislasi dalam menyusun RUU lebih dahulu menyusun NA

mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. Tetapi, RUU

mengenai APBN, penetapan Perppu menjadi UU, pengesahan

perjanjian internasional, atau RUU yang hanya mengubah beberapa

materi UU tidak diharuskan menyusun NA lebih dahulu, melainkan

dapat disertai NA228

.

Penyusunan RUU di DPR yang dilakukan oleh anggota dapat

diajukan oleh 1 (satu) orang anggota tetapi didukung oleh anggota

lain dengan membubuhkan tanda tangan. Anggota dapat meminta

bantuan sistem legislasi dan masukan dari masyarakat dengan cara

menyebarluaskan RUU melalu media elektronik yang tersedia di

DPR untuk menyempurnakan konsepsi RUU. RUU yang telah

disusun disampaikan kepada Badan Legislasi DPR untuk dilakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU229

.

227

Pasal 8 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. 228

Pasal 115 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. 229

Pasal 112 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,

Pasal 9 dan 10 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undfang.

Page 275: HUKUM PERUNDANG

262

Penyusunan RUU di DPR yang diajukan oleh komisi,

gabungan komisi atau Badan Legislasi ditetapkan lebih dahulu dalam

rapat komisi, rapat gabungan komisi, atau rapat Badan Legislasi.

RUU tersebut disusun berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.

Kegiatan yang dilakukan dalam penyusunan RUU yaitu: perumusan

konsep RUU berdasarkan NA, pembahasan konsep RUU dan NA,

dan penyebarluasan. Penyusunan dilakukan paling lama 1 (satu) masa

sidang sejak tanggal berlakunya Prolegnas prioritas tahunan230

.

Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat

membentuk panitia kerja untuk menyusun RUU. Keanggotaan panitia

kerja didasarkan pada perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi

dan berjumlah paling banyak setengah dari julah anggota alat

kelengkapan DPR yang bersangkutan serta ditetapkan oleh alat

kelengkapan DPR yang membentuknya.

Panitia kerja dapat membentuk Tim Perumus untuk

merumuskan lebih lanjut RUU, dan melaporkan hasil kerja kepada

panitia kerja. Panitia kerja melaporkan hasil kerja di dalam rapat

komisi, rapat gabungan komisi, atau rapat Badan Legislasi, yang akan

mengambil keputusan setelah lebih dahulu melakukan pembacaan

RUU dan penyampaian pendapat fraksi. RUU yang sudah

mendapatkan persetujuan dalam rapat tersebut disampaikan kepada

Badan Legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan,

dan pemantapan konsepsi RUU. Apabila sudah mendapatkan

persetujuan dalam rapat Badan Legislasi, maka RUU tersebut

disampaikan kepada pimpinan DPR untuk diajukan dalam rapat

paripurna231

. Dalam penyusunan RUU, anggota, komisi, atau

gabungan komisi, dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai

bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi RUU.

230

Pasal 12 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. 231

Pasal 116 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,

Pasal 18 dan 19 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.

Page 276: HUKUM PERUNDANG

263

Keputusan dalam rapat paripurna atas pembahasan RUU

dapat berupa: persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan

perubahan, atau penolakan. Jika disetujui tanpa perubahan maka,

selanjutnya pimpinan DPR menyampaikan RUU tersebut kepada

Presiden dan pimpinan DPD (jika RUU termasuk dalam lingkup

kewenangan DPD). Sedangkan jika disetujui dengan perubahan maka

pimpinan DPR menugaskan kepada komisi, gabungan komisi, atau

Badan Legislasi untuk menyempurnakan kembali RUU. Setelah

penyempurnaan selesai maka RUU disampaikan kepada pimpinan

DPR, dan selanjutnya akan diajukan kepada Presiden dan DPD.

Anggota, komisi, gabungan komisi atau Badan Legislasi

dalam menyusun RUU dibantu oleh Badan Keahlian DPR dan dapat

meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panita kerja

untuk menyempurnakan konsepsi RUU232

. Selain itu juga dapat

meminta sistem pendukung legislasi dan pihak lain yang

berkompeten seperti: perguruan tinggi, lembaga pengkajian/

penelitian, dan/atau pakar tertentu233

. Untuk meminta masukan dari

masyarakat, maka dilakukan: penyebarluasan RUU melalui media

cetak dan/atau elektronik; rapat dengar pendapat umum; kunjungan

kerja ke daerah; atau kunjungan kerja ke luar negeri.

Badan Legislasi melakukan pengharmonisasian, pembulatan,

dan pemantapan konsepsi RUU meliputi substansi, aspek teknis, dan

asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan paling lama

20 (dua puluh) hari masa sidang sejak RUU diterima oleh Badan

Legislasi. Dalam hal RUU disampaikan pada akhir masa sidang

kurang dari 20 (dua puluh) hari masa sidang, maka sisa hari

dilanjutkan pada masa sidang berikutnya. Sedangkan apabila RUU

disampaikan pada masa reses, maka 20 (dua puluh) hari dihitung

sejak pembukaan masa sidang berikutnya. Badan Legislasi dapat

232

Pasal 116 dan 117 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib. 233

Pasal 11 Peraturan DPR No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.

Page 277: HUKUM PERUNDANG

264

membentuk panitia kerja untuk melakukan pengharmonisasian,

pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Jika Badan Legislasi

menemukan permasalahan berkaitan dengan teknis, substansi, asas-

asasa pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Badan

Legislasi membahas permasalahan tersebut dengan mengundang

pengusul234

. Proses penyusunan RUU di DPR secara ringkas

diragakan dengan diagram alir sebagai berikut.

14.3.6. Penyusunan RUU Prakarsa DPD.

Proses penyusunan RUU oleh DPD ditentukan dalam

Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Penyusunan

RUU merupakan tindaklanjut dari perencanaan penyusunan RUU

yang sudah ditetapkan di dalam Prolegnas. Untuk itu, Komite/Panitia

234

Pasal 118, 119, dan 120 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang

Tata Tertib.

PENYEMPURN

AAN RUU

RUU USUL ANGGOTA

Satu orang + dukungan

anggota lain dengan

tanda tangan

PROLEGNAS

RUU USUL KOMISI,

GABUNGAN KOMISI,

BALEG, DPD

NASKAH

PANITIA KERJA

PANITIA

PERUMUS RUU

MASUKAN

MASYARAKAT

Penyebarluasan

RUU, Rapat

Dengar Pendapat,

Kunker ke

daerah/luar

negeri

BALEG

Pengharmonisasian,

pembulatan,

pemantapan konsepsi

RUU: substansi, asas-

asas, aspek teknis.

Paling lama 20 hari.

PIMPINAN

DPR

RAPAT

PARIPURNA

Pembahasan

draf RUU

RUU

SETUJU dengan

perubahan RUU

SETUJU tanpa

perubahan RUU

Penyampaian RUU

kepada

PRESIDEN, DPD

PERTIMBANGAN

DPD atas RUU

Page 278: HUKUM PERUNDANG

265

Perancang UU melakukan langkah-langkah persiapan penyusunan

masing-masing RUU sesuai lingkup tugas dan kewenangan DPD.

Usulan penyusunan RUU dapat diajukan oleh 1 (satu) orang anggota

atau lebih dengan membubuhkan tanda tangan dukungan. Pengajuan

usulan dilakukan secara tertulis kepada pimpinan Panitia Perancang

UU untuk ditetapkan menjadi RUU. Usul RUU tersebut ditetapkan

terlebih dahulu dalam rapat Panitia Perancang UU235

.

Panitia Perancang UU dalam menyusun RUU dapat

membentuk tim kerja, yang keanggotaannya ditetapkan oleh Panitia

Perancang UU. Selain itu, juga berhak atas dukungan tim ahli, pakar,

narasumber, peneliti, perancang UU dan sekretariat Panitia Perancang

UU. Konsepsi dan materi RUU harus selaras dengan falsafah negara

Pancasila, dan UUD NRI 1945 (Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945) Karena itu lebih dahulu disusun NA

mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. NA yang dimaksud

disusun sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun

2011. Dalam penyusunan NA dilakukan rangkaian kegiatan akademis

baik dalam mempelajari fenomena sendiri melalui studi pendahuluan,

pendalaman, studi empirik, atau melalui studi referensi pada negara

lain. Di samping itu, dalam penyusunan RUU dapat pula dilakukan

uji sahih publik dan ulasan pakar melalui meminta masukan dari

masyarakat sebagai bahan bagi tim kerja untuk menyempurnakan

konsepsi RUU236

.

Langkah selanjutnya yaitu membahas RUU yang sudah

disempurnakan dan mengesahkan dalam Sidang Pleno Panitia

Perancang UU sebagai usul RUU dari Panitia Perancang UU. Usul

RUU yang sudah disahkan tersebut beserta NA disampaikan secara

tertulis kepada pimpinan Panitia Perancang UU. Kemudian, Panitia

Perancang UU melakukan kegiatan harmonisasi, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi terhadap usul RUU yang berasal dari Komite,

235

Pasal 118 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. 236

Pasal 119, 120, 121, dan 122 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014

tentang Tata Tertib.

Page 279: HUKUM PERUNDANG

266

diarahkan untuk mewujudkan keselarasan konsep usul RUU dengan

Pancasila, UUD Tahun 1945, tujuan nasional, dan memuat kesesuaian

unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis237

. Kegiatan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan dilakukan paling

cepat 3 (tiga) hari dan paling lama 10 (sepuluh) hari masa sidang

sejak Sidang Gabungan antara Panitia Perancangan UU dan Komite

dilaksanakan. Dalam hal RUU disampaikan pada akhir masa sidang

kurang dari 10 (sepuluh) hari, sisa hari dilanjutkan pada masa sidang

berikutnya238

.

Dalam rangkaian harmonisasi, pembulatan dan pemantapan

konsepsi usul RUU tersebut, Panitia Perancang Undang-Undang

mengadakan sidang gabungan dengan Komite yang mengusulkan

RUU untuk memperoleh penjelasan. Apabila Panitia Perancang UU

menemukan permasalahan yang berkaitan dengan substansi, maka

dilakukan pembahasan kembali bersama dengan Komite yang

bersangkutan atas permasalahan yang diketemukan. Sedangkan

apabila hasilnya menunjukkan urgensi perumusan kembali maka,

perumusan dilakukan oleh Tim Kerja gabungan antara Panitia

Perancang UU dan Komite yang bersangkutan, yang waktu

penyelesaiannya dikonsultasikan dengan Panitia Musyawarah. Tim

kerja gabungan yang keanggotaannya disepakati oleh Panitia

237

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan maksudnya yaitu

penyelarasan konsepsi RUU dengan dasar falsafah negara Pancasila, tujuan

negara-tujuan nasional beserta aspirasi yang melingkupinya, UUD NRI

Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang yang sudah ada beserta

peraturan pelaksanaannya, serta kebijak lain yang terkait dengan bidang

yang akan diatur dalam RTUU. Lihat: Agus Hariadi; “Menata Ulang Penyusunan Program Legislasi Nasional dalam Rangka Pembentukan

Undang-Undang yang Berkualitas (Reorganizing national Legislation

Program Forming in Order to Reach the Quality of Legislation), Jurnal

Legislasi Indonesia – Indonesia Journal of Legislation, Vol. 8 No. 4 –

Desember 2011, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia, Jakarta, hlm. 545-546. 238

Pasal 123, dan 124 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib.

Page 280: HUKUM PERUNDANG

267

Perancang UU dan Komite yang bersangkutan menyampaikan hasil

perumusan kepada Panitia Perancang Undang-Undang239

.

Fase berikutnya yaitu penetapan RUU inisiatif DPD. Untuk

itu, Panitia Perancang UU menyampaikan dokumen usul RUU yang

telah diharmonisasikan kepada Panitia Musyawarah untuk

diagendakan dalam Sidang paripurna. Dalam sidang tersebut, Panitia

Perancang UU menyampaikan penjelasan atas usul RUU beserta

daftar nama Anggota Tim Kerja dari Komite dan Panitia Perancang

UU untuk diputuskan. Karena itu, Pemrakarsa menyampaikan

penjelasan lebih dahulu sebelum Sidang Paripurna mengambil

keputusan. Penetapan keputusan dapat berupa: diterima tanpa

perubahan; diterima dengan perubahan; atau ditolak. Dalam hal usul

rancangan undang-undang diterima dengan perubahan maka, DPD

menugaskan Panitia Perancang UU untuk membahas dan

menyempurnakan kembali usul RUU tersebut. Keputusan sidang

paripurna tanpa perubahan maupun adanya perubahan yang sudah

diperbaiki, disampaikan kepada Pimpinan DPD.240

Tahap selanjutnya yaitu pimpinan DPD mengajukan RUU

tersebut kepada pimpinan DPR dan Presiden. Pengajukan dilakukan

secara tertulis dengan disertai Tim Kerja yang mewakili DPD. Tim

Kerja didampingi oleh sekretariat dan dapat didampingi pula oleh staf

ahli, pakar, narasumber, peneliti, dan perancang UU. Pimpinan DPR

menyampaikan usul RUU tersebut kepada Badan Legislasi DPR

untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi RUU. Untuk itu, Badan Legislasi DPR dapat mengundang

pimpinan Panitia Perancang UU dari DPD untuk membahas usul

RUU. Hasil pengharmonisasian tersebut dilaporkan secara tertulis

kepada pimpinan DPR, untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat

paripurna.

Proses penyusunan RUU yang dideskripsikan di atas

merupakan proses penyusunan RUU yang terdapat di dalam

239

Pasal 125 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. 240

Pasal 126 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 281: HUKUM PERUNDANG

268

Prolegnas. Berdasarkan ketentuan Pasal 128 Peraturan DPD No. 1

Tahun 2014, DPD dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Tetapi,

hal itu dapat dilakukan hanya dengan maksud untuk mengatasi

keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau keadaan

lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau suatu RUU

yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan Menteri

Hukum dan Hak Asasi manusia. Jadi pengajuan RUU di luar

Prolegnas bersifat sangat limitatif, hanya diperkenankan RUU yang

berkaitan dengan hal-hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut.

Usulan RUU di luar Prolegnas dapat diajukan oleh

masyarakat, Anggota DPD, komite, Panitia Perancang UU, atau

gabungan Alat Kelengkapan kepada Panitia Musyawarah. Usulan

disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Panitia Musyawarah

dengan dilengkapi lampiran berupa: a. latar belakang dan tujuan

penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. jangkauan dan arah

pengaturan; d. kesesuaian dengan tugas dan wewenang DPD; dan e.

daftar nama dan tanda tangan pengusul.

Selanjutnya, Panitia Musyawarah menentukan Alat

Kelengkapan/gabungan Alat Kelengkapan yang berkompeten untuk

menindaklanjuti usul penyusunan RUU tersebut. Alat

Kelengkapan/gabungan Alat Kelengkapan yang telah ditetapkan

melakukan telaah apakah usul RUU memenuhi persyaratan tersebut

di atas. Dalam hal usul RUU memenuhi persyaratan maka, pimpinan

Alat Kelengkapan/gabungan Alat Kelengkapan menyampaikan usul

tersebut kepada Panitia Musyawarah, yang akan menyampaikan

dalam Sidang paripurna berikutnya untuk diambil keputusan, setelah

Pemrakarsa menyampaikan penjelasan. Keputusan Sidang paripurna

dapat berupa: diterima; atau ditolak. Dalam hal Sidang paripurna

menolak usul rancangan undang-undang di luar Prolegnas, usul

tersebut tidak dapat diajukan kembali. Sebaliknya jika usul tersebut

diterima maka, Panitia Musyawarah menunjuk komite/Panitia

Perancang UU untuk mempersiapkan dan memproses RUU, seperti

Page 282: HUKUM PERUNDANG

269

halnya proses usul RUU yang terdapat dalam Prolegnas tersebut di

atas.

Proses penyusunan RUU prakarsa DPD yang termuat di

dalam Prolegnas dinyatakan dengan diagram alir di bawah ini.

14.3.7. Pembahasan RUU

Pembahasan RUU dilakukan di DPR oleh DPR bersama

dengan Presiden dan DPD. Namun sebelum pembahasan tersebut

terlebih dahulu dilakukan persiapan pembahasan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di masing-masing pihak pemrakarsa.

14.3.8. Persiapan Pembahasan di DPR

Dalam Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 ditentukan bahwa

komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau

Badan Anggaran membahas RUU berdasarkan penugasan Badan

Musyawarah. Penugasan tersebut berdasarkan pertimbangan

Page 283: HUKUM PERUNDANG

270

pengusul RUU; penugasan penyempurnaan RUU; keterkaitan materi

muatan RUU dengan ruang lingkup tugas komisi; dan jumlah RUU

yang ditangani oleh komisi atau Badan Legislasi (Pasal 132). Komisi

atau gabungan komisi sebagai pengusul RUU diprioritaskan untuk

ditugaskan membahas RUU. Komisi, gabungan komisi, Badan

Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan

RUU langsung bertugas membahas RUU.

Komisi ditugaskan untuk membahas suatu RUU jika materi

muatan RUU termasuk dalam ruang lingkup 1 (satu) komisi.

Sedangkan Gabuangan komisi, Badan Legislasi atau panitia khusus

ditugaskan membahas suatu RUU yang materi muatannya termasuk

dalam ruang lingkup 2 (dua) komisi. Hal itu dengan ketentuan bahwa:

a. jumlah rancangan undang-undang yang ditangani komisi telah

melebihi jumlah maksimal; b. komisi sedang menangani rancangan

undang-undang yang mengandung materi muatan yang kompleks dan

memerlukan waktu pembahasan yang lama; atau c. sebagian besar

anggota komisi menjadi anggota pada beberapa panitia khusus.

Dalam hal penugasan pembahasan RUU diserahkan kepada

komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi yang bukan pengusul

maka dalam melakukan pembahasan wajib mengundang pengusul

untuk memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU. Keterangan

tersebut disampaikan sebelum pembahasan dengan Pemerintah, atau

pada setiap rapat apabila dipandang perlu. Pengusul diwakili oleh

pimpinan alat kelengkapan pengusul atau anggota pengusul paling

banyak 4 (empat) orang (Pasal 134 dan 135).

Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi diberikan

tugas oleh Badan Musyawarah untuk membahas RUU paling banyak

2 (dua) RUU pada waktu yang bersamaan, kecuali pembahasan RUU

mengenai: a. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

daerah; b. pembentukan pengadilan tinggi; c. ratifikasi perjanjian

internasional; d. RUU paket; dan e. RUU tentang penetapan Perppu

menjadi UU. Penugasan baru akan diberikan setelah 1 (satu) RUU

selesai dibahas pada Pembicaraan Tingkat I. Setiap Anggota

Page 284: HUKUM PERUNDANG

271

mendapatkan penugasan paling banyak 3 (tiga) RUU pada waktu

yang bersamaan, kecuali untuk pembahasan RUU mengenai:

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;

pembentukan pengadilan tinggi; ratifikasi perjanjian internasional;

dan ruu paket (Pasal 136 dan 137 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014).

14.3.9. Persiapan Pembahasan RUU di Pihak Presiden

Persiapan pembahasan RUU di pihak Presiden diatur dalam

Pasal 87 sampai dengan Pasal 92 Perpres No. 87 Tahun 2014.

Persiapan pembahasan tersebut meliputi persiapan pembahan RUU

dari Presiden dan RUU prakarsa DPR. Persiapan pembahasan RUU

prakarsa Presiden dimulai dengan pengajuan RUU hasil

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi

disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Presiden disertai dengan

penjelasan mengenai: latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran

yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan, yang

menggambarkan keseluruhan substansi RUU. Presiden

menyampaikan RUU kepada Pimpinan DPR dengan Surat Presiden

yang paling sedikit memuat penunjukan menteri yang ditugasi untuk

mewakili Presiden dalam pembahasan RUU di DPR. Untuk itu,

pemrakarsa memperbanyak RUU tersebut sesuai jumlah yang

diperlukan.

Dalam pembahasan RUU di DPR, menteri yang ditugasi

wajib melaporkan perkembangan dan/atau permasalahan yang

dihadapi kepada Presiden untuk memperoleh arahan dan keputusan.

Jika dalam pembahasan terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan

arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU, menteri

wajib melaporkan kepada Presiden disertai dengan saran

pemecahannya untuk memperoleh keputusan.

Persiapan pembahasan RUU prakarsa DPR di lingkungan

Presiden diawali dengan Presiden menugaskan menteri untuk

mewakili dalam pembahasan RUU di DPR. Menteri yang

membidangi urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara

Page 285: HUKUM PERUNDANG

272

dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal

RUU diterima melakukan koordinasi dengan Menteri dan menteri

terkait. Surat Presiden mengenai penugasan menteri disampaikan

kepada Pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam

puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Pimpinan DPR diterima.

Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan

pembahasan menyiapkan: pandangan dan pendapat Presiden; dan

daftar inventarisasi masalah. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat

dalam menyiapkan pandangan dan pendapat Presiden dan/atau daftar

inventarisasi masalah, menteri yang ditugasi melaporkan kepada

Presiden untuk memperoleh arahan dan keputusan. Setelah itu,

menteri menyampaikan pandangan dan pendapat Presiden serta daftar

inventarisasi masalah kepada pimpinan DPR dalam jangka waktu

paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Rancangan

Undang-Undang diterima Presiden.

14.3.10. Persiapan Pembahasan RUU di DPD.

Persiapan pembahasan RUU di DPD meliputi pembahasan

RUU prakarsa DPD, dan RUU prakarsa DPR atau Presiden.

Pembahasan RUU prakarsa DPD dilakukan oleh Panitia Musyawrah

DPD bersama Alat Kelengkapan DPR dan Menteri yang akan

mewakili Presiden dalam pembicaraan tingkat I. Panitia Musyawarah

menugaskan Tim Kerja untuk: a. menyusun pengantar musyawarah

dalam pembahasan RUU; b. menyusun justifikasi dan argumentasi

RUU dalam menanggapi DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dan

pertanyaan dari DPR dan Presiden; c. mengikuti pembahasan di DPR

secara terus menerus dengan paling kurang 5 (lima) orang yang dapat

saling bergantian; dan d. menyusun pendapat mini dalam

pembicaraan tingkat I. e. ikut menandatangani persetujuan RUU di

akhir pembicaraan tingkat I, termasuk jika terjadi pengambilan

keputusan dengan suara terbanyak. Dalam pengantar musyawarah,

DPD memberikan penjelasan, DPR dan Presiden menyampaikan

pandangan. Pada kesempatan ini, DPR dan Presiden mengajukan

Page 286: HUKUM PERUNDANG

273

DIM. Tim Kerja dapat menyesuaikan sikap dengan dinamika

perkembangan politik khususnya dalam hal terjadi ketidaksesuaian

antara konsep yang diusulkan oleh DPD dengan pendapat Pemerintah

dan/atau DPR dan melaporkannya kepada Pimpinan DPD melalui

pimpinan Komite/Panitia Perancang UU. Penyampaian pendapat mini

dilakukan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh DPD, DPR, dan

Presiden. Penandatanganan persetujuan RUU dilakukan pada akhir

pembicaraan tingkat I oleh DPD, DPR, dan Presiden.241

Pembahasan RUU di DPD dilakukan dalam: a. rapat kerja; b.

rapat Badan kerja; c. tim perumus; dan/atau d. rapat tim sinkronisasi.

Selain itu, dapat pula dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati

oleh pimpinan Rapat dan Peserta Rapat. Rapat kerja terlebih dahulu

menyepakati jadwal pembicaraan tingkat I pembahasan RUU serta

waktu penyusunan dan penyerahan DIM. Tata cara pembahasan RUU

di DPR mengikuti ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR. Hasil

pembahasan dapat berupa mendapatkan persetujuan, persetujuan

dengan perubahan, mengalami perubahan yang bertentangan dengan

usulan DPD, atau tidak mendapatkan persetujuan. Terhadap hasil

bahasan tersebut, maka DPD menindaklanjuti sebagai berikut:

1. Dalam hal RUU mendapat persetujuan DPR, Tim DPD

melakukan pembahasan sampai selesai.

2. Dalam hal mendapatkan persetujuan dengan perubahan, Tim

DPD mengadakan koordinasi untuk pembahasan agenda

perubahan dan penyempurnaan dengan DPR.

3. Dalam hal materi suatu RUU mengalami perubahan yang

bertentangan dengan yang diusulkan DPD dalam pembahasan

tingkat satu dalam sidang DPR, tim DPD yang ditunjuk

melaporkan perubahan tersebut kepada Komite atau Panitia

Perancang UU. Selanjutnya, Komite dan/atau Panitia

Perancang UU melaporkan perubahan tersebut kepada sidang

paripurna disertai saran penyempurnaannya untuk ditetapkan.

241

Pasal 129 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 287: HUKUM PERUNDANG

274

4. Dalam hal RUU dari DPD tidak mendapat persetujuan

bersama antara DPR dan Presiden, Tim Kerja DPD segera

menyampaikan kepada Panitia Musyawarah untuk

mengagendakan Sidang paripurna guna melaporkannya. 242

Sehubungan dengan hasil bahasan nomor 4 (empat) di atas,

Sidang paripurna menugasi Komite terkait/Panitia Perancang UU

untuk melakukan pendalaman masalah tersebut. Komite/Panitia

Perancang UU melaporkan pelaksanaan tugasnya dalam Sidang

paripurna untuk diambil keputusan. Keputusan sidang paripurna

dapat berupa penolakan dengan alasan, atau penolakan tidak

beralasan. Dalam hal sidang paripurna berpendapat penolakan

tersebut beralasan, pembahasan RUU tidak dilanjutkan. Tetapi, dalam

hal sidang paripurna berpendapat penolakan tersebut tidak beralasan

maka, akan ditindaklanjuti melalui: a. pendalam masalah; b.

melakukan judicial review dan/atau sengketa antar lembaga Negara

kepada Mahkamah Konstitusi. RUU yang mendapat penolakan

dipublikasi oleh Sekretariat Jenderal. Dalam hal RUU tidak mendapat

persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, RUU tersebut tidak

boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.243

Pembahasan RUU yang berasal dari DPR atau Presiden.

Pasal 133 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 menentukan bahwa

pimpinan DPD menyampaikan kepada Panitia Perancang UU untuk

menyusun pandangan. Dalam hal materi RUU terkait dengan Alat

Kelengkapan lainnya, Panitia Perancang UU dan/atau Alat

Kelengkapan terkait lainnya menyampaikan kepada Panitia

Musyawarah untuk ditetapkan membahas bersam dan menyampaikan

draf pandangan DPD kepada Panitia Musyawarah untuk diagendakan

dan diputuskan dalam sidang paripurna disertai daftar nama Anggota

Tim Kerja yang akan mewakili DPD dalam pembahasan bersama

242

Pasal 130 dan 131 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib. 243

Pasal 132 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 288: HUKUM PERUNDANG

275

DPR dan Pemerintah. Dalam hal RUU dari DPR atau Presiden

berdasarkan Prolegnas lima tahunan dan di luar Prolegnas diterima

oleh Pimpinan, segera menyampaikan dalam Sidang paripurna

berikutnya untuk menugaskan Alat Kelengkapan yang akan

membahas rancangan undang-undang dimaksud. Apabila Sidang

paripurna tidak dapat dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) hari sejak

diterimanya rancangan undang-undang dari DPR atau Presiden,

Panitia Musyawarah dapat memutuskan Alat Kelengkapan yang

membahas RUU. RUU tersebut disampaikan kepada Anggota DPD

oleh Sekretariat Jenderal untuk segera memberikan masukan kepada

Alat Kelengkapan yang ditunjuk. Pimpinan DPD menyampaikan

pandangan terhadap RUU disertai daftar nama Tim Kerja kepada

DPR dan Presiden. Alat Kelengkapan yang ditugaskan, menyusun

DIM berdasarkan pandangan dari pimpinan DPD. Tim Kerja

menghadiri rapat-rapat pembahasan dengan DPR dan Pemerintah.

Alat Kelengkapan yang ditugaskan, didampingi oleh sekretariat dan

dapat didampingi oleh staf ahli, pakar, narasumber, peneliti, dan

perancang UU.

Tim Kerja melakukan pembahasan rancangan undang-undang

bersama DPR dan Pemerintah dalam pembicaraan tingkat I atas

undangan DPR. Kegiatan dalam Pembicaraan tingkat I yaitu: a.

pengantar musyawarah oleh DPR atau Pemerintah yang mengajukan

rancangan undang-undang; b. pembahasan daftar inventarisasi

masalah sandingan yang berasal dari DPD dan Presiden atau DPR;

dan c. penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir. Kegiatan-

kegiatan tersebut dilakukan dalam rapat kerja; rapat badan kerja; tim

perumus; dan/atau rapat tim sinkronisasi. Dalam kegiatan-kegiatan

tersebut dapat dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh

pimpinan rapat dan peserta rapat. Rapat kerja terlebih dahulu

menyepakati jadwal pembicaraan tingkat I pembahasan RUU serta

waktu penyusunan dan penyerahan DIM.

Jika RUU berasal dari DPR maka Pimpinan Badan Legislasi

DPR memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU serta

Page 289: HUKUM PERUNDANG

276

tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan menteri

dan/atau DPD. Sedangkan jika RUU prakarsa Presiden maka, menteri

yang mewakili Presiden memberikan penjelasan atau keterangan atas

RUU serta tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan

Badan Legislasi DPR dan Panitia Perancang UU dari DPD. Dalam

pelaksanaan pembahasan, Tim Kerja dapat menyesuaikan sikap

dengan dinamika perkembangan politik khususnya dalam hal terjadi

ketidaksesuaian antara konsep yang diusulkan oleh DPD dengan

pendapat Pemerintah dan/atau DPR dan melaporkannya kepada

Pimpinan DPD melalui pimpinan Komite/Panitia Perancang UU.

Hasil pembahasan akhir RUU dilaporkan oleh Alat Kelengkapan

kepada sidang paripurna berikutnya.244

14.3.10. Pelaksanaan Pembahasan RUU.

Pelaksanaan pembahasan RUU di DPR ditentukan dalam

Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 UU No. 12 Tahun 2011.

Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau

menteri yang ditugasi. Pembahasan mengenai hal-hal tertentu yang

terkait dengan daerah, yaitu: otonomi daerah; hubungan pusat dan

daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan

perimbangan keuangan pusat dan daerah, DPD diikutsertakan hanya

pada tahap pembicaraan tingkat I. Namun dengan dikeluarkannya

keputusan MK No. 92/PPU-X/2012 maka keikutsertaan DPD dalam

pembahasan tidak lagi sebatas pembahasan tingkat I tapi diberikan

sampai pembahasan tingkat II. DPD diwakili oleh alat kelengkapan

atau gabungan alat kelengkapan DPD yang ditentukan oleh Panitia

Musyawarah DPD245

.

244

Pasal 136 - 138 Peraturan DPD No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib.

245

Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 29 ayat (1) Peraturan DPD No. 1 Tahun

2014 tentang Tata Tertib.

Page 290: HUKUM PERUNDANG

277

Pembahasan dilakukan melalui 2 tingkat pembicaraan yaitu:

a. Pembicaraan tingkat I yang berlangsung dalam rapat komisi,

rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan

Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan

b. pembicaraan tingkat II yakni dalam rapat paripurna.

14.3.11. Pembicaraan Tingkat I.

Pada pembicaraan tingkat I dilakukan kegiatan yaitu:

pengantar musyawarah; pembahasan daftar inventarisasi masalah;

dan penyampaian pendapat mini. Kegiatan yang dilakukan pada

pengantar musyawarah tergantung pada dari pihak mana datangnya

usulan RUU. Apabila usulan RUU datang dari pihak DPR maka,

DPR memberikan penjelasan atas RUU yang diajukan, sedangkan

Presiden menyampaikan pandangan terhadap penjelasan DPR

tersebut. Jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari

DPR maka, DPR memberikan penjelasan sedangkan Presiden dan

DPD menyampaikan pandangan terhadap penjelasan DPR.

Sebaliknya, jika RUU merupakan prakarsa Presiden maka, Presiden

memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan atas

penjelasan tersebut. Sementara itu, apabila RUU berkaitan dengan

kewenangan DPD berasal dari Presiden maka Presiden memberikan

penjelasan sedangkan fraksi dan DPD menyampaikan pandangan atas

penjelasan Presiden.

Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh pihak yang akan

memberikan tanggapan terhadap pemrakarsa RUU. Apabila RUU

berasal dari DPR maka, Presiden yang mengajukan daftar inventaris

masalah. Sebaliknya, DPR mengajukan daftar inventaris masalah

terhadap RUU yang berasal dari Presiden, dengan

mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan

kewenangan DPD.

Penyampaian pendapat mini maksudnya adalah penyampaian

pendapat pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: fraksi; DPD, jika

Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD; dan

Page 291: HUKUM PERUNDANG

278

Presiden. Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan pada

pengantar musyawarah dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini,

pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. Dalam pembicaraan tingkat

I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika

materi RUU berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain

tersebut.

Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam: a. rapat kerja; b.

rapat panitia kerja; c. rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau d. rapat

tim sinkronisasi. Atau dilakukan mekanisme lain sepanjang

disepakati oleh pimpinan dan anggota rapat. Rapat kerja dilakukan

antara komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus,

atau Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili

Presiden. Dalam rapat kerja tersebut terlebih dahulu disepakati jadwal

rapat Pembicaraan Tingkat I serta waktu penyusunan dan penyerahan

daftar inventarisasi masalah. Dalam rapat tersebut pemrakarsa

memberikan penjelasan atau keterangan atas RUU serta tanggapan

terhadap daftar inventarisasi masalah dan pertanyaan yang diajukan

oleh pembahas.246

Pembahasan RUU dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) kali

masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat

paripurna dengan pertimbangan pertimbangan materi muatan RUU

yang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban

tugas dari komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia

khusus. Selain itu, juga karena pembahasan materi RUU yang belum

selesai dibahas oleh periode DPR sebelumnya. Perpanjangan

pembahasan dapat dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya setelah

dilakukan evaluasi dan ditetapkan dalam Prolegnas serta diajukan

kembali247

.

Dalam Pembicaraan Tingkat I, komisi, gabungan komisi,

Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat meminta

246

Pasal 140, 141 dan 142 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang

Tata Tertib. 247

Pasal 143 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 292: HUKUM PERUNDANG

279

menteri yang mewakili Presiden membahas RUU untuk

menghadirkan menteri lainnya atau pimpinan lembaga pemerintah

nonkementerian dalam rapat kerja atau mengundang masyarakat

dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan

terhadap RUU yang sedang dibahas. Selain itu juga dapat

mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan

masukan dari pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah, dan

mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan

anggaran DPR dan persetujuan pimpinan DPR. Usulan rencana

kunjungan kerja tersebut sekurang-kurangnya memuat: urgensi;

kemanfaatan; dan keterkaitan negara tujuan dengan materi rancangan

undang-undang.248

Panitia kerja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, Badan

Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran yang beranggotakan

paling banyak separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan DPR

yang membentuknya. Panitia Kerja ditugaskan untuk membahas

substansi RUU atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja

berdasarkan daftar inventarisasi masalah. Rapat Panitia Kerja

dipimpin oleh salah seorang pimpinan komisi, pimpinan gabungan

komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus.

Rapat diselenggarakan dengan menteri yang diwakili oleh pejabat

eselon I yang membidangi materi RUU yang sedang dibahas dan alat

kelengkapan DPD jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD.

Panitia kerja dapat membentuk tim perumus, tim kecil,

dan/atau tim sinkronisasi yang beranggotakan paling banyak 2/3 (dua

per tiga) dari jumlah anggota panitia kerja. Panitia kerja bertanggung

jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat kerja komisi, rapat

gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat panitia khusus, atau

rapat Badan Anggaran (Pasal 146).

Tim perumus bertugas merumuskan materi RUU sesuai

dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja serta

248

Pasal 145 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 293: HUKUM PERUNDANG

280

bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia

kerja. Rapat tim perumus dipimpin oleh salah seorang pimpinan

panitia kerja. Sedangkan Tim kecil bertugas merumuskan materi

RUU konsideran menimbang dan penjelasan umum atau sesuai

dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri

yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi RUU

yang sedang dibahas dan alat kelengkapan DPD jika rancangan

undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD. Rapat tim kecil

dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja, serta

bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia

kerja. Sementara itu, Tim Sinkronisasi bertugas menyelaraskan

rumusan RUU dengan memperhatikan keputusan rapat kerja, rapat

panitia kerja, dan hasil rumusan tim perumus. Tim sinkronisasi

menyelenggarakan rapat yang dipimpin oleh salah seorang pimpinan

panitia kerja. RUU hasil tim sinkronisasi dilaporkan dalam rapat

panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan.249

14.3.12. Pengambilan Keputusan dalam Pembicaraan Tingkat I

Pengambilan keputusan dalam rapat kerja atas RUU

dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pengambilan keputusan tersebut dapat dilaksanakan apabila rapat

dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas

lebih dari separuh unsur Fraksi. Apabila tidak dicapai kesepakatan

atas suatu atau beberapa rumusan RUU, permasalahan dilaporkan

dalam rapat kerja untuk selanjutnya diambil keputusan. Apabila

dalam rapat kerja juga tidak tercapai kesepakatan maka, pengambilan

keputusan dilakukan dalam rapat paripurna DPR setelah terlebih

dahulu dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan

musyawarah.250

249

Pasal 148 dan 149 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib. 250

Pasal 150 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 294: HUKUM PERUNDANG

281

Pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan Tingkat I

dilakukan dengan acara:

a. pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, Badan

Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran;

b. laporan panita kerja;

c. pembacaan naskah rancangan undang-undang;

d. pendapat akhir mini sebagai sikap akhir Fraksi, Presiden, dan

DPD jika rancangan undang-undang berkaitan dengan

kewenangan DPD;

e. penandatanganan naskah rancangan undang-undang; dan

f. pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada Pembicaraan

Tingkat II.

14.3.13. Pembicaraan Tingkat II.

Hasil Pembicaraan Tingkat I dilanjutkan pada Pembicaraan

Tingkat II, dengan kegiatan:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini

fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi

dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat

paripurna; dan

c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh

menteri yang ditugasi.

Persetujuan dalam sidang paripurna diusahakan dicapai

melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal persetujuan tidak

dapat dicapai melalui musyawarah maka, pengambilan keputusan

dilakukan berdasarkan suara terbanyak. RUU yang tidak mendapat

persetujuan bersama antara DPR dan Presiden tidak boleh diajukan

lagi dalam persidangan DPR masa itu. Sebaliknya, RUU yang telah

disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, yang diwakili oleh menteri,

disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan

menjadi UU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka

Page 295: HUKUM PERUNDANG

282

waktu paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal

persetujuan bersama.251

Suatu RUU dapat ditarik kembali sebelum

dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Tetapi RUU yang sedang

dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama

DPR dan Presiden.

Proses pembahasan RUU yang dideskripsikan di atas

diilustrasikan dengan diagram alir di bawah ini.

14.3.14. Pengesahan atau Penetapan dan Pengundangan.

Tahap pengesahan RUU yang telah disetujui bersama oleh

DPR dan Presiden dimulai dengan Pimpinan DPR menyampaikan

RUU tersebut kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU dalam

jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal

persetujuan bersama.

Presiden mengesahkan RUU dengan membubuhkan tanda

251

Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 152 Peraturan DPR No.

1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Page 296: HUKUM PERUNDANG

283

tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Naskah UU yang telah disahkan oleh Presiden sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dibubuhi nomor dan tahun oleh Menteri

Sekretaris Negara. Selanjutnya, Menteri Sekretaris Negara

menyampaikan Naskah UU tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak

Asasi manusia untuk diundangkan.252

Namun dapat terjadi bahwa RUU yang sudah mendapatkan

persetujuan bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden. Dalam hal

terjadi demikian maka, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah

menjadi UU dan wajib diundangkan. Untuk itu, kalimat

pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah

berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat pengesahan tersebut

harus dibubuhkan pada halaman terakhir UU sebelum pengundangan

naskah UU ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Menteri

Sekretaris Negara membubuhkan kalimat pengesahan tersebut.

Selanjutnya dibubuhi nomor dan tahun, kemudian disampaikan

kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Menusia untuk

diundangkan.253

Pengundangan dimaksudkan agar setiap orang mengetahui

adanya UU tersebut, yang dilakukan dengan menempatkan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia; dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia. Naskah UU dimuat di dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia, sedangkan Penjelasan UU dimuat di

dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.254

Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia menandatangani pengundangan UU

252

Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Pasal 112 Perpres No. 87 Tahun 2014. 253

Pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Pasal 113 Perpres No. 87 Tahun 2014. 254

Pasal 84 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Pasal 148 Perpres No. 87 Tahun 2014.

Page 297: HUKUM PERUNDANG

284

dengan membubuhkan tanda tangan pada naskah UU tersebut.

Selanjutnya menyampaikan Naskah UU tersebut kepada Menteri

Sekretaris Negara untuk disimpan dan Pemrakarsa.255

Penerbitan

Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan

dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak

tanggal Peraturan Perundang-undangan diundangkan.256

Penyebarluasan adalah kegiatan menyampaikan informasi

kepada masyarakat mengenai Prolegnas, RUU yang sedang disusun,

dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat

memberikan masukan atau tanggapan terhadap UU tersebut atau

memahami UU yang telah diundangkan. Dengan demikian

penyebarluasan meliputi kegiatan menginformasikan kepada

masyarakat mengenai Prolegnas, RUU yang sedang disusun, dibahas,

dan yang telah diundangkan. Jadi dalam penyebarluasan itu tidak

hanya menyebarluaskan UU agar dapat dipahami oleh seluruh rakyat

melainkan juga Prolegnas, dan RUU yang sedang dibahas.

Penyebarluasan dilakukan, misalnya, melalui media elektronik

dan/atau media cetak.257

Pasal 89 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan mengenai

penyebarluasan Prolegnas dan RUU sebagai berikut:

1. Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan

Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.

2. Penyebarluasan RUU prakarsa DPR dilaksanakan oleh Badan

Legislasi.

3. Penyebarluasan RUU prakarsa Presiden dilaksanakan oleh

instansi pemrakarsa.

Sedangkan mengenai penyebarluasan UU yang telah diundangkan

ditentukan dalam Pasal 90, bahwa penyebarluasan dilakukan secara

255

Pasal 151 dan 152 Perpres No. 87 Tahun 2014. 256

Pasal 154 dan 152 Perpres No. 87 Tahun 2014. 257

Penjelasan Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Page 298: HUKUM PERUNDANG

285

bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. Penyebarluasan dapat pula

dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan yang termasuk

dalam lingkup kewenangan DPD.

14.4. Proses Pembuatan Perppu, PP dan Perpres

14.4.1. Proses Pembuatan Perppu

Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 memberikan kekuasaan

konstitusional kepada Presiden untuk menetapkan Perppu (Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang). Namun hal itu baru dapat

dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ikhwal

yang memaksa maksudnya keadaan atau kondisi waktu yang sangat

mendesak, sangat singkat sehingga tidak memungkinkan jika

membentuk UU.

Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa Perppu

harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pengajuan

dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu

menjadi UU. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak

memberikan persetujuan terhadap Perppu. Apabila DPR memberikan

persetujuan maka, Perppu tersebut ditetapkan menjadi UU.

Sebaliknya jika DPR tidak memberikan persetujuan maka, Perppu

tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Untuk itu,

DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu.

Dalam mempersiapkan penyusunan rancangan Perppu,

Presiden menugaskan kepada menteri yang tugas dan tanggung

jawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Perppu

tersebut sebagai Pemrakarsa. Untuk itu, menteri pemrakarsa

berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan

menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau

pimpinan lembaga terkait.258

Selanjutnya, rancangan Perppu yang telah selesai disusun

disampaikan oleh menteri pemrakarsa kepada Presiden untuk

258

Pasal 58 Perpres No. 87 Tahun 2014.

Page 299: HUKUM PERUNDANG

286

ditetapkan. Pemrakarsa menyusun RUU tentang Penetapan Perppu

menjadi UU setelah Perppu ditetapkan oleh Presiden. Selain itu,

Pemrakarsa juga menyusun RUU tentang Pencabutan Perppu. RUU

tentang Pencabutan Perppu memuat materi yang mengatur segala

akibat hukum dari pencabutan Perppu. Dalam menyusun RUU

tentang Pencabutan Perppu dan RUU tentang Penetapan Perppu,

Pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau

antarnonkementerian.259

Hasil penyusunan RUU tentang Penetapan Perppu menjadi

UU dan RUU tentang Pencabutan Perppu disampaikan kepada

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.

Kemudian, hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi tersebut disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia kepada Pemrakarsa untuk disampaikan kepada Presiden.260

14.4.2. Proses pembuatan PP

Proses pembuatan PP (Peraturan Pemerintah) ditentukan

dalam UU No.12/2011 dan Perpres No. 87 Tahun 2014. Pasal 24 dan

25 UU No.12/2011 menentukan bahwa perencanaan penyusunan PP

dilakukan dalam suatu program penyusunan PP yang memuat daftar

judul dan pokok materi muatan Rancangan PP untuk menjalankan

UU sebagaimana mestinya. Perencanaan penyusunan PP ditetapkan

untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Perencanaan penyusunan PP dikoordinasikan oleh Menteri

(Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), dan ditetapkan dengan

Keputusan Presiden. Rancangan PP berasal dari kementerian dan/atau

lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.

Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah

nonkementerian dapat mengajukan Rancangan PP di luar

259

Pasal 59 dan 60 Perpres No. 87 Tahun 2014. 260

Pasal 61 Perpres No. 87 Tahun 2014.

Page 300: HUKUM PERUNDANG

287

perencanaan penyusunan PP. Rancangan PP yang disusun dalam

keadaan tertentu dibuat berdasarkan kebutuhan UU atau putusan

Mahkamah Agung.261

Selanjutnya Pasal 54 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan

bahwa dalam penyusunan Rancangan PP, pemrakarsa membentuk

panitia antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-

kementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi Rancangan PP dikoordinasikan oleh Menteri. Ketentuan

lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian

dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan

penyampaian Rancangan PP diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 62 dan 63 Perpres No. 87 Tahun 2014 menentukan

bahwa Rancangan PP disiapkan oleh menteri/pimpinan lembaga

pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga lain terkait

sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam penyusunan Rancangan

PP, Pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar

non-kementerian. Selanjutnya mengenai tata cara penyusunan PP

mengikuti ketentuan tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang, tetapi dalam penyusunan Rancangan PP tidak disertai NA.

14.4.3. Proses Pembuatan Perpres

Penyusunan Perpres (Peraturan Presiden) diatur dalam Pasal 55

UU No.12/ 2011, ditentukan bahwa dalam penyusunan Rancangan

Perpres, pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau

antar non kementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi Rancangan Perpres dikoordinasikan oleh

Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia.

Selanjutnya ketentuan tata cara mempersiapkan Rancangan

Perpres terdapat dalam Perpres No. 87 Tahun 2014. Pasal 64

menentukan bahwa pemrakarsa menyusun Rancangan Perpres yang

berisi materi: a. yang diperintahkan oleh Undang-Undang; b. untuk

261

Pasal 26, 27, dan 28 UU No. 12 Tahun 2011.

Page 301: HUKUM PERUNDANG

288

melaksanakan Peraturan Pemerintah; atau c. untuk melaksanakan

penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan. Ketentuan mengenai tata

cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang berlaku secara

mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan Rancangan Perpres,

kecuali ketentuan mengenai NA.

Dalam hal penyusunan Rancangan Perpres bersifat mendesak

yang ditentukan oleh Presiden untuk kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan, Pemrakarsa secara serta merta dapat langsung

melakukan pembahasan Rancangan Perpres dengan melibatkan

Menteri, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian

dan/atau lembaga lain yangterkait. Hasil pembahasan Rancangan

Perpres tersebut disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Presiden untuk

ditetapkan.262

14.5. Proses Pembentukan Peraturan Daerah

UU No. 12/2011 menentukan bahwa Ranperda (Rancangan

Peraturan Daerah) dapat berasal dari DPRD (Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah) atau Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota).

Ranperda tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan

dan/atau NA. Artinya bahwa suatu Ranperda, tergantung pada materi

muatan, dapat disertai dengan penjelasan atau keterangan, dapat pula

disertai dengan NA, atau sekaligus disertai dengan penjelasan atau

keterangan dan NA. Ranperda mengenai APBD (Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah); pencabutan Perda (Peraturan

Daerah); atau perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah

beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok

pikiran dan materi muatan yang diatur. Ranperda-ranperda tersebut

tidak perlu disertai dengan NA, tetapi cukup disertai penjelasan atau

keterangan. Penyusunan NA Ranperda dilakukan sesuai dengan

teknik penyusunan NA yang tercantum dalam Lampiran I yang

262

Pasal 66 Perpres No. 87 Tahun 2014.

Page 302: HUKUM PERUNDANG

289

merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU No. 12/2011.263

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi

Ranperda yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh Badan

Legislasi DPRD. Sedangkan pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi Ranperda yang berasal dari Kepala Daerah

dikoordinasikan oleh biro/bagian hukum dan hak asasi manusia dan

dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

14.5.1. Perencanaan Rancangan Peraturan Daerah

Pasal 33 Perpres No. 87 Tahun 2014 menentukan bahwa

perencanaan Ranperda meliputi kegiatan: penyusunan Prolegda;

perencanaan penyusunan Ranperda kumulatif terbuka; dan

perencanaan penyusunan Ranperda di luar Prolegda. Hal itu

ditegaskan kembali di dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015 Tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah (Permendagri No. 80 Tahun

2015), bahwa perencanaan Ranperda meliputi kegiatan: penyusunan

Propemperda (Program Pembentukan Perda); perencanaan

penyusunan Ranperda kumulatif terbuka; dan perencanaan

penyusunan Ranperda di luar Propemperda. Promperda merupakan

nomenklatur baru yang digunakan secara normatif di dalam

Permendagri No. 80 Tahun 2015 yang dimaknai sebagai Prolegda.

Deskripsi mengenai tata cara penyusunan Ranperda selanjutnya

mengikuti ketentuan dalam Permendagri No. 80 Tahun 2015.

14.5.2. Tata Cara Penyusunan Propemperda

Penyusunan Propemperda di lingkungan Pemda (Pemerintah

Daerah) diawali dengan Kepala Daerah menugaskan pimpinan

perangkat daerah dalam penyusunan Propemperda di lingkungan

pemerintah daerah. Penyusunan Propemperda tersebut

263

Pasal 56 dan 57 UU No. 12 Tahun 2011.

Page 303: HUKUM PERUNDANG

290

dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum

(Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi/Bagian Hukum Sekretariat

Daerah Kabupaten/Kota), dan dapat mengikutsertakan instansi

vertikal terkait. Instansi vertikal yang dimaksud terdiri atas: instansi

vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum; dan/atau instansi vertikal terkait

sesuai dengan: kewenangan; materi muatan; atau Kebutuhan. Hasil

penyusunan Propemperda diajukan oleh perangkat daerah yang

membidangi hukum kepada Kepala Daerah melalui sekretaris

daerah.264

Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 13, Kepala

Daerah menyampaikan hasil penyusunan Propemperda kepada

Bapemperda (Badan Pembentukan Perda), alat kelengkapan DPRD,

melalui Pimpinan DPRD.

Penyusunan Propemperda di lingkungan DPRD

dikoordinasikan oleh Bapemperda. Ketentuan mengenai penyusunan

Propemperda di lingkungan DPRD diatur dalam Peraturan DPRD.

Penyusunan Propemperda untuk pemerintahan daerah secara

terintegrasi dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah.

Penyusunan Propemperda tersebut memuat daftar Ranperda yang

didasarkan atas: perintah peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; rencana pembangunan daerah; penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan; dan aspirasi masyarakat daerah.

Penyusunan Propemperda memuat daftar urutan yang ditetapkan

untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas

pembentukan Ranperda.265

Penyusunan dan penetapan Propemperda dilakukan setiap

tahun sebelum penetapan rancangan perda tentang APBD. Penetapan

skala prioritas pembentukan Ranperda dilakukan oleh Bapemperda

dan perangkat daerah yang membidangi hukum berdasarkan kriteria:

perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; rencana

pembangunan daerah; penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

264

Pasal 11 dan 12 Permendagri No. 80 Tahun 2015. 265

Pasal 15 Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Page 304: HUKUM PERUNDANG

291

pembantuan; dan aspirasi masyarakat daerah.

Hasil penyusunan Propemperda antara DPRD dan pemerintah

daerah disepakati menjadi Propemperda dan ditetapkan dalam rapat

paripurna DPRD dengan keputusan DPRD. Ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara penyusunan Propemperda diatur dengan perda.

Dalam Propemperda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang

terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Agung; dan APBD. Dalam

keadaan tertentu, DPRD atau Kepala Daerah dapat mengajukan

rancangan perda di luar Propemperda karena alasan:

a. mengatasi keadaan luar biasa, keadaaan konflik, atau bencana

alam; menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;

b. mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya

urgensi atas suatu rancangan perda yang dapat disetujui bersama

oleh Bapemperda dan unit yang menangani bidang hukum pada

pemerintah daerah;

c. akibat pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri untuk perda

provinsi dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat

untuk perda kabupaten/kota; dan

d. perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi setelah Propemperda ditetapkan.

Selain daftar kumulatif terbuka tersebut, khusus di

pemerintahan daerah kabupaten/kota, Propemperda kabupaten/kota

dapat memuat daftar kumulatif terbuka mengenai: penataan

kecamatan; dan penataan desa.266

14.5.3. Penyusunan Penjelasan atau Keterangan dan/atau Naskah

Akademik

Ketentuan mengenai penyusunan penjelasan atau keterangan

dan/atau NA terdapat dalam Pasal 22 – 24 Permendagri No. 80 Tahun

2015. Penyusunan Perda atau nama lainnya267

dilakukan berdasarkan

266

Pasal 16 dan 18 Permendagri No. 80 Tahun 2015. 267

Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f menegaskan bahwa nama lain

Page 305: HUKUM PERUNDANG

292

Propemperda. Penyusunan rancangan perda dapat berasal dari DPRD

atau kepala Daerah. Pemrakarsa mempersiapkan Ranperda disertai

dengan penjelasan atau keterangan dan/atau NA. Penyusunan

penjelasan atau keterangan dan/atau NA untuk Ranperda yang berasal

dari pimpinan perangkat daerah mengikutsertakan perangkat daerah

yang membidangi hukum. Sedangkan untuk penyusunan penjelasan

atau keterangan dan/atau NA untuk Ranperda yang berasal dari

anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda,

dikoordinasikan oleh Bapemperda.268

Pemrakarsa dalam melakukan penyusunan NA dapat

mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan pihak

ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi yang akan diatur

dalam Ranperda. Penjelasan atau keterangan tersebut paling sedikit

memuat pokok pikiran dan materi muatan yang akan diatur.

Penjelasan atau keterangan dan/atau NA sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan Ranperda.

Perangkat daerah yang membidangi hukum melakukan

penyelarasan NA Ranperda yang diterima dari perangkat daerah.

Penyelarasan dilakukan terhadap sistematika dan materi muatan NA

Ranperda, yang diselenggarakan dalam rapat penyelarasan dengan

mengikutsertakan pemangku kepentingan. Perangkat daerah yang

membidangi hukum melalui sekretaris daerah menyampaikan

kembali NA Ranperda yang telah dilakukan penyelarasan kepada

perangkat daerah disertai dengan penjelasan hasil penyelarasan.

14.5.4. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Prakarsa

Pemerintah Daerah

digunakan untuk Peraturan Daerah Provinsi yaitu Qanun yang berlaku di

Provinsi Aceh, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), dan Peraturan Daerah

Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. 268

Pasal 20 - 22 Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Page 306: HUKUM PERUNDANG

293

Kegiatan penyusunan Ranperda dimulai dengan Kepala

Daerah memerintahkan kepada perangkat daerah pemrakarsa untuk

menyusun Ranperda sesuai dengan Propemperda. Untuk itu, Kepala

Daerah membentuk tim penyusun Ranperda yang ditetapkan dengan

keputusan Kepala Daerah. Keanggotaan tim penyusun terdiri atas:

Kepala Daerah, sekretaris daerah, perangkat daerah pemrakarsa,

perangkat daerah yang membidangi hukum, perangkat daerah terkait,

dan perancang peraturan perundang-undangan. Dalam hal itu, kepala

daerah dapat mengikutsertakan instansi vertical yang terkait dan/atau

akademisi. Selain itu, tim penyusun dapat mengundang peneliti

dan/atau tenaga aahli dari lingkungan perguruan tinggi atau

organisasi kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan. Tim penyusun

tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh perangkat

daerah pemrakarsa. Dalam hal ketua tim yang ditunjuk adalah pejabat

lain daripada pimpinan perangkat daerah pemrakarsa maka, pimpinan

perangkat daerah pemrakarsa tetap bertanggung jawab terhadap

materi muatan Ranperda yang disusun.269

Selanjutnya, tim penyusun melaporkan kepada sekretaris

daerah mengenai perkembangan dan/atau permasalahan yang

dihadapi dalam penyusunan Ranperda untuk mendapatkan arahan

atau keputusan. Ranperda yang telah disusun diberikan paraf

koordinasi oleh ketua tim penyusun dan perangkat daerah

pemrakarsa. Setelah itu, ketua tim penyusun menyampaikan hasil

Ranperda kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah untuk

dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi. Dalam kaitan itu, sekretaris daerah menugaskan kepada

perangkat daerah yang membidangi hukum untuk mengkoordinasikan

pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Ranperda.

Untuk keperluan itu, pimpina perangkat daerah yang membidangi

hukum dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia.270

269

Pasal 25 dan 26 Permendagri No. 80 Tahun 2015. 270

Pasal 27, 28, 29, dan 30 Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Page 307: HUKUM PERUNDANG

294

Tahap selanjutnya yaitu sekretaris daerah menyampaikan

hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi

kepada pemrakarsa dan pimpinan perangkat daerah terkait untuk

mendapatkan paraf persetujuan pada setiap halaman Ranperda.

Sekretaris daerah menyampaikan Ranperda yang telah dibubuhi paraf

persetujuan kepada kepala daerah. Setiap Ranperda yang merupakan

konsep akhir yang akan disampaikankepada DPRD harus dipaparkan

ketua tim kepada kepala daerah.271

14.5.5. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Prakarsa

DPRD

Penyusunan Ranperda yang berasal dari DPRD dapat

diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau

Bapemperda berdasarkan Propemperda. Ranperda tersebut

disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai

penjelasan atau keterangan dan/atau NA. Penjelasan atau keterangan

memuat: pokok pikiran dan materi muatan yang diatur; daftar nama;

dan tanda tangan pengusul. Sedangkan NA yang telah melalui

pengkajian dan penyelarasan, memuat: latar belakang dan tujuan

penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran, ruang

lingkup, atau objek yang akan diatur; dan jangkauan dan arah

pengaturan. Penyampaian Ranperda diberikan nomor pokok oleh

sekretariat DPRD. Namun dalam hal Ranperda mengatur mengenai:

APBD provinsi; pencabutan perdaprovinsi; atau perubahan perda

yang hanya terbatas mengubah beberapa materi penyampaian

Ranperda tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan yang

memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.272

Tahap selanjutnya yaitu pimpinan DPRD menyampaikan

Ranperda kepada Bapemperda untuk dilakukan pengkajian.

Pengkajian dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan,

271

Pasal 31 Permendagri No. 80 Tahun 2015. 272

Pasal 33-36 Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Page 308: HUKUM PERUNDANG

295

dan pemantapan konsepsi rancangan perdaprovinsi.Bapemperda

menyampaikan hasil pengkajian Ranperda kepada pimpinan DPRD.

Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Bapemperda dalam

rapat paripurna DPRD. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda

kepada anggota DPRD dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari

sebelum rapat paripurna DPRD. Kegiatamn dalam rapat paripurna

DPRD yaitu:

a. pengusul memberikan penjelasan;

b. fraksi dan anggota DPRD provinsi lainnya memberikan

pandangan; dan

c. pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan

anggota DPRD provinsi lainnya.

Rapat paripurna DPRD memutuskan usul Ranperda, berupa:

persetujuan; persetujuan dengan pengubahan; atau penolakan. Dalam

hal persetujuan dengan pengubahan pimpinan DPRD menugaskan

komisi, gabungan komisi, Bapemperda, atau panitia khusus untuk

menyempurnakan Ranperda tersebut. Penyempurnaan Ranperda

disampaikan kembali kepada pimpinan DPRD.273

Akhirnya, Ranperda yang telah disiapkan oleh DPRD

disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk

dilakukan pembahasan. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan

kepala daerah menyampaikan Ranperda mengenai materi yang sama,

yang dibahas yaitu Ranperda yang disampaikan oleh DPRD dan

Ranperda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai

bahan untuk dipersandingkan.

14.6. Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Peraturan

Perundang-undangan.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau

tertulis yang dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat

273

Pasal 37, 38 Permendagri No. 80 Tahun 2015.

Page 309: HUKUM PERUNDANG

296

umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar,

lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat yang dimaksudkan ialah

orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai

kepentingan atas substansi RUU. Pengertian kelompok orang

meliputi antara lain: kelompok/organisasi masyarakat, kelompok

profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Untuk

memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan

dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan

harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.274

Pasal 188 Perpres No. 87 Tahun 2014 menentukan bahwa

partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan konsultasi

publik. Tata cara pelaksanaan konsultasi publik tersebut diatur

dengan Peraturan Menteri.

Pasal 215 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib menentukan ruang lingkup partisipasi masyarakat meliputi

pemberian masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR dalam

proses:

a. penyusunan dan penetapan Prolegnas;

b. penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;

c. pembahasan RUU tentang APBN;

d. pengawasan pelaksanaan undang-undang; dan

e. pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Pada prinsipnya masukan secara tertulis dapat dilakukan

terhadap setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan

dan disampaikan kepada Anggota dan/atau pimpinan alat

kelengkapan DPR. Namun masukan masyarakat yang diberikan

dalam proses pembahasan RUU tentang APBN disampaikan kepada

pimpinan komisi.

274

Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011.

Page 310: HUKUM PERUNDANG

297

Masyarakat dalam memberikan masukan terhadap proses

pembentukan peraturan perundang-undangan disampaikan dengan

menyebutkan identitas yang jelas ditujukan kepada pimpinan DPR,

pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia

khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran

yang menyiapkan dan menangani pembahasan RUU serta melakukan

pengawasan pelaksanaan UU atau melaksanakan kebijakan

pemerintah. Dalam hal masukan disampaikan kepada pimpinan DPR,

masukan diteruskan kepada pimpinan komisi, pimpinan gabungan

komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau

pimpinan Badan Anggaran yang menyiapkan RUU275

.

Dalam hal masukan disampaikan secara lisan, pimpinan

komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus,

pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran

menyampaikan undangan kepada orang yang diundang, menentukan

waktu pertemuan dan jumlah orang yang diundang dalam pertemuan.

Pertemuan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk rapat dengar

pendapat umum, pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan

gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan

Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, atau pertemuan dengan

pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia

khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran

didampingi oleh beberapa Anggota yang terlibat dalam penyiapan

RUU. Hasil pertemuan tersebut dijadikan bahan masukan terhadap

RUU yang sedang dipersiapkan. Pimpinan alat kelengkapan yang

menerima masukan menyampaikan informasi mengenai tindak lanjut

atas masukan kepada masyarakat melalui surat atau media

elektronik.276

275

Ayat (3) dan (4) Pasal 216 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang

Tata Tertib. 276

Pasal 217 dan 218 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib.

Page 311: HUKUM PERUNDANG

298

Namun demikian, peraturan menteri yang diharapkan sebagai

ketentuan tata cara pelaksanaan konsultasi public belum terbentuk

sehingga tidak ada pedoman formal untuk melakukan konsultasi

publik. Hal itu berimplikasi pada muncul fleksibilitas dan

heteroginitas dalam pelaksanaan konsultasi public sehingga timbul

tendensi untuk memilih proses konsultasi dalam forum yang lebih

kecil daripada sebagian besar stakeholders dan masyarakat umum

yang berkeinginan mengikuti konsultasi public tersebut.277

14.7. Penutup

Resume.

Proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang

dideskripsikan di atas terdiri dari kegiatan dalam perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan

pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. Selain itu,

tidak kalah penting pula adanya partisipasi masyarakat dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan. Aktivitas ini suatu

keniscayaan dalam Negara demokrasi. Proses pembuatan peraturan

perundang-undangan pada hakikatnya merujuk pada proses

pembuatan Undang-undang, kecuali dalam pembuatan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan

peraturan presiden dalam perencanaan tidak disertai dengan NA.

Bahkan dalam perencanaan penyusunan RUU pun tidak setiap RUU

disertai dengan NA.

Proses penyusunan UU dan Perda dimulai dengan

penyusunan program legislasi nasional untuk penyusunan RUU, atau

penyusunan program pembentukan perda untuk penyusunan

peraturan daerah. Kemudian disusun penjelasan atau keterangan

277

OECD, OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia, dalam Bayu

Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di

Indonesia, KONpres, Jakarta, hln. 285.

Page 312: HUKUM PERUNDANG

299

dan/atau NA untuk RUU atau Ranperda. RUU atau Ranperda dibahas

di DPR atau DPRD dalam dua tingkat pembicaraan, yaitu

pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Fase terakhir

dalam pembuatan UU atau Perda yaitu pengesahan atau penetapan,

pengundangan dan penyebarluasan. Partisipasi masyarakat, demikian

pula dengan penyebarluasan, dilakukan pada setiap tahapan dari

rangkaian kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Latihan.

1. Uraikan kegiatan yang dilakukan pada fase perencanaan,

penyusunan, dan pembahasan dalam pembentukan UU, Perppu,

PP, Perpres, dan Perda.

2. Buatlah diagram alir proses pembuatan Perppu, PP, dan Perpres.

3. Jelaskan relevansi partisipasi masyarakat dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan, terutama dalam pembuatan UU

dan Perda.

14.8. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. l2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Peraturan Menteri Dalam Negari No 80 Tahun 2015 tentang

Pembenutkan Produk Hukum Daerah.

Buku

Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-

Undang di Indonesia, KONpres, Jakarta.

Page 313: HUKUM PERUNDANG

300

B. Hestu Cipto Handoyo; 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan

Desain Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, Yogyakarta.

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis

Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian

Teoritis dan Praktis Disertai Manual): Konsepsi Teoritis

Menuju Artikulasi Emperis, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2009.

I Gede Panca Astawa dan Na'a Suprin, 2008, Dinamika Hukum dan

llmu Perundang-undangan, Alumni Bandung.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press,

Jakarta.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007,llmu Perundang-Undangan 2:

Proses dan Teknik Penyusunan, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta

Sirajuddin dkk; 2015, Legislative Drafting Pelembagaan Metode

Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, Setara Press, Malang, hlm. 188-190.

Page 314: HUKUM PERUNDANG

301

PERTEMUAN XV:

TUTORIAL VII

PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

15.1. Pendahuluan

Pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan

kegiatan membentuk peraturan perundang-undangan yang melalui

tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan. Peraturan perundang-undangan

memiliki cakupan sangat luas karena banyak jenisnya. Karena itu,

proses pembuatan peraturan perundang-undangan meliputi proses

pembuatan seluruh jenis peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam bab ini mahasiswa diberi tugas untuk mendeskripsikan proses

pembuatan UU, PP, Perpres, dan pembuatan Perda serta partisipasi

masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah

berakhirnya perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami

mengenai proses pembuatan UU, PP, Perpres, dan Perda serta

mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan tersebut.

15.2. Penyajian Materi

Tugas I: Role Play.

Banyak masalah -masalah sosial yang terjadi di Indonesia,

yang belum dapat ditangani dengan baik antara lain masalah terhadap

anak-anak. Dalam berbagai media sering diberitakan anak menjadi

obyek eksploitasi dari orang tuanya sendiri. Anak-anak dimanfaatkan

untuk kepentingan ekonomi (menjadi pengemis, pekerja, bahkan

pernikahan dini demi ekonomi keluarga). Anak juga sering menjadi

obyek perdagangan seks baik oleh orang tua kandungnya maupun

orang lain, dan juga sering kita dengar berbagai kasus kekerasan

Page 315: HUKUM PERUNDANG

302

terhadap anak. Pemerintah bermaksud untuk mengatasi permasalahan

yang dialami oleh anak-anak dengan membuat peraturan perundang-

undangan. Peraturan perundang-undangan yang ada dirasakan belum

mampu memberikan perlindungan terhadap anak-anak tersebut.

Tugas: mahasiswa membentuk kelompok menjadi 3 (tiga), masing-

masing kelompok memainkan peran sebagai pemerintah,

anggota DPR dan masyarakat. Masing-masing kelompok

akan berperan sebagai pihak-pihak yang akan terlibat

dalam penyusunan RUU tersebut di atas. Kelompok

pemerintah akan berperan mengusulkan RUU tersebut dan

membahas RUU tsb di Pemerintah maupun DPR.

Kelompok DPR akan berperan sebagai anggota DPR yang

akan membahas RUU dari pemerintah baik ketika RUU

masuk ke DPR ataupun ketika pembahasan di DPR.

Kelompok masyarakat berperan sebagai orang-orang yang

berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU tersebut.

Tugas II: membuat diagram alir proses penyusunan Ranperda di

provinsi

Mahasiswa membuat diagram alir proses penyusunan

program pembentukan peraturan daerah (Propemperda), penyusunan

Ranperda di lingkungan pemerintah daerah, penyusunan Ranperda di

lingkungan DPRD, pembahasan Ranperda di DPRD.

Petunjuk: Mahasiswa membentuk kelompok menjadi 4 (empat)

kelompok. Setiap kelompok menyusun satu diagram alir yang akan

ditentukan berdasarkan undian. Daftar nama mahasiswa dan NIM

dalam kelompok disusun berurut dari nomor kecil.

15.3. Penutup

Dalam penyajian materi: Tugas Role Play tersebut di atas

mahasiswa berdiskusi untuk menguraikan penyusunan RUU dan

Ranperda. Pada akhir tutorial, mahasiswa wajib menyetor laporan

kegiatan tutorial, yang mendeskripsikan secara rinci seluruh kegiatan

Page 316: HUKUM PERUNDANG

303

dalam tutorial tersebut, yaitu: siapa yang memainkan peran pada

masing-masing peran yang sudah ditentukan dengan memperhatikan

alokasi waktu selama tutorial. Laporan tutorial wajib dikumpulkan

pada saat berakhirnya waktu seluruh kegiatan tutorial.

15.4. Bahan Bacaan/ Rujukan Pengayaan

Lihat Bahan Bacaan pada pertemuan XIV di atas

Page 317: HUKUM PERUNDANG

304

PERTEMUAN XVI

UJIAN AKHIR SEMESTER

Page 318: HUKUM PERUNDANG