25
Hukum Islam Atas Mushafahah Oleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawi Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh). Dalil-Dalil, Serta Argumentasi yang Digunakan oleh Masing- Masing Pendapat Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut: Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah ra yaitu: Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya. ” [HR. Bukhari dan Muslim]. Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan. [HR. Bukhari dan Muslim]. Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram. Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi: Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya. ” [HR. ath-Thabrani]. Atau hadits yang berbunyi: Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni: 1

Hukum Islam Atas Mushafahah

  • Upload
    ulfa98

  • View
    366

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hukum Islam Atas Mushafahah

Hukum Islam Atas MushafahahOleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawi

Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).

Dalil-Dalil, Serta Argumentasi yang Digunakan oleh Masing-Masing PendapatDalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:

Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah ra yaitu:

Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.

Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabrani].

Atau hadits yang berbunyi:

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].

Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.

Pertama, diriwayatkan dari ‘Ummu ‘Athiyyah ra yang berkata: “Kami telah membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].

Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qa ba dha dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu) (A.W.

1

Page 2: Hukum Islam Atas Mushafahah

Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 57-58, 71-72). Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan (Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata qa ba dha juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar ra dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah ra berkata, “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.” Beliau kemudian bersabda:

“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini —digenggamnya pergelangan tangannya sendiri— dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. ath-Thabari dari ‘Aisyah ra].

Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah ra ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.

Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah ra yang berkata:

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab: ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].

Ketiga, dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT:

“... atau kamu telah menyentuh wanita...” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).

Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita —tanpa diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah.

Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.

Keempat, Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.

2

Page 3: Hukum Islam Atas Mushafahah

Imam ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabîr, juz 8, hal. 137 menuturkan sebuah riwayat bahwa Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.

Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarani bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.

Imam al-Qurthubi di dalam al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qurân, juz 18, hal. 71, juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengambil bai’at dari kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah Saw dan tangan wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw mengambil sumpah wanita-wanita tersebut. Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah Saw selesai membaiat kaum laki-laki Rasulullah Saw duduk di shofa bersama dengan Umar bin Khaththab yang tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah Saw membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan wanita-wanita itu.

Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau Saw pasti akan melarangnya.

Sikap Kita dalam Menghadapi Perbedaan TersebutDalam menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seola-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh.

2. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh.3. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini

harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir.

4. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui (Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).

Pendapat yang Rajih (Kuat)Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah ra. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa:

“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”

3

Page 4: Hukum Islam Atas Mushafahah

Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah ra lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyyah ra sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah ra) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah ra menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.

2. Memang benar ‘Aisyah ra tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul —dalam hal ini berjabat tangan— yang diketahui ‘Aisyah ra, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah ra, bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah ra lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah ra). Sehingga kalau ‘Aisyah ra tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyyah ra) Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabarani].

Atau hadits yang berbunyi:

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata massa yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata lamasa. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:

“... atau kamu telah menyentuh wanita...” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).

Juga firman Allah SWT:

“... atau kamu telah menyentuh wanita...” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 6).

“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri...” (Qs. al-An’âm [6]: 7).

Arti kata lamasa menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Di dalam Kamus al-Muhith, karangan Fairuz Abadi, juz 2, hal. 249, arti lamasa adalah al jassu bil yadi (menyentuh dengan tangan).

4

Page 5: Hukum Islam Atas Mushafahah

Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh wanita (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.

Didalam hadits-hadits pun terdapat kata lamasa yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan:

Telah berkata Ibn ‘Abbas:

“Tatkala Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya Rasulullah.’ Berkata (Ibnu ‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam’.” [HR. al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55).

Juga diriwayatkan:

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan cara mulamasah dan munabadzah.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Jual beli secara mulamasah yaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz 2, hal. 150).

4. Kata massa merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti ‘menyentuh dengan tangan’. Yakni di dalam firman Allah SWT:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Wâqi’ah [56]: 78).

Juga dalam riwayat:

“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya): ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci’.” [HR. al-Atsram dan ad-Daraquthni]. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’.

Tetapi, hadits-hadits yang diggunakan sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata massa yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata massa dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka...” (Qs. al-Baqarah [2]: 236).

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal...” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).

Juga firmanNya:

“Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).

“...kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka...” (Qs. al-Ahzab [33]: 49).

5

Page 6: Hukum Islam Atas Mushafahah

Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata massa untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.

Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata massa memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim].

5. Walaupun kata massa dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyyah ra dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah ra yang berkata:

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].

Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab rauntuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab ra melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) anatar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah Islamiyyah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).

6. Hadits riwayat Thawus, Aisyah, dan lain-lainAdapun hadits-hadits yang menunjukkan pengertian, bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita, tidak secara otomatis menunjukkan adanya larangan dari Rasulullah Saw. Sebab, ketidakadaan perbuatan pada diri Rasulullah saw tidak secara otomatis perbuatan tersebut dilarang bagi umatnya. Riwayat-riwayat itu cukup banyak, akan tetapi ana akan sebutkan beberapa diantaranya:

ول� ي�ا ب�اي�ع�ن�ا س� ال� الل�ه� ر� ب�ن� ق� د� اذ�ه� ق� ا ب�اي�ع�ت�ك�ن� ف� �ن�م� و�ل�ي إ ائ�ة� ق� �ة# ل�م� أ ر� ام�ل�ي و� �ة# ك�ق� أ ر� م� د�ة# ال� اح� ال�ت� و� ل�م� ق� ح� و� اف� ول� ي�ص� س� ل�ى الل�ه� ر� ع�ل�ي�ه� الل�ه� ص�ل�م� ن�ا و�س� �ة5 م� أ ر� ام�

6

Page 7: Hukum Islam Atas Mushafahah

Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah bint Ruqaiqah al-Taimiyyah, bahwasanya ia berkata, “……Bai’atlah kami ya Rasulullah.” Rasulullah Saw menjawab, “Pergilah, aku telah membai’at kalian. Sesungguhnya, perkataanku untuk 100 orang wanita, sama dengan perkataanku untuk satu orang perempuan.” Kemudian ia mengatakan, bahwa Rasulullah saw tidak berjabat tangan dengan seorang wanitapun dari kami.” [HR. Ahmad].

د�ث�ن�ا ي�اد# ب�ن� ع�ت�اب� ح� ن�ا ز� ب�ر� ن�ا الل�ه� ع�ب�د� أ�خ� ب�ر� ة� أ�خ� ام� ي�د# ب�ن� أ�س� د�ث�ن�ي ز� و ح� ر� ع�م�ع�ي�ب# ب�ن� ب�يه� ع�ن� ش�

� ر#و ب�ن� الل�ه� ع�ب�د� ع�ن� أ ول� أ�ن� ع�م� س� ل�ى الل�ه� ر� ع�ل�ي�ه� الل�ه� ص�ل�م� ح� ال� ك�ان� و�س� اف� اء� ي�ص� ال�ب�ي�ع�ة� ف�ي الن@س�

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru, bahwasanya Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita dalam bai’at. [HR. Ahmad].

Dituturkan dari ‘Urwah bin Zubeirn bahwasanya ‘Aisyah berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah Saw tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan.” [HR. Bukhari]. Dalam hadits ini juga dinyatakan, bahwa Rasulullah saw membai'at para wanita dengan ucapan. Masih banyak hadits-hadits yang senada dengan ini.

Pendapat ini adalah lemah, karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan:

Inna ‘adam fi’l al-rasûl lisyain laisa dalîl syar’iyan (Sebenarnya perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw bukanlah dalil syara’).

Sedangkan yang bisa dijadikan dalil syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, perkataan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” Tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi, hadits itu harus dipahami bahwa Rasulullah Saw ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah Saw selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah Saw juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau Saw tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Terus, dari sisi bahasa, shighat hadits ini adalah shighat khabariyah, dan sama sekali tidak menunjukkan implikasi hukum larangan. Sebab, kalimat semacam ini hanya memberikan informasi saja, dan tidak mengandung unsur larangan dan perintah. Misalnya, Rasulullah Saw bersabda, “Kami adalah umat ummi tidak menulis dan menghitung (menghisab).” [HR. Bukhari]. Hadits ini hanya menginformasikan keadaan dan kebiasaan Rasulullah Saw dan para shahabat yang tidak biasa menulis dan menghitung, dan tidak menunjukkan larangan menulis dan menghisab (astronomi). (Hanya saja hisab tidak bisa digunakan dalil untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal). Kenyataan justru menunjukkan, bahwa syariat telah memerintahkan kaum Muslim untuk menulis dalam masalah muamalah, dan shahabat juga menulis hadits-hadits dari Rasulullah Saw. Dikisahkan pula bahwa Rasulullah Saw tidak pernah menyimpan dinar dan dirham di rumahnya. Riwayat semacam ini hanya memberikan informasi atas perbuatan Rasulullah saw, dan tidak secara otomatis menunjukkan hukum larangan bagi umatnya. Sebab, umat Islam diperbolehkan menyimpan dinar dan dirham.

Akan tetapi ada bentuk khabariyah yang bisa berimplikasi hukum larangan, jika di dalamnya ada indikasi atau redaksi perintah dan larangan. Misalnya, firman Allah SWT, “Telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan kepada atas orang-orang sebelum kalian.” (Qs. al-Baqarah [2]: 183). Kalimat semacam ini, meskipun khabariyyah, namun memberikan implikasi perintah dan larangan. Ini ditunjukkan oleh frase “kutiba ‘alaikum ash-shiyâm”. Sighat semacam ini berbeda dengan hadits-hadits yang berbicara tentang mushafahah di atas. Oleh karena itu, hadits-hadits di atas

7

Page 8: Hukum Islam Atas Mushafahah

(riwayat Ma’mar, dan ‘Aisyah ra, dan lain-lain) sama sekali tidak menunjukkan implikasi larangan dan perintah, alias hanya mengetengahkan informasi belaka. Sebab, kebanyakan yang dibahas dalam ilmu ushul fiqh adalah sighat insya’, bukan khabariyah.

Selain itu, ada riwayat-riwayat shahih yang masih mungkin diinterpretasikan adanya mushafahah. Misalnya adalah hadits yang menuturkan bai’at yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.

Ibn Jarir telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, Ketika Rasulullah Saw tiba, beliau mengumpulkan wanita Anshor di sebuah rumah. Lalu, beliau saw mengutus Umar bin Khaththab untuk menemui kami. Umar pun berdiri di depan pintu dan memberi salam kepada kami, dan kami pun membalas salamnya. Selanjutnya ia berkata, “Saya adalah utusan Rasulullah Saw untuk menemui kalian.” Saya (Ummu ‘Athiyah) berkata, “Kami menjawab, ‘Selamat datang bagi Rasulullah Saw dan utusan Rasulullah Saw’.” Kemudian Umar berkata, “Berbai’atlah untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, dan janganlah kalian mencuri, dan berzina.” Saya (Ummu ‘Athiyah) berkata, “Kami menjawab, ‘Ya’.” Saya (Ummu ‘Athiyah) berkata, “Kemudian ia mengulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah, dan kami pun mengulurkan tangan dari dalam rumah; Umar pun berkata, ‘Ya Allah saksikanlah’.” (al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalaniy, Talkhîsh al-Habir, juz 4, 169-70; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Adzim, juz 4, 356; Imam Malik, al-Muwaththa’, juz 1, hal. 34; Lihat juga al-Haitsamiy, Majma’ az-Zawaid, juz 6, hal. 36; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, juz 3, hal. 184; Musnad Imam Ahmad, juz 6, hal. 408; Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sya’b al-Îmân, juz 7, hal. 21).

Konteks hadits ini adalah bai’at, dan bai'at dilakukan dengan cara berjabat tangan. Dhahir hadits ini menunjukkan, bahwa Umar mengulurkan tangannya, dan kemudian disambut oleh wanita-wanita yang ada di dalam rumah. Ini menunjukkan, bahwa dzahir hadits ini menceritakan tentang bai'atnya wanita dengan cara berjabat tangan. Bisa saja dipahami berjabat tangan secara langsung maupun dengan penghalang. Jika kita sependapat dengan syarah al-Hafidz Ibn Hajar, maka kita akan berkesimpulan bahwa makna “fa madda yaduhu” bukan berjabat tangan secara langsung. Al-Hafidz Ibn Hajar menyatakan, bahwa hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa Umar membai’at wanita-wanita tersebut dengan berjabat tangan secara langsung; akan tetapi dilakukan di balik tabir, alias menggunakan penghalang (al-Hafidz Ibn Hajar, Fâth al-Bârî, juz 8, hal. 636 ; lihat juga Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, juz 9, hal. 144). Hanya saja, penafsiran al-Hafidz diindikasikan dengan riwayat-riwayat yang menuturkan Rasulullah saw tidak pernah menyentuh tangan wanita; sebagaimana hadits-hadits yang telah ana paparkan di atas. Jika kita mengindikasikan dengan surat an-Nisâ’ [4]: 43, dan riwayat yang tersebut di dalam Adabul Mufrad tentang budak perempuan yang mengandeng tangan Rasulullah Saw, tentunya kita akan menarik kesimpulan, bahwa bai’at wanita yang diwakili oleh Umar bisa saja diinterpretasikan dengan cara berjabat tangan tanpa tabir maupun penghalang. Lebih-lebih jika kita menshahihkan riwayat yang menuturkan jabat tangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan Umar ra (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an)

8. Memahami Makna Kata “Qabadha” Pada Hadits Ummu ‘Athiyyah Sebagian orang telah gagal dalam memahami kata “qabadha” yang terdapat dalam hadits Ummu ‘Athiyyah. Ini disebabkan mereka gagal memahami kata “qabadha” sesuai dalam konteks bahasa (wadh’u lughah) meskipun mereka telah menukil banyak pendapat ahli kamus. Selain itu, mereka juga telah gagal secara metodologis dalam memahami makna kata “qabadha”. Sesungguhnya, ketika seseorang hendak beristidlal dengan lafadz bahasa Arab, ia tidak cukup memaknainya dengan hanya merujuk kamus-kamus (meskipun mu’tabar), akan tetapi ia harus memahami secara sempurna penggunaan kata tersebut oleh orang Arab sebelum rusaknya bahasa Arab, maupun penggunaannya di dalam konteks tasyri’ (al-Qur’an dan as-Sunnah). Sebab, sebuah kata kadang-kadang memiliki hakekat syar’iyyah, ‘urfiyyah, maupun lughawiyyah. Hakekat syar’iyyah harus didahulukan daripada hakekat ‘urfiyyah maupun lughawiyyah. Hakekat ‘urfiyyah harus didahulukan daripada hakekat lughawiyyah. Oleh karena itu, untuk memahami makna sebuah lafadz, seseorang mesti memahami penggunaan serta pemaknaan kata tersebut menurut syara’, ‘urf, maupun lughah. Untuk itu, agar kata “qabadha” bisa

8

Page 9: Hukum Islam Atas Mushafahah

dipahami secara tepat dan menyeluruh, kita harus meneliti penggunaan kata ini di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baru kemudian merujuk kepada kamus-kamus mu’tabar (meskipun kadang-kadang di dalam kamus mu’tabar juga disitir penggunaan suatu kata di dalam konteks tasyri’).

Dari sini, dapat disimpulkan, bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian orang jelas-jelas tidak memadai untuk memaknai kata “qabadha”. Sebab, mereka hanya merujuk kepada kamus-kamus, tanpa melakukan eksplorasi istilah tersebut di dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Jika kita cermati penggunaan kata “qabadha” baik dalam al-Qur’an dan sunnah, sungguh, kita akan menemukan ragam makna yang dimiliki oleh kata “qabadha”. Berikut ini akan diketengahkan beberapa makna dari kata “qabadha”.

8.1. Menarik SesuatuKata “qabadha” dengan makna menarik tercantum di dalam al-Qur’an:

ن�اه� ث�م� ب�ض� �ل�ي�ن�ا ق� ا إ ب�ض5 ا ق� ير5 ي�س�

“Kemudian kami menarik bayang-bayang itu kepada kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (Qs. al-Furqân [25]: 46).

Kata “qabadha” kadang-kadang juga dikonotasikan dengan mencabut. Perhatikan hadits riwayat Imam Muslim berikut ini:

�ذ� ا الل�ه� ب�ع�ث� إ م� ط�ي@ب�ة5 ر�يح5 ذ�ه� ت�أ�خ� ت� ف� م� ت�ح� ب�ض� آب�اط�ه� ت�ق� وح� ف� ن# ك�ل@ ر� ؤ�م� م�ل�م# و�ك�ل@ ي�ب�ق�ى م�س� ار� و� ر� ون� الن�اس� ش� ج� ار� ا ي�ت�ه� يه� ف�

“…kemudian, Allah SWT mengirimkan angin kebaikan yang berhembus di bawah ketiak mereka, lalu mencabut ruh setiap Mukmin dan Muslim; dan yang tersisa hanyalah seburuk-buruk manusia yang suka berbuat dosa di muka bumi…” [HR. Muslim].

8.2. Menggenggam

ون� ن�اف�ق� ات� ال�م� ن�اف�ق� ال�م� م� و� ه� ن� ب�ع�ض� ون� ب�ع�ض# م� ر� م�ن�ك�ر� ي�أ� و�ن� ب�ال�م� ي�ن�ه� ع�ن� و�

وف� ع�ر� ون� ال�م� ب�ض� ي�ق� م� و� �ي�د�ي�ه� أ

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. mereka Telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. at-Taubah [9]: 67).

ا وا و�م� د�ر� ق� الل�ه� ق� ه� ح� د�ر� ض� ق� ر�� األ� يع5ا و� م� ت�ه ج� ب�ض� م� �ق� ة� ي�و� ي�ام� ال�ق�

ماو�ات� ي�اتW و�الس� ين�ه� م�ط�و� ان�ه� ب�ي�م� ب�ح� ت�ع�ال�ى س� ا و� ر�ك�ون� ع�م� ي�ش�

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. az-Zumar [39]: 67).

8.3. Mengambil

ال� ت� ق� ر� ا ب�ص� وا ل�م� ب�م� ر� ت� ب�ه� ي�ب�ص� ب�ض� ق� ة5 ف� ب�ض� ن� ق� �ث�ر� م� ول� أ س� ا الر� ن�ب�ذ�ت�ه� ف� ك�ذ�ل�ك� ل�ت� و� و� س�ي ل�ي س� ن�ف�

9

Page 10: Hukum Islam Atas Mushafahah

“Samiri menjawab: ‘Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, Maka Aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu Aku melemparkannya, dan Demikianlah nafsuku membujukku’.” (Qs. Thâhâ [20]: 96).

8.4. Menyempitkan atau Menyusutkan atau Melipat

ن� ر�ض� ال�ذ�ي ذ�ا م� ا الل�ه� ي�ق� ض5 ر� ن5ا ق� س� ه� ح� ف� اع� ي�ض� ا ل�ه� ف� ع�اف5 ة5 أ�ض� الل�ه� ك�ث�ير� و� ب�ض� ط� ي�ق� ي�ب�س� �ل�ي�ه� و� إ ع�ون� و� ج� ت�ر�

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepadaNya-lah kamu dikembalikan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 245).

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

د�ث�ن�ا ت�ي�ب�ة� ح� د�ث�ن�ا ق� ي�ى ع�ن� ل�ي�ثW ح� ع�يد# ب�ن� ي�ح� ار�ي@ س� �ن�ص� �ن�ه� األ� ع� أ م� �ن�س� س� ب�ن� أ ال�ك# ول� م� ال� ي�ق� ول� ق� س� ل�ى الل�ه� ر� ل�م� ع�ل�ي�ه� الل�ه� ص� �ال� و�س� ك�م� أ ب�ر� خ�

ي�ر� أ� د�ور� ب�خ� ار� �ن�ص� ال�وا األ� ول� ي�ا ب�ل�ى ق� س� ال� الل�ه� ر� ار� ب�ن�و ق� م� ال�ذ�ين� ث�م� الن�ج� ب�ن�و ي�ل�ون�ه�

ل� ع�ب�د� ه� �ش� م� ال�ذ�ين� ث�م� األ� ار�ث� ب�ن�و ي�ل�ون�ه� ج� ب�ن� ال�ح� ر� ز� م� ال�ذ�ين� ث�م� ال�خ� ي�ل�ون�ه� د�ة� ب�ن�و اع� ال� ث�م� س� ب�ض� ب�ي�د�ه� ق� ق� اب�ع�ه� ف� ص�

ن� ث�م� أ� ط�ه� ام�ي ب�س� ث�م� ب�ي�د�ه� ك�الر� ال� ار� د�ور� ك�ل@ و�ف�ي ق� �ن�ص� ي�رW األ� خ�

“Maukah kamu sekalian aku beritahu sebaik-baik kabilah Anshor?” Para shahabat menjawab, “Ya Rasulullah.” Rasulullah Saw bersabda, “Banu al-Najjar dan orang-orang setelahnya Banu ‘Abdu al-Asyhal, kemudian orang-orang setelahnya, Abu al-Harits bin al-Khazraj, kemudian orang setelahnya Banu Sa’idah. Lalu, beliau berbicara dengan tangannya, lalu melipat ujung jarinya, lantas mengembangkannya seperti melempar dengan tangannya. Kemudian, beliau bersabda, "Setiap kabilah Anshor adalah baik.” [HR. Bukhari].

8.5. Memegang

إ�ن� ر# ع�ل�ى ك�ن�ت�م� و� ف� ل�م� س� د�وا و� انW ك�ات�ب5ا ت�ج� ر�ه� ةW ف� ب�وض� ق� إ�ن� م� ن� ف� ك�م� أ�م� ب�ع�ض� ا د@ ب�ع�ض5 ل�ي�ؤ� ن� ال�ذ�ي ف� ت�م� ان�ت�ه� اؤ� م�

� ل�ي�ت�ق� أ ب�ه� الل�ه� و� ال� ر� اد�ة� ت�ك�ت�م�وا و� ه� ن� الش� و�م� ا ه� �ن�ه� ي�ك�ت�م� إ ل�ب�ه� ء�اث�مW ف� الل�ه� ق� ا و� ل�ون� ب�م� ع�ل�يمW ت�ع�م�

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 283).

Inilah beberapa makna masyhur dari kata “qabadha” yang sejalan dengan penggunaannya dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Sedangkan secara literal, kata “qabadha” bermakna “akhadzahu” (mengambilnya). Di dalam Kamus Mukhtâr ash-Shihâh, karya Imam ar-Razi disebutkan, bahwa qabadha asy-syai’, maknanya adalah akhadzahu (mengambilnya atau menariknya). [Lihat Imam ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, bab qabadha).

10

Page 11: Hukum Islam Atas Mushafahah

Mari kita melihat kembali hadits Ummu ‘Athiyyah ra yang menjadi dasar untuk membolehkan mushafahah.

د�ث�ن�ا د�دW ح� د�ث�ن�ا م�س� ار�ث� ع�ب�د� ح� �يiوب� ع�ن� ال�و� ة� ع�ن� أ ص� ف� �م@ ع�ن� ح� ال�ت� ع�ط�ي�ة� أ ق� ل�ى الن�ب�ي� ب�اي�ع�ن�ا ل�م� ع�ل�ي�ه� الل�ه� ص� � و�س� أ ر� ق� ر�ك�ن� ال� أ�ن� ع�ل�ي�ن�ا ف� ي�ئ5ا ب�الل�ه� ي�ش� ش�ان�ا ن�ه� ة� ع�ن� و� ت� الن@ي�اح� ب�ض� ق� �ةW ف� أ ر� ن�ا ام� ا م� ال�ت� ي�د�ه� ق� ن�ة� ف� ال� ع�د�ت�ن�ي ف� �ن�ا أ�س� أ و�

ر�يد�� ا أ�ن� أ ز�ي�ه� ل�م� أ�ج� ل� ف� ي�ئ5ا ي�ق� ب�ت� ش� ذ�ه� ع�ت� ث�م� ف� ج� ا ر� م� �ةW و�ف�ت� ف� أ ر� �ال� ام� �مi إ أ

ل�ي�م# �مi س� أ ء� و� اب�ن�ة� ال�ع�ال� ب�ي و�ة� أ� ب�ر� �ة� س� أ ر� ع�اذ# ام� و� م�

� ب�ي اب�ن�ة� أة� أ� ب�ر� �ة� س� أ ر� ام� و�

ع�اذ# م�

Hadits ini berbicara pada konteks bai’at, serta menjelaskan beberapa hukum mengenai syirik dan meratap. Di akhir redaksi hadits tersebut dikisahkan ada seorang perempuan yang menarik kembali tangannya. Meskipun redaksi hadits ini hanya menyebutkan “menarik kembali tangannya”, dapat disimpulkan bahwa wanita ini hendak berjabat tangan dengan Rasulullah Saw namun tidak jadi, lantas menarik kembali tangannya. Dzahirnya, selain wanita ini, semuanya membaiat Rasulullah Saw dengan berjabat tangan atau menggenggam kedua tangannya. Sebab, lazimnya, bai’at dilakukan dengan cara berjabat tangan. Oleh karena itu, makna hadits ini adalah “selain wanita yang menarik tangannya itu”, telah membaiat Rasulullah Saw dengan cara berjabat tangan. Kata “qabadha” sendiri bisa bermakna “menggenggam atau menarik”. Makna yang bisa diambil dari hadits ini adalah Rasulullah Saw melakukan baiat dengan cara berjabat tangan, dan ada kalanya tidak. Walhasil, hukum berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah adalah mubah, tidak haram.

Makna semacam ini telah lazim dan dipahami oleh para ulama hadits. Meskipun mereka berkesimpulan lain, namun, dalam memahami “hadits Ummu ‘Athiyyah ini” (tanpa dibandingkan dengan riwayat yang lain) jelas menunjukkan, bahwa dzahir hadits Ummu ‘Athiyah ra mengisyaratkan adanya mushafahah. Hal ini tampak jelas pada penjelasan Imam al-Mubarakfuriy, tatkala menjelaskan tafsir surat al-Mumtahanah [60] ayat 12; meskipun akhirnya beliau membawa pengertian hadits Ummu ‘Athiyyah ra ini ke makna yang lain (yakni bai’at tidak dilakukan dengan jabat tangan):

{ أي الله لهن } واستغفر فبايعهن الشروط هذه على بايعنك إذا { أي } فبايعهن الرحمة وكثير سلف ما بتمحيق المغفرة بليغ { أي رحيم غفور الله } إن مضى عما

عليه الله صلى الله رسول يد مست ) ما السابق باإلسناد ( أي معمر ) قال لعباده أقر فمن عائشة : قالت التفسير في البخاري رواية , وفي المبايعة عند ( أي وسلم

بايعتك " قد وسلم عليه الله صلى الله رسول لها قال المؤمنات من الشرط بهذا " بقوله إال يبايعهن . ما المبايعة في قط امرأة يد يده مست ما والله " ; وال كالما

ما على الرد إلى بذلك أشارت عائشة : وكأن الحافظ " . قال ذلك على بايعتك قد من مردويه وابن والطبري والبزار حبان وابن خزيمة ابن فعند عطية أم عن جاء

فمد قال المبايعة قصة في عطيه أم جدته عن الرحمن عبد بن إسماعيل طريق " , وكذا اشهد " اللهم قال ثم البيت دخل من أيدينا ومددنا البيت خارج من يده

يبايعنه كن بأنهن يشعر فإنه يدها امرأة منا : قبضت فيه الذي عطية أم حديث إلى إشارة الحجاب وراء من األيدي من بأن األول عن الجواب , ويمكن بأيديهن

عن التأخر اليد بقبض المراد بأن الثاني , وعن مصافحته تقع لم وإن المبايعة وقوع بحائل تقع المبايعة كانت أو القبول

Menurut al-Hafidz, ‘Aisyah ra menyatakan hal itu (bahwa tangan Rasul tidak pernah menyentuh tangan wanita) untuk menolak riwayat yang datang dari Ummu ‘Athiyyah ra versi Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban,

11

Page 12: Hukum Islam Atas Mushafahah

al-Bazâr, ath-Thabari, Ibn Mardawaih dari jalan Ismail bin ‘Abdurrahman dari kakeknya dari Ummu ‘Athiyyah ra tentang kisah (diutusnya Umar untuk membaiat wanita-wanita yang ada di dalam rumah), “Umar mengulurkan tangannya dari luar rumah, dan kami (wanita-wanita Anshor) mengulurkan tangan dari dalam rumah) dan juga hadits riwayat Ummu ‘Athiyyah yang bermatan, fa qabadhat minnâ imrât yadahâ. Dua hadits ini mengisyaratkan bahwa beliau Saw membai’at wanita dengan menjabat kedua tangannya. Riwayat pertama bisa saja dijawab, tangan tersebut berada di balik hijab sebagai isyarat terjadinya bai’at, dan tidak terjadi mushafahah. Sedangkan yang dimaksud dengan "menarik tangannya" adalah penundaan penerimaan, atau baiat dilakukan dengan penghalang.” (Imam al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, hadits no. 3238). Dari penjelasan Imam Mubarakfury ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa makna dzahir dari hadits Ummu ‘Athiyyah adalah bai’at dilakukan dengan jabat tangan. Sedangkan pemalingan ke arah makna lain, oleh Imam al-Mubarakfuri, dikarenakan ia membandingkannya dengan riwayat ‘Aisyah ra.

Selain itu, walaupun al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani menyanggah bahwa Rasulullah Saw pernah berjabat tangan dengan wanita secara langsung, namun ada penjelasan al-Hafidz yang cukup menarik untuk disimak tatkala menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari no. 6674, “Di dalam menafsirkan surat al-Mumtahanah, ada pihak yang menyelisihi makna dzahir yang diucapkan oleh Aisyah, bahwa Rasulullah Saw membaiat wanita hanya dengan ucapan saja. Pihak yang menyelisihi ucapan Aisyah ini menyodorkan riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah membaiat wanita dengan penghalang (tabir). Pihak yang menyelisihi juga mengetengahkan riwayat dari Ummu ‘Athiyyah fa qabadhat minnâ imrât yadahâ. Menurut mereka hadits Ummu ‘Athiyyah ini menuturkan bahwa baiat juga dilakukan dengan dua tangan (jabat tangan). Atas dasar itu, (menurut para penyelisih), riwayat-riwayat ini bertentangan dengan apa yang dituturkan oleh Aisyah.” (al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fâth al-Bârî, hadits no. 6674). Penggalan penjelasan ini, menunjukkan, bahwa secara dzahir dapat dipahami bahwa hadits Ummu ‘Athiyyah menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan bai’at dengan kedua tangannya alias berjabat tangan. Hanya saja, al-Hafidz menakwilkan hadits Ummu ‘Athiyyah ini ke makna yang lain, dikarenakan adanya riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan atau menyentuh wanita. Jika kita memahami hadits “Ummu ‘Athiyyah ini” dari sisi dzahirnya tanpa dikaitkan dengan hadits-hadits lain, tentunya kita akan berkesimpulan bahwa riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memba’iat wanita dengan cara berjabat tangan.

Benar, para ulama, misalnya al-Hafidz Ibn Hajar, Imam al-Mubarakfuri, Imam an-Nawawi, dan lain sebagainya menakwilkan hadits Ummu ‘Athiyyah bukan pada makna dzahirnya, akan tetapi pada makna jabat tangan dengan tabir atau dengan hail. Sebetulnya, hadits ini tetap harus dipahami dari sisi dzahirnya, yakni berjabat tangan tanpa dengan tabir. Sebab, redaksi hadits Ummu ‘Athiyyah di atas tidak menerangkan adanya tabir maupun penghalang. Sedangkangkan riwayat ‘Aisyah ra yang menyatakan, bahwa tangan Rasulullah Saw tidak pernah menyentuh wanita, serta riwayat-riwayat tentang bai'at Rasulullah saw terhadap wanita dilakukan dengan ucapan, kain, dan air, tidak harus memalingkan makna dzahir yang terkandung di dalam hadits Ummu ‘Athiyyah.

9. Mafhum Surat al-Nisâ’ [4]: 43.Pada poin ketiga, telah digunakan mafhum surat an-Nisâ’ [4]: 43 untuk menyiratkan bolehnya mushafahah dengan wanita ajnabiyah. Sebab, makna “lamasa” (menyentuh) pada ayat ini adalah makna hakiki (menyentuh tangan), bukan makna majazi (bersetubuh). Karena kata “lamasa” dalam surat tersebut harus dimaknai dengan makna hakiki, maka mafhumnya boleh berjabat tangan. Sebab, ayat itu hanya menjelaskan, bahwa menyentuh wanita hanyalah membatalkan wudlu namun tidak dijelaskan sebagai perbuatan dosa.

ا �يiه� ن�وا ال�ذ�ين� ي�اأ ب�وا ال� ء�ام� ر� ة� ت�ق� ال� �ن�ت�م� الص� أ ى و� ك�ار� ت�ى س� ا ت�ع�ل�م�وا ح� م�ول�ون� ال� ت�ق� ن�ب5ا و� �ال� ج� ب�يل# ع�اب�ر�ي إ ت�ى س� ل�وا ح� إ�ن� ت�غ�ت�س� ض�ى ك�ن�ت�م� و� و� م�ر�

� أر# ع�ل�ى ف� و� س�

� اء� أ دW ج� ن�ك�م� أ�ح� ن� م� و� ال�غ�ائ�ط� م�� ت�م� أ م�س� اء� ال� ل�م� الن@س� د�وا ف� ت�ج�

12

Page 13: Hukum Islam Atas Mushafahah

اء5 ت�ي�م�م�وا م� ع�يد5ا ف� وا ط�ي@ب5ا ص� ح� ام�س� ك�م� ف� وه� �ي�د�يك�م� ب�و�ج� أ ك�ان� الل�ه� إ�ن� و�ا nو ا ع�ف� ور5 غ�ف�

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).

Perhatikan penjelasan Imam asy-Syaukani mengenai masalah ini: “Ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Mas’ud, Ibn Umar, az-Zuhri, dan Imam Syafi’i dan shahabat-shahabatnya, Zaid bin Aslam dan lain-lain. Sedangkan Ali bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, ‘Atha’, Thawus, seluruh Ahlul Bait, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf, berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’….Kelompok pertama mengatakan, bahwa ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa al-lamsu adalah jumlah al-ahdaats (kalimat baru) yang mewajibkan wudlu', dan maknanya adalah hakiki, yakni menyentuh dengan tangan. Makna frasa ini tetap dalam hakikinya dengan dikuatkan oleh bacaan au lamastum. Frase ini au lamastum jelas-jelas menunjukkan bahwa makna lamasa di sini bukan jima’ (bersetubuh). Sedangkan kelompok yang lain berpendapat, wajib membawa ke makna majaz (bersetubuh), dikarenakan ada qarinah; yakni haditsnya ‘Aisyah tentang taqbîl, dan juga hadits ‘Aisyah yang bertutur tentang bersentuhan dengan betisnya Nabi Saw.” Aku (Imam asy-Syaukani) jawab, “Hadits ‘Aisyah tentang taqbil dha’if. Selain itu, hadits itu mursal.” (Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, juz 1, hal. 234). Penjelasannya cukup panjang, akan tetapi Imam Syaukani tidak menolak bahwa kata lamasa di dalam ayat ini bermakna hakiki, dan hanya mencakup makna meraba dengan tangan (jass bi al-yad). Hanya saja beliau tetap menafsirkan “au lamastum” dengan membawanya pada konotasi majazi dikarenakan ada qarinah yang memalingkannya. Hanya saja, pendapat Imam Syaukani ini lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengalihkan makna hakiki “au lamastum” pada makna jima’ (bersetubuh) (lihat Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, juz 1, hal. 234-35).

Imam al-Hakim berpendapat, bahwa makna “lamasa” tidak mencakup makna bersetubuh (jima’). Beliau berargumentasi dengan hadits riwayat ‘Aisyah ra, “Tidaklah Rasulullah saw jika mendatangi kami, sehari atau kurang dari sehari, melainkan beliau akan mencium dan menyentuh .” (Ibid, juz 1, hal. 234).

Sedangkan Imam al-Baihaqi berhujjah dengan haditsnya Abu Hurairah ra untuk menunjukkan, bahwa makna “lamasa” tidak mencakup makna bersetubuh (jima’). Hadits itu adalah, “Zinanya tangan adalah dengan menyentuh.” dan juga hadits tentang kisahnya Mâ’iz, dimana Rasulullah Saw bertanya kepadanya, “Barangkali engkau menciumnya atau menyentuhnya saja.” (Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, juz 1, hal. 234).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa frase “au lamastum” tetap harus dibawa kepada pengertian hakiki, dan tidak boleh dipahami dengan pengertian majazi bila tidak ada qarinah yang memalingkan. Juga tidak boleh dinyatakan, bahwa lafadz “lamasa” mencakup makna menyentuh hakiki dan bersetubuh. Sebab, ini akan bertentangan dengan kaedah bahasa Arab, dan menunjukkan kedangkalan dirinya dalam memahami bahasa Arab. Kemutlakan makna “lamasa” hanya mencakup makna “jass bi al-yad” (meraba dengan tangan). Oleh karena itu, tidak ada satupun qarinah yang memalingkan makna “lamasa” dalam surat an-Nisâ’ [4] tersebut ke arah makna majazi. Oleh karena itu, kata “lamasa” harus dipahami dengan makna hakikinya, yakni menyentuh wanita dengan tangan, bukan bersetubuh. Makna semacam ini sangat jelas dan tidak lagi membutuhkan takwil.

Adapun kata “yamsasniy” yang tersebut di dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai qarinah untuk memalingkan makna “au lamastum” dalam surat an-Nisâ’ [4]. Sebab, konteks yang dibicarakan dua ayat tersebut berbeda dan sama sekali tidak berhubungan, sehingga tidak boleh dijadikan qarinah untuk

13

Page 14: Hukum Islam Atas Mushafahah

memalingkan makna hakiki dari “lamasa” yakni jass bi al-yad (meraba atau menyentuh dengan tangan). Benar, kata “yamsasniy” yang diucapkan oleh Maryam bermakna “jimak”, bukan sekedar menyentuh tangan. Sebab, ayat tersebut bercerita tentang kabar dari Allah SWT kepada Maryam, bahwa ia akan memiliki seorang anak. Maryam memahami, bahwa tak mungkin seseorang bisa mempunyai anak jika tidak bersuami dan melakukan hubungan kelamin terlebih dahulu. Oleh karena itu, makna “yamsasniy” di sana bermakna majazi, bukan hakiki.

Jika demikian, kita juga bisa menarik kesimpulan, bahwa ayat ini mengisyaratkan hukum lain, selain hukum batalnya wudlu karena menyentuh wanita; yakni tidak mengapanya menyentuh tangan wanita; alias bolehnya melakukan mushafahah. Sebab, ayat ini memberikan satu isyarat yang sangat jelas, bahwa orang yang berwudhu’ tersebut tengah menyentuh wanita, dan ia diperintahkan untuk berwudluk kembali, dan tidak dikenai sanksi apa-apa pun, maupun diperintahkan untuk bertaubat, seandainya menyentuh tersebut memang berdosa. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa mushafahah tanpa disertai syahwat dibolehkan secara syar’i.

Adapun qarinah (indikasi) yang menunjukkan bolehnya atau disentuh atau menyentuh tangan wanita adalah perilaku Rasulullah Saw. Dituturkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah Saw, lalu membawanya pergi ke mana ia suka.” Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits serupa dari Anas bin Malik ra, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah Saw, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.”

Selain itu, tangan bukanlah termasuk aurat yang boleh dilihat jika tidak diiringi dengan syahwat. Untuk itu berjabat tangan jika tidak diiringi dengan syahwat adalah sesuatu yang mubah, tidak ada keraguan lagi. Juga dituturkan, bahwasanya Umar bin Khaththab pernah mewakili Rasulullah Saw untuk membaiat kaum wanita. Kenyataan ini menunjukkan, ada taqrir dari Rasulullah Saw, bahwa menyentuh tangan wanita atau disentuh tangan wanita bukanlah sesuatu yang diharamkan, jika tidak disertai dengan syahwat.

10. Adapun hadits-hadits yang termaktub yang dzahirnya menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw dan Umar pernah berjabat tangan dalam masalah bai’at, tidak bisa dikatakan dha’if, hanya gara-gara dianggap bertentangan dengan hadits-hadits shahih. Sesungguhnya, hadits-hadits ini —jika dipahami dengan perspektif yang menyeluruh— sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya. Adanya berita bahwa tangan Rasulullah Saw digenggam oleh budak wanita serta beliau tidak melepaskannya, menunjukkan dengan jelas, bahwa bersentuhan tangan dengan wanita —jika tidak disertai syahwat—, bukanlah sesuatu yang dilarang. Bahkan, hadits riwayat Imam Bukhari yang tercantum di Adabul Mufrad ini bisa digunakan penafsir, sekaligus menguatkan hadits tentang jabat tangan Rasulullah Saw dan Umar ra saat membai'at wanita yang tersebut di dalam at-Tafsir al-Kabîr, juz 8, hal 137, karya Imam al-Razi, dan kitab al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an, juz 18, hal. 71, karya Imam al-Qurthubi.

Jika kita sepakat atas keshahihan hadits-hadits ini, tentunya ia bisa dijadikan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau saw pasti akan melarangnya.

Adapun kritik yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Arabi terhadap keshahihan riwayat-riwayat Umar bin Khaththab bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahahnya Umar bin Khaththab dicantumkan di dalam kitab Fâth al-Bârî karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, juz 8, hal. 636, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa Ibn Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Al-Hafidz sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan

14

Page 15: Hukum Islam Atas Mushafahah

kitabnya Fâth al-Bârî, diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan para ulama fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahahnya Umar bin Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti.

11. Kelompok yang mengharamkan berjabat tangan mengatakan bahwa riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, jld. 1, hal. 30) dan juga al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani (Fâth al-Bârî, jld. 8, hal. 636). Ibn Hajar mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita.

Memang sebagian ulama memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah.

Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’ (sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibn Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).

Perawi berikutnya adalah Abdu al-Wârits. Menurut an-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim ar-Razi ia adalah shaduq.

Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min at-tâbi’în). Menurut an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya).

Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi’în). Ibn Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah).

Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.

11.1. Berhujjah dengan Hadits MursalHadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’i namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’i (baik tabi’i besar maupun kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’i atau shahabat kecil berkata, “Rasulullah Saw bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah Saw begini…”

Sebagian ulama menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’i tidak menolak secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat: (1) hadits mursal dari Ibn al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3) Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat an-Nadzar, hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’i ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.

Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ulama telah sepakat bahwa seluruh shahabat

15

Page 16: Hukum Islam Atas Mushafahah

adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai hujjah.

Sesungguhnya, bila diteliti secara mendalam, maka alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah dengan hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul) adalah shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, ‘illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya.

Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibn Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah [60]: 12).

KhatimahDari tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.

Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.

Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. as-Sihab].

Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.

Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang

16

Page 17: Hukum Islam Atas Mushafahah

membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam bi ash-showab.

17