76
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah anak yang mengalami gizi buruk terus dilaporkan dibeberapa daerah di Indonesia. Secara nasional, jumlah anak mengalami gizi buruk di Indonesia 8,80 %, dibeberapa daerah ditemukan lebih tinggi bahkan lebih 10%, Sulawesi Selatan angka kejadian gizi buruk mencapai 8,6 %, dan gizi kurang 21,5 % (Susenas, 2005). Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulsel (2006) menyebutkan bahwa kabupaten dengan prevalensi kurang gizi tinggi (diatas 30%) antara lain Kabupaten Maros, Takalar, Pangkep, Jeneponto, Luwu dan Selayar. Sejalan dengan data tersebut survei gizi dan kesehatan di Kabupaten Maros tahun 2005 diperoleh angka kurang gizi 34,3% (9,6% gizi buruk dan 24,7% gizi kurang). Secara spesifik kekurangan gizi pada anak balita mengakibatkan gangguan pertumbuhan, seperti kenaikan berat badan yang tidak normal, pertambahan tinggi badan yang kurang dan perkembangan massa tubuh lainnya, dimana gangguan

Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing

Citation preview

Page 1: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jumlah anak yang mengalami gizi buruk terus dilaporkan dibeberapa daerah di

Indonesia. Secara nasional, jumlah anak mengalami gizi buruk di Indonesia 8,80 %,

dibeberapa daerah ditemukan lebih tinggi bahkan lebih 10%, Sulawesi Selatan angka

kejadian gizi buruk mencapai 8,6 %, dan gizi kurang 21,5 % (Susenas, 2005). Data dari

Dinas Kesehatan Propinsi Sulsel (2006) menyebutkan bahwa kabupaten dengan

prevalensi kurang gizi tinggi (diatas 30%) antara lain Kabupaten Maros, Takalar,

Pangkep, Jeneponto, Luwu dan Selayar. Sejalan dengan data tersebut survei gizi dan

kesehatan di Kabupaten Maros tahun 2005 diperoleh angka kurang gizi 34,3% (9,6% gizi

buruk dan 24,7% gizi kurang).

Secara spesifik kekurangan gizi pada anak balita mengakibatkan gangguan

pertumbuhan, seperti kenaikan berat badan yang tidak normal, pertambahan tinggi badan

yang kurang dan perkembangan massa tubuh lainnya, dimana gangguan pertumbuhan

merupakan cermin dari kekurangan zat-zat gizi secara kompleks (Ninik, 1999). Selain

kekurangan asupan zat gizi makro, balita juga mengalami kurang zat gizi mikro. Akibat

defisiensi gizi mikro terbanyak salah satunya adalah anemia defisiensi besi.

Anemia defisiensi besi merupakan penyebab terbesar anemia di Indonesia dan

negara sedang berkembang lainnya. Konsekuensi anemia berdampak luas dan

berpengaruh pada sumber daya manusia. Dampak anemia pada bayi dapat menyebabkan

terlambatnya perkembangan psycho-motor dan berpengaruh terhadap proses belajar

(Ernawati, 2003). Khusus pada anak balita, keadaan anemia gizi secara perlahan – lahan

Page 2: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

akan menghambat pertumbuhan dan perkambangan kecerdasan, anak – anak akan lebih

mudah terserang penyakit karena penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini tentu akan

melemahkan keadaan anak sebagai generasi penerus (wijayanti, T.1989). Penyebab

utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang

rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang

beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang

diderita pada daerah–daerah tertentu terutama daerah pedesaan (Husaini, 1989).

Soemantri (1983), menyatakan bahwa anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor–faktor

lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan,

pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan.

Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan pada sasaran ibu hamil,

sedangkan kelompok lainnya seperti bayi, anak balita, anak sekolah dan buruh

berpenghasilan rendah belum ditangani. Padahal dampak negatif yang ditumbuhkan

anemia gizi pada anak balita sangatlah serius, karena mereka sedang dalam tumbuh

kembang yang cepat, yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan

kecerdasannya. Mengingat mereka adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda

dan bangsa kelak. Penanganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi kelangsungan

pembangunan.

Data SKIA-Surkesnas 2001 memperlihatkan 60% anak umur ≤ 23 bulan

menderita anemia dan 45% pada umur 24 – 59 bulan, dan 67,6% dari mereka tinggal di

pedasaan, serta 60,8% memiliki pendidikan ibu rendah (Ernawati, 2003). Anemia gizi

besi yang disebabkan defisiensi besi di Indonesia masih tinggi yaitu 61,3% pada anak <6

bulan dan 64,8% pada anak 6-11 bulan (SKRT. 2001). Anemia gizi besi pada bayi dan

2

Page 3: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

anak usia dibawah dua tahun (baduta) juga masih tinggi yang ditunjukkan pada beberapa

studi. Studi Wijaya. M, (2001) menemukan 61% bayi di Indonesia anemia. Studi

Dijkhuizen et al, (2001) mengungkap prevalensi anemia pada bayi 57%, Riyadi. H

(2002) mengungkap prevalensi anemia pada anak baduta di Jawa Barat 49%, dan Lind et

al, (2003) ) mengungkap prevalensi anemia pada bayi 6-12 bulan 41%. Tingginya

prevalensi anemia ataupun defisiensi zink pada bayi dan balita ini harus ditindak lanjuti

berdasarkan kajian yang dilakukan WHO (2002) yang mengemukakan bahwa 54%

penyebab kematian bayi dan balita dipengaruhi oleh faktor gizi.

Sebagai salah satu faktor penyebab yang memperberat keadaan anemia pada

balita adalah investasi cacing. kecacingan yang banyak diderita anak-anak adalah cacing

gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang

(Ancylostoma duodenale & Necator americanus). Pada infeksi cacing gelang yang berat,

terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi,

efek yang serius terjadi obstruksi usus (ileus, intussuspection), dan diperkirakan 100.000

anak-anak (balita) tiap tahun meninggal karena komplikasi tersebut (Abadi, 1996).

Cacing cambuk dan cacing tambang menghisap darah penderita sehingga dapat

menimbulkan anemia (Markell, 1990).

Penelitian Hidayat (2001) di pemukiman kumuh Surabaya memdapatkan 60,6%

balita berusia 12-24 bulan terinfeksi oleh cacing gelang. Penelitian Lubis (2001) di 2

kabupaten masing-masing di Jawa Tengah dan Jawa Barat setelah mendapatkan program

lantainisasi mendapatkan bahwa 16% anak belita terinfeksi cacing gelang. Penelitian

Putyastri (2005) di Kelurahan Maricaya menunjukkan prevalensi kejadian anemia pada

balita yang sangat tinggi (82,5%) yang dapat saja terjadi akibat infestasi cacing.

3

Page 4: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Faktor-faktor utama terjadinya infestasi cacing antara lain kebiasaan buang hajat

di sekitar pekarangan rumah, keadaan lingkungan sekitar rumah (tempat bermain anak),

hygiene alat dan cara makan, dan pola asuh anak. Pada survei gizi dan kesehatan Jurusan

Gizi FKM Unhas tahun 2005 di Kelurahan Maccini Baji diperoleh data 36,7% tempat

buang air besar di pekarangan, rawa, dan parit. Hal tersebut diperparah lagi dengan

kurangnya saluran pembuangan air limbah (umumnya tidak mempunyai SPAL yang

memenuhi syarat) (Jurusan Gizi, 2005).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil survei gizi dan kesehatan (2005) ditemukan prevalensi balita

kurang gizi (34,3%) termasuk kategori tinggi dan angka morbiditas mencapai 87,1%

dapat saja salah satunya merupakan akibat dari kecacingan. Survei tersebut

memperlihatkan kejadian kurang gizi meningkat sejalan dengan bertambahnya umur

anak. Hal ini patut dicermati oleh karena bertambahnya usia anak frekuensi interaksi

dengan lingkungan sekitar rumah semakin tinggi. Kebiasaan buang air besar di

pekarangan rumah yang didukung oleh rendahnya pendidikan ibu balita (63,4% tamat SD

ke bawah) dan 29% merupakan keluarga miskin merupakan faktor pemicu infestasi

cacing. Menurut Tjitra (1991) infestasi cacing erat hubungannya dengan keadaan sosial

ekonomi kebersihan diri dan lingkungan, dan gejala klinis yang ditimbulkannya terutama

sakit perut, diare, anemia, dan gizi kurang. Prevalensi anemia pada anak umur 24 – 59

bulan di Indonesia terbilang tinggi (45%) dan terbesar terdapat di daerah pedesaan. Selain

infestasi cacing, anemia juga dapat disebabkan (secara tidak langsung) oleh faktor sosial

ekonomi keluarga, salah satunya adalah status pendidikan ibu yang rendah (60,8%).

4

Page 5: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Untuk menjawab keterkaitan sosial-ekonomi dan kejadian infestasi cacing dan

pengaruh terhadap keadaan status gizi (anemia gizi dan Antropometri) maka penelitian

ini perlu dilakukan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara sosial-ekonomi terhadap status anemia gizi

pada anak umur 24-59 bulan?

2. Apakah terdapat hubungan antara infestasi cacing dengan status anemia gizi anak

umur 24-59 bulan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

sosial ekonomi dan infestasi cacing dengan status gizi anak umur 24-59 bulan di

Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

b. Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh status sosial ekonomi keluarga anak terhadap status gizi

antropometri pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji.

2. Mengetahui pengaruh status ekonomi ekonomi keluarga anak terhadap status

anemia pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji

3. Mengetahui hubungan infestasi cacing terhadap status gizi antropometri pada

anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji.

4. Mengetahui hubungan infestasi cacing terhadap status anemia pada anak umur

24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji

5

Page 6: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

1.3.2. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi pihak pemerintah setempat dan

masyarakat sekitarnya.

2. Data yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi yang terkait

guna lebih memberi dorongan dan bantuan demi meningkatkan status sosial

ekonomi keluarga.

6

Page 7: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan individu atau kelompok yang ditentukan

oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lainnya yang diperoleh dari

pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri dan biokimia

(Supariasa, 2001). Untuk memperkirakan status gizi seseorang, suatu kelompok ataupun

suatu masyarakat maka perlu dilaksanakan pengukuran-pengukuran untuk menilai

berbagai tindakan gizi. Ada beberapa cara untuk menilai status gizi salah satu

diantaranya adalah pengukuran antropometri dan biokimia.

2.1.1. Penentuan status gizi berdasarkan antropometri.

Berat badan merupakan ukuran antropometri untuk melihat laju

pertumbuhan fisik maupun status gizi. Berat bada merupakan pilihan utama karena

berbagai pertimbangan antara lain karena mudah terlihat perubahan dalam waktu

singkat karena perubahan konsumsi makanan ataupun infeksi penyakit.

Berat badan menurut umur (BB/U) merupakan salah satu indikator

antropometri yang memberikan gambaran massa tubuh (otot & lemak). Salah satu

standar pengukuran yang digunakan di Indonesia untuk mengetahui status gizi

adalah standar baku WHO-NCHS yang telah disempurnakan menjadi standar baku

WHO tahun 2005 dan kriterianya telah ditetapkan melalui SK Mentri Kesehatan

Nomor 920 Tahun 2002 dengan kriteria: gizi lebih apabila > +2 SD Z-Score, gizi

7

Page 8: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

baik apabila nilai SD Z-Score -2 SD sampai +2 SD, gizi kurang -3 SD sampai <-

2SD, dan gizi buruk < -3 SD Z-Score.

2.1.2. Status anemia gizi

Anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang

disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb

tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan kerena kekurangan zat

besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi.

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang

dari normal yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin

(Depkes RI, 1995).

Dari beberapa hasil penelitian di Indonesia terhadap kejadian anemia

menunjukkan 90 % adalah akibat anemia gizi besi, sedangkan anemia akibat

kekurangan asam folat dan vitamin B12 sangat jarang dan biasanya menyertai anemia

gizi dan kondisinya berat. Dikatakan pula bahwa anemia bukan karena hanya terjadi

akibat kekurangan zat-zat pembentuk sel darah merah (besi, asam Folat, dan itamin

B12), tetapi juga akibat kekurangan zat gizi lainnya seperti protein, vitamin C,

pyridoxine, dan cupper turut menentukan keberadaaanya (Mahdin, 1993).

a. Zat besi dalam tubuh

Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi manusia.

Besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian

dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen dari paru–paru. Hemoglobin

akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme

glukosa, lemak dan protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari

8

Page 9: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

sistem enzim dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip Hemoglobin yang terdapat di

dalam sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya

melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah

menyebabkan daging dan otot–otot menjadi berwarna merah. Di samping sebagai

komponen hemoglobin dan mioglobin, besi juga merupakan komponen dari enzim

oksidase pemindah energi, yaitu : sitokrom paksidase, xanthine oksidase, suksinat dan

dehidrogenase, katalase dan peroksidase.

Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagin, yaitu yang fungsional dan yang

reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk

hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan jumlah yang sangat

kecil tetapi vital adalah hem enzim dan non hem enzim. Zat besi yang ada dalam

bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi selain daripada sebagai buffer yaitu

menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk kompartmen fungsional. Apabila zat

besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan akan eritropoiesis (pembentukan

sel darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal,

jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat

besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini, berbentuk

feritin dan hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum tulang.

Pada keadaan tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya

pada anak yang sedang tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah

reserve biasanya rendah. Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa

pertumbuhan, maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada

jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal.

9

Page 10: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Skema proses metabolisme zat besi untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubuh (Davidson dkk,199)

b. Kebutuhan zat besi pada balita

Dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan

(allowance) dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan kecukupan

rata – rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis

kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan

masing – masing individu untuk hidup sehat (Muhilal et al, 1993).

Pada balita yang mengalami masa pertumbuhan perlu ditambahkan kepada

jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi

pada balita apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur

dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama

10

Page 11: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

banyaknya dengan laki –laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan energi

lebih rendah daripada laki – laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang

dibutuhkan ini, maka balita harus dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per

1000 kkal yang dikonsumsi. Kebutuhan zat besi pada anak balita berdasarkan AKG

2004 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Kelompok Umur Kebutuhan zat besi (mg)

0 – 6 bulan

7 – 11 bulan

1 – 3 tahun

4 – 6 tahun

0,5

7

8

9

c. Penyebab anemia gizi pada balita

Penelitian di negara berkembang mengemukakan bahwa bayi lahir dari ibu

yang menderita anemia kemungkinan akan menderita anemia gizi, mempunyai berat

badan lahir rendah, prematur dan meningkatnya mortalitas (Academi of Sciences,

1990). Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak (Soemantri, 1982):

a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup

1) Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.

- Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar

- Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi yang berat

- Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum persalinan seperti

adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan retroplasesta

2) Asupan zat besi kurang cukup

b. Absorbsi kurang

1) Diare menahun

11

Page 12: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

2) Sindrom malabsorbsi

3) Kelainan saluran pencernaan

c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir

kurang bulan dan pada saat akil balik.

d. Kehilangan darah

1) Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada poliposis

rektum, divertkel Meckel

2) Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.

Menurut Husaini (1989) penyebab digambarkan sebagai berikut

2.2. Tinjauan Umum Infestasi cacing

12

Page 13: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Penyakit cacingan adalah suatu penyakit dimana seseorang mempunyai cacing

dalam ususnya. Pada tingkat tertentu, penderita dapat merasa mual, lesu, nafsu makan

berkurang pada anak berbadan kurus tapi perut buncit, pucat pada selaput mata, muka

agak berat, merasa gatal-gatal setelah berjalan di tanah tanpa alas kaki, merasa gatal di

sekitar perianal, sakit perut atau diare dan mengeluarkan cacing waktu buang air besar

atau muntah (Satoto dan Indriyani, 1992)

Soil transmitted helminthes atau cacing usus yang dikeluarkan melalui tanah

adalah cacing usus yang dalam daur hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk

berkembang menjadi bentuk infektif pada manusia. Meskipun penyakit cacing yang

ditularkan melalui tanah pada umumnya tak mengakibatkan mortalitas secara langsung

pada penderitanya, namun morbiditasnya yang kompleks dan menahun, dan dampak

ekonominya tak dapat diabaikan begitu saja. Penyakit kecacingan dapat menimbulkan

keadaan gizi kurang (Protein Calory Malnutrition). Umumnya cacing ini dapat

mengakibatkan gangguan konsumsi, absorbsi dan metabolisme zat-zat gizi, sehingga

pada anak-anak dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mental, pada orang dewasa

dapat mempengaruhi produktifitas kerjanya (Stephenson, 1990)

Termasuk dalam golongan Soil transmitted helminthes ini adalah Ascaris

lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale.

Penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides disebut askariasis, infeksi askariasis

atau infeksi cacing gelang. Penyakit yang disebabkan oleh Tricuris trichiura disebut

trikuriasis atau infeksi cacing cambuk. Ancylostoma duodenale dan necator americanus

merupakan dua spesies cacing tambang yang parasitik untuk manusia, penyakit yang

disebabkan cacing ini disebut ankilostomasis atau infeksi cacing tambang.

13

Page 14: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

2.2.1. Bentuk Cacing dan Daur Hidupnya Dalam Tubuh Manusia

Manusia mendapat infeksi Ascaris Lumbricoides dengan menelan telur

infektif yang terkontaminir makanan, minuman, dan alat-alat makan. Di dalam

lambung dinding telur dilunakkan oleh asam lambung dan enzim pencernaan

sehingga larva menetas keluar. Larva cacing yang telah bebas menembus mukosa

usus mencapai pembuluh darah sampai ke pembuluh mesentrika atau terbawa aliran

vena porta hati, jantung kanan sampai ke perederan darah paru-paru. Di jaringan

paru-paru larva cacing tinggal sementara waktu dan mengalami penggantian kulit

lalu menembus dinding kapiler memasuki alveoli ke bronchioli, bronchus dan

trachea, mencapai epiglotis kemudian tertelan lagi ke dalam lambung, mencapai ke

usus halus dan tumbuh menjadi dewasa betina (panjang 20-35 cm) dan jantan (12-

31 cm). Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina mulai mengeluarkan telur rata-

rata 200.000 butir per hari, yang akan keluar bersama tinja penderita. Bila telur itu

jatuh di tanah yang sesuai untuk pertumbuhannya, akan menjadi infektif dalam

waktu tiga minggu. Waktu yang diperlukan sejak masuknya telur infektif sampai

menjadi cacing dewasa dan memproduksi telur diperlukan waktu 60-75 hari. Cacing

Ascaris dapat hidup sampai 18 bulan (Zaman, 1982, Markell, 1986, Abadi, 1996).

Daur hidup cacing tambang hampir sama dengan Ascaris, hanya bentuk

infektifnya adalah larva filariform yang menumbus kulit akan mengikuti sirkulasi

sampai ke paru-paru dan menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina

berukuran lebih kurang 1 cm, cacing jantan berukuran lebih kurang 0,8 cm. Cacing

dewasanya dapat hidup sampai 7 tahun.Mulainya telur keluar bersama feces, dalam

waktu 1-2 hari telur akan berubah menjadi Rhabditiform larva (menetas ditanah

14

Page 15: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

yang basah) Temperatur optimal untuk tumbuhnya telur adalah 23-30oC.

Rhabditiform larva makan zat organisme dalam tanah dan dalam waktu 5-8 hari

membesar sampai 2 kali lipat menjadi filariform larva. Filariform larva dapat tahan

hingga 2 minggu, jika dalam waktu 2 minggu larva tidak mendapatkan host

(manusia), maka larva akan mati. Filariform larva masuk melalui kulit di antara

jari-jari tangan atau kaki, kemudian melalui pembuluh darah balik atau pembuluh

darah lymphe, maka larva akan sampai ke jantung kanan. Dari jantung kanan

menuju ke paru-paru, alveoli, bronchus, trachea esopagus dan akhirnya sampai ke

usus halus bagian proximal. Dalam waktu 5-6 minggu cacing matur/matang untuk

kopulasi dan mengeluarkan telur. Dari kulit sampai ke paru-paru larva pasif, dan

kemudian aktif sampai ke dalam usus (Depkes, 1989).

Telur infektiknya pecah dalam lambung dan larva menuju ke usus besar

dan menjadi dewasa tanpa melalui paru-paru. Cacing dewasa berbentuk seperti

cambuk, cacing betina lebih kurang 5 cm dan cacing jantan lebih kurang 4 cm.

Bagian anterior langsung seperti cambuk (lebih kurang 3/5 dari panjang seluruh

tubuh). Bagian posterior lebih gemuk, cacing dewasa ini hidup di kolon ascendens

dan caecum dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Seekor

cacing betina mengeluarkan telur 3.000 – 10.000 butir tiap hari.

2.2.2. Patologi dan Klinik

Gejala atau keluhan kecacingan timbul bila jumlah cacing dalam usus

banyak, penyakit sudah lama diderita, penderita lemah atau penyakit lain, dan gizi

penderita kurang. Gejala kecacingan bermacam-macam dan dapat berbeda-beda

dari satu orang ke orang lain. Gejala yang timbul pada penderita yang disebabkan

15

Page 16: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

oleh larva ascaris lumbricoides adalah pada saat larva berada di paru berupa

pendarahan kecil pada dinding alveoli dan timbul gangguan pada paru-paru yang

disertai dengan batuk, sesak napas (tanda asma), demam dan eosinofilia (pada orang

yang rentan). Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan seperti

mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Apabila jumlah cacingnya

banyak dapat memberi gangguan pencernaan, diare, gelisah dan tidak dapat tidur.

Pada infeksi yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga

memperberat keadaan malnutrisi. Diperkirakan 100.000 anak-anak (balita) tiap

tahun meninggal karena komplikasi tersebut.

Cacing tambang dapat menimbulkan ground itch bila banyak larva

filariform menembus kulit. Perubahan pada paru biasanya ringan. Gejala yang

timbul dari cacing dewasanya tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta

keadaan gizi penderita. Necator americanus mengisap darah sebanyak 0,005-0,1 cc

sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0.08 – 0.34 cc per hari. Biasanya terjadi

anemia hypochorommicrositer. Anemia yang agak berat memberi gejala malas,

berat-bedan berkurang, pertumbuhan kurang dan bila anemia sangat berat timbul

palpitasi jantung, dispnea, sakit kepala, apatis mental, kelemahan fisik dan depresi

berat. Adakalanya banayak penduduk menderita dengan daya tahan berkurang, dan

prestasi kerja berkurang (Latham, 1989). Biasanya pada bayi dan 1-2 tahun dapat

timbul enteritis, juga diare dan dalam tinja terlihat banyak darah dan lendir yang

jumlahnya 6 kali lebih banyak daripada golongan dewasa (Depkes, 1989).

Trichiuris trichiura dapat menimbulkan efek traumatik dan toksik pada

penderita. Kerusakan timbul tempat melekatnya cacing pada mukosa caecum dan

16

Page 17: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

colon ascendes. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak cacing ini tersebar di

seluruh colon dan rectum. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa

usus. Pada tempat perikatannya dapat terjadi perdarahan. Selain itu nampaknya

cacing ini mengisap darah hospes, sehingga dapat menimbulkan anemia. Bila

infeksinya ringan gejala tak kelihatan khas berupa tidak dapat tidur, hilangnya nafsu

makan, gugup, refleks meningkat dan eosinofilia. Penderita (terutama anak) dengan

Trichiuris trichiura yang berat dan menahun dapat mengalami diare berdarah yang

sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia berat, berat badan menurun,

tenesmus, emasisi dengan kulit yang kering. Diare umumnya berat sedangkan Hb

bisa turun 30% dari normal.

2.3. Kecacingan Dan Dampaknya Pada Status Gizi.

Dampak akibat penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah selain gejala

klinik disertai dengan komplikasi yang mungkin timbul maka kekurangan gizi dapat

memberi gangguan fisik dan mental pada anak serta daya tahan kurang pada orang

dewasa.

Cacing A. lumbricoides, hidup dalam rongga usus rakyat Indonesia, dimana

cacing ini mengambil makanan dari dalam usus dan jumlah makanan yang hilang cukup

besar ditinjau dari segi ekonomi dan merugikan negara. Diperkirakan 60% penduduk

Indonesia terinfeksi dan tiap penduduk mempunyai rata-rata 5 ekor cacing, dan setiap

cacing dapat menghisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein per hari.

2.4. Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Status Gizi

17

Page 18: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Status sosial ekonomi keluarga memberi pengaruh tidak langsung terhadap status

gizi balita. Status sosial yang paling berpengaruh antara lain pendidikan orang tua, dan

besar keluarga, serta kedudukan pengasuhan (ibu/pengasuh). Status gizi balita erat

kaitannya dengan pengasuh atau peran ibu itu sendiri.

Pendidikan suami dan istri meneruskan pola ajar yang khususnya diterima dari

orang tuanya berupa nilai, norma, cita-cita dan harapan merupakan pendidikan internal

yang telah diterima sejak berada dalam kandungan. Pendidikan eksternal merupakan

pendidikan formal yang diterima di bangku sekolah yang jika digabungkan dengan

pendidikan internal memberikan suatu pola berpikir yang dapat memberikan keputusan-

keputusan yang penting selama perjalanan hidup mereka. Latar belakang pendidikan ibu

berperan penting terhadap pola asuh anak dan dalam hal penyediaan makanan keluarga.

Rumah tangga, keluarga luas atau sekunder adalah keluarga yang bukan saja

terdiri dari suami, istri dan anak, tetapi ada juga orang lain yang tinggal di dalamnya

(misalnya mertua, ipar, sepupu, dsb) (Bulkis, 2004). Sebagai akibat dari perkawinan,

terjadi suatu kesatuan sosial yang sebut rumah tangga (house hold). Kesatuan ini

mengurus ekonomi rumah tangga sebagai kesatuan. Suatu rumah tangga biasa terdiri

satu keluarga inti saja, tetapi juga bisa terdiri atas lebih dari satu, misal dua sampai tiga

keluarga. Pada banyak suku bangsa istilah untuk rumah tangga adalah dapur

(Koentjaraningrat,1981). Besarnya jumlah pemenuhan pangan keluarga sangat

berbanding lurus dengan besarnya anggota rumah tangga. Artinya, semakin besar

anggota rumah tangga maka semakin besar pula jumlah pangan yang disediakan oleh

keluarga tersebut (Darmawati, 2000)

18

Page 19: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Rumah tangga dengan anggota keluarga yang banyak akan mempengaruhi jumlah

asupan makanan tiap anggotanaya. Pada keluarga yang berpendapatan rendah, semakin

besar jumlah anggota keluarga, maka akan menyebabkan jumlah makanan yang dimakan

semakin sedikit.

Berbagai faktor seperti pendapatan, kebiasaan makan dan status sosial yang

berubah karena adanya intervensi berbagai program pada gilirannya akan mempengaruhi

komsumsi pangan. Kemampuan rumah tangga menjangkau pangan di pasar tergantung

dari daya beli atau pendapatannya. Keanekaragaman pangan yang diproduksi dan yang

tersedia di pasar merupakan kondisi bagi rumah tangga untuk mengkomsumsi pangan

yang beragam apabila didukung oleh kebiasaan makan dan pengetahuan gizi yang baik,

serta kemampuan ekonomi yang cukup. Perlu diketahui bahwa kemampuan ekonomi

rumah tangga pada umumnya saling berkaitan dengan status sosial (Aritonang, 2000).

2.5. Kerangka Pikir

2.5.1. Dasar pemikiran

Penyebab langsung timbulnya kurang gizi yaitu makanan balita dan keadaan

kesehatan atau penyakit infeksi yang mungkin diderita bayi. Anak yang mendapat

makanan cukup baik tetapi sering diserang diare, demam, akhirnya dapat menderita

kurang gizi. Demikian juga pada bayi yang makan tidak cukup baik, maka daya tahan

tubuhnya (imunitas) dapat melemah.

Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi

nafsu makan, dan akhirnya menderita kurang gizi. Dalam kenyataannya keduanya

19

Page 20: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

(makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab gizi kurang. Gizi

kurang berarti pertumbuhan juga mengalami hambatan dan gagal tumbuh.

Gambar Penyebab Kurang Gizi (Disesuaikan dari bagan UNICEF, 1998). The state of the World Children 1998. Oxford Univ. Press

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Pengasuhan

anak, sanitasi dan penyediaan air bersih yang tidak memadai merupakan faktor utama

penyebab mata rantai penularan cacing tidak terputus. Sosial ekonomi yang rendah

memperparah tidak terputusnya rantai penularan cacing.

20

Page 21: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Status Gizi

- Hb- Antro

BB/u

2.5.2. Kerangka Konsep

Keterangan

: Variabel yang diteliti: Variabel yang tidak diteliti

2.5.3. Definisi Operasional

1. Variabel Dependen : Status Gizi Balita

a. Status gizi secara antropometri (BB/u)

Status gizi adalah keadaan gizi yang diukur berdasarkan standar baku WHO-

NCHS . Klasifikasi status gizi digunakan dengan z-score (standar deviasi = SD)

sebagai batas ambang dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur

(BB/U).

Kriteria objektive :

Gizi buruk < -3 SD Z-Score

Gizi kurang ≥ -3 SD s/d < -2 SD Z-Score

Gizi baik ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD Z-Score

21

Konsumsi Makanan

Infestasi Cacing

Sosial Ekonomi keluarga- pendidikan ibu- jumlah anggota keluarga- Gakin

Higiene perorangan

Sanitasi Lingkungan

Page 22: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

b. Status anemia gizi

Status anemia gizi adalah keadaan gizi yang ditentukan berdasarkan status

anemia dengan megukur kadar hemoglobin (Hb) anak.

Kriteria objektive : - Anemia jika kadar Hb <11 mg/dL

- Normal jika kadar Hb ≥ 11 mg/dL

2. Variabel Independen : Infestasi Cacing dan sosial ekonomi

a. Infestasi cacing (kecacingan)

Kecacingan adalah adanya cacing dalam tubuh. Cacing di dalam tubuh selain di

dalam rongga usus, ada juga di daerah limfa, otot, jaringan ikat, hepar, paru-paru,

pangkreas, otak dan lain sebagainya. Tetapi yang paling sering dijumpai adalah

cacing di dalam rongga usus. Adanya cacing di dalam rongga usus dapat diketahui

dengan pemeriksaan feces. Dalam feces dapat dijumpai bentuk cacing, telur dan

larvanya (WHO, 1996)

Data kecacingan merupakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian lain.

Kriteria objektif

- Positif jika terdapat telur cacing di dalam feces yang diperiksa

- Negatif jika tidak terdapat telur cacing di dalam feces yang diperiksa

b. sosial ekonomi

- Pendidikan ibu. Ibu berperan dalam pengasuhan anak dan merupakan orang yang

paling lama berinteraksi dengan anak. Latar belakang pendidikan ibu dapat

mencerminkan pengasuhan terhadap anak-anaknya walaupun peran ayah tidak

kalah pentingnya.

22

Page 23: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Kriteria objektif : - rendah jika pendidikan orang tua ≤ tamat SD

- sedang-tinggi jika pendidikan orang tua ≥ tamat SLTP

- Status Gakin ditentukan berdasarkan penerimaan bantuan langsung tunai (BLT),

penerimaan program beras miskin (Raskin), dan asuransi kesehatan untuk keluarga

miskin (Askeskin).

Kriteria Objektif

Gakin jika menerima (salah satu atau ketiganya) program BLT,

Raskin, dan Askeskin.

Non Gakin jika tidak menerima program BLT dan Raskin.

- Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang menetap di rumah

tersebut dalam satu bulan terakhir.

Kriteria Objektif

- Kecil jika jumlah anggota keluarga ≤ 5 orang

- Besar jika jumlah anggota keluarga ≥ 6 orang

2.5.4. Hipotesis

Hipotesis nol (Ho)

1. Tidak ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak umur 24-

59 bulan.

2. Tidak ada hubungan infestasi cacing terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.

Hipotesis alternatif (Ha)

1. Tidak ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak umur 24-59

bulan.

2. Tidak ada hubungan infestasi cacing terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.

23

Page 24: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian survey dengan rancangan cross sectional (data

variabel dependen dan independen dikumpulkan pada waktu yang sama). Pada rancangan

penelitian ini dilakukan identifikasi semua variabel sesuai tujuan penelitian, sedangkan

metode yang digunakan untuk memperoleh data tersebut adalah dengan teknik

wawancara. Selain itu dilakukan pengukuran status gizi melalui pemerikasaan

hemoglobin (Hb) pada anak dengan mempergunakan metode cyanmethemoglobin dan

pengukuran antropometri BB/u.

3.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten

Maros yang terbagi atas 7 lingkungan yaitu : Lingkungan Maccini Ayo, Lingkungan

Bonto Cabu, Lingkungan Lemo-lemo, Lingkungan Bonto Kadatto, Lingkungan Bonto

Rea, Lingkungan Belang-belang, dan Lingkungan Pute. Luas wilayah 9,48 km2,

menurut penggunaannya luas lahan pemukiman dan bangunan 1063,26 Ha, areal

persawahan 656,26 Ha, dan ladang/tegalan seluas 94,09 Ha.

Jumlah penduduk 6006 jiwa dengan 1286 KK terdiri dari 2924 laki-laki dan 3082

jiwa perempuan dengan kepadatan penduduk 634/km2, sebagian besar berprofesi sebagai

petani.. Jumlah balita (0-59 bulan) di Kelurahan Maccini Baji 446 anak, tersebar di tujuh

lingkungan. Fasilitas pelayanan kesehatan cukup memadai, dengan adanya Puskesmas

Barandasi, dan posyandu di masing-masing lingkungan, serta satu orang bidan desa yang

24

Page 25: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

bertugas khusus di wilayah kelurahan Maccini Baji. Akses transportasi ke Kelurahan

Maccini Baji terutama di tujuh lingkungannya mudah terjangkau. Selain padi, beberapa

penduduk juga berprofesi sebagai peternak itik petelur yang hasilnya dijual setiap minggu

pada pengumpul.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita umur 24-59 bulan di

Kelurahan Maccini Baji yang terdaftar hingga 31 Agustus 2008 yang menjadi subyek

penelitian.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah semua anak umur 24 – 59 bulan dengan kriteria:

- tidak sedang menderita malaria atau gejala malaria (menggigil, panas tinggi)

- tidak menderita gizi buruk yang disertai odema dan gejala klinis

- tidak sedang dalam keadaan diare berat

- mendapat persetujuan dari orang tua

- berada di lokasi penelitian saat dilakukan penelitian.

Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode purposive sampling, dengan

melihat kriteria tersebut di atas. Cara pengambilan sampel dalam peneitian ini adalah

Accidental Sampling dimana sampel diambil dari responden yang bersedia dan

berada dilokasi pada saat penelitian dilaksanakan

25

Page 26: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada hasil survei gizi dan

kesehatan yang dilakukan oleh Jurusan Gizi FKM Unhas di Kelurahan Maccini Baji

Kecamatan Lau Kabupaten Maros tahun 2005. Tingginya prevalensi kurang gizi dan

keadaan sanitasi lingkungan yang kurang memenuhi syarat (baik kebiasaan

masyarakat maupun sarana) menjadi alasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan.

Penelitian ini dilakukan selama empat bulan dengan 3 tahap yakni tahap

persiapan, tahap penelitian, dan tahap penyusunan laporan. Tahap persiapan

dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai Januari 2009. Kegiatan pengumpulan

data dilaksanakan pada bulan November 2008. Proses penyuntingan, tabulasi, analisis

data dan penulisan laporan penelitian diselesaikan sampai dengan bulan Januari 2009.

3.5. Cara Pengumpulan Data

a. Data Primer

- Untuk mengetahui keadaan sosial ekonomi dikumpulkan melalui wawancara

langsung dengan ibu balita. Wawancara dilakukan oleh anggota peneliti

dengan menggunakan kuesioner.

- Status Gizi Balita

Indikator untuk menentukan status gizi balita diukur secara antropometrik

menurut indeks berat badan menurut umur (BB/U) berdasarkan standar

Baku WHO 2005 yang meliputi pengukuran berat badan anak mengikuti

prosedur standar (Gibson, 2005).

Berat badan anak diukur dengan menggunakan balance scale dengan ukuran

terkecil 0,1 kg.

26

Page 27: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Prosedur pengukuran berat badan balita adalah sebagai berikut :

1). Memeriksa timbangan supaya berada dalam keadaan standar, kemudian

timbangan ditekan untuk menyalakan hingga display menunjukkan

angka 0,0 kg.

2). Anak menggunakan pakaian biasa, tidak menggunakan alas kaki, baik

sandal maupun sepatu.

3). Anak ditimbang dalam keadaan tenang dan selanjutnya pengukur

mencatat angka yang tertera pada display timbangan.

4). Penentuan umur anak ditentukan dalam satuan bulan dengan

memperhatikan tanggal lahir dan tanggal pengukuran.

- Status anemia gizi

Status anemia gizi ditentukan dengan pemeriksaan hemoglobin dengan

menggunakan metode cyanmethemoglobin. Alat yang digunakan adalah

HemoCue photometer. Cara pemeriksaan kadar Hb dalam darah dengan alat

ini adalah sebagai berikut:

1). Jari manis tangan kiri anak dibersihkan menggunakan alkohol 70%

dengan bantuan kapas. Anak ditenangkan sambil mengurut lembut jari.

2). Lancet dipasang pada Softclick, pengaturan kedalaman jarum diatur

pada posisi angka 3. Microcuvet, kapas kering dan plester disiapkan,

HemoCue photometer diaktifkan (On)

4). Jari yang telah dibersihkan, ditusuk dengan cepat menggunakan

softclick, darah yang keluar pertama diseka.

5). Darah yang keluar berikutnya (±1cc) dihisapkan ke microcuvet lalu

27

Page 28: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

dimasukkan dalam photometer sementara proses pembacaan, jari

dibersihkan dengan kapas kering kemudian diplester

6). Hasil pengukuran photometer dicatat pada lembaran yang tersedia.

b. Data Sekunder

Data kecacingan diperoleh dari hasil penelitian Nurhaedar Jafar dkk tahun

2008, dan jurnal-jurnal penelitian sebagai bahan pembanding. Data dari

kelurahan, puskesmas dan posyandu yang terkait dengan penelitian ini, meliputi

keadaan umum demografi wilayah kelurahan, kondisi sosial ekonomi dan data

balita.

3.6. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data

3.6.1. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan menggunakan komputer melalui program Antro

WHO 2007 untuk analisis data status gizi. Data sosial ekonomi, kecacingan dan status

gizi di analisis dengan menggunakan program SPSS versi 11.5.

3.6.2. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi berupa

distribusi frekuensi dan persentase variabel baik variabel independen maupun

variabel dependen. Selain itu juga dilakukan tabulasi silang antara variabel

independen dan variabel dependen.

3.6.3. Analisis Data

Uji univariat dilakukan untuk melihat frekuensi, persentase, dan rata-rata

seluruh variabel, baik variabel independen maupun dependen.

28

Page 29: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Uji statistik bivariat untuk menilai hubungan sosial ekonomi dan infestasi

cacing terhadap status gizi adalah chi-square pada derajat kemaknaan p < 0,05.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten

Maros di tujuh lingkungan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2008,

yang bertepatan dengan musim panen padi.

Responden keseluruhan berjumlah 111 orang, masing-masing responden

diwawancarai menggunakan kuesioner dan anak diperiksa kadar hemaglobinnya (Hb)

menggunakan alat Hemocue.

4.1.1. Sosial Ekonomi Keluarga

Karakteristik sosial ekonomi keluarga anak, terdiri dari umur, latar belakang

pendidikan dan pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapat, status

ekonomi keluarga miskin (gakin) keluarga yang disajikan sebagai berikut:

Tabel 1

Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Kelompok Umur Orang Tua di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Kelompok umurAyah Ibu

n % n %

18 - 25 tahun

26 - 35 tahun

36 - 45 tahun

5

67

39

4,5

60,4

35,1

31

65

15

27,9

58,6

13,5

Total 111 100,0 111 100,0Sumber: Data primer

29

Page 30: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Tabel 1 mendistribusikan kelompok umur orang tua anak, pada umumnya

berumur 26-35 tahun masing-masing 60,4% ayah dan 58,6% ibu. Rata-rata ayah

berusia 33 tahun dan ibu berusia 30 tahun.

Tabel 2

Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Tingkat PendidikanAyah Ibu

n % n %

Tidak pernah sekolah/tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

Diploma/Sarjana

2

56

15

31

7

1,8

50,5

13,5

27,9

6,3

1

51

28

27

4

0,9

45,9

25,2

24,3

3,6

Total 111 100,0 111 100,0

Sumber: Data primer

Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar pendidikan orang tua masih

rendah, yaitu hanya tamat SD. 50,5% ayah berpendidikan hanya tamat SD, sedangkan

ibu mencapai 45,9%.

Pekerjaan utama orang tua ditunjukkan pada Tabel 3. Sebagian besar ayah

bekerja sebagai petani (44,1%) dan wiraswasta (36,9%), sedangkan ibu hampir

seluruhnya tidak bekerja secara formal hanya sebagai ibu rumah tangga (92,8%). Ibu

30

Page 31: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

yang bekerja hanya delapan orang (7,2%), lima orang (4,5%) bekerja sebagai pegawai

negeri sipil (PNS), dan sisanya bekerja wiraswasta (berdagang) (2,7%).

Tabel 3

Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Pekerjaan Orang Tua di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Pekerjaan n %

Ayah- Pegawai Negeri/Swasta- Wiraswasta- Sopir mobil- Petani- Lainnya

Ibu- Pegawai Negeri/Swasta- Wiraswasta- Ibu rumah tangga

16413492

53

103

14,236,92,744,11,8

4,52,792,8

Sumber: Data primer

Tabel 4 mendistribusikan frekuensi jumlah anggota keluarga yang tinggal

bersama, pada umumnya mereka tinggal serumah dengan 5 orang ke bawah (58,6%).

Tabel 4

Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

31

Page 32: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Jumlah anggota keluarga n %

≤ 5 orang

≥ 6 orang

65

46

58,6

41,4

Total 111 100,0

Sumber: Data primer

Penghasilan orang tua rata-rata per bulan adalah Rp 1.024.300. Tingkat

pendapatan rendah, sedang dan tinggi ditentukan menggunakan quintil (Q) dengan

kriteria Q1 = 40 untuk tingkat pendapatan rendah, Q2 = 80 untuk tingkat pendapatan

sedang, dan Q3 = 80-100 untuk tingkat pendapatan tinggi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada umumnya orang tua anak berpendapatan sedang (78,4%)

seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5

Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Tingkat Pendapatan Keluarga di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Tingkat pendapatan n %

Rendah

Sedang

Tinggi

3

87

21

2,7

78,4

18,9

Sumber: Data primer

Tabel 6

Distribusi Sosial Ekonomi Keluarga Anak Menurut Penerima Program Bantuan Pemerintah di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

32

Page 33: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Program bantuan pemerintahYa Tidak

n % n %

Raskin

BLT-BBM

Askeskin

36

42

11

32,4

37,8

9,9

75

69

100

67,6

62,2

90,1

Sumber: Data primer

Status ekonomi, selain dapat ditentukan dengan tingkat pendapatan dan

pengeluaran, juga dapat ditentukan dengan keterlibatan orang tua atau rumah tangga

atas bantuan pemerintah pada keluarga miskin (gakin). Program pemerintah yang

sedang berjalan meliputi pengadaan beras untuk gakin (Raskin), bantuan langsung

tunai (BLT) akibat kenaikan BBM, dan asuransi kesehatan bagi keluarga miskin

(Askeskin). Dari Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa 32,4% keluarga memperoleh

program Raskin, 37,8% menerima BLT-BBM, dan 9,9% memperoleh Askeskin.

4.1.2 Status kecacingan

Dari hasil pemeriksaan feces anak pada penelitian Jafar dkk, diperoleh hasil

bahwa 90,1% anak tidak menderita kecacingan, dan hanya 9,9% anak menderita

kecacingan (Tabel 7). Anak yang menderita kecacingan sebagian besar karena

askariasis tingkat ringan (telur < 7.000 epg), empat anak lainnya karena trikuriasis

tingkat ringan, dan satu anak lainnya karena investasi cacing kremi.

Tabel 7

Distribusi Status Kecacingan Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Status kecacingan n %

33

Page 34: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Status kecacingan n %

Positif

Negatif

11

100

9,9

90,1

Total 111 100,0Sumber: Data sekunder (Jafar dkk, 2008)

4.1.3. Status gizi

Status gizi anak secara antropometri ditentukan selain oleh berat badan dan

tinggi badan, juga ditentukan oleh umur dan jenis kelamin. Komposisi jenis kelamin

anak pada penelitian ini hampir sama, 54,1% anak laki-laki dan 45,9% anak

perempuan (Tabel 8)

Tabel 8

Distribusi Jenis Kelamin Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Jenis Kelamin n %

Laki-laki

Perempuan

60

51

54,1

45,9

Total 111 100,0Sumber: Data primer

Komposisi berdasarkan kelompok umur pada penelitian ini, hampir merata.

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, 42,3% berumur 12-35 bulan, 29,8% berumur

36-47 bulan, dan 27,9% anak berumur 48-59 bulan.

Tabel 9

Distribusi Kelompok Umur Anak 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

34

Page 35: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Kelompok Umur n %

12 – 35 bulan

36 – 47 bulan

48 -59 bulan

47

33

31

42,3

29,8

27,9

Total 111 100,0Sumber: Data primer

Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat tujuh anak (6,3%) menderita gizi

buruk, 33 anak (29,7%) menderita gizi kurang, dan 71 anak (64,0%) berstatus gizi

baik.

Tabel 10

Distribusi Status Gizi Anak Umur 24 – 59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Status Gizi n %

Gizi buruk

Gizi kurang

Gizi baik

7

33

71

6,3

29,7

64,0

Total 111 100,0Sumber: Data primer

Rata-rata kadar Hb anak 11,05 mg/dL dengan sebaran mulai dari 8 mg/dL

hingga 14 mg/dL, atau secara rata-rata sampel status Hb anak adalah normal.

Prevalensi anak yang menderita anemia 45% atau 50 anak lebih sedikit dibandingkan

dengan anak yang kadar hemoglobin (Hb) normal (≥ 11 mg/dL) seperti yang terlihat

pada Tabel 11.

35

Page 36: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Tabel 11

Distribusi Status Hemoglobin Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008.

Status kecacingan n %

Anemia

Normal

50

61

45

55

Total 111 100,0Sumber: Data primer

48

5957.1

54.553.5

52

4142.9

45.5

33

0

10

20

30

40

50

60

70

Anemia Normal Buruk Kurang Baik

Status Hb Status Gizi Bbu

Laki-laki

Perempuan

Gambar 1. Distribusi Status Gizi Untuk Indikator Hb dan BBu menurut Jenis Kelamin Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008

36

Page 37: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

40

44.3

28.6

54.5

3838

23

42.9

18.2

33.8

22

32.8

28.627.3

28.2

0

10

20

30

40

50

60

Anemia Normal Buruk Kurang Baik

Status Hb Status Gizi Bbu

24-35 bln

36-47 bln

48-59 bln

Gambar 2. Distribusi Status Gizi Untuk Indikator Hb dan BBu menurut Kelompok Umur Anak Umur 24-59 Bulan di Kelurahan Maccini Baji Kec. Lau Kab Maros Tahun 2008

4.1.4. Hubungan sosial ekonomi dengan status gizi

Tingkat pendidikan ibu hampir setengahnya rendah (sampai dengan tamat SD)

46,8% dan 32,7% tingkat pendidikan ibu yang rendah memiliki anak kurang gizi (Z-

Score < -2 SD), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Berdasarkan uji statistik chi-

square diperoleh nilai p = 0,491, berarti tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan

yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan status gizi (BB/u) anak di Kelurahan Maccini

Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

Tabel 12

Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Tingkat PendidikanStatus Gizi

TotalKurang Baik

n % n % n %

37

Page 38: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Rendah 17 32,7 35 67,3 52 46,8

Sedang-tinggi 23 39,0 36 61,0 59 53,2

Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0

Sumber: Data primer

Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan status keluarga miskin sebesar

40,5% dan 42,2% diantaranya memiliki anak kurang gizi, seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 13. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0,262, berarti

status keluarga miskin memiliki hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan

status gizi anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

Tabel 13

Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Keluarga Miskin (Gakin) Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Status Sosial Ekonomi Keluarga

Status GiziTotal

Kurang Baikn % n % n %

Gakin 19 42,2 26 57,8 45 40,5

Non Gakin 21 31,8 45 68,2 66 59,5

Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0

Sumber: Data primer

Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan besar jumlah anggota keluarga

yang besar sebanyak 46 rumah tangga (41,4%) dan 37% diantaranya memiliki anak

38

Page 39: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

kurang gizi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14. Berdasarkan uji statistik chi-

square diperoleh nilai p = 0,865, berarti besar jumlah anggota keluarga memiliki

hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan status gizi anak di Kelurahan

Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

Tabel 14

Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Jumlah Anggota KeluargaStatus Gizi

TotalKurang Baik

n % n % n %

Besar 17 37,0 29 63,0 46 41,4

Kecil 23 35,4 42 64,6 65 58,6

Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0

Sumber: Data primerTingkat pendidikan ibu hampir setengahnya rendah (sampai dengan tamat SD)

46,8% dan 40,4% diantaranya memiliki anak menderita anemia, seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 15. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p =

0,354, berarti tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan yang tidak bermakna (p >

0,05) dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau

Kabupaten Maros.

Tabel 15

Distribusi Status Gizi (Hb) Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Tingkat PendidikanStatus Hemoglobin (Hb)

TotalAnemia Normal

n % n % n %

Rendah 21 40,4 31 59,6 52 46,8

39

Page 40: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Sedang-tinggi 29 49.2 30 50,8 59 53,2

Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0

Sumber: Data primer

Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan status keluarga miskin sebesar

40,5% dan 44,4% diantaranya memiliki anak menderita anemia, seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 16. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p =

0,916, berarti status keluarga miskin memiliki hubungan yang tidak bermakna (p >

0,05) dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau

Kabupaten Maros.

Tabel 16

Distribusi Status Gizi (Hb) Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Keluarga Miskin (Gakin) Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Status Sosial Ekonomi Keluarga

Status Hemoglobin (Hb)Total

Anemia Normaln % n % n %

Gakin 20 44,4 26 55,6 45 40,5

Non Gakin 30 45,5 45 54,5 66 59,5

Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0

Sumber: Data primer

Status sosial ekonomi keluarga berdasarkan besar jumlah anggota keluarga

yang besar sebanyak 46 rumah tangga (41,4%) dan setengahnya menderita anemia,

40

Page 41: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 17. Berdasarkan uji statistik chi-square

diperoleh nilai p = 0,377, berarti besar jumlah anggota keluarga memiliki hubungan

yang tidak bermakna (p > 0,05) dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini

Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

Tabel 17

Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Jumlah Anggota KeluargaStatus Hemoglobin (Hb)

TotalAnemia Normal

n % n % n %

Besar 23 50,0 23 50,0 46 41,4

Kecil 27 41,5 38 58,5 65 58,6

Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0

Sumber: Data primer4.1.5. Hubungan infestasi cacing dengan status gizi

Status infestasi cacing anak umur 24-59 bulan yang positif kecacingan hanya

sebesar 9,9% (11 anak) dan 3 anak diantaranya memiliki status kurang gizi (Z-Score

< -2 SD), lebih kecil dibanding dengan anak yang tidak menderita kecacingan (37

anak) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 18. Berdasarkan uji statistik chi-square

diperoleh nilai p = 0,743 (Fisher’s Exact Test karena terdapat satu sel dengan nilai

expected < 5%), berarti status infestasi cacing memiliki hubungan yang tidak

bermakna (p > 0,05) dengan status gizi (BB/u) anak di Kelurahan Maccini Baji

Kecamatan Lau Kabupaten Maros.

Tabel 18

Distribusi Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Infestasi Cacing Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

41

Page 42: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Status KecacinganStatus Gizi

TotalKurang Baik

n % n % n %

Positif 3 32,7 8 67,3 11 9,9

Negatif 37 37,0 63 63,0 100 90,1

Total 40 36,0 71 64,0 111 100,0

Sumber: Data

Status infestasi cacing anak umur 24-59 bulan yang positif kecacingan hanya

sebesar 9,9% (11 anak) dan 5 anak diantaranya menderita anemia, lebih kecil

dibanding dengan anak yang tidak menderita kecacingan (45 anak) seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 19. Berdasarkan uji statistik chi-square diperoleh nilai p =

1,000 (Fisher’s Exact Test karena terdapat satu sel dengan nilai expected < 5%),

berarti status infestasi cacing memiliki hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05)

dengan status gizi (Hb) anak di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten

Maros.

Tabel 19

Distribusi Status Gizi (Hb) Anak Umur 24-59 Bulan Berdasarkan Status Infestasi Cacing Di Kel. Maccini Baji Kec Lau Kab. Maros

Status KecacinganStatus Hemoglobin (Hb)

TotalAnemia Normal

n % n % n %

Positif 5 45,5 6 54,5 11 9,9

Negatif 45 45,0 55 55,0 100 90,1

Total 50 45,0 61 55,0 111 100,0

Sumber: Data

42

Page 43: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

4.2. Pembahasan

Dari 111 anak umur 24-59 bulan dalam penelitian ini, diperoleh 45% atau 50 anak

menderita anemia dengan 48% diantaranya adalah anak laki-laki. Prevalensi anemia gizi

pada penelitian ini sudah tergolong masalah berat yaitu melebihi 40% sesuai kriteria

WHO (2000). Angka ini lebih sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi anemia anak

balita nasional sebesar 40% (SKRT 2001) pada kelompok umur yang sama. Tetapi jika

dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Marhaeni dkk (2001) di Yogyakarta pada

anak umur 0-59 bulan diperoleh prevalensi anemia yang lebih kecil yakni 35,3%.

Berdasar data Riskesdas 2007, prevalensi anemia di Sulawesi Selatan untuk anak umur 1-

4 tahun 27,7%. Penelitian Purba (2006) pada anak balita Suku Dayak Kanayan di Desa

Saham Kabupaten Landak Kalimantan Barat menemukan 48,5% menderita anemia. Jika

melihat penelitian Sidhu dkk (2002) pada anak umur 1- 5 tahun di Punjab India diperoleh

prevalensi yang lebih besar yakni 81,66%. Kejadian anemia gizi pada balita disebabkan

oleh berbagai faktor diantaranya pengadaan zat besi yang tidak cukup seperti cadangan

besi yang tidak cukup, selain itu absorbsi yang kurang karena diare ataupun infestasi

cacing yang memperberat anemia. Selain itu dapat pula disebabkan oleh keadan sosial

ekonomi yang rendah, pendidikan, pola asuh, fasilitas kesehatan dan faktor budaya. Hal

ini dibuktikan oleh penelitian Villalpando dkk di Meksiko tahun 1999 memperlihatkan

bahwa prevalensi anemia gizi dipedesaan (rural) lebih tinggi jika dibandingkan dengan

diperkotaan dan mempunyai hubungan bermakna dengan pola konsumsi dan konsumsi

makanan terutama kalsium, besi, tannin, phytat serta sosial ekonomi.

43

Page 44: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Prevalensi kurang gizi di Kelurahan Maccini Baji pada penelitian ini mencapai

36,0% yang terdiri dari 6,3% gizi buruk dan 29,7% gizi kurang lebih tinggi dibanding

dengan prevelensi kurang gizi Kabupaten Maros tahun 2007 (Dinkes Prop. Sulsel) yakni

11,11% yang terdiri dari 1,11% gizi buruk dan 10,0 gizi kurang. Prevalensi yang lebih

rendah secara regional propinsi Sulsel berdasarkan data Riskesdas 2007 kurang gizi

mencapai 17,6% terdiri dari 5,1% gizi buruk dan 12,5% gizi buruk tidak jauh berbeda

dengan data prevalensi Dinkes Prop. Sulsel 2007 sebesar 16,08%. Tingginya prevalensi

kurang gizi di Kelurahan Maccini Baji dapat disebabkan oleh cakupan D/S yang rendah,

hal diperkuat dengan laporan Dinkes Prop. Sulsel dimana cakupan D/S Kab. Maros hanya

48%. Selain itu, berdasarkan penelitian Citrakesumasari dkk (2006) di Kelurahan

Maccini Baji penyebab utama tingginya kurang gizi di wilayah itu adalah pola asuh yang

tidak memadai sehingga konsumsi makanan anak tidak cukup dan penanganan penyakit

infeksi yang lambat.

Hubungan sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.

Sosial ekonomi keluarga memegang peranan yang sangat penting dan menjadi

akar masalah terjadinya kurang gizi (Unicef, 1988). Tingkat sosial ekonomi suatu

keluarga akan mempengaruhi antara lain daya beli keluarga, tingkat ketersediaan pangan,

pola asuh dan konsumsi pangan dalam keluarga. Status sosial ekonomi suatu keluarga

akan mempengaruhi daya beli dan konsumsi seseorang konsumen atau sebuah keluarga

serta mempengaruhi jenis produk dan jasa yang dikonsumsi (Suwarman, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Maccini Baji ini, diperoleh 42,2%

keluarga gakin menderita kurang gizi, dan 44,4% menderita anemia, serta 22,2%

diantaranya menderita anemia dan kurang gizi. Berdasarkan uji Chi-square diperoleh

44

Page 45: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

hasil yang tidak bermakna (P >0,05) antara status gakin dan status gizi (baik indikator

BB/u maupun Hb). Berdasarkan jumlah keluarga, prevalensi gizi kurang maupun anemia

lebih kecil dari pada status gizi normal pada keluarga dengan jumlah anggota rumah

tangga yang besar, masing-masing 37% dan 50%, hal ini terbukti secara uji chi-suare

dimana diperoleh hubungan yang tidak bermakna antara jumlah keluarga terhadap status

gizi baik indikator BB/u maupun Hb. Dari 46,8% responden yang memiliki tingkat

pendidikan yang rendah mempunyai proporsi status gizi kurang maupun anemia yang

lebih kecil dibanding dengan yang normal. Secara statistik, hubungan tingkat pendidikan

dengan status gizi baik indikator BB/u maupun Hb tidak bermakna (P>0,05).

Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Wahyuni (2004) yang menyatakan

bahwa sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap anemia pada anak balita. Hal

tersebut dikuatkan dengan hasil Riskesdas 2007 yang memperlihatkan bahwa makin

tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, makin rendah prevalensi anemia. Atau dengan

kata lain semakin baik tingkat sosial ekonomi, maka semakin rendah prevalensi anemia.

Tingkat pendidikan mempengaruhi prevalensi anemia, semakin rendah tingkat

pendidikan orang tua, maka makin tinggi prevalensi anemia pada anak (Litbangdepkes,

2008). Keadaan gizi anak balita merupakan salah satu indikator derajat kesehatan. Di

Indonesia, kurang energi protein (KEP), merupakan masalah gizi utama dan merupakan

tujuan dari Millenium Development Goal’s yang dikaitkan dengan kemiskinan.

Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena

itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan

ekonomi (Azwar, 2004).

Hubungan investasi cacing terhadap status gizi anak umur 24-59 bulan.

45

Page 46: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Infestasi cacing merupakan suatu keadaan dimana seseorang mempunyai cacing

atau telur cacing di dalam ususnya, sedangkan kecacingan merupakan suatu penyakit

yang diderita seseorang karena terdapat cacing atau telur cacing dalam ususnya. Soil

Transmited Helminths atau cacing usus ditularkan melalui tanah dan berkembang

menjadi bakteri infektif pada manusia. Gangguan kesehatan yang biasanya diakibatkan

oleh jenis cacing ini adalah mual, nafsu makan berkurang, diare, dan gangguan tidur,

hingga mengakibatkan anemia dan kurang gizi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infestasi cacing bukanlah penyebab

utama terjadinya kurang gizi dan anemia. Dari 11 anak yang menderita kecacingan

hanya 27,3% yang menderita kurang gizi dan 45,5% menderita anemia. Berdasarkan hasil

uji statistik chi-square diperoleh hubungan yang tidak bermakna antara infestasi cacing

dengan status gizi BB/u (p = 0,524) dan antara infestasi cacing dengan status anemia

(p=1,000). Hasil ini diperkuat dengan penelitian Ismid dkk (1988) dimana tidak ada

hubungan bermakna antara adanya askariasis dengan status gizi.

Stephenson 1987 melaporkan bahwa investasi cacing usus berhubungan dengan

keadaan malnutrisi dan pertumbuhan yang lambat. Sementara penelitian di Afrika

mendapatkan bahwa tidak ada hubungan askariasis terhadap status gizi dan tumbuh

kembang anak. Keberadaan cacing dalam usus, tergantung dari jumlah atau tingkat

infeksinya akan mempengaruhi pemasukan zat gizi ke dalam tubuh. Dari penelitian ini,

diperoleh bahwa kejadian askariasis dan trikuriasis semua dalam tahap ringan, ini dapat

menjelaskan mengapa kejadian kecacingan tidak berpengaruh terhadap status gizi (BB/u

dan Hb). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang yang dilakukan oleh Rusli

(2006) yang mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kecacingan dengan status

46

Page 47: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Hb. Diperkuat dengan penelitian Meru (2006) pada anak SD di Pacitan Jateng

menunjukkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi yang ditemukan sebesar 30,6%

dan prevalensi kecacingan sebesar 11,3%, tidak ada hubungan antara kecacingan dengan

terjadinya anemia defisiensi besi (p>0,05). Namun berbeda dengan hasil penelitian Ruttu

(2002) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kecacingan dengan

anemia gizi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Telah dilakukan penelitian terhadap 111 anak umur 24 – 59 bulan di Kelurahan

Maccini Baji, berdasarkan status gizi indikator BB/u terdapat 6,3% menderita gizi buruk,

29,7% anak gizi kurang, 64,0% anak gizi baik, sedangkan menurut kadar Hb, 45% anak

menderita anemia, dan sisanya 55% normal, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi keluarga anak

yang terdiri dari tingkat pendidikan ibu dan jumlah anggota keluarga, dan status

47

Page 48: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

rumah tangga miskin (gakin) terhadap status gizi (BB/u) anak umur 24-59 bulan di

Kelurahan Maccini Baji (masing-masing nilai p = 0,491, p = 0,865 dan p = 0,262).

2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi keluarga anak

yang terdiri dari tingkat pendidikan ibu dan jumlah anggota keluarga, dan status

rumah tangga miskin (gakin) terhadap status anemia gizi (Hb) anak umur 24-59

bulan di Kelurahan Maccini Baji (masing-masing nilai p = 0, 354, p = 0,377 dan p

= 0,916).Tidak ada pengaruh sanitasi lingkungan terhadap infestasi cacing pada

anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji (p = 0,164).

3. Tidak ada hubungan yang bermakna antara infestasi cacing terhadap status gizi

(BB/u) pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji (p = 0,743)

4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara infestasi cacing terhadap status anemia

gizi (Hb) pada anak umur 24-59 bulan di Kelurahan Maccini Baji (p = 1,000).

5.2. Saran

1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk milihat

faktor risiko masalah anemia gizi dan kejadian kurang gizi.

2. Meningkatkan pembinaan, monitoring dan evaluasi

kinerja petugas pelaksana program penanggulangan masalah anemia gizi dan

ketersediaan suplemen zat besi di lapangan untuk mencegah dan menanggulangi

terjadinya masalah anemia gizi.

48

Page 49: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, G. Kunar. 1996. Penyakit Cacingan, Dampak dan Penanggulangannya. Kumpulan Makalah seminar sehari infeksi parasit, status gizi dan kecerdasan pada anak sekolah dasar. LPPM-Unhas. Makassar.

BKKBN. 1993. Petunjuk Teknis Pendataan dan Pemetaan Keluarga Sejahtera: BKKBN, Gerakan keluarga berencana nasional, Cetakan ke-1. Jakarta.

Azwar, Asrul, 2004. Kecendrungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang. Disampaikan pada pertemuan advokasi program perbaikan gizi menuju keluarga sadar gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004

Candra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta

49

Page 50: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Citrakesumasari, 2006. Upaya Peningkatan Status Gizi Bayi dan Balita Melalui Program Pendidikan Gizi Berbasis Lokal di Kabupaten Maros. Laporan Kegiatan. Gizi FKM Unhas & PKK Propinsi Sulsel.

Depkes. 1989. Parasitologi Medik, Jilid 2: Helmintologi. Pusat pendidikan tenaga kesehatan departemen kesehatan RI. Jakarta.

Depkes. 2006. Survei Kesehatan Nasional (Susenas) Tahun 2005: Antropometri 1989-2005. www.gizi.net

Dinkes. 2007. Profil Status Gizi Kabupaten Propinsi Sulawesi Selatan. Dinkes Propinsi Sulsel.

Ginting, Sri Alemina. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi dengan Kejadian Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. USU digital library. Medan

Jurusan Gizi. 2005. Laporan Survei Gizi dan Kesehatan di Kelurahan Maccini Baji Kecamatan Lau Kabupaten Maros. Jurusan Gizi Masyarakat FKM Unhas,. Makassar.

Hidayat, Shoim. 2001. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Infeksi Soil Transmited Helmints pada Anak Balita di Pemukiman Kumuh di Surabaya. [email protected]

Latham MC. 1989. The Relationship of Nutrition to Productivity and Well Being of Workers the Political Economy of Food and Nutrition Policies. International Food Policy Research Institute.

Litbang Depkes, 2008. Laporan Data Riskesdas 2007. www.litbangkes/rkd.ac.id Lubis, Agustina, 2001. Dampak Program Lantainisasi terhadap Kesehatan Balita di

Kabupaten Purworejo dan Bandung. [email protected]

Markell, EK, Voge, M. Jhon. DT. 1986. Medical Parasitology. 6th edition, W.B. Sounders Company. Philadelphia USA.

Menkes RI, 2002. Keputusan menteri kesehatan RI Nomor 920 tentang Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita).

Meru, Rensy Cahyani Ardi. 2006. Hubungan Kecacingan Dengan Kejadian Anemia Pada Anak Sekolah Da Sar Di Daerah Endemis Malaria : Studi di SD Negeri Ngreco III Desa Ngreco Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan. ADLN Digital Collections A member of the IndonesiaDLN ADLN Network

Ninik RH, 1999. Hubungan Antara Faktor Sosial Ekonomi Dengan Pola Konsumsi Makanan dan Status Gizi Balita di Kabupaten Purworejo. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

50

Page 51: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Ksesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Jafar, Nurhaedar. 2008. Pengaruh Sosial Ekonomi, Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Peorangan Terhadap Infestasi Cacing, Hubungannya Terhadap Status Gizi Anak Umur 24-59 Bulan Di Kabupaten Maros Tahun 2008. Lembaga Penelitian Unhas. Makassar.

Purba, Jonni Syah. 2006. Status Anemi Pada Balita Serta Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Asupan Zat Besi Pada Makanan Anak Balita Suku Dayak Kanayatn. Diakses 16 Desember 2008.

Pusdiklat, WHO, 1992. Hasil semiloka pengembangan kepemimpinan dalam penanggulangan kekurangan mikronutrien dan penyakit parasit perut. Pusdiklat WHO Collaborating centre bekerja sama dengan Cornell University, Smithkline Beecham Pharmaceuticals, Jakarta

Pusdiklat, WHO. 1996. Pelaksanaan Program Pengendalian Kecacingan, dalam: Oemijati S, Iswandi EA, Ed: Tata laksana pengendalian kecacingan di Indonesia melalui usaha kesehatan sekolah dengan pendekatan kemitraan. Jakarta.

Putyastri, P.N. 2005. Gambaran Kejadian Anemia Gizi Besi Anak Usia 12-23 Bulan di Kelurahan Maricaya Selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar. Skripsi. FKM Unhas. Makassar

Rusli, Laode. Hubungan Pola Konsumsi dan Infestasi Cacing terhadap Status Hemoglobin Siswi Tsanawiyah Pesantren As’Adiyah Kabupaten Wajo. Skripsi FKM UNHAS, Makassar: 2006.

Ruttu, Ratna S. Risiko Anemia Gizi pada Anak Balita denganInfeksi Kecacingan di Wilayah Kerja Puskesmas Barandasi Kabupaten Maros. Skripsi FKM UNHAS, Makassar: 2002.

Sidhu, Sharda. Kumari, K. Uppal, M. 2002. Prevalence of anemia in schedule caste preschool children of Punjab India. Indian J Med Sci 2002;56:218-21. [cited 2008 Dec 16]

Satoto dan Indriyani. 1990. Masalah Memberantas dan Mencegah Kecacingan. Subdit Diare. Kecacingan dan Parasit Perut, Dirjen. PPM &PLP., Depkes RI

Supariasa. IDN, Bachyar B, dan Ibnu, F. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta

Stephenson. L. S. Et all. 1990. Improvments In Phisical Fitness of Kenyan Schoolboys Infected With Hookworm, Trichuries Trichiura ang Ascaris Lumbricoides Following a Single Dose Abedazole. Thans. Roy. Society Trop. Med. & Hyg.

51

Page 52: Hubungan Sosialekonomi Dan Infestasi Cacing 2008

Tjitra, Emiliana. 1991. Penelitian-penelitian Soil Transmitted Helminth di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 72. Jakarta

Villalpando, Salvador. 2003. Prevalence of anemia in children 1 to 12 years of age. Results from a nationwide probabilistic survey in Mexico 1999. salud pública de méxico / vol.45, suplemento 4 de 2003

Wahyuni, A.S. 2004. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. USU digital library

Zaman V, Keong LA. 1982. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Bina Cipta. Jakarta.

52