Upload
duongkhanh
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN PEMBINAAN KEAGAMAAN DENGAN
KEMAMPUAN COPING REMAJA PADA LEMBAGA
PEMBINAAN KHUSUS ANAK (LPKA) KELAS 1
TENGERANG BANTEN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh:
Nely Lailatul Maghfiroh
NIM: 1112052000013
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Nely Lailatul Maghfiroh, 1112052000013, Hubungan Pembinaan Keagamaan
dengan Kemampuan Coping Remaja pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang Banten, di bawah bimbingan Artiarini Puspita
Arwan, M.Psi
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang Banten adalah
salah lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
merupakan lembaga pemasyarakatan yang khusus menangai anak usia remaja yang
berhadapan dengan hukum. Selama menjalani tahanan, mereka mendapatkan
pelayanan, pembinaan, dan pendidikan.
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan di LPKA adalah pembinaan
keagamaan. Remaja yang berhadapan dengan hukum ini perlu mendapatkan suatu
pembinaan khusus terutama pembinaan keagamaan yang dilakukan secara intensif.
Melalui kegiatan pembinaan keagamaan yang intensif, diharapkan remaja memiliki
kemampuan mengelola stres; dan kemampuan pemecahan masalah. Istiqomah
Wibowo dk. dalam bukunya Psikologi Komunitas menyebutkan bahwa mekanisme
yang digunakan individu untuk menghadapi dan mengatasi masalah disebut dengan
coping. Remaja yang memiliki kemampuan coping yang baik, diharapkan dapat
memilih cara untuk penyelesaian masalah sesuai dengan ketentuan dan petunjuk
agama sehingga remaja tidak melakukan tindakan kriminal kembali yang melanggar
aturan, norma, terlebih pada norma agama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pembinaan keagamaan
dengan kemampuan coping remaja pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang Banten. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis korelasional, untuk mengetahui
kekuatan/arah hubungan variabel pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping.
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 47 orang remaja dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Analisis data yang digunakan adalah uji koefisien korelasi.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan kuat antara variabel
pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping dari remaja di LPKA yang
ditunjukkan dengan hasil korelasi sebesar 0,770 yang didukung oleh beberapa hal,
yaitu (1) aspek Problem Focused Coping (Y1) yang berhubungan nyata positif
dengan pembinaan keagamaan yaitu cukup berarti atau sedang dengan nilai korelasi
sebesar 0,633. (2) emotion focused coping (Y2) yaitu cukup berarti atau sedang
dengan nilai korelasi sebesar 0,642. Dan hubungan antara variabel pembinaan
keagamaan dengan religius focused coping (Y3) yaitu cukup berarti atau sedang
dengan nilai korelasi sebesar 0,508. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan
keagamaan dengan kemampuan coping memiliki hubungan yang kuat.
Kata Kunci: Pembinaan Keagamaan, kemampuan Coping, Remaja.
ii
KATA PENGANTAR
مــــــــــــــسم هللا الرحمن الرحيــــــــــــــب
Assalamu’alakum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat
yang Allah berikan kepada kita semua, karena berkat rahmat, hidayah serta taufiq-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan
Pembinaan Keagamaan Dengan Kemampuan Coping Remaja Pada Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang Banten”
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan kita
baginda Nabi Muhammad SAW. yang karena kemuliaannyalah kita berharap
syafaatnya di hari kiamat. Disamping itu shalawat dan salam semoga terlimpah
curahkan pula kepada keluarganya, sahabatnya serta pengikutnya yang setia
sampai akhir zaman.
Pada penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan
dan kemampuan penulis. Oleh karena itu dengan hati terbuka penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga penulis dapat
mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada
dikemudian hari.
Adapun dalam penyusunan penelitian ini tidak semata-mata hasil kerja
sendiri, melainkan juga berkat bimbingan dan dorongan dari pihak-pihak yang
telah membantu, baik secara materi maupun secara spiritual. Untuk itu dalam
kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
iii
menyelesaikan skripsi ini. Terutama kepada kedua orang tua penulis Bapak
Jamaluddin dan Ibu Sri Yanah atas perhatian, dukungan, do’a, kasih sayang,
pengorbanan dan ketulusan dalam mendampingi penulis sehingga penulis mampu
melewati semua kesulitan dalam penyusunan skripsi ini. Serta adik-adik penulis
(Evy Luthfiyana dan M. Naufal Bagus Sadewa) yang selalu memberikan do’a,
semangat, kasih sayang yang membuat penulis terus semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini. Selain itu tentu penulis juga sangat berterimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini diantaranya
kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M. Ed, Ph.D. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik,
Dr. Roudhonah, M.A selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, dan
Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si. dan Ir. Noor Bekti Negoro, SE, M.Si. selaku
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Artiarini Puspita Arwan, M.Psi selaku dosen pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada
penulis selama perkuliahan.
iv
5. Teruntuk sahabat-sahabat penulis Ochin, Sifa, mas Sidiq, kak Cahya, bu
Yani, Ella, Cacih, Lilis, Lutfi, Indah, Bunga, yang selama ini memberikan
motivasi serta inspirasi bagi penulis serta perhatian, dukungan dan do’a
kepada penulis.
6. Teman-teman seperjuangan BPI 2012 yang selalu memberikan semangat,
saran, dan masukan kepada penulis. Terimaksih untuk kebersamaannya
selama ini dan telah menemani penulis baik suka maupun duka dan akan
selalu menjadi pengalaman yang tak kan pernah terlupakan dalam menggapai
impian sebagai penyuluh profesional.
7. Keluarga besar Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kementerian
Agama RI. Berkat beasiswa inilah penulis bisa menempuh jenjang pendidikan
S1 hingga terselesaikan skripsi ini.
8. Keluarga besar ma’had UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih atas
waktu 2 tahun telah mengizinkan penulis tinggal dan menuntut agama lebih
mendalam, terimasih atas ilmu yang diberikan serta pengalaman yang
berkesan untuk penulis.
9. Seluruh Civitas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang telah membantu
dan mempermudah penulis dalam melakukan penelitian ini.
10. Seluruh Civitas Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang Banten yang selalu senantiasa membantu dan mempermudah
penulis dalam penelitian di lapangan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.
v
11. Dan untuk semua pihak yang telah membantu dalam penelitian skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat,
penulis mengucapkan terimakasih.
Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan,
kelancaran dan kesuksesan kepada semua pihak yang telah memberikan segala
bantuan dan dukungannya kepada penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna Namun penulis
berharap adanya masukan, kritikan, dan saran yang membangun supaya menjadi
pembelajaran yang baik bagi penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi yang membaca pada umumnya dan bagi segenap keluarga besar
jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
Wassalamu’alakum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, Januari 2018
Nely Lailatul Maghfiroh
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................... 8
1. Batasan Masalah ......................................................... 8
2. Rumusan Masalah ...................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 9
1. Tujuan Penelitian ........................................................ 9
2. Manfaat Penelitian ...................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ............................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ........................................................ 15
BAB II KERANGKA TEORI ............................................................. 18
A. Pembinaan Keagamaan ..................................................... 18
1. Pengertian Pembinaan ................................................ 18
2. Pengertian Keagamaan ............................................... 19
3. Pengertian Pembinaan Keagamaan ............................ 20
4. Tujuan Pembinaan Keagamaan .................................. 21
vii
5. Aspek-Aspek Pembinaan Keagamaan ........................ 23
6. Metode Pembinaan Keagamaan ................................. 25
7. Materi Pembinaan Keagamaan ................................... 29
B. Coping ............................................................................... 36
1. Pengertian Coping ...................................................... 36
2. Klasifikasi dan Bentuk Coping ................................... 37
C. Hubungan Pembinaan Keagamaan dengan Kemampuan
Coping ............................................................................... 45
D. Remaja ............................................................................... 47
1. Definisi Remaja .......................................................... 47
2. Ciri-Ciri Remaja ......................................................... 49
3. Klasifikasi Remaja ..................................................... 52
4. Pengertian dan Bentuk Kenakalan Remaja ................ 53
5. Faktor yang Menyebabkan Kenakalan Remaja .......... 55
E. Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) ................ 58
1. Definisi ABH ............................................................... 58
2. Kategori ABH .............................................................. 60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 61
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ........................................ 61
1. Pendekatan Penelitian ................................................. 61
2. Jenis Penelitian ........................................................... 62
B. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 62
1. Tempat Penelitian ....................................................... 62
2. Waktu Penelitian ........................................................ 63
viii
C. Sumber Data ...................................................................... 63
1. Data Primer .................................................................. 63
2. Data Sekunder ............................................................. 64
D. Populasi dan Sampel.......................................................... 64
1. Populasi ...................................................................... 64
2. Sampel ........................................................................ 64
E. Variabel dan Operasional Penelitian ................................. 66
1. Variabel Bebas............................................................. 66
2. Variabel Terikat ........................................................... 67
F. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 68
1. Observasi .................................................................... 68
2. Kuesioner .................................................................... 69
3. Dokumentasi ............................................................... 69
G. Uji Validitas....................................................................... 69
H. Uji Reliabilitas ................................................................... 71
I. Teknik Analisis Data ......................................................... 73
1. Pearson (Product Moment Correlation) ..................... 75
2. Uji Koefisien Korelasi ................................................ 76
J. Hipotesis Penelitian ........................................................... 77
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN HASIL ANALISIS DATA .... 79
A. Gambaran Umum Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang Banten................................................. 79
1. Sejarah Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang ................................................................... 79
ix
2. Visi dan Misi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang ...................................................... 80
3. Motto Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang ................................................................... 80
4. Komitmen Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas
1 Tangerang ................................................................ 80
5. Struktur Organisasi Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang ....................................... 81
6. Data dan Fakta Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang ...................................................... 82
7. Program dan Jenis Kegiatan Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang .............................. 82
B. Kegiatan Pembinaan Keagamaan Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang ..................................... 82
C. Temuan dan Hasil Analisis Data ....................................... 85
1. Karakteristik Responden ............................................ 85
2. Deskripsi Hasil Penelitian .......................................... 86
3. Gambaran Umum Kemampuan Coping Remaja ........ 102
4. Analisis Data .............................................................. 102
BAB V PENUTUP ................................................................................ 107
A. Kesimpulan ........................................................................ 107
B. Diskusi ............................................................................... 108
C. Saran .................................................................................. 110
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Pembinaan Keagamaan .................................... 70
Tabel 2. Blue Print Skala Kemampuan Coping ........................................ 71
Tabel 3 Hasil Output Uji Reliabilitas Variabel X .................................... 72
Tabel 4. Hasil Output Uji Reliabilitas Variabel Y .................................... 73
Tabel 5. Skala Likert ................................................................................. 75
Tabel 6. Interval Koefisien Korelasi dan Kekuatan Hubungan ................ 77
Tabel 7. Jadwal Kegiatan Pembinaan Keagamaan ................................... 84
Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Kasus ............................. 85
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ................................ 86
Tabel 10. Aspek Materi ............................................................................. 87
Tabel 11. Aspek Frekuensi Kegiatan ........................................................ 89
Tabel 12. Aspek Motivasi ......................................................................... 90
Tabel 13. Aspek Perhatian ........................................................................ 91
Tabel 14. Aspek Spirit of Change ............................................................. 93
Tabel 15. Aspek Efek ................................................................................ 95
Tabel 16. Aspek Problem Focused Coping .............................................. 96
Tabel 17. Aspek Emotion Focused Coping............................................... 98
Tabel 18. Aspek Religius Focused Coping ............................................... 100
Tabel 19. Kemampuan Coping Remaja .................................................... 102
Tabel 20. Koefisien Korelasi..................................................................... 103
xi
Tabel 21. Korelasi X dan Y....................................................................... 103
Tabel 22. Koefisien Korelasi X dan Y ...................................................... 104
Tabel 23. Kekuatan Hubungan Variabel X dan Subvariabel Y ................ 104
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa di mana remaja mengalami perubahan dan
perkembangan. Di dalam pikiran dan jasmaninya, remaja mewarnai dan
mengeksplorasi dunianya dengan penuh keberanian. Mereka mencoba
mengidentifikasikan diri mereka dengan orang lain, untuk menemukan sebuah jati
diri mereka sendiri. Dalam proses pencarian jati diri remaja membutuhkan
bimbingan dan arahan dalam hidupnya supaya tidak terjadi penyimpangan,
sehingga remaja bisa menjadi pribadi yang memiliki rasa tanggung jawab.1
Masa remaja menurut Stanley Hall dalam bukunya Agoes Dariyo2
dianggap sebagai masa topan-badai dan stres (strom and stres), karena mereka
telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Usia
perkembangan seperti ini, jika terarah dengan baik maka remaja akan menjadi
seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab. Akan tetapi, apabila tidak
terbimbing, maka remaja bisa menjadi seorang yang tidak memiliki masa depan
dengan baik. Remaja (adolesecence) adalah masa transisi/peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja ini berkisar
antara usia 12/13 tahun sampai 21 tahun.3
1 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 15
2 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, h. 13
3 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, h. 14
2
Terkait remaja, berbagai gejala yang melibatkan perilaku remaja akhir-
akhir ini tampak menonjol di masyarakat. “Perilaku-perilaku tersebut menonjol
baik dalam bentuk kenakalan biasa maupun kenakalan yang menjurus tindak
kriminal. Masyarakat pun secara langsung ataupun tidak langsung menjadi gelisah
dalam menghadapi hal tersebut.”4 Bahkan belakangan ini remaja menjadi topik
pembicaraan yang berkaitan dengan perilaku penyimpangan. Tidak sedikit remaja
yang melakukan tindakan yang melanggar norma-norma sosial ataupun norma-
norma agama. Perilaku menyimpang di kalangan remaja merupakan salah satu
problema lama yang senantiasa muncul di tengah-tengah masyarakat. “Masalah
tersebut hidup, berkembang, dan membawa akibat tersendiri sepanjang masa yang
sulit untuk dikaji ujung pangkalnya, sebab kenyataan perilaku menyimpang telah
merusak nilai-nilai susila, agama, dan hukum”.5 Seringkali terdengar berbagai
masalah yang disebabkan karena kenakalan remaja, seperti penyalahgunaan
narkoba, minuman keras, perkelahian, pencurian, pemerkosaan, bahkan
pembunuhan. Hal ini sangat erat hubungannya dengan tidak adanya ketenangan
jiwa dalam diri remaja.
Pengertian kenakalan remaja yang dirumuskan dalam Bakolak Inpres
No.6/1971 Pedoman 8, tentang Pola Penanggulangan Kenakalan Remaja adalah
“kelainan tingkah laku, perbuatan atau tindakan remaja yang bersifat asosiasi
bahkan antisosial yang melanggar norma-norma sosial, agama serta ketentuan
hukum yang berlaku dalam masyarakat”.6
4 Paulus Hadisuprapto, Studi tentang Makna Penyimpangan Perilaku di Kalangan
Remaja, (Jurnal Kriminologi Indonesia, 2004), Vol. 3 No. III h. 9 5 M. Thoyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2001), h. 155 6 Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya, Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan
Remaja seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahanya, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 88-90.
3
Kasus kenakalan yang dilakukan remaja yang lebih banyak menuju
tindakan kriminal, diantaranya yang dinyatakan dalam m.liputan6.com pada hari
Selasa tanggal 11 Oktober 2016,7 dalam situs tersebut diberitakan terdapat
sekelompok remaja perempuan menyiksa teman sekelasnya. Ironisnya penyiksaan
itu berujung aksi pembunuhan. Korban dipukul berkali-kali di kepala dengan
sebilah bambu. Kasus ini disebabkan karena pelaku cemburu terhadap korban
yang dianggap merampas kekasihnya. Korban yang berusia 14 tahun mengaku
diperdaya dengan dalih mengajak pergi ke pesta. Namun sesampaianya di tempat
sepi, korban disergap dan mulailah aksi penyiksaan.
Kenakalan remaja lainnya yaitu berjudi dan minuman keras juga banyak
ditemui dari para remaja. Dapat kita lihat juga remaja yang mengkonsumsi
minuman keras hingga meregang nyawa dalam sindonews.com pada hari Sabtu
tanggal 05 November 2016. Kasus ini terjadi di Purworejo, salah satu warga Desa
Wareng Kecamatan Butuh ditemukan tewas di rumah Mbah Naisa pada hari
Jum’a 04 November 2016. Menurut polisi, Adi Kurniawan tewas diduga setelah
menenggak minuman keras (miras) oplosan.8 Banyak sekali remaja kita yang
sering mengkonsumsi miras ketika merayakan keberhasilan dengan urak-urakan
dan mabuk-mabukan dengan minuman keras.
Berbagai fakta dan data di atas, yang cukup memprihatinkan para pelaku
tindakan amoral tersebut adalah remaja, penerus masa depan bangsa. Tidak
dipungkiri lagi, dalam hal ini terlihat dengan jelas dekadensi atau kemrosotan
7 m.liputat6.com “Cemburu, ABG Siksa Sahabatnya hingga Meregang Nyawa” oleh
Azwar Anas pada 11 Oktober 2016, 12:00 wib (diakses pada hari Rabu tanggal 09 November 2016
04:00 WIB) 8 www.daerah.sindonews.com “Dua Remaja Meregang Nyawa Diduga Konsumsi Miras
Oplosan” oleh Hary Priyanto pada 05 November 2016, 07:33 WIB (diakses pada hari Kamis
tanggal 10 November 2016, 20:00 WIB)
4
moral tengah menjadi penyakit sosial yang menggejala dalam masyarakat
Indonesia. Salah satu yang menjadi faktor penyebabnya adalah rendahnya
pemahaman agama di tengah masyarakat kita yang secara perlahan ikut
melunturkan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat sekitar serta dari pola
asuh orang tuanya di rumah yang tidak baik.
Ada beberapa sebab munculnya kenakalan yang dilakukan oleh remaja
baik faktor internal maupun eksernal. Faktor internal adalah faktor yang berasal
dari dalam diri remaja karena pilihan, motivasi atau kemauan sendiri untuk
melakukan kenakalan. Hal ini sesuai dengan pendapat Jensen dalam Sarwono
(2011) yaitu Teori Rational Choice yang menyatakan bahwa kenakalan yang
dilakukan oleh remaja terjadi kerena pilihannya sendiri, interes, motivasi atau
kemauannya sendiri.9 Sedangkan faktor eksternal adalah faktor penyebab
terjadinya kenakalan remaja yang berasal dari luar diri anak, seperti faktor
lingkungan keluarga/rumah dan lingkungan teman sebaya. Menurut Fuad Ihsan,
keluarga berperan meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial.10
Akan tetapi
sebenarnya faktor yang paling mendasar yang mengakibatkan remaja dapat
melakukan tindakan kenakalan remaja adalah kurangnya pendidikan agama.
Pendidikan agama yang didapat di keluarga, di sekolah ataupun di lingkungan
masyarakat sangatlah kurang. Sehingga agama merupakan hal yang sangat
penting dan paling utama dalam upaya membina remaja yang telah melakukan
tindakan kenakalan agar tingkah laku, sikap, dan akhlaknya berubah menjadi yang
9 Ida Nor Shanty, Suyahmo, Slamet Sumarto, Faktor Penyebab Kenakalan Remaja pada
Anak Keluarga Buruh Pabrik Rokok Djarum Kudus, dalam Jurnal Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, (Semarang: UNNES, 2013), h. 6 10
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 18
5
lebih baik lagi, sehingga kelak mereka menjadi remaja yang taat pada norma-
norma dan aturan-aturan terlebih pada norma agama.
Rendahnya pemahaman agama pada setiap individu dalam masyarakat
secara langsung maupun tidak, ikut membentuk lingkungan yang tidak sehat
dalam perjalanan hidup seorang remaja. Selain itu juga dapat memicu terjadinya
banyak kesalahan dalam mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang
dihadapi. Dalam istilah psikologi, cara-cara pemecahan atau pengatasan masalah
disebut coping. 11
Kemampuan coping perlu untuk dimiliki seorang remaja.
Ketidakmampuan coping menjadi penyebab remaja bermasalah bahkan
berhadapan dengan hukum.
Remaja yang sudah terjerumus ke dalam kasus kenakalan remaja serta
berhadapan dengan hukum tersebut, perlu mendapatkan pembinaan khusus
terutama pembinaan agama yang dilakukan secara intensif. Dikarenakan usia
remaja masih mempunyai kesempatan untuk berkembang dan memperbaiki diri
agar dapat meraih cita-cita di masa depan. Melalui kegiatan pembinaan
keagamaan yang intensif dan sunguh-sungguh, seseorang akan memiliki
kepribadian yang sehat. Dengan kepribadian yang sehat, artinya seseorang
tersebut memiliki: kemampuan untuk bertahan hidup dan kemampuan untuk
berhasil mengadakan hubungan dengan lingkungan; kemampuan mengelola stres;
dan kemampuan pemecahan masalah.12
Remaja yang memiliki kemampuan
coping yang baik, diharapkan mereka memilih cara untuk penyelesaian masalah
11
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Keecenderungan
Strategi Copyng, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, (Semarang: Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya, 2006), Vol.3 No.2, h. 70. 12
Mujiati, Kegiatan Pembinaan Rohani Dalam Upaya Mengubah Perilaku Sosial Peserta
Rehabilitasi Narkoba Di Rumah Damai Desa Cepoko Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang,
(Skripsi S1: Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2015), h. 5.
6
sesuai dengan ketentuan dan petunjuk agama sehingga remaja tidak menggunakan
jalan yang menyimpang dari ajaran agama.
Banyak pihak yang merasa prihatin dan peduli akan keadaan remaja yang
seperti itu, karena mereka adalah generasi penerus masa depan bangsa. Oleh sebab
itu, kenakalan remaja merupakan problema sosial yang perlu diatasi. Apalagi jika
kenakalan remaja tersebut sudah termasuk tindakan kriminal sehingga sampai
ranah hukum, sudah tidak lagi dinamakan dengan kenakalan remaja melainkan
tindakan pidana. Tindak pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut.13
Remaja yang menjadi pelaku tindak
pidana disebut dengan Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Anak yang
berhadapan dengan hukum yaitu mereka yang dapat menjadi pelaku, korban,
bahkan saksi.14
ABH tentu harus mendapatkan konsekuensi atas apa yang telah ia
perbuat agar mereka menjadi jera dan tidak kembali melakukan perbuatan
kriminal tersebut. Oleh karena itu pemerintah memberikan pembinaan khusus
kepada ABH agar mereka setelah menjalani pembinaan dapat hidup sesuai dengan
aturan dan norma yang ada.
Kepedulian terhadap ABH itu diantaranya diadakan pelayanan,
pembinaan, pembimbingan, pelatihan untuk remaja. Salah satu tempat khusus
yang menangani ABH yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang. Salah satu
pembinaan yang diberikan untuk ABH di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
13
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 54 14
Laras Astuti, Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum
dalam Kecelakaan Lalu Lintas, dalam jurnal Justitia Jurnal Hukum (Surabaya: Fakultas Hukum
Muhammadiyah Surabaya, 2017), h. 145
7
(LPKA) adalah pembinaan keagamaan. Oleh karena itu, dengan adanya
pembinaan keagamaan kepada remaja yang berhadapan dengan hukum di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang, diharapkan
peserta pembinaan keagamaan mampu menghadapi permasalahan dan
menyelesaikan masalah yang ada dalam hidupnya sesuai dengan ketentuan dan
petunjuk agama.
Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat setiap orang seharusnya
mempunyai kemampuan coping yang baik agar mereka mampu untuk menghadapi
setiap permasalahan yang mereka alami. Tetapi diantara mereka ada yang tidak
mempunyai kemampuan coping. Ketidakmampuan coping cenderung menjadi
penyebab orang-orang bermasalah bahkan berhadapan dengan hukum. Salah satu
usia yang paling rentan dalam hal menghadapi masalah adalah remaja. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kasus kenakalan di kalangan remaja yang menjurus
pada tindakan kriminal yang melanggar hukum pidana. Oleh karena itu, remaja
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak/remaja yang berhadapan dengan
hukum (ABH) yang mana mereka memerlukan suatu pembinaan khusus terutama
pembinaan keagamaan.
Penelitian ini menarik untuk diteliti karena untuk mengetahui bagaimana
hubungan pembinaan keagamaan yang telah diberikan oleh pembimbing agama
yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
dengan kemampuan coping remaja (anak didik) yang berusia di bawah 18 tahun.
Seringkali pembimbing agama hanya memberikan pembinaan agama tanpa
mengetahui apakah dapat menimbulkan hasil yang positif kepada anak didik atau
tidak, dalam hal ini adalah remaja/anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
8
Selain itu, penelitian menjadi lebih menarik karena lokasi penelitian di sini
merupakan tempat anak/remaja yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang
mendapatkan pembinaan keagamaan, sehingga peneliti ingin mengetahui apakah
terdapat hubungan dari pelaksanaan kegiatan pembinaan keagamaan dengan
kemampuan coping remaja yang mana dampak yang diharapkan adalah ketika
mereka kembali pada keluarga dan masyarakat mereka memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan masalahnya sehingga mereka tidak melakukan tindakan
kriminal kembali.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
Lembaga ini sama dengan lembaga pemasyarakatan lainya, perbedaannnya yaitu
di lembaga ini dikhususkan untuk ABH laki-laki yang berusia 12/13 tahun sampai
dengan 18 tahun. Maka penulis mengambil judul skripsi sebagai berikut
“Hubungan Pembinaan Keagamaan Dengan Kemampuan Coping Remaja
Pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
Banten”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Batasan dari penelitian ini adalah:
a. Pembinaan Keagamaan dalam penelitian ini adalah pembinaan
agama Islam yang diberikan kepada remaja yang berhadapan
dengan hukum yang meliputi pembinaan akidah, ibadah, dan
akhlak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
9
Tangerang Banten berdasarkan tingkat pemahaman, banyaknya
masukan yang didapatkan oleh anak didik dari pembina agama.
b. Kemampuan Coping dalam penelitian ini adalah kemampuan
individu untuk mengelola dan menanggapi setiap masalah atau
tuntutan yang dihadapinya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan pembinaan keagamaan dengan kemampuan
coping remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang Banten?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan pembinaan
keagamaan dengan kemampuan coping remaja di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang Banten.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan:
1) Memberikan sumbangan keilmuan dan pengetahuan yang
meliputi Bimbingan dan Penyuluhan Islam, dan khususnya pada
yang berkaitan dengan hubungan pembinaan keagamaan dengan
10
kemampuan coping remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang.
2) Memberikan kontribusi positif bagi pengembangan keilmuan dan
kurikulum Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam khususnya
pada mata kuliah Psikologi Komunitas dalam mengembangkan
metode penanganan masalah pada komunitas remaja yang
berhadapan hukum. Selain itu bagi peneliti dapat menambah
khazanah keilmuan.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan:
1) Untuk bahan evaluasi pembimbing agama dalam pelaksanaan
pembinaan keagamaan Islam di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
2) Tempat penelitian dapat menjadi referansi mahasiswa jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam untuk mengadakan kerjasama
sebagai tempat praktikum.
3) Untuk mengetahui hubungan pembinaan keagamaan yang
diterima oleh remaja anak didik dengan kemampuan copingnya
setelah mengikuti pembinaan keagamaan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang Pembinaan Keagamaan telah banyak dilakukan. Berikut
ini beberapa penelitian yang relevansinya dengan judul skripsi peneliti antara lain:
11
1. Finti Fatimah Nur Saidah. NIM 109051000201. Program Studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014, dengan judul
skripsi “Analisis Pola Komunikasi Anak Pemulung Dengan Pembimbing
Dalam Upaya Pembinaan Keagamaan Di Yayasan Media Amal Islami
(YMAI) Lebak Bulus Jakarta Selatan. Masalah yang diangkat dalam
penelitian ini yaitu bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara
pembimbing dengan anak-anak pemulung selama proses pembinaan
keagamaan di YMAI. Pembinaan keagamaan dalam penelitian ini yaitu
usaha yang dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai tata
keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta
lingkungannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif. Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa
proses pembinaan di Yayasan Media Amal Islami dilakukan dalam bentuk
Taman Pendidikan Al-Qur’an, sedangkan pola yang diterapkan dalam
pembinaan keagamaan di Yayasan Media Amal Islami adalah pola
komunikasi antarpribadi dan pola komunikasi kelompok. Dengan
menggunakan kedua pola tersebut pembimbing dapat berinteraksi secara
langsung (face to face) dengan anak-anak pemulung. Kelebihan dari
skripsi ini yaitu dijelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan pembinaan
keagamaan serta jadwal pelaksanaan pembinaan keagamaan di Yayasan
Media Amal Islami untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi yang
terjadi pada saat pembimbing melakukan pembinaan keagamaan.
12
2. Nurhasanah. NIM 1111052000001. Program Studi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2016, dengan judul penelitian
“Pengaruh Bimbingan Agama Terhadap Penerimaan Diri Warga Binaan
Sosial (WBS) Di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Cipayung
Jakarta Timur”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengaruh
pelaksanaan bimbingan agama terhadap penerimaan diri warga binaan
sosial dan faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan dri warga
binaan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tentang
bimbingan agama, teori ini berbeda dengan teori yang akan digunakan
peniliti dalam penelitian skripsi ini. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian survey. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa bimbingan agama yang dilakukan di Panti Sosial
Bina Insan Bangun 2 Cipayung tidak ada pengaruh yang signifikan
terhadap penerimaan diri warga binaan sosial (WBS) baik bimbingan
agama dalam bentuk pengetahuan maupun bimbingan agama dalam
bentuk keterampilan. Kelebihan dari penelitian ini adalah respondennya
yaitu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang terdiri dari
pengemis dan gelandangan, di mana mereka membutuhkan suatu
bimbingan terutama bimbingan agama. Kekurangan dari penelitian ini
adalah peneliti lebih fokus melihat hubungan antara dua variabel tidak
menjelaskan lebih rinci bagaimana pengaruh variabel bimbingan agama
terhadap penerimaan diri warga binaan sosial (WBS). Selain itu dalam
penelitian ini hanya menggunakan analisis regresi secara simultan saja
13
tanpa menggunakan analisis regresi linear sederhana atau uji analisis linear
berganda.
3. Ilah Fadhilah. NIM 107052003319. Program Studi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidaytullah Jakarta tahun 2013, dengan judul skripsi “Hubungan
Antara Pembinaan Agama dengan Motivasi Kerja di Komunitas Pemulung
Jurang Mangu Barat”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu
bagimana proses pembinaan agama, bagaimana motivasi kerja pemulung
dan bagaimana hubungan antara keduanya. Aspek pembinaan agama yang
digunakan dalam skripsi ini menggunakan teori dari Deni Arisandi yang
mengkategorikan aspek pembinaan menjadi tiga yaitu aspek kognitif,
aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat dan mengetahui hubungan antara pembinaan agama dengan
motivasi kerja di komunitas pemulung Jurang Mangu Barat. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif. Sedangkan
pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling. Hasil dari
penelitian ini yaitu diperoleh korelasi antara pembinaan agama dengan
motivasi kerja sebesar 0,506. Kelemahan dari skripsi ini yaitu pembinaan
agama dijelaskan secara terpisah dan tidak adanya teori yang menjelaskan
pembinaan agama itu sendiri.
4. Abir. NIM 109052000003. Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidaytullah Jakarta
tahun 2016, dengan judul skripsi “Evaluasi Bimbingan Agama Islam Bagi
Pengguna Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Anak Wanita
14
Tangerang”. Skripsi ini mengangkat masalah tentang fenomena remaja,
dalam skripsi ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan bimbingan
agama di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Anak Wanita Tangerang,
pengaruh bimbingan agama terhadap akhlak dan tata cara beribadah, dan
apa saja yang harus dievaluasi dari pelaksanaan bimbingan agama di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Anak Wanita Tangerang. Teori
bimbinga agama dalam skripsi ini yaitu bahwa bimbingan agama Islam
adalah proses memberikan arahan dan bantuan yang membentuk ajaran-
ajaran Agama Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits. Hasil
penelitian dari skripsi ini yaitu terdapat hubungan antara bimbingan agama
dengan tata cara ibadah. Kelemahan dari skripsi ini yaitu antara judul
skripsi dengan rumusan masalah serta hasilnya kurang dijelaskan lebih
mendalam sehingga pembaca harus mencerna untuk tujuan dari penelitian
skripsi tersebut apakah evaluasi atau hubungan yang diteliti.
5. Herlin Widiani. NIM 103070029048. Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2011, dengan judl skripsi “Sumber Stres dan
Strategi Coping Pada Pelajar Atlet Bulutangkis”. Skripsi ini membahas
tentang bagaimana hubungan sumber stres dengan strategi yang digunakan
atlet bulutangkis dalam mengatasi permasalahan yang berhubungan
dengan keatletannya. Teori strategi coping yang digunakan dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teori dari Doods (1993) yaitu bahwa
coping merupakan suatu bentuk usaha yang dilakukan individu untuk
mengurangi atau menghilangkan tekanan-tekanan psikologis atau stres
dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah. Untuk jenis coping yang
15
digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teori Xarver, Scheir,
dan Wetraub (1989). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
Dari semua tinjauan pustaka di atas penelitian yang akan dilaksanakan
memiliki perbedaan sebagai berikut:
a. Lokasi penelitian skripsi ini yaitu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Kelas 1 Tangerang Banten. Lokasi penelitian ini berbeda dengan tinjauan
pustaka di atas.
b. Penelitian ini menggunakan variabel dependen yaitu kemampuan coping
dengan menggunakan teori dari Lazarus & Folkman, dan Pargament,
dengan responden remaja yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang, sedangkan tinjauan pustaka di atas
menggunakan variabel strategi coping dengan responden pelajar atlet
bulutangkis.
c. Teknis analisis data penelitian ini yaitu menggunakan uji koefisien
korelasi, sedangkan tinjauan pustaka di atas menggunakan teknik analisis
regresi.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini peneliti mengacu pada pedoman penulisan
karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk.yang
diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun akademik
2013/2014.
Sistem penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima bab yaitu:
16
BAB I PENDAHULUAN
Isi dari bab ini membahas hal-hal yang menyangkut latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II KERANGKA TEORI
Bab ini menguraikan tentang pembinaan keagamaan yang
mencakup pengertian pembinaan, pengertian keagamaan,
pengertian pembinaan keagamaan, tujuan pembinaan keagamaan,
aspek-aspek pembinaan keagamaan, metode pembinaan
keagamaan, dan materi pembinaan keagamaan. Selanjutnya tentang
kemampuan coping yang mencakup pengertian coping, klasifikasi
dan bentuk coping. Sedangkan untuk remaja mencakup definisi
remaja, ciri-ciri remaja, klasifikasi remaja, faktor yang
mempengaruhi remaja, kenakalan remaja dan faktor yang
mempengaruhi kenakalan remaja.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai pendekatan dan jenis penelitian,
tempat dan waktu penelitian, sumber data, populasi dan sampel,
variabel dan operasional penelitian, teknik pengumpulan data, uji
validitas, uji reliabilitas, teknik analisis data, dan hipotesis
penelitian.
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN HASIL ANALISIS DATA
17
a. Gambaran umum Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang Banten. Pada bab ini berisi tentang sejarah
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang, visi misi Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang, motto Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang, struktur organisasi
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang, dan jenis pembinaan bagi anak didik di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
b. Temuan dan analisis data tentang hubungan pembinaan
keagamaan dengan kemampuan coping remaja. Bab ini juga
menguraikan tentang data-data hasil penelitian, hasil angket,
klasifikasi responden, deskripsi hasil penelitian, dan analisis
data.
BAB V PENUTUP
Bab ini membahas secara singkat mengenai kesimpulan
berdasarkan hasil pelaksanaan penelitian yang menjawab rumusan
masalah di Bab I, diskusi hasil penelitian dengan penelitian yang
sebelumnya dan saran-saran serta rekomendasi yang menjadi
penutup dari pembahasan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
18
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pembinaan Keagamaan
1. Pengertian Pembinaan
Pembinaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara,
perbuatan membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil
yang lebih baik.1 Melalui suatu pembinaan yang dilakukan secara rutin dan
efisien manusia dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembinaan secara terminologi adalah suatu upaya, usaha kegiatan yang
terus menerus untuk mempelajari, meningkatkan, menyempurnakan,
mengarahkan, mengembangkan kemampuan untuk mencapai tujuan agar
sasaran pembinaan mampu menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
sebagai pola kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, keluarga,
maupun kehidupan sosial masyarakat.2
Pengertian pembinaan menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut Masdar Helmy. Pembinaan mencakup segala ikhtiar
(usaha-usaha), tindakan dan kegiatan yang ditujukan untuk
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
h. 152. 2 Proyek Penerangan Bimbingan Khutbah Dakwah Agama, Pembinaan Rohani pada
Dharma Wanita, (Jakarta: DEPAG, 1984), h. 8.
19
meningkatkan kualitas bergama baik dalam bidang tauhid, bidang
peribadatan, bidang akhlak dan bidang kemasyarakatan.3
b. Menurut Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN. Pembinaan adalah
suatu usaha yang dilakukan dengan sabar, berencana, teratur dan
terarah serta bertanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian
dengan segala aspek-aspeknya.4
c. Menurut Jumhur dan Moh. Suryo. Pembinaan adalah suatu proses
yang membantu individu melalui usaha sendiri dalam rangka
menemukan dan mengambangkan kemampuannya agar dia
memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan soaial.5
Dengan demikian, menurut penulis pengertian pembinaan adalah suatu
bentuk kegiatan dan proses membantu individu melalui usahanya untuk
menjadi manusia yang lebih baik lagi dan mempunyai kemampuan untuk
menghadapi serta menyelesaikan masalah yang dihadapinya baik di
lingkungan keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu pembinaan penting
untuk setiap orang agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.
2. Pengertian Keagamaan
Keagamaan berasal dari kata agama yang kemudian mendapat awalan
“ke” dan akhiran “an”. Sehingga membentuk kata baru yaitu “keagamaan”.
Adapun kata “agama” terdiri dari “a” yang berarti tidak dan “gama” yang
artinya pergi. Jadi agama mengandung arti tidak pergi, tetap ditempat atau
3 Masdar Helmy, Peranan Dakwah dalam Pembinaan Umat, (Semarang: IAIN Semarang,
2001), h. 31. 4 Departemen Agama Republik Indonesia, Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN, (Jakarta:
Direktorat Pembina-Pembina Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), h. 2. 5 Jumhur dan Moh. Suryo, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Bandung: CV Ilmu,
1987), h. 25.
20
diwarisi turun-temurun.6 Secara istilah agama adalah mempercayai adanya
yang Maha Mengetahui, Menguasai, Menciptakan dan Mengawasi alam
semesta dan yang telah menganugerahkan kepada manusia suatu watak
rohani.7 Jadi keagamaan di sini mempunyai arti “segenap kepercayaan
(kepada Tuhan) serta dengan ajaran kebaikan dan kewajiban-kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan itu”.8
Sedangkan keagamaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adalah
agama Islam yaitu agama samawi yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul di mana
ajarannya berisi mengenai berbagai aspek dari segi kehidupan manusia,
sebagai sumber dari ajaran tersebut adalah Al-Qur‟an dan Hadits.9 Oleh
karena itu agama merupakan petunjuk dan pedoman hidup bagi setiap
manusia dalam menjalani kehidupannya.
3. Pengertian Pembinaan Keagamaan
Pembinaan Keagamaan yaitu membimbing, mengarahkan, atau
membangun nilai-nilai yang sangat penting dan beragama bagi manusia, yaitu
nilai-nilai keagamaan berupa ajaran-ajaran agama kepada orang lain.
Sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan bagi orang tersebut.
Pembinaan agama merupakan proses masukan seperangkat keyakinan atau
6 Harun Nasution, ed, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1994), h. 9.
7 M. Razak, Dinul Islam, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1989), h. 60.
8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II
(Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 10. 9 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, (Jakarta: UIN Press, 1985), h. 24.
21
keimanan yang dipercayai kebenarannya mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan ajaran atau paham agama terhadap orang lain.10
Pembinaan agama menurut M. Arifin adalah bantuan yang diberikan
kepada seseorang yang mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam
lingkaran hidupnya agar ia mampu mengatasi sendiri masalahnya karena
timbul kesadaran atau penyerahan diri terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha
Esa sehingga pada dirinya timbul cahaya harapan kebahagiaan hidup.11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pembinaan keagamaan
adalah suatu kegiatan rutin agama Islam yang dilaksanakan secara sistematis
dan terarah oleh seorang pembina agama Islam kepada peserta didik sebagai
upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan beberapa aspek yang
meliputi: aqidah, ibadah, dan akhlak agar mereka dapat menjalani
kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam.
Operasional pembinaan keagamaan dalam penelitian ini dikategorikan
menjadi dua, yaitu (1) berdasarkan tingkat pemahaman anak didik dari materi
yang sudah diterima, (2) berdasarkan waktu lamanya anak didik mengikuti
kegiatan pembinaan keagamaan.
4. Tujuan Pembinaan Keagamaan
Kegiatan pembinaan keagamaan pada dasarnya dilaksanakan untuk
memberikan bekal pengetahuan agama Islam kepada peserta pembinaan
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. disertai dengan
perubahan tingkah laku dari peserta yang mengikuti kegiatan pembinaan
10
Djamaludin Anchok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), Cet. Ke - 4, h. 77. 11
H.M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama,
(Jakarta: Bulan Bintang: 1985), h. 97.
22
keagamaan. Menurut D, Marimbi, tujuan pembinaan keagamaan adalah untuk
mengarahkan manusia dalam mencapai kepribadian muslim.12
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib, tujuan pembinaan keagamaan
antara lain:
a. Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam.
b. Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebaikan.
c. Membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir
secara logis dan membimbing proses pemikirannya.
d. Mengembangkan wawasan relasional dan lingkungan sebagaimana
yang dicita-citakan dalam Islam, dengan melatih kebiasaan baik.13
Sedangkan Hamdani Bakran Adz-Dzakiey menyatakan bahwa tujuan
pembinaan Agama Islam adalah sebagai berikut:
a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan, dan
kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, dan damai
(muthmainnah), bersikap lapang dada (radhiyah), dan mendapatkan
pencerahan taufik dan hidayah Tuhannya (mardhiyah).
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, dan kesopanan
tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri,
lngkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial,
dan alam sekitarnya.
12
Ahmad D. Arimbi, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1989), h. 23 13
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 82.
23
c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga
muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong
menolong, dan rasa kasih sayang.
d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu,
sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat
kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya, serta
ketabahan menerima ujian-Nya.
e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu
individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik
dan benar, dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan
hidup, dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi
lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan.14
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pembinaan
keagamaan adalah untuk membantu dan merubah pribadi seseorang menjadi
lebih baik sehingga tercapai perubahan yang melahirkan perilaku atau
perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
5. Aspek-Aspek Pembinaan Keagamaan
Menurut Abin Syamsuddin Makmun, aspek-aspek mengikuti pembinaan
Agama Islam adalah sebagai berikut:
a. Aspek Frekuensi kegiatan, yaitu seberapa sering kegiatan dilakukan
dalam periode waktu tertentu.
b. Aspek Motivasi, mempunyai peranan penting dalam melakukan
sesuatu. Oleh karena itu motivasi juga menjadi aspek dari intensitas
14
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Yogjakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2006), h. 221
24
mengikuti. Apabila ada motivasi kuat untuk meraih tujuan tertentu
dan kondisi yang sesuai pun berkembang. Orang akan mencurahkan
kesungguhannya untuk mempelajari metode-metode yang kuat untuk
meraih tujuan tersebut. Motivasi dan nilai-nilai individu akan
mempengaruhi perhatian dan persepsinya. Kenyataan ini pun telah
ditunjukan Al-Qur‟an pada banyak tempat, ketika menerangkan
keimanan dapat membuat kaum mukminin siap dan penuh perhatian
untuk menyimak ayat-ayat Al-Qur‟an yang akan diturunkan. Mereka
memahaminya dengan penuh kesadaran dan pemahaman yang
akurat. Sebaliknya ayat-ayat yang sama tidak memberikan pengaruh
yang sama kepada orang-orang musyrik. Motivasi adalah suatu
kekuatan (power), tenaga (forces), daya (energy), atau suatu keadaan
yang kompleks (a complex state), dan kesiapsediaan (preparatory
set) dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik
disadari maupun tidak. Motivasi muncul dari dalam individu itu
sendiri dan juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan.
c. Aspek Perhatian, adalah keaktifan peningkatan kesadaran seluruh
fungsi jiwa yang dikerahkan dalam pemusatannya kepada sesuatu,
baik yang ada di dalam maupun yang ada di luar diri individu.
Melalui perhatian seseorang lebih mudah menerima sesuatu, dan
sebaliknya tanpa adanya perhatian, tiap asumsi-asumsi yang masuk,
baik dari dalam diri maupun dari luar akan sulit diterima.
d. Aspek spirit of change, yaitu semangat untuk berubah. Pribadi yang
memiliki semangat, sangat sadar bahwa tidak akan ada satu makhluk
25
pun di muka bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali
dirinya sendiri. Betapapun hebatnya seseorang untuk memberikan
motivasi, hal itu hanyalah kesia-siaan belaka bila pada diri orang
tersebut tidak ada keinginan untuk dimotivasi.
e. Aspek Efek, yaitu suatu perubahan hasil, atau konsekuensi langsung
yang disebabkan oleh suatu tindakan. Efek juga berarti resiko, ada
positif dan negatif. Sesuatu yang diterima setelah melakukan suatu
hal.15
Aspek-aspek tersebut penting untuk dimiliki oleh peserta didik di suatu
lembaga pembinaan khusus anak terutama untuk remaja yang berhadapan
dengan hukum agar kegiatan pembinaan keagamaan yang dilaksanakan sesuai
dengan tujuan diadakannya pembinaan keagamaan.
6. Metode Pembinaan Keagamaan
Metode adalah cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu
tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien.16
Dalam Bahasa Arab, metode
dikenal dengan istilah “thariqah” yang berarti langkah-langkah strategis
dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.17
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa metode adalah suatu cara yang ditempuh agar apa yang
disampaikan dapat diterima baik, mudah dan efisien agar dapat mewujudkan
tujuan tertentu. Metode ini bertujuan agar peserta pembinaan keagamaan
mengerti, menghayati, dan kemudian mengamalkan apa yang telah
disampaikan oleh pembimbing. Oleh karena itu, setiap pembina agama
15
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran
Modul, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 45. 16
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983),
h.99. 17
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 23.
26
mempunyai metode tertentu yang digunakan dalam kegiatan pembinaan
keagamaan agar apa yang disampaikan mudah dipahami dan diterima oleh
peserta pembinaan keagamaan.
Adapun metode yang digunakan dalam kegiatan pembinaan keagaamaan
antara lain:
a. Metode ceramah
Metode ceramah adalah teknik penyampaian pesan yang lazim
dipakai oleh seorang guru di sekolah (pembina).18
b. Metode dialog
Yang dimaksud dengan metode dialog di sini adalah mendiskusikan
materi dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang dapat
menambah wawasan dalam ajaran Islam.19
Menurut Sholahuddin metode
dialog adalah suatu kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah
untuk mengambil kesimpulan dengan cara menanyakan, memberi
komentar, saran, serta jawaban.20
Menurut H.M. Arifin, metode yang dapat digunakan dalam pembinaan
berupa kegiatan Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam, antara lain sebagai
berikut:
a. Wawancara
18
Basyiruddin Utsman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), h. 34. 19
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
141. 20
Mahfud Shalahuddin, dkk, Metodologi Penelitian Agama, (Surabaya: PT. Dua Ilmu,
1987, h. 40)
27
Salah satu cara memperoleh fakta-fakta kejiwaan yang dapat
dijadikan bahan pemetaan tentang bagaimana sebenarnya hidup
beragama pada saat tertentu yang memerlukan bantuan.
b. Metode group guidance (bimbingan secara kelompok)
Bimbingan kelompok adalah pembinaan dengan cara pengungkapan
jiwa/batin serta pembinaannya melalui kegiatan kelompok seperti
ceramah, diskusi, seminar, simposium, atau dinamika kelompok (group
dinamics). Dalam proses pembinaan kelompok ini pembina hendaknya
mengarahkan minat dan perhatian anak didik/peserta pembinaan tentang
kebersamaan dan saling tolong-menolong dalam memecahkan
permasalahan yang menyangkut kepentingan mereka bersama. Pembina
juga hendaknya mengendalikan dan mengamati setiap klien atau
penerima manfaat mengenai keaktifan dalam kegiatan kelompok.21
c. Metode non-directif (cara yang tidak mengarah)
Metode ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Metode client centered, yaitu pengungkapan tekanan batin yang
dirasakan menjadi penghambat mereka dalam belajar dengan
sistem pancingan yang berupa satu dua pertanyaan terarah.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
menceritakan segala uneg-uneg (tekanan batin) yang disadari
sebagai hambatan jiwanya. Pembina bersikap memperhatikan,
21
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: PT.
Golden Terayon Press, 1998), Cet. Ke-6, h. 45.
28
mendengarkan serta mencatat point-point penting yang dianggap
rawan untuk diberi bantuan.22
2) Metode educatif, yaitu cara mengungkapkan tekanan perasaan
yang menghambat perkembangan belajar dengan menggali
sampai tuntas perasaan yang menyebabkan hambatan dan
ketegangan, dengan cara client centered, yang diperdalam dengan
permintaan/pertanyaan yang motivatif dan persuasif
(meyakinkan) untuk mengingat serta mendorong agar berani
mengungkapkan perasaan tertekan sampai ke akar-akarnya. Pada
akhirnya, pembina memberikan petunjuk-petunjuk tentang usaha
apa sajakah yang baik dengan cara yang tidak bernada imperatif
(wajib). Akan tetapi hanya berupa anjuran-anjuran yang tidak
mengikat.23
3) Metode psikoanalitis (penganalisaan jiwa), yaitu menganalisa
gejala-gejala tingkah laku, baik melalui mimpi (kondisi tidak
sadar), ataupun melalui tingkah laku yang serba salah, dengan
menitikberatkan pada perhatian atas hal-hal apa sajakah perbuatan
salah itu terjadi berulang. Dengan demikian, maka akhirnya akan
diketahui bahwa masalah pribadi mereka akan terungkap dan
selanjutnya disadarkan kembali (dicerahkan) agar masalah
tersebut dianggap telah selesai dan tidak perlu dianggap suatu hal
yang memberatkan, dan sebagainya.24
22
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: PT.
Golden Terayon Press, 1998), Cet. Ke-6, h. 47. 23
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, h. 47. 24
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, h. 48.
29
Oleh karena itu nilai-nilai iman dan taqwa harus dibangkitkan
dalam pribadi peserta pembinaan atau anak didik, sehingga
terbentuklah dalam pribadinya yang mempunyai sikap, tingkah
laku yang sesuai dengan ajaran Islam serta mempunyai
kemampuan untuk menghadapi permasalahannya sendiri.
4) Metode direktif (metode yang bersifat mengarahkan). Metode ini
lebih bersifat mengarahkan kepada mereka untuk berusaha
mengatasi kesulitan (problem) yang dihadapi. Pengarahan yang
diberikan ialah dengan memberikan secara langsung jawaban-
jawaban terhadap permasalahan yang menjadi sebab kesulitan.25
7. Materi Pembinaan Keagamaan
Materi yang dipakai dalam pembinaan agama Islam adalah semua yang
terkandung dalam Al-Qur‟an yaitu sebagai berikut:
a. Aqidah
Aqidah secara bahasa ialah sesuatu yang dipercaya oleh hati.
Sedangkan secara istilah aqidah ialah suatu perkara yang wajib
dibenarkan (dipercaya) oleh hati, dengan penuh kemantapan atau
keyakinan dalam kalbu (jiwa), sehingga terhindar dari keragu-raguan.
Aqidah ini dapat diidentikan dengan iman (kepercayaan).26
Aqidah menurut Zuhairi adalah bersifat I‟tikad batin, berfungsi
mengajarkan ke-Esaan Allah, Esa sebagai Tuhan yang mencipta,
25
H.M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: PT.
Golden Terayon Press, 1998), Cet. Ke-6, h. 49-50. 26
Noor Matdawam, Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintasan Sejarah Dinamika Budaya Manusi, (Yogyakarta: Yayasan Bina Karier, 1988), h. 1
30
mengatur, dan meniadakan alam ini.27
Aqidah dalam Islam adalah
bersifat i’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat
hubungannya dengan iman kepada:
1) Iman kepada Allah
Kata “iman” berasal dari bahasa Arab yang artinya percaya.
Sedangkan percaya berarti pengakuan terhadap adanya sesuatu
yang bersifat ghaib, atau sesuatu itu benar. Iman kepada Alah
berarti menyakini bahwa Allah adalah satu-satunya tempat
mengabdi, menghambakan diri, serta mengadu (tauhid al-
ibadah), dan Allah sebagai satu-satunya pembuat peraturan yang
sempurna (tauhid al-tasyri).
2) Iman kepada Malaikat-Nya
Iman kepada malaikat adalah meyakini malaikat adalah makhluk
Allah yang diciptakan dari nur (cahaya) dan bahwa malaikat
adalah makhluk yang paling taat dan tidak sekalipun berbuat
maksiat.
3) Iman kepada Kitab-KitabNya
Pengertian iman kepada kitab Allah adalah meyakini bahwa
kitab Allah itu benar datang dari Allah SWT kepada para nabi
atau rasul yang berisi wahyu Allah untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia. Salah satu kitab Allah adalah Al-Qur‟an,
dengan membaca dan memahami isi Al-Qur‟an, maka manusia
27
Zuhairi, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),
h. 50.
31
akan merasa dekat dengan Allah dan tenang dalam menghadapi
segala hal.
4) Iman kepada Rasul-RasulNya
Iman kepada Rasul adalah percaya dengan sepenuh hati bahwa
Rasul adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah SWT
untuk menerima wahyu dari-Nya untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia agar menjadi pedoman hidup demi
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
5) Iman kepada Hari Akhir
Hari akhir adalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah
telah menetapkan hari akhir sebagai tanda akhir dari kehidupan
di dunia dan awal dari kehidupan di akhirat. Karena itu, manusia
janganlah lengah, lupa diri ataupun terpesona dengan kehidupan
di dunia yang sifatnya hanya sementara.
6) Iman kepada Qadha dan Qadhar
Iman kepada Qadha dan Qadhar artinya percaya dan yakin
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan segala
sesuatu bagi semua makhluk hidup.28
Dengan demikian dapat simpulkan bahwa aqidah merupakan
keyakinan seseorang terhadap Allah SWT yang diyakini secara hati,
lisan, maupun perbuatan.
b. Ibadah
28
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
60.
32
Ibadah yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung
dengan Allah SWT (ritual). Ibadah berarti mencakup semua perilaku
dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah SWT.29
Materi ibadah pada pokoknya yaitu rukun Islam. Sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat Luqman ayat 17:
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17).30
c. Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata khalaqa yang
asalnya adalah khuluqun yang berarti perangai, tabiat, adat atau kholaqun
yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. 31
Terdapat beberapa pengertian akhlak menurut para ahli, yaitu:
1) Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.32
29
Zakiah Daradjat dkk, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.
253. 30
Zakiah Daradjat dkk, Dasar-dasar Agama Islam, h. 684 31
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), Cet.Ke-11,
h. 1.
33
2) Menurut Imam Al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul Islam
(Pembela Islam) karena kepiawaianya dalam membela Islam
dari berbagai faham yang dianggap menyesatkan, Ia mengatakan
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.33
3) Menurut Ibrahim Anis, akhlak merupakan sifat yang tertanam
dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan,
baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran atau
pertimbangan34
Dengan demikian, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
seseorang yang terbentuk mulai dari kebiasaan, yang dilakukan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan sehingga melahirkan suatu
perbuatan yang tanpa disengaja, tanpa dibuat-buat atas kemauannya
sendiri dan telah menjadi kepribadiannya. Oleh karena itu dalam suatu
kegiatan pembinaan keagamaan sangat diperlukan materi tentang akhlak
agar terbentuk akhlak mulia pada pribadi peserta pembinaan.
Macam-macam akhlak menurut Mohammad Ardani yaitu, sebagai
berikut:
1) Akhlak Al-Karimah
32
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), Cet.,ke-11,
h. 3 33
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3. 34
Zuhairi, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),
h. 60.
34
Akhlak Al-karimah atau akhlak yang mulia sangat amat jumlahnya,
namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia, akhlak yang mulia itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a) Akhlak terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian
Agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan
menjangkau hakekatnya.
b) Akhlak terhadap diri sendiri
Akhlak yang baik terhadap diri sendiri dapat diartikan
menghargai, menghormati, menyayangi dan menjaga diri sendiri
dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai
ciptaan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan
dengan sebaik-baiknya.
c) Akhlak terhadap sesama manusia
Manusia adalah makhluk sosial yang kelanjutan eksistensinya
secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain.
Untuk itu, perlu bekerjasama dan saling tolong-menolong dengan
orang lain. Islam menganjurkan berakhlak yang baik kepada saudara,
karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasakan kita, dan
merupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat
35
dilakukan dengan memuliakannya, memberikan bantuan,
pertolongan dan menghargainya.35
2) Akhlak Al-Mazmumah
Akhlak Al-mazmumah (akhlak yang tercela) adalah sebagai lawan
atau kebalikan dari akhlak yang baik sebagaimana tersebut di atas. Dalam
ajaran Islam tetap membicarakan secara terperinci dengan tujuan agar
dapat dipahami dengan benar, dan dapat diketahui cara-cara
menjauhinya.36
Berdasarkan petunjuk ajaran Islam dijumpai berbagai macam akhlak
yang tercela, di antaranya:
a) Berbohong ialah memberikan atau menyampaikan informasi
yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
b) Takabur atau sombong ialah merasa atau mengaku dirinya besar,
tinggi, mulia, melebihi orang lain. Pendek kata merasa dirinya
lebih hebat.
c) Dengki ialah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang
diperoleh orang lain.
d) Bakhil atau kikir ialah sukar baginya mengurangi sebagian dari
apa yang dimilikinya itu untuk orang lain.37
35
Hoirunnisa, Pengaruh Pembinaan Agama Islam terhadap Tingkat Rasa Percaya Diri
Warga Binaan Wanita pada Rumah Tahanan Negara Kelas II A Pondok Bambu Jakarta Timur,
(Skripsi S1: Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, 2016), h. 41. 36
Mohammad Ardani, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama, 2005), Cet
ke-2, h. 49. 37
Mohammad Ardani, Akhlak Tasawuf, h. 56.
36
B. Coping
1. Pengertian Coping
Coping dalam kamus psikologi yaitu tingkah laku atau tindakan
penanggulangan; sembarang perbuatan; dalam mana individu melakukan
interaksi dalam lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan
masalahnya.38
Pengertian coping menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut Istiqomah Wibowo dkk. coping yaitu mekanisme yang
digunakan individu untuk menghadapi dan mengatasi masalah.39
b. Manurut Baron dan Byne, coping adalah respon individu untuk
mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang
dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir, dan
mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi.40
c. Menurut Parry (1992), coping adalah usaha yang dilakukan individu
untuk menguasai, meredakan, atau menghilangkan berbagai tekanan
yang dialaminya.41
d. Menurut Folkman & Lazarus (1980), mengatakan bahwa coping
suatu proses di mana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan
persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan
38
JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Alih bahasa. Kartini Kartono, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke-9, h. 112. 39
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Depok:
LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h. 38 40
Ismiati, Problematika dan Coping Stress Mahasiswa Dalam Menyusun Skripsi Jurnal
Al-Bayan/ VOL. 21 No. 32, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry,
2015), h. 19. 41
Ridwan Saptoto, Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif
Jurnal Psikologi Vo.37 No.1 (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2010), h.
13.
37
mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut (Lazarus & Folkman,
2005).42
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa coping
merupakan usaha individu untuk meredakan, menghilangkan, menghadapi
dan mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam hidupnya dengan
kemampuan mereka.
2. Klasifikasi dan Bentuk Coping
Lazarus & Folkman (Inawati. 1998) mengklasifikasikan coping menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Approach Coping atau Problem Focused Coping, merupakan cara
mengatasi masalah yang memfokuskan pada masalah itu sendiri (actived
coping).43
Coping ini memiliki sifat analitiogis, mencari informasi, dan
berusaha untuk memecahkan masalah dengan penyesuaian yang positif.
Selanjutnya coping ini disingkat PFC.44
Terdapat dua bentuk Problem Focused Coping, yaitu:
1) Bentuk kognitif (problem focused cognitive). Coping dalam
bentuk kognitif, biasanya individu menganalisis informasi
terlebih dahulu kemudian merencanakan dan membuat keputusan
berdasarkan masalah yang ada.45
42
Ismiati, Problematika dan Coping Stress Mahasiswa Dalam Menyusun Skripsi Jurnal
Al-Bayan/VOL. 21 No. 32 (Banda Aceh: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry,
2015), h. 19. 43
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Jawa
Barat: LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h. 38. 44
Ridwan Saptoto, Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif
Jurnal Psikologi Vo.37 No No.1 (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2010),
h. 14. 45
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, h. 38.
38
2) Coping dalam bentuk perilaku. Selain mencari informasi, bentuk
coping perilaku ini individu juga berusaha mencari jalan keluar
untuk mencapai tujuan. Ia berusaha mencari bantuan dan secara
asertif mendiskusikannya dengan orang lain yang
berkepentingan.46
Agar memperoleh hasil yang terbaik, seseorang dapat menggunakan
kedua bentuk tersebut dengan cara mengkombinasikannya.
Aldwin dan Revenson (Bukit, 1999) membagi Problem Focused
Coping menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Cautiousness (kehati-hatian) yaitu individu berpikir dan
mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang
tersedia, meminta pendapat orang lain, berhati-hati dalam
memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah
dilakukan sebelumnya.
2) Instrumental Action (tindakan instrumental) adalah tindakan
individu yang diarahkan pada penyelesaian masalah secara
langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukannya.
3) Negotiation (negosiasi) merupakan beberapa usaha oleh
seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau
46
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Jawa
Barat: LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h. 38.
39
merupakan penyebab masalahnya untuk ikut menyelesaikan
masalah.47
b. Avoidance Coping atau Emotion Focused Coping. Coping ini lebih
menekankan pada emosi atau perasaan.48
Coping ini memiliki ciri
represi, proyeksi, mengingkari, dan berbagai cara untuk meminimalkan
ancaman (Hollahan & Moos, 1987). Selanjutnya coping ini disingkat
EFC.49
Aldwin dan Revenson (Bukit, 1999) membagi Emotion Focused
Coping menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Escapism (melarikan diri dari masalah) ialah perilaku
menghindari masalah dengan cara membayangkan seandainya
berada dalam suatu situasi lain yang lebih menyenangkan;
menghindari masalah dengan makan ataupun tidur; bisa juga
dengan merokok ataupun meneguk minuman keras.
2) Minimization (menganggap masalah seringan mungkin) ialah
tindakan menghindari masalah dengan menganggap seakan-akan
masalah yang tengah dihadapi itu jauh lebih rengan daripada yang
sebenarnya.
3) Self Blame (menyalahkan diri sendiri) merupakan cara seseorang
yang menghadapi masalah dengan menyalahkan serta
47
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan
Strategi Copyng, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol. 3 No. 2 (Semarang: Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, 2006), h. 72. 48
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Depok:
LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h.39. 49
Ridwan Saptoto, Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif
Jurnal Psikologi Vo.37 No No.1 (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2010),
h. 14.
40
menghukum diri secara berlebihan sambil menyesali tentang apa
yang telah terjadi.
4) Seeking Meaning (mencari hikmah yang tersirat) adalah suatu
proses di mana individu mencari arti kegagalan yang dialami
bagi dirinya sendiri dan mencoba mencari segi-segi yang
menurutnya penting dalam hidupnya. Dalam hal ini individu coba
mencari hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari masalah
yang telah dan sedang dihadapinya.50
c. Confrontatif Coping. Strategi ini meliputi tindakan agresif atau
tindakan pengambilan resiko. Strategi ini tidak dapat digolongkan ke
dalam PFC atau EFC. Selanjutnya disingkat CC.51
Secara umum berbagai penelitian yang ada menunjukkan bahwa strategi
PFC bertujuan untuk mengelola beberapa aspek dalam situasi yang penuh
tekanan atau stres, berhubungan dengan hasil yang lebih positif hanya jika
usaha tersebut secara nyata dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya untuk
stresor yang relatif tidak dapat dikontrol, strategi EFC yang berorientasi ke
arah pengaturan emosi atau penilaian kembali ancaman terlihat paling adaptif.
Stretegi terakhir, yaitu CC, tidak dapat digolongkan ke dalam PFC atau EFC,
50
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan
Strategi Copyng, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol. 3 No. 2 (Semarang: Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, 2006), h. 73. 51
Ridwan Saptoto, Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif
Jurnal Psikologi Vo.37 No No.1 (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2010),
h. 14.
41
dan bersifat maladaptif tanpa memperhatikan apakah situasi yang dihadapi
dapat dikontrol atau tidak (Folkman et al., 1986).52
Menurut Hobfoll (dalam Dalton, 2001), terdapat dua bentuk coping
ketika menghadapi masalah hubungan interpersoanal, yaitu:
a. Pro-social coping. Dalam hal ini seseorang memberi perhatian pada
orang lain, mengungkapkan bentuk kepedulian, mencari dukungan atau
nasehat, dan meningkatkan kualitas hubungan interpersonal.
b. Anti-social coping. Dalam hal ini seseorang berperilaku agresif,
kurang memperhatikan orang lain, berperilaku impulsif, dan tidak
memperhatikan dampak dari tingkah lakunya bagi orang lain.53
c. Religius Focused Coping. Menurut Pargament religius focused
coping adalah upaya memahami dan mengatasi sumber-sumber stres
dalam hidup dengan melakukan berbagai cara untuk mempererat
hubungan individu dengan Tuhan.54
Terdapat tiga bentuk religius focused coping, yaitu55
:
1) Collaborative, yakni bentuk coping yang melibatkan Tuhan dan
indovidu dalam kerjasama memecahkan masalah individu.
2) Self-Directing, artinya seorang individu percaya bahwa dirinya
telah diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah.
52
Ridwan Saptoto, Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif
Jurnal Psikologi Vo.37 No No.1, h. 14. 53
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Depok:
LPSP3 Fakultas Psikologi UI, 2013), h. 39. 54
Baiq Dwi Suci Anggraini, Religius Coping Stres pada Mahasiswa, (Jurnal Psikologi:
Universitas Malang, Vo. 02 No. 01, 2014), h. 142 55
Wendio Angganantyo, Coping Religius pada Karyawan Muslim Ditinjau dari Tipe
Kepribadian, (jurnal Psikologi: Universitas Muhammadiyah Malang Vol.2 No. 1, 2012), h. 49.
42
3) Deffering, artinya individu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan
dalam memberikan isyarat untuk memecahkan masalahnya.
Dalam Islam, Allah telah mengatur dan memberi manusia berbagai cara
untuk mengatasi masalah dalam hidup. Sering kali ujian yang Allah turunkan
kepada manusia menimbulkan tekanan jiwa pada individu tersebut. Namun
sebenarnya Allah SWT telah memberikan solusi atau kunci untuk
memperoleh ketenangan jiwa tersebut sebagaimana dalam QS. Ar-Ra‟du ayat
28.56
:
Artinya: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenang”
Quraish Shihab menafsirkan ayat ini adalah tentang dzikrullah atau
mengingat Allah yang melahiran ketenangan hati, bukan sekedar ucapan
lidah.57
Oleh karena itu, apabila masalah sedang menghampiri diri hendaknya
memperbanyak dzikir atau mengingat Allah agar dipermudah dalam
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
Menurut Bahreisy (1992) dalam Al-Qur‟an Allah telah mencantumkan
secara tersirat tahap-tahap yang harus dilalui seseorang untuk dapat
menyelesaikan masalahnya yakni pada QS. Al-Insyiroh ayat 1-8.58
56
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV. Penerbit
Jumanatul „Ali-Art, 2005), h. 253. 57
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 272-274 58
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan
Strategi Coping, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol. 3 No. 2 (Semarang: Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, 2006), h. 73.
43
Ada tiga langkah yang bisa dilakukan seseorang saaat menghadapi
permasalahan, yaitu:
a. Positive Thingking
Sebagaimana terjemahan ayat 1 sampai 6, Allah berfirman:
“Bukankah telah Kami lapangkan untukmu dadamu? Dan telah Kami
hilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan
Kami tinggikan bagimu sebutan namamu. Karena sesungguhnya sesudah
kesulitas ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.”
Tafsir dari 6 ayat itu ialah janji dan kabar gembiran dari Allah bahwa
semua kesulitan dari setiap persoalan manusia selalu ada jalan keluarnya,
maka hadapilah masalah itu dengan hati yang lapang. Maka langkah
pertama saat mengalami masalah ialah melapangkan dada, selapang-
lapangnya sehingga lahirlah positive thingking terhadap masalah yang
ada. Itulah separuh dari penyelesaian dari masalah. Karena dengan
berpikir positif, otak manusia dapat berpikir secara jernih mengenai jalan
keluar dari permasalahan yang ada.
b. Positive Acting
Sebagaimana termaktub dalam ayat 7, Allah berfirman: “Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Dari ayat ini Allah memberikan langkah kedua dalam menyelesaikan
masalah, yaitu berusaha keras menyelesaikan persoalannya melalui
perilaku-perilaku nyata yang positif. Usaha konkrit ini adalah anjuran
44
nyata dari Allah untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi
persoalan apapun. Perintah ini pun mengandung makna untuk tetap
mencoba meminta bantuan manusia lain sebagai perantara pertolongan
dari-Nya. Sebagaimana Allah jelaskan dalam ayat lain dalam Al-Qur‟an:
“Sesungguhnya penolong kamu hanya Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman.” (QS. Al-Ma‟idah: 55)
c. Positive Hoping
Sebagaimana tercantum dalam ayat terakhir surah Al-Insyirah ini
yang berbunyi: “Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap.” Makna ayat di atas ialah setelah manusia berlapang dada
dengan masalah yang ada, lalu manusia mau dan mampu berusaha secara
optimal dalam rangka menyelesaikan masalahnya lalu usaha terakhir
yang tidak boleh ditinggalkan adalah berdo‟alah dan bertawakallah
kepada Allah SWT. mengenai hasil dari semua usaha yang telah
dilakukan itu.59
Sebagai terakhir dari tiga cara itu, ada cara lain yang dapat
memperkuat keyakinan manusia bahwa Islam benar-benar dapat
dijadikan pedoman bagi kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah rangkaian
cara penyelesaian masalah (coping) yang telah diatur dalam Islam.
Pada penelitian ini, aspek atau jenis coping yang digunakan adalah
problem focused coping, emotion focus coping dan religius focused coping.
Adapun bentuk problem focused coping yang digunakan yaitu bentuk
kognitif dan dalam bentuk perlaku. Sedangkan bentuk emotion focus coping
59
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan
Strategi Copyng, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol. 3 No. 2 (Semarang: Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, 2006), h. 73-74
45
yaitu melarikan diri dari masalah, menganggap masalah seringan mungkin,
menyerahkan diri sendiri, dan mencari makna tersirat.
C. Hubungan Pembinaan Keagamaan dengan Kemampuan Coping
Agama sebagai salah satu sumber coping selain dua sumber coping lain
yaitu dukungan sosial dan kemampuan personal. Agama memberikan
keterampilan personal dan sosial bagi individu. Selain itu, agama merupakan
metode yang dapat dijadikan prediktor yang signifikan dari keberhasilan coping.
Dampak yang diketahui dari intervensi agama yaitu: (1) subyek menerima hal-hal
spiritual sebagai sesuatu yang dapat dipercaya dengan baik dan mencintai Tuhan,
(2) menjadikan orang rajin berdo‟a dan beribadah, (3) meningkatkan kesadaran
yang tumbuh baik dari pengalaman stres terhadap masalah.60
Orang yang beragama memiliki keyakinan kepada Dzat Yang Maha Esa
dan senantiasa bersikap pasrah (berserah diri) kepada-Nya. Sikap pasrah itu
memberi sikap optimis pada diri seseorang, sehingga muncul perasaan positif
seperti rasa bahagia, senang, tenang, nyaman, dan aman.61
Oleh karena itu,
rendahnya pemahaman agama pada individu dapat memicu terjadinya banyak
kesalahan dalam mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapai.
Dalam istilah psikologi, cara-cara pemecahan atau pengatasan masalah disebut
coping. 62
Dalam Islam, Allah telah mengatur dan memberikan langkah dalam
menyelesaikan masalah dalam hidup yang tertera pada QS. Al-Insyirah ayat 1-8
60
Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Depok:
LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h. 41 61
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 142 62
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Keecenderungan
Strategi Copyng, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, (Semarang: Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya, 2006), Vol.3 No.2, h. 70.
46
yang terdapat tahap-tahap yang harus dilalui sesorang agar dapat menyelesaikan
masalahnya. Oleh karena itu, maka jelaslah bagaimana hubungan antara
pemahaman keagamaan individu dengan kemampuan coping yang dimiliki
memberikan dampak positif yaitu apabila pemahaman agama yang dimiliki
individu kuat maka kemampuan coping yang dimiliki individu pun tinggi begitu
sebaliknya jika pemahaman agama yang dimiliki rendah, maka kemampuan
coping yang dimilikinya pun rendah, karena agama itu sendiri adalah salah satu
sumber kekuatan coping seseorang.
Agama dan ritual ibadahnya bisa memberikan dampak yang positif bagi
seseorang yaitu menjadikan hidup manusia lebih baik lagi. Dalam penelitian ini
peneliti melakukan penelitian di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang pada program pembinaan keagamaan. Untuk mencapai
pemahaman keagamaan yang tinggi pada remaja terutama remaja yang
berhadapan dengan hukum, maka diberikan suatu program pembinaan khusus
yaitu pembinaan keagamaan. Melalui pembinaan keagamaan yang dilakukan
secara intensif, seseorang akan memiliki kemampuan untuk berhasil mengadakan
hubungan dengan lingkungan; kemampuan mengelola stres; dan kemampuan
pemecahan masalah.63
Maka dari itu, dengan adanya treatmen atau intervensi
pembinaan keagamaan yang diberikan oleh pembina agama kepada remaja/anak
didik di LPKA diharapkan remaja/anak didik mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya dan memilih cara untuk penyelesaian masalah
sesuai dengan ketentuan dan petunjuk agama.
63
Mujiati, Kegiatan Pembinaan Rohani Dalam Upaya Mengubah Perilaku Sosial Peserta
Rehabilitasi Narkoba Di Rumah Damai Desa Cepoko Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang,
(Skripsi S1: Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2015), h. 5.
47
Kemampuan coping ini penting untuk dimiliki setiap orang agar mereka
mampu untuk menghadapi setiap permasalahan yang mereka alami terutama
untuk remaja yang rentan terhadap masalah terlebih pada remaja yang berhadapan
dengan hukum. Sehingga mereka perlu mendapatkan pembinaan khusus terutama
pembinaan keagamaan.
D. Remaja
1. Definisi Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Sedangkan istilah
adolescence seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini
dikemukakan oleh Piaget (121) dengan mengatakan: “Secara psikologis,
masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat
dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang
yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-
kurangnya dalam masalah hak.”64
Definisi remaja menurut para ahli yaitu:
a. Menurut Agoes Dariyo, menerangkan bahwa remaja (adolecence)
adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan
psikososial.65
64
Elizabeth B. Hurlock, Development Psychology, alih bahasa oleh Istiwidayanti dan
Soedjarwo dalam Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1980), h. 206 65
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h.
14
48
b. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), sebagaimana yang dikutip oleh
Sarlito Wirawan Sarwono, mendefinisikan bahwa remaja adalah suatu
masa di mana:
1) Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-
tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksualnya.
2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.66
c. Menurut G. Standley Hall, remaja merupakan masa pergolakan yang
dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati.67
d. Menurut Larson (2002) dalam Buku Adolescence, Eleventh Edition
karangan John W. Santrock remaja (adolescence) sebagai periode transisi
perkembangan masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubah-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Tugas pokok
remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.68
e. Menurut M. Alisut Sabri, menerangkan bahwa masa remaja
merupakan masa yang penting dalam rentan kehidupan. Masa ini dikenal
sebagai suatu periode peralihan, suatu masa perubahan usia bermasalah
66
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), Cet. Ke-
3, h. 6 67
John W. Santrock, Adolescence, Eleventh Edition, alih bahasa oleh. Benedictine
Widyasinta dalam Adolescence Perkembangan Remaja Edisi ketuju, (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 2007), h. 6 68
John W. Santrock, Adolescence, Eleventh Edition, alih bahasa oleh. Benedictine
Widyasinta dalam Adolescence Perkembangan Remaja Edisi ketuju, h. 20
49
saat di mana individu mencari identitas usia yang menakutkan, masa
yang tidak realistis dan masa ambang dewasa.69
Dari beberapa definisi di atas, dapat digaris besarkan bahwa remaja
adalah suatu masa transisi, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak menuju
dewasa yang di dalamnya mengalami suatu perkembangan yang akan terlihat
adanya perubahan, baik perubahan secara fisik, mental, maupun sosial.
Remaja dalam penelitian ini adalah remaja yang menjadi ABH (pelaku)
berdasarkan putusan pengadilan.
2. Ciri-Ciri Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan
periode sebelumnya dan sesudahnya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah:70
a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Pada periode remaja,
dikatakan penting karena baik akibat langsung maupun jangka panjang
berkaitan dengan sikap dan perilaku jangka panjang. Selain itu, ada
periode yang penting akiat perubahan fisik dan psikologis.
Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya
perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja.
Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan
perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Dalam periode peralihan,
status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang
69
M. Alisut Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan Anak dan Remaja,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), cet. Ke-2, h. 160. 70
John W. Santrock, Adolescence, Eleventh Edition, alih bahasa oleh. Benedictine
Widyasinta dalam Adolescence Perkembangan Remaja Edisi ketuju, (Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama, 1980), h. 207-209
50
harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga
bukan orang dewasa.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Ada empat perubahan yang
sama dan hampir bersifat universal, yaitu:
1) Meningginya emosi
2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh
kelompok sosial, menimbulkan masalah baru.
3) Perubahan minat dan pola perilaku, maka nilai-nilaipun berubah.
4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap
perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan,
tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya
dan diragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi
tanggung jawab tersebut.
d. Masa remaja sabagai usia bermasalah. Setiap periode mempunyai
masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah remaja sering menjadi
masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan.
Terdapat dua alasan kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak,
masalah anak-anak diselesaikan oleh orang tua dan guru. Sehingga
remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena
remaja merasa diri mandiri. Sehingga mereka ingin mengatasi
masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang tua dan guru. Karena
ketidakmampuan mereka untuk mengatasi masalahnya menurut cara
yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa
penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.
51
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahun awal masa
remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak
laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan
identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan temannya
dalam segala hal, seperi sebelumnya.
f. Masa Remaja sebagai usia yang menimbulan ketakutan. Anggaan
stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang
tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak,
menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak
simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Menerima stereotip ini
dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang
buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung
memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat
dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan
sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik
cita-citanya semakin ia marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa
apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil
mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin
mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan
52
kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu, remaja
mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status
dewasa.
3. Klasifikasi Remaja
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa
yakni 12 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan dari masa
peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit untuk menentukan
batas umurnya. Masa remaja mulai pada saat timbulnya perubahan-perubahan
yang berkaitan dengan tanda-tanda kedewasaan fisik yakni pada umur 11
tahun atau 12 tahun pada wanita dan laki-laki yang lebih tua sedikit.71
Para ahli berbeda pendapat mengenai batasan umur kapan seorang anak
dapat dikatakan sudah memasuki usia remaja. Batasan usia remaja menurut
para ahli sebagai berikut:
a. Dari sudut pandang psikologi, yaitu batasan usia remaja lebih banyak
tergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup, yang
dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya, yaitu puber
pertama atau mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa
kira-kira umur akhir 12 tahun atau permulaan 13 tahun.72
b. Dari sudut pandang hukum dan perundang-undangan, yaitu usia remaja
adalah di atas 12 tahun dan di bawah 18 tahun serta belum menikah.
Artinya apabila terjadi suatu pelanggaran hukum dari seseorang dalam
71
M. Alisut Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan Anak dan
Remaja,(Jakarta: Pedoman Imu Jaya, 1997), h. 12. 72
Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. Ke-2, h. 10
53
usia tersebut, maka hukuman baginya tidak sama dengan orang
dewasa.73
c. Dilihat dari analisa terhadap semua aspek perkembagan dalam usia
remaja, maka secara global masa remaja berlangsung antara umur 12
tahun hingga 21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun, masa
remaja awal, usia 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan usia 18-21
tahun masa remaja akhir.74
Dari beberapa pendapat di atas mengenai kapan seorang mulai
memasuki usia remaja terdapat kesamaan bahwa seorang dikatakan sudah
memasuki usia remaja apabila telah mencapai usia 12 tahun. Hal ini ditandai
dengan adanya perubahan-perubahan fisik. Dalam hal ini penulis
menyimpulkan bahwa batasan usia remaja adalah usia 12/13 tahun.
Sedangkan pembagian masa remaja yaitu remaja awal yang sudah mencapai
usia 12/13 tahun sampai 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 tahun sampai
18 tahun, dan masa remaja akhur yaitu 17/18 tahun sampai 21 tahun.
4. Pengertian dan Bentuk Kenakalan Remaja
a. Pengertian Kenakalan Remaja
Menurut Psikolog Bimo Walgito dan Fuad Hasan dalam bukunya
Sudarsono, Bimo Walgito mengemukakan bahwa “kenakalan remaja
adalah tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang
dewasa maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi merupakan
perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya
remaja”. Sedangkan Fuad Hasan merumuskan devinisi kenakalan remaja
73
Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, h. 36 74
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulya, 1983), cet.
Ke-5, h. 41
54
dengan perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja bilamana
dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.75
Dengan demikian kenakalan remaja dapat diartikan sebagai perbutan
menyimpang yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan
hukum, sosial, dan menyalahi norma.
b. Bentuk Kenakalan Remaja.
Bentuk kenakalan remaja yang tertuang dalam Bkolak Inpres 6/1971
antara lain adalah pencurian, perkelahian, perusakan, penganiayaan,
perampokan, narkotika, pelanggaran asusila, pelanggaran, pembunuhan,
dan kejahatan lain.76
Pihak kelopilisian mengidentifikasi ciri dari perilaku kenakalan
remaja sebagai berikut77
:
1) Bentuk-bentuk kenakalan remaja yang disebutkan di sini
merupakan inventarisasi sementara atas bentuk-bentuk yang
sudah terjadi dan diperkirakan akan atau mungkin terjadi.
2) Bentuk kenakalan remaja ini telah diidentifikasikan dan
dirumuskan oleh Team Kerja Penyusunan Pola Penanggulangan
Kenakalan Remaja di Indonesia tahun 1971 di mana penulis
sendiri menjadi anggotanya yang diselenggarakan oleh: Badan
Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak
dengan Pusat Pembinaan Tertib masyarakat, MABAK, RI.2
75
Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 11. 76
Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya, Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan
Remaja seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahanya, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 91. 77
Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 11
55
Bentuk kenakalan remaja dalam perumusan ini dapat
digolongkan menjadi dua golongan yaitu:
a) Kenakalan yang tergolongan pelanggaran norma sosial dan
norma-norma lainnya yang tidak diatur dalam KUHP atau
undang-undang lainnya.
b) Kenakalan berupa kejahatan dan pelanggaran yang diatur
dalam KUHP atau undang-undang lainnya.
3) Kenakalan remaja yang tergolong pelanggaran norma-norma
sosial cukup diselesaikan dalam dan oleh keluarga, kecuali atas
permintaan pihak keluarga pelaku kenakalan atas pengaduan
orang lain atas permintaan masyarakat umum oleh pihak alat-
alat negara penegak hukum.
4) Kenakalan yang tergolong pelanggaran dan kejahatan yang
diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku diselesaikan oleh
alat-alat negara penegak hukum.
5. Faktor yang Menyebabkan Kenakalan Remaja
Ada beberapa faktor yang menjadi sumber sebab kenakalan remaja.
Faktor tersebut adalah:
a. Faktor internal, yaitu hal-hal yang bersifat intern yang berasal dari
dalam diri remaja itu sendiri.
Faktor internal tersebut meliputi:
1) Lemahnya pertahanan diri, merupakan faktor yang ada dalam
diri untuk mengontrol dan mempertahankan diri terhadap
pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan. Jika ajakan untuk
56
melakukan perbuatan negatif pertahanan diri yang lemah sering
tidak bisa menghindar dan mudah terpengaruh.78
2) Kurang kemampuan penyesuaian diri. Ketidakmampuan remaja
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya dengan
tidak mempunyai daya pilih teman bergaul yang membantu
pembentukan perilaku positif, akan menyebabkan remaja kurang
pergaulan. Hal ini dapat dikarenakan anak terbiasa dengan
pendidikan kaku dan disiplin ketat di keluarga sehingga dalam
masa remajanya pun juga akan kaku dalam bergaul, dan tidak
pandai memilih teman yang bisa membuat dia berkelakukan
baik.79
3) Kurangnya dasar-dasar keimanan di dalam diri remaja. Saat ini
banyak orang-orang yang ingin agar para remaja menghiraukan
agamanya. Sebagian dari remaja sudah jauh dari agama karena
termakan kampanye Barat dengan meniru gaya hidup mereka
yang bebas terutama hubungan perempuan dengan laki-laki dan
juga mengkonsumsi alkohol maupun narkotika.80
Terkadang
orang tua tidak menyadari bahwa pendidikan agama sangat
penting diberikan kepada anak-anak karena yang demikian
adalah tanggung jawab mereka sehingga dasar keimanan pada
78
Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya, Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan
Remaja seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahanya, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 95. 79
Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya, Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan
Remaja seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahanya, h. 96. 80
Sofyan S. Willis, Remaja dan Masalahnya, Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan
Remaja seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahanya, h. 98
57
remaja belum tertanam. Oleh karena itu remaja mudah sekali
melakukan tindakan kenakalan.
b. Faktor ekternal, yaitu hal-hal yang mendorong timbulnya kenakalan
remaja yang bersumber dari luar diri pribadi remaja yang bersangkutan
yaitu, lingkungan sekitar, atau keadaan masyarakat.
Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan keluarga antara lain:
1) Kurangnya mendapatnya kasih sayang dan perhatian orang tua.
2) Lemahnya keadaaan ekonomi orang tua.
3) Kehidupan keluarga yang kurang harmonis.81
Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan masyarakat antara
lain:
1) Kurangnya pelaksanaan ajaran-ajaran agama secara konsekuen.
2) Masayarakat kurang memperoleh pendidikan.
3) Kurangnya pengawasan terhadap remaja.
4) Pengaruh norma-norma baru dari luar.82
Adapun menurut Zakiah Daradjat penyebab timbulnya kenakalan remaja
yang menonjol antara lain:
a. Kurangnya pendidikan agama.
b. Kurangnya pengertian orang tua tentang pendidikan.
c. Kurang teraturnya pengisian waktu.
d. Tidak stabilnya keadaan sosial, ekonomi, dan politik
e. Banyaknya film dan buku bacaan yang tidak baik
81
Ulfatun Khasanah, Pembinaan Keagamaan Bagi Anak Nakal di Panti Sosial Marsudi
Putra Antasena Magelang. (Skripsi S: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009), h. 15-16. 82
Ulfatun Khasanah, Pembinaan Keagamaan Bagi Anak Nakal di Panti Sosial Marsudi
Putra Antasena Magelang, h. 17-18
58
f. Kemerosotan moral dan mental orang dewasa.
g. Pendidikan di dalam sekolah yang kurang baik.83
Dalam masyarakat modern saat ini, banyak tingkah laku orang dewasa
yang tidak baik sehingga menjadi contoh dan teladan anak remaja. Mereka
akan dengan mudah mendapatkan contoh yang akan ditirunya dari
lingkungan di mana dia hidup.84
Faktor penting yang menimbulkan
kemrosotan moral adalah kurang tertanamnya jiwa agama dalam tiap-tiap
orang dan tidak dilaksanakannya agama dalam kehidupan sehari-hari baik
oleh individu maupun masyarakat.85
Oleh karena itu, disinilah letak
pentingnya agama bagi anak yang sudah terjerumus ke dalam masalah
hukum. Agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengurangi
dan menghilangkan kenakalan pada diri remaja.
Berdasarkan beberapa faktor di atas, peneliti menyimpulan bahwa faktor
kenakalan remaja dilihat dari aspek kehidupannya yaitu: (1) rendahnya
pengetahuan agama, (2) kurangnya perhatian orang tua, (3) lingkungan sosial
yang kurang baik, dan (3) kurangnya kesadaran moral.
E. Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)
1. Definisi Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana. Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal nomor
83
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1978), h. 113-118 84
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, h. 118 85
Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung,
1978), h. 65.
59
2.86
Berdasarkan definisi ini dapat disebutkan bahwa terdapat tiga kategori
anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:
a. Anak yang berkonflik dengan hukum. Maksudnya adalah anak-anak
sebagai pelaku tindak pidana.
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
tindak pidana.
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan atau dialaminya sendiri.87
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpullkan bahwa anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH) adalah anak yang berkaitan langsung
dengan tindak pidana baik yang menjadi pelaku, korban maupun saksi dalam
suatu tindak pidana. Adapun ABH yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
ABH yang menjadi pelaku tindak pidana yang berusia 12/13 tahun sampai
dengan 18 tahun.
86
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, Perlindungan Terhadap Anak Yang
berhadapan dengan Hukum, dalam jurnal Gender Equality; International Journal of Child and
Gender Studies (Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2015), h. 54. 87
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah, Perlindungan Terhadap Anak Yang
berhadapan dengan Hukum, dalam jurnal Gender Equality; International Journal of Child and
Gender Studies, h. 54-55.
60
2. Kategori Anak Berhadapan Hukum (ABH)
Menurut Herry E. Allen and Cliffon E. Simmonsen menjelaskan bahwa
ada dua kategori perilaku anak yang membuat anak harus berhadapan dengan
hukum, yaitu:88
a. Status Offence adalah pelaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak
menurut, membolos sekolah, atau kabur dari rumah.
b. Juvenile Deliquence adalah prilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.
88
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h. 83
61
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif,
karena pendekatan kuantitatif dapat menghasilkan data yang akurat setelah
perhitungan yang tepat. Penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan
untuk meneliti pada populasi tertentu, teknik pengambilan sampel pada
umumnya dilakukan secara random, pengambilan data menggunakan
instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif statistis dengan
tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Penelitian kuantitatif
sifatnya objektif, sehingga kita bisa melihat langsung sebuah keadaan.1
Penelitian kuantitatif merupakan metode untuk menguji teori-teori tertentu
dengan cara meneliti hubungan antarvariabel. Variabel-variabel ini diukur
sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan
prosedur statistik.2
Adapun alasan peneliti menggunakan penelitian kuantitatif adalah
penelitian kuantitatif bersifat mutlak sesuai dengan tata cara perhitungan
statistik yang terukur dan peneliti ingin menguji teori tentang pembinaan
keagamaan dan kemampuan coping, menunjukkan hubungan antar
1 Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, dan R & D,
(Bandung: Alfabeta, 2008), h.14. 2 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian; Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 38.
62
variabel pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping untuk
mendapatkan tingkat objektivitas dan memberikan deskripsi statistik.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
korelasional, yaitu penelitian yang mempelajari hubungan antara dua
variabel atau lebih, yakni sejauh mana variasi dalam satu variabel
berhubungan dengan variasi dalam variabel lain.3
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti berusaha mengambil
sampel dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui hubungan
pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping remaja pada Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Adapun lokasi penelitian skripsi ini yaitu Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang, Jl. Daan Mogot No. 29 C Tangerang,
Banten Indonesia. Merupakan lembaga pembinaan khusus untuk anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH) yang berada di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan.
Adapun yang dijadikan alasan dan pertimbangan pemilihan lokasi
penelitian ini adalah:
3 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian; Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 40.
63
a. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
memiliki kegiatan pembinaan keagamaan yang dilaksakan rutin setiap
minggunya.
b. Peneliti belum menemukan hasil penelitian tentang hubungan
pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping remaja penerima
manfaat pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai sejak bulan April sampai Oktober 2017
dengan melakukan survey lokasi, penyerahan surat izin penelitian, penyerahan
surat penelitian dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, persetujuan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang untuk melakukan
penelitian skripsi, serta mentor untuk peneliti. Selanjutnya peneliti melakukan
penelitian lanjutan, yaitu menggali data mengenai program pembinaan
keagamaan.
C. Sumber Data
Menurut Arikunto (2002: 107) sumber data adalah subyek dari mana data
itu diperoleh. Berdasarkan sumber pengambilan, data penulisan dibagi menjadi
dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun penjelasannya
sebagai berikut:
1. Data Primer,
Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama
di lokasi penelitian atau objek penelitian.4 Sumber data pertama dalam
4 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 122.
64
penelitian ini yaitu remaja ABH di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang.
2. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber
sekunder dari data yang kita butuhkan.5 Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu berupa dokumen-dokumen, catatan-catatan dan buku-buku.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yaitu keseluruhan subjek penelitian untuk keperluan penelitian.
Menurut Masri Singarimbun dan Sofian Efendi “Pupulasi adalah jumlah
keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga”.6 Sesuai judul
penelitian diatas, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ABH
penerima manfaat yang beragama Islam yang mengikuti kegiatan pembinaan
keagamaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
yang berjumlah 90 orang.
2. Sampel
Sedangkan sampel adalah bagian dari kumpulan objek penelitian
(populasi) yang dipelajari dan diamati.7 Penentuan sampel penelitian ini harus
dilakukan sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili dan
dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya.
5Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 122.
6 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES,
1991), h. 152. 7 Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1994), h. 78.
65
Berdasarkan populasi di atas maka penetapan sampel dilakukan dengan
teknik purposive sampling (pengambilan sampel berdasarkan tujuan). Dalam
teknik ini, siapa yang akan diambil sebagai anggota sampel diserahkan pada
pertimbangan pengumpulan data yang menurut dia sesuai dengan maksud dan
tujuan penelitian.8 Teknik ini dapat dilakukan dengan kriteria yang kita
inginkan.
Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah:
a. Beragama Islam
b. Mengikuti pembinaan keagamaan Islam minimal 3 bulan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
Menurut Suharsimi Arikunto sampel bisa menggunakan teknik purpossive
sampling. Pengambilan sampel dengan teknik ini cukup baik karena sesuai
dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga dapat mewakili populasi.
Purpossive sampling mengambil sampel 50% dari nilai populasi yang ada, karena
kebanyakan peneliti beranggapan bahwa semakin banyak sampel, atau semakin
besar persentase sampel dari populasi, hasil penelitian akan semakin baik.9
Pada penelitian ini, peneliti mengambil seluruh anak didik yaitu ABH di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang yang berusia
12/13 atau yang sedang menempuh pendidikan SD, SMP, dan SMA yang
berjumlah 47 orang yang sesuai dengan kriteria di atas. Sampel sesuai dengan
data anak di LPKA dan atas izin dari pihak Lembaga.
8 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial; Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. ke-
1, h. 63. 9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penellitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), h. 177
66
E. Variabel Dan Operasional Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel independen
sebagai variabel X dan variabel dependen sebagai variabel Y.
1. Variabel Bebas (Independent variable) (X)
Variabel independen atau juga disebut variabel bebas merupakan variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen.10
Variabel independen dalam penelitian ini yaitu pembinaan keagamaan.
Definisi konseptual pembinaan keagamaan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah suatu kegiatan rutin agama Islam yang dilaksanakan secara sistematis
dan terarah oleh seorang pembina agama Islam kepada peserta didik sebagai
upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan beberapa aspek yang meliputi:
aqidah, ibadah, dan akhlak agar mereka dapat menjalani kehidupannya sesuai
dengan ajaran Islam.
Operasional pembinaan keagamaan dalam penelitian ini terdiri dari
beberapa aspek yang meliputi:
a. Aspek materi, yaitu tingkat pemahaman materi yang sudah diterima
oleh remaja/anak didik yang terdiri dari materi aqidah, ibadah, dan
akhlak.
b. Aspek Frekuensi kegiatan, yaitu seberapa sering mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
c. Aspek Motivasi, yaitu motivasi yang dimiliki remaja/anak didik untuk
mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan.
10
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 39
67
d. Aspek Perhatian, yaitu perhatian remaja/anak didik ketika mengikuti
kegiatan pembinaan keagamaan.
e. Aspek spirit of change, yaitu semangat yang dimiliki remaja/anak
didik untuk berubah.
f. Aspek Efek, yaitu suatu perubahan hasil, seberapa besar pembinaan
kegamaan memberikan efek potitif terhadap remaja/anak didik.
2. Variabel Terikat (dependent variable) (Y)
Variabel dependen atau sering juga disebut variabel terikat adalah variabel
yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.11
Variabel terikat dari penelitian ini adalah kemampuan coping.
Kemampuan coping yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kemampuan
individu untuk meredakan, menghilangkan, menghadapi dan mengatasi
berbagai masalah yang menekan dalam hidupnya. Sedangkan definisi
operasional variabel kemampuan coping dalam penelitian ini adalah skor total
dari skala kemampuan coping remaja yang disusun peneliti berdasarkan teori
Lazarus & Folkman (Inawati. 1998) mengklasifikasikan coping menjadi dua
dimensi yaitu:
a. Problem focused coping, yang meliputi problem focused cognitive
(coping dalam bentuk kognitif) dan coping dalam bentuk perilaku.
b. Emotion focused coping, yang meliputi:
1) Escapism, yaitu melarikan diri dari masalah.
2) Minimization, yaitu menganggap masalah seringan mungkin.
3) Self Blame, yaitu menyalahkan diri sendiri.
11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D , (Bandung: Alfabeta,
2009), h h. 39
68
4) Seeking Meaning, yaitu mencari hikmah yang tersirat.
c. Religius focused coping. Untuk jenis coping yang ketiga ini peneliti
menggunakan teori Pargament. Menurut Pargament religius focused
coping adalah upaya memahami dan mengatasi sumber-sumber stres
dalam hidup dengan melakukan berbagai cara untuk mempererat
hubungan individu dengan Tuhan.
F. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data,
antara lain sebagai berikut:
1. Observasi atau pengamatan
Observasi atau pengamatan merupakan susunan proses pengamatan dan
ingatan baik biologis maupun psikologis.12
Semua bentuk penelitian psikologis,
baik kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya
yang diarahkan pada kegiatan memerhatikan secara akurat, mencatat fenomena
yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek fenomena
tersebut.13
Adapun observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati
secara langsung kegiatan pembinaan keagamaan yang dilakukan pembimbing
agama terhadap remaja ABH di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Kelas 1 Tangerang.
2. Kuesioner
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), Cet.
Ke-14, h. 145 13
E. Kristi Perwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Perilaku Manusia, (Depok: LPSP3-
UI, 2011), Cet. Ke-4, h. 134
69
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk dijawabnya.14
Kuesioner digunakan oleh peneliti untuk
memperoleh data dari responden, yakni remaja ABH pada Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.15
Peneliti mendokumentasikan
kegiatan pembinaan keagamaan, serta mencari dokumen-dokumen tertulis lain
yang relevan dengan kebutuhan penelitian.
G. Uji Validitas
Uji validitas berguna untuk mengukur ketepatan instrumen penelitian.
Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur.16
Suatu hasil penelitian dikatakan valid apabila instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian tersebut valid. Sehingga uji
validitas sangat penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
ketepatan/kebenaran suatu instrumen untuk dijadikan sebagai alat ukur.
Pendekatan yang digunakan untuk uji validitas dalam penelitian ini adalah
construct validity, yaitu untuk mengukur construct tertentu sesuai dengan yang
14
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, Dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2014), Cet. Ke-20, h. 142 15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002), edisi revisi IV, h. 236 16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h 121
70
diharapkan.17
Rumus yang digunakan untuk mengukur validitas penelitian ini
adalah rumus korelasi Pearson Product Moment dan menggunakan program SPSS
for Windows versions 22.0.
Berdasarakan hasil uji validitas pada skala pembinaan keagamaan yang
dilakukan pada 30 responden pada taraf siginifikan 5% dengan teknik product
moment, dari 32 item butir pernyataan yang diuji cobakan terdapat 5 item butir
pernyataan yang tidak valid. Dari 5 item butir pernyataan yang tidak valid
terdapat 1 butir yang telah diperbaiki sehingga terdapat 4 item butir pernyataan
yang tidak valid. Banyaknya item yang tidak valid ini dikarenakan pernyataan
yang kurang jelas atau kurang dipahami oleh responden. Sehingga item yang valid
atau yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah sebanyak 28 butir
pernyataan seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Blue Print Skala
Pembinaan Keagaamaan (setelah diuji)
No
Dimensi
Pembinaan
Keagamaan
Favorable
Revisi
Favorable Unfavorable Jumlah
1. Materi 1,3,4,5,6,7,8,9,10,11 12,13 12
2. Frekuensi
Kegiatan
14 16 2
3. Motivasi 17,18 19,20 4
4. Perhatian 21,22 24 3
5. Spirit Of
change
25,26 2
6. Efek 28,29,30 27 31 5
Total Item 28
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2014), Cet., Ke-20, h. 121
71
Adapun hasil uji validitas pada skala kemampuan coping yang dilakukan
pada 30 responden pada taraf siginifikan 5% dengan teknik product moment, dari
29 item butir pernyataan yang diuji cobakan terdapat 11 item butir pernyataan
yang tidak valid. Dari 11 item butir pernyataan yang tidak valid terdapat satu butir
pernyataan yang telah diperbaiki sehingga terdapat 10 butir pernyataan yang tidak
valid. Banyaknya item yang tidak valid ini dikarenakan pernyataan yang kurang
jelas atau kurang dipahami oleh responden. Sehingga item yang valid atau yang
dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah sebanyak 18 butir pernyataan
seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Blue Print Skala
Kemampuan Coping
No. Dimensi
Kemampuan Coping Favorable
Revisi
Favorable Unfavorable Jumlah
1. Problem focused
coping 4,7 2 5,9 5
2. Emotion focused
coping 10,11,14,16 19,21 6
3. Religius focused
coping
22,23,24,25,
26,27,28,29 8
Total item 19
H. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya dan diandalkan.18
Uji reliabilitas bertujuan untuk
menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisiten, apabila
pengukuran diulang dua kali atau lebih. Jadi, dengan kata lain Teknik perhitungan
18
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian ; Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 131
72
reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah reability analysiz dengan
metode Cronbach Alpha dengan bantuan program SPSS for windows versions
22.0. Cronbach Alpha adalah koefisien kehandalan yang menunjukkan seberapa
baiknya item atau butir dalam suatu kumpulan secara positif berkorelasi satu sama
lain.19
Item instrument dikatakan reliabel atau mempunyai kehandalan yang
tinggi apabila diperoleh nilai alfa cronbach > 0.60.20
Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam
pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitain akan menjadi valid dan
reliabel. Jadi, instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel.
Adapun hasil uji reliabilitas variabel pembinaan keagamaan berdasarkan
perhitungan dengan bantuan SPSS for windows versions 22.0 diperoleh tabel hasil
output sebagai berikut:
Tabel 3
Hasil Output Uji Reliabilitas Variabel X (Pembinaan Keagamaan)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.911 28
Dengan demikian dapat kita lihat dari hasil output tabel 3. Hasilnya dapat
diketahui nilai Cronbach Alpha untuk variabel pembinaan keagamaan sebesar
0,911.
19
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian ; Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 165. 20
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian ; Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah, h.
165.
73
Adapun hasil uji reliabilitas variabel kemampuan coping berdasarkan
perhitungan dengan bantuan program SPSS for windows versions 22.0 diperoleh
tabel hasil output sebagai berikut:
Tabel 4.
Hasil Output Uji Reliabilitas Variabel Y (Kemampuan Coping)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.810 19
Dengan demikian dapat kita lihat dari hasil output tabel 3. Hasilnya dapat
diketahui nilai Cronbach Alpha untuk variabel kemampuan coping sebesar 0,810.
Dari kedua tabel hasil output hasil uji reliabilitas dapat dilihat bahwa uji
reliabilitas variabel pembinaan keagamaan mendapatkan nilai tertinggi yaitu
0,911 dibandingkan uji reliabilitas variabel kemampuan coping dengan nilai
0,810. Hasilnya dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alpha untuk kedua
variabel dikatakan sempurna (reliabel), karena diperoleh nilai Cronbach Alpha >
0.60.
I. Teknik Analisis Data
Pada tahap ini data akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh
kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalaan yang
diajukan dalam penelitian. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan
74
analisis kuantitatif, yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan kemudian diolah
melalui tiga tahap yaitu editing, coding dan tabulating.21
1. Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah
dikumpulkan karena kemungkinan data yang telah dikumpulkan tidak
logis dan meragukan. Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-
kesalahan yang terdapat pada pencatatan dilapangan dan bersifat koreksi.
2. Coding yaitu pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk
dalam kategori yang sama. Pemberian kode pada data dimaksudkan
untuk menterjemahkan data ke dalam kode-kode yang biasanya dalam
bentuk angka.22
3. Tabulasi yaitu membuat tabel-tabel yang berisikan data yang telah diberi
kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.
Untuk mengetahui hubungan pembinaan keagamaan dengan kemampuan
coping, dilakukan dengan menggunakan alat ukur skala likert yaitu untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi responden terhadap suatu obyek.
Selanjutnya untuk mempermudah mengolah data, item-item yang tersusun mulai
dari indikator yang ada diberikan skor dengan menggunakan skala Likert. Skala
likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi, seseorang atau
kelompok tentang kejadian atau gejala sosial.23
Penggunaan skala likert dipilih
karena dapat mempermudah subyek penelitian.
21
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
hal. 24. 22
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, (Yogyakarta: Penerbit
Graha Ilmu, 2006), Cet.Ke-1, h. 136. 23
Umi Zulfa, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Cahaya Ilmu, 2011), h.80.
75
Pernyataan dalam penelitian ini terdiri dari pernyataan favorable dan
unfavorable. Di mana setiap skala disusun menggunakan empat pilihan jawaban.
Adapun 4 kategori jawaban dalam Skala Likert adalah sebagai berikut24
:
Tabel 5. Skala Likert
Pilihan Jawaban Skor
Sangat Tidak Setuju (STS) 1
Tidak Setuju (TS) 2
Setuju (S) 3
Sangat Setuju (SS) 4
Keuntungan menggunakan skala likert dari tingkat kepentingan dan tingkat
pelaksanaan yaitu adanya keragaman skor sebagai akibat penggunaan skala 1-4,
dengan dimensi yang tercermin dalam daftar pertanyaan mereka. Dari segi
statistik, skala dengan empat tingkatan (1-4) lebih tinggi keadaannya
dibandingkan dua tingkatan “ya” atau “tidak”.
Selanjutnya data yang telah diperoleh melalui kuisioner, akan dianalisis
dengan analisis korelasi Pearson (Product Moment Correlation) dan kemudian
hasilnya dideskripsikan.
1. Pearson (Product Moment Correlation)
Analisis Pearson ialah suatu analisis peramalan nilai pengaruh dua variabel
bebas atau lebih terhadap variabel terikat untuk membuktikan ada atau
tidaknya hubungan fungsi atau hubungan kausal antara dua variabel bebas
atau lebih dengan satu variabel terikat. Persamaan korelasi pearson product
moment dirumuskan:
∑ ∑ ∑
√ ∑ ∑ ∑ ∑
24
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES,
1995), h. 110
76
Keterangan:
= Korelasi produk momen
N = Jumlah Responden
X = Sikap tiap item pertanyaan
Y = Skor total responden
XY = Skor setiap item pertanyaan dikali skor total responden
∑XY = Jumlah hasil perkiraan skor tiap item dengan skor total
responden
∑X = Jumlah seluruh skor tiap item pertanyaan
∑Y = Jumlah seluruh skor total responden
2. Uji Koefisien Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mencari arah dan kuatnya hubungan
antara dua variabel atau lebih, baik hubungan yang bersifat simetris, kausal,
dan reciprocal.25
Uji koefesien korelasi dilakukan dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan arah hubungan
antara variabel independen yaitu pembinaan keagamaan dan variabel
dependen kemampuan coping. Untuk mengetahui kekuatan hubungan kedua
variabel tersebut yaitu dengan cara menginterpretasikan nilai yang diperoleh
dari uji koefesien korelasi dengan berpedoman pada ketentuan berikut:
25
Imam Ghozali, Aplikasi Analisis Multivarians dengan Program SPSS, (Semarang:
UNDIP, 2003), h. 260
77
Tabel 6 Interval Koefesien Korelasi dan Kekuatan Hubungan26
No Interval Nilai Kekuatan Hubungan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KK = 0,00
0,00 < KK < 0,20
0,20 < KK < 0,40
0,40 < KK < 0,70
0,70 < KK < 0,90
0,90 < KK < 1,00
KK = 1,00
Tidak ada
Sangat rendah atau lemah sekali
Rendah atau lemah tapi pasti
Cukup berarti atau sedang
Tinggi atau kuat
Sangat tinggi atau kuat sekali, dapat diandalkan
Sempurna
Untuk menentukan besarnya koefesien korelasi bisa juga digunakan
rumus deviasi sebagai berikut:27
∑
√∑
Keterangan:
= Korelasi antara variabel X dan Y
x = Selisih nilai X dengan rata-rata variabel X ( ̅ )
y = Selisih nilai Y dengan rata-rata variabel Y ( ̅ )
J. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap
suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah sehingga harus diuji
secara empiris.28
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka
hipotesis yang akan dijawab dan dibuktikan dalam penelitian ini adalah:
26
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.
44 27
Sugiyono, Statistik untuk penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 228
28 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002), edisi revisi IV, h. 31
78
: Tidak ada hubungan signifikan pembinaan keagamaan dengan
kemampuan coping remaja pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang..
: Ada hubungan signifikan pembinaan keagamaan dengan kemampuan
coping remaja pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas
1 Tangerang.
Dengan ketentuan sebagai berikut:
Sig < 0,05 maka ditolak dan diterima
Sig > 0,05 maka diterima dan ditolak.
79
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN HASIL ANALISIS DATA
A. Gambaran Umum Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas
1 Tangerang
1. Sejarah Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) kelas 1
Tangerang.
Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pria
secara adminitratif di jalan daan mogot No.29 C, kota Tangerang, Provinsi
Banten. Bangunan tersebut berbatasan dengan Masjid Al azhom di sebelah
selatan, Taman Makam Pahlawan Taruna di sebelah barat, jalan Daan Mogot di
sebelah utara, dan jalan Satria sudirman di sebelah timur.
Lapas Anak Pria Tangerang dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1925 di atas tanah seluas area 12.150 m2 dengan kapasitas 220 anak.
Secara historis sejak tahun 1934 pengelolaan diserahkan kepada Pro Juventute
untuk mengasingkan anak keturunan Belanda yang berbuat nakal. Tahun 1945
berubah menjadi Markas Resimen IV Tangerang. Tahun 1957 sampai 1961
dikelola oleh Jawatan Kepenjaraan dan namanya dirubah menjadi pendidikan
Negara dan kemudian pada tahun 1964 diserahkan kepada Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Berdasarkan UU No.11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diubah menjadi Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA).1
1 Diolah berdasarkan data Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
tahun 2016 berupa dokumen lembaran.
80
2. Visi dan Misi Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) kelas 1
Tangerang.
Visi Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) kelas 1 Tangerang yaitu
“Menjadikan institusi terpercaya dalam memberikan pelayanan, perlindungan,
pembimbingan, pembinaan, dan pendidikan anak didik pemasyarakatan”.2
Adapun misi Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) kelas 1
Tangerang yaitu:
a. Mewujudkan sistem perilaku kreatif yang menumbuhkan rasa aman,
nyaman, ramah, dan layak huni.
b. Melaksanakan perawatan pelayanan, pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan untuk kepentingan terbaik bagi anak.
c. Membentuk jiwa sportivitas dan cinta ilmu pengetahuan bagi anak.
d. Menumbuh kembangkan ketaqwaan, kesantunan, kecerdasan, rasa
percaya diri dan keceriaan anak.
e. Memberikan perlindungan, pelayanan, dan pemenuhan hak-hak
anak.
3. Motto Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) kelas 1
Tangerang yaitu:
“Melayani, melindungi, membimbing, dan mendidik dengan hati”
4. Komitmen Pelayanan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
kelas 1 Tangerang
a. Bebas pungli
2 Diolah berdasarkan data Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
tahun 2016 berupa dokumen lembaran.
81
b. Adil
c. Santun dan ramah
d. Tanggung jawab
e. Bermartabat.
5. Struktur Organisasi Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA)
kelas 1 Tangerang.
Berikut merupakan struktur organisasi yang berada di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang berdasarkan Permen
Hukum dan HAM RI Tahun 2015.
Bagan 1.
Struktur Organisasi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang
KA. Subag Umum
Yuleha, SH.,MH
Kepala LPKA Kelas 1 Tangerang
Yuli Niartini, Bc.I.P, SH.MH
Kaur Keuangan
Rahmat Setiawan,
SH.,MH
Sugiyati, SH.M.Si
Kaur Kepegawaian
dan Tata Usaha
Ni Wayan Ernawati,
S.IP
Kasi Perawatan
Agung Jayadi,
SH.,MH
Kasi Pembinaan
Herti Hartati,
Amd.IP.,SH.,M.Si
Kasi Registrasi dan
Klarifikasi
Yatiman,S.IP.,M.Si
Kasi Pengawasan
dan Penegakan
Disiplin
Rino Sholeh S,
Amd.IP.,SH
82
6. Data Dan Fakta Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang
Petugas LPKA Tangerang berjumlah 96 orang. Terdiri dari 30 petugas
regu jaga, 66 staff yang diantaranya terdiri dari 2 orang dr.gigi, 5 orang
perawat, dan 1 orang psikolog.
Dengan kapasitas 220 orang anak. Usia 12 tahun sampai dengan 18
tahun. Dengan latar belakang pelanggaran hukum yang dilakukan:
a. Penyalahgunaan narkoba
b. Pelanggaran asusila
c. Pencurian
d. Penganiayaan dan pelanggaran hukum lainnya.
7. Program dan Jenis Kegiatan Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang
a. Pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMK, dan PKBM istimewa (Paket
A, B, dan C).
b. Pondok Pesantren Tarbiyatul Aulad
c. Ketrampilan Latihan Kerja, yang terdiri dari rumah pintar, pramuka,
komik curhat, pelatihan komputer, penjahitan, pengelasan,
perkebunan, perikanan, budidaya lele, sablon, kerajinan batok kelapa,
dan steam motor.
d. Olahraga dan Seni, yang terdiri dari badminton, sepakbola, volly ball,
catur, tenis meja, senam, futsal, band, marawis, dan angklung.
83
e. Pembinaan Keagamaan. Adapun kegiatannya adalah Majelis Ta’lim,
Baca Tulis Al-Qur;an, dan kebaktian. Menurut salah satu pembina
Agama Islam mengungkapkan bahwa tujuan utama pembinaan
keagamaan Islam di LPKA yang diungkapkan saat wawancara yaitu:
“Secara teknik memang tujuan utama dari pelaksanaan pembinaan
di LPKA terutama pembinaan keagamaan Islam yang diberikan dari
pembina kepada anak didik di LPKA adalah agar anak didik mampu
menghadapi persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya, mampu
menyelesaikan atau mengatasi persoalan dalam hidupnya. Hal ini
relevan dengan misi LPKA yaitu memberikan pembinaan terbaik
untuk kepentingan anak ke depannya nanti serta menumbuh
kembangkan ketaqwaan anak. Memang untuk secara tertulis belum
ada untuk tujuan utama ini. Tetapi dalam pelaksanan pembinaan
keagamaan yang kami berikan kepada anak didik memang diarahkan
untuk itu. Ikonnya itu dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang
tidak berani menjadi berani, dari yang tidak mampu menyelesaikan
persolan pribadinya menjadi mampu. Sistem yang kami gunakan
yaitu kami melakukan pendampingan terhadap anak baik melalui
tanya jawab, face to face, diskusi kelompok maupun dalam bentuk
ceramah supaya mereka dapat menyerap dengan baik materi
pembinaan agar tujuan yang utama tadi tercapai. Setelah mereka
mendapatkan pembinaan keagamaan di LPKA yang kami (pembina
agama) harapkan mereka mampu mandiri menyelesaikan persoalan
tanpa bergantung kepada orang lain.”3
f. Rekreasi.
g. Pelayanan kesehatan dan kegiatan sosial. Adapun kegiatannya yaitu
kunjungan keluarga, kunjungan sosial, dan kunjungan akademis.
B. Kegiatan Pembinaan Keagamaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) Kelas 1 Tangerang.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pembinaan keagamaan adalah
suatu kegiatan rutin keagamaan Islam yang dilakukan oleh seorang pembina
agama Islam untuk memberi bekal kepada peserta didik dan mengembangkan
3 Wawancara pribadi melalui telepon dengan ustadz Muhammad, salah satu pembina
agama di LPKA, Tangerang 28 Maret 2018
84
beberapa aspek yang meliputi; aspek akidah, ibadah dan akhlak agar mereka dapat
menjalani kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam.
Pembinaan keagamaan dilakukan untuk anak didik LPKA di Masjid
LPKA. Kegiatan pembinaan keagamaan ini juga bekerjasama dengan beberapa
pembimbing yang berasal dari tiga yayasan, yaitu Yayasan Gerakan Peduli
Remaja, Yayasan ESQ, dan yayasan Al-Azhar.
Adapun jadwal kegiatan pembinaan keagamaan di LPKA adalah sebagai
berikut:
Tabel 7. Jadwal Kegiatan Pembinaan Keagamaan
Waktu Hari
Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at
09.00-
12.00
Pembinaan
keagamaan
dari
Gerakan
Peduli
Anak
Remaja
Pembinaan
Keagamaan
dari
Yayasan
ESQ
Pembinaan
keagamaan
dari yayasan
Al-Azhar
13.00-
16.00
Pembinaan
Keagamaan
dari LPKA
Pembinaan
Keagamaan
dari LPKA
Pembinaan
Keagamaan
dari LPKA
Pembinaan
Keagamaan
dari LPKA
Pembinaan
Keagamaan
dari
Kementrian
Agama Kota
Tangerang.
Materi pembinaan keagamaan yang disampaikan oleh ketiga yayasan
tersebut sama, yaitu tentang ibadah, aqidah, akhlak yang dikemas dengan cara
yang berbeda. Materi pembinaan keagamaan yang diterima oleh remaja di LPKA
selain berasal dari ketiga yayasan tersebut, mereka juga mendapatkan materi
pembinaan keagamaan dari LPKA itu sendiri yang diberikan oleh pembina agama
LPKA yang dilaksanakan setiap hari Senin sampai dengan hari Kamis pada pukul
85
13.00-16.00 dan pembina agama dari Kementrian Agama Kota Tangerang pada
hari Jum’at.
C. Temuan dan Hasil Analisis Data
1. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah remaja/anak yang berhadapan
dengan hukum (ABH) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang sebanyak 47 orang yang dipilih melalui teknik sampel Purposive
Sample.
Dari hasil analisis mengenai profil responden diperoleh data mengenai
responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, antara lain: karakteristik
responden berdasarkan kasus, usia, pendidikan terakhir dan lama mengikuti
pembinaan keagamaan Islam. Selanjutnya akan dijelaskan dalam bentuk tabel
antara lain:
a. Karakteristik Responden berdasarkan Kasus
Berikut merupakan karakteristik responden berdasarkan kasus:4
Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Kasus
No Kasus Jumlah Presentase (%)
1 Kriminal 39 responden 83%
2 Narkotika 8 responden 17%
Jumlah 47 responden 100%
4 Diolah berdasarkan data hasil kuesioner anak didik Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang tahun 2017
86
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa karakteristik
responden berdasarkan kasus adalah sebanyak 8 responden pada kasus
narkotika dan sebantak 39 responden pada kasus kriminal.
Berdasarkan jumlah tersebut, maka sebagian besar responden dalam
penelitian ini memiliki kasus kriminal.
b. Karakteristik Responden berdasarkan Usia
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No. Klasifikasi Remaja Usia Frekuensi Presentase
%
1 Remaja Awal 12-15 tahun 2 4%
2 Remaja Pertengahan 16-18 tahun 45 96%
3 Remaja Akhir 18-21 tahun 0 0%
Jumlah 47 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas
responden berusia kisaran 16-18 tahun dengan presemtase 96 persen, yaitu
sebanyak 45 responden. Sedangkan remaja akhir jumlahnya adalah 0. Hal
ini dikarenakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang hanya menerima anak didik di bawah usia 18 tahun.
2. Deskripsi Hasil Penelitian
Deskripsi hasil penelitian ini membahas tentang hubungan variabel
pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping. Dalam pengambilan data
peneliti menggunakan angket yang disebar kepada responden anak didik di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang yang sesuai
dengan kriteria responden.
87
Setelah data-data yang masuk dalam angket dioleh melalui editing dan
skoring, maka langkah berikutnya menyajikan data tersebut dalam bentuk tabel
dengan menggunakan rumus presentase. Berikut ini peneliti sajikan hasil
angket berdasarkan presentase jawaban. Dari hasil penelitian diperoleh data
sebagai berikut:
a. Variabel pembinaan keagamaan
Berikut merupakan tabel variabel pembinaan keagamaan pada aspek
materi. Tabel 10. Aspek Materi
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya mengetahui bahwa
iman kepada malaikat
adalah rukun iman yang
kedua
33 14 0 0 174 2
2.
Saya mengetahui Al-
Qur’an dapat menjadi
penyejuk hati dan jiwa.
40 6 1 0 180 1
3. Iman kepada Rasul adalah
rukun iman yang keempat. 33 9 3 2 161 7
4. Sholat lima waktu
hukumnya wajib. 39 8 0 0 180 1
5. Saya mengetahui tata cara
sholat beserta bacaannya. 34 11 2 0 173 3
6. Ibadah puasa di bulan
ramadhan hukumnya wajib 32 13 1 1 170 5
7. Ibadah haji merupakan
rukun Islam yang kelima. 36 9 1 1 174 2
8.
Dzikir merupakan salah
satu sarana/cara
mendekatkan diri kepada
Allah.
39 8 0 0 180 1
9.
Islam mengajarkan untuk
menjadikan akhlak Rasul
sebagai teladan.
31 14 1 1 169 6
10.
Saya mengetahui batasan
aurat laki-laki dan
perempuan.
31 16 0 0 172 4
11. Saya tidak percaya adanya
takdir. 10 14 12 11 117 9
12. Saya tidak mengetahui
manfaat dari puasa. 16 12 8 11 127 8
88
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 180
pada pernyataan saya mengetahui Al-Qur’an dapat menjadi penyejuk
hati dan jiwa, Sholat lima waktu hukumnya wajib, Dzikir merupakan
salah satu sarana/cara mendekatkan diri kepada Allah. dalam aspek
materi pada variabel pembinaan keagamaan dengan menempati
rangking 1.
Berdasarkan skor tersebut diketahui jumlah jawaban pada
pernyataan saya mengetahui Al-Qur’an dapat menjadi penyejuk hati
dan jiwa, sangat setuju (SS) sebanyak 40, jumlah jawaban setuju (S)
sebanyak 6, dan tidak setuju (TS) sebanyak 1 dan sisanya 0 sangat
tidak setuju (STS). Pada pernyataan Sholat lima waktu hukumnya
wajib dan dzikir merupakan salah satu sarana/cara mendekatkan diri
kepada Allah memiliki jumlah skor yang sama pada setiap jawaban
yaitu sangat setuju (SS) sebanyak 39, setuju (S) sebanyak 8, dan 0
sisanya untuk jawaban tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS).
Sedangkan skor terendahnya adalah 117 pada pernyataan saya
tidak percayaaadanya takdir. Responden yang menjawab sangat setuju
(SS) sebanyak 10, jawaban setuju (S) sebanyak !4, tidak setuju (TS)
sebanyak !2 dan sangat tidak setuju (STS) sebanyak 11.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden lebih mengetahui
bahwa responden memahami manfaat membaca Al-Qur’an, manfaat
dzikir dan memahami hukum untuk melaksanakan sholat. Hal ini
89
sejalan dengan program yang dijalankan di LPKA yaitu mewajibkan
anak didik untuk selalu mengikuti sholat jamaah di Masjid yang
mungkin memberikan efek dan kesadaran bagi anak didik bahwasanya
hukum sholat adalah wajib. Sedangkan untuk skor terendah yaitu
tentang taqdir yang mendapatkan skor paling rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa anak didik di LPKA percaya adanya taqdir dan
memahami materi yang disampaikan pembina agama tentang
keimanan.
Berikut merupakan tabel variabel pembinaan keagamaan pada
aspek frekuensi kegiatan
Tabel 11. Aspek Frekuensi Kegiatan
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya selalu rutin
mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
29 12 2 4 160 1
2.
Dalam satu minggu saya
sering kali tidak mengikuti
kegiatan pembinaan
keagamaan.
13 11 11 12 119 2
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu
160 pada pernyataan saya selalu rutin mengikuti pembinaan
keagamaan, dalam aspek frekuensi kegiatan dengan menempati
rangking 1, dari jumlah skor tersebut diketahui jumlah jawaban sangat
setuju (SS) sebanyak 29, jumlah jawaban setuju (S) sebanyak 12, tidak
setuju (TS) sebanyak 2 dan sangat tidak setuju (STS) sebanyak 4.
Sedangkan skor terendahnya adalah 119 pada pernyataan dalam satu
90
minggu saya sering kali tidak mengikuti kegiatan pembinaan
keagamaan yang menempati rangking kedua. Responden yang
menjawab sangat setuju (SS) sebanyak 11, jawaban setuju (S)
sebanyak 11, tidak setuju (TS) sebanyak !2 dan sangat tidak setuju
(STS) sebanyak 5.
Hal tersebut menunjukkan bahwa responden lebih banyak yang
rajin mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dibanding
meninggalkan kegiatan pembinaan keagamaan.
Berikut merupakan tabel variabel pembinaan keagamaan pada
aspek motivasi.
Tabel 12. Aspek Motivasi
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya termotivasi untuk
selalu mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
30 13 2 2 165 2
2.
Saya mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan
dengan senang hati.
33 10 0 4 166 1
3.
Saya tidak suka mengikuti
kegiatan pembinaan
keagamaan
20 16 5 6 144 4
4.
Saya mengikuti pembinaan
keagamaan karena
terpaksa.
27 12 4 4 156 3
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 166
pada pernyataan saya mengikuti pembinaan keagamaan dengan
senang hati yang menempati rangking 1, dari jumlah skor tersebut
diketahui jumlah jawaban sangat setuju (SS) sebanyak 33, jumlah
91
jawaban setuju (S) sebanyak 10, tidak setuju (TS) 0 dan sangat tidak
setuju (STS) sebanyak 4. Sedangkan skor terendahnya adalah 144
pada pernyataan saya tidak suka mengikuti kegiatan pembinaan
keagamaan yang menempati rangking 4. Responden yang menjawab
sangat setuju (SS) sebanyak 20, jawaban setuju (S) sebanyak 16, tidak
setuju (TS) 5 dan sangat tidak setuju (STS) sebanyak 6.
Hal tersebut menunjukkan bahwa responden mempunyai motivasi
yang tinggi untuk mengikuti pembinaan keagamaan yaitu dari hati
mereka sendiri karena responden mengikuti pembinaan keagamaan
dengan senang hati. Hal tersebut responden memahami untuk
mengikuti pembinaan keagamaan harus didasarai dari motivasi dalam
diri bukan karena paksaan dari siapa pun.
Berikut merupakan tabel variabel pembinaan keagamaan pada
aspek perhatian.
Tabel 13. Aspek perhatian
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya memperhatikan apa
yang disampaikan oleh
pembimbing agama.
29 17 0 1 168 1
2.
Saya merasa rugi apabila
tidak mengikuti
pembinaan keagamaan.
30 12 4 1 165 2
3.
Saya merasa jenuh ketika
sedang mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
16 17 8 6 137 3
Pada tabel di atas, dapat dikethaui bahwa skor tertinggi yaitu 168
pada pernyataan saya memperhatikan apa yang disampaikan oleh
92
pembimbing agama dalam aspek perhatian dengan menempati
rangking 1. Dari jumlah skor tersebut diketahui jumlah jawaban
sangat setuju (SS) sebanyak 29, jumlah jawaban setuju (S) sebanyak
17, tidak setuju (TS) 0 dan sangat tidak setuju (STS) 1. Sedangkan
skor terendahnya adalah 101 pada pernyataan saya merasa jenuh
ketika sedang mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dengan
menempati rangking 3. Responden yang menjawab sangat setuju (SS)
sebanyak 16, jawaban setuju (S) sebanyak !7, tidak setuju (TS)
sebanyak 8 dan sangat tidak setuju (STS) 6.
Hal tersebut menunjukkan bahwa responden lebih banyak yang
memperhatikan apa yang disampaikan oleh pembimbing agama
meskipun ada yang beberapa yang merasa jenuh ketika sedang
mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan. Hal tersebut diduga karena
tidak semua responden yang mengikuti pembinaan keagamaan adalah
mereka yang tidak mempunyai kegiatan lain. Misalnya ada yang
mendapatkan jadwal piket dan waktu pembinaan yang diduga kurang
tepat yaitu sebelum jam makan siang. Dengan adanya responden yang
lebih banyak memperhatikan materi pembinaan maka, maka apa yang
disampaikan oleh pembina agama akan diterima dengan baik.
Menurut Syamsudin dan Makmun, aspek perhatian adalah
keaktifan peningkatan kesadaran seluruh fungsi jiwa yang dikerahkan
dalam pemusatannya kepada sesuatu, baik yang ada di dalam maupun
yang ada di luar diri individu. Melalui perhatian seseorang lebih
mudah menerima sesuatu, dan sebaliknya tanpa adanya perhatian, tiap
93
asumsi-asumsi yang masuk, baik dari dalam diri maupun dari luar
akan sulit diterima.5
Berikut merupakan tabel variabel pembinaan keagamaan pada
aspek spirit of change.
Tabel !4. Aspek spirit of change.
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya bertekad untuk
berubah menjadi lebih
baik lagi.
36 10 1 0 176 1
2.
Saya ingin memiliki
pengetahuan agama yang
lebih baik lagi setelah
mengikuti pembinaan
keagamaan.
36 10 1 0 176 1
3.
Saya mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan
hanya untuk
menggugurkan kewajiban.
10 17 10 10 121 2
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 176
yang menempati rangking 1 pada pernyataan saya bertekad untuk
berubah menjadi lebih baik lagi dan pada pernyataan Saya ingin
memiliki pengetahuan agama yang lebih baik lagi setelah mengikuti
pembinaan keagamaan. Dari jumlah skor tersebut diketahui jumlah
jawaban sangat setuju (SS) sebanyak 36, jumlah jawaban setuju (S)
sebanyak 10, dan sisanya 0 pada jawaban tidak setuju (TS) dan sangat
tidak setuju (STS) . Sedangkan skor terendahnya adalah 121 pada
pernyataan saya mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan hanyak
5 Syamsudin Abin, Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran
Modul, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 45
94
untuk menggugurkan kewajiban dengan menempati rangking 2.
Responden yang menjawab sangat setuju (SS) sebanyak !0, jawaban
setuju (S) sebanyak 17, tidak setuju (TS) sebanyak 10 dan sangat tidak
setuju (STS) 10.
Hal tersebut menunjukkan bahwa responden mempunyai tekad
yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik lagi dan mempunyai
semangat untuk menjadi lebih baik lagi setelah mengikuti pembinaan
keagamaan. Tetapi tidak semua responden mempunya spirit of change
yang tinggi. Hal tersebut karena responden yang mengikuti pembinaan
keagamaan hanya untuk menggugurkan kewajiban bukan atas dasar
kesadarannya sendiri.
Menurut Syamsudin dan Makmun aspek spirit of change, yaitu
semangat untuk berubah. Pribadi yang memiliki semangat, sangat
sadar bahwa tidak akan ada satu makhluk pun di muka bumi ini yang
mampu mengubah dirinya kecuali dirinya sendiri. Betapapun hebatnya
seseorang untuk memberikan motivasi, hal itu hanyalah kesia-siaan
belaka bila pada diri orang tersebut tidak ada keinginan untuk
dimotivasi.6
Berikut merupakan tabel variabel pembinaan keagamaan pada
aspek efek
6 Syamsudin Abin, Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran
Modul, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 45
95
Tabel 15. Aspek efek
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 176
pada pernyataan saya menjadi lancar membaca Al-Qur’an setelah
mengikuti pembinaan keagamaan dengan menempati rangking 1. Dari
jumlah skor tersebut diketahui jumlah jawaban sangat setuju (SS)
sebanyak 36, jumlah jawaban setuju (S) sebanyak !0, dan jawaban
tidak setuju (TS) sebanyak 1 dan sisanya 0 sangat tidak setuju (STS) .
Sedangkan skor terendahnya adalah 118 pada pernyataan saya Saya
merasa biasa saja dan tidak ada perubahan setelah mengikuti
pembinaan keagamaan dengan menempati rangking 4. Responden
yang menjawab sangat setuju (SS) sebanyak !2, jawaban setuju (S)
sebanyak 13, tidak setuju (TS) sebanyak 9 dan sangat tidak setuju
(STS) 13 pada pernyataan saya merasa biasa saja dan tidak ada
perubahan apapun setelah mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan.
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya merasa menjadi lebih
baik setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
35 9 3 0 173 3
2.
Hati saya menjadi lebih
tenang setelah
mengamalkan apa yang
diajarkan pembimbing
agama.
36 10 0 1 175 2
3.
Saya menjadi lancar
membaca Al-Qur’an
setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
36 10 1 0 176 1
4.
Saya merasa biasa saja dan
tidak ada perubahan
setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
12 13 9 13 118 4
96
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembinaan keagamaan yang
diberikan oleh pembimbing agama di LPKA Tangerang memberikan
efek yang positif kepada anak didik terutama untuk memahami
bagaimana cara membaca Al-Qur’an. Artinya, kegiatan pembinaan
keagamaan yang diberikan oleh pembina agama memberikan efek
positif untuk anak didik di LPKA.
Menurut Syamsudin Abin dan Makmun, aspek efek, yaitu suatu
perubahan hasil, atau konsekuensi langsung yang disebabkan oleh
suatu tindakan. Efek juga berarti resiko, ada positif dan negatif.
Sesuatu yang diterima setelah melakukan suatu hal.7
b. Variabel Kemampuan Coping
Berikut merupakan tabel variabel kemampuan coping pada aspek
problem focused coping
Tabel 16. aspek problem focused coping
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya memikirkan langkah
terbaik untuk
menyelesaikan masalah
yang sedang saya hadapi.
30 17 0 0 171 1
2.
Saya berusaha mengambil
keputusan yang tepat
untuk menyelesaikan
masalah saya.
29 17 1 0 169 2
3. Saya tidak memikirkan
masalah yang saya hadapi. 8 17 10 12 115 4
4.
Saya mendiskusikan
masalah yang sedang saya
hadapi dengan orang lain
20 24 2 1 157 3
7 Syamsudin Abin, Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran
Modul, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 45.
97
untuk mendapatkan jalan
keluar.
5.
Saya tidak meminta
pendapat/saran dari orang
lain untuk mencari jalan
keluar dari masalah yang
saya hadapi.
7 14 13 13 110 5
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 171
pada pernyataan saya memikirkan langkah terbaik untuk
menyelesaikan masalah yang sedang saya hadapi dengan menempati
rangking 1. Dari jumlah skor tersebut diketahui jumlah jawaban
sangat setuju (SS) sebanyak 30, jumlah jawaban setuju (S) sebanyak
!7, dan sisanya 0 pada jawaban tidak setuju (TS) dan sangat tidak
setuju (STS). Sedangkan skor terendahnya adalah 110 pada
pernyataan saya tidak meminta pendapat/saran dari orang lain untuk
mencari jalan keluar dari masalah yang aya hadapi dengan menempati
rangking 5. Responden yang menjawab sangat setuju (SS) sebanyak 7,
jawaban setuju (S) sebanyak 14, tidak setuju (TS) sebanyak !3 dan
sangat tidak setuju (STS) 13.
Hal ini menunjukkan bahwa responden menyadari ketika
responden sedang dihadapkan suatu masalah mereka harus
memikirkan jalan terbaik untuk menyelesaikannya. Pada skor terendah
menunjukkan bahwa responden diduga responden menyadari bahwa
dalam menyelesaikan masalah responden meminta pendapat orang
lain untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang mereka
hadapi. Oleh karena itu, dalam hal ini responden menggunakan dua
98
bentuk problem focused coping, yaitu dalam bentuk kognitif dan
perilaku.
Menurut Istiqomah Wibowo, dkk., problem focused coping
mempunyai dua bentuk yaitu (1) Bentuk kognitif (problem focused
cognitive). Coping dalam bentuk kognitif, biasanya individu
menganalisis informasi terlebih dahulu kemudian merencanakan dan
membuat keputusan berdasarkan masalah yang ada. (2) Coping dalam
bentuk perilaku. Selain mencari informasi, bentuk coping perilaku ini
individu juga berusaha mencari jalan keluar untuk mencapai tujuan. Ia
berusaha mencari bantuan dan secara asertif mendiskusikannya
dengan orang lain yang berkepentingan.8
Berikut merupakan tabel variabel kemampuan coping pada aspek
emotion focused coping:
Tabel 17. aspek emotion focused coping
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya butuh waktu sejenak
untuk melupakan masalah
yang sedang saya hadapi.
20 23 4 0 155 3
2.
Menurut saya, pergi
bersama teman akan
membuat saya lebih
tenang ketika saya sedang
menghadapi masalah
tertentu.
16 26 5 0 152 4
3. Saya menghadapi masalah
dengan tenang. 26 18 2 1 163 2
4.
Saya yakin setiap masalah
itu pasti ada jalan
keluarnya.
33 9 3 2 167 1
8 Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Jawa
Barat: LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h. 38.
99
5.
Saya menyalahkan orang
lain sebagai penyebab
masalah yang saya alami.
13 12 9 13 119 5
6.
Saya tidak memikirkan
hikmah atau pelajaran dari
masalah yang saya hadapi.
12 13 9 13 118 6
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 167
pada pernyataan saya yakin setiap masalah itu pasti ada jalan
keluarnya pada aspek emotion focused coping dengan menempati
rangking 1. Dari jumlah skor tersebut diketahui jumlah jawaban
sangat setuju (SS) sebanyak 33, jumlah jawaban setuju (S) sebanyak
9, dan sisanya 3 pada jawaban tidak setuju (TS) dan sangat tidak
setuju (STS) sebanyak 2. Sedangkan skor terendahnya adalah 118
pada pernyataan saya tidak memikirkan hikmah atau pelajaran dari
masalah yang saya hadapi dengan menempati rangking 6. Responden
yang menjawab sangat setuju (SS) sebanyak 12, jawaban setuju (S)
sebanyak 13, tidak setuju (TS) sebanyak 9 dan sangat tidak setuju
(STS) 13.
Hal tersebut menunjukkan bahwa responden memiliki keyakinan
bahwa setiap masalah itu mempunyai jalan keluar. Oleh karena itu,
responden akan berusaha menghadapi masalahnya dengan tenang.
Menurut Ridwan Saptoto, dalam jurnal psikologi mengatakan
bahwa emotion focused coping lebih menekankan pada emosi atau
perasaan.9 Coping ini memiliki ciri represi, proyeksi, mengingkari,
9 Istiqomah Wibowo, Dicky C. Pelupessy, Erita Narhetali, Psikologi Komunitas, (Depok:
LPSP3 Fakultas Psikologi UI Depok, 2013), h.39.
100
dan berbagai cara untuk meminimalkan ancaman (Hollahan & Moos,
1987). Selanjutnya coping ini disingkat EFC.10
Berikut merupakan tabel variabel kemampuan coping pada aspek
religius focused coping
Tabel 18. aspek religius focused coping
No Pernyataan SS S TS STS Skor Rangking
1.
Saya lebih rajin
menjalankan ibadah ketika
saya sedang menghadapi
masalah.
27 11 6 2 157 8
2.
saya melaksanakan sholat
tahajjud agar dimudahkan
dalam menyelesaikan
masalah saya.
26 16 4 1 160 7
3.
Saya memperbanyak
membaca Al-Qur’an
ketika saya sedang
menghadapi suatu
masalah.
29 14 4 0 166 5
4.
Saya memperbanyak
dzikir ketika saya sedang
menghadapi masalah.
28 14 3 2 162 6
5.
Saya berdo’a kepada Allah
agar dimudahkan untuk
menyelesaikan masalah
yang sedang saya hadapi.
41 6 0 0 182 1
6.
Saya sabar dan ikhlas
ketika saya sedang
menghadapi suatu
masalah.
33 12 2 0 172 4
7.
Saya berserah diri kepada
Allah ketika sedang
menghadapi masalah
34 12 1 0 174 3
8.
Menurut saya, adanya
masalah adalah ujian dari
Allah.
38 8 0 1 177 2
10
Ridwan Saptoto, Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif
Jurnal Psikologi Vo.37 No No.1 (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2010),
h. 14.
101
Berdasarakan tabel di atas diketahui bahwa skor tertinggi yaitu
182 pada pernyataan saya berdo’a kepada Allah agar dimudahkan
untuk menyelesaikan masalah yang sedang saya hadapi yang
menempati rangking 1. Adapun jumlah jawaban sangat setuju (SS)
sebanyak 41, jawaban setuju (S) sebanyak 6, dan sisanya 0 untuk
jawaban tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Sedangkan
skor terendah yaitu 157 pada pernyataan saya lebih rajin menjalankan
ibadah ketika saya sedang menghadapi masalah dengan menempati
rangking 8. Jumlah jawaban sangat setuju (SS) sebanyak 27, setuju (S)
sebanyak 11, tidak setuju (TS) sebanyak 6 dan snagat tidak setuju
(STS) sebanyak 1.
Hal tersebut menunjukkan bahwa responden menyadari bahwa
ketika sedang dihadapkan suatu masalah mereka hendaknya berdo’a
kepada Allah agar dimudahkan untuk menyelesaikan masalahnya.
Tetapi tidak semua responden melakukannya.
Dalam Islam, Allah telah mengatur dan memberi manusia
berbagai cara untuk mengatasi masalah dalam hidup. Menurut
Bahreisy (1992) dalam Al-Qur’an Allah telah mencantumkan secara
tersirat tahap-tahap yang harus dilalui seseorang untuk dapat
menyelesaikan masalahnya yakni pada Q.S Al-Insyirah ayat 1-8.11
Setelah manusia mau dan mampu berusaha secara optimal dalam
rangka menyelesaikan masalahnya lalu usaha terakhir yang tidak
11
Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Kecenderungan
Strategi Copyng, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol. 3 No. 2 (Semarang: Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, 2006), h. 73
102
boleh ditinggalkan adalah berdo’alah dan bertawakallah kepada Allah
SWT. mengenai hasil dari semua usaha yang telah dilakukan itu.12
3. Gambaran Umum Kemampuan Coping Remaja
Gambaran umum responden berdasarkan kemampuan coping sebagai
berikut:
Tabel 19. kemampuan coping remaja
No Kategori
Kemampuan Coping
Jumlah skor
jawaban
Responden
Frekuensi Persentase
1. Rendah 19-37 0 0%
2. Sedang 38-56 6 13%
3. Tinggi 57-76 41 87%
Jumlah 47 100%
Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
kemampuan coping tinggi sebanyak 41 orang, kemampuan coping sedang
sebanyak 6 orang, dan sebanyak 0 responden yang memiliki kemampuan
coping rendah. Tingginya kemampuan coping yang dimiliki responden
didukung oleh beberapa aspek yaitu problem focused coping, emotion
focused coping, dan religius focused coping.
4. Analisis Data
a. Uji Korelasi
Uji koefisien korelasi dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan
untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan arah hubungan antar
variabel independen yaitu pembinaan keagamaan dan variabel
dependen yaitu kemampuan coping anak didik di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang. Uji tersebut untuk
12
Ibid., h. 73-74
103
mengetahui kekuatan hubungan yaitu dengan cara
menginterpretasikan nilai yang diperoleh dari uji koefisien korelasi
dengan berpedoman pada tabel interval koefisien atau kekuatan
hubungan.
Hasil koefisien korelasi dalam pengolahan data menggunakan
SPSS 22.0 for Windows adalah sebagai berikut:
Tabel 20. koefisien korelasi
Correlations
PEMBINAAN_KEAGA
MAAN
KEMAMPUAN_COP
ING
PEMBINAAN_KEAGA
MAAN
Pearson
Correlation 1 .770
**
KEMAMPUAN_COPIN
G
Pearson
Correlation .770
** 1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tabel 21. korelasi X dan Y
Korelasi Nilai Kekuatan Hubungan
X dengan Y 0,77 Tinggi atau kuat
Berdasarkan tabel 21 dapat diketahui bahwa variabel pembinaan
kegamaan dengan variabel kemampuan coping mempunyai hubungan
postif yang tinggi atau kuat yaitu sebesar 0,770 pada taraf signifikasi
0,01 (1%).
Berikut merupakan hasil koefisien korelasi dalam pengolahan
data menggunakan SPSS 20.0 for Window adalah sebagai berikut:
104
Tabel 22. Koefisien Korelasi X dan Y
X_Pembinaan
Keagamaan
Y1_PFC Y2_EFC Y3_RFC
Pearson
Correlation
X_Pembinaa
n Keagamaan 1,000 0,633 0,642 0,508
Y1_PFC 0,633 1,000 0,632 0,135
Y2_EFC 0,642 0,632 1,000 0,312
Y3_RFC 0,508 0,135 0,312 1,000
Adapun hasil korelasi antara variabel pembinaan keagamaan (X)
dengan subvariabel pada variabel kemampuan coping (Y) sebagai
berikut:
Tabel 23. Kekuatan Hubungan Variabel X dan Aspek variabel Y
Korelasi Nilai Kekuatan Hubungan
X dengan Y1_PFC 0,633 Cukup berarti atau sedang
X dengan Y2_EFC 0,642 Cukup berarti atau sedang
X dengan Y3_RFC 0,508 Cukup berarti atau sedang
Berdasarkan tabel 23 dapat kita ketahui bahwa terdapat
hubungan positif dan signifikan antara variabel pembinaan keagamaan
dengan kemampuan coping yang didukung oleh beberapa hal, yaitu
(1) aspek Problem Focused Coping (Y1) yang berhubungan nyata
positif dengan pembinaan keagamaan yaitu cukup berarti atau sedang
dengan nilai korelasi sebesar 0,633. (2) emotion focused coping (Y2)
yaitu cukup berarti atau sedang dengan nilai korelasi sebesar 0,642.
Dan hubungan antara variabel pembinaan keagamaan dengan religius
focused coping (Y3) yaitu cukup berarti atau sedang dengan nilai
korelasi sebesar 0,508. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan
105
keagamaan dengan kemampuan coping memiliki hubungan yang kuat
dan signifikan.
Adanya kemampuan coping yang tinggi pada responden
disebabkan oleh komitmen LPKA dalam memberikan pembinaan
keagamaaan kepada anak didik yang meliputi berbagai bentuk
kegiatan pembinaan keagamaan seperti bimbingan baca Al-Qur’an,
ceramah agama, dan juga pesantren di LPKA yang telah diberikan
oleh pembimbing agama kepada responden untuk membekali
responden ilmu agama serta mengembangkannya.
Adanya pembinaan keagamaan di LPKA membuat responden
menyadari akan kesalahannya sehingga menjadikan kesalahan itu
sebagai pembelajaran. Responden mampu memahami materi
pembinaan yang disampaikan oleh pembina agama sehingga
kedepannya memungkinkan untuk mereka meningkatkan kemampuan
coping yang positif.
Dalam kaitannya dengan pembinaan keagamaan, untuk
meningkatkan kemampuan coping responden, yang perlu ditangani
adalah bagaimana cara meningkatkan kemampuan coping terutama
pada religius coping agar responden menyadari permasalahan yang
dihadapinya dan mampu berusaha mencari solusi terbaiknya sesuai
dengan petunjuk agama sehingga mereka tidak lagi kembali
melakukan perbuatan yang melanggar norma hukum dan norma
agama dalam menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi
106
Para pembimbing agama yang menyampaikan materi
keagamaan yakni berasal dari yayasan Gerakan Peduli Remaja,
yayasan Al-Azhar, yayasan ESQ, dan pembina agama yang berasal
dari lembaga itu sendiri. Selain itu, materi ESQ yang disampikan oleh
pembina agama turut memberikan dukungan kuat kepada responden
untuk meningkatkan kecerdasan spiritual dan emosi agar responden
dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan ajaran agama Islam
sehingga memberikan peluang kepada responden untuk lebih
meningkatkan kemampuan copingnya. Dengan memiliki kemampuan
coping yang baik serta pemahaman materi pembinaan keagamaan bagi
para anak didik di lembaga yaitu usia remaja tentunya turut
memberikan sumbangan kepada responden agar tidak terjerumus
kepada hal-hal yang melanggar hukum.
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang Banten mengenai “Hubungan
Pembinaan Keagamaan dengan Kemampuan Coping Remaja Pada Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang Banten” maka kesimpulan
yang didapat adalah:
1. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara variabel pembinaan
keagamaan dengan kemampuan coping remaja di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) Tangerang Banten dengan nilai korelasi sebesar
0,77 pada taraf siginifikasi 0,01 atau kurang dari 0,05. Hal tersebut
dikarenakan responden memahami materi pembinaan keagamaan yang
berupa materi aqidah, ibadah, dan akhlak yang diberikan oleh pembina
agama. Oleh karena itu, semakin memahami serta mengaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari materi dari kegiatan pembinaan
keagamaan, maka semakin besar pula kemampuan coping yang
dimiliki remaja anak didik tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya
kemampuan coping yang dimiliki responden dengan kategori tinggi
sebanyak 41 responden dengan presentase 87% dan sisanya 6
responden dengan presentase 13 % dengan kategori sedang. Tingginya
kemampuan coping yang dimiliki responden didukung oleh beberapa
aspek yaitu problem focused coping, emotion focused coping, dan
religius focused coping.
108
B. Diskusi
Berdasarakan hasil penelitian diperoleh data bahwa secara umum
kelompok usia mayoritas remaja yang menjadi ABH adalah pada tahap remaja
pertengahan dengan rentang usia 16-17 tahun (96%) yaitu sebanyak 45 orang dan
sisanya 2 orang dengan kategori remaja awal. Kartono (2002) menyebutkan
bahwa angka tertinggi untuk kejahatan pada remaja berada pada usia 15-19
tahun.1 Pemahaman agama yang dimiliki oleh remaja turut memberikan peran
penting dalam pembentukan sikap dan perilaku sehari-hari remaja. oleh karena itu
pembinaan keagamaan sangat perlu diberikan kepada remaja dalam upaya
membina remaja yang telah melakukan tindakan kriminal agar tingkah laku,
sikap, dan akhlaknya berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, sehingga
kelak mereka menjadi remaja yang taat pada norma-norma dan aturan-aturan
terlebih pada norma agama. Melalui kegiatan pembinaan kegamaan yang intensif,
seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat. Dengan kepribadian yang sehat,
artinya seseorang tersebut memiliki: kemampuan untuk bertahan hidup dan
kemampuan untuk berhasil mengadakan hubungan dengan lingkungan;
kemampuan mengelola stres; dan kemampuan pemecahan masalah.2
Remaja merupakan salah satu masa transisi dengan tingkah laku anti sosial
disertai dengan pergolakan hati. Rendahnya pemahaman agama di tengah
masyarakat kita yang secara perlahan ikut melunturkan nilai-nilai moral yang
berlaku di masyarakat sekitar serta dari pola asuh orang tuanya di rumah yang
1 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2;Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 3. 2 Mujiati Kegiatan Pembinaan Rohani Dalam Upaya Mengubah Perilaku Sosial Peserta
Rehabilitasi Narkoba Di Rumah Damai Desa Cepoko Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang,
(Skripsi S1: Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Semarang, 2015), h. 5.
109
tidak baik. Maka segala kejahatan yang muncul pada usia ini merupakan salah
satu akibat dari proses perkembangan pribadi anak.
Selanjutnya, pada penelitian ini diperoleh data bahwa kasus kriminalitas
menjadi kasus mayoritas pada anak didik remaja dengan jumlah 39 orang (83%).
Anak usia remaja memang paling rawan untuk melakukan tindak kejahatan.
Karena pada masa ini adalah masa pencarian jati diri. Remaja selalu ingin tahu
dan ingin mencoba hal baru yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.
Berdasakan kategori skor variabel di LPKA diketahui bahwa anak didik
remaja di LPKA cenderung memiliki kemampuan coping yang tinggi yaitu
sebanyak 41 orang dan sisanya 6 dengan kategori kemampuan coping sedang. Hal
ini menunjukkan bahwa pembinaan keagamaan yang diterima oleh remaja di
LPKA memberikan efek yang baik dalam menigkatkan kemampuan coping
remaja yang ditunjukkan oleh hasil korelasi antara variabel pembinaan keagamaan
dengan kemampuan coping sebesar 0,770 yang berarti memliki hubungan yang
kuat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi variabel pembinaan
keagamaan dengan variabel kemampuan coping pada aspek religius focused
coping sebesar 0,508 yang berarti cukup berarti atau sedang. Hasil ini merupakan
hasil terendah jika dibandingkan dengan korelasi pembinaan keagamaan dengan
aspek problem focused coping dan emotion focused coping, yaitu sebesar 0,633
dan 0,642. Materi pembinaan keagamaan yang diterima oleh seseorang memiiki
hubungan yang sangat erat dan memberikan dampak yang positif pada sikap
keagamaan mereka. Orang yang beragama memiliki keyakinan kepada Dzat yang
Maha Esa dan senantiasa bersikap pasrah (berserah diri) kepadaNya. Sehingga
110
muncul rasa bahagia, senang, tenang, nyaman, dan aman.3 Dalam penelitian yang
dilakukan oleh McMahon dan Biggs membuktikan bahwa seseorang yang
memiliki tingkat spiritual atau religiusitas yang tinggi dan menggunakan religius
focused coping dalam kehidupannya maka individu tersebut akan lebih tenang dan
tidak cemas dalam menghadapi masalah hidup.4
Dari hasil penelitian di atas terdapat perbedaan pendapat dari penelitian
sebelumnya mengenai religius focused coping. Untuk itu diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan pembinaan keagamaan dengan religius focused
coping pada remaja di LPKA agar dapat memberikan gambaran yang lebih dalam.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan yang telah
dilakukan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Untuk Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Tangerang
Banten diharapkan untuk terus meningkatkan pelaksanaan kegiatan
pembinaan keagamaan dan menjadikannya sebagai wadah para anak
didik yaitu remaja agar menjadi remaja yang berakhlak mulia,
beriman, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-sehari
terutama dalam meningkatkan kemampuan coping agar remaja anak
didik taat pada aturan, hukum, terlebih taat pada ajaran agama Islam.
2. Untuk peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian di
lokasi yang sama, disarankan lebih memperdalam mengenai
kemampuan coping pada aspek religius focused coping karena dari
3 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h.142.
4 Wendio Angganantyo, Coping Religius pada Karyawan Muslim Ditinjau dari Tipe
Kepribadian,(jurnal Psikologi: Universitas Muhammadiyah Malang Vol.2 no 1, 2012), h. 51.
111
hasil penelitian ini peneliti menemukan bahwa hubungan pembinaan
keagamaan dengan kemampuan coping pada aspek religius focused
coping masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan aspek lain
pada variabel religius focused coping. Sehingga penelitian yang
selanjutnya bisa lebih mengembangkan pernyataan pada aspek
tersebut.
3. Untuk anak didik LPKA sebaiknya memanfaatkan kesempatan yang
diberikan di LPKA untuk mengikuti pembinaan keagamaan sehingga
dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari serta
menyadari akan kesalahannya dan tidak mengulanginya kembali.
4. Untuk Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta diharapkan dapat dijadikan tempat Mahasiswa
untuk melakukan Praktikum Mikro di LPKA Kelas 1 Tangerang
karena sangat dibutuhkan pembina agama yang memahami
karakteristik remaja sehingga kegiatan pembinaan keagamaan menjadi
lebih menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Anchok, Djamaludin dan Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2001.
Ardani, Mohammad. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama. 2005.
Arifin, H.M. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama.
Jakarta: Bulan Bintang. 1986.
__________. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama. Jakarta:
PT. Golden Tera yon Press. 1998.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penellitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta. 2010.
Arimbi, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Ma‟arif. 1989.
Bakran Adz-Dzakiey, Hamdani. Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogjakarta:
Fajar Pustaka Baru. 2006.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana. 2010.
Chaplin, JP. Kamus Lengkap Psikologi, Alih bahasa. Kartini Kartono. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada. 2004.
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. 1978.
_____________. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung
Agung. 1978
_____________. Pembinaan Remaja. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Daradjat, Zakiah. Dkk. Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1984.
Dariyo, Agoes. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.
Departemen Agama RI. Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN. Jakarta: Direktorat
Pembina-Pembina Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983.
____________________. Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: CV. Penerbit
Jumanatul „Ali-Art. 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
II. Jakarta: Balai Pustaka. 1986.
Elizabeth B. Hurlock. Development Psychology, alih bahasa oleh Istiwidayanti
dan Soedjarwo dalam Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Gelora
Aksara Pratama. 1980.
Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivarians dengan Program SPSS. Semarang:
UNDIP. 2003.
Gunarsa, Singgih D. Psikologi Remaja. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulya. 1983.
Hasan, Iqbal. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.
2004.
Helmy, Masdar. Peranan Dakwah dalam Pembinaan Umat. Semarang: IAIN
Semarang. 2001.
Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 1996.
Joni, Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas. Aspek Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1999.
Matdawam, Noor. Aqidah dan Ilmu Pengetahuan dalam Lintasan Sejarah
Dinamika Budaya Manusi. Yogyakarta: Yayasan Bina Karier. 1988.
Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. 1987.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2006.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai Aspek. Jakarta: UIN Press. 1985.
_____________. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1994.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian; Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana. 2011.
Perwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Perilaku Manusia. Depok:
LPSP3-UI. 2011.
Proyek Penerangan Bimbingan Khutbah Dakwah Agama. Pembinaan Rohani
pada Dharma Wanita. Jakarta: DEPAG. 1984.
Rahmat, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1994.
Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2005.
Razak, M. Dinul Islam. Bandung: Al-Ma‟arif. 1989.
Sabri, M. Alisut. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1997
Santrock, John W. Adolescence, Eleventh Edition, alih bahasa oleh. Benedictine
Widyasinta dalam Adolescence Perkembangan Remaja Edisi ketuju.
Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. 2007
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu. 2006.
Shalahuddin, Mahfud. Dkk. Metodologi Penelitian Agama. Surabaya: PT. Dua
Ilmu. 1987.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.
Ciputat: Lentera Hati. 2000
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survey. Jakarta:
LP3ES. 1991.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial; Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2008.
Sudarsono. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta. 1995.
Sugiyono. Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, dan R & D.
Bandung: Alfabeta. 2008.
_______. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta. 2009.
_______. Statistik untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. 2012
Suryo, Moh dan Jumhur. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV
Ilmu. 1987.
Syamsudin Makmun, Abin. Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem
Pengajaran Modul. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000.
Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1983.
Thoyibi, M. dan M. Ngemron. Psikologi Islam. Surakarta: Muhammadiyah
University Press. 2001.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka. 2005.
Utsman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat
Press. 2002.
Wibowo, Istiqomah. dkk. Psikologi Komunitas. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi
UI Depok. 2013.
Willis, Sofyan S. Remaja dan Masalahnya, Mengupas Berbagai Bentuk
Kenakalan Remaja seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahanya.
Bandung: Alfabeta. 2005.
Wirawan Sarwono, Sarlito. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press. 2000.
Zuhairi. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Surabaya: Usaha Nasional.
1983.
Zulfa, Umi. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Cahaya Ilmu. 2011.
DAFTAR PUSTAKA JURNAL
Analiansyah dan Syarifah Rahmatillah. “Perlindungan Terhadap Anak Yang
berhadapan dengan Hukum”, Jurnal Gender Equality; International
Journal of Child and Gender Studies. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry. 2015:
h. 54
Angganantyo, Wendio. “Coping Religius pada Karyawan Muslim Ditinjau dari
Tipe Kepribadian”. jurnal Psikologi: Universitas Muhammadiyah Malang
Vol.2 No. 1. 2012: h. 49.
Anggraini, Baiq Dwi Suci. “Religius Coping Stres pada Mahasiswa”. Jurnal
Psikologi: Universitas Malang, Vo. 02 No. 01, 2014: h. 142.
Astuti, Laras. “Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berhadapan dengan
Hukum dalam Kecelakaan Lalu Lintas”. Jurnal Justitia Jurnal Hukum.
Surabaya: Fakultas Hukum Muhammadiyah Surabaya. 2017.
Hadisuprapto, Paulus. Studi tentang Makna Penyimpangan Perilaku di Kalangan
Remaja, (Jurnal Kriminologi Indonesia, 2004), Vol. 3 No. III h. 9
Indirawati, Emma. “Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan
Kecenderungan Strategi Copyng”. Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro, Vol. 3 No. 2. Semarang: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya. 2006: h. 72.
Ismiati. “Problematika dan Coping Stress Mahasiswa Dalam Menyusun Skripsi”.
Jurnal Al-Bayan/ VOL. 21 No. 32. Banda Aceh: Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Ar-Raniry. 2015: h. 19.
Saptoto, Ridwan. “Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping
Adaptif”. Jurnal Psikologi Vo.37 No.1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada, 2010: h. 13.
Shanty, Ida Nor. dkk. “Faktor Penyebab Kenakalan Remaja pada Anak Keluarga
Buruh Pabrik Rokok Djarum Kudus”. Jurnal Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Semarang: UNNES,
2013: h. 6
DAFTAR PUSTAKA SKRIPSI
Hoirunnisa. Pengaruh Pembinaan Agama Islam terhadap Tingkat Rasa Percaya
Diri Warga Binaan Wanita pada Rumah Tahanan Negara Kelas II A
Pondok Bambu Jakarta Timur. Skripsi S1: Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. 2016.
Mujiati. Kegiatan Pembinaan Rohani Dalam Upaya Mengubah Perilaku Sosial
Peserta Rehabilitasi Narkoba Di Rumah Damai Desa Cepoko Kecamatan
Gunung Pati Kota Semarang. Skripsi S1: Fakultas Pendidikan Universitas
Negeri Semarang. 2015.
Khasanah, Ulfatun. Pembinaan Keagamaan Bagi Anak Nakal di Panti Sosial
Marsudi Putra Antasena Magelang. Skripsi S1: Fakultas Tarbiyah UIN
Sunan Kalijaga. 2009.
DAFTAR PUSTAKA INTERNET
Anas, Azwar. Cemburu, ABG Siksa Sahabatnya hingga Meregang Nyawa. Dalam
m.liputat6.com. artikel diakses pada hari tanggal 09 November 2016.
Priyanto, Hary. Dua Remaja Meregang Nyawa Diduga Konsumsi Miras Oplosan
dalam www.daerah.sindonews.com. Artikel diakses pada tanggal 10
November 2016.
LAMPIRAN
Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Uji Uji Validitas Variabel X (Pembinaan Keagamaan)
No. R hitung R Tabel Validitas
1. 0,425 0,361 VALID
2. 0,357 0,361 TDK VALID
3. 0,747 0,361 VALID
4. 0,546 0,361 VALID
5. 0,796 0,361 VALID
6. 0,635 0,361 VALID
7. 0,715 0,361 VALID
8- 0,678 0,361 VALID
9. 0,538 0,361 VALID
10. 0,513 0,361 VALID
11. 0,583 0,361 VALID
12. 0,458 0,361 VALID
13. 0,413 0,361 VALID
14. 0,378 0,361 VALID
15. 0,248 0,361 TDK VALID
16. 0,427 0,361 VALID
17. 0,660 0,361 VALID
18. 0,622 0,361 VALID
19. 0,377 0,361 VALID
20. 0,440 0,361 VALID
21. 0,529 0,361 VALID
22. 0,538 0,361 VALID
23. 0,145 0,361 TDK VALID
24. 0,611 0,361 VALID
25. 0,685 0,361 VALID
26. 0,767 0,361 VALID
27. 0,353 0,361 TDK VALID
28. 0,723 0,361 VALID
29. 0,607 0,361 VALID
30. 0,597 0,361 VALID
31. 0,602 0,361 VALID
32. 0,245 0,361 TDK VALID
JUMLAH ITEM VALID 27
JUMLAH ITEM TIDAK VALID 5
TOTAL ITEM 32
Uji Validitas Variabel Y (Kemampuan Coping)
No. R hitung R table Validitas
1. 0,168 0,361 TDK VALID
2. 0,340 0,361 TDK VALID
3. 0,283 0,361 TDK VALID
4. 0,386 0,361 VALID
5. 0,397 0,361 VALID
6. 0,136 0,361 TDK VALID
7. 0,391 0,361 VALID
8. 0,214 0,361 TDK VALID
9. 0,503 0,361 VALID
10. 0,390 0,361 VALID
11. 0,477 0,361 VALID
12. 0,171 0,361 TDK VALID
13. 0,001 0,361 TDK VALID
14. 0,421 0,361 VALID
15. 0,314 0,361 TDK VALID
16. 0,396 0,361 VALID
17. 0,277 0,361 TDK VALID
18. -0,319 0,361 TDK VALID
19. 0,538 0,361 VALID
20. 0,274 0,361 TDK VALID
21. 0,519 0,361 VALID
22. 0,443 0,361 VALID
23. 0,653 0,361 VALID
24. 0,498 0,361 VALID
25. 0,411 0,361 VALID
26. 0,365 0,361 VALID
27. 0,588 0,361 VALID
28. 0,623 0,361 VALID
29. 0,619 0,361 VALID
JUMLAH ITEM VALID 18
JUMLAH ITEM TIDAK VALID 11
TOTAL 29
Blue Print Variabel Pembinaan Keagamaan (X) dan Kemampuan Coping (Y)
Pembinaan Kegamaan (X)
Dimensi Item
Favorable Unfavorable
1. Aspek meteri. 1. Saya mengetahui
bahwa iman kepada
malaikat adalah rukun
iman yang kedua.
2. Saya mengetahui Al-
Qur’an dapat menjadi
penyejuk hati dan jiwa.
3. Iman kepada Rasul
adalah rukun iman
yang keempat.
4. Sholat lima waktu
hukumnya wajib.
5. Saya mengetahui tata
cara sholat beserta
bacaannya.
6. Ibadah puasa di bulan
Ramadhan hukumnya
wajib.
7. Ibadah haji
merupakan rukun
Islam yang kelima.
8. Saya mengetahui
bahwa dzikir dapat
membuat hati
menjadi tenang.
9. Islam mengajarkan
untuk menjadikan
akhlak Rasul sebagai
teladan.
10. Saya mengetahui
batasan aurat laki-
laki dan perempuan.
1. Saya tidak percaya
adanya takdir.
2. Saya tidak mengetahui
manfaat dari puasa.
2. Aspek Frekuensi
kegiatan.
Saya selalu rutin
mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
1. Dalam satu minggu
saya sering kali tidak
mengikuti kegiatan
pembinaan
keagamaan.
3. Aspek Motivasi. 1. Saya termotivasi untuk
selalu mengikuti
kegiatan pembinaan
keagamaan.
1. Saya tidak suka
mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
2. Saya mengikuti
2. Saya mengikuti
kegiatan pembinaan
keagamaan dengan
senang hati.
pembinaan keagamaan
karena terpaksa.
4. Aspek Perhatian 1. Saya memperhatikan
apa yang disampaikan
oleh pembimbing
agama.
2. Saya merasa rugi
apabila tidak
mengikuti pembinaan
keagamaan.
1. Saya merasa jenuh
ketika sedang
mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
5. Aspek spirit of
change.
1. Saya bertekad untuk
berubah menjadi lebih
baik lagi.
2. Saya ingin memiliki
pengetahuan agama
yang lebih baik lagi
setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
1. Saya mengikuti
kegiatan pembinaan
keagamaan hanya
untuk menggugurkan
kewajiban.
6. Aspek Efek. 1. Saya merasa menjadi
lebih baik setelah
mengikuti pembinaan
keagamaan.
2. Hati saya menjadi
lebih tenang setelah
mengamalkan apa
yang diajarkan
pembimbing agama.
3. Saya menjadi lancar
membaca Al-Qur’an
setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
1. Saya merasa biasa saja
dan tidak ada
perubahan setelah
mengikuti pembinaan
keagamaan.
Total Item 20 8
Kemampuan Coping (Y)
Dimensi Item
Favorable Unfavorable
1. Problem focused
coping.
a. problem focused
cognitive (coping
dalam bentuk
kognitif).
1. Saya memikirkan
langkah terbaik untuk
menyelesaikan
masalah yang saya
hadapi.
2. Saya berusaha
mengambil keputusan
yang tepat untuk
menyelesaikan
masalah saya.
1. Saya tidak
memikirkan masalah
yang saya hadapi.
b. coping dalam bentuk
perilaku.
1. Saya mendiskusikan
masalah yang sedang
saya hadapi dengan
orang lain untuk
mendapatkan jalan
keluar.
1. Saya tidak meminta
pendapat/saran dari
orang lain untuk
mencari jalan keluar
dari masalah yang
saya hadapi.
2. Emotion focused
coping, yang meliputi:
a. Escapism
(melarikan diri dari
masalah)
1. Saya butuh waktu
sejenak untuk
melupakan masalah
yang sedang saya
hadapi.
2. Menurut saya, pergi
bersama teman akan
membuat saya lebih
tenang ketika saya
sedang menghadapi
masalah tertentu.
b. Minimization
(menganggap
masalah seringan
mungkin)
1. Saya menghadapi
masalah dengan
tenang.
2. Saya yakin setiap
masalah itu pasti ada
jalan keluarnya.
c. Self Blame
(menyalahkan diri
sendiri)
Saya menyalahkan
orang lain sebagai
penyebab masalah yang
saya alami.
d. Seeking Meaning
(mencari hikmah
yang tersirat)
Saya tidak memikirkan
hikmah atau pelajaran
yang bisa diambil dari
masalah yang saya
hadapi.
3. Spiritual Focused
Coping.
1. Saya lebih rajin
menjalankan ibadah
ketika saya sedang
menghadapi masalah.
2. Saya melaksanakan
sholat tahajjud agar
dimudahkan untuk
menyelesaikan
masalah yang sedang
saya hadapi.
3. Saya memperbanyak
membaca Al-Qur’an
ketika saya sedang
menghadapi suatu
masalah.
4. Saya memperbanyak
dzikir ketika saya
sedang menghadapi
masalah.
5. Saya berdo’a kepada
Allah agar
dimudahkan untuk
menyelesaikan
masalah yang sedang
saya hadapi.
6. Saya sabar dan ikhlas
ketika saya sedang
menghadapi suatu
masalah.
7. Saya berserah diri
kepada Allah ketika
sedang menghadapi
masalah.
8. Menurut saya, adanya
masalah adalah ujian
dari Allah.
Total Item 15 4
DAFTAR KUESIONER
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dengan ini saya “Nely Lailatul Maghfiroh” mahasiswa Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bermaksud untuk
melaksanakan penelitian dalam rangka tugas akhir karya ilmiah (skripsi) yang
berjudul “Hubungan Pembinaan Keagamaan Dengan Kemampuan Coping
Remaja Pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1
Tangerang Banten”, berkenaan dengan hal ini saya berharap kesediannya untuk
mengisi kesioner ini dengan sebenar-benarnya sebagai data yang akan digunakan
dalam penelitian. Jawaban ini tidak dilihat benar atau salah. Atas perhatian dan
perkenaanya, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
A. Identitas Responden
1. Nama : ………………………..............
2. Kasus :...................................................
3. Usia :..................................................
4. Pendidikan Terakhir :smk.....................
5. Mengikuti pembinaan keagamaan :……..bulan
B. Petunjuk Pengisian
1. Bacalah setiap pernyataan dengan baik dan teliti
2. Isilah dengan jujur dan benar
3. Pilihlah salah satu jawaban yang tersedia dengan memberikan ceklis ( √
) dari setiap pernyataan yang dianggap paling tepat dengan menggunakan
skala berikut:
SS = Sangat setuju
S = Setuju
TS = Tidak Setuju
STS = Sangat Tudak Setuju
A. Daftar pernyataan pembinaan keagamaan
No Pernyataan SS S TS STS
Materi
1. Saya mengetahui bahwa iman kepada malaikat adalah rukun iman
yang kedua
2. Saya mengetahui Al-Qur’an dapat menjadi penyejuk hati dan jiwa.
3. Iman kepada Rasul adalah rukun iman yang keempat.
4. Sholat lima waktu hukumnya wajib.
5. Saya mengetahui tata cara sholat beserta bacaannya.
6. Ibadah puasa di bulan ramadhan hukumnya wajib
7. Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima.
8. Dzikir merupakan salah satu sarana/cara mendekatkan diri kepada
Allah.
9. Islam mengajarkan untuk menjadikan akhlak Rasul sebagai
teladan.
10. Saya mengetahui batasan aurat laki-laki dan perempuan.
11. Saya tidak percaya adanya takdir.
12. Saya tidak mengetahui manfaat dari puasa.
Frekuensi Kegiatan
13. Saya selalu rutin mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan.
.14
.
Dalam satu minggu saya sering kali tidak mengikuti kegiatan
pembinaan keagamaan.
---
Motivasi
15. Saya termotivasi untuk selalu mengikuti kegiatan pembinaan
keagamaan.
16. Saya mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dengan senang
hati.
17. Saya tidak suka mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan
18. Saya mengikuti pembinaan keagamaan karena terpaksa.
Perhatian
19.
Saya memperhatikan apa yang disampaikan oleh pembimbing
agama.
20. Saya merasa rugi apabila tidak mengikuti pembinaan keagamaan.
21.
Saya merasa jenuh ketika sedang mengikuti kegiatan pembinaan
keagamaan.
Spirit Of Change
22. Saya bertekad untuk berubah menjadi lebih baik lagi.
23.
Saya ingin memiliki pengetahuan agama yang lebih baik lagi
setelah mengikuti pembinaan keagamaan.
24.
Saya mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan hanya untuk
menggugurkan kewajiban.
Efek
25.
Saya merasa menjadi lebih baik setelah mengikuti pembinaan
keagamaan.
26. Hati saya menjadi lebih tenang setelah mengamalkan apa yang
diajarkan pembimbing agama.
27. Saya menjadi lancar membaca Al-Qur’an setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
28. Saya merasa biasa saja dan tidak ada perubahan setelah mengikuti
pembinaan keagamaan.
B. Daftar Pernyataan Kemampuan Coping
No Pernyataan SS S TS STS
Problem focused coping
1. Saya memikirkan langkah terbaik untuk menyelesaikan masalah
yang saya sedang saya hadapi.
2. Saya berusaha mengambil keputusan yang tepat untuk
menyelesaikan masalah saya.
3. Saya tidak memikirkan masalah yang saya hadapi.
4. Saya mendiskusikan masalah yang sedang saya hadapi dengan orang
lain untuk mendapatkan jalan keluar.
5. Saya tidak meminta pendapat/saran dari orang lain untuk mencari
jalan keluar dari masalah yang saya hadapi.
Emotion focused coping
6. Saya butuh waktu sejenak untuk melupakan masalah yang sedang
saya hadapi.
7. Menurut saya, pergi bersama teman akan membuat saya lebih tenang
ketika saya sedang menghadapi masalah tertentu.
8. Saya menghadapi masalah dengan tenang.
9. Saya yakin setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya.
10. Saya menyalahkan orang lain sebagai penyebab masalah yang saya
alami.
11. Saya tidak memikirkan hikmah atau pelajaran dari masalah yang
saya hadapi.
Religius Focused Coping
12. Saya lebih rajin menjalankan ibadah ketika saya sedang menghadapi
masalah.
13. Saya melaksanakan sholat tahajjud agar dimudahkan dalam
menyelesaikan masalah saya.
14. Saya memperbanyak membaca Al-Qur’an ketika saya sedang
menghadapi suatu masalah.
15. Saya memperbanyak dzikir ketika saya sedang menghadapi masalah.
16. Saya berdo’a kepada Allah agar dimudahkan untuk menyelesaikan
masalah yang sedang saya hadapi.
17. Saya sabar dan ikhlas ketika saya sedang menghadapi suatu masalah.
18. Saya berserah diri kepada Allah ketika sedang menghadapi masalah
!9. Menurut saya, adanya masalah adalah ujian dari Allah.
Uji Reliabilitas
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.911 28
Tabel korelasi antara pembinaan keagamaan dengan kemampuan coping
Correlations
Pembinaan_kea
gamaan PPC EPC RPC
Pembinaan_keagamaan Pearson Correlation 1 .633** .642
** .508
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000
N 47 47 47 47
PPC Pearson Correlation .633** 1 .632
** .135
Sig. (2-tailed) .000 .000 .366
N 47 47 47 47
EPC Pearson Correlation .642** .632
** 1 .312
*
Sig. (2-tailed) .000 .000 .033
N 47 47 47 47
RPC Pearson Correlation .508** .135 .312
* 1
Sig. (2-tailed) .000 .366 .033
N 47 47 47 47
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK (LPKA) KELAS 1 TANGERANG
BANTEN
Kegiatan Pembinaan keagamaan oleh Pembimbing Agama Islam
di Masjid LPKA Tangerang setelah menunaikan sholat Dzuhur berjamaah
Anak didik mengisi kuesioner
Kegiatan Pembinaan keagamaan oleh Pembimbing Agama Islam
di Masjid LPKA Kelas 1 Tangerang Banten setelah melaksanakan sholat
dzuhur berjamaah
Foto bersama salah satu Pembimbing Agama
FOTO SIDANG SKRIPSI
KAMIS, 22 MARET 2018 PUKUL 10:00-11:00 LT.7B FIDKOM